Anda di halaman 1dari 50

PERTUMBUHAN ORGANISASI DAN

EFEKTIVITAS ORGANISASI
Posted: Maret 11, 2012 in Uncategorized
0

1. Pertumbuhan Organisasi

Ada empat cara pertumbuhan organisasi , yaitu melalui kegiatan :

1) Ekspansi.

2) Diversifikasi.

3) Pengembangan Teknologi.

4) Perbaikan Teknik Manajerial.

1. Ekspansi

Strategi ekspansi dipakai oleh Philip Morris pada saat membeli Kraft,sehingga
membuat Philip Morris menjadi lebih besar dalam industri makanan.

2. Diversivikasi
Pertumbuhan ini muncul dari berbagai macam bentuk usaha, seperti pengembangan
produk dan jasa yang baru, integrasi vertical dan diversifikasi konglomerasi.Contohnya
adalah Paramount Communications yang memiliki berbagai bidang usaha,
sepertiParamount Pictures, tim bola basket New York Knicks dan penerbit Simon and
Schuster.

3. Pengembangan Teknologi

Pertumbuhan ini muncul dari dampak aplikasi pengembangan teknologi sebuah


organisasi, seperti Federal Express yang tumbuh dengan cepatsebagai akibat penggunaan
teknologi komputer dari mulai penerimaan paket sampai penyampaian paket ke
konsumen.

4. Perbaikan Teknik Manajerial


Pertumbuhan ini muncul sebagai dampak dari prosesmanajemen yang dimodifikasi dan
diperbaiki sehingga menimbulkan efisiensi. Contohnyaadalah IBM yang mempunyai kader
manajer yang handal dan memberikan kontribusi terhadap proses manajemen, sehingga
memberikan daya dorong yang luar biasa bagi pertumbuhanorganisasi.Model
Pertumbuhan Organisasi
Pada permulaan tahun 1970-an Larry Greiner menyatakan bahwa evolusi
organisasidikarakteristikkan oleh tahap pertumbuhan yang panjang dan tenang yang
selanjutnya disebutevolusi, kemudian diikuti oleh periode kekacauan yang disebut
revolusi. Model pertumbuhanorganisasi meliputi lima tahap, yaitu sebagai berikut :

1) Kreativitas

2) Pengarahan

3) Pendelegasian

4) Koordinasi

5) Kerjasama.

Tahap 1 : Kreativitas
Kreativitas para pendiri organisasi merupakan tahap awal darievolusi suatu organisasi.
Bentuk kreativitas ini biasanya dalam mengembangkan produknya dan pasar. Disain
organisasi pada tahap ini masih merupakan struktur sederhana dan
pengambilankeputusan dikontrol oleh manajer-pemilik atau top manajemen. Komunikasi
antar tingkatan didalam organisasi berlangsung intensif dan informal.Krisis yang muncul
pada tahap awal pertumbuhan organisasi adalah krisiskepemimpinan, karena manajer
sukar mengelola organisasi dengan hanya mengandalkan padakomunikasi informal. Oleh
karena itu diperlukan manajemen profesional yang dapatmemperkenalkan dan
mengimplementasikan manajemen dan tehnik organisasi yang makinkompleks.

Tahap 2 : Pengarahan
Pada tahap pengarahan desain organisasi makin birokratis,komunikasi antar tingkatan
menjadi formal dan spesialisasi pekerjaan mulai diterapkan, sepertiaktivitas produksi dan
pemasaran. Pengambilan keputusan pada tahap ini bermuara padamanajemen baru dan
manajer tingkat bawah tidak diikut sertakan. Keadaan ini akanmenimbulkan krisis
otonomi, dimana manajer tingkat bawah akan mencari pengaruh yang lebih besar di
dalam pengambilan keputusan. Pada prinsipnya solusi dari krisis otonomi tersebutadalah
pendesentralisasian pengambilan keputusan.

Tahap 3 : Pendelegasian
Pada tahap pendelegasian manajer tingkat bawah mempunyaiotonomi yang lebih besar
dalam menjalankan aktivitas unit kerjanya, sedangkan top manajemenlebih
berkonsentrasi pada perencanaan strategis jangka panjang. Krisis yang muncul dari tahap
pendelegasian adalah krisis kontrol, karena manajer tingkat bawah merasa nyaman
denganotonomi yang diberikan, sedangkan top manajemen merasa takut organisasi akan
dibawa ke berbagai arah. Oleh karena itu diperlukan suatu cara dalam mengelola
jalannya roda organisasi.
Tahap 4 : Koordinasi
Tahap ini muncul sebagai akibat dari krisis kontrol pada tahap pendelegasian.
Koordinasi sangat diperlukan oleh manajer lini dari unit-unit staf dan kelompok-

kelompok produk dalam menjalankan fungsinya. Namun adanya koordinasi juga


menimbulkankonflik garis-staf yang menyita banyak waktu dan energi, sehingga muncul
krisis birokrasi.

Tahap 5 : Kerjasama
Jalan keluar dari krisis birokrasi pada tahap koordinasi adalahkerjasama yang kuat
antar individu di dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi substitusi bagi kontrol
formal manajemen organisasi. Struktur organisasi bergerak ke arah bentuk
organik.Gambar 1. Model Pertumbuhan Organisasi, Larry Greiner (1970).Model
pertumbuhan organisasi sebagaimana gambar 1, menunjukkan paradoks bahwatahapan
pertumbuhan organisasi menimbulkan masalah tersendiri. Setiap tahap
pertumbuhanmemunculkan krisis yang baru dan setiap krisis mengharuskan manajemen
melakukan penyesuaian alat koordinasi, sistem kontrol dan disain organisasi.

2. PENGERTIAN EFEKTIFITAS ORGANISASI

Organisasi adalah merupakan kumpulan dari individu dan kelompok sehingga keefektifan
organisasi pada dasarnya adalah merupakan fungsi dari keefektifan individu dan kelompok.
Secara lebih sederhana organisasi adalah kesatuan susunan yang terdiri dari sekelompok oarang
yang mempunyai tujuan yang sama, yang dapat dicapai secara bersama, dimana dalam
melakukan tindakan itu ada pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab bagi tiap-tiap
personal yang terlibat didalamnya untuk mencapai tujuan organisasi.

Organisasi biasanya berada dalam lingkungan yang bergolak dengan sumberdaya terbatas,
lingkungan yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan tersebut akan
memepengaruhi efektivitas organisasi. Dalam lingkungan demikian organisasi harus tanggap dan
pandai mengantisipasi perubahan agar organisasi tersebut tetap dapat mempertahankan
keberadaannya (exist) dan dapat berfungsi (functional). Agar organisasi dapat mempertahankan
keberadaannya dan dapat berfungsi, maka organisasi itu haruslah efektif.

Untuk menilai apakah organisasi itu efektif atau tidak, ada banyak pendapat antara lain
mengatakan bahwa suatu organisasi efektif atau tidak, secara keseluruhan ditentukan oleh apakah
tujuan organisasi itu tercapai dengan baik atau sebaliknya. Teori yang paling sederhana ialah
teori yang berpendapat bahwa efektivitas organisasi sama dengan prestasi organisasi secara
keseluruhan, pandangan yang juga penting adalah teori yang menghubungkan tingkat kepuasan
para anggotanya. Menurut teori ini sesuatu organisasi dikatakan efektif bila para anggotanya
merasa puas. Akhir-akhir ini berkembang suatu teori atau pandangan yang lebih komprehensif
dan paling umum dipergunakan dalam membahas persoalan efektivitas organisasi adalah kriteria
flexibility, productivity dan satisfaction.

Dengan melihat organisasi sebagi sistem, usaha membahas efektivitas organisasi secara lebih
komprehensif menjadi lebih mungkin. Memang dalam kenyataan sangatlah sulit melihat atau
mempersamakan efektivitas organisasi dengan tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan.
Hal ini disebabkan selain karena selalu ada penyesuaian dalam target yang akan dicapai, juga
dalam proses pencapaiannya sering sekali ada tekanan dari keadaan sekeliling. Kenyataan
tersebut selanjutnya menyebabkan bahwa jarang sekali target dapat tercapai secara keseluruhan.
Adam I. Indrawijaya. (2000:227).

Menurut Soekarno K. (1986:42) efektif adalah pencapaian tujuan atau hasil dikehendaki tanpa
menghiraukan faktor-faktor tenaga, waktu, biaya, fikiran alat dan lain-alat yang telah
dikeluarkan/ digunakan. Hal ini berarti bahwa pengertian efektivitas yang dipentingkan adalah
semata-mata hasil atau tujuan yang dikehendaki. Jadi pengertian efektivitas kinerja organisasi
adalah pencapaian tujuan atau hasil yang dilakukan dikerjakan oleh setiap individu secara
bersama-sama. Pandangan efektivitas kinerja organisasi sebagaimana gambaran di bawah ini
:Hubungan antara ketiga pandangan mengenai efektivitas diperlihatkan dalam gambar 1. Anak
panah yang menghubungkan setiap tingkat tidak menunjukkan bentuk khusus dari hubungan
tersebut. Yakni efektivitas individual adalah harus merupakan sebab dari kelompok, begitu pula
tidak dapat dikatakan bahwa efektivitas kelompok adalah jumlah dari efektivitas individu.
Hubungan antara pandanganpandangan tersebut berubah-ubah tergantung dari faktor-faktor
seperti jenis organisasi, pekerjaan yang dilaksanakan, teknologi yang digunakan dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut.

Berdasarkan kajian histories tentang perkembangan konsep keefektifan organisasi dapat dilihat
pada awalnya sekitar tahun 1950-an, dimana keefektifan diartikan secara sederhana sebagai
sejauh mana sebuah organisasi mewujudkan tujuan-tujuannya.

Keefektifan organisasi dapat didefinisikan sebagai tingkatan pencapaian organisasi atas tujuan
jangka panjang dan tujuan jangka pendek.

II. PENDEKATAN-PENDEKATAN KEEFEKTIFAN ORGANISASI

1. Pendekatan Pencapaian Tujuan (goal attainment approach)

Pendekatan pencapaian tujuan mengasumsi bahwa organisasi adalah kesatuan yang dibuat
dengan sengaja, rasional, dan mencari tujuan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan yang berhasil
menjadi sebuah ukuran yang tepat tentang keefektifan. Namun demikian agar pencapaian tujuan
bisa menjadi ukuran yang sah dalam mengukur keefektifan organisasi, asumsi-asumsi lain juga
harus diperhatikan. Pertama, organisasi harus mempunyai tujuan akhir. Kedua, tujuan-tujuan
tersebut harus diidentifikasi dan ditetapkan dengan baik agar dapat dimengerti. Ketiga, tujuan-
tujuan tersebut harus sedikit saja agar mudah dikelola. Keempat, harus ada consensus atau
kesepakatan umum mengenai tujuan-tujuan tersebut.

Beberapa permasalahan dalam pendekatan ini antara lain adalah :

1. apa yang dinyatakan secara resmi oleh sebuah organisasi sebagai suatu tujuan tidak selalu
mencerminkan tujuan yang sebenarnya.
2. Tujuan jangkan pendek sering kali berbeda dengan tujuan jangka panjangnya.
3. Organisasi yang memiliki tujuan majemuk akan menciptakan kesulitan.
1. Pendekatan Sistem (system approach)

Pendekatan system terhadap efektifitas organisasi mengimplikasikan bahwa organisasi terdiri


dari sub-sub bagian yang saling berhubungan. Jika slah satu sub bagian ini mempunyai performa
yang buruk, maka akan timbul dampak yang negative terhadap performa keseluruhan system.

Keefektifan membutuhkan kesadaran dan interaksi yang berhasil dengan konstituensi


lingkungan. Manajemen tidak boleh gagal dalam mempertahankan hubungan yang baik dengan
para pelanggan, pemasok, lembaga pemerintahan, serikat buruh, dan konstituensi sejenis yang
mempunyai kekuatan untuk mengacaukan operasi organisasi yang stabil.

Kekurangan yang paling menonjol dari pendekatan system adalah hubungannya dengan
pengukuran dan masalah apakah cara-cara itu memang benar-benar penting. Keunggulan akhir
dari pendekatan system adalah kemampuannya untuk diaplikasikan jika tujuan akhir sangat
samara atau tidak dapat diukur.

1. Pendekatan Konstituen-Strategis (strategic-constituencies approach)

Pendekatan konstituensi-strategis memandang organisasi secara berbeda. Organisasi diasumsikan


sebagai arena politik tempat kelompok-kelompok yang berkepentingan bersaing untuk
mengendalikan sumber daya. Dalam konteks ini, keefektifan organisasi menjadi sebuah penilaian
tentang sejauh mana keberhasilan sebuah organisasi dalam memenuhi tuntutan konstituensi
kritisnya yaitu pihak-pihak yang menjadi tempat bergantung organisasi tersebut untuk
kelangsungan hidupnya di masa depan.

Kekurangan dari pendekatan ini adalah dalam praktik, tugas untuk memisahkan konstituensi
strategis dari lingkungan yang lebih besar mudah untuk diucapkan, tetapi sukar untuk
dilaksanakan. Karena lingkungan berubah dengan cepat, apa yang kemarin kritis bagi organisasi
mungkin tidak lagi untuk hari ini. Dengan mengoperasikan pendekatan konstituensi strategis,
para manajer mengurangi kemungkinan bahwa mereka mungkin mengabaikan atau sangat
mengganggu sebuah kelompok yang kekuasaannya dapat menghambat kegiatan-kegiatan sebuah
organisasi secara nyata.

