Anda di halaman 1dari 89

Penggunaan Obat

Pada Wanita hamil


dan Menyusui
Kaidah :
1. Sebagian besar obat berdifusi secara
mudah ke dalam janin melewati plasenta.

2. Obat yg lipofilik (larut lemak) dan tidak


terionkan lebih mudah melewati plasenta
drpd obat yg hidrofilik.
3. Plasma darah ibu relatif lebih basa (pH: 7,4)
dibanding dgn plasma janin (pH: 7,0). Obat
yg bersifat basa lemah akan terjebak dalam
sirkulasi darah janin, shg dgn melihat pKa
maka dapat diprediksi suatu obat dapat
melewati plasenta atau tidak.

4. Obat yg berbobot molekul besar, sulit


melewati plasenta
Prinsip penggunaan obat pd wanita
hamil
1. Tidak ada obat yg 100% aman untuk janin,
maka hindari jika mungkin dan pilih terapi
non farmakologi sbg pertimbangan utama.

2. Obat hanya diberikan kepada wanita hamil


bila manfaat > drpd resiko pd janin.

3. Hindari penggunaan obat pd trisemester


pertama.
4. Bila memang obat diperlukan, pilihlah
obat yang plg aman, dengan dosis yang
efektif terendah dan sesingkat mungkin.

5. Efek obat pada janin dapat tidak sama


dengan efek farmakologi pada ibu.

6. Efek obat tertentu lebih bertahan lama


pada janin drpd ibu.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
masuknya obat ke dalam plasenta dan
memberikan efek pada janin adalah:
1. sifat fisikokimiawi dari obat
2. kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan
mencapai sirkulasi janin
3. lamanya pemaparan terhadap obat
4. bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-
jaringan yang berbeda pada janin
5. periode perkembangan janin saat obat
diberikan dan
6. efek obat jika diberikan dalam bentuk
kombinasi.
 Kemampuan obat untuk melintasi
plasenta tergantung pada sifat
lipofilik dan ionisasi obat.

 Obat yang mempunyai lipofilik


tinggi cenderung untuk segera
terdifusi ke dalam serkulasi janin.
Contoh, tiopental yang sering
digunakan pada seksio sesarea,
dapat menembus plasenta segera
setelah pemberian, dan dapat
mengakibatkan terjadinya apnea
pada bayi yang dilahirkan.
Obat yang sangat mudah terionisasi seperti
misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin,
akan melintasi plasenta secara lambat dan
terdapat dalam kadar yang sangat rendah
pada janin.

Kecepatan dan jumlah obat yang dapat


melintasi plasenta juga ditentukan oleh
berat molekul.
Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat
secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada
sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat
molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta.

Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek


samping obat, khususnya bagi janin. Contoh:
talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital
berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota
gerak.
FARMAKOKINETIKA OBAT
SELAMA KEHAMILAN

Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan
sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini
menyebabkan pH asam lambung sedikit
meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat
asam lemah akan sedikit mengalami penurunan
absorpsi.
Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah
absorpsi justru meningkat. Pada fase
selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas
gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat
yang sukar larut (misalnya digoksin) akan
meningkat,

sedang absopsi obat-obat yang mengalami


metabolisme di dinding usus, seperti misalnya
klorpromazin akan menurun.
Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan
cairan ekstraseluser ibu akan meningkat, dan
mencapai 50% pada akhir kehamilan.

Sebagai salah satu akibatnya obat-obat yang


volume distribusinya kecil, misalnya
ampisilin akan ditemukan dalam kadar yang
rendah dalam darah, walaupun diberikan
pada dosis lazim.
Di samping itu, selama masa akhir kehamilan akan
terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan
albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin

menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana

kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein


meningkat hingga 100%.

Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin,


dan obat basa lemah terikat pada glikoprotein.
Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang
bersifat asam akan meningkat, sedangkan
fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa
akan menurun. Fraksi bebas obat-obat
seperti diazepam, fenitoin dan natrium
valproat terbukti meningkat secara
bermakna pada akhir kehamilan.
Eliminasi
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi
peningkatan aliran darah ginjal sampai dua
kali lipat.
Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan
eliminasi obat-obat yang terutama
mengalami ekskresi di ginjal. Dengan
meningkatnya aktivitas mixed function
oxidase, suatu sistem enzim yang paling
berperan dalam metabolisme hepatal obat,
maka metabolisme obat-obat tertentu
yang mengalami olsidasi dengan cara ini
(misalnya fenitoin, fenobarbital, dan
karbamazepin) juga meningkat, sehingga
kadar obat tersebut dalam darah akan
menurun lebih cepat, terutama pada
trimester kedua dan ketiga. Untuk itu,
pada keadaan tertentu mungkin
diperlukan menaikkan dosis agar
diperoleh efek yang diharapkan.
PENGARUH OBAT PADA
JANIN
1.Toksik

jika obat yang diminum selama masa


kehamilan menyebabkan terjadinya
gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari
janin yang dikandung, dan biasanya
gejalanya baru muncul beberapa saat
setelah kelahiran.
2. Teratogenik

jika menyebabkan terjadinya


malformasi anatomik pada
petumbuhan organ janin.

3. Letal

adalah yang mengakibatkan kematian


janin dalam kandungan.
Secara umum pengaruh buruk obat pada
janin dapat beragam, sesuai dengan fase-
fase berikut:
1. Fase implantasi
yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3
minggu. Pada fase ini obat dapat memberi
pengaruh buruk atau mungkin tidak sama
sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya
menyebabkan kematian embrio atau
berakhirnya kehamilan (abortus).
2. Fase embrional atau organogenesis

yaitu pada umur kehamilan antara 4-8


minggu: pada fase ini terjadi diferensiasi
pertumbuhan untuk terjadinya malformasi
anatomik (pengaruh teratogenik).
Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada
fase ini antara lain:

a. Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang


biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara
langsung pada saat kehamilan.

Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester


pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya
adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian
hari (pada saat mereka sudah dewasa).
- pengaruh letal, berupa kematian janin
atau terjadinya abortus.

- pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam


bentuk malformasi anatomis
pertumbuhan organ, seperti misalnya
fokolemia karena talidomid.
3. Fase fetal

yaitu pada trimester kedua dan ketiga


kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan
pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh
buruk senyawa asing terhadap janin pada fase
ini tidak berupa malformasi anatomik lagi,
tetapi mungkin dapat berupa gangguan
pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi
fisiologik atau biokimiawi organ-organ.
Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu
dapat pula dialami janin, meskipun mungkin
dalam derajat yang berbeda.

Sebagai contoh adalah terjadinya depresi


pernafasan neonatus karena selama masa akhir
kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti
analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping
pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian
fenotiazin.
Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak
diharapkan dari obat-obat yang diberikan
selama kehamilan, maka oleh U.S. Food and
Drug Administration (FDA-USA) maupun
Australia Drug Evaluation Commitee, obat-
obat dikategorikan sebagai berikut (Australian
Drug Evaluation Commitee); kategori A, B, C,
D dan X
1. Kategori A:

Yang termasuk dalam kategori ini adalah


obat-obat yang telah banyak digunakan oleh
wanita hamil tanpa disertai kenaikan
frekuensi malformasi janin atau pengaruh
buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk
dalam kategori A , antara lain adalah

parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida


jantung, isoniazid serta bahan-bahan
hemopoetik seperti besi dan asam folat.
2. Kategori B:

Obat kategori B meliputi obat-obat yang


pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih
terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan
frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya
pada janin. Mengingat terbatasny pengalaman
pemakaian pada wanita hamil, maka obat-obat
kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-temuan

pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:


B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti
meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal
damage). Contoh: obat-obat yang termasuk pada
kelompok ini misalnya simetidin, dipiridamol, dan
spektinomisin.

