Anda di halaman 1dari 5

Lahirnya Pola 17 Plus Bimbingan dan

Konseling
Posted by' Admin on July 12, 2010

Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola


yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya
citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan
BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul
sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi
kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala
diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai
pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi
untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK
bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan
bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada
keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat,
menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada
penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi
untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.

Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang


tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-
hal sebagai berikut :

1. Belum adanya hukum

Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah
mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975
Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting
diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah
Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dann Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah
kegiatannya.

2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan

BP di sekolahLahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi


Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan
angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar
biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar
dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau
guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau
Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang,
menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih
lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau
mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka
kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama
untuk pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.

3. Belum ada aturan main yang jelas

Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana
pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa
bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada
guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam
mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian
besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing.
Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan
tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke
sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari
rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah
apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya.
Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:

 Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas


dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi
tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan
salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
 Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa
dalam kelaskelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti
bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
 Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan
menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat
masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana
atau rok.
 Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami
program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan
di sekolahnya.
 Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas
dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana
yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.Kondisi-kondisi
seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.

Lahirnya Pola 17 Plus


Program layanan bimbingan Konseling tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak
didukung dengan profesionalismenya guru BK tersebut dalam melayani siswanya dengan
terprogram secara efektif apabila kurang atau tidak didukung faktor lain, misalnya faktor
pengalaman bekerja.

Layanan konseling yang diberikan kepada peserta didik untuk belajar dengan efektif.
Efektivitas konseling dapat tercapai bila seorang konselor atau guru pembimbing
melaksanakan pola 17, antara lain:

1. bidang bimbingan pribadi,


2. bidang bimbingan sosial,
3. bidang bimbingan belajar,
4. bidang bimbingan karier.

Sedangkan tujuh layanan bimbingan dan konseling meliputi :

1. layanan orientasi,
2. layanan informasi,
3. layanan penempatan dan pengukuran,
4. layanan pembelajaran,
5. layanan konseling perorangan,
6. layanan bimbingan kelompok,
7. konseling kelompok.

Dan lima kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling, meliputi:

1. aplikasi instrumentasi,
2. himpunan data dan studi kasus,
3. kunjungan rumah, dan
4. alih tangan kasus.

Jika pola 17 bimbingan konseling dapat dilaksanakan maksimal, terprogram, dan


berkualitas, dapat menunjang hasil belajar siswa. Pelaksanaan bimbingan konseling pola
17 tersebut dapat maksimal apabila dalam kurikulum diberikan alokasi waktu minimal 1
jam pelajaran sehingga empat bidang bimbingan, delapan layanan, dan lima kegiatan
pendukung dapat diberikan pada seluruh siswa dan bukan pada siswa yang bermasalah
saja.

Read more: Lahirnya Pola 17 Plus Bimbingan dan Konseling | belajarpsikologi.com


ada beberapa  macam. Macam-macam Bimbingan Kelompok ini dapat digunakan pada
situasi dan permasalahan tersendiri. Konselor harus dapat menilai dan melihat keadaan
kliennya dan dapat menggunakan Layanan Bimbingan Kelompok dengan pas dan
terarah. Beberapa jenis metode bimbingan kelompok menurut Tohirin (2007: 290 yaitu:

Program Home Room

Program ini dilakukan dilakukan di luar jam perlajaran dengan menciptakan kondisi
sekolah atau kelas seperti di rumah sehingga tercipta kondisi yang bebas dan
menyenangkan. Dengan kondisi tersebut siswa dapat mengutarakan perasaannya seperti
di rumah sehingga timbul suasana keakraban. Tujuan utama program ini adalah agar guru
dapat mengenal siswanya secara lebih dekat sehingga dapat membantunya secara efsien.

Karyawisata

Karyawisata dilaksanakan dengan mengunjungi dan mengadakan peninjauan pada objek-


objek yang menarik yang berkaitan dengan pelajaran tertentu. Mereka mendapatkan
informasi yang mereka butuhkan. Hal ini akan mendorong aktivitas penyesuaian diri,
kerjasama, tanggung jawab, kepercayaan diri serta mengembangkan bakat dan cita-cita.

Diskusi kelompok

Diskusi kelompok merupakan suatu cara di mana siswa memperoleh kesempatan untuk
memecahkan masalah secara bersama-sama. Setiap siswa memperoleh kesempatan untuk
mengemukakan pikirannya masing-masing dalam memecahkan suatu masalah. Dalam
memlakukan diskusi siswa diberi peran-peran tertentuseperti pemimpin diskusi dan
notulis dan siswa lain menjadi peserta atau anggota. Dengan demikian akan timbul rasa
tanggung jawab dan harga diri.

Kegiatan Kelompok

Kegiatan kelompok dapat menjadi suatu teknik yang baik dalam bimbingan, karena
kelompok dapat memberikan kesempatan pada individu (para siswa) untuk berpartisipasi
secara baik. Banyak kegiatan tertentu yang lebih berhasil apabila dilakukan secara
kelompok. Melalui kegiatan kelompok dapat mengembangkan bakat dan menyalurkan
dorongan-dorongan tertentu dan siswa dapat menyumbangkan pemikirannya. Dengan
demikian muncul tanggung jawab dan rasa percaya diri.

Organisasi Siswa

Organisasi siswa khususnya di lingkungan sekolah dan madrasah dapat menjadi salah
satu teknik dalam bimbingan kelompok. melalui organisasi siswa banyak masalah-
masalah siswa yang baik sifatnya individual maupun kelompok dapat dipecahkan.
Melalui organisasi siswa, para siswa memperoleh kesempatan mengenal berbagai aspek
kehidupan sosial. Mengaktifkan siswa dalam organisasi siswa dapat mengembangkan
bakat kepemimpinan dan memupuk rasa tanggung jawab serta harga diri siswa.

Sosiodrama

Sosiodrama dapat digunakan sebagai salah satu cara bimbingan kelompok. sosiodrama
merupakan suatu cara membantu memecahkan masalah siswa melalui drama. Masalah
yang didramakan adalah masalah-masalah sosial. Metode ini dilakukan melalui kegiatan
bermain peran. Dalam sosiodrama, individu akan memerankan suatu

diadakan diskusi mengenai cara-cara pemecahan masalah. peran tertentu dari situasi
masalah sosial.

Pemecahan masalah individu diperoleh melalui penghayatan peran tentang situasi


masalah yang dihadapinya. Dari pementasan peran tersebut kemudian

Psikodrama

Hampir sama dengan sosiodrama. Psikodrama adalah upaya pemecahan masalah melalui
drama. Bedanya adalah masalah yang didramakan. Dalam sosiodrama masalah yang
diangkat adalah masalah sosial, akan tetapi pada psikodrama yang didramakan adalah
masalah psikis yang dialami individu.

Pengajaran Remedial

Pengajaran remedial (remedial teaching) merupakan suatu bentuk pembelajaran yang


diberikan kepada seorang atau beberapa orang siswa untuk membantu kesulitan belajar
yang dihadapinya. Pengajaran remedial merupakan salah satu teknik pemberian
bimbingan yang dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung kesulitan
belajar yang dihadapi oleh siswa.

Read more: Bentuk-Bentuk Bimbingan Kelompok | belajarpsikologi.com

Anda mungkin juga menyukai