Anda di halaman 1dari 9

NAMA : BENNY ERWIN MANULLANG

NPM : 202121097
KELAS : B
SEMSETER : II

JUDUL ARTIKEL : Ekspedisi Potensi dan Ketimpangan Pembangunan di Wilayah Selatan Jawa Barat
Indonesia

ABSTRAK
Dalam abstrak penulis memberikan ringkasan dari ekspedisi di Jawa Barat Bagian Selatan ( SWJ )
selama menjabat sebagai staf ahli Senator - anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD RI) tahun 2009-2014 - dan ketika menjabat di Badan Pembangunan Daerah Jawa Barat Bagian
Selatan (BPW Jabsel) 2014-2019.Tujuannya untuk mengetahui implementasi kebijakan pemerintah
dalam mengembangkan potensi sumber daya alam SWJ khususnya di bidang pariwisata, pertanian,
perkebunan, dan peternakan serta potensi sumber daya air untuk energi listrik. Berdasarkan
pengamatan penulis selama ekspedisi, potensi sumber daya alam tersebut belum dikelola secara
optimal, dan disparitas infrastruktur masih dialami di SWJ, jauh tertinggal jika dibandingkan dengan
Jawa Barat Bagian Barat (WWJ), Jawa Barat Tengah (CJW), Utara Barat Wilayah Jawa (NWJ).
Untuk meminimalisir ketimpangan ini - secara konseptual penulis menawarkan tiga kerangka
pengembangan tiga pusat pertumbuhan daerah (PPW) di SWJ, yaitu PPW Palabuanratu, PPW
Rancabuaya, dan PPW Pangandaran untuk menjadikan tiga kawasan agropolitan dan minapolitan
(kelautan).

1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki 37 provinsi, salah satunya adalah Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat
memiliki 27 kabupaten dan kota yang terdiri dari 18 kabupaten dan 9 kota. Wilayah Kabupaten
tersebut meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Ciamis,
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Garut, Kabupaten Indramayu,, Kabupaten
Karawang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang,
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bandung Barat,
dan Pangandaran. Daerah . Sedangkan wilayah kota terdiri dari Kota Bandung, Kota Bogor, Kota
Cirebon, Kota Sukabumi, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, dan Kota
Banjar. Secara geografis, 27 kabupaten dan kota tersebut terbagi menjadi empat wilayah, yaitu Jawa
Barat Bagian Barat (WWJ), Jawa Barat Tengah (CJW), Jawa Barat Bagian Utara (NWJ), dan Jawa
Barat Bagian Selatan (SWJ). WWJ, CWJ, dan NWJ umumnya berciri perkotaan, sedangkan SWJ
umumnya masih pedesaan.

Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa kebijakan pembangunan untuk pengembangan wilayah SWJ,
seperti Regional Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2021. Namun dalam pelaksanaan kebijakan tersebut masih terdapat beberapa permasalahan, terutama
ketimpangan sosial pembangunan antara kawasan perkotaan (WWJ, CWJ, dan NWJ) dan kawasan
perdesaan (SWJ). Ketimpangan wilayah tersebut meliputi masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, dan kesenjangan sosial lainnya. Padahal kawasan SWJ memiliki beberapa potensi yang
umumnya masih terbengkalai, seperti potensi agrobisnis, agroindustri, industri kelautan, pariwisata,
dan sebagainya. Namun, secara umum, daerah-daerah tersebut masih tertinggal. Pemerintah sebagai
pembuat dan pelaksana kebijakan dituntut untuk memenuhi harapan dari kebijakan tersebut, dan arah
kebijakan pembangunan daerah khususnya SWJ adalah sebagai kawasan agropolitan dan minapolitan
(laut). Implementasi kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa
Barat yang sangat besar, yang pada tahun 2035 diproyeksikan menjadi 52,7 juta orang.

Untuk mengevaluasi beberapa kebijakan ini - khususnya di wilayah SWJ – dilakukan beberapa
ekspedisi. Bidang yang dijelajahi dalam ekspedisi ini antara lain pertama, potensi sumber daya alam
SWJ, terutama potensi pariwisata, pertanian, perkebunan, dan peternakan serta potensi sumber daya air
untuk energi listrik. Kedua, kesenjangan infrastruktur. Ketiga, ancaman longsor akibat kontur alam
dan kemiringan lahan yang terjal, serta kegiatan illegal logging dan penambangan pasir besi. Ketiga
hal tersebut diharapkan dapat tercermin dalam kerangka yang kami tawarkan untuk pembangunan
daerah di Pusat Pertumbuhan Daerah (PPW) di SWJ, yaitu PPW Palabuanratu (Sukabumi Selatan,
Kabupaten Sukabumi), PPW Rancabuaya (Garut Selatan, Kabupaten Garut), dan PPW Pangandaran
(Kabupaten Pangandaran). Beberapa hasil ekspedisi ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi
para pemangku kepentingan dalam melaksanakan kebijakan pembangunan, khususnya bagi pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

