Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENGARUH PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA IBU HAMIL

OLEH

NAMA : NUR AMIDAH

NIP : 19780831 201101 2 009

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang

tak terpisahkan.Apa yang dikonsumsi oleh ibu akan ditransfer ke janin.

Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi optimal

dan perkembangan kedua bagian unit tersebut yaitu ibu dan

janin.Menjaga asupan gizi menjadi hal penting bagi bumil (Ibu Hamil)

agar ibu dan janin sehat hingga hari kelahiran.

Selama kehamilan sangat sering kali ibu hamil mengalami

gangguan kesehatan sehingga membutuhkan obat.Akan tetapi ada

beberapa Obat-obatan yang dapat menyebabkan efek yang tidak

dikehendaki pada janin selama masa kehamilan.Selama ini banyak ibu

hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode organogenesis

sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih

besar.Beberapa obat dapat memberi risiko bagi kesehatan ibu, dan

dapat memberi efek pada janin juga.Selama trimester pertama, obat

dapat menyebabkan cacat lahir (teratogenesis), dan risiko terbesar

adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama trimester kedua dan ketiga,

obat dapat mempengaruhi  pertumbuhan dan perkembangan secara

fungsional pada janin.

Karena banyak obat yang dapat melintasi plasenta, maka

penggunaan obat pada wanita hamil perlu berhati-hati. Plasenta

2
merupakan sarana transfer apa yang dikonsumsi ibu kepada janin.

Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi, mungkin

sebagai upaya perlindungan dan dapat terbentuk senyawa antara yang

reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik

atau obat-obat yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa

teratogenik dapat ditransfer ke janin dan merusak atau mengganggu

janin.

Kesehatan ibu saat kehamilan sangat menentukan

perkembangan janin.Berbagai macam penyakit mulai ringan hingga

berat bisa saja terjadi.Tidak jarang untuk menghilangkan rasa sakit

yang ditimbulkan pada akhirnya ibu mengkonsumsi berbagai

obat.Namun banyak obat-obatan yang dikonsumsi ibu dapat masuk

dalam plasenta dan mempengaruhi janin.Oleh karena itu, baik

pemberian dan pembelian obat perlu dilakukan dengan hati-hati.

Ada kalanya, ibu hamil yang mengalami infeksi memerlukan

penggunaan antibiotik sebagai pilihan obat.Sebagian antibiotik pada

semua fase kehamilan aman dikonsumsi, sebagian lagi

dikontraindikasikan pada fase tertentu, dan ada juga yang

dikontraindikasikan untuk semua fase kehamilan.

Sebuah studi yang dipublikasikan di American Journal of

Obstetrics and Gynecology,  melaporkan, sekitar 46 persen ibu yang

terlibat dalam studi menggunakan beberapa jenis antibiotik selama

kehamilan atau selama proses melahirkan. Bayi-bayi yang terpapar

3
dengan obat-obatan ini mengalami penurunan kemampuan melawan

infeksi.Selain itu, hampir 50 persen dari bayi-bayi ini kebal terhadap

ampicillin, spektrum antibiotik yang banyak digunakan.

Ibu hamil sebaiknya menghindari antibiotik yang diresepkan

untuk mengatasi tuberculosis, infeksi saluran pernafasan dan

jerawat.Obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi tuberculosis

bisa menyebabkan ketulian pada anak.Selain itu, beberapa jenis

antibiotik tersebut bisa menghitamkan gigi bayi Anda.

Kehamilan akan mempengaruhi pemilihan antibiotik. Umumnya

penisilin dan sefalosporin dianggap sebagai preparat pilihan pertama

pada kehamilan, karena pemberian sebagian besar antibiotik lainnya

berkaitan dengan peningkatan risiko malformasi pada janin.Bagi

beberapa obat antibiotik, seperti eritromisin, risiko tersebut rendah dan

kadang-kadang setiap risiko pada janin harus dipertimbangkan

terhadap keseriusan infeksi pada ibu.

Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada

janin.Hal ini terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita

hamil dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui

plasenta.Antibiotika yang demikian itu disebut teratogen.Definisi

teratogen adalah suatu obat atau zat yang menyebabkan pertumbuhan

janin yang abnormal.Kata teratogen berasal dari bahasa Yunani teras,

yang berarti monster, dan genesis yang berarti asal. Jadi teratogenesis

4
didefinisikan sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan

proses pertumbuhan yang menghasilkan monster.

Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh

antibiotika dipengaruhi oleh besarnya dosis yang diberikan, lama dan

saat pemberian serta sifatgenetik ibu dan janin.