B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai,


tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya kejadian
kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin,
asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-
obat yang masuk dalam kategori ini.
B3: Penelitian pada hewan menunjukkan
peningkatan kejadian kerusakan janin,
tetapi belum tentu bermakna pada
manusia. Sebagai contoh adalah
karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin,
trimetoprim, dan mebendazol.
3. Kategori C
Merupakan obat-obat yang dapat
memberi pengaruh buruk pada janin
tanpa disertai malformasi anatomik
semata-mata karena efek
farmakologiknya. Umumnya bersifat
reversibel (membaik kembali). Sebagai
contoh adalah analgetika-narkotik,
fenotiazin, rifampisin, aspirin,
antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
4. Kategori D

Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya


kejadian malformasi janin pada manusia atau
menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel
(tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam
kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang
merugikan terhadap janin.

Misalnya: androgen, fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, kinin,


klonazepam,valproat, steroid anabolik,dan
antikoagulansia.
5. Kategori X
Obat-obat yang masuk dalam kategori ini
adalah yang telah terbukti mempunyai
risiko tinggi terjadinya pengaruh
buruk yang menetap (irreversibel)
pada janin jika diminum pada masa
kehamilan. Obat dalam kategori ini
merupakan kontraindikasi mutlak selama
kehamilan. Sebagai contoh adalah
isotretionin dan dietilstilbestrol.
PEMAKAIAN BEBERAPA OBAT
SELAMA PERIODE
KEHAMILAN
Antibiotika & antiseptika
A. Penisilin

Obat-obat yang termasuk dalam golongan


penisilin dapat dengan mudah menembus
plasenta dan mencapai kadar terapetik baik
pada janin maupun cairan amnion. Penisilin
relatif paling aman jika diberikan selama
kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang
seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat
kemungkinan efek samping yang dapat
- Ampisilin

Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin


relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin
dalam sirkulasi darah janin meningkat
secara lambat setelah pemberiannya pada
ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya
dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan,
kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif
rendah karena belum sempurnanya ginjal
janin, di samping meningkatnya kecepatan
Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana
ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin
telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin
justru lebih tinggi dibanding ibu.
Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok
selama kehamilan. Dengan meningkatnya
volume plasma dan cairan tubuh, maka
meningkat pula volume distribusi obat
Oleh sebab itu kadar ampisilin
pada wanita hamil kira-kira hanya
50% dibanding saat tidak hamil.
Dengan demikian penambahan
dosis ampisilin perlu dilakukan
selama masa kehamilan.
- Amoksisilin

Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin


setelah pemberian per oral jauh lebih
baik dibanding ampisilin. Amoksisilin
diabsorpsi secara cepat dan sempurna
baik setelah pemberian oral maupun
parenteral.
Seperti halnya dengan ampisilin
penambahan dosis amoksisilin
pada kehamilan perlu dilakukan
mengingat kadarnya dalam darah
ibu maupun janin relatif rendah
dibanding saat tidak hamil. Dalam
sirkulasi janin, kadarnya hanya
sekitar seperempat sampai
sepertiga kadar di sirkulasi ibu.
B. Sefalosporin

Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif


aman jika diberikan pada trimester pertama
kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin
meningkat selama beberapa jam pertama setelah
pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi
setelah pemberian berulang atau melalui infus.
Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk
sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat
terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu
C. Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika
lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah
melintasi plasenta dan mancapai kadar
terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan
pada trimester pertama kehamilan,
tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi
tulang in utero, yang pada akhirnya akan
menimbulkan gangguan pertumbuhan
tulang, terutama pada bayi prematur.
• Jika diberikan pada trimester kedua
hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan
mengakibatkan terjadinya perubahan
warna gigi (menjadi kekuningan) yang
bersifat menetap disertai hipoplasia
enamel.

• Mengingat kemungkinan risikonya lebih


besar dibanding manfaat yang diharapkan
maka pemakaian tetrasiklin pada wanita
hamil sejauh mungkin harus dihindari.
D. Aminoglikosida

Aminoglikosida dimasukkan dalam


kategori obat D, yang penggunaannya
oleh wanita hamil diketahui meningkatkan
angka kejadian malformasi dan
kerusakan janin yang bersifat ireversibel.
Pemberian aminoglikosida pada wanita

hamil sangat tidak dianjurkan.


