Anda di halaman 1dari 8

PEMERINTAH KABUPATEN SIDOARJO

DINAS KESEHATAN
Jl. Mayjend Sungkono No. 46 Sidoarjo
Telepon. 031-8941051, 031-8968736
Email : dinkes@sidoarjokab.go.id Website : sidoarjokab.go.id

Sidoarjo, 28 November 2022


Kepada
Nomor : 443.33/8215/438.5.2/2022 Yth 1. Direktur Rumah Sakit
Sifat : Penting 2. Kepala Puskesmas
Lampiran: 1 3. Pimpinan Koordinator
Perihal : SURAT KEWASPADAAN KLB Wilayah Se-Kabupaten
PD3I DAN KLB POLIO Sidoarjo
di
SIDOARJO

Menindaklanjuti surat dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur No:


443.33/21250/10250/102.3/2022 dan 443.33/21251/10250/102.3/2022
tanggal 22 November 2022. Perihal Kewaspadaan KLB Polio dan KLB PD3I
dan sehubungan dengan :
1. Meningkatkan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) yang terjadi di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur
2. Menurunnya cakupan imunisasi rutin selama Pandemi Covid-19
3. Kinerja Survailans PD3I di Jawa Timur sd minggu ke 44 yang belum
memenuhi target indikator yang di tertapkan oleh Kementrian
Kesehatan RI (terlampir)
4. Menurunnya cakupan Imunisasi rutin selama Pandemi Covid-19

Maka djperlukan beberapa langkah strategis untuk meningkatkan


kewaspadaan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) PD3I sebagai berikut :

A. KEWASPADAAN TERHADAP PENYAKIT POLIO


1. Meningkatkan kinerja Survailans AFP (Accute Flaccid
Patalysis)
dengan menemukan semua anak usia <15 tahun gejala
lumpuh, layuh dan akut dengan cara melakukan Survailans
Aktif di Tingkat FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama),
Survailans aktif berbasis masyarakat (SBM). Survalans Aktif
Rumah Sakit (SARS), dan melakukan Hospital Record Review
(HRR).
2. Survailans aktif berbasis masyarakat (SBM) melibatkan TOGA,
TOMA, PKK dan kader dalam penemuan kasus dimasyarakat
dengan gejala lumpuh yang sifatnya layuh dan terjadi secara
mendadak pada anak usia < 15 tahun dan dilaporkan ke
FKTP.
3. Survailans Aktif Rumah Sakit (SARS) dilakukan oleh dinas
kesehatan setempat 1 minggu sekali untuk memastlkan bahwa
semua kasus dengan gejala lumpuh, layuh, akut teteh
dlmasukkan ke dalam kasus AFP diperiksakan tinjainya.
dicalat dalam Form FP-01 dan dilaporkan secara berjenjang.
4. Melakukan Hospital Record Review (HRR) berdasarkan kode
ICD X yang telah ditetapkan oleh Komite Ahli Surveilans AFP
secara intens setiap 1 minggu sekali untuk memastikan tidak

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.
-
ada kasus AFP yang tidak terlaporkan dan masih bisa diambil
spesimen tinjanya.
5. Melakukan pemetaan daerag kantong terutama cakupan
imunisasi polio rutin yang rendah serta melakukan pemantauan
ketat kemungkinan terjadinya kasus dan melakukan
pendampingan untuk meningkatkan cakupan imunisasi.
6. Meningkatkan cakupan imunisasi rutin polio (bOPV dan IPV)
dengan melakukan imunisasi kejar sampai tingkat desa
melibatkan TOGA, TOMA, PKK dan kader setempat.
7. Melakukan upaya promosi kesehatan terpadu disetiap jenjang
tentang PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).

