Anda di halaman 1dari 211

EXECUTIVE SUMMARY

Hasil-hasil Penelitian Tahun 2006 Puslitbang Kesejahteraan Sosial

Editor Drs. Charles S. Talimbo, M.Si DR. Harry Hikmat, M.Si Penyusun Drs. Sutaat Dra. Indah Huruswati Drs. Bambang Pudjianto, M.Si Rusmiyati, SE Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si Drs. Anwar Sitepu, MP Sugiyanto, S.Pd, M.Si Drs. Nurdin Widodo Dra. Sri Gati Setiti Dra. Alit Kurniasari, MP Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DEPARTEMEN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

EXECUTIVE SUMMARY
Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2006 Puslitbang Kesejahteraan Sosial
Hak Cipta Setiap Tulisan pada : masing-masing Penulis Hak Cipta Penerbitan pada : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badiklit Kesos, Departemen Sosial RI. Jl. Dewi Sartika 200, Cawang III, Jakarta Timur Telp. (021) 8017146, Fax. (021) 8017126 Design Cover : Pradjwalita Setting & Layout : Sarif Hidayat

All Right Reserved Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Tidak dibenarkan memproduksi ulang setiap bagian artikel, ilustrasi dan isi buku ini dalam bentuk apapun juga, baik secara elektronik, fotokopi, mekanik, rekaman atau cara lain sebelum mendapat izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Executive Summary, Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Kesos / editor, Charles S. Talimbo, Harry Hikmat. iv + 205 hlm. ; 14,5 x 21 cm, (Executive Summary Tahun 2006)

ISBN : 978-979-5379-20-7
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia Jl. Dewi Sartika 200, Cawang III, Jakarta Timur Telp. (021) 8017146, Fax. (021) 8017126

KATA PENGANTAR
Selama tahun 2006 telah dilakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan untuk beberapa tema yang dinilai mendesak seperti Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasan yang Berbasis Institusi Lokal, Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan (Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan Keluarga), Evaluasi Program Subsidi Panti, Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan, Pengembangan Komunitas Peduli Anak, Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga Migran maupun Penelitian Diagnostik tentang Permasalahan Sosial di Kabupaten Nunukan, Pulang Pisau, Bone dan Manado. Selain itu, ada penelitian yang merupakan pengembangan salah satu metode untuk menentukan secara efektif data kemiskinan di suatu komunitas, yaitu Pemeringkatan Keluarga menurut Kondisi Sosial Ekonomi. Hasilnya telah dicetak dalam bentuk buku. Tetapi untuk memudahkan pembaca, terutama pihak eksekutif yang ingin memanfaatkan sebagai acuan berkaitan dengan penentuan kebijakan, maka kami berusaha menyajikannya dalam bentuk Executive Summary. Sudah barang tentu sajian ini lebih komunikatif. Dan bila pembaca memerlukan yang lebih spesifik dan detail, tidak ada salahnya menelaah buku-buku hasil penelitiannya. Kami percaya, eksekutif masa kini adalah tipe research minded karenanya setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada wangsit, tetapi melalui suatu proses kajian yang matang. Semoga. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Charles S. Talimbo NIP. 170011051


Puslitbang Kesos

DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................... 1. Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kabupaten Nunukan ( Drs. Sutaat ) .................................................................................. 2. Diagnosa tentang Permasalahan Sosial di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah ( Dra. Indah Huruswati ) ............................................................... Peta Masalah Sosial di Bone: Potensi, Problem dan Strategi Penanganannya ( Drs. Bambang Pudjianto, M.Si ) .................................................. Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Tomohon Tengah Kotamadya Tomohon - Minahasa ( Rusmiyati, SE ) ............................................................................. Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya Berbasis Institusi Lokal dan Berkelanjutan Di Era Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat ( Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si ) .................................................. Participatory Wealth Ranking, Sebuah Alternatif Teknik Indentifikasi dan Seleksi Sasaran Program Pemberdayaan Fakir Miskin ( Drs. Anwar Sitepu, MP ) ............................................................ Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan (Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan) ( Sugiyanto, S.Pd, M.Si ) ................................................................ i iii

25

3.

43

4.

65

5.

81

6.

99

7.

119

Puslitbang Kesos

iii

8.

Evaluasi Program Subsidi Panti dalam Mendukung Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial ( Drs. Nurdin Widodo ) .................................................................. Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan (Studi Kasus Pada Lima Wilayah di Indonesia) ( Dra. Sri Gati Setiti ) ....................................................................

129

9.

153 169 181 191 195 199

10. Pengembangan Komunitas Peduli Anak ( Dra. Alit Kurniasari, MP ) ....................................................... 11. Gender dan Keluarga Migran di Indonesia ( Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si ) ........................................... INDEKS .................................................................................................. SEKILAS EDITOR .............................................................................. SEKILAS PENYUSUN ......................................................................

iv

Puslitbang Kesos

DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL DI SEBATIK BARAT KABUPATEN NUNUKAN1