1. Pendekatan Nilai-nilai Bersaing (Competing-values approach)

Nilai-nilai bersaing secara nyata melangkah lebih jauh dari pada hanya pengakuan tentang
adanya pilihan yang beraneka ragam. Pendekatan tersebut mengasumsikan tentang adanya
pilihan yang beraneka ragam. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa berbagai macam
pilihan tersebut dapat dikonsolidasikan dan diorganisasi. Pendekatan nilai-nilai bersaing
mengatakan bahwa ada elemen umum yang mendasari setiap daftar criteria Efektifitas
Organisasi yang komprehensif dan bahwa elemen tersebut dapat dikombinasikan sedemikian
rupa sehingga menciptakan kumpulan dasar mengenahi nilai-nilai bersaing. Masing-masing
kumpulan tersebut lalu membentuk sebuah model keefektifan yang unik
I. MANAJEMEN KRISIS

1. Definisi dan Pengertian Krisis

Ada perbedaan yang mendasar antara “Manajemen Krisis” dan “Krisis Manajemen”.
Manajemen krisis merupakan suatu manajemen pengelolaan, penanggulangan atau
pengendalian krisis hingga pemulihan citra perusahaan. Sedangkan krisis manajemen
merupakan kegagalan dari peranan manajemen krisis dan persoalannya menjadi sulit untuk
dipulihkan karena perusahaan yang bersangkutan dinyatakan “bubar” baik secara hukum
maupun operasionalnya.

Pada umumnya, krisis dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak mempunyai
implikasi negatif pada organisasi daripada sebaliknya.

K. Fearn-Banks mendefinisikan krisis sebagai “Suatu kejadian penting dengan hasil akhir
cenderung negatif yang berdampak baik terhadap sebuah organisasi, perusahaan atau industri,
maupun terhadap publik, produk, servis atau reputasinya”. Biasanya sebuah krisis mengganggu
transaksi normal dan kadang mengancam kelangsungan hidup atau keberadaan organisasi.

Krisis pada dasarnya adalah sebuah situasi yang tak terduga, artinya organisasi umumnya tidak
dapat menduga bahwa akan muncul situasi yang dapat mengancam keberadaannya. Sebagai
ancaman, ia harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal kembali. Untuk
itu, Holsti melihat krisis sebagai “situasi yang dikarakterisasikan oleh kejutan, ancaman besar
terhadap nilai-nilai penting, serta waktu memutuskan yang sangat singkat”. Krisis membawa
keterkejutan dan sekaligus mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya ada waktu
yang singkat untuk mengambil keputusan.

Shrivastava & Mitroff mendefinisikan krisis perusahaan sebagai “peristiwa yang mengancam
tujuan terpenting untuk bertahan dan mendapatkan keuntungan”. Krisis, menurut mereka
diasosiasikan dengan kerusakan yang berskala luas terhadap kehidupan manusia, lingkungan
alam dan institusi sosial dan politik.

Pauchant & Mitroff mengatakan bahwa krisis merupakan “sebuah gangguan yang secara fisik
memberikan dampak pada suatu sistem sebagai suatu kesatuan serta mengancam asumsi
dasarnya, kesadaran subjektif akan dirinya serta pusat keberadaannya”. Menurut mereka, krisis
biasanya memiliki tiga dampak, yaitu ancaman terhadap legitimasi organisasi, adanya
perlawanan terhadap misi organisasi serta terganggunya cara orang melihat dan menilai
organisasi.
C.G. Linke melihat krisis sebagai ketidaknormalan dari konsekuensi negatif yang meng-ganggu
operasi sehari-hari sebuah organisasi. Menurutnya, sebuah krisis akan berakibat pada adanya
kematian, menurunnya kualitas kehidupan dan menurunnya reputasi perusahaan.

Bagi Laurence Barton (1993:2), sebuah krisis adalah peristiwa besar yang tak terduga yang
secara potensial berdampak negatif terhadap baik perusahaan maupun publik. Peristiwa ini
mungkin secara cukup berarti merusak organisasi, karyawan, produk dan jasa yang dihasilkan
organisasi, kondisi keuangan dan repuasi perusahaan.

Michael Regester & Judy Larkin (2003:131) mendefinisikan krisis sebagai sebagai sebuah
peristiwa yang menyebabkan perusahaan menjadi subjek perhatian luas (cenderung tidak
menyenangkan) dari media nasional dan internasional serta kelompok-kelompok seperti
pelanggan, pemegang saham, karyawan & keluarga mereka, para politisi, serikat perdagangan
serta kelompok-kelompok penekan yang, dengan suatu alasan atau lebih, memiliki kepentingan
yang dibenarkan terhadap kegiatan-kegiatan organisasi.

Namun ada juga beberapa pakar yang melihat bahwa krisis tidak selalu menjadi penyebab
perusahaan pada kebangkrutan. Contohnya Steven Fink yang melihat krisis sebagai “suatu
waktu/keadaan yang tak stabil terhadap suatu masalah sehingga sebuah perubahan penting
akan terjadi – baik perubahan dengan kemungkinan yang mudah dilihat akan hasil yang sangat
tidak diharapkan atau perubahan dengan kemungkinan yang mudah dilihat akan hasil positif
yang sangat diharapkan”.

Dalam kamus Webster, krisis didefinisikan sebagai “suatu titik balik untuk menuju keadaan
lebih baik atau lebih buruk”. Jadi dari suatu situasi ini, perusahaan dapat menjadi lebih baik
atau lebih buruk. Contoh perusahaan yang menjadi lebih baik setelah krisis adalah Johnson &
Johnson yang berhasil mengatasi kasus racun sianida dalam Tylenol, salah satu produk obat
sakit kepala unggulannya sehingga reputasi perusahaannya justru terangkat.

Apakah sebuah krisis akan menjadikan organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk sangat
tergantung pada bagaimana pihak manajemen mempersepsi dan kemudian merespon situasi
tersebut atau sangat tergantung pada pandangan, sikap dan tindakan yang diambil terhadap
krisis tersebut. Sebuah krisis mungkin dapat ditangani dengan segera dengan melibatkan sedikit
orang, tetapi krisis lain mungkin harus ditangani dengan mengerahkan sebagian besar sumber
daya yang dimiliki organisasi

Krisis tidak pandang bulu dan bisa menimpa siapa saja. Seperti kata Barton (1993:3):
“Krisis menyerang korporasi, organisasi non profit, badan-badan pemerintahan, servis,
perusahaan hingga keluarga”. Setiap organisasi sangat punya peluang untuk mengalami krisis.
Pinsdorf menambahkan bahwa “tidak ada satu perusahaan pun yang kebal terhadap krisis,
tetapi dengan riset, perencanaan dan pelatihan yang penuh kewaspadaan, biasanya krisis dapat
dikelola dan dikurangi dampaknya.”

2. Penyebab Krisis

Mengenali jenis atau tipe krisis penting mengingat masalah penentuan siapa yang bersalah dan
respon yang harus dibuat perusahaan yang sedang menghadapi krisis. Berikut ini adalah
beberapa tipe krisis yang dikemukakan para pakar menggunakan berbagai dimensi (Putra,
1999:90-94):

Sturges dkk

Dimensi violent-non violent dan dimensi sengaja-tak sengaja.

Shrivastava & Mitroff

Dimensi kerusakan yang dihasilkan (berat/ringan) dan dimensi penyebab krisis dari segi
teknis dan sosial.

Marcus & Goodman

Dimensi tingkat kemungkinan ditolak dan berdasarkan keadaan korban krisis.

C.G. Linke

Dimensi waktu kemunculan sebuah krisis.

Shrivastava & Mitroff membagi krisis ke dalam empat kategori berdasarkan penyebab krisis
dikaitkan dengan tempat krisis. Penyebab krisis dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar:
penyebab teknis dan ekonomis serta penyebab manusiawi, organisatoris dan sosial. Mereka
juga mengkategorikan penyebab krisis dilihat dari sudut tempat asal atau kejadian apakah di
dalam atau di luar organisasi. Berdasarkan kategori ini, mereka membuat empat sel untuk
melihat TIPOLOGI KRISIS:

TIPOLOGI KRISIS

Teknis/Ekonomis

SEL 1 SEL 2
Krisis yang disebabkan adanya kegagalan Krisis yang disebabkan faktor teknis-
teknis ekonomis di dalam organisasi: ekonomis yang terjadi di luar perusahaan:
* Kecelakaan kerja * Perusakan lingkungan yang meluas
* Kerusakan produk * Bencana alam
* Kemacetan komputer * Hostile Takeover (pengambilalihan yg kasar)
* Informasi yang rusak/kurang sempurna * Krisis social
* Kerusakan sistem berskala luas

EKSTERNAL
INTERNAL
SEL 3 SEL 4
Krisis yang disebabkan oleh faktor-faktor Krisis yang terjadi karena faktor2 sosial di
sosial/manusia dan manajemen yang luar lingkungan organisasi, yakni adanya
bersumber di dalam perusahaan: orang/kelompok yang bereaksi secara
negatif terhadap perusahaan:
* Kegagalan beradaptasi/melakukan
perubahan
* Sabotase oleh orang dalam (karyawan) * Symbolic projection
* Kemacetan organisasional (pemogokan) * Sabotase orang luar
* Kemacetan komunikasi * Teroris, penculikan eksekutif
* On-site product tampering * Off-site product tampering
* Aktivitas ilegal * Pemalsuan/peniruan produk
* Penyakit karena pekerjaan

Manusia/Organisasional/Sosial

Dengan demikian, penyebab krisis menurut mereka dapat dikategorikan menjadi:

a) Karena kesalahan manusia (human error)

b) Karena kegagalan teknologi

c) Karena alasan sosial (kerusuhan, perang, sabotase, teroris)

d) Karena berkaitan dengan bencana alam

e) Karena ketidakbecusan manajemen

Sebuah krisis mungkin disebabkan hanya satu faktor, tetapi sangat sering terjadi krisis akibat
kombinasi faktor-faktor di atas. Contohnya adalah kasus kecelakaan Bhopal di bulan Desember
1984. 40 ton gas beracun methyl isocyanate bocor dari tank penyimpan bawah tanah pada pabrik
pestisida Union Carbide dan menewaskan 3000 orang serta ratusan ribu orang terkena
radiasinya. Di sini, ada faktor kesalahan manusia karena membiarkan masuknya air ke dalam
tank yang menyebabkan peledakan. Namun juga ada kegagalan teknologi akibat rancangan
pabrik tersebut tidak memperhitungkan kemungkinan human error yang terjadi serta tidak
berfungsinya mekanisme penyelamat. Faktor dominan penyebab ledakan tersebut adalah masalah
manajerial berupa kurangnya prosedur penyelamatan serta kurangnya latihan operator. Secara
sosial pun proyek ini kurang layak karena pemerintah India mengijinkan pabrik ini beroperasi di
kawasan perkampungan yang padat.

Dalam buku Rosady Ruslan (1999:99-100) diberikan beberapa contoh peristiwa yang berpotensi
menjadi krisis sebagai berikut:

1) Masalah pemogokan atau perselisihan perburuhan.

2) Produk kedapatan tercemar/terkontaminasi menjadi racun yang membahayakan masyarakat


sebagai konsumennya.

3) Desas-desus atau rumor dan meluasnya berita yang bersifat negatif atau terciptanya opini
publik yang kurang menguntungkan.

4) Masalah pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dan alam yang disebabkan ulah
manusia, serta kecelakaan industri.

5) Kredit macet, issue kalah kliring, likuidasi dan deposito akan dikonversikan menjadi obligasi di
bank-bank pemerintah atau swasta yang pada akhirnya dapat terjadi rush sehingga
menurun-kan kepercayaan dan citra perbankan nasional, krisis moneter serta berakibat
resesi ekonomi.

6) Kecelakaan industri atau jatuhnya sebuah pesawat yang mengakibatkann kerugian harta
benda dan korban jiwa, serta menimbulkan peristiwa traumatik atas jasa perusahaan
penerbangan bersangkutan.

7) Perubahan peraturan perundangan-undangan atau kebijakan pemerintah yang


menyebabkan pihak perusahaan mengalami kerugian atau kebangkrutan bisnis.

8) Peristiwa menakutkan yang diakibatkan oleh serangan teroris, masalah sara, krisis moneter,
sosial dan politik, sehingga menimbulkan kasus penjarahan, pembakaran, dan sebagainya
yang berkait dengan masalah sensitif atau timbulnya kasus-kasus sangat peka lainnya di
masyarakat.
9) Kegagalan dari suatu kampanye, promosi periklanan atau publikasi menimbulkan dampak
negatif; seperti adanya unsur penipuan, pelecehan dan penghinaan sehingga terjadi protes
atau kecaman dari masyarakat luas.

Maria Wongsonagoro (1995:1) menambahkan beberapa sebab terjadinya krisis (yang


beberapa di antaranya sudah disebutkan di atas):

a) Krisis persepsi masyarakat, yakni negatifnya opini publik terhadap perusahaan.

b) Krisis akibat pergeseran pasar yang terjadi dengan tiba-tiba dan perusahaan dapat
kehilangan pangsa.

c) Krisis yang menyangkut produk, entah itu akibat salah satu produksi atau produk terkena
issue sehingga citranya jatuh, dan sebagainya.

d) Krisis yang diakibatkan oleh pergeseran pimpinan.

e) Krisis yang ditimbulkan oleh masalah keuangan.

f) Krisis yang menyangkut hubungan industri, apakah itu urusan tenaga kerja, keselamatan
kerja, lingkungan dan sebagainya.

g) Krisis yang diakibatkan pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain dalam suasana
permusuhan atau hostile takeover.

h) Krisis yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa internasional yang berdampak negatif


terhadap perusahaan.

i) Krisis yang disebabkan oleh peraturan-peraturan baru yang digariskan oleh pemerintah atau
deregulasi.

Bila perusahaan kita bergerak dalam bidang manufaktur (terutama jika ada produk-
produk yang berhubungan dengan lingkungan dan medis), transportasi, produk makanan,
penginapan dan konstruksi, resiko mengalami krisis sangat tinggi. Karena itu, bagi mereka yang
bekerja pada perusahaan-perusahaan di atas harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan
terjadinya krisis.

