Grup 4-Sl - Paper of Lesson Learned
Grup 4-Sl - Paper of Lesson Learned
Kelompok 4:
Muhammad Fachri Nasution (21/489873/PEK/28032)
Dhuto Wicahyo (21/489946/PEK/28050)
Prita Widyaputri (21/490111/PEK/28106)
Felisitas Nindi Astaningrum (21/490456/PEK/28205)
Deasy Kumalasari Dewi (21/490588/PEK/28256)
Satrio Budi Permono (21/490635/PEK/28270)
MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2023
POIN-POIN LESSON LEARNED
I. Tenure atau Masa Jabatan
Terdapat empat set karakteristik eksekutif, diantaranya:
1) Masa jabatan eksekutif.
Masa jabatan eksekutif adalah jangka waktu di mana seorang eksekutif telah bekerja di
sebuah perusahaan. Masa jabatan eksekutif dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil
organisasi, seperti strategi, kinerja, dan inovasi. Finkelstein (2009) mengidentifikasi tiga fase
utama masa jabatan eksekutif:
• The learning stage terhadap mandat adalah bagian awal masa jabatan eksekutif, ketika
mereka berfokus pada pemahaman organisasi dan tantangannya. Ini adalah waktu percobaan
dan pembelajaran, karena eksekutif mencoba mencari tahu apa yang berhasil dan apa yang
tidak.
• The harvest stage adalah bagian tengah masa jabatan seorang eksekutif, ketika mereka mulai
mengembangkan pendekatan yang lebih konsisten terhadap strategi dan pengambilan
keputusan. Ini adalah waktu konvergensi, karena eksekutif menetapkan seperangkat
keyakinan dan nilai inti yang akan memandu organisasi.
• The decline stage adalah bagian akhir dari masa jabatan eksekutif, ketika mereka menjadi
puas diri atau menolak perubahan. Ini adalah saat penurunan kinerja, karena organisasi
menjadi kurang gesit dan responsif terhadap lingkungan.
Penelitian Finkelstein (2009) telah menunjukkan bahwa ada hubungan U terbalik antara
jabatan eksekutif dan hasil organisasi. Dengan kata lain, ada tingkat masa jabatan yang optimal
bagi para eksekutif, dan masa jabatan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat membahayakan
organisasi.
• Masa jabatan yang terlalu sedikit: Eksekutif dengan masa jabatan yang terlalu sedikit
mungkin tidak memiliki waktu untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang
organisasi dan industrinya, atau untuk membangun hubungan dengan pemangku
kepentingan utama. Hal ini dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang kurang tepat
dan kurangnya fokus.
• Terlalu banyak masa jabatan: Eksekutif dengan masa jabatan terlalu banyak mungkin
menjadi puas diri dan menolak perubahan. Mereka mungkin juga terisolasi dari anggota
organisasi lainnya, yang dapat menyebabkan kurangnya inovasi.
Dari buku Finkelstein, ada beberapa proposisi yang terkait dalam kasus kami, diantaranya:
Proposisi 4-2: semakin lama masa jabatan seorang eksekutif dalam organisasi, semakin besar
komitmennya terhadap status quo.
Dalam Hambrick (1993) dijelaskan bahwa individu yang telah berpartisipasi dalam 'konstruksi
sosial realitas' ini dalam waktu yang lama paling yakin akan kebenarannya. Bahkan, mereka
mungkin sulit memahami logika alternatif".
Proposisi 4–7: Hubungan antara masa jabatan eksekutif dan perubahan strategis dimoderasi oleh
dinamika lingkungan.
Miles dan Snow (1978) menyebutkan bahwa eksekutif dengan masa jabatan panjang cenderung
mengadopsi strategi yang disebut "Defender" (menekankan stabilitas dan efisiensi), sedangkan
eksekutif dengan masa jabatan pendek lebih cenderung mengadopsi strategi "Prospector"
(menekankan inovasi produk atau pasar).
2) Pengalaman fungsional
Pengalaman fungsional adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang dalam
area fungsional tertentu. Ini dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, atau pengalaman kerja.