2. TEORI KEBIJAKAN

Proses kebijakan publik meliputi “formulasi kebijakan”, “implementasi kebijakan”, dan “evaluasi
kebijakan”. Tahap “perumusan kebijakan” meliputi perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan
alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah, dan penentuan kebijakan. Perumusan kebijakan
publik dapat digunakan di semua bidang ilmu kebijakan. Beberapa kajian dan teori tentang perumusan
kebijakan dapat mengatasi segala permasalahan kebijakan yang dihadapi oleh lembaga dan instansi
pemerintah maupun swasta. Proses implementasi kebijakan dipandang sebagai kekuatan pembangkit
ketegangan di masyarakat, termasuk kebijakan ideal, organisasi pelaksana, kelompok sasaran, dan
faktor lingkungan. Implementasi kebijakan dapat berupa umpan balik kepada pembuat kebijakan dan
pelaksana kebijakan. Pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan dapat mendukung atau menolak
implementasi kebijakan lebih lanjut. Dalam menerapkan model tersebut, pembuat kebijakan dapat
mencoba meminimalkan ketegangan yang mengganggu yang dapat menyebabkan hasil kebijakan
gagal memenuhi harapan kebijakan. Implementasi kebijakan membutuhkan kerjasama antara pusat dan
daerah. Evaluasi kebijakan publik merupakan sine qua nonactivity dan tidak dapat dihindari bagi setiap
negara bangsa di dunia, yaitu evaluasi pada saat perumusan, implementasi, dan pasca implementasi
atau penilaian dampak (evaluasi).

Sementara itu, analisis kebijakan sangat bergantung pada sebab dan akibat dari kebijakan tersebut;
untuk menilai 'apa yang seharusnya, bukan 'apa adanya. Dalam hal efisiensi dan pemerataan, analisis
kebijakan mengacu pada ekonomi normatif dan analisis keputusan, serta etika dan cabang filsafat
sosial dan politik lainnya, yaitu tentang apa yang seharusnya terjadi. Konsekuensi yang diinginkan
(tujuan) dan tindakan yang diinginkan (sarana) merupakan bagian penting dari analisis kebijakan.
Nilai-nilai kompetitif efisiensi, kesetaraan, keamanan, kebebasan, demokrasi, dan pencerahan menjadi
salah satu pilihan analisis kebijakan yang berkelanjutan. Mengutip Robert C. Wood (1968), penalaran
normatif dalam analisis kebijakan adalah "masalah kita bukanlah melakukan apa yang benar tetapi
mengetahui apa yang benar.".

Terkait kebijakan pengelolaan lingkungan, sangat penting untuk melibatkan aktor pemerintah,
pengelola lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat. Pengelolaan konservasi sangat penting
sebagai mainstream pengelolaan lingkungan. Dukungan kebijakan hukum yang masih berbasis
pendekatan tradisional perlu difokuskan pada kesejahteraan manusia. Jika ingin sukses, praktik
kebijakan pelestarian lingkungan di dunia global dalam beberapa dekade terakhir harus melibatkan
masyarakat lokal.

3. METODE

Metode adalah suatu cara yang teratur (sistematis) untuk memperlancar pelaksanaan suatu pekerjaan
dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Sedangkan penelitian adalah suatu proses penyelidikan suatu
masalah dengan menggunakan metode ilmiah untuk mencari pemecahan masalah atau jawaban atas
pertanyaan untuk menambah pengetahuan baru yang dapat diterapkan. Kegiatan penelitian dilakukan
melalui proses menentukan dan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan, dan
menganalisis data atau fakta, serta membuat kesimpulan sesuai hipotesis. Oleh karena itu, metode
penelitian adalah cara yang sistematis dan logis dalam melakukan proses penelitian dengan
menggunakan metode ilmiah. Metode penelitian adalah suatu kegiatan untuk menemukan data secara
sistematis dan terorganisir untuk kemudian dianalisis secara kritis untuk memperoleh kesimpulan yang
menghasilkan pengetahuan baru. Metode penelitian sosial adalah penerapan metode ilmiah untuk
mempelajari masalah-masalah sosial.

Meskipun masih diperdebatkan, para ahli penelitian umumnya berpendapat bahwa, pertama,
berdasarkan jenisnya, metode penelitian dapat berupa penelitian ilmu sosial dan ilmu alam. Kedua,
berdasarkan metodenya dapat berupa metode kualitatif, metode kuantitatif, dan metode campuran
(hybrid kualitatif dan metode kuantitatif). Ketiga jenis metode penelitian tersebut bergantung pada
objek dan aspek subjek, masalah, tujuan, karakteristik, sistem pengumpulan dan analisis data, serta
hasil penelitian yang diharapkan. Dengan demikian, pembedaan antara metode kualitatif, metode
kuantitatif, dan metode campuran sangat bergantung pada aspek-aspek tersebut. Dilihat dari aspek
objek dan subjek penelitiannya, misalnya metode kualitatif banyak digunakan untuk penelitian ilmu-
ilmu sosial, sedangkan metode kuantitatif umumnya digunakan untuk ilmu-ilmu alam. Demikian pula
aspek pengumpulan dan analisis data: sistem dan hasil penelitian yang diharapkan misalnya terdapat
perbedaan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Instrumen pengumpulan data kualitatif biasanya
menggunakan pedoman wawancara, wawancara mendalam, partisipatif, penelitian, atau focus group
discussion (FGD), sedangkan data kuantitatif umumnya menggunakan kuesioner atau angket.
Sedangkan metode campuran dapat diimplementasikan secara hybrid antara metode kualitatif dan
kuantitatif.

