Tahajud Cinta Rania
Tahajud Cinta Rania
Diterbitkan oleh:
KMO Indonesia
Alamat : Jl. Sultan Ageng Tirtayasa Graha Rorocantik
Blok C 18 Talun Cirebon
No. Telp/HP : 082216620246
Email : cvkmoindonesia@gmail.com
ISBN : 978-623-91616-9-9
Daftar Isi
1- Lantunan dari Surga –– 1
2- Sang Pemilik Alunan –– 15
3-Namanya ... Ustadz –– 27
4- Menemukanmu –– 41
5- Debar Menggoda –– 53
6- Tak Ada yang Abadi –– 65
7- Rasa Kian Bersemi –– 81
8- Meredam Hasrat –– 99
9- Harus Berpisah –– 115
10- Pudar –– 131
11- Bermain Api –– 149
12- Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali –– 167
13- Taaruf –– 183
14- Kegagalan Pertama –– 195
15- Yusuf dan Zulaikha –– 213
16- Hati yang Raja’ –– 229
17- Jawaban Sujud Panjang –– 241
18- Tahajud Cinta –– 257
Extra Part- Perjalanan Panjang –– 277
~v~
Tuturan bagai buluh
perindu. Ia tidak akan
pernah melupakan
suara itu. Indah.
Bagai lantunan dari surga.
Lantunan
1-
dari Surga
Tahun 1996.
~1~
Rania
~2~
Lantunan dari Surga
~3~
Rania
~4~
Lantunan dari Surga
~5~
Rania
~6~
Lantunan dari Surga
~7~
Rania
~8~
Lantunan dari Surga
~9~
Rania
~ 10 ~
Lantunan dari Surga
~ 11 ~
Rania
~ 12 ~
Lantunan dari Surga
nyipit.
Rania hendak mengangguk, tetapi ragu. “Nggg …
nggak tahu, deh.”
“Gimana kalau kita tanya sama Mbak Nisa aja?” usul Ziya
seraya melongok ke bagian belakang bus, mencari Nisa.
“Ih, apaan, sih!” Rania menarik lengan Ziya, mencegah
dari melakukan sesuatu yang bisa membuatnya malu.
“Nggak usah,” elak Rania. Nisa adalah senior mereka di
keputrian rohis kampus.
Ziya mendengus. “Yakin nggak mau tahu?”
Rania tersenyum simpul. Ia kembali menatap gerimis
yang berubah menjadi deras melalui jendela. Dingin, ia
merapatkan jaket. Benaknya mendidik diri, bersyukur atas
tiga hari yang indah, bersyukur atas banyaknya ilmu yang
didapat dalam daurah ini, bersyukur atas Tahajjud yang
syahdu.
Walaupun kepergian ini melahirkan misteri. Sekarang ia
belum tahu siapa pemilik suara, tetapi suatu hari pasti akan
bertemu. Entah kenapa hatinya seyakin itu. Subhanallah,
istighfar, Ran, batinnya.
~ 13 ~
Kata orang first love
never die, apakah itu yang
tengah terjadi padanya
saat ini?
2- Sang Pemilik
Alunan
~ 15 ~
Rania
~ 16 ~
Sang Pemilik Alunan
~ 17 ~
Rania
~ 18 ~
Sang Pemilik Alunan
~ 19 ~
Rania
berang.
Dari balik helm, netranya menangkap seorang perem-
puan berhijab panjang sedang menyeberangi jalan. Tiba-
tiba memorinya kembali ke beberapa waktu yang lalu.
Ketika awal semester.
Saat itu mahasiswa baru selesai mengikuti penataran
P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
di auditorium kampus. Ia sedang berada di dekat sana,
hendak menuju kantin. Seperti biasa, ketika berjalan
pandangan lurus ke hadapan, menjaga mata.
Entah apa yang membuatnya mendongak, dan tanpa
sengaja pandangannya tertumbuk pada seorang akhwat
berwajah salju dengan mata sedikit sipit. Mungkin bukan
sipit, akhwat itu sedang tersenyum pada teman di samping
sehingga membuat netranya mengecil. Hanya beberapa
detik, tetapi tidak dipungkiri membuatnya terpaku sesaat.
Cantik. Itu yang terlintas dalam benak. Alis berbaris rapi
dengan hidung mungil dan pipi kemerahan. Waktu terasa
terhenti. Wajah belia sang akhwat terekam hingga ke
sukma.
Cepat ia tersadar, berpaling dan melanjutkan langkah.
Sejak itu ia berikrar dalam hati, harus menjauh dari akhwat
yang satu ini bila tidak ingin mendapatkan masalah di
kemudian hari. Bagi Hanif, perempuan berhijab putih itu
terlalu jelita. Jika ada seseorang yang bisa menggoda,
nampaknya hanya akhwat itu.
~ 20 ~
Sang Pemilik Alunan
~ 21 ~
Rania
Hari ini aku seneng banget bisa ketemu sama Mbak Nisa.
Masya Allah, baik banget orangnya. Mbak Nisa itu ketua
keputrian rohis di FMIPA, keren ya. Mbak ngajakin aku sama
~ 22 ~
Sang Pemilik Alunan
Semangat Rania!
~ 23 ~
Rania
~ 24 ~
Jemari Rania berhenti.
Ia menarik napas
panjang. Apa perlu ia
mencari tahu?
Hanif mendongak.
Pada saat yang
bersamaan, Rania
melakukan hal serupa.
Pandangan mereka
bertemu. Hanya satu
detik.
3 -Namanya ...
Ustadz
Tahun 1997.
“Rania!”
Kepala perempuan berkerudung gading itu menoleh
ke asal suara. Rio, pasangan lab di praktikum Kimia Dasar
II, duduk dua bangku di belakangnya. “Apa?” tanya Rania
nyaris tidak terdengar, tetapi ia yakin Rio bisa membaca
gerak bibirnya.
“Laporan udah?”
