Tentang
PENGENDALIAN REESISTENSI ANTIMIKROBA
RSU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Umum
Universitas Muhammadiyah Cirebon, maka diperlukan pengembangan
Program Pengendalian Resistensi Anti Mikroba (PPRA)
b. bahwa agar pelayanan Instalasi farmasi di RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon dapat terlaksanan dengan baik , perlu adanya kebijakan Program
Pengendalian Resistensi Anti Mikroba (PPRA) di Instalasi Farmasi RSU
Universitas Muhammadiyah Cirebon sebagai landasan bagi penyelenggaraan
pelayanan di RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon.
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Program
Pengendalian Resistensi Anti Mikroba (PPRA) RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon dengan Surat Keputusan Direktur RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
2. Undang-undang RI Nomor: 44 tahun 2009, tentang Rumah Sakit;
3. Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian
6. Peraturan Menteri Kesehatan No.72 tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit
7. Permenkes No.3 Tahun 2015 tentang 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekusor Farmasi.
8. Peraturan Pemerintah RI No.74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun
9. Surat Keputusan Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon Nomor
056/1.a/UMC-SK.R/IV/2017 tentang Pengangkatan Direktur Rumah Sakit
Umum Universitas Muhammadiyah Cirebon.
RUMAH SAKIT UMUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
Jl. KH. Wahid Hasyim No. 08 Desa Mertapada Wetan Kecamatan Astanajapura
Tlp. ( 0231 ) 638000, Fax. (0231) 637000
Kab. Cirebon 45181
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR RSU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON TENTANG
KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA RSU
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON.
PERTAMA : Memberlakukan Kebijakan Program Pengendalian Resistensi Anti Mikroba
(PPRA).
KEDUA : Kebijakan Program Pengendalian Resistensi Anti Mikroba (PPRA) RSU Universitas
Muhammadiyah Cirebon sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama
KETIGA : Kebijakan Program Pengendalian Resistensi Anti Mikroba (PPRA) RSU Universitas
Muhammadiyah Cirebon sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua harus
dijadikan acuan dalam menyelenggarakan pelayanan Instalasi Farmasi RSU
Universitas Muhammadiyah Cirebon
KEEMPAT : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila terdapat
kekeliruan dalam keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Cirebon
Pada tanggal : 25 Juli 2023
Direktur,
RSUUMC
A. PENGERTIAN
1. Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek
antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.
2. Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegahdan
atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten.
3. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA adalah
komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan
penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan di
masyarakat.
B. TUJUAN
1. Memahami kebijakan dan peran pimpinan rumah sakit dalam program pengendalian
resistensi antimikroba (PPRA).
2. Memahami Prinsip dasar pengendalian resistensi antimikroba.
3. Memahami dan mampu menerapkan prinsip dasar pengendalian infeksi dengan benar
(universal precaution) dalam rangka pengendalian resistensi antimikroba.
4. Memahami farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
5. Memahami dan mampu menerapkan penggunaan antibiotik secara bijak untuk tujuan
profilaksis dan terapi.
6. Memahami dan mampu menerapkan manajemen sampling pemeriksaan mikrobiologi
yang benar dan mampu menginterpretasikan kegunaan klinis hasil pemeriksaan
mikrobiologi.
7. Memahami peran farmasis dalam pengendalian penggunaan antibiotik.
8. Memahami dan mampu melakukan audit kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik
9. Memahami dan mampu menyusun pedoman penggunaan antibiotik (antibiotic guidelines)
dengan standar internasional.
10. Mengetahui model penerapan PPRA ”pilot study” di Departemen / KSM.
11. Mampu menyusun ”Plan of Action” Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di
Rumah Sakit.
C. KEBIJAKAN
1. Kebijakan Umum
a. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin
b. Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi profilaksis atas indikasi
operasi bersih dan bersih terkontaminasi sebagaimana tercantum dalam ketentuan
yang berlaku.
1) Antibiotik profilaksis bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan
paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak
memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka
operasi.
2) Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor tergolong
dalam pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik
profilaksis.
c. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empiris dan definitif.
1) Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi atau
diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya.
2) Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang
sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya.
d. Kebijakan evaluasi penggunaan antibiotik oleh Tim PPRA bertujuan memberikan
informasi pola penggunaan antibiotik baik kualitas maupun kuantitas.
2. Kebijakan khusus
a. Pengobatan awal :
1) Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteridiberi
antibiotik empirik selama 48-72 jam.
2) Penentuan penyebab infeksi dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan mikrobiologi atas spesimen yang sesuai.
3) Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan specimen untuk
pemeriksaanmikrobiologi.
b. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik
setempat.
c. Pengelompokan antibiotik :
1) Antibiotik dikelompokkan berdasarkan kewenangan dalam meresepkannya yaitu
antibiotik lini I, II, dan III.
2) Antibiotik lini I (Access) boleh diresepkan oleh dokter umum, PPDS (Program
Pedidikan Dokter Spesialis), dan DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pasien). Antibiotik
dalam kelompok ini adalah antibiotik yang sudah terbukti efektif, aman dan relatif
murah. Selain itu, antibiotik tersebut telah digunakan secara umum sejak waktu
lama.
3) Antibiotik lini II (Watch) hanya boleh digunakan sesuai hasil kultur dan uji kepekaan
atau atas persetujuan Tim PPRA .
4) Antibiotik lini III (Reserve) atau antibiotik restriksi hanya digunakan untuk
terapi organisme MDRO (Multi-drug Resistant Organisms) dan berdasarkan
hasil diskusi anggota Tim PPRA. Antibiotik restriksi hanya boleh diresepkan
oleh dokter spesialis dan subspesialis dengan melampirkan hasil kultur.
Penggunaan antibiotik restriksi harus mendapat persetujuan dari Tim
PPRA. Tim PPRA akan memberikan rekomendasi kepada klinisi jika tidak
menyetujui pemberian antibiotik restriksi.
d. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan
automatic stop order sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu
profilaksis, terapi empirik, atau terapi definitif.
e. Evaluasi penggunaan antibiotik dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
1) Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dinilai oleh lebih dari satu
orang Tim PPRA dengan alur penilaian Gyssens. Bila terdapat perbedaan
yang sangat nyata di antara reviewer maka dapat dilakukan diskusi panel
dengan klinisi untuk masing-masing kasus yang berbeda penilaiannya.
Evaluasi antibiotik secara kualitatif dilakukan jika klinisi menolak
rekomendasi Tim PPRA dan kasus lain yang perlu diaudit oleh PPRA.
2) Evaluasi antibiotik secara kuantitatif dilakukan oleh Tim PPRA dengan
metode
defined daily dose (DDD).
Hasil evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif, kuantitatif dan hasil program kerjaPPRA
dilaporkan tiap semester
Ditetapkan di : Cirebon
Pada tanggal : 25 Juli 2023
Direktur,
PENGELOMPOKAN ANTIBIOTIK
Direktur,
Tentang
PANDUAN PENATAGUNAAN ANTIMIKROBA
RSU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Umum
Universitas Muhammadiyah Cirebon, maka diperlukan pengembangan
Panduan Penatagunaan Antimikroba
b. bahwa agar pelayanan Instalasi farmasi di RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon dapat terlaksanan dengan baik , perlu adanya Panduan Penatagunaan
Antimikroba di Instalasi Farmasi RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon
sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan di RSU Universitas
Muhammadiyah Cirebon.
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Panduan
Penatagunaan Antimikroba RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon dengan
Surat Keputusan Direktur RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon.
KEEMPAT : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila terdapat
kekeliruan dalam keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Cirebon
Pada tanggal : 25 Juli 2023
Direktur,
Assalamu’alaikum wr wb,
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan kepada
penyusun, sehingga Buku Panduan Penata Gunaan Antimikroba Rumah Sakit Umum Universitas
Muhammadiyah Cirebon ini telah selesai disusun.
Buku pedoman ini merupakan panduan kerja bagi semua pihak yang terkait dengan Farmasi di
Rumah Sakit Umum Universitas Mumammadiyah Cirebon .
