Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MATA KULIAH

ANALISIS PENGUBAHAN TINGKAH LAKU


“BEHAVIORAL TRAINING PROCEDURES (BST) AND MODELING”
Dosen Pengampu: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si

Disusun oleh:
Kelompok 9
Monika Handayani Br Ginting (22113251011)
Puji Deputri (22113254013)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING-S2


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022/2023
Behavioral Skill Training (BST) Procedures
Behaviorall skill Training merupakan salah satu prosedur modifikasi perilaku
yang digunakan untuk melatih atau mengajarkan suatu perilaku atau keterampilan
yang berhubungan dengan keterampilan sosial atau keterampilan yang
berhubungan dengan pekerjaan. Teknik modifikasi perilaku satu ini dapat
diterapkan kepada semua individu baik anak-anak maupun orang dewasa sesuai
perilaku sasaran yang ingin diajarkan. Berikut ini ada dua contoh kasus penerapan
Teknik Behaviour Skill Training (BST).

1. Contoh dan Pengertian Prosedur Pelatihan Keterampilan Perilaku


(Mengajari Marcia untuk mengatakan “Tidak” pada professor)

Marcia adalah seorang sekretaris di sebuah universitas. Dia percaya bahwa


anggota fakultas di departemennya mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal
kepadanya, tetapi dia tidak dapat menolak permintaan yang tidak masuk akal ini
(seperti bekerja selama jam makan siang dan menjalankan tugas pribadi). Dia
menemui seorang psikolog, Dr. Mills, yang menggunakan prosedur BST untuk
membantunya mengembangkan keterampilan ketegasan. Di kantor psikolog,
mereka memerankan situasi sulit yang dihadapi Marcia di tempat kerja. Dr. Mills
menggunakan permainan peran untuk menilai keterampilan ketegasan Marcia dan
mengajarinya cara bertindak lebih asertif. Pertama, Dr. Mills menciptakan situasi
di tempat kerja di mana Marcia berperan sebagai dirinya sendiri dan dia berperan
sebagai rekan kerja. Dalam peran itu, dia membuat permintaan yang tidak masuk
akal, seperti “Marcia, saya ada rapat sore ini. Saya ingin Anda mengambil dry
cleaning saya pada jam makan siang Anda. Dia kemudian menilai apa yang dia
katakan dan bagaimana dia mengatakannya (perilaku verbal dan nonverbalnya)
sebagai tanggapan atas permintaan ini. Selanjutnya, Dr. Mills memberikan
instruksi dan pemodelan; yaitu, dia menjelaskan bagaimana merespons dengan
lebih tegas dalam situasi ini dan menunjukkan perilaku asertif untuk Marcia dalam
permainan peran lainnya. Kali ini Marcia berperan sebagai rekan kerja yang
membuat permintaan yang tidak masuk akal, dan Dr. Mills berperan sebagai

1
Marcia yang menanggapi dengan tegas. Dalam permainan peran, Dr. Mills
berkata, "Maaf, tapi saya tidak bisa melakukan tugas pribadi Anda untuk Anda."

Setelah mengamati Dr. Mills memodelkan perilaku asertif ini, Marcia


mendapat kesempatan untuk mempraktikkannya (gladi bersih): Mereka bertukar
peran lagi, dan Marcia membuat respons asertif yang sama dalam permainan
peran. Dr. Mills kemudian memberikan umpan balik tentang penampilannya.

2. (Mengajar Anak untuk Melindungi Diri dari Penculikan)

Cheryl Poche menggunakan pemodelan, instruksi, latihan, dan umpan


balik untuk mengajarkan keterampilan pencegahan penculikan kepada anak-anak
prasekolah (Poche, Brouwer, & Swearingen, 1981). Dia mengajari anak-anak
bagaimana menanggapi orang dewasa yang mencoba membujuk anak-anak untuk
pergi bersama mereka. Poche mengatur permainan peran yang realistis di mana
seorang dewasa berjalan ke arah anak di taman bermain dan meminta anak itu
untuk pergi bersamanya. Orang dewasa akan mengatakan sesuatu seperti, “Hai,
saya punya mainan di mobil saya, saya pikir Anda akan menyukainya. Ikutlah
denganku, dan aku akan mengambilkannya untukmu.” Keterampilan yang
dipelajari anak-anak adalah mengatakan, “Tidak, saya harus bertanya kepada guru
saya,” dan berlari kembali ke sekolah. Pertama, Poche menggunakan permainan
peran untuk menilai keterampilan anak-anak sebelum pelatihan. Selanjutnya, dia
menerapkan prosedur BST. Anak itu menyaksikan dua pelatih dewasa
memerankan sebuah adegan di mana satu pelatih, yang berperan sebagai
tersangka, berjalan dan meminta pelatih lainnya, yang berperan sebagai anak,
untuk pergi bersamanya. Pelatih yang memainkan anak itu kemudian
mencontohkan respons yang benar terhadap iming-iming atau bujukan tersangka
ini.

Setelah melihat modelnya, anak tersebut mempraktikkan keterampilan


pencegahan penculikan dalam permainan peran lainnya. Seorang pelatih
mendekati anak itu dan memberikan iming-iming penculikan. Sebagai tanggapan,
anak tersebut berkata, “Tidak, saya harus bertanya kepada guru saya,” dan berlari

2
kembali ke sekolah (Gambar 12-1). Pelatih memuji anak tersebut atas kinerja
yang benar dan, jika tanggapannya hanya benar sebagian, pelatih memberikan
instruksi dan pemodelan lebih lanjut. Dengan pemodelan, perilaku yang benar
didemonstrasikan untuk pembelajar. Pelajar mengamati perilaku model dan
kemudian meniru model tersebut. Agar pemodelan menjadi efektif, pembelajar
harus memiliki repertoar imitatif; Artinya, pembelajar harus mampu
memperhatikan model dan melakukan perilaku yang baru saja ditunjukkan oleh
model tersebut. Anak itu melatih perilaku itu lagi dalam permainan peran sampai
perilaku itu benar. Kemudian anak mendapat pelatihan dengan berbagai jenis
umpan penculikan hingga anak dapat melakukan respon yang benar dalam
berbagai situasi.

Parsons, Rollyson, dan Reid (2012: 3), mendefinisikan behavioral skills


training sebagai pendekatan yang berlandaskan bukti untuk melatih staff profesi
penolong menggunakan prosedur tertentu yang memiliki tujuan untuk
menerapkan perubahan keterampilan perilaku sosial pada individu. Selain itu,
Himle dan Miltenberger menyatakan bahwa teknik behavioral skills training
merupakan pendekatan dengan metode pembelajaran aktif karena siswa diberikan
kesempatan untuk mempraktikan tahapan-tahapan yang akan dilakukan ketika
dihadapkan dalam situasi tertentu dengan memanfaatkan permainan peran. Tak
hanya itu, Martin dan Pear (2015: 175) menyatakan bahwa BST merupakan
latihan perilaku atau bermain peran di mana siswa berlatih perilaku tertentu
dengan memainkan peran dalam pengaturan praktik untuk meningkatkan
kemungkinan bahwa siswa akan mengikuti perilaku tersebut dengan tepat di dunia
nyata.

1. Tujuan Teknik Behavior Skills Training

Teknik modifikasi perilaku pada dasarnya memiliki tujuan untuk menghapus


dan mengurangi perilaku yang tidak tepat atau tidak diinginkan serta menguatkan
dan memunculkan perilaku yang sudah tepat atau diinginkan. Tidak terkecuali
teknik behavioral skills training yang memiliki fokus pada meningkatkan perilaku
atau membentuk keterampilan perilaku baru yang diinginkan oleh individu.

3
Berikut beberapa penelitian terdahulu yang menunjukkan tujuan intervensi teknik
behavioral skill training.

a. Melatih keterampilan menjaga keselamatan diri sendiri

Teknik behavioral skills training terbukti dapat digunakan untuk


mengajarkan keterampilan keselamatan untuk pejalan kaki (Yeaton & Bailey,
1978: 315). Penerapan BST memiliki tujuan untuk mengajarkan keterampilan
keselamatan ketika terjadi peristiwa darurat berupa kebakaran (Hanratty,
Miltenberger, & Florentino, 2016: 310; Jones, Kazdin, & Haney, 1981: 249).
Pelatihan teknik behavioral skills training pada penelitian yang dilakukan oleh
Dancho, Thompson, dan Rhoades (2008: 267), menjelaskan bahwa teknik
behavioral skill training dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan
keamanan dari racun di sekitar lingkungan. Salah satu pendekatan berbasis
keterampilan yang telah terbukti efektif untuk mengajarkan berbagai keterampilan
keselamatan adalah melalui pelatihan keterampilan perilaku atau BST (Himle &
Wright, 2014: 549). Pelatihan BST diberikan pada siswa di sekolah untuk
mengantisipasi kasus pelecehan seksual dan penculikan melalui pelatihan
keterampilan perilaku yang mengajarkan keterampilan pencegahan penculikan
dan pelecehan seksual kepada anak-anak (Johnson et al., 2005: 67).

b. Melatih perilaku adaptif

Penelitian yang dilakukan Lalli et al. (1993: 227) menjelaskan tentang


prosedur penggunaan BST untuk melatih guru dalam menerapkan intervensi yang
dirancang untuk mengurangi perilaku bermasalah berupa perilaku agresi dan
melukai diri sendiri yang dilakukan dari tiga siswa penyandang cacat. Intervensi
BST ini menunjukkan hasil yang efektif mengajarkan atau melatih siswa untuk
menggunakan perilaku adaptif, membuat pilihan atau memulai interaksi daripada
terlibat dalam perilaku bermasalah. Dari hasil penelitian di atas dapat dimaknai
bahwa teknik BST dalam penerapannya tidak mesti diberikan kepada individu
yang bermasalah secara langsung. Teknik BST dapat diajarkan atau dilatihkan
kepada guru untuk mengajarkan keterampilan perilaku pada siswa dalam rangka

4
mengatasi permasalahan siswa sehingga ketika muncul perilaku yang tidak
diinginkan lainnya, guru sudah dapat menangani secara mandiri.

c. Memperbaiki pola pikir (kognitif)

Teknik behavioral skill training memiliki tujuan umum sebagai proses


perbaikan kognitif seseorang, untuk melatih atau mengajarkan keterampilan baru,
memperbaiki perilaku dan pemikiran yang salah menjadi lebih tepat dan akurat
dalam memproses informasi sehingga mampu mengidentifikasi petunjuk sosial
non-verbal dan verbal (Cornish & Ross, 2004: 9). Melalui BST, siswa atau peserta
dilatih untuk menyadari pemikiran yang sesuai dengan norma untuk dimunculkan
dan dipertahankan, sedangkan pemikiran yang bertentangan dengan norma yang
berlaku supaya dihilangkan

d. Melatih keterampilan social

Penerapan teknik modifikasi BST memiliki tujuan untuk mengurangi perilaku


bermasalah pada siswa (Miles & Wilder, 2009: 405). Tujuan penerapan prosedur
BST adalah agar siswa atau peserta memperoleh keterampilan perilaku yang baru
serta mampu menggunakan keterampilan perilaku baru tersebut dalam keadaan
yang sesuai di lingkungan sosial (Miltenberger, 2012: 223; Miltenberger, 2016:
230). Pendapat yang ada sebelumnya ditegaskan kembali oleh Van Der Hijde
(2016: 1) bahwa BST memiliki tujuan utama untuk mengajarkan berbagai
keterampilan seperti keterampilan sosial, keterampilan bermain dan bersantai,
keterampilan keselamatan, keterampilan pengasuh, keterampilan kejuruan, dan
keterampilan perawatan diri.

2. Komponen prosedur pelatihan keterampilan perilaku


a. Instruksi

Instruksi menggambarkan perilaku yang sesuai untuk pelajar. Agar paling


efektif, instruksi harus spesifik. Mereka harus menggambarkan dengan tepat
perilaku yang diharapkan dari pelajar. Untuk rantai perilaku, instruksi harus
menentukan setiap komponen dalam rantai dalam urutan yang tepat. Instruksi juga
harus menentukan keadaan yang tepat di mana pelajar diharapkan untuk terlibat

5
dalam perilaku. Misalnya saat mengajarkan keterampilan pencegahan penculikan
kepada anak kecil, guru mungkin memberikan instruksi ini: “Kapan pun orang
dewasa meminta Anda untuk pergi bersamanya atau ketika orang dewasa meminta
Anda untuk pergi ke suatu tempat bersamanya, Anda harus mengatakan, 'Tidak,
saya harus bertanya kepada guru saya,' dan lari kembali ke sekolah. Anda harus
masuk dan memberi tahu saya segera dan saya akan sangat bangga dengan Anda.
Instruksi ini menentukan situasi pendahuluan dan perilaku yang benar. Ini juga
menentukan konsekuensi (persetujuan guru). Factor-faktor berikut dapat
mempengaruhi efektivitas instruksi:

 Instruksi harus disajikan pada tingkat yang dapat dipahami oleh pelajar.
Jika mereka terlalu kompleks, pelajar mungkin tidak memahami perilaku
tersebut. Jika mereka terlalu sederhana, pelajar mungkin marah atau
tersinggung.
 Instruksi harus disampaikan oleh seseorang yang memiliki kredibilitas
pelajar (seperti orangtua, guru, majikan atau psikolog)
 Pelajar harus memiliki kesempatan untuk melatih perilakunya sesegera
mungkin setelah menerima instruksi
 Instruksi harus dipasangkan dengan pemodelan setiap kali mengamati
perilaku akan meningkatkan potensi untuk mempelajari perilaku tersebut.
 Instruksi harus diberikan hanya ketika pelajar memperhatikan
 Pelajar harus mengulang instruksi sehingga guru dapat yakin bahwa
pembelajar mendengar instruksi dengan benar. Mengulang instruksi
selama pelatihan juga meningkatkan kemungkinan bahwa pembelaljar
akan dapat mengulangi instruksi nanti untuk mendorong sendiri perilaku
yang sesuai.
b. Pemodelan (modelling)

Dengan pemodelan, perilaku yang benar didemonstrasikan untuk


pembelajar. Pelajar mengamati perilaku model dan kemudian meniru model
tersebut. Agar pemodelan menjadi efektif, pembelajar harus memiliki repertoar
imitatif; Artinya, pembelajar harus mampu memperhatikan model dan melakukan

6
perilaku yang baru saja ditunjukkan oleh model tersebut. Kebanyakan orang
memiliki repertoar imitatif karena meniru perilaku orang lain telah diperkuat
dalam berbagai situasi (Baer, Peterson, & Sherman, 1967). Penguatan untuk
meniru biasanya dimulai sejak awal kehidupan seorang anak. Selama
perkembangan awal, perilaku meniru model anak (yang diberikan oleh orang tua,
guru, saudara kandung) diperkuat berkali-kali di hadapan berbagai macam
perilaku yang dimodelkan oleh berbagai orang. Akibatnya, perilaku model
menjadi SD untuk imitasi, dan imitasi menjadi kelas respons umum, yang berarti
bahwa imitasi mungkin terjadi di masa depan ketika perilaku dimodelkan untuk
pelajar (Baer & Sherman, 1964; Bijou, 1976); Steinman, 1970).

Pemodelan mungkin hidup atau mungkin simbolis. Dalam pemodelan


langsung, Orang lain menunjukkan perilaku yang sesuai dalam situasi yang
sesuai. Dengan pemodelan simbolik, perilaku yang benar ditunjukkan pada kaset
video, kaset audio, atau mungkin dalam kartun atau film. Sebagai contoh, dalam
studi lain oleh Poche, Yoder, dan Miltenberger (1988), anak-anak sekolah dasar
menonton rekaman video di mana keterampilan pencegahan penculikan
didemonstrasikan oleh aktor cilik. Rekaman video menunjukkan orang dewasa
mendekati seorang anak dan menyajikan iming-iming penculikan. Anak itu
kemudian terlibat dalam perilaku yang benar sebagai tanggapan terhadap iming-
iming penculikan. Perilaku model dalam rekaman video itu sama dengan perilaku
model hidup dalam penelitian Poche sebelumnya. Namun, dalam penelitian ini,
seluruh kelas anak-anak melihat model yang direkam dalam video pada satu
waktu. Rekaman video itu juga menyertakan instruksi tentang perilaku yang
benar. Setelah anak-anak menonton rekaman video, mereka melatih perilaku yang
benar dan menerima pujian atau instruksi lebih lanjut jika mereka
membutuhkannya. Sekelompok anak lain melihat rekaman video tetapi tidak
melatih perilaku tersebut. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang
menerima pemodelan, instruksi, latihan, dan umpan balik mempelajari
keterampilan pencegahan penculikan lebih baik daripada anak-anak yang
mendapat instruksi dan pemodelan dari rekaman video tanpa kesempatan untuk
latihan dan umpan balik.

7
Sejumlah faktor yang mempengaruhi efektivitas pemodelan
(Bandura,1977) seperti berikut ini:

 Ketika model menunjukkan perilaku yang benar itu akan menghasilkan


kesuksesan hasil (penguat) untuk model.
 Model harus mirip dengan orang yang mengamati model atau harus
berstatus tinggi. Misalnya, model dalam rekaman video Poche adalah
anak-anak yang seumuran dengan mereka yang menonton rekaman itu.
Seringkali, guru mencontohkan perilaku yang benar untuk anak-anak.
Karena guru berstatus tinggi, anak cenderung belajar dari model. Dalam
iklan biasanya bintang olahraga dan selebritas lain ditampilkan
menggunakan produk tersebut. Harapannya, orang akan meniru modelnya
dan membeli produknya.
 Kompleksitas perilaku model harus sesuai dengan tingkat perkembangan
atau kemampuan pelajar. Jika perilaku model terlalu kompleks, pelajar
mungkin tidak dapat belajar darinya. Namun, jika perilaku model terlalu
sederhana, pembelajar mungkin tidak memperhatikan.
 Pelajar harus memperhatikan model untuk mempelajari perilaku yang
dimodelkan. Seringkali guru akan menarik perhatian siswa pada aspek-
aspek penting dari perilaku model. Saat mencontohkan keterampilan
ketegasan Dr. Mils memusatkan perhatian Marcia dengan mengatakan
“sekarang perhatikan bagaimana saya melakukan kontak mata
menggunakan nada suara yang tegas.” Dalam rekamana video Poche,
narator memberi tahu anak-anak perilaku apa yang harus diperhatikan
setiap kali seorang model akan dipresentasikan.
 Perilaku yang dimodelkan harus terjadi dalam konteks yang tepat
(menanggapi SD yang relevan). Perilaku harus dimodelkan dalam situasi
nyata atau dalam konteks permainan peran dari situasi nyata. Misalnya,
anak-anak melihat keterampilan penculikan yang dimodelkan sebagai
respon terhadap umpan penculikan dari orang dewasa, yaitu dalam situasi
dimana mereka dibutuhkan. Marcia menyaksikan Dr. Mils mencontohkan

8
perilaku asertif dalam konteks permainan peran interaksi sulit yang
dihadapi Marcia di tempat kerja.
 Perilaku model harus diulang sesering yang diperlukan untuk siswa untuk
menirukannya dengan benar.
 Perilaku harus dimodelkan dalam berbagai cara dan dalam berbagai situasi
untuk meningkatkan generalisasi.
 Pelajar harus memiliki kesempatan untuk berlatih (meniru) perilaku
sesegera mungkin setelah mengamati model. Peniruan yang benar dari
perilaku model harus segera diperkuat.
c. Rehearsal/Latihan

Rehearsal adalah kesempatan bagi pembelajar untuk mempraktekkan


perilaku setelah menerima instruksi atau melihat seorang model
mendemonstrasikan perilaku tersebut. Rehearsal adalah bagian penting dari
prosedur BST karena (a) guru dapat memastikan bahwa pembelajar telah
mempelajari perilaku sampai guru melihat pembelajar terlibat dalam perilaku
yang benar, (b) memberikan kesempatan untuk memperkuat perilaku, dan (c)
memberikan kesempatan untuk menilai dan mengoreksi kesalahan yang mungkin
ada dalam pelaksanaan perilaku. Faktor-faktor berikut dapat mempengaruhi
efektivitas latihan sebagai bagian dari prosedur BST.

 Perilaku harus dilatih dalam konteks yang tepat, baik dalam situasi yang
sesuai atau dalam permainan peran yang mensimulasikan situasi tersebut.
pelajar lebih dapat menerima arahan dari orang yang berstatus tinggi
(seperti orang tua, guru, majikan, atau psikolog). Melatih perilaku dalam
konteks yang tepat memfasilitasi generalisasi saat pelatihan keterampilan
selesai.
 Latihan harus diprogram untuk sukses. Pembelajar harus mempraktekkan
perilaku yang mudah (atau situasi yang mudah di mana perilaku itu harus
terjadi) terlebih dahulu sehingga mereka berhasil. Setelah berhasil dengan
perilaku yang mudah, pembelajar dapat mempraktikkan perilaku yang

9
lebih sulit atau kompleks. Dengan cara ini, terlibat dalam latihan
memperkuat, dan peserta didik terus berpartisipasi.
 Pengulangan perilaku yang benar harus selalu diikuti dengan penguatan
 Latihan yang sebagian benar atau salah harus diikuti dengan umpan balik
korektif
 Perilaku harus dilatih sampai didemonstrasikan dengan benar setidaknya
beberapa kali
d. Masukan (feedback)

Setelah latihan perilaku oleh pembelajar, pelatih harus segera memberikan


umpan balik. Umpan balik melibatkan pujian atau penguat lainnya untuk kinerja
yang benar. Bila perlu, itu juga dapat melibatkan koreksi kesalahan atau instruksi
lebih lanjut tentang cara meningkatkan kinerja. Umpan balik sering berjumlah
penguatan yang berbeda dari beberapa aspek perilaku dengan koreksi aspek
lainnya. Dalam prosedur BST, umpan balik secara khsusus didefinisikan sebagai
penyampaian pujian untuk kinerja yang benar dan instruksi lebih lanjut setelah
kinerja yang salah. Sejumlah factor dapat mempengaruhi efektifitas umpan balik,

 Umpan balik harus diberikan segera setelah perilaku tersebut.


 Umpan balik harus selalu melibatkan pujian untuk beberapa aspek
perilaku. Jika perilakunya tidak benar, pelatih harus memuji pembelajar
setidaknya kerena mencoba. intinya adalah membuat latihan menjadi
pengalaman yang menguatkan bagi pelajar
 Pujian harus deskriptif. Mendeskripsikan apa yang dikatakan dan
dilakukan peserta didik yang baik (benar). Fokus pada semua aspek
perilaku, verbal dan nonverbal (yakni, apa yang dikatakan dan dilakukan
pembelajar dan bagaimana pembelajar mengatakan dan melakukannya).
 Saat memberikan umpan korektif, jangan bersikap negative. Jangan
menggambarkan kinerja pelajar sebagai buruk atau salah. Alih-alih,
berikan instruksi yang mengidentifikasi apa yang dapat dilakukan pelajar
dengan lebih baik atau bagaimana pelajar dapat meningkatkan kinerjanya.

10
 Selalu puji beberapa aspek kinerja sebelum memberikan umpan balik
korektif
 Berikan umpan balik korektif pada satu aspek kinerja pada satu waktu

Jika pembelajar melakukan beberapa hal secara tidak benar, fokuskan


terlebih dahulu pada salah satunya sehingga pembelajar tidak merasa kewalahan
atau putus asa. Bangun kinerja yang benar dalam langkah-langkah sehingga
pelajar semakin berhasil dalam setiap latihan berikutnya.

3. Meningkatkan Generalisasi setelah perilaku

Pelatihan keterampilan

Tujuan prosedur BST adalah agar pembelajar memperoleh keterampilan


baru dan menggunakan keterampilan ini dalam keadaan yang sesuai di luar sesi
pelatihan. Beberapa strategi dapat digunakan untuk mempromosikan generalisasi
keterampilan pada keadaan yang sesuai setelah BST.

Pertama, pelatihan harus melibatkan berbagai permainan peran yang


mensimulasikan situasi aktual yang kemungkinan akan dihadapi oleh pembelajar
dalam kehidupan nyata. Semakin dekat skenario pelatihan (permainan peran)
dengan situasi kehidupan nyata, semakin besar kemungkinan keterampilan untuk
digeneralisasikan ke situasi nyata (Miltenberger, Roberts, et al., 1999).

Kedua, gabungkan situasi kehidupan nyata ke dalam pelatihan. Pelajar


dapat melatih keterampilan dalam permainan peran dengan teman sebaya atau
dalam situasi nyata (misalnya, di sekolah, di tempat bermain). Misalnya, Olsen-
Woods, Miltenberger, dan Forman (1998) mengajarkan keterampilan pencegahan
penculikan kepada anak-anak dan melakukan beberapa permainan peran di taman
bermain sekolah mereka sebagai situasi kehidupan nyata di mana upaya
penculikan dapat terjadi.

Ketiga, memberikan tugas kepada pembelajar untuk mempraktikkan


keterampilan yang dipelajari di luar sesi BST, dalam situasi kehidupan nyata.
Setelah mempraktikkan keterampilan di luar sesi pelatihan, pembelajar dapat

11
mendiskusikan pengalamannya di sesi BST berikutnya dan menerima umpan
balik atas kinerjanya. Dalam beberapa kasus, praktik keterampilan di luar sesi
dapat diawasi oleh orang tua atau guru yang dapat segera memberikan umpan
balik.

Keempat, pelatih dapat mengatur penguatan keterampilan dalam situasi di


luar sesi pelatihan. Sebagai contoh, pelatih mungkin berbicara dengan seorang
guru atau orang tua dan meminta dia memberikan penguatan ketika pelajar
tersebut menunjukkan keterampilan yang benar di rumah atau sekolah.

Penilaian in situ

Pelatihan keterampilan perilaku sering terjadi dalam situasi yang berbeda


dari di mana keterampilan itu perlu digunakan. Misalnya, pelatihan pencegahan
penculikan mungkin dilakukan di ruang kelas tetapi keterampilan tersebut perlu
digunakan di depan umum saat anak sendirian dalam situasi di mana penculik
mungkin memberikan iming-iming. Oleh karena itu, penting menilai keterampilan
yang diajarkan dengan BST di tempat di mana keterampilan perlu dilakukan.
Selain itu, penting untuk menilai keterampilan tanpa sepengetahuan individu
bahwa penilaian sedang berlangsung. Ketika penilaian keterampilan terjadi di
lingkungan alami di mana keterampilan itu dibutuhkan dan individu tidak
menyadari bahwa penilaian sedang berlangsung, itu disebut penilaian in situ.
Melakukan penilaian in situ penting untuk penilaian yang akurat tentang apakah
individu akan menggunakan keterampilan saat dibutuhkan.

Penelitian telah menunjukkan bahwa jika individu mengetahui bahwa


penilaian sedang berlangsung dia mungkin lebih cenderung menggunakan
keterampilan daripada jika dia tidak tahu bahwa penilaian sedang berlangsung
(Gatheridge et al., 2004; Himle, Miltenberger, Gather idge, & Flessner, 2004;
Lumley, Miltenberger, Long, Rapp, & Roberts, 1998). Misalnya, dalam studi oleh
Gatheridge et al. (2004), anak usia 6 dan 7 tahun diajari keterampilan keselamatan
untuk digunakan jika mereka menemukan senjata dan tidak ada orang dewasa di
sekitarnya, jangan menyentuh senjata, lari darinya, dan beri tahu orang tua. setelah

12
pelatihan, ketika anak-anak ditanya apa yang harus dilakukan ketika menemukan
senjata, mereka memberikan jawaban yang benar. ketika mereka diminta untuk
menunjukkan kepada peneliti apa yang harus dilakukan ketika mereka
menemukan senjata, mereka menunjukkan perilaku yang benar kepada peneliti.
Namun, Ketika mereka menemukan senjata (senjaata cacat yang disediakan oleh
departemen kepolisian untuk digunakan dalam penelitian) tanpa mengetahui
bahwa ada orang yang menonton (penilaian in situ), mereka gagal menunjukkan
tanggapan yang benar. Anak-anak telah mempelajari keterampilan tersebut tetapi
tidak menggunakan keterampilan tersebut kecuali jika peneliti hadir, keterampilan
gagal untuk menggenaralisasi karena berada di bawah kendali stimulus kehadiran
peneliti.

Pelatihan in situ

Penelitian terbaru yang mengevaluasi BST untuk mengajarkan


keterampilan keselamatan kepada anak-anak dan individu dengan disabilitas
intelektual telah menunjukkan bahwa prosedur yang disebut pelatihan in situ
terkadang diperlukan untuk mempromosikan generalisasi setelah pelatihan
(misalnya, Egemo Helm et al., 2007; Himle, Miltenberger, Flessner, &
Gatheridge, 2004; Miltenberger et al., 2005; Miltenberger, Roberts et al., 1999).
Dengan pelatihan in situ, pelatih menyiapkan penilaian di alam tanpa
sepengetahuan anak bahwa dia sedang dinilai (penilaian in situ). Jika anak tidak
melakukan keterampilan selama penilaian in situ, seorang pelatih memasuki
situasi tersebut dan segera mengubah penilaian menjadi sesi pelatihan. Pelatih
kemudian meminta anak melatih keterampilan dalam situasi penilaian sehingga
keterampilan tersebut lebih mungkin terjadi jika anak dihadapkan pada situasi
serupa di masa mendatang.

Pertimbangkan contoh dari studi tahun 2005 oleh Johnson dan rekannya
yang mengevaluasi BST untuk mengajarkan keterampilan pencegahan penculikan
kepada anak usia 4 dan 5 tahun. Setelah seorang anak berusia 5 tahun
menunjukkan bahwa dia dapat terlibat dalam keterampilan pencegahan penculikan
selama sesi BST, Johnson melakukan penilaian in situ. Selama penilaian ini,

13
seorang asisten peneliti (yang tidak dikenal oleh anak tersebut) mendekati anak
tersebut di taman bermain saat anak tersebut sendirian dan bertanya apakah dia
ingin berjalan-jalan. Ketika anak tersebut tidak menggunakan keterampilan
keselamatan (dia tidak mengatakan "Tidak", lalu melarikan diri dan memberi tahu
orang dewasa) selama penilaian, seorang pelatih berjalan keluar pada saat itu dan
bertanya kepada anak tersebut, "Apa yang harus Anda lakukan ketika orang asing
memintamu pergi?” Setelah si anak menjawab dengan jawaban yang benar,
pelatih berkata, “Nah, kamu tidak melakukan itu. Kami harus berlatih sehingga
anda melakukannya dengan benar jika ini terjadi lagi. Pelatih kemudian meminta
anak tersebut berlatih mengatakan "tidak", melarikan diri, dan memberi tahu
orang dewasa sebagai tanggapan atas permainan peran dalam situasi aktual di
mana penilaian dilakukan. Akibatnya, kali berikutnya anak tersebut dinilai tanpa
sepengetahuannya, dia melakukan perilaku yang benar. Di sejumlah studi, peneliti
telah menunjukkan bahwa melakukan pelatihan in situ dengan cara ini efektif
untuk anak-anak yang tidak menggunakan keterampilan setelah BST (Gatheridge
et al., 2004; Himle, Miltenberger, Flessner, & Gatheridge, 2004; Johnson et al.,
2005, 2006; Jostad et al., 2008; Miltenberger et al., 2004, 2005).

Pelatihan keterampilan perilaku dan kontinjensi tiga jangka

Mendahului perilaku konsekuensi

Dengan menggabungkan pemodelan, instruksi, latihan, dan umpan balik,


prosedur BST menggunakan ketiga aspek kontinjensi tiga istilah. Kontinjensi tiga
istilah — yang melibatkan anteseden, perilaku, dan konsekuensi dari perilaku —
harus digunakan dalam situasi pengajaran apa pun. Pemodelan dan instruksi
adalah strategi pendahuluan yang digunakan untuk membangkitkan perilaku yang
benar. Karena kebanyakan orang sukses mengikuti instruksi atau model yang
ditiru sepenuhnya di masa lalu, instruksi dan pemodelan adalah rangsangan
diskriminatif yang efektif untuk perilaku yang benar. Latihan melibatkan
pelaksanaan perilaku yang dimodelkan atau dijelaskan dalam instruksi. Ketika

14
perilaku dilatih dengan benar, umpan balik melibatkan konsekuensi yang
menguatkan yang memperkuat perilaku yang benar. Ketika perilaku sebagian
salah umpan balik korektif diberikan dalam bentuk instruksi untuk meningkatkan
kinerja. Umpan balik korektif berfungsi sebagai anteseden yang membangkitkan
perilaku yang benar pada latihan berikutnya sehingga dapat diperkuat.

Cara terbaik untuk mengajarkan keterampilan adalah dengan memberikan


instruksi atau pemodelan dan meminta orang tersebut melatih keterampilan
tersebut sehingga dapat diperkuat. Meskipun instruksi atau pemodelan saja dapat
membangkitkan perilaku yang benar dalam situasi yang tepat, perilaku tersebut
tidak mungkin terus terjadi kecuali kemudian diperkuat. Misalnya, teman Anda
menyuruh Anda mengemudi di jalur kiri melewati mal karena mobil yang akan
berbelok ke mal memperlambat lalu lintas di jalur kanan. Ini adalah instruksi.
Anda mengikuti instruksi, dan perilaku Anda diperkuat dengan menghindari lalu
lintas yang lebih lambat. Akibatnya, Anda lebih cenderung mengemudi di jalur
kiri melewati mal. Namun, jika Anda mengikuti instruksi teman Anda dan
mengemudi di jalur kiri tetapi lalu lintas tidak lebih cepat di jalur tersebut,
perilaku Anda tidak akan diperkuat. Oleh karena itu, meskipun instruksi
membangkitkan (meminta) perilaku yang benar pada awalnya, perilaku tersebut
tidak akan terus terjadi karena tidak diperkuat setelah terjadi. Saat mengajarkan
suatu keterampilan, kita dapat membangkitkan perilaku yang benar hanya dengan
memodelkannya atau dengan memberikan instruksi untuk pelajar. Namun, untuk
memastikan bahwa perilaku tersebut telah dipelajari, kami juga meminta
pembelajar untuk melatihnya dalam situasi pelatihan yang disimulasikan sehingga
kami dapat memperkuat perilaku tersebut. Jauh lebih mungkin bahwa pembelajar
akan mengeksekusi perilaku dalam situasi nyata jika pembelajar telah berhasil
mengeksekusi perilaku dalam pelatihan.

Pelatihan keterampilan perilaku berkelompok

Terkadang prosedur BST digunakan dengan sekelompok orang yang


semuanya perlu mempelajari keterampilan serupa. Misalnya, pelatihan orang tua
dapat dilaksanakan dengan sekelompok orang tua yang semuanya mengalami

15
kesulitan dengan anak-anak mereka; pelatihan ketegasan mungkin dilakukan
dengan sekelompok orang yang memiliki kekurangan keterampilan asertif.
Kelompok BST paling efektif dengan kelompok kecil di mana semua anggota
memiliki kesempatan untuk berpartisipasi. Dalam kelompok BST, pemodelan dan
instruksi disajikan untuk seluruh kelompok. Setiap anggota kelompok kemudian
melatih keterampilan dalam permainan peran dan menerima umpan balik dari
pelatih dan dari anggota kelompok lainnya (Poche et al., 1988). Dalam pelatihan
kelompok, seperti pada BST individu, setiap orang melatih keterampilan tersebut
sampai dilakukan dengan benar dalam berbagai situasi simulasi.

Grup BST memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, ini bisa lebih efisien
daripada BST individu karena instruksi dan pemodelan disajikan secara
keseluruhan Kelompok. Kedua, setiap anggota kelompok belajar dengan melihat
anggota kelompok lain melatih keterampilan dan menerima umpan balik atas
penampilan mereka. ketiga, anggota kelompok belajar dengan mengevaluasi
kinerja anggota kelompok lain dan memberikan umpan balik. Keempat, dengan
berbagai anggota kelompok yang berpartisipasi dalam permainan peran,
generalisasi dapat ditingkatkan. Terakhir, besarnya penguatan untuk latihan yang
sukses meningkat ketika pujian datang dari anggota kelompok lain, serta dari
pelatih.

Kerugian dari kelompok BST adalah bahwa setiap orang tidak mendapat
perhatian penuh dari pelatih. Salah satu masalah lain yang mungkin terjadi adalah
beberapa anggota mungkin tidak berpartisipasi secara aktif atau mungkin
mendominasi dan membatasi partisipasi anggota lainnya. Pelatih dapat mencegah
ini dengan mengambil peran aktif dan mendorong partisipasi semua anggota.

Aplikasi pelatihan keterampilan berperilaku prosedur

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa prosedur BST efektif


dalam mengajarkan berbagai keterampilan (Rosenthal & Steffek, 1991). Prosedur
ini telah digunakan secara luas dengan anak-anak. Kami telah membahas studi
oleh Poche dan rekan-rekannya. Peneliti lain juga telah menggunakan prosedur

16
BST untuk mengajarkan keterampilan pencegahan penculikan dan pelecehan
seksual kepada anak-anak (Carroll-Rowan & Miltenberger, 1994; Johnson et al.,
2005, 2006; Miltenberger & Thiesse-Duffy, 1988; Miltenberger, Thiesse-Duffy,
Suda, Kozak, & Bruellman, 1990; Olsen-Woods et al., 1998; Wurtele, Marrs, &
Miller-Perrin, 1987; Wurtele, Saslawsky, Miller, Marrs, & Britcher, 1986). Dalam
setiap studi ini, anak-anak mempelajari respons yang benar terhadap situasi
berbahaya melalui pemodelan dan instruksi, melatih keterampilan perlindungan
diri dalam permainan peran situasi berbahaya, dan menerima umpan balik atas
kinerja mereka. Para peneliti ini menemukan bahwa penggunaan instruksi dan
pemodelan tanpa latihan dan umpan balik kurang efektif untuk mengajarkan
keterampilan perlindungan diri pada anak. Anak-anak belajar lebih banyak ketika
mereka memiliki kesempatan untuk melatih keterampilan dan menerima umpan
balik atas penampilan mereka setelah instruksi dan pemodelan. Keterampilan
pencegahan penculikan dan pencegahan pelecehan seksual juga telah diajarkan
kepada orang dewasa penyandang disabilitas intelektual dengan menggunakan
pendekatan BST yang sama (Haseltine & Miltenberger, 1990; Lumley,
Miltenberger, Long, Rapp, & Roberts, 1998; Miltenberger, Roberts et al., 1999).
Dalam beberapa kasus, pelatihan in situ digunakan setelah BST untuk membantu
anak-anak atau individu dengan disabilitas intelektual mempelajari keterampilan
dan menggunakannya dalam situasi naturalistik (Johnson et al., 2005, 2006).

Dalam penelitian lain, prosedur BST telah digunakan untuk mengajarkan


keterampilan darurat kebakaran kepada anak-anak. Jones dan Kazdin (1980)
mengajari anak-anak kecil untuk melakukan panggilan telepon darurat ke
pemadam kebakaran. Jones, Kazdin, dan Haney (1981) mengajari anak-anak
keterampilan yang mereka butuhkan untuk menanggapi kebakaran rumah. Mereka
mengidentifikasi sembilan keadaan darurat kebakaran rumah yang berbeda dan
respons keselamatan kebakaran yang tepat untuk setiap situasi. Dalam pelatihan,
mereka mensimulasikan api di kamar tidur dan menggunakan instruksi,
pemodelan, latihan, dan umpan balik untuk mengajari anak respons yang benar.
Pelatih memberi tahu anak perilaku yang benar dan menunjukkan kepada anak
kapan yang harus dilakukan.

17
Ketika anak melakukan perilaku dengan benar, pelatih memberikan pujian
dan penguatan lainnya. Jika seorang anak melakukan bagian mana pun dari
perilaku tersebut secara tidak benar, pelatih memberikan umpan balik tentang apa
yang dapat dilakukan oleh anak tersebut dengan lebih baik, dan anak tersebut
mencoba lagi sampai dia melakukannya dengan benar (Gambar 12-3). Setiap kali
ada bagian dari kinerja yang salah, para peneliti selalu memuji anak tersebut untuk
setiap bagian dari perilaku keselamatan kebakaran yang dilakukan anak tersebut
dengan benar sebelum memberikan koreksi.

Prosedur BST juga telah digunakan secara luas dengan orang-orang yang
memiliki kekurangan keterampilan sosial. Misalnya, Elder, Edelstein, dan Narick
(1979) mengajarkan remaja agresif untuk meningkatkan keterampilan sosialnya
sebagai upaya untuk mengurangi perilaku agresifnya. Matson dan Stephens
(1978) mengajarkan pasien dengan gangguan kejiwaan kronis untuk
meningkatkan perilaku sosial yang sesuai, yang mengakibatkan penurunan
pertengkaran. Starke (1987) menggunakan prosedur BST untuk meningkatkan
keterampilan sosial orang dewasa muda yang cacat fisik. Warzak dan Page (1990)
mengajari gadis remaja yang aktif secara seksual bagaimana menolak rayuan
seksual yang tidak diinginkan dari remaja pria. Dalam setiap penelitian, subjek
mempelajari keterampilan sosial melalui instruksi dan pemodelan, latihan
keterampilan dalam permainan peran, dan umpan balik (penguatan dan koreksi)
atas kinerja mereka.

Starke (1987) menemukan bahwa prosedur BST lebih efektif daripada


kelompok diskusi untuk meningkatkan keterampilan sosial. Temuan ini
menunjukkan bahwa latihan dan umpan balik merupakan komponen penting dari
prosedur pelatihan keterampilan. Dengan kata lain, tidak cukup hanya diberi tahu
keterampilan apa yang penting dan melihat keterampilan itu didemonstrasikan.
Cara terbaik untuk mempelajari keterampilan adalah juga memiliki kesempatan
untuk Latihan dan umpan balik sehingga keterampilan dapat diperkuat dalam
situasi stimulasi atau nyata. Hasil serupa menunjukkan bahwa instruksi dan
pemodelan tidak cukup, dan bahwa pembelajar harus mempraktikkan

18
keterampilan dengan umpan balik agar berhasil dilaporkan oleh para peneliti.
Misalnya, dalam penelitian oleh Beck dan Miltenberger, anak-anak (katakan
“tidak”, lalu lari, dan beri tahu orang tua saat didekati oleh orang asing ).
Meskipun video tersebut sangat dihargai dan memenangkan sejumlah
penghargaan untuk kualitasnya, setelah anak-anak menonton video tersebut,
mereka tidak dapat menggunakan keterampilan pencegahan penculikan selama
penilaian in situ (ketika mereka didekati oleh orang asing di toko tanpa
sepengetahuan mereka bahwa mereka sedang diuji). Namun, setelah menerima
pelatihan in situ di mana mereka mempraktikkan keterampilan pencegahan
penculikan dan menerima umpan balik, mereka berhasil menggunakan
keterampilan tersebut dalam penilaian lebih lanjut. Ini telah menjadi temuan yang
konsisten dalam penelitian — memberi tahu dan menunjukkan kepada anak-anak
apa yang harus dilakukan tidaklah cukup; mereka harus melatih keterampilan
dengan umpan balik (penguatan dan koreksi kesalahan) untuk menggunakan
keterampilan dalam situasi aktual dimana keterampilan diperlukan.
menggambarkan perilaku yang perlu diperbaiki oleh peserta didik. Akhirnya, para
peneliti telah menunjukkan bahwa prosedur BST efektif dalam mengajarkan
keterampilan kepada orang dewasa. Forehand dan rekan-rekannya (Forehand et
al., 1979) menggunakan prosedur ini untuk mengajarkan keterampilan manajemen
anak kepada orang tua dari anak yang tidak patuh. Orang tua mempelajari
keterampilan yang diperlukan untuk menghargai anak-anak mereka, mengajukan
permintaan dengan tepat, dan menggunakan waktu istirahat ketika anak-anak
mereka tidak patuh. Ketika orang tua mempelajari keterampilan ini, perilaku
anak-anak mereka menjadi lebih baik. Peneliti lain telah menunjukkan bahwa
prosedur BST efektif dalam mengajarkan keterampilan modifikasi perilaku
kepada guru atau staf yang bekerja dengan anak-anak (siswa), penghuni panti
jompo, atau individu dengan disabilitas intelektual (misalnya, Engelman, Altus,
Mosier & Mathews, 2003; Lavie & Sturmey, 2002; Moore et al., 2002; Sarokof &
Sturmey, 2004). Miltenberger dan Fuqua (1985b) menggunakan instruksi,
pemodelan, latihan, dan umpan balik untuk mengajar mahasiswa bagaimana
melakukan wawancara klinis. Para siswa belajar untuk mengajukan pertanyaan

19
yang tepat saat melakukan wawancara dengan asisten peneliti yang
mensimulasikan klien dengan masalah perilaku. Dancer dan rekan-rekannya
(Dancer et al., 1978) mengajarkan keterampilan observasi dan deskripsi perilaku
kepada pasangan menikah yang akan mengelola rumah kelompok untuk remaja
nakal. Pasangan membutuhkan keterampilan ini untuk bekerja secara efektif
dengan para remaja.

Penelitian yang dikutip disini hanyalah contoh penerapan prosedur BST.


Prosedur tersebut digunakan dengan orang yang dapat belajar dari instruksi dan
pemodelan dalam situasi simulasi dan tidak memerlukan pelatihan intensif yang
diberikan dalam prosedur rangkaian yang dijelaskan di Bab 11. Prosedur
rangkaian umumnya digunakan dengan orang yang memiliki kemampuan terbatas
dan membutuhkan dorongan intensif. Prosedur BST, sebaliknya, sering digunakan
pada anak-anak dan orang dewasa dengan kemampuan normal. Namun, mereka
juga telah digunakan dengan orang-orang cacat. Misalnya, Hall, Sheldon-
Wildgen, dan Sherman (1980) menggunakan instruksi, pemodelan, latihan, dan
umpan balik untuk mengajarkan keterampilan wawancara kerja kepada orang
dewasa dengan disabilitas ringan atau sedang. Setelah menjelaskan dan
memodelkan keterampilan verbal dan nonverbal yang penting dalam sebuah
wawancara, Hall dan rekan-rekannya meminta peserta didik untuk melatih
keterampilan dalam wawancara simulasi.

Setelah latihan, Hall memberikan pujian atas perilaku yang pantas dan
menggambarkan perilaku yang perlu diperbaiki oleh peserta didik. Menggunakan
prosedur BST, Bakken, Miltenberger dan Schauss mengajarkan orang tua
penyandang disabilitas intelektual keterampilan penting untuk berinteraksi dengan
anak-anak mereka dan memperhatikan mereka dengan cara yang tepat untuk
memfasilitasi perkembangan normal. Temuan menarik dari penelitian ini adalah
bahwa orang tua belajar keterampilan. Ketika instruksi, pemodelan, Latihan, dan
umpan balik digunakan dalam sesi pelatihan, tetapi keterampilan tersebut tidak
digeneralisasikan ke situasi sehari-hari di rumah. Ketika Bakken menerapkan
pelatihan di rumah, para orangtua juga mulai menunjukkan keterampilan di sana.

20
Temuan ini menilai pentingnya menilai generalisasi keterampilan ke lingkungan
alami di mana keterampilan dibutuhkan dan memberikan pelatihan lebih lanjut
jika generalisasi tidak terjadi.

Langkah-langkah menggunakan pelatihan prosedur keterampilan


berperilaku (BST):

1. Identifikasi dan tentukan keterampilan yang ingin Anda ajarkan. Definisi


perilaku yang baik akan dengan jelas menggambarkan semua perilaku
yang terlibat dalam keterampilan. Anda harus menentukan semua
keterampilan yang mungkin diperlukan dalam berbagai situasi dan
melakukan analisis tugas keterampilan kompleks (rantai perilaku)
2. Identifikasi semua situasi stimulus yang relevan (SD) dimana keterampilan
harus digunakan. Misalnya, dalam mengajarkan keterampilan pencegahan
penculikan, Anda harus mengidentifikasi semua umpan penculikan yang
mungkin digunakan seseorang sehingga anak dapat belajar untuk
menanggapi dengan sukses setiap situasi penculikan. Saat mengajarkan
ketegasan, anda harus mengidentifikasi semua kemungkinan situasi
dimana seseorang mungkin bertindak tidak asertif sehingga orang tersebut
dapat belajar merespon secara asertif dalam setiap situasi.
3. Menilai keterampilan pembelajar dalam situasi rangsangan untuk
menetapkan garis dasar. Untuk menilai keterampilan pembelajar, Anda
harus mempresentasikan setiap situasi stimulus (baik situasi nyata atau
simulasi) dan mencatat respons pembelajar terhadap situasi tersebut
4. Mulailah latihan dengan keterampilan yang paling mudah atau situasi
stimulus yang paling mudah. Dalam keadaan seperti itu, pelajar lebih
mungkin berhasil dalam pelatihan dan lebih mungkin untuk terus bekerja
sama dengan prosedur BST. Jika anda memulai dengan keterampilan atau
situasi yang lebih lanjut, pelajar mungkin tidak berhasil pada awalnya dan
mungkin menjadi putus asa.
5. Mulailah sesi pelatihan dengan memodelkan perilaku dan menjelaskan
aspek-aspek pentingnya. Pastikan untuk memodelkan perilaku dalam

21
konteks yang tepat (menanggapi SD yang relevan). Anda dapat membuat
konteks yang tepat dengan mensimulasikannya dalam permainan peran.
Simulasi harus senyata mungkin bagi pembelajar. Terkadang sesi
pelatihan dilakukan di lingkungan nyata; misalnya, Poche dan rekan-
rekannya (1981) mencontohkan keterampilan pencegahan penculikan di
taman bermain, di mana seorang anak mungkin sebenarnya didekati oleh
calon penculik.
6. Setelah pembelajar mendengar instruksi dan melihat model, berikan
kesempatan untuk latihan. Simulasikan konteks yang tepat untuk perilaku
tersebut dan mintalah siswa mempraktikkan perilaku tersebut. Terkadang
simulasi atau permainan peran dapat terjadi dalam situasi yang alami.
Poche dan rekan-rekannya (1981) menyuruh anak-anak melatih
keterampilan pencegahan penculikan di taman bermain.
7. Segera setelah latihan, berikan umpan balik. Selalu berikan pujian
deskriptif untuk beberapa aspek kinerja yang benar. Kemudian berikan
instruksi untuk perbaikan sesuai kebutuhan.
8. Ulangi proses latihan dan umpan balik sampai pembelajar selesai
mempraktekkan perilaku dengan benar beberapa kali.
9. Setelah sukses dengan satu situasi pelatihan, pindah ke situasi lain dan
lanjutkan proses pemodelan, instruksi, latihan, dan umpan balik sampai
pembelajar menguasai setiap keterampilan dalam setiap situasi. Sambil
menambahkan situasi baru, terus minta pembelajar mempraktekkan situasi
pelatihan yang telah mereka kuasai untuk memastikan pemeliharaan.
10. Setelah pembelajar menguasai semua keterampilan dalam semua situasi
simulasi selama sesi pelatihan, program untuk generalisasi ke situasi alami
di mana keterampilan dibutuhkan. Jika situasi pelatihan semirip mungkin
dengan situasi alami, atau jika pelatihan terjadi dalam situasi alami
(misalnya, Poche et al., 1981), generalisasi lebih mungkin terjadi. Cara
lain untuk meningkatkan generalisasi adalah meminta pembelajar
mempraktikkan keterampilan dalam situasi yang semakin sulit. Misalnya,
setelah melatih keterampilan sosial, Anda memberikan instruksi kepada

22
pembelajar untuk menggunakan keterampilan social dalam situasi nyata
dengan orang-orang nyata dalam kehidupan pembelajar. Mulailah dengan
tugas yang mudah dan saat pembelajar berhasil, kerjakan tugas yang lebih
sulit. Point kuncinya adalah mempertahankan kesuksesan sehingga upaya
pembelajar diperkuat. Cara lain untuk mempromosikan generalisasi diulas
di bab 19.

Video pembelajaran terkait Behavioral skill training (BST)

1. https://www.youtube.com/watch?v=3PFQe11I0r4 (Melatih keterampilan


Carina Cara memasak Telur) √
2. https://www.youtube.com/watch?v=sNu4Bb8JoU8 (melatih keterampilan
social anak slow learner/ BST 1
3. https://www.youtube.com/watch?v=24ICteVKiJU (melatih keterampilan
social anak slow learner/ BST 2
4. https://www.youtube.com/watch?v=Zunw2mkIcAs (melatih anak untuk
mencegah penculikan: Mahasiswa UNY) √
5. https://www.youtube.com/watch?v=dmBqwWlJg8U (Eksperiment Alber
bandura “Bobo Doll”)
Daftar Pustaka

Miltenberger raymond. (2012). Behavior Modification principles and procedures,


Fifth edition. Canada: PreMediaGlobal.
Romadhon A.F. (2021). Efektivitas Teknik Behavioral Skills Training (Bst)
Dalam Bimbingan Kelompok Terhadap Peningkatan Keterampilan Sosial Siswa
Kelas Xi Di Sma Negeri 10 Yogyakarta. Tesis Universitas Negeri Yogyakarta.

23
24

Anda mungkin juga menyukai