Anda di halaman 1dari 5

Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia

Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam – Jurusan Kajian Islam


Abid Fathurrahman Arif - 2006622552
Mata Kuliah : Agama dan Ideologi Timur Tengah
Dosen Pengampu : Drs. Nur Munir, MTS., MIS.

RESUME ARTICLE :
THE IMPACT OF THE ARAB-ISRAEL CONFLICT IN THE MIDDLE EAST

Nur Munir

Konflik Arab dan Israel yang berlangsung selama 70 tahun memberikan dampak
sosial-politik negara-negara Timur Tengah yang telah terbagi-bagi wilayahnya semenjak era
imperialisme-kolonialisme negara-negara Eropa abad ke-19. Negara Arab yang
bersinggungan langsung dengan Israel adalah Palestina, Lebanon, dan Mesir berada di
kawasan Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) dan Afrika Utara. Palestina sebagai negara
yang diperebutkan wilayahnya oleh kaum Yahudi Zionis Eropa dikarenakan pandangan
ideologis terkait tanah suci dan hak kepemilikan tanah tersebut. Lebanon dan Mesir sebagai
negara yang menjadi munculnya gerakan islam revivalis seperti Al-Ikhwan Al-Muslimun dan
Hizbullah yang terinspirasi dari perjuangan masyarakat Palestina dalam mempertahankan
tanah airnya karena Islam dan hak bangsa Arab.
Konstelasi politik di Eropa mempengaruhi gerakan Zionis modern yang berpengaruh
pada konflik negara-negara Eropa dan Perang Dunia. Koalisi Jerman dan Rusia yang
mengalahkan Prancis pada tahun 1871 mengakibatkan langkah politik Prancis untuk
mengadakan kesepakatan dengan Rusia terkait konflik terhadap Jerman dengan kerjasama
militer dan infrastruktur yang mendukung. Sementara itu, Jerman dan Austria bekerjasama
secara ekonomi dalam pembangunan jalur rel kereta api yang didanai keluarga Rotschild,
miliarder Yahudi Inggris. Inggris sebagai negara yang tidak beraliansi dan melindungi
kerajaan Ottoman yang sudah melemah mengkhawatirkan adanya perang yang terjadi di
kawasan Mediterania. Konstelasi ini memuncak pada Perang Dunia I tahun 1914 yang
mempengaruhi eksitensi ras minoritas di Eropa, salah satunya Yahudi. Orang-orang Yahudi
mengalami nasib yang buruk dan memprihatinkan ketika kekuasaan Tsar Rusia, dan
diperparah ketika Adolf Hitler (Ketua Partai Sosial Nasionalis Jerman NAZI) menmbuat
ultimatum terkait pemusnahan Yahudi disebabkan kepemilikan modal dan pengaruh politik
mereka terhadap Perang Dunia. Puncaknya pada saat Perang Dunia II tahun 1939, rencana
NAZI untuk melikuidasi komunitas Yahudi di Eropa terjalankan dengan pembantaian
bersejarah yang memakan korban 6 juta orang Yahudi (Holocaust). Tindakan ini juga
Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam – Jurusan Kajian Islam
Abid Fathurrahman Arif - 2006622552
Mata Kuliah : Agama dan Ideologi Timur Tengah
Dosen Pengampu : Drs. Nur Munir, MTS., MIS.