Selain itu aminoglikosida juga
mempunyai efek samping nefrotoksik
dan ototoksik pada ibu, dan juga
dapat menimbulkan kerusakan ginjal
tingkat seluler pada janin, terutama
jika diberikan pada periode
organogeneis. Kerusakan saraf kranial
VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang
mendapat aminoglikosida pada
E. Kloramfenikol

Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil,


terutama pada trimester II dan III, di mana
hepar belum matur, dapat menyebabkan
angka terjadinya sindroma Grey pada bayi,
ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi
tampak keabuabuan), hipotermia, muntah,
abdomen protuberant, dan menunjukkan
reaksi menolak menyusu, di samping
Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori
C, yaitu obat yang karena efek
farmakologinya dapat menyebabkan
pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat
bersifat reversibel. Pemberian
kloramfenikol selama kehamilan sejauh
mungkin dihindari, terutama pada minggu-
minggu terakhir menjelang kelahiran dan
selama menyusui.
F. Sulfonamida

Obat-obat yang tergolong sulfonamida


dapat melintasi plasenta dan masuk
dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang
lebih rendah atau sama dengan kadarnya
dalam sirkulasi ibu. Pemakaian
sulfonamida pada wanita hamil harus
dihindari, terutama pada akhir masa
kehamilan.
Hal ini karena sulfonamida mampu
mendesak bilirubin dari tempat
ikatannya dengan protein, sehingga
mengakibatkan terjadinya kern-ikterus
pada bayi yang baru dilahirkan.
Keadaan ini mungkin akan menetap
sampai 7 hari setelah bayi lahir.
7. Eritromisin

 Belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat


menyebabkan kelainan pada janin.
 Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi
yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil
serta pencegahan penularan ke janin cukup baik,
meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama.

 Namun ditilik dari segi keamanan & manfaatnya,


pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih
dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya
tetrasiklin.
 Eritromisin pada wanita hamil relatif aman
karena meskipun dapat terdifusi secara luas
ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan
cairan serebrospinal), tetapi kadar pada
janin hanya mencapai 1-2% dibanding
kadarnya dalam serum ibu.
8.Trimetoprim

 Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu


menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih
tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak
lebih tinggi dari ibu.
 Pada uji hewan, terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada
dosis besar.
 Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat
teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil
perlu dihindari.
 Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian
suplementasi asam folat.
9. Nitrofurantoin

 Nitrofurantoin sering digunakan sebagai


antiseptic pada saluran kemih.
 Jika diberikan pada awal kehamilan,
kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal
lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya
dalam plasma sangat rendah.
 Dengan makin bertambahnya umur
kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam
plasma janin juga meningkat.
 Sejauh ini belum terbukti nitrofurantoin dapat
meningkatkan kejadian malformasi janin.
 Namun perhatian harus diberikan terutama
pada kehamilan cukup bulan, di mana
pemberian nitrofurantoin pada periode ini
kemungkinan akan menyebabkan anemia
hemolitik pada janin. mengingat belum
sempurnanya sistem enzim glukose 6
phosfat dehidrogenase (G6PD)
B. Analgetika

1. Analgetika-narkotika

 Secara konsisten obat ini menunjukkan


adanya akumulasi pada jaringan otak janin.
 Terdapat bukti meningkatkan kejadian
permaturitas, retardasi pertumbuhan
intrauteri, fetal distress dan kematian
perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang sering mengkonsumsi
analgetika-narkotik.
 Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang
baru lahir tersebut biasanya manifes dalam
bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah,
diare dan takhipnoe.
a. Metadon

 Jika diberikan pada kehamilan


memberi gejala withdrawal yang
munculnya lebih lambat dan sifatnya
lebih lama dibanding heroin.

 Beratnya withdrawal karena metadon


nampaknya berkaitan dengan
meningkatnya dosis pemeliharaan
pada ibu sampai di atas 20 mg/hari
b. Petidin

 Dianggap paling aman selama proses


persalinan. Kenyataannya menunjukkan
skala neuropsikologik yang lebih rendah
dibanding yang mendapat anestesi lokal.

