Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Siswa-siswi di Jurusan TKJ kelas XII A SMK Negeri 2 Ende pada

umumnya memiliki berbagai variasi pengalaman masing-masing sewaktu di kelas

dalam memahami serta mengenal peran maupun fungsi BK (Bimbingan dan

Konseling). Dalam hal ini pemahaman terhadap BK sangat tergantung kepada

bagaimana kinerja guru pembimbingnya serta fungsi dan peran yang dilakukan

dalam membimbing siswa. Namun berdasarkan observasi langsung di kelas,

ternyata 98 persen merasa malu, ragu, bahkan takut untuk berhubungan dengan

guru pembimbing. Keadaan ini tentu menjadi hal yang sangat memilukan sebab

motto BK yang ”peduli siswa” tidak bisa diterapkan di sekolah secara benar.

Beberapa pendapat siswa menunjukkan bahwa guru pembimbing mereka

lebih berperan sebagai penegak disiplin dengan memberi sanksi terhadap siswa

yang melanggar tata tertib sekolah. Walaupun ada juga beberapa siswa yang

menyatakan bahwa guru pembimbing menjadi tempat konsultasi namun

jumlahnya sangat sedikit. Sebagian besar menganggap bahwa siswa yang

dipanggil atau berhubungan dengan guru pembimbing adalah mereka yang telah

berbuat pelanggaran atau siswa yang diberi hukuman.

Kondisi di SMK Negeri 2 Ende juga tidak berbeda dengan keadaaan

tersebut, disebabkan karena guru pembimbing merangkap sebagai Koordinator

dan pelaksana 7K (Keamanan, ketertiban, dll) yang sudah berlangsung bertahun-

1
tahun. Hal ini menyebabkan tugas keamanan yang dilakukan oleh guru

pembimbing misalnya memberi hukuman, justru dianggap sebagai tugas utama

mereka. Sebagai dampak dari pemberian tugas 7K kepada guru pembimbing

selama ini, maka 95 persen guru mata pelajaran belum tahu bagaimana

sesungguhnya fungsi dan peran BK di sekolah. Mereka masih menganggap bahwa

guru BK bekerja jika ada masalah khususnya pelanggaran, sehingga menimbulkan

kesan bahwa BK adalah pekerjaan ”santai” karena bila pelanggaran tidak ada

maka BK tidak bekerja. Kondisi yang juga turut menjadi hal yang sulit dihapus

adalah BK juga dilibatkan secara langsung dalam pencatatan sistem kredit poin

pelanggaran. Hal ini juga menjadi sesuatu yang makin menjadikan siswa ”takut”

berhubungan dengan BK.

Keadaan ini diperparah dengan bentuk bimbingan atau konseling yang

dilakukan guru pembimbing yang lebih cenderung ”menunggu bola”, misalnya

menangani masalah bila telah mendapat laporan. Untuk mengoreksi kinerja yang

belum maksimal dan juga kesalahan persepsi tentang BK, maka telah ditempuh

langkah strategis untuk memisahkan kegiatan BK dengan kegiatan 7K dan

pencatatan poin pelanggaran. Upaya yang dilakukan oleh Guru pembimbing

melalui komunikasi intensif kepada semua guru dan terutama kepala sekolah

untuk menghindari pemberian tugas sebagai 7K akhirnya berhasil. Dan sejak

diberlakukannya kurikulum baru, BK tidak lagi diberi tugas sebagai 7K serta

administrasi poin pelanggaran namun dialihkan kepada kesiswaan. Kesempatan

ini mulai memotivasi mereka untuk menunjukkan eksistensi BK sebagai

”pembimbing” bukan sebagai ”penghukum”. Namun kendala yang timbul adalah

2
bagaimana menghilangkan citra buruk terhadap BK yang sudah tertanam sejak

lama tersebut.

Fakta bahwa masih banyak siswa yang ”takut dipanggil” oleh BK tetap

saja terjadi. Di samping itu kesan guru mata pelajaran yang menganggap bahwa

konsultasi dengan BK menandakan siswa tidak mampu mandiri menyelesaikan

masalahnya bahkan dianggap kekanak-kanakan akan sangat menghambat kegiatan

BK. Kenyataan tersebut menjadikan kegiatan konseling yang dilakukan oleh guru

pembimbing dijauhi atau dihindari siswa. Padahal dalam konsep bimbingan

disebutkan bahwa salah satu kriteria keberhasilan BK adalah apabila siswa secara

sukarela dengan inisiatif sendiri menghubungi guru pembimbing untuk mengikuti

konseling. Selain itu pada hakekatnya pelaksanaan konseling adalah layanan

utama bahkan sebagai jantungnya bimbingan dalam pengentasan masalah siswa.

Berbagai kendala dalam pelaksanaan konseling seakan tetap tetap tidak bisa

teratasi karena sebagian besar guru pembimbing memanggil siswa untuk

konsultasi hanya pada siswa yang bermasalah baik karena adanya laporan dari

guru lain atau berdasarkan data yang diperoleh langsung oleh BK. Pada akhirnya

kesan bahwa siswa yang dipanggil adalah mereka yang dianggap memiliki

masalah dan ini sebagai sesuatu yang ”buruk” sulit dihapuskan. Oleh karena itu

kiranya mendesak untuk mengubah kesan negatif tentang panggilan guru BK.

Panggilan terhadap siswa yang bermasalah saja atau bagi siswa yang berbuat

pelanggaran yang dilakukan selama ini sudah sepatutnya dihindari. Hal ini

disebabkan karena berdampak bagi rendahnya minat konseling siswa.

3
Langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat konseling siswa

sekaligus mengubah pandangan keliru tentang konseling adalah melaksanakan

konsultasi rutin bagi setiap siswa. Dalam hal ini siswa yang memiliki masalah

(sedang bermasalah) atau pun mereka yang tidak atau belum bermasalah

semuanya diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan guru pembimbing. Salah

satu argumentasi yang penting dikemukakan dalam kegiatan ini adalah bahwa

orang dewasa pun butuh konsultasi dengan orang lain dalam menghadapi suatu

permasalahan. Sehingga siswa yang masih remaja dan beranjak dewasa tentu

wajar bila konsultasi dengan orang lain yang lebih dewasa termasuk kepada guru

pembimbing. Di samping itu kegiatan ini akan sedikit demi sedikit

menghilangkan kesan negatif dari terhadap panggilan BK selama ini sebab semua

siswa mendapat pelayanan. Kegiatan ini dilakukan dengan terlebih dahulu

membuat jadual konsultasi tetap bagi setiap siswa. Yang perlu diketahui bahwa

konsultasi bukan sebagai tujuan tetapi proses bagi terlaksananya ”konseling”

untuk mengentaskan masalah yang dialami setiap siswa.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah-masalah yang ada dapat


diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Metode mengajar yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran adalah
metode ceramah. yang dihitung kurang melibatkan siswa dalam kegiatan
belajar mengajar, dan siswa menjadi pasif.
2. Siswa aktif dalam berbicara namun tidak aktif dalam belajar, ketika guru
menjelaskan materi mereka mengajukan pertanyaan kepada guru akan tetapi
hal yang mereka tanyakan adalah pertanyaan yang menyepelekan guru dan
kurang bermanfaat.