Ketiga, berdasarkan jenisnya, penelitian kualitatif dapat berupa penelitian biografi dan penelitian
etnografi, penelitian sejarah, dan eksperimen (ilmu alam). Keempat, berdasarkan tujuannya, dapat
berupa penelitian eksploratif (mengembangkan ide-ide dasar), fenomenologi (gambaran lengkap suatu
fenomena), dan eksplanatori (menguji teori/hipotesis). Kelima, berdasarkan bentuknya, dapat berupa
studi kasus (lingkungan tertentu), survei (banyak objek penelitian/koleksi yang luas), dan eksperimen
(mencari pengaruh antar subjek penelitian). Keenam, berdasarkan model analisis data, metode
kualitatif dapat berupa analisis isi (grounded theory), sedangkan secara kuantitatif dapat berupa model
analisis data statistik regresi linier berganda, uji parsial (Uji-T), dan uji F. Uji untuk mengetahui
pengaruh antara variabel bebas (X1, X2) terhadap variabel terikat (Y). Ketujuh, teknik pembahasan
data kualitatif dapat menggunakan model deduktif (model pembahasan data dari umum ke khusus atau
“teori-data”) atau induktif (model pembahasan data dari khusus ke umum atau “data-teori”).
Kuantitatif penelitian umumnya menggunakan model induktif. Dan kedelapan, berdasarkan teknik
penyusunan naskah (redaksi) dapat menggunakan teknik deskriptif.

Untuk menghasilkan teori, metode deduktif (umum-khusus) dimulai dengan teori, menurunkannya
menjadi hipotesis, menguji hipotesis, dan merevisi teori. Sedangkan metode induktif (khusus umum)
dimulai dengan pengamatan empiris (data), menguji hipotesis, dan mengembangkan teori yang valid.
Berdasarkan Barner Glaser & Anselm Strauss (1967), grounded theory membutuhkan validitas isi dan
analisis, penemuan teori induktif didasarkan pada data yang dianalisis secara sistematis untuk
menghasilkan hipotesis deduktif dalam menguji dan membangun teori ilmu sosial. Grounded theory
adalah pendekatan yang mengembangkan paradigma berdasarkan perspektif epistemologi, ontologi,
dan metodologi. Grounded theory bukanlah teori sama sekali. Ini adalah metode, pendekatan, dan
strategi. Grounded theory paling baik didefinisikan sebagai strategi penelitian yang tujuannya adalah
untuk menghasilkan teori dari data. Tujuan pengumpulan dan analisis data penelitian adalah untuk
menghasilkan teori. Yang penting dalam grounded theory adalah bahwa teori akan dikembangkan
secara induktif dari data. Sedangkan paradigma menurut (Neuman, 1991) adalah kerangka atau
seperangkat asumsi yang menjelaskan bagaimana dunia dipersepsikan di mana suatu paradigma ilmiah
mencakup asumsi-asumsi dasarnya, pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab atau teka-teki
yang harus dipecahkan, teknik penelitian yang digunakan, dan contoh penelitian seperti apa. Menurut
Kuhn (1970), paradigma adalah seperangkat nilai dan teknik yang dimiliki bersama oleh anggota
komunitas ilmiah, yang bertindak sebagai panduan atau peta, menentukan jenis masalah yang harus
ditangani oleh ilmuwan dan jenis penjelasan yang dapat diterima oleh mereka. Paradigma ini
didasarkan pada tiga perspektif: epistemologi, ontologi, dan metodologi.
Berdasarkan teori-teori tersebut, ekspedisi ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan
pendekatan grounded theory, yang bertujuan untuk menganalisis data empiris untuk menghasilkan
paradigma baru untuk mengembangkan teori ilmu sosial (hipotesis-deduktif). Dalam teori siklus
dialektika sains (tesis antitesis-sintesis-tesis baru), hipotesis deduktif yang kami rumuskan dalam
penelitian ini dapat dikembangkan kembali oleh peneliti selanjutnya untuk menghasilkan hipotesis
deduktif baru. Demikian seterusnya sehingga secara teoritis ilmu sosial terus berkembang. Selain itu -
untuk tujuan praktis dalam kesimpulan, faktor dampak juga dirumuskan sebagai pertimbangan tindak
lanjut oleh pemerintah atau pemangku kepentingan terkait dalam mengatasi masalah pembangunan di
wilayah SWJ.

4. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA BARAT


4.1. Kebijakan Pembangunan

Beberapa kebijakan pembangunan di Jawa Barat antara lain (1) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Penataan Ruang Nasional; (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2021
tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Jawa Barat Bagian Selatan; (3) Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010, tentang Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009-2029; (4) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 28 Tahun 2010 tentang
Pembangunan Wilayah Jawa Barat Bagian Selatan Tahun 2009-2029 dan (5) Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014 tentang Penataan Pembangunan dan Pusat Pengembangan
dan Pertumbuhan Kota Metropolitan di Jawa Barat. Bahkan di sektor pariwisata, beberapa kabupaten
dan kota telah menetapkan peraturan. Kabupaten Garut misalnya – telah mengesahkan Peraturan
Daerah Kabupaten Garut Nomor 2 Tahun 2019 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Daerah. Daerah ini memiliki sepuluh tempat wisata alam unggulan. Kajian ini berfokus pada
implementasi kebijakan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2021, Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 28 Tahun 2010, dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor
12 Tahun Tahun 2014, khususnya dalam pengembangan wilayah di PPW Palabuanratu, PPW
Rancabuaya, dan PPW Pangandaran di bidang pariwisata, pertanian, perkebunan, dan peternakan,
pengembangan potensi energi listrik serta ketimpangan infrastruktur wilayah di kawasan SWJ.

