Anda di halaman 1dari 4

RESUME MATERI DIKLAT MODERASI BERAGAMA

OLEH : WAHIDIN, S.Ag


1. KAPASITAS ASN KEMENAG DALAM PENGUATAN MODERASI BERAGAMA
A. Paham konteks persoalan kehidupan keagaman
 Memahami konteks yang membenturkan agama dan negara
 Memahami konteks benturan paham dan praktik keagamaan dalam ruang intra
(internal) agama.
 Memahami REEVE (Religious, Excluvism, Extremism, Violent Extremism)
B. WAWASAN KEBANGSAAN
 Memiliki komitmen terhadap NKRI
 Memiliki wawasan kebangsaan yang luas
 Memahami regulasi (konsep dan aplikasi)
 Mendukung dan implementasikan regulasi yang adil dan non diskriminasi
 Memiliki kesadaran menjadi ASN Kemenag adalah wujud keimanan
 Memiliki kesadaran menerima kesetaraan warga negara adalah bagian dari
ajaran agama.
C. WAWASAN KEAGAMAAN
 Memahami nilai universal ajaran agama
 Memahami argumentasi teologis MB
 Memahami indikator MB
 Bersedia menghormati keyakinan umat agama lain.
D. SIKAP DIRI
Memiliki nilai-nilai Kemenag, inklusif, demokratis, egaliter dan moderat, humanis, non
diskriminatif, berani, anti kekerasan
E. KECAPAKAN
Citra diri ASN Kemenag (konsep diri sebagai aparatur negara untuk urusan agama),
Kepemimpinan, Keterampilan membangun jejaring, kemampuan membentuk
pemahaman, resolusi konflik, berpikir kritis, analisis sosial, literasi digital

2. ALUR PELATIHAN PENGUATAN MODERASI BERAGAMA KEMENTERIAN AGAMA RI


3. Bias kognitif yang perlu kita perhatika
a. Egocentric memory
Kecenderungan untuk “Melupakan” bukti dan informasi yang tidak mendukung
pendapat kita dan “mengingat” bukti dan informasi yang mendukung.
b. Egocentric myopia
Kecenderungan alamiah untuk berpikir absolutist dalam sudut pandang yang
sangat sempit.
c. Egocentric Righteousness
Kecenderungan Alamiah unruk merasa lebih baik atau “Superior” karena yakin
benar, padahal belum tentu kebenaran nya.
d. Egocentric Hypocrisy
Kecenderungan alamiah untuk tidak menghiraukan inkonsistensi. Seperti anata
kata dan perbuatan atau anatara standar yang dipakai untuk diri sendiri dengan yang
kita terapkan untuk diri sendiri dengan yang kita terapkan untuk orang lain.
e. Egocentric Oversimplification
Kecenderungan alamiyah untuk mengabaikan kompleksitas masalah dengan
lebih memilih pandangan yang simplistik bila kompleksitas tadi mengharuskan kita untuk
mengubah pendapat.
f. Egocentic Blindness
Kecenderungan alamiah untuk tidak memperhatikan fakta dan bukti yang
berlawanan dengan kepercayaan dan nilai-nilai kita.

Indonesia sebagai sebuah negara yang memuat banyak sekali keberagaman


yang terdiri dari keberagaman suku, bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, dewasa ini
seringkali diterpa isu tentang radikalisme. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan
kelompok tertentu ini semakin hari semakin tumbuh dan secara terang-terangan
menyuarakan ideologi mereka. Aksi teror, penculikan, penyerangan, bahkan
pengeboman pun kian marak terjadi.

