Anda di halaman 1dari 66

Penggunaan

Obat yang Aman


untuk Ibu Hamil

apt. Fatma Sri Wahyuni


Pendahuluan
Kehamilan

Kehamilan didefinisikan sebagai


fertilisasi atau penyatuan dari
spermatozoa dan ovum dan
dilanjutkan dengan nidasi atau
implantasi.
Klasifikasi kehamilan berdasarkan usia kehamilan

Trimester kesatu

Trimester kedua

0-12 minggu
(triwulan 1)
Trimester ketiga
minggu ke-13 hingga ke-27
(triwulan 2)

minggu ke-28 hingga ke-40


(triwulan 3)
Klasifikasi kehamilan berdasarkan lamanya kehamilan

a. Kehamilan premature, yaitu


kehamilan antara 28-36 minggu.

b. Kehamilan mature, yaitu kehamilan


antara 37-42 minggu.

c. Kehamilan postmature, yaitu


kehamilan lebih dari 43 minggu
Obat
Bahan atau sediaan yg digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologis atau kondisi patologis dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan dr rasa sakit,
gejala sakit dan/penyakit, untuk
meningkatkan kesehatan.

Permenkes 917/Menkes/per/x/1993
Sebagian besar obat berdifusi secara
mudah ke dalam janin melewati plasenta.

Obat yg lipofilik (larut lemak) dan tidak


Kaidah yang
terionkan lebih mudah melewati plasenta
drpd obat yg hidrofilik. harus dipahami
ttg obat pada
Plasma darah ibu relatif lebih basa (pH: 7,4)
dibanding dgn plasma janin (pH: 7,0). ibu hamil

Obat yg berbobot molekul besar,


sulit melewati plasenta
Tidak ada obat yg 100% aman untuk janin,
maka hindari jika mungkin dan pilih terapi
non farmakologi sbg pertimbangan utama.
Prinsip
Obat hanya diberikan kepada wanita hamil
penggunaan
bila manfaat lebih besar drpd resiko pd janin. obat pada ibu
hamil
Hindari penggunaan obat pd
trimester pertama.
Bila memang obat diperlukan, pilihlah obat
yang plg aman, dengan dosis yang efektif
terendah dan sesingkat mungkin.
Prinsip
penggunaan
Efek obat pada janin dapat tidak sama
dengan efek farmakologi pada ibu. obat pada ibu
. hamil
Efek obat tertentu lebih bertahan
lama pada janin drpd ibu.
Lanjutan…...
Perubahan terkait obat selama kehamilan

Farmakokinetika

Farmakodinamika
Farmakokinetika

Peningkatan cairan tubuh misalnya penambahan volume darah


sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%

Pada akhir semester pertama aliran darah ginjal meningkat 50%


dan pada akhir kehamilan aliran darah ke rahim mencapai
puncaknya hingga 600-700 ml/menit.

Peningkatan cairan tubuh tersebut terdistribusi 60 % di plasenta,


janin dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu.
Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan penurunan
kadar puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di
air seperti aminoglikosida dan obat dengan volume distribusi yang rendah.

Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum


(hipoalbuminemia) yang menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin.

Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta obat-obat lain yang ikatan
protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam bentuk tidak
terikat.
Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak

menimbulkan efek yang bermakna pada absorpsi obat.

Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah.


Walau demikian kenaikan kadar estrogen dan progesteron

akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat

lain, misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat

lain misalnya teofilin.


Penigkatan aliran darah ke ginjal dapat mempengaruhi
bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasinya terutama
melalui ginjal, contoh, penicillin.
Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi
dengan mudah melewati plasenta masuk ke
sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang
umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea
(henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan. Perpindahan

Derajat ionisasi
obat lewat
plasenta.
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati
plasenta. Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio
sesarea, adalah obat-obat yang derajat
ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta
sehingga kadarnya di janin rendah.
Ukuran molekul

 Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton


akan mudah melewati pori membran bergantung pada
kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi.
Perpindahan
 Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan
lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan berat obat lewat
molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta.
plasenta.

 Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul


yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar,
tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat
antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
Ikatan protein.

• Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat


bebas) yang dapat melewati membran.
• Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama
albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati Perpindahan
plasenta.
obat lewat
• Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka
ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya plasenta.
beberapa anastesi gas.
• Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi
kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada
aliran darah plasenta.
Farmakodinamika

Mekanisme kerja obat ibu hamil

 Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada
kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase
kehamilan.

 Perubahan tersebut kadang menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat


yang tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil. Contohnya glikosida jantung
dan diuretik yang dibutuhkan pada kehamilan karena peningkatan beban
jantung pada kehamilan. Atau insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol
glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan.
Farmakodinamika

Mekanisme kerja pada janin

 Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin


berkembang dengan pesat, yang berkaitan dengan pemberian obat
pada wanita hamil yang ditujukan untuk pengobatan janin walaupun
mekanismenya masih belum diketahui jelas.

 Contoh lain adalah fenobarbital yang dapat menginduksi enzim hati


untuk metabolisme bilirubin sehingga insidens jaundice ( bayi
kuning) akan berkurang. Anti aritmia juga diberikan pada ibu hamil
untuk mengobati janinnya yang menderita aritmia jantung.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke
dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:

● sifat fisikokimiawi ● Bagaimana obat


dari obat didistribusikan ke
jaringan yang berbeda
pada janin
● Kecepatan obat
melintasi plasenta ● periode perkembangan
dan mencapai janin saat obat
sirkulasi janin diberikan

● efek obat jika


● lamanya pemaparan diberikan dalam
terhadap obat bentuk kombinasi
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan
juga secara tidak langsung mempengaruhi jaringan
janin.
Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen
atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin Kerja obat
Obat juga dapat bekerja langsung pada
teratogenik
proses perkembangan jaringan janin,
Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga
akan berperan pada abnormalitas. Misalnya
pemberian asam folat selama kehamilan dapat
menurunkan insiden kerusakan pada selubung saraf ,
yang menyebabkan timbulnya spina bifida.
Obat Yang Digunakan Pada Masa Kehamilan

 Pertimbangkan perawatan pada masa kehamilan


 Obat hanya diresepkan pada wanita hamil bila manfaat yang
diperolah ibu diharapkan lebih besar dibandingkan risiko
pada janin.
 Sedapat mungkin segala jenis obat dihindari pemakaiannya
selama trimester pertama kehamilan
 Apabila diperlukan, lebih baik obat-obatan yang telah dipakai
secara luas pada kehamilan dan biasanya tampak aman
diberikan daripada obat baru atau obat yang belum pernah
dicoba secara klinis
Lanjutan…

 Obat harus digunakan pada dosis

efektif terkecil dalam jangka waktu


sesingkat mungkin

 Hindari polifarmasi

 Pertimbangkan perlunya
penyesuaian dosis dan pemantauan
pengobatan pada beberapa obat

(misalnya fenitoin, litium)


PENGARUH OBAT PADA JANIN
1.Toksik
jika obat yang diminum selama masa kehamilan
menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-
kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya
baru muncul beberapa saat setelah kelahiran.
2. Teratogenik
jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada
petumbuhan organ janin
3. Letal
adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam
kandungan.
Secara umum pengaruh buruk obat pada janin
dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut:

1. Fase implantasi

yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase


ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak
sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya
menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan
(abortus).
2. Fase embrional atau organogenesis
yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu:
pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya
malformasi anatomik (pengaruh teratogenik).
3. Fase fetal
yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan.
Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut
dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada
fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi, tetapi mungkin
dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-
fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ.
Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi :

1. Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang


biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara langsung
pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol
pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan
terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di
kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).
2. pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.
3. pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam bentuk malformasi
anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena
talidomid.
Kategori risiko kehamilan menurut FDA :