Pada intinya beberapa kebijakan tersebut mengatur pola tata ruang untuk pengembangan kawasan
lindung dan pengembangan kawasan budidaya serta pengendalian kawasan perkotaan dan mendorong
pertumbuhan sosial ekonomi di daerah tertinggal (pedesaan). Selain itu, kebijakan tersebut bertujuan
untuk meminimalkan kesenjangan pembangunan antara kawasan perkotaan (WWJ, CWJ, dan NWJ)
dengan kawasan perdesaan (SWJ).

Kebijakan pengembangan pola ruang di Provinsi Jawa Barat diarahkan pada: (a) pengembangan
kawasan lindung dan (b) pengembangan kawasan budidaya. Beberapa hal terpenting yang harus
dipatuhi dalam melaksanakan kebijakan pengembangan kawasan lindung antara lain tercapainya
kawasan lindung minimal 45% dan kualitas kawasan lindung harus tetap terjaga. Adapun untuk
pengembangan kawasan budidaya, beberapa hal penting yang harus dilaksanakan antara lain (a)
persawahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan; (b) pengelolaan wilayah
pesisir yang terpadu dan berkelanjutan; (c) pengembangan lahan budidaya dan sumber daya alam di
daerah yang belum berkembang (pedesaan); (d) perumahan vertikal perkotaan; dan (e) pertahanan
dan keamanan nasional [30-31]. Namun, banyak lahan persawahan produktif di perkotaan yang
tergerus oleh perumahan dan fasilitas perkotaan lainnya. Kondisi ini memerlukan kebijakan dan
perencanaan untuk pemetaan kawasan terbangun, terutama di kawasan perkotaan. Khusus di wilayah
SWJ, fokus pengembangan potensi sumber daya alam dan daerah di PPW Palabuanratu, PPW
Rancabuaya, dan PPW Pangandaran.
4.2. Cakupan Area dan Arah Pengembangan

Dari empat wilayah di Provinsi Jawa Barat (WWJ, CWJ, NWJ, dan SWJ), dalam proses pelaksanaan
pembangunan dibagi lagi menjadi 6 Wilayah Pengembangan (WP), yaitu pertama, WP Bodebekpunjur
(wilayah perkotaan), meliputi Bogor Kota, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota
Depok, dan beberapa wilayah di Kabupaten Cianjur. WP Bodebekpunjur Center berkedudukan di
Kota Bogor (WWJ). Di kota ini terdapat Istana Kepresidenan Republik Indonesia dan Kebun Raya
Bogor. Kebun Raya Bogor merupakan pusat konservasi plasma nutfah keanekaragaman hayati
tumbuhan Indonesia. Taman ini dapat ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Kedua, WP
Purwasuka, meliputi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Karawang.
Kabupaten Purwakarta merupakan pusat WP Purwasuka. Ketiga, WP Ciayumajakuning, meliputi
Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten
Kuningan, dan beberapa wilayah di Kabupaten Sumedang. WP Purwasuka dan WP Ciayumajakuning
sebagian besar berada di kawasan NWJ. WP Ciayumajakuning berkedudukan di Kota Cirebon. Kota
ini merupakan kota tua, kaya akan sejarah kerajaan dan peradaban masyarakat Sunda dan Jawa Barat,
khususnya peradaban dan budaya Islam. Keempat, WP Wilayah Khusus Cekungan Bandung (WP KK
Cekungan Bandung - Ibukota Provinsi Jawa Barat), meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan beberapa wilayah di Kabupaten Sumedang. Pusat WP
ini berada di Kota Bandung (CWJ). Kelima, WP Priangan Timur (Priatim)-Pangandaran, meliputi
Kabupaten Garut, Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar. Pusat WP
berada di Kabupaten Garut. Keenam, WP Sukabumi dan sekitarnya, meliputi Kabupaten Sukabumi,
Kota Sukabumi, dan beberapa wilayah di Kabupaten Cianjur. Kota Sukabumi menjadi pusat kegiatan
pengembangan WP ini. WP Priatim-Pangandaran dan WP Sukabumi umumnya berada di pedesaan
(SWJ); kecuali Kota Sukabumi.

Hirarki Rencana Tata Ruang Wilayah untuk pembangunan Provinsi Jawa Barat meliputi tiga Pusat
Kegiatan Nasional (PKN), tiga Pusat Kegiatan Daerah (PKW), satu Pusat Kegiatan Kawasan Promosi
(PKWp), dan dua Pusat Kegiatan Daerah (PKL). PKN meliputi PKN Metro Bodebek, PKN Metro
Bandung, dan PKN Metro Cirebon. Khusus dalam pengembangan SWJ dibentuk dua PKWp dan satu
PKWp yaitu PKW Pelabuhanratu (di barat), PKW Pangadaran (di timur), dan PKWp Rancabuaya (di
tengah). Sedangkan PKL meliputi PKL Sindangbarang dan PKL Pameungpeuk.

