Anda di halaman 1dari 19

Pinisi: Journal of Teacher Professional

https://ojs.unm.ac.id/TPJ
Vol 1, No, 1, November 2021
p-ISSN: xxxx-xxxx dan e-ISSN: xxxx-xxxx
DOI.xxx-xxx

PENERAPAN STRATEGI VAK UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DI


SD PLUS BAKTI NUSANTARA 666

Rudi Setiawan,S.Pd1 , Hamza Pagarra,S.Kom, M.Pd2 , Zusanti,S.Pd3


1
PGSD, SD Plus Bakti Nusantara 666
Email: rudisetiawan191@gmail.com
2
PGSD, Universitas Negeri Makassar
Email: hamza.pagarra@unm.ac.id
3
PGSD, SD INP Unggulan Toddopuli
Email: zusanti2020@gmail.com

Artikel Info

Artikel history: Abstrak. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan  permasalahan yang


Received; xx-xx- terjadi yaitu modalitas siswa tidak diakomodir seluruhnya serta respon
xxx Revised:xx-xx- yang ditunjukkan siswa menunjukkan ketidak senangan sehingga
xxxx Accepted;xx- hasil belajar siswa di bawah KKM yaitu 65,00. Penelitian
xx-xxxx dilaksanakan melalui tiga siklus untuk mengetahui hasil penelitian
dengan menggunakan strategi VAK ( Visual Auditori Kinestetik).
Strategi VAK merupakan strategi yang bisa mengakomodir modalitas
siswa dalam belajar. Pada kegiatan pembelajaran menggunakan media
PPT yang didalam terdapat materi, video pembelajaran dan gambar
materi pembelajaran yang menarik sehingga siswa lebih antusias dan
bersemangat dalam belajar karena modalitas belajar siswa
terakomodir secara keseluruhan sehingga dapat meningkatkan respon
siswa. Keberhasilan dari strategi pembelajaran VAK yaitu dibuktikan
dengan terjadinya peningkatan hasil belajar disetiap siklusnya serta
respon siswa yang menunjukan respon positif oleh karena itu strategi
pembelajaran VAK direkomendasikan sebagai salah satu model yang
dapat meningkatkan hasil belajar.

Kata kunci: Coresponden author:


strategi VAK ,, Email: xxxx@gmail.com
respon siswa, hasil
belajar
artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi CC BY -4.0
PENDAHULUAN