Rania berdecak malas. Ia mengembalikan pandangan
ke hadapan seraya membereskan buku catatan. Kuliah baru
~ 27 ~
Rania
~ 28 ~
Namanya ... Ustadz
~ 29 ~
Rania
~ 30 ~
Namanya ... Ustadz
~ 31 ~
Rania
~ 32 ~
Namanya ... Ustadz
~ 33 ~
Rania
~ 34 ~
Namanya ... Ustadz
~ 35 ~
Rania
~ 36 ~
Namanya ... Ustadz
~ 37 ~
Rania
~ 38 ~
Namanya ... Ustadz
Ustadz.
~ 39 ~
Tak sabar,
ingin kembali
mendengarkan suara
imam dan bermunajat
kepada Sang Pemilik
Malam.
4- Menemukanmu
~ 41 ~
Rania
“Ran!”
“Eh, iya.” Rania gelagapan ketika Ziya memanggil.
Mengira sahabatnya itu tahu kalau ia sedang memperhatikan
seorang ikhwan.
“Bawa sabun sama sampo nggak?”
Rania bernapas lega. “Bawa, kenapa?”
“Pinjam, ya. Ana lupa.”
Rania mengangguk seraya menaiki tangga bus. Mereka
memilih tempat duduk di bagian depan. Ia kebagian di
dekat jendela. Ziya duduk di sampingnya.
Selama menunggu akhwat lain naik, Rania melayangkan
pandangan ke luar. Lagi-lagi matanya menangkap Hanif di
tengah ikhwan yang sedang naik bus.
“Ngeliatin apa, sih?” Ziya ikut melongok.
Rania menjengit. “Bu-bukan apa-apa.” Ia menoleh ke
sahabatnya itu seraya tersenyum canggung.
Ziya menatap penuh selidik. Dahinya sedikit berkerut.
“Apaan, sih?” Rania menyenggol bahu sahabatnya
pelan. Untunglah Nisa segera menyelamatkan. Ketua ke-
putrian rohis itu berbicara di depan dan memberikan peng-
umuman.
Pikiran Rania teralih, Nisa memberikan tausiah agar
peserta daurah meluruskan niat dan berharap agar daurah
kali ini membawa kebaikan dan manfaat. Terutama untuk
dakwah kampus.
~ 42 ~
Menemukanmu
~ 43 ~
Rania
rrahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh,”
jawab Rania lirih.
“Seperti yang Ukhti ketahui, ana dan anti ditugaskan
di divisi pembinaan, ana di ikhwan dan anti di akhwat,”
jelasnya. “Rapat kecil ini untuk membahas program internal.
Setelahnya anti bisa membawa hasil pertemuan ke akhwat
lain untuk didiskusikan.”
Rania mengangguk mengerti.
“Ini draft program yang sudah ana bikin untuk semes-
ter ini. Silakan bisa anti baca terlebih dulu.”
Selembar kertas melewati hijab bagian bawah. Rania
meraih kertas dan membacanya dalam hati.
“Bagaimana, Ukhti? Ada yang mau ditambahkan?”
Rania menggeleng. “Tidak. Insya Allah ana sepakat
dengan program yang Akhi buat.” Suaranya lebih rileks.
“Baik, kalau begitu kita bahas per program.”
“Baik.”
Selama hampir satu jam ke depan mereka membahas
detail. Pikiran berbalas Pikiran. Ide ditumpahkan merancang
strategi dakwah ke depan.
“Ana pikir cukup dulu untuk hari ini. Insya Allah dua
pekan lagi kita kembali rapat untuk evaluasi.”
“Insya Allah.”
“Baiklah. Kita tutup dengan mengucap hamdalah,
~ 44 ~
Menemukanmu
~ 45 ~
Rania
~ 46 ~
Menemukanmu
~ 47 ~
Rania
~ 48 ~
Menemukanmu
~ 49 ~
Rania
~ 50 ~
Tidak dipungkiri, raut
mungil Rania
terbayang selama
rapat tadi.
Sering berkomunikasi
berdua dalam rapat
menimbulkan getaran
lain. Setiap pertemuan
menjadi hal yang
ditunggu.
5- Debar Menggoda
Tahun 1998.
~ 53 ~
Rania
~ 54 ~
Debar Menggoda
~ 55 ~
Rania
~ 56 ~
Debar Menggoda
~ 57 ~
Rania
~ 58 ~
Debar Menggoda
~ 59 ~
Rania
~ 60 ~
Debar Menggoda
bayangkannya.
Hanif tertawa kecil. “Iya, kalau dia menemukan uang di
cucian baju ana, maka itu menjadi miliknya.” Ia mendapat
uang saku dari mengajar privat, senang bisa berbagi
dengan adik-adiknya.
Rania terkesiap mendengar tawa dari ujung sana.
Hampir tidak pernah ia mendengar gurau dari Hanif. Ia
menyukai renyah suara barusan.
“Habibah bertemu dengan siapa saja di kampus?”
“Ada beberapa akhwat di mushalla.” Ketika itu ada Ziya
dan akhwat lain di sana. Mereka ngobrol bareng. Sepulang
Habibah, Ziya malah menginterogasi.
“Kenapa harus anti?” tanya Ziya setelah Rania men-
jelaskan keberadaan Habibah di sana.
Rania tidak punya alasan yang tepat. “Mungkin karena
dia tidak banyak kenal dengan akhwat di kampus,” kilahnya.
“Jadi dia minta tolong ke ana.”
Ziya menarik napas pelan. “Bukan karena ada apa-apa
antara anti dan dia?”
Rania tidak menjawab. Ia sendiri tidak pasti.
“Anti masih menyukai dia?”
Rania memang tidak bisa menyimpan rahasia. Ia sering
mencurahkan isi hati kepada sahabatnya itu. Termasuk
perihal Hanif.
“Anti tahu, kan, kalau ini tidak benar?” cecar Ziya. Ia
~ 61 ~
Rania
~ 62 ~
Debar Menggoda
~ 63 ~
Rania terkesiap
mendengar tawa dari
ujung sana, Ia menyukai
renyah suara barusan.
6- Tak Ada yang
Abadi
Mei 1998.