Dalam Panduan Penata Gunaan Antimikroba ini diuraikan tentang tatalaksana pelayanan, uraian
jabatan, tata hubungan kerja dan pengendalian mutu. Tidak lupa penyusun menyampaikan terima kasih atas
bantuan semua pihak yang telah membantu dan menyelesaikan Panduan Penata Gunaan Antimikroba di
Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah Cirebon .
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Penyusun,
DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................................................... i
SK Panduan ............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................. iv
A. RESISTENSI ANTIMIKROBA
Penggunaan antimikroba untuk mengelola penyakit infeksi telah diketahui secara lua
oleh semua tenaga kesehatan diseluruh dunia sejak dimulainya penggunaan antimikroba
pada sekitar tahun 1940 an . ntelah terbukti bahwa banyak jiwa dapat diselamatkan dengan
penggunaan antimikroba. Era ini disebut sebagai zaman keemasanpenggunaan antimiroba,
sayangnya, saat ini zaman keemasan telah berlalu karena meluasnya masalah resisitensi
antimikroba
Resistensi antimikroba atau berkurangnya daya kerja antimikroba dalam membunuh
mikroba telah timbul tidak lama setelah antimikroba pertama ditemukan. Berdasarkan
penelitian dan pengalaman yang dilaporkan diberbagai penjuru dunia, telah dibuktika
bahwa pada saat ini beberapa antimikroba sudah tidak efektif tersebut cepat dan mudah
diatasi.
Sementara masalah resistensi antimikroba semakin besar, upaya menemukan
anmikroba memang suatu evolusi, tetapi ada dua faktor yang turut berperan, dalam
terjadinya infeksi yang tidak dapat disembuhkan .pertama, hilangnya minat industri farmasi
untuk mengembangkan antimikroba baru, terutama karena alasan ekonomi.
Segingga tidak dapat ditemukan kelas baru antimikroba, Faktor kedua adalah
penggunaan antimikroba yang berlebihan(over use) dan pemanfaatan yang salah ( mis use )
oleh para profesional kesehatan, industri pertanian,peternakan, dan perikanan.. Maka ,
sebelum ada langkah besar untuk mengambangkan antimikroba baru, tugas kita adlah
mempertahankan antimikroba yang masih ada sekarang
1
(transformation), dan transduksi (transduction), yang menyebabkan perubahan sifat
dari peka menjadi resisten atau kebal terhadap antibiotik.
2
2. Tekanan selektif (selective pressure)
Secara alami dalam suatu komunitas mikroba terdapat sejumlah kecil (minoritas)
mikroba yang telah bermutasi atau berubah menjadi resisten terhadap antimikroba
tertentu (misalnya disebut sebagai mikroba Xm) dan sejumlah besar (mayoritas)
mikroba lain yang masih sensitif (misalnya disebut sebagai mikroba X). Jika diberi
antimikroba tertentu (antimikroba A), maka kelompok mikroba X akan dapat dibunuh
atau dihambat pertumbuhannya oleh antimikroba A, sedangkan mikroba Xm akan tetap
bertahan hidup. Selanjutnya, mikroba Xm akan berkembang biak dengan cepat
sehingga mencapai jumlah yang besar dan membentuk koloni, atau yang dapat
menyebabkan penyakit, yang tidak dapat diatasi lagi dengan antimikroba A, karena
mikroba penyebabnya adalah mikroba yang telah resisten terhadap antimikroba A.
Individu yang menjadi inang untuk koloni mikroba resisten dapat menjadi sumber infeksi
akibat mikroba resisten bagi orang atau pasien di lingkungannya.
3. Penyebaran (spread)
Penyebaran mikroba penyebab infeksi (pathogen microbe) dapat terjadi melalui
beberapa medium misalnya kontak fisik baik langsung maupun tidak langsung, udara
(airborne/droplet), makanan (food), darah (blood), dan hewan pembawa (vector).