Drs. Sutaat 2 ABSTRAK
Kabupaten Nunukan sebagai salah satu daerah pemekaran memiliki permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, terutama belum tersedianya database yang akurat sebagai bahan penyusunan rencana program pembangunan di wilayahnya. Penelitian ini mencoba menggambarkan mendiagnosa kondisi dan permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di wilayah Nunukan, khususnya di Kecamatan Sebatik Barat sebagai daerah pemekaran baru. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosial budaya. Perwujudan kebudayaan sebagai perangkat pengetahuan tampak dalam kehidupan komuniti, berbentuk pranata sosial. Pranata sosial dapat dipahami sebagai sistem antar hubungan peran dan norma berkenaan dengan aktivitas yang dianggap penting oleh anggota komuniti. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa program pembangunan belum banyak menyentuh Sebatik Barat. Hal ini menjadikan wilayah tersebut jauh tertinggal dibanding wilayah lainnya. Akses penduduk pada pendidikan yang lebih tinggi masih terbatas. Hal ini terkait dengan keterbatasan infrastruktur yang ada. Masalah-masalah kesejahteraan sosial sebagian besar bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah, antara lain masalah fakir miskin, perumahan tidak layak huni, keterlantaran, dan keluarga rentan. Untuk itu, penelitian ini mengajukan rekomendasi antara lain: (1) guna memacu kemajuan wilayah dan penduduk diperlukan upaya perbaikan dan peningkatan infrastruktur yang ada, terutama sarana pendidikan dan transportasi/ perhubungan dalam pulau dan antar pulau; (2) Program-program sektor sosial bagi masyarakat berupa pemberdayaan masyarakat kurang mampu, perbaikan lingkungan dan perumahan, serta peningkatan fungsi dan peningkatan peran sumber-sumber kesejahteraan sosial (PSKS) Kata kunci: Masalah Sosial, Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
1

Ditulis dari hasil penelitian tentang Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, oleh Puslitbang Kesos, tahun 2006. Sutaat, Peneliti Madya pada Puslitbang Kesos, berpendidikan S1 bidang kesejahteraan sosial; berpengalaman dalam berbagai kegiatan penelitian, dan memimpin berbagai kegiatan penelitian di lingkungan Puslitbang Kesos, termasuk dalam penelitian tentang Diagnosa Permasalahan Sosial di Empat Kabupaten tahun 2005.

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Pendahuluan Hasil penelitian Puslitbang Usaha Kesejahteraan Sosial (Puslitbang UKS, 2005) menyebutkan bahwa berbagai permasalahan sosial yang dihadapi Kabupaten Nunukan sebagai daerah yang berbatasan dengan Malaysia, antara lain: masih terisolirnya sejumlah masyarakat yang tinggal di pedalaman dan perbatasan, sehingga sulit atau jauh dari sentuhan program pembangunan; masih terdapatnya pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten Nunukan yang belum dimanfaatkan atau belum punya nama; dan masih rendahnya taraf hidup masyarakat terutama bila dibandingkan dengan taraf kehidupan warga Malaysia di perbatasan. Perbedaan kebudayaan pada masing-masing komuniti akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap sesuatu. Perbedaan tindakan dan tingkah laku dalam menanggapi obyek yang sama dapat menimbulkan suatu masalah antara satu komuniti dengan komuniti lainnya, dan ini merupakan suatu dampak dari adanya masalah sosial yang terwujud sebagai tindakan kebudayaan. Oleh karena itu, secara umum kesejahteraan sosial dari masing-masing komuniti akan berbeda, begitu juga dengan pendefinisian terhadap kesejahteraan dan masalah sosial. Menurut konsep sosial budaya, masalah sosial hanya dapat diidentifikasi menurut cara pandang komuniti, yakni bagaimana komuniti tersebut memberikan makna pada gejala yang ada sebagai masalah sosial atau tidak. Dengan demikian, masalah sosial pada masyarakat tertentu belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat yang lainnya (Rudito, 2003). Komuniti adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap anggota-anggotanya (Warren, Cottrell dalam Ndaraha: 1990) Di lingkungan Departemen Sosial, individu-individu atau masyarakat yang mengalami masalah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dikenal sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Saat ini terdapat 27 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang telah diidentifikasi Departemen Sosial, antara lain: balita terlantar, anak terlantar, anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak nakal, anak jalanan, anak cacat, wanita rawan sosial ekonomi, wanita yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, lanjut usia terlantar, lanjut usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, 2
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

penyandang cacat, penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis, tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas narapidana, korban penyalahgunaan napza, keluarga fakir miskin, keluarga berumah tak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, komunitas adat terpencil, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, korban bencana alam, korban bencana sosial, pekerja migran terlantar, penyandang HIV/AIDS, dan keluarga rentan (Pusat Data dan Informasi Depsos, 2002). Guna mewujudkan kesejahteraan sosial, setiap masyarakat mempunyai berbagai potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan. Pengertian sumber menurut Max Siporin, adalah sesuatu yang bermanfaat, dapat dimobilisasi dan dapat digunakan sebagai alat dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah. Allan Pincus dan Anne Minahan (Dwi Heru Sukoco, 1991) membagi sistem sumber menjadi tiga kategori, yaitu: Sistem Sumber Informal atau Natural, Sistem Sumber Formal, Sistem Sumber Kemasyarakatan, yaitu rumah sakit, lembaga pendidikan, lembaga pelatihan kerja, tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Untuk mempertahankan kehidupannya, suatu masyarakat memanfaatkan dan mengorganisasikan semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas seperti aktivitas ekonomi, sosial, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong, dan sebagainya. Didalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial, potensi dan sumber kesejahteraan sosial merupakan faktor kekuatan/modal, sedangkan masalah kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai faktor kelemahan atau tantangan. Berdasarkan berbagai uraian tersebut di atas, permasalahan sosial akan ditangani secara sistematis dan tepat sasaran jika didasarkan pada data yang akurat dan reliabel. Disinilah letak pentingnya data tentang masalah kesejahteraan sosial sumber kesejahteraan sosial sebagai bahan dalam pengembangan kebijakan/program yang terarah dan komprehensif. Tersedianya data yang akurat dan reliabel akan menjadi acuan dalam penentuan kebijakan prioritas program pembangunan kesejahteraan sosial, sehingga pelaksanaan program pembangunan akan tepat sasaran dan tepat guna. Daerah pemekaran baru seperti halnya Nunukan, tampaknya mengalami masalah dalam hal penyediaan data (database) yang akurat mengenai permasalahan sosial serta sumberdaya yang ada di wilayahnya. Oleh karena itu, masih mengalami hambatan dalam merumuskan kebijakan dan program kesejahteraan sosial yang responsif terhadap kondisi yang
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