Perkembangan pendidikan mempengaruhi kemajuan bangsa, karena pada dasarnya


pendidikan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas manusia. Dalam proses
pendidikan dikembangkan seluruh potensi individu yang dimiliki guna terciptanya sumber daya
manusia yang berkualitas, yang diharapkan dapat menunjang perkembangan dalam
kehidupannya.
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran memiliki beberapa
komponen yang berperan yaitu guru, isi atau materi dan siswa. Proses interaksi guru dan siswa
menjadi salah satu penentu kualitas pembelajaran. Oleh karena itu guru dituntut harus
mempunyai kompetensi profesionalisme agar sadar untuk mewujudkan interaksi yang aktif dalam
pembelajaran. Pada saat interaksi dalam pembelajaran aktif, maka siswa akan mudah untuk
menemukan pengetahuannya terlebih lagi untuk mengaplikasikan apa yang siswa pelajari dalam
kehidupan sehari-hari.
Untuk mewujudkan usaha pengembangan pengetahuan dan pemahan konsep yang
bermanfaat bagi kehidupan tentunya tidak dapat dilakukan oleh siswa saja , tetapi pengetahuan
tersebut ditransformasikan dari guru. Sebagaimana yang telah diketahui tugas guru sebagai
pengajar berarti tujuan utamanya mentransformasikan pengetahuan dan keahlian berfikir. Ma’arif
S (2011:36) mengatakan bahwa:
secara deskriptif, tugas guru mengajar berarti guru harus menyampaikan informasi atau
pengetahuan kepada siswa. Tetapi pengertian seperti ini jangan diartikan kalau tugas guru
menanamkan dan menyampaikan materi sebanyak-banyaknya kepada siswa sehingga
terkesan anak dijadikan sebagai objek dan selalu dijejali dengan berbagai informasi dari
guru.
Sebagai pengajar seorang guru memiliki pemahaman bahwa mengajar sebagai bagian dari
instruksional (pembelajaran) seperti yang disampaikan Gagne (Ma’arif, 2011:36) yaitu ‘peran
guru harus lebih ditekankan pada bagaimana ia merancang berbagai sumber dan fasilitas yang
tersedia untuk dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu’. Jadi peran guru hanya sebagai
fasilitator atas berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari peserta didik dan guru bukan
sebagai satu-satunya sumber informasi.
Melihat kenyataan di kelas VI SD Plus Bakti Nusantara 666 melalui kegiatan observasi
yang dilakukan peneliti, ternyata peranan guru yang disampaikan oleh Gagne diatas belum
terlaksana sepenuhnya. Penyebab dari semua itu adalah kurangnya pengetahuan ataupun
pengaplikasian guru akan model, strategi, pendekatan maupun teknik pembelajaran yang
bervariasi, serta kurangnya penggunaan alat peraga, pembelajaran dilaksanakan secara klasikal
melalui kegiatan ceramah. Kalaupun divariasikan dengan tanya jawab, kegiatan tersebut hanya
sekedar guru melontarkan pertanyaan kepada murid yang tidak memperhatikan pembelajaran.
Selain itu guru juga sering menugaskan siswa untuk mencatat materi yang ada di buku paket.
Terkadang juga kegiatan yang kurang bermakna sangat terasa yaitu ketika setelah guru ceramah
di depan kelas lalu memberikan tugas.
Dari hasil observasi pendahulu juga disertai dengan hasil wawancara terhadap siswa yang
menyatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan dirasa tidak menyenangkan. Terlebih ketika
siswa harus dipaksakan mendengarkan ceramah guru yang siswa tersebut tidak menyukai
kegiatan mendengarkan melainkan lebih ingin mencari pengetahuannya sendiri ataupun dengan
melihat gambar atau tayangan yang membuat siswa belajar dengan situasi dan kondisi
menyenangkan sesuai yang diinginkannya. Dengan demikian aktifitas siswa dalam
mengembangkan kemampuan dan pengetahuan dalam pembelajaran dapat terhambat. Faktor-
faktor tersebut juga berimbas pada hasil belajar yang dicapai siswa rendah. Hal ini terbukti
dengan perolehan hasil rata-rata nilai Tematik di kelas VI SD Plus Bakti Nusantara 666 adalah
65,00 dari jumlah siswa yang mengikuti evaluasi yaitu 26 dengan nilai terendah adalah 60,00 dan
nilai tertinggi 80,00.
Berdasarkan hal di atas , maka hendaknya pembelajaran harus dibuat dengan situasi yang
menyenangkan agar pencapaian hasil belajar siswa dapat mencapai hasil yang memuaskan sesuai
standar yang ada atau bahkan lebih dari standar yang telah ditentukan yaitu dengan KKM 65,00 .
Pembelajaran menyenangkan dapat diciptakan ketika guru mengetahui apa yang menjadi
modalitas belajar siswa. Namun hal selalu berbeda satu sama lain. Jika siswa satu menginginkan
situasi tertentu dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan modalitas belajarnya maka siswa
lain belum tentu menginginkan hal yang serupa. Karena pada dasarnya manusia dilahirkan dalam
keadaan berbeda satu sama lain, tidak ada seorangpun yang mirip bahkan bagi manusia yang
terlahir kembar sekalipun. Perbedaan tersebut bisa dalam hal minat, kemampuan, kesenangan,
pengalaman, dan termasuk cara belajar.
Pembelajaran akan menyenangkan ketika siswa berada dalam kondisi yang dia inginkan
dengan modalitas belajar yang sesuai dengan karakteritik siswa tersebut. Modalitas belajar setiap
siswa bervariatif satu sama lain. Modalitas belajar adalah cara siswa untuk menyerap
pembelajaran. Modalitas tersebut terbagi menjadi menjadi tiga golongan, yaitu modalitas belajar
auditori yang lebih menyukai belajar dengan mendengarkan; gaya belajar visual yang lebih
menyukai belajar dengan menggunakan indra penglihatannya melalui kegiatan membaca dam
melihat; dan gaya belajar kinestetik yang cenderung menyukai belajar dengan tangannya atau
langsung melakukan sesuatu dengan cara gerak, bekerja dan menyentuh. Siswa dengan gaya
belajar kinestetik biasanya terlihat selalu aktif bergerak (Ma’arif S ,2011 :91).
Setiap orang mampu menggunakan ketiga fungsi sensoriknya
(visual, auditori, dan kinestetik) untuk menangkap informasi. Namun untuk kebanyakan orang
ada satu modalitas belajar yang dominan, yang merupakan cara terbaik memperoleh informasi.
Untuk beberapa orang yang lain mempunyai modalitas belajar kombinasi, atau bahkan seimbang
untuk ketiga kemampuannya.
Tidak akan adil dan pembelajaran akan menjadi diskriminatif jika siswa hanya dijejali
dengan gaya pembelajaran yang lebih menekankan kepada modalitas belajar tertentu seperti
misalnya selalu menggunakan modalitas belajar auditori saja. Hal ini tentu akan tidak disukai
oleh siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik maupun visual. Siswa yang memiliki
modalitas belajar kinestetik akan merasa tidak nyaman jika dihadapkan pada pembelajaran yang
hanya memerlukan pendengaran yang baik, siswa dengan gaya kinestetik tidak menyukai hal itu.
Pembelajaran kinestetik mungkin akan terlihat memiliki gerak yang lebih banyak dari siswa lain
di kelas, sehingga membuat pembelajaran berjalan dengan tidak kondusif. Padahal siswa tersebut
ingin melakukan pembelajaran dengan gaya belajarnya sendiri yaitu kinestetik, dan hal itu tidak
hanya akan tampak pada siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik saja melainkan juga pada
siswa yang mempunyai gaya belajar visual, yang lebih nyaman belajar dengan menggunakan
indra penglihatannya.
Hal-hal di atas juga teramati pada hasil observasi pendahuluan peneliti. Karena guru lebih
dominan melakukan pembelajaran dengan strategi ceramah dan dikte atau menyalin catatan dari
buku sumber, akibatnya banyak siswa yang tidak menunjukkan respon positif selama di kelas.
Hal tersebut juga erat kaitannya dengan hasil belajar siswa yang telah disebutkan sebelumnya.
Hasil angket tentang modalitas belajar siswa menunjukan keberagaman modalitas belajar, angket
dari responden menemukan 1 siswa lebih dominan menggunakan modalitas belajar visual; 8
siswa mempunyai modalitas belajar auditori; 9 siswa mempunyai modalitas belajar kinestetik; 6
siswa memiliki lebih dari satu modalitas belajar yang dominan (3 diantaranya visual-auditori),
serta masing-masing 1 siswa memiliki modalitas belajar visual-kinestetik dan auditori-kinestetik
dan 1 siswa memiliki kecenderungan menggunakan ketiganya yaitu visual-auditori-kinestetik
Hal itulah yang menjadi dasar sebagian pendapat yang menyatakan bahwa gaya belajar
bukanlah suatu yang permanen, hanya suatu kecenderungan. Untuk situasi dan kondisi yang
berbeda, bisa saja seseorang dituntut untuk menggunakan hanya satu gaya belajar tertentu atau
kombinasi dari beberapa gaya belajar. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi kelas,
materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar dan cara penilaian perlu disesuaikan dengan
modalita siswa. Melihat permasalahan yang ditemui, peneliti mempunyai strategi Visualisasi
Auditori Kinestetik (VAK) yang dirasa cocok digunakan dalam penelitian dengan harapan akan
mengakomodasi berbagai macam gaya belajar siswa.

METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian
Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilakukan di SD Plus Bakti Nusantara 666 Kecamatan
Cileunyi Kabupaten Bandung, dengan pertimbangan bahwa lokasi sekolah tersebut adalah
tempat mengajar peneliti yang mengalami masalah dalam proses pembelajaran terkait dengan
rendahnya hasil belajar siswa dan respon siswa.
Subjek penelitian adalah siswa kelas VI yang berjumlah 26 siswa terdiri dari 12 siswa
perempuan dan 14 siswa laki-laki. Dari 26 siswa tersebut diketahui bahwa modalitas belajar yang
dimiliki siswa sangat beragam. Tercatat satu siswa lebih dominan menggunakan gaya belajar
visual; delapan siswa mempunyai gaya belajar auditori; sembilan siswa mempunyai gaya belajar
kinestetik; enam siswa memiliki lebih dari satu gaya belajar yang dominan tiga diantaranya
visual-auditori, serta masing-masing satu siswa memiliki gaya belajar visual-kinestetik dan
auditori-kinestetik dan satu siswa memiliki kecenderungan menggunakan ketiganya yaitu visual-
auditori-kinestetik