4
3. Bosan mendengarkan guru berceramah menjelaskan materi, beberapa siswa
ada yang mengobrol dengan teman disampingnya, ada siswa yang sibuk
bermain handphone.
4. Kurangnya minat siswa dalam melakukan bimbingan konseling
5. Tanggapan beberapa siswa tentang metode ceramah yang digunakan guru
dalam mengajar, mereka merasa jenuh dan bosan dalam belajar karena guru
selalu ceramah dalam menyampaikan materi.
C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih efektif, efisien dan terarah maka diperlukan

pembatasan masalah. Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dikemukakan

diatas maka fokus permasalahan pada penelitian ini adalah pada kurangnya minat

siswa terhadap bimbingan konseling sehingga mengakibatkan siswa cenderung

menjadi pasif dalam belajar, karena mengalami berbagai kesulitan tapi tidak

diatasi. Oleh karena itu perlu diterapkan metode baru, dan dalam penelitian ini

akan diterapkan suatu metode bimbingan konseling yaitu konsultasi terjadwa.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana cara meningkatkan minat siswa Jurusan TKJ

kelas XII A SMK Negeri 2 Ende terhadap bimbingan dan konseling melalui

konsultasi terjadwal

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi tujuan penelitian dalam

penelitian ini adalah untuk meningkatkan minat siswa Jurusan TKJ kelas XII A

SMK Negeri 2 Ende terhadap bimbingan dan konseling melalui konsultasi

terjadwal.

5
F. Manfaat Penelitian

1. Menjadikan konsultasi sebagai langkah awal guna menarik minat siswa

untuk mengikuti konseling dalam pengentasan masalah yang dialaminya.

2. Menjadikan konseling sebagai layanan utama kepada siswa. Bagi siswa

yang memiliki masalah berat ataupun ringan semuanya diharapkan

terentaskan. Sedangkan yang tidak memiliki masalah akan diberikan

bekal pengetahuan atau keterampilan sebagai bentuk preventif sehingga

mereka dapat tercegah atau mampu terhindar dari masalah yang mungkin

akan dihadapinya.

3. Memberi motivasi kepada guru pembimbing untuk secara aktif serta

”tidak menunggu bola” dalam memberi pelayanan konseling terhadap

siswa.

4. Mengubah pemahaman yang salah terhadap kegiatan konseling ataupun

kegiatan bimbingan secara umum baik oleh guru atau pun siswa yang

menganggap berhubungan dengan BK hanyalah bagi orang yang

bermasalah atau melakukan pelanggaran tata tertib saja.

5. Mengoreksi pandangan keliru dari guru lain bahwa Guru pembimbing

hanya wajar bila memanggil siswa yang tidak mampu mengatasi masalah

sendiri atau tidak mandiri dalam menyelesaikan problem yang

dialaminya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Konsultasi

Menurut Siswohardjono (1990) konsultasi adalah wawancara antara dua

orang dewasa dengan tujuan bahan yang diprolehnya dapat membuat suatu pola

pengertian baru atau keputusan yang lebih mantap terhadap sesuatu. Pendapat

tersebut menunjukkan bahwa antara konsultasi dan wawancara tidak berbeda.

Namun jika dianalisis lebih jauh maka terdapat perbedaaan antara konsultasi dan

wawancara. Pendapat Sukardi (2000) bahwa wawancara (interviu) dalam

Bimbingan dan Konseling adalah salah satu alat pengumpul data melalui

pembicaraan langsung terhadap siswa. Sedangkan menurut Hallen (2005)

wawancara dilakukan dengan cara mengemukakan pertanyaan kepada klien secara

lisan.

Di samping itu menurut Siswohardjono (1990) wawancara dapat

digunakan sebagai teknik menolong siswa yang dapat dibagi dalam empat bentuk

yaitu 1) nasehat; 2) Informasi; 3) Konsultasi; dan 4) Konseling. Dengan demikian

nampak bahwa konsultasi adalah salah satu dari bentuk wawancara, sehingga

pengertian wawancara lebih luas dibanding konsultasi. Dari pendapat di atas dapat

diperoleh dua pengertian berbeda tentang konsultasi dan wawancara. Konsultasi

lebih sempit pengertiannya dibanding wawancara karena konsultasi cenderung

hanya dalam bentuk memberi pengertian pada seseorang sedangkan wawancara

7
lebih luas sebab apapun yang dilakukan dengan tanya jawab antara seseorang

dengan orang lainnya dapat dikategorikan sebagai wawancara.

B. Bimbingan Konseling

Menurut Abu Ahmadi (1991: 1), bahwa bimbingan adalah bantuan yang

diberikan kepada individu (peserta didik) agar dengan potensi yang dimiliki

mampu mengembangkan diri secara optimal dengan jalan memahami diri,

memahami lingkungan, mengatasi hambatan guna menentukan rencana masa

depan yang lebih baik.

Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka

antarab dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan

kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar.

Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang,

dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan

menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi

maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan

masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang.

(Tolbert, dalam Prayitno 2004 : 101).

Jadi kesimpulnya bahwa pengertian bimbingan dan konseling yaitu suatu

bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli agar konseli mampu

menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan juga mampu mengembangkan

potensi yang dimilikinya.

1. Manfaat Bimbingan Konseling

8
a. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu

konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan

lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama).

Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu

mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan

dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.

b. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor

untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin

terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh

konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada

konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan

yang membahayakan dirinya.

c. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang

sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa

berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang

memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel

Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork

berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan

program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam

upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya.

Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan

informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain

storming), home room, dan karyawisata.

9
d. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang

bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian

bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik

menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang

dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.

e. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam

membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau

program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang

sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya.

Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan

pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.

f. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan,

kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk

menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang

pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan

menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli,

pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam

memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan

menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses

pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan

kemampuan dan kecepatan konseli.

10
g. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam

membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan

lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.

h. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk

membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam

berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor

melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli

supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki

perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada

tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.

i. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam

mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi,

selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.

j. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk

membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan

situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini

memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan

menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini

diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan

fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseling.

2. Manfaat Bimbingan Konseling

a. Bimbingan konseling akan membuat diri kita merasa lebih baik,

merasa lebih bahagia, tenang dan nyaman karena bimbingan konseling

11
tersebut membantu kita untuk menerima setiap sisi yang ada di dalam

diri kita.

b. Bimbingan konseling juga membantu menurunkan bahkan

menghilangkan tingkat tingkat stress dan depresi yang kita alami

karena kita dibantu untuk mencari sumber stress tersebut serta dibantu

pula mencari cara penyelesaian terbaik dari permasalahan yang belum

terselesaikan itu.

c. Bimbingan konseling membantu kita untuk dapat memahami dan

menerima diri sendiri dan orang lain sehingga akan meningkatkan

hubungan yang efektif dengan orang lain serta dapat berdamai dengan

diri sendiri.

d. Perkembangan personal akan meningkat secara positif karena

adanya bimbinga konseling.

3. Asas

a. Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas  yang menuntut

dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik  (klien)

yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak

boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru

pembimbing  (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga

semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar

terjamin,

b. Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang menghendaki adanya

kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani

12
layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing

(konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan

seperti itu.

c. Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik

(klien)  yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan

tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang

dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan

materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru

pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan

peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru 

pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak

berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas

kerahasiaan dan  dan kekarelaan.

d. Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik

(klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di

dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing

(konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat

aktif dalam setiap layanan/kegiatan  yang diberikan kepadanya.

e. Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan

umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai

sasaran layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling diharapkan

menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal

diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan,

13
mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing

(konselor)  hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan

bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta

didik.

f. Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran

layanan bimbingan dan konseling  yakni permasalahan yang dihadapi

peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan

masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan

apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien)  pada saat sekarang.

g. Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan

terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu

bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta

berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya

dari waktu ke waktu.

h. Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai

layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan

oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang,

harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi 

dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling

menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

i. Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap

layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada

norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat,

14
ilmu pengetahuan,  dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan

lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan  bimbingan dan

konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik

(klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-

norma tersebut.

j. Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan

kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-

kaidah profesional.  Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan

kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang

benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru

pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan

jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan   dalam

penegakan kode etik bimbingan dan konseling.

k. Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-

pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan

konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta

didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang

lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan 

kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula,

sebaliknya guru pembimbing (konselor),  dapat mengalih-tangankan

kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam

lembaga sekolah maupun di luar sekolah.