3. Akibat dari Krisis

Dalam Rosady Ruslan (1999:73), disebutkan situasi krisis pada suatu perusahaan atau organisasi
akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
a) Meningkatkan intensitas masalah

b) Menjadi sorotan publik, baik melalui liputan media massa, informasi yang disebarkan melalui
mulut ke mulut.

c) Mengganggu kelancaran kegiatan dan aktivitas bisnis sehari-hari serta mengganggu nama baik
serta citra perusahaan.

d) Merusak sistem kerja, etos kerja dan mengacaukan sendi-sendi perusahaan secara total yang
mengakibatkan lumpuhnya kegiatan.

e) Membuat masyarakat ikut-ikutan panik.

f) Mengundang campur tangan pemerintah, yang mau tidak mau harus turut mengatasi masalah
yang timbul.

g) Dampak atau efek dari krisis tersebut, tidak saja merugikan perusahaan yang bersangkutan,
tetapi juga masyarakat tertentu atau lainnya ikut merasakan akibatnya.

II. HUBUNGAN ANTARA ISSUE, OPINI PUBLIK DAN KRISIS

Di bahasan sebelumnya, kita membaca bahwa salah satu peristiwa yang berpotensi menjadi
krisis adalah opini publik yang kurang menguntungkan. Sebelum kita melihat hubungan
hubungan antara issue, opini publik dan krisis, tentu saja kita harus mengetahui apa yang
dimaksud dengan opini publik (setelah kita mengetahui pengertian issue dan krisis).

Menurut Scott Cutlip, Allen Center & Glen Broom, opini publik “mencerminkan sebuah
konsensus, yang muncul setelah beberapa saat, dari seluruh pandangan yang ditujukan
terhadap suatu permasalahan dalam diskusi, dan konsensus tersebut memiliki kekuatan”.

Opini publik bekerja dalam dua cara, yaitu sebagai sebab dan sekaligus sebagai akibat dari
kegiatan PR. Opini publik yang dipegang teguh akan mempengaruhi keputusan manajemen.
Sebaliknya, tujuan program PR adalah untuk mempengaruhi opini publik.

Sebagian besar masyarakat memiliki opini terhadap berbagai hal. Dan bila opini mereka
digabungkan serta difokuskan oleh media massa, maka opini perorangan atau kelompok tersebut
dapat menjadi sebuah opini publik. Media tidak mendikte apa yang masyarakat pikirkan, namun
mereka menyediakan sarana untuk membahas permasalahan-permasalahan dan memperkuat
pandangan ‘publik’ jika suatu masalah menjadi sorotan.

Bila kita kembali kepada pengertian dari issue sebagai “suatu masalah yang belum terpecahkan
namun siap diambil keputusannya”, mulai terlihat benang merah dalam hubungan antara issue,
opini publik dan krisis. Seperti sudah dibahas dalam materi sebelumnya, sebuah issue yang
timbul ke permukaan adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam maupun di luar
organisasi, yang jika dibiarkan akan mempunyai efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja
organisasi tersebut atau pada target-target organisasi tersebut di masa mendatang. Bila issue yang
muncul tersebut tidak dikendalikan dan dikelola dengan baik, maka potensinya untuk menjadi
krisis sangat besar. Suatu issue bisa berasal dari sebagian kecil populasi. Namun jika mereka
tertarik terhadap masalah tersebut dan bersama-sama bergabung menjadi kelompok yang besar
serta dibantu oleh media massa dalam memfokuskan masalahnya, maka issue tersebut akan
berkembang, meluas di masyarakat sehingga menjadi issue publik yang dapat mempengaruhi
kinerja atau target suatu bisnis.

Contohnya adalah kasus pencemaran teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Issue
muncul dari luar perusahaan dan dari suatu populasi kecil, yakni penyakit gatal-gatal yang
diderita oleh masyarakat sekitar teluk tersebut. Adanya LSM (WALHI) yang mengadakan
penelitian pada teluk Buyat dan menemukan kandungan merkuri mencemari teluk tersebut dan
menuding PT. NMR bertanggungjawab dalam kasus pencemaran lingkungan ini. Dibantu dengan
LBH Kesehatan yang “mengompori” masyarakat sekitar PT. NMR dengan mengklaim bahwa
penyakit gatal-gatal yang diderita oleh mereka berasal dari pencemaran teluk Buyat, maka
masyarakat sekitar PT. NMR ini bersama-sama dengan LBH Kesehatan dan WALHI menuntut
pertanggunganjawaban PT. NMR dalam masalah tersebut. Media massa mulai mengangkat issue
tersebut sehingga liputan kasus ini semakin meluas. Ketidaksiapan PT. NMR dalam
mengendalikan dan mengelola issue menyebabkan issue berubah menjadi krisis. Pemerintah
sebagai otoritas kekuasaan perundangan tertinggi mulai terlibat dan pada akhirnya meminta PT.
NMR menghentikan kegiatan operasionalnya agar issue mereda. Kasus ini jelas sekali
memperlihatkan hubungan antara issue, opini publik dan krisis.

III. KOMITMEN SEMUA MANAJEMEN DALAM PENANGANAN KRISIS

Sama seperti issue, krisis dapat dikendalikan dan dikelola. Namun hal yang lebih penting lagi
dilakukan oleh manajemen adalah mencegah terjadinya krisis.

Beberapa peristiwa krisis yang mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar seperti Union
Carbide di Bhopal dan kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl memperlihatkan kekurang-siapan
manajemen dalam mencegah terjadinya krisis. Mereka tidak mempunyai program khusus untuk
mengantisipasi atau menghadapi suatu krisis.

Namun dengan terjadinya berbagai peristiwa tersebut, setiap investasi industri atau pabrik
mulai menempatkan manajemen krisis dalam prioritas. Penerapan manajemen krisis ini tentu
saja membutuhkan komitmen dari semua manajemen untuk terlibat dalam menangani krisis,
tidak bisa hanya dilimpahkan pada departemen PR saja.

Pihak manajemen di luar departemen PR juga harus terlibat dalam tim-tim khusus yang
dibentuk untuk mencegah terjadinya krisis maupun untuk menghadapi krisis bila sudah
terlanjur menyerang perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus menyiapkan anggaran
khusus untuk membentuk tim-tim khusus ini serta menyediakan peralatan dan perlengkapan
yang mereka butuhkan, seperti “Ruang Pusat Krisis”.

Pimpinan perusahaan juga harus terlibat langsung dalam tim khusus tersebut karena ia akan
menjadi orang yang paling sering ditanyakan oleh seluruh pihak yang terlibat jika terjadi krisis di
perusahaannya.

Dan juga yang tak kalah penting adalah pemberian pemahaman tentang manajemen krisis
kepada seluruh karyawan, terutama mereka yang berada di lapisan paling bawah agar mereka
tidak cepat terprovokasi dan panik ketika krisis menyerang perusahaan.

Bila seluruh manajemen sudah terlibat dalam penanganan krisis, maka krisis akan lebih mudah
dicegah, dikendalikan dan dikelola.

IV. TAHAPAN KRISIS

Steven Fink, pakar dan konsultan krisis dari Amerika Serikat mengembangkan konsep
anatomi krisis menggunakan terminologi kedokteran yang biasa dipakai untuk melihat stadium
suatu krisis yang menyerang manusia. Empat tahap perkembangannya adalah sebagai berikut
(Kasali, 2003:225-230):

1. Tahap Prodromal
2. Tahap Akut
3. Tahap Kronik
4. Tahap Resolusi (penyembuhan)

Masing-masing tahap itu saling berhubungan dan membentuk siklus. Lamanya masing-
masing tahap itu sangat tergantung pada sejumlah variabel, sama seperti ketika seorang dokter
menangani pasiennya. Kadang-kadang keempat fase berlangsung singkat, seperti seseorang
yang terjangkit flu ringan sembuh setelah beristirahat sehari penuh. Namun adapula yang harus
beristirahat hingga satu bulan. Juga ada yang langsung meninggal dunia ketika flu berat
menyerang saat kondisi fisiknya sangat lemah. Hal yang sama bisa menimpa perusahaan bila
terjadi krisis, yakni dari hanya terganggunya kinerja perusahaan hingga pembubaran
perusahaan.

SIKLUS KRISIS
Krisis Prodromal

Krisis Resolusi Krisis Akut

Krisis Kronik

Seorang praktisi PR berperan penting dalam upaya mengatasi krisis yang timbul dalam suatu
perusahaan atau organisasi. Ia diharapkan dapat mempercepat masa turning point dari tahap
prodromal ke tahap resolusi. Namun untuk mengubah siklus krisis menjadi siklus yang
dikehendaki di bawah ini, diperlukan diagnosis yang mendalam dan tindakan yang cermat.

SIKLUS YANG DIKEHENDAKI

Krisis Prodromal

Krisis
Resol
usi
Krisis Akut

Krisis Kronik

1. Tahap pertama – Periode Krisis Prodromal

Suatu krisis besar biasanya bermula dari krisis kecil sebagai pertanda atau gejala awal yang akan
menjadi suatu krisis sebenarnya yang bakal muncul di masa yang akan datang. Tahap ini disebut
warning stage karena ia memberi tanda bahaya mengenai simtom-simtom yang harus segera
diatasi.

Mengacu pada definisi krisis, tahap ini juga merupakan bagian dari ‘titik balik’ (turning point).
Manajemen yang gagal menangkap sinyal akan membuat krisis memasuki tahap yang lebih
serius, yakni krisis akut. Oleh karen itu, tahap ini disebut juga sebagai tahap prakrisis (precrisis).
Tahap prodromal biasanya muncul dalam salah satu dari tiga bentuk ini:
a) Jelas sekali. Gejala-gejala awal terlihat jelas. Misalnya ketika karyawan datang ke manajemen
untuk meminta kenaikan gaji, perbedaan pendapat di antara direksi, kerusakan alat di pabrik
(internal); selebaran gelap di masyarakat (eksternal).

b) Samar-samar. Gejala yang muncul tampak samar-samar karena sulit menginterpretasikan dan
menduga luasnya suatu kejadian. Misalnya deregulasi, munculnya pesaing baru, ucapan
pembentuk opini kadang-kadang tidak langsung terasa dampaknya pada perusahaan, namun
dapat menjadi masalah besar di kemudian hari.

c) Sama sekali tidak terlihat. Gejala-gejala krisis bisa tak terlihat sama sekali. Misalnya kerugian
yang dialami salah satu produk atau salah satu lini yang dirasakan wajar oleh sebuah
perusahaan. Namun yang terpikirkan oleh perusahaan tersebut adalah seberapa jauh kerugian
itu dapat menjadi kanibal seperti kasus Bank Summa yang menelan saham keluarga
Suryadjaya pada PT. Astra Internasional.

Meskipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini secara tuntas sangat penting
karena masalahnya masih mudah ditangani dan belum menimbulkan komplikasi.

2. Tahap kedua – Periode Krisis Akut

Bila prakrisis tidak terdeteksi dan tidak segera diambil tindakan yang tepat, maka akan timbul
masalah yang lebih fatal. Di tahap ini orang mengatakan “telah terjadi krisis”. Meski bukan di
sini awal mulanya krisis, orang menganggap suatu krisis dimulai di sini karena gejala yang
samar-samar atau sama sekali tidak jelas tadi mulai terlihat jelas.

Contoh kasus krisis pusat reaktor nuklir Three Mile Island di Pennsylvania, AS. Pers menyebut
krisis mulai muncul tanggal 28 Maret 1979 ketika reaktor tersebut mengalami kebocoran yang
menimbulkan efek radiasi. Tetapi sebenarnya krisis sudah muncul 13 bulan sebelumnya ketika
para karyawan menemukan kebocoran kecil yang dapat diatasi saat itu. Tanggal di atas adalah
ketika krisis sudah memasuki tahap akut.

Tahap ini sering disebut the point of no return. Artinya, jika sinyal-sinyal yang muncul pada
tahap prodromal tidak digubris, maka ia akan masuk ke tahap akut dan tidak bisa kembali lagi.
Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, issue menyebar luas.

Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis pada tahap akut adalah intensitas dan
kecepatan serangan yang akan datang dari berbagai pihak yang menyertai tahap ini. Kecepatan
ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh
kompleksnya permasalahan.

Tahap akut adalah tahap antara, yang paling pendek waktunya dibanding dengan tahap-tahap
lainnya, tetapi merupakan masa yang cukup menegangkan dan paling melelahkan bagi tim yang
menangani masalah krisis tersebut. Bila ia lewat, maka umumnya akan segera memasuki tahap
kronis.

3. Tahap ketiga – Periode Krisis Kronis

Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah pembersihan sehingga tahap ini
juga sering disebut sebagai fase pembersihan. Peristiwa pun sudah diberitakan dengan jelas di
media massa.

Tahap ini juga merupakan masa pemulihan citra dan upaya meraih kembali kepercayaan
dari masyarakat, di samping juga merupakan masa untuk mengadakan “introspeksi” ke dalam
dan keluar mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi (recovery & self analysis).

Masa ini berlangsung cukup panjang, tergantung pada jenis dan bentuk krisisnya.
Namun diharapkan seorang crisis manager dapat memperpendek tahap ini karena semua orang
yang terlibat sudah letih dan pers mulai bosan memberitakan kasus tersebut.

Masa ini juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya perusahaan melewati masa krisis:
keguncangan manajemen dan kebangkrutan perusahaan atau kepulihan manajemen dan
perusahaan seperti sedia kala. Contohnya adalah Bank Duta. Begitu selesai mengatasi masa
krisis, perbaikan struktur manajemen atau organisasi, rekapitalisasi dan operasinya, bank tersebut
tumbuh dan berhasil pulih kembali dalam khazanah dunia perbankan.

4. Tahap keempat – Periode Resolusi Krisis

Merupakan tahap penyembuhan (pulih kembali). Perusahaan yang terkena krisis dapat bangkit
kembali setelah melalui proses dan pemulihan sistem produksi, pelayanan jasa, strukturalisasi
manajemen, rekapitalisasi dan operasinya. Setelah itu baru memikirkan pemulihan citra tahap
berikutnya untuk mengangkat nama perusahaan di mata khalayaknya dan masyarakat luas.

