PENDAHULUAN
1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2
Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri
colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.6
Colon transversum memiliki panjang sekitar 38 cm, berjalan
dari flexura coli dextra sampai flexura coli sinistra. Bagian kanan
mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di sebelah
dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Arterialisasi didapat dari
cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi colon transversum
didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica
superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon
transversum mendapat arterialisasi dari arteri colica sinistra yang
berasal dari arteri mesenterica inferior .5
Gambar 1.
Arteri Mesenterica
Superior5
Colon
descendens
panjangnya
sekitar 25 cm,
dimulai dari
flexura coli sinistra sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai
colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya dinding
ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus
quadratus lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra.
Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra dan
cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri
mesenterika inferior.5
2.1.2 Epidemiologi
Di dunia, kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada
tingkat insiden dan mortalitas.1,5 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari
3
1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari
50%. 9,5 % pria penderita kanker terkena kanker kolorektal,
sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah
penderita kanker. Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa,
Amerika, Australia dan Selandia baru; sedangkan angka insiden
terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di
Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang
paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan
mortalitas.1,2
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000
penduduk. Namun, hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari
perawatan di Rumah Sakit. Dewasa ini kanker kolorektal telah
menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data
yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker
kolorektal merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering
terdapat pada pria maupun wanita.6
4
menurunkan resiko ini untuk individu dengan diet tinggi lemak. Studi
epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari negara bukan
industri lebih sedikit terkena resiko ini.7
Faktor risiko carcinoma colon antara lain:
Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker
kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses
yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa,
pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju
transformasi maligna dan invasif kanker . Aktifasi onkogen, inaktifasi
tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan
perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan
displasia dan invasif karsinoma.8
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi
pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor
Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen
menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian
sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,
karena berfungsi melakukan kontrol negatif pada pertumbuhan sel.
Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein
dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi
kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper
berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi
kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini
karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Idiopatic Inflammatory Bowel Disease
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk
kanker kolon, sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik
ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini
berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus
dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko
5
kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada
30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan
risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total
proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari
8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi
displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker.
Faktor Genetik
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari
normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari
seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan
dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan
diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada
keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil
dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh
kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari
karsinoma kolon dan adenoma yang besar.2 Dua sindrom yang utama
dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini menyebabkan
kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana
mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki
mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis
(FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).7
Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan
diet rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker
kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga
penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme
hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi
untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker
kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi
6
tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan
peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk
menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen
yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara
experimental.
Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun
mempunyai risiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang
kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20
tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita
adenoma yang berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan
hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn)
pria dan wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria
berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan
pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-
64 thn). Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai
dengan usia.7 Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :5
1. Berusia > 50 tahun
2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous
poliposis dan Peutz jagers sindrom)
3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal
2.1.4 Patofisiologi
7
Mutasi dapat menyebabkan aktivasi dari onkogen (k-ras) dan
atau inaktivasi dari gen supresi tumor ( APC, DCC deleted in
colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan
perkembangan dari polip adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi
ini.
8
2.1.5 Manifestasi Klinis
Kolon secara klinis dibagi menjadi bagian kiri dan kanan
sesuai dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior
memperdarahi belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan
duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika
inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal
rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan
tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding
distensi serta isi fecal ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma
kolon kanan dapat tumbuh besar sebelum terdiagnosa. Pasien sering
mengeluh lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak
tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien
dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah
makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan
kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan
berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan
dan konsistensi feses ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat
secara gradual mengoklusi lumen yang menyebabkan gangguan pola
defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB.
Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat
diliputi atau tercampur dengan darah merah atau hitam. Serta sering
keluar mukus bersamaan dengan gumpalan darah atau feses.
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah
hematokezia. Perdarahan seringkali terjadi persisten. Darah dapat
tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien dengan perdarahan
rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker
tetap harus dipikirkan.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau
perforasi, sehingga jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala
9
obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker.
Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon,
tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan
penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.
Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa
flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika
obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia
dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer,
dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi
juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke
hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat
disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang
muncul dari kanker kolon.