B. Desain Penelitian
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model PTK dari Elliot. Model Elliot
terdiri dari tiga siklus dan setiap siklus terdiri dari tiga tindakan. Setiap siklus merupakan hasil
dari refleksi yang dilakukan pada siklus sebelumnya, agar mendapatkan perubahan yang lebih
baik. Refleksi merupakan hasil dari analisis terhadap pembelajaran pada setiap siklusnya yang
dilakukan setelah seluruh tindakan pada satu siklus telah selesai dilaksanakan, menurut Abidin
(2011: 240), “tidak boleh kegiatan analisis dan refleksi dilakukan hanya untuk satu tindakan.
Hal ini disebabkan satu siklus menggambarkan satu kegiatan utuh bukan kegiatan yang bersifat
fragmentaris”. Melihat bagan model Elliot maka bisa dilihat bahwa monitoring atau analisis
dilakukan setelah pengimplementasian setiap tindakannya pada satu siklus. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat gambar PTK model Elliot pada gambar 3.1.
Ide Awal

Temuan Analisis

Perencanaan Umum Siklus 1


Tindakan 1, 2, dan 3
Tindakan 1, 2, dan 3
Implementasi Siklus 1
Monitoring Implementasi dan Tindakan 1,2 dan 3
Efeknya

Penjelasan Kegagalan Revisi Perencanaan Umum


Implementasi

Perbaikan Perencanaan:

Implementasi Siklus II
Tindakan 1,2 dan 3
Monitoring Implementasi dan
Efek

Penjelasan Kegagalan
Revisi Perencanaan Umum
Implementasi

Perbaikan Perencanaan:

Implementasi Siklus III


Tindakan 1,2 dan 3
Monitoring Implementasi
dan Efek
Gambar 3.1.
Model PTK Elliot yang diadaptasi dari Hopkins (Abidin, 2011: 239)
C. Metode Penelitian
Masalah yang ditemukan pada penelitian adalah masalah yang dialami oleh guru sebagai
peneliti pada proses pembelajaran di kelas tempat guru mengajar. Oleh karena itu, metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas, karena PTK merupakan
penelitian yang mengangkat masalah yang dihadapi bukan pertama kali oleh guru di lapangan
penggunaan PTK diyakini dapat memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran di kelas
sehingga diharapkan akan membuat hasil belajar siswa meningkat dari sebelumnya.

PTK ini merupakan penelitian yang Abidin (2011:217) ungkapkan bahwa PTK adalah
“penelitian yang dilakukan untuk memecahkan masalah, mengkaji langkah pemecahan itu
sendiri, dan atau memperbaiki proses pembelajaran secara berulang atau bersiklus”. Sedangkan
PTK menurut Glickman (Abidin, 2011:216) ‘Action research in education is a study conduction
by colleagues in a school setting of which the results of their activities used to improve the
instruction’. Pendapat Glickman menekankan kepada studi atau upaya yang dilakukan guru untuk
menghasilkan sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan proses pembelajaran selanjutnya.
PTK dapat menjadi jembatan perbedaan antara teori dan praktek dalam pembelajaran di
mana setelah menggunakan PTK, maka guru diharapkan akan memperoleh umpan balik
mengenai kesesuaian antara teori dan praktek yang mereka lakukan. Guru akan mengetahui
teori yang tidak sesuai dengan prakek yang dilakukan, selanjutnya guru dapat memilih teori
yang cocok dan dapat di terapkan di kelasnya. PTK dapat digunakan peneliti untuk mengatasi
permasalahan aktual yang dihadapi oleh guru. Guru bisa langsung melakukan tindakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kegiatan pembelajaran yang kurang berhasil agar lebih menjadi
efektif dan lebih baik
Fungsi utama dilaksanakan PTK menurut Mc Niff dan Whitehead (Abidin, 2011:224)
adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan pemahaman guru
2. Meningkatkan pembelajaran yang dilaksnakan oleh guru
3. Mempengaruhi cara orang lain melaksanakan pembelajaran
Dari semua pendapat tentang PTK di atas dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan suatu
penelitian yang digunakan oleh guru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi olehnya ketika
melaksanakan proses pembelajaran melalui kegiatan refleksi yang dilakukan dalam rangka
memperbaiki serta meningkatkan kualitas proses pembelajaran selanjutnya.
Adapun tujuan dari PTK adalah sebagai berikut.
1. PTK dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam melakukan PTK serta
meningkatkan kualitas sekolah yang dijadikan tempat meneliti.
2. PTK dilaksanakan untuk memecahkan masalah yang menghambat proses pembelajaran
yang dilaksanakan oleh guru sebagai peneliti.
3. PTK dilaksanakan untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

D. Instrumen Pengumpulan Data


Dalam penelitian, data merupakan hal yang penting. Pengumpulan data yang
diperlukan dalam penelitian dapat dilakukan menggunakan alat tertentu yang sesuai dengan
variabel penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mencatat aktivitas guru dan siswa selama
pembelajaran berlangsung yang diamati oleh observer, mulai dari awal pembelajaran
hingga akhir pembelajaran.
Lembar observasi merekam secara menyeluruh kegiatan pembelajaran yang
terdapat dalam RPP, sehingga peneliti dapat mengetahui apakah proses pembelajaran
telah atau tidak sesuai dengan RPP yang telah disusun..
2. Lembar kuesioner
Lembar kuesioner adalah lembar yang berisi pernyataan untuk mencari data
tentang modalitas belajar siswa.
3. Lembar Wawancara
Lembar wawancara berisi pertanyaan tentang respon terhadap pembelajaranyang
ditujukan kepada siswa
4. Lembar Skala sikap
Lembar skala sikap digunakan untuk mengukur respon siswa terhadap proses
pembelajaran dengan hasil kategori sikap mendukung (positif), menolak (negatif) dan
netral. Skala yang digunakan adalah skala Likert di mana pernyataan-pernyataan
yang diajukan, baik prnyataan positif maupun negatif, dijawab dengan setuju, ragu-
ragu dan tidak setuju. Skor yang diberikan terhadap pilihan tersebut bergantung pada
jenis pernyataan positf maupun negatif asal penggunaannya konsisten. Skor untuk
pernyataan positif dan pernyataan negatif adalah kebalikannya.rentang skor adalah 1-
3, jika siswa memilih setuju pada pernyataan positif maka diberi skor 3, ragu-ragu
diberi skor 2 dan tidak setuju diberi skor 1. Siswa yang memilih tidak setuju pada
pernyataan negatif maka diberi skor 3, ragu-ragu diberi skor 2 dan setuju diberi skor
1
5. Lembar Kerja Siswa (LKS)
LKS merupakan pedoman siswa dalam menemukan pengetahuannya sendiri
secara kelompok. LKS dirancang sesuai dengan materi pembelajaran dan
mengandung komponen seperti Judul, Standar kompetensi, Kompetensi dasar,
Tujuan, Alat dan Bahan, Langkah Kerja, serta pertanyaan yang mengacu pada
kegiatan yang dilakukan siswa.
6. Lembar catatan lapangan merupakan lembar yang memuat temuan observer serta
hasil diskusi antara observer dengan peneliti. Lembar catatan lapangan merupakan
data tertulis yang memuat semua kejadian yang terjadi pada saat proses
pembelajaran berlangsung.