A= Tidak berisiko,
B=Tidak berisiko pada beberapa penelitian,
C=Mungkin berisiko,
D=Ada bukti positif dari risiko,
X=Kontraindikasi,
N=Tidak diketahui
Kategori A

Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat


yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil
tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin
atau pengaruh buruk lainnya.
Kategori obat
untuk ibu hamil:
Obat-obat yang termasuk dalam kategori A
antara lain adalah parasetamol, penisilin, eritromisin,
glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan
hemopoetik seperti besi dan asam folat.
Kategori B

Obat kategori B meliputi obat-obat yang


pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih
terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan
frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya
pada janin.
Kategori obat
untuk ibu hamil:
Mengingat terbatasny pengalaman pemakaian
pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B
dibagi lagi berdasarkan temuan-temuan
pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:
B1
Dari penelitian pada hewan tidak terbukti
meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal
damage). Contoh: obat-obat yang termasuk pada
kelompok ini misalnya simetidin, dipiridamol, dan
spektinomisin.
B2 Kategori B
Data dari penilitian pada hewan belum memadai,
tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya kejadian
kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin,
asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-
obat yang masuk dalam kategori ini.
B3

Penelitian pada hewan menunjukkan


peningkatan kejadian kerusakan janin,
tetapi belum tentu bermakna pada
manusia. Sebagai contoh adalah
Kategori B
karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin,
trimetoprim, dan mebendazol.
Kategori C

Merupakan obat-obat yang dapat


memberi pengaruh buruk pada janin
tanpa disertai malformasi anatomik
semata-mata karena efek
farmakologiknya. Umumnya bersifat
reversibel (membaik kembali). Sebagai
contoh adalah analgetika-narkotik,
fenotiazin, rifampisin, aspirin,
antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
Kategori D

Obat-obat yang terbukti menyebabkan


meningkatnya kejadian malformasi janin pada
manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang
bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali).

Obat-obat dalam kategori ini juga


mempunyai efek farmakologik yang merugikan
terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin,
pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam,
valproat, steroid anabolik, dan antikoagulansia.
Kategori X

Obat-obat yang masuk dalam kategori ini


adalah yang telah terbukti mempunyai risiko
tinggi terjadinya pengaruh buruk yang
menetap (irreversibel) pada janin jika
diminum pada masa kehamilan

Obat dalam kategori ini merupakan


kontraindikasi mutlak selama kehamilan.
Sebagai contoh adalah isotretionin dan
dietilstilbestrol.
PEMAKAIAN BEBERAPA OBAT
SELAMA PERIODE KEHAMILAN
Antibiotika
A. Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah
menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun
cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan,
meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat
mengingat kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.

B. Ampisilin
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar
ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah
pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi
ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah
karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan
aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut.
Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat
ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam
sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika
ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan
meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat
pula volume distribusi obat

Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya
50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan
dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
Amoksisilin

Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral


jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara
cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun
parenteral.

Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada


kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu
maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi
janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di
sirkulasi ibu
B. Sefalosporin

Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama
kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama
setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau
melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya
anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat
sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.

C. Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah
melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero,
yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi
prematur.
Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin
akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi
kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel
Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang
diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh
mungkin harus dihindari.

D. Aminoglikosida

Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya


oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan
kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada
wanita hamil sangat tidak dianjurkan.
Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan
ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal
tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode
organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada
bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada
kehamilan.

E. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar
belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan
kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant,
dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur,
serta letargi.
Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena
efek farmakologinya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin
tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat
reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh
mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang
kelahiran dan selama menyusui.

F. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan
masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama
dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada
wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan.
Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat
ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-
ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan
menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.

G. Eritromisin

 Belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada


janin.
 Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik,
meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama.

 Namun ditilik dari segi keamanan & manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk
infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.
 Eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat
terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan
serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding
kadarnya dalam serum ibu.

H. Trimetoprim
 Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal
hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun
kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu.
 Pada uji hewan, terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar.
 Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada
janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari.
 Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada
kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folat.
9. Nitrofurantoin

 Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptic pada saluran kencing.


 Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan
fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat
rendah.
 Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam
plasma janin juga meningkat.
 Sejauh ini belum terbukti nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian
malformasi janin.
 Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di
mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan
menyebabkan anemia hemolitik pada janin. mengingat belum sempurnanya
sistem enzim glukose 6 phosfat dehidrogenase (G6PD)
B. Analgetika

1. Analgetika-narkotika

 Secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada


jaringan otak janin.
 Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi
pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada
bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi
analgetika-narkotik.
 Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya
manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan
takhipnoe.
a. Metadon

 Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang


munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin.

 Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan


meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari.
 Dianggap paling aman selama proses persalinan. Kenyataannya
menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah dibanding yang
mendapat anestesi lokal.
 Dengan alasan ini maka petidin pada persalinan hanya dibenarkan
apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan.
 Secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada
jaringan otak janin.

 Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi


pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada
bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi
analgetika-narkotik.

 Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya


manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan
takhipnoe.
2. Analgetika-antipiretik

a. Parasetamol
 Relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan.

 Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas


tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih
besar dari yang dianjurkan.
b. Antalgin

 Dikenal sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan.

 Salah satu efek samping yang dikhawatirkan terjadinya


agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat
jarang, tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya
dihindari.

c. Aspirin

 Aspirin dosis rendah tidak terlihat mempunyai efek buruk


apapun pada perkembangan sistem kardiovaskular janin
 Aspirin dosis rendah selama hamil bisa untuk mencegah
hipertensi yang diinduksi kehamilan
3. Antiinflamasi non-steroid

• Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin, efek


samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan lebih
sering terjadi pada trimester akhir kehamilan.
• Dengan terhambatnya sintesis prostaglandin, pada janin akan terjadi
penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi
yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal.

• Efek samping yang lain adalah berupa tertunda & memanjangnya


proses persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir.
• Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid
mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk malformasi
anatomik.
c. Antiemetik

 Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik


(meklizin(B) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi
hal ini belum terbukti pada manusia.

 Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian prometazin


selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi
panggul congenital pada janin.

 Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika


intervensi non-farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.
a. Vitamin B6
American College of Obstetrician and Gynecologist (ACOG)
mengatakan bahwa vitamin B6 adalah penolong pertama
untuk morning sickness.
b. Kombinasi Vitamin B6 doxylamin: dinilai aman dan efektif
c. Metoklopramid: Obat ini telah digunakan pada kehamilan
lanjut dan dalam penanganan hiperemesis gravidarum
Metoklopramid digunakan dalam persalinan dan sebelum
pemberian anestesi.
D. Antiepilepsi

 Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan


mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik
secara intravenosa.

 Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar, jantung,


dan glandula adrenal.

 Pada pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin


dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam
sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu.
 Pemberian fenitoin selama kehamilan dalam jangka panjang
berkaitan erat dengan meningkatnya angka kejadian kelainan
congenital pada bayi yang dilahirkan.

 Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit


jantung kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa
kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya.

 Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan sangat


tidak dianjurkan.
 Obat-obat antiepilepsi lain seperti karbamazepin dan
fenobarbital juga menyebabkan malformasi kongendital
(meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang mengkonsumsi obat-obat tersebut selama masa
kehamilannya.

 Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin


meningkatkan derajat defek tuba neuralis.

 Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina


bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi
asam valproat selama masa kehamilannya.
E. Antihipertensi
 Tidak jarang kita menjumpai seorang wanita hamil menderita
hipertensi.
 Yang harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang
penderita hipertensi atau hipertensi yang dialami hanya terjadi
selama masa kehamilan.
 Diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau kelainan pada bayi
yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang
menyertainya
 Meskipun pendekatan terapinya berbeda, tetapi tujuan terapinya
adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat
agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga cukup bulan, serta
menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena
eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan.
1. Gol. penyekat adrenoseptor beta

 Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan


atenolol dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
dengan memberi efek blokade beta pada janin.

 Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti


meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun
terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi temporer
setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.
2. Vasodilator

Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya


digunakanuntuk mencegah kelahiran prematur akibat
eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot
vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus.

Jika digunakan selama masa kehamilan aterm dapat


mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian
jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya
alopesia dan gangguan toleransi glukosa pada bayi baru lahir.
3. Golongan simpatolitik sentral

 Metildopa relatif aman selama masa kehamilan.

 Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan


kadar yang hampir sama dengan kadar maternal.

 Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi


pada dosis besar sering memberi efek samping seperti
sedasi dan mulut kering.
Metildopa merupakan prodrug dalam susunan saraf pusat yang
menggantikan kedudukan dopa dalam sintesis katekolamin dengan
hasil akhir α-metilnorepinefrin. Efek yang ditimbulkan antara lain
mengurangi sinyal simpatis ke perifer sehingga menurunkan
resistensi vaskular tanpa banyak mempengaruhi frekuensi dan curah
jantung.

Obat ini merupakan pilihan utama untuk pengobatan hipertensi pada


ibu hamil karena terbukti aman bagi janin. Efek samping yang sering
adalah sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut kering, sakit kepala,
depresi, dll.
Obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan
selama kehamilan meliputi :

1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti


verapami, dan diltiazem selama kehamilan ternyata
menunjukkan kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika
terjadi hipotensi pada maternal.
2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan
karena di samping mengurangi volume plasma juga
mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta.
3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita
hamil karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada
neonatal jika dikonsumsi selama trimester III.

3. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan


guanetidin sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan
karena menyebabkan hipotensi postural dan menurunkan perfusi
uteroplasental.

4. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor


seperti kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama
kehamilan karena meningkatkan kejadian mortalitas janin.
PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI

 Yang harus ditekankan dalam pemberian penyuluhan tentang


penggunaan obat pada wanita hamil adalah manfat pengobatan pada
wanita hamil harus lebih besar daripada risiko jika tidak diberikan
pengobatan.
 Contohnya adalah pada wanita hamil yang menderita epilepsi, lebih
berbahaya apabila tidak diberikan pengobatan karena risiko terjadi
kejang pada ibu dan janin lebih berbahaya dibandingkan dengan potensi
kelainan janin sebagai akibat pemberian obat.
 Oleh karena itu, nasehat tentang pengobatan secara berkesinambungan
pada wanita hamil yang menderita penyakit kronis sangat diperlukan.
Apabila pemberian obat tidak dapat dihentikan selama kehamilan, maka
pengobatan harus berada dalam pengawasan dan pemantauan dokter
atau dan apoteker..
● Perubahan fisiologi selama kehamilan dan CONCLUSIONS
menyusui dapat berpengaruh terhadap
kinetika obat pada ibu hamil yang
kemungkinan berdampak terhadap
perubahan respon ibu hamil terhadap obat
yang diminum

● Pemberian obat pada ibu hamil harus


mempertimbangkan besar manfaat dari
resiko.
REFERENCES

1. Katzung B.G., Basic & Clinical Pharmacology, 6th ed. 1995, Prentice-Hall
International Ltd.
2. D.C.Knoppert, Safety of drug in pregnancy and lactation in Pharmacotherapy
Self-Assessment Programm, 3rd ed, module Women’s health, American College
of Clinical Pharmacy: Kansas 1999:1-24.
3. Milsap RL., W J. Jusko Pharmacokinetics in the infants, Environ Health Perspect
102(Suppl 11):000-000 (1994)
4. Anonim, 2005, Indek Keamanan Obat Pada Kehamilan dan Petunjuk
Penggunaan Obat dengan atau tanpa Makanan, Tugas Khusus Pelatihan
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta
5. Anonim, 2005, Interaksi Obat. Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
6. Harkness, Richard, 1984, Interaksi Obat, Penerbit ITB, Bandung
5. Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta
7. Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta
THANKS
Does anyone have any questions?

Anda mungkin juga menyukai