10
- Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten
- Teraba massa abdominal Kolon kiri :
- Gangguan pola buang air besar
- Darah makro pada feses
- Gejala obstruksi Rektum :
- Pendarahan per rektal
- Gangguan pola buang air
- Adanya sensasi tidak lampias
- Teraba tumor intrarectal5
11
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal,
mengidentifikasi emtastase dan mendeteksi sistem organ lain yang
turut berperan dalam pengobatan. Area supraclavicula harus
dipalpasi untuk memeriksa adanya kelenjar yang mengalami
metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi yaitu melihat
adanya bekas operasi, penonjolan massa, kontur usus yang mungkin
dapat terlihat ( darm kontur, darm steifung). Palpasi dilakukan untuk
meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau nyeri tekan
pada abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter,
mobilitas atau melekat pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau
tidak. Perkusi normal pada abdomen ialah timpani. Bila terdapat
masssa maka perubahan suara menjadi redup. Pada auskultasi
didengarkan bising usus. Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan
massa yang rata, keras, oval atau melingkar dengan depresi pada
sentral. Bila meluas, harus ditentukan ukuran dan derajat perlekatan
jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan darah pada
sarung tangan.5,7
12
berbagai cairan tubuh, urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak
spesifik berhubungan dengan kanker kolorektal. Kadar CEA tinggi
pada 70% pasien dengan kanker usus besar. CEA tidak dapat
digunakan sebagai prosedur screening tetapi akurat sebagai diagnosis
CEA residif.5
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu
mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifitas 85%. Terdapat
gambaran pasase kontras, jenis bagian rektosigmoid sering sulit untuk
divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior.
Oleh karena itu, pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan.
Bilamana ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan
kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaan lumen barium
teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi
namun pemeriksaan ini sering tidak bisa mendeteksi lesi berukuran
kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon di
balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.
Persiapan dan pemeriksaan
barium enema Persiapan:
• Penderita diberi makan bubur kecap 1 hari sebelumnya
• 10 -12 jam sebelum pemeriksaan penderita diberi Laxans
• Segera setelah akan diperiksa diberi Laxans
• Kontras yang dipakai yaitu Barium sulfat.
• Bubur barium 1:4, 1:5, 1:6.
Gambaran normal:
• Pasase lancar (gambaran haustre)
• Refluks kontras ke dalam ileum
• Post evakuasi: feather like appereance
13
Gambar 4. Barium enema normal
Gambar 5. Gambaran
radiologis karsinoma kolon:
• Gangguan pasase kontras
• Jenis ekstraluminar: pendorongan lumen
• Jenis intraluminar: mukosa kasar + filling defect
Karsinoma kolon kiri : filling defek, biasanya 2-6 cm dengan
konfigurasi apple core. Karsinoma kolon kanan : konstriksi atau
massa intrluminal5
Gambaran radiologis polip:
• Khas pada post evakuasi terdapat gambaran radiolusen yang
berbentuk multipel
14
Gambar 2.14. gambaran polip pada barium enema Gambar 2.15.
peduncaled polyp Gambaran radiologis karsinoma rectum
Pendorongan : kelainan bentuk dan anatomis
Filling defect : mukosa tidak rata
2.1.8 Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi
atau foto kolon dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya di
lakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian diagnosis
ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan
tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan
ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk
metastasis.
15
diawali dengan irigasi usus dengan normal solusio saline atau povidon
idodin yang diharapkan sel tumor dalam lumen dapat tercuci atau
dihancurkan.
Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat
keluarga yang kuat terhadap CRC mengindikasikan seluruh kolon
beresiko terhadap karsinoma ( field defect) dan harus dilkukan
subtotal atau total kolektomi. Kanker synchronous ialah adanya lebih
dari 2 kanker secara bersamaan. Metachronous tumor ( reseksi baru
pada pasien yang telah direseksi sebelumnya) juga diterapi serupa.
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat
dilakukan laparotomi, maka tumor primer harus direseksi bila dapat
dilakukan dan aman. Selanjutkan dilakukan anaastomosis. Pada tumor
yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan
membutuhkan proksimal stoma atau bypass.
