Anda di halaman 1dari 296

Tahajud Cinta Rania

Mia Chuz & Nasrullah


Editor : Titin Su
Layouter : Diyan Sudihardjo
Desain Cover : Hadi Purnama

Diterbitkan oleh:
KMO Indonesia
Alamat : Jl. Sultan Ageng Tirtayasa Graha Rorocantik
Blok C 18 Talun Cirebon
No. Telp/HP : 082216620246
Email : cvkmoindonesia@gmail.com

Cetakan ketiga, 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengcopy dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit.
All rights reserved.

vi + 290 hlm.; 14 x 20.5 cm

ISBN : 978-623-91616-9-9
Daftar Isi
1- Lantunan dari Surga –– 1
2- Sang Pemilik Alunan –– 15
3-Namanya ... Ustadz –– 27
4- Menemukanmu –– 41
5- Debar Menggoda –– 53
6- Tak Ada yang Abadi –– 65
7- Rasa Kian Bersemi –– 81
8- Meredam Hasrat –– 99
9- Harus Berpisah –– 115
10- Pudar –– 131
11- Bermain Api –– 149
12- Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali –– 167
13- Taaruf –– 183
14- Kegagalan Pertama –– 195
15- Yusuf dan Zulaikha –– 213
16- Hati yang Raja’ –– 229
17- Jawaban Sujud Panjang –– 241
18- Tahajud Cinta –– 257
Extra Part- Perjalanan Panjang –– 277

~v~
Tuturan bagai buluh
perindu. Ia tidak akan
pernah melupakan
suara itu. Indah.
Bagai lantunan dari surga.
Lantunan
1-
dari Surga

“Hai orang yang berselimut, bangunlah pada


sebagian malam untuk shalat, separuhnya atau
kurangi atau lebihi sedikit dari itu.”
[QS Muzammil:1-3]

Tahun 1996.

Sepertiga malam. Suara jangkrik lembut bersahut-


sahutan dengan tarian batang pohon bambu. Angin dingin
sesekali berembus, menambah harmoni perpaduan bulan
sabit dan Gunung Salak nan anggun. Gelap. Hanya siluet
ancala dari cahaya bulan yang redup. Bintang tampak
terang, lebih jelas dari langit Jakarta yang kelabu.
Di kaki ardi, beberapa bangunan menjadi saksi kisah
cinta di penghujung malam. Rania tak pernah menyangka,

~1~
Rania

ini akan menjadi malam terindah yang merangkai semua


cerita. Cinta kepada Rabb-nya, dan cinta pada seorang
makhluk ciptaan-Nya.
Bayu kembali berembus, bergerak pelan, halus me-
nyapa peraduan Rania dan teman-temannya.
Kamar yang diperuntukkan untuk empat orang ini
tidak berpendingin udara atau kipas angin, tetapi masya
Allah, dinginnya menusuk tulang. Rania sampai harus
memakai jaket di bawah selimut tebalnya. Ia membolak-
balikkan badan. Meringkuk dan menarik selimut hingga
menutup badan, mencoba menambah kehangatan. Wajah
saljunya terlihat memerah di bawah cahaya temaram yang
berasal dari jendela.
Perlahan kelopaknya terbuka. Melihat weker mungil
hadiah ayah tercinta. Pukul tiga pagi. Setengah sadar,
Rania bangkit duduk, berdoa dan secepat kilat menggosok
kedua tangan, mengais kehangatan. Sebentar lagi Tahajjud
bersama di masjid akan dimulai.
Kekuatan azam tidak membuatnya kembali lelap.
Ketika yang lain masih di alam mimpi, ia sudah beranjak dari
hangatnya kasur dan ber-wudhu. Air sedingin es menyapa
kulit putih nan lembut Rania. Suara gemericik menambah
rasa indah yang akan ia rasakan. Ini malam istimewa
baginya. Tahajjud pertama jauh dari rumah.
“Zi, Ziya … bangun.” Rania menggoyang bahu Ziya
pelan. Selesai wudhu ia kembali ke kamar untuk memba-

~2~
Lantunan dari Surga

ngunkan sahabatnya. “Zi, sudah mau mulai Tahajjud-nya.”


Ziya bergumam tidak jelas. Masih dalam pengaruh
mimpi.
“Ziya ….” Rania mencoba sekali lagi. Kali ini lebih kuat
goncangannya.
“Hmmm.” Mata Ziya mulai terbuka. Ia mengerjap be-
berapa kali sembari menajamkan pandangan. “Rania?”
“Bukan, bidadari.” Rania tersenyum simpul. Sahabatnya
itu masih belum sadar sepenuhnya.
Ziya beranjak duduk dengan mata setengah terpejam.
“Jam berapa?”
“Lima menit lagi Tahajjud dimulai.”
Kontan manik Ziya terbuka lebar. “Apa! Kok ana nggak
dibangunin?” protesnya seraya meraih jam tangan yang ia
letakkan di dekat bantal. Benar saja, sebentar lagi shalat
dimulai.
“Ckckck, udah dari tadi, kali. Ana duluan ke aula. Nanti
anti nyusul, ya.” Rania meraih mukena dan sajadah yang
sudah ia siapkan di ujung petiduran.
“Siapin tempat buat ana, ya,” pinta Ziya seraya bangkit
berdiri.
“Insya Allah.”
Rania berjalan keluar kamar dengan dada bergemuruh.
Ini kali pertama ia mengikuti daurah dan bermalam.
Selama delapan belas tahun umurnya, tidak pernah Ayah

~3~
Rania

mengizinkan untuk menginap di luar. Ia seperti wanita yang


dipingit dan tak pernah tahu dunia luar. Ayahnya termasuk
protektif, ia perlu usaha super keras untuk membujuk.
Rania terbayang saat mengambil hati ayahnya. “Rania
nggak sendirian, Yah. Banyak akhwat lain yang ikut. Ada
pengawasan dari ustadz dan ustadzah juga. Lagian daurah
ini sifatnya wajib untuk mahasiswa yang mau masuk rohis
di kampus. Cuma tiga hari, kok.” Rania berusaha membujuk
ayahnya seminggu yang lalu. “Boleh, ya, Yah?”
Setelah meyakinkan berhari-hari, alhamdulillah upaya-
nya berhasil. Ayah membolehkan dengan banyak wejangan
juga ikatan janji. Apa pun itu, yang penting ia bisa ikut.
Ini malam pertama pelatihan. Ada sekitar dua ratusan
orang yang ikut. Panitia menyewa villa di daerah Puncak.
Lokasinya cukup luas dengan fasilitas lengkap, udaranya
sejuk, dan airnya seperti baru keluar dari kulkas. Allah, ia
sampai gemetar.
Rania berbarengan dengan akhwat lain menuju aula
untuk melaksanakan Tahajjud berjamaah. Mukena-mukena
putih berkibar, laksana para santri yang siap mereguk iman.
Masya Allah, indahnya, batin Rania menikmati peman-
dangan yang tak akan pernah terlupakan.
Diterangi cahaya bulan, terlihat hanya akhwat dan
telekungnya. Sepanjang perjalanan tidak ada ikhwan,
karena lokasi penginapan mereka terletak di sisi yang ber-
beda.

~4~
Lantunan dari Surga

Embusan angin di pagi buta menyapu wajah, membuat


Rania menggigil dengan gigi gemeletuk. Ia menggosokkan
kedua tangan, berharap bisa memberi kehangatan. Allah,
mudah-mudahan Engkau catat ini sebagai perjuangan
dalam beribadah kepada-Mu, lirihnya dalam hati.
Ketika menginjakkan kaki di aula, Rania merasa lebih
hangat, Alhamdulillah. Ia mengambil tempat di bagian
depan, sengaja memilih di sudut untuk menyisakan sedikit
ruang bagi Ziya. Ada hijab tinggi yang memisahkan jamaah
akhwat dan ikhwan. Mereka tidak bisa melihat satu sama
lain. Tampak sekali panitia menjagadari mudharat-nya ber-
khalwat
Tidak lama Rania melihat Ziya masuk. Ia melambai,
memberi isyarat kepada sahabatnya itu untuk mendekat.
Ziya melewati beberapa akhwat hingga berada di dekat
Rania.
“Subhanallah, airnya dingin banget, Ran.” Ziya gemetar.
“Kayaknya ana nggak kuat kalau harus mandi.”
Rania tersenyum kecil. “Udah jangan mengeluh. Siap-
siap, sebentar lagi mau mulai.”
Tidak lama panitia ikhwan mengumumkan bahwa
Tahajjud segera dimulai. Dua ratusan jamaah siap mereguk
hidayah di aula yang bersahaja. Kebanyakannya adalah
mahasiswa baru. Rohis MIPA, kampus di mana Rania kuliah,
memang terkenal selalu sukses mengadakan acara seperti
ini. Maba, istilah untuk mahasiswa baru, banyak yang

~5~
Rania

tertarik mengikutinya. Bukan acara wajib kampus, tetapi


pendekatan sudah dimulai sejak hari pertama orientasi
kampus.
Rania bangkit berdiri. Ia menarik napas dalam. Memu-
satkan pikiran untuk menghadirkan hati. Tahajjud adalah
kebiasaan orang-orang shalih terdahulu. Ibadah yang
menjadi penutup kesalahan dan penghapus dosa. Ibadah
yang diberi ganjaran surga. Ibadah yang istimewa.
Saat yang lain terlelap dalam tidur dan terbuai di alam
mimpi, ada sebagian orang yang bangun dan ber-wudhu
lalu menegakkan shalat. Berharap bisa bertemu dengan
Rabb-nya di sepertiga malam, saat Allah turun ke langit
dunia. Dia mengabulkan hamba-Nya yang berdoa. Dia
memenuhi hamba-Nya yang meminta. Dia mengampuni
hamba-Nya yang memohon ampunan.
Hati Rania bergetar ketika imam mengucapkan tak-
biratulihram. Seketika hening. Hanya helaan napas teratur
yang terdengar. Doa-doa iftitah terlantun lirih, memulai
suasana khusyuk yang menyatu dengan dinginnya cuaca
Puncak.
“Bismillahirrahmanirrahim.”
Rania tercengang ketika imam memulai ayat pertama
surat Al-Fatihah. Suaranya lembut membuai. Ada energi
magis yang tak pernah dirasakannya. Bulu kuduknya me-
rinding. Ketika imam melanjutkan ke ayat selanjutnya,
ia semakin terpukau. Bacaannya tartil dengan langgam

~6~
Lantunan dari Surga

yang mengalun. Belum pernah Rania mendengar lantunan


semerdu ini. Suara imam membantu suasana hatinya
khidmat.
Selesai ummul kitab dibacakan, surat Ar-Rahman dari
pengeras suara memenuhi setiap sudut aula. Membius hati-
hati yang tengah bermunajat kepada Rabb-nya. Membuat
sesak. Suara imam begitu syahdu, menyebabkan keharuan
menyelusup ke relung kalbu. Dalam sekali.
Air mata Rania menggenang. Ia mengerjap. Bulir be-
ning yang tertahan kini jatuh. Satu demi satu.
“Fabiayyi alaai robbikumaa tukadzibaan.”
Maka nikmat Rabb-mu yang mana yang engkau dus-
takan?
Ia mengingat betapa diri belum menjadi hamba
yang bersyukur. Begitu banyak nikmat yang Allah berikan
kepadanya, namun begitu sedikit balasan yang ia serahkan.
Astaghfirullah. Ampuni hamba, ya Allah, tangisnya dalam
hati.
Ini memang surat favorit Rania. Ia sering menangis
merenungi kalimat demi kalimat ketika membacanya saat
sendirian. Apalagi dibacakan seorang imam dengan lan-
tunan mendayu.
Bukan hanya Rania yang larut dalam suasana. Semua
jamaah terenyuh. Isak kecil berubah menjadi tangis men-
deru.

~7~
Rania

“Haadzihi jahannam … haadzihi jahannam….”


Tangisan tumpah ruah, sang imam membaca ancaman
Allah itu berkali-kali. Rania bergetar. Merasa bahwa ancaman
itu ditujukan padanya. Kufur nikmat akan berbalas siksa dari
Sang Pencipta. Terdengar sesenggukan suara imam, sedikit
tertahan, lalu melanjut ke ayat-ayat yang merinci surga.
Rania menyeka pipi dan hidung yang basah. Isak
jamaah semakin lama terdengar jelas, bagai lebah yang
bergerombol, berdengung kuat, bergema di segala penjuru
aula. Membuat siapa saja yang mendengarnya merinding
dan ikut hanyut.
Ketika sujud tangis Rania tak terbendung, ia seperti anak
kecil yang meratap ketika berbuat salah. Ia ingat dosanya.
Ia ingat maksiat yang dilakukan. Ia takut Allah mengambil
ketika bekalnya belum cukup. Ia mohon ampun. Ia berjanji
tidak akan mengulangi. Ia taubat.

Selesai salam Rania menyeka wajah dengan ujung


mukena. Satu jam Tahajjud tidak terasa. Netranya menatap
wajah-wajah sembab, termasuk Ziya, sahabat hijrahnya
sejak masih berseragam putih abu-abu. Tangannya terbuka,
lalu pelukan hangat mendarat di punggung saudara
seiman. Saling merengkuh. Tangis haru menghias sepertiga
malam tersyahdu, terkhusyuk, yang pernah Rania rasakan.

~8~
Lantunan dari Surga

Hati terpaut dengan Sang Pemilik Alam. Apalagi bacaan


imam yang menggetarkan jiwa dan membawanya ke dunia
lain.
Betapa indah bacaannya. Siapa gerangan? Ustadz dari
mana? Rania penasaran.
Tuturan bagai buluh perindu. Ia tidak akan pernah
melupakan suara itu. Indah. Bagai lantunan dari surga.

“Lagi mikirin apa, Ran?” tanya Ziya melihat sahabatnya


termenung di atas kasur. Mereka baru saja selesai menyimak
tausiah di aula setelah Isya berjamaah. Panitia meminta
peserta untuk tidur cepat agar tepat waktu bangun Tahajjud
malam kedua.
“Eh, nggak.” Rania sedikit kaget. Padahal ia sedang
memikirkan siapa yang menjadi imam shalat Tahajjud
malam sebelumnya.
“Yakin?” canda Ziya.
“Yakin.” Rania memasang wajah serius.
“Masih penasaran sama imam Tahajjud semalam?”
tebak Ziya.
Rania mendengus. Ia memang curhat kepada Ziya
tentang rasa ingin tahunya. “Udah, ah, tidur. Nanti telat
bangun, lagi.” Ia merebahkan tubuh di kasur.

~9~
Rania

Ziya merengut. Ia mengikuti gerakan Rania dan me-


narik selimut.
Dari lisan Rania mengalir ayat Kursi dan tiga surat
terakhir dalam Al-Qur’an. Amalan sunah yang tidak pernah
ia tinggalkan sebelum tidur setelah sebelumnya ber-wudhu.
Ketika selesai, ia meniupkan ke tangan lalu membasuh wajah
dan bagian tubuh yang terjangkau. Terakhir membaca doa
dan menguatkan niat untuk bangun Tahajjud dini hari.
Tak sabar, ingin kembali mendengarkan suara imam
dan bermunajat kepada Sang Pemilik Malam.

Rania memandang keluar jendela seraya bertopang


dagu. Bus melaju dengan kecepatan sedang di tengah
gerimis, membawa peserta akhwat yang mengikuti daurah
kembali pulang. Tiga hari dua malam yang tidak akan
pernah ia lupakan.
“Ngelamun lagi?” tuduh Ziya seraya menyenggol bahu
sahabatnya.
“Eh, nggak,” jawab Rania cepat. Ia tidak melamun,
hanya merenung.
“Kenapa? Masih penasaran sama sang imam?”
Rania melirik Ziya sekilas. “Nggak.” Iya, ia masih
penasaran.
Semalam Rania bangun tepat ketika alarm berbunyi.

~ 10 ~
Lantunan dari Surga

Ia langsung terjaga dan membangunkan teman-teman


satu kamar. Setelah ber-wudhu dan memakai mukena ia
bergegas hendak menuju aula, tetapi langkah kaki terhenti
ketika salah seorang panitia akhwat mencegahnya.
“Peserta akhwat Tahajjud sendiri Ukhti, tidak bareng
ikhwan.”
Tidak bareng ikhwan? Artinya? Yaah.... “Baik, Mbak,” ujar
Rania lemas. Ia melangkah gontai ke ruang yang disiapkan
panitia akhwat.
“Loh, kirain udah ke aula?” sahut Ziya ketika berpapasan.
“Tahajjud-nya dipisah, nggak di aula. Kita Tahajjud-nya
di sana” tunjuk Rania ke sebuah ruang yang lebih kecil.
“Ooo….”
Jamaah perempuan berbaris rapi. Imam dari kakak
kelas akhwat. Rania berusaha menghadirkan hati ketika
Tahajjud dimulai. Setiap terngiang suara itu, ia berusaha
mengalihkan. Luruskan niat, Rania, luruskan niat, ingatnya
dalam hati. Bersyukur saja masih diberi kesempatan untuk
Tahajjud, siapapun imamnya.
Namun setan menggoda. Lantunan malam pertama
itu kembali hadir, menyuarakan surat Ar-Rahman dengan
indah dan tartil. Rania masih berharap dipimpin oleh
imam yang sama. Selain rasa lezat shalat berjamaah pada
malam itu, Rania merasakan getar yang aneh. Entah apa. Ia
dari keluarga qori, walaupun ayahnya dosen Teknik, tetapi
mengajarkan bacaan Al-Qur’an yang indah. Kakeknya

~ 11 ~
Rania

bahkan memiliki pesantren para qori. Pamannya juga


menjadi juara lomba Musabaqoh Tilawatil Qur’an untuk
mahasiswa tingkat nasional.
Wajar Rania menyukai bacaan yang indah, tetapi ini
lebih dari sekadar itu. Ada rasa kagum yang dalam. Sampai
saat pulang ia masih berharap bisa mengetahui, siapa
gerangan?
“Udah, Ran,” celetuk Ziya. “Nggak usah dipikirin. Ingat
tujuan awal kita daurah ini untuk apa?”
Rania menarik napas. “Ana nggak mikirin, kok. Cuma
kepingin tahu aja.”
Ziya tersenyum lebar seraya mencubit kecil pipi putih
Rania yang kemerahan. “Sama aja, kali.”
Hening beberapa saat. Rania mengembalikan pan-
dangan ke jendela yang berembun. Bus melaju menerobos
gerimis.
“Tapi… ustadz mana, ya? Apa senior tingkat akhir?”
Ziya berkomentar.
“Nah, kan!” Rania menoleh dengan perasaan senang
karena sahabatnya itu juga penasaran. “Menurut ana, sih,
ustadz. Soalnya suaranya dewasa, gitu.”
“Sok tahu!”
Rania mencebik. “Lihat saja nanti, siapa di antara kita
yang benar.”
“Emangnya anti mau mencari tahu?” Mata Ziya me-

~ 12 ~
Lantunan dari Surga

nyipit.
Rania hendak mengangguk, tetapi ragu. “Nggg …
nggak tahu, deh.”
“Gimana kalau kita tanya sama Mbak Nisa aja?” usul Ziya
seraya melongok ke bagian belakang bus, mencari Nisa.
“Ih, apaan, sih!” Rania menarik lengan Ziya, mencegah
dari melakukan sesuatu yang bisa membuatnya malu.
“Nggak usah,” elak Rania. Nisa adalah senior mereka di
keputrian rohis kampus.
Ziya mendengus. “Yakin nggak mau tahu?”
Rania tersenyum simpul. Ia kembali menatap gerimis
yang berubah menjadi deras melalui jendela. Dingin, ia
merapatkan jaket. Benaknya mendidik diri, bersyukur atas
tiga hari yang indah, bersyukur atas banyaknya ilmu yang
didapat dalam daurah ini, bersyukur atas Tahajjud yang
syahdu.
Walaupun kepergian ini melahirkan misteri. Sekarang ia
belum tahu siapa pemilik suara, tetapi suatu hari pasti akan
bertemu. Entah kenapa hatinya seyakin itu. Subhanallah,
istighfar, Ran, batinnya.

~ 13 ~
Kata orang first love
never die, apakah itu yang
tengah terjadi padanya
saat ini?
2- Sang Pemilik
Alunan

“Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi


dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka
sujudlah kepada-Nya, dan bertasbihlah kepada-
Nya pada bagian yang panjang di malam hari.”
[QS Al-Insaan: 25-26]

Hanif merebahkan tubuh lelahnya di kasur. Allah,


nikmatnya. Tidak semua orang mensyukuri hal-hal kecil
yang mereka miliki. Seperti masih terbangun di pagi
hari, bisa menghirup oksigen, netra berfungsi mengenal
bentuk dan warna, sendi bekerja sempurna, kaki berdiri
tegak menopang tubuh, lidah membedakan rasa, dan
banyak lagi. Karunia yang kadang luput. Termasuk nikmat
melempengkan tubuh setelah tiga hari berjibaku dengan
seabrek aktivitas daurah.
Ia tidak ingin mengeluh, karena ini adalah pilihannya.

~ 15 ~
Rania

Ia sangat paham bahwa jalan dakwah tidak pernah mu-


dah. Butuh pengorbanan, waktu, harta, dan tenaga. Sema-
ngatnya membubung. Tidak ada yang bisa menghentikan
gelombang di dalam diri yang mendesak keluar.
Baru sebentar mengistirahatkan mata, terdengar ke-
tukan di pintu.
“Hanif!”
Uminya memanggil. Hanif beranjak duduk sembari
memijat pelipis untuk mengurangi kliyengan. “Iya, Mi”.
Hanif beranjak membuka pintu.
Sejak kecil Umi membiasakan Hanif dan adik-adiknya
untuk mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk ke
kamar orang tua. Sebagai contoh, Umi melakukan hal yang
sama ketika hendak masuk ke kamar anak-anaknya.
“Kenapa, Mi?”
“Ada telepon.”
“Dari siapa?”
“Heri.”
Hanif mengangguk singkat. Ia berjalan keluar. “Bapak
sudah pulang, Mi?”
“Belum. Kamu sama adik-adik kalau mau makan duluan
aja.” Umi kembali ke dapur.
Hanif melintasi ruang tengah di mana adik-adiknya
sedang belajar dan mengerjakan PR. Ia ketiga dari sembilan
bersaudara. Bapak dan Umi menginginkan anak yang

~ 16 ~
Sang Pemilik Alunan

banyak, karena Rasulullah shallallahu alaihi wassallam


bangga dengan ummatnya yang jamak.
Banyak anak tidak identik dengan hidup susah atau
tak terurus. Buktinya mereka berkecukupan, walau ada
masa di mana usaha bapaknya mengalami surut. Rezeki
sudah Allah tetapkan sebelum seseorang dilahirkan. Kalau
ada satu hal yang tidak perlu dikhawatirkan dalam hidup
ini, itu adalah pencaharian.
Rezeki akan mengejar pemiliknya, seperti halnya maut.
Jadi tidak perlu resah dengan nafkah, justru seharusnya
gelisah dengan banyaknya maksiat yang dilakukan.
“Assalamu’alaikum,” salam Hanif setelah mengangkat
telepon.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah, sudah sampai di
rumah antum?”
Heri adalah sahabatnya sejak tahun pertama kuliah.
Mereka sama-sama aktif di rohis kampus.
“Alhamdulillah, baru sampai. Ada apa, Akhi?” Ia dan
Heri menjadi panitia daurah penerimaan anggota rohis
untuk mahasiswa baru di daerah Puncak. Hari ini acara
berakhir, mereka tiba di kampus ketika Ashar. Setelah
menyelesaikan beberapa urusan, ia langsung pulang dan
sampai di rumah Maghrib.
“Afwan. Ana tahu antum mungkin sedang istirahat.
Ustadz Kamil tadi nelepon ana, beliau minta tolong kalau
ada ikhwan yang bisa menjadi imam Tahajjud malam ini di

~ 17 ~
Rania

masjid SMA 73,” jelas Heri. “Ana langsung kepikiran antum.”


Hanif menarik napas pelan. Raganya memang butuh
istirahat, tetapi jiwanya terpanggil untuk melaksanakan
amanah. Tanpa pikir panjang ia menjawab,“Insya Allah.”
“Alhamdulillah. Ana kabarin Ustadz Kamil dulu ya.
Jazakallah khair, Akhi.”
“Waiyyaakum, Akhi.”
Hanif meletakkan telepon dengan senyum kecil di
bibir.
“Mau pergi lagi?” tanya Umi sembari meletakkan piring
di meja makan. Anaknya yang nomor lima, Habibah, ikut
membantu. Bunyi piring beradu pelan. Sendok dan garpu
berdenting.
“Iya, Mi. Habis Isya, insya Allah.”
“Ya sudah, makan dulu.” Umi tahu benar dengan
kegiatan anaknya itu. Padat. Sering tidak pulang ke rumah
karena kuliah dan tugas dakwah. Ia bersyukur, untuk itulah
ia mendidik anak-anaknya dengan keras sewaktu mereka
kecil. Agar menjadi pejuang di jalan Allah.
Hanif mengangguk kecil. “Hanif mandi dulu, Mi,”
pamitnya sebelum melangkah ke kamar.
Ia menutup pintu seraya memindai isi kamar. Ada
empat petiduran di sana. Ia berbagi kamar dengan adik-
adiknya. Sudah beberapa lama ia memikirkan untuk kos
dekat kampus. Selain karena jarak yang dekat dibanding

~ 18 ~
Sang Pemilik Alunan

rumahnya di daerah Priok, ia juga menyukai suasana asra-


ma ikhwan yang dinamis. Tentu akan lebih semangat ber-
dakwah bila berkumpul dengan orang-orang yang satu visi
dan misi.
Hanif menarik napas panjang. Ia menuju lemari dan
bersiap mandi.
Ketika yang lain sedang hang out dengan teman-teman
dan menghabiskan malam dengan bersenang-senang, ia
memilih jalan yang tidak biasa. Sesuatu yang dianggap
asing dan tidak keren oleh beberapa orang.
Biarlah Allah yang menilai.
Selesai bersiap, Hanif pamit ke uminya. Ia mengeluarkan
Khalid, motor kesayangan pemberian bapaknya, dari ga-
rasi. Kendaraan roda dua yang dinamai Khalid itu sudah
menemaninya selama hampir dua tahun ini. Ia berharap
semoga Khalid menjadi saksi di yaum akhir nanti tentang
perjuangannya mengemban amanah.
Dalam perjalanan ke masjid sekolah, motornya ber-
henti di perempatan lampu merah. Hanif melihat pasangan
muda-mudi yang berjalan di sepanjang trotoar. Ingatan
masa SMA kembali. Dulu ia pernah hampir terperosok ke
hubungan tanpa status dengan seorang akhwat, bersyukur
Allah masih menyelamatkan. Sekarang ia berusaha menata
hati dan menjaga pandangan. Sangat tak pantas raga ini
menikmati yang belum haknya.
Lampu masih merah. Menunggu pejalan kaki menye-

~ 19 ~
Rania

berang.
Dari balik helm, netranya menangkap seorang perem-
puan berhijab panjang sedang menyeberangi jalan. Tiba-
tiba memorinya kembali ke beberapa waktu yang lalu.
Ketika awal semester.
Saat itu mahasiswa baru selesai mengikuti penataran
P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
di auditorium kampus. Ia sedang berada di dekat sana,
hendak menuju kantin. Seperti biasa, ketika berjalan
pandangan lurus ke hadapan, menjaga mata.
Entah apa yang membuatnya mendongak, dan tanpa
sengaja pandangannya tertumbuk pada seorang akhwat
berwajah salju dengan mata sedikit sipit. Mungkin bukan
sipit, akhwat itu sedang tersenyum pada teman di samping
sehingga membuat netranya mengecil. Hanya beberapa
detik, tetapi tidak dipungkiri membuatnya terpaku sesaat.
Cantik. Itu yang terlintas dalam benak. Alis berbaris rapi
dengan hidung mungil dan pipi kemerahan. Waktu terasa
terhenti. Wajah belia sang akhwat terekam hingga ke
sukma.
Cepat ia tersadar, berpaling dan melanjutkan langkah.
Sejak itu ia berikrar dalam hati, harus menjauh dari akhwat
yang satu ini bila tidak ingin mendapatkan masalah di
kemudian hari. Bagi Hanif, perempuan berhijab putih itu
terlalu jelita. Jika ada seseorang yang bisa menggoda,
nampaknya hanya akhwat itu.

~ 20 ~
Sang Pemilik Alunan

Mereka tidak pernah bertemu lagi. Tidak sampai da-


urah kemarin. Hanya selintas ketika sedang menunggu bus
untuk bersiap pulang.
Dadanya berdesir halus mengenang hal itu. Hanif
menarik napas panjang. Tidak. Ia tidak ingin bermain-main
dengan hatinya. Sekarang waktunya fokus untuk dakwah.
Bukan perempuan. Titik.
Namun ia merasa akan bertemu kembali dengan
akhwat yang namanya saja ia tidak tahu. Apalagi mereka
satu kampus, kemungkinan besar satu organisasi. Kalau
benar seperti itu, ia harus menyiapkan hati agar tidak
terjatuh lagi ke lubang yang sama.

“Bagaimana daurahnya?” tanya Ayah sembari menyuap


makanan.
“Alhamdulillah, menyenangkan, Yah.” Rania menyendok
sayur ke piringnya. Mereka sedang makan malam bersama.
Meja makan tidak cukup menampung keenam adik-
adiknya. Beberapa duduk di ruang tengah.
“Kegiatannya apa saja di sana?” tanya Ibu sembari
menyuapi si kecil yang masih balita.
“Banyak, Bu.” Rania menceritakan dengan semangat
tentang kegiatan daurah selama tiga hari. “Nanti ada daurah
lagi tahun depan. Rania mau ikut, ya, Yah.”

~ 21 ~
Rania

Ayahnya tersenyum tipis. “Kita lihat saja tahun depan.”


Bibir Rania sedikit maju.
“Udah istirahat dulu,” lerai Ibu. “Kamu pasti capek.”
Rania mengangguk pelan. Ia memang lelah. Tubuhnya
terasa remuk redam. “Rania duluan, ya.” Ia pamit seraya
membawa piring kotor ke bak cuci piring.
Ia terlalu letih untuk mencuci piring, lagi pula itu adalah
tugas adiknya yang nomor dua. Mereka tujuh bersaudara,
masing-masing mempunyai tanggung jawab karena tidak
ada asisten rumah tangga. Ia kebagian menyetrika pakaian.
Tugas yang banyak dihindari adik-adiknya.
Sampai di kamar Rania langsung menghempaskan
tubuh di kasur. Allah, nikmat sekali. Ia menggeliat pelan.
Ketika hendak memejamkan netra, tiba-tiba teringat se-
suatu. Dengan sisa tenaga ia menurunkan kaki dari peti-
duran dan beranjak berdiri menuju meja belajar.
Rania duduk dan membuka laci, mengungkap buku
bersampul hijau muda yang terletak paling atas. Hati-hati
ia mengambil buku tersebut dan meletakkan di meja. Ia
membuka halaman secara acak.

Senin, 2 September 1996.

Hari ini aku seneng banget bisa ketemu sama Mbak Nisa.
Masya Allah, baik banget orangnya. Mbak Nisa itu ketua
keputrian rohis di FMIPA, keren ya. Mbak ngajakin aku sama

~ 22 ~
Sang Pemilik Alunan

Ziya untuk ikut kajian tafsir Al-Qur’an di kampus Jumat ini.


Aku langsung jawab bisa. Hehe. Nggak sabar pengen aktif di
rohis kayak Mbak Nisa.

Rania membuka halaman lain.

Selasa, 1 Oktober 1996

Alhamdulillah … selesai program pembinaan untuk adik-


adik SMA. Sempat keteteran karena sudah mulai kuliah. Doain
ya supaya aku bisa seimbang antara amanah di kampus dan
alumni SMA. Walau capek tapi seneng. Kayaknya harus mulai
ngatur waktu lagi, deh. Soalnya jadwal bimbel sama les privat
juga nambah. Belum lagi praktikum dan kuliah.

Semangat Rania!

Buktikan kalau akademis dan dakwah bisa seiring sejalan.


Buktikan kalau aktivis dakwah IPK-nya juga bisa bagus. Insya
Allah bisa meraih cum laude. Amin.

Rania tersenyum kecil. Sejak masuk kuliah ia memu-


tuskan sebisa mungkin membuat jurnal tentang kegiatan.
Tidak harus setiap hari, tetapi memuat kejadian penting
dan aktivitas dakwah. Termasuk curahan hati.
Ia membuka halaman yang masih kosong, mengambil
pena, dan mulai menulis.

~ 23 ~
Rania

Ahad, 20 Oktober 1996.

Alhamdulillah. Kesampaian juga ikut daurah rohis di


kampus. Masya Allah, jadi tambah semangat untuk segera
memulai. Banyak ilmu yang aku dapatin, juga teman baru
dari jurusan lain. Mudah-mudahan ayah ngasih izin untuk
daurah lanjutan tahun depan.

Rania bertopang dagu sembari mengetukkan pena


beberapa kali ke meja. Ia melanjutkan menulis.

Bacaan imam shalat Tahajjud pas daurah bagus banget.


Semua juga bilang gitu. Sampai banyak yang nangis juga.
Suara imamnya membuat hati bergetar. Aku nggak tahu
siapa imamnya. Penasaran, sih. Siapa ya kira-kira?

Jemari Rania berhenti. Ia menarik napas panjang. Apa


perlu ia mencari tahu?

~ 24 ~
Jemari Rania berhenti.
Ia menarik napas
panjang. Apa perlu ia
mencari tahu?
Hanif mendongak.
Pada saat yang
bersamaan, Rania
melakukan hal serupa.
Pandangan mereka
bertemu. Hanya satu
detik.
3 -Namanya ...
Ustadz

“Dan pada sebagian malam hari


shalat Tahajjud-lath kamu....”
[Al-Israa’: 79]

Tahun 1997.

“Rania!”
Kepala perempuan berkerudung gading itu menoleh
ke asal suara. Rio, pasangan lab di praktikum Kimia Dasar
II, duduk dua bangku di belakangnya. “Apa?” tanya Rania
nyaris tidak terdengar, tetapi ia yakin Rio bisa membaca
gerak bibirnya.
“Laporan udah?”
Rania berdecak malas. Ia mengembalikan pandangan
ke hadapan seraya membereskan buku catatan. Kuliah baru

~ 27 ~
Rania

saja usai, ia ada janji dengan Heri, kakak tingkatnya di Kimia.


Mereka hendak membahas les privat yang akan dikelola
oleh Himpunan.
Sejak SMA Rania sudah mendapat uang saku dari hasil
mengajar. Pendapatan biasa ia gunakan untuk keperluan
sekolah dan jajan tambahan. Ia sadar diri, ayahnya yang
seorang dosen tidak bergelimang harta. Apalagi harus
membiayai tujuh orang anak. Ayah bahkan sering me-
nambah jam mengajar di luar kampus demi memenuhi
nafkah keluarga.
Ketika berhasil masuk kuliah lewat jalur PMDK, Rania
berjanji tidak akan meminta uang bulanan ke orang tua.
Hingga sekarang ia berusaha memenuhi kebutuhan kuliah
dari hasil mengajar les.
“Ran, udah belum?” Tiba-tiba Rio duduk di kursi kosong
di samping Rania.
“Udah.” Rania menarik resleting tasnya. “Kenapa?”
Rio cengengesan. “Pinjam.”
Rania beranjak berdiri. “Memangnya kamu belum
bikin?” Pertanyaan yang sudah bisa ia tebak jawabannya.
“Kan ada kamu,” rayunya seraya ikut bangkit.
Rania menarik napas pelan. “Ya udah, besok aku bawa.”
Ia melangkah keluar kelas.
“Yah … besok kan udah mau dikumpul,” kilahnya
sembari menyejajarkan langkah.

~ 28 ~
Namanya ... Ustadz

“Aku nggak bawa kalau sekarang.” Rania merasa risih,


Rio terus mengikutinya ketika menyusuri koridor kampus.
Ia tidak mau dikira berjalan berdua-duaan.
“Aku ke rumah kamu aja pulang kuliah.”
Mata Rania membulat menatap Rio. “Mau ngapain?”
“Ya ngambil laporan, lah.”
“Eh, nggak usah.”
“Terus gimana dong?” Rio memelas.
Rania merasa tidak tega. “Besok pagi-pagi sekali aku ke
kampus, kamu bisa pinjam.”
Rio mendesah pelan, kecewa rencananya tidak berhasil.
Padahal berharap bisa tahu di mana Rania tinggal. “Beneran
pagi, ya.”
“Iya.”
“Sip. Makasih, Rania.” Rio tersenyum semringah.
“Sama-sama. A-aku duluan, ya.” Rania jengah dan
mempercepat langkah.
“Mau ke mana, sih? Buru-buru amat.” Rio masih me-
langkah di sampingnya.
Haduh, kenapa nggak ngerti, sih? gerutunya dalam hati.
Rania sengaja hendak menjauh dari Rio. “Ada janji sama
teman.”
“Ooo .…”
Rio masih saja membuntuti. Membuat Rania was-was.

~ 29 ~
Rania

Apalagi beberapa pasang mata memperhatikan mereka.


“Duluan, ya,” pamit Rania sembari masuk ke ruang
A-8. Ia tidak memedulikan Rio yang berada di luar. Tidak
mungkin laki-laki itu ikut masuk, kan?
Bukan tanpa alasan ia menghindari teman satu ju-
rusannya itu. Beberapa akhwat sudah mengingatkan agar
tidak memberi perhatian lebih ke Rio, karena laki-laki itu
punya hati untuknya. Entah dari mana kabar burung itu
beredar.
Ia memperlakukan Rio selayaknya teman biasa, mereka
dekat karena menjadi pasangan di laboratorium. Hanya itu.
Sama sekali tidak terpikir untuk akrab. Sekarang ia berusaha
menjaga jarak agar Rio tidak salah paham.
“Assalamu’alaikum.” Pandangan Rania tertuju ke kursi
yang disusun membentuk lingkaran di tengah.
“Wa’alaikumussalam.” Kepala Heri menoleh ke pintu
masuk. “Eh, Rania. Ayo duduk, udah ditunggu sama yang
lain.”
Rania tersenyum kecil. Ada tiga orang di sana. Selain
Heri ada Hasan, anak Kimia satu angkatan dengannya. Satu
orang lagi ia tidak kenal, tetapi rasanya pernah melihat.
Kalau tidak salah di mushala kampus. Berarti anak rohis.
Rania duduk dan bergerak tidak nyaman di kursi. Agak
risih, karena ia satu-satunya perempuan di ruangan itu.
“Karena Rania sudah datang, kita langsung mulai saja.”

~ 30 ~
Namanya ... Ustadz

Heri memimpin pertemuan. “Kenalan dulu. Ini Rania, Kimia


’96.”
Rania mengangguk singkat ke Hasan dan satu orang
lagi yang ia tidak tahu namanya. Hasan balas mengangguk,
tetapi tidak dengan laki-laki satu lagi yang pandangannya
menatap meja sembari memainkan pena.
“Ini Hasan, Kimia ’96. Kalau ini Hanif, Kimia ’95.”
Ooo, namanya Hanif, batin Rania.
Heri menjelaskan secara singkat tentang rencana les
privat yang akan dikelola oleh Himpunan. MIPA memang
gudangnya mahasiswa cerdas. Banyak orang tua yang
mempercayakan les privat ke mahasiswa untuk mengajar
anak SMP dan SMA. Peluang tersebut disambut baik oleh
Himpunan. Heri memimpin dan mengarahkan jalannya les
privat.
“Jadi bagaimana? Bisa Rania?” Pandangan Heri beralih
ke Rania.
“Insya Allah.”
“Hasan?”
“Insya Allah bisa, Kak.”
“Hanif?” Heri beralih ke Hanif.
“Insya Allah.” Hanif menatap Heri sekilas lalu kembali ke
tangannya yang mengetuk meja perlahan. Ia menghindar
bertukar pandang dengan akhwat yang barusan datang.
Ternyata namanya Rania.

~ 31 ~
Rania

Hanif tidak menyangka takdir mempertemukan mere-


ka di sini. Rania, akhwat yang ia lihat ketika penataran P4.
Seseorang yang seharusnya ia hindari. Sekarang duduk
manis di samping. Agak jauh, tapi ia bisa melihat pipi Rania
yang kemerahan ketika masuk tadi. Persis seperti dulu.
Apakah selalu merona begitu? Atau karena di luar panas?
“Baiklah, untuk pertemuan berikut akan kita bicarakan
teknisnya,” tutup Heri.
Hanif tahu ini kesempatan terakhir untuk mencuri
pandang ke arah Rania, sebelum mereka berpisah. Akalnya
mengatakan tidak. Ia sudah berjanji untuk menjaga pan-
dangan, tetapi netranya mengkhianati.
Hanif mendongak. Pada saat yang bersamaan, Rania
melakukan hal serupa. Pandangan mereka bertemu. Hanya
satu detik sebelum masing-masing mengalihkan pan-
dangan.
“Terima kasih untuk kehadirannya,” lanjut Heri.
Dada Rania berdebar pelan. Entah kenapa tatapan
Hanif barusan membuatnya gugup. Segera ia beranjak
berdiri dan mengucapkan salam. Matanya tidak berani
menatap laki-laki beralis tebal itu.

Kelas baru dimulai tiga puluh menit lagi. Rania me-


manfaatkan waktu dengan membaca Al-Qur’an di mu-

~ 32 ~
Namanya ... Ustadz

shalla. Kadang ia suka berkumpul dengan teman-teman


satu jurusan di antara waktu kuliah. Tetapi akhir-akhir ini
malas, karena merasa waktunya terbuang percuma dan
tidak manfaat.
Ia lebih suka mengisi waktu di sekre rohis dengan
mengulang mata kuliah, membuat ringkasan materi untuk
liqo SMA, atau melanjutkan tilawah seperti sekarang ini.
Targetnya satu juz untuk hari ini hampir rampung.
Kali ini ia tidak sendiri, ada satu akhwat dari Matematika
yang bersamanya. Rania membaca lamat-lamat, tidak ingin
suara terdengar sampai ke ruang ikhwan. Baru satu lembar
tiba-tiba lisannya berhenti.
Deg!
Rania terpaku. Ia menajamkan pendengaran. Memas-
tikan kalau hal ini benar terjadi.
Masya Allah.
Dadanya berdebar pelan. Ia menurunkan mushaf dan
meletakkan di pangkuan. Ia beringsut mendekat ke arah
dinding. Telinganya menangkap alunan ayat suci dibacakan
dengan tartil dan mendayu dari ruang sebelah. Ia sudah
terbiasa mendengar lantunan ayat dibaca oleh ikhwan,
tetapi ini berbeda.
Suara ini, suara ini persis dengan imam ketika Tahajjud
saat daurah. Ia tidak mungkin salah. Terekam dengan jelas
di ingatan.

~ 33 ~
Rania

Selama sepuluh menit Rania bergeming. Pendengar-


annya dimanjakan dengan kalamullah yang dilantunkan
penuh syahdu. Tanpa sadar air mata menggenang.
Lalu suara itu berhenti.
Ada perasaan kehilangan.
Allah. Jadi, imam Tahajjud yang membacakan surat Ar-
Rahman itu ada di sini? Salah satu ikhwan di kampusnya?
Bukan ustadz luar yang diundang?
Namun, siapa?

“Untuk daurah selanjutnya sudah siap?” tanya Haikal,


ketua rohis FMIPA.
Mereka duduk melingkar di mushalla kampus, mem-
bahas daurah lanjutan yang sebentar lagi tiba.
“Alhamdulillah. Ana sudah dapat lokasinya,” sahut Heri.
“Acara gimana?” Haikal melirik Hanif.
“Insya Allah sudah ana bikin draft acaranya. Kalau ada
perbaikan nanti ana kabarin lagi,” jelas Hanif. Ia menjabat
ketua divisi pembinaan di rohis. Mengadakan daurah
adalah salah satu programnya.
“Ustadz-nya sudah dihubungi?”
“Sudah. Insya Allah dua ustadz sudah menyanggupi,
tinggal menunggu satu ustadz lagi.”

~ 34 ~
Namanya ... Ustadz

“Alhamdulillah. Untuk Tahajjud antum bisa kan?”