~ 65 ~
Rania
~ 66 ~
Tak Ada yang Abadi
~ 67 ~
Rania
~ 68 ~
Tak Ada yang Abadi
~ 69 ~
Rania
~ 70 ~
Tak Ada yang Abadi
~ 71 ~
Rania
~ 72 ~
Tak Ada yang Abadi
~ 73 ~
Rania
~ 74 ~
Tak Ada yang Abadi
~ 75 ~
Rania
~ 76 ~
Tak Ada yang Abadi
21 Mei 1998.
~ 77 ~
Rania
~ 78 ~
Hanif memacu Khalid
ke parkiran gedung. Tiba-
tiba ia teringat Rania
Dirinya hanyut.
Bagai orang yang tengah
mabuk cinta.
7- Rasa Kian
Bersemi
~ 81 ~
Rania
~ 82 ~
Rasa Kian Bersemi
akhwat.”
“Baik.”
Selama pelaksanaan daurah di MIPA, keuangan selalu
surplus. Bukan berarti kepanitiaan punya banyak dana,
tetapi rasa tawakal bahwa selalu ada rezeki yang disiapkan
Allah, manakala membela agama-Nya. Hal itu tertanam
kuat di hati para kader dakwah. Ada saja donasi yang
masuk. Lebih seringnya menjelang waktu pelaksanaan.
“Untuk Tahajjud, Ukhti ada usulan?”
Rania menerawang, mengingat malam dingin dengan
hiasan surat Ar-Rahman. Malam penuh tangisan yang
tak akan pernah terlupakan. Malam itu juga yang meng-
kristalkan hati Rania untuk serius berdakwah.“Yang menjadi
imam bukan Akhi?”
“Bukan ana. Sebaiknya yang lain, untuk kaderisasi,”
jawab Hanif datar.
“Kalau boleh ana usul, untuk daurah kali ini masih Akhi.
Tahajjud menjadi salah satu sisi penting daurah. Beberapa
akhwat memberikan masukan, imam yang selama ini
dikader belum ada yang seperti Akhi.” Rania merasakan
debar tak teratur saat mengajukan usul itu. Agak sedikit
menyesal, kenapa dia mengatakan hal barusan. Di lubuk
hati, sebenarnya itu adalah harapan pribadinya, ia ingin
mendengarkan bacaan Hanif.
Hanif terdiam lama membuat Rania mengutuk dirinya,
takut kata-katanya salah.
~ 83 ~
Rania
~ 84 ~
Rasa Kian Bersemi
~ 85 ~
Rania
~ 86 ~
Rasa Kian Bersemi
~ 87 ~
Rania
~ 88 ~
Rasa Kian Bersemi
~ 89 ~
Rania
~ 90 ~
Rasa Kian Bersemi
~ 91 ~
Rania
~ 92 ~
Rasa Kian Bersemi
~ 93 ~
Rania
“Ran! Rania!”
Rania menoleh dan mendapati Ziya sedang berjalan
cepat ke arahnya. Koridor kampus yang cukup ramai
~ 94 ~
Rasa Kian Bersemi
~ 95 ~
Rania
~ 96 ~
Ia masih berharap
Hanif kembali seperti
dulu. Namun harapannya
mulai memudar. Hanif
memang sudah berubah.
Saat Rania masuk,
entah cahaya apa yang
mengiringi akhwat itu.
Rania begitu memesona
di mata Hanif, terasa
ada semburat sinar
mengelilingi. Apakah itu
pengaruh gegar otak yang
dialaminya?
8- Meredam Hasrat
~ 99 ~
Rania
~ 100 ~
Meredam Hasrat
~ 101 ~
Rania
~ 102 ~
Meredam Hasrat
~ 103 ~
Rania
~ 104 ~
Meredam Hasrat
~ 105 ~
Rania
~ 106 ~
Meredam Hasrat
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Sedang sibuk, Ukhti.”
“Nggak, baru selesai tilawah.”
“Ooo.” Setelah Subuh, Hanif kembali mengabsen
Rania lewat telepon. Sudah satu bulan sejak kecelakaan
itu terjadi, ia masih harus bed rest selama beberapa bulan
untuk pemulihan. Ia tidak pernah ke kampus. Tidak juga ke
kosan. Hanya Rania yang ia jadikan penyambung informasi.
~ 107 ~
Rania
~ 108 ~
Meredam Hasrat
lidik
“Tiga bulan”
“Ooo … berarti pas satu bulan menjelang daurah. Insya
Allah masih ada waktu.”
“Amin.”
“Oya, Akhi, ada permintaan dari akhwat, Tahajjud-nya
jangan kelamaan. Jangan sampai kejadian Ramadhan
kemarin terulang.” Rania masih bisa mengingat dengan
jelas peristiwa itu.
Waktu sudah tinggal dua puluh menit menjelang azan
Subuh, tetapi Hanif masih belum menunjukkan tanda akan
mengakhiri Tahajjud. Rania sudah tidak konsentrasi. Di
barisan jamaah akhwat, ia memikirkan sahur yang masih
harus disiapkan.
Lima belas menit menjelang azan, Tahajjud berakhir,
ia dan akhwat yang bertugas di konsumsi bergegas mem-
bagikan sahur di bagian belakang masjid.
Semua serba terburu-buru. Berkejaran dengan waktu.
Rania sendiri baru bisa makan lima menit menjelang. Ketika
sedang menikmati sahur, peringatan waktu azan Subuh
diumumkan. Satu menit lagi. Ia mengunyah cepat dan
minum sebanyak yang ia bisa.
Allah. Dengan sedih Rania menatap piring yang baru
habis sebagian.
“Mbak … masih kepingin makan, tapi sudah azan,”
~ 109 ~
Rania
~ 110 ~
Meredam Hasrat
~ 111 ~
Rania
“Ya Rabb, aku ingin kembali menata hati. Aku nggak mau
mengenang seseorang yang aku coba lupakan. Mulai saat
ini aku ber-azzam untuk menyibukkan diri dengan aktivitas
kuliah, praktikum, dakwah, mengajar, kajian, memperbanyak
amalan sunah, dan memperbaiki amalan wajib. Aku nggak
mau ada waktu luang dan menjadi peluang bagi setan untuk
masuk menggoda. Aku mau memperbaiki niat, melakukan
semua karena Allah. Untuk Allah. Doakan aku bisa melalui
semua ini dengan baik.”
~ 112 ~
Rania menarik
napas, apakah ia bisa
melepaskan diri dari
Hanif?
Hanif tidak terlalu
fokus dengan rapat yang
berlangsung. Ia sibuk
menghirup wangi yang
keluar dari lisan Rania.
Seperti inikah
harum surga?
9- Harus Berpisah
~ 115 ~
Rania
~ 116 ~
Harus Berpisah
~ 117 ~
Rania
Apa maksudnya?
Rania kembali membaca tulisan tangan yang rapi itu.
Mencoba memahami.
Hanif tidak mau ia dekat dengan laki-laki? Memangnya
kapan ia pernah akrab dengan mahasiswa di kampus?
Perlakuannya ke teman-temannya biasa saja. Tidak ada
yang istimewa. Ia hanya bersikap sewajarnya. Tidak juga
mencari perhatian atau menggoda. Ia datang terlambat
dan duduk di samping teman laki-laki karena hanya ini
satu-satunya kursi yang kosong.
Sikap yang aneh. Masa hanya karena sebab ini ikhwan
itu mengirimkan teguran?
Apakah ia perlu menanyakan hal tersebut ke Hanif?
Namun untuk apa? Sebaiknya tidak, toh ia sedang berusaha
menjaga jarak dari kakak tingkatnya itu. Tekadnya sudah
jelas. Ia tidak mau lagi terjangkiti penyakit hati yang bisa
membuat ibadahnya terganggu, juga niatnya dalam
berdakwah di kampus.
Cukup sudah hatinya terombang-ambing tidak jelas
~ 118 ~
Harus Berpisah
~ 119 ~
Rania
~ 120 ~
Harus Berpisah
~ 121 ~
Rania
~ 122 ~
Harus Berpisah
disampaikan Hanif.
“Anti tahu, kan, tidak ada pacaran dalam Islam?” tanya
Nisa hati-hati dan santun.
Rania mengangguk.
“Tidak juga mengikat janji sebelum waktunya?”
Rania kembali mengangguk. Beberapa ikhwan dan
akhwat tidak jarang saling mengikat janji, mereka akan
menikah beberapa tahun lagi. Selama waktu tunggu saling
tidak berinteraksi. Bila ada lamaran lain yang datang akan
ditolak. Sampai sang ikhwan datang melamar. Namun,
terkadang dalam proses tidaklah semulus rencana. Bebe-
rapa kasus, ikhwan tidak kunjung datang, malah menikah
dengan akhwat lain. Akhirnya, sang akhwat harus menderita
perasaannya.
Kasus lain yang sering terjadi akhirnya berkhalwat di
tempat umum, berkhalwat di telepon, atau berkhalwat
lewat SMS.
Sebenarnya ini adalah masalah hati. Bagaimana men-
jaga agar tidak terkotori dengan cinta selain kepada-Nya.
Rasa yang berpotensi kepada maksiat. Seusia Hanif dan
Rania, rasa cinta mulai liar mencari-cari. Risiko selalu ada bila
berpasangan dalam kerja dakwah. Namun sistem ini sudah
berjalan lama dan berhasil mengajak banyak mahasiswa
kepada kebaikan. Akhirnya metode tetap berjalan, tinggal
bagaimana masing-masing menjaga hati.
“Hubungan apa yang terjalin antara anti dengan Hanif?”
~ 123 ~
Rania
~ 124 ~
Harus Berpisah
mana saja.
“Jangan kotori niat mulia kita untuk membantu agama
Allah dengan urusan remeh seperti saling suka, yang nan-
tinya berujung maksiat. Perbaiki niat. Perbaiki hati. Perbaiki
diri. Allah tidak mungkin salah penilaian-Nya.
“Mungkin bagi kita saat ini dia yang terbaik. Padahal
belum tentu demikian. Allah lebih tahu mana yang terbaik
untuk kita. Allah sudah menyiapkan pada waktunya nanti.
Jadi tidak perlu risau. Kalau memang sudah jodoh, insya
Allah akan Allah pertemukan.”
Air mata Rania tumpah, membasahi jilbab ungu kesu-
kaannya. Sejujurnya ia tak tahu kenapa air matanya meng-
alir. Apakah memang sudah dalam rasa untuk Hanif? Ah,
tidak. Tangisan ini karena cintanya pada dakwah.
Ia meresapi semua tausiah Nisa sepenuh hati. Ia me-
mang sangat lemah. Imannya tidak sebanding para saha-
biyah yang teguh kukuh. Sedikit tergelincir, ia bisa masuk
dalam perangkap setan.
“Untuk Hanif nanti biar Mbak yang ngomong. Besok
Mbak bicarakan di syuro’ rohis tentang kepindahan anti.”
Rania mengangguk. Ia patuh dengan gurunya. Insya
Allah ini yang terbaik.
“Baik. Ada lagi yang ingin anti ceritakan?”
“Nggak Mbak. Doakan saja ana bisa tetap istiqomah.”
“Insya Allah selalu Mbak doakan.”
~ 125 ~
Rania
~ 126 ~
Harus Berpisah
~ 127 ~
Rania
lewat telepon?”
Hanif terdiam. Apakah ia sanggup?
“Akhi buktikan ke diri Akhi sendiri, apakah selama ini
niat Akhi ikhlas karena Allah, atau karena makhluk?” tan-
tang Nisa. “Apa yang Akhi mau jawab jika Allah murka,
aktivitas dakwah-Nya dicampur dengan cinta yang tidak
halal? Apa yang Akhi mau jawab jika Nabi ada di hadapan
Akhi sekarang. Kenapa ada aktivis dakwahnya yang
mengkhianati dakwah nabi-Nya? Kenapa tega berbuat
seperti itu pada Nabi antum sendiri?