 Dengan alasan ini maka petidin pada


persalinan hanya dibenarkan apabila
anestesi epidural memang tidak
memungkinkan.
2. Analgetika-antipiretik
a. Parasetam
ol
 Relatif paling aman jika diberikan
selama kehamilan.

 Meskipun kemungkinan terjadinya


efek samping hepatotoksisitas
tetap ada, tetapi umumnya terjadi
pada dosis yang jauh lebih besar
dari yang dianjurkan.
b. Antalgin

 Dikenal sebagai pengurang rasa nyeri


derajat ringan.

 Salah satu efek samping yang dikhawatirkan


terjadinya agranulositosis. Meskipun angka
kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi
pemakaian selama kehamilan sebaiknya
dihindari.
3. Antiinflamasi non-steroid

• Mekanisme kerjanya yaitu menghambat


sintesis prostaglandin, efek samping obat-
obat antiinflamasi non-steroid
kemungkinan lebih sering terjadi pada
trimester akhir kehamilan.
• Dengan terhambatnya sintesis
prostaglandin, pada janin akan terjadi
penutupan duktus arteriosus Botalli yang
terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan
akan menderita hipertensi pulmonal.
• Efek samping yang lain adalah
berupa tertunda & memanjangnya
proses persalinan jika obat ini
diberikan pada trimester terakhir.

• Sejauh ini tidak terdapat bukti


bahwa antiiflamasi non-steroid
mempunyai efek teratogenik pada
janin dalam bentuk malformasi
anatomik.
C. Antiemetik

Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa


obat-obat antiemetik (meklozin dan siklizin)
dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas
janin, tetapi hal ini belum terbukti pada manusia.
 Terdapat hubungan yang bermakna antara
pemakaian prometazin selama trimester
pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi
panggul congenital pada janin.
 Pemakaian antiemetik selama kehamilan
sebaiknya dihindari jika intervensi non-
farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.
D. Antiepilepsi

 Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta


dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis
terapetik secara intravenosa.
 Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar,
jantung, dan glandula adrenal.
 Pada pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar
fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya
dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam
sirkulasi ibu.

 Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir


sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat
dalam plasma bayi, hingga hari ke lima
setelah kelahiran.
 Pemberian fenitoin selama kehamilan dalam
jangka panjang berkaitan erat dengan
meningkatnya angka kejadian kelainan congenital
pada bayi yang dilahirkan.

 Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial


disertai penyakit jantung kongenital, celah fasial,
mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium
dan tulang-tulang lainnya.

 Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama


kehamilan sangat tidak dianjurkan.
 Obat-obat antiepilepsi lain seperti
karbamazepin dan fenobarbiton juga
menyebabkan malformasi kongendital
(meskipun lebih ringan) pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi
obat-obat tersebut selama masa
kehamilannya.
 Pemakaian asam valproat selama
kehamilan mungkin meningkatkan
derajat defek tuba neuralis.
 Dari beberapa penelitian dilaporkan
bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru
lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi
asam valproat selama masa
kehamilannya.
E. Antihipertensi

 Tidak jarang kita menjumpai seorang


wanita hamil menderita hipertensi.

 Yang harus diperhatikan adalah


apakah wanita tersebut memang
penderita hipertensi atau hipertensi
yang dialami hanya terjadi selama
masa kehamilan.
 Diusahakan agar tidak terjadi
komplikasi atau kelainan pada bayi
yang dilahirkan, baik karena
hipertensinya maupun komplikasi
yang menyertainya
 Meskipun pendekatan terapinya berbeda,
tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu
mencegah terjadinya hipertensi yang lebih
berat agar kehamilannya dapat
dipertahankan hingga cukup bulan, serta
menghindari kemungkinan terjadinya
kematian maternal karena eklamsia atau
hemoragi serebral terutama saat
melahirkan.
1. Gol. penyekat adrenoseptor beta

 Obat-obat golongan ini seperti misalnya


oksprenolol dan atenolol dapat melintasi plasenta
dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek
blokade beta pada janin.

 Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak


terbukti meningkatkan kejadian kejadian
malformasi janin, meskipun terdapat beberapa
kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah
pemberian atenolol pada ibu selama
kehamilannya.
2. Vasodilator

Pada kehamilan, diazoksid, dan


hidralazin umumnya digunakan
untuk mencegah kelahiran prematur
akibat eklampsia, dimana efeknya
tidak saja berupa relaksasi otot
vaskuler tetapi juga berpengaruh
terhadap otot uterus.
 Jika digunakan selama masa
kehamilan aterm dapat
mengakibatkan lambatnya persalinan.
Pada pemakaian jangka panjang,
diazoksid dapat menyebabkan
terjadinya alopesia dan gangguan
toleransi glukosa pada bayi baru lahir.
3. Golongan simpatolitik sentral

 Metildopa relatif aman selama masa kehamilan.

 Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan


kadar yang hampir sama dengan kadar maternal.

 Pemberian metildopa hanya efektif untuk


hipertensi yang lebih berat. Klonidin juga relatif
aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar
sering memberi efek samping seperti sedasi dan
mulut kering.
Obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan
selama kehamilan meliputi :

1. Pemakaian obat-obat golongan


antagonis kalsium seperti verapamil,
nifedipin, dan diltiazem selama
kehamilan ternyata menunjukkan
kecenderungan terjadinya hipoksia fetal
jika terjadi hipotensi pada maternal.
2. Diuretika sangat tidak dianjurkan
selama masa kehamilan karena di
samping mengurangi volume plasma
juga mengakibatkan berkurangnya
perfusi utero-plasenta.
• Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil karena dapat
menyebabkan hilangnya termoregulasi pada
neonatal jika dikonsumsi selama trimester III.
4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik
seperti debrisokuin dan guanetidin
sebaiknya juga tidak diberikan selama
kehamilan karena menyebabkan
hipotensi postural dan menurunkan
perfusi uteroplasental.

5. Pemakaian obat Angiotensin


Converting Enzyme (ACE) inhibitor
seperti kaptopril dan enalapril sangat
tidak dianjurkan selama kehamilan
karena meningkatkan kejadian
PENGOBATAN PADA
PASIEN MENYUSUI
Pada prinsipnya semua obat dpt terdisribusi
ke dalam ASI (Air Susu Ibu) dgn cara difusi
pasif.
Faktor yg mempengaruhi laju difusi obat ke
dalam ASI:
• pH plasma 7,4
• sifat fisiologis ASI; pH (6,8-7,3)
• sifat fisikokimiawi obat;
• kelarutan
• Besarnya molekul
• Sifat ikatan dgn protein
• Derajat ionisasi obat
ASI berbeda dgn plasma ibu:
- pH ASI lebih rendah
- kapasitas ikatan pp lebih rendah
- kandungan lipid yang tinggi
Contoh;
• penisilin (pka= 2,75) ;
6-120 ug (plasma)1,2-3,6 ug (ASI)
• thiourasil;
• 3-4 mg (plasma)
9-12 mg (ASI)
4 mekanisme penting bhn obat masuk ke ASI
1. Difusi pasif;

berlangsung hanya karena perbedaan


konsentrasi pada kedua sisi barier, yg dapat
berupa cairan atau lemak. Difusi melalui
cairan; tjd mll pori2x kecil pada membran sel
atau celah sempit diantara sel krn kecilnya
lubang pori, maka hanya yg ber-bm kecil yg
bisa melalui (100-150). Obat yg larut air>>>
barier cairan. Obat yg larut lemak melewati
membran yg umumnya t.d. bhn lipid.
2. Difusi dgn bantuan karier khusus: enzim atau
protein tertentu.

3. Difusi aktif: hampir sama dgn difusi dgn karier,


hanya saja bedanya; disini diperlukan energi u
transpor, krn menuju daerah dgn konsentrasi
yg lebih tinggi, cont: glukosa, asam amino,
magnesium dan kalsium.