“Insya Allah.” Hanif mengangguk.
Mereka membicarakan teknis daurah sampai tiga puluh
menit ke depan. Setelah rapat di tutup, Hanif beranjak
berdiri. Sebentar lagi kuliahnya dimulai. Ia pamit dengan
ikhwan yang lain untuk ke kelas.
Selama perjalanan menyusuri koridor kampus ia me-
nundukkan pandangan, fokus menatap jalan di hadapan.
Bukan berarti dia abai dengan sekitar, hanya menjaga netra
dari aurat mahasiswi yang terbuka. Hafalan hadis Imam
Syafi’i saja hilang dikarenakan tidak sengaja melihat aurat
seorang perempuan yang tersingkap. Padahal beliau imam
besar, hafal Al-Qur’an dan ratusan ribu hadis, sangat terjaga
dan menjaga. Bila dibandingkan dengannya, bagaikan
bumi dan langit. Sudah seharusnya ia menundukkan
pandangan seperti yang Allah perintahkan dalam wahyu-
Nya yang mulia.
Beberapa teman satu jurusan menganggapnya kurang
bergaul karena jarang ngobrol atau ngumpul bareng.
Mungkin ada benarnya. Ia tidak terlalu suka membuang
waktu untuk hal yang tidak manfaat. Dari pada nongkrong
tidak jelas, ia lebih memilih menghabiskan waktu di
mushalla, merencanakan program rohis ke depan. Dakwah
harus direncanakan dengan matang. Perlu ada pembaruan
dan menyesuaikan dengan zaman.
Ketika hendak masuk kelas, ekor matanya menangkap

~ 35 ~
Rania

sesuatu. Ia melirik sekilas.


Deg!
Pandangannya tertuju ke seseorang yang sedang ber-
jalan lima meter di hadapan.
Ujung jilbabnya menari-nari. Wajah saljunya berkelebat
sekilas.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Hanif mengalihkan pandangan dengan desir halus
merayapi hatinya. Ia langsung masuk dan mengambil
duduk paling belakang.
Astaghfirullah. Ia beristighfar sebanyak tiga kali.
Hanif berusaha mengenyahkan apa yang baru dilihat-
nya barusan. Rania.
Sejak pertemuan terakhir, netranya sering menemukan
akhwat itu di penjuru kampus. Apakah itu tanda kalau ia
kurang menjaga pandangan? Atau mungkin hatinya ba-
nyak bermaksiat?
Hanif kembali beristighfar. Ia harus komitmen dengan
keputusan. Jangan sampai mengotori hati dengan cinta
selain kepada-Nya.
Mata kuliah Kimia Bahan Alam dimulai. Membantu
Hanif melupakan Rania.

~ 36 ~
Namanya ... Ustadz

“Iya, insya Allah aku ikut,” beritahu Rania pada Ziya di


telepon. “Alhamdulillah Ayah sudah ngasih izin.”
Ia bersyukur Ayah membolehkannya ikut daurah seka-
li lagi. Bukan tanpa alasan Ayah bersikap protektif terha-
dap anak-anaknya. Sejak dulu Ayah mendidik Rania dan
adik-adiknya cukup keras. Ia tidak pernah mengenal pa-
caran. Jangankan bepergian dengan lawan jenis, pulang
terlambat dari sekolah saja Ayah sudah menunggunya
di persimpangan jalan menuju rumah. Sekarang ia tahu
itu adalah bukti cinta dan tanggung jawab seorang ayah
terhadap anak perempuannya.
“Alhamdulillah.” Ziya semringah. “Siapa tahu bisa ke-
temu sama ikhwan itu.”
Rania mendengus pelan. Ia memang menceritakan ke
sahabatnya perihal kejadian di mushalla beberapa waktu
lalu. “Niat ana mau ikutan daurah, bukan yang lain.” Mes-
kipun ia berharap bisa mengetahui siapa sosok di balik
pemilik bacaan tartil itu.
“Bercanda, Rania,” kilah Ziya seraya tertawa pelan. Ia
tahu sahabatnya itu masih menyimpan penasaran. “Ya
udah, sampai ketemu besok di kampus.” Rania dan Ziya
tidak satu jurusan, tetapi mereka kerap bertemu di kampus.
Seringnya di mushalla dan kantin saat makan siang bareng.
“Insya Allah. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Setelah meletakkan telepon, Rania beranjak ke bagian

~ 37 ~
Rania

belakang rumah untuk menyetrika. Mendekati Maghrib


Rania menyelesaikan semua.
“Udah beres nyetrikanya?” Ibu sedang menyiapkan
makan malam ketika Rania melewati dapur.
“Sudah, Bu.” Rania mengalihkan pandangan ke ruang
tengah di mana adik-adiknya sedang menonton televisi
dan membaca buku cerita. Ia memanggil nama mereka
satu per satu. “Ayo matikan dulu televisinya, sebentar lagi
Maghrib. Siap-siap mau shalat.”
Meski mengeluh, mereka mengikuti perintah Rania.
Rania tersenyum sedikit. Ia menoleh ke ibunya. “Rania
ke kamar dulu, Bu.”
Ibu mengangguk singkat, masih sibuk menggoreng
telur balado.
Ketika masuk kamar Rania menuju meja belajar dan
duduk di sana. Ia membuka laci lalu mengeluarkan buku
bersampul hijau muda. Dibukanya lembaran kosong. Ia
mengambil pena dan mulai menulis.

Rasanya nggak sabar lagi untuk segera daurah. Ya Allah,


luruskan niatku untuk ikut daurah karena-Mu. Bukan karena
berharap bertemu dengan ikhwan itu.

Rania menarik napas panjang. Ternyata imannya masih


lemah. Ia mendesah dan kembali menulis.

Akhi, antum siapa?

~ 38 ~
Namanya ... Ustadz

Ia tidak mengenal nama sang ikhwan tersebut. Ia ber-


pikir sejenak sebelum jemarinya kembali bergerak.

Ustadz.

Rania tersenyum kecil. Mulai sekarang ia akan me-


nyebutnya dengan nama Ustadz.

~ 39 ~
Tak sabar,
ingin kembali
mendengarkan suara
imam dan bermunajat
kepada Sang Pemilik
Malam.
4- Menemukanmu

“Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi


dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka
sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-
Nya pada bagian yang panjang di malam hari.”
[QS Al-Insaan: 25-26]

Rania memperhatikan bus yang menepi di dekat


gerbang kampus. Pagi ini mereka hendak menuju tempat
daurah. Berbeda dengan pelatihan terdahulu, kali ini khusus
untuk anggota rohis yang ingin terlibat aktif di dakwah
kampus. Dalam setahun ada dua kali daurah. Pertama
untuk mahasiswa baru, kedua untuk kaderisasi pengurus.
Rania dan Ziya mengikuti Nisa menuju kendaraan
roda enam tersebut. Seperti biasa bus akhwat dan ikhwan
terpisah. Manik mata Rania menangkap Hanif sedang
memberikan pengarahan kepada ikhwan. Hanya sekilas.

~ 41 ~
Rania

“Ran!”
“Eh, iya.” Rania gelagapan ketika Ziya memanggil.
Mengira sahabatnya itu tahu kalau ia sedang memperhatikan
seorang ikhwan.
“Bawa sabun sama sampo nggak?”
Rania bernapas lega. “Bawa, kenapa?”
“Pinjam, ya. Ana lupa.”
Rania mengangguk seraya menaiki tangga bus. Mereka
memilih tempat duduk di bagian depan. Ia kebagian di
dekat jendela. Ziya duduk di sampingnya.
Selama menunggu akhwat lain naik, Rania melayangkan
pandangan ke luar. Lagi-lagi matanya menangkap Hanif di
tengah ikhwan yang sedang naik bus.
“Ngeliatin apa, sih?” Ziya ikut melongok.
Rania menjengit. “Bu-bukan apa-apa.” Ia menoleh ke
sahabatnya itu seraya tersenyum canggung.
Ziya menatap penuh selidik. Dahinya sedikit berkerut.
“Apaan, sih?” Rania menyenggol bahu sahabatnya
pelan. Untunglah Nisa segera menyelamatkan. Ketua ke-
putrian rohis itu berbicara di depan dan memberikan peng-
umuman.
Pikiran Rania teralih, Nisa memberikan tausiah agar
peserta daurah meluruskan niat dan berharap agar daurah
kali ini membawa kebaikan dan manfaat. Terutama untuk
dakwah kampus.

~ 42 ~
Menemukanmu

Niat Rania untuk mengikuti daurah memang untuk itu.


Bukan yang lain.

Rania belum pernah merasa secanggung ini dalam


hidupnya. Telapak tangan basah oleh keringat. Ia bergerak
tidak nyaman di atas karpet biru. Risih rasanya mereka
berdua di ruangan ini, walau terpisah hijab.
Mushalla MIPA memiliki sekretariat yang berada di
bagian depan. Antara ruang ikhwan dan akhwat dipisahkan
oleh hijab terbuat dari tripleks setebal 8 cm. Tinggi dan
tidak bisa saling melihat. Ketika rapat, mereka hanya men-
dengarkan suara. Apabila diperlukan, komunikasi detail
bisa dilakukan dengan mengangsurkan secarik ker-tas dari
bawah papan yang tingginya 10 cm dari lantai.
Di balik penghalang itu ada Hanif.
Suasana hening. Hanya bunyi kipas angin berputar
yang terdengar.
“Ehem.”
Rania bertambah gugup mendengar suara dari ruang
ikhwan.
“Bisa dimulai, Ukhti?”
Rania menarik napas panjang. “Insya Allah.” Ia menata
suara agar tidak terdengar gugup.
“Baik. Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum wa

~ 43 ~
Rania

rrahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh,”
jawab Rania lirih.
“Seperti yang Ukhti ketahui, ana dan anti ditugaskan
di divisi pembinaan, ana di ikhwan dan anti di akhwat,”
jelasnya. “Rapat kecil ini untuk membahas program internal.
Setelahnya anti bisa membawa hasil pertemuan ke akhwat
lain untuk didiskusikan.”
Rania mengangguk mengerti.
“Ini draft program yang sudah ana bikin untuk semes-
ter ini. Silakan bisa anti baca terlebih dulu.”
Selembar kertas melewati hijab bagian bawah. Rania
meraih kertas dan membacanya dalam hati.
“Bagaimana, Ukhti? Ada yang mau ditambahkan?”
Rania menggeleng. “Tidak. Insya Allah ana sepakat
dengan program yang Akhi buat.” Suaranya lebih rileks.
“Baik, kalau begitu kita bahas per program.”
“Baik.”
Selama hampir satu jam ke depan mereka membahas
detail. Pikiran berbalas Pikiran. Ide ditumpahkan merancang
strategi dakwah ke depan.
“Ana pikir cukup dulu untuk hari ini. Insya Allah dua
pekan lagi kita kembali rapat untuk evaluasi.”
“Insya Allah.”
“Baiklah. Kita tutup dengan mengucap hamdalah,

~ 44 ~
Menemukanmu

istighfar, dan doa penutup majelis.”


“Subhaanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla
ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaiik,” doa Rania lirih.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh.”
Rania mengembuskan napas lega. Akhirnya selesai
juga. Ia sempat deg-degan awal tadi. Untunglah semua
berjalan lancar.
Ia tidak menyangka takdir mempertemukan mereka
kembali. Apalagi setelah daurah beberapa waktu lalu dan
sesuatu yang ia harapkan terjadi.
Rania masih menyimpan rasa ingin tahu tentang siapa
Ustadz yang ia tulis namanya di buku harian. Penasarannya
terbayarkan. Ia mengetahui siapa orangnya.
Malam itu mereka tengah bersiap shalat Tahajjud di
masjid tempat daurah berlangsung.
“Siapa, ya, imam shalat Tahajjud-nya,” goda Ziya sem-
bari berpura-pura melongok ke bagian ikhwan.
Rania mencebik. “Shhh … sudah mau mulai.” Tidak
dipungkiri ia deg-degan menanti imam membacakan Al-
Fatihah.
Shaf diluruskan. Tumit bertemu tumit. Rapat. Tidak
memberikan celah bagi setan untuk masuk.
Takbiratulihram berkumandang.
“Bismillahirrahmanirrahahiiim.”

~ 45 ~
Rania

Seketika sejuk merambati hati. Ia menemukan kembali


yang dicari selama ini. Suara imam yang dirindukan. Bacaan
tartil dan mendayu membuatnya terhanyut dalam lantunan
kalimat suci. Tanpa terasa bulir bening mengalir. Ia hampir
tidak bisa menahan isak yang keluar dari bibir ketika imam
membacakan surat setelah Al-Fatihah.
Kali ini imam membaca Al-Haaqqah. Baru beberapa
ayat, tangisan sudah menggema. Bagaimana tidak, ayatnya
bercerita tentang neraka dan ancamannya. Juga surga dan
hadiahnya. Sang imam tahu betul memainkan nada dan
rasa dari surat yang menggetarkan jiwa.
Allah, sebegitu dahsyat ayat yang dibaca membuat
seorang akhwat terkulai dan jatuh, tidak sadarkan diri.
Aroma minyak angin menyeruak, panitia membantu sang
akhwat agar segera siuman. Riuh rendah suara di bagian
belakang, yang lain tetap melanjutkan Tahajjud.
Tangisan semakin menderu. Udara dingin, ayat-ayat
yang menggetarkan, ditambah harum aroma kayu putih
menambah suasana magis nan syahdu.
Tahajjud kali ini sungguh menggoncang hati. Mem-
buat iman kembali terisi. Rania bertekad untuk menjadi
hamba yang lebih baik lagi dalam beribadah. Ia tidak ingat
akan misinya untuk mencari tahu siapa nama di balik pemilik
alunan. Hatinya sudah terpenuhi dengan Allah, Allah, dan
Allah. Selesai kajian Subuh, Rania dan Ziya kembali ke
penginapan untuk mandi dan sarapan. Ketika sedang

~ 46 ~
Menemukanmu

menyuap nasi goreng, tanpa sengaja ia mendengar per-


bincangan salah seorang akhwat dengan Nisa di ruang
makan.
“Mbak Nisa, tadi Ustadz siapa yang jadi imam shalat
Tahajjud?”
“Kenapa, kok kepingin tahu?”
“Nggak, mau tahu aja. Bacaannya bagus, nggak nyang-
ka sampai ada yang pingsan begitu. Surat yang dibaca juga
masya Allah.”
“Iya, dia memang sering jadi imam. Waktu daurah
pertama dia juga yang imam. Sering mengisi di beberapa
fakultas”
“Ooo … siapa tahu Ustadz-nya bisa diundang untuk
jadi imam shalat Tarawih di masjid dekat rumah ana.”
“Bukan ustadz, kok. Masih mahasiswa.”
Rania menajamkan pendengaran. Nampaknya Nisa
akan menyebutkan namanya.
“Siapa, Mbak?”
Jantung Rania berdebar pelan.
“Hanif. Ikhwan Kimia ’95.”
Deg!
Hanif? Debar di dadanya bertambah kuat. Hanif yang
itu, kah? Ikhwan yang bertemu dengannya ketika bersama
Heri di ruang A-8?
Ia masih memroses informasi yang baru diterima.

~ 47 ~
Rania

Belum percaya orang itu Hanif.


Rania tersentak ketika Ziya menyenggol bahunya
pelan. Sahabatnya itu juga mendengar pembicaraan ba-
rusan. “Beneran Kak Hanif, senior anti?” Ziya penasaran.
Rania mengangkat bahu, ia sendiri masih belum yakin.
“Iya, kali.”
Ziya tersenyum simpul. “Wah, jodoh banget sama anti,
Ran. Sama-sama Kimia.”
“Shhh ….” Rania meletakkan telunjuk di bibir. Jangan
sampai terdengar Nisa atau yang lain.
Sahabatnya itu tertawa kecil sembari menutup mulut.
Rania menarik napas pelan mengingat hal itu. Seka-
rang ia sudah tahu siapa sang Ustadz. Bukan hanya itu.
Mereka berada di divisi yang sama di kepengurusan rohis.
Ia tidak pernah meminta, hanya mengemban amanah yang
diberikan.
Ketika tahu Rania bertugas di pembinaan bersama
Hanif, Ziya sempat berkomentar.
“Ya ampun, Ran, anti sama Kak Hanif? Kasihan,”
candanya dengan senyum dibuat memelas. “Atau jangan-
jangan … anti malah senang?”
Pipi Rania merona.
Sebenarnya bukan tanpa alasan sahabatnya menga-
takan hal itu. Hanif memang terkenal tegas. Ikhwan dengan
rambut klimis itu sangat menjaga pandangan bila sedang

~ 48 ~
Menemukanmu

berbicara dengan lawan jenis. Awalnya Rania sempat


khawatir bagaimana bila bekerja sama dengan Hanif
kelak. Tetapi setelah rapat barusan, tidak begitu buruk. Ia
mengagumi sikap gamblang yang ditunjukkan. Seharusnya
ikhwan memang seperti itu. Tidak mencla-mencle.
Setelah memastikan barangnya tidak ada yang ter-
tinggal, Rania beranjak berdiri dan keluar dari mushalla.
Setelah ini ia langsung pulang karena tidak ada kelas. Saat
melewati pintu ikhwan yang terbuka sedikit ia tergoda
untuk melirik. Tetapi dienyahkan keinginan itu. Ingat Rania,
jaga hati, batinnya.
Rania menarik napas dan melanjutkan langkah. Seper-
tinya ia harus menambah tilawah Al-Qur’an dan Tahajjud
setiap malam agar hatinya tetap lurus.

Hanif mengembuskan napas lega ketika Rania sudah


tidak berada di sana. Sambil menyandar, wajahnya ter-
tunduk sembari memainkan pulpen dan menatap notula
rapat. Ia tidak tahu harus senang atau takut ketika me-
ngetahui satu divisi dengan adik tingkatnya itu. Ia tidak
pernah merencanakan, tetapi Allah lebih tahu mana yang
lebih baik untuk hamba-Nya. Ini mungkin ujiannya, apakah
bisa meluruskan niat, berdakwah karena Allah, bukan
karena seorang akhwat yang mencuri perhatiannya.

~ 49 ~
Rania

Tidak dipungkiri, raut mungil Rania terbayang selama


rapat tadi. Hijab memang menghalangi, tetapi tidak
membatasi imajinasi. Suara Rania yang pelan dan tegas
terdengar bagai alunan merdu di telinga. Hanif hampir
tidak konsentrasi tadi.
Ia khawatir hatinya membelot. Hal ini tidak boleh
terulang kembali. Ia tidak boleh mengikuti nafsunya kepada
akhwat itu. Tidak boleh.
Hanif berjanji dalam hati untuk puasa sunah dan
Tahajjud setiap malam. Cara paling mujarab adalah me-
menuhi hati dengan cinta kepada-Nya, sampai tidak ada
ruang untuk yang lainnya.
Ia beristighfar sebanyak-banyaknya, memohon am-
punan kepada Allah atas kelemahan iman dalam hati.
Ia tidak boleh lengah. Ia sudah komitmen untuk fokus
mengembangkan dakwah di kampus dan belajar yang
baik, bukan yang lain.
Lagi pula Allah sudah menetapkan jodohnya. Untuk
apa meresahkan sesuatu yang sudah pasti? Bisa saja Rania
bukan yang Allah berikan. Mungkin akhwat lain yang ia
belum pernah bertemu sebelumnya.
Hanif menarik napas panjang. Hati siapa yang hendak
dibohongi? Ia berharap itu Rania.

~ 50 ~
Tidak dipungkiri, raut
mungil Rania
terbayang selama
rapat tadi.
Sering berkomunikasi
berdua dalam rapat
menimbulkan getaran
lain. Setiap pertemuan
menjadi hal yang
ditunggu.
5- Debar Menggoda

“Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam


hari dan setiap selesai shalat.”
[Qaaf: 40]

Tahun 1998.

“Pandangan merupakan anak panah beracun dari


anak-anak panah iblis. Maka barang siapa yang menahan
pandangannya dari kecantikan seorang wanita karena
Allah, niscaya Allah akan mewariskan rasa manis dalam
hatinya sampai hari pertemuan dengan-Nya.” Hanif
membacakan sebuah hadis riwayat Al-Hakim kepada para
ikhwan di musala kampus.
Mata Hanif memindai satu per satu wajah adik
tingkatnya itu. “Allah memerintahkan kita untuk menahan
pandangan. Sudah jelas larangan tersebut termaktub dalam

~ 53 ~
Rania

Al-Qur’an,” lanjutnya. “Apabila telanjur melihat, janganlah


mengikuti pandangan yang pertama dengan pandangan
berikutnya.”
Hanif menarik napas. Sesungguhnya tausiah ini lebih
kepada dirinya sendiri yang mulai lalai. Ia masih bisa
menjaga netra dari perempuan lain, tetapi sulit untuk
akhwat yang satu itu. Rania.
“Tahan mata dari hal-hal yang Allah haramkan. Mata
bisa berzina, dan zinanya adalah melihat yang diharamkan.”
“Kalau masih belum bisa, Akhi?” tanya seorang ikhwan.
Hanif tersenyum. “Ada satu hal yang bisa membuat kita
menahan pandangan dan memelihara kemaluan.”
Semua yang hadir menunggu kelanjutan seraya
menahan napas.
“Menikah.”
“Yaaah ….” Desah kecewa keluar dari lisan dengan
wajah memelas.
Hanif tersenyum kecil. “Loh, benar, kan? Menikah
membuat seorang laki-laki lebih tenang hidupnya, karena
sudah ada bidadari surga yang menemani.”
“Masih kuliah, Akhi,” seloroh salah satu ikhwan.
“Kalau begitu perbanyak istighfar, puasa, dan Tahajjud.”
Lagi-lagi nasihat ini ditujukan untuk dirinya.
Ia merasa yakin bisa mengendalikan hati. Tetapi ke-
nyataan berbanding terbalik. Sering berkomunikasi berdua

~ 54 ~
Debar Menggoda

dalam rapat menimbulkan getaran lain. Setiap pertemuan


menjadi hal yang ditunggu. Ia punya alasan untuk tetap
terhubung dengan Rania.
Ia tidak pernah membicarakan hal-hal di luar dakwah
dengan akhwat lain. Catat. Tidak pernah.Pembicaraan yang
awalnya hanya seputar program kerja, mulai dibumbui
hal-hal remeh yang tidak ada hubungan dengan rohis.
Pertanyaan ringan seputar perkuliahan, praktikum, dosen,
dan les. Bagi beberapa orang mungkin hal biasa, tetapi
untuk seorang Hanif, itu luar biasa.
Akhwat itu istimewa dihatinya. Rania punya semua
kriteria yang diinginkan. Cantik, aktif, baik, cerdas, dan
tilawahnya tartil, ia pernah tanpa sengaja mendengar
ketika di mushalla.
Hanif ingin mengetahui semua hal tentang Rania.
Tetapi masih menahan diri.
Ia sadar rasa ini tidak dibenarkan. Cinta sebelum wak-
tunya bisa menimbulkan fitnah dan zina. Tetapi perasaan
itu semakin kuat. Ia semakin dekat dengan Rania. Mem-
bayangkan akhwat itu menjadi pendampingnya kelak.
Astaghfirullah.
Angan-angannya mencoba menipu. Dan ia mengikuti.

Rania berjalan menyusuri jalan setapak menuju danau

~ 55 ~
Rania

dekat kampus. Tempat ia biasa menyendiri dan merenung.


Tentang banyak hal. Keluarga, kuliah, dakwah, dan akhir-
akhir ini … hatinya.
Ia duduk di atas undakan, menatap lepas ke air yang
mengilap tersiram cahaya pagi seraya mengembuskan
napas lamat-lamat. Tanpa terasa sebentar lagi ia menye-
lesaikan tahun kedua kuliah. Cepat sekali waktu berlalu.
Banyak hal yang terjadi dalam hidup, juga hatinya.
Tidak terpikir akan berada dalam keadaan seperti ini.
Sejak dulu ia tidak pernah dekat dengan lawan jenis. Ja-
ngankan pacaran, berdua-duaan dengan yang bukan
muhrim saja tidak.
Rania belum merasakan jatuh cinta. Ia tidak tahu bagai-
mana rasanya.
Ia membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku
seukuran novel. Jumlah halaman tidak banyak, tetapi
isinya, masya Allah. Ia banyak mendapat pencerahan ketika
menyelaminya. Tentang pergerakan dakwah di dunia.
Buku ini spesial, selain karena apa yang termaktub
di dalamnya, ada satu lagi. Bacaan ini adalah pemberian
seseorang yang entah sejak kapan memenuhi buku harian,
terlebih hatinya.
Ustadz. Begitu Rania menuliskan nama ikhwan itu di
berlembar-lembar kertas diari.
Ia menarik napas perlahan dan meraba dada yang

~ 56 ~
Debar Menggoda

detaknya selalu berbeda setiap mengingat ikhwan berkulit


sawo matang itu.
Rania mendesah. Di mana letak salahnya? Mereka nyaris
tidak pernah bersemuka ketika di kampus. Rapat-rapat
yang dilewati selalu dibatasi hijab. Betapa setan pandai
mengembuskan bisik dan goda yang menghanyutkan.
Membuatnya lupa kalau apa pun bisa terjadi. Ia merasa
pertemuan mereka aman-aman saja, tetapi tidak.
Debar halus selalu muncul di hati Rania.
Ia mengagumi sosok Hanif.
Ia terpukau.
Sekarang perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang
lain.
Ia sering tersenyum sendiri ketika mengisi jurnal harian
yang berisi ikhwan itu di dalamnya. Jantungnya berdetak
dua kali lebih cepat ketika nama Hanif disebutkan dalam
pembicaraan. Merona dengan perhatian yang diberikan.
Rania ingat ketika itu sedang flu saat rapat.
“Ukhti sedang tidak enak badan?” Hanif khawatir.
“Iya, sudah beberapa hari ini flu.”
“Sudah minum obat?”
“Belum, hanya madu saja.”
“Demam juga?”
“Kemarin demam.”
“Kalau sedang sakit seharusnya Ukhti bilang. Rapat bisa

~ 57 ~
Rania

diundur lain waktu.”


“Tidak apa-apa, sudah lebih baik.”
“Umi ana biasanya membuat minuman jahe hangat
dan madu kalau ana sedang flu.”
“Terima kasih resepnya, nanti ana coba.”
“Lain kali bilang kalau anti sedang sakit.”
Hatinya menghangat. Perhatian Hanif membuatnya
merasa spesial.
Astaghfirullah.
Rasa ini perlahan tapi pasti semakin memenuhi
sanubari, dan ia tidak kuasa menghentikan.

Selesai membaca zikir pagi Rania membereskan


perlengkapan shalat. Ia beranjak ke petiduran Maryam dan
membangunkan adiknya yang tertidur kembali setelah
Subuh.
“Maryam, bangun. Ayo siap-siap ke sekolah.” Rania
mengguncang pelan bahu adiknya.
“Hmmm ….”Maryam masih mengantuk. Ia mengeratkan
pelukan pada guling.
“Maryam.” Rania kembali membangunkan adiknya,
tetapi tidak ada respon. Ia melangkah ke meja untuk
mengambil gelas berisi air. Dituang sedikit ke tangan dan

~ 58 ~
Debar Menggoda

dipercik ke wajah Maryam.


“Hmmm!” protes Maryam ketika sesuatu yang dingin
menyentuh kulit wajah.
“Bangun.”
Maryam mengucek mata. “Mbak Rania!” protesnya.
“Duduk dulu. Masih ingat, kan, ketika tidur ada tiga
simpul setan yang mengikat. Kalau kamu duduk dan mem-
baca doa maka lepas satu ikatan. Kalau lanjut wudhu, lepas
dua ikatan. Kalau habis wudhu langsung shalat, maka lepas
tiga ikatan,” nasihat Rania. “Ayo wudhu dulu sana.”
Dengan malas Maryam beranjak. Membuat Rania ter-
senyum.
Ketika sedang membereskan tempat tidur, telepon
rumahnya berdering. Rania bergegas keluar dan menuju
ruang tengah.
“Biar Rania saja, Bu.” Ia melihat ibunya sedang berkutat
di dapur menyiapkan sarapan.
Deringnya kembali terdengar. Ia menarik napas pelan,
mempersiapkan hati. Ia tahu betul siapa yang terbiasa
meneleponnya setelah Subuh.
“Halo. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Tebakannya tepat. Ia mengenal suara Hanif dengan
sangat baik. Telepon Subuh ini semakin terpola. Awalnya
mereka hanya membahas program kerja, tetapi lama

~ 59 ~
Rania

kelamaan mulai mengobrol hal di luar itu.


“Iya, Akhi, ada yang bisa ana bantu?”
“Maaf ganggu pagi-pagi.”
Rania tersenyum kecil. Ia sama sekali tidak merasa
terganggu. Senang malah. “Nggak, kok.”
“Ana mau menanyakan bagaimana pertemuan dengan
Habibah?”
Habibah adalah adik Hanif yang nomor lima. Kemarin
Hanif minta tolong pada Rania untuk bertemu dan berbicara
dengan Habibah.
“Ya, biasa aja. Ngobrol tentang kampus, kegiatan rohis,
kuliah, praktikum,” jelas Rania. Habibah sebentar lagi masuk
kuliah. Perempuan berhijab rapat itu ingin mengenal dunia
kampus. Selain itu brainstorming tentang pilihan jurusan.
“Terus Habibah cerita apa saja?” Sebenarnya Hanif
bisa saja bertanya kepada adiknya, tetapi dengan begini ia
punya alasan untuk menelepon Rania. Lagi pula semenjak
kos di dekat kampus, ia jarang bertemu adiknya.
“Habibah anaknya ceria dan semangat. Banyak yang
dia ceritakan. Terutama tentang kegiatan di rumah.”
“Oya, cerita apa dia? Mudah-mudahan yang baik-baik
saja.”
“Apa, ya? Dia cerita kalau tugasnya di rumah itu men-
cuci pakaian Akhi. Dia senang karena sering menemukan
harta karun saat mencuci.” Rania tersenyum lebar mem-

~ 60 ~
Debar Menggoda

bayangkannya.
Hanif tertawa kecil. “Iya, kalau dia menemukan uang di
cucian baju ana, maka itu menjadi miliknya.” Ia mendapat
uang saku dari mengajar privat, senang bisa berbagi
dengan adik-adiknya.
Rania terkesiap mendengar tawa dari ujung sana.
Hampir tidak pernah ia mendengar gurau dari Hanif. Ia
menyukai renyah suara barusan.
“Habibah bertemu dengan siapa saja di kampus?”
“Ada beberapa akhwat di mushalla.” Ketika itu ada Ziya
dan akhwat lain di sana. Mereka ngobrol bareng. Sepulang
Habibah, Ziya malah menginterogasi.
“Kenapa harus anti?” tanya Ziya setelah Rania men-
jelaskan keberadaan Habibah di sana.
Rania tidak punya alasan yang tepat. “Mungkin karena
dia tidak banyak kenal dengan akhwat di kampus,” kilahnya.
“Jadi dia minta tolong ke ana.”
Ziya menarik napas pelan. “Bukan karena ada apa-apa
antara anti dan dia?”
Rania tidak menjawab. Ia sendiri tidak pasti.
“Anti masih menyukai dia?”
Rania memang tidak bisa menyimpan rahasia. Ia sering
mencurahkan isi hati kepada sahabatnya itu. Termasuk
perihal Hanif.
“Anti tahu, kan, kalau ini tidak benar?” cecar Ziya. Ia

~ 61 ~
Rania

sayang dengan sahabatnya itu. Ia tidak mau Rania salah


melangkah. Membiarkan rasa yang belum waktunya ber-
semi.
Rania mendesah pelan. Ia tahu. Tapi tidak mudah untuk
menghindar.
“Anti harus ingat tujuan kita berdakwah, ikhlas karena
Allah, jangan dicampur dengan niat lain. Rugi Ukhti... rugi....
Saran ana, jangan berkomunikasi untuk hal-hal yang tidak
penting. Sebisa mungkin menghindar,”tutur Ziya serius.
Nasihat yang tengah diabaikan Rania. Karena saat
ini ia membicarakan hal yang semestinya tidak mereka
bincangkan di telepon.
“Jazakillah khair, Ukhti, untuk bantuannya,” ujar Hanif di
ujung sana.
“Waiyyaakum. Ana senang bisa ngobrol sama Habibah.
Dia masih muda dan bersemangat. Ana yakin dia akan baik-
baik saja.”
Rania sadar imannya masih tipis. Sebentar ia ingat,
sebentar lupa. Ia ingin menghilangkan Hanif dari pikiran,
tetapi belum bisa. Tidak selagi ikhwan itu masih memberikan
perhatian lebih kepadanya.

Hanif meletakkan telepon dengan senyum di wajah.


Bukan tanpa alasan ia memercayakan Habibah kepada

~ 62 ~
Debar Menggoda

Rania. Ia merasa Rania orang yang tepat. Selama berhu-


bungan dengan akhwat bersuara lembut itu, ia hampir
tidak menemukan cela.
Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya
pelan. Apa sebenarnya yang terjadi antara dirinya dan
Rania? Mereka tidak mempunyai hubungan khusus, tetapi
entah kenapa hatinya terkait dengan akhwat itu.
Mereka tidak pernah bersemuka. Pertemuan hanya di
mushalla dengan hijab sebagai penghalang. Perbincangan
hanya lewat telepon, itu pun membahas masalah program.
Hanif mengusap wajah perlahan dan kembali meng-
hela napas. Akhwat itu mulai memenuhi pikirannya dan ia
tak kuasa mencegah.

~ 63 ~
Rania terkesiap
mendengar tawa dari
ujung sana, Ia menyukai
renyah suara barusan.
6- Tak Ada yang
Abadi

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam;


dan di akhir-akhir malam mereka
memohon ampun (kepada Allah).”
[Adz-Dzaariayat: 17-18]

Mei 1998.

Rania tidak pernah merasa setakut ini dalam hidupnya.


Kota yang ia cintai telah berubah wajah. Sekarang ia tidak
berani keluar sendirian. Ayahnya juga tidak mengizinkan
pergi untuk hal-hal yang tidak penting.
Suram. Redup. Kelam.
Jalan raya yang dulu ramai kini sepi dengan asap hitam
di beberapa titik. Toko-toko hancur dengan pecahan kaca di
mana-mana. Barang-barang di dalamnya berserakan, habis
dijarah orang yang tidak berperikemanusiaan. Perkantoran

~ 65 ~
Rania

juga mengalami nasib yang sama. Porak-poranda.


Bagai kota mati. Sedikit sekali tanda-tanda kehidupan.
Dengan menahan nafas, Rania menatap layar televisi
yang tengah menyiarkan aksi mahasiswa, netranya men-
cari-cari seseorang di sana. Sudah lebih satu pekan tidak
mendapat kabar. Ia khawatir. Sangat khawatir.
“Akhi pergi?” tanya Rani beberapa hari lalu kepada
Hanif di telepon.
“Insya Allah, semua ikhwan ikut bergabung.”
“Hati-hati.” Hanya itu yang bisa Rania sampaikan. Para
akhwat sama sekali tidak diizinkan mengikuti aksi, untuk
keselamatan.
“Insya Allah. Doakan saja semuanya berjalan lancar.”
Tanpa diminta Rania pasti mendoakan. Bukan saja untuk
negeri ini, tetapi juga untuk ikhwan yang membuatnya
hatinya berpaling. “Insya Allah.”
Rania mengganti saluran lain, semua berita hampir
menayangkan informasi yang sama.
“Kampus kamu juga ikutan aksi?” tanya Ibu yang ikut
menonton.
“Iya, Bu. Hampir semua mahasiswanya ikut.”
“Mudah-mudahan Allah berikan keselamatan.”
“Amin,” doa Rania khusyuk.
Tiba-tiba saja telepon rumah berdering, membuat
Rania terlonjak dari duduk.

~ 66 ~
Tak Ada yang Abadi

“Aku aja yang ambil,”sahut Asep, adik Rania nomor dua.


“Mbak saja!” seru Rania seraya beranjak berdiri dan
menuju meja telepon. Ia berharap itu Hanif.
“Halo. Assalamu’alaikum.” Jantung Rania berdebar
pelan ketika mengangkat telepon.
“Wa’alaikumussalam.”
Allah. Seseorang yang sangat dirisaukannya. Ia bernafas
lega. “A-Akhi di mana?”
“Masih di lokasi. Alhamdulillah ana dan teman-teman
di sini dalam kondisi baik.”
Rania menarik nafas panjang. “Alhamdulillah,” bisiknya.
“Ukhti baik-baik saja?”
Rania mengangguk. “Alhamdulillah.”
“Sementara jangan keluar rumah dulu. Tidak usah ke
kampus sampai semuanya mereda.”
Haru menyelimuti mendapat perhatian sebesar itu.
Hanif cemas dengan keselamatan dirinya. Seharusnya
ikhwan itu lebih was-was dengan keamanan diri sendiri dan
teman-teman lain yang tengah berjuang di sana.
“Insya Allah.” Kekagumana Rania kepada Hanif ber-
tambah. Betapa ikhwan itu selalu mengutamakan pang-
gilan nurani.
“Maaf ana harus pergi dulu.”
Ia ingin mencegah namun tidak bisa. “Hati-hati.” Hanya
itu yang meluncur dari bibir.

~ 67 ~
Rania

“Insya Allah. Assalamu’alaikum.”


“Wa’alaikumussalam.”
Rania meletakkan gagang telepon. Ia tidak langsung
beranjak. Masih belum percaya kalau barusan Hanif benar-
benar meneleponnya. Ikhwan itu menyempatkan diri dari
hiruk-pikuk suasana, hanya untuk memberikan kabar.
Kenapa? Apakah Hanif merasakan hal yang seperti
yang ia rasakan?

Kampus Rania berkabung. Beberapa mahasiswa dari


Fakultas mereka ada yang gugur dalam peristiwa Mei 1998.
Isak dan sedan memenuhi salat Ghaib yang dilaksanakan
di masjid kampus. Betapa kematian tidak memandang
usia. Membuatnya semakin mempersiapkan diri dan
memperbaiki amal sebagai bekal kelak di yaum akhir.
Mahasiswa yang meninggal tidak banyak diberitakan
di televisi. Informasi Rania dapatkan dari orasi yang
disampaikan penuh semangat oleh beberapa ikhwan di
kampus. Orasi yang membakar gelora semua mahasiswa
yang tersisa. Perkuliahan diliburkan hingga batas waktu
yang tidak ditentukan. Universitas tempatnya menimba
ilmu kembali menjadi rahim perjuangan.
Tuntutan mahasiswa mengerucut pada satu hal.
Turunkan Presiden! Sebuah tuntutan yang sangat berisiko.

~ 68 ~
Tak Ada yang Abadi

Bagaimana tidak, Soeharto telah menjadi presiden selama


32 tahun. Orang nomor satu di Indonesia itu memiliki
segalanya dan militer dibawah perintahnya. Sementara
mahasiswa, apa yang dimiliki? Hanya jaket almamater dan
idealisme yang entah dihargai atau tidak oleh pemerintah.
Aksi mahasiswa tidak terbendung. Mereka marah.
Harga bahan pangan yang membumbung tinggi, ditambah
dengan kematian empat mahasiswa Trisakti membuat
emosi menggelegak. Bagai api disiram bensin, berkobar.
Menggerakkan semua mahasiswa yang masih diam. Tangis
bercampur orasi tumpah ruah setiap harinya, menuntut
sang Presiden mundur.
Hanif tidak pernah tampak di kampus. Tanggal 14 Mei
1998 semua mahasiswa berkumpul di UI Salemba. Sebuah
aksi kembali digelar, besar-besaran. Beberapa koordinator
di lapangan maju memimpin orasi. Tiba-tiba terdengar
suara tembakan. Beberapa kali. Suasana berubah tegang.
Ricuh. Teriakan beberapa mahasiswi yang nekat ikut aksi
menambah hiruk pikuk.
Seluruh peserta aksi berhamburan masuk ke ruang
kelas. Berlarian menyelamatkan diri. Merasa di bawah
tidak aman, Hanif naik ke lantai empat. Ingin melihat apa
sebenarnya yang terjadi dari atas sana.
Hanif memicingkan mata, dari jendela bangunan kelas
yang berarsitektur belanda itu, ia melihat ribuan orang
tak dikenal. Bukan mahasiswa. Entah siapa. Tangan mereka

~ 69 ~
Rania

bergandengan, melangkah tanpa takut sedikit pun. Berbeda


dengan mahasiswa yang harus berlindung di dalam.
Sejurus kemudian, Hanif melihat asap hitam membum-
bung di banyak sudut. Secara bersamaan. Seperti ada
komando. Ia tak memahami apa yang terjadi. Suara sirine
bersahut-sahutan. Ia melihat kembali ke jalanan. Jumlah
orang-orang yang bergerombol semakin banyak. Dari atas
gedung tapak asap hitam semakin mengepul.
Hanif dan sebagian ikhwan turun, penasaran ingin
mengetahui apa yang terjadi. Dari depan masjid Arief
Rahman Hakim, ia melihat orang berseliweran membawa
barang jarahan. Terjadi chaos. Toko-toko dijarah. Allah. Ini
jauh dari apa yang direncanakan oleh mahasiswa. Entah
kekuatan apa yang bergerak dibalik ini semua hingga
membuat aksi damai menjadi pemantik perampasan.
Hanif tak memahami konstelasi politik. Dia selama ini
hanya fokus dalam pembinaan dan kaderisasi mahasiswa.
Namun jika ada kegiatan aksi, ia bertugas mengerahkan
massa. Semua sudah dikerahkan.
Hanif bergegas ke masjid, mengambil wudhu, dan
mendirikan shalat hajat. Ia berdoa bagi kebaikan bangsa ini.
Bulir-bulir kristal menetes. Ia pasrah menyerahkan negara
ini pada Sang Empunya.

~ 70 ~
Tak Ada yang Abadi

“Hanif, ada briefing di atas!” seru seorang ikhwan


selepas shalat Ashar. “Yuk!”
Hanif menutup mushaf-nya dan beranjak berdiri.
Dengan semangat ia mengikuti sahabat kosnya itu.
“Nif, antum ikut ke DPR?” Mereka menaiki tangga.
“Ana belum tahu infonya. Antum pergi?’
“Insya Allah. Rencananya semua aksi dipusatkan di
gedung DPR.”
“Bukannya lebih berisiko?”
“Mau bagaimana lagi, kita semua harus siap jadi martir.”
“Allah,” bisik Hanif bergetar.
Setibanya di atas, para ikhwan bersila rapi di lantai.
Ruangan yang besar terasa sesak dipenuhi lebih tiga ratus
orang perwakilan aktivis dakwah dari berbagai fakultas.
Lutut mereka bersentuhan.
Seorang ikhwan maju dan mengambil mikrofon.
Hanif mengenali sosok itu. Hatinya bergetar melihat sang
empunya wajah. Fahri Hamzah, singa mahasiswa yang
sudah ia kenal namanya sejak dulu. Ini kali pertama mereka
bersemuka.
“Pemerintah ini harus segera diakhiri. Apakah antum
semua siap berjihad?!” Fahri mengangkat tangan yang
terkepal berapi-api.
“Siap!” Ruangan ikut bergetar dengan semangat yang
dipertontonkan.

~ 71 ~
Rania

“Ujung kehidupan kita hanya ada dua. Hidup mulia atau


mati syahid. Kita beruntung diberikan kesempatan untuk
menjemput syahid saat kita masih bergelora. Kampus kita
adalah lokomotif bagi perjuangan ini. Jika antum semua
berjuang, seluruh Indonesia akan bergerak. Apakah antum
siap?!” Fahri menaikkan intonasi suara.
“Siaaap! Allaaahu Akbar!”
Semangat Hanif bergelora. Ia siap berjihad untuk
negaranya. Perkataan Fahri barusan terus bergema di
pikiran. Saat ini hatinya fokus pada perjuangan. Tidak yang
lain.
Selesai orasi, ayat Al-Qur’an dilantunkan oleh seorang
ikhwan. Surat Al-Anfal. Hanif berusaha meresapi makna dari
ayat yang dibaca.
Ayat kedua dilantunkan. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama
Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-
Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan
hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. Air mata Hanif
menggenang.
Ayat kesembilan. Sungguh, Aku akan mendatangkan
bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang
datang berturut-turut. Buliran bening mendesak keluar.
Hanif begitu yakin pertolongan Allah sangat dekat.
Ayat demi ayat yang diperdengarkan membuat sua-
sana semakin gerimis. Tangis menderu di seluruh ruangan,

~ 72 ~
Tak Ada yang Abadi

menjadi saksi perjuangan.