Stage 0 ( Tis, N0,M0)
Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade
dysplasia tidak memiliki resiko metastasis nodus limfatikus. Akan
tetapi, high grade dysplasia meningkatkan resiko karsinoma invasif.
Karena alasan ini, maka polip dieksisi lengkap dan batasnya harus
bebas dari displasia.polip bertangkai harus dilepaskan secara komplit
secara endoskopi. Pada pasien iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur
yang memastikan bahwa polip tidak rekuren dan tidak terbentuk
karsinoma invasif. Apabila polip tidak dapat diangkat se`luruhnya,
maka dilakukan reseksi segmental.
Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)
Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi
dan metastasis ke kelenjar getah bening. Metastase ke kelenjar getah
bening berdasarkan kedalaman invasi polip. Pada invasi
limfovaskular, histologi diferensiasi buruk dapat dilkakukan
segmental kolektomi.
16
Stages I and II: Localized Colon Carcinoma (T1-3, N0, M0)
Mayoritas pasien dengan stadium 1 dan 2 dapat disembuhkan
dengan operasi reseksi. Beberapa pasien dengan reseksi komplit
stadium 1 dapat berkembang rekurensi lokal atau jauh dan kemoterapi
tidak meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan
reseksi komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini,
kemoterapi ajuvan disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda
dan resiko tinggi).
Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)
Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan
resiko yang tinggi terhadap rekurensi. Oleh karena itu,
direkomendasikan ajuvan kemoterapi rutin pada pasien ini. Regimen
yang digunakan ialah 5- Flourouracil dengan levamisole atau
leukovorin emngurangi rekurensi dan meningkatkan angka ketahanan
hidup. Agen kemoterapi yang baru ialah as capecitabine, irinotecan,
oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, dan immunotherapy.
Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)
Angka survival sangat terbatas pada stadium ini. Pasien dengan
penyakit sistemik, sebanyak 15% akan bermetastase ke hati. Pada
stadium ini, sebanyak 20% potensial reseksi untuk sembuh. Angka
survival pada pasien reseksi ini menignkat bila dibandingkan dengan
pasien yang tidak direseksi. Semua pasien membutuhkan kemoterapi
ajuvan. Pasien yang tidakdioperasi difokuskan untuk paliatif terapi.
Terapi paliatif yang digunakan ialah stenting untuk lesi obstruksi
kolon kiri.
Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk
neoplasma ( jinak dan ganas), inflamatori bowel disease dan kasus
lain.
• Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran
darah pada bagian kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi.
17
Reseksi kurativ dari CRC dicapai dengan ligasi PD mesenterika
proksimal dan pembersihan kelenjar getah bening mesenterika secara
radikal. Pada reseksi proses benign, tidak diperlukan reseksi
mesenterika dan omentum dapat tetap dipertahankan.
Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi
dibanding dengan loop kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri
kolon. Defek pada dinding abdomen dibuat dan akhir dari kolon
dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan
melalui dinding abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam
abdomen sebagai hartmann’s pouch. Penutupan kolostomi
membutuhkan laparotomi. Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan
odentifikasi usus distal, kemudian dilakukan anastomosis end to end.
2.1.10 Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastase jauh, yaitu
klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Untuk
tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka
kelangsungan hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding
tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran kelenjar 32% dan dengan
metastasis jauh satu persen. Bila disertai differensiasi sel tumor buruk,
prognosisnya sangat buruk.
2.2. KOLESISTITIS1,3,4,5
18
2.2.2 Etiologi dan Patogenesis3,4
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis
akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding
kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu
kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%)
timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan
stasis cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi
kandung empedu menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi
terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung
empedu (Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana
stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai
saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan
cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak
lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dan supurasi.
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan
pada 50 sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang
paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E.
Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies
Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan
oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya
lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya
menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu.
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus.
Peningkatan resiko terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus
terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar yang serius,
dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang
memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris
lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat
19
termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi
bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus,
Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu.
Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan
berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit
kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises)5
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup
lama yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi
karena kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari
kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong
empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu.