Penyebaran mikroba patogen tersebut dapat terjadi di mana saja termasuk di fasilitas
pelayanan kesehatan, yaitu di rumah sakit, rumah perawatan untuk pasien usia lanjut
(nursing homes), dan lain-lain. Infeksi yang didapat ketika pasien dirawat di fasilitas
pelayanan kesehatan disebut sebagai health care-associated infections (HAIs). HAIs
dapat terjadi dengan berbagai sebab. HAIs yang sering terjadi adalah infeksi aliran darah
(blood stream infection, BSI), infeksi saluran kemih karena penggunaan kateter
(catheter-associated urinary tract infection, CAUTI), pneumonia rumah sakit (hospital-
acquired pneumonia, HAP), pneumonia akibat penggunaan ventilator (ventilator-
associated pneumonia, VAP), diare, dan infeksi daerah operasi/IDO (surgical site
infection, SSI), dan lain-lain.
Penggunaan antimikroba secara tidak bijak, bisa terjadi di rumah sakit, baik rumah sakit
pendidikan maupun non-pendidikan, klinik kesehatan milik pemerintah maupun swasta,
dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Penggunaan secara salah ini yang
menyebabkan proses tekanan selektif.
Pada umumnya kesalahan penggunaan antimikroba adalah berupa:
a. tidak ada indikasi (menggunakan antibiotik tanpa ada bukti terjadinya infeksi karena
bakteri, misalnya terapi antibiotik untuk mengatasi infeksi virus dan malaria; pemberian
antibiotik profilaksis pada operasi bersih yang tidak membutuhkan antibiotik
profilaksis);
b. indikasi tidak tepat (pemberian antimikroba tidak didukung data klinis dan laboratorium
yang akurat);
c. pemilihan antimikroba yang tidak tepat baik untuk tujuan terapi maupun profilaksis;
antimikroba yang diberikan tidak aman untuk kondisi pasien,
misalnya pasien gagal ginjal diberi antimikroba yang berpotensi meracuni ginjal
3
(nephrotoxic antibiotic), padahal masih ada antimikroba
lain yang non-nefrotoksik;
4
d. dosis tidak tepat (terlalu rendah atau terlalu tinggi);
e. tidak mempertimbangkan parameter PK/PD antimikroba;
f. rute pemberian tidak tepat (pasien dapat menggunakan antimikroba secara oral, tetapi
diberikan secara suntikan);
g. saat pemberian tidak tepat, baik untuk tujuan profilaksis bedah maupun untuk tujuan
terapi (tidak sesuai dengan panduan penggunaan
antibiotik, atau aturan pakai, misalnya setiap 8 jam, atau 12 jam, atau 24 jam);
h. lama pemberian tidak tepat (terlalu lama atau terlalu singkat);
i. tidak melakukan tindakan de-eskalasi atau alih terapi sesuai kebutuhan;
j. beberapa hal lain yang berhubungan dengan penggunaan antimikroba, yaitu timbulnya
reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) atau adverse
drug reactions (ADRs), interaksi antara antimikroba dengan obat lain (drug-drug
interactions), atau dengan makanan (drug-food interactions), atau dengan reagen
pemeriksaan laboratorium (drug-laboratory test reagent interactions), dan reaksi alergi
(allergic reactions).
Khusus bagi para tenaga kesehatan, untuk tujuan kewaspadaan transmisi, perlu diterapkan
kebiasaan menggunakan peralatan khusus, yaitu alat pelindung diri (APD) sesuai dengan
kebutuhan, misalnya sarung tangan, masker, tutup kepala, baju, sepatu, dan melaksanakan
tindakan aseptis, serta melaksanakan penggunaan peralatan medis pada pasien, misalnya
5
penggunaan infus, kateter, atau ventilator dengan cara-cara yang benar.
6
D. Upaya yang telah dilakukan
Sesuai dengan amanat Permenkes no.8/2015, sejak tahun 2015 program pengendalian
resistensi antimikroba (PPRA) wajib dilaksanakan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia, dan untuk hal tersebut telah ditunjuk Komite Pengendalian Resistensi
Antimikroba (KPRA) sebagai pelaksana di rumah sakit, bekerja sama dengan Komite Farmasi
dan Terapi (KFT) untuk masalah pengaturan, pengawasan, dan penggunaan antimikroba,
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (KPPI) untuk masalah penyebaran mikroba
yang resisten dan pengendalian penyakit infeksi, serta Komite Mutu dan Keselamatan Pasien
(KMKP) untuk masalah kualitas pelayanan terhadap pasien dan keselamatannya.
Jika suatu rumah sakit belum mempunyai enam unsur utama tersebut secara lengkap,
hal ini bisa diupayakan sambil berjalan, tetapi unsur pertama yaitu komitmen pimpinan
rumah sakit diperlukan secara mutlak.
Dalam beberapa tahun terakhir ini KPRA di sejumlah rumah sakit di Indonesia telah
menjalankan PPRA, dengan berbagai pencapaian. Sesuai dengan mandat dari WHO, kini
saatnya KPRA menjalankan upaya pendampingan bagi para Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) di ruang rawat pasien (PoC=point of care), berupa kegiatan bersama oleh
tim pelayanan kesehatan (healthcare team) dalam menetapkan antimikroba yang akan
diberikan kepada pasien agar tercapai percepatan penggunaan antimikroba secara bijak.
Kegiatan ini disebut sebagai kegiatan penatagunaan antimikroba (PGA) atau antimicrobial
stewardship (AMS). Untuk menjalankan kegiatan tersebut rumah sakit dapat membentuk
tim PGA sebagai bagian dari KPRA dengan tugas membantu KPRA di ruang rawat pasien.
Untuk selanjutnya uraian tentang KPRA dapat dibaca pada Permenkes no.8/2015,
karena buku panduan ini hanya menguraikan tentang
pelaksanaan kegiatan PGA.
7
BAB II
RUANG LINGKUP
8
C. Tugas dan Fungsi tim PGA
a. Membantu tim pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam menerapkan penggunaan
antimikroba secara bijak.
b. Mendampingi dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dalam menetapkan
diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, rute, saat, dan lama
pemberian.
2. Farmasis Klinis
a. Seorang farmasis yang telah mendapat pendidikan farmasi klinik, atau seorang
farmasis yang telah mendapat pelatihan tentang penyakit infeksi, program
pengendalian resistensi antimikroba, penggunaan antimikroba secara bijak,
penatagunaan antimikroba, dan sehari-hari bertugas di ruang rawat pasien.
b. Melakukan reviu prospektif dan umpan balik kepada DPJP sesuai dengan kebutuhan
untuk menegakkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mengkaji resep
antimikroba secara administratif, farmasetik, dan klinis sebelum disiapkan obatnya
untuk diberikan kepada pasien.
c. Memberikan konsultasi dan rekomendasi dalam pemilihan antimikroba, dosis
rejimen (dosis, interval pemberian, rute/cara pemberian, durasi), serta terlibat
dalam pengelolaan pasien infeksi melalui kunjungan di ruang rawat pasien (ward
round).
d. Melaksanakan penghentian otomatis (automatic stop order) pemberian
antimikroba sesuai indikasinya dan mendiskusikan ulang dengan DPJP.
e. Memberikan layanan informasi antimikroba kepada tenaga kesehatan.
9
f. Memberikan informasi dan edukasi tentang antimikroba kepada pasien.
10
g. Memberikan konseling kepada pasien yang mendapatkan terapi
antimikrobauntuk meningkatkan kepatuhan
h. Melaksanakan pemantauan manfaat dan keamanan antimikroba setelah diberikan
kepada pasien.
i. Memantau, mencatat, dan mendiskusikan dengan DPJP reaksi antimikroba
yang tidak diinginkan, interaksi antimikroba dengan obat lain, dengan makanan,
dan dengan pemeriksaan laboratorium, serta timbulnya reaksi alergi.
j. Menginformasikan penggunaan antimikroba yang tidak bijak kepada Ketua
timPGA.
k. Melakukan evaluasi penggunaan antimikroba secara kuantitatif atau kualitatif.