7. Lembar Evaluasi
Lembar soal evaluasi berisi soal-soal tes yang dimaksudkan untuk mengukur
hasil belajar siswa pada konsep cahaya.soal berupa isian dengan jumlah sebanyak 33
butir soal yang di sebar dalam tiga siklus.
8. Kamera
Kamera digunakan untuk mengumpulkan bukti fisik pada saat penelitian yang
berbentuk visual berupa dokumen

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data penelitian merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh data-data hasil observasi atau sebuah informasi penelitian. Adapun teknik
pengumpulan data pada penelitian ini adalah:
1. Observasi
Observasi adalah kegiatan untuk merekam kegiatan pembelajaran yang dicatat pada
lembar observasi. Observasi dilakukan oleh observer.
2. Kuesioner
Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi dengan cara menyampaikan
sejumlah pernyataan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh siswa. Kuesioner
ini digunakan untuk mencari data tentang modalitas belajar yang dimiliki siswa.
3. Skala sikap
Skala sikap digunakan untuk mengukur mengukur respon siswa proses pembelajaran.
4. Wawancara
Wawancara adalah suatu percakapan untuk memperoleh data tentang respon sebagai
validasi terhadap skala sikap yang diperlukan dari siswa. Penelitilah yang langsung
bertanya pada siswa dalam penelitian ini
5. Catatan lapangan
Catatan lapangan merupakan data tertulis yang memuat semua kejadian yang
didengar, dialami, dan difikirkan dari awal sampai akhir pembelajaran. Catatan
lapangan ini merupakan pelengkap atau pendukung dari informasi yang berhasil
dihimpun dalam lembar observasi.
6. Evaluasi
Evaluasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan hasil belajar
dan mengetahui berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang sudah dilakukan.
7. Dokumentasi
Foto-foto yang dihasilkan kamera foto dijadikan sebagai bukti pelaksanaan kegiatan
penelitian.
F. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik pengolahan
data. Analisis data kualitatif dilakukan dengan cara mendeskripsikan hasil penelitian yang
didapat oleh peneliti di lapangan. Hasil penelitian tersebut berasal dari data wawancara,
observasi, kuesioner. Analisis data kuantitatif digunakan untuk melihat ada tidaknya peningkatan
hasil belajar siswa dan lembar skala sikap setelah menggunakan strategi pembelajaran VAK.
Data tersebut berupa angka-angka dan ditulis dalam bentuk tabeL
Untuk mengolah data kuantitatif digunakan rumus untuk mencari rata-rata. Menurut Abidin
(2011:132) rumus rata-rata atau rataan adalah sebagai berikut:
Rumus rata-rata (rerata):
X 1+ X 2+ X 3+…+ Xn Σ Xi
X= =
n n
keterangan:
X = rata-rata
X1 = data ke-1
X2 =data ke-2
X3 = data ke-3
Σ Xi = jumlah skor
n = banyak data.
Adapun rumus untuk mengkonversi data ke dalam standar 100 sebagai berikut:
jumlah skor yang didapat
Nilai = X 100
jumlah skor maksimal
Diadopsi dari Sudjana (2011:133)

Sementara itu untuk penilaan skala sikap dengan pernyataan setuju, ragu-ragu dan tidak
setuju dapat ditentukan kategori siswa yang mempunyai respon positif, netral maupun negatif
sebagai berikut (Sudjana, 2011:84).

Rentang jumlah skor Keterangan


NO
1 10 – 18 Respon negatif
2 19 – 24 Netral
3 25 – 30 Respon positif
Tabel 3.1
Kategori skor respon

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL
Kegiatan pembelajaran siklus I, II, dan III menggunakan strategi pembelajaran VAK
dalam setiap pembelajarannya, pada siklus I secara umum belum berhasil hal ini dapat terlihat
pada diagram di bawah ini yang menunjukan penurunan di setiap tindakannya apabila dirata-
ratakan hasilnya 36,48. Pada siklus II menunjukkan hal yang positif yang dimana pada tindakan
kedua mengalami peningkatan yaitu 50,10. Sedangkan pada siklus III menunjukkan peningkatan
belajar yang cukup baik yang dimana di setiap tindakannya mendapatkan hasil yang cukup
memuaskan sebesar 69,43. Hal ini menunjukan bahwa strategi pembelajaran ini dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Respon siswa dalam penelitian ini juga menunjukan respon
positif yang dilihat dari observasi dan skala sikap yang mengukur respon siswa.
100
90
80
69.43
70
60
50.10
50
40 36.46
30
20
10
0
Siklus I Siklus II Siklus III

Diagram Hasil Belajar Siklus I, II, dan III

Gambar 4.8
Diagram Respon Siklus I, II, dan III
100

90
79.01
80
70.98 71.40
64.71
70 63.92
62.73
60 49.64 55.91
50.57 Kecepatan reaksi
50
Ketepatan Jawaban
40 Keaktifan

30

20

10

0
Tindakan I Tindakan II Tindakan III

Tabel 4.13
Penilaian Skala Respon
NO Nilai Jumlah siswa (n) Keterangan
1 10 – 18 0 Respon negative
2 19 – 24 2 Netral
3 25 – 30 24 Respon positif
Jumlah 26