Meski bencana besar telah berlalu, manajemen tetap perlu berhati-hati karena terdapat
kemungkinan krisis kembali ke keadaan semula (tahap prodromal). Khususnya departemen
humas, harus lebih siap dengan “strategi manajemen krisis” untuk mengantisipasi hal serupa di
kemudian hari, baik untuk krisis yang sama maupun untuk krisis yang lain.
IV. PENGENALAN LANGKAH-LANGKAH PENGENDALIAN DAN PENGELOLAAN

KRISIS

Pada saat krisis melanda perusahaan atau organisasi, sebagai tindakan korektif ada beberapa
tahapan langkah strategi atau kiat penanggulangan krisis (Rosady Ruslan, 1999:76-78), yaitu:

1) Mengidentifikasi krisis

2) Menganalisis krisis

3) Mengatasi krisis

4) Mengevaluasi krisis

1. Mengidentifikasi Krisis

Langkah ini merupakan penetapan untuk mengetahui (mengidentifikasi) suatu masalah krisis. Ini
penting untuk melihat secara jelas faktor penyebab (factfinding) timbulnya krisis.

Mengidentifikasi suatu faktor penyebab terjadinya krisis berfungsi untuk mengetahui, apakah
public relations atau perusahaan dapat menangani krisis yang terjadi itu segera atau tidak.
Seperti seorang dokter mendiagnosis suatu penyakit pada pasiennya, untuk mengetahui apakah
bisa disembuhkan, dikurangi penyakitnya atau sama sekali tidak bisa disembuhkan.

Bila krisis tersebut sulit untuk diatasi, membuang waktu, tenaga, dan biaya maka PR melihat segi
lain dari krisis tersebut yang persoalannya tidak terbayangkan sebelumnya, yakni biasanya suatu
perusahaan yang terkena krisis atau musibah disertai kemunculan masalah lain yang tidak diduga
sebelumnya.

Oleh karena itu, faktor utama penyebab krisis yang signifikan tersebut harus terlebih dahulu
diidentifikasikan, untuk diambil tindakan atau langkah-langkah penanggulangan atau jalan
keluarnya secara tepat, cepat dan benar.

2. Menganalisis Krisis

Mungkin perlu pengembangan dalam menggunakan formula 5W + 1H untuk mengung-kapkan


dan menganalisis secara mendalam sistematis, informatif dan deskriptif krisis yang terjadi
melalui suatu laporan yang mendalam (in-depth reporting).

Pada saat prakrisis atau masa akut krisis, bisa dianalisis melalui beberapa pertanyaan yang
diajukan untuk menetapkan penanggulangan suatu krisis, yakni:
a) What – Apa penyebab terjadinya krisis itu

b) Why – Kenapa krisis itu bisa terjadi

c) Where and when – Dimana dan kapan krisis tersebut mulai

d) How far – Sejauh mana krisis tersebut berkembang

e) How – Bagaimana krisis itu terjadi

f) Who – Siapa-siapa yang mampu mengatasi krisis tersebut, apa perlu dibentuk suatu tim
penanggulangan krisis

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah untuk menganalisis penyebab, mengapa dan


bagaimana, sejauh mana perkembangan krisis itu terjadi, di mana mulai terjadi hingga siapa-
siapa personel yang mampu diajak untukn mengatasi krisis tersebut. Langkah-langkah apa yang
dapat diambil untuk mengatasinya melalui analisis lapangan secara logis, informatif dan
deskriptif.

Setelah itu, PR beserta “team work yang solid” menarik suatu kesimpulan, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif selanjutnya mengambil rencana tindakan (action plan) berikutnya baik dalam
jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam jangka pendek, misalnya pada kasus biskuit beracun yang terjadi di pasar dan beberapa
anggota keluarga konsumen tercatat sebagai korbannya. Tindakan pertama (main action) dari
pihak perusahaan adalah penarikan segera semua biskuit (product recall) di pasar, baik yang
tercemar maupun tidak tercemar racun, untuk menghindarkan jatuhnya korban baru secara cepat
dan tepat. Tindakan ini diambil bukan untuk melihat penyebab, tetapi menangani langsung
dengan menarik produknya.

Tahap berikutnya, baru diidentifikasi awal terjadinya mulai dari mana (where) dan kapan (when)
diketemukannya malapetaka tersebut. Lalu, sejauh mana perkembangan krisis tersebut di mata
masyarakat dan pers. Sebaiknya tindakan pertama dan sekaligus cukup efektif, pihak perusahaan
langsung menyantuni para korban. Cara tersebut merupakan salah satu peredam pendapat yang
kontroversial dan mengurangi tekanan dan sorotan masyarakat yang berlebihan melalui tindakan
simpatik.

3. Mengatasi dan Menanggulangi Krisis

Dalam hal ini perlu untuk mengetahui bagaimana dan siapa-siapa personel yang mampu
diikutsertakan dalam suatu tim penanggulangan krisis. Mengatasi krisis dalam jangka pendek
sudah disebutkan di atas, maka dalam jangka panjang, yaitu untuk selanjutnya bagaimana krisis
tersebut tidak berkembang dan dicegah agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Terjadinya
malapetaka biskuit beracun tersebut, misalnya karena adanya pencampuran tidak sengaja antara
karung bekas “potas” yang diisi tepung untuk bahan biskuit.
Informasi mengenai adanya ketidaksengajaan pencampuran antara bekas karung bubuk racun
(potas) dengan tepung (contamination), perlu diungkapkan secara jelas kepada pihak
masyarakat, khususnya pihak pers agar bisa memberitakan secara objektif dan jangan
menutup-nutupi informasi yang sebenarnya (not to kill the information), akibatnya bisa fatal
dan masalah pokoknya tidak akan selesai dengan tuntas.

Hal di atas tidak hanya akan merugikan nama, produk dan citra perusahaan bersangkutan,
tetapi akan berdampak negatif ke perusahaan lainnya yang tidak bersalah sama sekali, melalui
contagious mentality dari mulut ke mulut. Untuk mengatasinya, selain memberikan informasi
yang sejelas-jelasnya, juga perlu diajak pihak ketiga, pejabat pemerintah yang berwenang
dalam hal ini, tokoh masyarakat dan lainnya sebagai upaya menetralisasi terhadap tanggapan
negatif dan kontroversial. Karena dianggap sebagai kekuatan, pihak ketiga berfungsi
mengukuhkan perbaikan situasi dan kondisi krisis (the third party endorsement), secara tepat
dan benar.

Kemudian, tindakan lainnya secara preventif dan antisipatif adalah memperbaiki sistem
pengamanan agar lebih ketat dan terjamin dalam proses atau rangkaian produksi, mulai dari
bahan baku, pengolahan hingga barang jadi untuk menghindarkan kejadian serupa di kemudian
hari.

4. Mengevaluasi Krisis

Tindakan terakhir adalah mengevaluasi krisis yang terjadi. Tujuannya adalah untuk melihat
sejauh mana perkembangan krisis itu di dalam masyarakat. Apakah perkembangan krisis
tersebut berjalan cukup lamban atau cepat, meningkat secara kuantitas maupun kualitas serta
bagaimana jenis dan bentuk krisis yang terjadi?

Kasus yang terjadi cukup menarik perhatian pihak ketiga, seperti tanggapan, kritikan, bahkan
kecaman dari sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, politik, pengamat dan pihak pers.
Khususnya pihak pers, bila terjadi suatu persoalan krisis yang muncul (prakrisis) dan kemudian
meledak menjadi krisis akbar, menjadi perhatian utama dengan pemberitaan yang gencar
mengenai krisis itu akan cepat menarik perhatian dan sorotan masyarakat. Persoalan tidak akan
selesai dan tuntas, tetapi malah menjadi beban perusahaan yang bersangkutan karena
persoalan krisis yang sebenarnya tersamar dan menyeret persoalan lain yang tidak ada
hubungannya dengan masalah pokok krisis.

Berita krisis tersebar luas tanpa kendali, dengan berbagai tanggapan dan pendapat yang tidak
didukung oleh fakta yang objektif, kadangkala didramatisasi sedemikian rupa sehingga menarik
perhatian (sensasional) bagi semua pihak. Untuk itu perlu tindakan pencegahan dan
pengisolasian krisis, agar tidak meluas tanpa kendali dengan teknik PR dengan tujuan untuk
mengantisipasi krisis yang terjadi.

Pada minggu ke-lima perkuliahan, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui beberapa kasus
tentang krisis, baik yang terjadi di dalam negeri, maupun yang terjadi di luar negeri. Mahasiswa
juga diharapkan dapat mengetahui penyebab dan dampak krisis terhadap organisasi serta cara
organisasi/perusahaan tersebut menanggulanginya:

KASUS-KASUS KRISIS

I. KEKUATAN RUMOR

Sebagai sebuah negara yang penduduknya mayoritas muslim, rumor tentang lemak babi yang
berada dalam kandungan suatu produk makanan/minuman merupakan issue yang sangat
sensitif, karena menyangkut sara. Beberapa perusahaan besar sudah mengalami krisis ini dan
banyak yang bisa bangkit kembali setelah mengalami penurunan penjualan yang drastis.
Namun ada pula perusahaan yang tampaknya kurang peduli terhadap rumor yang beredar dan
membiar-kannya menjadi issue yang laten. Di bawah ini terdapat beberapa kasus rumor lemak
babi yang pernah terjadi di Indonesia. Namun pembahasan kasus-kasus tersebut secara detil
cukup sulit karena tidak lengkapnya data dan informasi peristiwa akibat ketertutupan
perusahaan-perusahaan tersebut.

1. Kasus Dancow dari Nestle (Kasali, 2003:120)

Salah satu produk yang terkena dampak rumor lemak babi di tahun 1988 adalah produk susu
bubuk Dancow dari Nestle.

Dimulai dengan penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti pada Universitas Brawijaya,
Malang, yang menemukan bahwa beberapa produk makanan yang beredar di masyarakat
dibuat dengan unsur “gelatin”. Menurut peneliti itu, di negara-negara maju, gelatin dibuat
dengan menggunakan lemak babi. Oleh karenanya produk yang dibuat dengan gelatin di
Indonesia “dicurigai” mengandung lemak babi. Hasil penelitian itu kemudian dengan cepat
menyebar. Masyarakat menjadi panik. Rumor yang muncul semakin besar, produk yang
“dicurigai” bertambah banyak, seakan benar merupakan hasil penelitian. Padahal, sumber yang
menambahkan merek-merek baru dalam daftar yang “dicurigai” sudah tidak diketahui lagi.
Salah satu produsen yang terpukul adalah pabrik susu Nestle, yang menerima pasokan susu dari
sebuah desa di Nongkojajar, Pasuruan dan Batu (Malang). Karena rumor tersebut, penjualan
susu Nestle anjlok dan anggota koperasi di kedua desa tersebut pada gilirannya terkena
akibatnya.
Para peternak Nongkojajar menghadap pemerintah dan tokoh-tokoh ulama. Mereka
menjelaskan bahwa sejak beberapa tahun belakangan ini mereka telah semakin mengetahui
cara memelihara sapi yang baik. Makanan ternak pun telah ditemukan yang bergizi tinggi.
Justru problem yang dihadapi oleh peternak sekarang adalah menurunkan kadar lemak susu
sapinya, bukan menaikkan. Oleh karenanya, menurut mereka, sangat tidak mungkin Nestle
mencampur susu mereka dengan lemak babi. Justru susu tersebut perlu dicampur dengan susu
skim untuk mengurangi kadar lemaknya.

Pemerintah merasa perlu turun tangan karena dua hal. Pertama, bila didiamkan saja,
dikhawatirkan akan muncul peristiwa perusakan yang muncul dari kekecewaan masyarakat.
Kedua, para peternak sapi anggota koperasi akan mengalami kerugian karena tidak bisa
menjual susunya kepada koperasi, dan koperasi akan bangkrut.

Bersama dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia, pemerintah melakukan tindakan yang dalam
PR disebut “meluruskan opini yang mengundang issue kontroversial”. Salah satu caranya adalah
dengan meminta para ulama berkumpul dan minum susu Dancow dengan diliput secara luas
oleh media massa untuk membuktikan bahwa susu tersebut tidak mengandung lemak babi.

Dalam mengatasi kasus ini, Nestle sangat terbantu oleh inisiatif pihak peternak susu yang
melobi pemerintah dan tokoh-tokoh ulama. Setelah krisis teratasi, penjualan produk susu
mereka kembali stabil karena masyarakat percaya bahwa produk mereka halal.

Pada periode ini, produk Supermie dari Indofood pun ikut dimasukkan dalam daftar yang
“dicurigai” akibat adanya pesaing yang ingin menjatuhkan mereknya. Namun setelah
mendapatkan bantuan dari pemerintah dan para ulama dalam pengukuhan bahwa produk
mereka halal, krisis, penjualannya melejit kembali. Bukan hanya itu, dua merek lain yang
dipasarkan Indofood juga ikut melejit karena masyarakat yang tadinya ragu-ragu malahan jadi
percaya. Di sini kita bisa melihat bahwa krisis tidak selalu berdampak buruk terhadap suatu
perusahaan. Dengan manajemen krisis yang baik, kegiatan perusahaan kembali dapat berjalan
dengan stabil dan penjualan produk yang hampir merusak reputasi perusahaan justru semakin
membaik.

2. Kasus Bread Talk (berbagai sumber dari internet)

Komunitas di internet menjadi salah satu sumber rumor. Berbagai mailing list saling mengirim
cerita tentang kasus yang tengah hangat dibicarakan di masyarakat.