Finkelstein (2009) mengidentifikasi empat jenis pengalaman fungsional:
• Output functions adalah mereka yang bertanggung jawab untuk menciptakan produk atau
layanan yang dijual bisnis. Contoh fungsi keluaran meliputi pemasaran, penjualan, dan
pengembangan produk.
• Throughput functions adalah mereka yang bertanggung jawab untuk mengubah input
menjadi output. Contoh fungsi throughput meliputi manufaktur, operasi, dan logistik.
• Support functions adalah fungsi yang memberikan dukungan pada fungsi output dan
throughput. Contoh fungsi pendukung termasuk keuangan, sumber daya manusia, dan
teknologi informasi.
• General management adalah pengalaman mengelola bisnis secara keseluruhan. Ini termasuk
pengalaman dalam menetapkan strategi, perencanaan, dan mengelola orang.
Proposisi 4–17: Semakin lama masa jabatan di suatu bidang fungsional, semakin kuat hubungan
antara pengalaman fungsional eksekutif dan interpretasi mereka terhadap
rangsangan strategis.
3) Pendidikan formal
Pendidikan formal dapat memberi para eksekutif pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan yang diperlukan untuk membuat keputusan strategis yang efektif. Finkelstein dan
Hambrick mengidentifikasi salah satu cara khusus di mana pendidikan formal dapat berkontribusi
pada kepemimpinan strategis dari bidang pengetahuan. Pendidikan formal dapat memberi para
eksekutif basis pengetahuan yang luas tentang berbagai industri, bidang fungsional, dan konsep
strategis. Pengetahuan ini dapat membantu para eksekutif untuk lebih memahami tantangan yang
dihadapi organisasi mereka dan untuk mengembangkan solusi yang efektif.
Proposisi 4–22: Jumlah pendidikan formal seorang eksekutif berhubungan positif dengan
kompleksitas kognitif.
Terdapat hubungan positif antara jumlah pendidikan formal yang dimiliki seorang eksekutif dan
kompleksitas kognitifnya. Artinya, rata-rata eksekutif dengan pendidikan formal cenderung lebih
kompleks secara kognitif dibandingkan dengan eksekutif dengan pendidikan kurang formal.
4) Pengalaman internasional
CEO dengan pengalaman internasional lebih cenderung membuat keputusan strategis yang
mengarah pada peningkatan kinerja perusahaan. Menurut Carpenter, Sanders, dan Gregerson
(2001), tahun kerja seorang CEO dalam tugas internasional berkaitan positif dengan dua ukuran
kinerja perusahaan, dan bahwa interaksi antara pengalaman internasional CEO dengan
pengalaman tim manajemen puncak dalam hal internasional dan dengan posisi strategis global
(ukuran gabungan internasionalisasi strategi perusahaan) keduanya berkaitan positif dengan
kinerja perusahaan.
Finkelstein (2009) juga mengemukakan bahwa ada sejumlah alasan mengapa pengalaman
internasional dapat bermanfaat bagi para pemimpin strategis. Pertama, ini dapat membantu mereka
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang pasar global. Ini dapat membantu dalam
membuat keputusan tentang di mana memperluas operasi perusahaan, bagaimana menentukan
harga produk di negara yang berbeda, dan bagaimana menghadapi budaya yang berbeda.
Kedua, pengalaman internasional dapat membantu para pemimpin strategis untuk
mengembangkan pola pikir yang lebih global. Ini berarti mampu memikirkan strategi perusahaan
dalam hal pasar global, bukan hanya pasar domestik. Ini dapat membantu dalam mengidentifikasi
peluang baru untuk pertumbuhan dan menghindari risiko.
Ketiga, pengalaman internasional dapat membantu para pemimpin strategis untuk
mengembangkan keterampilan interpersonal yang lebih baik. Ini karena mereka lebih cenderung
harus berinteraksi dengan orang-orang dari budaya dan latar belakang yang berbeda. Ini dapat
membantu dalam membangun hubungan dengan pemangku kepentingan utama, seperti pelanggan,
pemasok, dan pejabat pemerintah.