20
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat
menyebabkan peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal
di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan
penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan
peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak
ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila
konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan
dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu
spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat
dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis
akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi kandung
empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat
tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke
dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.
21
harus dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi
(Yates MR, et al, 2009).
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat
yang khas dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut
kuadran kanan atas, demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya
terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000
sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin
serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 %
pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase
serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali
phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada
kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan
menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan
perforasi kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al,
2009).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran
kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat
batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium
cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga
pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran
adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain)
menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Towfigh S, et
al, 2010)
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan
secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk,
penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra
22
hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun
gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan
tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan
diagnosis (Roe J, 2009).
23
Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu
berukuran kecil
24
Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan
penebalan dinding kandung empedu.
25
2.2.6. Tatalaksana6
2.1.7.1. Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk
kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode
stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum
termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri
seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis
dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol
cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat
pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela,
namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda
sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan
ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam IV, cefalosporin
generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu
diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat
diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah
dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian
CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien
– pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak
dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital
yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium
dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes
mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik
yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x
500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et
al, 2009).
26
2.2.7.2. Terapi Bedah
27
• Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan
sistem pembekuan darah (Wilson E, et al, 2010).
28
sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit
berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses.
2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada
dinding kandung empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan
pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum sering disertai
oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau
duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik
biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai kompulikasi
kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang
menjalani kolesistektomi.ooooooooooo9
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang
didiagnosis dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada
foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi
saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan
fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah
menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula.
Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi,
eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula.
2.1.10. Prognosis
29
2.3 ANEMIA2,8,9,10
2.3.1 Definisi2,9
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah
eritrosit sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan. Anemia dapat didefinisikan
pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah
merah, hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah. Namun, kadar
normal hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, serta keadaan
tertentu seperti kehamilan. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan
suatu gambaran perubahan patofisiologi yang didapatkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2
Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi
usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah
didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini :
30
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik 4. Anemia akibat
kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH
<27pg
B. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH
27-34 pg
C. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl
31
hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia
dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
a) Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7). Sindrom
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas
dan sispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah
dilihat pada konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangn dan jaringan
dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
2.3.6 Tatalaksana Anemia8,9
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian
dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi
dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat.
Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian
peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara
parenteral. Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita yang tidak dapat
memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi : a)
Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
• Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
• Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
• Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
• Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
32
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -6
mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada
dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat mengandung besi
sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek
samping pada saluran cerna dan tidak memberikan efek penyembuhan
yang lebih cepat. Obat diberikan 2 – 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus
terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratai.
Respon terapi pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) : preparat
pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous gluconate,
ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga lebih mahal,
tetapi efektivas dan efek samping bhampir sama.
b) Preparat besi parenteral
II. Anemia Penyakit Kronik
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit
berupa:
- Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
- Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B 12.
- Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
- Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin,
tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian
preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan
berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.
33
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Penderita : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tgl lahir : 16-05-1972/ 46 tahun
Alamat : Vuria, Kotaraja
No. Rekam Medis : 14 47 35
Tanggal Masuk : 22-09-2918
B. ANAMNESIS
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut bagian kanan atas sejak ±3 hari
SMRS.
34
sebagai Ca. Colon. Pasien mengaku diberi obat oleh dokter namun belum ada
perubahan.
C. PEMERIKSAAN FISIS
- Keadaan umum : Sakit sedang
- Kesadaran : Composmentis
- Tanda vital :
• Tekanan darah : 110/60 mmHg
• Nadi : 81x /menit, reguler, kuat angkat.