Dari berbagai macam keberagaman yang dimiliki negara Indonesia,


keberagaman agama menjadi yang terkuat dalam membentuk radikalisme di Indonesia.
Munculnya kelompok-kelompok ekstrem yang kian hari semakin mengembang sayapnya
difaktori berbagai hal seperti sensitifitas kehidupan beragama, masuknya aliran
kelompok ekstrem dari luar negeri, bahkan permasalahan politik dan pemerintahan pun
turut mewarnai. Maka ditengah hiruk-pikuk permasalahan radikalisme ini, muncul
sebuah istilah yang disebut “Moderasi beragama”.
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin Moderatio, yang berarti kesedangan
(tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap
sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan
dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. pengurangan kekerasan, dan 2. penghindaran
keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa
orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.
Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau
wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah),
i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa
disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan
terbaik”. Apa pun kata yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama,
yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai
pilihan ekstrem. Kata wasith bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kata 'wasit' yang memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) penengah, perantara (misalnya
dalam perdagangan, bisnis); 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan
3) pemimpin di pertandingan.
Keragaman dan Keberagamaan Indonesia
Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai kehendak Tuhan.
Keragaman tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan untuk
ditawar melainkan untuk diterima (taken for granted). Indonesia adalah negara dengan
keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di
dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan
bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia.
Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu, dapat dibayangkan
betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-masing
warga bangsa, termasuk dalam beragama. Beruntung kita memiliki satu bahasa
persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman keyakinan tersebut masih
dapat dikomunikasikan, dan karenanya antarwarga bisa saling memahami satu sama
lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola keragaman itu tak urung kadang
terjadi.
Dari sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan;
jika Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi
seragam dan satu jenis saja. Tapi Tuhan memang Maha Menghendaki agar umat
manusia beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan
menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu,
bukankah keragaman itu sangat indah? Kita harus bersyukur atas keragaman bangsa
Indonesia ini.
Kemajemukan di Indonesia tidak bisa hanya disikapi dengan prinsip keadilan,
melainkan juga dengan prinsip kebaikan. Keadilan adalah keseimbangan dan
ketidakberpihakan dalam menata kehidupan dengan asas hukum dan kepastian di
dalamnya. Akan tetapi, keadilan atas adanya hukum formalitas hitam-putih secara rigid
juga tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kebaikan, yaitu unsur yang juga melandasi
prinsip keadilan.
Hukum bisa saja hanya menyentuh aspek permukaan dan tidak memenuhi rasa
keadilan sesungguhnya, sehingga perlu ada sentuhan kebaikan. Keadilan adalah dimensi
hukum, sedangkan kebaikan adalah dimensi etik. Dalam QS. al-Baqarah: 143, dijelaskan
bahwa Allah menyatakan bahwa kaum muslimin dijadikan ummatan wasathan.

ٰ
ِ َّ‫َو َك َذلِكَ َج َع ْلنَا ُك ْم ُأ َّمةً َو َسطًا لِتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬
‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْالقِ ْبلَةَ الَّتِي ُك ْنتَ َعلَ ْيهَا ِإاَّل‬
‫ضي َع ِإي َمانَ ُك ْم ۚ ِإ َّن‬ِ ُ‫يرةً ِإاَّل َعلَى الَّ ِذينَ هَدَى هَّللا ُ ۗ َو َما َكانَ هَّللا ُ لِي‬ ْ ‫ُول ِم َّم ْن يَ ْنقَلِبُ َعلَ ٰى َعقِبَ ْي ِه ۚ وَِإ ْن كَان‬
َ ِ‫َت لَ َكب‬ َ ‫لِنَ ْعلَ َم َم ْن يَتَّبِ ُع ال َّرس‬
ٌ ‫اس لَ َر ُء‬
‫وف َر ِحي ٌم‬ ِ َّ‫هَّللا َ بِالن‬
Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat
yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa
yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia”. (QS. al-Baqarah: 143)

Berikut adalah tolak ukur moderasi beragama yaitu :


 Seberapa kuat kembalinya penganut agama kembali pada inti pokok ajaran,
yaitu nilai kemanusiaan. Melalui kemanusiaan maka perbedaan agama di tengah
masyarakat bukan menjadi persoalan mengganggu keharmonisan.
 Kesepakatan bersama. Melalui kesepakatan bersama menunjukkan kerja sama
di antara sesama manusia yang beragam. Karena bagaimanapun manusia
memiliki keterbatasan sehingga keragaman itu akan saling menutupi
kekurangan. Keragaman diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk membuat
sesama manusia saling menyempurnakan. Keragaman itu adalah kehendak
Tuhan karena manusia yang beragam membutuhkan kesepakatan. Inti pokok
ajaran agama bagaimana setiap kita tunduk dan taat terhadap kesepakatan
bersama.
 Ketertiban umum. Manusia yang beragam latar belakang agar bisa tertib yang
bisa memicu suasana beragama yang moderat. Tujuan agama dihadirkan agar
tercipta ketertiban umum di tengah kehidupan bersama yang beragam.

KESIMPULAN

Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti
cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang
yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak
sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama, serta
menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang penuh dengan
permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat beragama maupun antarumat
beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi kondusif dan maju.

Anda mungkin juga menyukai