Pembangunan perkotaan di Jawa Barat dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain masalah
alih fungsi lahan, penyempitan lahan pertanian produktif oleh kawasan pemukiman, dan kerusakan
lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardy, dkk. (2022) bahwa masyarakat perkotaan
dihadapkan pada masalah penggunaan lahan, persaingan untuk perumahan, keamanan. transportasi,
dan perlindungan fungsi lingkungan. Perubahan penggunaan lahan yang positif dapat menghasilkan
banyak jasa ekosistem dan mata pencaharian masyarakat, tetapi penyimpangan kebijakan dan kegiatan
penggunaan lahan ilegal sering kali menghambat tujuan konservasi, yang mengarah pada konflik
serius Kebijakan konservasi harus memastikan kepatuhan dan memaksimalkan keberhasilan
konservasi, berdampak pada ketahanan pangan dan/atau pendapatan petani. Kebijakan pemerintah
Indonesia untuk membatasi pengembangan penggunaan kawasan terbangun di kawasan metropolitan
dan kota-kota besar bertujuan untuk menjaga keseimbangan pembangunan perkotaan-pedesaan
Demikian pula kebijakan di Provinsi Jawa Barat, pengembangan kawasan konservasi budidaya
diarahkan dalam pengembangan kawasan ramah lingkungan. Kawasan SWJ merupakan kawasan
andalan dalam pengembangan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan. Kawasan
Pengembangan Priatim-Pangandaran dan Kawasan Pengembangan Sukabum dan sekitarnya
merupakan dua kawasan utama di SWJ.

Wilayah SWJ memiliki wilayah daratan yang sangat luas dan potensi kelautan yang belum
berkembang (Samudera Hindia). Daratan sangat cocok jika dikembangkan menjadi kawasan
agropolitan dan laut sebagai kawasan minapolitan. Beberapa potensi sumber daya alam di bidang
pertanian, perkebunan, peternakan, dll sangat didukung oleh kondisi alamnya yang subur. Berbagai
jenis sayuran tumbuh subur. di sana, serta jagung dan kacang tanah. Di sektor perkebunan - selain
nilam, cengkeh, teh, pinus, dan kakao - wilayah SWJ dikenal sebagai penghasil gula aren dan gula
kelapa berkualitas tinggi. Ciri khas pengembangan peternakan adalah di kawasan SWJ banyak
terdapat hewan ternak yang digembalakan, seperti sapi, domba, dan kambing. Kita bisa melihat para
penggembala sapi dan domba atau kambing berkeliaran di sepanjang jalan mendatar di sepanjang
koridor Palabuanratu-Tegalbuleud Sindangbarang-Rancabuaya-Cipatujah-Pangandaran. Namun
potensi sumber daya alam tersebut masih belum sepenuhnya dikembangkan termasuk pengembangan
potensi industri kelautan sehingga dapat menimbulkan disparitas pendapatan dan kesejahteraan antara
masyarakat SWJ dengan masyarakat perkotaan di wilayah WWJ, CWJ, dan NWJ. Dalam hal ini,
pemerintah perlu secara serius mengevaluasi implementasi berbagai kebijakan dalam pengembangan
kawasan SWJ.

5. KETIMPANGAN PEMBANGUNAN

Ketimpangan pembangunan tidak hanya dialami oleh provinsi Jawa Barat dan Indonesia tetapi juga
dialami oleh beberapa negara maju. Cina mengalami ketimpangan pendapatan antara daerah perkotaan
dan pedesaan. Jerman mengalami ketimpangan dalam perawatan kesehatan, ketimpangan kesuburan
di negara-negara Eropa, dan ketimpangan dalam layanan internet di pedesaan Amerika Serikat.

Bahkan negara berkembang seperti Afrika mengalami ketimpangan standar hidup, ketimpangan
perkotaan-pedesaan di Vietnam, ketimpangan layanan pendidikan di Malaysia, dan ketimpangan di
kawasan terbangun di Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar.

Indonesia mengalami ketimpangan antar daerah, termasuk di Papua Barat, padahal provinsi ini
memiliki banyak potensi Wisata Pesisir seperti di Kabupaten Teluk Wondama. Ketimpangan lainnya
di Indonesia adalah perkembangan koridor transportasi antara kota besar dan kota kecil, seperti koridor
Serang-Jakarta-Karawang, koridor Jakarta Bandung, koridor Cirebon-Semarang, koridor Semarang-
Yogyakarta, dan koridor Surabaya-Malang. Serta koridor Kebumen-Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Faktor lain yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah adalah tingginya perluasan kawasan
terbangun di perkotaan seperti di Provinsi Aceh pascatsunami 2004, di Cekungan Bandung (Cekungan
Bandung), di Kota Bogor, di Kota Salatiga, ketimpangan kesehatan, ketimpangan lapangan kerja ,
ketimpangan kewirausahaan, pariwisata, dan jasa pertanian, ketimpangan indeks pembangunan
manusia; ketimpangan infrastruktur, ketimpangan antara pemilik modal dan petani kecil,
ketimpangan pelayanan pemerintahan desa, serta ketimpangan stabilitas pertahanan dan keamanan.