• Pernapasan : 21x/menit
• Suhu : 36,8oc (axilla)
Kepala
Ukuran : normocephal
Simetris muka : Simetris kiri dan kanan
Deformitas : Tidak ada
35
Rambut : Hitam, ikal, pendek
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : tidak ada
Kelopak mata : Edema palpebral (-)
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterus (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, reflex cahaya (+)
Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : tidak ada
Hidung
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut
Oral candidiasis : tidak ada
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-),
Leher
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
JVP : 5+-2cm (normal)
Thoraks
-Inspeksi
Bentuk : Normochest, simetris kiri dan
kanan, spider nevi (-)
Pembuluh darah : Tidak ada kelainan
Buah dada : Ginekomasti (-)
36
Sela iga : Dalam batas normal
Lain-lain : (-)
Paru
Palpasi : Fremitus raba simetris kiri = kanan, nyeri tekan (-)
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI kanan Batas paru
belakang
kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X
Auskultasi: Bunyi pernapasan vesikuler Ronchi -/-, Wheezing
(-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung
kanan di linea parasternalis dextra, batas jantung kiri di linea
midclavicularis sinistra ICS V, batas jantung atas ICS II)
Auskultasi: Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas, caput medusa (-),
spider
nevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) diseluruh kuadran abdomen.
Hepar/Lien: Tidak teraba
Perkusi : Timpani, ascites (-).
Auskultasi: Peristaltik (+), kesan normal
Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Superior : Akral hangat
Edema : -/-
Eritem Palmaris : (-)
37
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Tanggal 22-09-2018)
38
IMUNOSEROLOGI Hasil Nilai Rujukan Satuan
HbsAg (Rapid) Negatif Negatif
Anti HCV (Rapid) Negatif Negatif
MALARIA Negatif negatif
39
Kesan USG abdomen:
Massa di abdomen kiri bawah substrat colon
descenden
Cholesystitis disertai Cholelithiasis
Nefrocalcinosis ginjal kanan dd nephrolithiasis
Tidak tampak metastasis intrahepatal/ascites/KGB Para
Aorta
D. DIAGNOSA KERJA
40
- Anemia
- Colesistitis
- Cholelytiasis
- Susp. Ca Colon
E. PENATALAKSANAAN AWAL
Planning diagnostic
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kimia lengkap
- Pemeriksaan USG Abdomen
- Pemeriksaan CT Scan ABdomen
Planning Terapi
- IVFD RL 500cc 20tpm
- Transfusi PRC 1 kolf/24 jam
- Injeksi Ceftriaxone vial 1gr/12jam
- Injeksi Ketorolac tromethamine 30 mg amp/ 8 jam
- Injeksi Ranitidine 50 mg amp/12jam
- Paracetamol tablet 500 mg/8jam
F. PROGNOSIS
- Ad Functionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam
- Ad Vitam : Dubia ad bonam
41
G. FOLLOW UP
TANGGA INSTRUKSI
PERJALANAN PENYAKIT
L DOKTER
22-09-2018 S: Planning :
Nyeriperut kanan atas sampai seluruh Pemeriksaaan
lapang perut sejak 3 hari. laboratorium
Mual (+), Muntah (+), DEmam (+). darah lengkap
Tidak bisa BAB >3hari. Pemeriksaan USG
BAK : kesan lancar, warna kuning abdomen
seperti the Terapi
RPD: Riwayat kelainan colon tahun IVFD RL 500cc 20
2009 tpm
O: Transfusi PRC 1
KU: tampak sakit sedang kolf/24 jam
Kes: composmentis, GCS: 15 Inj. Ceftriaxone
Tanda-tanda vital: vial 1 gr/12 jam
TD : 110/60 mmHg Inj. Ketorolac amp
N : 68x/menit 30mg/ 8 jam
P : 21x/menit Inj. Ranitidine amp
S : 39,1 ⁰C 50 mg/ 12 jam
SpO2: 98% Paracetamol
Status Generalis: 500mg tablet/ 8
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), jam
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan JVP
(-)
Thorax: simetris, ikut gerak napas,
regular, fremitus D=S, SN vesikuler
(+/+), Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen: cembung, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (+) seluruh
kuadran abdomen, terutama
hipokondrium dekstra, Hepar/Lien:
tidak teraba
Eks : Akral hangat, edema (-/-), eritem
Palmaris (-)
Laboratorium:
Leukosit 15000/mm3, eritrosi, Hb
4,6/dL, Albumin 3,0 g/dL, SGOT
42
42U/L. SGPT 19U/L, Ureum 17
mg/dL, Kreatinin 0,9
Malaria: Negatif
A:
- Anemia
- Susp. Ca Colon
43
Tidak bisa BAB >3hari. tpm
BAK : kesan lancar, warna kuning TRansfusi PRC 1