Ketiga elemen konseptual tersebut berhubungan dengan susunan sosial dan interaksi top
teams dalam strategic decision making process. Strategic decision tidak dibuat dalam ruang yang
kosong. Namun, berasal dari sekelompok top manager yang berinteraksi sebagai makhluk sosial
dan politik. Sifat dari interaksi ini dan pengaruhnya terhadap strategic decision making dan
organization outcomes merupakan hal yang sangat penting. Di luar serangkaian interaksi kompleks
di puncak, strategic decision making juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas dalam organisasi dan
lingkungannya.
Kami yakin masalah ini TMT dapat dipahami dengan baik dengan mengadopsi framework
yang ditunjukkan pada Gambar di bawah ini. Inti dari kerangka kerja tersebut ayitu tMT yang
dicirkan dalam seperangkat konstruksi konseptual yakni composition, structure, dan process.
Kerangka ini menyarankan cara di mana masing-masing aspek TMT ini saling terkait.
2) Determinants of TMT characteristics
a) Environment
Lingkungan organisasi membatasi dan membentuk aktivitas serta perilaku dalam batas-batas
perusahaan. Penelitian telah menunjukkan luasnya efek lingkungan dengan menunjukkan
bagaimana mereka mempengaruhi aspek utama kehidupan organisasi seperti strategi, struktur,
organizational process, dan kinerja perusahaan. Dalam hal ini dapat dipertimbangkan tiga dimensi
dasar lingkungan yakni kompleksitas, ketidakstabilan, dan kemurahan hati (munificence).
• Environmental Complexity. Organisasi dalam lingkungan yang kompleks biasanya
dihadapkan dengan tuntutan yang saling bertentangan dari berbagai faktor. Mengelola
masing-masing stakeholder mungkin memerlukan keahlian atau kompetensi yang berbeda
serta memaksa organisasi untuk mengembangkan diferensiasi struktural yang lebih besar
untuk mengatasinya. Seperti yang ditegaskan Gupta, “Semakin beragam lingkungan
organisasi, semakin perlu untuk memiliki top management teamyang berbeda untuk
memantau keragaman lingkungan secara tepat”. Memang, kompleksitas lingkungan sering
dioperasionalkan sebagai heterogenitas dalam lingkungan. Dalam lingkungan yang lebih
sederhana dan tidak terlalu kompleks, heterogenitas tidak diperlukan dan mungkin tidak
berfungsi sejauh itu untuk menimbulkan komunikasi yang buruk dan konflik. Berikut adalah
preposisi yang ditawarkan:
Proposition 5–2A: Semakin kompleks lingkungan, semakin besar heterogenitas dalam TMT.
Proposition 5–2B: Semakin kompleks lingkungan, semakin besar ukuran TMT.
Kompleksitas lingkungan mendorong diferensiasi yang lebih besar di dalam top team dan
mengurangi peluang para eksekutif untuk berbagi sumber daya, serta beroperasi dengan cara
yang kohesif. Karakteristik tuntutan lingkungan yang lebih besar dari pengaturan ini
memaksa spesialisasi tugas yang lebih besar (diferensiasi peran) dan membuat koordinasi
menjadi lebih sulit. Sementara itu, keadaan ini mungkin membutuhkan integrasi yang lebih
besar, tuntutan atas anggota tim dari konstituen lingkungan yang berbeda dapat membuat
integrasi tersebut sulit dicapai.