dilakukan oleh Ukraina di Kiev dan Rumania yang bereaksi terhadap penghancuran markas
militer, sehingga menggantung dan membakar orang-orang Yahudi yang dianggap
bertanggungjawab terhadap perbuatan tersebut di Odessa. Pembantaian terhadap orang-orang
Yahudi dianggap sebagai kemenangan bagi Jerman dan sekutunya di Uni Soviet.
Keadaan yang memprihatinkan bagi orang-orang Yahudi menimbulkan suatu gagsan
pemikiran untuk membebaskan dari tirani dan kezaliman orang-orang Eropa yang
menggaungkan slogan anti-semitisme di wilayahnya. Kaum Yahudi tersebar di daerah Timur
dan Barat dunia yang telah berasimilasi dengan masyarakat setempat, sehingga secara
genealogi tidak orisinil dari Nabi Ibrahim dan keturunannya. Secara ideologis, mereka
disatukan dengan konsep “Tanah Suci” (Holy Land) dan “Lidah Suci” (Holy Tongue) karena
predikat Tuhan (Yahwe) yang mereka yakini. Kesatuan identitas nasional (national identity)
muncul pada era nasionalisme yang mengilhami kaum Yahudi untuk mengembalikan
kejayaannya atas dasar ideologi agama terhadap bangsa-bangsa di dunia. Setiap orang merasa
menjadi bagian dari identitas tertentu tidak peduli di daerah mana seseorang tinggal dengan
alasan latar belakang umum tertentu seperti bahasa, budaya, ras, dan lain-lain.
Atas dasar itulah, orang-orang Yahudi di Rusia tahun 1882 bergagasan untuk
mendirikan negara nasional Yahudi sebagai tempat perlindungan dan kekuasaan yang dapat
mempertahankan gerakan anti-semitisme. Pada awalnya mereka percaya bahwa anti-
Semitisme dapat dihilangkan baik dengan asimilasi lengkap atau dengan pengakuan orang-
orang Yahudi sebagai bangsa dengan hak mereka sendiri. Kemudian mereka menyadari
bahwa yang pertama tidak mungkin dan mengkampanyekan yang kemudian, deklarasi
kebangsaan Yahudi. Mereka kemudian menjadi semangat terkemuka masyarakat Hovevei
Zion (Pencinta Sion) di seluruh Eropa Timur, dan yakin bahwa rumah Yahudi seharusnya
berada di Eretz Israel. Diantara tokoh-tokoh yang berpengaruh adalah : Rabi Samuel
Mohilever, Perez Smolenskin (1842-1885) novelis Ibrani, humas dan editor, seorang advokat
bersemangat nasionalisme Yahudi dan gerakan Hibbat Zion, Abraham Menahem Mende
Ussishkin (1863- 1941) salah satu pendiri Hovevei Zion cabang Moskow, Naftali Tsevi
Yehudah Berlin (1817-1893), pemimpin rabbi Lituania dan kepala Volozhin Yeshiva.
Gagasan tersebut menghasilkan gerakan Zionisme, yang didasari ideologi Yahudi
modern untuk diaspora kembali ke tanah Tzion dengan cara gerakan sekuler, bukan melalui
juru selamat (Al-Masih/Mesias) seperti yang diyakini secara tradisional bahwa suatu hari di
Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam – Jurusan Kajian Islam
Abid Fathurrahman Arif - 2006622552
Mata Kuliah : Agama dan Ideologi Timur Tengah
Dosen Pengampu : Drs. Nur Munir, MTS., MIS.