seperti the kolf/24jam
RPD: Riwayat kelainan colon tahun Inj. Ceftriaxone
2009 vial 1 gr/12 jam
O: Inj. Ketorolac amp
KU: tampak sakit sedang 30mg/ 8 jam
Kes: composmentis, GCS: 15 Inj. Ranitidine amp
Tanda-tanda vital: 50 mg/ 12 jam
TD : 110/60 mmHg Paracetamol 500mg
N : 68x/menit tablet/ 8 jam
P : 21x/menit
S : 39,1 ⁰C
SpO2: 98%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan JVP
(-)
Thorax: simetris, ikut gerak napas,
regular, fremitus D=S, SN vesikuler
(+/+), Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen: cembung, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (+) seluruh
kuadran abdomen, terutama
hipokondrium dekstra, Hepar/Lien:
tidak teraba
Eks : Akral hangat, edema (-/-), eritem
Palmaris (-)
26-09-2018 S: Terapi
Nyeriperut kanan atas sampai seluruh IVFD RL 500cc 20
lapang perut sejak 3 hari. tpm
Mual (+), Muntah (+), DEmam (+). TRansfusi PRC 1
Tidak bisa BAB >3hari.
44
BAK : kesan lancar, warna kuning kolf/24jam
seperti the Inj. Ceftriaxone
RPD: Riwayat kelainan colon tahun vial 1 gr/12 jam
2009 Inj. Ketorolac amp
O: 30mg/ 8 jam
KU: tampak sakit sedang Inj. Ranitidine amp
Kes: composmentis, GCS: 15 50 mg/ 12 jam
Tanda-tanda vital: Paracetamol 500mg
TD : 110/60 mmHg tablet/ 8 jam
N : 68x/menit
P : 21x/menit
S : 39,1 ⁰C
SpO2: 98%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan JVP
(-)
Thorax: simetris, ikut gerak napas,
regular, fremitus D=S, SN vesikuler
(+/+), Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen: cembung, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (+) seluruh
kuadran abdomen, terutama
hipokondrium dekstra, Hepar/Lien:
tidak teraba
Eks : Akral hangat, edema (-/-), eritem
Palmaris (-)
45
seperti the vial 1 gr/12 jam
RPD: Riwayat kelainan colon tahun Inj. Ketorolac amp
2009 30mg/ 8 jam
O: Inj. Ranitidine amp
KU: tampak sakit sedang 50 mg/ 12 jam
Kes: composmentis, GCS: 15 Paracetamol
Tanda-tanda vital: 500mg tablet/ 8
TD : 110/60 mmHg jam
N : 68x/menit
P : 21x/menit
S : 39,1 ⁰C
SpO2: 98%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan JVP
(-)
Thorax: simetris, ikut gerak napas,
regular, fremitus D=S, SN vesikuler
(+/+), Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen: cembung, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (+) seluruh
kuadran abdomen, terutama
hipokondrium dekstra, Hepar/Lien:
tidak teraba
Eks : Akral hangat, edema (-/-), eritem
Palmaris (-)
46
BAB IV
PEMBAHASAN
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan
dengan besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi
serta isi fecal ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan
dapat tumbuh besar sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah
karena anemia. Darah makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi
dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan
pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan
penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi
obstruksi dan gangguan berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan
konsistensi feses ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual
mengoklusi lumen yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu
konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB. Pendarahan dari anus sering
namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur dengan darah
merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan
darah atau feses.
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon
dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun
untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan
47
pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan
kemih untuk kemungkinan tekanan ureter kiri atau infiltrasi ke kandung
kemih, serta hati dan paru untuk metastasis.
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang mulai
dirasakan sejak 1 tahun dan makin memberat 1 bulan terakhir. Pasien mengaku
sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama pada tahun 2009 dan sudah
berobat ke dokter. Oleh dokter dilakukan pemeriksaan USG dan Endoscopy dan
didapatkan kelainan pada colon, dan didiagnosis sebagai Ca. Colon. Pasien
mengaku diberi obat oleh dokter namun belum ada perubahan.