ada. Sementara itu Pemerintah Pusat belum mempunyai data yang cukup tentang potensi dan sumber serta permasalahan sosial, sehingga program pusat dirasa kurang responsif terhadap kebutuhan lokal. Sebagai akibatnya, pelayanan sosial dan kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya terjangkau. Sehubungan dengan itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial melaksanakan penelitian diagnostik tentang permasalahan sosial di daerah. Penelitiaan ini bertujuan untuk memperoleh data kualitatif tentang jenis permasalahan sosial serta potensi dan sumber daya sosial, serta upayaupaya penanganan yang pernah dilakukan di wilayah Kabupaten Nunukan. Dengan berbagai pertimbangan kebutuhan wilayah, lokasi penelitian ini difokuskan di Kecamatan Sebatik Barat sebagai salah satu kecamatan pemekaran yang terletak di daerah perbatasan.

Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Deskriptif dimaksud untuk mencari dan menggali persepsi yang ada dan berkembang di masyarakat; dengan menggali kenyataan sosial yang ada dan mengkaitkannya dengan budaya yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Informasi dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, diskusi, dan bahan-bahan dokumen. Informan penelitian ini adalah warga masyarakat dan tokoh masyarakat setempat, serta aparat pemerintah daerah yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan penelitian ini. Lokasi penelitian ini di Kabupaten Nunukan, khususnya di Kecamatan Sebatik Barat yang merupakan daerah pemekaran baru dan letaknya berbatasan dengan negara tetangga (Malaysia Timur). Keadaan Wilayah Lokasi Penelitian Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau di Provinsi Kalimantan Timur yang letaknya paling utara. Pulau ini terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian selatan merupakan wilayah Negara Republik Indonesia dan bagian utara merupakan wilayah Negara Malaysia Timur (Sabah). Sebatik Indonesia pada mulanya terdiri dari dua buah desa induk, yaitu Desa Setabu dan Desa Sungai Pancang. Perkembangan wilayah Desa Sungai Pancang relatif lebih maju dibandingkan Desa Setabu. Hal ini karena 4
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Sungai Pancang mempunyai akses yang lebih mudah dengan negara tetangga (Malaysia). Sementara itu, Desa Setabu yang letaknya di bagian barat menghadap Pulau Nunukan dan Daratan Kalimantan, memiliki infrastruktur transportasi ke Nunukan atau daratan Kalimantan relatif yang kurang memadai. Oleh karena itu, dari segi kemajuan wilayah Desa Setabu menjadi lebih lambat. Kecamatan Sebatik Barat yang berpusat di Desa Setabu terdiri dari empat desa, yakni Desa Setabu, Desa Binalawan, Desa Liang Bunyu, dan Desa Aji Kuning (letaknya berbatasan dengan Malaysia Timur). Desa Aji Kuning ini berbatasan dengan Desa Sungai Pancang (Sebatik Timur), dan karena itu desa ini merupakan desa di wilayah Sebatik Barat yang termasuk paling maju. Kecamatan Sebatik Timur yang semula merupakan induk Desa Sungai Pancang terdiri dari empat desa, yakni Desa Tanjung Karang, Sungai Pancang, Sungai Nyamuk, dan Desa Tanjung Aru. Gambar 1. Peta Wilayah Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Kependudukan Penduduk Kecamatan Sebatik Barat berjumlah 10.285 jiwa. Sementara itu jumlah penduduk Sebatik secara keseluruhan 30.947 jiwa. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa 1/3 jumlah penduduk Sebatik berada di Sebatik Barat, dan 2/3 lainnya merupakan penduduk Sebatik Timur. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa Sebatik Timur kondisinya lebih maju dari Sebatik Barat, baik dari segi ekonomi maupun sarana infrastruktur yang relatif lebih baik dan lengkap. Oleh karena itu, penduduk banyak terkonsentrasi di wilayah Timur yang jauh lebih maju. Kondisi seperti tersebut di atas tampak pula pada jumlah penduduk per kelurahan di Sebatik Barat, yakni Kelurahan Aji Kuning dengan jumlah penduduk terbesar (3.687 jiwa). Kondisi ini terkait dengan kemajuan Desa Aji Kuning yang jauh melebihi desa-desa lain di Sebatik Barat. Sejak dari awal penduduk Aji Kuning telah banyak mengadakan hubungan ekonomi perdagangan dengan negara tetangga (Malaysia).
Tabel 1. Penduduk Kecamatan Sebatik Barat
DESA Aji Kuning Setabu Binalawan Liang Bunyu JUMLAH REKAPITULASI HASIL PENDATAAN PENDUDUK TAHUN 2005 JUMLAH KEPALA JUMLAH JIWA RT/DUSUN KELUARGA RT DUSUN L P JML L P JML 17 4 908 51 959 1990 1697 3687 7 442 28 470 1156 1001 2157 6 359 14 373 1013 886 1899 11 530 28 558 1374 1168 2542 41 4 2239 121 2360 5533 4752 10285

Sumber : Monografi Kecamatan Sebatik, 2005.

Oleh karena itu, berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa banyak penduduk Aji Kuning yang merupakan eks TKI di Malaysia. Bahkan banyak di antara mereka masih mempunyai kerabat yang berada di Malaysia (terutama di Tawao). Beberapa warga mempunyai identitas ganda, yakni warga Indonesia dan warga Malaysia; atau warga negara Malaysia tetapi merupakan penduduk tetap Desa Aji Kuning. Tampaknya memang secara sosial budaya antara warga Aji Kuning dengan Tawao-Malaysia hampir tidak ada batas. Beberapa rumah warga ada yang sebagian berada di wilayah Indonesia dan sebagian lainnya berada di wilayah Malaysia, dan bahkan ada beberapa warga yang mendirikan rumah di atas tanah wilayah Malaysia.