B. Kewaspadaan terjadinya KLB Campak-Rubella


1. Menemukan kasus suspek campak-rubela sebanyak-banyaknya
yang ditandai dengan gejala demam dan ruam segera diambil
sampel serum, dilakukan penyelidikan epidemologi dan dicatat
segera individual ke dalam form MR01. Bila ada tambahan
gejala batuk pilek dan konjungtivitis maka diambil sampel urine
atau swab tenggorok.
2. Semua suspek campak-rubela harus melakukan isolasi mandiri
selama minimal 7 hari dari tanggal rash tanpa menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium dan di pantau ketat oleh petugas
kesehatan setempat bekerja sama dengan aparat desa.
3. Semua suspek campak agar diberikan Vitamin A sebanyak 2x
(hari pertama dan kedua) untuk meminimalisir komplikasi pada
mata dan ditatalaksana sesuai menifestasi klinis.
4. Melakukan karantina pada semua kontak erat minimal 7 hari
setelah kontak terakhir dengan suspek/kasus campak.
5. Bila terdapat indikasi suspek KLB campak-rubela maka :
a. Dilakukan investigasi menyeluruh (fully investigasi, yaitu :
- Penyelidikan dari rumah ke rumah untuk mencari
kasus tambahan.
- Mencatat kasus secara individu (individual record)
menggunakan Form MR-01.
- Mengambil 10 spesimen serum dan 5 spesimen urin.
Jika kasus suspek campak-rubela tersebut < 10,
maka semua kasus diambil serumnya.
b. Melakukan pemetaan kelompok rentan seperti orang
lanjut usia < 12 bulan, ibu hammil terutama kehamilan
trimester pertama dan penderita penurunan kekebalan
serta jauhkan dari suspek atau kasus selama 2 minggu
sejak kasus timbul ruam/rash.
c. Melakukan pengambilan specimen pada ibu hamil
trimester 1 dan 2 di wilayah KLB suspek campak-rubela
yang merupakan kontak erat. Selanjutnya jika ada ibu
hamil dengan hasiil specimen positif rubella, diberikan
edukasi untuk memantau perkembangan janin secara
ketat melalui pemeriksaan ante natal care (ANC) sesuai
jadwal ke fasyankes setempat. Seerta melakukan
pemantauan /skrining mata (katarak) melalui tes refleks
fundus lebih dini untuk bayi yang akan lahir nantinya dari
ibu hamil pada masa KLB campak-rubela.
d. Bila Suspek KLB Campak-Rubela terbukti positif dengan
minimal ada 2 spesimen denhan hasil positif campak
atau rubella maka dilakukan Outbreak Respon
Immunizetion (ORI) sesuai pedoman Surveilans
Campak-Rubela tahun 2020

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.
6. Kasus campak dengan klinis ringan tidak perlu
mendapatkan perawatan rumah sakit, tetapi dapat dirawat
dirumah dengan protokol kesehatan ketat dan dipantau oleh
bidan/perawat desa, termasuk membatasi mobilitas selama
7 hari.
7. Kasus campak dengan kondisi berat seperti sesak nafas
(pneumoniae), diare berat, radang selaput otak perlu
tatalaksana rumah sakit dengan perawatan intensif secara
isolasi untuk mencegah penularan nosokomial.
8. Melakukan pemetaan daerah kantong terutama cakupan
imunisasi campak-rubela (MR) rutin yang rendah serta
melakukan pemantauan ketat kemungkinan terjadinya
kasus dan melakukan pendampingan untuk meningkatkan
cakupan imunisasi.
9. Meningkatkan cakupan imunisasi MR yang tinggi dan
merata sampai tingkat desa dengan cakupan minimal 95%
serta meningkatkan kualitas pelayanan imunisasi melalui
motifasi sosial melibatkan TOGA, TOMA, PKK, dan kader
setempat.
10. Melakukan upaya penguatan manajemen vaksin rantai
dingin.
11. Melakukan edukasi masyarakat, tokoh masyarakat dan
tokoh agama mengenai :
- Bahaya serta komplikasi penyakit campak-rubela
- Pencegahan penyakit campak-rubela melalui
Imunisasi campak-rubela
- Menggunakan Fatwa MUI No 4 tahun 2016 (hal 7,
bab 2 butir 1&5) bagi masyarakat yang masih
menolak imunisasi karena isu halal/haram

C. KEWASPADAAN TERJADINYA KLB DIFTERI


1. Melaporkan setiap kasus dengan gejala adanya infeksi saluran
pernafasan atas dan adanya pseudomembran sebagai kasus
observasi difteri. Kasus dengan gejala faringitis, tonsilitis, taringitis,
trakeitis, atau kombinasinya disertai demam atau tanpa demam
dan pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah
berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi dilaporkan
sebagai kasus suspek difteri.
2. Setiap suspek difteri harus ditatalaksana secara adekuat dan
dirujuk ke rumah sakit sesuai protokol kesehatan difteri yang
tercantum pada buku Pedoman Surveilans Difteri tahun 2018 dari
Kementrian Kesehatan RI.
3. Setiap suspek difteri harus dilakukan penyelidikan epidemoligi
dalam waktu 2 x 24 jam untuk mencari kasus tambahan disekitar
suspek dan menentukan kontak erat.
4. Semua kontak erta agar diberikan profilaksis untuk memutus rantai
penularan dan diberikan tambahan imunisasi difteri melalui
screening untuk memberikan kekebalan terhadap kuman difteri.
5. Semua kontak erat harus membatasi mobilitas sampai selesai
minimum profilaksis terutama 2 hari pertama minum profilaksis dan
menggunakan masker bila terpaksa keluar rumah.
6. Melakukan pemetaan daerah kantong terutama cakupan imunisasi
difteri rutin yang rendah serta melakukan pemantauan ketat
kemungkinan terjadinya kasus dan melakukan pendampingan
untuk meningkatkan cakupan imunisasi.
7. Meningkatkan cakupan imunisasi difteri minimal 95% dengan
melakukan imunisasi kejar sampai tingkat desa melibatkan TOGA,
TOMA, PKK dan kader setempat.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.
8. Melakukan komunikasi resiko tentang difteri dan pencegahannya
terhadap masyarakat.

D. KEWASPADAAN TERJADINYA KLB PERTUSIS


1. Melaporkan semua kasus dengan gejala batuk terus menerus
(batuk paroksismus) yang berlangsung minimal 2 minggu dengan
ditentukan minimal 1 tanda berikut :
a. Batuk renjan pada saat inspirasi atau napas dalam (inspiratory
whoop)
b. Muntah setelah batuk (post-tussive vomiting)
c. Muntah tanpa ada sebab yang jelas atau kasus apneu (berhenti
nafas) dengan atau tanpa sianosis pada anak usia, atau jika
dokter menduga pertussis pada pasien dengan batuk tanpa
ada batasan durasi.
2. Setiap suspek pertussis harus ditatalaksana secara adekuat dan di
rujuk ke rumah sakit sesuai protokol tatalaksana pertussis yang
tercantum pada buku Petunjuk Teknis Surveilans Pertusis tahun
2021 dari Kementrian Kesehatan RI
3. Mengidentifikasi dan mencatat status imunisasi DPT-HB-Hib yang
tidak/belum lengkap maka harus dijadwalkan untuk segera
dilengkapi.
4. Bila usia < 1 tahun, diberikan/lengkapi imunisasi DPT-HB-Hib
hingga 3 dosis dengan interval minimal 1 bulan antar dosis
kemudian pastikan pada usia 18 bulan atau pada interval minimal
12 bulan setelah dosis ketiga diberikan 1 dosis imunisasi lanjutan;
bila usia ≥1 tahun maka dilengkapi 4 dosis imunisasi dengan
interval dosis pertama dan kedua adalah 4 minggu, interval dosis
kedua dan ketiga adalah 6 bulan dan interval dosis ketiga dan
keempat adalah 12 bulan.
5. Melakukan pemetaan daerah kantong terutama cakupan imunisasi
pertussis rutin yang rendah serta melakukan pemantauan ketat
kemungkinan terjadinya kasus dan melakukan pendampingan
untuk meningkatkan cakupan imunisasi.
6. Melakukan monitoring kepada kontak untuk melihat tanda dan
gejala pertusis selama 12 hari.

E. PERAN RUMAH SAKIT DALAM KEWASPADAAN PD3I


1. Melaporkan semua kasus dengan gejala demam dan ruam
sebagai suspek campak-rubela.
2. Rumah sakit agar menelusuri setiap kasus atau kematian yang
disebabkan oleh bronchopneumonia, diare, ensefalitis, dan lainnya
yang merupakan salah satu komplikasi dari penyakit campak jika
merupakan komplikasi dari penyakit campaj maka, kasus tersebut
harus dicatat dan dilaporkan sebagai kasus campak.
3. Melaporkan semua kasus dengan gejala adanya infeksi saluran
pernafasan atas dan adanya pseudomembran sebagai kasus
observasi difteri. Kasus dengan gejala faringitis, tonsilitis, trakeitis,
atau kombinasinya disetai demam atai tanpa demam dan adanya
pseudomembran putih kebau-abuan yang sulit dilepas, mudah
berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi dilaporkan
sebagai kasus suspek difteri.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.
4. Melaporkan semua kasus PD3I kepada petugas surveilans
kab/kota setempat (terlampir) sesegera mungkin dalam waktu 1 x
24 jam serta melakukan pengambilan spesimen sesuai petunjuk
teknis yang berlaku.
5. Memberikan kemudahan akses bagi petugas surveilans dinas
kesehatan setempat saat melaksanakan tugas melalui kegiatan
Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) dan mendukung permintaan
data berdasarkan kode ICD X saat melaksanakan Hospital Record
Review (HRR)
6. Membantu tim surveilans PD3I tingkat rumah sakit.
7. Menindaklanjuti surat dari Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor
YR.01.03/111.1/3295/2022 perihal : Penyampaian Pelaksanaan
surveilans AFP rumah sakit yaitu dengan melaporkan semua
kasus dengan gejala lumpuh, layuh, dan sifatnya mendadak bukan
karena ruda paksa sebagai kasus AFP.

Demikian penyampaian kami, mohon dijadikan sebagai pedoman. Atas


perhatian dan Kerjasama yang baik kami sampaikan terima kasih.

KEPALA DINAS KESEHATAN

Dr. FENNY APRIDAWATI, S. KM. M. Kes


Pembina Utama Muda
NIP.196804131991032010

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.
Lampiran Surat Nomor : 443.33/8215/438.5.2/2022

NO. ICD 10 DIAGNOSIS of Diseases with Accute Flaccid Paralysis (AFP) →


ANAK USIA <15 TAHUN
1 G. 54 Nerve root and plexus disorder
2 G. 56 Mononeuropathies of upper limb
3 G. 57 Mononeuropathies of lower limb
G. 61 Inflamatory Polyneuropathy
4 G. 61.0 Guillain - Barre Syndrome
5 G. 61.8 Other Inflamatory Polyneuropathy
G. 62 Other Polyneuropathies
6 G. 62.0 Drug - induce
Polyneuropathy
7 G. 62.1 Alcoholic Polyneuropathy
8 G. 62.2 Polyneuropathy due to other toxic agents
9 G. 62.8 Radiation - induce Polyneuropathy
10 G. 62.9 Polyneuropathy, unspecified
G. 63 Polyneuropathy in diseases clssified
11 G. 63.0 Polyneuropathy in infectious and parasitic diseases
Diptheria
Lyme disease
Mumps
Posterpetic
G. 70 - 73 Diseases of Myoneural junction annd muscle
12 G. 70.0 Myasthenia gravis
13 G. 70.1 Toxic Myoneural disorders
G. 71 Primary disorders of muscle
14 G. 71.0 Muscular dystrophy
(Autosomal ressive, Becker,
Duchenne)
G. 72 Other Myopathies
15 G. 72.0 Drug - induce Myopathy
16 G. 72.1 Alcoholic
Myopathy
17 G. 72.3 Periodic Paralysis
Hyperkalaemic
Hypokalaemic
Myotonic
Normokalaemic
18 G. 72.4 Inflamatory Myopathy
19 G. 72.8 Other Specipied Myopathies
20 G. 72.9 Myopathyb
G. 73 Disorders of Myoneural junction and muscle in diseases classified
21 G. 73.4 Myopathy in infectious and parasitic diseases classified
22 G. 73.5 Myopathy in endocrine diseases
Hyperparathyroidism
Hypoparathyroidism
(Thyrotoxic Myopathy)
23 G. 73.6 Myopathy in Metabolic diseases
Glycogen storage diseases
Lipid storage disorders
24 G. 73.7 Myopathy on other diseases classified
Rheumatoid arthritis
Scleroderma
Sicca syndrome
Systemic Lupus Erythematosus
G. 81 Hemiplegia
25 G. 81.0 Flaccid Hemiplegia
G. 82 Paraplegia and Tetraplegia
26 G. 82.0 Flaccid Paraplegia
27 G. 82.3 Flaccid Tetraplegia
G. 83 Other Paralytic Syndrome
28 G. 83.0 Diplegia of Upper Limbs
29 G. 83.1 Monoplegia of Lower Limb
30 G. 83.2 Monoplegia of Upper Limb
OTHERS
31 Myelitis Transversa
32 Neuritis Traumatic
33 Myelopathy
34 A.80 Acute Poliomyelitis
A80.0 Acute paralytic poliomyelitis, vaccine-associated
A80.1 Acute paralytic poliomyelitis, wild virus, imported
A80.2 Acute paralytic poliomyelitis, wild virus, indigenous
A80.3 Acute paralytic poliomyelitis, other and unspecified
A80.30 Acute paralytic poliomyelitis, unspecified

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.
A80.39 Other acute paralytic poliomyelitis
A80.4 Acute nonparalytic poliomyelitis
A80.9 Acute poliomyelitis, unspecified

NO. ICD 10 DD/ UNTUK SUSPEK CAMPAK

VIRUS
B05 Measles/Morbilli
B05.0 Measles complicated by
encephalitis
B05.0 Measles complicated by meningitis
1
B05.0 Measles complicated by
2 pneumonia
B05.3 Measles complicated by otitis
media
H67.1 Otitis Media
B05.4 Measles with intestinal
complications
B05.8 Measles with other complications
H19.2 Measles keratitis and
keratoconjunctiviti
B05.9 Measles without
complication

B06 Rubella
B06.0 Rubella with neurological
complications
G05.1 Encephalitis
G02.0 Meningitis
G05.1 Meningoencephalitis
B06.8 Rubella with other
complications
M01.4 Arthrit
is
J17.1 Pneumonia
B06.9 Rubella without
complication

B08.2 Roseola (HHV-6)

B27.90 Epstein-Barr virus

B34.0 Adenovirus

B34.3 Fifth disease (parvovirus)

B16 Hepatitis B virus (popular acrodermatitis)

B20 HIV

A90 Dengue virus

BAKTERI
J15.7 Mycoplasma pneumoniae

A38 Group A Streptococcus (Scarlett fever)

B96. 89 Arcanobacterium hemolyticus

A51.4 Secondary syphillis

A27 Leptospirosis

B96.5 Pseudomonas

A39 Meningococcal infection (early)

A02.9 Salmonella

A69.2 Lyme disease

A32 Listeria monocytogenes

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.
RICKETTSIA
A77.0 Early Rocky Mountain spotted fever

A75.2 Typhus

A77.4 Ehrlichiosis

LAINNYA
M30.3 Kawasaki Disease

B38 Coccidioides immitis

KEPALA DINAS KESEHATAN

Dr. FENNY APRIDAWATI, S. KM. M. Kes


Pembina Utama Muda
NIP. 196804131991032010

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh BSrE sesuai dengan Undang
Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tandatangan secara elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah.

Anda mungkin juga menyukai