Seperti kasus produk roti Bread Talk yang kantor pusatnya berada di Singapura (lisensi
di Indonesia dipegang oleh perusahaan Johnny Andrean). Majalah Sabili no. 25 bertanggal 2 Juli
2004 mempublikasikan sebuah surat dari humas LPPOM MUI (bertanggal 8 Juni 2004) yang
intinya mengatakan bahwa produk Bread Talk belum mendapatkan sertifikat halal, dan bahwa
di Singapura, produk ini haram dikonsumsi oleh umat Islam karena belum mendapat sertifikat
halal dari Majelis Ugama Islam Singapura. Copy dari berita di atas dikirim secara berantai
melalui internet sehingga pemberitaannya semakin luas.

Pihak PR dari Bread Talk Singapura turun tangan untuk meluruskan bahwa di Bread Talk
di Singapura memang terdapat dua jenis roti yang dijual, yakni yang mengandung babi dan yang
tidak mengandung babi. Penjualannya pun dipisahkan.

Namun sebagian besar masyarakat muslim tampaknya memilih untuk lebih berhati-hati
mengkonsumsi roti Bread Talk, karena sampai saat ini pihak Bread Talk Indonesia juga tidak
melakukan tindakan berarti untuk mengatasi rumor tersebut. Meski sampai saat ini dampak
rumor itu terhadap penjualan roti Bread Talk belum dapat diukur, tapi berdasarkan
pengamatan semata, tampaknya telah terjadi penurunan minat konsumen untuk membeli roti
Bread Talk. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya jumlah pembeli yang mengantri untuk
membeli roti tersebut. Bila rumor tersebut terus beredar dan tidak ditangani dengan baik,
Bread Talk dapat kehilangan sebagian konsumennya dan calon konsumen potensial yang
beragama Islam.

II. PRODUCT RECALL (PENARIKAN PRODUK DARI PASAR)

Menarik hampir seluruh produk yang sudah diluncurkan ke pasar merupakan salah satu mimpi
buruk sebuah perusahaan. Tidak saja akan menghabiskan biaya dan menimbulkan kerugian
yang sangat besar bagi perusahaan, namun juga tercemarnya reputasi perusahaan. Selain itu,
perusahaan juga akan mengalami kesulitan meluncurkan kembali produk yang sudah ditarik
tersebut ke pasar, meskipun produk yang tercemar sudah diganti isi dan kemasannya.

Di bawah ini terdapat dua kasus penarikan produk dari pasar yang memiliki akhir yang berbeda,
yakni kasus Tylenol dari Johnson & Johnson dan kasus minuman mineral Perrier. Kasus pertama
selalu menjadi contoh keberhasilan penerapan manajemen krisis yang baik dan tepat sehingga
ketika produk yang sudah ditingkatkan kualitasnya diluncurkan kembali ke pasar, konsumen
tidak ragu untuk mengkonsumsinya. Sebaliknya, kasus kedua memperlihatkan lemahnya
manajemen perusahaan dalam menerapkan manajemen krisis yang baik sehingga
mengakibatkan turunnya pangsa pasar produk tersebut akibat krisis kepercayaan dari
konsumen.

1. Kasus Tragedi Tylenol Johnson & Johnson di Amerika Serikat


(Regester & Larkin, 2003:122-125; Putra, 1999:87; Ruslan, 1999:103-104)

Suatu contoh menyangkut resiko produk yang terjadi pada kasus kapsul Tylenol, produk
terkenal dari Johnson & Johnson yang terjadi pada September 1982. Produk tersebut
terkontaminasi oleh racun sianida menyebabkan tujuh orang meninggal di Chicago. Kasus
meninggalnya konsumen tersebut merupakan suatu tragedi yang menghebohkan dan menjadi
sorotan luar biasa oleh media massa dan masyarakat Amerika Serikat. Kemudian diikuti laporan
tentang berbagai penyakit dan kematian sebagai akibat mengkonsumsi kapsul Tylenol.

Tylenol sendiri memiliki 35 persen pasar obat sakit kepala di Amerika Serikat, menghasil-
kan 450 juta dollar per tahun dan mengkontribusikan 15 persen lebih dari seluruh profit J&J.

Dampak negatif tidak hanya menghantam J&J sehingga berkembang krisis kepercayaan
dan hilangnya citra perusahaan tersebut, tapi juga menimbulkan kepanikan luar biasa di
masyarakat yang selama ini merasa telah mengkonsumsi kapsul maut tersebut. Dan akhirnya
perusahaan sejenis lain ikut terimbas dampak negatifnya akibat untuk sementara waktu
konsumen tidak mau membeli obat sejenis.

Menangani masalah tersebut, humas J&J menyusun strategi dan bekerja sama dengan
media massa. Tindakan jangka pendeknya adalah menarik semua produk (product recall) kapsul
Tylenol yang dianggap telah terkontaminasi oleh racun sianida dari pasar. Di samping itu,
seluruh batch produksi sekitar 93.000 botol juga ditarik dari peredarannya di Amerika Serikat,
sekaligus menawarkan penukaran Tylenol dari berbentuk kapsul dengan tablet. Suatu langkah
yang menghabiskan biaya lebih 100 juta dollar. J&J juga membatalkan semua iklan komersial
Tylenol yang tengah ditayangkan di berbagai media cetak dan elektronik.

Langkah berikut, tindakan kuratif secara terpadu dengan membentuk tim posko untuk
menghadapi tragedi kapsul maut tersebut. Humas J&J bekerja sama dengan media massa
menjawab secara tertulis ribuan pertanyaan yang setiap hari dilontarkan oleh publiknya. J&J
juga membuka saluran telepon hotline. Pada prinsipnya, J&J membuka semua saluran
komunikasi dan informasi namun tetap terkendali. Sedangkan upaya mengembalikan keyakinan
dan kepercayaan masyarakat pada merek dagang Tylenol dilakukan melalui pimpinan tertinggi
sebagai juru bicara perusahaan, yaitu James E. Burke yang muncul di berbagai saluran TV dalam
berbagai kesempatan untuk menjelaskan secara gamblang dan terbuka mengenai kejadian
tersebut. Bahkan pihak J&J mengadakan konferensi untuk 3000 buah stasiun televisi (lokal &
nasional) dan mengundang 600 wartawan.

Tindakan selanjutnya adalah mencari sebab-akibat terjadinya kasus tersebut. Pihak


teknisi dan produksi bekerja keras melakukan penyelidikan untuk menemukan data atau fakta
di tempat perkara kejadian sekaligus mencari jawaban atas kasus Tylenol maut itu pada setiap
rangkaian proses produksi di pabrik hingga pengemasannya. Akhirnya ditemukan fakta bahwa
pada bulan September 1982 seseorang yang tidak diketahui identitasnya telah mencampurkan
racun sianida ke dalam Extra Strenght Tylenol Capsules lewat jalur distribusi atau outletnya, dan
akibat lolos dari pengawasan maka secara langsung pil tersebut dikonsumsi oleh para korban.

Sebagai tindakan pemulihan kepercayaan dan citra atas terjadinya tragedi kapsul maut
tersebut, pihak perusahaan memproduksi kembali produk kapsul Tylenol yang dikemas dalam
bentuk khusus dengan tiga lapis pengaman (triple sealed and tamper resistant packaging) yang
tidak gampang dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Keterbukaan pihak J&J
mampu merebut kembali sekitar 80% pangsa pasarnya dalam jangka waktu setahun setelah
krisis tersebut terjadi. Masyarakat sangat bersimpati terhadap usaha keras J&J dalam
mengatasi krisis yang menelan biaya ratusan juta dollar karena J&J lebih mementingkan
keselamatan konsumennya dibandingkan kerugian perusahaan.

Namun kasus di atas terulang lagi dengan adanya laporan seorang wanita di New York
mengalami ‘kecelakaan’ setelah mengkonsumsi kapsul Tylenol. J&J yang telah berpengalaman
dalam menanggulangi kasus yang sama segera menawarkan penukaran ke dalam bentuk tablet
atau pengembalian uang bagi konsumen yang telah terlanjur membeli Tylenol untuk
memulihkan kepercayaan terhadap perusahaan.

Tindakan selanjutnya, pihak praktisi PR mengontrol reaksi konsumen atas berita-berita


negatif yang muncul di berbagai media massa, berupaya untuk mengurangi kerusakan atau
kerugian yang terjadi dan kemudian secara perlahan dan pasti akan menciptakan kembali
kepercayaan atau memperbaiki citra yang telah hancur itu dengan menawarkan penukaran
dalam bentuk tablet. Pihak J&J tetap berusaha keras membangun kembali keutuhan kredibilitas
serta integritas yang tinggi di mata publiknya, walaupun telah dua kali dihantam oleh kasus
krisis yang sama. J&J bahkan memenangkan “Silver Anvil Award” dari Public Relations Society of
America karena kesigapan perusahaan dalam mengatasi krisis.

2. Kasus air mineral Perrier terkontaminasi bensin (Regester & Larkin, 2003:125-127)

Dalam menangani krisis akibat produk yang terkontaminasi, air mineral Perrier yang
berasal dari perusahaan yang sama di Perancis bertindak sangat kontras dengan J&J. Ketika
manajemen Perrier mendapatkan laporan bahwa di Amerika Serikat terdapat bensin dalam
beberapa botol air mineral yang diproduksinya, mereka menganggap problem tersebut sebagai
‘masalah kecil yang akan dilupakan orang dalam beberapa hari’. Namun hanya dalam waktu 24
jam saham Perrier jatuh drastis akibat semakin banyak ditemukannya contoh produk yang
terkontaminasi bensin di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, Perrier memutuskan untuk menarik kembali jutaan botol dari rak-rak
supermarket. Perusahaan induknya di Perancis mengeluarkan kritikan bahwa tindakan ini
sebagai usaha “menyenangkan” orang Amerika dan bukan karena memikirkan gangguan
kesehatan yang akan ditimbulkan produk mereka. Dalam beberapa tingkatan, perbedaan kedua
negara dalam cara memandang suatu masalah terefleksi pada teknik pemasarannya. Di
Amerika Serikat, iklan Perrier berbunyi “Perrier is Perfect” (Perrier itu Sempurna), sedangkan di
Perancis iklannya berbunyi, “Perrier C’est Fou” (Perrier itu Gila) untuk menggambarkan
gelembungnya yang membangkitkan semangat. Masyarakat Amerika Serikat
mempermasalahkan kontaminasi bensin dalam produk Perrier karena iklannya yang seperti
menjamin bahwa produk Perrier berkualitas tinggi.

Juru bicara perusahaan di Perancis mengklaim bahwa konsumen mereka di Perancis


bukanlah orang-orang yang mudah panik dibandingkan dengan konsumen di negara-negara
lain, sehingga manajemen Perrier tidak perlu khawatir. Namun pernyataan ini juga dilaporkan
ke negara-negara lain yang menjadi pasar kunci mereka, dan kurangnya perhatian Perrier
terhadap konsumennya ini menimbulkan kemarahan besar. Eksekutif perusahaan Perrier di
berbagai negara yang berbeda membuat pernyataan-pernyataan yang menimbulkan konflik
dan sudah jelas bahwa tidak ada rencana strategis yang akan dilaksanakan Perrier bagi
penarikan produk dari berbagai pasarnya di seluruh dunia.

Di bawah tekanan yang meningkat, empat hari setelah penemuan awal produk yang
terkontaminasi bensin di Amerika Serikat, Perrier memutuskan untuk menarik kembali seluruh
produknya dari seluruh dunia dan beranggapan bahwa dengan tindakan tersebut, mereka telah
menyelamatkan reputasi Perrier di seluruh dunia. Tapi ternyata reputasi produk sudah terlanjur
rusak. Perrier terlihat menunda dan tidak konsisten dalam pesan-pesannya tentang keseriusan
problem yang mereka hadapi. Dan mereka jadi bahan olok-olok media massa.

Masyarakat minum air mineral dalam botol sebagian karena mereka merasa hal itu
bergaya, namun sebagian lagi karena mereka percaya bahwa air tersebut lebih murni dari air
keran. Jelas sekali bahwa produk air mineral dipasarkan dengan menonjolkan ‘kemurniannya’.
Pelaksanaan penarikan produk kunci dari seluruh dunia merupakan keputusan sangat besar
akibat konsekuensi finansialnya, terutama karena pada kenyataannya ukuran problem yang
dihadapi tidak begitu besar. Bagaimanapun juga, Perrier sebagai suatu perusahaan yang
tampaknya tidak terlalu memperhatikan keluhan konsumennya, melakukan hal tersebut
dengan menyadari resikonya.

Riset yang diadakan di seluruh Eropa oleh MORI bagi perusahaan desain Henrion,
Ludlow & Schmidt di tahun 1995, menemukan bahwa Perrier menduduki tempat kedua sebagai
perusahaan yang identitas korporatnya paling tercemar. Tempat pertama diduduki oleh Shell
setelah kasus Brent Spar. Namun yang menarik adalah survei tersebut diadakan dalam tahun
yang sama dengan terjadinya kasus Brent Spar, namun lima tahun setelah kasus Perrier di atas.
Hal ini menunjukkan bahwa kasus Perrier tersebut sangat membekas di benak konsumennya.

Meskipun demikian, setelah penarikan seluruh produk Perrier yang penuh keributan,
situasi krisis tampaknya telah teratasi. Kampanye periklanan yang brilyan menandai akhir dari
masalah dan Perrier telah kembali dengan sukses ke pasar. Namun yang mengherankan, produk
Perrier kembali ke pasar dengan botol berisi 750 ml dengan harga yang hampir sama dengan
botol berisi 1 ltr yang dijualnya dahulu! Di sini terlihat bagaimana Perrier seperti membebankan
kepada konsumen biaya kerugian perusahaan akibat kecerobohan perusahaannya sendiri.
Perrier tidak pernah memperbaiki pangsa pasarnya dan dengan melemahnya saham mereka,
mereka menjadi sangat mudah dimangsa oleh perusahaan yang lebih kuat. Dan akhirnya Nestle
datang serta mengakuisisi Perrier.