• Environmental Instability. Lingkungan berbeda-beda dalam tingkat karakteristiknya yang
tidak dapat diprediksi dan perubahan yang tidak terduga. Ketidakstabilan lingkungan
tersebut memiliki dampak yang dramatis pada bagaimana organisasi terstruktur dan
beroperasi. Ketidakstabilan lingkungan seperti itu akan meningkatkan variasi dan
fragmentasi pekerjaan manajerial, memperbesar tuntutan pemrosesan informasi pada top
team. Seperti pendapat Galbraith, “Semakin besar ketidakpastian tugas, semakin besar
jumlah informasi yang harus diproses di antara para pengambil keputusan selama
pelaksanaan tugas”. Karakteristik persyaratan pemrosesan informasi yang lebih besar dari
lingkungan yang tidak stabil memiliki dua efek pada top team yaitu heterogenitas yang lebih
besar dan ukuran yang lebih besar. Kedua efek tersebut muncul dari kebutuhan TMT untuk
meningkatkan kuantitas dan jangkauan, seperti:
o Informasi yang diserap dan diingat kembali
o Perspektif yang dihadirkan untuk menghadapi masalah
o Solusi potensial yang dipertimbangkan karena lingkungan menjadi lebih tidak stabil
Oleh karena itu, information processing capabilities yang lebih besar dari tim yang lebih
besar dan heterogen diperlukan untuk membantu perusahaan beradaptasi dengan persyaratan
information processing yang lebih besar dari lingkungan yang tidak stabil. Berikut preposisi
yang dapat ditawarkan dalam environmental instability:
Proposition 5–3A: Semakin tidak stabil lingkungan, semakin besar heterogenitas dalam TMT.
Proposition 5–3B: Semakin tidak stabil lingkungan, semakin besar ukuran TMT.
Ketidakstabilan lingkungan juga dapat memengaruhi aspek TMT lainnya. Lingkungan yang
menantang menciptakan tuntutan besar pada anggota TMT untuk mengatasi persyaratan
eksternal. Seperti lingkungan yang kompleks, ketika ketidakstabilan lingkungan tinggi, TMT
menghadapi permintaan information processing dan pengambilan keputusan yang lebih
besar serta tekanan waktu yang lebih besar untuk mencapai keputusan. Hasilnya adalah
berkurangnya kesempatan untuk saling ketergantungan peran yang mengakibatkan
berkurangnya integrasi sosial. Keragaman pendapat yang dihasilkan menciptakan konflik
dan membuat konsensus sulit dipahami. Sebaliknya, tingkat konsensus yang lebih tinggi
mungkin relatif dapat dicapai dalam lingkungan yang stabil.
• Environmental Munificence
Environmental munificence membantu menyangga organisasi dari ancaman eksternal dan
memungkinkan individumengakumulasi sumber daya yang rendah. Selain itu, munificence
memberikan fleksibilitas dan peluang pertumbuhan pada organisasi. Argumen tersebut
memungkinkan TMT beroperasi dengan lebih sedikit kendala. Akibatnya, untuk
memprediksi efek konsekuensial pada TMT pun sulit dilakukan. Satu-satunya proposisi
yang dapat diberikan di sini berkaitan dengan ukuran TMT. Kelonggaran (slack) organisasi
yang lebih besar sering menyertai environmental munificence, menciptakan problem terkait
tentang cara menggunakannya. Williamson (1963) menyatakan bahwa perusahaan dengan
sumber daya yang lemah cenderung mempekerjakan lebih banyak staf daripada yang
dibutuhkan, khususnya di tingkat eksekutif. Perusahaan dalam konteks yang lebih
menantang sering berfokus pada pengendalian biaya, termasuk dengan mengurangi
eksekutif dan staf lainnya. Oleh karena itu, environmental munificence mungkin memiliki
efek langsung pada ukuran TMT.
Proposition 5–4: Semakin besar lingkungannya, semakin besar ukuran TMT.
b) Strategy In Organization
Pepatah lama menyatakan bahwa structure follows strategy. Porter berpendapat bahwa
strategi generik menyiratkan organization arrangements yang berbeda, prosedur kontrol, dan
sistem insentif yang akan mempengaruhi TMT. Oleh karena itu, efek strategi pada TMT dapat
menyebar. Di sisi lain, organisasi dan strategi yang mereka ikuti mungkin merupakan cerminan
dari top manager mereka. Dengan demikian, menguraikan arah kausal dalam hubungan ini
tampaknya menjadi persyaratan mendasar untuk pekerjaan di masa depan.
Logika yang sama dapat digunakan untuk membuat prediksi tentang komposisi, struktur, dan
proses TMT. Misalnya, di perusahaan dengan postur diversifikasi yang sangat saling bergantung,
seperti yang terintegrasi secara vertikal. Terdapat kebutuhan untuk negosiasi, kompromi, dan
kolaborasi antar unit yang melimpah. Proses ini sangat terbantu jika manajer perusahaan memiliki
hubungan baik dan pandangan serta bahasa yang sama.