masa depan seorang Mesias akan turun untuk membawa kembali Orang-orang Yahudi ke
tanah Israel menderita dalam keputusasaan. Tokoh yang memperkuat gerakan Zionisme
adalah Theodor Hertzl, jurnalis Yahudi yang mempelopori Kongres Zionis pertama di Austria
dan menjadi jembatan bagi pendirian Negara Israel Modern. Pada tahun 1895, Hertzl menulis
buku berjudul “Der Judenstaat“ (Negara Yahudi) sebagai pedoman pergerakan politik Zionis
yang didasari konsep ideologi tradisional Yahudi dan pemikiran sosialisme. Hasil karyanya
itu ia diskusikan dengan Max Nordau pemikir politk Perancis dan mendapat dukungan dana
dari Baron Emon de Rotschild di Paris untuk menyelenggarakan Kongres di Basel, Austria.
Pada perkembangannya, Hertzl meluaskan dukungannya dari tokoh-tokoh dunia agar
gerakan ini dapat mewujudkan negara Yahudi di tanah Palestina. Tetapi, Sultan Abdul Hamid
II sebagai khalifah Ottoman yang berpegang teguh dengan hak Islam di tanah tersebut tidak
mengizinkan gerakan tersebut menginjakkan kakinya disana. Akibatnya, pertentangan anatra
Hertzl dengan Sultan Abdul Hamid menghambat gerakan Zionis dalam pendirian negara. Di
lain sisi, organisasi Zionis mendapat pertentangan antara Yahudi Zionis dan Syariat Yahudi
(Halakha) terkait status tanah yang akan ditempati antara Uganda atau Israel. Halakha
menerangkan bahwa Yahudi tidak berhak menempati Tzion/Sion sebelum adanya messias
yang akan menyelematkan mereka dari kehancuran, sementara Yahudi Sosialis menginginkan
entitas kelompok dan mereka merasa tidak nyaman dengan tanah Israel yang diasosiasikan
dengan Halakha dan membantu untuk membebaskan dari dualisme ambiguitas antara sosialis
dan Zionis. Hal ini ditentang oleh aktivis Zionis lainnya, Chaim Weizmann yang menyatakan
keanehan atas gagasan negara Uganda tersebut. Akhirnya, Zionisme sebagai solusi umat
Yahudi yang berada di pengasingan untuk menebus diri (geulah) ke Sion dalam menjalankan
Halaka dan membentuk identitas nasional yang mandiri.
Gerakan Zionis semakin berkembang pasca wafatnya Theodor Hertzl dan Perang
Dunia ke-I, ketika etnisitas Yahudi menjadi permasalahan pelik di Eropa akibat Nazisme dan
anti-semitisme mengilhami kemenangan mereka di Deklarasi Balfour tahun 1917 sebagai
asas konsitusi pendirian Negara Israel. Prosesi migrasi orang-orang Yahudi ke Palestina
Aliyah) dilakukan secara berkala sejak tahun 1904 hingga 1930 yang berjumlah 35.000-
400.000 orang dengan ragam latar belakang, aliran ideologi, dan tujuan kedatangannya.
Zionisme tidak peduli dengan konstelasi politik negara-negara Eropa, karena mereka hanya
bertujuan untuk menduduki Palestina sebagai solusi menghindari konflik tersebut. Pada tahun
Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam – Jurusan Kajian Islam
Abid Fathurrahman Arif - 2006622552
Mata Kuliah : Agama dan Ideologi Timur Tengah
Dosen Pengampu : Drs. Nur Munir, MTS., MIS.

1948, Negara Israel berdiri di tanah Palestina yang justru menimbulkan konflik baru di
wilayah Timur Tengah yang melibatkan bangsa Arab yang satu rumpun semitik, Umat Islam
dan Yahudi Ortodoks yang memilih menetap di Eropa Barat dan sekitarannya. Zionis telah
merancang agenda-agenda mereka yang telah dibahas dalam setiap konferensinya untuk
menguasai Timur Tengah sebagai basis politik kawasan yang strategis dan dijanjikan.
Kedatangan imigran Yahudi ke Palestina membuat kekhawatiran psikologis penduduk
Arab lokal terhadap wilayah dan otonomi yang mereka miliki semenjak bertahun-tahun.
Bentrokan fisik dan perebutan pengaruh antara Arab dan Yahudi terjadi dengan klaim
kepemilikan terhadap tanah nasional tersebut. Hal itu mengawali prakarsa solidaritas
psikologis antara bangsa-bangsa Arab dengan keseragaman bahasa dan budaya, selain itu
dalam beberapa hal, mereka memiliki nasib yang sama menghadapi kolonialisme barat, serta
nilai-nilai agama yang dianut di negara-negara tersebut. Era penyatuan yang saling mengikat
antar bangsa Arab ini dinamakan era Pan Arabisme, yang kemudian meluas hingga meluas ke
Pan Islamisme yang didasari ideologi agama yang lebih sensitif.
Pan Arabisme sebuah tren ideologis supra-nasional yang muncul setelah Perang
Dunia I pasca jatuhnya Kerajaan Ottoman pada tahun 1919 hingga runtuh total pada tahun
1922 menandai awal dari kesadaran bersatu di antara negara-negara Arab, tujuan utamanya
adalah persatuan komprehensif semua orang berbahasa Arab. Nasionalisme Arab, doktrin
dari mana Pan-Arabisme tumbuh, memperoleh dasar pemikirannya dari bahasa dan
peradaban yang sama. Ini mewujudkan sejarah konfrontasi bersama, dan perlawanan
terhadap, dominasi asing, yang dilambangkan dengan penetrasi budaya dan politik Barat
dengan Israel yang dianggap sebagai ujung tombaknya dan kesadaran emosional-ideologis
yang kuat dari identitas kolektif Arab-Islam.
Pan-Arabisme pada dasarnya adalah suasana hati, ditandai dengan protes pahit
terhadap musuh abstrak atau nyata untuk kemajuan dan masa depan yang lebih baik dan
pencarian untuk transformasi revolusioner, dengan asumsi perasaan umum persatuan di
antara massa Arab dan aspirasi untuk menekankan dan mengembangkan komponen
kesamaan Arab dan menerjemahkannya ke dalam kekuasaan dan prestise. Tujuannya adalah
untuk melembagakan dan mengembangkan kerjasama sedekat mungkin antara semua negara
Arab. Keseragaman bahasa dan budaya telah menjadi peran Pan Arabisme yang menantang
fenomena berdirinya Negara Israel, bangsa non-Arab di tengah negara-negara Arab yang
Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam – Jurusan Kajian Islam
Abid Fathurrahman Arif - 2006622552
Mata Kuliah : Agama dan Ideologi Timur Tengah
Dosen Pengampu : Drs. Nur Munir, MTS., MIS.