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Pranata Kehidupan Masyarakat


1. Pranata Agama/Kepercayaan

Agama yang dianut penduduk Kecamatan Sebatik Barat sebagian besar Islam, sedangkan sebagian lainnya Kristen Katholik dan Protestan. Dengan demikian di lokasi kajian sarana ibadah yang ada meliputi bangunan Masjid, langgar, dan Rumah Kebaktian di perumahan penduduk. Semua tempat ibadah tersebut merupakan usaha swadaya masyarakat. Selain menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama, penduduk di Wilayah Kecamatan Sebatik Barat juga masih ada yang mengembangkan aliran kepercayaan Suku Bangsa Tidung. Suku Tidung adalah bagian dari Suku Dayak yang tinggal di Tarakan yang menempati daerah Pulau Sebatik, dan merupakan suku asli. Kepercayaan tersebut berupa pemberian semacam sesajen yang dilakukan oleh perorangan dengan cara mengirim doa melalui pemberian sesajen hewan potong yang dilabuh di tengah laut dan dekat dengan tempat tinggalnya. Acara menjalankan ritual adat/kepercayaan/religi yang dijalankan nenek moyang Suku Dayak. Penduduk yang menjalankan dan masih mengembangkan religi asli dari warisan nenek moyang mereka, walaupun banyak juga yang menganut Agama Islam dan Khatolik. Namun dalam kepercayaan orang Sebatik masih mempercayai adanya roh halus yang mendiami batu dan pohon besar dan menjaga sungai dan atau laut.
2. Pranata Keluarga/Kekerabatan

Dalam urusan perkawinan prinsip kekerabatan di lokasi kajian adalah tidak ada aturan yang mengikat, artinya dimana pihak laki-laki dan pihak perempuan mempunyai kebebasan untuk menentukan pasangan/pilihan hidup. Sedangkan untuk penyelenggaraan pesta perkawinan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan antara kedua keluarga besar. Dalam sistem kekerabatan yang masih dianggap kerabat dekat adalah kerabat sampai keturunan ketiga. Pada dasarnya, dalam suatu keluarga besar yang masuk dalam satu keluarga batih dan dikatakan masih memiliki ikatan yang kuat,
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

dapat mempersatukan kelompok mereka yang ditandai dengan adanya hak dan kewajiban antar anggota kerabat. Hak dan kewajiban anggota kerabat tersebut dapat dilihat dalam pola perkawinan, perawatan orang tua dan upacara kematian. Dalam Pola Perkawinan: sebagian besar penduduk mengikuti aturan Agama Islam, misalnya dilarang oleh penduduk apabila terjadi perkawinan: (1) antara anak laki-laki dan perempuan sesama saudara laki-laki sekandung; dan (2) perkawinan antara bapak dengan anak perempuannya. Tetapi jika terjadi perkawinan sepupu silang, yakni perkawinan antara anak laki-laki antara saudara sekandung laki-laki perempuan boleh dilakukan, karena hal tersebut dianggap bukan saudara sedarah seperti halnya dengan anak saudara laki-laki seayah. Dalam Pola Perawatan Orang Tua (lanjut usia). Jika salah satu orang tua atau salah satu anggota keluarga sakit maka seluruh anggota keluarga dilibatkan untuk membantu dan menanggung biaya perawatan yang telah dimusyawarahkan secara bersamasama. Akan tetapi untuk perawatan sehari-hari perawatan ditanggung oleh anak yang tinggal serumah, dan nantinya mewarisi tempat tinggal orang tuanya. Dalam hal kematian, pelaksanaan penguburan baru bisa dilaksanakan setelah anggota keluargganya kumpul terutama dua generasi ke atas dan ke bawah. yakni: anak-anak, saudara kandung, paman, bibi dari bapak maupun ibu. Jika ada peristiwa kematian maka semua warga masyarakat terlibat, baik dalam upacara pemakaman ataupun dalam pesta kendurinya/membaca doa. Untuk keperluan membaca doa dalam kenduri, keperluan untuk selamatan/kenduri setiap kepala keluarga akan memberikan sumbangan sesuai dengan kedekatan hubungan antara kepala keluarga dengan keluarga yang mengalami kematian.
3. Pranata Ekonomi

Keluarga-keluarga pada masyarakat Sebatik Barat dalam pemenuhan kebutuhan hidup, terutama pangan merupakan tanggung jawab bersama antara suami istri. Kebutuhan sandang dan keseluruhan bahan pangan diperoleh dari lingkungan sekitar dan dapat juga dari