III. KECELAKAAN ALAT TRANSPORTASI

Beberapa bidang industri memiliki resiko mengalami krisis lebih besar dibanding yang lain.
Salah satunya adalah bidang transportasi, terutama transportasi udara. Pesawat terbang,
meskipun semakin lama semakin canggih, sangat rentan terhadap kecelakaan. Kecelakaan bisa
terjadi akibat ‘human error’ (kesalahan manusia), kegagalan teknologi (rusaknya mesin
pesawat), sabotase, serangan teroris atau cuaca buruk.

Sudah sepantasnyalah, sebuah maskapai penerbangan menyiapkan manajemen krisis untuk


menghadapi skenario terburuk yang mungkin dihadapi perusahaan. Namun pada kenyata-
annya, masih terdapat maskapai-maskapai yang tidak mempedulikan hal tersebut sehingga
menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Berikut adalah contoh perbedaan penanganan krisis
akibat jatuhnya pesawat dari dua maskapai penerbangan.

1. Kasus kecelakaan pesawat Pan Am di Lockerbie (Regester & Larkin, 2003: 145-146)

Ketika pesawat Pan Am dengan nomor penerbangan 103 terjatuh di Lockerbie – Eropa, pihak
manajemen Pan Am (perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat) memutuskan untuk
meminimalkan komunikasinya dengan pers. Maskapai penerbangan ini percaya bahwa
kebijakan tersebut akan menjauhkan reputasi Pan Am dari konsekuensi tragis akibat tragedi di
atas.

Hal ini merupakan salah penilaian yang sangat besar. Dalam situasi seperti itu, media massa
akan mencari sumber-sumbernya sendiri dalam menggali berita. Dan perusahaan yang sedang
tertimpa musibah tetap akan menjadi berita utama meskipun mereka memilih untuk menutup
mulut.

Ketika ditanyai tentang peringatan akan kemungkinan adanya serangan teroris, pada awalnya
Pan Am mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak diberi peringatan sama sekali. Namun
akhirnya terungkap bahwa seluruh penerbangan yang beroperasi di Eropa, termasuk Pan Am,
telah diperingatkan akan bahaya serangan teroris tersebut. Pada kenyataannya, Pan Am telah
berusaha menutupi kebenaran, suatu pelanggaran keras atas prinsip dasar PR.

Lebih jauh lagi, CEO Pan Am, Thomas Plaskett, tidak pergi ke Lockerbie (tempat jatuhnya
pesawat), tidak meminta maaf pada keluarga korban, tidak menghadiri pemakaman para korban
serta tidak merasa bertanggungjawab terhadap tragedi yang terjadi tersebut. Pemberi-tahuan
tentang daftar korban pun memakan waktu yang lama. Salah seorang istri korban jatuhnya
pesawat Pan Am baru diberitahu tentang kematian suaminya setelah 6 minggu!

Media massa segera mencaci Pan Am yang saat itu juga tengah mengalami kesulitan keuangan,
sedangkan rute penerbangan trans Atlantik adalah satu-satunya rute penerbangan yang
menguntungkan. Penumpang pesawat hilang kepercayaannya terhadap Pan Am, pada
kemampuan dan kemauan Pan Am untuk menerbangkan mereka dengan aman melalui lautan
Atlantik, sehingga mereka memilih naik pesawat maskapai penerbangan yang lain. Pan Am
diboikot sehingga mengakibatkan kebangkrutan perusahaannya.

2. Kasus kecelakaan pesawat JAL (Japan Airlines) (Regester & Larkin, 2003:146-147)

JAL, maskapai penerbangan Jepang, melakukan hal yang sebaliknya ketika pesawat mereka
mengalami kecelakaan terburuknya pada tanggal 12 Agustus 1985 yang mengakibatkan
kematian 520 orang. Maskapai ini melakukan protokol yang detil untuk menunjukkan tanggung
jawab mereka terhadap kecelakaan tersebut.

Permintaan maaf pribadi dilakukan oleh pimpinan perusahaan, pemakaman korban dan
kerugian finansial ditanggung oleh perusahaan. Selama berminggu-minggu, lebih dari 400
karyawan JAL membantu para keluarga korban dari mengadakan upacara pemakaman hingga
mengisi form asuransi. Seluruh iklan ditangguhkan. Jika JAL tidak melakukannya, perusahaan ini
akan dituntut karena tidak berperi kemanusiaan dan tidak bertanggung jawab.

Pada upacara pemakaman korban, pimpinan perusahaan JAL, Yasumoto Takagi, membungkuk
dalam dan lama terhadap keluarga korban dan terhadap papan yang membawa nama-nama
korban. Ia meminta maaf dan merasa bertanggungjawab terhadap tragedi tersebut, serta
menawarkan pengunduran dirinya. Bahkan kepala bagian mesin JAL melakukan harakiri.
Dari hari terjadinya kecelakaan, JAL telah memobilisasi karyawannya, dari pimpinan hingga
yang terbawah, untuk memperlihatkan gerakan tubuh meminta maaf dan menyesal. Ketika ada
anggota keluarga yang harus mengadakan perjalanan ke desa kecil di gunung tempat
kecelakaan terjadi untuk mengidentifikasi korban, staff maskapai penerbangan diharuskan
menyertai mereka, membayar seluruh biaya yang dikeluarkan serta mewakilkan seorang
eksekutif untuk hadir pada upacara pemakaman. JAL juga memberikan beasiswa bagi anak-anak
yang orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat mereka.

JAL juga sangat cepat dalam memberitahu keluarga korban. Hanya butuh satu malam saja
mereka sudah dapat mengeluarkan daftar nama penumpang pesawat naas tersebut.

Meskipun JAL juga sempat mendapat cacian media massa dan kehilangan pangsa pasarnya
untuk sementara waktu, JAL bisa bangkit dari krisis yang menderanya dan pulih kembali karena
responnya yang manusiawi, penuh perhatian dan pertanggungjawaban terhadap para korban.

IV. KASUS PROMOSI YANG MERUGIKAN KONSUMEN

Kegiatan promosi atau periklanan yang kurang hati-hati dalam perencanaan dan
pelaksanaannya dapat menjadi salah satu penyebab krisis di perusahaan. Contohnya adalah
kasus promosi Keju Kraft yang terjadi di Amerika Serikat dan Hoover di Inggris. Akibat
kecerobohan manajemen dalam merancang promosi, konsumen merasa ditipu dan sangat
dirugikan. Perusahaan pun harus menanggung kerugian yang sangat besar serta cacian dari
berbagai media massa serta konsumennya sendiri.

1. Kasus Promosi Keju Kraft di Amerika Serikat (Putra, 1999:87)

Dalam kasus keju Kraft ini tak ada yang meninggal, tak ada lingkungan yang rusak, tak ada yang
luka dan tak ada skandal yang terjadi, tetapi Hakim Kenneth Gills dari pengadilan di Illinois
memutuskan bahwa sekitar 20.000 orang berhak atas ‘santunan’ akibat kecerobohan keju Kraft
dalam melakukan promosinya. Ini berawal dari sebuah acara promosi penjualan berhadiah atas
hadiah yang merupakan pencocokan antara ysng dicetak di flyer dengan apa yang ada dalam
kemasan keju yang dibeli. Rincian hadiah yang tersedia adalah: hadiah utama uang tunai sebesar
17.000 dollar Amerika, sebuah mobil van merk Dodge, 100 buah sepeda roadmaster, 500
skateboard 8000 paket keju Kraft.

Sehari setelah peluncuran program promosi ini, kantor perusahaan keju Kraft di Glenview,
Illinois dibanjiri telepon yang mengklaim hadiah sebuah mobil van. Sampai akhir kontes, ada
20.000 klaim atas hadiah, lebih banyak dibanding total hadiah yang dijanjikan yaitu sebanyak
8.600. Di antara 20.000 klaim itu, 10.000 di antaranya mengajukan klaim untuk hadiah sebuah
mobil van merk Dodge. Semua ini terjadi akibat kecerobohan pihak Kraft dalam menyusun
aturan main dalam kontes tersebut dan ketidaktelitian dalam pencetakan flyer serta kemasannya.

2. Kasus promosi Hoover di Inggris (White & Mazur, 1995:209-210)

Hal yang hampir sama terjadi pada perusahaan perkakas Hoover di Inggris. Bermula dari ide
para eksekutif pemasaran untuk memberikan hadiah penerbangan gratis ke Eropa atau Amerika
Serikat jika konsumen membeli lebih dari £100,- produk Hoover. Ide ini semula tampaknya
inovatif dan tampak seperti promosi yang dapat membawa keluar perusahaan dari resesi.
Namun promosi yang kurang pertimbangan mendalam, kurang terorganisir serta gagal dalam
pengukuran berapa besar respon yang didapat, telah mengubah promosi tersebut menjadi
mimpi buruk dari suatu program komunikasi. Promosi ini mengakibatkan pemberhentian
beberapa eksekutif senior, menghabiskan biaya sebesar US$ 30 juta untuk menutupi biaya tak
terduga yang serta gelombang publisitas yang mengkritik habis-habisan perlakuan perusahaan
terhadap konsumennya.

Hoover tidak melakukan perhitungan yang baik terhadap penawaran promosinya. Kesalahan
terbesarnya adalah penawaran yang terlalu heboh: kesempatan mendapatkan tiket pesawat
terbang seharga £400,- dengan hanya membeli perkakas Hoover seharga £119,-. Ternyata
banyak sekali orang yang membeli perkakas tersebut hanya untuk mendapatkan tiket
penerbangan gratis. Di sinilah letak kesalahan Hoover yang tidak menjelas dengan baik kepada
konsumennya bahwa tiket penerbangan gratis tersebut terbatas hanya untuk tanggal serta
tujuan tertentu. Hoover tidak pernah mengira bahwa respon masyarakat terhadap promosinya
begitu besar. Yang memperburuk masalah ini adalah kelambanan respon perusahaan serta
anehnya pendekatan mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya berapa banyak
orang yang akan mengikuti promosi tersebut.

DAFTAR REFERENSI

Barton, Laurence. Crisis in Organizations: Managing and Comunicating in the Heat of Chaos.
Cincinnati: South-Western Publishing, 1993.

Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated
Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.

Cutlip, Scott M., Allen H. Center & Glen M. Broom, Ph.D. Effective Public Relations. Eight
Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 2000

Gregory, Anne. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Terjemahan Dewi
Damayanti, S.S., M.Sc. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT.
Pusaka Utama Grafiti, 2003.

Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1999.

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations.
New Delhi: Crest Publishing House, 2003.

Ruslan, Rosady, SH, MBA. Seri-1: Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan
Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, Juni 1999.

White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public Relations
Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.

Wongsonagoro, Maria. “Crisis Management & Issues Management” (The Basics of Public
Relations). Jakarta: IPM Public Relations, 24 Juni 1995.

Wednesday, January 26, 2011

Menanggulangi Krisis Komunikasi di Social Media

Masih ingat kasus Prita Mulyasari vs RM Omni Internasional beberapa waktu


lalu? Dari sisi Public Relations (PR), kasus ini tergolong krisis komunikasi
paling menghebohkan yang muncul dan berkembang melalui media sosial.
Bermula dari sebuah email pribadi Prita kepada teman-teman dekatnya
berisi keluhan atas pelayanan RM Omni Internasional, Tangerang. Email
berjudul “Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang” itu
dengan cepat menyebar ke mailing list (milis), jejaring sosial seperti
Facebook, Twitter dan blog, lalu merembet ke situs berita online dan
akhirnya media massa (cetak dan elektronik)!

Sebelumnya, sempat muncul kasus beredarnya isu di internet tentang


monster Ancol pada November 2008. Isu bersumber dari video YouTube
berjudul “Monster Ancol Like Piranha” ini menyebar dengan cepat di jejaring
sosial, situs berita online dan media massa. Tak seperti kasus Prita, kasus ini
bisa diatasi dengan baik oleh PT. Pembangunan Jaya Ancol sebagai pihak
pengelola Taman Impian Jaya Ancol melalui tindakan penanggulangan krisis
perpaduan online dan offline.

Contoh penanganan krisis komunikasi di media sosial dilakukan dengan


sangat baik oleh PT. Sinar Sosro sebagai produsen Tehbotol Sosro. Pada Mei
2009 lalu, produk Tehbotol Sosro diterpa isu mengandung zat berbahaya
bernama Hydroxilic Acid. Isu bermula dari sebuah diskusi tertutup di milis
periklanan Indonesia CCI (Creative Cirle Indonesia) dengan tema bersumber
dari sebuah blog pribadi berjudul "Hydroxilic Acid: Hoax Teh Botol
Sosro". Isu ini segera menyebar ke jejaring sosial dan beberapa situs berita
online. Manajemen PT. Sinar Sosro dapat segera menetralisir kasus ini
melalui media online sehingga tak sampai mencuat ke media offline.

Apa Itu Krisis Komunikasi?

Wikipedia mendefinisikan krisis komunikasi sebagai sub-spesialisasi profesi


PR yang dirancang untuk melindungi dan membela individu, perusahaan,
atau organisasi dalam menghadapi tantangan publik untuk reputasinya.
Tantangan-tantangan tersebut bisa dalam bentuk investigasi dari badan
pemerintah, tuduhan kriminal, penyelidikan media, gugatan pemegang
saham, pelanggaran peraturan lingkungan hidup, atau beberapa skenario
lain menyangkut hukum, etika, atau laporan keuangan.

Perkembangan media baru, khususnya media sosial, pada dasarnya telah


mengubah sifat penanganan krisis komunikasi. Dalam lingkungan informasi
baru sekarang ini, praktis siapa pun bisa membuat dan menyebarkan konten
"berita" melalui berbagai saluran/platform yang tersedia. Publik,
konsumen/calon konsumen bebas menuliskan dan menyebarluaskan
pengalaman baik dan buruknya dalam mengomsumsi merek, produk atau
jasa melalui jejaring sosial.
Selain itu, kemampuan internet untuk menyediakan akses konten secara
instant selama 24/7 (24 jam - 7 hari), terkonsolidasi dan terindek (melalui
mesin pencari cerdas), telah membuatnya menjadi sumber berita utama
publik. Perusahaan dan profesional PR beroperasi dalam lingkungan
informasi baru harus memahami implikasi teknologi dan menyesuaikan
pendekatan yang sesuai.