F. Staf Ahli lain yang terlibat di dalam penegakan diagnosis penyakit infeksi
1. Dokter Spesialis Patologi Klinik
2. Dokter Spesialis Radiologi
3. Dokter Spesialis Patologi Anatomi
4. Dokter Spesialis Parasitologi
12
G. Staf pendukung
1.Perawat
Perawat memegang peranan utama dalam asuhan keperawatan dan
berkomunikasi dengan pasien. Penting bagi perawat di RS untuk bersikap kritis
terhadap masalah resistensi antimikroba dan terlibat aktif dalam tim PGA. Secara
13
umum perawat berperanan menjalankan protokol pencegahan dan pengendalian
infeksi.
Tugas dan fungsi perawat dalam PGA dapat dilakukan dalam beberapa tahap
penanganan pasien rawat inap, antara lain sebagai berikut:
a. Penerimaan pasien
Melakukan penerapan “10 benar” sebelum pemberian antimikroba pertama kali.
Mengidentifikasi riwayat alergi antimikroba pada pasien secara akurat.
Melakukan pengambilan spesimen biakan secara tepat sebelum
pemberianantimikroba dimulai.
Segera memulai pemberian antimikroba
b. Perawatan pasien
Melakukan penerapan “10 benar” dalam 42-78 jam setelah
pemberianantimikroba yang pertama.
Melaporkan perkembangan pasien termasuk mengawasi efek terapi antimikroba dan
timbulnya efek yang tidak diharapkan.
Melakukan penanganan spesimen klinik dan menyampaikan informasi
tentang hasil pemeriksaan mikrobiologi terbaru kepada dokter, secepatnya setelah
hasil tersedia. Bersama tim PGA mendiskusikan pergantian rute pemberian
antimikroba IV ke oral dan peluang de-eskalasi terapi antimikroba dengan farmasis
dan dokter yang meresepkan.
c. Pemulangan Pasien
Mengedukasi pasien mengenai penggunaan antimikroba yang benar.
14
BAB III
KEBIJAKAN
15
BAB IV
TATA LAKSANA
Langkah pertama yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan PGA adalah melakukan
analisis situasi. Berikut ini adalah berbagai kebijakan. Kemenkes yang menjadi acuan
dalam analisis situasi.
a. Permenkes No. 8/2015 tentang Pedoman Pengendalian Resistensi
Antimikroba;
b. Permenkes No. 27/2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi;
16
Dengan tersedianya unsur-unsur tersebut di atas tim PGA dapat mulai melaksanakan
tugas dan fungsinya.
Seandainya rumah sakit belum mempunyai unsur-unsur tersebut di atas, kegiatan tim
PGA dapat dimulai dengan menggunakan unsur yang telah tersedia berdasarkan
ketetapanpimpinan rumah sakit
Kegiatan PGA dianjurkan mulai dengan proyek percontohan (pilot project) di salah satu
ruang rawat pasien, untuk periode waktu tertentu, yang kemudian dikembangkan
tahapdemi tahap ke ruang rawat pasien lain, agar terjadi proses pembelajaran dan
pembiasaan bagi seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut.
Pemilihan tempat pelaksanaan proyek percontohan ditetapkan berdasarkan prioritas
kepentingan atau urgensi dalam meningkatkan rasionalitas penggunaan antimikroba.
Contohnya sebagai berikut.
a. Hasil surveilans penggunaan antimikroba kuantitatif dan kualitatif.
b. Hasil surveilans pola mikroba dan antibiogram.
c. Target untuk surveilans antimikroba, dapat dimulai dengan antimikroba
yangbanyak dipakai atau antimikroba kelompok reserve, misalnya
karbapenem.
d. Tujuan penggunaannya, misalnya untuk terapi empirik dan definitif, atau profilaksis
e. Jenis penyakit infeksi, misalnya sepsis, pneumonia komunitas, pneumonia
rumah sakit, atau febrile neutropenia.
f. Ruang rawat pasien, misalnya di bagian penyakit dalam, kesehatan anak, bedah,
kebidanan dan kandungan; atau di ruangan tertentu, misalnya unit perawatan intensif,
unit luka bakar, dan unit gawat darurat.
1. Tahap persiapan
a. Menetapkan target ruangan yang akan digunakan dalam proyek
percontohanuntuk periode waktu tertentu.
b. Menjelaskan tujuan, proses, dan hasil yang diharapkan, kepada semua pihak
yangterlibat di tempat target.
c. Melatih semua pihak yang terlibat tentang pemahaman:
1. PPK dan CP untuk penyakit infeksi dalam menegakkan diagnosis;
2. FRS dan PPAB untuk pemilihan antimikroba dan pembatasan jenis antimikroba
yang disediakan berdasarkan formularium rumah sakit;
3. hasil pemeriksaan mikrobiologi;
4. proses penghentian penggunaan antimikroba secara
17
otomatis(automatic stop order) oleh farmasis;
5. proses permintaan pra-otorisasi kepada KPRA untuk penggunaan antimikroba
kelompok reserve (Lampiran 4);
6. proses pelaksanaan de-eskalasi (Lampiran 5);
18
7. proses penggantian pemberian IV ke oral (Lampiran 6);
8. proses penyesuaian dosis antimikroba berdasarkan parameter PK/PD;
9. proses penyesuaian saat dan lama pemberian antimikroba.
d. Menetapkan kriteria reviu prospektif dan umpan balik, yang disepakati oleh semua
pihak.
e. Menetapkan kriteria keberhasilan dan kegagalan terapi, serta timbulnya efek yang
tidak dikehendaki, potensi interaksi dengan obat lain, makanan, dan
pemeriksaan laboratorium, yang disepakati oleh semua pihak terlibat.
2. Tahap pelaksanaan
a. Melaksanakan strategi inti (core strategy) PGA
1) Melaksanakan pembatasan jenis antimikroba yang disediakan di rumah sakit, seperti
yang tercantum dalam FRS dan PPAB rumah sakit, dengan kriteria tertentu, setelah
mendapat masukan dari para praktisi di lapangan.
2) Melaksanakan peraturan penghentian otomatis untuk peresepan dan penggunaan
antimikroba.
3) Melaksanakan peraturan pra-otorisasi untuk penggunaan antimikroba kelompok
watch dan reserve, yaitu diperlukan persetujuan dari pihak yang ditentukan oleh
pimpinan RS.
Peresepan antimikroba harus berdasarkan indikasi adanya penyakit infeksi dan
ditujukan untuk terapi empiris dan terapi definitif, atau indikasi untuk profilaksis.
Sebelum meresepkan antimikroba perlu diperhatikan bahwa antimikroba
dikelompokkan ke dalam kelompok AWaRe yaitu access, watch dan reserve.
Tujuan menetapkan antimikroba ke dalam kelompok AWaRe adalah untuk
mengendalikan penggunaan antimikroba berdasarkan kewenangan yang
ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit. Pengelompokan ini selalu ditinjau dan kalau
perlu diperbarui sesuai dengan data antibiogram terbaru di rumah sakit terlibat. Untuk
sementara pada saat ini pengelompokan antimikroba AWaRe terbatas pada golongan
antibiotik.
19
• Penggunaannya sesuai dengan PPK dan/atau CP untuk penyakit infeksi dan PPAB
yang berlaku.
20
• Tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut.
• Daftar antimikroba kelompok watch dapat dibaca pada Lampiran 2.
Keterangan:
Konsultan infeksi adalah dokter yang berminat di bidang infeksi dan ditunjuk oleh
pimpinan rumah sakit.
21
2) Dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan biakan mikrobiologi dan uji
kepekaan bakteri.
3) DPJP memberikan terapi antimikroba empirik berdasarkan antibiogram rumah sakit
atau bukti(evidence) yang terdapat dalam pustaka.
4) Farmasis di ruangan melakukan reviu terhadap permintaan antimikroba empirik,
dipastikan apakah termasuk antimikroba kelompok access, watch, atau reserve,
sesuai dengan SPO pra-otorisasi.
5) Pasien menggunakan terapi antimikroba empirik selama 3-5 hari. DPJP memantau
perbaikan klinis pasien sambil menunggu hasil biakan bakteri
6) Farmasis di ruangan, melakukan evaluasi pemberian antimikroba empirik pada
hari ke 3-5 untuk mengingatkan DPJP tentang penghentian otomatis, dipastikan apakah
antimikroba dihentikan atau diteruskan.
7) Ketika hasil biakan bakteri menunjukkan tidak terdapat pertumbuhan bakteri,
pemberian antimikroba dapat dipertimbangkan untuk dihentikan atau
dilanjutkan sesuai dengan kondisi klinis pasien. Jika terjadi perburukan klinis, kasus bisa
diajukan ke dalam forum kajian kasus sulit yang diselenggarakan oleh KPRA.
8) Ketika hasil biakan bakteri dan uji kepekaannya diterima, DPJP mengambil
keputusan untuk menetapkan apakah terapi antimikroba empirik dilanjutkan, atau
diganti dengan terapi antimikroba definitive dengan melaksanakan de-eskalasi,
mengubah dosisnya, mengubah cara pemberiannya dari IV ke oral, dan
mengubah saat serta lama pemberiannya.
9) Pada terapi definitif, hari ke-7 atau sesuai dengan PPK dan/atau CP untuk penyakit
infeksi, farmasis di ruangan melakukan penghentian otomatis atas terapi
antimikroba definitif dan menanyakan kepada DPJP untuk mengevaluasi ulang
penggunaan terapi antimikroba definitifnya Terapi definitif bisa dilanjutkan jika
didukung oleh kondisi klinis pasien dan/atau hasil pemeriksaan mikrobiologi yang
sesuai.
10) Farmasis di ruangan memantau kemungkinan timbulnya ROTD, serta potensi
interaksi antimikroba dengan obat lain, makanan, dan pemeriksaan
laboratorium, untuk selanjutnya hasilnya didiskusikan dengan DPJP dan tim PGA.
11) Reviu prospektif dan umpan balik ini terus dilaksanakan setiap hari sampai pasien
keluar rumah sakit, dan hasil seluruh rangkaian kegiatan tim PGA ini dilaporkan kepada
KPRA.
22
Alur reviu prospektif dan umpan balik oleh tim PGA
Gambar 3: Alur reviu prospektif dan umpan balik oleh tim PGA
Keterangan: Contoh antimikroba target dipilih dari kelompok reserv
23
C. Pelaksanakan audit kuantitas dan kualitas serta umpan balik oleh KPRA
a. Menetapkan antimikroba yang dijadikan target audit kuantitas dan kualitas serta
umpan balik, misalnya penggunaan antimikroba kelompok watch atau reverse di ruang
rawat tertentu.
b. Memilih rekam medik pasien yang menderita penyakit infeksi, kemudian dipastikan
apakah diagnosisnya benar penyakit infeksi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi.
c. Jika benar penyakit infeksi, dipastikan apakah merupakan penyakit infeksi bakteri.
d. Jika benar penyakit infeksi bakteri, dilihat apakah menggunakan antimikroba
yang telah ditetapkan sebagai target, sebagai contoh :
antimikroba kelompok reserve.
e. Jika menggunakan antimikroba kelompok reserve, direviu menggunakan metoda
Gyssens apakah telah dipilih jenis antimikroba yang tepat dengan dosis, rute, saat,
dan lama pemberian benar.
f. Jika penggunaannya tidak tepat, KPRA memberikan umpan balik hasil reviu kepada
KSM dalam diskusi bersama.
g. Audit kuantitas dilaksanakan dengan menghitung jumlah penggunaan
antimikroba dalam jumlah unit DDD/100 hari rawat.
h. KPRA melaporkan kegiatan audit kuantitatif dan kualitatif setiap 3-6 bulan kepada
pimpinan rumah sakit.
24
Alur audit kuantitas dan kualitas serta umpan balik oleh KPRA
Gambar 4: Alur audit kuantitas dan kualitas serta umpan balik oleh KPRA Keterangan:
Contoh antimikroba target dipilih dari kelompok reserve
25
BAB V
DOKUMENTASI
26