5.1. Ketimpangan Regional

Provinsi Jawa Barat mengalami ketimpangan wilayah yang relatif ekstrim, seperti ketimpangan
pendapatan, disparitas antar wilayah seperti antara NWJ (0,0261) dengan SWJ (0,0085). Di Jawa
Barat, daerah yang 'relatif tertinggal' adalah 36,6%, 'berkembang cepat' 32,6%, 'maju dan cepat
tumbuh' 16,3%, dan 'maju tapi tertekan' 14,5%. Jika implementasi kebijakan di SWJ terhambat,
daerah yang “relatif tertinggal” berpotensi tidak berkembang seperti di Garut Selatan. Pengelolaan
sumber daya pertanian pedesaan di SWJ masih didominasi oleh kekuatan orang kaya; terjadinya
eksploitasi petani kecil (penyewa) oleh pihak yang menyewakan di SWJ. Ketimpangan wilayah dalam
konektivitas jalan dan jembatan dialami oleh SWJ (hanya 28,24%), sedangkan NWJ (71,76%). Selain
itu, wilayah SWJ mengalami ketimpangan dalam pengelolaan unggulan wilayah di bidang peternakan,
perikanan, kelautan, dan pariwisata. Padahal kawasan tersebut memiliki beberapa potensi daerah
seperti agrobisnis, agroindustri, industri kelautan, dan wisata terpadu. Selain itu, wilayah SWJ
memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat melimpah. Pengembangan potensi di SWJ perlu
didukung oleh infrastruktur dan alat produksi yang memadai, seperti teknologi tepat guna dalam
pengolahan agribisnis, perikanan, fasilitas pariwisata, dan sebagainya.

Kontras yang mencolok pada sektor infrastruktur antara perkotaan (WWJ, CWJ, dan NWJ) dengan
pedesaan (SWJ) meliputi sarana dan prasarana jalan dan jembatan. Kawasan WWJ memiliki jalan
bebas hambatan seperti Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi); Tol Jakarta-Cikampek, dan tol dalam
kota seperti tol Bogor-Serpong. Kawasan WWJ yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta juga
diuntungkan dengan adanya Tol Lingkar Dalam Jakarta. Kawasan NWJ sudah memiliki akses tol
Jakarta-Cikampek-Palimanan, dan akses tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu). Demikian
pula kawasan CWJ - selain memiliki poros jalan nasional dan jalan skala provinsi - kawasan perkotaan
ini menikmati kelancaran Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang-Bandung, jalan tol yang
menghubungkan CWJ-NWJ, seperti Cisumdawu Jalan tol. Sementara itu, sarana transportasi di SWJ
daerah sangat tertinggal, bahkan ada desa yang belum memiliki akses kendaraan roda empat.

5.2. Ketimpangan Infrastruktur Pedesaan

Disparitas yang paling memprihatinkan di wilayah SWJ adalah di bidang infrastruktur kendaraan jalan
pedesaan (yang berstatus jalan desa dan jalan kabupaten). Dalam aktivitas sehari-hari seperti mobilitas
barang dan jasa, masih banyak yang menggunakan jasa ojek di jalan tanah yang berlumpur, bahkan
masyarakat masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati semak-semak karena
tidak dapat diakses oleh kendaraan roda dua. Misalnya, ketika kami dan aparat dari Desa Cikarang,
Kecamatan Cisewu (Garut Selatan) melakukan ekspedisi (2011) di daerah tersebut, kami dibantu oleh
jasa ojek. Ekspedisi ini bertujuan untuk mensurvei usulan pembangunan jalan vertikal baru di koridor
Pangalengan-Talun-Santosa-Tato-Puncak Hamerang Tiwugenteng-Amlong-Pasir Batara-Cisasak-
Rancabuaya.

5.3. Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat dalam Mengatasi Ketimpangan

Kebijakan ekologi, institusi, dan partisipasi dibentuk dan dibatasi oleh warisan sejarah, kediktatoran,
dan ortodoksi ekonomi yang bertentangan dengan keberlanjutannya.

Setiap intervensi aspirasi 'masyarakat' harus dikombinasikan dengan program lain untuk mendukung
sekolah dan mengatasi ketidaksetaraan antar lingkungan. Kedua pendapat tersebut menunjukkan
bahwa partisipasi dan aspirasi masyarakat perlu diperhatikan dalam pembangunan sosial, meskipun
dalam praktiknya masih terdapat beberapa permasalahan, termasuk dalam praktik pelaksanaan
kebijakan pembangunan di Jawa Barat.

Sebagian masyarakat berpartisipasi dan menyalurkan aspirasinya melalui lembaga eksekutif dan
legislatif (pemerintah pusat dan daerah). Lembaga legislatif meliputi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten (DPRD Kabupaten/Kota), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD
Provinsi), Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD
RI/Anggota). Beberapa bentuk aspirasi selain dari masalah disparitas usulan pembentukan daerah
otonom baru (DOB). Untuk daerah terpencil, hal ini dianggap penting karena jangkauan kendali yang
luas, efektivitas pelayanan publik, dan pemerataan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Di wilayah
SWJ, usulan DOB antara lain Garut Selatan, Tasikmalaya Selatan, dan Cianjur Selatan. Sementara itu,
beberapa DOB telah diusulkan di wilayah WWJ, CWJ, dan NWJ, antara lain Bogor Barat, Bogor
Timur, Sukabumi Utara, Indramayu Barat, Bandung Timur, Garut Utara, Bekasi Utara, Subang Utara.
Kota Cikampek, Kota Lembang, Kota Cipanas, dll. Namun sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru
(Presiden Soeharto, 1998) masih banyak yang belum mendapat persetujuan dari pemerintah pusat,
kecuali Kabupaten Pangandaran (2012).