Pembahasan
Terhadap hasil penelitian yang telah diperoleh, dilakukan pembahasan sebagai berikut:
1. Siklus I
Pada kegiatan pembelajaran siswa terlihat masih malu-malu di saat memberikan
tanggapan atau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Kemudian peneliti
memberikan penguatan atau respon yang betujuan agar siswa berani merespon pertanyaan
yang dilontarkan oleh peneliti. Setelah siswa diberikan stimulus berupa ucapan-ucapan yang
merangsang seperti “Ayo siapa yang mau menjawab pertanyaan atau berpendapat? Bagi
siswa yang menjawab pertanyaan atau berpendapat maka akan mendapakan nilai tambah”.
Pada akhirnya siswa mulai berani dalam mengemukakan pendapat mereka walaupun hanya
sedikit siswa, hal ini membuktikan bahwa respon siswa pada aspek kecepatan bereaksi mulai
terlihat. Hal ini sesuai dengan apa yang dimukakan oleh tim pengembang FIP-UPI (2007:
82) “anak dikatakan belajar jika ia mampu memberikan respon yang tepat atas suatu stimulus
yang diberikan peneliti”.
Pada tahapan eksplorasi siswa diajak untuk membuktikan pertanyaan yang dilontarkan
oleh peneliti dengan melakukan percobaan-percobaan yang sesuai dengan materi yang
diajarkan. Peneliti tidak langsung memberikan penjelasan tentang materi. Tahapan ekspolasi
dilakukan dengan kegiatan percobaan. Kegiatan tersebut sesuai dengan yang di katakan
oleh Ali (2009:175) “proses pembelajaran seharusnya bergeser dari sekedar bersifat
intruksional, hafalan, dan hanya menggunakan sumber tunggal (guru) yang menyebabkan
pembelajaran terkesan sebagai proses indoktrinasi”. Ini berarti pembelajaran tidak hanya
dilakukan dengan menggunakan metode ceramah yang menggunakan sensor audio saja.
Kegiatan percobaan dilakukan dengan melibatkan siswa untuk mencari
pengetahuannya sendiri. Kegiatan percobaan mengakomodir siswa yang memiliki modalitas
belajar kinestetik, Susilawati(2009:177) mengatakan bahwa “Belajar itu haruslah mengalami
dan melakukan”. Dalam melakukan kegiatan percobaan tidak terlepas dari pengamatan akan
proses dan hasil percobaan. Pengamatan tersebut menggunakan sensor visual. Dengan kata
lain siswa yang mempunyai modalitas belajar visual juga diakomodir. Pembelajaran akan
lebih baik jika siswa menemukan pengetahuannya sendiri melalui percobaan dibandingkan
siswa hanya mendengarkan pelajaran dari peneliti saja. Namun sangat disayangkan hanya
beberapa siswa saja yang berkontribusi dalam kegiatan tersebut, padahal dilihat dari data
observasi sebelunya menyatakan bahwa siswa yang menggunakan modalitas kinestetik lebih
banyak dari siswa yang mengunakan modalitas lainnya. Hal tersebut menggambarkan respon
siswa pada aspek keaktifan sangat kurang, yang mungkin disebabkan oleh kegiatan
pembelajaran yang sebelumnya hanya mengakomodir modalitas belajar siswa audio saja.
Pada tahapan mempresentasikan, siswa terlihat malu-malu melakukannya karena hal
ini baru dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran. Siswa tidak terbiasa berbicara sendiri
melaporkan hasil percobaan, sehingga siswa lainpun tidak responsif mendengarkan
presentasi temannya. Mereka malah mengobrol, ataupun membuat gaduh kelas. Padahal pada
tahapan ini siswa belajar menggunakan modalitas belajar auditori. Hal ini selaras dengan
pendapat Susilawati (2009:176) “untuk modalitas auditori hendaknya belajar melalui
kegiatan mendengarkan, menyimak, berbicara”.
Tindakan II dilaksanakan sesuai dengan rencana dengan strategi yang digunakan pada
tindakan ini adalah lebih melatih modalitas belajar audio siswa pada kegiatan diskusi, hal ini
bukan berarti modalitas lain tidak diakomodir serta hanya diperuntukkan kepada siswa yang
cenderung menggunakan modalitas audio saja melainkan kepada semua siswa karena semua
siswa mempunyai ketiga modalitas tersebut. Menurut Smith and Call “Children will not use
one sensory approach to the exclusion of all others and it is verging on the absurd to say
that a child is a visual, auditory or kinaesthetic learner” (Sharp et al, 2008:91). Ini berarti
siswa tidak bisa menggunakan satu sensorik saja dan mengesampingkan sensorik lainnya.
Siswa menggunakan tiga sensoriknya dalam belajar yaitu visual, auditory dan kinestetik
dalam mencari pengetahuan.
Namun di dalam pelaksanaan tindakan II ini peneliti menemukan banyak kekurangan
yang menyebabkan pada tindakan II ini siswa mengalami penurunan hasil belajar. Hal ini
di karenakan pada saat kegiatan presentasi, tanggapan dan melengkapi, siswa kurang
berkontribusi pada kegiatan ini. Padahal dalam kegiatan ini siswa diharapkan untuk
menerima informasi dari siswa yang melakukan presentasi serta tanggapan dari siswa lainnya
sehingga terwujudnya komunikasi dalam diskusi. Sehingga mereka dapat mengetahui hasil
percobaan yang dilakukan oleh kelompok lain. Darmojo dan Kaligis (1992:69) mengatakan
bahwa “komunikasi adalah penyampaian apa yang ada di dalam fikiran”. Siswa yang
mendengarkan dalam kegiatan diskusi bisa mengetahui hasil pemikiran siswa lain terhadap
percobaan yang dilakukannya.
Ketika siswa idak bisa menjawab pertanyaan yang mengharuskan untuk berfikir
abstrak maka peneliti memberikan rangsangan dengan menggunakan pertanyaan yang
mengarahkan siswa pada konsep yang dimaksud seperti ini. Diawali dengan pertanyaan
yang sebenarnya “Jika saklar 1 dimatikan , apakah lampu 2 akan menyala?” Kemudian pada
saat siswa ragu untuk menjawab diarahkan lagi dengan menganalogi dengan benda kongkret.
Tetapi secara keseluruhan pada tindakan tersebut siswa siswa tidak merespon dengan baik,
pertanyaan-pertanyaan rangsangan tersebut dijawab dengan asal-asalan. Mungkin pertanyaan
peneliti harus menggunakan benda konkret sebagai bantuan agar siswa dapat menjawabnya.
Seperti yang dikatakan oleh Darmodjo dan Kaligis (1992:19) yakni, “kemampuannya untuk
berfikir abstrak selalu harus dibarengi dengan pengalaman konkret”.
Pada tindakan III, rencana peneliti dalam pembelajaran dengan strategi yang lebih
mengakomodir siswa yang cenderung menggunakan modalitas Visual . Kegiatan tersebut
dilakukan dengan mengamati percobaan yang dilakukan. Pada tindakan III ini hasil belajar
siswa mengalami penurunan yang cukup signifikan, Hal ini disebabkan siswa belum terlatih
dalam menggunakan modalitas Visual yang dimilikinya. Pembelajaran sebelum penelitian
yang menggunakan sensor visual hanya dilakukan dengan kegiatan membaca saja yang
dirasa kurang memberikan pelatihan untuk sensor tersebut berkembang. Seperti yang
dikatakan Susilawati (2009:179) bahwa “visualization adalah bahwa belajar harus
menggunakan indra mata melalui mengamati,  menggambar, mendemonstrasikan, membaca,
menggunakan media dan alat peraga”. Pendapat Susilawati tersebut berarti jika siswa yang
belajar menggunakan modalitas belajar visual, maka siswa tersebut harus diakomodir melalui
beberapa kegiatan seperti mengamati, mendemonstrasikan sementara keterampilan
menggunakn sensor tidak bisa dikuasi siswa hanya dengan melatih modalitas visualnya
dengan membaca saja.
Dari ketiga tindakan yang telah dilaksanakan pada siklus I ini di dapatkan hasil sebagai
berikut. Pada tindakan I hasil sebesar 37,58 pada tindakan II sebesar 36,8 serta pada tindakan
III sebesar 35 terlihat pada gambar diagram 4.3. Apabila kita melihat hasil tersebut maka
terlihat penurunan hasil belajar siswa pada setiap tindakannya. Secara keseluruhan hal ini
disebabkan dengan perbedaan situasi pembelajaran sebelum penelitian serta tidak
kondusifnya kelas dalam pembelajaran. Kurniawan (2008:30) berpendapat bahwa:
prestasi siswa akan meningkat jika tercipta situasi dan kondisi yang tetap. Namun,
saat terjadi perubahan perlu adanya adaptasi untuk mengulangi peningkatan prestasi.
Selain itu yang terpenting dalam menciptakan keberhasilan belajar adalah
terbangunnya lingkungan yang kondusif.
Ini membuktikan pada siklus I perlu adanya perbaikan agar pada siklus selanjutnya tidak
terjadi kembali penurunan hasil belajar.