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi
akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam. Diagnosis kolesistitis didasarkan pada hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjung. Faktor yang
mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis
akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
Pada anamnesis, keluhan yang khas untuk serangan kolesistitis akut
adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan,
takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk
secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau
skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Trias
Kolesistitis terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif.
Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada kasus ini, pasien datang
dengan keluhan nyeri perut bagian kanan atas sejak ±3 hari sebelum masuk
RS. Nyeri dirasakan pada daerah kanan atas yang kemudian menyebar
hampir ke seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan seperti melilit dan
berlangsung terus menerus sehingga pasien tidak dapat berjalan. Keluhan
tidak membaik dengan beristirahat. Pasien juga mengeluh demam sejak 3
hari, hilang timbul. Demam tidak disertai menggigil. Keluhan lain seperti
48
mual, muntah dan perut terasa begah diarasakan oleh pasien. Muntah 1 kali
isi seperti cairan agak kekuningan. Keluhan Pusing dan nyeri kepala
disangkal. Nafsu makan pasien menurun. Penurunan berat badan diakui
dalam 1 bulan terakhir. Pasien juga tidak bisa BAB sejak 3 hari lalu.
Riwayat muncul keluhan yang sama pada tahun 2009.
Untuk pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan abdomen pada
kuadran hipokondrium dextra dan tanda “murphy sign”. Berdasarkan
pemeriksaan fisik pasien didapatkan abdomen cembung, nyeri tekan seluruh
kuadran abdomen. Murphy sugn (-).
Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang laboratorium menurut teori
biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan
15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada
45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan
aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan
alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada
kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan
menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan
perforasi kandung empedu dipertimbangkan. Pada hasil Laboratorium
pasien didaptkan kadar Hemoglobin 4,6 /dL, Leukosit: 15.000.
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran
kolesistitis akut. Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya
dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar,
bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu
ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%.
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah
cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm
dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu
penegakkan diagnosis (Roe J, 2009). Hal ini sesuai dengan temuan pada
49
gambaran USG abdomen pasien yakni adanya Massa di abdomen kiri
bawah: substrat colon descenden Cholesystitis disertai Cholelithiasis.
Berdasarkan rekomendasi Sanford, pada kolesistitis dapat diberikan
ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam IV, cefalosporin generasi
ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500
mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan
imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat
diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK
secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung
empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Sedangkan untuk
terapi Anemia Penyakit Kronik perlu mendapat perhatian dalam anemi,
berupa:
- Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
- Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B 12.
- Transfusi jarang diperlukan karena derajat anemia ringan. Namun pada
anemia berat dapat diberika transfuse Packed Red Cell,
- Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin,
tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian
preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan
berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.
Adapun terapi yang diberikan pada pasien ini antara lain:
Transfusi PRC 1 kolf/24jam: sebagai terapi konservatif, diberikan atas
indikasi anemia berat (Hb:4,6/dL)
Inj. Ceftriaxone vial 1 gr/12 jam: sebagai terapi konservatif dengan
antibiotik
Inj. Ketorolac amp 30mg/ 8 jam: terapi simptomatik sebagai analgetic
Inj. Ranitidine amp 50 mg/ 12 jam: Antagonis H2 reseptor blocker
sebagai terapi simptomatik, mengurangi keluhan nyeri lambung/mual
Paracetamol 500mg tablet/ 8 jam: terapi simptomatik sebagai antipiretik
50
Sebagai akhir pembahasan, dapat diketahui bahwa kolesistitis (radang
kandung empedu) dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai kolesistitis
disertai anemia berat akibat penyakit kronik yakni Ca Colon . Terapi yang
diberikan berupa terapi konservatif, dan sudah sesuia dengan teori yang ada.
BAB V
KESIMPULAN
51
DAFTAR PUSTAKA
3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta
: EGC. 2009.
4. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT
findings of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis.
Clin Imaging. JulAug 2009;33(4):274-80.
52
8. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia : Assessment,
Prevention, and Control. Switzerland : WHO, 2001.
9. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II.
Jakarta: FKUI, 2009.
53