luas. Pan Arabisme kemudian memperluas solidaritas ke seluruh dunia Muslim di bawah
tingkat akar rumput dan hubungan diplomatik di antara negara-negara Muslim.
Pada perkembangannya, Pan Arabisme tidak memberikan dampak yang berpengaruh
kepada masyarakat Arab yang terlibat konflik dengan Israel dan Barat. Asas nasionalisme
Arab berbenturan dengan sikap kebanggaan antar suku (syu’ubiyah) dan lemahnya persatuan
mereka disebabkan kolonialisme dan hegemoni Barat yang tidak tertandingi. Selain itu,
terusirnya masyarakat Palestina dari tanah airnya menjadikan haluan ideologi Islam menjadi
alasan utama untuk berkonflik dengan dengan mereka dalam gerakan Pan Islamisme. Hal ini
didasari Qur’an (49 :10) yang menerangkan persaudaraan kaum muslimin harus didahulukan
dariapda entitas kebangsaan dan latar belakang, sehingga dapat menghadapi musuh bersama.
Pan Islamisme mengilhami berbagai pergerakan radikalis revivalis Islam yang
berjuang untuk melawan kezaliman dan hegemoni Barat yang telah meruntuhkan kejayaan
umat Islam dan mengganggu kedamaian di kawasan Timur Tengah. Yerusalem menjadi
sebab konflik antar tiga agama samawi (Islam, Yahudi dan Kristen) sepanjang zaman karena
masing-masing mengklaim terkait kepemilikannya sebagai Tanah Suci yang bernilai historis
dengan konsep teologinya masing-masing. Sebab konflik berkepanjangan antara Yahudi
Zionis dengan Arab Muslim hingga saat ini adalah upaya internasionalisasi kepemilikan
Yerusalem dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1949 dan disahkan
Parlemen Israel (Knesset), sehingga Kementerian Luar Negeri Israel berpindah ke Yerusalem
dengan berdaulatnya negara tersebut berdasarkan keputusan internasional. Hal inilah yang
menimbulkan gerakan radikalis Islam yang menentang kekuasaan Yahudi di Yerusalem.
Diantara gerakan-gerakan tersebut adalah : Hizbut Tahrir pimpinan Taqiyyuddin An-Nabhani
, Daulah Islamiyah Iraq was Syam (Da’isy/ISIS) pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi, Jama’ah
Al-Qa’idah pimpinan Osama bin Laden yang bertujuan mewujudkan kejayaan Islam.
Negara-negara Muslim lainnya di seluruh Timur Tengah dan Asia kemudian tetap
tidak mengakui Negara Israel. Maroko, Tunisia dan Kesultanan Oman menutup kantor Israel
di negara-negara ini pada Oktober 2000 dan menangguhkan hubungan dengan Israel. Hanya
yang terbaru, gerakan politik Timur Tengah saat ini adalah dua negara Muslim : Uni Emirat
Arab (UEA) dan Bahrain menjalin hubungan yang lebih baik dengan Negara Israel dengan
hubungan diplomatik pada Agustus 2020 yang menarik perhatian global terutama di kalangan
negara-negara anggota Organisasi Islam Kerjasama (OKI).

Anda mungkin juga menyukai