2. Siklus II
Pada tindakan I, rencana peneliti dalam pembelajaran ialah dengan meningkatkan
proses diskusi dan presentasi serta peanggapan yang lebih mengakomodir siswa yang
cenderung menggunakan modalitas auditori. Hal ini sejalan dengan apa yang di kemukakan
oleh Susilawati (2009:176) yang mengatakan “modalitas auditori hendaknya belajar melalui
kegiatan mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, mengemukakan pendapat,
gagasan, menanggapi dan bergumentasi”. Dengan kata lain kegiatan pembelajaran yang
mengakomodasi modalitas belajar auditori perlu meningkatkan kualitas diskusi siswa.
Kegiatan tersebut juga diharapkan agar dapat merespon siswa sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh tim pengembang FIP-UPI (2007: 175) bahwa “cara guru untuk
memfasilitasi respon siswa ialah dengan menghidupkan diskusi dalam kelompok”. Respon
siswa dalam aspek kecepatan reaksi mengalami peningkatan dari siklus I walaupun tidak
terlalu signifikan. Begitu pula untuk respon ketepatan jawaban siswa juga dirasa masih
kurang hal ini terlihat dari jawaban siswa dalam diskusi yang tidak memberikan penjelasan
dalam pertanyaan.
Respon pada aspek ketepatan jawaban berpengaruh pada siswa yang menggunakan
sensor audio sebagai modalitas belajarnya. Karena proses tanya jawab pada diskusi masih
banyak yang berpendapat asal-asalan tanpa memberikan penjelasan. Lalu peneliti
memberikan pertanyaan yang membantu siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan
meminta siswa. Dari pertanyaan tersebut siswa mulai memahaminya. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan Sagala (2011:2006) yakni “pertanyaan berbentuk isyarat menolong
peserta didik agar jawaban sampai kepada yang diharapkan”. Tetapi sayangnnya hanya
beberapa siswa saja yang bisa memahami dengan baik
Pada percobaan membuat Rangkaian listrik parallel siswa diminta untuk terlebih
dahulu menyimak video pejelasan namun siswa masih saja menginginkan penjelasan dari
peneliti. Kegiatan mendengar penjelasan tersebut merupakan salah satu kegiatan yang
menggunakan sensor audio dan visual. Namun dalam mendengarkan penjelasan dari peneliti,
siswa merasa terganggu. Terlebih dengan situasi sekolah yang ribut sehingga pembelajaran
kurang kondusif. Dalam percobaannya siswa mengalami kekeliruan dengan merangkai
rangkaian listrik seri. Sejalan dengan apa yang dikatakan DePorter (2002:116) bahwa
“modalitas auditori memiliki ciri perhatian mudah terpecah”.
Tindakan II telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Peneliti membahas mengenai
penggunaaan rangkaian listrik. Strategi yang digunakan dengan metoda percobaan dengan
menggunakan media rangkaian listrik sederhana dan rangkaian listrik kelas. Percobaan
dilakukan untuk mengakomodir modalitas belajar visual dan kinestetik. Serta metoda diskusi
yang mengakomodir modalitas belajar auditori. Selaras dengan pendapat Asmadi (2007:84)
yang mengatakan bahwa“cara terbaik apabila mengatur strategi belajar adalah dengan
melibatkan ketiga-tiga modalitas pembelajaran visual, auditori dan kinestetik”.
Media yang digunakan dalam kegiatan percobaan adalah rangkaian listrik. rangkaian
listrik merupakan benda konkret dan benda yang sudah dikenal oleh siswa. Penggunaan
benda tersebut dimaksudkan agar siswa dapat belajar sesuai dengan tahapan perkembangan
intelektualnya, yaitu operasional konkret. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmojo dan
Kaligis(1992:20) yang mengatakan bahwa “anak operasional konkret masih sangat
membutuhkan benda-benda konkret untuk menolong pengembangan kemampuan
inteleknya”. Sementara itu Ausuble (Darmojo dan Kaligis,1992:72) menyarankan agar
‘pembelajaran siswa hendaknya dimulai dari apa yang telah mereka ketahui terlebih dahulu’.
Pada tindakan III peneliti membahas cermin datar. Peneliti mencoba meningkatkan
respon siswa melalui pembelajaran yang lebih mengakomodir modalitas belajar audio pada
kegiatan diskusi. Siswa yang menggunakan sensor audio hendaknya belajar melalui kegiatan
mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, mengemukakan pendapat, gagasan,
menanggapi dan bergumentasi (Susilawati: 2009:176).
Bukan berarti siswa yang menggunakan modalitas auditori tidak belajar pada saat
percobaan dan sebaliknya siswa yaang memiliki modalitas belajar kinestetik tidak belajar
pada saat diskusi kelas. Anak tidak bisa menggunakan satu pendekatan sensor tanpa
mengesampingkan sensor lainnya (Smith dan Call dalam Sharp et al, 2008:91). Ini berarti
siswa tidak bisa menggunakan satu sistem sensorik saja dan mengesampingkan sistem
sensorik lainnya. Siswa menggunakan tiga sistem sensoriknya dalam belajar yaitu visual,
auditori dan kinestetik dalam mencari pengetahuan. Walau pada prosesnya ada satu atau dua
sistem yang lebih dominan.
Upaya yang dilakukan adalah menghidupkan proses diskusi dalam kelompok melalui
pemberian stimulus pujian-pujian serta penghargaan seperti tepuk tangan agar siswa
memberikan respon yang positif dengan ikut aktif dalam diskusi dan siswa yang sebelumnya
selalu aktif, maka diharapkan akan terus aktif dalam diskusi. Hal ini sejalan dengan apa yang
di katakan oleh Ismail (2008:86) yakni “ sebuah pujian bukan hanya berfungsi sebagai
stimulus melainkan juga sebagai penguat yang meningkatkan respon tertentu”. Pujian
tersebut akan menjadi perangsang siswa agar merespon pembelajaran seperti menjadi lebih
aktif dalam pembelajaran serta memberikan reaksi yang baik.
Hasil belajar pada siklus II ini mengalami kenaikan dari siklus I. Terlebih pada
tindakan III kenaikan yang dialami menlampaui pencapaian KKM yang ditentukan, yaitu
65,00.

