Trimester kesatu
Trimester kedua
0-12 minggu
(triwulan 1)
Trimester ketiga
minggu ke-13 hingga ke-27
(triwulan 2)
Permenkes 917/Menkes/per/x/1993
Sebagian besar obat berdifusi secara
mudah ke dalam janin melewati plasenta.
Farmakokinetika
Farmakodinamika
Farmakokinetika
Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta obat-obat lain yang ikatan
protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam bentuk tidak
terikat.
Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak
Derajat ionisasi
obat lewat
plasenta.
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati
plasenta. Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio
sesarea, adalah obat-obat yang derajat
ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta
sehingga kadarnya di janin rendah.
Ukuran molekul
Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada
kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase
kehamilan.
Hindari polifarmasi
Pertimbangkan perlunya
penyesuaian dosis dan pemantauan
pengobatan pada beberapa obat
1. Fase implantasi
A= Tidak berisiko,
B=Tidak berisiko pada beberapa penelitian,
C=Mungkin berisiko,
D=Ada bukti positif dari risiko,
X=Kontraindikasi,
N=Tidak diketahui
Kategori A
B. Ampisilin
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar
ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah
pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi
ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah
karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan
aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut.
Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat
ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam
sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika
ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan
meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat
pula volume distribusi obat
Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya
50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan
dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
Amoksisilin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama
kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama
setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau
melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya
anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat
sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.
C. Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah
melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero,
yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi
prematur.
Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin
akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi
kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel
Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang
diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh
mungkin harus dihindari.
D. Aminoglikosida
E. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar
belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan
kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant,
dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur,
serta letargi.
Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena
efek farmakologinya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin
tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat
reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh
mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang
kelahiran dan selama menyusui.
F. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan
masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama
dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada
wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan.
Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat
ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-
ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan
menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.
G. Eritromisin
Namun ditilik dari segi keamanan & manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk
infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.
Eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat
terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan
serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding
kadarnya dalam serum ibu.
H. Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal
hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun
kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu.
Pada uji hewan, terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar.
Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada
janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari.
Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada
kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folat.
9. Nitrofurantoin
1. Analgetika-narkotika
a. Parasetamol
Relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan.
c. Aspirin
1. Katzung B.G., Basic & Clinical Pharmacology, 6th ed. 1995, Prentice-Hall
International Ltd.
2. D.C.Knoppert, Safety of drug in pregnancy and lactation in Pharmacotherapy
Self-Assessment Programm, 3rd ed, module Women’s health, American College
of Clinical Pharmacy: Kansas 1999:1-24.
3. Milsap RL., W J. Jusko Pharmacokinetics in the infants, Environ Health Perspect
102(Suppl 11):000-000 (1994)
4. Anonim, 2005, Indek Keamanan Obat Pada Kehamilan dan Petunjuk
Penggunaan Obat dengan atau tanpa Makanan, Tugas Khusus Pelatihan
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta
5. Anonim, 2005, Interaksi Obat. Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
6. Harkness, Richard, 1984, Interaksi Obat, Penerbit ITB, Bandung
5. Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta
7. Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta
THANKS
Does anyone have any questions?