15
l. Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar

pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat

menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman),

mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan

dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya  kepada peserta didik

(klien) untuk maju.

4. Prinsip

a. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli.

Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli

atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah;

baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.

Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih

bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan

(kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada

perseorangan (individual).

b. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli

bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan

konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya

tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran

bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya

menggunakan teknik kelompok.

c. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih

ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan,

16
karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan

aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan

sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan

dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk

membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri,

memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.

d. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan

bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas

guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan

peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.

e. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam

Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu

konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan.

Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan

nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam

mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya,

dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan,

menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui

pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat

pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan

yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah

mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan

masalahnya dan mengambil keputusan.

17
f. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting

(Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya

berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan

keluarga, perusahaan/ industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta,

dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun

bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan,

dan pekerjaan.

C. Kendala Pelaksanaan Konseling

Pentingnya konsultasi siswa dengan guru Pembimbing sebernarnya adalah

suatu hal yang perlu mengingat konsultasi tersebut akan menjadi jalan ke arah

pelaksanaan konseling yang sesungguhnya. Menurut Sahani dkk (1999) salah satu

kriteria keberhasilan BK di sekolah adalah jumlah siswa yang berkonsultasi secara

sukarela meningkat. Hal ini berarti bahwa semakin banyak siswa yang sukarela

berkonsultasi ke BK dapat dikatakan pula bahwa di sekolah tersebut menunjukkan

adanya keberhasilan BK dalam memberi pelayanan kepada siswa.

Namun berbagai kendala pelaksanaan konseling menjadikan konseling di

sekolah sulit berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Hal mendasar yang menjadi

kendala di berbagai sekolah adalah sarana dan prasarana pendukung yang kurang.

Sebagai contoh kebanyakan ruang BK di sekolah ditata seperti ruang guru yang

terbuka. Padahal ruang yang terbuka dan tanpa sekat akan menjadikan siswa

kurang nyaman berkonsultasi ataupun konseling dengan gurunya. Selain itu tidak

adanya ruang khusus untuk konseling akan menyebabkan masalah yang akan

18
dikemukakan siswa tidak secara maksimal dan transparan dikemukakan karena

ada perasaan was-was masalahnya diketahui orang lain.

Kendala lain yang juga menjadi salah satu faktor penghambat adalah latar

belakang pendidikan guru pembimbing atau konselor yang umumnya bukan

berasal dari BK. Kebanyakan guru pembimbing adalah mereka yang

dialihtugaskan dari guru mata pelajaran, walaupun sebagian dari mereka telah

mengikuti pelatihan atau penataran tentang bimbingan. Hal yang tetap menjadi

kendala adalah keterampilan mereka tetap masih minim. Kondisi ini menjadikan

pelaksanaan konseling berjalan tidak sesuai dengan ketentuan ataupun kode etik

mengingat pemahaman yang dangkal tentang seluk beluk konseling. Pemahaman

yang masih rendah tersebut menurut Prayitno dan Anti (1999) menyebabkan

konseling dianggap sebagai proses pemberian nasehat.

Selain itu berbagai pemahaman yang tidak tepat tentang konseling di

sekolah adalah seringnya konseling diarahkan secara langsung sebagai suatu

kegiatan untuk mengatasi pelanggaran siswa. Guru pembimbing sering

beranggapan bahwa menyadarkan siswa dari pelanggaran adalah tugas utama

mereka. Sehingga konsultasi atau konseling yang mereka lakukan kadang

mengarah pada upaya paksa agar siswa berubah. Pada kenyataannya banyak guru

pembimbing membuat pendekatan yang jauh menyimpang dari teknik konseling,

misalnya membuat perjanjian siswa yang melanggar, memaksa siswa wajib lapor

bahkan memberi hukuman. Kondisi di atas tentu menjadikan konseling sebagai

interogasi, intimidasi bahkan ibarat sidang pengadilan, padahal kesemuanya itu

adalah penyimpangan.

19
D. Minat Konseling Siswa

Pada hakekatnya konseling di sekolah terselenggara bila siswa secara aktif

mau menemui konselor untuk melaksanakan konseling. Di sekolah konseling

dapat diupayakan keterlaksanaannya dalam tiga bentuk yaitu inisiatif konselor

meanggil siswa, inisiatif siswa untuk mendatangi konselor atau inisiatif pihak atau

guru lain sebagai perantara.

Adapun ketentuan untuk memanggil siswa berdasarkan inisiatif konselor

ataupun melalui perantara pihak lain menempuh cara berikut : 1) Panggilan

didahului oleh analisis yang mendalam; 2) Panggilan dengan bahasa yang halus

dan tidak ada unsur paksaan; 3) Panggilan beralasan untuk kepentingan siswa; 4)

Panggilan tidak merugikan siswa dari segi kerahasiaan atau yang merugikan

belajar siswa. Sedangkan inisaiatif siswa untuk mendatangi konselor secara

sukarela adalah hal yang ideal untuk terselanggaranya konseling yang baik.

Berdasarkan seri pemandu pelaksanaan BK di sekolah (1995) persentase

kegiatan konseling baik perorangan ataupun kelompok dialokasikan sebanyak 30

persen dalam kegiatan bimbingan. Kegiatan tersebut tentu dilaksanakan melalui

tatap muka secara langsung dengan konselor. Hal ini berarti bahwa kegiatan

konseling merupakan sesuatu yang perlu terlaksana dan memiliki waktu atau

alokasi khusus dalam kegiatan bimbingan dan konseling.

Namun berbagai pihak yang belum paham bagaimana peran guru BK di

sekolah menjadikan konseling sebagai kegiatan yang tidak penting dan

disepelekan. Hal ini sesuai pendapat Winkel (1991) bahwa kekaburan tentang

20
peran konselor di sekolah dapat timbul karena berbagai pihak mempunyai

konsepsi berbeda tentang peranan tersebut.

Di samping itu pendekatan guru pembimbing dalam menangani masalah

juga menyebabkan peran BK dalam pelaksanaan konseling tidak terlihat. Menurut

Willis (2004) guru pembimbing di sekolah kurang dalam segi keterampilan (skill)

konseling untuk mengembangkan potensi siswa dan membantu siswa untuk

mengantisipasi permasalahan yang dihadapinya. Banyak guru pembimbing di

sekolah yang masih beranggapan bahwa mereka bekerja bila ada permasalahan

terutama pelanggaran oleh siswa. Mereka tidak menyadari bahwa bahwa guru

pembimbing bekerja sebelum terjadinya masalah, sebab dalam berkerja fungsi BK

sebagai preventif (pencegahan) dimana mereka seharusnya bekerja dari awal dan

sedini mungkin mengantisipasi adanya kemungkinan masalah sebelum masalah

itu timbul.

Berbagai kelemahan dari segi pemahaman dan juga belum profesionalnya

guru pembimbing menyebabkan mereka kadang menyimpang dari program dan

kegiatan yang seharusnya mereka lakukan. Penyimpangan peran yang terjadi

menurut Karyono (2003) terjadi karena BK kerap diposisikan sebagai polisi

sekolah sehingga guru BK dijauhi siswa. Hal ini karena Guru BK sering

memangil, menghukum, memarahi siswa yang bermasalah atau nakal. Kondisi ini

tentu tidak bisa dipisahkan dari kurang pahamnya guru pembimbing dan juga

tidak adanya upaya mengubah kesalahpahaman atau penyimpangan yang terjadi

selama ini.

21
Yusuf dan Nurihsan (2005) juga mengemukakan bahwa konseling tidak

berjalan di sekolah karena siswa merasa tidak senang kepada guru pembimbing.

Menurutnya kondisi ini disebabkan oleh pemberian tugas dari kepala sekolah

yang berseberangan dengan tugas yang seharusnya dilakukan guru pembimbing.

Dengan demikian rendahnya minat konseling ternyata dipengaruhi banyak

faktor. Upaya guru pembimbing untuk meningkatkan minat konseling sudah perlu

segera dilakukan dengan metode yang tepat di samping tetap berusaha

mengurangi faktor-faktor negatif yang bisa menghambat kepercayaan siswa

kepada guru pembimbing.

E. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Suparman (2010) lalu, diperoleh hasil

bahwa kegiatan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan ini diutamakan pada

peningkatan minat siswa serta respon siswa terhadap diterapkannya konsultasi

terjadwal pada mata pelajaran bimbingan konseling. Penelitian ini dilaksanakan

dalam dua siklus. Berdasarkan hasil analisis dari kedua siklus yang telah

dilakukan, menunjukkan adanya peningkatan minat siswa setelah di terapkannya

konsultasi terjadwal. Hal ini dilihat dari peningkatan nilai tes rata-rata dan

ketuntasan belajar klasikal pada aspek afektif, dan psikomotorik. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa penerapan konsultasi terjadwal dapat meningkatkan minat

siswa pada mata pelajaran bimingan konseling siswa kelas X Teknik Kendaraan

Ringan SMK Negeri 5 Purwokerto

F. Kerangka Berpikir

22
Keberhasilan suatu pembelajaran tidak hanya dilihat dari nilai akhir hasil

belajar saja namun juga dilihat dari proses pembelajarannya, input yang

berkualitas tetapi tidak diikuti oleh proses yang sesuai maka output yang

dihasilkan belum tentu akan berkualitas baik. Keberhasilan belajar mengajar

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yakni model atau metode

mengajar yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materinya. Penggunaan

metode pembelajaran yang kurang bervariasi dan kurang melibatkan siswa dapat

meneyebabkan siswa menjadi seseorang yang pasif, bosan dan jenuh dalam

mengikuti pelajaran.

Model atau metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam mengajar

mempunyai peranan yang sangat penting dalam pencapaian keberhasilan belajar.

Salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian belajar adalah minat bimbingan

konseling siswa. Pemilihan metode yang tepat dan sesuai dengan materi yang

akan disampaikan akan membawa peran serta siswa dan dapat mebangkitkan

minat bimbingan konseling siswa. Pembelajaran yang masih berpusat pada guru

dengan bercerita atau berceramah, yang selama ini dilakukan dalam proses

pembelajaran sedikit sekali melibatkan siswa dalam belajar sehingga

mengakibatkan kurangnya minat bimbingan konseling siswa khususnya siswa

Jurusan TKJ kelas XII A SMK Negeri 2 Ende. Solusi untuk mengatasi

permasalahan tersebut yakni dilakukan penerapan metode konsultasi terjadwal.

G. Hipotesis Tindakan

23
Minat siswa Jurusan TKJ kelas XII A SMK Negeri 2 Ende terhadap

bimbingan dan konseling mengalami peningkatan dengan adanya konsultasi

terjadwal.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Setting Penelitian

Kelas yang menjadi objek pengamatan pada kegiatan tersebut adalah kelas

XII A Jurusan TKJ SMK Negeri 2 Ende. Alasan pilihan terhadap kelas tersebut

karena data dan administrasinya sudah lengkap dibanding kelas lainnya.

Seluruh kegiatan khusus untuk pengamatan pada kelas XII A Jurusan TKJ

mulai dengan masa perencanaan, kegiatan dan penilaian hasil, dilaksanakan pada

Juli 2021 s.d. September 2021. Perencanaan dilakukan sejak Juli 2021, kegiatan

konsultasi dilaksanakan sejak Agustus, dan kegiatan penilaian dilaksanakan sejak

minggu terakhir Agustus 2021. Sedangkan untuk kegiatan perampungan

pelaporan hingga selesai dimulai September 2021.

Konsultasi dilaksanakan di ruang BK sesuai jadwal yang telah disusun

berdasarkan kesempatan guru pembimbing dan juga memperhatikan jam pelajaran

di roster dengan persetujuan guru mata pelajaran. Lama konsultasi terhadap setiap

24
siswa dibatasi waktunya maksimal 10 menit. Untuk konsultasi yang sudah

mengarah pada konseling, waktunya dapat lebih lama hingga 20 menit dengan

tetap seizin guru mata pelajaran.

B. Rencana Tindakan

1. Skenario Tindakan

Jadwal konsultasi siswa dibuat berdasarkan nomor urut absen untuk

menghindari adanya prasangka siswa maupun guru selama ini, bahwa

yang dipanggil terlebih dahulu adalah yang selalu berbuat pelanggaran

atau tanggapan negatif lainnya. Selain itu jumlah siswa yang direncanakan

setiap harinya minimal empat orang sesuai kemampuan guru pembimbing

dan juga jadwal pelajaran.

Teknis pelaksanaan konsultasi terjadwal dilakukan dengan komunikasi

dengan para guru serta persetujuan kepala sekolah. Adapun bentuk jadwal

yang telah dibuat disajikan secara lengkap pada halaman lampiran.

Jadwal yang telah tersusun selanjutnya ditempel di papan bimbingan

dan juga papan informasi sekolah serta dibagikan kepada ketua kelas

masing-masing untuk memperlancar dan memudahkan proses

pelaksanaannya setiap hari.

Selain itu sebagai bahan administrasi formal digunakan blangko

panggilan konsultasi yang diberikan kepada guru yang akan mengajar atau

langsung kepada siswa yang bersangkutan.

Skenario tindakan yang akan dilakukan adalah membuat perencanaan

tindakan yaitu bagaimana membuat jadual konsultasi. Data tentang siswa

25
yang hadir saat konsultasi diadministrasikan, diobservasi dan selanjutnya

diadakan refleksi. Untuk penilaian tentang minat konseling, diadakan pre

test dan post tes, yang dilakukan pada awal dan akhir kegiatan. Alat bantu

yang digunakan adalah absen kelas, jadwal konsultasi, surat panggilan

konsultasi dan penilaian hasil observasi dan refleksi.

2. Pelaksanaan Tindakan

Untuk melaksanakan tindakan kelas, maka kegiatan yang dilakukan

adalah membuat jadwal konsultasi berdasarkan nomor urutan absen dari

urutan petama hingga terakhir. Bila pembuatan jadwal tersebut tidak

sesuai atau belum terlaksana sesuai apa yang direncanakan sesuai data

siswa, persetujuan guru atau kendala lain, maka model jadwal diperbaiki

kembali untuk perencanaan berikutnya.

Materi konsultasi pada pertemuan pertama adalah informasi tentang

fungsi BK dan perlunya konseling. Pada konsultasi kedua diarahkan pada

pembahasan masalah yang telah didata melalui AUM (Angket Ungkap

Masalah) atau sosiometri. Tetapi bila siswa meminta untuk membahas

masalah yang sedang dihadapinya saat ini, maka secara otomatis

konsultasi tersebut dianggap sebagai kegiatan konseling.

3. Pengolahan Data

Untuk mengolah data, maka tindakan yang dilakukan diobservasi dan

dinilai yang bentuknya terbagi atas penilaian proses dan penilaian hasil

kegiatan yaitu:

26
a. Penilaian proses dilakukan melalui observasi langsung mengenai

evaluasi terhadap jadwal yang telah disusun, jumlah siswa yang

ikut konsultasi, kegiatan yang dilakukan serta masalah yang

dibahas.

b. Penilaian hasil dilakukan dengan mengevaluasi seluruh aspek yang

telah dilaksanakan dan juga termasuk melalui angket sebelum

kegiatan konsultasi untuk menilai sejauhmana minat, kepercayaan,

tempat konsultasi dan sikap terhadap konsultasi. Setelah kegiatan,

siswa diberikan angket yang sama untuk menilai hasilnya.

4. Analisis Hasil Refleksi

Analisis hasil refleksi dimulai dengan mengobservasi kehadiran siswa

menurut jadwal yang telah disusun. Disamping itu kehadiran dan proses

konseling juga diamati dan dicatat kejadian yang terjadi termasuk masalah

yang dikonsultasikan.

Untuk mengetahui minat siswa kepercayaan, tempat konsultasi dan

sikap terhadap konsultasi maka data angket dianalisis untuk mendapatkan

gambaran dari kegiatan yang dilakukan.

5. Data dan Cara Pengumpulan Data

Data tentang siswa diperoleh berdasarkan absen siswa. Sedangkan

untuk memperoleh data dan kejadian selama tindakan yang dilakukan

maka segala catatan kegiatan dan observasi yang dilakukan dikumpulkan

dan diadministrasikan untuk kegiatan pelaporan.

27
Untuk memperoleh data diberikan angket secara langsung kepada siswa

yang bersangkutan sebelum kegiatan dan sesudah kegiatan dilakukan.

Berikut ini bentuk kisi-kisi instrumen yang dipersiapkan.

Tabel 3.1. Kisi-kisi Angket Penilaian Minat Konseling Siswa

Nomor Item Aspek Penilaian Jenis Item

1 Minat Konsultasi Pernyataan positif

2 Tempat konsultasi Pernyataan positif

3 Pemahaman terhadap BK Pernyataan negatif

4 Kepercayaan pada BK Pernyataan positif

5 Sikap terhadap konsultasi Pernyataan positif

C. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan sesuai dengan latar belakang masalah dan

tujuan dari penelitian ini, adalah penelitian tindakan (action research). Alasan

peneliti menggunakan metode penelitian tindakan, karena jawaban yang ingin

dicari dari penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan konsultasi terjadwal

terhadap peningkatkan minat siswa terhadap bimbingan dan konseling. Untuk

mendapatkan jawaban tentang pelaksanaan konsultasi terjadwal tersebut yang

tepat tersebut, perlu dilakukan uji coba berupa tindakan dari peneliti.

Jenis data yang harus dikumpulkan oleh peneliti secara sistematis adalah

jenis data-data primer dan sekunder, misalnya data hasil pengukuran

menggunakan skala psikologis, data berupa gambar, dokumen dan lain-lain, yang

akan memudahkan peneliti untuk menganalisisnya. Oleh karena itu, pendekatan

yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian tindakan.

28
Penelitian tindakan menurut Ebbut dalam Kasbolah (2001: 45) merupakan

studi sistematis yang dilakukan dalam upaya memperbaiki praktik-praktik dalam

pendidikan dengan melakukan tindakan praktis serta refleksi dari tindakan

tersebut. Kegiatan ini dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses

pembelajaran. sedangkan Ruseffendi (1994: 29) menjelaskan bahwa penelitian

tindakan bertujuan untuk mengembangkan ketrampilan atau kemampuan dan

pendekatan baru dalam memecahkan persoalan-persoalan yang ada di sekolah

melalui penggunaan metode ilmiah.

Penelitian tindakan melalui kegiatan konsultasi terjadwal diharapkan dapat

memperbaiki kualitas minat terhadap bimbingan dan konseling bagi siswa dalam

mengatasi permasalahan dan kesulitan belajar, sehingga untuk pelaksanaannya

perlu dilakukan tindakan dan refleksi dari peneliti. Selain itu desain penelitian

tindakan ini bertujuan mengembangkan ketrampilan-ketrampilan baru atau cara

pendekatan baru dan untuk memecahkan masalah dengan penerapan langsung di

dunia kerja atau dunia aktual yang lain (Suryabrata 2005: 94). Ketrampilan-

ketrampilan baru dalam layanan bimbingan ini akan dikembangkan oleh peneliti

melalui pelaksanaan tindakan dan refleksi dalam penelitian.

Kelemahan yang ada pada penelitian tindakan ini menurut Madya (2006:

48-50) yaitu:

(1) Kelemahan yang berkaitan dengan kurangnya pengetahuan dan

ketrampilan dalam teknik dasar penelitian tindakan oleh pihak peneliti.

(2) Kelemahan yang berkaitan dengan waktu, karena penelitian tindakan

memerlukan komitmen peneliti untuk terlibat dalam prosesnya.

29
(3) Kesulitan yang berhubungan dengan konsepsi proses kelompok, proses

kelompok dapat berjalan dengan baik jika pemimpin kelompok demokratis.

Usaha dari peneliti untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah:

(1) Untuk mengatasi kelemahan yang berkaitan dengan kurangnya

pengetahuan dan ketrampilan dalam teknik dasar penelitian tindakan, peneliti

berupaya mempelajari pendekatan penelitian tindakan melalui konsultasi

dengan rekan sejawat dan mempelajari buku referensi.

(2) Untuk mengatasi kelemahan yang berkenaan dengan waktu, peneliti

melakukan penjadwalan dan kesepakatan dengan partisipan penelitian secara

sistematis.

(3) Untuk mengatasi kelemahan yang berhubungan dengan konsepsi proses

kelompok, peneliti melakukan proses penelitian secara demokratis dengan

pelibatan partisipan dari awal sampai akhir dan dan membuat variasi dalam

kegiatan kelompok.

Upaya untuk meminimalisir kelemahan dalam penelitian tindakan ini,

diharapkan proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan dapat berjalan

dengan baik.

D. Metode Dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan skala psikologi.

Skala psikologi yang digunakan berupa skala kedisiplinan. Skala

kedisiplinan diberikan pada saat pree-test dan post-test. Skala kedisiplinan

preetest diberikan pada saat sebelum dilakukan tindakan bertujuan untuk

30
mengetahui kondisi awal dari subyek yang berkenaan untuk menjaring atau

merekrut sejumlah anggota bimbingan kelompok, dengan skor 15 siswa yang

terendah. Setelah didapatkan anggota bimbingan kelompok, selanjutnya

dilaksanakan pemberian treatment. Sedangkan post-test diberikan pada saat

setelah dilakukan tindakan pada tiap siklusnya, untuk mengetahui seberapa jauh

peningkatan kedisiplinan setelah diberikan tindakan.

Skala psikologi sebagai skala untuk pengukuran bidang psikologi. Skala

psikologi merupakan alat ukur aspek psikologis atau atribut afektif. Menurut

Azwar (2005: 5) dalam skala psikologi dapat mengungkap tentang:

(1) Data yang diungkap berupa konsep psikologis yang menggambarkan

kepribadian individu.

(2) Pertanyaan sebagai stimulus tertentu pada indikator perilaku guna

memancing jawaban yang berupa refleksi dari keadaan subyek secara sadar,

pertanyaan yang diajukan memang dirancang untuk mengumpulkan

sebanyak mungkin indikasi dari aspek kepribadian yang lebih abstrak.

(3) Responden tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan

dari pertanyaan.

(4) Respon terhadap skala psikologi diberi skor lewat penskalan.

(5) Skala psikologi hanya diperuntukkan untuk mengungkap atribut tunggal.

Karakteristik dalam skala psikologi sebagai alat ukur menurut Azwar, (2005:

3-4) adalah:

31
(1) Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung

mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator

perilaku dari atribut yang bersangkutan.

(2) Atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator

perilaku, sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-

aitem.

(3) Respon subyek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”.

Tetapi semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan

sungguh-sungguh.

Ada empat alternatif jawaban dalam skala kedisiplinan siswa, penggunaan

empat jawaban yaitu untuk menghindari atau menghilangkan jawaban ragu-ragu,

sehingga obyek yang akan memilih jawaban sesuai dengan kondisi obyek.

Pernyataan dalam skala menggunakan kecenderungan favourable dan

unfavourable, yaitu pernyataan diberikan pada obyek berdasarkan jawaban yang

dipilih, yang mendukung dan yang tidak mendukung obyek.

Penggolongan kriteria siswa yang memiliki sikap tatakrama yaitu, sangat

tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah, menggunakan penilaian dengan skor

standar (Azwar 2001: 163). Pemberian nilai yang menggunakan skor standar

dilakukan dengan mengubah skor hasil skala psikologi kedisiplinan kedalam

bentuk penyimpangannya dari mean, dalam satuan deviasi standar. Dalam hal ini

dengan menggunakan seluruh alat indera (Arikunto 2006 : 156). Observasi dalam

penelitian ini digunakan sebagai suatu pedoman pemberian nilai yang merupakan

32
norma ditentukan terlebih pelengkap atau pendukung terhadap data yang diperoleh

melalui tes skala dahulu.

E. Analisis Data

Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Rumus yang digunakan

yaitu sebagai berikut:

% = n/ N x 100

Keterangan:

N = nilai yang diperoleh

N = jumlah seluruh nilai

F. Teknik Analisis dan Validasi Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tindakan ini adalah analisis

kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis semua

data yang diperoleh berkaitan dengan meningkatnya sikap tatakrama untuk

kemudian didiskriptifkan. Analisis kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis

data yang diperoleh dari skala sikap tatakrama yang dilakukan setelah pemberian

tindakan pada setiap siklusnya.

Analisis diskripsi prosentase digunakan untuk mengetahui gambaran

peningkatan kedisiplinan siswa baik sebelum maupun sesudah diberi layanan

bimbingan kelompok. Kriteria tersebut dapat diperoleh dengan cara menentukan

skor tertinggi (empat) dikurangi skor terendah (satu), maka diperoleh tiga,

kemudian dibagi banyaknya interval yang akan dibuat (empat). Maka diperoleh

0,75 angka itu dijadikan sebagai panjang interval.

33
G. Indikator Keberhasilan

Keberhasilan penelitian tindakan ini diukur dengan indikator sekurang-

kurangnya 75% jumlah siswa mengalami peningkatan minat konsultasi dalam

kategori > 2,51-4,00.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambar Sekilas Tentang Setting

Subjek penelitian tindakan adalah seluruh siswa Jurusan TKJ kelas XII A

SMK Negeri 2 Ende tahun pelajaran 2021/2022. Kondisi awal minat konseling

siswa dapat diketahui melalui observasi. Pada saat observasi sebelum tindakan

dilakukan sebagian besar siswa merasa ragu-ragu dan takut bila dipanggil untuk

konseling. Selain itu dari hasil observasi yang dilakukan diperoleh data mengenai

kondisi minat terhadap konseling.

Berdasarkan data angket yang disebarkan, siswa yang berminat konsultasi

sebelum diadakan tindakan sebanyak 18,4 persen. Siswa yang menganggap

tempat konsultasi boleh dilaksanakan dimana saja ada 39,5 persen. Sebanyak 7,9

persen siswa memahami BK sebagai sarana untuk berkonsultasi. Siswa yang

34
percaya terhadap BK untuk berkonsultasi hanya 2,6 persen. Sikap senang terhadap

guru BK juga 2,6 persen.

Konsultasi dilakukan bertahap. Pada pertemuan pertama materi konsultasi

diarahkan pada informasi tentang fungsi BK di sekolah serta apa pengertian

konseling. Titik penekanan pada konsultasi pertama adalah upaya menarik minat

siswa untuk konseling dan tidak ragu atau takut masalah yang diungkapkannya

diketahui orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing meyakinkan siswa bahwa

guru pembimbing memiliki kode etik untuk merahasiakan masalah yang

dikemukakan termasuk yang sangat pribadi atau bersifat rahasia dari setiap siswa

untuk dipentaskan.

Pada pertemuan kedua materinya terdiri dari dua alternatif tergantung

keinginanan siswa. Alternatif kesatu adalah membahas masalah siswa berdasarkan

data yang diperoleh guru pembimbing lewat Sosiometri atau AUM. Alternatif

kedua materi konsultasinya bisa saja membahas secara langsung keluhan-keluhan

atau problem mendesak yang perlu diselesaikan.

B. Hasil Tindakan 1

1. Hasil Pengamatan

a) Jadwal yang disusun tidak sesuai dengan nama yang hadir karena

beberapa siswa sangat berminat konsultasi yang meminta mereka

didahulukan. Hal ini tidak jadi kendala, namun guru pembimbing

kesulitan dalam mengadministrasikan karena harus mengecek ulang

jadwal dan nama yang belum dipanggil. Selain itu pada saat

panggilan, beberapa guru meminta panggilan ditunda sejenak karena

35
materi pelajaran yang sedang atau akan diberikan membutuhkan

kehadiran siswa di kelas.

b) Terdapat beberapa siswa yang konsultasi pada pertemuan pertama

memiliki antusias yang tinggi ditunjukkan oleh adanya beberapa siswa

yang secara bersamaan mengikuti konsultasi.

c) Sebagian besar siswa yang mengikuti konsultasi pertama

mempertanyakan kerahasiaan masalah yang akan mereka kemukakan,

sehingga hal ini menjadi indikasi bahwa guru pembimbing butuh

strategi khusus untuk meyakinkan siswa tentang azas kerahasiaan

sebagai kode etik dalam melaksanakan konseling.

d) Pada saat konsultasi, ada sebagian siswa datang sekaligus bersamaan

baik berduaan atau bertiga. Dengan kondisi seperti ini kadang nama

yang dijadwalkan tidak sesuai dengan kehadiran siswa. Selain itu

tempat konsultasi ternyata tidak selamanya dilaksanakan di ruang BK

karena beberapa siswa menginginkan di dalam kelas saja untuk

mengefisienkan waktu.

2. Hasil Refleksi

a) Jadwal Konsultasi yang dibuat tidak dipatuhi oleh siswa karena masih

merasa ragu.

b) Perlu segera dibuat jadwal ulang sesuai minat siswa, sehingga tidak

lagi berdasarkan nomor urut absen.

C. Hasil Tindakan 2

1. Hasil Pengamatan

36
a) Setelah konsultasi pertama banyak dari siswa yang berkeinginan

dipanggil untuk konsultasi kedua, namun keterbatasan waktu dan

jadwal yang sudah disusun maka hanya tujuh siswa yang sempat

konsultasi. Materi konsultasi pertama sesuai dengan apa yang

direncanakan, namun pada konsultasi kedua sebanyak tujuh siswa

secara sukarela langsung ingin mengemukakan masalahnya sehingga

materi konsultasinya adalah pembahasan masalah masing-masing.

b) Pada saat tindakan pertama membuat jadwal, ternyata ada perubahan

karena beberapa siswa tidak mematuhi jadwal yang telah dibuat. Oleh

karena itu pada tindakan kedua segera dibuat jadwal baru sesuai

keinginan siswa.

c) Dari rencana konsultasi pertama diselesaikan lebih cepat dari waktu

yang direncanakan yaitu pada minggu ketiga Agustus 2021.

d) Adapun masalah yang dikemukakan oleh tujuh siswa pada konsultasi

kedua adalah masalah keluarga, masalah muda-mudi dan keluhan

tentang pemerasan oleh siswa lain. Masalah keluarga yang diungkap

adalah tentang konflik dengan orangtua, kondisi keluarga yang broken

home serta kesulitan karena tidak tinggal dengan orangtua. Untuk

masalah pemerasan oleh siswa lain, proses penanganannya adalah

melibatkan wali kelas yang dalam layanan BK disebut sebagai

layanan Advokasi. Masalah muda-mudi yang diungkap siswa terkait

dengan keingin tahuannya tentang batas-batas dalam berpacaran.

2. Hasil Refleksi

37
a) Dari angket yang diberikan kepada siswa Jurusan TKJ kelas XII A

SMK Negeri 2 Ende diperoleh data sbb:

1. Jawaban atas pernyataan tentang minat siswa untuk mengikuti

konseling sebanyak 71 persen yang menyatakan berminat. Jumlah

ini tentu lebih besar dibanding dengan yang tidak berminat.

2. Pandangan bahwa tempat konseling boleh dilakukan dimana saja

disetujui 58 persen.

3. Pemahaman tentang tujuan konseling sangat tinggi karena

persentasenya mencapai 82 persen.

4. Kepercayaan kepada guru pembimbing diyakini 66 persen.

5. Siswa yang merasa senang mengikuti konsultasi sebanyak 76

persen.

Data lengkap tentang penilaian umum siswa tentang konseling

yang telah dilaksanakan terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1. Penilaian Minat Konseling Siswa

ASPEK PERSEN

Minat Konseling 71

Tempat konseling 58

Pemahaman terhadap BK 82

Kepercayaan pada BK 66

Sikap terhadap konseling 76

38
b) Jika dibandingkan antara kondisi sebelum tindakan dan sesudah

tindakan, maka akan dapat terlihat secara jelas perbedaan yang

signifikan. Sebelum diadakan tindakan siswa yang berminat konsultasi

18,4 persen, sedang sesudah konsultasi berjumlah 71 persen. Siswa

yang menganggap tempat konsultasi boleh dilaksanakan dimana saja

ada 39,5 persen, dan sesudah konsultasi sebanyak 58 persen.

Sebanyak 7,9 persen siswa memahami BK sebagai sarana untuk

berkonsultasi, dan setelah konsultasi sejumlah 82 persen. Siswa yang

percaya terhadap BK untuk berkonsultasi hanya 2,6 persen, namun

sesudah konsultasi meningkat sebesar 66 persen. Sikap senang

terhadap guru BK sebelum tindakan ada 2,6 persen dan sesudah

tindakan berjumlah 76 persen.

Perbandingan hasil sebelum tindakan dan sesudah tindakan

digambarkan pada tabel berikut :

Tabel 4.2. Perbandingan Minat Konseling Siswa Sebelum Tindakan dan Sesudah

Tindakan

ASPEK SEBELUM TINDAKAN SESUDAH TINDAKAN

MINAT (%) (%)

Minat Konseling 18,4 71

Tempat konseling 39,5 58

Pemahaman terhadap BK 7,9 82

Kepercayaan pada BK 2,6 66

Sikap terhadap konseling 2,6 76

39
c) Penilaian Siswa Tentang Konsultasi Berdasarkan Perbedaaan Jenis

Kelamin

Dari sejumlah 44% laki-laki dan 54% perempuan diketahui

beberapa perbedaaan penilaian tentang konsultasi berikut ini:

1. Minat untuk mengikuti konsultasi siswa perempuan lebih tinggi

dibanding laki-laki yaitu 86 persen berbanding 53 persen.

2. Pandangan bahwa konsultasi boleh dilakukan dimana saja

disetujui oleh perempuan sebanyak 71 persen, dan laki-laki hanya

41 persen.

3. Pemahaman terhadap konsultasi juga lebih banyak oleh

perempuan yaitu sebesar 90 persen, sedangkan laki-laki sebesar 71

persen.

4. Kepercayaan kepada guru pembimbing oleh perempuan jauh lebih

besar dibanding laki-laki. Data menunjukkan bahwa kepercayaan

siswa perempuan sebesar 90 persen, laki-laki hanya 35 persen.

5. 81 persen siswa perempuan merasa senang mengikuti konsultasi

sedangkan laki-laki sebesar 71 persen. Ini berarti perempuan lebih

banyak yang senang berkonsultasi dibanding laki-laki.

Berikut ini data lengkap perbedaan laki-laki dan perempuan dalam

menilai kegiatan konsultasi yang telah dilakukan:

Tabel 4.3. Penilaian Minat Konseling Berdasarkan Jenis Kelamin

ASPEK JENIS KELAMIN

40
LAKI-LAKI PEREMPUAN

% %

Minat Konseling 53 86

Tempat konseling 41 71

Pemahaman
71 90
terhadap BK

Kepercayaan pada
35 90
BK

Sikap terhadap
71 81
konseling

D. Pembahasan

Pembuatan jadwal konsultasi merupakan metode yang tepat untuk menarik

minat siswa dalam kegiatan bimbingan yang lebih formal yaitu konseling.

Walaupun pada dasarnya konsultasi agak mengikat siswa namun secara perlahan

justru dipandang sebagai kebutuhan. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan

timbulnya pemahaman siswa yang benar terhadap maksud dan tujuan konsultasi

tersebut.

Pandangan guru terhadap kegiatan konsultasi ini tergolong positif

mengingat seluruhnya senang dengan kegiatan BK yang proaktif yang selama ini

ibarat menunggu bola. Walaupun demikian tetap ada kendala sebab saat panggilan

dilaksanakan ada beberapa guru yang meminta panggilan ditunda beberapa saat

karena materi pelajaran agak penting dan butuh kehadiran siswa di dalam kelas.

41
Kendala yang timbul dalam pembuatan jadwal adalah tidak sesuainya

siswa yang dipanggil dengan yang hadir. Kondisi ini perlu diperbaiki agar

pengadministrasian jauh lebih mudah dan efektif. Cara yang mungkin lebih baik

adalah memberikan informasi sebelum kegiatan sekaligus mendata siswa yang

berminat terlebih dahulu untuk mengikuti konsultasi sebelum membuat jadual

tetap. Adanya sosialisasi yang dilakukan kepada siswa tentang rencana konsultasi

tentu bertujuan agar mereka tidak salah paham terhadap kegiatan yang akan

dilakukan.

Dari tindakan 2 yang dilakukan ternyata konsultasi terjadwal berdasarkan

urutan minat siswa lebih efektif. Siswa yang datang untuk konseling sudah dapat

diprediksi sehingga jadwal konsultasi berlangsung tanpa hambatan yang berarti.

Antusias siswa untuk mengikuti konsultasi tergolong sangat tinggi karena

kegiatan yang direncanakan lebih cepat dari jadwal. Di samping itu tempat

konsultasi ternyata tidak menjadi kendala siswa untuk berkomunikasi dengan guru

pembimbing. Sebab berdasarkan fakta di lapangan banyak juga siswa yang ingin

berkonsultasi di ruang kelas saja tetapi dengan syarat tidak didengar oleh siswa

lainnya.

Penilaian secara umum oleh siswa terhadap konsultasi yang telah

dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan besar dari hasil observasi awal

sebelum kegiatan dan penilaian sesudah konsultasi. Sebagaimana diketahui bahwa

observasi awal menunjukkan bahwa siswa masih ragu bahkan takut berhubungan

dengan guru pembimbing bahkan jumlahnya mencapai 98 persen. Namun setelah

konsultasi jumlah yang memandang negatif terhadap BK jauh berkurang dan

42
sebaliknya rata-rata hampir 60 persen ke atas siswa berminat untuk berhubungan

dengan guru pembimbing.

Dari beberapa aspek minat yang diukur maka aspek pemahaman adalah

yang tertinggi nilainya diantara aspek lain sebab jumlahnya mencapai 82 persen.

Ini berarti bahwa sebagian besar siswa sudah memahami perlunya konsultasi

dengan guru pembimbing. Pemahaman yang baik tersebut sebenarnya modal

besar bagi pandangan positif yang lain terhadap BK. Dengan demikian di masa

mendatang kesan bahwa BK selama ini dijauhi oleh siswa berubah menjadi

didekati oleh siswa.

Aspek yang juga perlu mendapat perhatian adalah pandangan siswa dalam

hal kepercayaan kepada guru pembimbing. Dalam hal ini kepercayaan siswa

mungkin masih butuh waktu untuk memperbaikinya mengingat berbagai kondisi

negatif yang terjadi selama ini. Sehingga diperlukan pendekatan dan cara yang

tepat kepada siswa untuk dapat lebih terbuka kepada guru pembimbing. Suatu

yang patut dievaluasi adalah kepribadian dari guru pembimbing, yang mungkin

menjadi kendala bagi keterbukaan dan kepercayaan siswa. Karena salah satu fakta

di sekolah bahwa guru pembimbing masih ada yang belum menampakkan sikap

yang mampu menjaga rahasia siswa sehingga sangat berdampak bagi kepercayaan

mereka dalam mengemukakan masalah.

Khusus tentang pandangan siswa mengenai perlu tidaknya konsultasi di

ruang khusus BK perlu dikaji lebih jauh. Sebab alasan bahwa walaupun konsultasi

boleh dilakukan dimana saja, tetapi adanya syarat agar pembicaraan tidak

didengar atau diketahui oleh pihak lain tentu logis. Sehingga kemungkinan perlu

43
dipikirkan untuk membuat semacam lokasi atau tempat santai dan kondusif di

halaman sekolah yang memungkinkan syarat di atas terpenuhi sehingga konsultasi

dapat berjalan efisien, efektif dan menyenangkan.

Data menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan antara siswa laki-laki

dan perempuan terhadap kegiatan konsultasi. Dari aspek yang dinilai dalam

angket, umumnya pandangan perempuan terhadap konsultasi jauh lebih baik

dibanding laki-laki. Fakta tersebut perlu kiranya diteliti lebih jauh agar tujuan

pelayanan konseling bagi seluruh siswa secara merata dapat diwujudkan.

Dari konsultasi langsung terhadap siswa, sebagian besar siswa senang bila

guru pembimbing ramah kepada siswa. Selain itu kebanyakan siswa menanyakan

apakah memang benar BK merahasiakan masalah yang akan mereka kemukakan.

Kondisi ini tentu menunjukkan bahwa meyakinkan siswa agar mereka lebih

percaya dan terbuka kepada guru pembimbing butuh strategi yang tepat. Hal ini

tentu disebabkan oleh karena siswa masih trauma dengan kinerja BK selama ini

yang bertindak sebagai keamanan sekolah.

Di samping itu siswa yang sempat mengikuti konsultasi kedua lebih

banyak perempuan dibanding laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan sifat

keterbukaaan atau kepercayaaan pihak perempuan lebih besar dibanding laki-laki.

44
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil kegiatan yang dihimpun dari awal sampai akhir Konsultasi

yang telah dilakukan menunjukkan adanya perubahan pandangan siswa yang

positif terhadap bimbingan dan konseling berdasarkan observasi awal dan setelah

diadakannya kegiatan. Konsultasi terjadwal akan dapat meningkatkan minat

konseling siswa yang mencapai 70,6%. Hal ini dapat dilihat dari hasil angket

berupa minat siswa untuk mengikuti konseling sebanyak 71% yang menyatakan

berminat, Pandangan bahwa tempat konseling boleh dilakukan dimana saja

disetujui 58%, Pemahaman tentang tujuan konseling sangat tinggi karena

45
persentasenya mencapai 82%, Kepercayaan kepada guru pembimbing diyakini

66%, dan Siswa yang merasa senang mengikuti konsultasi sebanyak 76%.

B. Saran

1. Guru Pembimbing hendaknya menerapkan jadwal konsultasi di sekolah

masing-masing sebagai wujud dari ”peduli siswa” yang merupakan motto

BK.

2. Guru pembimbing hendaknya lebih aktif dan kreatif melayani siswa satu-

persatu baik dalam bimbingan khususnya dalam konseling, sehingga

siswa dapat memanfaatkan layanan BK di sekolah.

3. Guru pembimbing perlu berupaya agar siswa termotivasi dan secara

ikhlas mengikuti konseling.

4. Pihak sekolah hendaknya memberi tugas dan peran yang sesuai dengan

fungsi BK sehingga fokus pengembangan diri yang menjadi bidang tugas

BK dapat berjalan secara optimal.

5. Guru mata pelajaran dan seluruh personil sekolah hendaknya mengetahui

dan memahami peran BK di sekolah sehingga secara tidak langsung dapat

meningkatkan mutu sekolah dan juga peningkatan prestasi belajar siswa.

46
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani, Ruslan. 1997. Ciri Khas Anak Jenius. Jakarta. Sarana Cipta Ilmu

Depdiknas, Dirjen Dikdasmen. 2005. Pengembangan Program BK SMA. Jakarta.

P3G.

Depdiknas, Dirjen Dikdasmen. 2005. Profesi Bimbingan dan Konseling. Jakarta.

P3G.

Prayitno. 1996. Berbagai Upaya Peningkatan Kualitas Guru Pembimbing dan

Kontribusinya Terhadap Kualitas Pendidikan. Makalah. Disampaikan di

Makassar 21 Mei 2006.

Prayitno dan Erman Anti. 1999. Dasar-Dasar BK. Jakarta. Rineka Cipta.

47
Prayitno. 1998. Buku III Seri Pemandu Pelaksanaan BK di Sekolah. Jakarta.

Dirjen Dikdasmen

Sahani, Muchlas, dkk. 1999. Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta. Depdiknas

Dirjen Dikdasmen.

Siswoharjono, Aryatmi. 1996. Perspektif Bimbingan dan Konseling di Berbagai

Institusi. Semarang . Satya Wacana

Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan BK di Sekolah. Jakarta.

Rineka Cipta.

Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan Organisasi BK di Sekolah. Yogyakarta. Andi.

Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juantika. 2005. Landasan Bimbingan dan

Konseling. Bandung . PT. Remaja Rosdakarya.

48

Anda mungkin juga menyukai