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

luar desa, selain belanja langsung di pasar yang ada di wilayah kecamatan tersebut, dengan cara menjual hasil ladang, dan hasil tangkapan ikan/ nelayan, sesuai dengan mata pencaharian penduduk, dimana hasil dari mata pencaharian tersebut dimanfaatkan untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Jadi untuk mencari nafkah bukan sepenuhnya tanggung jawab seorang suami, istripun juga sangat berperan untuk memenuhi segala keperluan rumah tangga. Pasar yang biasa digunakan untuk menjual hasil-hasil pertanian/ tangkapan ikan dan membeli bahan kebutuhan pokok sehari-hari adalah pasar tradisional yang terdekat dengan tempat tinggal mereka. Pasar-pasar ini merupakan pasar keliling yang secara rutin mempunyai jadwal di tiap desa. Pasar pada masing-masing desa hanya aktif satu kali dalam satu minggu. Pedagang pasar tersebut sebagian besar berasal dari Nunukan. Mereka berkeliling ke desa-desa sesuai dengan jadwal pasar pada desa yang bersangkutan, misalnya untuk Desa Setabu pasar aktif pada hari minggu. Kebutuhan sayuran penduduk sehari-hari diperoleh dari penduduk setempat yang berdagang keliling membawa sayuran hasil kebunnya. Sementara untuk kebutuhan pokok lainnya diperoleh dari warung-warung yang ada di lingkungannya. Sistem pertanian penduduk Sebatik umumnya sudah menetap, dan tidak ada lagi sistem pertanian dengan cara ladang berpindah. Walaupun sebagian besar wilayah Kecamatan Sebatik Barat adalah hutan, namun hutan tersebut merupakan hutan lindung yang tidak diperkenankan untuk dikerjakan sebagai lahan pertanian penduduk. Sebagian dari mereka juga sudah mengenal sedikit model pertanian modern, seperti memakai pupuk kimia, pestisida dan adanya benih unggul. Namun demikian dari segi peralatan kerja umumnya masih menggunakan peralatan sederhana, seperti parang, linggis, pacul dan kampak. Perkebunan dan perikanan sudah mulai terarah dengan cara modern yakni dengan cara membuat keramba terapung, walupun masih ada juga nelayan tradisional. Sedangkan dalam hal peternakan masih bersifat tradisional, ternak mereka masih dibiarkan berkeliaran di kebun atau di jalan-jalan desa, dan tidak disiapkan kandang dan pakan secara khusus. Hasil tangkapan ikan dan hasil pertanian umumnya mereka jual ke Malaysia atau di pasar-pasar tradisional yang ada di
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

sekitar wilayah Sebatik Barat. Mereka jarang membawa dan menjual barang dagangannya ke Nunukan, karena biaya yang mahal dan belum lancarnya trasportasi umum.

Potensi dan Sumber Alam Berdasarkan informasi tokoh masyarakat setempat, di Sebatik sebenarnya terdapat sumber alam yang dapat mendukung kemajuan wilayah, yakni sumber minyak bumi, namun demikian hingga kini belum ada upaya untuk ekspolitasi sumber tersebut. Sumber alam yang sudah diolah saat ini adalah tanah pertanian/perkebunan. Hasil yang diperoleh saat ini dari pengolahan tanah yang merupakan hasil pertanian/perkebunan rakyat, adalah dari kebun coklat dan pisang. Kebun coklat dan pisang tersebut cukup luas dan memberikan hasil cukup besar bagi masyarakat Sebatik Barat. Jenis pisang di wilayah ini bagi masyarakat setempat dikenal dengan nama pisang sanggar (pisang goreng), karena umumnya disajikan dengan cara digoreng. Untuk masyarakat Jawa, pisang sanggar tersebut biasa dikenal sebagai pisang kepok. Menurut masyarakat setempat, hasil coklat dan pisang banyak dijual ke negara tetangga Malaysia (Tawao). Ada bebarapa hal yang mendorong mereka melakukan hal itu, pertama karena kebiasaan yang sudah lama mereka lakukan secara turun menurun untuk melakukan hubungan dagang dengan penduduk negara tetangga. Bahkan di antara mereka ada yang pernah tinggal dan punya kerabat yang berada di Malaysia dan mempunyai Identity Card (ID) Malaysia. Kedua, tampaknya masyarakat masih lebih mengutamakan kebutuhan ekonomi daripada kesadaran sebagai WNI. Hal ini tampaknya merupakan salah satu ciri masyarakat di daerah perbatasan. Ketiga, dari segi transportasi dan jarak serta waktu tempuh ke Tawao relatif lebih murah dan mudah dibandingkan ke Nunukan. Kenyataan yang ada saat ini, infrastruktur untuk jalur transportasi ke wilayah Indonesia masih kurang memadai. Jalan penghubung antar kecamatan kondisinya rusak, apalagi pada musim penghujan sulit dilalui kendaraan roda empat maupun roda dua. Sebelum masyarakat mengembangkan tanaman coklat, di Sebatik pernah dikembangkan tanaman kopi terutama saat permintaan kopi dari negara tetangga cukup besar. Setelah permintaan kopi dan harganya anjlok masyarakat mulai beralih pada tanaman coklat. 10
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Permasalahan Sosial Hasil penelitian ini mengidentifikasi ada tiga besaran permasalahan sosial di Sebatik Barat yang mendorong munculnya berbagai permasalahan kesejahteraan sosial, yakni masalah ketertinggalan, masalah infrastruktur yang kurang memadai, dan masalah potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang belum menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat. Masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Masalah Ketertinggalan

Sebatik merupakan pulau terluar dan terbagi menjadi dua wilayah negara yaitu sebelah Utara Wilayah Malaysia (Sabah), dan sebelah Selatan Wilayah Indonesia (Provinsi Kalimantan Timur). Kondisi yang demikian menjadikan penduduk Sebatik tidak terlepas dari pengaruh kehidupan masyarakat negara tetangga. Pada satu sisi, penduduk Sebatik mendapat imbas kemajuan ekonomi dari penduduk negara tetangga. Pada sisi lain, ada ketergantungan masyarakat dengan negara tetangga, misalnya dalam pemasaran hasil dan pemenuhan kebutuhan rumahtangga. Ketergantungan masyarakat pada negara tetangga dapat mengurangi rasa kebangsaan dan nasionalisme. Mereka akan lebih mementingkan kebutuhan ekonomi daripada memperhatikan kedudukannya sebagai warga negara Indonesia. Hal ini tampak dari informasi yang diperoleh bahwa beberapa penduduk Sebatik, terutama yang dekat dengan perbatasan mempunyai ID ganda. Alasan mereka adalah untuk kemudahan hubungan dengan masyarakat negara tetangga yang dirasakan memberikan banyak keuntungan. Sementara itu, akses komunikasi dan transportasi ke wilayah Indonesia masih kurang memadai, sehingga sebagian besar penduduk seolah-olah kurang menyatu dan berinteraksi secara intensif dengan penduduk lainnya di wilayah Indonesia. Hal ini menjadikan Sebatik Barat tertinggal dalam berbagai pembangunan, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Masalah-masalah kesejahteraan sosial yang biasanya terkait dengan daerah tertinggal antara lain rendahnya kemampuan ekonomi, rendahnya pendidikan, dan rendahnya kualitas hidup. Demikian pula yang terjadi di Sebatik Barat, tampak dari besarnya populasi keluarga kurang mampu (kecuali miskin). Masalah yang terkait dengan rendahnya
Puslitbang Kesos