B. TUJUAN PENULISAN

Mengetahui obat-obat antibiotika yang aman digunakan selama

kehamilan dan menyusui

C. RUMUSAN MASALAH.

Bagaimanakah efek antibiotik pada ibu hamil dan menyusui

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 FAKTOR - FAKTOR YANG DAPAT MEMPENGARUHI EFEK PADA

JANIN

Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan

mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik

maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan

efek pada janin adalah:

1. Sifat fisikokimiawi dari obat.

2. Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi

janinLamanya pemaparan terhadap obat.

3. Bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda

pada janin.

4. Periode perkembangan janin saat obat diberikan.

5. Efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi

Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada

sifat lipofilik dan ionisasi obat.Obat yang mempunyai lipofilik tinggi

cenderung untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin.Contoh,

tiopental yang sering digunakan pada seksio sesarea, dapat

menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat

mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang

6
sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin,

akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang

sangat rendah pada janin. Kecepatan dan jumlah obat yang dapat

melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul.Obat-obat

dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi

plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan

berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta.Kehamilan

merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi

janin.Salah satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat

buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah

talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia

atau tidak tumbuhnya anggota gerak.Untuk itu, pemberian obat pada

masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar

matang.

 PERPINDAHAN OBAT LEWAT PLASENTA.

Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara

difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran

darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat

plasenta. Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat

lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini. :

 Kelarutan dalam lemak

Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah

melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental,

7
obat yang umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti

nafas) pada bayi yang baru dilahirkan. 

 Derajat ionisasi 

Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati  plasenta.

Sebaliknya obat yang terionisasi akan sulit melewati membran

Contohnya suksinil kholin dan tubokurarin yang juga digunakan

pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat ionisasinya

tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di janin

rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan

dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zatini hampir

semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat

melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan

dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak

terion.Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar

tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi,

senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar.

 Ukuran molekul 

Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan

mudah melewati pori  membran bergantung pada kelarutan dalam

lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-

1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat

dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus

plasenta. Sebagai contoh adalahheparin,  mempunyai berat

8
molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar,

tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat

antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.

 Ikatan protein.

Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas)

yang dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan

protein, terutama albumin, akan  mempengaruhi kecepatan

melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak 

maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya

beberapa anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak

tinggi kecepatan melewati plasenta lebihtergantung pada aliran

darah plasenta. Bila obat  sangat tidak larut di lemak dan terionisasi

maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh

besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu

dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan

fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin.

Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah,

kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton)

dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga  kokain cepat

terdistribusi dari darah ibu ke janin.

 FARMAKOKINETIKA OBAT SELAMA KEHAMILAN.

1. Absorpsi

9
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam

lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung

sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah

akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya untuk obat

yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase

selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal

sehingga absopsi obat-obat yang sukar larut (misalnya digoksin)

akan meningkat, sedang absopsi obat-obat yang mengalami

metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan

menurun.

2. Distribusi

Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan

ekstraseluser ibu akan meningkat, dan mencapai 50% pada akhir

kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya obat-obat yang volume

distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan ditemukan dalam kadar

yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di

samping itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan

kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%.

Perubahan ini semakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di

mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein meningkat

hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada

albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein.

Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam

10
akanmeningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat

basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam,

fenitoin dan natrium valproat terbukti meningkat secara bermakna

pada akhir kehamilan.

3. Eliminasi

Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran

darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi

peningkatan eliminasi obat-obat yang terutama mengalami ekskresi

di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed function oxidase,

suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme

hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang

mengalami olsidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital,

dan karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut

dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada trimester

kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin

diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan.

 PENGARUH OBAT PADA JANIN.

Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik,

teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur

kehamilan pada saat minum obat.Pengaruh toksik adalah jika obat

yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya

gangguan fisiologik atau biokimiawi dari janin yang dikandung, dan

biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah

11
kelahiran.Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan

terjadinya malformasi anatomik pada petumbuhan organ

janin.Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis

subletal.Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang

mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Secara umum

pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-

fase berikut :

a. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu.

Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin

tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya

menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan

(abortus).

b. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan

antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan

untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik).

Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini

antara lain :

Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang

biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul

secara langsung pada saat kehamilan.Misalnya pemakaian hormon

dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan

dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan

di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).

12
         Pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus

Pengaruh subletal, yang biasanya dalam bentuk malformasi

anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena

talidomid.

c. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam

fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin.

Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak

berupa malformasi anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa

gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau

biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami

ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang

berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan

neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi

obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping

pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

13
BAB III

PEMBAHASAN

Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara

alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti

misalnya infeksi saluran kencing karena dilatasi ureter dan stasis yang

biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa

saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi,

pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu,

tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat

melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya.