Hanif menyeka wajah yang basah. Hatinya tenang
dengan janji yang Allah berikan. Insya Allah, Allah akan
menolong hamba yang menolong agama-Nya.
Tiba-tiba Hanif teringat uminya. Sudah beberapa hari
ia tidak pulang dan belum memberi kabar. Ia sudah mem-
persiapkan baju ganti ketika berangkat. Lagi pula kondisi
tidak aman untuk pulang. Kendaraan berlapis baja bersiaga
di beberapa titik, siap menjalankan perintah ketika melihat
situasi yang tidak kondusif, ia tidak mau mengambil risiko.
Lebih mendebarkan lagi adanya berita beberapa ikhwan
syahid di beberapa kampus. Walaupun berita itu tidak bisa
dikonfirmasi kebenarannya.
Hanif meminjam ponsel seorang ikhwan dan mene-
lepon uminya.
“Assalamu’alaikum,” salam Hanif sedikit bergetar.
“Wa’alaikumussalam. Hanif, kamu di mana? Umi nggak
bisa tidur mikirim kamu. Di sini keadaan kacau. Banyak
penjarahan. Kamu kapan pulang?” cecar Umi dengan ber-
bagai pertanyaan.
“Iya, Mi. Maafin Hanif, ya. Hanif baik-baik aja, Mi. Se-
karang masih di Salemba bareng teman-teman. Kalau
pulang malah nggak aman. Hanif minta ridho-nya. Kalau
ada apa-apa, Hanif minta maaf, minta ridho-nya Umi.”
“Haniiif.” Isak tangis tak tertahan di ujung sana.

~ 73 ~
Rania

Gagang telepon diambil alih Bapak yang berada di


samping Umi.
“Nak, gimana di sana?”
“Insya Allah baik, Pak. Cuma Hanif memang belum bisa
pulang. Tank-tank militer masih siaga di depan.”
“Ya sudah, kamu jaga diri. Banyak baca doa. Jangan
terlalu depan aksinya. Di belakang saja. Ingat, kamu juga
harus selesaikan kuliah.”
“Iya, Pak. Doain yang terbaik ya, Pak.”
“Insya Allah.”
Hanif memutuskan sambungan dan termenung. Ter--
bayang kedua wajah orang tuanya yang cemas. Ia menarik
napas panjang. Bersyukur umi dan bapaknya mengerti
dengan perjuangan yang tengah ia dan teman-temannya
lakukan.

“Akhi Hanif, ya?” Seseorang menegur Hanif.


“Oh iya, Akhi.” Hanif terkejut ketika tahu siapa yang
menegurnya. Fahri Hamzah.
“Bisa anterin ana ke gedung DPR?”
“Siap!” seru Hanif sigap.
Selama perjalanan, tidak terlihat kendaraan lalu lalang.
Semua berdiam di rumah, memilih memantau keadaan

~ 74 ~
Tak Ada yang Abadi

negeri lewat layar kaca dan radio. Berhari-hari mahasiswa


menduduki gedung DPR. Aksi demi aksi. Orasi demi orasi.
Mewarnai kehidupan di salah satu puncak sejarah Indonesia.
“Bagaimana menurut antum ujung dari aksi ini, Akhi?”
tanya Hanif sambil mengendarai Khalid.
“Ana juga belum tahu. Tapi tugas kita hanya berjuang,
Akhi. Seluruh takdir telah ditetapkan Allah. Kezaliman
hanya berakhir dengan kehancuran. Allah sudah pastikan
itu berkali-kali di dalam Al-Qur’an.”
“Tapi belum ada tanda-tanda Presiden mau turun.”
“Tidak ada yang kekal, Akhi. Hanya Allah yang abadi.
Tinggal menunggu hari, seberapa lama pun, kita harus siap
berjuang.”
Khalid terus melaju melalui jalan yang lengang. Per-
kantoran tutup berhari-hari. Dolar semakin tak terben-
dung. Harga-harga melambung. Mahasiswa kini menjadi
satu-satunya harapan masyarakat.
“Jaga diri antum.” Fahri menepuk pelan pundak Hanif
ketika turun di depan gedung DPR. “Ini sedikit untuk uang
bensin.”
“Waduh jangan, Akhi, suatu kehormatan bisa meng-
antar antum.”
“Jangan ditolak, Akhi, cukup antum doakan ana.”
Perlahan Hanif melihat punggung Fahri menghilang.
Bangga rasanya memiliki kakak angkatan yang memiliki

~ 75 ~
Rania

keteguhan iman dan prinsip perjuangan luar biasa. Ia me-


lihat dirinya sendiri, jihad apa yang sudah ia persembahkan
kepada Rabb-nya?
Hanif memacu Khalid ke parkiran gedung. Tiba-tiba ia
teringat Rania.
Wanita itu begitu memesona, hingga teralihkan hati-
nya dalam berdakwah. Betapa malu Hanif melihat perju-
angan para ikhwan. Mereka tulus. Ikhlas. Sementara dirinya?
Sekejap ia merasa hina. Terbayang ketegangan di masjid
ARH sebagai base camp perjuangan. Berhari-hari ia mene-
rima tausiah, sebagai bekal menghadapi kesyahidan yang
mungkin terjadi.
“Ikhwah, kita tidak pernah tahu kapan umur kita.
Kematian pasti menjelang. Jika antum boleh memilih, mana
yang antum pilih? Mati di atas tempat tidur? Atau mati di
jalan dakwah?”
“Mati di jalan dakwah!” seru semua ikhwah seraya
bertakbir. “Allahu Akbar!”
Tahajjud setiap malam menjadi bekal yang tak putus.
Hanif mendapat giliran satu kali memimpin Tahajjud,
selebihnya ia menjadi makmum dan tersungkur dalam
sujud tak berkesudahan bersama ratusan aktivis dakwah.
Hari-hari itu seperti tarbiyah jihadiyah panjang bagi Hanif
mempersiapkan kematiannya.
Hatinya kini dipenuhi Allah, Allah, dan Allah. Menga-
burkan nama akhwat itu di sudut hatinya. Rasa yang dulu

~ 76 ~
Tak Ada yang Abadi

pernah singgah, perlahan memudar. Tujuannya kembali


terang. Dakwah. Hanya itu dalam benaknya kini.
“Ini karcisnya, Pak, jangan sampai hilang, rame banget
di dalam,” sahut tukang parkir, membuyarkan lamunan
Hanif.
“Oh ya, terima kasih, Pak.” Hanif memasukkan karcis ke
kantung celana.
Hanif menyapu netranya. Sungguh pemandangan ti-
dak biasa yang tak akan pernah ia saksikan seumur hidup.
Mahasiswa menduduki atap gedung DPR. Aksi ini menjadi
simbol negara yang tak lagi mampu menyejahterakan
rakyatnya. Sudahlah Pak Harto, segeralah turun, batin Hanif.
Orasi masih terus berjalan. Hanif mengambil tempat di
bawah pohon dan mengeluarkan mushaf kecil dari ransel.
Ia memilih tenggelam dalam surat cinta-Nya.

21 Mei 1998.

Hanif melajukan motor di jalanan yang lengang.


Badannya letih, berhari-hari aksi dan kurang tidur. Ia pulang
untuk karena permintaan uminya. Selain itu pakaiannya
sudah harus diganti. Ia meninggalkan gedung DPR saat
masih ramai-ramainya. Entah kapan aksi akan berakhir.
Surat Al-Mulk dan Al-Kahfi menghiasi lisan Hanif selagi

~ 77 ~
Rania

berkendara, sambil matanya awas melihat sekeliling.


Setiba di rumah, Hanif memarkirkan Khalid di garasi. Ia
masuk sembari mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam.”
Hanif mendapati semua keluarga sedang berkumpul di
depan televisi.
“Hanif!” seru Hana seraya beranjak dari duduk dan
menoleh ke adiknya itu. “Presiden mengundurkan diri!”
Hanif menatap tidak percaya, kakaknya sedang tidak
bercanda, kan? Ia menatap wajah Umi dan Bapak yang
semringah dan mengangguk kecil.
“Beneran!”
Hana mengangguk kuat dengan senyum lebar.
“Allah.” Hanif tersungkur sujud syukur. Terbayang kehi-
dupan yang insya Allah akan lebih baik setelah ini. Perjuangan
mahasiswa berbulan-bulan akhirnya terbayarkan. Benar
saja, tidak ada yang abadi. Pun perasaanya terhadap Rania,
tak abadi.

~ 78 ~
Hanif memacu Khalid
ke parkiran gedung. Tiba-
tiba ia teringat Rania
Dirinya hanyut.
Bagai orang yang tengah
mabuk cinta.
7- Rasa Kian
Bersemi

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih


beruntung) ataukah orang yang beribadah di
waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia
takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Rabb-nya?....
[Az-Zumar/39: 9]

Bulan Mei merupakan puncak reformasi bangsa ini.


Memberikan suka, tetapi juga menyisakan duka. Tidak akan
pernah lepas dari ingatan, betapa beberapa kota besar
telah berubah wajah menjadi mengerikan.
Penjarahan barang terjadi di mana-mana, tanpa ada
yang bisa mencegah. Pembakaran toko, kantor, dan rumah.
Pelecehan seksual pada etnis tertentu. Kematian beberapa
mahasiswa yang tidak jelas pelakunya. Masyarakat
Indonesia dari segala penjuru ikut merasakan kepedihan

~ 81 ~
Rania

yang melanda. Ucapan belasungkawa terus berdatangan.


Sebagai bangsa yang kuat, tidak berlama-lama hanyut
dalam kesedihan. Semua bangkit untuk memperbaiki ke-
adaan. Pun kampus Rania. Setelah reformasi didengungkan,
hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengisinya dengan
terus mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik.
Agenda dakwah kampus tidak akan pernah berhenti,
justru semakin menggeliat, menampakkan eksistensinya.
Program pembinaan terus digulirkan, untuk mengader
aktivis dakwah menjadi muslim tangguh. Dan rapat dengan
Hanif, kembali dijadwalkan.
“Ini persiapan daurah untuk mahasiswa baru.” Hanif
mengangsurkan proposal dari bawah hijab. Bahan rapat
siang itu adalah daurah untuk mahasiswa baru. Daurah
yang sama saat Rania “menjiwai” tilawah Hanif. Dulu Rania
sebagai peserta, sekarang Rania menjadi wakil ketua
panitia.
Rania membaca lembaran satu per satu. Proposal yang
sebenarnya tinggal copy paste dari kegiatan sebelumnya.
Matanya menyisir dengan detail.“Akhi, ini tim pendanaan
sepertinya perlu dirombak ulang, Aisyah sebagai ketua
panitia minta izin pada saya, semester ini dia mau off dulu
menjaga orang tuanya yang sedang perlu perawatan
intensif.”
“Oh baik, Ukhti punya alternatifnya?”
“Iya ada, insya Allah, nanti ana diskusikan juga di syuro’

~ 82 ~
Rasa Kian Bersemi

akhwat.”
“Baik.”
Selama pelaksanaan daurah di MIPA, keuangan selalu
surplus. Bukan berarti kepanitiaan punya banyak dana,
tetapi rasa tawakal bahwa selalu ada rezeki yang disiapkan
Allah, manakala membela agama-Nya. Hal itu tertanam
kuat di hati para kader dakwah. Ada saja donasi yang
masuk. Lebih seringnya menjelang waktu pelaksanaan.
“Untuk Tahajjud, Ukhti ada usulan?”
Rania menerawang, mengingat malam dingin dengan
hiasan surat Ar-Rahman. Malam penuh tangisan yang
tak akan pernah terlupakan. Malam itu juga yang meng-
kristalkan hati Rania untuk serius berdakwah.“Yang menjadi
imam bukan Akhi?”
“Bukan ana. Sebaiknya yang lain, untuk kaderisasi,”
jawab Hanif datar.
“Kalau boleh ana usul, untuk daurah kali ini masih Akhi.
Tahajjud menjadi salah satu sisi penting daurah. Beberapa
akhwat memberikan masukan, imam yang selama ini
dikader belum ada yang seperti Akhi.” Rania merasakan
debar tak teratur saat mengajukan usul itu. Agak sedikit
menyesal, kenapa dia mengatakan hal barusan. Di lubuk
hati, sebenarnya itu adalah harapan pribadinya, ia ingin
mendengarkan bacaan Hanif.
Hanif terdiam lama membuat Rania mengutuk dirinya,
takut kata-katanya salah.

~ 83 ~
Rania

“Ehm,” deham Rania lirih.


Suara angin menyapu dedaunan, bergesekan dengan
rumput kering. Menimbulkan suara unik, menyatu dengan
napas teratur Rania. Siang itu sepi. Sekre akhwat tidak ada
orang. Sementara dibalik hijab, ada tiga ikhwan yang tidur-
tiduran, menemani Hanif.
“Ini sudah diputuskan ikhwan. Harus ada kaderisasi.
Ana sudah tiga tahun ini memimpin shalat, terutama
Tahajjud.”
“Oh, baik, Akhi.” Hatinya menyayangkan keputusan itu,
tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Topik terus berganti. Tak terasa empat puluh menit
bagaikan lima menit. Rapat seperti ini memang formal,
tetapi ini sarana Rania untuk merasa kedekatan dengan
Hanif.
Sungguh Rania telah berjuang mengemas hatinya
dengan sangat baik. Dakwah harus dipenuhi dengan
keikhlasan. Entah sudut hati mana yang menggodanya.
“Apakah ada lagi yang ingin dibicarakan sebelum rapat
ditutup?” tanya Hanif
Rania mengernyitkan dahi. Sedari mulai rapat sampai
pertanyaan terakhir, intonasi suara Hanif terdengar datar,
kaku, dan terkesan berjarak.
“Tidak ada. Cukup, Insya Allah, siap untuk ana teruskan
ke panitia akhwat”

~ 84 ~
Rasa Kian Bersemi

“Baik. Kita tutup rapat dengan hamdalah, istighfar, dan


kafaratul majelis.”
Rania membereskan kertas dan alat tulis yang berse-
rakan. Ia menarik napas panjang ketika mendengar suara
pintu dibuka dan ditutup dari ruang ikhwan. Hanif sudah
pergi. Ia menghentikan aktivitas dan terpekur, merenungkan
perubahan sikap ikhwan itu.
Sejak aksi Salemba hingga Presiden mengundurkan
diri, ikhwan itu tidak pernah lagi menghubunginya. Tidak
satu kali pun. Membuat Rania cemas dan hampir nekat
mengontak Hanif terlebih dahulu. Bersyukur rasa malu
mencegahnya. Walau pelupuknya sempat basah ketika
sujud panjang di sepertiga malam, mengkhawatirkan kea-
daan ikhwan yang telah menanamkan getaran dalam hati.
Rania sadar bahwa apa yang dirasakan tidak boleh ia
pupuk hingga tumbuh subur. Fitrah yang Allah berikan
seharusnya ia simpan untuk pasangan halalnya kelak.
Awal kekaguman pada sosok Hanif bertransformasi dalam
bentuk lain. Ia tidak pasti apa, tetapi cukup membuat debar
di dada bila berada di dekatnya.
Rania peduli dengan kakak tingkatnya itu. Ia tidak
berani menyebut suka apalagi cinta. Hal itu terlalu jauh
baginya.
Melihat Hanif menjaga jarak seperti saat ini, membuat
Rania tafakur. Ia khawatir ada perbuatan yang terasa
kurang pantas atau tidak pada tempatnya, sehingga Hanif

~ 85 ~
Rania

menjauh. Ia segan untuk bertanya secara langsung. Ia


berharap dengan intensitas rapat yang semakin sering,
Hanif akan kembali seperti yang dulu. Ia menunggu telepon
di rumahnya kembali berdering setelah Subuh.

Hanif menutup kuapnya dengan tangan. Angin sepoi-


sepoi dari kipas angin membuatnya terangguk-angguk
menahan kantuk. Duduk bersila dengan punggung
bersandar ke dinding masjid, ia menyeka mata yang berair.
Netra dan tubuh memohon untuk rehat sejenak. Sejak
pukul tiga dini hari ia belum memejamkan mata barang
sepicing. Dua malam Hanif menjadi imam salat Tahajud di
salah satu daurah sebuah kampus di daerah selatan Jakarta.
Malam sebelumnya ia juga begadang di asrama ikhwan,
tempat kosnya sekarang, membimbing adik-adik tingkat
mabit atau malam bina iman takwa. Lagi-lagi menjadi
imam Tahajjud.
Ia tidak hendak mengeluh, malahan bersyukur ka-
rena Allah membuatnya selalu dekat dengan jamaah
Tahajjud. Membuatnya selalu ingat. Kadang riya’ dan ujub
menyelusup secara halus, membuatnya merasa lebih baik
dari teman-teman seperjuangan. Hanya karena dirinya
menjadi langganan imam shalat di sepertiga malam.
Sekuat pikiran ia berusaha menjauhkan penyakit hati dan
memohon ampunan kepada Allah. Memperbanyak istigh-

~ 86 ~
Rasa Kian Bersemi

far. Meluruskan niat.


Ia hanya ingin bertemu dengan Rabb-nya ketika Dia
turun ke langit dunia. Mengadu. Merendahkan diri dalam
sujud panjang. Memohon. Doa-doa panjang untuk diri
sendiri, keluarga, umat muslim di dunia, dan pasangan
hidupnya kelak.
Hanif mengembuskan napas berat. Ia menginginkan
seorang istri yang kelak bisa bersinergi, mengemban ama-
nah dakwah bersama. Ia butuh seseorang yang kuat dan
mandiri, karena perjuangan tidak akan pernah berkesu-
dahan. Ia butuh penyokong, agar tidak berbelok apalagi
berhenti di tengah jalan.
Dulu Hanif pernah berharap itu Rania, hatinya dipe-
nuhi dengan nama akhwat itu. Namun ghirah ketika aksi
beberapa bulan yang lalu membuatnya dihantam kenya-
taan, bahwa dirinya terlalu lemah sebagai seorang ikhwan
yang mengaku kader dakwah. Hanyut dalam rasa yang
tidak jelas. Sementara teman-teman aktivis yang lain sibuk
berjuang di jalan Allah. Malu rasanya.
Tekadnya untuk menyirnakan Rania di hati membuah-
kan hasil. Hanif menempa iman dengan Tahajjud setiap
malam dan puasa Daud. Ia memenuhi setiap undangan
untuk mengisi kajian dan menjadi imam salat Tahajjud
berjamaah. Hari-harinya dipenuhi dengan dakwah. Ia tidak
lagi memikirkan hal lain. Prioritasnya kali ini sangat jelas.
Memenuhi panggilan jihad.

~ 87 ~
Rania

Jodohnya sudah Allah tetapkan. Ia tidak ambil pusing


untuk sesuatu yang sudah pasti. Tidak pandang siapa
pendampingnya kelak, Hanif yakin itu yang terbaik yang
Allah berikan. Ia hanya perlu memperbaiki keimanan,
karena Allah tidak pernah salah timbangan-Nya. Ia akan
mendapatkan apa yang pantas ia dapatkan.
Bila Hanif menginginkan jodoh yang paripurna, maka
ia sendiri harus menjadi paripurna.
Ketika bertemu Rania saat rapat di sekre rohis, Hanif
sudah bisa mengendalikan diri. Tidak ada lagi debar itu.
Ia lebih fokus pada agenda rapat. Memang itu tujuannya.
Pembinaan di kampus harus mendapat prioritas, dan
itu tidak bisa dilakukan bila pikirannya terpecah. Jangan
sampai lagi hatinya tergoda untuk bermain api. Tidak
sebelum waktunya.
Hanif menjengit dan merogoh saku ketika ponselnya
berbunyi. Sudah beberapa pekan ini ia memiliki ponsel,
hasil menabung dari uang les privat dan sedikit tambahan
dari orang tua. Bukan model terbaru, tetapi bisa dipakai
untuk berkomunikasi.
“Iya, Mi?” sahut Hanif setelah mengucapkan salam.
“Lagi di mana?”
“Masih di masjid kampus di Jakarta.”
“Sudah selesai daurahnya?”
“Sudah. Ada apa, Mi?”

~ 88 ~
Rasa Kian Bersemi

“Kamu langsung pulang?”


“Belum tahu, Mi, mungkin mau istirahat dulu sebentar.”
“Istirahat di rumah saja. Umi masak perkedel jagung,
kesukaan kamu. Makan di rumah, ya?”
Mata Hanif berbinar seketika mendengar perkedel
jagung buatan uminya. Makanan yang bisa membuat air
liurnya menetes hanya dengan membayangkan. Paling
enak sedunia. “Insya Allah, Mi. Hanif pulang. Jangan
habiskan perkedel jagungnya.”
Umi tertawa pelan. “Makanya cepat pulang.”
Hanif mematikan sambungan setelah mengucapkan
salam dan berjanji untuk pulang.
“Mau ke mana antum?” tanya Heri ketika melihat
sahabatnya itu mengambil helm di rak teras masjid.
Hanif menoleh. Mereka baru saja selesai kajian dhuha,
ia berencana tidur sebentar sebelum Zuhur dan pulang
selesai salat. Sekarang agendanya berubah. “Afwan, ana
pulang duluan. Sudah ditunggu umi ana.”
“Nggak ngantuk antum?” Heri khawatir karena Hanif
belum istirahat sama sekali.
“Insya Allah nggak. Ana wudhu dulu sebelum berang-
kat.”
“Hati-hati.” Heri menepuk pundak sahabatnya pelan.
Mereka berjabat tangan dan berpelukan erat. “Jangan
ngebut,” pesan Heri ketika melepas Hanif. Ia merasa

~ 89 ~
Rania

sahabatnya itu terlalu memaksakan diri. Seperti ada yang


menjadi beban pikiran. Wajah Hanif terlihat lelah. Ia paham
sahabatnya itu lebih suka menyimpan semuanya sendiri. Ia
tidak mau bertanya lebih jauh.
Hanif mengangguk singkat. Ia wudhu dulu sebelum ke
parkiran. Alhamdulillah kantuknya berkurang.
“Bismillah,” bisiknya ketika memasang helm dan me-
naiki Khalid, motor kesayangan. Insya Allah ia akan sampai
di rumah dalam satu jam. Ia membaca doa naik kendaraan
dan melajukan motor keluar masjid perlahan.
Selama perjalanan ia kembali mengulang hafalan.
Selain berusaha menghilangkan kantuk, juga menjaga agar
kalamullah itu tidak hilang dari memorinya.
Mata semakin redup. Kuap semakin sering.
Ia berusaha membuka netra. Jangan sampai tertidur
lagi ketika berkendara. Sudah pernah hal itu terjadi.
Akibatnya ia bangun di rumah sakit dengan tangan retak
dan kaki terkilir. Kecelakaan. Tanpa sengaja menabrak truk
yang tengah parkir di pinggir jalan. Tidak sengaja karena
semua terjadi dalam keadaan ia tengah tertidur.
Sebentar lagi sampai.
Ia mempercepat laju motor.
Kantuk itu kembali menyerang. Matanya memicing,
dengan setengah kesadaran tersisa. Ia tidak tahu apa yang
terjadi. Hanya suara ban berdecit ngeri, teriakan panik

~ 90 ~
Rasa Kian Bersemi

orang-orang, tumbukan kuat, suara pecahan kaca, dan rasa


sakit yang amat sangat. Semua terjadi sangat cepat. Lalu
gelap.

“Ada yang menonton Si Doel Anak Sekolahan?” tanya


Rania kepada peserta liqo SMA siang ini. Mereka melingkar
di mushalla sekolah ketika yang laki-laki sedang shalat
Jumat di masjid.
Beberapa tangan terangkat di udara.
“Tahu siapa saja pemainnya?” Rania memperhatikan
wajah binaannya satu per satu sembari tersenyum kecil.
“Rano Karno!”
“Maudy Koesnaedy!”
“Mandra!”
“Suti Karno!”
“Sarah!”
“Eh, Sarah bukan nama aslinya, tahu!” protes temannya.
Rania menenangkan peserta yang mulai berisik.
“Sudah, sudah. Kalau salah juga nggak apa-apa.” Ia memberi
jeda. “Nah, kalau nama anak-anaknya Rasulullah shalallahu
alaihi wassalam, ada yang tahu?”
Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya saling melirik
satu sama lain.

~ 91 ~
Rania

Rania kembali tersenyum, seperti dugaan, belum


banyak yang membaca kisah hidup Nabi Muhammad
shalallahu alaihi wassalam. Remaja sekarang lebih tertarik
mengikuti kehidupan artis.
“Hasan dan Husein,” celetuk seorang siswi.
“Itu cucunya, kali,” sergah teman yang lain.
“Iya, kalau itu cucu Rasulullah,” Rania kembali mene-
ngahi. “Nah, kenapa kebanyakan orang lebih hafal nama
artis dibanding nama anak Rasul?”
Semua menunduk, cemas di suruh menjawab.
“Ayo, jawab aja, nggak akan dihukum kok,” canda Rania.
“Ka-karena dilihat setiap hari di televisi, Mbak,” sahut
peserta takut-takut.
Rania mengangguk. “Iya, karena kita terbiasa mende-
ngar dan melihat setiap hari, jadinya hafal, tapi apakah ada
manfaatnya?”
Kepala yang terbungkus kerudung putih itu kembali
tertunduk.
“Apakah akan ditanyakan oleh malaikat Munkar dan
Nakir ketika di alam kubur?”
Kepala-kepala semakin tertunduk.
“Apakah Allah akan menanyakan siapa nama pemeran
film tertentu?” lanjut Rania. “Tidak, kan?”
“Nggak, Mbak.”
“Kita juga bisa kok tahu tentang sejarah hidup Nabi

~ 92 ~
Rasa Kian Bersemi

Muhammad, asalkan setiap hari membacanya. Kapan beliau


lahir, siapa istri dan anak-anaknya, kapan diangkat menjadi
rasul, kapan hijrah ke Madinah, perang apa saja yang beliau
ikuti, kapan beliau pernah sakit, bagaimana perlakuan
beliau kepada istri dan sahabat-sahabatnya, bagaimana
beliau wafat? Semua lengkap dalam buku sirah.”
Kepala yang menunduk menjadi antusias dan men-
dongak.
“Jangan sampai kita lebih mengenal kehidupan artis
dibanding kehidupan Rasul yang mulia. Karena panutan
dan teladan sesungguhnya adalah Nabi Muhammad sha-
lallahu alaihi wassalam.”
Semua kepala mengangguk-angguk tanda mengerti.
Rania tersenyum puas. Alhamdulillah. Saat-saat mengisi
tausiah seperti ini imannya kembali terisi. Nasihat yang
diberikan sesungguhnya lebih untuk diri sendiri. Ilmunya
masih sedikit. Seperti setetes air di lautan. Sungguh tidak
ada yang patut disombongkan.
Selesai mengisi liqo di SMA-nya yang dulu, Rania me-
nuju sebuah bimbingan belajar tempat ia mengajar. Kegiat-
annya padat. Ia bertekad tidak memberi waktu luang untuk
hal yang sia-sia. Setiap kesempatan harus manfaat. Kadang
ia harus pulang malam karena amanah yang diemban.
Bukan mengeluh, Rania malah bersyukur. Akhir-akhir
ini ia memperbanyak aktivitasnya. Sejak rapat di sekre,
ia kehilangan nuansa kedekatan dengan Hanif. Ia masih

~ 93 ~
Rania

berharap Hanif kembali seperti dulu. Namun harapannya


mulai memudar. Hanif memang sudah berubah.
Berhari-hari Rania menunggu telepon yang biasanya
mengisi kemerduan suara burung peliharaan ayah di
setiap Subuh, tetapi itu tidak lagi terjadi. Hanya rapat-
rapat hambar yang kini merajut silaturahim mereka. Itupun
semakin jarang.
Akhirnya, Rania memilih sibuk. Semua aktivitas mem-
buat pikirannya teralih dari memikirkan sebuah nama. Ia
tidak mau terlena. Tanggung jawab dakwah semakin berat
ke depannya. Ia tidak mau mengotori hati dengan berharap
terlalu jauh kepada kakak tingkatnya itu. Ia tidak mau
mengeluarkan air mata hanya karena sebuah rasa yang
tidak berbalas. Cemas memikirkan seseorang yang belum
tentu memiliki perasaan yang sama dengannya.
Sekarang Rania menyerahkan semua kepada Pemilik
Seluruh Jiwa. Doa Tahajjud Rania hanya berisi harapan
agar Allah membuang rasa sejauh-jauhnya. Rania hanya
ingin cinta kepada Allah yang tumbuh subur, sebagai satu-
satunya rasa halal yang boleh ia harap.

“Ran! Rania!”
Rania menoleh dan mendapati Ziya sedang berjalan
cepat ke arahnya. Koridor kampus yang cukup ramai

~ 94 ~
Rasa Kian Bersemi

membuat tubuh mungil sahabatnya itu bergerak lincah,


menghindari kerumunan.
“Kenapa?” Rania melihat raut Ziya yang sedikit cemas.
Ziya mengatur napasnya yang ngos-ngosan. “Sudah
tahu kabar terbaru?”
Rania menggeleng.
“Kak Hanif kecelakaan!”
“Innalillahi.” Spontan Rania berbisik. “Kecelakaan?”
Jantungnya berdetak lebih cepat. Risau menyelimuti
wajahnya.
“Iya, masuk rumah sakit.”
Baru saja ia belajar menata hati dan berniat menjauh
dari ikhwan itu. Namun sekarang, ia tidak bisa untuk tidak
peduli.
“Zi temani ana ke rumah sakit sekarang,” pinta Rania
pada sahabatnya itu.
Ziya tertegun, tetapi dengan cepat mengangguk.
“Baik.”
“Eh, tapi.”
“Kenapa?”
“Serius anti mau jenguk Kak Hanif?”
“Memangnya kenapa?”
“Sekarang sudah sore, rumah sakitnya di Priok, jauh
dari sini.”

~ 95 ~
Rania

“Oh, seberapa jauh?” tanya Rania sambil mengira-ngira.


Ia jarang menjelajahi kota Jakarta.
“Kalau naik kendaraan umum kira-kira dua jam. Bisa-
bisa anti kemalaman pulangnya. Apalagi Priok dikenal
daerah preman gitu.” Ziya khawatir karena Rania jarang ke
luar rumah.
“Ooo ….”
“Anti izin dulu sama orang tua.”
“Bismillah aja, Zi. Kita jalan sekarang.” Rania terdengar
yakin. Getar rasa telah mendahului akal Rania. Keputusan
cepat harus diambil.
Rania menarik napas dalam-dalam. Hanya Hanif yang
ada dipikirannya saat ini.

~ 96 ~
Ia masih berharap
Hanif kembali seperti
dulu. Namun harapannya
mulai memudar. Hanif
memang sudah berubah.
Saat Rania masuk,
entah cahaya apa yang
mengiringi akhwat itu.
Rania begitu memesona
di mata Hanif, terasa
ada semburat sinar
mengelilingi. Apakah itu
pengaruh gegar otak yang
dialaminya?
8- Meredam Hasrat

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata,


bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Shalat yang paling utama setelah shalat
wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari.”
[HR. Muslim No. 1163]

Hanif mengerjap beberapa kali, berusaha membuka


pelupuk yang terasa berat. Silau. Ia kembali menutup netra.
Allah, batinnya. Tubuh terasa remuk redam. Ia menyingkap
mata perlahan. Putih. Pikirannya langsung tahu, ia berada
di rumah sakit. Bukan kali pertama hal ini menimpa.
Sebelumnya ia mengalami hal yang sama. Kecelakaan dan
terbangun di tempat lain dengan bau antiseptik.
Hanif tidak ingat apa yang terjadi. Sepertinya ia tertidur
sebelum menabrak sesuatu. Siapa yang menolong dan
membawanya ke rumah sakit, ia tidak tahu. Siapa pun itu, ia

~ 99 ~
Rania

mendoakan kebaikan yang banyak bagi penolongnya.


Hanif mencoba menggerakkan kepala, tetapi merasa-
kan sesuatu yang mengganjal. Sulit digerakkan. Sepertinya
pihak rumah sakit memakaikan penyangga leher. Apakah
ada yang patah? tanya Hanif dalam hati.
Tidak lama pintu terbuka, sosok uminya muncul ber-
sama adiknya, Habibah.
Umi kaget dan dengan cepat menghampiri anaknya
yang terbaring lemah di ranjang. “Masya Allah, Hanif.
Alhamdulillah. Sudah sadar kamu, Nak.” Umi mengusap
rambut anaknya sayang.
“Umi,” bisik Hanif lemah. Ia tidak mau melihat uminya
sedih dan cemas seperti sekarang.
“Abang nggak apa-apa?” tanya Habibah khawatir.
Hanif berusaha menarik kedua sudut bibir yang
terasa kaku. Kepalanya terasa berputar, padahal ia sedang
berbaring.
“Sudah, jangan terlau banyak gerak dulu,” cegah Umi.
“Hanif kenapa, Mi. Dan siapa yang membawa Hanif ke
rumah sakit?” tanya Hanif dengan susah payah.
“Sepang suami istri, Umi tidak tahu namanya. Umi
bertemu mereka di rumah sakit, saat kamu masih belum
sadar,” cerita Umi. “Mereka yang mengantar kamu ke sini.
Mereka menceritakan kronologis kecelakaan.”
Hanif mendengarkan cerita uminya. Ia ingin tahu apa

~ 100 ~
Meredam Hasrat

yang terjadi ketika ia tertidur saat mengendarai Khalid.


“Pas perempatan lampu lalu lintas, mereka bermaksud
untuk belok, lampu menyala hijau. Tiba-tiba motor kamu
menabrak dari sisi kiri. Kata mereka kamu mencoba
mengerem, tapi terlambat. Malah terpelanting ke depan
dan menabrak kaca mobil sampai pecah. Untung saja kamu
pakai helm. Kalau nggak ….” Umi tidak melanjutkan kalimat.
Sudut matanya basah.
“Udah, Umi.” Habibah merengkuh bahu uminya.
“Mereka minta maaf. Umi sudah memaafkan, ini bukan
sepenuhnya kesalahan mereka. Sudah menjadi ketetapan
Allah,” lanjut Umi. “Mereka juga memberikan sedikit bantuan
untuk biaya rumah sakit. Alhamdulillah. Baik sekali suami
istri tersebut. Padahal mobil mereka juga rusak parah, tapi
tidak minta ganti rugi.”
“Alhamdulillah,” bisik Hanif.
“Abang istirahat dulu,” ujar Habibah. “Jangan banyak
gerak sama bicara.”
Hanif mencoba tersenyum, tetapi sulit. Obat bius
masih mempengaruhi sistem, ia merasa matanya berat. Ia
butuh tidur beberapa saat. Pembicaraan setelah itu tidak
lagi terdengar. Netranya tertutup rapat.

Sudah terlambat. Rania tidak bisa mundur lagi. Ia

~ 101 ~
Rania

menyesal kenapa tadi terlalu terburu-buru mengambil


keputusan. Sekarang ia tidak bisa berbalik dan pulang. Di
hadapannya pintu ruang inap tempat Hanif di rawat.
“Ran!” seru Ziya pelan. “Ayo masuk.”
Rania menoleh ke arah sahabatnya itu. “Eh, iya.”
Bismillah. Semoga ia melakukan hal yang benar. Ia
hanya ingin memastikan Hanif baik-baik saja. Toh sudah
menjadi keharusan menjenguk saudara yang sedang
mengalami musibah. Rania mencari pembenaran untuk
sikapnya.
Ia mengetuk dan mengucapkan salam.
“Masuk!”
Rania membuka pintu perlahan. Netranya langsung
menangkap petiduran dengan Hanif terbaring diatasnya.
Selimut menutupi sebagian tubuh ikhwan itu sampai ke
perut. Sebuah penyangga di lehernya. Jantungnya ber-
-debar semakin cepat. Apakah sebegitu parahnya? tanya
Rania dalam hati.
“Assalamu’alaikum,” salam Rania seraya menghampiri
sosok lebih setengah baya yang duduk di kursi samping
ranjang. Ia menebak itu uminya Hanif, garis wajah mereka
mirip. Ziya menyusul di belakangnya.
“Wa’alaikumussalam.” Umi beranjak dari duduknya.
“Maaf mengganggu, Umi. Saya Rania, ini teman saya
Ziya. Kami adik tingkat Kak Hanif di MIPA.”

~ 102 ~
Meredam Hasrat

“Oh, iya. Terima kasih sudah jauh-jauh menjenguk.


Silakan duduk,” sahut Umi ramah.
Rania dan Ziya merasa canggung. “Nggak usah Umi,
kami berdiri saja.”
Selama berbincang Rania hampir tidak berani menatap
Hanif. Ia lebih memperhatikan penjelasan Umi tentang
kecelakaan yang menimpa ikhwan itu. Sekali ia melirik,
ternyata kakak tingkatnya itu juga melakukan hal yang
sama. Ia segara mengalihkan pandangan.
“Hanif mengantuk ketika pulang dari mabit.” Umi
memulai ceritanya. “Dia nggak sadar waktu terjadi tabrakan.”
Rania ngeri membayangkannya. Tidur ketika mengen-
darai motor? Innalillahi.
“Jadi pas perempatan, Hanif nabrak mobil. Terus ter-
lempar dari motor dan kepalanya membentur kaca mobil.
Kacanya pecah. Kepala Hanif masuk sampai ke kursi
penumpang.”
Rania menutup mulutnya. Allah. Sampai sebegitunya?
“Kata Hanif dia nggak merasakan sakit atau apa. Mung-
kin langsung pingsan waktu itu.” Umi mengakhiri ceritanya.
“Kata dokter gegar otak ringan,” sambung Hanif. Sedari
tadi ia hanya diam, mendengarkan uminya bercerita sambil
sesekali mencuri pandang ke arah Rania. Masya Allah. Ia
tidak pernah menyangka akhwat itu akan datang melihat
keadaannya.

~ 103 ~
Rania

Saat Rania masuk, entah cahaya apa yang mengiringi


akhwat itu. Rania begitu memesona di mata Hanif, terasa
ada semburat sinar mengelilingi. Apakah itu pengaruh
gegar otak yang dialaminya?
Jarak antara kampus dan rumah sakit sangat jauh. Hanif
sangat yakin Rania dan Ziya naik angkutan umum ke sini.
Tanpa terasa hatinya menghangat, mendapat perhatian
sebesar itu dari akhwat yang pernah mengisi hatinya.
“Innalillahi,” bisik Rania seraya menatap Hanif. “Seka-
rang bagaimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, jauh lebih baik.” Hanif mencoba terse--
nyum. Sakitnya berkurang dengan kehadiran Rania.
Rania tersenyum sedikit. “Alhamdulillah.”
Mereka berbincang cukup lama. Sampai adzan Maghrib
berkumandang.
“Umi, sudah malam, saya dan Ziya permisi pulang,”
pamit Rania.
“Loh? Mau langsung pulang ke Depok?” tanya Umi
sangsi.
“Iya, Umi.”
“Sudah malam. Jangan pulang sendirian, daerah sini
agak kurang aman,” cegah Umi.
“Insya Allah tidak apa-apa, Umi.”
“Tadi naik apa ke sini?” tanya Hanif.
“Bus.”

~ 104 ~
Meredam Hasrat

“Aduh … apalagi naik bus. Jangan, ah. Umi nggak kasih


izin.”
Rania dan Ziya berpandangan. Sama-sama tidak tahu
harus berbuat apa. Mereka juga tidak punya teman atau
saudara di daerah sini.
“Sudah, kalian menginap di rumah Umi saja.”
Apa! seru Rania dalam hati. Menginap di rumah Hanif?
“Ta-tapi … Umi ….” Rania bergantian menatap Umi dan
Ziya.
“Sudah, tidak boleh menolak. Keselamatan kalian lebih
utama. Nanti bisa tidur bareng kakaknya Hanif.”
Rania melirik Hanif sekilas, ingin melihat bagaimana
reaksi ikhwan itu. Hanif sudah tertidur. Nampaknya obat
biusnya kuat sekali. Ia tidak punya pilihan lain.
“Ba-baik, Umi.”
Menginap di rumah Hanif? Rania bahkan tidak pernah
memikirkan hal ini akan terjadi.

“Apa nggak apa-apa?” tanya Ziya lagi.


“Dari pada kenapa-kenapa di jalan.” Rania memberikan
alasan.
“Nggak enak aja,” tambah Ziya.
Rania juga merasakan hal yang sama. Dua akhwat

~ 105 ~
Rania

menginap di rumah ikhwan? Rasanya kok ….


“Kak Hanif, kan, tidak ada di rumah. Jadi anggap
saja kita menginap di rumah Habibah.” Rania mencoba
membesarkan hati.
Ziya menarik napas panjang. “Ya, sudah.”
Rania dan Ziya pulang bersama Umi menggunakan
taksi. Sesampai di rumah, Umi menyilakan mereka masuk.
“Rumahnya sederhana,” ujar Umi.
“Alhamdulillah, Umi. Berkah dengan banyaknya peng-
hafal Al-Qur’an di rumah ini.” Rania tahu sedikit tentang
adik dan kakak Hanif dari Habibah. Mereka adalah keluarga
tarbiyah yang dekat dengan Al-Qur’an.
Umi tersenyum. “Nanti bisa tidur sama Hana. Sekarang
kalau mau bersih-bersih bisa di dalam. Habis shalat kita
makan malam.” Umi mengantar Rania dan Ziya ke kamar
yang akan ditempati. “Kalau mau memberi kabar ke orang
tua di rumah, bisa pakai telepon di ruang depan.”
Rania mengangguk dan balas tersenyum. Apa yang
akan ia katakan ke Ayah dan Ibu?
Selesai shalat Rania dan sahabatnya keluar menuju
meja makan. Semua sudah berkumpul. Hatinya kembali
merasa tidak nyaman. Allah. Dia tidak tahu bagaimana
harus berhadapan dengan keluarga ini. Apalagi barusan
ia bertemu Hana di kamar. Malu rasanya. Pikiran itu masih
bermain-main di kepala. Seorang akhwat menginap di

~ 106 ~
Meredam Hasrat

rumah ikhwan? Rasanya ingin menghilang saja.


“Duduk, Rania, Ziya,” ajak Umi ketika melihat mereka
keluar dari kamar.
Rania berharap malam cepat berlalu. Ia tidak berani
membuka pembicaraan selama makan. Segan. Sesekali ia
melirik Hana dan Habibah memperhatikan bagaimana
reaksi mereka dengan keberadaannya di sini. Habibah tam-
paknya senang, kalau Hana, akhwat itu tidak banyak bicara.
Reaksinya pun hampir datar. Ia jadi mengira-ngira, apa yang
ada di pikiran kakak Hanif itu.
Selesai makan malam yang terasa lamanya, Rania dan
Ziya akhirnya masuk ke kamar untuk istirahat. Setelah Isya,
ia dan sahabatnya langsung terlelap. Ia berjanji ini yang
terakhir kali berada di rumah Hanif.

“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Sedang sibuk, Ukhti.”
“Nggak, baru selesai tilawah.”
“Ooo.” Setelah Subuh, Hanif kembali mengabsen
Rania lewat telepon. Sudah satu bulan sejak kecelakaan
itu terjadi, ia masih harus bed rest selama beberapa bulan
untuk pemulihan. Ia tidak pernah ke kampus. Tidak juga ke
kosan. Hanya Rania yang ia jadikan penyambung informasi.

~ 107 ~
Rania

“Bagaimana persiapan daurah untuk mahasiswa baru?”


“Alhamdulillah sudah lima puluh persen. Tempat sudah
dapat dan sudah di-booking.”
“Alhamdulillah. Ana juga sudah mendapatkan ustadz
untuk mengisi daurah.” Samar-samar Hanif mendengar
lantunan ayat suci dibacakan dari ujung sana. Bacaannya
tartil dengan langgam mengalun. Membuatnya penasaran.
“Siapa yang sedang membaca Al-Qur’an?”
“Oh, Ayah.” Rania menoleh ke ruang duduk, biasanya
Ayah membaca Al-Qur’an di ruang atas, tetapi kali ini ayah
membaca Al-Qur’an di ruang tengah.
“Masya Allah, merdu sekali suaranya.” Hanif tidak basa-
basi ketika mengatakannya.
“Alhamdulillah. Ayah pernah jadi qori ketika MTQ,” jelas
Rania.
“Masya Allah.” Bertambah satu lagi kekaguman Hanif.
Seorang Ayah yang dekat dengan Al-Qur’an tentu sangat
menjaga anaknya dari maksiat. Ia yakin itu. Rania pasti
memelihara dirinya dari hal-hal yang Allah larang.
“Akhi bertugas menjadi imam Tahajjud lagi?” tanya
Rania.
“Insya Allah. Panitia ikhwan nampaknya merevisi imam-
nya. Tapi ana belum tahu, apakah sudah bisa ikut daurah.
Semoga saja setelah bed rest, ana sudah bisa ke kampus”
“Dokter memang bilang berapa bulan?” Rania menye-

~ 108 ~
Meredam Hasrat

lidik
“Tiga bulan”
“Ooo … berarti pas satu bulan menjelang daurah. Insya
Allah masih ada waktu.”
“Amin.”
“Oya, Akhi, ada permintaan dari akhwat, Tahajjud-nya
jangan kelamaan. Jangan sampai kejadian Ramadhan
kemarin terulang.” Rania masih bisa mengingat dengan
jelas peristiwa itu.
Waktu sudah tinggal dua puluh menit menjelang azan
Subuh, tetapi Hanif masih belum menunjukkan tanda akan
mengakhiri Tahajjud. Rania sudah tidak konsentrasi. Di
barisan jamaah akhwat, ia memikirkan sahur yang masih
harus disiapkan.
Lima belas menit menjelang azan, Tahajjud berakhir,
ia dan akhwat yang bertugas di konsumsi bergegas mem-
bagikan sahur di bagian belakang masjid.
Semua serba terburu-buru. Berkejaran dengan waktu.
Rania sendiri baru bisa makan lima menit menjelang. Ketika
sedang menikmati sahur, peringatan waktu azan Subuh
diumumkan. Satu menit lagi. Ia mengunyah cepat dan
minum sebanyak yang ia bisa.
Allah. Dengan sedih Rania menatap piring yang baru
habis sebagian.
“Mbak … masih kepingin makan, tapi sudah azan,”

~ 109 ~
Rania

keluh salah seorang peserta.


“Iya, Mbak. Masih lapar. Kelamaan, sih, Tahajjud-nya.
Harusnya tiga puluh menit sebelum azan sudah sahur,”
timpal yang lain.
“Makanannya bersisa, Mbak. Mubazir.”
Masalah tidak selesai sampai di sana. Setelah Subuh,
Ziya mengajak Rania menemui Hanif. Sahabatnya itu ingin
membuat perhitungan. Ziya menunjukkan makanan yang
bersisa sangat banyak kepada Hanif. Susah payah panitia
akhwat menyiapkan makanan untuk sahur kali ini. Sia-sia.
Terbuang percuma.
“Insya Allah tidak terulang lagi,” sahut Hanif sedikit
malu ketika Rania mengingatkannya. Ziya sempat marah
padanya dulu. Ia memang tidak mempertimbangkan
keadaan akhwat yang berbeda dengan ikhwan. Karena ia
dan teman-teman lain bisa menghabiskan makanan dalam
sekejap, berbeda dengan akhwat yang mungkin sedikit
lambat.
Rania tersenyum. “Sebaiknya jangan, kalau tidak mau
kena marah lagi sama Ziya.” Ia mendengar tawa pelan Hanif
di ujung sana. Allah. Dia merindukan suara itu. Padahal baru
saja ia belajar menata hati.
Sejak pulang dari rumah Hanif, Rania masih didera
perasaan malu. Kurang etis rasanya ia menginap di rumah
Hanif, walau ikhwan itu tidak ada di sana. Ia merasa izzah-
nya sebagai seorang muslimah dipertanyakan. Seharusnya

~ 110 ~
Meredam Hasrat

sejak awal ia tidak menjenguk ke rumah sakit. Bisa saja ia


menelepon Hanif setelah pulang ke rumah.
Rania menarik napas, apakah ia bisa melepaskan diri
dari Hanif?

Rania membuka diari yang sudah lama tidak ia tulis.


Jurnal berwarna hijau itu dulu berisi nama sang Ustadz,
tetapi ia ingin meninggalkannya. Ia memenuhi diari dengan
aktivitas dakwah, kuliah, dan mengajar. Namun tetap saja,
memori tentang ikhwan itu tidak mau pergi. Masih tersisa
kenangan yang tidak mampu dilupakan.
Ia membuka lembaran dan membacanya.

“Alhamdulillah kajian akhwat pekan ini berjalan lancar.


Banyak mahasiwi baru yang ikut, walau mereka belum
menutup aurat. Semoga ini menjadi jalan bagi mereka untuk
hijrah dan mengenal Islam secara kaffah.”

“Ya Rabb, kenapa sih aku begitu lemah? Kenapa masih


saja ingat sama Ustadz? Padahal aku sudah coba untuk nge-
lupain dia. Aku sudah niat puasa Daud untuk membersihkan
hati, tapi godaan itu selalu datang. Ustadz masih saja suka
menelepon, kalau terus seperti ini, aku takut kembali jatuh
hati. Ampuni hamba yang lemah ini, Allah. Hamba tidak ingin
mengotori hati.”

~ 111 ~
Rania

“Masya Allah. Rasanya lelah sekali tubuh ini. Semalam


aku pulang dari mengajar bimbel. Di jalan aku melihat sosok
yang mirip sekali dengan Ustadz, hanya sekilas. Ternyata
bukan Ustadz. Kenapa aku masih saja memikirkan dia?”

Rania menarik napas panjang. Ia meraih pena dan me-


nuliskan sesuatu di sana.

“Ya Rabb, aku ingin kembali menata hati. Aku nggak mau
mengenang seseorang yang aku coba lupakan. Mulai saat
ini aku ber-azzam untuk menyibukkan diri dengan aktivitas
kuliah, praktikum, dakwah, mengajar, kajian, memperbanyak
amalan sunah, dan memperbaiki amalan wajib. Aku nggak
mau ada waktu luang dan menjadi peluang bagi setan untuk
masuk menggoda. Aku mau memperbaiki niat, melakukan
semua karena Allah. Untuk Allah. Doakan aku bisa melalui
semua ini dengan baik.”

Rania membaca kembali tulisannya. Ia menguatkan


niat. Harus bisa. Ia harus bisa menghilangkan nama Ustadz,
bukan hanya di buku harian, tetapi juga pikirannya.

~ 112 ~
Rania menarik
napas, apakah ia bisa
melepaskan diri dari
Hanif?
Hanif tidak terlalu
fokus dengan rapat yang
berlangsung. Ia sibuk
menghirup wangi yang
keluar dari lisan Rania.
Seperti inikah
harum surga?
9- Harus Berpisah

Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak


mengetahui amal ibadah yang lebih berat daripada
lelahnya melakukan shalat malam dan menafkahkan
harta ini.”[37]

Selesai masa bed rest selama tiga bulan, Hanif kembali


ke kampus. Ia bersyukur masih Allah berikan kesempatan
untuk hidup. Tidak main-main kecelakaan kali ini, ia meng-
alami gegar otak sampai tidak bisa berjalan lurus ketika
pengobatan di rumah sakit. Dunia terasa bergoyang.
Sistem keseimbangannya benar-benar berdampak dari
kecelakaan itu.
Masa bed rest di rumah membuatnya tidak bisa ber-
aktivitas di luar. Ia harus banyak tidur. Akhirnya ia keting-
galan mata kuliah, absen mengisi daurah dan menjadi
imam Tahajjud. Tidak juga mengisi kajian atau liqo. Hanya

~ 115 ~
Rania

ibadah harian. Kekosongan itu membuat imannya menu-


run. Apalagi ditambah dengan rutinitas menelepon Rania
setiap pekannya.
Bukan tanpa alasan, ia perlu menghubungi Rania seba-
gai penyambung informasi di kampus. Program pembinaan
harus tetap berjalan, dan ia butuh berkoordinasi dengan
akhwat itu. Namun semua menjadi bumerang. Ia menjadi
ketergantungan. Janjinya untuk menjauhi Rania dan fokus
ke dakwah mulai terkikis.
Membunuh sepi, Hanif menjadikan Rania sebagai te-
man bicara. Semakin berinteraksi, ia semakin yakin, akhwat
itu perempuan yang tepat untuk dirinya. Penilaiannya tidak
pernah salah. Keinginan itu kembali hadir, menjadikan
Rania pendamping hidup. Cepat atau lambat ia perlu me-
nyampaikan ini, pikirannya ingin tahu apakah akhwat itu
mempunyai rasa yang sama.
Kelas sudah ramai ketika Hanif masuk. Tahun ini ia
mengambil mata kuliah yang sama dengan Rania. Tidak
sengaja sebenarnya, karena ia tidak tahu saat mengambil
mata kuliah itu. Hatinya riang. Ada kesempatan satu
semester untuk mengenal Rania di kelas.
Hanif mengambil tempat duduk di belakang, seperti
biasa. Tidak masuk tiga bulan membuatnya tidak mengerti
pelajaran yang dibahas. Apalagi kepalanyaa terasa mela-
yang, masih dalam proses penyembuhan.
Selama kelas berlangsung, hanya Rania yang ia per-

~ 116 ~
Harus Berpisah

hatikan. Bagaimana akhwat itu bergerak, berbicara, terse-


nyum, dan mendengarkan dosen.
Tiba-tiba sesuatu mengusik hatinya. Hanif mengambil
kertas dan menuliskan sebuah kalimat. Ia melipat lembaran
dan menepuk bahu seorang mahasiswa yang entah siapa
namanya.
“Tolong berikan ke Rania,” ujarnya lirih seraya menga-
ngsurkan lipatan.
Walau tidak paham untuk apa, laki-laki itu menerima
kertas dan meneruskan ke orang di hadapannya dengan
pesan yang sama. Begitu seterusnya sampai Rania mene-
rima.
Hanif melihat kerut di raut Rania saat akhwat itu mene-
rima kertas yang terlipat. Seperti bingung. Ia menangkap
gerak bibir Rania ketika bertanya dari siapa kertas itu. Sang
penyambung pesan hanya mengangkat bahu ringan.
Rania membuka kertas tersebut, sepersekian detik ke-
mudian, akhwat itu menoleh ke belakang. Matanya mencari
sesuatu. Hanif yakin, dirinyalah yang dimaksud. Benar saja,
ketika pandangan mereka bertemu, tatapan Rania terkunci.
Namun tidak lama, dua detik kemudian akhwat itu sudah
mengembalikan pandangan ke depan.
Hanif tidak bisa membaca isi hati Rania. Apakah se-
nang, kesal, atau marah? Hanya datar. Ia yakin akhwat itu
akan menanyakan kepadanya nanti, apa maksud isi pesan
yang dikirimnya.

~ 117 ~
Rania

“Maaf, ana berharap Ukhti bisa menjaga jarak dan tidak


terlalu dekat dengan laki-laki.”
-Hanif-

Apa maksudnya?
Rania kembali membaca tulisan tangan yang rapi itu.
Mencoba memahami.
Hanif tidak mau ia dekat dengan laki-laki? Memangnya
kapan ia pernah akrab dengan mahasiswa di kampus?
Perlakuannya ke teman-temannya biasa saja. Tidak ada
yang istimewa. Ia hanya bersikap sewajarnya. Tidak juga
mencari perhatian atau menggoda. Ia datang terlambat
dan duduk di samping teman laki-laki karena hanya ini
satu-satunya kursi yang kosong.
Sikap yang aneh. Masa hanya karena sebab ini ikhwan
itu mengirimkan teguran?
Apakah ia perlu menanyakan hal tersebut ke Hanif?
Namun untuk apa? Sebaiknya tidak, toh ia sedang berusaha
menjaga jarak dari kakak tingkatnya itu. Tekadnya sudah
jelas. Ia tidak mau lagi terjangkiti penyakit hati yang bisa
membuat ibadahnya terganggu, juga niatnya dalam
berdakwah di kampus.
Cukup sudah hatinya terombang-ambing tidak jelas

~ 118 ~
Harus Berpisah

dalam pesona seorang Hanif. Ia bahkan sempat curhat ke


Ziya dan guru mengajinya. Perlahan jiwa Rania bangkit.
Tausiah sang murabbiyah membuat hatinya kembali meya-
kini konsep jodoh. Jangan mengotori hati untuk cinta yang
sebelum waktunya dan belum tentu bertemu dalam pela-
minan. Lebih baik sibuk memperbaiki diri. Allah akan mem-
berikan pasangan yang sesuai dengan kapasitas seorang
hamba. Ingin mendapatkan pasangan baik, maka harus
menjadi baik terlebih dahulu. Memendam rasa suka hanya
membuat angan-angan semakin jauh. Berharap. Lalu
terluka.
Ia harus memandang Hanif sebagai seniornya di kam-
pus. Partner dakwah. Mereka bekerja untuk mengajak
orang kepada kebaikan. Hanya itu.
Rania menarik napas panjang. Berusaha meredam se-
buah rasa yang masih tertinggal jauh di sudut hati. Ya,
memang masih tersisa, tersimpan rapi di sudut hati. Namun
ia tengah berjuang, walau tidak mudah. Menghilangkan
sebuah rasa yang pernah hadir memenuhi kalbu.

Hanif belum bisa mengeluarkan Rania dalam pikiran.


Semakin kuat ia berusaha, semakin kuat rasa itu menancap.
Cinta dalam diam. Tidak pernah ia menceritakan isi hati ini
kepada orang lain. Hanya curhat kepada Sang Pemilik Hati.
Ia tidak tahu harus diapakan dorongan batin ini.

~ 119 ~
Rania

Mencabut sampai ke akar atau memupuk hingga tum-


buh subur? Umurnya kini 21 tahun. Banyak juga aktivis dak-
wah yang menikah muda. Jika memang takdirnya, kenapa
tidak, ia siap menghadapi prosesnya. Daripada cinta dalam
diam yang tidak halal.
Ia mengembus napas berat. Bukan pilihan yang sulit
sebenarnya. Ia tahu mana yang hak dan batil. Sudah jelas
yang halal dan haram. Seterang siang dan malam. Jika
belum waktunya, ya harus dilepaskan. Tetapi godaan itu
mengikatnya kuat. Kadang ia bisa menahan diri, tetapi lebih
banyak tidak. Apalagi bila berhadapan langsung dengan
Rania. Hatinya lemah, imannya tipis.
Teringat ia pernah memberikan nasihat kepada akhwat
itu. Nasihat yang muncul karena keegoisan diri. Melarang
Rania bersikap terlalu akrab dengan laki-laki lain. Entah apa
yang mendorongnya ketika itu. Ia mencoba mengingkari,
bahwa itu adalah tausiah dari saudara sesama muslim,
saling mengingatkan dalam kebaikan. Tetapi ia yang paling
tahu alasan sebenar. Cemburu.
Ia tidak suka bila Rania dekat dengan mahasiswa di
kampus. Ia ingin akhwat itu untuk dirinya sendiri.
Pesan balasan dari Rania membuatnya plong.

“Maaf, ana tidak merasa melanggar batasan dalam


berteman dengan lawan jenis. Ana tahu adab dan menjaga
diri untuk suami ana kelak.”

~ 120 ~
Harus Berpisah

Ia tersenyum semringah. Tersirat kemarahan di kertas


yang diberikan. Ia malah lega. Benar hatinya memilih Rania.
Akhwat itu menjaga diri untuk tidak tersentuh oleh laki-laki
lain. Poin yang membuat kekagumannya bertambah.
“Afwan, sudah bisa dimulai rapatnya?”
Suara serupa buluh perindu mengalun lembut dari
balik hijab. Membuat Hanif tersadar seketika. Ia tengah
berada di mushalla untuk rapat koordinasi dengan Rania.
“Iya, bisa,” sahut Hanif.
Hanif tidak terlalu fokus dengan rapat yang berlang-
sung. Ia sibuk menghirup wangi yang keluar dari lisan
Rania. Seperti inikah harum surga? Pertukaran kertas dari
bawah hijab bergerak indah bagai alunan melodi yang
tidak pernah ia dengar sebelumnya. Dirinya hanyut. Bagai
orang yang tengah mabuk cinta. Membuat lupa.
“Ukhti … ana nggak tahu kenapa bisa begini. Dulu ana
berusaha menjaga jarak dengan anti, tapi sekarang kok
malah berubah suka.”
Hening selama lima detik yang terasa bagai selamanya.
Hanif menepuk dahinya pelan. Ia langsung menyesali
ucapannya. Kenapa ia bisa menyampaikan hal tabu itu. Me-
mang yang disampaikan adalah kejujuran, tetapi ia khawatir
dengan tanggapan Rania akan pernyataannya barusan.
Apa yang akan dipikirkan akhwat itu tentang dirinya.
Gesekan suara rumput. Tiupan angin lembut. Suara

~ 121 ~
Rania

tilawah ikhwan dan akhwat yang sedang beristirahat di


pojok mushalla memecah hening.
Rania terpaku.
“Eh, kita lanjut ke poin ketiga,” lanjut Hanif menjaga
intonasi suara tetap datar. Rapat berlangsung seperti biasa,
seolah kata-katanya tadi tidak pernah ada.

Debar di dada Rania masih menyisakan bekas, ketika


rapat usai. Ia tertegun saat mendengar pernyataan Hanif
yang membuat geger hatinya. Apa maksud dari ucapan
ikhwan itu tadi?
Ia berusaha menolak kemungkinan Hanif menyukainya.
Tidak. Rasanya tidak mungkin. Lagi pula. Ia sedang belajar
melupakan.
Rania menarik napas panjang. Ia butuh teman bicara
saat ini. Hatinya kembali bimbang.

Rania menundukkan kepala, setelah selesai menceri-


takan isi hati kepada Nisa, ketua keputrian sekaligus guru
mengajinya, di mushalla kampus pagi ini. Belum ada orang
lain di sana selain mereka berdua. Puas rasanya Rania men-
ceritakan semuanya, termasuk kalimat menggelegar yang

~ 122 ~
Harus Berpisah

disampaikan Hanif.
“Anti tahu, kan, tidak ada pacaran dalam Islam?” tanya
Nisa hati-hati dan santun.
Rania mengangguk.
“Tidak juga mengikat janji sebelum waktunya?”
Rania kembali mengangguk. Beberapa ikhwan dan
akhwat tidak jarang saling mengikat janji, mereka akan
menikah beberapa tahun lagi. Selama waktu tunggu saling
tidak berinteraksi. Bila ada lamaran lain yang datang akan
ditolak. Sampai sang ikhwan datang melamar. Namun,
terkadang dalam proses tidaklah semulus rencana. Bebe-
rapa kasus, ikhwan tidak kunjung datang, malah menikah
dengan akhwat lain. Akhirnya, sang akhwat harus menderita
perasaannya.
Kasus lain yang sering terjadi akhirnya berkhalwat di
tempat umum, berkhalwat di telepon, atau berkhalwat
lewat SMS.
Sebenarnya ini adalah masalah hati. Bagaimana men-
jaga agar tidak terkotori dengan cinta selain kepada-Nya.
Rasa yang berpotensi kepada maksiat. Seusia Hanif dan
Rania, rasa cinta mulai liar mencari-cari. Risiko selalu ada bila
berpasangan dalam kerja dakwah. Namun sistem ini sudah
berjalan lama dan berhasil mengajak banyak mahasiswa
kepada kebaikan. Akhirnya metode tetap berjalan, tinggal
bagaimana masing-masing menjaga hati.
“Hubungan apa yang terjalin antara anti dengan Hanif?”

~ 123 ~
Rania

Rania menggeleng. Ia tidak punya hubungan apa-apa


dengan ikhwan itu. “Hanya teman di pembinaan, Mbak.”
“Lalu, kenapa Hanif sampai berkata seperti itu ke anti?
Pasti ada apa-apanya, kan? Belum lagi pesan yang kerap dia
kirim ke anti.”
Hanif memang beberapa kali mengirim pesan tertulis
kepadanya. Kebanyakan berisi tausiah. Rania benar-benar
tidak tahu bagaimana perasaan ikhwan itu kepadanya. Ia
tidak mau mengira-ngira.
“Sebaiknya anti pindah divisi saja.”
Rania mendongak. Pindah divisi? Namun ia menyukai
dunia pembinaan. Sudah menjadi darah dagingnya. “Tapi,
Mbak ….”
“Anti keberatan?”
Rania menggeleng. “Bukan, hanya saja, ana mencintai
dunia pembinaan.”
“Insya Allah, sebagai kader siap ditempatkan di mana
saja. Dakwah itu luas. Anti harus siap.”
Rania mengangguk. Ia paham hal itu.
“Ingat pesan Mbak dulu. Jaga hati. Setan masuk dari
celah kecil yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya.
Setan menyerang titik lemah seorang hamba,” tausiah Nisa.
“Banyak ikhwan dan akhwat yang terkena penyakit hati satu
ini. Ingat tujuan awal berdakwah untuk apa. Bukan untuk
mendapatkan pasangan hidup. Jodoh itu bisa datang dari

~ 124 ~
Harus Berpisah

mana saja.
“Jangan kotori niat mulia kita untuk membantu agama
Allah dengan urusan remeh seperti saling suka, yang nan-
tinya berujung maksiat. Perbaiki niat. Perbaiki hati. Perbaiki
diri. Allah tidak mungkin salah penilaian-Nya.
“Mungkin bagi kita saat ini dia yang terbaik. Padahal
belum tentu demikian. Allah lebih tahu mana yang terbaik
untuk kita. Allah sudah menyiapkan pada waktunya nanti.
Jadi tidak perlu risau. Kalau memang sudah jodoh, insya
Allah akan Allah pertemukan.”
Air mata Rania tumpah, membasahi jilbab ungu kesu-
kaannya. Sejujurnya ia tak tahu kenapa air matanya meng-
alir. Apakah memang sudah dalam rasa untuk Hanif? Ah,
tidak. Tangisan ini karena cintanya pada dakwah.
Ia meresapi semua tausiah Nisa sepenuh hati. Ia me-
mang sangat lemah. Imannya tidak sebanding para saha-
biyah yang teguh kukuh. Sedikit tergelincir, ia bisa masuk
dalam perangkap setan.
“Untuk Hanif nanti biar Mbak yang ngomong. Besok
Mbak bicarakan di syuro’ rohis tentang kepindahan anti.”
Rania mengangguk. Ia patuh dengan gurunya. Insya
Allah ini yang terbaik.
“Baik. Ada lagi yang ingin anti ceritakan?”
“Nggak Mbak. Doakan saja ana bisa tetap istiqomah.”
“Insya Allah selalu Mbak doakan.”

~ 125 ~
Rania

Rania menarik napas lega. Ia merasa masalahnya sudah


teratasi. Ia berharap demikian. Dipeluk kakak kelasnya
dengan penuh cinta.

Hanif sudah mengira kalau hari ini akan tiba. Cepat


atau lambat orang lain akan tahu. Mungkin bukan dari
dirinya, karena ia pandai menyimpan rasa. Sepertinya Rania
menceritakan perihal ini kepada ketua keputrian.
“Ini sudah keputusan syuro’. Insya Allah Rania akan
pindah divisi. Ana harap tidak ada kendala ke depannya.
Rania juga juga siap di tempatkan di mana saja, selagi untuk
dakwah kampus,” jelas Nisa dari balik tabir.
“Afwan, kalau boleh tahu, apa alasannya, Mbak? Apakah
ada yang salah dengan kinerja ana di pembinaan?”
Nisa menghela napas pelan. “Ana pikir, Akhi sudah
tahu alasannya. Kami tidak mau ada desas-desus tidak baik
beredar di luar sana.”
“Desas-desus seperti apa?”
“Kami tidak mau orang luar tahu kalau ada hubungan
yang tidak seharusnya antara koordinator ikhwan dan
akhwat. Ini akan membawa stigma negatif ke depan.”
“Tapi, ana tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania,”
bantah Hanif. Belum, lebih tepatnya.
“Rania sudah menceritakan semua ke ana. Dan ana

~ 126 ~
Harus Berpisah

pikir itu sudah lebih dari cukup. Akhi menunjukkan sikap


kalau Akhi menyukai Rania. Seharusnya Akhi tahu hal seper-
ti itu dilarang,” sergah Nisa.
Hanif tertegun. Benar. Rania sudah menceritakan
semua ke Nisa. “Ana tahu kalau ini tidak diperbolehkan, tapi
… Rania berbeda, Mbak.”
“Istighfar Akhi, istighfar. Ingat, jangan maksiat kepada
Allah. Tujuan Akhi untuk dakwah di kampus itu apa? Lillah.
Bukan karena seorang akhwat.”
Hanif menarik napas berat. Ia tidak pernah satu kali
pun menyentuh Rania. Bahkan bertemu di luar hijab
mushalla juga tidak pernah. Mereka hanya berbincang di
telepon, tanpa bersemuka. Ia menghormati Rania sebagai
muslimah yang menjaga izzah-nya. Hanya keinginan hati
untuk menjadikan akhwat itu pendamping hidupnya kelak.
Apakah salah?
“Ana tidak pernah melanggar batasan, Mbak. Ana akui,
ana memang menyukai Rania, tapi rasa ini tidak pernah ana
tunjukkan atau ceritakan kepada yang lain. Hanya untuk
ana sendiri. Saat ana sampaikan suka dalam rapat tempo
hari, itu keceplosan ….”
“Satu kalimat itu sudah cukup. Ini sudah keputusan
syuro’. Kalau Akhi yakin dengan jodoh yang akan Allah
pilihkan nanti, tentu Akhi tidak keberatan apabila Rania
pindah divisi, kan? Karena ini tugas dakwah. Akhi juga tidak
keberatan kalau tidak menghubungi Rania lagi, bahkan

~ 127 ~
Rania

lewat telepon?”
Hanif terdiam. Apakah ia sanggup?
“Akhi buktikan ke diri Akhi sendiri, apakah selama ini
niat Akhi ikhlas karena Allah, atau karena makhluk?” tan-
tang Nisa. “Apa yang Akhi mau jawab jika Allah murka,
aktivitas dakwah-Nya dicampur dengan cinta yang tidak
halal? Apa yang Akhi mau jawab jika Nabi ada di hadapan
Akhi sekarang. Kenapa ada aktivis dakwahnya yang
mengkhianati dakwah nabi-Nya? Kenapa tega berbuat
seperti itu pada Nabi antum sendiri?
“Akhi, satu hati terlalu sempit untuk menyimpan dua
cinta. Hanya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang akan
mengantarkan ke surga-Nya. Sementara cinta manusia yang
belum waktunya, akan mengantarkan antum ke mana?”
Hanif terpekur. Perkataan Nisa yang bertubi-tubi me-
nohoknya sangat dalam. Ia tidak punya argumen untuk
menentang. Air mata Hanif menggenang, bercampur rasa
malu, takut siksa Allah dan takut kehilangan Rania. Begi-
nikah rasanya putus cinta?

~ 128 ~
“Ana akui, ana memang
menyukai Rania, tapi
tidak pernah ana
ceritakan kepada yang
lain. Saat ana sampaikan
suka dalam rapat tempo
hari, itu keceplosan …”
Sakit itu
bernama rindu.
10- Pudar

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu


urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mu-
lah hendaknya kamu berharap.”
[Asy-Syarh/94 : 7-8)

Tahun 1999

Sakit itu bernama rindu. Iya, rindu. Apa obat bagi orang
yang sedang dilanda kerinduan yang amat sangat?
Hanif membiarkan dirinya larut. Ia hampir lelah terus
menerus berdebat dengan hatinya. Dijauhkan dari Rania
tidak menyelesaikan masalah. Malah menimbulkan per-
soalan baru.
Rasa sakit yang ia tidak punya penawarnya. Sakit
menahan rindu. Tidak pernah terpikirkan akan seperti ini

~ 131 ~
Rania

dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Sulit digambarkan


dengan kata-kata. Hanya yang mengalami yang tahu
rasanya. Ia nyaris tidak bisa konsentrasi untuk apa pun yang
dilakukan.
Setelah Rania pindah divisi, mereka tidak pernah ber-
temu. Hanya beberapa kali berpapasan di kampus tanpa
saling menyapa atau bertukar senyum. Tidak ada lagi rapat
di mushalla kampus.
Hanif teringat saat terakhir kali ia menelepon Rania
setelah Subuh.
“Ana minta maaf kalau selama berinteraksi ada lisan
ana yang tidak pada tempatnya,” ujar Hanif berusaha tetap
tenang. “Ana minta maaf kalau dalam rapat terlalu banyak
menuntut. Ana juga minta maaf kalau pernah membuat
anti tersinggung. Insya Allah sama sekali tidak ada niatan
ke arah sana.”
“Sama-sama, ana juga minta maaf kalau selama bekerja
sama tidak sesuai harapan.”
“Insya Allah nggak. Ana belum pernah menemukan
akhwat seperti anti.” Baru saja lisan terlepas, Hanif sudah
merutuk dalam hati. Bisa-bisa Rania salah persepsi dengan
kalimat barusan. Ia langsung menambahkan. “Di mana pun
anti ditempatkan nanti, ana yakin anti akan bekerja, sama
kerasnya seperti anti di pembinaan.”
“Insya Allah.”
Betapa Hanif ingin berlama-lama. Merekam semua

~ 132 ~
Pudar

pembicaraan terakhir mereka. Ia yakin akan merindukan


suara seindah alunan dari surga. Namun waktu yang me-
misahkan. Baru lima menit menelepon, keduanya mulai
tidak nyaman. Rania lebih banyak diam.
“Itu saja Ukhti, sekali lagi, maafkan ana. Semoga dosa-
dosa kita diampuni Allah. Assalamu ‘alaikum.”
Hanif mengembuskan napas panjang mengenang
terakhir kali ia mendengar suara Rania. Ada masa di mana
kerinduan itu begitu kuat. Ia hanya sanggup duduk di
kasur dan memandangi alat telekomunikasi di genggaman
selama bermenit-menit. Jari yang bergerak hendak mene-
kan tombol, maju mundur. Jantungnya berdetak dua kali
lebih cepat. Berbantahan.
Ia tidak punya alasan untuk menelepon Rania, karena
tidak ada hal yang perlu dibahas di antara mereka. Kalau
dulu ia bebas menelepon akhwat itu untuk membahas
program pembinaan, sekarang?
Dengan putus asa ia melempar ponsel dan istighfar
beberapa kali. Untunglah ia masih bisa mengendalikan diri.
Ternyata serupa ini rasanya. Seperti ada yang mendesak di
dalam dada, meminta pelepasan.
Netranya ingin melihat Rania, telinganya ingin men-
dengar Rania, dan penciumannya ingin menghirup Rania.
Sebegitu kuat. Rindu ini bersarang terlalu lama. Memakan
ruang kosong di hati hingga penuh dengan satu nama.
Rania.

~ 133 ~
Rania

Sampai Hanif tidak tahan lagi dan tersungkur dalam


sujud panjang di sepertiga malam. Ia sadar betul tidak patut
menggantikan Sang Pemilik Hati dengan makhluk-Nya.
Demi mengobati hati, ia men-tarbiyah diri dengan puasa
Daud dan shalat Tahajjud. Berharap Allah melimpahkan
kasih sayang kepadanya.
“Ya Allah, penggenggam hati manusia, Engkau Maha
Tahu, betapa hamba berusaha melepaskan diri dari ber-
maksiat kepada-Mu. Tapi iman goyah. Kuatkanlah, ya Rabb,
kuatkanlah,” bisiknya seraya mengangkat tangan setelah
menyelesaikan Tahajjud di sepertiga malam. “Engkau yang
telah menciptakan rasa ini. Engkau yang menciptakan
wanita mulia. Engkau yang mensyariatkan pernikahan.
Tapi kenapa rindu ini begitu perih, ya Allah? Salahkah
hamba memiliki rasa ini? Salahkah hamba bila mengagumi
ciptaan-Mu? Salahkah hamba?
“Jika Engkau tak mengizinkan, ambillah rasa cinta ini
dari hati hamba, cabut sampai ke akarnya hingga tidak
bersisa ya Rabb .... Bakar dan sirnakanlah semua rasa cinta
ini ya Allah.
“Hamba tahu ya Rabb, cinta sejati hanya kepada-Mu.
Hamba tahu jiwa hamba tak mampu menampung dua
cinta. Cinta pada-Mu dan cinta pada makhluk-Mu. Sungguh,
Engkau telah saksikan, hamba telah mendidik diri ini untuk
mencintai dakwah, Tahajjud, dan ayat-ayat cinta-Mu. Tapi
kenapa Engkau uji hamba dengan terpaut pada wanita?

~ 134 ~
Pudar

Kenapa Engkau izinkan hati hamba tertambat padanya lalu


kini terhempas begitu saja?
“Namun, jika memang ini dosa ya Rabb, jika cinta ini
adalah maksiat, jika rasa ini adalah khianat hamba pada-
Mu, tentu hamba juga takut pada siksa-Mu. Hamba takut
akan neraka-Mu. Apinya menjilat-jilat. Hamba tak akan
sanggup menahannya. Maka maafkanlah hamba. Ampuni
hamba. Jangan siksa hamba. Kasihanilah hamba-Mu yang
lemah dan hina dina ini.”
Hanif bersujud dengan air mata tumpah di sajadah.
Ada perasaan marah di sana. Juga rasa malu dan dosa. Ia
ingin segera lepas dari rindu yang menyiksa.
Cintanya pada Rania telah mengisi ruang batinnya
paling dalam. Ia tak menyangka sebesar itu. Baru kini ia
sadari, saat dirinya tak lagi mampu menemuni Rania. Bahkan
sekadar mendengar suaranya. Kini doanya hanya satu, agar
Allah membantunya melupakan Rania dan mengampuni
dosanya. Agar Allah memberikan aktivitas pelipur lara, yang
mampu membuang jauh-jauh Rania dari hatinya.

Hanif meletakkan mushaf di meja ketika mendengar


ketukan. Ia sedang menyelesaikan tilawah Al-Qur’an, tar-
get satu juz setiap hari. “Masuk!” Hanif menggeser duduk
menghadap pintu.

~ 135 ~
Rania

Sosok Herman, teman satu kos sekaligus satu kampus,


muncul dari balik pintu. “Nif, nanti malam habis Isya bisa
rapat?”
Hanif mengangguk. “Insya Allah, Akhi.”
“Afwan mendadak, ada yang perlu kita diskusikan.”
“Alhamdulillah malam ini ana kosong.” Akhir pekan
seperti ini biasanya ada saja undangan menjadi imam
Tahajjud datang.
“Alhamdulillah. Ana mau kasih tahu ke yang lain dulu.
Assalamua’alaikum.” Hanif kembali menutup pintu.
Hanif menarik napas pelan setelah kepergian kakak
tingkatnya itu. Sekarang ia memiliki kesibukan baru. Setelah
mengikuti pelatihan jurnalistik beberapa bulan yang lalu, ia
mulai aktif menulis.
Herman yang membawanya ke dunia media cetak.
Tidak pernah terpikir sebelumnya kalau ia bisa menuangkan
ide dalam bentuk tulisan. Apalagi mengelola sebuah
majalah. Namun di bawah kepemimpinan Herman, semua
terasa mudah.
Sudah lama Hanif menaruh kagum pada laki-laki cerdas
itu. Baginya Herman memiliki aura kepemimpinan kuat.
Kata-kata yang keluar dari lisan kakak tingkatnya itu selalu
berenergi dan penuh motivasi. Bahkan ia sendiri terbakar.
Bekal energi positif dari Herman, Hanif kini mampu
menulis berlembar-lembar kalimat motivasi. Dilampiaskan

~ 136 ~
Pudar

kemampuannya untuk membantu buletin Al-Izzah yang


sudah beberapa bulan tidak terbit. Setelah beberapa kali
terbit dalam bentuk buletin, Hanif memiliki ide untuk
meningkatkannya menjadi majalah. Diajukan proposal bis-
nis ke bapaknya. Gayung bersambut. Bapak serius memo-
dali. Jadilah Hanif sibuk mengurus majalah Al-Izzah. Mener-
bitkan dan memasarkannya ke kampus-kampus di seluruh
Indonesia bersama teman-temannya.
Herman dan Hanif berbagi tugas. Herman sebagai
pimpinan redaksi, Hanif sebagai pemimpin umum. Selain
mereka ada dua orang lagi yang bergabung dalam korps
jurnalistik ala kampus. MIPA menjadi terkenal. Topik-topik
dakwah yang up to date, dikemas profesional oleh Hanif
sebagai bahan tulisan yang digandrungi para kader dak-
wah. Terlebih dengan tim nasyid Izzatul Islam, majalah
Al-Izzah mengambil peran untuk menjadi corong dakwah
bagi tim nasyid tersebut. Simbiosis mutualisme, saling
menguntungkan.
Memulai penerbitan majalah itu tidaklah mudah. Di
awal Hanif membawa beberapa eksemplar terbitan perdana
bersampul Dr. Yusuf Qardhawi ke sebuah toko buku Islam
terbesar di Depok. Ulama Timur Tengah itu tengah datang
ke Indonesia. Ceramahnya menjadi kupasan utama oleh
Hanif dan tim redaksi.
Alih-alih diterima dengan baik, sang pemilik toko
membanting majalah itu. “Mana mungkin majalah ini dibeli

~ 137 ~
Rania

orang Akhi. Kualitas cetaknya nggak bagus.”


Hanif terdiam. Seluruh upaya terbaik dilakukannya.
“Atau begini, Pak. Ana titip saja dulu beberapa di sini. Kalau
laku, alhamdulillah. Kalau tidak, ya, tidak mengapa.”
Beberapa hari kemudian, ribuan eksemplar ludes
diborong oleh beberapa toko buku. Setelah itu Al-Izzah
mulai dikenal dan diterima pasar.
Hanif bersyukur Allah memberinya jalan keluar untuk
permasalahan yang dihadapi. Lebih tepatnya pelampiasan.
Hanif jadi sibuk. Ia semakin jarang beredar di kampus.
Hal itu memberikan keuntungan tersendiri, ia tidak harus
melihat Rania.
Ia bersyukur jadwal padat mengelola Al-Izzah mem-
buat rasa rindunya terkikis. Inilah jawaban yang Allah beri-
kan untuk doa-doanya. Hal terbaik yang ia jalani saat ini.
Insya Allah akan membawanya untuk kembali mereguk
manisnya iman dan ghirah untuk berdakwah.

Rania melangkahkan kaki ke lantai dua. Ada kajian di


masjid kampus. Ia melihat jam di pergelangan, masih ada
lima belas menit sebelum masuk waktu shalat Maghrib.
Alih-alih duduk dan mengambil tempat untuk dirinya
dan Ziya, Rania memilih duduk di balkon. Dari atas ia bisa
melihat orang lalu lalang. Banyak gerobak penjual makanan

~ 138 ~
Pudar

yang berjejer di jalan masuk.


Ketika mengedarkan pandangan, netranya menangkap
sosok yang sudah lama menghilang dari kampus. Hanif.
Ikhwan itu sendirian. Tampak sedang membeli sesuatu,
sepertinya gorengan. Setelahnya Hanif masuk ke peka-
rangan dan menghilang.
Rania baru sadar kalau selama itu ia menahan napas.
Allah. Tangannya menekan dada yang berdebar pelan.
Kenapa ikhwan itu masih saja memberikan getaran di hati?
Ia sudah melepaskan hasrat dalam diri dan fokus ke
akademis dan dakwah. Hari-harinya dipenuhi dengan
jadwal liqo, mengisi kajian, mengajar TPA, les privat, kuliah,
praktikum, dan keputrian. Pulang malam sudah menjadi
makanan sehari-hari. Saat tubuh letihnya menyentuh kasur,
ia langsung terlelap. Jurnal harian yang dulu sempat ia
sentuh, kini nyaris kosong. Seolah tidak punya waktu luang.
Dulu Rania berpikir, dengan ketidakhadiran Hanif dihari-
harinya, akan membuat semua lebih mudah. Ternyata tidak.
Awalnya bisa bertahan, tetapi lambat laun ia merasa ada
yang kosong. Hilang. Kadang ia terlonjak kaget mendengar
dering telepon setelah Subuh, harap-harap cemas kalau itu
Hanif. Atau berangan-angan mendengar suara atau tilawah
ikhwan itu ketika ia sedang di sekre mushalla.
Namun semua tidak pernah terjadi. Ia tidak pernah
bertemu Hanif di kampus. Kenangan dua tahun bersama
dalam satu amanah dakwah, perlahan sirna.

~ 139 ~
Rania

Ketika rasa itu kembali hadir, Rania berusaha meredam


dan membuang jauh. Doanya dalam sujud panjang di
sepertiga malam. “Ya Rabb, hati ini begitu sempit untuk
menampung banyak cinta. Hanya cinta kepada-Mu yang
menyelamatkan,” lirihnya. “Tapi hamba begitu lemah,
kadang tidak kuat menahan rasa yang menyelusup. Bila
dia bukan untukku, jauhkan sejauh-jauhnya. Tetapi, bila dia
jodohku, dekatkanlah ya Allah. Dekatkanlah.”
Kini, Rania merasa Allah tengah menjauhkannya dari
Hanif. Terbukti tidak pernah sekali pun bertemu dengan
ikhwan itu. Sampai barusan.
“Hei!”
“Innalilllahi.” Rania terlonjak seraya menoleh ke sam-
pingnya. “Ziya! Ngagetin, deh.”
Ziya mesem-mesem. “Afwan. Habis anti tampangnya
serius gitu. Lagi ngeliatin apa, sih?” Ziya mendekat ke
tembok pembatas dan melongokkan kepala ke bawah.
“Eh, bukan apa-apa.” Rania menutupi rasa gugup
dengan menjauh dari balkon. “Ke dalam, yuk. Sebentar lagi
Maghrib.”
Walau penasaran, Ziya mengikuti sahabatnya itu
masuk.
“Oya, ana bertemu Kak Hanif di bawah tadi,” ujar Ziya
seraya meletakkan tas di karpet dan duduk.
Deg!

~ 140 ~
Pudar

Rania menegang sesaat. Gerakannya terhenti.


“Ran,” panggil Ziya ketika melihat sahabatnya itu masih
berdiri.
“Eh, iya.” Rania berdehem untuk menutupi keterkejutan.
“Anti bertemu Kak Hanif?” Ia ikut meletakkan tas dan duduk.
“Iya, tapi sekilas saja. Nggak sempat nyapa juga.”
Rania menghela napas lega. “Ooo ….”
“Kenapa Kak Hanif nggak pernah kelihatan di kampus,
ya?”
Rania mengangkat bahu. Urusan Hanif, bukan urus-
annya.
“Apa sudah mulai skripsi terus ngambil data di luar?”
“Nggak tahu juga.”
Ziya berdehem. “Ehm, anti sudah … nggg … sudah
nggak ….” Ziya menjadi gagap.
Rania tersenyum simpul. “Nggak. Alhamdulillah, ana
sudah melepaskan.”
Ziya ikut tersenyum. “Alhamdulillah. Ana doakan anti
mendapat pengganti yang terbaik pada waktunya nanti.”
“Amin.” Ia yakin janji Allah itu pasti. Perempuan baik-
baik untuk laki-laki baik-baik. Ia hanya perlu memperbaiki
diri, insya Allah jodoh terbaik akan datang. Walau itu bukan
Hanif.
“Oiya, Ran, anti sudah dengar berita yang santer ber-
edar di kampus?” Ziya beranjak masuk ke ruang shalat

~ 141 ~
Rania

untuk akhwat dan duduk di sana. Rania mengikuti.


“Berita apa?” Rania jarang mengikuti gosip yang ber-
edar.
“Itu … Dini.”
Rania mengenal Dini sebagai salah satu teman di
angkatanya. Parasnya manis dan santun. Ia pernah beberapa
kali bertemu. “Kenapa Dini?”
“Kabarnya dia hamil di luar nikah,” bisik Ziya, khawatir
terdengar jamaah lain yang mulai berdatangan.
“Innalillahi.” Mata Rania melebar dengan tangan
menutup mulut. “Anti yakin dengan kebenaran beritanya?”
Ziya mengangguk pasti. “Ana dapat info dari sumber
yang bisa dipercaya.”
“Subhanallah,” lirih Rania sendu. “Terus … sekarang
bagaimana keadaan Dini?”
“Laki-lakinya mau bertanggung jawab, tapi tetap saja.
Nama baik keluarganya jadi tercoreng.”
Rania menarik napas panjang. Allah. Ia menyesal karena
dulu memilih untuk menghindar kumpul-kumpul dengan
teman satu angkatan. Ia lebih memilih menyendiri di
mushalla agar tidak terwarnai dengan lingkungan. Ia ingin
mendekat dengan Rabb-nya, tetapi malah meninggalkan
teman-teman yang mungkin butuh didekati.
Rania teringat ketika tahun pertama kuliah pernah
melihat teman satu jurusan pacaran di depan mata. Benar-

~ 142 ~
Pudar

benar tidak punya rasa malu, berpelukan di muka umum.


Waktu itu ia langsung menegur si perempuan, sayangnya
temannya itu tidak menggubris nasihat Rania. Malah
menyuruh Rania untuk mengurus urusannya sendiri,
jangan mengurus urusan orang lain.
Sedih sebenarnya. Bagaimana perempuan di zaman-
nya sudah melepas rasa malu dari diri mereka atas nama
cinta. Padahal Islam begitu memuliakan perempuan. Islam
memelihara perempuan dengan menyariatkan menutup
aurat. Islam menjaga perempuan dengan melarang berdua-
duaan dengan yang bukan mahrom. Islam memberikan
solusi menikah, bukan pacaran. Islam menempatkan perem-
puan di tempat yang tinggi. Namun kadang perempuan itu
sendiri yang merendahkan diri dengan membiarkan laki-
laki menyentuhnya.
Astaghfirullah.
Rania berjanji dalam hati, ia harus merangkul semua.
Tidak hanya mahasiswa berjilbab, tetapi juga yang belum.
Karena setiap orang berhak untuk mendapatkan pence-
rahan. Hidayah Allah bisa datang dari mana saja, ia hanya
sebagai perantara.
Azan Maghrib merdu berkumandang. Rania membuka
bekal ifthor yang disiapkan. Sudah tiga minggu ia puasa
Daud, sebagai upaya riyadhoh melupakan Hanif.
Di lantai bawah, Hanif juga melakukan hal yang sama.
Ia membuka bungkus gorengan yang dibelinya di dekat

~ 143 ~
Rania

masjid untuk berbuka puasa. Sudah tiga minggu ia puasa


Daud sebagai riyadhoh hati.
Karena bukan waktu puasa Senin dan Kamis, hanya
Hanif dan Rania yang berbuka puasa di masjid saat ini. Ter-
nyata Allah masih menyisakan kebersamaan, walau dalam
diam.

Hanif menatap kursor yang berkedip-kedip di hadapan.


Ia melirik kertas di meja yang penuh coretan tangan. Ide
tulisan sudah ia tuangkan, tinggal mengembangkannya
dalam bentuk tulisan.
Jiwa-jiwa Hunain.
Hanif terinspirasi dari perang Hunain yang dialami
Rasulullah dan kaum muslimin. Tidak lama setelah Fathu
Makkah, mereka kembali harus berperang. Jumlah yang
banyak membuat kaum muslimin meremehkan lawan. Hal
ini membuat mereka kocar-kacir karena terlena dengan
kemenangan sebelumnya, tidak menyangka strategi pe-
rang musuh menghajar habis-habisan pasukan.
Allah sendiri menyebutkan tentang perang ini di dalam
Al-Qur’an, surat At-Taubah. “Sesungguhnya Allah telah
menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan
yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di
waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah

~ 144 ~
Pudar

(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat


kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa
sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan
bercerai-berai.
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Ra-
sul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah
menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan
Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir,
dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang
kafir.
“Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang
yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Walau kemenangan berada di kaum muslimin, tetapi
mereka mengalami kerugian besar dari segi nyawa. Banyak
dari mereka yang gugur.
Hanif mulai mengetikkan jemari di atas keyboard. Pikir-
annya berkelana ke lebih seribu empat ratus tahun yang
lalu. Mencoba menghadirkan suasana pada masa itu di
hatinya.
Sejak majalah Al-Izzah berdiri, Hanif bertanggung
jawab terhadap isi. Dulu ia harus berjuang untuk mencari
dan menulis semua artikel, tentu dibantu dengan teman
lain. Sekarang lebih mudah. Banyak pembaca dan ustadz
yang ikut mengisi. Hanif tinggal menambal beberapa tulisan
di kajian utama. Plus satu kolom khusus yang dipegangnya

~ 145 ~
Rania

sampai saat ini. Kolom Jiwa-Jiwa. Kolom ini disukai banyak


pembaca.
Hanif memakai Abu Hanifah, disingkat AH, sebagai
nama pena. Sejak dulu ia kagum dengan ulama besar
Mazhab Hanafi tersebut. Selain itu, ada kemiripan dengan
namanya.
Ketika sedang asyik mengetik, tiba-tiba lintasan pikiran
hadir di kepala. Sekarang majalah Al-Izzah sudah tersebar
sampai ke pelosok negeri. Oplah mencapai 14.000 eksem-
plar perbulan. Alhamdulillah, berkat ikhtiar yang sungguh-
sungguh dan istiqomah. Dengan masuknya majalah ke
kampus-kampus, apakah Rania ikut membacanya? Dan
apakah akhwat itu tahu dirinya menjadi pengasuh sebuah
kolom di sana?
Hanif menarik napas panjang. Jangan bermain api lagi.
Sudah cukup ia merasakan penderitaan sakit menahan
rindu. Ia tidak mau lagi. Bukan urusannya Rania membaca
atau tidak. Bukan itu tujuannya menulis.
Rania tetap akan menjadi sebuah kenangan indah.
Seorang akhwat yang pernah mampir dihatinya dan me-
ninggalkan jejak cukup dalam. Hanya setakat itu.

~ 146 ~
Karena bukan waktu
puasa Senin dan Kamis,
hanya Hanif dan Rania
yang berbuka puasa di
masjid saat ini.
Ternyata Allah
masih menyisakan
kebersamaan, walau
dalam diam.
Mimi tersenyum
memperlihatkan lesung
pipi dan barisan gigi
yang putih. Napas Hanif
tertahan. Netranya
hampir tidak berkedip.
11- Bermain Api

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya,


sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan
rasa takut dan harap....”
[As-Sajdah/32: 16]

Tahun 2000

Hanif memindai bangunan yang berdiri gagah di


hadapan. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menginjakkan
kaki di sini. Kesibukannya mengelola Al-Izzah begitu
menyita. Apalagi sejak kantor majalah berpindah ke daerah
selatan Jakarta.
Kesuksesan Al-Izzah membuat hidupnya kembali ber-
gairah. Ia menemukan sesuatu yang selama ini dicari. Ber-
dakwah lewat tulisan. Ia bisa bertemu tokoh-tokoh besar
di tanah air, selain itu ia juga kerap diundang ke luar kota

~ 149 ~
Rania

untuk mengisi seminar kepenulisan.


Keasyikan mempunyai penghasilan membuatnya me-
lupakan kuliah. Ia merasa tidak perlu menamatkan studi
yang nantinya tidak akan terpakai di dunia jurnalistik.
Namun bakti kepada orang tua memaksanya kembali. Kem-
bali ke kampus untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai
dahulu. Tugas akhir. Sesuatu yang bahkan memikirkannya
pun malas ia lakukan.
“Kapan selesai kuliah kamu, Nif?”
Pertanyaan dari Umi yang terus dilontarkan akhirnya
membuat Hanif berada di kampus pagi ini. Ia menarik napas
dalam. Hatinya masih terpaut di sini. Tempat memanfaatkan
hari-hari selama beberapa tahun. Akhirnya ia kembali.
Kakinya mantap melangkah ke dekanat, insya Allah, ia akan
memenuhi permintaan Umi untuk menyelesaikan kuliah-
nya tahun ini.

“Masya Allah, Hanif!”


Hanif menoleh ke asal suara. Ia tersenyum lebar
mendapati teman seperjuangannya, Heri.
“Ke mana saja antum? Mentang-mentang sudah ngetop
sekarang, lupa sama kampus.” Heri duduk di samping Hanif
dan menepuk bahu temannya itu dengan semangat.
“Bisa aja, antum. Ana masih di sini-sini aja.” Hanif men-

~ 150 ~
Bermain Api

jabat tangan Heri hangat. “Gimana kabar antum?”


“Alhamdulillah.”
“Mau pesan apa? Ana yang traktir.”
“Weits, keren nih, udah punya banyak duit, ya?”
Setelah mendaftarkan diri untuk tugas akhir ke bagian
administrasi kampus, Hanif mampir ke kantin untuk mengisi
perut.
“Bagi-bagi rezeki,” ujar Hanif seraya tertawa kecil.
Heri memesan minuman. Setelahnya mereka berbin-
cang hangat bagai dua sahabat yang sudah lama tidak
bertemu.
“Pekerjaan udah ada, penghasilan tiap bulan lancar,
sebentar lagi lulus kuliah, tinggal satu lagi yang belum,”
seloroh Heri.
Hanif tersenyum simpul, tahu ke mana arah pembi-
caraan sahabatnya itu.
“Udah ada calon belum?”
“Belum kepikiran.”
“Udah, apa lagi, sih, yang antum pikirin. Ana yakin
banyak akhwat yang bersedia taaruf sama antum.”
Hanif menarik napas pendek. “Nantilah, satu-satu. Ana
mau menyelesaikan skripsi dulu.”
“Cuma taaruf, Nif. Antum bukannya mau langsung
nikah. Biar pas wisuda sudah ada pendamping yang halal.”

~ 151 ~
Rania

“Ah, bisa aja antum.” Hanif menepuk lengan Heri pelan.


Heri tertawa kecil. “Memangnya nggak ada yang antum
suka?”
Hanif mengalihkan pandangan ke luar, melihat maha-
siswi lalu lalang dengan jilbab berbagai model. Ia bersyukur
semakin banyak muslimah yang menutup aurat. Ia tidak
berani mengatakan semua berkat jasa kader rohis, karena
hanya Allah pemilik hidayah. Namun ia berharap menjadi
bagian dari perubahan, semoga menjadi kebaikan jariyah
yang pahalanya mengalir terus menerus, sampai yaumil
hisab nanti.
Heri melambai di depan wajah Hanif, membuat Hanif
tersadar dari lamunan.
“Ada yang antum suka, nggak?” tanya Heri lagi.
Hanif tersenyum. “Nggak.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“Kalau Rania?”
Deg!
Sudah lama Hanif tidak mendengar nama itu. Nama
yang sudah ia buang jauh dari hati dan pikiran. Satu tahun
lebih bukan waktu yang sebentar. Hanif telah berhasil
membunuh rasa itu. Aktivitasnya yang padat dan antusias,
telah mengalihkan dunianya.
“Kenapa Rania?”

~ 152 ~
Bermain Api

“Nggak berminat taaruf sama Rania? Antum sama dia


kan sudah dekat. Selama kerja bareng di pembinaan apa
nggak menimbulkan sesuatu yang lain?”
Hanif menggeleng. Inilah hal yang ia takutkan. Terjadi
fitnah antara ikhwan dan akhwat yang bekerja dalam satu
bidang. Seharusnya apa yang mereka kerjakan lillahi ta’ala,
bukan yang lain. Apabila ia taaruf dengan Rania, bisa jadi
banyak berita tidak sedap beredar. Kemungkinan orang
lain berpikir kalau ia dan Rania terjebak cinta lokasi, atau
bahkan mengikat janji bila selesai kuliah akan menikah satu
sama lain. Hal ini tidak baik untuk dakwah ke depan.
“Padahal, menurut ana, Rania cocok loh untuk antum.”
“Tahu dari mana antum?”
“Feeling ana saja. Antum sama Rania bisa bekerja sama
dengan baik di pembinaan. Padahal antum kan orangnya
perfeksionis. Biasanya banyak yang mengeluh kalau kerja
bareng antum,” tutur Heri. “Ana juga lihat setelah antum
dan Rania tidak sama-sama di pembinaan, sepertinya ada
yang berubah dari antum.”
Hanif menaikkan alisnya. Apakah Heri mengetahui isi
hatinya untuk Rania dulu?
“Pikirkan saja untuk dakwah ke depan. Antum dan
Rania sama-sama aktivis dakwah kampus, pastinya akan
solid bila saling bersinergi,” tambah Heri.
Hanif menarik napas. Dulu hal itu pernah terpikir
olehnya. Tentu akan bersemangat bila mendapat pasangan

~ 153 ~
Rania

yang saling mendukung untuk dakwah, tetapi sekarang


berbeda. “Ana tidak mau menjadi sunnatan sayyiatan,
contoh yang buruk, terutama adik-adik di rohis. Pandangan
orang terhadap ikhwan dan akhwat yang kerja pada satu
bidang bisa menjadi tidak baik. Akhirnya malah akan jadi
budaya. Apa kata Allah? Bisa-bisa diazab kita semua.”
“Itu kan kasus per kasus, tidak bisa digeneralisir,” kilah
Heri. “Buktinya antum sama Rania tidak seperti itu. Kalian
bisa menjaga hati.”
Hanif tersenyum tipis. Heri tidak tahu bagaimana pen-
deritaannya selama menanggung rasa terhadap Rania.
Bagai candu. Ia bersyukur Allah masih menolongnya dan
lepas dari cinta sebelum waktunya. “Antum tidak tahu
bagaimana ….” Hanif tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Gimana apa?”
“Ngga jadi.”
Heri memasang wajah penasaran. “Jadi … antum ada
hati nggak sama Rania?”
Hanif tidak menjawab pertanyaan Heri. “Sudah berlalu,
sekarang ana fokus ke masa depan.”
“Nah, kan! Antum pernah ada rasa suka ya!” seru Heri
jail.
Dua piring ketoprak datang. Pelayan kantin menyilakan
sambil mengambil beberapa gelas sisa minum di meja
sebelah.

~ 154 ~
Bermain Api

“Makasih ya Mbak, jilbabnya bagus, gitu dong,”puji Heri


sekaligus memberi dukungan pada yang baru berjilbab.
Heri termasuk teman Hanif yang supel dan ramah. Beda
dengan dirinya yang serius.
“Lanjuuut!” seru Heri seraya menyuap ketopraknya.
“Lanjut apaan? Antum kok jadi kepo begini, sih?” Hanif
tersenyum simpul. Dia paham, Heri tidak akan berhenti
mengejar sampai tujuannya tercapai.
Suara sendok beradu dengan piring menghiasi obrolan
Heri dan Hanif. Suasana kantin di bawah rindang pohon ini
termasuk yang dirindukan Hanif. Rasanya tidak mau pulang
kalau sudah di kantin. Asri.
“Seperti ana bilang, ana tidak mau menjadi sunnatan
sayyiatan, Ri. Dosanya besar. Ana nggak bakal sanggup
menanggung. Bayangin, setiap orang yang melakukan
dosa itu karena mencontoh ana, maka ana dapet dosa
jariahnya. Serem. Lagi pula belum tentu Rania jodoh ana,
kan? Siapa tahu akhwat lain.”
Iya, masih banyak yang lain. Akhwat bukan cuma Rania.

“Nif, tolong anterin Kakak sebentar dong.”


Hanif yang sedang berada di kamar segera keluar.
Sejak kantor Al-Izzah pindah ke Ciputat, ia kembali tinggal
di rumah, tidak kos lagi di dekat kampus.

~ 155 ~
Rania

“Mau ke mana, Kak?” Hanif menengok Hasna, kakak


Hanif yang kedua, yang sedang berada di ruang tengah.
“Ke rumah teman Kakak, dekat sini, kok.”
“Siap.”
Hanif mengeluarkan Khalid dari garasi dan memakai
helm. “Ini helmnya, Kak.” Ia mengangsurkan helm ke
kakaknya.
Perjalanan tidak lama, sekitar sepuluh menit sudah
sampai di rumah yang dituju.
“Tunggu sebentar, ya.” Hasna turun dan meninggalkan
Hanif di luar.
Hanif menunggu kakaknya di atas motor, sekitar lima
belas menit. Tidak lama Hasna keluar bersama seorang
perempuan.
“Makasih, ya, Mi,” ujar Hasna pada perempuan bernama
Mimi yang berjalan di samping.
“Sama-sama, Na. Sering-sering main ke sini.”
Hasna tersenyum. “Iya insya Allah.”
Hanif melihat Mimi beberapa saat. Cantik, batinnya.
Sayang sekali belum menutup aurat.
Hasna menghampiri motor Hanif. “Kakak pulang dulu,
ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Mimi tersenyum memperlihat-
kan lesung pipi dan barisan gigi yang putih.
Napas Hanif tertahan. Netranya hampir tidak berkedip.

~ 156 ~
Bermain Api

“Nif, ayo.” Hasna sudah duduk di atas motor.


“Eh, iya.” Gugup Hanif menyalakan motor. Sebelum
melajukan Khalid, ia sempat melirik sekilas ke teman
kakaknya itu dan mengangguk singkat seraya tersenyum
kecil. Tidak di sangka perempuan itu balas tersenyum.
“Siapa, Kak?” tanya Hanif ketika dalam perjalanan
pulang. Ia penasaran.
“Siapa?” Hasna balik bertanya.
“Itu, temen Kakak barusan.”
“Ooo … Mimi.”
Mimi. Hanif mengulang nama tersebut di dalam hati-
nya.
Sesampainya di rumah, Hanif menahan kakaknya
ketika hendak turun dari motor.
“Kak, minta nomor telepon Mimi, dong.”
Alis Hasna terangkat. “Buat apa?”
“Mau diajak kajian,” jawab Hanif asal.
Hasna mendengus. “Jangan macam-macam, loh.”
“Insya Allah nggak, Kak. Masa nggak percaya sama adik
sendiri,” bujuk Hanif.
“Ya udah, nanti Kakak kasih.”
“Makasih, Kak.” Hanif tersenyum semringah.
Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Ia terpikat
sesaat dengan wajah Mimi yang putih bersih. Dibingkai

~ 157 ~
Rania

dengan rambut yang hitam lurus. Seperti kata Heri, sudah


waktunya ia mencari pasangan hidup. Ia sudah mampu
untuk itu. Sekarang tinggal mencari siapa calonnya. Insya
Allah ini ikhtiar menuju ke arah sana.
Hanif sudah melupakan Rania. Tidak ada gunanya larut
dalam perasaan yang tidak akan pernah terwujud. Ia sudah
melarang dirinya untuk mendekat kepada akhwat itu. Rania
bukan untuknya. Ia yakini itu.

Semua bermula dari SMS, lalu telepon, dan berakhir


dengan janji bertemu. Dibungkus dengan niat mencari
jodoh dan ikhtiar untuk taaruf. Namun menggunakan cara-
cara jahiliyah, berkhalwat.
Setan selalu mencari celah, dari segala arah. Menggoda
manusia melalui titik terlemah.
“Pulang jam berapa?” Hanif menelepon Mimi dari
kantor Al-Izzah. Perempuan itu bekerja tidak jauh dari sana.
“Habis Maghrib, sekitar jam tujuh.”
“Boleh pulang bareng? Nanti saya jemput.” Kalimat
tersebut meluncur begitu saja dari lisan tanpa memper-
timbangkan baik buruknya.
“Nggg … boleh.”
“Baik, kalau begitu sampai bertemu lagi. Assalamu-
’alaikum.”

~ 158 ~
Bermain Api

“Wa’alaikumussalam.”
Hanif mematikan sambungan telepon seraya mena-
rik napas pendek. Insya Allah ini usahanya untuk meng-
genapkan separuh dien. Mimi sepertinya perempuan baik.
Tutur katanya santun. Perihal belum menutup aurat, ia
yakin bisa meminta Mimi untuk berjilbab bila waktunya
nanti mereka jadi menikah.
Pukul setengah tujuh, selesai shalat Magrib, Hanif ber-
pamitan pulang dengan teman-teman kantor. Ia menaiki
bus ke arah Blok M, tempat Mimi bekerja.
“Sudah selesai?” tanya Hanif ketika menemukan Mimi
sudah siap di depan gedung tempat bekerja.
“Sudah.” Bibir merah jambunya terangkat sedikit ke
atas. Bibir itu tipis. Hanif memperhatikan sedikit.
Mimi memperbaiki tali tas yang sedikit turun dari bahu.
“Kita mau ke mana?”
“Makan dulu, yuk. Baru pulang,” ajak Hanif.
Rambut lurus Mimi bergoyang sedikit ketika ia meng-
angguk malu-malu.
Hanif memilih tempat tidak jauh dari sana. Ada food
court yang menjual aneka jenis masakan khas daerah.
“Lagi sibuk, ya?” Hanif membuka pembicaraan. Ia sudah
memesan makanan, tinggal menunggu datang.
“Ya … gitu deh. Setiap hari ada aja kerjaan.” Mimi mema-
inkan jemari di atas meja. Ia canggung karena pertama

~ 159 ~
Rania

kalinya Hanif mengajak makan. Sebenarnya sudah lama ia


menunggu hari ini terjadi. Ia menyukai laki-laki itu. Selain
sudah mempunyai penghasilan tetap, Hanif juga sopan dan
alim di mata Mimi. Ia tahu Hanif sedang mendekati, terbukti
dari SMS dan telepon yang terus berdatangan. “Kamu juga
lagi sibuk?”
“Alhamdulillah, lagi banyak deadline.” Hanif tersenyum
kecil.
Perbincangan mereka terhenti ketika pramusaji mele-
takkan pesanan di meja. Setelahnya mereka makan sembari
ngobrol. Hanif punya waktu banyak untuk mengenal Mimi.
Dimanfaatkannya untuk saling mengenal dan bicara hobi
masing-masing.
Foodcourt di Blok M itu memiliki mushalla yang bersih.
Mereka menunggu sampai Maghrib dan Isya ditunaikan
baru pulang.
“Habis ini mau langsung pulang atau ada yang mau
dibeli?” tawar Hanif ketika mereka selesai makan.
Mimi melirik jam di pergelangan. “Udah malam, lang-
sung pulang aja, deh.”
“Oke.”
Hanif memutuskan menggunakan taksi. Ia tidak ingin
kemalaman di jalan, target sebelum pukul sembilan sampai
rumah. Selain itu ia bisa langsung mengantar Mimi tepat di
depan rumah.

~ 160 ~
Bermain Api

Selama di perjalanan mereka tidak banyak bicara. Baru


sekali ini Hanif duduk berdekatan dengan perempuan yang
bukan mahramnya. Mimi tertidur, kepalanya menyandar
ke sisi kanan. Hanif tak bisa menghindar godaan hati. Ia
mendapat kesempatan memperhatikan keseluruhan wajah
Mimi. Seperti ada sinar yang memancar. Matanya terpaku
beberapa menit melihat kesempurnaan ciptaan Allah. Tak
terasa, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Batinnya
mengukur, apakah ini jodohnya.
“Eh, maaf, saya ketiduran, ya?” Mimi mengusap wajah.
“Nggak apa-apa, kamu kelihatan lelah.”
“Maaf, saya jadi nggak enak.” Mimi memasang raut me-
nyesal.
“Nggak apa-apa.” Hanif meyakinkan.
Taksi menepi di depan rumah Mimi.
“Makasih udah nganterin saya pulang.” Mimi memasang
senyum paling manis dengan memperlihatkan lesung pipi.
“Sama-sama.”
Mimi turun diikuti dengan Hanif.
“Saya masuk dulu.”
Mimi menyodorkan tangan, Hanif canggung. Dia tidak
pernah memegang tangan perempuan dewasa selain Umi
dan dua kakaknya. Sekejap tangan Hanif merapat, tidak
mau menyentuh. Untunglah Mimi paham.
Hanif tersenyum kecil ketika Mimi melambai. Ia masuk

~ 161 ~
Rania

kembali ke taksi setelah perempuan itu menghilang di balik


pintu.
“Depan belok kanan, Pak.” Hanif memberikan instruksi
kepada supir taksi.
Tidak lama ia sampai. Setelah membayar Hanif masuk
ke rumah. Uminya yang membukakan pintu.
“Lembur lagi, Nak?” tanya Umi ketika Hanif mencium
tangannya.
“Tadi ada perlu sama teman mi.” Hanif tidak mau
berbohong kepada uminya, tetapi ia juga belum siap untuk
bercerita tentang Mimi.
“Ooo … sudah makan?”
“Alhamdulillah sudah, Mi. Hanif ke kamar dulu.”
“Ya sudah.”
Hanif masuk ke kamar, adik-adiknya sudah tertidur. Ia
mengambil baju ganti dan keluar menuju kamar mandi
untuk bersih-bersih. Setelahnya ia shalat Witir dan tidur.
Setengah tak percaya, Hanif merasa ada yang aneh.
Gembira namun merasa dosa. Apakah benar yang dia
lakukan hari ini?

Hanif terjaga, tiba-tiba saja netranya terbuka. Ia melihat


sekeliling, masih gelap. Adik-adiknya juga masih lelap. Ia

~ 162 ~
Bermain Api

memicingkan mata, melihat jam dinding. Pukul tiga pagi.


Ia duduk dan menurunkan kakinya dari kasur. Ia mengusap
wajah untuk menghilangkan sisa kantuk.
Perlahan ia bangkit dan menuju kamar mandi untuk
ber-wudhu. Dinginnya air membuatnya terjaga sempurna.
Ia kembali ke kamar dan menggelar sajadah. Setelah me-
makai sarung dan baju koko, ia memulai Tahajjud-nya.
Kalamullah mengalun lembut dari lisan Hanif, tidak
terlalu keras, khawatir mengganggu tidur adik-adiknya. Ia
berusaha menghadirkan hati, memaknai setiap ayat yang
dibaca. Tiba-tiba saja hatinya menjadi sedih. Ia merasa tidak
bisa menikmati tiap ayat suci yang keluar. Apakah karena
terlampau banyak maksiat yang ia lakukan sehingga hati
menjadi beku?
Hanif memperlama sujudnya, mengingat kembali se-
mua dosa, menangisi diri yang lalai. Tiba-tiba ia tersadar
akan maksiatnya hari ini. Air matanya menggenang.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Teriakan itu ia tujukan ke diri sendiri.
Memang bodoh!
Hanif yang selama ini menjaga pandangan, menempa
diri dengan tarbiyah, menghafal Al-Qur’an, menghiasi lisan
dengan tilawah, membina mahasiswa menjadi kader dak-
wah, menjadi imam Tahajjud, mengisi taklim, berdakwah
lewat tulisan.

~ 163 ~
Rania

Ke mana perginya semua nilai-nilai yang telah ia miliki


selagi masih duduk di bangku sekolah? Ke mana perginya
rasa takut akan bermaksiat kepada Allah? Ke mana perginya
rasa malu dalam hati?
Ia menangis dalam sujud. Mengakui kelemahan diri.
Betapa ia mudah tergoda dengan seorang perempuan.
Betapa setan begitu mudah merayunya. Ia merasa jijik
dengan dirinya.
Bukan salah Mimi, perempuan itu hanya membalas apa
yang ia mulai. Seharusnya sejak awal ia tidak melakukan
semua ini. Niatnya untuk mencari pasangan hidup tidak
sesuai dengan tuntunan yang selama ini ia yakini.
Bodoh!
Sekali lagi Hanif merutuki kepicikannya.
Ia berharap Allah mengampuni segala khilaf dan me-
ngembalikannya ke jalan yang lurus.

~ 164 ~
Hanif menaikkan alisnya.
Apakah Heri mengetahui isi
hatinya untuk Rania dulu?
Sekeras apa pun ia
melupakan Rania,
selalu ada nama
akhwat itu di sisi hatinya.
Menetap dan tidak
akan pergi.
12-Jiwa-Jiwa
Menyatukan
Kembali
“Dan bersabarlah dalam menunggu
ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu
berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah
dengan memuji Rabb-mu ketika kamu bangun
berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada be-
berapa saat di malam hari dan waktu terbenam
bintang-bintang (di waktu fajar).”
[Ath-Thuur/52: 48-49]

Sedari dulu Rania selalu memperhatikan akademisnya.


Walau kuliah dan praktikum seabrek, ditambah kesibukan
di rohis, mengajar privat, mengisi liqo, dan TPA, tidak
membuatnya lalai mengulang mata kuliah di rumah. Ca-
tatan rapi dengan dengan tulisan yang menyenangkan
dipandang mata.

~ 167 ~
Rania

Berbanding terbalik dengan stereotip bahwa aktivis


dakwah kampus kebanyakan IPK rendah, maka Rania selalu
mempertahankan indeks prestasi di atas tiga. Ia ingin
membuktikan bawah semua bisa dilakukan asalkan adil
dalam membagi waktu sesuai porsi. Lagi pula, di mana ada
kemauan, pasti Allah tunjukkan jalan. Ia yakin itu.
Begitu juga dengan tugas akhir. Ia tidak mau memilih
jalan mudah. Walau harus memakan waktu lama, ia tidak
mundur. Target satu semester, malah molor menjadi tiga
semester. Namun, lelah ia nikmati sebagai bagian dari
proses. Pagi, siang, malam, ia habiskan di laboratorium.
Seperti malam ini. Ia sendirian berteman meja yang dingin
dan tabung-tabung reaksi. Di luar hujan. Ia menarik resleting
jaket hingga ke atas, berharap bisa menghangatkan tubuh.
Rania menguap. Jam menunjukkan pukul sepuluh
malam. Ia menyetel alarm, dua jam lagi ia perlu mengecek
percobaannya. Di Kimia biasa seperti itu. Mahasiswa yang
melaksanakan tugas akhir begadang di laboratorium untuk
memantau percobaan.
Kisah-kisah mistis sering terjadi di Kimia. Melihat
makhluk halus sudah biasa. Bagi yang berani menginap,
sudah imun dengan cerita-cerita tidak masuk akal semacam
itu. Hal yang lebih mengerikan adalah risiko percobaan.
Zat-zat kimia mengandung larutan-larutan berbahaya,
jika tidak hati-hati bisa menghancurkan gedung empat
lantai itu. Ada yang pernah mengucurkan air di wastafel, lalu

~ 168 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali

sehelai kertas menutupi jalan outlet, akhirnya selama dua


hari lantai bawah banjir akibat kiriman air dari lantai empat.
Kejadian terjadi saat akhir pekan, ketika Senin semua orang
melihat air di mana-mana. Konyol sekali memang.
Rania juga pernah menghebohkan gedung Kimia.
Terkenal dengan peristiwa “Ledakan Rania”. Benar-benar
ledakan. Suaranya sampai terdengar ke gedung Fisika di
sebelah.
Saat itu Rania harus menangkap gas yang mengembang
dari cairan Asam Sulfat yang bereaksi dengan beberapa
larutan kimia. Tabung erlenmeyer dari gelas yang harusnya
bisa dibuka dengan mudah, kala itu tertutup rapat. Berbagai
cara sudah ia lakukan, lima jam usaha sia-sia. Capek, stres,
dan kurang konsentrasi, membuat Rania tidak berpikir
panjang. Diletakkannya tabung berisi cairan berbahaya itu
di atas pemanas, dengan niatan untuk memuaikan.
Ia tinggal sebentar ke toliet, tabung itu meledak.
Duaaar! Suara ledakan terdengar keras. Beruntung tidak
ada siapa-siapa di ruangan itu. Para dosen berlarian naik
ke ruang percobaan. Khawatir jika yang meledak adalah
reagen peledak LAH (Lithium Alumunium Hidrida) yang
dimiliki seorang mahasiswa.
Serpihan kaca menyebar di mana-mana. Reagen me-
nempel di beberapa dinding sambil mengeluarkan asap.
Jaket temannya yang tertinggal di lab sampai bolong
di beberapa bagian terkena asam sulfat. Peristiwa itu

~ 169 ~
Rania

cukup membekas. Rania harus menghadap dosen dan


mempertanggungjawabkan kelalaiannya.
Mengingat hal itu membuat Rania tersenyum kecil.
Ia kembali melihat jam. Masih satu setengah jam lagi. Ia
menangkupkan tangan di meja keramik putih dan mele-
takkan kepala di atas tangan, mencoba tidur sebentar.
“Assalamu’alaikum.”
Rania menjengit ketika seseorang masuk ke lab.
“Innalillahi.” Ia mendongakkan wajah dan melihat ke pintu.
Ternyata Heri. Ia menarik napas lega. Kakak kelasnya itu
juga sedang mengerjakan skripsi, tetapi sudah hampir
rampung.
“Loh, sendrian aja?” Heri menuju meja labnya.
“Wa’alaikumussalam. Iya, Kak.” Rania menegakkan
tubuh.
“Nggak ada yang barengan?” tanya Heri dari mejanya.
“Kebetulan hari ini nggak.”
“Udah berapa persen percobaannya?”
“Sudah 80%.”
“Semangat, ya. Jaga kesehatan.”
Rania menjadi canggung untuk tidur kembali.
“Nggak apa-apa kan kalo aku di sini?” Heri menoleh
kepada Rania di belakangnya.
“Nggak apa-apa, Kak. Aku juga lagi nungguin hasil
percobaan.”

~ 170 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali

Heri tersenyum kecil, pandangan kembali ke mejanya.


Jeda beberapa menit. Rania menunggu dengan kepala
terangguk-angguk.
“Ran!”
Rania membuka mata.
“Kamu tahu kalau Hanif mendaftar untuk ikut skripsi
tahun ini?”
Sekarang Rania benar-benar terjaga sepenuhnya. “Eh,
nggak, Kak.” Lagi pula tidak ada hubungan dengan dirinya.
Ia sudah tidak memikirkan kakak tingkatnya itu. Baginya
Hanif sudah terlalu jauh. Di tambah dengan kesibukan di
Al-Izzah, Rania yakin ikhwan itu sudah tidak mengingatnya
lagi. Mungkin sudah taaruf dengan seorang akhwat yang
dikenalkan murabbi-nya. Apalagi yang ditunggu seorang
Hanif? Ikhwan itu sudah memiliki pekerjaan dan pengha-
silan tetap, cukup secara ilmu, hanya saja belum lulus
kuliah, tetapi itu bukan masalah.
Rania merasa hidupnya dan Hanif tidak lagi beririsan.
Mereka tidak pernah bertemu. Kali terakhir ia melihat Hanif
ketika di masjid kampus beberapa waktu lalu.
“Iya, dia lagi nunggu meja, mudah-mudahan aja dapat.”
“Ooo ….” Rania tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia
tidak mau berharap lagi.
Kembali jeda.
Rania sudah tidak merasakan kantuk. Kemungkinan

~ 171 ~
Rania

bisa melihat Hanif kembali di kampus membuatnya me-


mikirkan ikhwan itu lagi.
“Ran!”
Rania menoleh ke Heri yang duduk menghadapnya.
“Aku boleh nanya, nggak?”
Rania mengangguk kecil.
“Kamu suka nggak sama Hanif?”
Deg!
Rania tidak menyangka Heri akan bertanya segamblang
itu padanya.
“Eh, maksudnya?” Wajah Rania merona. Lampu lab
yang terang memperlihatkan semua.
“Aku boleh duduk di sana?” Heri berdiri dan menunjuk
pada kursi di hadapan Rania.
Rania mengangguk kecil seraya menelan ludah.
“Maaf kalau aku salah, tapi … sepertinya kamu sama
Hanif dekat, kan?” tanya Heri ketika duduk di dekat Rania.
“Kok bisa ngambil kesimpulan kayak gitu?” Jantung
Rania berdetak lebih cepat.
Heri tertawa kecil. “Makanya aku bilang, maaf kalau aku
salah.”
Rania tidak menjawab, hanya menarik napas pelan.
“Tapi aku yakin penilaianku nggak salah.”
Rania menatap kakak tingkatnya itu dengan alis

~ 172 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali

terangkat. “Masa?”
“Yah … aku juga dapat bocoran, sih.”
Mata Rania melebar. Tahu dari mana Heri? “Siapa?”
“Jadi bener dong?” Heri tidak menjawab pertanyaan
Rania. “Apa gara-gara itu juga kamu pindah divisi?”
Rania mati kutu.
“Menurut aku nggak salah kok suka sama seseorang.
Apalagi Hanif ikhwan berkualitas. Iya, kan?” pancing Heri.
Rania tersenyum kecil. Sejak dulu ia memang kagum
dengan Hanif. Ide-idenya untuk dakwah kampus begitu
brilian. Dari sana ia mulai memperhatikan ikhwan itu dan
jatuh hati. Apalagi Hanif begitu menjaga diri, membuatnya
hanya berani melihat dari jauh.
Rania tidak merasa sebanding dengan Hanif. Baginya
Hanif terlalu tinggi untuk dijangkau. Ketika Hanif mem-
berikan perhatian lebih padanya, ia terbuai. Merasa ber-
harga karena mendapat apa yang tidak didapat akhwat lain
dari Hanif.
“Kamu nggak lagi taaruf sama siapa pun, kan?” tanya
Heri lagi.
Rania menggeleng.
“Kenapa nggak sama Hanif aja?”
Mata Rania otomatis melebar. Apa! Nggak salah?
“Nggak ada salahnya dicoba, kan? Aku yakin Hanif juga
suka sama kamu.”

~ 173 ~
Rania

Rania ragu. Mungkin dulu Hanif pernah mempunyai


rasa untuknya, tetapi mereka sudah lama tidak saling
berhubungan. Bisa saja Hanif sudah bertemu akhwat lain
di luar sana yang lebih baik dari dirinya. Dan hati seseorang
berubah-ubah. Hanif mungkin sudah tidak punya rasa
untuknya saat ini.
“Kok diem aja. Kasih komentar dong, Ran.”
“Aku harus bilang apa?”
“Kalau kamu bersedia, aku bisa jadi perantara kalian.”
“Perantara?”
“Iya, perantara untuk kamu taaruf sama Hanif.”
Rania terdiam. Ia tidak siap untuk kemungkinan itu.
Permintaan Heri sungguh tiba-tiba dan bukan hal yang
mudah untuk diputuskan. Akhirnya Rania menggeleng.
“Kenapa?”
“A-aku mau fokus ke skripsi dulu. Lagi pula, kalau Kak
Hanif punya niat seperti itu. Biar saja dia yang memulai.”
“Jadi kamu mau kalau Hanif ngajak taaruf?” Heri
antusias.
Rania tersenyum. “Kita lihat saja nanti. Kalau Kak Hanif
benar-benar datang memberikan biodatanya.”
Wajah Heri semringah. “Janji, ya.”
“Aku nggak bisa janji apa-apa. Siapa tahu besok ada
taaruf dari ikhwan lain yang datang, kan?” Padahal menikah
belum masuk ke dalam target dalam waktu dekat. Ia ingin

~ 174 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali

menyelesaikan kuliah terlebih dahulu.


“Yaaah,” keluh Heri. “Jangan dong.”
Rania tersenyum kecil. “Udah, ah, Kak. Aku nggak mau
ngomongin hal-hal yang belum pasti. Lebih baik fokus yang
ada di depan mata. Menyelesaikan skripsi.”
Heri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku usa-
hakan Hanif bakal ngasih biodatanya ke kamu.” Ia kembali
ke tempat duduknya.
Rania tercenung sepeninggal Heri. Bagaimana kalau
itu benar terjadi. Ia segera menyingkirkan harapan itu.
Sudah cukup ia berharap kepada manusia. Sekarang ia
menyerahkan semua ke Allah. Tidak perlu memikirkan hal
yang belum terjadi. Ia kembali mengecek percobaannya,
masih ada satu jam lagi.

Hanif sangat sadar ini murni kesalahannya. Memberi-


kan harapan kepada seorang perempuan. Ia merutuki diri
yang terlalu sembrono dan asal melangkah, tanpa me-
nimbang mudarat yang ditimbulkan.
Beberapa kali Mimi mencoba menguhubungi, tetapi ia
mengabaikan. Bahkan kakaknya sempat menanyakan ada
apa antara dirinya dan Mimi, karena perempuan itu kerap
menanyakan Hanif pada Hasna.
“Nggak ada apa-apa, kok , Kak.” Jawaban yang selalu ia

~ 175 ~
Rania

berikan ke kakaknya.
Hanif sebenarnya juga sudah meminta maaf pada Mimi,
tidak bisa melanjutkan hubungan mereka. Tapi nampaknya
Mimi belum terima. Biarlah Mimi marah padanya, ia tidak
mau khilaf lagi dan bermaksiat kepada Allah. Cukup sampai
di sini saja. Ia menutup lembaran suram dan melangkah ke
depan.
Sebagai langkah mencari jodoh, ia percayakan kepada
ustadz-nya.
“Bang, ini biodata ana. Ana percayakan sepenuhnya
kepada Bang Lukman.” Suatu hari ia berkunjung ke ustadz-
nya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Hanif memanggil
ustadz-nya dengan panggilang Abang.
“Antum yakin siap nikah?” tanya Ustadz Lukman.
“Insya Allah, Bang. Ternyata di dunia penerbitan juga
berat godaannya, Bang. Ana takut dosa, takut maksiat.”
“Alhamdulillah. Bagus, deh, kalo antum sadar. Ada
syarat khusus nggak?”
“Ana percaya pada pilihan Abang. Abang kan tahu ana,
insya Allah yang sekufu, Bang.”
Ustadz Lukman mengangguk. “Ya udah. Antum tunggu
aja. Kalau sudah dapat akhwatnya, nanti ana kabarin.”
“Jazakallah khair, Bang.”
“Waiyyaakum”
Semenjak hari itu, Hanif belum menerima satu biodata

~ 176 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali

akhwat pun dari ustadz-nya. Allah belum kasih. Mungkin ia


harus menyelesaikan skripsi dulu. Memenuhi amanat orang
tua yang sudah membiayainya masuk ke perguruan tinggi.
Harapan setiap orang tua pasti menginginkan anaknya
lulus kuliah.
Hanif bersyukur Allah memudahkan langkahnya. Al-
hamdulillah ia mendapatkan meja di laboratorium dan
bisa melakukan penelitian. Mulai saat ini ia akan meng-
habiskan waktu di kampus lebih banyak dari biasanya. Ia
harus membagi waktu antara skripsi dan Al-Izzah. Keduanya
sama-sama penting.
Hanif menaiki tangga menuju lantai empat, di mana
labnya berada. Dalam perjalanan ia berpapasan dengan
beberapa akhwat. Debar pelan menyelusup di dada. Walau
berusaha mengingkari, tetapi ia berharap itu Rania. Namun
bukan.
Ia sudah memikirkan kemungkinan itu. Bertemu kem-
bali dengan Rania di kampus. Akhwat itu pasti sedang
menyelesaikan tugas akhir, sama seperti dirinya. Rania
memang satu tingkat dibawahnya, tetapi kegiatan Al-Izzah
membuatnya terlambat satu tahun dan kini banyak teman
satu labnya adalah adik tingkat.
Hanif berusaha abai, tetapi hatinya tidak bisa dibo-
hongi. Sekeras apa pun ia melupakan Rania, selalu ada
nama akhwat itu di sisi hatinya. Menetap dan tidak akan
pergi. Kata orang first love never die, apakah itu yang tengah

~ 177 ~
Rania

terjadi padanya saat ini?


Hanif masuk ke ruang lab yang kosong dan mengucapkan
salam. Ia menuju sebuah meja yang diperuntukkan untuk
dirinya. Ia membereskan perlengkapan dan duduk seraya
memindai seluruh ruangan. Kosong dan dingin.
Ketika sedang melihat-lihat, pandangan Hanif jatuh ke
meja persis di depannya. Bukan banyaknya tabung reaksi
yang membuatnya tertarik. Tetapi pada sebuah tulisan
yang tertempel di dinding meja. Ia perlahan bangkit berdiri
dan menuju meja tersebut. Semakin mendekat, tulisan itu
semakin jelas. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tidak salah
lagi. Penglihatannya tidak mungkin mengkhianati.
Hanif menyentuh tulisan yang ternyata di laminating
oleh pemiliknya. Lisannya membaca perlahan judul yang
tertera di sana, “Jiwa-Jiwa Hunain.” Tulisan dari kolom yang
ia pegang di Al-Izzah. Sebegitu sukakah pemilik meja ini
sampai menggunting rapi tulisan itu dari majalah dan
melaminatingnya supaya tidak rusak. Dan kenapa “Jiwa-
Jiwa Hunain” yang dipilih. Apa sebabnya? Hanif semakin
penasaran.
Ia menelusuri lebih jauh, mencari identitas si empunya.
Siapakah yang memiliki meja ini?
Allah!
Matanya melebar seketika. Degup di jantungnya ber-
tambah cepat. Ia terpaku menatap nanar sebuah foto yang
di tempel di sudut lain. Ia mengerjap beberapa kali, me-

~ 178 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali

mastikan netranya tidak mengelabui.


Foto itu ….
Sampai kapan pun ia tidak akan pernah lupa dengan
wajah yang ada di dalamnya.
Gambar milik Rania dan keluarganya.
Allah.
Hanif tidak habis pikir. Bagaimana bisa?
Ia menoleh ke mejanya yang persis terletak di belakang
meja Rania, lalu kembali ke meja akhwat itu.
Mejanya dan meja Rania berdekatan. Apakah ini kebe-
tulan? Tidak. Hanif tidak pernah percaya ada sesuatu yang
terjadi secara kebetulan. Semua sudah Allah tetapkan,
bahkan sehelai daun yang gugur pun terjadi karena
kehendak-Nya.
Lalu tulisan itu. Bagaimana tulisan itu bisa ada di meja
Rania? Dari sekian tulisan yang pernah akhwat itu baca,
kenapa tulisannya yang ada di sana? Apakah Rania tahu
kalau itu adalah tulisannya? Namun, rasanya tidak mungkin.
Ia memakai nama pena Abu Hanifah, atau disingkat AH pada
setiap tulisan. Kecil kemungkinan Rania mengetahuinya.
Lagi-lagi kebetulan?
Tidak. Sama seperti meja yang berdekatan, tulisan ini
juga bukan merupakan kebetulan. Allah sudah meran-
cangnya. Namun untuk apa?
Belum sempat Hanif berpikir, dari jauh terdengar sua-

~ 179 ~
Rania

ra-suara. Tidak lama, beberapa akhwat masuk ke lab.


Pandangannya tertuju ke pintu. Denyut nadi yang sempat
mereda kini kembali menggila. Disertai sedikit gugup. Ia
merasa sesuatu akan terjadi. Dan benar saja.
Netranya menangkap seseorang yang sudah sangat
lama tidak bertemu. Akhwat yang sudah ia lupakan kebe-
radaannya seiring waktu. Kesibukan boleh membuatnya
abai, tetapi melihat lagi, membuat semua memori kembali.
Rania.
Ingatan Hanif kembali ke masa silam. Pertama kali ia
melihat Rania di kampus. Pertama kali mereka bertemu
muka. Pertama kali rapat. Pertama kali daurah. Pertama
kali menelepon. Pertama kali hatinya merasakan getaran.
Pertama kali rindu. Pertama kali menyatakan perasaan.
Semua berebut masuk ke dalam pikirannya. Bagai
kilatan cahaya yang menyambar tanpa henti. Membuatnya
bergeming dan tidak menyadari kalau Rania sekarang
sudah berdiri di hadapannya.
Lidah Hanif terkunci. Ia hampir yakin netranya tidak
berkedip saat ini. Memalukan.
“A-assalamu’alaikum, Ukhti.” Suaranya terdengar gu-
gup.
“Wa’alaikumussalam, Akhi.”
Tiba-tiba Hanif merindukan saat-saat itu. Waktu di
mana mereka dekat dan saling bertukar kalimat tanpa rasa

~ 180 ~
Jiwa-Jiwa Menyatukan Kembali

canggung, seperti saat ini. Sirna sudah usahanya selama


beberapa bulan ini mencoba menghilangkan Rania dari
benak. Hatinya berbunga hanya dengan melihat akhwat itu
kembali.

~ 181 ~
Degup di jantungnya
bertambah cepat. Ia
terpaku menatap nanar
sebuah foto yang di
tempel di sudut lain. Ia
mengerjap beberapa kali,
memastikan netranya
tidak mengelabui,
13- Taaruf

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang


dimaksud dengan apa yang mereka lakukan
adalah shalat malam dan meninggalkan tidur serta
berbaring di atas tempat tidur yang empuk.”

Untuk kesekian kali Rania menarik napas panjang.


Sudah lima belas menit ia duduk di mejanya tanpa me-
ngerjakan apa-apa. Sejak pertemuannya dengan Hanif,
agak terganggu konsentrasi. Percobaannya pun tidak
banyak bertambah.
Rania sesekali menoleh ke belakang, menatap meja
kosong yang tidak berpenghuni. Namun tetap menim-
bulkan debar kecil di dada.
“Ran!”
“Innalillahi.” Rania terlonjak dari kursi dan menoleh ke
asal suara. Ternyata sahabatnya Ziya. “Ya ampun, Zi, masuk

~ 183 ~
Rania

kok nggak pakai salam?”


Ziya tertawa kecil. “Anti yang ngelamun. Ana tadi sudah
ngucapin salam.”
Dahi Rania mengernyit. Kapan Ziya masuk, dan ia sama
sekali tidak mendengar sahabatnya itu mengucapkan
salam.
“Makanya jangan ngelamun, nanti meledak lagi, loh,”
candanya seraya tertawa kecil.
Rania merengut. Ziya mengingatkan pada kejadian
yang sudah lama berlalu. Itu murni kecelakaan. Ia gegabah
dan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.
Setelah itu beredar kabar di seantero kampus dan Rania
mendapat julukan baru: Sang Peledak Lab.
“Ana nggak ngelamun,” elak Rania. Ia takut Ziya
memergoki dirinya sedang melihat meja Hanif di belakang.
“Tumben main ke sini, ada apa?”
Ziya tersenyum lebar. “Ada kabar baik.”
Rania penasaran. Kabar baik apa?
“Anti nggak lagi taaruf sama siapa pun, kan?” Ziya
sebenarnya tahu Rania sedang tidak melakukan proses
dengan siapa pun saat ini, karena jika sudah taaruf, saha-
batnya itu pasti cerita.
Rania menggeleng pelan. Masih penasaran.
“Ada ikhwan yang mau taaruf sama anti.” Ziya meme-
lankan suara seraya melihat ke kanan dan kirinya. Kalau-

~ 184 ~
Taaruf

kalau ada yang ikut mendengarkan.


“Taaruf? Siapa?” tanya Rania tidak kalah pelan.
“Ada, lah. Anti mau kan?”
Rania berpikir sejenak. Taaruf sekarang? Lalu bagaimana
dengan rencananya untuk menyelesaikan skripsi? “Ana
kenal dengan orangnya?”
Ziya mengangguk.
Rania bertambah ingin tahu. “Anak Kimia juga?”
“Ra-ha-si-a.”
Rania berdecak. Membuat Ziya kembali tertawa kecil.
“Jadi anti bisa?”
“Ana tanyakan dulu dengan Mbak Nisa.” Rania selalu
melaporkan segala sesuatu kepada guru mengajinya.
Mungkin tidak semuanya, tetapi hal ini termasuk salah
satunya.
“Oke, kabarin ana gimana hasilnya, ya.”
Rania mengangguk.
Ziya tidak tinggal lama, ia mengucapkan salam dan
berlalu.
Perlahan Rania memutar badannya menghadap ke
meja belakang. Sepertinya memang tidak ada harapan
untuk dirinya dan Hanif. Keberadaan meja ikhwan itu di
belakangnya sama sekali bukan pertanda.
Walaupun mejanya berdekatan, Rania jarang melihat
Hanif. Pemuda klimis itu mengerjakan percobaannya lebih

~ 185 ~
Rania

banyak di pusat laboratorium forensik kepolisian RI.


Rania menghela napas. Ia tidak boleh lagi mengi-
ngat Hanif. Sudah benar keputusannya dulu, untuk meng-
hilangkan ikhwan itu dari hatinya. Saat jumpa beberapa
hari lalu juga tidak ada getaran yang seperti dulu.

“Assalamua’alaikum, Rania.”
“Wa’alaikumussalam. Iya, Mbak.”
“Anti sedang sibuk?”
“Biasa, Mbak. Sedang mengerjakan skripsi.”
“Alhamdulillah, gimana percobaannya?”
“Alhamdulillah sudah rampung, Mbak.” Kebetulan se-
kali Nisa menelepon, ia bisa mnceritakan perihal tawaran
Ziya kemarin.
“Ukhti, ada yang ingin ana bicarakan.”
“Iya, Mbak. Ada apa?” Rania menahan untuk membe-
ritahu gurunya.
“Anti sudah siap menikah?”
Deg!
Rania tidak menyangka akan mendapat pertanyaan
segamblang itu dari gurunya. “A-ana ….”
“Ada ikhwan yang ingin taaruf dengan anti,” lanjut Nisa.
Seorang ikhwan ingin taaruf dengannya? “Maaf, Mbak.

~ 186 ~
Taaruf

Apakah ini sama dengan yang ditawarkan Ziya ke ana?


Soalnya kemarin Ziya juga mengatakan ada ikhwan yang
ingin taaruf dengan ana.”
“Ziya?”
“Iya, Mbak.”
“Bukan, ini beda lagi. Kenapa Ziya nggak ngasih tahu
ke ana?” sergah Nisa. “Seharusnya Ziya tidak langsung ke
anti, seharusnya ke ana dulu.”
Rania bingung. “Ooo … begitu, Mbak.”
“Iya, yang dari Ziya tidak usah anti proses dulu. Nanti
biar ana yang bicara sama Ziya.”
“Baik, Mbak.”
“Anti siapakan saja biodatanya, nanti ana berikan
biodata ikhwannya.”
“Ba-baik, Mbak.”
“Anti sudah siap untuk menikah, kan?”
“Insya Allah ana siap, Mbak. Hanya saja … ana tetap
ingin menyelesaikan tugas akhir dulu.”
“Insya Allah nanti itu bisa kita bicarakan saat taaruf.
Insya Allah ikhwannya bisa mengerti. Yang penting taaruf
dulu.”
“Baik, Mbak. Insya Allah ana siap.” Rania tidak bisa
menjawab tidak pada guru mengaji yang telah menanam-
kan kebaikan terlalu banyak pada dirinya.
“Alhamdulillah. Tolong siapkan biodata anti segera ya.”

~ 187 ~
Rania

“Baik, Mbak.”
Setelah mengucapkan salam Rania memutuskan sam-
bungan. Ia masih duduk di tempatnya. Tidak percaya
dengan yang baru saja terjadi. Ini benar-benar tengah
berlangsung. Ia akan menikah, sesuatu yang ia rencanakan
dalam tujuan hidupnya. Walau tidak secepat ini. Ia be-
rencana setelah lulus kuliah akan bekerja dulu lalu kuliah
S2 kalau mendapat beasiswa.
Sekarang semua berubah. Namun jodohnya sudah
Allah tetapkan. Kalau memang ini jalan yang harus ia
tempuh, ia tawakal. Insya Allah rencana Allah lebih baik dari
rencananya.

Rania kembali membuka amplop cokelat yang dite-


rimanya dua hari yang lalu. Sudah beberapa kali ia mem-
baca isinya. Biodata itu ia bawa ke mana-mana. Sebenarnya
tidak ada yang memberatkan. Hanya saja ia cukup terkejut
ketika melihat usia ikhwan yang hendak dijodohkan
dengannya. Terpaut sangat jauh, lima belas tahun.
Ia belum menceritakan perihal ini ke siapa pun, kecu-
ali Ziya. Karena sahabatnya itu yang pertama kali mena-
warkannya untuk taaruf. Sayang Nisa tidak mengizinkan.
Ia mengikuti permintaan gurunya itu untuk taaruf dengan
calon yang sudah dipilihkan.

~ 188 ~
Taaruf

Rania sudah shalat Istikharah, tetapi entah kenapa


hatinya masih terasa berat.
“Assalamu’alaikum.”
Rania segera memasukkan lembaran kertas ke dalam
amplop dan memasukkannya ke laci meja. Namun ter-
lambat, seseorang melihatnya. Heri.
“Wa-wa’alaikumussalam.”
Heri melangkah ke mejanya yang tidak jauh dari Rania.
“Masih di sini, Ran? Bukannya sudah beres penelitiannya?”
“Eh, iya, mau beresin meja,” kilahnya.
“Ooo ….”
“Kak Heri bukannya sudah selesai penelitiannya?”
Setahu Rania, Heri selesai lebih dulu dibanding dirinya.
“Ada yang ketinggalan.” Heri mengambil sesuatu di laci
meja dan menunjukkannya ke Rania.
“Ooo ….”
“Itu biodata taaruf?”
Rania mengangguk canggung. Pasti Heri mengenali
amplop cokelat yang dengan buru-buru ia sembunyikan.
Heri tersenyum kecil. “Sepertinya Hanif tidak punya
harapan lagi, ya?”
Rania menunduk, tidak berani menatap kakak ting-
katnya itu.
“Semoga lancar prosesnya, ya.”

~ 189 ~
Rania

Rania melirik Heri singkat dan tersenyum kecil.


Tidak lama Heri berlalu, Rania bernapas lega.
Nisa belum memberitahu kapan taaruf akan dilaksa-
nakan. Sementara itu lebih baik ia fokus menyelesaikan
laporan tugas akhir. Kalau mendapat ACC dari pembimbing,
ia bisa segera maju sidang secepatnya.

“Bagaimana, Rania?” tanya Nisa. Hari ini mereka janjian


di mushalla kampus untuk bertemu.
Rania agak canggung karena apa yang akan ia sam-
paikan bukanlah kabar baik. “Ehm … begini, Mbak. Ana
agak keberatan dengan perbedaan usia yang cukup jauh.”
Sebenarnya bukan hanya dirinya yang merasa kurang sreg,
ayah dan ibunya juga. Rania selalu menceritakan segala
sesuatu kepada orang tuanya, apalagi ketika mendapat
biodata seorang ikhwan untuk taaruf.
“Kok, beda umurnya jauh sekali, Rania? Apa nggak
ada yang lebih muda lagi. Beda dua atau tiga tahun nggak
masalah. Ini lima belas tahun.”
Begitu komentar ayahnya.
Nisa tersenyum kecil. “Insya Allah kalau agamanya baik
tidak masalah kan?”
Rania tidak membalas.

~ 190 ~
Taaruf

“Saran ana, coba anti luruskan niat dalam memilih


jodoh. Ikhlaskan hati. Tawakal. Bersihkan dari keinginan
duniawi,” tausiah Nisa. “Niatkan menikah itu untuk me-
nyatukan dua manusia dalam ikatan halal semata-mata
untuk memperkuat visi misi dalam berdakwah. Kita juga
memilih pasangan yang nantinya bisa membimbing ke
surga-Nya”
“Anti selama ini aktif berdakwah di kampus, setelah
menikah seharusnya semangat itu harus tetap ada bahkan
lebih lagi. Pernikahan sejatinya membuat lebih ghirah
untuk berdakwah lebih kuat. Insya Allah, anti bisa bersinergi
dengan calon anti nanti, untuk menjadi lebih baik.”
Rania tercenung. Ia perlu kembali membersihkan hati
dan tawakal. Tujuannya menikah untuk menggenapkan
dien-nya.
“Ingat Ukhti, apabila datang laki-laki yang baik aga-
manya kepada anti, jangan langsung menolak, karena akan
terjadi fitnah nantinya,” tambah Nisa.
Rania ingat hadits tersebut, ia pernah membacanya.
“Iya, Mbak.”
“Jadi bagaimana, anti siap untuk taaruf?”
Rania mengangguk kecil. “Insya Allah ana siap, Mbak.”
“Alhamdulillah. Kalau begitu nanti ana beritahu kapan
waktunya.”
Rania tersenyum kecil. Bismillah. Insya Allah, rencana

~ 191 ~
Rania

Allah adalah yang terbaik untuknya saat ini.

Pernikahan tidak hanya melibatkan dua manusia, tetapi


dua keluarga. Tantangan pertama adalah meminta ridho
dari kedua orang tua. Keberatan ayah dan ibunya berkaitan
dengan perbedaan usia, menjadi PR bagi Rania. Ia mencoba
menjelaskan dengan bahasa yang santun dan kalimat yang
tidak menggurui.
“Ayah dan Ibu, kan, belum mengenal Kak Salim,” terang
Rania.
Salim adalah nama ikhwan yang akan taaruf dengannya.
“Mungkin beda usia Rania dengannya jauh, tetapi kalau
akhlak dan agamanya baik, bukankah itu pertimbangan
yang utama dalam memilih pasangan hidup?”
“Kak Salim juga sudah mapan secara ekonomi, juga
lebih matang dalam menjalani hidup. Rania yakin dia juga
lebih sabar dalam menghadapi istri dan anak-anaknya
nanti,” tambah Rania. “Lagi pula Rania dan Kak Salim baru
tahap taaruf, belum tentu menikah juga. Sebelum Kak Salim
bertemu dan mendapat restu dari Ayah dan Ibu, Rania tidak
akan memutuskan untuk menikah dengannya.”
Rania bersyukur bisa membujuk kedua orang tua. Ayah
dan ibunya setuju ia taaruf dengan pilihan guru mengajinya.
Sekarang, yang perlu diyakinkan adalah dirinya sen-

~ 192 ~
Taaruf

diri. Terlepas dari segala pengaruh di luar sana. Ia ingin


meyakinkan bahwa ini adalah jalan yang akan ditempuh.
Ketika adik-adiknya masih berada di alam mimpi,
Rania terjaga dan bangkit berdiri menuju kamar mandi
untuk ber-wudhu. Ia menegakkan Tahajjud dan berusaha
menghadirkan hati. Tiba-tiba saja ia terkenang pertama kali
Tahajjud ketika daurah. Surat Ar-Rahman yang dibacakan
Hanif bermain-main di kepala. Ia berusaha keras untuk
membuang lantunan itu dari pikiran. Ia tahu ini salah satu
cara setan untuk menggoyahkan keputusannya.
Selanjutnya ia melaksanakan shalat hajat. Dalam doa-
nya ia memohon kepada Allah agar dibersihkan hati dari
niat lain selain kepada-Nya. Masa lalu yang ia miliki biarlah
menjadi masa lalu. Tidak ada gunanya mengenang hal yang
tidak pasti. Ini ikhtiarnya untuk mendapatkan pasangan
hidup melalui jalan yang di-ridhoi Allah. Sesuai syariat.
Tanpa mengotori hati dengan nafsu dan bujukan setan.
Tanpa sadar air matanya menetes. Dirinya benar-benar
pasrah. Hatinya yakin. Ini adalah jalan yang Allah tunjuk,
dan takdir Allah selalu baik.
Bismillah.

~ 193 ~
“Ukhti … ana nggak tahu
kenapa bisa begini. Dulu
ana berusaha menjaga
jarak dengan anti, tapi
sekarang kok malah
berubah suka.”
14- Kegagalan
Pertama

“Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu


ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca
ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam
hari, sedang mereka juga bersujud (shalat).”
[Ali ‘Imraan/3: 113]

Dada Rania berdebar pelan. Ia sudah berada di rumah


Nisa, tempat taaruf akan dilaksanakan. Hanya ada dirinya
lalu Nisa dan suaminya. Mereka sedang menunggu Salim
dan murabbi-nya.
Telapak tangan Rania basah oleh keringat, belum lagi
peluh di sekitar dahi. Ia bergerak tidak nyaman dalam
duduknya. Taaruf pertama yang akan ia lewati. Ingatannya
kembali ke dua hari yang lalu, saat Nisa menelepon untuk
memberitahu waktu taaruf.
“Dua hari lagi bisa?” tanya Nisa waktu itu.

~ 195 ~
Rania

“Dua hari lagi, Mbak?” ulang Rania. Cepat sekali, batin-


nya. Namun lebih cepat lebih baik. Ia tidak ingin berada
terlalu lama dalam ketidakpastian.
“Iya, anti bisa?”
Sebenarnya dua hari lagi jadwalnya presentasi tugas
akhir, sebelum sidang. “Insya Allah bisa, Mbak. Kalau sore
bagaimana, Mbak. Soalnya ana pagi ada presentasi di
kampus.”
“Baik, insya Allah sore di rumah ana, ya.”
“Baik, Mbak.”
“Assa—”
“Mbak,” cegah Rania. Ada sesuatu yang hendak dita-
nyakan sejak ia menerima biodata yang diberikan guru
mengajinya.
“Ya?”
“Nggg … boleh ana tanya sesuatu?”
“Tentu.”
“Umur Pak Salim terpaut lima belas tahun sama ana,
di liqo kita masih ada yang umurnya jauh lebih siap untuk
menikah. Kenapa ana yang masih 21 tahun? Kenapa nggak
dikasih ke mereka aja?”
“Dia milihnya anti.”
Rania membatin, berarti Pak Salim bisa memilih dong.
Ia merasa tidak sesuai dengan nilai taaruf yang selama ini
dipahami.

~ 196 ~
Kegagalan Pertama

“Kalau boleh tahu, dari mana Pak Salim tahu atau kenal
dengan ana?” Ikhwan yang hendak taaruf dengannya sama
sekali tidak pernah bersinggungan dengannya. Rania juga
tidak ingat pernah bertemu dengan ikhwan itu.
“Dia melihat foto anti di walimahan ana dulu. Selain
itu, anti pernah mengisi acara di perusahaan tempat Pak
Salim berkerja. Acara keputrian rohis kantor, tapi suara
anti terdengar ke sebelah sampai keluar dari mushalla, dia
melihat anti.”
“Ooo ….” Rania mengangguk-angguk. Hatinya
sebenarnya masih ragu.
“Ada lagi?”
“Tidak, Mbak. Itu saja.”
“Baik, insya Allah, Allah lancarkan proses peresentasi
anti. Ana tunggu sore di rumah, ya.”
“Baik, Mbak. Insya Allah.”
Rania berusaha fokus untuk menghadapi presentasi
yang sebentar lagi. Namun pikirannya terpecah. Bagaimana
tidak? Ia akan menghadapi taaruf yang mungkin akan
merubah hidupnya. Bersyukur ada Ziya yang menguatkan.
Sahabatnya itu selalu bisa diandalkan. Dibanding Rania,
Ziya masih setengah perjalanan tugas akhirnya. Nampaknya
tambah satu semester lagi.
“Sudah, anti nggak usah mikirin taaruf dulu. Fokus ke
presentasi saja. Lebih satu tahun anti mengerjakan peneli-
tian, jangan cuma gara-gara taaruf satu hari jadi berantakan

~ 197 ~
Rania

semua,” nasihat Ziya. “Lagi pula anti masih bisa siap-siap


setelah presentasi selesai. Masih ada waktu untuk memi-
kirkan pertanyaan yang akan anti ajukan ke ikhwan itu.”
Rania menuruti petuah sahabatnya. Ia singkirkan semua
selain materi untuk presentasi. Ia membuat skala prioritas.
Mana yang lebih dulu, itu yang didahulukan. Alhamdulillah
presentasi tugas akhir berjalan mulus, setelah ini ia bisa
melaksanakan sidang tugas akhir.
Kegugupan itu melanda ketika Rania melangkahkan
kaki ke rumah murabbiyah-nya. Ia mencoba rileks, tetapi
gagal. Ia menghela napas berkali-kali untuk menenangkan
diri. Dibacanya doa Nabi Musa alaihissalam ketika hendak
menghadapi Fir’aun. Ia meminta agar Allah melancarkan
lisannya dan membuat yang mendengar mengerti ucap-
annya. “Robbishrohli shodri wa yassirli amri wahlul uqdatam
millisaani yafqohu qouli.”
“Sudah datang.”
Kalimat singkat dari Nisa membuat nadi yang sudah
kembali normal menjadi berdetak dua kali lebih cepat.
Rania tidak berani bergerak, apalagi mendongak untuk
melihat. Ia sudah membersihkan hati dan meluruskan niat.
Apa pun yang terjadi, ia akan mempertimbangkan baik
buruk berdasarkan ilmu, bukan hawa nafsu.
Bismillah.

~ 198 ~
Kegagalan Pertama

“Jadi gimana?” kepo Ziya ketika mereka bertemu di


mushalla kampus. Rania baru saja menemui pembimbing
untuk mendapat jadwal sidang tugas akhir.
“Gimana apanya?” Rania pura-pura tidak tahu yang
dimaksud sahabatnya.
Ziya mencubit pinggang Rania pelan. “Ih, kura-kura
dalam perahu, deh.”
Rania tersenyum kecil. “Ya … gitu, deh.”
“Rania!” protes Ziya keras.
“Shhh ….” Rania meletakkan telunjuk di bibir, meminta
Ziya memelankan suaranya.
“Ups.” Rania menangkupkan tangan di mulut.
“Semua berjalan lancar, kayak taaruf biasa aja.”
“Ana kan belum pernah taaruf, jadi mana tahu seperti
biasanya itu kayak apa?”
“Yaaah, dia menjelaskan tentang dirinya, terus ana
juga menjelaskan tentang diri ana,” terang Rania. “Nggak
banyak kok, karena di biodata sendiri kan sudah lengkap
keterangan mulai dari pekerjaan, pendapatan, aktivitas
harian, kegiatan dakwah, keluarga masing-masing, visi misi
pernikahan, sama harapan ke depan.”
“Ada yang istimewa?”
Rania memasang wajah berpikir. “Hmmm … apa ya?”
“Jadi biasa aja?”
Rania tertawa pelan. “Harusnya gimana?”

~ 199 ~
Rania

“Terus … anti sudah kasih jawaban?”


Rania menggeleng. “Kami diberikan waktu selama satu
pekan untuk Istikharah.”
“Berarti sudah tiga hari sejak pertemuan.” Ziya
menghitung dengan jarinya. “Anti sudah ada keputusan?”
Rania berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang. Dua
detik kemudian ia menggeleng.
“Kenapa? Ada yang membuat anti ragu?”
“Entahlah, rasanya masih ada yang mengganjal, tapi
tidak tahu apa.” Rania sudah melakukan Istikharah, menye-
rahkan semuanya kepada Sang Pemilik Hati, tetapi ada rasa
berat yang bergelayut.
“Menurut anti apakah keraguan itu datang dari setan?”
Rania kembali menggeleng. “Ana benar-benar tidak
tahu.”
“Anti masih memikirkan masalah perbedaan usia?”
Rania terdiam. Tidak, bukan itu masalahnya. Sesuatu
yang lain.
“Atau … anti masih berharap pada Hanif?”
“Astaghfirullah.” Cepat Rania menggeleng. “Jangan ajak
ana bermaksiat dong, Zi.”
“Duh maaf, maaf ….” Ziya cepat mengusap pundak
Rania.
“Kalau taaruf harus fokus, nggak ada yang lain dalam
hati. Jodoh bukan barang mainan. Ana takut Allah murka”

~ 200 ~
Kegagalan Pertama

“Iya ... maaf, cuma bercanda kok.”


“Ana sudah melupakan Hanif. Ana memulai taaruf ini
benar-benar ikhlas dan tawakal.”
Ziya menarik napas panjang. “Kalau begitu, coba anti
Tahajjud dan minta rasa berat itu Alah angkat. Mudah-
mudahan Allah kasih petunjuk.”
Rania mengangguk seraya tersenyum kecil. Sekali lagi
Allah memberikan petunjuk lewat sahabatnya. Ia akan
Tahajjud malam ini, sungguh tidak menyenangkan berada
dalam kebimbangan yang terus menerus. Ia ingin hatinya
tetap dan mantap untuk melanjutkan ke jenjang yang
selanjutnya. Menikah.

“Assalamu’alaikum.” Rania memberi salam ketika masuk


ke lab. Hari ini ia berencana membersihkan mejanya. Siapa
tahu masih ada berkasnya yang tertinggal.
“Wa’alaikumussalam.”
Rania menyapu pandangan sembari menuju mejanya.
Deg!
Netra Rania menangkap sosok Hanif yang sedang
bekerja dengan alat-alat di meja. Ia melangkah tanpa
beban ke mejanya, sama sekali tidak melirik ke ikhwan itu.
Lagi pula Hanif terlihat sibuk dengan percobaannya.

~ 201 ~
Rania

Rania memeriksa semua laci dan melepas beberapa


tempelan di dinding. Termasuk foto keluarga dan tulisan
“Jiwa-Jiwa Hunain” yang ia laminating. Bagi beberapa
orang mungkin hal ini berlebihan, tetapi tidak untuknya.
Semenjak Al-Izzah keluar, ia selalu membeli majalah itu.
Hatinya terpaut dengan tulisan AH, pengasuh kolom “Jiwa-
Jiwa”. Selain “Jiwa-Jiwa Badar”, “Jiwa-Jiwa Hunain” adalah
favoritnya. Ia melaminating tulisan itu agar tidak rusak dan
mudah ia baca berkali-kali. Tulisan itu seperti memberi
semangat pada dirinya. Walau tak tahu siapa penulisnya.
Ketika selesai, Rania mendengar suara mendesah dari
belakangnya. Seperti keluhan. Ia menoleh dan mendapati
Hanif sepertinya sedang mengalami kesulitan dengan
alat-alat yang digunakan. Batinnya berdebat, bantu, tidak,
bantu, tidak, bantu, tidak? Ia sangat paham dengan alat
yang sedang digunakan.
Akhirnya Rania memutuskan membantu, sebagai
sesama teman.
“Ada yang bisa ana bantu, Akhi?” tanya Rania seraya
memutar, mendekati Hanif.
“Eh, ini,” ujar Hanif terkejut. Tidak menyangka Rania
akan menghampirinya. “Ana baru sekali ngukur pakai alat
ini, jadi ….”
Rania paham. Ia menjelaskan dengan detail cara
menggunakan alat tersebut dengan perlahan, supaya
mudah diikuti. “Begitu caranya, kira-kira sudah jelas?”

~ 202 ~
Kegagalan Pertama

Hanif mengangguk kikuk. Sejujurnya ia masih belum


paham. Canggung berada sedekat ini dengan Rania. Walau
sudah tidak ada debar, rasanya aneh saja. Ia yang dulu
selalu dihindari, kini teramat dekat. Ia berusaha tidak GR.
Rania memang sering memberi bantuan kepada teman-
teman labnya. Dan ia termasuk salah satunya.
“Baik, mudah-mudahan sukses dengan percobaannya.”
Rania tersenyum kecil seraya meninggalkan Hanif yang
bergeming.
“Syukran.”
“Afwan.”
Rania membawa barang yang tersisa dan beranjak
keluar lab. Di pintu ia berpapasan dengan Heri. Langkahnya
terhenti. “Duluan, Kak,” sapanya.
“Eh, Rania, udah mau sidang, ya?”
“Iya, Kak.”
“Semoga lancar ya.”
Rania tersenyum kecil. “Makasih, Kak.” Ia berlalu setelah
mengucapkan salam.
Rania memegang dada dengan tangan kanan, men-
coba merasakan debar yang berbeda. Tidak ada lagi. Seper-
tinya rasa itu telah hilang. Alhamdulillah.

~ 203 ~
Rania

“Rania sedang taaruf, antum tahu?”


Hanif mendongak sejenak sebelum kembali ke alat
yang sedang dipegang, mencoba mengingat-ingat petun-
juk yang Rania berikan barusan. “Nggak.”
“Antum yakin nggak menyesal?”
“Nggak.” Hanif semakin yakin kalau Rania memang
bukan takdirnya. Allah sudah menjodohkan akhwat itu
dengan yang lain.
“Jadi nggak nyesel nih?”
“Ri, taaruf itu nggak boleh disyiarkan. Akad nikah yang
baru boleh disebarkan.”
“Ya … ana kan cuma ngomong sama antum.”
“Sama aja, ana juga seharusnya nggak tahu.” Hanif
fokus ke percobaannya. Ia harus segera memasukkan ke
oven sebelum diukur beberapa variabel.
Heri menarik napas panjang. Hilang sudah harapan
untuk menjodohkan sahabatnya dengan Rania. Padahal
dulu, dia begitu yakin kalau Hanif akan berjodoh dengan
Rania.
Hanif menepuk bahu sahabatnya pelan. “Mau dikejar
sampai ke ujung dunia pun, kalau itu bukan jodoh antum,
tetap tidak akan dapat.”
Heri menatap Hanif lekat. “Heran ana, antum kok bisa
sesantai itu?”
Hanif tersenyum kecil. Ia sudah meminta kepada Allah

~ 204 ~
Kegagalan Pertama

untuk mencabut rasa yang ia miliki untuk Rania sampai


ke akar-akarnya. Allah mengabulkan doanya. Kini ia tidak
memiliki rasa lagi untuk Rania. Rasa itu sudah mati.
Atau mungkin sejujurnya masih ada sisa-sisa yang
belum tersapu bersih. Karena sekarang ia berusaha mene-
kan sesuatu dalam hati. Rasa tidak rela orang lain memiliki
Rania, sementara ia mengenal akhwat itu lebih dulu.
Tapi, jodoh bukan barang mainan. Rania sedang ber-
proses taaruf dengan seorang ikhwan. Semua Allah yang
mengatur. Saat seorang wanita sedang proses dengan laki-
laki lain, haram hukumnya untuk masuk dan mengganggu
prosesnya. Ia tak mau Allah murka.

“Nif,” panggil Ustadz Lukman selesai pengajian.


“Iya,Bang,” jawab Hanif.
“Antum jangan pulang dulu ya, ana mau ngobrol”
“Oh siap, Bang”
“Cie ... kayaknya udah ada biodata masuk nih,” goda
teman satu liqo sambil memakan gorengan.
“Antum mau juga? Cepetan kasih biodatanya,” timpal
yang lain.
Semua tertawa. Urusan jodoh mungkin semua sudah
siap. Namun diantara teman-teman satu liqo, Hanif paling
siap.

~ 205 ~
Rania

Ruangan kecil itu kini sepi, tersisa beberapa piring


kosong, ludes dimakan para ikhwan yang lapar. Pukul
sepuluh malam. Ustadz Lukman langsung tengkurap, Hanif
sudah tahu, murabbi-nya itu minta dipijat.
“Kirain beneran mau ngomongin biodata, Bang.”
“Ya, antum pijet ana dulu.”
“Siap, Bang!” Tangan Hanif lincah memegang betis
gurunya yang lelah.
“Gimana skripsi antum? Udah bisa wisuda tahun ini?”
“Insya Allah, Bang, dikit lagi selesai. Ana ambil skripsi
yang gampang. Alhamdulillah cukup satu semester selesai.”
“Ya antum mah ga sungguh-sungguh sih jadi saintis.”
“Antum tahu aja, Bang”
“Kayaknya antum lebih cocok jadi jurnalis tuh.”
“Itu kan hobi aja, Bang. Ana masih mau jadi peneliti.”
“Kalau nggak sesuai dengan jiwa antum, ya nggak akan
serius. Tapi ana doain yang terbaik untuk antum.” suara
Ustadz Lukman mulai melemah. Nampaknya sudah mulai
tertidur.
Hanif merapihkan beberapa gelas yang masih tersisa.
Suara gelas beradu membangunkan Ustadz Lukman yang
sudah terlelap sejak tadi. Pijatannya memang mantap.
Banyak teman kosnya dulu merasakan sentuhan pijatannya.
Ukhuwah melalui pijatan, sebut Hanif suatu waktu saat
teman-temannya berterimakasih sudah dipijat.

~ 206 ~
Kegagalan Pertama

“Eh, udah beres ya?”


“Iya, Bang”
“Bentar jangan pulang dulu, ana mau kasih biodata
akhwat. Antum bukanya di rumah aja, ya. Pelajari, Istikharah,
terus nanti kita ketemu lagi.”
“Siap, Bang,” jawab Hanif mantap sembari menerima
amplop cokelat yang akan mengubah hidupnya. Jodohnya
di depan mata dan Hanif siap berproses sesuai dengan
syariat Allah. Bismillah.

Rania terpekur setelah menyelesaikan Tahajjud dan


Witir. Ia benar-benar sudah pasrah dengan jalan yang
dipilih. Namun hatinya masih terasa berat. Apakah ini
jawaban yang Allah berikan padanya?
Jodoh itu sebuah misteri. Kadang yang sudah lama
merencanakan menikah, malah tidak jadi. Kadang yang
baru bertemu kemarin, malah langsung menikah. Serba
tidak pasti sampai akad dilangsungkan.
Jodoh itu bisa lewat mana saja. Kadang melalui orang
tua, teman, saudara, kenalan, atau guru mengaji seperti
kasusnya. Namun tidak menjadi jaminan akan berhasil
sampai ke pelaminan.
Benar seseorang dipilih karena agamanya, tetapi ke-
cenderungan hati juga menjadi pertimbangan. Keikhlasan

~ 207 ~
Rania

menerima. Kelapangan dada. Dan Rania belum merasakan


kelegaan itu. Ia gundah. Bimbang. Ketetapan hati yang ia
harapkan hadir tidak kunjung tiba.
Ia tidak mau memutuskan sesuatu dengan gegabah.
Ia tidak mau karena segan dan sungkan dengan guru
membuatnya mengambil keputusan yang tidak tepat.
Ia yang akan menjalani pernikahan ini. Bukan orang
lain. Ia butuh sakinah. Bagaimana bisa mendapatkan kete-
nangan ketika hatinya karut?
Rania menarik napas panjang. Hatinya sudah memu-
tuskan. Ia paham dengan konsekuensi yang diambil. Ia
sudah mencoba. Menjalani dengan niat yang bersih.
Namun hasil kadang tidak sesuai harapan. Ia berharap
gurunya mengerti itu.
Bismillah.

“Ikhwan itu sudah bersedia,” ujar Nisa lemah.


Rania semakin menunduk.
“Anti yakin tidak mau melanjutkan proses ini?” tanya
Nisa untuk yang kesekian kali.
“Ana sudah Istikharah, Mbak. Ana tambah dengan
Tahajjud untuk benar-benar membersihkan niat. Tapi tetap
saja, hati ana masih terasa berat.”

~ 208 ~
Kegagalan Pertama

Nisa menarik napas panjang.


“Kalau ikhwan itu bisa memilih, artinya ana juga bisa
memilih untuk menolak, kan?” Rania bukan hendak mem-
bantah gurunya. Tetapi ia merasa punya hak untuk memilih
siapa calon pendamping hidupnya kelak.
“Ana yang akan menjalani pernikahan ini, Mbak. Ana
tidak mau memulai ibadah yang akan ana lakukan seumur
hidup dengan hati yang mengganjal. Ana harap Mbak
paham,” tutup Rania.
Nisa paham tidak bisa memaksakan kehendak kepada
muridnya. Tapi hatinya memberontak.
“Anti paham kan dengan hadis Nabi? Ada ancaman di
sana. Ana takut anti nanti malah dapat banyak fitnah.”
Rania terdiam. Tidak menyangka suara gurunya me-
ninggi.
“Ana bacakan sekali lagi. Idza ja akum man tardhowna
diinah wa khuluqoh, fankihuuh. Illa taf’alu takun fitnatun fil
ardhi wa fasad. Jika datang padamu seorang lelaki yang
telah engkau ridhoi agama dan akhlaknya maka nikahilah.
Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan
kerusakan.
“Betapa banyak akhwat yang tidak menjalankan hadis
ini. Apa yang terjadi? Ada yang tidak mendapat jodoh
setelahnya, ada yang melepas jilbabnya, ada juga yang
hidupnya diuji terus menerus oleh Allah. Itu baru di dunia,
bagaimana di akhirat?”

~ 209 ~
Rania

Rania mulai menangis. Kepalanya menunduk. Satu


per satu air mata jatuh. Dia tahu hadis itu. Dia takut
ancamannya. Namun kenapa hatinya tidak ada getaran
sama sekali? Apakah hadis itu tidak bisa ditawar barang
sedikit? Bukankah ridho itu diukur dari penerimaan saat
Istikharah? Ia tidak mendapatkan jawaban sama sekali.
Kenapa Nisa sekarang mencecar dan tidak memberikan
kesempatan memberikan pendapat sedikitpun?
Melihat Rania yang menangis, Nisa menahan diri. Diam
beberapa lama. Rania mengambil tisu dalam tasnya dan
mengusapkan pelan ke pipi yang kini basah.
“Ana minta maaf,” pinta Nisa lembut.
Rania memeluk guru dan kakak tingkatnya itu. Tangis-
nya tumpah.

Setelah berdiskusi panjang dengan suaminya, Nisa


akhirnya bisa menerima penolakan Rania. Nisa memang
punya harapan pada Salim untuk Rania. Ikhwan itu tam-
pan, dewasa, mapan, aktif dalam dakwah. Sangat cocok
dengan Rania. Tapi kalau memang belum jodoh, tidak bisa
dipaksakan.
Perlu beberapa hari hingga Nisa mengontak Salim.
Alhamdulillah ikhwan itu menerima dengan baik penolakan
Rania. Nisa mengalah dan mendoakan murid mengajinya

~ 210 ~
Kegagalan Pertama

itu mendapatkan jodoh terbaik.

Rania tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.


Lepas dari satu jodoh, beralih ke jodoh yang lain. Barusan
ia menerima telepon dari sahabatnya. Suara Ziya terdengar
antusias.
“Rania, pokoknya anti jangan terima taaruf dari siapa
pun juga, ya.”
Rania mengernyit heran.
“Ikhwan yang ana tawarkan ke anti kemarin, dia mau
taaruf dengan anti.”
Rania segera teringat. Sebelum mendapat tawaran
taaruf dari murabbiyah-nya, Ziya terlebih dahulu memin-
tanya taaruf dengan seorang ikhwan. “Siapa, sih?”
“Ada, lah. Pokoknya anti jangan terima tawaran dari
siapa pun. Nanti ana minta biodata ikhwannya dulu.”
Rania tercenung. Mungkin tawaran dari Nisa bukan
jodohnya. Mungkin ini jodohnya. Mungkin. Siapa yang
tahu, kan? Jalani saja, semua jodoh sudah diatur.

~ 211 ~
Air mata Hanif
menggenang, bercampur
rasa malu, takut
siksa Allah dan takut
kehilangan Rania.
Beginikah rasanya
putus cinta?
15- Yusuf dan
Zulaikha

“Dan orang yang melalui malam hari dengan


bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.”
[Al-Furqaan/25: 64]

Dekanat kali ini cukup ramai. Banyak mahasiswa yang


datang dengan tujuan mendaftar wisuda untuk tahun
ini, sama seperti dirinya. Sidang skripsi ia lewati tanpa
halangan. Nilai A dan predikat cum laude sudah ia kantongi.
Cita-citanya tercapai. Ayah dan ibunya terlihat bahagia dan
bangga ketika ia menyampaikan kabar gembira tersebut.
Rania merasa sebagian besar impiannya telah tercapai.
Tinggal bekerja, kuliah S2, dan menikah. Ia teringat telepon
dari Ziya beberapa waktu lalu.
“Ikhwannya bilang dia mau nunggu selesai wisuda
dulu,” info sahabatnya. “Supaya lebih fokus dan tenang.”
Sebenarnya, ikhwan kedua ini lebih cocok daripada

~ 213 ~
Rania

sebelumnya. Jurusan Fisika, satu tingkat di atasnya. Sudah


mendapat pekerjaan sebagai abdi negara, PNS, seperti latar
belakang keluarganya. Dia juga peneliti. LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) adalah satu diantara lembaga
impian Rania, dan ikhwan itu bekerja di sana. Rasanya ini
jodoh yang Allah tetapkan untuk memudahkan Rania
mencapai S2-nya. Ikhwan itu juga cerdas dengan IPK lebih
dari tiga. Banyak sekali kecocokannya.
Tapi dia mengundur waktu. Rania tidak bisa komentar
apa-apa. Lagi pula wisuda sudah di depan mata. Kurang
lebih dua pekan dari sekarang. Ia belajar untuk lebih
bersabar. Yakin saja, tidak akan lari jodoh di kejar. Kalau
Allah sudah menetapkan, pasti terjadi.
Perhatian Rania teralih dengan seseorang yang baru
datang, lari tergopoh-gopoh. Ia tersenyum singkat. “Mau
daftar juga, Kak?”
“Eh, Rania. Iya. Kamu sudah daftar?” tanya Heri.
“Lagi nunggu, panjang banget antriannya.”
Rania persilahkan Heri duduk. Berjarak sedikit.
Setelahnya mereka tidak bicara.
“Jadi kapan hari H-nya?”
Rania melirik sekilas dengan alis bertaut. “Hari H apa?”
“Itu, akadnya.”
Rania tersenyum tipis. Heri tentu membicarakan ten-
tang amplop cokelat berisi biodata untuk taaruf yang dili-

~ 214 ~
Yusuf dan Zulaikha

hatnya waktu itu. “Nggak jadi.”