“Akhi, satu hati terlalu sempit untuk menyimpan dua
cinta. Hanya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang akan
mengantarkan ke surga-Nya. Sementara cinta manusia yang
belum waktunya, akan mengantarkan antum ke mana?”
Hanif terpekur. Perkataan Nisa yang bertubi-tubi me-
nohoknya sangat dalam. Ia tidak punya argumen untuk
menentang. Air mata Hanif menggenang, bercampur rasa
malu, takut siksa Allah dan takut kehilangan Rania. Begi-
nikah rasanya putus cinta?
~ 128 ~
“Ana akui, ana memang
menyukai Rania, tapi
tidak pernah ana
ceritakan kepada yang
lain. Saat ana sampaikan
suka dalam rapat tempo
hari, itu keceplosan …”
Sakit itu
bernama rindu.
10- Pudar
Tahun 1999
Sakit itu bernama rindu. Iya, rindu. Apa obat bagi orang
yang sedang dilanda kerinduan yang amat sangat?
Hanif membiarkan dirinya larut. Ia hampir lelah terus
menerus berdebat dengan hatinya. Dijauhkan dari Rania
tidak menyelesaikan masalah. Malah menimbulkan per-
soalan baru.
Rasa sakit yang ia tidak punya penawarnya. Sakit
menahan rindu. Tidak pernah terpikirkan akan seperti ini
~ 131 ~
Rania
~ 132 ~
Pudar
~ 133 ~
Rania
~ 134 ~
Pudar
~ 135 ~
Rania
~ 136 ~
Pudar
~ 137 ~
Rania
~ 138 ~
Pudar
~ 139 ~
Rania
~ 140 ~
Pudar
~ 141 ~
Rania
~ 142 ~
Pudar
~ 143 ~
Rania
~ 144 ~
Pudar
~ 145 ~
Rania
~ 146 ~
Karena bukan waktu
puasa Senin dan Kamis,
hanya Hanif dan Rania
yang berbuka puasa di
masjid saat ini.
Ternyata Allah
masih menyisakan
kebersamaan, walau
dalam diam.
Mimi tersenyum
memperlihatkan lesung
pipi dan barisan gigi
yang putih. Napas Hanif
tertahan. Netranya
hampir tidak berkedip.
11- Bermain Api
Tahun 2000
~ 149 ~
Rania
~ 150 ~
Bermain Api
~ 151 ~
Rania
~ 152 ~
Bermain Api
~ 153 ~
Rania
~ 154 ~
Bermain Api
~ 155 ~
Rania
~ 156 ~
Bermain Api
~ 157 ~
Rania
~ 158 ~
Bermain Api
“Wa’alaikumussalam.”
Hanif mematikan sambungan telepon seraya mena-
rik napas pendek. Insya Allah ini usahanya untuk meng-
genapkan separuh dien. Mimi sepertinya perempuan baik.
Tutur katanya santun. Perihal belum menutup aurat, ia
yakin bisa meminta Mimi untuk berjilbab bila waktunya
nanti mereka jadi menikah.
Pukul setengah tujuh, selesai shalat Magrib, Hanif ber-
pamitan pulang dengan teman-teman kantor. Ia menaiki
bus ke arah Blok M, tempat Mimi bekerja.
“Sudah selesai?” tanya Hanif ketika menemukan Mimi
sudah siap di depan gedung tempat bekerja.
“Sudah.” Bibir merah jambunya terangkat sedikit ke
atas. Bibir itu tipis. Hanif memperhatikan sedikit.
Mimi memperbaiki tali tas yang sedikit turun dari bahu.
“Kita mau ke mana?”
“Makan dulu, yuk. Baru pulang,” ajak Hanif.
Rambut lurus Mimi bergoyang sedikit ketika ia meng-
angguk malu-malu.
Hanif memilih tempat tidak jauh dari sana. Ada food
court yang menjual aneka jenis masakan khas daerah.
“Lagi sibuk, ya?” Hanif membuka pembicaraan. Ia sudah
memesan makanan, tinggal menunggu datang.
“Ya … gitu deh. Setiap hari ada aja kerjaan.” Mimi mema-
inkan jemari di atas meja. Ia canggung karena pertama
~ 159 ~
Rania
~ 160 ~
Bermain Api
~ 161 ~
Rania
~ 162 ~
Bermain Api
~ 163 ~
Rania
~ 164 ~
Hanif menaikkan alisnya.
Apakah Heri mengetahui isi
hatinya untuk Rania dulu?
Sekeras apa pun ia
melupakan Rania,
selalu ada nama
akhwat itu di sisi hatinya.
Menetap dan tidak
akan pergi.
12-Jiwa-Jiwa
Menyatukan
Kembali
“Dan bersabarlah dalam menunggu
ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu
berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah
dengan memuji Rabb-mu ketika kamu bangun
berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada be-
berapa saat di malam hari dan waktu terbenam
bintang-bintang (di waktu fajar).”
[Ath-Thuur/52: 48-49]
~ 167 ~
Rania
~ 168 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali
~ 169 ~
Rania
~ 170 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali
~ 171 ~
Rania
~ 172 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali
terangkat. “Masa?”
“Yah … aku juga dapat bocoran, sih.”
Mata Rania melebar. Tahu dari mana Heri? “Siapa?”
“Jadi bener dong?” Heri tidak menjawab pertanyaan
Rania. “Apa gara-gara itu juga kamu pindah divisi?”
Rania mati kutu.
“Menurut aku nggak salah kok suka sama seseorang.
Apalagi Hanif ikhwan berkualitas. Iya, kan?” pancing Heri.
Rania tersenyum kecil. Sejak dulu ia memang kagum
dengan Hanif. Ide-idenya untuk dakwah kampus begitu
brilian. Dari sana ia mulai memperhatikan ikhwan itu dan
jatuh hati. Apalagi Hanif begitu menjaga diri, membuatnya
hanya berani melihat dari jauh.
Rania tidak merasa sebanding dengan Hanif. Baginya
Hanif terlalu tinggi untuk dijangkau. Ketika Hanif mem-
berikan perhatian lebih padanya, ia terbuai. Merasa ber-
harga karena mendapat apa yang tidak didapat akhwat lain
dari Hanif.
“Kamu nggak lagi taaruf sama siapa pun, kan?” tanya
Heri lagi.
Rania menggeleng.
“Kenapa nggak sama Hanif aja?”
Mata Rania otomatis melebar. Apa! Nggak salah?
“Nggak ada salahnya dicoba, kan? Aku yakin Hanif juga
suka sama kamu.”
~ 173 ~
Rania
~ 174 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali
~ 175 ~
Rania
berikan ke kakaknya.
Hanif sebenarnya juga sudah meminta maaf pada Mimi,
tidak bisa melanjutkan hubungan mereka. Tapi nampaknya
Mimi belum terima. Biarlah Mimi marah padanya, ia tidak
mau khilaf lagi dan bermaksiat kepada Allah. Cukup sampai
di sini saja. Ia menutup lembaran suram dan melangkah ke
depan.
Sebagai langkah mencari jodoh, ia percayakan kepada
ustadz-nya.
“Bang, ini biodata ana. Ana percayakan sepenuhnya
kepada Bang Lukman.” Suatu hari ia berkunjung ke ustadz-
nya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Hanif memanggil
ustadz-nya dengan panggilang Abang.
“Antum yakin siap nikah?” tanya Ustadz Lukman.
“Insya Allah, Bang. Ternyata di dunia penerbitan juga
berat godaannya, Bang. Ana takut dosa, takut maksiat.”
“Alhamdulillah. Bagus, deh, kalo antum sadar. Ada
syarat khusus nggak?”
“Ana percaya pada pilihan Abang. Abang kan tahu ana,
insya Allah yang sekufu, Bang.”
Ustadz Lukman mengangguk. “Ya udah. Antum tunggu
aja. Kalau sudah dapat akhwatnya, nanti ana kabarin.”
“Jazakallah khair, Bang.”
“Waiyyaakum”
Semenjak hari itu, Hanif belum menerima satu biodata
~ 176 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali
~ 177 ~
Rania
~ 178 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali
~ 179 ~
Rania
~ 180 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali
~ 181 ~
Degup di jantungnya
bertambah cepat. Ia
terpaku menatap nanar
sebuah foto yang di
tempel di sudut lain. Ia
mengerjap beberapa kali,
memastikan netranya
tidak mengelabui,
13- Taaruf
~ 183 ~
Rania
~ 184 ~
Taaruf
~ 185 ~
Rania
“Assalamua’alaikum, Rania.”
“Wa’alaikumussalam. Iya, Mbak.”
“Anti sedang sibuk?”
“Biasa, Mbak. Sedang mengerjakan skripsi.”
“Alhamdulillah, gimana percobaannya?”
“Alhamdulillah sudah rampung, Mbak.” Kebetulan se-
kali Nisa menelepon, ia bisa mnceritakan perihal tawaran
Ziya kemarin.
“Ukhti, ada yang ingin ana bicarakan.”
“Iya, Mbak. Ada apa?” Rania menahan untuk membe-
ritahu gurunya.
“Anti sudah siap menikah?”
Deg!
Rania tidak menyangka akan mendapat pertanyaan
segamblang itu dari gurunya. “A-ana ….”
“Ada ikhwan yang ingin taaruf dengan anti,” lanjut Nisa.
Seorang ikhwan ingin taaruf dengannya? “Maaf, Mbak.
~ 186 ~
Taaruf
~ 187 ~
Rania
“Baik, Mbak.”
Setelah mengucapkan salam Rania memutuskan sam-
bungan. Ia masih duduk di tempatnya. Tidak percaya
dengan yang baru saja terjadi. Ini benar-benar tengah
berlangsung. Ia akan menikah, sesuatu yang ia rencanakan
dalam tujuan hidupnya. Walau tidak secepat ini. Ia be-
rencana setelah lulus kuliah akan bekerja dulu lalu kuliah
S2 kalau mendapat beasiswa.
Sekarang semua berubah. Namun jodohnya sudah
Allah tetapkan. Kalau memang ini jalan yang harus ia
tempuh, ia tawakal. Insya Allah rencana Allah lebih baik dari
rencananya.
~ 188 ~
Taaruf
~ 189 ~
Rania
~ 190 ~
Taaruf
~ 191 ~
Rania
~ 192 ~
Taaruf
~ 193 ~
“Ukhti … ana nggak tahu
kenapa bisa begini. Dulu
ana berusaha menjaga
jarak dengan anti, tapi
sekarang kok malah
berubah suka.”
14- Kegagalan
Pertama
~ 195 ~
Rania
~ 196 ~
Kegagalan Pertama
“Kalau boleh tahu, dari mana Pak Salim tahu atau kenal
dengan ana?” Ikhwan yang hendak taaruf dengannya sama
sekali tidak pernah bersinggungan dengannya. Rania juga
tidak ingat pernah bertemu dengan ikhwan itu.
“Dia melihat foto anti di walimahan ana dulu. Selain
itu, anti pernah mengisi acara di perusahaan tempat Pak
Salim berkerja. Acara keputrian rohis kantor, tapi suara
anti terdengar ke sebelah sampai keluar dari mushalla, dia
melihat anti.”
“Ooo ….” Rania mengangguk-angguk. Hatinya
sebenarnya masih ragu.
“Ada lagi?”
“Tidak, Mbak. Itu saja.”
“Baik, insya Allah, Allah lancarkan proses peresentasi
anti. Ana tunggu sore di rumah, ya.”
“Baik, Mbak. Insya Allah.”
Rania berusaha fokus untuk menghadapi presentasi
yang sebentar lagi. Namun pikirannya terpecah. Bagaimana
tidak? Ia akan menghadapi taaruf yang mungkin akan
merubah hidupnya. Bersyukur ada Ziya yang menguatkan.
Sahabatnya itu selalu bisa diandalkan. Dibanding Rania,
Ziya masih setengah perjalanan tugas akhirnya. Nampaknya
tambah satu semester lagi.
“Sudah, anti nggak usah mikirin taaruf dulu. Fokus ke
presentasi saja. Lebih satu tahun anti mengerjakan peneli-
tian, jangan cuma gara-gara taaruf satu hari jadi berantakan
~ 197 ~
Rania
~ 198 ~
Kegagalan Pertama
~ 199 ~
Rania
~ 200 ~
Kegagalan Pertama
~ 201 ~
Rania
~ 202 ~
Kegagalan Pertama
~ 203 ~
Rania
~ 204 ~
Kegagalan Pertama
~ 205 ~
Rania
~ 206 ~
Kegagalan Pertama
~ 207 ~
Rania
~ 208 ~
Kegagalan Pertama
~ 209 ~
Rania
~ 210 ~
Kegagalan Pertama
~ 211 ~
Air mata Hanif
menggenang, bercampur
rasa malu, takut
siksa Allah dan takut
kehilangan Rania.
Beginikah rasanya
putus cinta?
15- Yusuf dan
Zulaikha
~ 213 ~
Rania
~ 214 ~
Yusuf dan Zulaikha
~ 215 ~
Rania
wisuda.”
“Jadi belum taaruf?” Heri antusias.
Rania menggeleng.
“Belum tukeran biodata juga?”
“Sudah, tapi ya gitu, masih belum diproses.”
Wajah Heri semringah. “Bagus kalau begitu.”
Dahi Rania berkerut heran. Ia merasa Heri punya
sebuah rencana.
“Ran, kamu mau janji nggak ke aku?”
Dahi Rania semakin berkerut. “Janji apa?”
“Jangan terima tawaran taaruf dari ikhwan mana pun.”
“Mak-maksudnya?”
“Iya, kalau ada yang datang mengajak taaruf, jangan
diterima.”
“Kenapa?”
Heri menarik napas panjang. “Dari dulu aku punya
keyakinan kalau kamu sama Hanif itu berjodoh. Nggak tahu
kenapa,” terangnya. “Aku yakin kalau Hanif itu masih suka
sama kamu, walau dia berusaha menyembunyikannnya.”
Dada Rania berdebar pelan mendengar kalimat Heri.
“Aku akan bicara sama Hanif. Aku akan meyakinkan
Hanif kalau kamu itu jodohnya dia.”
“Apa tidak terkesan memaksa?” Rania ragu.
“Hanif hanya perlu diyakinkan. Dia … dia sebenarnya
~ 216 ~
Yusuf dan Zulaikha
~ 217 ~
Rania
~ 218 ~
Yusuf dan Zulaikha
~ 219 ~
Rania
~ 220 ~
Yusuf dan Zulaikha
~ 221 ~
Rania
Rania berjodoh.
Hanif melihat lembaran biodata di depannya. Sudah
tiga hari ia Istikharah. Hatinya mulai cenderung pada Rika,
akhwat Pandeglang yang kini belajar di LIPIA (Lembaga
ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). Ustadz Lukman juga
alumni LIPIA. Ditambah latar belakang Rika yang keluaran
pesantren berkualitas Gontor, pastinya akhwat itu sudah
mengikuti tarbiyah sejak lama dan paham syariat.
Alim. Keturunan kyai. Hafal beberapa juz Al-Qur’an.
Walau parasnya tidak seindah Rania.
Hanif super galau. Di depannya kini ada dua wanita
yang siap dipinang.
Rika … bersih tanpa sejarah hawa nafsu. Rania …
sangat ia harapkan, hatinya pernah tertambat di sana.
Rika rekomendasi guru, Rania paksaan sahabat.
Rika aman jika dinikahi, Rania akan ada fitnah dari
dampak sunnatan sayyiatan, akibat dosa jariah karena
memberi contoh tidak baik.
Bunyi kipas angin menemani perenungan Hanif.
Kipas itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Sama seperti
jiwanya yang bimbang. Kantor sepi. Semua kru keletihan
mengejar deadline. Dua hari lagi majalah terbit dan siap
didistribusikan.
Hanif mengambil wudhu. Gemericik air yang tumpah
menenangkan batinnya yang resah. Digelarnya sajadah di
~ 222 ~
Yusuf dan Zulaikha
~ 223 ~
Rania
~ 224 ~
Yusuf dan Zulaikha
~ 225 ~
Rania
~ 226 ~
Yusuf dan Zulaikha
~ 227 ~
Kadang ia terlonjak
kaget mendengar dering
telepon setelah Subuh,
harap-harap cemas
kalau itu Hanif.
16- Hati yang Raja’
~ 229 ~
Rania
~ 230 ~
Hati yang Raja’
~ 231 ~
Rania
~ 232 ~
Hati yang Raja’
~ 233 ~
Rania
~ 234 ~
Hati yang Raja’
~ 235 ~
Rania
~ 236 ~
Hati yang Raja’
~ 237 ~
Rania
~ 238 ~
Hati yang Raja’
~ 239 ~
Lantunan malam
pertama itu kembali
hadir, menyuarakan
surah Ar-Rahman dengan
indah dan tartil. Rania
masih berharap dipimpin
oleh imam yang sama.
17- Jawaban Sujud
Panjang
~ 241 ~
Rania
~ 242 ~
Jawaban Sujud Panjang
~ 243 ~
Rania
~ 244 ~
Jawaban Sujud Panjang
~ 245 ~
Rania
~ 246 ~
Jawaban Sujud Panjang
~ 247 ~
Rania
“Iya, Pak.”
“Apa yang kamu ketahui tentang Wali Allah?”
Sungguh ini pertanyaan yang belum pernah disiapkan
oleh Hanif. Duh apa, ya? batinnya. Hanif menjawab sea-
danya sesuai yang diketahui, tentang wali songo dan wali-
wali Allah.
“Nanti pikirkan lagi. Sesungguhnya wali Allah tak
memiliki rasa takut dan bersedih hati dalam Surat Yunus
ayat 62,” sahut Ayah yang ternyata sudah menyiapkan
jawabannya.
~ 248 ~
Jawaban Sujud Panjang
~ 249 ~
Rania
~ 250 ~
Jawaban Sujud Panjang
~ 251 ~
Rania
~ 252 ~
Jawaban Sujud Panjang
~ 253 ~
Rania
~ 254 ~
Ayah Rania tersenyum kecil.
“Nak Hanif sudah yakin?
Sudah siap? Kalian kan
masih muda. Baru saja lulus
kuliah.”
Hanif tak bisa
menghindar godaan hati,
Seperti ada sinar yang
memancar, jantungnya
berdegup dua kali
lebih cepat.
18- Tahajjud Cinta
~ 257 ~
Rania
~ 258 ~
Tahajjud Cinta
~ 259 ~
Rania
~ 260 ~
Tahajjud Cinta
~ 261 ~
Rania
13 Mei 2001
~ 262 ~
Tahajjud Cinta
~ 263 ~
Rania
~ 264 ~
Tahajjud Cinta
~ 265 ~
Rania
~ 266 ~
Tahajjud Cinta
~ 267 ~
Rania
~ 268 ~
Tahajjud Cinta
Deg!
Cinta. Apakah benar seperti itu? Ia mencintai Hanif?
Perlahan Rania mendongakkan wajah dan melihat
dengan jelas wajah suaminya. Sebuah senyum kecil terukir
di sana. Rania balas tersenyum.
Benar. Cinta itu hadir. Semenjak ijab kabul diucapkan ia
berjanji bahwa suaminya adalah satu-satunya orang yang
akan memiliki cintanya. Allah yang menghadikan rasa itu
masuk ke dalam jiwa. Ketika mereka menjadi pasangan
halal.
“Silakan istrinya salam sama suaminya.”
Dengan canggung Rania meraih tangan hangat Hanif
dan menciumnya takzim. Insya Allah, tangan ini yang akan
membimbingnya ke surga Allah. Mulai sekarang, Hanif ada-
lah imamnya.
~ 269 ~
Rania
~ 270 ~
Tahajjud Cinta
~ 271 ~
Rania
bisa istirahat.
Selesai bersih-bersih dan shalat, mereka makan malam
bersama keluarga. Ketika Isya Hanif berangkat ke mushalla.
Saat pulang, ia menemukan Rania sudah tertidur pulas.
Jemari Hanif terulur dan membelai pipi seputih salju
dengan punggung tangannya. Dulu ia hanya bisa me-
mimpikan hal ini. Sekarang benar-benar terjadi.
Rania bergerak dalam tidurnya. Ia merasa terusik.
Matanya mengerjap perlahan.
Hanif menarik tangannya dan tersenyum melihat Rania
baru bangun tidur. Terlihat lucu di matanya.
Rania menguap dan mengucek kedua mata. Ia mem-
buka mata dan terkejut ketika melihat siapa yang berada
di dekatnya.
“Akhi!” Matanya melebar. “A-apa yang Akhi lakukan di
sini?” Rania menarik selimut hingga menutup muka. Ia tidak
memakai kerudungnya.
Hanif sempat kaget dengan reaksi istrinya. Ia tertawa
pelan.
Rania heran dengan sikap ikhwan itu. Apakah ia sedang
bermimpi? Kenapa Hanif ada di kamarnya, dan kenapa
ikhwan itu malah tertawa?
“Kamu nggak ingat apa yang terjadi tadi pagi?” Hanif
menahan tawa.
Tadi pagi? Tiba -tiba kesadaran memukul Rania keras.
~ 272 ~
Tahajjud Cinta
~ 273 ~
Rania
Selama ini
Kumencari-cari
Teman yang sejati
Buat menemani
Perjuangan suci
Bersyukur kini
Pada-Mu Ilahi
Teman yang dicari
Selama ini
Telah kutemui
~ 274 ~
Tahajjud Cinta
hatinya melayang.
Dengannya di sisi
Perjuangan ini
Senang diharungi
Bertambah murni
Kasih Ilahi
Kepada-Mu Allah
Kupanjatkan doa
Agar berkekalan
Kasih sayang kita
Kepadamu teman
Kumohon sokongan
Pengorbanan dan pengertian
Telah kuungkapkan
Segala-galanya
Itulah tandanya
Kejujuran kita.
~ 275 ~
Rania
~ 276 ~
Hanif meraih dagu Rania dan
mengangkatnya sedikit
sehingga ia bisa melihat
wajah istri tercinta.
Hanif menangis
dalam sujud. Mengakui
kelemahan diri. Betapa ia
mudah tergoda dengan
seorang perempuan.
Betapa setan begitu
mudah merayunya.
-Extra Part-
Perjalanan Panjang
~ 279 ~
Rania
~ 280 ~
Perjalanan Panjang
~ 281 ~
Rania
~ 282 ~
Perjalanan Panjang
~ 283 ~
Rania
~ 284 ~
Tentang Penulis
Terlahir dengan nama Eria Chuzaimiah, biasa
dipanggil Mia. Lahir di Jakarta dan besar di Palembang.
Tahun 1997 melanjutkan studi di Universitas Andalas
Padang, Jurusan Teknik Industri.
Selain menulis, ibu rumah tangga dengan tiga
orang anak perempuan ini mengajar di Rumah Tahfiz
Robithoh dekat rumah.
Memberanikan diri menulis di Wattpad mulai
tahun 2017, awal ragu karena merasa tidak punya
bakat menulis sama sekali. Novel pertama yang sudah
diterbitkan tahun 2018 adalah Wedding Agreement
dengan nama pena Mia Chuz.
Bagi perempuan berdarah Minang ini, menulis
adalah wasilah untuk berbagi. Menulis adalah untuk
menebar kebaikan. Menulis adalah satu satu cara
memberikan manfaat. Menulis juga menjadi sarana silaturahmi, bertemu dengan
banyak orang baru.
Mia bisa dihubungi di:
–• mamiahijab@gmail.com
–• FB: Mia Chuzaimiah
–• IG: mia_chuzaimiah
–• Wattpad: @viveramia (Mia Chuz)