Pengamatan dilakukan melalui studi resep obat antibiotik dari

bulan januari 2017 sampai maret 2017 di RSKDIA Siti Fatimah

Makassar.

Pengamatan bulan Januari 2017 ditemukan 276 resep yang

menggunakan antibiotik. 269 resep menggunakan antibiotik golongan

Sefalosporin, 19 resep diantaranya dikombinasikan dengan Anti-

amuba. 7 resep menggunakan antibiotik golongan Penisilin.

Pengamatan bulan Februari 2017 ditemukan 255 resep yang

menggunakan antibiotic golongan Sefalosporin. Dari 255 resep

tersebut, 14 resep diantaranya dikombinasikan dengan Anti-amuba.

14
Pengamatan bulan Maret 2017 ditemukan 308 resep yang

menggunakan antibiotik. 303 resep menggunakan antibiotik golongan

Sefalosporin, 31 resep diantaranya dikombinasikan dengan Anti-

amuba. 5 resep menggunakan antibiotik golongan Penisilin.

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa antibiotik yang relatif

aman digunakan adalah golongan Sefalosforin dan golongan Penisilin.

Golongan Sefalosporin yang tersedia di RSKDIA Siti Fatimah adalah

Sefadroksil kapsul, Sefotaksim injeksi dan Seftriakson Injeksi. Golongan

Penisilin yang tersedia di RSKDIA Siti Fatimah adalah Amoksisilin Tablet.

Sedangkan Anti-amuba yang tersedia adalah Metronidasol Tablet dan

Infus. Antibiotik dikombinasikan dengan anti-amuba pada kasus sectio

secarea dan kasus abortus dengan tujuan menghindari terjadinya infeksi

yang disebabkan oleh bakteri anaerob.

Berikut adalah beberapa antibiotika yang dianjurkan maupun yang

harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat

tercapai semaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat

ditekan seminimal mungkin.

 Penisilin.

Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan

mudah menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada

janin maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan

selama kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan

15
atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang

dapat terjadi pada ibu.

 Ampilisin:

Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup

terjamin.Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara

lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi

kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin

dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal

janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan

janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di

mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur,

kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu.

Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama

kehamilan.Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh,

maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar

ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak

hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan

selama masa kehamilan.

 Amoksisilin :

Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh

lebih baik dibanding ampisilin.Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan

sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral.Seperti

halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada

16
kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu

maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi

janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di

sirkulasi ibu.

 Sefalosporin

Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan

pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi

janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian

dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang

atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk

sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi

yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada

trimester terakhir kehamilan.

 Tetrasiklin

Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat

dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada

sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan,

tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada

akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama

pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap

(reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling,

namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan

pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan

17
mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan)

yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat

kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan

maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus

dihindari.

 Aminoglikosida

Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang

penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka

kejadian malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel.

Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan.

Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik

dan ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal

tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode

organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada

bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada

kehamilan.

 Kloramfenikol

Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II

dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka

terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik

(sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen

protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping

pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol

18
dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek

farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin

tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat

reversibel.Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin

dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran

dan selama menyusui.

 Sulfonamida

Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan

masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama

dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada

wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan.Hal

ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat

ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-

ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan

menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.

 Eritromisin

Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena

meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan

(kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya

mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu,

sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan

kelainan pada janin.Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi

yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan

19
penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan

pertama.Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya,

pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding

antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.

 Trimetoprim

Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus

jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding

sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada

uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada

dosis besar.Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga

bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil

perlu dihindari.Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim

+ sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian

suplementasi asam folet.

 Nitrofurantoin

Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran

kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada

jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma

sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar

nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum

terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi

janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan

20
cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini

kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Obat yang aman untuk ibu hamil yaitu obat yang tidak menembus

plasenta

2. Beberapa antibiotik yang relatif aman digunakan selama kehamilan

adalah Amoksisilin, Klindamisin, Eritromisin, Sefadroksil dan

Sefotaksim.

3. Beberapa penggunaan antibiotic dikombinasikan dengan anti-

amuba

B. SARAN

Dalam mengoptimalkan pelayanan kesehatan, sebagai farmasis

juga harus mengetahui indeks keamanan ibu hamil dan menyusui.

Karena disaat kita dilapangan ( apotek ) pasti juga akan menemui

pasien swamedikasi ibu hamil atau ibu menyusui.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung BG. 1987. Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition.

Lange Medical Book :California.

2. Speight TM. 1987.Avery’s Drug Treatment: Principles and Practice

of Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3 rdedition.ADIS

press :Auckland.

3. Suryawati S et al. 1990.Pemakaian Obat pada

Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM :Yogyakarta

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia . 2006. Pedoman

Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta

5. Anonimus. 2011. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 11.

Medita Indonesia : Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai