Anda di halaman 1dari 5

1.

Tabel DD (Hiban)
Manifestasi Klinis Pemeriksaan Fisik
Invaginasi Trias invaginasi : Teraba massa seperti sosis di daerah
Anak mendadak kesakitan episodic, subcostal yang terjadi spontan
menangis dan mengangkat kaki Nyeri tekan (+)
(Craping pain) Dance’s sign (+)  Sensasi
Muntah warna hijau (cairan lambung) kekosongan pada kuadran kanan
Defekasi feses campur lendir (kerusakan bawah karena masuknya sekum pada
mukosa) atau darah (lapisan dalam) kolon ascenden
currant jelly stool RT : pseudoportio(+)  Sensasi
seperti portio vagina akibat invaginasi
usus yang lama
Pada feces lender darah (+) 
Volvulus Muntah (akut atau kronis), nyeri perut, Distensi abdomen, kontur sigmoid
diare kronik, konstipasi, mual nampak didinding perut seperti ban
dalam mobil, perkusi terdengar
hipertimpani
Hernia Abdominal Tidak ada rasa sakit atau nyeri Tampak massa pada saat manangis
Appendisitis Nyeri hebat pada kuadran kanan bawah Nyeri lepas dan nyeri tekan (+), tidak
teraba massa

2. Trigger 2 dan Interpretasi (nomer 7) (raras)


TRIGER 2
Saat dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan:
 BB=10 kg
 Kondisi umum: anak rewel, tampak kesakitan
 Vital sign: HR 110x/menit; RR 26x/menit; t 37,30C
Status lokalis regio abdomen:
 Inspeksi: tampak sedikit distensi, darm contour (-), darm steifung (-)
 Auskultasi: peristaltik meningkat
 Palpasi: teraba benjolan memanjang di regio lumbar kanan dan hipokondria kanan, teraba seperti
bagian kosong di regio iliaca kanan
 Perkusi: timpani (+)
Colok dubur:
 Tonus musculus sfingter ani normal, mukosa licin, ampula kolaps, sarung tangan lendir (+), darah
(-), feses (-)
Pemeriksaan penunjang:
 Laboratorium: Hb 14,2 gr/dl; AL 9,8 (10^3/µL); AT 150 (10^3/µL); Na 135meq/L;K 3,5 meq/L; Cl
100 meq/L; Albumin 3,5 gr/dl

USG abdomen

Target sign/Doughnut sign


3. Penegakan diagnosis (salwa)
Intususepsi
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah diagnosis klinis
menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini membantu untuk membuat
keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah
intususepsi.
o Kriteria Mayor
1. Bukti adanya obstruksi saluran cerna
Riwavat muntah kehijauan
Distensi abdomen dan tidak adanya bising usus atau bising usus abnormal
Foto polos abdomen menuniukkan adanya level cairan dan dilatasi usus halus
2. Inspeksi
Massa di abdomen intestinal
Massa di rectal
Prolapsus intestinal
Foto polos abdomen, USG, СТ menunjukkan invaginasi atau massa dari jaringan lunak
3. Ganguan Vaskuler Intestinal dan Kongesti vena
Keluarnya darah per rectal
Keluarnya feses yang berwarna red currant jelly
Adanya darah ketika pemeriksaan rectum
o Kriteria Minor
Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun    
Nyeri abdomen
Muntah
Lethargy
Pucat
Syok hipovolemi
Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidakspesifik → pola gas usus yang abnormal.
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :
o Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)
1. Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan
2. Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan invaginasi dengan manifestasi
spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi oleh enema tersebut.
3. Kriteria Autopsi – Invagination dari usus
o Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)
1. Dua kriteria mayor
2. Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
o Level 3 – Possible
1. Empat atau lebih kriteria minor

3. Patofisiologi (tyas, via)


o Gangguan motilitas usus  usus yang bergerak bebas dan satu bagian usus lainya yang terfiksir
o Disritmik peristaltik usus  retrograd intususepsi pada pasien pasca gastrojejunostomi
o Adanya segmen usus yang masuk kesegmen usus lainnya  dinding usus terjepit  aliran darah menur
un  nekrosis dinding usus  nyeri
o Ketidakseimbangan peristaltik usus  invaginasi usus  penekanan pada bagian intususeptum
oleh kontraksi dari intususepien  mesenterium dapat tertarik, aliran pembuluh darah
terhambat  infark  nyeri
o Perubahan terutama mengenai intususeptum  oleh karena kontraksi dariintususepien dan terganggunya 
aliran darah  Edema  menimbulkan perembesan(ozing) lendir dan darah ke dalam lumen  perlekat
an yang tidak dapat kembali normal sehingga terjadi invaginasi. Edema dan pembengkakan dapat terjadi
menjadi obstruksi lumen.
o Mesenterium tertarik  laserasi  perdarahan.
o Perembesan darah dan lendir ke dalam lumen  current jelly stool.
o Ulserasi pada dinding usus.

4. Etiologi dan Epidemiologi (ivan)


Epidemiologi
o Diperkirakan kejadian sekitar 1 kasus per 2000 kelahiran hidup. Rasio laki-laki adalah sekitar 3:1
o Intususepsi terjadi pada bayi berusia 5-10 bulan, intususepsi adalah penyebab paling umum dari
obstruksi usus pada pasien berusia 5bulan-3tahun.
o Insidensi puncak pada umur 6 -  12 bulan
o Paling banyak : ileo-caecal
o Intususepsi umumnya ditemukan pada anak- anak di bawah 1 tahun dan frekuensinya
menurun dengan bertambahnya usia anak.
o lebih sering pada anak laki-laki.
Etiologi
1. Idiopatik
o Pada anak dibawah umur 1 tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan
sebagai “infantile Idiopatic Intussusception”.
o Etiologi idiopatik sekitar 42-100%
2. Kausal
o Pada pasien yang berusia lebih dari 2 tahun adanya kelainan usus dapat menjadi penyebab
intususepsi atau “lead point” seperti: Meckel’s diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma,
hemangioma, lymphoma dan duplikasi usus.
o Gastroenteritis  hiperperistaltik
o Virus hipertropi jar.limfoid ileum terminal
o Perubahan pola makan  perubahan pola kuman &peristaltikusus
o Segmental hiperperistaltik
3. Lainnya
o Penggunaan obat anti diare yang beredar di masyarakat
o Peralihan makanan pendamping pada bayi yang terlalu cepat
Pemberian makanan padat. Pemberian makanan selain susu ketika umur kurang dari 4 bulan

5. Faktor resiko (naufal)

Beberapa faktor risiko terjadinya invaginasi pada anak yaitu:

a. Usia : Invaginasi dapat terjadi pada semua usia, baik pada anak maupun dewasa. Beberapa penelitian
sebelumnya di beberapa rumah sakit melaporkan bahwa insiden kejadian invaginasi banyak terjadi pada
anak di bawah 1 tahun
b. Jenis kelamin : Dari beberapa penelitian terungkap bahwa anak laki-laki lebih banyak menderita
penyakit ini. Di Afrika, terutama di Tunisia, rasio antara anak laki-laki: perempuan 8:1.
c. Status Gizi : Dari beberapa kepustakaan, dilaporkan tidak terdapat perbedaan status gizi pada beberapa
pasien invaginasi. Tetapi ada juga beberapa penelitian melaporkan kejadian invaginasi ini banyak terjadi
pada bayi dan anak yang memiliki status gizi baik dan gizi lebih. Penelitian di Sumatera Utara,
didapatkan pada umumnya pasien invaginasi adalah bayi sehat, gizi baik dan memiliki pertumbuhan
yang optimal. Ini diduga karena hipermotilitas usus halus yang dihubungkan dengan kejadian invaginasi
d. Menderita penyakit diare : Pada beberapa pasien invaginasi terdapat riwayat menderita infeksi
gastrointestinal. Infeksi rotavirus yang menyerang saluran pencernaan anak dengan gejala utama berupa
diare juga dicurigai sebagai salah satu faktor risiko invaginasi.Hal ini diduga karena pada diare kekuatan
peristaltik usus yang tidak sama besar pada segmen usus, sehingga memicu terjadinya invaginasi.
e. Susu Formula : Kejadian invaginasi ini dihubungkan dengan gangguan peristaltik usus berupa
hipermotilitas usus halus yang tidak seimbang dari segmen proksimal ke segmen distal, yang diduga
akibat pemberian susu formula, yang menyebabkan terjadinya invaginasi
f. Pemberikan makanan padat dini : Pemberian makanan padat yang terlalu dini ini menyebabkan
terjadinya gangguan peristaltik usus. Akibatnya terjadi hipermotilitas di sepanjang usus halus yang tidak
seimbang, yang dimulai dari segmen proksimal ke segmen distal, sehingga menyebabkan terjadinya
invaginasi.

6. Tata laksana (indikasi operasi, edukasi, Farmakologi) (nihu, fathia)


Terapi intususepsi pada anak berawal dari terapi operasi segera setelah diagnosis; saat ini reduksi radiologis
rutin dilakukan dengan morbiditas minimal.Operasi tetap menjadi pilihan pada pasien yang tidak stabil,
ditemukan peritonitis atau perforasi, tidak ada ahli radiologi, atau yang paling sering, jika reduksi enema
gagal.
o Reduksi non-operatif (Reduksi Barium/Reposisi Hidrostatik) menjadi pilihan pertama pada anak
bila tidak ada distensi abdomen yang hebat, tanda peritonitis, dan demam tinggi.
o Reduksi operatif (reduksi manual (milking) dan reseksi usus. Reposisi langsung dengan operasi
tanpa dilakukan reposisi barium enema terlebih dahulu jika telah terjadi perforasi, peritonitis, dan
tanda-tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya dilakukan pada invaginasi yang sudah berlangsung 48
jam. Demikian pula pada kasus-kasus yang relaps
Persiapan Operasi
1. Sebelum operasi (Pre-operatif)
Penanganan intususepsi secara umum sama seperti penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu
perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit yang
disebabkan karena muntah yang berlebihan dan defekasi dengan lendir dan darah (Anonim, 2010).
2. Saat dilakukan operasi (Durante operatif)
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi dan tindakan yang dianjurkan adalah
reseksi anastosmosis segmen usus yang terlibat. Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi – tepi
segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian
dilakukan anastosmose end to end atau side to side (Anonim, 2010).
3. Setelah operasi (Pasca operatif)
a. Menghindari terjadinya dehidrasi
b. Mempertahankan stabilitas elektrolit
c. Melakukan pengawasan terhadap akan terjadinya inflamasi dan infeksi
d. Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas usus

7. Prognosis dan komplikasi (mumtazi)


Komplikasi
Komplikasi dari invaginasi yaitu dapat terjadi strangulasi usus, yang pada akhirnya dapat terjadi
perforasi usus, peritonitis, dan sepsis. Bila terlambat mendapat penanganan pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian (Vicente, 2006; Waag, 2006; Abbas, 2007).
Prognosis
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh diagnosis secara dini, dan cepatnya
pertolongan yang diberikan. Jika pertolongan dilakukan kurang dari 24 jam dari serangan pertama,
maka akan memberikan prognosis yang lebih baik yaitu mortalitas hanya 1-3%, tetapi jika terjadi
invaginasi berulang mortalitas naik menjadi 3-11% (Waag, 2006; Wylie, 2006; Abbas, 2007;
Shekherdimian, 2011).

9. PSKI (ivan)

Anda mungkin juga menyukai