4. Pinositosis
bhn obat terlebih dahulu melekat pd dinding
sel>>>u molekul yg amat besar dan protein
t\yg tdk mungkin memakai cara 3 diatas.
Beberapa kaidah penggunaan obat pada ibu
menyusui dgn melihat beberapa faktor
tersebut adalh:

1.obat yang bersifat basa lemah mudah tertahan


dalam ASI, dgn melihat pKa suatu obat,
apoteker dpt memprediksi jumlah obat yg
masuk ke dalam ASI
2. obat dgn ikatan pp yg tinggi akan tertahan
dalam plasma ibu

3. obat yg bersifat lipofilik, akan masuk ke dalam


ASI dgn kadar yg tinggi

4. nilai ratio M/P (milk/plasma) dpt digunakan


untuk memprediksi difusi obat ke dalam ASI
(m/p>>,pKa >>)
8 pendekatan untuk mengurangi
ekspos obat pada bayi yg menyusui:

1. Tidak minum obat;

bbrp jenis obat seperti : sakit kepala dan obat


flu sebaiknya dihindari oleh ibu menyusui.

2. Tunda pemberian obat :

penggunaan obat atau pembedahan elektif


dpt ditunda terlebih dahulu jika ibu
berencana untuk menghentikan proses
menyusui.
3. Pilih obat yg sedikit diekskresikan dlm
ASI; untuk kelas terapi yg sama, dpt di pilih
obat yg sedikit melewati ASI

4. Pilih alternatif rute pemberian lainya ;


utk mengurangi kosentrasi obat dalam
darah ibu, maka digunakan sediaan
lokal/topikal mis.kortikostereoid inhalasi
utk kasus asma )
5. Tidak munyusui bayi pada saat kosentrasi
obat dalam ASI maksimal ; secara umum
kosentrasi obat dlm ASI mencapai maksimal
1-3 jam setelah pemberian dosis oral.
Menyusui tepat sebelum minum obat dpt
mengurangi Paparan obat terhadap bayi
utk obat dgn wkt paruh pendek & bukan
obat lepas lambat. Perlu dilakukan
monitoring ESO pd bayi .
6. Untuk penggunaan obat dlm kerja
panjang (long acting ) yg diminum sekali
sehari sebaiknya obat diminum sesaat
setelah bayi tidur lama . Perlu dilakukan
monitoring ESO pada bayi.

7. Berhenti menyusui: bila ibu


menggunakan obat yg sangat toksik (ex.
Obat sitostatika)
8. Tidak menyusui bayi untuk sementara waktu;
bila menggunakan obat jangka pendek misalnya
setelah operasi. Memompa ASI (tp tdk diberikan
kpd bayi) selama terapi obat tetap dilakukan untuk
produksi ASI. ASI dapat diberikan lagi segera
setelah 1-2 x t ½ eliminasi obat (50-70%
tereliminasi)

Untuk obat yg sangat toksik mesti dalam dosis


kecil, pemberian kembali ASI adalah setelah 4-5
kali t1/2 eliminasi obat (94-97% obat telah
tereliminasi).
Obat yg harus dihindari pd wanita yg menyusui

• Amiodaron hidroklorida; kandungan iodinnya


dpt menyebabkan hipotiroidisme pd neonatus.
• Aspirin: resiko sindrom reye
• Barbiturat; mengantuk
• Karbimazol: letargia
• Kontrasepsi oral kombinasi: hipotiroidisme
• Obat sitotoksik: membatasi jumlah ASI krn
berkurangnya kandungan nitrogen dan protein
• Ephedrin HCl: supresi imun & neutropenia
• Tetrasiklin: resiko pewarnaan gigi.
Obat yang aman selama kehamilan dan menyusui

Kelas obat Selama Selama menyusui


kehamilan
analgesik asetaminofen Asetaminofen
antikoagulan Heparin, LMWH Heparin, Warfarin
antikonvulsan fenobarbital Karbamazepin/etosuksimid/valproat
antidiabet insulin Insulin, tolbutamid
antihpertensi metildopa ACEI/Ca antagonis
antiinfeksi Penisilin/sefalosporin Penisilin/sefalosporin
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai