I. LATAR BELAKANG
Penyakit campak adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus campak dari
family Paramixovirus, genus Morbilivius. Penyakit ini ditandai dengan gejala awal demam,
batuk, pilek, dan konjungtivitis yang kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada kulit
(rash). Campak biasanya menyerang anak berusia 5-10 tahun yang belum pernah
mendapatkan imunisasi. Di Indonesia penyakit campak masih menjadi masalah, karena
berdasarkan data jumlah penderita sampai saat ini masih tinggi (Widoyono, 2008).
Rubela adalah penyakit akut dan mudah menular yang sering menginfeksi anak dan
dewasa muda yang rentan. Penyakit ini mempunyai gejala klinis yang ringan dan 50% tidak
bergejala, akan tetapi yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek
teratogenik apa bila rubella ini menyerang pada wanita hamil terutama pada masa awal
kehamilan. Infeksi rubella pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan
permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal dengan sindrom rubella kongenital
(Congenital Rubella Syndrome/CRS).
Di Kota Denpasar didapat data kasus suspek campak pada tahun 2022 terdapat 42 kasus
sedangkan di Puskesmas Denpasar Timur II didapat data kasus suspek campak pada tahun
2023 terdapat 3 kasus dengan target penemuan kasus suspek campak sebanyak 6 kasus dan
mobilitas penduduk di wilayah Denpasar Timur cukup tinggi
Dengan mempertimbangkan beban penyakit rubela dan CRS yang terus meningkat
maka seluruh negara anggota WHO/SEARO termasuk juga Indonesia telah menetapkan
target pencapaian eliminasi campak dan pengendalian rubela/CRS pada tahun 2020. Oleh
Karena itu target regional telah ditetapkan menjadi mencapai eliminasi campak dan
rubela/CRS pada tahun 2023, dimana target eliminasi beserta upaya pengendalian dan
penyelenggaraan surveilans campak terintegrasi dengan rubella. Salah satu program
pemerintah untuk memberantas kasus campak yaitu melalui kegiatan surveilans
epidemiologi yang bertujuan untuk memantau kemajuan kegiatan pemberantasan campak.
Surveilans Campak Rubela adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus
berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit Campak-Rubela.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan PKL
(Praktek Kerja Lapangan) dengan judul “Program Surveilans Campak-Rubela Di UPTD
Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar Tahun 2023”.
I. LATAR BELAKANG
Polio adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang susunan saraf manusia
sehingga bisa menyebabkan kelumpuhan permanen dan bahkan kematian. Sampai saat ini
tidak ada obat untuk mengobati penyakit ini, tetapi tersedia vaksin yang murah, aman dan
efektif untuk mencegah penyakit ini. Karenanya, upaya yang paling penting dalam
mengatasi penyakit ini adalah dengan memberikan imunisasi. Polio dapat menyerang
siapa saja pada usia berapapun, tetapi penyakit ini terutama menyerang anak dibawah
lima tahun (Balita). Polio ditularkan dari orang ke orang melalui makanan/minuman yang
terkontaminasi virus biasanya melalui oro-fecal.
Bila seorang anak terinfeksi virus polio, virus masuk ke tubuh anak dan berkembang di
usus. Selanjutnya virus dikeluarkan melalui tinja ke lingkungan dan menyebar dengan
cepat, terutama
pada kondisi dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Virus Polio tidak bisa berkembang
dan mati bila tidak menemukan inang yang rentan, sehingga kalau semua/sebagian besar
anak telah diimunisasi polio, virus polio akan kesulitan menemukan anak yang rentan.
Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh
akut (AFP) pada anak usia < 15 tahun yang merupakan kelompok yang rentan terhadap
penyakit polio Imunisasi Dasar. Surveilans AFP merupakan tulang punggung program
eradikasi polio. Surveilans AFP untuk menemukan semua Polio diantara semua kasus
kelumpuhan yang bersifat layuh dan akut. Dengan surveilans AFP kita bisa
mengidentifikasi kasus polio baru dan mendeteksi importasi virus polio dari daerah lain.
Dengan surveilans AFP pula kita bisa memastikan kapan virus telah sepenuhnya
tereradikasi.
Dari penjelasan diatas maka perlu adanya penguatan surveilans PD3I yang komprehensif
penekanannya pada konfirmasi laboratorium penyakit, pengumpulan data berbasis kasus
dan pelaporan, penyelidikan epidemiologi, pengelolaan analisis dan visualisasi data,
penggunaan data surveilans PD3I untuk rutin pemantauan, optimalisasi pengambilan
keputusan dan respon khususnya dan respon khususnya surveilans AFP.
Data tahun 2022 di Kota Denpasar ditemukan kasus AFP sebanyak 2 kasus, difteri 1
kasus, suspek campak ada 42 kasus dan tetanus neonatorum belum ditemukan. Saat ini
belum ditemukan kasus AFP, namun pada tahun 2018 sempat ditemukan 1 kasus AFP di
wilayah kerja UPTD Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Timur.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan PKL (Praktek
Kerja Lapangan) dengan judul “Monitoring Dan Evaluasi Program Surveilans AFP Di
UPTD Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Timur Tahun 2023”.
I. LATAR BELAKANG
Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphetria yang menghasilkan toksin difteri. Gejalanya berupa sakit tenggorokan, demam,
dan terbentuknya lapisan pseudomembran putih keabuaan, sulit lepas dan mudah
berdarah jika dilepas/dimanipulasi, sakit waktu menelan (94% mengenai tongsil dan
faring), leher membengkak, sesak nafas disertai bunyi. Dalam kasus yang parah, terjadi
komplikasi seperti tersumbatnya saluran pernafasan, peradangan dan kelumpuhan otot
jantung atau kematian. Adapun cara penularannya yaitu melalui droplet (percikan ludah)
sewaktu batuk, bersin, muntah atau melalui alat makan. Semua kelompok usia dapat
tertular penyakit ini, terutama yang belum mendapatkan imunisasi lengkap difteri pada
dewasa sulit terdeteksi.
Surveilans difteri adalah suatu kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit Difteri, yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit Difteri, memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan
Difteri secara efektif dan efisien. Karena itu Salah satu program pemerintah untuk
mengendalikan penyakit difteri agar kasus difteri tidak terjadi peningkatan yaitu dengan
melalui kegiatan surveilans epidemiologi yang bertujuan untuk memantau pengendalian
penyakit Difteri.
Di Kota Denpasar, khususnya di Kecamatan Denpasar Timur, yaitu di UPTD
Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Timur adalah wilayah yang rawan
terjangkit penyakit PD3I karena merupakan wilayah padat dengan jumlah penduduk pada
tahun 2023 adalah 96.099 jiwa yang mempunyai mobilitas yang tinggi. Khusus kasus
difteri, di UPTD Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Timur pernah
terdapat 1 kasus suspek Difteri tahun 2022 yang berasal dari RS. Puri Raharja dengan
konfirmasi negatif dari laboratorium. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan
PKL (Praktek Kerja Lapangan) dengan judul “Monitoring Dan Evaluasi Program
Surveilans Difteri Di UPTD Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar
Timur.”.
I. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui
peningkatan upaya kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, manajemen dan informasi
kesehatan, dan lain sebagainya. (Kementerian Kesehatan RI)
Pertusis (batuk rejan/batuk seratus hari) adalah penyakit menular pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Penyakit ini merupakan
penyakit endemik di hampir seluruh negara di dunia dengan puncak epidemik biasanya
terjadi setiap 2-5 tahun (rata-rata 3-4 tahun). Secara global, WHO memperkirakan
terdapat lebih dari 151.074 kasus terjadi pada tahun 2018, dengan 95% diantaranya
terjadi di negara berkembang.
Keterbatasan data epidemiologi pertusis terutama di negara-negara berkembang
menjadi salah satu alasan untuk meningkatkan upaya surveilans untuk mendapatkan data
yang dapat digunakan untuk penentuan kebijakan program kesehatan masyarakat. Di
Indonesia sendiri, surveilans pertusis masih terbatas sehingga data-data yang dibutuhkan
untuk pengambilan kebijakan terkait imunisasi maupun penanggulangan KLB masih
belum optimal.
Dari penjelasan di atas maka perlu adanya penguatan surveilans PD3I yang
komprehensif penekanannya pada konfirmasi laboratorium penyakit, pengumpulan data
berbasis kasus dan pelaporan, penyelidikan epidemiologi, pengelolaan analisis dan
visualisasi data, penggunaan data surveilans PD3I untuk rutin pemantauan, optimalisasi
pengambilan keputusan, dan respons khususnya surveilan Pertusis. Adapun dengan
adanya surveilans pertusis dapat memantau beban penyakit pertusis di masyarakat dan
dampak dari program vaksinasi pertusis, dengan fokus khusus dalam memahami
morbiditas dan mortalitas akibat pertusis pada anak < 5 tahun serta mendeteksi dini
penyakit dan memberi acuan respons intervensi kesehatan masyarakat yang harus
dilakukan terhadap KLB/wabah dari pertusis.
Kota Denpasar memiliki luas wilayah 127,78 km2 atau sebesar 2,18% dari luas
wilayah Provinsi Bali, terletak pada posisi 08035’31” sampai 08044’49” Lintang Selatan
dan 115000’23” sampai 115016’27” Bujur Timur dengan ketinggian 500 meter dari
permukaan laut. Batas wilayah Kota Denpasar di bagian Utara, Selatan dan Barat
berbatasan dengan Kabupaten Badung, sedangkan di bagian Timur berbatasan dengan
Kabupaten Gianyar. Berdasarkan data pada tahun 2022 jumlah kasus AFP 2 kasus,
Difteri 1 kasus dan susfek campak ada 42 kasus sedangkan Tetanus Neonatorum dan
Pertusis 0 kasus. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan PKL (Praktek Kerja Lapangan) dengan judul “Monitoring Dan Evaluasi
Program Surveilans Pertusis di Puskesmas II Denpasar Timur Tahun 2023”.
A. Pengambilan specimen
Pengambilan spesimen NPS atau NPA harus diupayakan semaksimal mungkin untuk
menghindari kontaminasi sampel dan penularan. Risiko aspirasi paru dapat terjadi selama
pengambilan NPA sehingga hanya dilakukan oleh tenaga terlatih di RS. Spesimen untuk
pemeriksaan kultur diambil dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu setelah onset,
sementara pemeriksaan yang dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR) dapat dilakukan hingga 4 minggu setelah onset. Pengambilan darah (serum)
dilakukan khusus pada kasus usia 10 tahun ke atas atau kasus dengan riwayat imunisasi
pertusis lebih dari 1 tahun terakhir.
Catatan : Hasil pemeriksaan serologi tidak bisa ditunggu dalam beberapa hari sehingga
hanya digunakan utk kebutuhan epidemiologi, bukan penatalaksanaan kasus.
B. Nasopharyngeal swabs (NPS)
Pengambilan spesimen pertusis untuk Nasopharyngeal swabs serupa pengambilan
sampel COVID-19.
Siapkan tempat ruangan untuk pengambilan sampel
Siapkan Transport media yang sudah diberi label identitas penderita dan swab
nasofaring
Gunakan APD (masker, sarung tangan, jas lab) yang telah disiapkan
Penderita duduk (kalau anak-anak dipangku) atau tidur, kepala ditengadahkan sampai
muka menghadap keatas, petugas berdiri disamping penderita dan memegang bagian
belakang kepala penderita.
Estimasi tangkai swab yg masuk ke rongga hidung dilakukan dengan mengukur jarak
bagian depan daun telinga dan lubang hidung.
Masukkan swab kapas ke dalam lubang hidung hingga kedalaman sesuai estimasi
diamkan 2-3 detik agar cairan meresap. Jangan menekan kapas swab pada lubang
hidung apabila dirasa ada sumbatan.
Tarik swab keluar dengan hati-hati, masukkan ke dalam medium transport
Tutup tabung dengan rapat dan segera kirim spesimen ke laboratorium
Sampah medis dimasukan dalam biohazard untuk dimusnahkan
C. Pengemasan dan pengiriman spesimen
Masing-masing tabung dibungkus tissue kemudian dimasukkan dalam kantung
plastik klip atau dapat disusun rapi posisi tegak lurus dalam kotak cryo vial/ rak
tabung.
Disusun rapi dalam cool box dan antara tabung spesimen diberi sekat dengan kertas
koran/stereo form untuk menghindarkan benturan selama perjalanan.
Waktu pengemasan harus diperhatikan posisi spesimen (bagian atas dan bawahnya),
jangan sampai terbalik. Jangan ada celah antara tabung. Kotak pengiriman sebaiknya
terdiri dari 2 buah kotak yang berfungsi sebagai kotak primer dan kotak sekunder dan
bagian luar kotak diberi label alamat pengirim dan alamat yang dituju dengan
lengkap dan label tanda jangan dibalik.
Disertakan juga dokumen pendukung data formulir kontak dan data investigasi serta
formulir W1.
Untuk spesimen dengan menggunakan Media slicagel packed dapat dikirimkan pada
suhu kamar (Tanpa menggunakan Ice Pack) dengan menggunakan coolbox yang
sama.
IV. PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan surveilans Pertusis di Puskesmas Denpasar Timur II
tidak dilakukan karena belum pernah ditemukan kasus sehingga belum pernah
melaporkan kasus pertusis ke dalam Laporan SKDR. Petugas surveilan tidak memiliki
bukti dokumentasi terkait pencatatan dan pelaporan kasus pertusis.
Tetanus neonatorum (TN) adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonates (usia < 28 hari)
yang disebabkan oleh Clostridium tetani dimana bakteri mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang
system saraf pusat.
Indonesia pada tahun 2016 berhasil mencapai status Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal
(TN) dan menjadi negara terakhir di Wilayah Regional Asia 9 Tenggara WHO yang divalidasi untuk
Eliminasi TN. Saat ini Indonesia terus berupaya untuk mempertahankan status Eliminasi TN.
Terdapat 4 strategi yang direkomendasikan oleh WHO untuk dapat mempertahankan status eliminasi
TN, yaitu penguatan imunisasi rutin, pemberian imunisasi tetanus tambahan (SIA/Supplementary
Immunization Activities) di wilayah-wilayah risiko tinggi dengan menargetkan wanita usia subur,
mempromosikan persalinan dan perawatan tali pusat yang bersih dan penguatan surveilans TN.
Surveilans PD3I ini merupakan kunci untuk melakukan pemantauan risiko kejadian luar biasa
PD3I melalui upaya penemuan kasus sedini mungkin agar dapat segera menemukan kasus potensi
KLB untuk dapat ditangani segera agar tidak meluas dan menimbulkan KLB. Indonesia masih
dianggap berisiko tinggi terhadap penyakit-penyakit tersebut dengan mempertimbangkan status
cakupan imunisasi rutin, kinerja surveilans dan akses terhadap fasilitas kesehatan.
Surveilans TN yang berkualitas dan dilakukan secara terus menerus sangat diperlukan. Kegiatan
surveilans TN terdiri dari upaya penemuan kasus mulai dari tingkat masyarakat, investigasi kasus,
pencatatan pelaporan, analisis data serta penyusunan rekomendasi terkait upaya kesehatan
masyarakat yang diperlukan jika ditemukan kasus TN.
Kota Denpasar memiliki luas wilayah 127,78 km2 atau sebesar 2,18% dari luas wilayah Provinsi
Bali, terletak pada posisi 08035’31” sampai 08044’49” Lintang Selatan dan 115000’23” sampai
115016’27” Bujur Timur dengan ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Batas wilayah Kota
Denpasar di bagian Utara, Selatan dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Badung, sedangkan di
bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Gianyar. Berdasarkan data pada tahun 2022 jumlah
kasus AFP 2 kasus, Difteri 1 kasus dan susfek campak ada 42 kasus sedangkan Tetanus Neonatorum
dan Pertusis 0 kasus.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan PKL (Praktek Kerja
Lapangan) dengan judul “Monitoring dan Evaluasi Program Surveilans Tetanus Neonatorum Di
UPTD Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Timur Tahun 2023”
g. Saran
- Koordinasi dengan dokter umum dan dokter internsip di poli umum di UPTD
Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Timur perlu ditingkatkan
sehingga meningkatkan upaya penemuan kasus di Puskesmas.
- Koordinasi dengan petugas surveilans aktif rumah sakit dan semua jejaring yang ada
di wilayah kerja di UPTD Puskesmas II Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar
Timur perlu ditingkatkan sehingga meningkatkan upaya penemuan kasus
DOKUMENTASI PKL