3. Siklus III
Berdasarkan deskripsi dan analisis yang di paparkan pada siklus III tindakan I peneliti
tidak banyak menemukan hambatan-hambatan yang berarti hal ini dikarenakan peneliti
sudah mempersiapkan strategi VAK dengan mengakomodir semua modalitas siswa, strategi
lainnya yaitu dengan memberikan stimulus berupa kegiatan yang mungkin baru mereka
alami dan kegiatan tersebut diprediksi dapat membuat senang siswa agar di dalam
pembelajaran siswa tidak lagi mengalami kesulitan dalam menerima materi ajar. Sudjana
(2011:30) mengatakan “Respon atau jawaban yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang
terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan,
kepuasan dalam menjawab stimulasi dari luar yang datang kepada dirinya”.
Di sini stimulus tersebut berupa kegiatan percobaan yang menunjukan fenomena IPA,
yaitu membuat pelangi dari air yang disemprotkan ke cahaya matahari dan ini membuat
respon siswa pada aspek keaktifan meningkat. Sejalan dengan pendapat Susana (2000:78)
yang mengatakan bahwa “ketika siswa aktif terlibat, pelajaran bisa menjadi menyenangkan”.
Pada siklus III tindakan I hasil belajar siswa meningkat baik itu dari proses belajarnya
maupun hasil belajarnya selain itu pula pemberian situasi pembelajaran yang menyenangkan
kepada siswa menjadi salah satu faktor dari peningkatan hasil belajar pada siklus III dan
hasilnya yaitu hasil belajar siswa pada siklus III tindakan I sebesar 68,52.
Pada tindakan II dilaksanakan sesuai rencana dengan materi ajar alat-alat optik dan lup
seperti halnya tindakan I pada tindakan II peneliti tidak menemukan kendala yang cukup
berarti. Peneliti mempersiapkan strategi dengan memberikan stimulus pada saat diskusi
melalui penghargaan kepada siswa yang aktif dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Tim pengembang FIP-UPI (2007:82) yang menyatakan “pendidik memberikan
stimulus agar peserta didiknya itu memberikan respon-respon dalam pembelajarannya”.
Pemberian stimulus positif secara terus-menerus menghasilkan hasil belajar siswa menjadi
meningkat dengan hasil 69,44.
Tindakan III dilaksanakan sesuai dengan rencana dengan strategi yang lebih
mengakomodasi modalitas kinestetik siswa, materi atau konsep yang diajarkan pada tindakan
III tentang periskop. Dalam pelaksanaannya peneliti meminta siswa untuk membuat sebuah
periskop sederhana,yang digunakan untuk menjelaskan konsep optik yang ada pada periskop.
Tim ahli dari pendidikan IPA dari UNESCO (Darmojo dan Kaligis: 1992:73) menyatakan :
Espesicially for young children, the use of familliar items for learning is
pedagogically better than the use of sophisticatet, unfamiliar items. In other words, the
tendency is not only to be looking for lower cost, it is towards looking for more effective
learning.

Dengan kata lain bukan karena harganya murah yang menjadi pertimbangan utama,
melainkan alat sederhana tersebut telah dikenal siswa dan secara pedagogik siswa dapat
belajar dengan efektif. Dan setelah pemberian pembelajaran yang menyenangkan secara
terus menerus akhirnya didapatkan hasil pada tindakan III sebesar 70,33
Pada siklus III di dapatkan hasil behalajar yang cukup memuaskan disetiap
tindakannya yang dimana di setiap tindakan pada siklus III rata-rata kelas lebih dari KKM
hal ini dikarenakan siswa sudah dapat merespon pembelajaran dengan positif, selain itu
modalitas belajar siswa dimanfaatkan oleh siswa dengan baik dalam fasilitas yang diberikan
oleh peneliti. Pada siklus III stimulus-stimulus positif selalu diberikan oleh peneliti dalam
menciptakan respon yang positif yang diberikan oleh peneliti. Ini dapat dilihat dari gambar
diagram 4.7
Apabila kita bandingkan pada setiap siklus didapatkan hasil seperti gambar
diagram 4.7:
100
90
80
69.43
70
60
50.10
50
40 36.46
30
20
10
0
Siklus I Siklus II Siklus III