Heri hampir terlonjak dari duduknya. “Apa?” Suaranya
cukup keras sehingga menarik beberapa pasang mata.
“Shhh ….” Rania merasa malu diperhatikan oleh orang-
orang sekitar.
“Eh, maaf, nggak sengaja. Habis kaget,” kilah Heri. “Kamu
beneran nggak jadi sama ikhwan itu?” Ia memastikan.
“Kenapa?” Heri langsung menutup mulutnya begitu
kalimat tanya itu meluncur. “Maaf, itu bukan urusanku.”
Rania tersenyum tipis. Tidak biasanya ia bicara hal yang
pribadi ke laki-laki. Namun entah mengapa, Heri pendengar
dan teman bicara yang menyenangkan. Ia tidak merasa
canggung ngobrol dengan ikhwan satu ini. “Belum jodoh.”
Heri bernapas lega. “Alhamdulillah, berarti masih ada
kesempatan dong?”
Rania tahu ke mana arah pembicaraan Heri. Bukan
rahasia kalau sejak dulu Heri berusaha menjodohkannya
dengan Hanif. “Kesempatan masih terbuka untuk siapa
saja,” candanya.
“Memang sekarang kamu lagi taaruf sama ikhwan
lain?” Wajah Heri harap-harap cemas.
Jeda sejenak.
“Ehm … ada sih yang menawarkan untuk taaruf.”
“Terus?” Heri semakin penasaran.
“Tapi … dia masih menunggu sampai aku selesai

~ 215 ~
Rania

wisuda.”
“Jadi belum taaruf?” Heri antusias.
Rania menggeleng.
“Belum tukeran biodata juga?”
“Sudah, tapi ya gitu, masih belum diproses.”
Wajah Heri semringah. “Bagus kalau begitu.”
Dahi Rania berkerut heran. Ia merasa Heri punya
sebuah rencana.
“Ran, kamu mau janji nggak ke aku?”
Dahi Rania semakin berkerut. “Janji apa?”
“Jangan terima tawaran taaruf dari ikhwan mana pun.”
“Mak-maksudnya?”
“Iya, kalau ada yang datang mengajak taaruf, jangan
diterima.”
“Kenapa?”
Heri menarik napas panjang. “Dari dulu aku punya
keyakinan kalau kamu sama Hanif itu berjodoh. Nggak tahu
kenapa,” terangnya. “Aku yakin kalau Hanif itu masih suka
sama kamu, walau dia berusaha menyembunyikannnya.”
Dada Rania berdebar pelan mendengar kalimat Heri.
“Aku akan bicara sama Hanif. Aku akan meyakinkan
Hanif kalau kamu itu jodohnya dia.”
“Apa tidak terkesan memaksa?” Rania ragu.
“Hanif hanya perlu diyakinkan. Dia … dia sebenarnya

~ 216 ~
Yusuf dan Zulaikha

nggak mau menimbulkan kesan kalau kalian itu sudah


mengikat janji sebelum waktunya. Kayak tek-tek-an gitu.”
Rania mengerti. Hal itu sering terjadi di kalangan aktivis
dakwah. Namun bukan itu yang terjadi dengan dirinya dan
Hanif. Mereka sama-sama menjauh demi menjaga hati.
“Aku yakin Hanif tidak akan menolak kali ini. Tapi kamu
harus janji untuk tidak menerima tawaran dari ikhwan lain
selama aku bicara dengan Hanif.”
Rania menarik napas panjang. Ia telah mengubur
harapannya dengan Hanif. Apakah impian itu harus muncul
kembali dengan risiko akan kecewa di kemudian hari? Dia
tidak mau patah hati dengan lelaki yang sama. “A-aku ….”
“Aku minta waktu satu pekan. Gimana? Kalau nggak
berhasil, kamu bisa lanjut dengan ikhwan itu.”
Rania berpikir sejenak. Akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah, satu pekan.”
Wajah Heri berubah cerah. “Satu pekan. Insya Allah, aku
yakin Hanif akan berubah pikiran.”
“Kalau tidak?”
Heri tersenyum tipis. “His lost. Aku yakin Hanif akan
menyesali keputusannya untuk tidak mencoba.”
Rania tersenyum kecil. “Mungkin memang belum
jodoh.”
“Kita lihat saja nanti.”
Rania melihat antrian yang sudah berkurang, ia beran-

~ 217 ~
Rania

jak berdiri untuk mendaftar. Pertemuannya dengan Heri


kali ini benar-benar mengusik hatinya. Tetapi ia tidak mau
menaruh harapan terlalu tinggi. Lebih baik mengerjakan
apa yang ada di depan mata.

Hanif tidak bisa konsentrasi menghadapi layar kom-


puter di hadapan. Padahal jadwal pendaftaran wisuda
sebentar lagi ditutup. Skripsinya tinggal perbaikan. Sidang
sudah selesai dan Hanif pasrah apapun hasilnya. Dia
sadar belum maksimal, tapi sudah lima setengah tahun,
perkuliahan ini harus diakhiri. Malam ini kesempatan
terakhir, memenuhi syarat perbaikan. Tapi malah blank.
Semua gara-gara kedatangan Heri tadi siang di kantor Al-
Izzah.
Hanif penasaran, apa yang membuat sahabatnya itu
bela-bela datang untuk menemuinya. Heri bisa saja mene-
lepon atau janji bertemu di kampus. Ternyata berita yang
sahabatnya sampaikan membuat kaget.
“Rania tidak jadi menikah,” info Heri dengan keyakinan
penuh.
“Antum dapat informasi dari mana?” Sebagai jurnalis, ia
tidak mudah percaya kepada suatu berita begitu saja tanpa
sumber yang jelas.
“Rania sendiri yang cerita ke ana.”

~ 218 ~
Yusuf dan Zulaikha

Mata Hanif melebar sesaat. “Antum yakin?”


“Yakin, lah. Ana nggak mungkin mengarang cerita
seperti ini, dan Rania nggak mungkin bohong, kan?”
Hanif menerima Heri di ruang rapat Al-Izzah, tidak
terlalu besar, tetapi cukup privasi. “Terus apa hubungannya
sama ana?”
Heri berdecak kesal. Sahabatnya ini sungguh sangat
tidak peka. “Pertanda antum harus maju kali ini.”
Hanif berubah muram. Betapa keinginan itu dulu
pernah tertanam di dalam dirinya, tetapi waktu merubah
segalanya. “A-ana tidak bisa. Antum kan sudah tahu alasan
kenapa ana tidak boleh melakukannya.”
“Rania tu muslimah yang baik agamanya. Dia bukan
mahrom antum, boleh untuk dinikahi. Antum sendiri yang
membuat larangan. Dan menurut ana itu mengada-ada.”
Heri bersuara agak keras.
“Ana tidak mengada-ada. Ini untuk kebaikan dakwah
ke depannya. Ana tidak mau menjadi ….”
“Sunnatan sayyiatan, ana tahu itu,” potong Heri dengan
wajah kesal.
Hanif menarik napas panjang.
“Ana meminta waktu satu pekan kepada Rania untuk
tidak menerima tawaran taaruf dari ikhwan mana pun. Ana
mengatakan padanya akan bicara dengan antum, supaya
antum punya keberanian dan maju taaruf dengannya.”

~ 219 ~
Rania

Hanif terkejut. Sampai sebegitunya?


“Ana tidak habis pikir, kalian berdua memendam rasa
yang sama. Antum sudah selesai skripsi, tinggal wisuda.
Pekerjaan tetap dan penghasilan juga punya, lalu apa yang
menghalangi?” Heri mulai emosi. “Apakah antum tidak
melihat ini sebagai pertanda. Taaruf Rania tidak berhasil,
mungkin ini kesempatan yang Allah berikan ke antum
untuk maju.”
Hanif tidak menjawab, sahabatnya itu sudah tahu apa
yang membuatnya tidak melangkah lebih jauh.
Heri mengembuskan napas kasar. “Sepertinya usaha
ana ke sini sia-sia,” Ia mengusap wajah, berusaha meredakan
emosi. “Ana hanya berharap antum tidak menyesal suatu
hari karena tidak berani mencoba.”
Hanif tidak membalas.
“Baiklah.” Heri beranjak berdiri. “Ana pulang dulu. Ana
harap antum bahagia dengan pilihan antum. Maaf kalau
ana terkesan emosi. Ana hanya ….” Ia menarik napas dalam.
“Ana hanya peduli sebagai sahabat yang kenal antum
luar dan dalam, sejak tahun satu kita selalu sama-sama di
dakwah dan kampus.”
Hanif menjabat tangan Heri erat dan memeluk saha-
batnya itu hangat. “Syukran, Akhi. Ana tahu antum hanya
ingin yang terbaik untuk ana.”
Heri beranjak ke pintu, sebelum membuka handel,
ia berbalik ke sahabatnya. “Satu permintaan ana, coba

~ 220 ~
Yusuf dan Zulaikha

antum bicarakan ini dengan murabbi antum. Ana yakin


pendapatnya akan lebih antum dengar.”
Hanif mengangguk singkat. Sekarang ia galau. Baru
saja ia terima biodata seorang akhwat dari gurunya.
Seorang alim, hafal beberapa juz Al-Qur’an. Sebuah kriteria
yang sangat ia inginkan.
“Ri, antum sungguh-sungguh?”
“Ya, iyalah. Antum itu jodohnya Rania!”
“Sebentar, ada yang mau ana tunjukkan”
Hanif mengambil amplop berisi biodata akhwat dari
gurunya. Ia mengangsurkan amplop tersebut ke Heri.
“Ya Allah, antum udah proses taaruf?”
“Iya.” Hanif mengangguk.
Heri langsung membuka pintu dan menghilang. Tidak
ada salam. Heri marah semarah-marahnya.

Hanif tak menyangka, Heri sekeras itu. Ia tak tahu


apa yang ada dalam batin sahabatnya itu. Apakah Heri
mengetahui perasaan Rania? Apakah akhwat itu menum-
pahkan semua curhat ke Heri? Sepertinya tidak mungkin,
Rania sangat menjaga diri. Pastinya akhwat itu mengadu
hanya kepada Allah. Lalu kenapa Heri bersikap seperti itu?
Mungkin hanya kebetulan ikhwan itu merasa dirinya dan

~ 221 ~
Rania

Rania berjodoh.
Hanif melihat lembaran biodata di depannya. Sudah
tiga hari ia Istikharah. Hatinya mulai cenderung pada Rika,
akhwat Pandeglang yang kini belajar di LIPIA (Lembaga
ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). Ustadz Lukman juga
alumni LIPIA. Ditambah latar belakang Rika yang keluaran
pesantren berkualitas Gontor, pastinya akhwat itu sudah
mengikuti tarbiyah sejak lama dan paham syariat.
Alim. Keturunan kyai. Hafal beberapa juz Al-Qur’an.
Walau parasnya tidak seindah Rania.
Hanif super galau. Di depannya kini ada dua wanita
yang siap dipinang.
Rika … bersih tanpa sejarah hawa nafsu. Rania …
sangat ia harapkan, hatinya pernah tertambat di sana.
Rika rekomendasi guru, Rania paksaan sahabat.
Rika aman jika dinikahi, Rania akan ada fitnah dari
dampak sunnatan sayyiatan, akibat dosa jariah karena
memberi contoh tidak baik.
Bunyi kipas angin menemani perenungan Hanif.
Kipas itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Sama seperti
jiwanya yang bimbang. Kantor sepi. Semua kru keletihan
mengejar deadline. Dua hari lagi majalah terbit dan siap
didistribusikan.
Hanif mengambil wudhu. Gemericik air yang tumpah
menenangkan batinnya yang resah. Digelarnya sajadah di

~ 222 ~
Yusuf dan Zulaikha

belakang meja komputer. Ia menyerahkan takdirnya pada


Allah melalui shalat. Dua rakaat taubat, dua rakaat hajat,
dan dua rakaat Istikharah.
Jam menunjukkan pukul 20.45, Hanif mengirim SMS ke
Ustadz Lukman.

“Bang, ana bisa telepon jam berapa?”

Dia tahu murabbi-nya super sibuk menangani lebih


dua puluh grup liqo yang tiap pekan dibina dengan penuh
kasih sayang. Tidak lama ia mendapat jawaban.

“Sebentar, ya. Pukul 21.30 silahkan antum kontak ana.”

Mengisi waktu, Hanif membuka mushaf dan tenggelam


dalam lantunan ayat-ayat Allah.

“Bang, ana udah liat biodata yang antum kasih.”


“Oh ya, Mia Hasanah, ya?”
“Bukan, Bang. Rika.”
“Oh, iya.”
“Saking banyak yang lagi proses ya, Bang? Sampe lupa
gitu?”
“Iya nih, ada sepuluh yang barengan proses taaruf.”
“Buanyak amat, Bang, masya Allah pahala antum ba-
nyak banget.”

~ 223 ~
Rania

“Lagi ngumpulin rumah di surga Akhi.”


“Aaamin, Bang.”
“Gimana, udah Istikharah?”
“Udah, Bang.”
“Alhamdulillah, gimana? Udah sreg?”
“Belum, Bang.” Hanif sudah cenderung ke Rika. Hanya
saja, Heri memberikan penawaran yang lebih baik.
“Oh gitu,” jawab Ustadz Lukman santai.
“Gini, Bang. Sebenarnya ada seorang akhwat di kampus
yang ana suka. Tapi prosesnya nggak sederhana, Bang.
Boleh nggak ana cerita?”
Dua puluh menit berikutnya Hanif menceritakan
kisahnya dengan Rania. Hati-hati sekali, takut gurunya itu
marah. Ia tahu hal ini tabu dalam dunia dakwah. Bukan
hanya tabu, tetapi dosa. Namuni Hanif pasrah, diceritakan
semua apa adanya. Ia menyerahkan semua kepada Ustadz
Lukman. Biarlah gurunya yang mengarahkan kepada Rika
atau Rania.
“Ana mau tanya jujur ke antum.”Ustadz Lukman mulai
serius.
“Ya, Bang.”
“Antum sudah benar-benar mematikan rasa ke Rania?”
“Ana sudah berusaha, Bang. Al-Izzah ini bisa dibilang
pelampiasan ana. Ana melarikan diri dari kampus. Karena
setiap ana ke sana, selalu ada rasa untuk Rania. Dua tahun

~ 224 ~
Yusuf dan Zulaikha

ini bisa dibilang ana sudah berhasil mengelolanya. Kalau


dibilang bersih banget, ana harus jujur kan, Bang.Tetap
ada perasaan, tapi nggak seperti dulu. Ana sekarang malah
takut dosa, Bang. Ana takut jadi sunnatan sayyiatan. Kalau
cari aman, ana berharap antum lanjutkan proses ana ke
Rika.”
“Antum pernah tahu kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha?”
“Ya tahu, Bang.”
“Tahu kalau akhirnya mereka menikah?”
“Iya, tapi ana nggak tahu prosesnya.”
“Memang proses cinta Zulaikha pada Yusuf awalnya
dipenuhi dengan syahwat cinta yang salah. Zulaikha nggak
pernah berhenti mencintai Yusuf. Setelah suaminya wafat,
Zulaikha terus meminta pada berhala agar Yusuf diberikan
padanya. Karena nggak didapatkan, Zulaikha marah pada
berhala-berhala itudan menghancurkannya. Saat Zulaikha
sudah menyerah pada agama tauhid, Allah mengutus
malaikat pada Yusuf dan menyuruh Yusuf untuk menikahi
Zulaikha.”
“Ya Rabb ….” Hanif bergidik mendengar cerita Ustadz
Lukman.
“Kisah mereka mirip dengan kisah antum.”
“Ya Allah. Terus gimana, Bang?”
“Antum teruskan pada Rania. Ana dukung.”
“Serius, Bang. Ya Allah beneran, Bang?” Hanif masih

~ 225 ~
Rania

belum percaya. Matanya mulai basah. Ia tidak menyangka


gurunya sangat memahami perasaannya.
“Iya, sambil antum Istikharah juga, ya.”
“Nanti orang akan bilang apa, Bang? Ana akan jadi
sunnatan sayyiatan.”
“Orang kan nggak tahu prosesnya. Nggak apa-apa.
Semua Allah yang atur. Nanti ana yang akan nemenin
antum untuk taaruf dengan Rania dan murobbiyah-nya.”
“Ya Allah terima kasih, Bang. Ana uhibbuka fillah. Terus
biodata Rika ini gimana, Bang?”
“Kan belum proses juga sama antum. Nanti biar ana
proses ke ikhwan lain.”
Setelah mengucapkan salam, ia mematikan sambungan
telepon. Hanif langsung tersungkur sujud syukur. Sajadah
basah dengan air mata bahagia.
Benar kata Heri, ia perlu mendengar masukan dari
gurunya yang tentu lebih paham urusan seperti ini. Ustadz-
nya tentu sudah memfasilitasi banyak akhwat dan ikhwan
yang hendak taaruf sampai menikah.
Terjawab sudah kegundahan hati. Ia tidak ingin me-
nunda lagi. Besok ia akan memberikan biodata ke Heri
untuk diserahkan kepada Rania. Senyum di wajahnya
semakin lebar membayangkan sahabatnya itu pasti akan
melonjak senang. Dan Rania? Apakah akhwat itu akan sama
senangnya, atau ….

~ 226 ~
Yusuf dan Zulaikha

Tiba-tiba Hanif memikirkan kemungkinan kalau Rania


akan menolaknya karena terlalu lama menunggu. Tidak. Ia
berusaha menyingkirkan kemungkinan itu dalam pikiran.
Insya Allah, kalau Rania adalah takdir yang Allah tetapkan
untuknya, semua akan Allah mudahkan.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Bayangan ia menikah
dengan Rania terasa di depan mata.

~ 227 ~
Kadang ia terlonjak
kaget mendengar dering
telepon setelah Subuh,
harap-harap cemas
kalau itu Hanif.
16- Hati yang Raja’

“Tanda-tanda mereka tampak pada


muka mereka dari bekas sujud....”
[Al-Fath/48: 29]

Rania selalu berpikir kalau Allah itu Maha Baik. Betapa


tidak, berbagai kemudahan ia dapatkan dalam hidup. Allah
memberinya hidayah ketika masih SMA. Ia menutup aurat
dan berkesempatan mengenal indahnya Islam sejak masuk
rohis. Allah karuniakan otak yang cemerlang sehingga
ia selalu juara kelas dan bisa mendapatkan PMDK untuk
masuk ke perguruan tinggi yang menjadi idaman banyak
orang.
Allah memberinya kelapangan rezeki dengan dida-
tangkan kepadanya orang tua yang menginginkan anak
mereka les privat. Allah membimbingnya mengenal dak-

~ 229 ~
Rania

wah lewat divisi pembinaan rohis kampus. Allah mudahkan


jalannya untuk menyelesaikan kuliah dengan baik dan tepat
waktu. Dan lebih bersyukur lagi, karena meraih predikat
cum laude.
Masya Allah. Tidak henti Rania melafazkan hamdalah di
lisannya.
Begitu pula kala ini. Sekarang. Ketika Heri menemuinya
saat gladi bersih wisuda dan menyerahkan sebuah amplop
cokelat padanya. Jantungnya berkejaran. Degupnya bisa ia
dengar sampai ke telinga.
Rania tidak perlu menebak siapa si empunya biodata
di dalamnya. Senyum simpul Heri dengan mata berbinar
menjawab semua. Siapa lagi kalau bukan seseorang yang
Heri tawarkan terus menerus kepadanya belakangan ini.
Sehebat apapun Heri memaksanya menerima Hanif, kalau
Hanif tidak melamarnya, ya hanya harapan semu. Namun
kini, amplop cokelat itu hadir.
Allah Maha Baik.
Ia pernah sangat mengagumi ikhwan tersebut, dengan
kecerdasannya dalam memikirkan strategi dakwah, dengan
aktivitasnya yang seabrek, dengan langkah kaki yang cepat
dan menundukkan pandangan, terutama dengan merdu
suaranya saat melantunkan kalamullah. Rania tak akan
pernah lupa Tahajjud malam pertama daurah, surat Ar-
Rahman yang membuat hatinya terpikat dan penasaran
dengan empunya suara.

~ 230 ~
Hati yang Raja’

Namun Rania juga pernah merasa minder dan tidak


pantas bersanding dengan ikhwan tersebut. Akhwat seperti
dirinya rasanya sangat jauh bila dibanding ikhwan sekaliber
itu. Bagai langit dan bumi.
Rasa kagum yang bertransformasi menjadi suka harus
ia pendam dan kubur dalam-dalam. Ia tidak mau mengotori
hati. Ia tidak mau maksiat. Ia lebih memilih cinta kepada-
Nya, bukan kepadanya.
Allah Maha Baik.
Ketaatannya kini berbuah manis. Allah berikan apa
yang pernah menjadi impiannya. Nama sang Ustadz
yang tersebar di diari menjadi saksi, betapa ia berusaha
kuat menahan rindu. Rindu ingin bersemuka. Rindu ingin
bertukar kalimat. Rindu yang ia tangguhkan karena tunduk
pada syariat-Nya.
Allah Maha Baik.
“Nggak mau dibuka?” goda Heri.
Rania tersadar dari lamunan. Sejak amplop cokelat ber-
pindah tangan, ia hanya menggenggamnya erat. Dengan
sedikit gemetar, ia membuka amplop tersebut dan me-
ngeluarkan lembaran di dalam.
Netranya langsung terpaku pada sebuah nama.
Hanif Al-Ghifari.
Tiba-tiba matanya memanas. Sesak.
“Bener, kan, namanya?” canda Heri lagi.

~ 231 ~
Rania

Senyum kecil tercetak di wajah Rania. Senang ber-


campur kesal karena Heri menggodanya.
“Alhamdulillah,” tambah Heri dengan semringah.
“Kalau begitu aku minta biodata kamu, ya. Biar bisa segera
diproses. Kamu kasih biodata Hanif ke murabbiyah, nanti
Hanif yang akan hubungi murabbiyah kamu untuk jadwal
taaruf.”
Rania masih memroses semua informasi yang Heri
berikan. Ia masih belum percaya ini semua terjadi. Rasanya
baru kemarin ia bertemu dengan Hanif, dan sekarang?
Mereka akan proses untuk taaruf? Cepat sekali.
“Terus ikhwan yang mau taaruf sama kamu selesai
wisuda gimana?”
“Eh, itu … nanti akan aku bicarakan dengan Ziya”
Heri mengangguk mengerti. “Oke, kapan aku bisa
ambil biodata kamu untuk aku serahkan ke Hanif?”
“Nanti sore?”
Hanif tersenyum kecil. “Oke, nanti sore aku ambil ke
rumah.”
Rania mengangguk. Berbeda dengan amplop pertama
yang ia terima dari Nisa dulu, kini tidak ada keraguan sama
sekali di hatinya. Hanya ada bunga bermekaran di mana-
mana.

~ 232 ~
Hati yang Raja’

Sebagai mahasiswa yang kenyang organisasi, Hanif


paham betul bagaimana etika dalam rapat. Tidak ada rapat
dalam rapat. Sejak dulu ia tidak menoleransi hal tersebut.
Apalagi ada peserta rapat yang membuka handphone atau
tidak memperhatikan jalannya pembicaraan.
Namun hal itu kini berbalik kepadanya. Ketika kru Al-
Izzah sedang seru membahas tema majalah bulan depan,
ia malah asyik membuka laci meja dan mengintip sedikit,
demi melihat secarik foto yang ia dapatkan dari biodata
seorang akhwat.
Masya Allah. Ini kah bidadari surga yang Allah janji-
kan untuknya? Tidak ada kata yang bisa melukiskan kee-
lokan paras empunya foto. Seolah semua kecantikan di
dunia terkumpul padanya. Bila Ibrahim alaihissalam memi-
lik Sarah, Yusuf alaihissalam memiliki Zulaikha, dan Mu-
hammad shallallahu ‘alaihiwassalam memiliki Khadijah,
maka Hanif memiliki Rania.
Cinta yang dulu memudar, bahkan mati, kini mem-
buncah. Memenuhi relung hati. Insya Allah, jalan yang ia
tempuh kali ini berada dalam koridor yang Allah tetapkan.
Ia ingin memulai sesuatu yang murni dan suci dengan jalan
yang lurus.
Hanif teringat pembicaraannya dengan Nisa kemarin,
meminta guru mengaji Rania untuk menjadi perantara
mereka taaruf.
“Insya Allah hati ana sudah tetap, Mbak. Niat ana

~ 233 ~
Rania

ikhlas karena Allah,” ujar Hanif sedikit gemetar, karena dulu


Nisa yang memarahinya dan memutuskan asa cintanya
secara sepihak. Guru mengaji Rania itu tidak salah, namun
kini orang yang sama akan menjadi penyambung cinta
yang baru. “Ana minta kesediaan Mbak dan suami untuk
memproses taaruf ana dan Rania. Insya Allah murabbi ana
akan hadir.”
“Sejujurnya Akhi, ana terkejut. Sangat aman bagi
dakwah jika kalian tidak jadi menikah. Tapi kalau memang
jodoh, ana bisa bilang apa. Hanya Allah yang Maha
Mengatur,” tutur Nisa datar dari balik tabir.
“Insya Allah nanti ana bicarakan dulu dengan suami.
Secepatnya ana kabari kapan waktunya.”
“Jazakillah khair, Mbak.”
Hanif menatap foto Rania dengan senyum merekah di
wajah.
“Nif, ngapain sih senyum-senyum sendiri,” sahut salah
satu kru, curiga dengan perubahan sikap Hanif beberapa
hari ini.
Hanif menutup cepat laci meja. “Eh, nggak ada apa-
apa,” ujarnya gugup. Taaruf ini memang masih dirahasiakan
olehnya. Sebagai etika dalam syariah.
Teman-teman lain memasang wajah penasaran, tetapi
Hanif tidak ambil pusing. Ia sedang jatuh cinta, dan bagi
orang yang sedang mabuk asmara, semua sah-sah saja.

~ 234 ~
Hati yang Raja’

Wisuda adalah momen yang paling ditunggu-tunggu


kebanyakan mahasiswa. Tanda mereka telah sukses mele-
wati tahun-tahun perkuliahan yang penuh perjuangan.
Perjuangan yang bukan hanya biaya, tetapi malam-malam
tanpa tidur karena belajar, praktikum, membuat laporan,
penelitian, dan mengerjakan skripsi.
Pergulatan empat tahun, kadang lebih, berakhir hari
ini. Saat nama mahasiswa di panggil satu per satu untuk
naik ke panggung. Menerima piagam dan ucapan selamat
dari dekan dan dosen.
Kebanggaan tersendiri bagi Rania ketika nama orang
tuanya disebutkan, apalagi pembawa acara membacakan
nilai IPK dan gelar cum laude yang diraihnya. Bersyukur.
Ia bahagia bisa membuat orang tuanya berbesar hati. Ia
merasa telah menyelesaikan satu kewajiban sebagai anak.
Menghargai setiap jerih payah orang tua yang telah
mendidiknya hingga sekarang. Ini bukti cintanya untuk
mereka.
Setelah seremoni usai, Rania mencari Ayah dan Ibu
di bagian orang tua. Ketika melihat mereka, ia langsung
memeluk ibunya dan meneteskan air mata haru. Ibunya
juga tidak kalah sedih dan terisak pelan. Ketika memeluk
ayahnya, Rania merasakan keteguhan hati. Ayah yang sejak
dulu keras mendidiknya kini hasilnya terlihat. Ia menjadi

~ 235 ~
Rania

sosok muslimah yang selalu menjaga diri dan punya


kemauan kuat. Ucapan terima kasih tidak cukup ia berikan,
hanya doa kepada Allah azza wa jalla agar memasukkan
mereka ke jannah-Nya.
Setelah berfoto dengan kedua orang tua, Rania pamit
untuk bergabung bersama teman-teman yang lain. Ia
berpelukan dengan teman satu angkatan, aura bahagia
terpancar. Mereka berfoto bersama. Netra Rania sembari
mencari-cari sosok seseorang yang sedari tadi tidak
kelihatan duduk di mana. Dadanya berdebar pelan. Ia men-
desah kecewa ketika tidak mendapati yang diinginkan.
“Ran,” sahut seorang temannya. “Gue ke sana dulu, ya.”
Ia menunjuk ke rombongan jurusan lain yang juga sedang
berfoto.
Rania mengangguk. Saat hendak berbalik kembali
ke orang tuanya, langkahnya terhenti. Ia terpaku dengan
pandangan lurus ke satu titik. Allah. Itu dia. Ia tidak mungkin
salah mengenali. Empat tahun lebih mereka bersama, ia
bahkan bisa mengenali ikhwan itu dalam sekelebat.
Ia melihat Hanif sedang berfoto dengan ikhwan lain.
Ia tidak perlu menghampiri Hanif. Memandangnya dari
sini, itu sudah cukup. Saat senyum lelaki hitam manis itu
mengembang kala berfoto, Rania ikut tersenyum. Bahagia.
Ada pancaran wibawa dibalik toga wisuda. Gagah.
Ia teringat telepon dari guru mengajinya beberapa
hari yang lalu.

~ 236 ~
Hati yang Raja’

“Insya Allah Selasa pekan depan, anti bisa, kan?”


Tentu saja Rania bisa. Ia sudah menunggu hari itu
terjadi. “Insya Allah bisa, Mbak. Berarti setelah wisuda, ya?”
“Iya. Ana sudah memberitahu Hanif, insya Allah dia dan
murabbi-nya bisa hadir.”
“Baik, Mbak. Insya Allah.”
Sebentar lagi. Ia harus bersabar sebentar lagi.
“Ran!”
“Innalillahi.” Rania menoleh ke asal suara. “Ziya! Nga-
getin, deh.”
Ziya tertawa kecil. Ia memeluk sahabatnya erat. “Doain
ana bisa wisuda setelah ini, ya.”
“Iya.” Rania melepaskan pelukan. “Insya Allah bisa.”
Tiba-tiba Rania merasa tidak enak pada Ziya. “Zi, maafin
ana, ya.”
Dahi Ziya mengernyit. “Maaf kenapa?”
“Nggg … itu, karena nggak jadi taaruf sama ikhwan
yang anti tawarkan.”
Ziya tersenyum kecil. “Ya Allah, Ran, kok masih mikirin
itu, sih?”
“Ana nggak enak aja, karena kan anti yang menawarkan
duluan.” Rania memang langsung menelepon Ziya sete-
lah menerima biodata Hanif. Ia mengatakan tidak jadi
melanjutkan rencana taaruf dengan ikhwan yang Ziya
tawarkan karena ada ikhwan lain yang sudah memberikan

~ 237 ~
Rania

biodata dan siap taaruf. Ziya tidak masalah, malah senang


setelah tahu ikhwan yang hendak taaruf dengan Rania
adalah Hanif.
“Ana ikut bahagia akhirnya anti dan Hanif bisa bersatu,”
goda Ziya.
“Taaruf juga belum,” kilah Rania dengan wajah merona.
“Insya Allah, Allah mudahkan sampai proses akad. Akad
yang bersih. Suci karena Allah”
“Amin.”
Kedua sahabat sejak SMA itu kembali berpelukan erat.
Toga Rania bergeser sedikit. Dia tak lagi mau menangis,
tetapi sesak air mata memaksa keluar.

Rania sengaja datang lebih awal. Ia butuh menenang-


kan hati terlebih dahulu. Nisa memintanya duduk di
bagian dalam rumah, agak masuk sedikit dari ruang tamu.
Memang ia jadi tidak leluasa untuk melihat, tetapi cukup
untuk sedikit mengintip siapa yang duduk di sana.
“Sebentar lagi sampai,” info suami Nisa.
Allah.
Rania menarik napas dalam beberapa kali, mencoba
menenangkan debar di dada. Percuma. Nadinya berdetak
lebih cepat, dan gugup mulai melanda.

~ 238 ~
Hati yang Raja’

Nisa menepuk punggung tangan Rania pelan. “Nggak


usah gugup, ini kan bukan kali pertama kalian bertemu.”
Nisa berusaha menenangkan.
Rania tersenyum canggung. Namun ini pertama kali
mereka bertemu dalam rangka untuk menikah. Entah
mengapa ada rasa malu menyelusup. Aneh memang,
biasanya ia santai menghadapi Hanif ketika rapat atau saat
ikhwan itu menelepon. Sekarang berbeda.
“Sudah datang.” Suami Nisa kembali memberitahu.
Nisa beranjak dari duduknya. “Anti tunggu di sini.” Nisa
segera menyambut tamu yang datang.
Allah. Rania bisa merasakan jantungnya berdegup
lebih cepat, seperti hendak keluar dari tempatnya. Tidak
usah di suruh dua kali, ia tidak akan beranjak ke mana-
mana. Jangankan berdiri, bergerak saja ia tidak sanggup.
Kepalanya menunduk sepanjang menunggu.
“Assalamu’alaikum.”
Deg!
Suara surga itu …. Rania berdoa dalam hati semoga ia
tidak gemetar saat bicara nanti.

~ 239 ~
Lantunan malam
pertama itu kembali
hadir, menyuarakan
surah Ar-Rahman dengan
indah dan tartil. Rania
masih berharap dipimpin
oleh imam yang sama.
17- Jawaban Sujud
Panjang

“(Yaitu) orang-orang yang sabar,


yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah), dan yang
memohon ampun di waktu sahur.”
[Ali-‘Imran/3: 17].

Hening. Hanya terdengar suara kipas angin yang


berputar dari ruang depan. Bagi Hanif, taaruf ini selaksa
mimpi. Dicubit tangannya berkali-kali, ia takut apa yang
dilihatnya kini bukan realita. Ternyata sakit. Maha Suci
Allah yang menciptakan perempuan di depannya begitu
sempurna.
Saat dipersilakan melihat Rania, Hanif memanfaatkan
untuk mereguk nikmat surgawi. Dipandanginya wajah
salju Rania yang tersipu tertutup jilbab ungu. Perlahan ada
semburat merah jambu yang merekah dari pipi akhwat

~ 241 ~
Rania

itu. Menambah indah parasnya yang tak ada dua. Apa-


kah memang selalu begitu? Pantas Nabi shallalllahu alaihi
wassalam memanggil Aisyah dengan humairah. Wahai
yang pipinya kemerah-merahan.
Setiap Rania menjawab pertanyaan, Hanif memper-
hatikan gerak bibirnya yang memesona. Bagai dua bantal
empuk yang bertemu, naik turun. Saat bibir itu terbuka, ada
susunan mutiara putih berbaris rapih. Dari lisannya keluar
alunan melodi indah yang memabukkan jiwa. Saat bibir itu
menutup, selaksa kedua sisi bibir itu berpelukan.
Tatapan mata Rania mengandung energi magis. Ka-
dang mata mereka beradu pandang. Saat itu terjadi, Hanif
memalingkan, energinya terlalu silau. Sejurus, dilihatnya
kembali. Tak puas-puas memandangi mata jelita itu, seperti
candu. Dihias bulu mata lentik, netra itu menari-nari di
depannya, seakan mengajaknya berdansa.
Ah, Rania terlalu sempurna baginya. Betapa Allah Maha
Baik, mengizinkan untuk menghalalkannya.
“Jadi, apakah masih ada yang ingin ditanyakan lagi?”
tanya Ustadz Lukman.
Rania menggeleng pelan. Ia sudah sangat mengenal
Hanif, baginya taaruf ini hanya formalitas belaka.
Hanif melihat gelengan kepala itu. Puas dilihatnya
sudut-sudut pipi yang berbeda. Empuk sekali nampaknya,
seperti kasur busa yang bakal memanjakan orang yang
tidur di atasnya.

~ 242 ~
Jawaban Sujud Panjang

Hanif berdeham. “Ada satu lagi, Ustadz.”


Semua mendengarkan dengan saksama.
“Ehem. Bagaimana pendapat anti tentang poligami.”
Rania sudah memperkirakan pertanyaan ini akan
muncul di permukaan. Ia sudah menyiapkan jawabannya.
“Poligami adalah syariat. Ana tidak akan menentang apa
yang sudah Allah tetapkan.” Singkat, padat, dan jelas.
Hanif mengangguk puas. Ia tak mungkin juga meng-
khianati cinta, tapi pertanyaan itu sekadar mengonfirmasi,
Rania taat dengan syariat Allah.
“Bagaimana, ada lagi?”
Hanif menggeleng pelan. “Insya Allah cukup Ustadz.”
Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama memandang
Rania.
“Baik, insya Allah sudah cukup informasi yang diterima.
Kalau begitu kita cukupkan sampai di sini untuk taarufnya.
Silakan masing-masing Istikharah dan meminta petunjuk
kepada Allah,” terang Ustadz Lukman yang memimpin
jalannya prosesi. “Ana harap sudah ada jawabannya pekan
depan.”
“Afwan Ustadz.” Hanif memotong Ustadz Lukman yang
hendak menutup taaruf. “Ada yang ingin ana sampaikan.”
Semua mata tertuju ke Hanif. Begitu juga Rania, ia
penasaran dengan apa yang akan disampaikan ikhwan itu.
“Ya, silakan.”

~ 243 ~
Rania

Hanif kembali berdeham. “Ana dan Ukhti Rania sudah


kenal lama. Kami sama-sama di divisi pembinaan rohis
selama dua tahun. Ana sudah sangat mengenal Ukhti Rania.
Bagi ana taaruf ini hanya memperkuat apa yang sudah ana
niatkan sejak menginjakkan kaki di rumah ini,” jelas Hanif.
“Insya Allah ana sudah Istikharah dan menetapkan
pilihan. A-ana bermaksud untuk langsung melanjutkan
proses ini”
“Antum yakin?” Ustadz Lukman memastikan.
Hanif mengangguk pasti. “Insya Allah, Ustadz.”
Pandangan Ustadz Lukman beralih ke Rania. “Ukhti
Rania, bagaimana jawaban anti?”
Allahu akbar. Rania tidak siap mendapat pernyataan
seperti itu dari Hanif. Lidahnya kelu. Ia melirik sekilas Nisa
yang duduk di dekatnya. Nisa mengangguk singkat dan
mengusap punggungnya perlahan.
Rania menunduk. Berusaha mengumpulkan kebera-
nian untuk bicara.“A-ana ….”Ia menarik napas pendek. Sebe-
narnya tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Sejak ia
menerima biodata hanif, sejak itu ia sudah membayangkan
sebuah pernikahan. Hanya masalah waktu. Lebih cepat,
lebih baik. Ia tidak mau mendekati zina. “Bismillah, ana siap
untuk melanjutkan.”
“Masya Allah.”
“Alhamdulillah.”

~ 244 ~
Jawaban Sujud Panjang

Senyum lebar terukir di wajah Hanif yang semringah.


Alhamdulillah, batinnya. Rasanya ingin sujud syukur saat itu
juga, tetapi ia malu menjadi tontonan murabbi-nya.
“Kalau begitu, tinggal memberitahu keluarga. Setelah
ini Akhi Hanif silakan datang ke keluarga Ukhti Rania untuk
melamar.”
“Baik Ustadz.”
Ketika pamit pulang, Hanif sama sekali tak mau melihat
Rania. Ia sudah puas memandanginya sebagai sesuatu yang
halal dalam taaruf. Kini, entah kenapa cinta yang menggebu
berubah bagai air danau yang tenang. Ia memilih bersabar.
Hatinya yakin Rania akan menjadi pendamping hidupnya.
Ia ingin memberikan jarak pada hubungan mereka. Kalau
bisa tidak perlu bertemu sampai akad tiba.
Ia benar-benar ingin memulai ini dengan hati yang
bersih. Menyucikan diri dari syahwat dunia. Ia yakin Allah
akan memberikan hadiah termanis pada saatnya nanti.
Ketika yang haram menjadi halal. Setelah berlangsungnya
akad.
Tinggal selangkah lagi. Ia hanya perlu menemui Ayah
Rania dan melamar akhwat yang sejak awal bertemu sudah
mencuri perhatiannya.

Hanif berdeham pelan. Ternyata seperti ini rasanya

~ 245 ~
Rania

bertemu calon mertua. Awalnya dia sangat percaya diri,


hingga berangkat sendiri, namun kini tiba-tiba saja kegu-
gupan melanda. Tangannya terasa dingin di pagi yang cerah.
Ia bahkan tidak memperhatikan Rania yang membawakan
minuman untuknya. Pikirannya fokus menyusun kalimat
yang akan di sampaikan ke ayah Rania nanti.
“Silakan di minum, Nak Hanif,” tawar Ayah.
“Terima kasih, Pak.” Ia ragu mengambil gelas di meja.
Tangannya sedikit gemetar.
Hanif memilih langsung ke pokok pembicaraan. Ia tidak
mau berlama-lama dalam kegundahan. “Jadi begini, Pak.” Ia
kembali berdeham. “Maksud kedatangan saya ke sini untuk
… untuk melamar Rania, putri Bapak.” Suara Hanif tegas
dan yakin.
Hening beberapa detik.
Ayah Rania tersenyum kecil. “Nak Hanif sudah yakin?
Sudah siap? Kalian kan masih muda. Baru saja lulus kuliah.”
“Insya Allah, Pak. Saya sudah bekerja dan mempunyai
penghasilan tetap, walaupun belum seberapa. Saya juga
sudah mengenal Rania sejak lama. Insya Allah, saya dan
Rania siap.”
Ayah menarik napas panjang. Rania sudah mencerita-
kan perihal Hanif yang akan datang melamar. Anak
sulungnya itu juga mengatakan sudah menerima Hanif
sebagai calon suaminya. Sebenarnya tidak ada masalah lagi.
Hanya saja, sebagai seorang ayah, ia ingin melihat anaknya

~ 246 ~
Jawaban Sujud Panjang

sukses secara karir. Gelar yang sudah di dapat Rania jangan


sampai sia-sia. Ia juga masih berharap anaknya bisa meraih
gelar S2.
“Apakah Nak Hanif akan tetap mengizinkan Rania
bekerja bila sudah menikah nanti?”
“Insya Allah saya tidak masalah dengan istri yang
bekerja, asalkan tidak melanggar syariat.”
“Kalau Rania berniat kuliah lagi?”
“Insya Allah saya tidak akan melarang Rania sekolah
setinggi mungkin. Bagi saya penting perempuan mendapat
pendidikan yang tinggi, karena seorang ibu akan menjadi
madrasah pertama bagi anak-anaknya.”
Ayah mengembuskan napas pelan. “Sebagai seorang
ayah, saya tidak berkeberatan dengan lamaran Nak Hanif.
Rania juga sudah banyak bercerita tentang Nak Hanif dan
keluarga. Tapi, saya berharap Nak Hanif datang bersama
kedua orang tua untuk secara resmi melamar Rania.”
“Insya Allah, Pak. Saya dan keluarga akan datang dan
melamar secara resmi.”
“Baik kalau begitu. Kami menantikan kehadiran kelu-
arga Nak Hanif di rumah kami.”
Hanif mengangguk seraya tersenyum. Selesai satu
urusan, beralih ke urusan yang lain. Alhamdulillah, semua
Allah mudahkan.
“Satu lagi,” tambah Ayah.

~ 247 ~
Rania

“Iya, Pak.”
“Apa yang kamu ketahui tentang Wali Allah?”
Sungguh ini pertanyaan yang belum pernah disiapkan
oleh Hanif. Duh apa, ya? batinnya. Hanif menjawab sea-
danya sesuai yang diketahui, tentang wali songo dan wali-
wali Allah.
“Nanti pikirkan lagi. Sesungguhnya wali Allah tak
memiliki rasa takut dan bersedih hati dalam Surat Yunus
ayat 62,” sahut Ayah yang ternyata sudah menyiapkan
jawabannya.

Rania duduk terpekur di sofa ruang keluarga. Di


hadapannya duduk Ayah dan Ibu. Aura tegang sangat terasa
di antara mereka. Padahal baru saja Hanif dan keluarga
datang ke rumah untuk melamar Rania secara resmi.
Keluarga Hanif dan Rania bisa membaur dengan cepat.
Sama sekali tidak ada masalah yang berarti. Semua berjalan
baik-baik saja, sampai Hanif memberitahukan tanggal per-
nikahan mereka.
“Dua bulan lagi?” ulang Ayah. “Kenapa cepat sekali?”
Rania hendak menjawab, tetapi ayahnya kembali
bicara.
“Ayah pikir kalian masih lama menikahnya, kenapa
tidak tahun depan saja? Kamu kan mau kerja dulu.”

~ 248 ~
Jawaban Sujud Panjang

“Rania bisa bekerja setelah menikah, Yah. Kak Hanif


tidak melarang Rania bekerja, kok.”
“Iya, tapi tetap saja beda. Kalau sudah menikah, kamu
lebih disibukkan dengan urusan rumah tangga,” tambah
Ibu. “Belum lagi kalau nanti kamu sudah punya anak.”
Rania tidak menjawab.
“Coba bicarakan lagi dengan Hanif, minta dia menung-
gu satu tahun lagi, nggak lama kok. Dia bisa menabung
untuk biaya pernikahan,” usul Ayah.
“Rania tidak ingin berlama-lama, Yah. Rania takut me-
ngotori hati dan mendekati zina.”
“Kalian bisa menjaga diri, Ayah yakin itu. Tidak usah
sering-sering bertemu.”
Rania menarik napas panjang. Bagaimana menjelas-
kannya ke Ayah dan Ibu?
“Ayah dan Ibu punya impian yang besar terhadap
kamu, Rania. Kamu anak pertama. Ayah ingin kamu men-
jadi contoh bagi adik-adik kamu kelak. Bahwa kamu bisa
sekolah tinggi dan mendapat pekerjaan yang bagus.”
Mata Rania memanas. Ia paham sekali maksud ayahnya.
Ia juga ingin menjadi kebanggan bagi adik-adiknya kelak.
Namun bila harus menunda pernikahan demi semua itu, ia
tidak bisa.
“Baiklah. Rania akan bicara dengan Kak Hanif.”
Wajah Ayah dan Ibu terlihat cerah.

~ 249 ~
Rania

“Rania akan membatalkan pernikahan ini.”


“Loh!” Ayah mengernyitkan dahi. “Bukan dibatalkan,
tapi ditunda.”
Raut Ibu tampak cemas. “Kamu tidak bisa membatalkan
pernikahan begitu saja, apa kata calon besan nantinya?”
Rania menarik napas panjang. Ia tidak ingin menjadi
anak yang durhaka, hanya saja kali ini permintaan Ayah
dan Ibu sulit dikabulkan. “Niat Rania dan Kak Hanif untuk
menyegerakan pernikahan agar kami bisa menjaga hati dari
bermaksiat kepada Allah. Banyak sekali godaan setan pada
pasangan yang hendak menikah. Rania dan Kak Hanif takut
tergelincir. Kami takut mendekati zina.” Suara Rania serak.
“Kalau harus menunggu selama satu tahun, Rania tidak
sanggup. Lebih baik kami membatalkan pernikahan ini
sekarang. Kalau memang berjodoh, insya Allah, Allah akan
pertemukan kami setahun lagi.” Air mata menggenang di
pelupuk. Rania mengerjap perlahan.
“Maaf, Rania permisi ke kamar.” Ia beranjak berdiri
menuju kamar. Ia langsung menghempaskan diri di kasur
dan menangis.
Ya Rabb. Ujianmu ternyata tidak berhenti sampai di sini.

“Kok cepat sekali, Nak?” tanya Umi ketika sudah sampai


di rumah. Mereka baru saja pulang dari silaturahin ke rumah

~ 250 ~
Jawaban Sujud Panjang

keluarga Rania, sekaligus melamar secara resmi.


“Apa yang cepat, Mi?” Hanif menuju ruang tengah dan
duduk di salah satu sofa. Umi dan Bapak ikut duduk.
“Itu, pernikahannya.”
“Dua bulan nggak cepat kok, Mi. Malah ada yang meni-
kah dalam waktu dua pekan setelah taaruf.”
Umi menarik napas panjang. “Apa nggak bisa diulur
sampai enam bulan? Banyak yang harus diurus, belum lagi
menyusun undangan untuk keluarga jauh.”
Hanif tersenyum lebar. “Insya Allah cukup waktunya.
Biar Hanif sama Rania yang urus semua.”
“Kenapa buru-buru amat, sih? Nanti apa kata orang
kalau kamu menikah secepat itu?”
“Itu tandanya Hanif dan Rania takut sama Allah. Kalau
berlama-lama, semakin besar kemungkinan kami men-
dekati zina dan bermaksiat kepada Allah. Godaan setan
akan semakin besar,” jelas Hanif. “Umi kan tahu sendiri,
pekerjaan Hanif di media itu besar godaannya.”
“Iya, iya, Umi paham.” Umi mengalah.
“Sudahlah, Mi,” Bapak mengelus punggung istrinya.
“Berikan anak kita kepercayaan. Dia sudah besar. Sudah
mandiri. Dia bisa bertanggung jawab dengan keputusan
yang diambil. Tugas kita sebagai orang tua hanya men-
dukung sebisanya.”
Hanif tersenyum penuh terima kasih kepada bapaknya.

~ 251 ~
Rania

Umi mengembuskan napas panjang. “Ya sudah kalau


memang tidak bisa diubah lagi. Mulai besok kamu urus
semuanya. Juga hubungi penghulu. Sesuaikan jadwalnya
dengan jadwal yang sudah kamu bikin.”
Wajah Hanif cerah seketika. Alhamdulillah. Allah me-
mudahkan semua rencana.
Di kamar, Hanif masih merenung tentang satu ayat
yang dititip ayahnya Rania. Tentang wali Allah. Apa mak-
sudnya? Nampaknya ini perenungan yang panjang. Untuk
sementara, Hanif memahami bahwa ia harus “tidak takut
dan tidak bersedih hati”. Akan ia bawa bekal nasihat itu
dalam mengarungi kehidupan.
Atau mungkin ayat inilah yang memudahkan semuanya.
Kembali ia zikirkan ayat itu, bersyukur memiliki ayah mertua
yang menitipkan sebuah ayat untuk pernikahannya.

Rania tersungkur dalam sujud panjang. Air matanya


membasahi sajadah. Permohonannya satu. Agar Allah me-
lembutkan hati orang tuanya dan menerima keputusan
untuk melaksanakan pernikahan dua bulan lagi. Ia yakin
hati orang tuanya akan berbalik.
Sebelumnya, sehabis Maghrib, Rania sempat mengirim
SMS kepada Hanif, memberitahukan kegundahan hati.

“Orang tua ana keberatan dengan tanggal pernikahan.

~ 252 ~
Jawaban Sujud Panjang

Mereka minta diundur sampai tahun depan. Ana sudah


coba menjelaskan, tapi mereka masih kekeuh. Ana harus
bagaimana?”

Jawaban yang ia terima dari Hanif menenangkan hati.

“Sabar dan shalat, Ukhti. Itu kuncinya. Minta kepada


Allah yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Ana
akan Tahajjud malam ini, ana harap Ukhti juga melakukan
yang sama. Kita mohon kepada Allah agar pendirian orang
tua Ukhti berubah.”

Gelisah Rania hilang, ia semakin yakin tidak salah pilih.


Hanif bisa memberikan ketenangan hati.
Selesai Tahajjud ia membaca ummul kitab dan berdoa
kepada Allah, meminta petunjuk untuk masalahnya. Ia
mengambil Al-Qur’an dan membuka halamannya secara
acak untuk tilawah. Jemarinya membuka Surat Al-Isra’. Ia
membaca perlahan dan tartil. Setelahnya ia membaca
terjemahannya. Sampai ia ke ayat ke-23.
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia
janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan
hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan
sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau
kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah
katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu mem-
bentak keduanya.”
Rania melanjutkan bacaan ke ayat selanjutnya.

~ 253 ~
Rania

“Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang


mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan
penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku
sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi-
ku di waktu kecil.”
Tiba-tiba saja dada Rania terasa sesak. Air matanya
menetes ke pipi. Allahu akbar. Allah hendak menegurnya
lewat ayat ini. Bukan salah kedua orang tuanya. Ini adalah
salahnya. Tidak seharusnya ia berkeras hati dan menyakiti
hati Ayah dan Ibu.
Bulir bening menganak sungai. Isak kecil meluncur dari
lisannya.
Ya Rabb, ampuni hamba, pinta Rania berulang-ulang
dalam hati. Ia menyesali perkataan yang ia sampaikan
kepada orang tuanya tadi sore. Kalau saja ia bisa memutar
kembali waktu, ia akan mencabut semua kalimatnya.
Air mata Rania semakin deras. Ia menutup mulut de-
ngan mukena, khawatir tangisnya akan membangunkan
adik-adik yang sedang lelap.
Ia berjanji akan menuruti kehendak Ayah dan Ibu.
Ridho orang tua adalah ridho Allah. Ia yakin Allah akan
memberikan takdir yang terbaik untuknya.

~ 254 ~
Ayah Rania tersenyum kecil.
“Nak Hanif sudah yakin?
Sudah siap? Kalian kan
masih muda. Baru saja lulus
kuliah.”
Hanif tak bisa
menghindar godaan hati,
Seperti ada sinar yang
memancar, jantungnya
berdegup dua kali
lebih cepat.
18- Tahajjud Cinta

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
melakukan shalat malam hingga kedua telapak
kakinya pecah-pecah.”

“Anti mau mahar apa?”


Jeda beberapa detik. Rania belum memikirkan apa
maharnya. Namun menurut yang ia baca, sebaik-baik
mahar adalah yang paling mudah. Ia paham Hanif masih
meniti karir di Al-Izzah. Belum lagi biaya pernikahan yang
tidak murah. Ia tidak ingin memberatkan.
“Apa saja.”
“Jangan apa saja, ana bingung memberinya.”
“Cincin saja kalau begitu.”
“Baik, insya Allah ana carikan cincin yang terbaik untuk

~ 257 ~
Rania

anti sesuai kemampuan.”


“Insya Allah ana terima apa pun yang Akhi berikan.”
“Baik, assalamu’alaikum.”
“Eh sebentar, Akhi.”
“Ada apa?”
“Boleh ana minta yang agak spesial?” tanya Rania ragu.
Hanif sempat berdebar, takut tidak bisa memenuhi.
“Iya?”
“Bisa nggak ya, maharnya hafalan surat Ar-Rahman?”
“Oh, kenapa minta itu? Biasanya mahar dalam bentuk
fisik. Hafalan kan nggak ada bentuknya?”
Rania terdiam sebentar. Ia ingin sampaikan kecende-
rungan hatinya saat pertama kali mendengar surat itu
ketika Tahajjud di daurah, namun malu menahannya. Biar-
lah ia simpan dalam hati. “Bolehkah?”
“Insya Allah ana sampaikan ke penghulu. Semoga
dibolehkan, ya,” ujar Hanif meyakinkan. Ia sedikit penasaran.
Kenapa surat itu yang di minta?
“Syukran, Akhi.”
“Afwan. Gitu dulu, ya, assalamu‘alaikum.” Hanif terburu-
buru menyudahi pembicaraan. Hatinya mulai gerimis.
Nafsunya tergoda. Harus diakhiri. Ini masih khitbah, Rania
belum sepenuhnya ia miliki.
“Wa’alaikumussalam.”

~ 258 ~
Tahajjud Cinta

Rania mematikan sambungan telepon dengan wajah


cerah.
“Telepon dari siapa, Rania?” tanya Ibu dari dapur.
Rania beranjak menghampiri ibunya. “Dari Kak
Hanif, Bu.” Sambil membantu memotong-motong sayur.
“Ooo, ada perlu apa?”
“Kak Hanif menanyakan mahar apa yang Rania mau.”
Wajah Rania tersipu saat mengucapkannya.
Ibu tersenyum. “Terus kamu minta apa?”
“Rania tidak mau memberatkan, lagi pula Kak Hanif
sudah mengeluarkan banyak biaya untuk pernikahan.”
“Ibu dulu juga begitu, sama-sama merintis dari bawah
dan berjuang dengan ayahmu. Insya Allah, kalau ada rezeki,
nanti setelah menikah Hanif akan memberikan yang lebih
baik lagi.”
“Amin,” sahut Rania dengan senyum lebar.
Ia bersyukur Ayah dan Ibu berubah pikiran. Orang
tuanya setuju dengan tanggal pernikahan yang diajukan.
Seperti keajaiban.
Setelah hari itu, Rania menuruti keinginan ayah dan
ibunya untuk menunda pernikahan. Ia tidak melakukan
penolakan, hanya menerima. Ia menambah amalan sunah
dan memperbaiki amalan wajib. Ia memperlakukan Ayah
dan Ibu dengan sangat baik, tidak pernah sekali pun
meninggikan suara.

~ 259 ~
Rania

Tidak sampai sepekan Ayah dan Ibu datang kepadanya


dan menyatakan setuju apabila ia hendak menikah dalam
waktu dua bulan. Rania tidak tahu apa yang terjadi dengan
orang tuanya sampai mereka berubah pendirian. Bela-
kangan ia mengetahui, Ayah pergi ke Banten untuk ber-
konsultasi dengan gurunya tentang pernikahan dirinya dan
Hanif. Terkejut Ayah saat mendapat informasi dari gurunya.
“Ini mereka sudah saling memendam cinta selama lima
tahun, baiknya segera dinikahkan.” Pulang dari sana, Ayah
berbeda 180 derajat.
Allah Maha Membolak-balikkan hati manusia. Ia tidak
perlu berdebat panjang dengan orang tuanya. Cukup
menyerahkan semua kepada Allah, yakin Allah memberikan
takdir terbaik. Tugas manusia hanya berbuat baik, terutama
berbakti kepada Ayah dan Ibu. Ayat dalam surat Al-Isra’ yang
ia baca setelah Tahajjud benar-benar membekas dalam
jiwanya. Allah langsung memberinya peringatan lewat kitab
suci-Nya. Membuatnya muhasabah diri dan menimpakan
semua kesalahan pada diri sendiri, bukan orang lain.
“Rania ke kamar dulu, ya, Bu,” pamitnya.
“Nanti tolong lihatkan adikmu, Ammar, di kamar, ya.
Takutnya sudah bangun.”
“Iya, Bu.” Ammar adalah adik Rania yang nomor delapan.
Kalau diingat lucu juga, adiknya itu lahir tahun 1999,
artinya mereka beda dua puluh tahun. Masya Allah. Ibunya
memang perempuan luar biasa. Masih kuat mengandung

~ 260 ~
Tahajjud Cinta

dan melahirkan di usia yang tidak muda lagi.


Rania mampir sebentar ke kamar adiknya sebelum ke
kamarnya. Ternyata Ammar masih tidur. Ia masuk ke kamar-
nya dan menuju meja belajar lalu duduk di kursi. Perlahan ia
membuka laci dan mengeluarkan secarik kertas berwarna
gading dengan hati-hati. Seolah benda bisa rusak dengan
mudah bila jatuh.
“Piagam Khitbah.” Rania membaca judulnya perlahan.
Ia membaca kembali tulisan yang diberikan Hanif ketika
ikhwan itu melamarnya secara resmi di depan dua keluarga.
Hanif pandai merangkai kata. Terbukti hatinya menghangat
ketika membaca susunan kalimat yang menggugah jiwa.
Setelah puas membaca untuk yang kesekian kali, Rania
kembali memasukkan kertas tersebut ke laci. Tiba-tiba
netranya tertumbuk pada diari. Ia mengeluarkan buku itu
dan membaca isinya secara acak.
Senyum lebar terulas di bibir. Perjalanan cita dan cin-
tanya ada di buku ini. Buku yang akan ia bakar seandainya
menikah dengan ikhwan selain Hanif. Namun takdir ber-
kata lain. Sekarang diari ini akan menjadi saksi perjuang-
annya. Saat suka, saat duka. Kala bersemangat, kala me-
ngendur. Waktu jatuh cinta, waktu rindu, waktu mencoba
melupakan. Semua ada di sini. Ia akan menjaga diari ini
baik-baik, mungkin akan ada manfaatnya nanti. Entah untuk
apa, ia tidak tahu. Namun ia ingin menyimpan kenangan ini
selamanya.

~ 261 ~
Rania

13 Mei 2001

Rumah Rania berbenah diri. Tenda-tenda dipancang-


kan. Kursi-kursi ditata rapi. Ruang tamu diubah menjadi
pelaminan. Meja-meja prasmanan menghadirkan menu
sederhana untuk menjamu undangan yang datang.
Hari yang dinanti telah tiba. Wajah-wajah semringah
kedua keluarga dan para tamu membuat aura bahagia
memenuhi penjuru ruang tempat akad nikah berlangsung.
Mereka duduk di atas karpet sambil bercengkerama.
Kontras dengan suasana di luar, Rania terlihat gugup
di kamar pengantin. Sebentar-sebentar ia menarik napas
pendek dan mengembuskan perlahan. Jemarinya terasa
beku di ruangan yang tidak berpendingin. Wajah saljunya
terlihat bersinar dengan riasan tipis. Kecantikannya me-
mancar, khas orang yang hendak menikah. Bahagia se-
bentar lagi akan menggenapkan dien dengan calon pilihan
hati.
“Nggak sabar lagi, ya,” goda Ziya dengan senyum
simpul di wajah.
Rania mengangkat kedua sudut bibir ke atas dengan
kaku. Ia nyaris susah tersenyum.
Sebuah ketukan terdengar di pintu.

~ 262 ~
Tahajjud Cinta

“Masuk,” sahut Ziya.


Muncul sebuah wajah, adik Rania yang perempuan.
“Kak Hanif sudah datang,” ia memberitahu. Sesudahnya ia
kembali ke luar.
Allah.
Detak jantung Rania tambah tidak beraturan. Ia men-
coba menenangkan hati dengan berzikir.
“Udah, tenang.” Ziya mengusap punggung tangan
Rania perlahan.
Rania bisa mendengar riuh suara dari luar. Sepertinya
Ayah dan Ibu sedang menyambut calon besan.
Detik terasa menit. Menit terasa jam. Rania menunggu
dan menunggu, sampai pembawa acara memulai. Rang-
kaian acara berlangsung satu demi satu. Sampailah pada
acara inti. Penghulu mengambil alih.
Dada Rania semakin bergemuruh. Sebentar lagi saat
yang dinanti. Semua rasa, rindu, sedih, kecewa, yang ia lalui
beberapa tahun ini, seolah memudar. Ia hanya merasakan
satu cinta. Cinta Allah yang begitu besar padanya. Allah
Maha Baik. Dia memilihkan calon imam yang terbaik un-
tuknya.
Ketukan di pintu mengagetkan Rania.
“Masuk.” Lagi-lagi Ziya yang menjawab.
Ayah masuk, ditemani ibunya.
Rania menjadi gugup. Ayah dan Ibu duduk di kursi

~ 263 ~
Rania

yang telah disediakan di hadapannya. Seorang panitia


pernikahan membawa mik dan mengangsurkannya ke
Ayah.
“Rania, putri kesayangan Ayah,” ujar Ayah dengan suara
bergetar. “Insya Allah hari ini Ayah telah menuntaskan salah
satu tugas seorang ayah kepada putrinya. Memilih calon
suami yang baik untuk anaknya.”
Air mata Rania menggenang. Haru menyelimuti hati-
nya. Ia menatap wajah tua sang ayah dengan mata berkaca-
kaca. Ya Rabb, betapa waktu begitu cepat berlalu. Saat
kecil Ayah yang menemaninya ke mana-mana, Ayah tidak
membiarkannya pergi sendirian. Ayah begitu ketat menjaga
dirinya, permata hatinya. Ayah tidak rela bila ada orang lain
yang mencoba mengganggunya.
“Insya Allah calon suamimu nanti akan membimbing
kamu dan keluargamu menuju surga-Nya.”
Air mata Rani mendesak keluar. Satu tetes jatuh ke
pipinya yang kemerahan. Lalu setetes lagi.
“Ayah ridho, Rania. Ayah ridho.”
Rania tidak bisa membendung air mata yang tumpah.
Ia tidak peduli riasannya rusak. Ziya mengulurkan tisu
padanya. Ia menghapus basah di pipi dengan perlahan.
“Sebagai orang tua, Ayah ingin menanyakan kesediaan
kamu, Rania. Apakah kamu setuju, Ayah nikahkan kamu
dengan seorang laki-laki bernama Hanif Al-Ghifari?”

~ 264 ~
Tahajjud Cinta

Rania mengerjap. Tetes itu masih mengalir. Ia meng-


angguk perlahan. “I-iya, Ayah. Ra-rania bersedia. Rania ridho
Ayah nikahkan Rania dengan Hanif Al-Ghifari.”
“Alhamdulillah.”
Rania mencium tangan Ayah dan Ibu dengan isak yang
menghiasi lisannya.
Ketika ayah dan ibunya keluar, Rania merasa kehi-
langan. Sebentar lagi berpindah tanggung jawab Ayah ke
suaminya. Taat dan baktinya bukan lagi ke orang tua, tetapi
ke suaminya.
Ziya mengusap punggung Rania perlahan, berusaha
memberikan kekuatan kepada sahabatnya itu.
Penghulu mengumumankan ijab kabul segera dimulai.
Rania tegang. Ia bisa mendengar semuanya dari kamar
dengan jelas.
“Hanif Al-Ghifari bin Ahmad Nadja Muddin, saya nikah-
kan engkau dengan anak kandung saya, Rania Qonita binti
Saifullah Ridwan, dengan mas kawinnya sebuah cincin
emas dan hafalan surat Ar-Rahman dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Rania Qonita binti Saifullah
Ridwan dengan mas kawinnya yang tersebut tunai.”
Rania menahan napas ketika ijab kabul dilafazkan.
“Bagaimana saksi, sah?”
“Sah!”
“Sah!”

~ 265 ~
Rania

Rania mengembuskan napas lega.


“Alhamdulillah!”
“Barakallah.”
Suasana penuh gembira dengan ucapan syukur dari
setiap yang hadir.
“Sekarang anti sah menjadi istri seorang Hanif.” Ziya
memeluk sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia ikut
merasakan perjuangan Rania untuk bisa sampai di titik ini.
“Alhamdulillah.”
“Jazakillah khair, Ukhti. Ana uhibbuki fillah.” Rania balas
memeluk Ziya erat. Sahabatnya itu yang menjadi penguat
saat ia merasa jatuh.
Pintu kamar pengantin dibuka. Wajah dua orang tan-
tenya muncul, saudara dari ibunya. “Ayo, Rania, kita keluar.”
Allah. Inikah saatnya?
Ziya membantu sahabatnya berdiri. “Bismillah.”
Rania mengangguk pelan. Ia membiarkan kedua orang
tantenya menuntun sampai ke tempat yang di tuju. Selama
melangkah, ia menundukkan pandangan. Malu dengan
begitu banyak tamu yang duduk di sana. Sekilas ia melihat
teman-teman dari rohis turut hadir.
“Duduk di sini.”
Rania duduk dengan canggung. Ia bisa merasakan
kehadiran Hanif di sisinya, tetapi netranya tidak sanggup
melihat. Malu.

~ 266 ~
Tahajjud Cinta

“Alhamdulillah, mempelai perempuan sudah berada di


tengah-tengah kita.”
Rania semakin menundukkan pandangan ketika Peng-
hulu mengucapkan kalimat barusan. Ia merasa semua mata
kini tertuju padanya.
“Selanjutnya penyerahan mahar.”
“Saya ingin membacakan surat Ar-Rahman terlebih
dahulu sebagai mahar kepada istri saya.” Suara Hanif ter-
dengar lembut.
Allah. Hati Rania bergetar seketika.
“Iya, silakan,” sahut Penghulu.
Hanif menarik napas panjang sebelum memulai. Saat
ia melafazkan ta’awuz, semua yang hadir diam seketika. Ia
melanjutkan membaca basmalah, dan ayat-ayat Allah itu
mengalun lembut dari lisannya. Membius setiap yang hadir.
“Fabiayyi alaai robbikumaa tukadzibaan.”
Maka nikmat Rabb-mu yang mana yang engkau dus-
takan?
Air mata Rania menitik. Ia teringat Tahajjud pertama
saat daurah. Udara dingin puncak. Aula yang sederhana.
Tangisan para peserta akhwat. Semua memori itu kembali
padanya, mengalir sangat deras. Tak terbendung. Surat
inilah yang membuatnya hatinya terpaut pada sang imam.
Imam yang sekarang menjadi suaminya.
Suami.

~ 267 ~
Rania

Lisan Rania belum terbiasa mengucapkannya. Masih


tidak percaya. Ia berharap ini bukan mimpi.
Hanif melanjutkan bacaan. Hati Rania gerimis. Lan-
tunan indah itu masih menimbulkan getar yang sama di
hati. Bahkan lebih lagi. Perlahan ia mendengar isak dari
undangan, ternyata bukan dirinya saja yang merasakan
haru. Semua yang hadir ikut terpukau dengan alunan
merdu dari surga.
Ketika Hanif selesai membacakan, Rania menghapus
bulir bening di pipi dengan tisu.
“Masya Allah. Alhamdulillah. Semoga menjadi peng-
ingat bagi kita semua, khususnya mempelai, agar menjalani
pernikahan dengan rasa syukur. Begitu banyak nikmat yang
Allah berikan sampai kita tidak sanggup menghitungnya
satu per satu,” ujar Penghulu. “Baiklah, selanjutnya penye-
rahan cincin. Silakan keduanya berdiri.”
Rania berdiri dibantu oleh kedua tantenya. Akhirnya
tiba juga saatnya. Ia melihat wajah suaminya.
“Silakan dipasang cincinnya di jari istrinya.”
Rania menjengit sedikit ketika tangannya yang dingin
bersentuhan dengan tangan Hanif yang hangat. Sudah
halal, Rania, sudah halal, batinnya. Ia melihat Hanif mema-
sukkan cincin ke jari manisnya. Dadanya berdebar kencang,
pertama kali ia bersentuhan dengan laki-laki, selain Ayah
dan adik-adiknya. Terlebih lagi, ini adalah orang yang ia
cintai.

~ 268 ~
Tahajjud Cinta

Deg!
Cinta. Apakah benar seperti itu? Ia mencintai Hanif?
Perlahan Rania mendongakkan wajah dan melihat
dengan jelas wajah suaminya. Sebuah senyum kecil terukir
di sana. Rania balas tersenyum.
Benar. Cinta itu hadir. Semenjak ijab kabul diucapkan ia
berjanji bahwa suaminya adalah satu-satunya orang yang
akan memiliki cintanya. Allah yang menghadikan rasa itu
masuk ke dalam jiwa. Ketika mereka menjadi pasangan
halal.
“Silakan istrinya salam sama suaminya.”
Dengan canggung Rania meraih tangan hangat Hanif
dan menciumnya takzim. Insya Allah, tangan ini yang akan
membimbingnya ke surga Allah. Mulai sekarang, Hanif ada-
lah imamnya.

Hanif menggenggam erat tangan Rania. Ia tidak ingin


melepaskan. Semenjak menginjakkan kaki di rumah ini,
hanya satu fokusnya. Jangan sampai salah mengucapkan
ijab kabul. Setelah sah menjadi suami dari Rania, hanya satu
keinginannya. Segera melihat bidadari surganya.
Netranya tidak lepas menatap Rania yang keluar dari
kamar menuju tempat di sampingnya. Wajah itu menunduk.
Membuatnya tidak puas. Ia ingin melihat Rania seutuhnya.

~ 269 ~
Rania

Berkali-kali ia mencuri pandang, tetapi istrinya masih


tampak malu-malu. Membuatnya semakin gemas.
Ketika membacakan surat Ar-Rahman, ia mendengar
isak meluncur dari lisan Rania. Hatinya menghangat, pas-
tilah istrinya mengingat kala pertama mendengar surat ini
dibacakan saat Tahajjud. Ar-Rahman. Surat yang mengikat
mereka berdua. Semua bermula dari Tahajjud pada malam
itu.
Saat penghulu memintanya memasangkan cincin di
jari Rania, tangannya sedikit gemetar. Sebentar lagi, untuk
pertama kalinya, ia akan bersentuhan dengan perempuan
selain Ibu dan saudara kandungnya. Jantungnya berdetak
cepat. Sedikit gugup membayangkan bagaimana rasanya.
Perlahan ia meraih tangan Rania. Dingin. Apakah istri-
nya gugup? Selesai memasangkan cincin, Hanif melihat
Rania mengangkat kepala dan menatapnya.
Allah.
Cantik tidak cukup menggambarkan keindahan di
hadapannya. Bila ada bidadari surga yang turun ke dunia,
seperti inilah wujudnya. Wajah salju yang sejak pertemuan
pertama memikat hatinya. Hatinya membuncah bahagia.
Inilah cinta yang sebenarnya. Saat dua pasang manusia
berada dalam ikatan yang halal.
Ia ingin melindungi Rania. Berada di dekatnya. Me-
meluknya. Memandang parasnya sampai bosan. Ia yakin
tidak akan pernah bosan.

~ 270 ~
Tahajjud Cinta

Allah Maha Baik.


Perjuangannya selama ini Allah balas dengan bidadari
surga.
“Ayo, senyum.”
Permintaan dari fotografer membuat Hanif tersadar
dari lamunan. Ia kembali menatap Rania yang berada sangat
dekat dengannya. Bahu mereka bersentuhan. “Senyum,”
bisik Hanif di telinga istrinya.
Pipi Rania kontan merona. Ia memasang senyum malu-
malu.
Hanif rela berdiri seharian di pelaminan demi bisa terus
berada di samping istrinya tercinta. Ternyata cinta seperti
itu, membuat orang melakukan hal-hal yang kadang tidak
mungkin dilakukan.

Hanif terjaga ketika alarm di ponsel berbunyi. Ia me-


mang sengaja menyetel pengingat untuk bangun Tahajjud.
Matanya mengerjap perlahan. Suasana kamar temaram,
hanya ada cahaya dari lampu luar. Ia bangkit duduk dan
melihat ke sampingnya.
Masya Allah. Betapa nikmatnya. Terbangun dan melihat
Rania berada di sampingnya. Lelah menyelimuti wajah
sang istri setelah seharian penuh menerima tamu yang tak
kunjung berhenti. Saat menjelang Maghrib mereka baru

~ 271 ~
Rania

bisa istirahat.
Selesai bersih-bersih dan shalat, mereka makan malam
bersama keluarga. Ketika Isya Hanif berangkat ke mushalla.
Saat pulang, ia menemukan Rania sudah tertidur pulas.
Jemari Hanif terulur dan membelai pipi seputih salju
dengan punggung tangannya. Dulu ia hanya bisa me-
mimpikan hal ini. Sekarang benar-benar terjadi.
Rania bergerak dalam tidurnya. Ia merasa terusik.
Matanya mengerjap perlahan.
Hanif menarik tangannya dan tersenyum melihat Rania
baru bangun tidur. Terlihat lucu di matanya.
Rania menguap dan mengucek kedua mata. Ia mem-
buka mata dan terkejut ketika melihat siapa yang berada
di dekatnya.
“Akhi!” Matanya melebar. “A-apa yang Akhi lakukan di
sini?” Rania menarik selimut hingga menutup muka. Ia tidak
memakai kerudungnya.
Hanif sempat kaget dengan reaksi istrinya. Ia tertawa
pelan.
Rania heran dengan sikap ikhwan itu. Apakah ia sedang
bermimpi? Kenapa Hanif ada di kamarnya, dan kenapa
ikhwan itu malah tertawa?
“Kamu nggak ingat apa yang terjadi tadi pagi?” Hanif
menahan tawa.
Tadi pagi? Tiba -tiba kesadaran memukul Rania keras.

~ 272 ~
Tahajjud Cinta

Ia melihat jari manisnya. Allah. Tadi pagi ia menikah dengan


… Hanif. Perlahan ia menurunkan selimut dengan wajah
memerah menahan malu. Bagaimana mungkin ia bisa lupa?
“Sudah ingat sekarang?” canda Hanif.
Rania merengut.
“Senyum, dong.” Hanif menjawil dagu Rania.
Rania memaksa tersenyum.
“Nah, kan cantik kalau begitu.”
Perkataan Hanif hanya membuat Rania bertambah
malu.
Hanif tidak ingin membuat istrinya merasa canggung.
“Wudhu, yuk. Kita Tahajjud.”
Rania mengangguk pelan.
Setelah ber-wudhu, Rania menggelar sajadah. Kali ini
ia tidak Tahajjud sendirian, ada imam yang akan memim-
pinnya.
Seperti biasa, bacaan Hanif lembut dan tartil, meng-
gugah hati Rania. Ia kembali meneteskan air mata. Andaikan
bisa seperti ini setiap hari, tentu sangat membahagiakan.
Selesai shalat Hanif memutar badan sehingga mereka
duduk berhadapan. Ia beringsut mendekati Rania. Perla-
han ia mengangkat tangan dan menyentuh ubun-ubun
istrinya. Dibacanya doa. Ia memohon kebaikan istrinya dan
kebaikan tabiat yang istrinya bawa, dan ia berlindung dari
kejelekan istrinya dan kejelekan tabiat yang istrinya bawa.

~ 273 ~
Rania

Ia menatap lekat wajah istrinya, tidak melewati satu


senti pun. Ia ingin wajah ini yang dilihatnya pertama kali
ketika bangun tidur dan tidur kembali.
Spontan lisannya melagukan sebuah syair yang dulu
sering ia lantunkan ketika rindunya kepada Rania me-
muncak.

Selama ini
Kumencari-cari
Teman yang sejati
Buat menemani
Perjuangan suci

Ada manfaatnya juga tergabung di grup nasyid Izzatul


Islam ketika kuliah, walau sebentar. Suara Hanif terdengar
renyah di telinga.

Bersyukur kini
Pada-Mu Ilahi
Teman yang dicari
Selama ini
Telah kutemui

Wajah Rania merona, ia menunduk, tidak sanggup


menahan malu dipandang sedemikian rupa oleh Hanif,
walau ikhwan itu berstatus suaminya sekarang. Ia belum
terbiasa. Apalagi Hanif melantunkan nasyid yang membuat

~ 274 ~
Tahajjud Cinta

hatinya melayang.

Dengannya di sisi
Perjuangan ini
Senang diharungi
Bertambah murni
Kasih Ilahi

Hanif meraih dagu Rania dan mengangkatnya sedikit


sehingga ia bisa melihat wajah istri tercinta.

Kepada-Mu Allah
Kupanjatkan doa
Agar berkekalan
Kasih sayang kita

Kepadamu teman
Kumohon sokongan
Pengorbanan dan pengertian
Telah kuungkapkan
Segala-galanya
Itulah tandanya
Kejujuran kita.

Kali ini Rania tidak bisa memalingkan wajah, ia teng-


gelam dalam pesona Hanif. Ia bisa merasakan cinta Hanif

~ 275 ~
Rania

yang dalam untuknya. Suaminya melantunkan nasyid pe-


nuh kesungguhan.
Hanif tersenyum setelah menyelesaikan nasyid. Ia me-
rangkum wajah Rania dengan kedua tangan. Perlahan ia
mendekatkan wajah dan meletakkan bibirnya di kening
Rania. Mengecupnya lama seraya berdoa dalam hati. “Ya
Rabb, mudahkan hamba membimbing istri hamba. Jadikan
istri hamba istri yang shalihah. Jadikan kami pasangan di
dunia dan di surga-Mu kelak.”
Hanif kembali menatap wajah istrinya. Semua kena-
ngan masa kuliah bermain-main di kepala. Allah mem-
pertemukan mereka lewat Tahajjud. Allah memberikan
solusi untuk setiap permasalahan mereka lewat Tahajjud.
Allah memberikan jawaban jodohnya lewat Tahajjud. Kini,
mereka kembali Tahajjud sebagai tanda syukur.
Benar janji Allah. Laki-laki baik-baik untuk perempuan
baik-baik.
Hanif bersyukur ia sibuk memperbaiki diri untuk men-
dapatkan jodoh terbaik yang Allah berikan. Hidupnya
genap sekarang. Alhamdulillah.

~ 276 ~
Hanif meraih dagu Rania dan
mengangkatnya sedikit
sehingga ia bisa melihat
wajah istri tercinta.
Hanif menangis
dalam sujud. Mengakui
kelemahan diri. Betapa ia
mudah tergoda dengan
seorang perempuan.
Betapa setan begitu
mudah merayunya.
-Extra Part-
Perjalanan Panjang

“Pulang jam berapa nanti, Kak?” Rania menyendokkan


nasi goreng ke piring dan mengangsurkannya ke Hanif.
“Insya Allah habis Maghrib sudah pulang.” Hanif me-
nyendok nasi goreng dengan telur mata sapi buatan is-
trinya.
Rania bertopang dagu sambil memperhatikan suami-
nya yang makan dengan lahap.
“Kenapa?” Sepertinya ada yang mengusik pikiran
istrinya.
“Eh, nggak … itu.”
Hanif tersenyum. “Ada yang mau kamu bicarakan?”
Rania mengangguk.
“Apa?”
“Nanti malam saja.”
“Yakin?”
Rania kembali mengangguk.

~ 279 ~
Rania

“Ya, sudah.” Hanif menghabiskan sarapannya. Ia me-


minum teh manis sampai tandas. “Aku berangkat dulu.” Ia
beranjak berdiri.
“Hati-hati.” Rania mengikuti suaminya ke depan.
“Hari ini kamu jadi ke kampus?” tanya Hanif.
Rania mengangguk. “Sebentar saja kok, habis ngisi
kajian langsung pulang.” Ia meraih tangan Hanif dan men-
ciumnya takzim. Hanif balas mencium kening istrinya.
Rutinitas mereka setiap pagi.
“Assalamua’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Rania melambai pada suaminya yang sudah naik di
atas motor. Setelah Hanif pergi, Rania kembali masuk.
“Sudah pergi suamimu?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu. Rania mau ke kamar dulu, siap-siap ke
kampus.”
Ibunya mengangguk.
Setelah menikah ia dan suaminya masih tinggal di
rumah Ayahnya. Mereka sedang menabung untuk bisa
mengontrak rumah,
Ketika masuk kamar, Rania duduk di kursi meja kerja.
Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah amplop putih
panjang. Tertulis di sana nama kampusnya. Hati Rania men-
dadak bimbang. Apa pendapat suaminya nanti kalau ia
beritahukan isi amplop ini?

~ 280 ~
Perjalanan Panjang

“Masya Allah. Masya Allah.” Heri memeluk sahabatnya


itu erat. Mereka membuat janji untuk bertemu ketika
makan siang di sebuah rumah makan. “Lain, ya, aura orang
yang sudah menikah.”
“Antum bisa saja,” balas Hanif.
Mereka duduk dan memesan makanan.
“Gimana kabar antum?” tanya Hanif. “Kapan nikah?”
Sekarang giliran dirinya yang bebas menggoda Heri.
“Halah, bisa aja antum, mentang-mentang sudah
duluan.”
Hanif tertawa kecil. “Ana serius. Kalau ada akhwat yang
antum suka, nanti ana bantu.”
Heri mendengus. “Santai aja, ana nggak buru-buru, kok.”
Hanif tersenyum. Ia ingin membantu Heri sebagai
ungkapan terima kasih kepada sahabatnya itu. Berkat jasa
Heri ia dan Rania bisa bersatu pada akhirnya. Walaupun
semua memang telah Allah gariskan.
Pramusaji datang membawa pesanan. Hanif dan Heri
mulai makan.
“Her, kalau ana boleh tahu, kenapa dulu antum kekeuh
menjodohkan ana dengan Rania?” tanya Hanif sembari
menyendokkan makanan. Ia ingat sahabatnya itu sampai
marah-marah ketika tahu dirinya taaruf dengan akhwat
lain, bukan Rania.

~ 281 ~
Rania

Heri tertawa kecil. “Apa masih penting untuk dibahas?”


Hanif mengangkat bahu. Tidak juga, sih, tapi ia pena-
saran.
“Ana hanya nggak mau antum mengambil langkah
yang salah dan menyesalinya di kemudian hari,” jelas Heri
santai. “Feeling ana kuat. Sejak ana melihat antum dan Rania
di pembinaan, ana melihat kalian berjodoh.”
Dahi Hanif berkerut. Apakah benar seperti itu? batinnya.
“Udah. Ngapain juga dibahas. Yang penting sekarang
antum sudah menikah dengan Rania,” sergah Heri.
“Ana belum sempat mengucapkan terima kasih ke
antum. Jazakallah khair, Akhi. Terima kasih sudah percaya
pada ana dan Rania.”
“Hadeh, antum apa-apaan, sih. Sudah kewajiban ana
membantu antum.” Heri merasa canggung dengan ucapan
Hanif.
Hanif menepuk bahu sahabatnya pelan dengan se--
nyum di wajah. Allah Maha Baik. Allah kirimkan sahabat
yang ikhlas untuk selalu berada di sampingnya. Ia tidak akan
pernah melupakan kebaikan yang Heri berikan untuknya.
Sampai kapan pun.

Selesai shalat Isya Rania menunggu suaminya di kamar.


Sebentar lagi Hanif pulang dari masjid. Benar saja, terdengar
ketukan halus di pintu sebelum terbuka.

~ 282 ~
Perjalanan Panjang

“Sudah pulang, Kak?” Rania menghampiri Hanif dan


mencium tangan suaminya.
“Tadi ngobrol sebentar dengan jamaah di masjid.” Hanif
langsung menuju petiduran dan merebahkan tubuhnya di
sana. “Allah, nikmatnya.”
Rania tersenyum kecil. Tentu lelah suaminya sehabis
pulang kerja. Namuan ia perlu menyampaikan ini dengan
segera. “Kak Hanif, bisa bicara sebentar?”
Hanif menatap istrinya sesaat lalu tersenyum. “Tentu,
Sayang, apa yang ingin kamu bicarakan?”
Rania selalu merona setiap Hanif memanggilnya de-
ngan sebutan Sayang. Masih belum terbiasa. Ia beranjak
mengambil amplop di laci dan menyerahkannya ke Hanif.
Hanif bangkit duduk dan menerima amplop dari
istrinya. “Apa ini?”
“Coba dibuka dulu.” Rania duduk di dekat Hanif.
Hanif memasang wajah penasaran. Ia membuka am-
plop dan membaca isinya. Dahinya berkerut. Ia menatap
Rania. “Beasiswa S2?”
Rania mengangguk. Ia mendapat tawaran beasiswa S2.
Hal yang menjadi impiannya sejak dulu. Ia sangat gembira
ketika menerima kabar tersebut. Hanya saja .…
“Di Malaysia?” lanjut Hanif tidak percaya.
Rania kembali mengangguk. Ingin tahu reaksi suaminya.
Seharusnya Hanif bahagia dan bangga dengan penca-

~ 283 ~
Rania

paian Rania. Tidak mudah untuk mendapatkan beasiswa


S2. Hanya saja, Malaysia itu kan, jauh sekali. Kalau masih
sekitaran Jakarta ia tidak masalah. Ini luar negeri.
Kalau ia mengizinkan Rania sekolah lagi, apakah me-
reka harus berpisah sementara? Ataukah ia ikut? Kalau ikut,
bagaimana dengan pekerjaannya di sini? Lalu apa yang ia
lakukan di negeri orang, tanpa pekerjaaan?
Ia menatap wajah istrinya yang penuh harap. Ia tahu,
ini adalah impian istrinya sejak dulu. Bisa melanjutkan S2.
Lagi pula ia sudah berjanji kepada ayah Rania, kalau ia tidak
akan melarang Rania untuk melanjutkan kuliah.
Allah.
Wajah itu. Ia tidak sampai hati membuat istrinya kecewa
dan bersedih hati.
Hanif tersenyum seraya merentangkan kedua tangan,
meraih Rania ke dalam pelukan. “Ana uhibbuki fillah,”
bisiknya di telinga Rania. Ia belum tahu apa yang akan
terjadi. Masih terlalu awal pernikahan ini. Baru satu minggu.
Belum siap menerima rencana yang berbelok tajam.
Namun satu yang pasti, Ia akan melakukan apa pun
demi melihat istrinya selalu tersenyum. Termasuk me-
ngorbankan kepentingan diri sendiri.

~ 284 ~
Tentang Penulis
Terlahir dengan nama Eria Chuzaimiah, biasa
dipanggil Mia. Lahir di Jakarta dan besar di Palembang.
Tahun 1997 melanjutkan studi di Universitas Andalas
Padang, Jurusan Teknik Industri.
Selain menulis, ibu rumah tangga dengan tiga
orang anak perempuan ini mengajar di Rumah Tahfiz
Robithoh dekat rumah.
Memberanikan diri menulis di Wattpad mulai
tahun 2017, awal ragu karena merasa tidak punya
bakat menulis sama sekali. Novel pertama yang sudah
diterbitkan tahun 2018 adalah Wedding Agreement
dengan nama pena Mia Chuz.
Bagi perempuan berdarah Minang ini, menulis
adalah wasilah untuk berbagi. Menulis adalah untuk
menebar kebaikan. Menulis adalah satu satu cara
memberikan manfaat. Menulis juga menjadi sarana silaturahmi, bertemu dengan
banyak orang baru.
Mia bisa dihubungi di:
–• mamiahijab@gmail.com
–• FB: Mia Chuzaimiah
–• IG: mia_chuzaimiah
–• Wattpad: @viveramia (Mia Chuz)

Nasrullah, dikenal sebagai trainer, motivator dan


penulis. Karyanya berjudul Rahasia Magnet Rezeki
berhasil menjadi Mega Best Seller di tahun 2019.
Saat ini, channel telegramnya menjadi channel
terbesar di Indonesia. Di platform media sosial itu beliau
berbagi ilmu Magnet Rezeki secara gratis. Wajar jika
membernya semakin bertumbuh.
Di novel Rania, Nasrullah adalah penyusun plot
kisah. Wajar, karena ini adalah kisah true storynya.
Bekerjasama dengan Mbak Mia Chuz, kisah ini semakin
indah untuk dinikmati menjadi inspirasi bagi siapapun
yang mencari jodoh dengan cara Allah.
Saat ditanya, apa motivnya membuat Novel
Rania? Nasrullah menjawab, “sebagai hadiah untuk
anak-anak saya dan juga teman-teman sebayanya yang
semakin beranjak dewasa, semoga jodohnya dibersihkan oleh Allah”.
Nasihat cinta seorang ayah, yang diwujudkan menjadi karya novel, inilah Rania.
–•–

Anda mungkin juga menyukai