Strategi kompetitif dalam bisnis atau perusahaan juga cenderung memengaruhi komposisi,
struktur, dan proses TMT-nya. Hal ini dapat dibandingkan dengan bagaimana strategi perusahaan
prospector (pertumbuhan, inovasi, dan pencarian peluang baru) dan defender (kontrol biaya,
stabilitas, dan efisiensi) membutuhkan karakteristik TMT yang berbeda. Dibandingkan dengan
prospectors, stabilitas yang lebih besar di perusahaan defender menunjukkan bahwa mereka
menghadapi kemungkinan strategis yang lebih sedikit dan tidak memerlukan TMT yang lebih
besar sertaterdiferensiasi. Perusahaan yang mengikuti strategi defender umumnya menunjukkan
pertumbuhan yang lebih rendah, membatasi pasar tenaga kerja internal dengan membatasi peluang
promosi untuk top manager. Prospector tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, namun juga
lebih inovatif dan berwawasan ke depan.
Perubahan strategis menciptakan efek riak di seluruh organisasi, termasuk di dalam TMT.
Perubahan strategi perusahaan sering mengganggu cara yang ada dalam melakukan bisnis,
melibatkan pergeseran ke domain baru atau taktik baru dalam domain yang sama, dan menciptakan
basis kekuatan baru di dalam perusahaan. Perubahan ini memiliki implikasi yang signifikan
terhadap fungsi TMT. Pola komunikasi yang mapan, struktur pengetahuan, kompetensi dan proses
yang dibutuhkan, serta pola interaksi semuanya berubah. Apabila perubahan strategis menjadi
lebih buruk, maka itu akan mengancam integritas organisasi atau posisi top manager, penyempitan
kekuasaan dan kontrol juga dapat terjadi. Dalam kondisi ini, diperkirakan terdapat beberapa
perubahan dalam TMT diantaranya:
• Heterogenitas dan ukuran yang lebih besar untuk mencoba mengatasi perubahan
• Kurangnya saling ketergantungan peran karena menjadi lebih sulit bagi top manager untuk
mengkoordinasikan kegiatan (setidaknya dalam jangka pendek)
• Kurangnya integrasi sosial sebagai akibat dari pola interaksi yang terganggu
• Kesulitan yang lebih besar dalam mencapai konsensus karena aturan permainan berubah-
ubah.
Berikut beberapa preposisi yang dapat ditawarkan:
Proposition 5–7A: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin besar heterogenitas di
dalam TMT.
Proposition 5–7B: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin kecil tingkat saling
ketergantungan peran dalam TMT.
Proposition 5–7C: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin besar ukuran TMT.
Proposition 5–7D: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin kecil tingkat integrasi
sosial dalam TMT.
Proposition 5–7E: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin kecil tingkat konsensus
dalam TMT.
Model bisnis yang diadopsi oleh ASTRINDO sebagai perusahaan distribusi adalah model
bisnis yang sederhana. Distributor sebagai pelaku utama dalam bisnis distribusi berperan menjadi
perwakilan principal (pemilik merk) dalam memasarkan produk-produknya. Yang menjadi
pelanggan distributor bukan end user, melainkan dealer dan master dealer.
Dalam menjalankan bisnisnya, ASTRINDO dipengaruhi oleh faktor lingkungan eksternal.
Lingkungan eksternal ASTRINDO dapat dikategorikan sederhana dan cukup stabil, karena:
1) Industri IT hardware bukan merupakan industri yang high regulated seperti misalnya industri
perbankan.
2) Industri IT hardware tidak berhubungan secara langsung dengan isu lingkungan alam, misalnya
seperti industri pertambangan.
3) Industri IT hardware tidak bertentangan dengan norma/nilai sosial budaya, misalnya seperti
industri minuman beralkohol.
4) Kondisi ekonomi dan politik di Indonesia selama beberapa tahun terakhir cenderung stabil.