Gambar 4.7
Diagram Hasil Belajar Siklus I, II, dan III

Rata-rata pada siklus I sebesar 36,48 pada siklus II mengalami kenaikan menjadi
50,10 dan pada siklus III mengalami kenaikan menjadi 69,43. Sementara itu respon yang
ditunjukan pada pembelajaran dilihat dalam penelitian ini dengan observasi, aspek respon
dalam yang diamati adalah kecepatan reaksi, ketepatan jawaban dan keaktifan. Dengan hasil
sebagai berikut:
100

90
79.01
80
70.98 71.40
64.71
70 63.92
62.73
60 49.64 55.91
50.57 Kecepatan reaksi
50
Ketepatan Jawaban
40 Keaktifan

30

20

10

0
Tindakan I Tindakan II Tindakan III

Gambar 4.8
Diagram Respon Siklus I, II, dan III
Data tersebut disesuai kan dengan hasil dari penilaian skala sikap yang diukur pada
saat akhir penelitian yaitu pada siklus III tindakan III menunjukkan respon yang positif dari
siswa terhadap keseluruhan pembelajaran IPA pada konsep cahaya.
Tabel 4.13
Penilaian Skala Respon
NO Nilai Jumlah siswa (n) Keterangan
1 10 – 18 0 Respon negatif
2 19 – 24 2 Netral
3 25 – 30 24 Respon positif
Jumlah 26

Dari hasil pembahasan secara keseluruhan membuktikan bahwa dengan menggunakan


strategi pembelajaran VAK hasil belajar dan respon siswa menjadi meningkat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa penulis dapat menyelesaikan artikel
berjudul “Peningkatkan Hasil Belajar Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) di Sekolah Dasar” . Penulis berterimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. Husain Syam, M.TP.IPU.ASEAN Eng. Selaku rector Universitas Negeri
Makassar
2. Hamzah Pagarra, S.Kom.,M.Pd. selaku dosen pembimbing PPG Universitas Negeri Makassar
yang telah memberikan arahan dan bimbingannya.
3. Zusanti,S.Pd. selaku guru pamong PPG Universitas Negeri Makassar yang telah meberikan
arahan dan bimbingannya.
4. Kepala SD Plus Bakti Nusantara 666 selaku kepala sekolah, atas bimbingan dan dukungannya.
5. Bapak/ ibu Guru SD Plus Bakti Nusantara 666 atas dukungan dan bantuannya.
6. Keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa.
7. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah membanu dan
menjadi sumber informasi selama pengerjaan artikel ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, deskripsi, analisis, dan pembahasan pada pembelajaran
konsep cahaya dengan strategi pembelajaran VAK yang dilaksanakan di kelas VI SD Plus Bakti
Nusantara 666 Kab Bandung dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Hasil belajar siswa dengan menerapan Strategi VAK dalam pembelajaran IPA pada
konsep cahaya mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Hal ini dapat dilihat dari
hasil belajar rata-rata tiap siklus yang mengalami peningkatan. Siklus I nilai rata-rata
kelas yang diperoleh adalah 36,48. Siklus II mengalami peningkatan nilai rata-rata kelas
yang diperoleh adalah 50,1. Pada siklus III juga mengalami peningkatan yaitu 69,43
untuk nilai rata-rata kelas.
2) Respon siswa terhadap pembelajaran menunjukkan respon positif hal ini terlihat dari
data yang diperoleh melalui skala sikap, dengan menunjukan bahwa dari 26 responden
siswa, 24 siswa merespon positif terhadap pembelajaran dan 2 siswa merespon netral.
Hal ini diperkuat lagi dengan hasil observasi respon siswa pada pembelajaran yang
mengamati aspek kecepatan reaksi, ketepatan jawaban dan interaksi siswa, menunjukan
bahwa pada aspek kecepatan reaksi pada siklus I 49,64 ; siklus II 62,73 dan siklus III
70,98. Pada ketepatan jawaban Siklus I 50,57; siklus II 64,71 dan siklus III 71,4.
Sementara itu pada aspek keaktifan pada siklus I 55,91; siklus II 63,92 dan siklus III
79,01. Setiap aspek tersebut mengalami peningkatan pada setiap siklusnya.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam rangka memperbaiki pembelajaran, serta
meningkatkan berbagai aspek pembelajaran, baik dalam proses maupun hasil belajar. Peneliti
berharap semoga hasil penelitian yang dilakukan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik
yang berkecimpung dalam dunia pendidikan ataupun nonpendidikan. Adapun saran yang dapat
peneliti sampaikan adalah:
1) Agar penggunaan strategi pembelajaran VAK dapat meningkatkan hasil belajar siswa,
guru perlu mengetahui modalitas belajar siswa terlebih dahulu kemudian
memepersiapkan pembelajaran yang mengakomodir seluruh modalitas belajar yang
dimiliki siswa.
2) Membuat suasana kelas menjadi kondusif sehingga proses pembelajaran yang
diinginkan oleh peneliti dapat tercapai.
3) Pemberian stimulus didalam setiap pembelajaran dapat merangsang respon siswa dalam
kegiatan pembelajaran yang akan berdampak kepada hasil belajar siswa meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. (2011). Penelitian Pendidikan Dalam Gamitan Pendidikan Dasar dan PAUD.
Bandung: Rizqi Press.

BNSP. (2006). Standar Isi dan Standar Kompetensi. Jakarta: DEPDIKNAS

Darmodjo, Hendro dan Kaligis,R.E.J. (1992).Pendidikan IPA II. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

De Porter, Bobbi. (2002). Quantum Learning. Bandung: Kaifa.

Iskandar, Srini. (1997).Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Ismail, Andar. (2008). Selamat Menabur. Jakarta :Gunung Mulia.

Sharp et al. (2008). “The Trouble Of VAK”. e-journal of the British Education Studies
Association. 1, (1), 89-97.

Ma’arif, Syamsul. (2011).Guru Profesional Harapan dan Kenyataan.Semarang: Walisongo


Press.

Penger.S., And Tekavic.M.(2009). “Testing Dunn& Dunn’s and Honey & Mumford’s Learning
Style Theories”. Journal of management education 14, (2), 1-20.

Sagala, Syaiful. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosda.

Susana, Tjipto. (2000). Pr Dan Pembelajaran Sulit Menjadi Menyenangkan. Yogyakarta:


Kaninus.

Susilawati, W. (2009).Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: UIN Sunan Gunung


Jati.

Anda mungkin juga menyukai