Biasanya ada dua hal yang terjadi selama krisis:

1. Permasalahan yang Perlu Segera Ditangani

Ini bisa menjadi percikan api di salah satu bangunan Anda, misalnya
seorang mantan karyawan yang tidak puas membagikan dokumen internal,
isu kandungan/keamanan produk, penggelapan atau korupsi, penculikan dan
tebusan, kecelakaan di tempat kerja, gangguan jaringan listrik dan produksi
dihentikan, dan lain-lain.

Atau, bisa jadi masalah yang diketahui - salah satu tim manajemen atau
manajer umum tahu mengenai masalahnya dan mungkin tidak memberi
penjelasan singkat (briefing) ke tim komunikasi. Kasus ini banyak terjadi
belakangan ini antara perusahaan dan komunitas mereka.

2. Komunikasi yang Bisa Diterapkan Dengan Semua Pemangku


Kepentingan (Stakeholder) dan Masyarakat Luas

Ini termasuk karyawan dan keluarga mereka, pemerintah daerah dan


petugas layanan darurat, mitra bisnis, vendor, dewan direksi, analis, dan
komunitas investor yang berlaku, serta komunitas fisik dan virtual yang
mempengaruhi - langsung maupun tidak langsung.

Mengelola krisis perlu terjalin komunikasi tentang apa yang diketahui dan
sedang dilakukan selama krisis. Ada banyak ahli krisis pada kedua sisi
percakapan.

Anda bisa mengatakan bahwa tidak ada industri yang kebal dari krisis -
pikirkan untuk contoh dari jasa keuangan, baik perbankan dan organisasi
asuransi telah menjadi pusat perhatian untuk praktek bisnis mereka dalam
beberapa tahun terakhir.

Metode ICE

Para komunikator dan profesional PR diajarkan bahwa selama krisis, mereka


harus menggunakan metode ICE untuk memandu respon. ICE singkatan
Information (Informasi), Communication (Komunikasi) dan Evaluation
(Evaluasi). Ketiga bidang dan proses yang terkait dengan mereka akan
membantu Anda tetap terorganisir dan menjaga tim penanggulangan krisis
dan manajemen krisis bergerak pada halaman yang sama.

1. Informasi

Kumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang peristiwanya: siapa, apa,


kapan, di mana, mengapa, bagaimana dan banyak lagi. Periksa dan cek
ulang fakta, dan dapatkan perkembangan terbaru (update) sesering
mungkin. Apakah Anda memiliki jalur komunikasi terbuka dengan orang-
orang di lapangan dan mereka yang dekat dengan krisis? Apakah Anda
memiliki proses untuk menangkap informasi sebagaimana adanya?

Strategi ini dilakukan PT. Pembangunan Jaya Ancol ketika mengadapi isu
“Monster Ancol” dengan melakukan penelitian langsung melalui pihak ketiga
yang ahli kredibel yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesa (LIPI) sebagai
peneliti.

2. Komunikasi

Setelah informasi terkumpul dan diverifikasi, komunikasikan kepada


karyawan dan stakeholder kunci lainnya, termasuk media yang sesuai. Buat
catatan semua permintaan informasi dari setiap kelompok stakeholder.
Apakah Anda memiliki bahasa untuk disetujui dimana Anda dapat
memasukkan fakta-fakta kunci ke dalamnya untuk membantu mempercepat
komunikasi awal? Apa proses Anda untuk meng-update secara terus-
menerus? Siapa yang harus terlibat dalam persetujuan?

Contoh ini dilakukan oleh PT. Sinar Sosro melalui pendekatan internal dan
eksternal. Presiden Direktur membuat memo internal dan menunjuk tim
khusus untuk menangani. Tim khusus menjadi crisis center dan memberikan
kewenangan kepada karyawab untuk mereplay email dengan panduan
jawaban yang telah disiapkan. Dalam hal ini, mereka mengutamakan
kalangan internal untuk menjelaskan kepada publik mengenai kasus
tersebut. Semua lini berperan sebagai PR.

Sedangkan untuk eksternal, PT. Sinar Sosro membuat pernyataan resmi


pada situs Sosro dengan link situs referensi/Wikipedia, blog pembuat hoax
dan situs berita yang membuat isu tersebut. Anda bisa melihatnya disini
“Klarifikasi Tehbotol Sosro Mengenai HOAX Hydroxilix Acid.”

3. Evaluasi

Monitor pemberitaan media dan percakapan online untuk memastikan


informasi yang disajikan akurat. Tim penanggulangan krisis harus segera
bertindak untuk memperbaiki informasi yang salah atau menyesatkan.
Sering meng-update informasi dan memverifikasi kemajuan dalam respons
organisasi.

Ini juga dilakukan manajemen Sosro dengan secara kontinyu melakukan


monitoring media online pada milis, blog, situs untuk mengetahui trend
penyebaran serta perkembangan isu yang terjadi dan opini yang terbentuk.

Anda perlu memantau pernyataan publik oleh pihak ketiga, termasuk


pelanggan, responden darurat, petugas pemadam kebakaran dan polisi, dan
lain-lain. Proses yang sama berlaku di sini - jika informasi tidak benar atau
menyesatkan, beritahu segera media dan nara sumber dengan fakta-fakta
terbaru.

Tindaklanjuti secara proaktif dengan media dan pemangku kepentingan


lainnya pada hari-hari dan minggu-minggu yang mengikuti krisis. Anda
memiliki kesempatan untuk menambahkan temuan berikutnya atau
informasi baru, dan memberikan pembaruan pada kemajuan Anda dan
langkah berikutnya.

Ketika krisis berakhir, Anda akan mengevaluasi kinerja tim penanggulangan


krisis dalam melaksanakan perencanaaan krisis untuk mengidentifikasi area
kekuatan dan peluang untuk perbaikan.
Perencanaan untuk Bencana

Kenyataannya banyak organisasi tidak siap ketika bencana atau krisis


macet. Mereka telah gagal untuk merencanakan bagaimana mereka akan
mengumpulkan informasi, mereka belum mengidentifikasi para pemangku
kepentingan untuk komunikasi mereka, dan mengabaikan langkah penting
dalam mengevaluasi bagaimana krisis ini berkembang untuk menentukan
langkah selanjutnya.

Richard Becker menekankan empat prinsip dasar perencanaan bencana:

 Mitigasi: Mitigasi berfokus pada langkah-langkah jangka panjang


untuk mengurangi atau menghilangkan risiko. Ini mungkin termasuk
teknologi atau kebijakan, diatur di tempat oleh perusahaan atau
pemerintah.

 Kesiapsiagaan: Perencanaan, pengorganisasian, pelatihan, evaluasi,


dan memperbaiki kegiatan yang akan memastikan koordinasi yang
baik dari upaya-upaya selama bencana.

 Respon: Tanggapan mencakup mobilisasi semua layanan darurat


yang diperlukan dan responden pertama di daerah bencana. Respon
yang terorganisir membutuhkan struktur (kepemimpinan) dan
ketangkasan (kreativitas).

 Pemulihan: Pemulihan bertujuan untuk memulihkan daerah yang


terkena ke kondisi sebelumnya sebelum bencana. Hal ini hampir selalu
terjadi setelah bencana, itu adalah kesempatan untuk menilai mana
mitigasi, kesiapsiagaan, dan respon rusak.

Mana diantara 4 prinsip di atas yang Anda tidak siap? Suatu krisis menjadi
bencana ketika isu yang diendapkan itu tidak diperhatikan, dan ketika
komunikasi menyangkut hal itu tidak segera datang, faktual, dan diarahkan
kepada semua pemangku kepentingan.

Dalam rentang percakapan, pemberitaan, pengumpulan dan dukungan


publik, dapat dengan cepat menyebar tak seperti krisis yang pernak kita
saksikan atau alami di generasi sebelumnya. Selain itu, kenyataan bahwa
banyak, termasuk saluran media mainstream, mengkonsumsi berita dan
informasi pada jaringan sosial dan cukup banyak untuk Anda pikirkan.

Apakah Anda siap untuk menghadapinya?

Organisasi menyentak untuk memanfaatkan media baru untuk tujuan


pemasaran, dan memang mereka harus. Jika pelanggan dan calon
pelanggan Anda sedang online, Anda akan ingin menggunakan alat yang
sama untuk berkomunikasi dengan mereka dan rekan sejawat serta teman-
teman mereka. Apakah Anda:

 Membuat panduan media sosial dan modul pelatihan untuk membantu


mengurangi risiko asosiasi Anda, karyawan yang berpartisipasi dalam
komunitas online.

 Mengembangkan kemungkinan skenario bisnis yang dapat


mempengaruhi bisnis Anda dan menjalankan melalui mereka dalam
penggunaan di atas meja dan latihan-latihan.

 Melatih semua orang yang akan menjadi bagian dari tim


penanggulangan, terlibat secara aktif dengan petugas layanan darurat
(emergency) dan anggota komunitas terkemuka, khususnya tim
komunikasi.

 Mengevaluasi di mana hal-hal yang merusak manajemen komunikasi


dan isu, dan mendapat ketangkasan dan momentum yang tepat untuk
menangani semua keadaan yang tidak menentu.

Jaringan sosial membuat segalanya lebih cepat dan ketergantungan yang


lebih komplek. Namun, Anda tidak harus berpikir berlebihan karena hal ini.
Prinsip yang sama berlaku di sini yaitu diuji waktu. Kita sering terlibat dalam
situasi krisis yang bahkan kita tidak bisa membayangkan, tak pernah
terpikirkan sebelumnya.

Pro Aktif

Persiapan dan informasi adalah teman-teman Anda. Dalam sosial yang


berarti meletakkan dasar kerja pada membangun hubungan dengan
komunitas Anda atas dasar keterbukaan otentik tentang praktik bisnis,
produk dan jasa.
Ketika sebuah kesalahan tak terduga atau bencana terjadi, dasar kerja akan
memberi Anda lisensi untuk mengesankan pelanggan Anda.

Para komunikator dan profesional PR biasanya terlibat dengan media baru


untuk alasan ini. Namun, bisnis masih bekerja pada perencanaan
komunikasi krisis dan banyak belum mengambil langkah ekstra untuk
memasukkan media sosial dalam perencanaan tersebut.

Pikirkan bahwa kesalahan informasi dan dampak obrolan bisa saja terjadi
dalam jaringan sosial. Masih ingat kasus Tehbotol Sosro? Apakah Anda siap
atau belum siap sama sekali?

SIKLUS ORGANISASI : PROSPEK PERINDUSTRIAN KE DEPAN


Nama saya romualdus adi nugroho, mahasiswa tehnik industri 2015. Pada blog saya ini
saya akan menuangkan pemikiran – pemikiran saya yang berlandaskan teori – teori dari sirklus
organisasi.
Sejak krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia sejak tahun 1997 banyak
perusahaan yang mengalami gulung tikar atau bangkrut sehingga terpaksa harus di tutup.
Dampak dari penutupan perusahaan tersebut sudah dapat dipastikan yang masih menjadi
permasalahan sampai sekarang adalah pengangguran dimana-mana. Hal tersebut ditambah lagi
dengan banyak penanam modal asing (PMA) yang “hengkang” dari tanah air dan memindahkan
aktifitas bisnisnya dinegara lain seperti Cina, Vietnam, dan lain sebagainya.
Kondisi seperti itu berlawanan dengan yang terjadi sebelum saat krisis mulai, dimana
negara Indonesia di sebut-sebut dengan “Macan Asia” dari sisi investor luar negeri yang
menanamkan modalnya di Indonesia. Jika melihat dari kacamata keberadaan perusahaan yang
ada dan beroperasi pada saat itu memang banyak dan bergairah dalam menjalankan aktifitas
bisnis, terlepas dari unsur lain dalam menilai kodisi sebelum krisis ekonomi terjadi seperti
politik, keamanan, dan lainnya. Hal tersebut merupakan daya tarik tersendiri dari jatuhnya
perusahaan yang ada di Indonesia dan sulitnya bagi para pengusaha luar negeri untuk dapat
bertahan di Indonesia,
Jones (1995) menyatakan bahwa suatu perusahaan akan mengalami suatu siklus hidup.
Ada empat tahapan siklus hidup organisasi yaitu; kelahiran, pertumbuhan, penurunan, dan
kematian.
Gambar 1 Model Siklus Hidup Organisasi

 Organizational birth (kelahiran organisasi), dengan memanfaatkan keahlian dan


kompetensi, beberapa orang kemudian dapat menciptakan nilai/ value sehingga dapat
disebut lahirlah sebuah organisasi. Menciptakan nilai, misalnya menemukan cara baru
untuk dapat meraih pasar. Contohnya, kita menjual produk yang sama, tetapi harga lebih
murah, kita membuat kue yang memiliki cita-rasa lezat yang tidak sama dengan
perusahaan sejenis. Contoh tersebut menunjukkan strategi yang dipilih seperti penawaran
harga yang lebih rendah dari pesaing (low-cost business) dan penawaran produk yang
berbeda dari pesaing (differentiation).
o Organizational growth (pertumbuhan organisasi), yaitu organisasi yang
mengembangkan keahlian dan kompetensinya. Banyak cara yang dilakukan agar
dapat tumbuh seperti meniru strategi, struktur, dan budaya organisasi yang telah
sukses sebelumnya.
o Organizational decline (penurunan organisasi), yaitu suatu organisasi yang gagal
dalam mengantisipasi, mengenal, menghindari, menetralisir, atau menyesuaikan
diri dengan tekanan eksternal dan internal yang mengancamnya.
o Organizational death (organisasi yang mati), yaitu organisasi yang tidak bisa lagi
beroperasi dan beraktifitas lagi. Hal seperti ini sebenarnya yang harus dihindari
dari suatu organisasi.
o Sedangkan pada jaman sekarang yaitu jaman globalisasi, sukses dan gagal-nya
perusahaan akan tergantung pada lingkungan yang kompetitif di pasar global (Zou
dan Cavusgil, 1995). Jika bisa memenangkan pasar global maka organisasi
tersebut akan terus hidup dan mungkin dapat menjadi pemimpin pasar global.
Namun sebaliknya jika tidak bisa bersaing di pasar global, maka lambat laun
organisasi akan mengalami penurunan terus menerus sehingga sampai pada
akhirnya yaitu kematian organisasi. Hal senada dengan hal di atas dikemukakan
oleh Li et al. (2000), bahwa from 408 foreignfunded firms competing in China’s
telecommunications equipment industry provides convincing evidence to the need
for high-tech firms to maintain technology leadership in international markets,
including emerging markets, so multi-national companies (MNCs) competing in
emerging markets, technology leadership generates some very important
competitive advantage. Jadi penguasaan teknologi dan pasar oleh suatu
perusahaan akan membawa kepada kemenangan dalam persaingan di era
globalisasi ini yang memaksa industry dalam negeri untuk memacu
Dalam berorganisasi tentunya memiliki problematika. Yaitu naik turun nya sebuah organisasi
perusahaan dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam siklus organisasi ini pula memiliki semacam
perubahan karena adanya faktor – faktor tertentu yang mempengaruhi.
 Kelahiran, pertumbuhan, kemunduran dan kematian merupakan empat prinsip
tahapan dari siklus kehidupan suatu organisasi.