5) Model bisnisnya sederhana, sehingga stakeholder dalam bisnis ASTRINDO tidak banyak,
hanya ada pemegang saham, principal (pemilik merk), karyawan, dan pelanggan.
(sumber: https://transformation.waskita.co.id/about.html)
Pandemi menjadi kesempatan bagi Waskita untuk melakukan inovasi dan memperkuat
pertahanan perusahaan melalui program restrukturisasi dan transformasi guna meningkatkan
kinerja. Berikut adalah strategi transformasi perusahaan secara garis besar:
a. Portfolio & Innovation: Diversifikasi portofolio bisnis perusahaan dan mendapatkan nilai
kontrak baru dengan meningkatkan tingkat keberhasilan dalam memenangkan tender.
b. Lean: Efisiensi biaya dan waktu produksi perusahaan.
c. Digital: Pengembangan digitalisasi perusahaan.
d. Financial: Pengembangan digitalisasi perusahaan dalam hal keuangan.
e. Risk Management: Optimalisasi pengendalian risiko bisnis yang dihadapi perusahaan.
f. Talent Engine: Pengembangan sumber daya manusia perusahaan berdasarkan nilai-nilai
A.K.H.L.A.K.
Proposition 5–7A: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin besar heterogenitas di
dalam TMT.
Proposition 5–7C: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin besar ukuran TMT.
Setelah skandal pada jajaran direksi diungkap oleh KPK, Kementerian BUMN melakukan
perombakan besar pada utamanya pada jajaran komisaris yang berfungsi sebagai pengawas.
Perombakan yang dilakukan sejalan dengan proposisi yang ditawarkan Finkelstein (2009) dimana
heterogenitas serta ukuran yang besar. Pada jajaran komisaris ditunjuk:
• Komjen. Pol. (Pun.) Drs. Heru Winarko, S.H (Komisaris Utama/Independen) berlatar
belakang seorang polisi dan pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada tahun
2015.
• Addin Jauharudin (Komisaris Independen I) berlatar belakang aktivis dan pengusaha
sekaligus sedang menjabat sebagai Ketua PP Gerakan Pemuda Ansor (2022-2027).
• Prof. Muradi, M.A., Ph.D. (Komisaris Independen II) berlatar belakang akademisi dan
birokrat dan pernah menjabat sebagai PT LEN Industri.
• Muhamad Salim (Komisaris Independen III) berlatar belakang sebagai jaksa.
• I Gde Made Kartikajaya (Komisari I) berlatang belakang sebagai agen intelejen karir dan
pada saat yang bersamaan sedang menjabat Deputi Bidang Intelejen Ekonomi Negara BIN.
• Teuku Iskandar (Komisaris II) berlatar belakang sebagai birokrat utamanya di lingkungan
Kementerian PUPR dengan jabatan terakhir sebagai Inspektur Jendral Kementerian PUPR.
• Dedi Syarif Usman (Komisaris III) berlatar belakang sebagai birokrat ekonomi dengan
jabatan terakhir sebagai Direktur Kekayaan Negara.
Proposition 5–7B: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin kecil tingkat saling
ketergantungan peran dalam TMT.
Perombakan struktur TMT yang dilakukan oleh Kementerian BUMN sebagai perwakilan
pemegang saham mayoritas Waskita Karya berfokus pada pengawasan. Individu yang ditunjuk
pun sangat heterogen terutama pada dewan komisaris. Dewan direksi disisi lain berisi orang-orang
berlatar belakang professional di BUMN karya yang lain kecuali pada divisi Keuangan dan
Manajemen Resiko yang berlatar belakang perbankan. Kondisi ini akan membuat tingkat saling
ketergantungan semakin kecil karena setiap individu mendapat mandat yang berbeda dari Menteri
BUMN.
Proposition 5–7D: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin kecil tingkat integrasi
sosial dalam TMT.
Integrasi sosial yang terjadi dalam internal Waskita Karya berkurang cukup drastis dilihat dari
mulai berkembangnya isu-isu untuk saling menjatuhkan satu sama lain.
Proposition 5–7E: Semakin besar jumlah perubahan strategis, semakin kecil tingkat konsensus
dalam TMT.
Integrasi sosial yang rendah mengakibatkan konsensus yang rendah karena munculnya sikap saling
tidak percaya antara satu sama lain di dalam internal perusahaan.
RUMUSAN PENGEMBANGAN EKOSISTEM PT WASKITA
KARYA TBK
Waskita Karya dapat dikatakan sedang masa pemulihan dari hantaman badai yang terjadi
baru-baru saja. Perubahan strategis dilakukan secara masif dan berfokus pada pengawasan. Oleh
karena itu perlu dibangun suatu ekosistem pengawasan untuk memulihkan kepercayaan investor
dan stakeholder, berikut penjabarannya:
1) Penyehatan kondisi keuangan: Program ini dilakukan melalui pengelolaan keuangan yang
cermat dan bijaksana untuk memastikan kesehatan keuangan perusahaan. Perusahaan harus
mengelola utang dengan baik dan melakukan restrukturisasi keuangan jika diperlukan.
2) Transparansi dan perbaikan mekanisme GCG: Perusahaan harus memastikan transparansi
dalam pelaporan dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk investor,
karyawan, dan pihak terkait lainnya. Saat ini Waskita Karya memiliki struktur dewan
komisaris yang heterogen dan memiliki kapabilitas mumpuni sebagai pengawas, sehingga
perlu dimaksimalkan perubahan internal perusahaan terutama pada pemulihan praktik
GCG perusahaan.
3) Manajemen resiko dan keberlanjutan: Perusahaan perlu memperkuat praktik manajemen
risiko dalam semua aspek operasional perusahaan, termasuk keberlanjutan lingkungan dan
sosial. Menjadi perusahaan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial akan
membantu memperoleh kepercayaan dari pemangku kepentingan dan meminimalkan
risiko reputasi.
4) Teknologi dan Transformasi Digital: Perusahaan harus mengadopsi teknologi terkini dan
melakukan transformasi digital dalam operasi dan proses bisnisnya. Penggunaan teknologi
seperti pemodelan informasi bangunan (BIM), sistem manajemen proyek, dan Internet of
Things (IoT) dapat membantu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan transparansi
dalam pengelolaan proyek.
5) Peningkatan Kapabilitas dan Kualitas SDM: Perusahaan haru mulai mengembangkan
program pelatihan dan pengembangan karyawan untuk meningkatkan kapabilitas dan
kualitas sumber daya manusia di perusahaan. Ini melibatkan peningkatan kompetensi
teknis, manajerial, dan kepemimpinan karyawan, serta memastikan adanya kesempatan
pengembangan karir yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Farh, J. L., & Cheng, B. S. (2000). A Cultural Analysis of Paternalistic Leadership in Chinese
Organizations. E. Weldon (Eds.). Management and Organizations in the Chinese Context
(pp. 84-127). London: Macmillan.
Finkelstein, S., Hambrick, D. C., & Cannella, A. A. (2009). Strategic leadership: Theory and
research on executives, top management teams, and boards. Oxford University Press.
Gu, Q., Tang, T. L.-P., & Jiang, W. (2015). Does Moral Leadership Enhance Employee
Creativity? Employee Identification with Leader and Leader–Member Exchange (LMX) in
the Chinese Context. Journal of Business Ethics, 126(3), 513–529.
http://www.jstor.org/stable/24702764.
Hambrick, D. C., Geletkanycz, M. A., & Fredrickson, J. W. (1993). Top executive commitment
to the status quo: Some tests of its determinants. Strategic Management Journal, 14(6),
401-418.
Chan, S. C., Huang, X., Snape, E., & Lam, C. K. (2012). The Janus Face of Paternalistic
Leaders: Authoritarianism, Benevolence, Subordinates’ Organization-Based Self-esteem,
and Performance. Journal of Organizational Behavior, 34(1), 108–128.
Miles, R. E., Snow, C. C., Meyer, A. D., & Coleman Jr, H. J. (1978). Organizational strategy,
structure, and process. Academy of management review, 3(3), 546-562.