Selain itu, masyarakat yang tergabung dalam Forum SWJ (Forum Jabar Selatan/Forjabsel), turut
menyampaikan aspirasinya atas permasalahan ketimpangan sosial dan pembangunan di wilayah SWJ.
Upaya itu disampaikan kepada gubernur dan DPRD Jabar. Pemerintah kemudian menetapkan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 28 Tahun 2010, tentang Pembangunan Wilayah Jawa
Barat Bagian Selatan Tahun 2009 2029. Realisasi dari peraturan tersebut adalah pembentukan Badan
Pembangunan Daerah Jawa Barat Bagian Selatan (BPW Jabar Selatan), dan dimulainya pembangunan
koridor vertikal jalan Bandung-Pangalengan-Talegong-Cisewu-Rancabuaya. Pelaksanaan kebijakan
dan penyerapan aspirasi masyarakat antara lain dilakukan kunjungan kerja dari anggota DPRD
Provinsi Jawa Barat dan pejabat Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat untuk melakukan
ekspedisi dan evaluasi pembangunan koridor vertikal. Pembangunan jalan vertikal Bandung-
Pangalengan-Talegong-Cisewu-Rancabuaya dapat meminimalisir ketimpangan infrastruktur jalan yang
dialami masyarakat kawasan SWJ.

Hasil evaluasi lain dari implementasi kebijakan pembangunan infrastruktur SWJ – khususnya masalah
pembangunan fisik jalan dan ancaman kerusakan lingkungan adalah terjadinya longsor pada fisik jalan
yang telah dibangun. Hal ini dikarenakan medan yang terjal, dan kerusakan lingkungan seperti jalan
vertikal di koridor Talegong-Cisewu-Rancabuaya. Faktor lainnya adalah kerusakan lingkungan dan
kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hayati. Penggalian material bangunan di medan
terjal, penebangan hutan, dll menjadi faktor utama yang perlu dievaluasi, termasuk kerusakan Gunung
Amlong, Kecamatan Cisewu (Garut Selatan), yang telah diubah menjadi ladang pertanian masyarakat.
Demikian pula kerusakan pantai akibat galian pasir besi, seperti yang terjadi di Cianjur Selatan dan
Tasikmalaya Selatan (Kabupaten Cipatujah).

6. KERANGKA PEMBANGUNAN DAERAH

Berdasarkan hasil ekspedisi terhadap potensi sumber daya alam di bidang pariwisata, energi, pertanian,
perkebunan, dan peternakan serta pembangunan. ketidakseimbangan yang dialami oleh wilayah SWJ,
dalam tulisan ini kami menawarkan beberapa kerangka kerja:

Pertama, kerangka model pengembangan untuk masing-masing PPW (Wilayah Pusat Pertumbuhan),
yaitu PPW Palabuanratu, PPW Rancabuaya, dan PPW Pangandaran. Sesuai dengan kekayaan sumber
daya alam yang dikandungnya, fokus ketiga kegiatan PPW tersebut adalah pengembangan agropolitan
dan minapolitan.

Kedua, adalah konsep “Jamparing” (Ringroad Infrastructure Network) SWJ atau “Jamparing Jabsel”.
Konsep tersebut menawarkan model pengembangan infrastruktur jaringan interkoneksi “SWJ circle”
ke wilayah WWJ dan CWJ. Beberapa infrastruktur yang paling dibutuhkan adalah interkoneksi
jaringan jalan tol, jaringan kereta api, bandara, irigasi, kelistrikan, infrastruktur pariwisata,
infrastruktur kawasan agropolitan dan minapolitan, infrastruktur pelabuhan (perdagangan dan militer),
infrastruktur kesehatan dan pendidikan, dll.

Ketiga, Indonesia berpotensi menjadi “poros maritim dunia baru”. Sebagai negara kepulauan, secara
geopolitik dan geostrategis Indonesia terletak pada “persimpangan dunia”, yaitu Samudera Pasifik
dengan Samudera Hindia dan Benua Asia dengan Benua Australia. Wilayah SWJ berada di wilayah
Samudera Hindia. Dari aspek strategis tersebut, Indonesia berpotensi menjadi “poros baru maritim
dunia”.

Selain ketiga konsep tersebut - berdasarkan artikel yang diterbitkan untuk meminimalkan ketimpangan
regional di wilayah SWJ, kami juga menawarkan Kerangka ID-SIM (Diagram Ishikawa & Metode
Sosial-teknis). Model ini merupakan pengembangan dari dua teori gabungan, yaitu Diagram Ishikawa
dengan konsep Metode Sosioteknik.

Menurut Undang, Heri, dkk. (2021), Kerangka ID-SIM dibuat untuk memetakan masalah dan potensi
SWJ dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) melakukan 'pemetaan masalah ketimpangan
wilayah; (2) Metode yang dikembangkan adalah model pengembangan wilayah yang berwawasan
lingkungan (tidak mencemari lingkungan, berorientasi pada ekonomi hijau dan ekonomi biru) seperti
agribisnis, agroindustri, industri kelautan, dan ekowisata sehingga kawasan tersebut menjadi kawasan
agropolitan. Model “agropolitan” berbeda dengan model “metropolitan”. model pembangunan yang
mengakibatkan aglomerasi industri perkotaan dan cenderung merusak lingkungan biologis perkotaan;
(3) memetakan keunggulan komparatif regional; dan (4) atur Kerangka ID-StM.

Fokus analisis ID-StM berorientasi pada 5 indikator, yaitu 'metode', 'materi', 'mesin', dan 'manusia'.
Pertama, “indikator metode” adalah 'pisau analisis' untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkan
masalah berdasarkan fenomena lapangan yang menunjukkan bahwa model pembangunan daerah masih
bersifat kebijakan top-down, tidak melibatkan partisipasi masyarakat (bottom-up), pemerintah
kebijakan di bidang lingkungan hidup masih bersifat konseptual sehingga dapat berdampak pada
ancaman kerusakan lingkungan yang semakin meningkat dan ketimpangan antar daerah. Berawal dari
Kerangka ID-SIM, model pendekatan yang ditawarkan adalah pengembangan agropolitan, ekonomi
hijau, dan ekonomi biru (lingkungan non-polusi). Kedua, dari “indikator material” (potensi lokal),
sumber daya alam di sektor kelautan (pesisir Samudera Hindia), pertanian, perkebunan, perikanan,
peternakan, dan pariwisata masih belum dikelola secara optimal. Ketiga, "indikator mesin" (teknologi
pendukung dan teknologi tepat guna) seperti infrastruktur darat, laut, dan udara, serta fasilitas sosial
dan umum, masih sangat minim; fasilitas pendukung belum memadai. Keempat, “indikator
ketenagakerjaan” seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kompetensi masyarakat, dan kapasitas
aparatur masih sangat terbatas.Konsep ini dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah pusat dan
daerah dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan di Provinsi Jawa
Barat.

7. KESIMPULAN

Untuk pembangunan di Provinsi Jawa Barat, pemerintah memiliki beberapa kebijakan. Kebijakan
tersebut-khususnya untuk pengembangan kawasan SWJ- antara lain Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 87 Tahun 2021, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 28 Tahun 2010, dan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014. Berdasarkan kegiatan ekspedisi kami -
khususnya di PPW Palabuanratu, PPW Rancabuaya, dan PPW Pangandaran daerah ini memiliki
sumber daya alam yang melimpah seperti pariwisata, pertanian, perkebunan, dan peternakan, serta
potensi energi listrik. Namun, hasil evaluasi kami selama ekspedisi menunjukkan bahwa wilayah SWJ
masih mengalami ketimpangan pembangunan yang cukup ekstrim, terutama di bidang infrastruktur
pedesaan. Jika wilayah WWJ, CWJ, dan NWJ sudah menikmati jalan tol yang mulus dengan fasilitas
infrastruktur lainnya, infrastruktur pedesaan yang kami temukan masih menggunakan ojek bahkan
harus berjalan kaki. Dengan demikian, melimpahnya potensi sumber daya alam SWI “tidak berbanding
lurus” dengan tingkat kemajuan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat setempat. Jika dilihat dari
aspek evaluasi kebijakan, pemerintah perlu merumuskan kembali kebijakan untuk meminimalisir
ketimpangan ini. Hal ini sudah berlangsung selama dua belas tahun jika dihitung sejak ditetapkannya
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 28 Tahun 2010.

Untuk meminimalkan ketimpangan ini secara konseptual kami menawarkan: pertama, dari aspek
pengembangan potensi sumber daya alam, kami menawarkan tiga kerangka pengembangan untuk
PPW Palabuanratu, PPW Rancabuaya, dan infrastruktur baru untuk jalan vertikal pedesaan dan PPW
Pangandaran. Ketiga PPW tersebut memiliki masa depan untuk dikembangkan menjadi kawasan
agropolitan dan minapolitan (ekonomi hijau dan ekonomi biru). Kedua, dari aspek ketimpangan
infrastruktur, kami menawarkan konsep “Jamparing SWJ” (“Jamparing Jabsel”). Beberapa prioritas
infrastruktur dasar meliputi jalan darat (jalan tol dan kereta api), prasarana udara (bandara), dan
prasarana penunjang kawasan agropolitan dan minapolitan. Ketiga, dari aspek geopolitik dan
geostrategis, SWJ terletak di pesisir Samudera Hindia, sehingga berpotensi untuk dikembangkan
menjadi “poros maritim dunia baru”. Ketiga framework tersebut dilengkapi dengan framework dari
penelitian sebelumnya, yaitu Framework ID-SIM.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dan pemangku kepentingan yang
sangat peduli dalam mengembangkan SWJ. Kajian ini juga diharapkan berdampak pada peningkatan
daya saing produk unggulan lokal, pendapatan masyarakat miskin pedesaan, mobilitas barang dan jasa
dari pedesaan ke perkotaan dan dari perkotaan ke perdesaan, serta meningkatkan indeks infrastruktur
perdesaan.

Anda mungkin juga menyukai