 Sebuah organisasi lahir ketika beberapa individu dan entrepreneur terpanggil untuk
mengetahui dan kemudian mengambil manfaat dari adanya peluang dalam
menggunakan keahlian dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai. Mereka
menaklukkan peluang tersebut dengan mendirikan sebuah organisasi untuk
menghasilkan sesuatu, baik berupa produk atau jasa. Peluang itu perlu di-manage dan
dipelihara dengan baik, jika menginginkan kelangsungan atau sustainabilitas dari masa
hidup organisasi tersebut.
Disisi lain, kelahiran organisasi merupakan suatu tahap yang berbahaya dari siklus
hidup organisasi dan ia selulu berhubungan dengan kesempatan terbesar yang bisa
berujung kegagalan dari organisasi tersebut. Permasalahan pertama yang dihadapi
suatu organisasi sesaat setelah organisasi itu lahir adalah bertahan dari kerentanan
kelahiran organisasi (organizational birth). Permasalahan lain timbul pada saat
organisasi tumbuh, dan ketika organisasi dewasa, permasalahan-permasalahan
tersebut harus dikelola untuk menghindari awal kemunduran atau kematian.
Beberapa masalah yang dihadapi suatu organisasi setelah ia lahir diantaranya
”terkejut/shock” dengan hal-hal baru seperti lingkungan yang baru, belum adanya
struktur formal dari organisasi untuk menambah proses cipta nilai dan bertindak stabil
serta pasti, ketidakcocokan dengan lingkungan baru dalam hal penyediaan sumber
daya karena banyak organisasi baru yang berdiri dan saling bersaing untuk
mendapatkan sumber daya-sumber daya tersebut. r-strategy versus K-startegy serta
specialist strategy versus general strategy merupakan dua bentuk strategi yang dapat
digunakan oleh organisasi sebagai akses untuk mendapatkan sumber dayanya dan
untuk mempertinggi kesempatan organisasi tersebut untuk tetap bertahan

 Untuk tetap bertahan dan berhasil, organisasi harus dapat berubah dalam
merespon berbagai kekuatan atau tekanan baik dari segi internal maupun eksternal.
Suatu organisasi harus mampu untuk membuat perubahan terhadap struktur maupun
budayanya pada titik kritis dalam siklus hidupnya. Jika pengaturan itu berlangsung
dengan baik dan sukses, maka organisasi dapat terus bertumbuh dan menjadi berbeda
dari sebelumnya. Suatu organisasi harus terbiasa dengan ketidakpastian lingkungan
yang sering berubah-ubah dan mampu untuk mengatasi kelembaman (inertia) yang
senantiasa mengancam kemampuan organisasi untuk dapat berubah.

 Organisasi yang terus bertumbuh setelah lahirnya dapat menambah divisi pekerja
mereka, melakukan spesialisasi kerja serta mengembangkan keahlian para pekerja
yang dapat menyumbang keunggulan kompetitif bagi organisasi, yang dengannya
organisasi dapat dengan mudah mendapatkan sumber daya-sumber yang langka.
Pertumbuhan organisasi menurut Jones (1998) dalam
http://funnymustikasri.wordpress.com yaitu: “tahap siklus hidup organisasi dimana
organisasi mampu mengembangkan nilai kreasi dan kompetensi sehingga
mendapatkan sumberdaya tambahan. Pertumbuhan ini memungkinkan organisasi
meningkatkan pembagian kerja dan spesialisasi serta sekaligus mengembangkan
keunggulan kompetitif”.
foto : larry Greiner
Menurut Larry Greiner ada 5 tahap Model Pertumbuhan Organisasi, yaitu :
1. Tahap kreatifitas
Kreativitas para pendiri organisasi merupakan tahap awal dari evolusi suatu organisasi.
Bentuk kreativitas ini biasanya dalam mengembangkan produknya dan pasar. Desain
organisasi pada tahap ini masih berupa struktur sederhana dan pengambilan keputusan
dikontrol oleh manajer-pemilik atau top manajemen. Komunikasi antar tingkatan di
dalam organisasi berlangsung intensif dan informal. Krisis yang muncul pada tahap
awal pertumbuhan organisasi adalah krisis kepemimpinan
.
2. Tahap pengarahan
Pada tahap pengarahan desain organisasi makin birokratis, komunikasi antar tingkatan
menjadi formal dan spesialisasi pekerjaan mulai diterapkan, seperti aktivitas produksi
dan pemasaran. Pengambilan keputusan pada tahap ini bermuara pada manajemen
baru dan manajer tingkat bawah tidak diikut sertakan. Keadaan ini akan menimbulkan
krisis otonomi, dimana manajer tingkat bawah akan mencari pengaruh yang lebih besar
di dalam pengambilan keputusan.

3. Tahap pendelegasian
Pada tahap pendelegasian manajer tingkat bawah mempunyai otonomi yang lebih
besar dalam menjalankan aktivitas unit kerjanya, sedangkan top manajemen lebih
berkonsentrasi pada perencanaan strategis jangka panjang. Krisis yang muncul dari
tahap pendelegasian adalah krisis kontrol.

4. Tahap koordinasi
Tahap ini muncul sebagai akibat dari krisis kontrol pada tahap pendelegasian.
Koordinasi sangat diperlukan oleh manajer lini dari unit-unit staf dan kelompok-
kelompok produk dalam menjalankan fungsinya. Namun adanya koordinasi juga
menimbulkan konflik garis-staf yang menyita banyak waktu dan energi, sehingga
muncul krisis birokrasi.
5. Tahap kerjasama
Kerjasama yang kuat antar individu di dalam organisasi merupakan lalan keluar dari
krisis birokrasi pada tahap koordinasi. Budaya organisasi menjadi substitusi bagi
kontrol formal manajemen organisasi.

 Jika organisasi gagal dalam me-manage proses pertumbuhannya secara efektif,


maka hasilnya adalah organisasi tersebut akan mengalami kemunduran, suatu tahap
dimana organisasi gagal untuk mengantisipasi, mengetahui dan merubah tekanan
internal maupun eksternal yang mengancam keberlangsungan organisasi tersebut.
Weitzel dan Jonsson’s membuat model untuk organisasi yang mengalami kemunduran
yang terdiri dari 5 tahap sebagai berikut:
Tahap1 : Kebutaan (Blinded)
Tahap2 : Tidakada kegiatan (Inaction)
Tahap3 : Pengambilan Tindakan yang salah (Faulty action)
Tahap4 : Pengembangan situasi krisis (Crisis)
Tahap5 : Pembubaran atau kematian (Dissolution or death)

 Selanjutnya kematian organisasi terjadi karena suatu organisasi melepaskan


sumber daya-sumber daya yang dimilikinya atau melikuidasi aset-asetnya. Dan sebagai
langkah awal pembubarannya, maka organisasi akan memutuskan hubungannya
dengan para stakeholder dan mengalihkan sumber daya-sumber dayanya ke organisasi
lain. Tempatnya akan diambil alih dan digantikan oleh orgnasasi yang baru, dan sebuah
siklus baru kelahiran dan kematian organisasi akan dimulai kembali.
Setelah kita membahas tentang sirklus organisasi berserta faktor – faktor yang
menyebabkan terjadinya hal tersebut yang otomatis ada kaitan yang sangat kuat
dengan perusahaan industri, dikarenakan perusahaan yang baik tentunya memiliki kerja
sama yang baik serta efektif dalam pengelolaannya. Organisai dalam perusahaan
industri saat ini menurut penulis adalah sedang ada di tahap pada perusahaan yang
membutuhkan inovasi serta kreativitas baru, maksudnya adalah berbagai perusahaan
industri pada masa ini berlomba – lomba menciptakan teknologi – teknologi baru yang
mempermudah segala kegiatan manusia.
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku,
barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam
penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
Dengan demikian, industri merupakan bagian dari proses produksi. Bahan-bahan
industri diambil secara langsung maupun tidak langsung, kemudian diolah, sehingga
menghasilkan barang yang bernilai lebih bagi masyarakat. Kegiatan proses produksi
dalam industri itu disebut dengan perindustrian.
Industri (perindustrian) di Indonesia merupakan salah satu komponen perekonomian
yang penting. Perindustrian memungkinkan perekonomian kita berkembang pesat dan
semakin baik, sehingga membawa perubahan dalam struktur perekonomian nasional
Penggolongan industri menurut jumlah tenaga kerja

(a) Industri kecil : industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari 10 orang,
misalnya industri rumah tangga.

(b) Industri menengah : industri yang menggunakan tenaga kerja antara 10 – 50 orang.
Modal usahanya sudah besar, misalnya dalam bentuk CV dan PT.

(c) Industri besar : industri yang menggunakan lebih dari 50 orang, dan antara
pemimpin perusahaan dan karyawannya tidak saling mengenal. Modal usaha jauh lebih
besar dan penjualan hasil produksinyapun lebih luas
Perkembangan industri melibatkan berbagai penemuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Di Indonesia, kegiatan pembangunan ditunjang oleh tumbuhnya berbagai
jenis industri dengan berbagai jenis kegiatan
Sekarang ini, banyak negara-negara di dunia terus berupaya untuk menumbuhkan
ekonominya. Langkah yang diambil yaitu dalam masalah industri. Industri memang
menjadi faktor fenomenal untuk menunjang perdagangan. Mereka saling bersaing untuk
mendapatkan tempat di pasar global. Karena di dalam pasar global itu sendiri terjadi
perdagangan bebas dari dan tentang suatu negara. Salah satu hal yang mendukung
ialah sektor industrialisasi.
”Perkembangan industri di Indonesia termasuk cukup cepat. Sektor industry dapat
tumbuh rata-rata mencapi 12,8%. Kecepatan ini logis karena baru dalam taraf awal
melalui penanaman modal secara besar-besaran, tetapi kemudian pertumbuhannya
menurun bila mendekati titik kejenuhan, kecuali bila pasarannya dapat dikembangkan
terus-menerus. Perkembangan sector industry antara 1985-1988 adalah sebagai
berikut: tahun 1985 (11,9%); 1986 (9,29%); 1987 (10,16%); 1988 (11,9%); dan tahun
1989 (9,09%) sebagai angka perkiraan.
Sejauh ini pengembangan sektor industri makin marak, itu sebenarnya tuntutan
globalisasi itu sendiri. Di Indonesia, kota-kota industri mulai berkembang dan
menghasilkan barang-barang produksi yang bermutu. Namun, ada banyak industri pula
di Indonesia yang sebagian sahamnya adalah ahasil investasi asing, bahkan ada juga
perusahaan dan industri yang secara mutlak berdiri dan beroperasi di Indonesia
Sebagai contoh saja, industri otomotif sepertai Astra, Indomobil, New Armada. Pada
dasarnya perusahaan-perusahaan itu hanya merakit dan kemudian menjualnya ke
masyarakat. Berarti hal itu dapat dikatakan bukan hasil karya anak negeri, melainkan
modal asing yang ada di Indonesia.
Untuk itulah, seharusnya bangsa ini lebih dalam untuk meningkatkan sumber daya
manusianya. Dengan demikian dapat disimpulkan ilmu pengetahuan dan teknologi ialah
sarana dalam mengembangkan SDM termasuk menumbuhkembangkan industrialisasi
dan menjalankan perekonomian bangsa dengan baik”. Kata Taufik Ali Rachim. Seorang
pengamat industri di Indonesia.

Untuk industri pada masa depan,


menurut saya akan terjadi persaingan kreativitas yang terlihat jelas tidak memandang
perusahaan baru atau lama. Karena dalam masa ini manusia mencari solusi agar
segala inovasi tersebut dapat membantu manusia dalam pekerjaan sehari – hari.
Khususnya di Indonesia, dunia Industri di Indonesia akan mengalami persaingan berat
karena adanya MEA yang ‘memaksa’ perindustrian di Indonesia harus berkembang
agar perekonomian di Indonesia tidak terbelakang dengan negara – negara di Asia
Tenggara.
Prospek saya kedepan dalam karir saya, saya ingin menganalisis perindustrian
serta memecahkan masalah perindustrian secara efisien dan efektif. Dengan program
Tehnik Industri ini sangan membantu membuka pikiran serta gagasan yang dapat
membangun perindustrian di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai