BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siswa baru di kelas X SMA pada umumnya memiliki berbagai variasi pengalaman masing-
masing sewaktu di SMP dalam memahami serta mengenal peran maupun fungsi BK (Bimbingan dan
Konseling ). Dalam hal ini pemahaman terhadap BK sangat tergantung kepada bagaimana kinerja
guru pembimbingnya serta fungsi dan peran yang dilakukan dalam membimbing siswa. Namun
berdasarkan observasi langsung di kelas, ternyata 98 persen merasa malu, ragu, bahkan takut untuk
berhubungan dengan guru pembimbing. Keadaan ini tentu menjadi hal yang sangat memilukan sebab
motto BK yang peduli siswa tidak bisa diterapkan di sekolah secara benar.
Beberapa pendapat siswa menunjukkan bahwa guru pembimbing mereka semasa di SMP
lebih berperan sebagai penegak disiplin dengan memberi sanksi terhadap siswa yang melanggar tata
tertib sekolah. Walaupun ada juga beberapa siswa yang menyatakan bahwa guru pembimbing
menjadi tempat konsultasi namun jumlahnya sangat sedikit. Sebagian besar menganggap bahwa
siswa yang dipanggil atau berhubungan dengan guru pembimbing adalah mereka yang telah berbuat
pelanggaran atau siswa yang diberi hukuman.
Kondisi di SMA Wijaya Putra juga tidak berbeda dengan keadaaan tersebut, disebabkan
karena guru pembimbing merangkap sebagai Koordinator dan pelaksana 7K ( Keamanan, ketertiban,
dll) yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan tugas keamanan yang dilakukan
oleh guru pembimbing misalnya memberi hukuman, justru dianggap sebagai tugas utama mereka.
Sebagai dampak dari pemberian tugas 7K kepada guru pembimbing selama ini, maka 95 persen
guru mata pelajaran belum tahu bagaimana sesungguhnya fungsi dan peran BK di sekolah. Mereka
masih menganggap bahwa guru BK bekerja jika ada masalah khususnya pelanggaran, sehingga
menimbulkan kesan bahwa BK adalah pekerjaan santai karena bila pelanggaran tidak ada maka BK
tidak bekerja.
Kondisi yang juga turut menjadi hal yang sulit dihapus adalah BK juga dilibatkan secara
langsung dalam pencatatan sistem kredit poin pelanggaran. Hal ini juga menjadi sesuatu yang makin
menjadikan siswa takut berhubungan dengan BK.
Keadaan ini diperparah oleh bentuk bimbingan atau konseling yang dilakukan guru
pembimbing yang lebih cenderung menunggu bola, misalnya menangani masalah bila telah
mendapat laporan. Untuk mengoreksi kinerja yang belum maksimal dan juga kesalahan persepsi
tentang BK, maka telah ditempuh langkah strategis untuk memisahkan kegiatan BK dengan kegiatan
7K dan pencatatan poin pelanggaran..
Upaya yang dilakukan oleh Guru pembimbing melalui komunikasi intensif kepada semua guru
dan terutama kepala sekolah untuk menghindari pemberian tugas sebagai 7K akhirnya berhasil. Dan
sejak diberlakukannya kurikulum baru (KTSP) pada Bulan Juli 2007, BK tidak lagi diberi tugas
sebagai 7K serta administrasi poin pelanggaran namun dialihkan kepada kesiswaan. Kesempatan ini
mulai memotivasi mereka untuk menunjukkan eksistensi BK sebagai pembimbing bukan sebagai
penghukum. Namun kendala yang timbul adalah bagaimana menghilangkan citra buruk terhadap
BK yang sudah tertanam sejak lama tersebut.
Fakta bahwa masih banyak siswa yang takut dipanggil oleh BK tetap saja terjadi. Di
samping itu kesan guru mata pelajaran yang menganggap bahwa konsultasi dengan BK menandakan
siswa tidak mampu mandiri menyelesaikan masalahnya bahkan dianggap kekanak-kanakan akan
sangat menghambat kegiatan BK. Kenyataan tersebut menjadikan kegiatan konseling yang
dilakukan oleh guru pembimbing dijauhi atau dihindari siswa. Padahal dalam konsep bimbingan
disebutkan bahwa salah satu kriteria keberhasilan BK adalah apabila siswa secara sukarela dengan
inisiatif sendiri menghubungi guru pembimbing untuk mengikuti konseling. Selain itu pada hakekatnya
pelaksanaan konseling adalah layanan utama bahkan sebagai jantungnya bimbingan dalam
pengentasan masalah siswa. Berbagai kendala dalam pelaksanaan konseling seakan tetap tetap
tidak bisa teratasi karena sebagian besar guru pembimbing memanggil siswa untuk konsultasi hanya
pada siswa yang bermasalah baik karena adanya laporan dari guru lain atau berdasarkan data yang
diperoleh langsung oleh BK. Pada akhirnya kesan bahwa siswa yang dipanggil adalah mereka yang
dianggap memiliki masalah dan ini sebagai sesuatu yang buruk sulit dihapuskan. Oleh karena itu
kiranya mendesak untuk mengubah kesan negatif tentang panggilan guru BK. Panggilan terhadap
siswa yang bermasalah saja atau bagi siswa yang berbuat pelanggaran yang dilakukan selama ini
sudah sepatutnya dihindari. Hal ini disebabkan karena berdampak bagi rendahnya minat konseling
siswa.
Langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat konseling siswa sekaligus
mengubah pandangan keliru tentang konseling adalah melaksanakan konsultasi rutin bagi setiap
siswa. Dalam hal ini siswa yang memiliki masalah (sedang bermasalah) atau pun mereka yang
tidak atau belum bermasalah semuanya diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan guru
pembimbing.
Salah satu argumentasi yang penting dikemukakan dalam kegiatan ini adalah bahwa orang
dewasa pun butuh konsultasi dengan orang lain dalam menghadapi suatu permasalahan. Sehingga
siswa yang masih remaja dan beranjak dewasa tentu wajar bila konsultasi dengan orang lain yang
lebih dewasa termasuk kepada guru pembimbing.
Di samping itu kegiatan ini akan sedikit demi sedikit menghilangkan kesan negatif dari
terhadap panggilan BK selama ini sebab semua siswa mendapat pelayanan. Kegiatan ini dilakukan
dengan terlebih dahulu membuat jadual konsultasi tetap bagi setiap siswa. Yang perlu diketahui
bahwa konsultasi bukan sebagai tujuan tetapi proses bagi terlaksananya konseling untuk
mengentaskan masalah yang dialami setiap siswa.
B. Identifikasi Masalah
Rendahnya minat konseling siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jika dianalisis lebih
mendalam ada dua faktor yang bisa menjadi penyebab yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor
intern adalah faktor yang berkenaan dengan guru pembimbing sebagai pelaksana konseling. Faktor
ekstern adalah faktor yang berasal dari luar guru pembimbing, diantaranya adalah kebijakan kepala
sekolah, pemahaman guru dan juga pengetahuan siswa tentang konseling.
Kendala yang berasal dari guru pembimbing adalah keterampilan dan juga sikap mereka
tentang perlu tidaknya konseling dilaksanakan. Keterampilan guru pembimbing sudah jelas menjadi
faktor utama kesuksesan konseling di sekolah. Kurangnya keterampilan guru pembimbing untuk
melaksanakan konseling seringkali menjadi hal yang menyebabkan konseling tidak dilakukan di
sekolah, ataupun terlaksana apa adanya. Namun hal lain yang turut menjadi ganjalan adalah masalah
sikap guru pembimbing yang terkait dengan banyak hal seperti motivasi, minat, perhatian ataupun
tanggungjawab mereka terhadap pentingnya konseling dilaksanakan. Sebab walaupun secara teoritis
dan praktis keterampilan sudah mereka miliki tetapi bila sikap tanggungjawab untuk melaksanakan
konseling kurang maka konseling bisa saja tidak terealisasi.
Kendala yang berasal dari kepala sekolah adalah kebijakan yang tidak kondusif atau tidak
konsisten dalam menciptakan manajemen BK yang baik. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan
adalah sebagian besar kebijakan sekolah yang masih menempatkan BK sebagai pihak yang harus
menangani disiplin sekaligus menegakkan tata tertib. Namun kadang ada juga perintah yang
menuntut terselenggaranya BK secar profesional sesuai kode etik. Kedua hal di atas sulit
digabungkan karena bertentangan fungsinya, sehingga menyulitkan guru pembimbing melaksanakan
tugas, khususnya dalam konseling.
Masalah pemahaman guru dan juga siswa terhadap tujuan dan fungsi konseling adalah hal
yang paling menghambat. Konseling akan sulit dilaksanakan bila guru dan siswa masih memandang
bahwa panggilan untuk konseling berarti siswa tersebut telah berbuat pelanggaran.
Konsultasi sebagai suatu wawancara antara guru pembimbing dan siswa memang kadang
dilakukan, namun sifatnya insidentil. Padahal jika konsultasi tersebut dapat berjalan dengan baik
maka akan menjadi tahap awal bagi terlaksananya konseling yang mengentaskan masalah siswa.
Oleh karena itu kiranya perlu diteliti lebih jauh apakah konsultasi yang intensif ataupun terjadual akan
dapat dilaksanakan. Dan apakah dengan konsultasi terjadual tersebut akan dapat berpengaruh pada
peningkatan minat siswa untuk konseling adalah hal yang perlu diketahui.
C. Pembatasan Masalah
Masalah yang diteliti adalah bagaimana meningkatkan minat konseling melalui konsultasi
terjadual. Peningkatan minat konseling siswa sebagai variabel Y, sedangkan metode konsultasi
terjadual sebagai variabel X.
Desain penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
Variabel X Variabel Y
Peningkatan minat konseling siswa diukur melalui angket yang berisi tentang minat
siswa untuk mengikuti konsultasi , tempat konsultasi, pemahaman tentang tujuan konsultasi,
kepercayaan kepada guru pembimbing, dan sikap siswa mengikuti konsultasi. Konsultasi terjadual
adalah konsultasi yang dilakukan oleh siswa dengan guru pembimbing secara tetap dan terjadual
untuk waktu tertentu.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana membuat jadual konsultasi yang baik dan efektif sehingga dapat dilaksanakan sesuai
rencana.
2. Bagaimana gambaran minat konseling siswa.
3. Apakah konsultasi terjadual dapat meningkatkan minat konseling siswa untuk mengentaskan masalah
yang dialaminya.
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana membuat jadual konsultasi yang baik dan efektif.
2. Untuk mengetahui bagaimana minat siswa mengikuti konseling.
3. Mengetahui sejauhmana konsultasi terjadual dapat meningkatkan minat konseling siswa.
F. Manfaat Penelitian
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa konsultasi yang dilaksanakan bukanlah
tujuan yang ingin dicapai tetapi proses menuju pemberian layanan konseling kepada setiap siswa
tanpa kecuali. Sehingga tujuan utama pelaksanaan kegiatan konsultasi ini adalah :
1. Menjadikan konsultasi sebagai langkah awal guna menarik minat siswa untuk mengikuti
konseling dalam pengentasan masalah yang dialaminya.
2. Menjadikan konseling sebagai layanan utama kepada siswa. Bagi siswa yang memiliki
masalah berat ataupun ringan semuanya diharapkan terentaskan. Sedangkan yang tidak memiliki
masalah akan diberikan bekal pengetahuan atau keterampilan sebagai bentuk preventif sehingga
mereka dapat tercegah atau mampu terhindar dari masalah yang mungkin akan dihadapinya.
3. Memberi motivasi kepada guru pembimbing untuk secara aktif serta tidak menunggu bola
dalam memberi pelayanan konseling terhadap siswa.
4. Mengubah pemahaman yang salah terhadap kegiatan konseling ataupun kegiatan bimbingan
secara umum baik oleh guru atau pun siswa yang menganggap berhubungan dengan BK hanyalah
bagi orang yang bermasalah atau melakukan pelanggaran tata tertib saja.
5. Mengoreksi pandangan keliru dari guru lain bahwa Guru pembimbing hanya wajar bila
memanggil siswa yang tidak mampu mengatasi masalah sendiri atau tidak mandiri dalam
menyelesaikan problem yang dialaminya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian Konsultasi
Menurut Siswohardjono (1990) konsultasi adalah wawancara antara dua orang dewasa
dengan tujuan bahan yang diprolehnya dapat membuat suatu pola pengertian baru atau keputusan
yang lebih mantap terhadap sesuatu.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa antara konsultasi dan wawancara tidak berbeda.
Namun jika dianalisis lebih jauh maka terdapat perbedaaan antara konsultasi dan wawancara.
Pendapat Sukardi (2000) bahwa wawancara (interviu) dalam Bimbingan dan Konseling adalah salah
satu alat pengumpul data melalui pembicaraan langsung terhadap siswa. Sedangkan menurut Hallen
(2005) wawancara dilakukan dengan cara mengemukakan pertanyaan kepada klien secara lisan.
Di samping itu menurut Siswohardjono (1990) wawancara dapat digunakan sebagai teknik
menolong siswa yang dapat dibagi dalam empat bentuk yaitu 1) nasehat; 2) Informasi; 3) Konsultasi;
dan 4) Konseling. Dengan demikian nampak bahwa konsultasi adalah salah satu dari bentuk
wawancara, sehingga pengertian wawancara lebih luas dibanding konsultasi.
Dari pendapat di atas dapat diperoleh dua pengertian berbeda tentang konsultasi dan
wawancara. Konsultasi lebih sempit pengertiannya dibanding wawancara karena konsultasi
cenderung hanya dalam bentuk memberi pengertian pada seseorang sedangkan wawancara lebih
luas sebab apapun yang dilakukan dengan tanya jawab antara seseorang dengan orang lainnya
dapat dikategorikan sebagai wawancara.
B. Kerangka Berfikir
Berdasarkan asumsi bahwa minat konseling dapat ditingkatkan melalui konsultasi terjadual
maka berikut ini disajikan kerangka berfikir penelitian tindakan kelas.
Gambar 1.2. Alur Kerangka Berfikir
C. Hipotesis
Diduga Minat konseling siswa akan meningkat melalui konsultasi terjadual yang disusun
berdasarkan urutan minat siswa.
BAB III
RANCANGAN PENELITIAN TINDAKAN
A. Setting Penelitian
Kelas yang menjadi objek pengamatan pada kegiatan tersebut adalah kelas X.1 di SMA
Wijaya Putra yang berjumlah 38 orang. Alasan pilihan terhadap kelas tersebut karena data dan
administrasinya sudah lengkap dibanding kelas lainnya.
Seluruh kegiatan khusus untuk pengamatan pada kelas X.1 mulai dengan masa
perencanaan, kegiatan dan penilaian hasil, dilaksanakan pada 28 Juli 2011 s.d. 24 September
2011. Perencanaan dilakukan sejak 28 Juli 2011, kegiatan konsultasi dilaksanakan sejak 1 Agustus,
dan kegiatan penilaian dilaksanakan sejak 24 Agustus. Sedangkan untuk kegiatan perampungan
pelaporan hingga selesai dimulai 12 s.d. 28 September 2011.
Konsultasi dilaksanakan di ruang BK sesuai jadual yang telah disusun berdasarkan
kesempatan guru pembimbing dan juga memperhatikan jam pelajaran di roster dengan persetujuan
guru mata pelajaran. Lama konsultasi terhadap setiap siswa dibatasi waktunya maksimal 10 menit.
Untuk konsultasi yang sudah mengarah pada konseling, waktunya dapat lebih lama hingga 20 menit
dengan tetap seizin guru mata pelajaran.
B. Rencana Tindakan
1. Skenario Tindakan
Jadual konsultasi siswa dibuat berdasarkan nomor urut absen untuk menghindari adanya
prasangka siswa maupun guru selama ini, bahwa yang dipanggil terlebih dahulu adalah yang selalu
berbuat pelanggaran atau tanggapan negatif lainnya. Selain itu jumlah siswa yang direncanakan
setiap harinya minimal empat orang sesuai kemampuan guru pembimbing dan juga jadual pelajaran.
Teknis pelaksanaan konsultasi terjadual dilakukan dengan komunikasi dengan para guru
serta persetujuan kepala sekolah. Adapun bentuk jadual yang telah dibuat disajikan secara lengkap
pada halaman lampiran.
Jadual yang telah tersusun selanjutnya ditempel di papan bimbingan dan juga papan
informasi sekolah serta dibagikan kepada ketua kelas masing-masing untuk memperlancar dan
memudahkan proses pelaksanaannya setiap hari.
Selain itu sebagai bahan administrasi formal digunakan blangko panggilan konsultasi yang
diberikan kepada guru yang akan mengajar atau langsung kepada siswa yang bersangkutan.
Skenario tindakan yang akan dilakukan adalah membuat perencanaan tindakan yaitu
bagaimana membuat jadual konsultasi. Data tentang siswa yang hadir saat konsultasi
diadministrasikan, diobservasi dan selanjutnya diadakan refleksi. Untuk penilaian tentang minat
konseling, diadakan pre test dan post tes, yang dilakukan pada awal dan akhir kegiatan.
Berikut ini skenario tindakan yang ditampilkan pada gambar berikut.
Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah tindakan tegantung hasil observasi dan refleksi
dimana bila hasil tindakan pertama, atau kedua belum maksimal maka akan dibuat kembali rencana
tindakan berikutnya.
Alat bantu yang digunakan adalah absen kelas, jadual konsultasi, surat panggilan konsultasi
dan penilaian hasil observasi dan refleksi.
2. Pelaksanaan Tindakan
Untuk melaksanakan tindakan kelas, maka kegiatan yang dilakukan adalah membuat jadual
konsultasi berdasarkan nomor urutan absen dari urutan petama hingga terakhir. Bila pembuatan
jadual tersebut tidak sesuai atau belum terlaksana sesuai apa yang direncanakan sesuai data siswa,
persetujuan guru atau kendala lain, maka model jadual diperbaiki kembali untuk perencanaan
berikutnya.
Materi konsultasi pada pertemuan pertama adalah informasi tentang fungsi BK dan perlunya
konseling. Pada konsultasi kedua diarahkan pada pembahasan masalah yang telah didata melalui
AUM (Angket Ungkap Masalah) atau sosiometri. Tetapi bila siswa meminta untuk membahas masalah
yang sedang dihadapinya saat ini, maka secara otomatis konsultasi tersebut dianggap sebagai
kegiatan konseling.
3. Pengolahan Data
Untuk mengolah data, maka tindakan yang dilakukan diobservasi dan dinilai yang bentuknya
terbagi atas penilaian proses dan penilaian hasil kegiatan yaitu :
a. Penilaian proses dilakukan melalui observasi langsung mengenai evaluasi terhadap jadual yang telah
disusun, jumlah siswa yang ikut konsultasi, kegiatan yang dilakukan serta masalah yang dibahas.
b. Penilaian hasil dilakukan dengan mengevaluasi seluruh aspek yang telah dilaksanakan dan juga
termasuk melalui angket sebelum kegiatan konsultasi (pre test) untuk menilai sejauhmana minat,
kepercayaan, tempat konsultasi dan sikap terhadap konsultasi. Setelah kegiatan, siswa diberikan post
test dari angket yang sama untuk menilai hasilnya. (Angket terlampir).
2. Hasil Refleksi
a). Jadual Konsultasi yang dibuat tidak dipatuhi oleh siswa karena masih merasa ragu.
b). Perlu segera dibuat jadual ulang sesuai minat siswa, sehingga tidak lagi berdasarkan nomor urut
absen.
C. Hasil Tindakan 2
1. Hasil Pengamatan
a). Setelah konsultasi pertama banyak dari siswa yang berkeinginan dipanggil untuk konsultasi kedua,
namun keterbatasan waktu dan jadual yang sudah disusun maka hanya tujuh siswa yang sempat
konsultasi. Materi konsultasi pertama sesuai dengan apa yang direncanakan, namun pada konsultasi
kedua sebanyak tujuh siswa secara sukarela langsung ingin mengemukakan masalahnya sehingga
materi konsultasinya adalah pembahasan masalah masing-masing.
b). Pada saat tindakan pertama membuat jadual, ternyata ada perubahan karena beberapa siswa tidak
mematuhi jadual yang telah dibuat. Oleh karena itu pada tindakan kedua segera dibuat jadual baru
sesuai keinginan siswa.
c). Dari rencana konsultasi pertama diselesaikan lebih cepat dari waktu yang direncanakan yaitu pada 20
Agustus 2011.
d). Adapun masalah yang dikemukakan oleh tujuh siswa pada konsultasi kedua adalah masalah
keluarga, masalah muda-mudi dan keluhan tentang pemerasan oleh siswa lain. Masalah keluarga
yang diungkap adalah tentang konflik dengan orangtua, kondisi keluarga yang broken home serta
kesulitan karena tidak tinggal dengan orangtua. Untuk masalah pemerasan oleh siswa lain, proses
penanganannya adalah melibatkan wali kelas yang dalam layanan BK disebut sebagai layanan
Advokasi . Masalah muda-mudi yang diungkap siswa terkait dengan keingin tahuannya tentang
batas-batas dalam berpacaran.
2. Hasil Refleksi
a). Dari angket yang diberikan kepada 38 siswa di kelas X.1 diperoleh data sbb :
1). Jawaban atas pernyataan tentang minat siswa untuk mengikuti konseling sebanyak 27 orang atau
sebesar 71 persen yang menyatakan berminat. Jumlah ini tentu lebih besar dibanding dengan yang
tidak berminat.
2). Pandangan bahwa tempat konseling boleh dilakukan dimana saja disetujui oleh 22 siswa atau
sebanyak 58 persen.
3). Pemahaman tentang tujuan konseling sangat tinggi karena persentasenya mencapai 82 persen atau
sebanyak 31 orang.
4). Kepercayaan kepada guru pembimbing diyakini oleh 25 orang atau sebesar 66 persen.
5). Siswa yang merasa senang mengikuti konsultasi sebanyak 29 orang atau 76 persen.
Data lengkap tentang penilaian umum siswa tentang konseling yang telah dilaksanakan terlihat pada
tabel berikut :
b). Jika dibandingkan antara kondisi sebelum tindakan dan sesudah tindakan, maka akan dapat terlihat
secara jelas perbedaan yang signifikan. Sebelum diadakan tindakan siswa yang berminat konsultasi
18,4 persen, sedang sesudah konsultasi berjumlah 71 persen. Siswa yang menganggap tempat
konsultasi boleh dilaksanakan dimana saja ada 39,5 persen, dan sesudah konsultasi sebanyak 58
persen. Sebanyak 7,9 persen siswa memahami BK sebagai sarana untuk berkonsultasi, dan setelah
konsultasi sejumlah 82 persen. Siswa yang percaya terhadap BK untuk berkonsultasi hanya 2,6
persen, namun sesudah konsultasi meningkat sebesar 66 persen. Sikap senang terhadap guru BK
sebelum tindakan ada 2,6 persen dan sesudah tindakan berjumlah 76 persen.
Perbandingan hasil sebelum tindakan dan sesudah tindakan digambarkan pada tabel
berikut :
Dari sejumlah 17 laki-laki dan 21 perempuan diketahui beberapa perbedaaan penilaian tentang
konsultasi berikut ini :
1). Minat untuk mengikuti konsultasi siswa perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu 86 persen
berbanding 53 persen.
2). Pandangan bahwa konsultasi boleh dilakukan dimana saja disetujui oleh perempuan sebanyak 71
persen, dan laki-laki hanya 41 persen.
3). Pemahaman terhadap konsultasi juga lebih banyak oleh perempuan yaitu sebesar 90 persen,
sedangkan laki-laki sebesar 71 persen.
4). Kepercayaan kepada guru pembimbing oleh perempuan jauh lebih besar dibanding laki-laki. Data
menunjukkan bahwa kepercayaan siswa perempuan sebesar 90 persen, laki-laki hanya 35 persen.
5). 81 persen siswa perempuan merasa senang mengikuti konsultasi sedangkan laki-laki sebesar 71
persen. Ini berarti perempuan lebih banyak yang senang berkonsultasi dibanding laki-laki.
Berikut ini data lengkap perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menilai kegiatan konsultasi
yang telah dilakukan.
Tabel 4.3. Penilaian Minat Konseling Berdasarkan Jenis Kelamin
JENIS KELAMIN
JUMLAH % JUMLAH %
Minat Konseling
9 53 18 86
Tempat konseling
7 41 15 71
Pemahaman terhadap BK
12 71 19 90
Kepercayaan pada BK
6 35 19 90
Sikap terhadap konseling
12 71 17 81
F. Pembahasan
Pembuatan jadual konsultasi merupakan metode yang tepat untuk menarik minat siswa
dalam kegiatan bimbingan yang lebih formal yaitu konseling. Walaupun pada dasarnya konsultasi
agak mengikat siswa namun secara perlahan justru dipandang sebagai kebutuhan. Hal ini tentu
sangat berkaitan dengan timbulnya pemahaman siswa yang benar terhadap maksud dan tujuan
konsultasi tersebut.
Pandangan guru terhadap kegiatan konsultasi ini tergolong positif mengingat seluruhnya
senang dengan kegiatan BK yang proaktif yang selama ini ibarat menunggu bola. Walaupun demikian
tetap ada kendala sebab saat panggilan dilaksanakan ada beberapa guru yang meminta panggilan
ditunda beberapa saat karena materi pelajaran agak penting dan butuh kehadiran siswa di dalam
kelas.
Kendala yang timbul dalam pembuatan jadual adalah tidak sesuainya siswa yang dipanggil
dengan yang hadir. Kondisi ini perlu diperbaiki agar pengadministrasian jauh lebih mudah dan efektif .
Cara yang mungkin lebih baik adalah memberikan informasi sebelum kegiatan sekaligus mendata
siswa yang berminat terlebih dahulu untuk mengikuti konsultasi sebelum membuat jadual tetap.
Adanya sosialisasi yang dilakukan kepada siswa tentang rencana konsultasi tentu bertujuan agar
mereka tidak salah paham terhadap kegiatan yang akan dilakukan.
Dari tindakan 2 yang dilakukan ternyata konsultasi terjadual berdasarkan urutan minat siswa
lebih efektif . Siswa yang datang untuk konseling sudah dapat diprediksi sehingga jadual konsultasi
berlangsung tanpa hambatan yang berarti.
Antusias siswa untuk mengikuti konsultasi tergolong sangat tinggi karena kegiatan yang
direncanakan lebih cepat dari jadual. Di samping itu tempat konsultasi ternyata tidak menjadi kendala
siswa untuk berkomunikasi dengan guru pembimbing. Sebab berdasarkan fakta di lapangan banyak
juga siswa yang ingin berkonsultasi di ruang kelas saja tetapi dengan syarat tidak didengar oleh siswa
lainnya.
Penilaian secara umum oleh siswa terhadap konsultasi yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan besar dari hasil observasi awal sebelum kegiatan dan penilaian sesudah
konsultasi. Sebagaimana diketahui bahwa observasi awal menunjukkan bahwa siswa masih ragu
bahkan takut berhubungan dengan guru pembimbing bahkan jumlahnya mencapai 98 persen. Namun
setelah konsultasi jumlah yang memandang negatif terhadap BK jauh berkurang dan sebaliknya rata-
rata hampir 60 persen ke atas siswa berminat untuk berhubungan dengan guru pembimbing.
Dari beberapa aspek minat yang diukur maka aspek pemahaman adalah yang tertinggi
nilainya diantara aspek lain sebab jumlahnya mencapai 82 persen. Ini berarti bahwa sebagian besar
siswa sudah memahami perlunya konsultasi dengan guru pembimbing. Pemahaman yang baik
tersebut sebenarnya modal besar bagi pandangan positif yang lain terhadap BK. Dengan demikian di
masa mendatang kesan bahwa BK selama ini dijauhi oleh siswa berubah menjadi didekati oleh siswa.
Aspek yang juga perlu mendapat perhatian adalah pandangan siswa dalam hal
kepercayaan kepada guru pembimbing. Dalam hal ini kepercayaan siswa mungkin masih butuh waktu
untuk memperbaikinya mengingat berbagai kondisi negatif yang terjadi selama ini. Sehingga
diperlukan pendekatan dan cara yang tepat kepada siswa untuk dapat lebih terbuka kepada guru
pembimbing. Suatu yang patut dievaluasi adalah kepribadian dari guru pembimbing, yang mungkin
menjadi kendala bagi keterbukaan dan kepercayaan siswa. Karena salah satu fakta di sekolah bahwa
guru pembimbing masih ada yang belum menampakkan sikap yang mampu menjaga rahasia siswa
sehingga sangat berdampak bagi kepercayaan mereka dalam mengemukakan masalah.
Khusus tentang pandangan siswa mengenai perlu tidaknya konsultasi di ruang khusus BK
perlu dikaji lebih jauh. Sebab alasan bahwa walaupun konsultasi boleh dilakukan dimana saja, tetapi
adanya syarat agar pembicaraan tidak didengar atau diketahui oleh pihak lain tentu logis. Sehingga
kemungkinan perlu dipikirkan untuk membuat semacam lokasi atau tempat santai dan kondusif di
halaman sekolah yang memungkinkan syarat di atas terpenuhi sehingga konsultasi dapat berjalan
efisien, efektif dan menyenangkan.
Data menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan antara siswa laki-laki dan perempuan
terhadap kegiatan konsultasi. Dari aspek yang dinilai dalam angket, umumnya pandangan
perempuan terhadap konsultasi jauh lebih baik dibanding laki-laki. Fakta tersebut perlu kiranya diteliti
lebih jauh agar tujuan pelayanan konseling bagi seluruh siswa secara merata dapat diwujudkan.
Dari konsultasi langsung terhadap siswa, sebagian besar siswa senang bila guru pembimbing
ramah kepada siswa dan berbeda saat di SMP dimana guru pembimbing lebih banyak yang bersikap
keras dan tegas. Selain itu kebanyakan siswa menanyakan apakah memang benar BK merahasiakan
masalah yang akan mereka kemukakan. Kondisi ini tentu menunjukkan bahwa meyakinkan siswa
agar mereka lebih percaya dan terbuka kepada guru pembimbing butuh strategi yang tepat. Hal ini
tentu disebabkan oleh karena siswa masih trauma dengan kinerja BK selama ini yang bertindak
sebagai keamanan sekolah.
Di samping itu siswa yang sempat mengikuti konsultasi kedua lebih banyak perempuan
dibanding laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan sifat keterbukaaan atau kepercayaaan pihak
perempuan lebih besar dibanding laki-laki.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Membuat jadual konsultasi adalah salah satu teknik untuk melayani siswa secara proaktif
sehingga semua siswa terlayani dalam bimbingan dan konseling di sekolah.
2. Konsultasi yang telah dilakukan menunjukkan adanya perubahan pandangan siswa yang positif
terhadap BK berdasarkan observasi awal dan setelah diadakannya kegiatan.
3. Konsultasi terjadual akan dapat meningkatkan minat konseling siswa.
4. Siswa perempuan lebih baik pandangannya terhadap konseling dibanding siswa laki-laki.
B. Saran
1. Guru Pembimbing hendaknya menerapkan jadual konsultasi di sekolah masing-masing sebagai wujud
dari peduli siswa yang merupakan motto BK.
2. Guru pembimbing hendaknya lebih aktif dan kreatif melayani siswa satu-persatu baik dalam
bimbingan khususnya dalam konseling, sehingga siswa dapat memanfaatkan layanan BK di sekolah.
3. Guru pembimbing perlu berupaya agar siswa termotivasi dan secara ikhlas mengikuti konseling.
4. Pihak sekolah hendaknya memberi tugas dan peran yang sesuai dengan fungsi BK sehingga fokus
pengembangan diri yang menjadi bidang tugas BK dapat berjalan secara optimal.
5. Guru mata pelajaran dan seluruh personil sekolah hendaknya mengetahui dan memahami peran BK
di sekolah sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan mutu sekolah dan juga peningkatan
prestasi belajar siswa.
KEPUSTAKAAN
Abdul Gani, Ruslan. 1997. Ciri Khas Anak Jenius. Jakarta. Sarana Cipta Ilmu
Depdiknas, Dirjen Dikdasmen. 2005. Profesi Bimbingan dan Konseling. Jakarta. P3G.
Prayitno. 1996. Berbagai Upaya Peningkatan Kualitas Guru Pembimbing dan Kontribusinya Terhadap
Kualitas Pendidikan. Makalah. Disampaikan di Makassar 21 Mei 2006.
Prayitno dan Erman Anti. 1999. Dasar-Dasar BK. Jakarta. Rineka Cipta.
Prayitno. 1998. Buku III Seri Pemandu Pelaksanaan BK di Sekolah. Jakarta. Dirjen Dikdasmen
Sahani, Muchlas, dkk. 1999. Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta. Depdiknas Dirjen Dikdasmen.
Siswoharjono, Aryatmi. 1996. Perspektif Bimbingan dan Konseling di Berbagai Institusi. Semarang . Satya
Wacana
Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan BK di Sekolah. Jakarta. Rineka Cipta.
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juantika. 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung . PT. Remaja
Rosdakarya.
SS = Sangat setuju L
S = Setuju
R = Ragu-ragu P
TS = Tidak setuju
STS = Sangat tidak setuju
JAWABAN
NO PERNYATAAN SS S R TS STS