11

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

kemampuan ekonomi tampaknya cukup besar, seperti rumah tidak layak huni, keterlantaran, dan wanita rawan sosial ekonomi. Meskipun tidak semua keluaga miskin berkaitan dengan kondisi rumah, namun beberapa kasus keluarga miskin di Kecamatan Sebatik Barat, umumnya bertempat di rumah yang layak huni. Penjelasan dari kasus dimaksud adalah bila kita lihat pada status rumah atau kepemilikan rumah. Beberapa kasus keluarga miskin menunjukkan bahwa mereka menempati rumah yang bukan milik sendiri, tetapi miliki kerabat atau warisan dari orangtuanya. Ada beberapa jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang hampir ada di setiap desa, yaitu keluarga miskin, fakir miskin, wanita rawa sosial ekonomi, lanjut usia, penyandang cacat, dan rumah tidak layak huni. Masalah-masalah tersebut tampaknya berkaitan dengan kondisi kemiskinan. Namun demikian dapat dikatakan bahwa penduduk miskin Sebatik Barat untuk pemenuhan kebutuhan pangan belum merupakan hal yang serius (belum kritis). Kemiskinan yang mereka alami adalah kekurangmampuan dalam hal pemenuhan kebutuhan lainnya, misalnya pendidikan keluarga, partisipasi iuran warga, dan penyediaan rumah yang layak huni. Tabel 2. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Tiap Desa di Kecamatan Sebatik Barat, Tahun 2006
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14. Jenis PMKS Balita Terlantar Anak Terlantar Anak Nakal Anak Cacat Wanita Rawan Sosial Ekonomi LU Terlantar Penyandang Cacat Cacat Bekas Sakit Kronis Pengemis Eks Napi Keluarga Fakir Miskin Rumah Tidak layak Huni Kel. Bermasalah Psikologi Keluarga miskin Aji Setabu Kuning 14 22 38 8 10 4 8 47 45 57 31 6 13 7 3 3 9 7 58 346 1 2 38 674 Desa Binalawan 19 37 8 7 27 173 Liang Bunyu 2 5 10 58 11 13 5 30 228 Jml 14 62 18 17 121 183 38 20 8 3 23 461 3 1.113

12

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Hal yang menguntungkan bagi masyarakat Sebatik adalah kondisi tanah yang relatif subur, menghasilkan komoditi pertanian yang cukup besar seperti pisang, coklat, dan kopi. Hambatan yang dialami untuk memperoleh pendapatan tinggi dari sektor pertanian, terutama kurangnya posisi tawar dengan konsumen di negara tetangga; petani hampir tidak pernah dapat menentukan harga jual hasil pertaniannya. Menurut penduduk Sebatik, kasus komoditi kopi yang pernah memberikan penghasilan cukup besar, namun dengan berkurangnya dan bahkan berhentinya permintaan kopi dari negara tetangga menjadikan harga kopi anjlok. Dampaknya adalah sebagian besar mereka membabat kebun kopi untuk diganti dengan tanaman lainnya, atau membiarkan kebun kopinya tidak terurus. Sumber laut Sebatik (perikanan) sebenarnya cukup memberikan harapan, namun penduduk setempat masih menggunakan perahu tradisional ukuran kecil dan dengan peralatan yang sederhana, sehingga kalah bersaing dengan nelayan dari negara tetangga. Beberapa nelayan memperoleh peralatan dan modal dari penduduk negara tetangga, tapi dengan konsekuensi harus menjual tangkapannya kepada mereka. Oleh karena itu, selama peneliti ada di lokasi tidak melihat adanya hasil laut yang berlimpah di pasar/warung lokal. Bahkan terkesan sulit memperoleh ikan dari pasar lokal.
2. Masalah Keterbatasan Infrastruktur

Sebatik sebagai wilayah yang tergolong daerah tertinggal mempunyai keterbatasan infrastruktur, seperti sarana perhubungan, komunikasi, penyediaan air bersih, sarana pendidikan, dan sarana kesehatan. Prasarana dan sarana kesehatan yang ada di wilayah Kecamatan Sebatik Barat saat ini hanya ada dua puskesmas, yakni satu Puskesmas di Desa Setabu dan satu Puskesmas di Desa Aji Kuning, dengan jumlah dokter masing-masing satu orang. Dengan demikian, penduduk mengalami hambatan dalam mengakses fasilitas kesehatan yang ada. Hal ini merupakan permasalahan sendiri bagi penduduk Sebatik Barat dalam mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, banyak penduduk Sebatik Barat yang masih mengandalkan pengobatannya pada bantuan dukun melalui cara-cara tradisional, yang dalam bahasa daerah/lokal disebut tatamba. Tatamba
Puslitbang Kesos

13

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

juga merupakan kebiasaan adat (ritual) pengobatan bagi penduduk yang terkena bisa ular, tenung yaitu cara penyembuhannya disembur dengan air putih yang sudah diberi doa. Menurut mereka si sakit sembuh karena izin dari Allah. Beberapa cara tradisional lainnya masih sering dilakukan penduduk, misalnya pengobatannya dengan cara mengunyah pucuk daun jambu dan nangka, merebus akar alang-alang, cabe rawit, butuh (kemaluan) tupai, lalu diminum. Tabel 3. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Sebatik Barat Tahun 2006
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jenis Fasilitas Puskesmas Polindes Posyandu Dokter Perawat/Mantri Bidan Dukun Desa Setabu 1 4 1 5 3 2 Aji Kuning 1 4 1 1 Binalawan 1 3 9 Liang Bunyu 1 4 1 1 7 Jml 2 2 15 2 6 5 18

Kondisi tanah yang berbukit-bukit, sedikit sumber air, dan dekat dengan laut menyebabkan kualitas air tanah maupun air pemukaan sangat rendah. Oleh karena itu, penduduk Sebatik mengalami permasalahan dalam penyediaan air bersih. Sumber air bersih utama masyarakat saat ini adalah air hujan. Sehingga pada musim kemarau penduduk mengalami kekurangan air bersih. Saat tidak ada hujan, sumber air bersih yang ada meskipun rendah kualitasnya adalah sumur umum dekat sungai yang mulai mengering. Untuk itu, penduduk harus mengangkut air dari sumber tersebut bagi kebutuhan rumahtangganya. Sarana jalan darat yang ada di Sebatik, baik jalan antar kecamatan maupun antar desa sebagian besar berupa jalan darurat (jalan tanah dan pasir batu). Jalan aspal baru mencapai jarak sekitar 2 km di Desa Setabu (ibukota kecamatan). Sebagian jalan-jalan di Sebatik terutama pada musim penghujan sulit dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Sementara itu, jumlah sarana angkutan umum yang ada masih terbatas dan dengan biaya yang cukup mahal. Kondisi seperti itu menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk Sebatik, yakni mobilitas penduduk antar desa/kecamatan sangat terbatas, termasuk masalah pengangkutan hasil pertanian/perkebunan penduduk.

14

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Saat ini angkutan laut (perahu motor) ke Nunukan tiap hari umumnya hanya dua trip (berangkat pagi dan pulang siang hari), dan dengan jumlah yang terbatas. Untuk ke Nunukan sekali jalan beaya yang harus ditanggung per orang antara Rp. 10.000,- s/d Rp. 20.000,- tergantung dari banyaknya penumpang, makin banyak penumpang akan semakin murah biayanya. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah Nunukan untuk menciptakan sarana perhubungan yang relatif mudah dijangkau masyarakat dan dengan frekuensi yang cukup memadai. Sarana pendidikan yang ada saat ini masih terbatas, beberapa desa hanya mempunyai sekolah sampai SD. Untuk wilayah Sebatik Barat, sekolah lanjutan pertama (SMP) hanya ada dua yakni satu di Desa Setabu dan satu di Desa Aji Kuning. Sehingga bagi anak-anak penduduk desa lainnya harus menempuh jarak cukup jauh bila ingin melanjutkan pendidikan pada tingkat SMP. Saat ini sekolah lanjutan atas baru ada di Kecamatan Sebatik Timur, yakni sekolah milik swasta. Sekolah lanjutan atas negeri hanya ada di Nunukan. Kondisi seperti ini menyebabkan banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk melanjutkan sekolah, baik karena masalah jarak lokasi maupun kemampuannya yang terbatas. Oleh karena itu, hanya beberapa anak, khususnya dari golongan mampu yang dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian, dari segi pendidikan penduduk Sebatik Barat sebagian besar rendah (hanya mencapai tingkat Sekolah Dasar. Tabel 4. Sarana Pendidikan di Kecamatan Sebatik Barat Tahun 2006
No. 1. 2. 3. 4. Jenis Fasilitas Pendidikan TPA Sekolah Dasar SLTP Kejar Paket A, B Jumlah Desa Setabu 3 1 1 5 Aji Kuning 1 3 1 5 Binalawan 4 1 5 Liang Bunyu 2 1 2 5 Jml 10 11 2 2 25

Saran komunikasi telepon kabel dan telepon umum di wilayah Sebatik Barat hingga saat ini belum tampak kehadiranya. Sementara ini, penduduk banyak menggunakan sarana telepon seluler yang jaringanya masih terbatas. Kepemilikannya juga masih terbatas pada penduduk yang tergolong cukup mampu. Jaringan/siaran televisi dan
Puslitbang Kesos

15

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

radio sebagian sudah dapat ditangkap penduduk meskipun masih terbatas. Namun demikian masuknya jaringan/siaran televisi asing (negara tetangga) tampaknya tidak bisa dihindarkan mengingat letaknya yang cukup dekat. Bila siaran televisi Indonesia tidak lebih kuat, maka dapat menghambat masuknya informasi nasional dalam kehidupan masyarakat Sebatik.
3. Masalah Pontensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial

Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial merupakan hal yang penting dalam menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial ini dapat berwujud lembaga sosial maupun individu-individu yang peduli terhadap usaha-usaha kesejahteraan sosial. Jenis Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang mencakup kelompok/lembaga sosial dan perorangan dapat dijelaskan seperti berikut: Perkumpulan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kelompok ini beranggotakan ibu-ibu rumahtangga yang memiliki anak balita. Kelompok ini dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa dari pemerintah. Tujuan kelompok ini untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. Kegiatannya berupa pemeriksaan kesehatan balita, menimbang balita, penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana serta peningkatan gizi keluarga. PKK, Kelompok ini dibentuk atas prakarsa pemerintah, beranggotakan kaum wanita terutama ibu rumahtangga. Tujuan kelompok ini adalah peningkatan kesejahteraan keluarga melalui berbagai kegiatan seperti arisan, simpan pinjam, tabungan, gotong royong, dan usaha ekonomis produktif. Lembaga ini mempunyai jangkauan wilayah berjenjang dari tingkat Rukun Tetangga, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Karang Taruna/kelompok pemuda. Kelompok ini merupakan organisasi pemuda pada tingkat lokal. Inisiasi pembentukan Karang Taruna oleh masyarakat, dan secara fungsional berada dalam pembinaan Departemen Sosial. Anggotanya sebagian besar remaja dan beberapa orang dewasa, dengan usia berkisar antara 19 tahun sampai dengan usaia 40 tahun. Kelompok pemuda ini pada umumnya memiliki kegiatan edukatif, ekonomis produktif dan

16

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

rekreatif. Namun demikian kondisi saat ini sebagian besar tampaknya kurang aktif. Kelompok Tani dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa pemerintah dalam upaya peningkatan hasil pertanian. Kelompok ini beranggotakan para petani dan memiliki kegiatan mulai dari pengolahan tanah, bertanam sehingga diperoleh peningkatan hasil pertanian. Pengajian/majlis taklim dibentuk oleh masyarakat untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi kaum muslim. Kegiatan yang dilakukan kelompok ini diantaranya adalah mengadakan pengajian dan pembinaan mental keagamaan. Arisan keluarga. Kelompok ini dibentuk masyarakat merupakan wadah silaturahmi, umumnya beranggotakan sejumlah Kepala Keluarga dari etnis tertentu. Arisan ini digunakan sebagai sarana tukar informasi dan saling memberikan pemikiran tentang permasalahan yang dihadapi anggota. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat, merupakan individu-individu yang berasal dari masyarakat setempat. Pembentukannya oleh inisiatif pemerintah dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial. Mereka bekerja secara mandiri, kelompok maupun bersama dalam wadah lembaga sosial dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungannya. Kelompok kesenian terdiri dari sekumpulan warga masyarakat yang mempunyai minat dan bakat dibidang kesenian baik itu kesenian tradisional maupun modern. Kelompok ini memiliki kegiatan latihan rutin dan pentas untuk mengisi acara permintaan atau acaraacara tertentu, misalnya pada upacara pernikahan dan peringatan hari-hari besar nasional. Kegiatan kesenian tradisional yang terkenal adalah tarian Jepin yang dilakukan secara berpasangan laki-laki dan perempuan. Pakaian yang digunakan adalah pakaian adat setempat. Berdasarkan observasi dan hasil diskusi dengan warga masyarakat setempat menunjukkan bahwa kondisi PSM dan KT di Sebatik Barat
Puslitbang Kesos

17

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

saat ini dapat dikatakan kurang aktif lagi. Hal ini menurut mereka disebabkan kurangnya bantuan dan pembinaan dari pemerintah terhadap sumber-sumber tadi. Saat ini tampaknya PSM dan KT yang merupakan andalan sektor sosial lepas dari perhatian Kantor Sosial setempat. Pembinaan terhadap kelompok-kelompok sosial masyarakat di Kabupaten Nunukan dapat dikatakan masih sangat rendah. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam kegiatan pembinaan, terutama karena faktor lokasi yang sulit dijangkau dan dukungan lainnya yang masih terbatas. Organisasi-organisasi sosial lokal saat ini mempunyai kegiatan yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan arisan, gotong royong dan pembinaan mental keagamaan. Tampaknya mereka belum tergugah dan kurang memahami pentingnya peran mereka dalam penanganan masalahan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Hal ini antara lain disebabkan kondisi SDM yang relatif rendah (sebagian besar pendidikan SD), dan minimnya sumber dana maupun informasi yang mereka miliki. Penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kecamatan Sebatik Barat saat ini masih kekurangan sumber yang dapat diakses oleh mereka. Panti-panti sosial yang ada di Kabupaten Nunukan jumlah maupun jangkauannya masih terbatas. Apalagi panti-panti rehabilitasi sosial atau lembaga rehabiliasi sosial lainnya bagi penyandang cacat saat ini belum ada di wilayah Kabupaten Nunukan. Sementara itu organisasi-organisasi sosial yang ada di Kabupaten Nunukan belum menjangkau wilayah Sebatik. Sehingga banyak penyandang masalah yang tidak memperoleh pelayanan yang memadai.

Upaya yang Telah Dilakukan Bila memperhatikan data PMKS seperti telah dikemukakan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa permasalahan sosial yang ada erat kaitannya dengan ketidakmampuan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, upaya-upaya peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat akan selalu terkait dengan upaya peningkatan dari segi ekonomi atau pendapatan penduduk. Beberapa upaya pemerintah yang masuk ke Sebatik berdasarkan informasi tokoh-tokoh setempat, adalah upaya pemberdayaan keluarga 18
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

miskin berupa bantuan stimulan ekonomi produktif melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan bantuan perbaikan rumah penduduk. Dari hasil observasi tampaknya KUBE tersebut tidak lagi terlihat kegiatannya. Hal ini antara lain disebabkan kurang/tidak adanya pembinaan secara rutin dari penyelenggara program/kegiatan. Upaya penduduk sendiri untuk menanggulangi masalah kesejahteraan sosial dilakukan melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk, seperti kelompok kematian, arisan, dan kelompok-kelompok yang berbasis RT. Namun demikian masih sangat terbatas kualitas maupun jangkauannya. Tampaknya penanggulangan masalah kesejahteraan sosial di Sebatik Barat masih memerlukan campur tangan dari luar, misalnya peranserta LSM/ Orsos dan peran pemerintah pusat maupun daerah. Hingga saat ini belum terlihat peran LSM/Orsos dalam usaha kesejahteraan sosial.

Kesimpulan dan Saran Program pembangunan belum banyak menyentuh Sebatik Barat, menjadikan wilayah ini masih tertinggal dibanding wilayah lainnya. Masih minimnya infrastruktur yang ada, terutama sarana air bersih, pendidikan, transportasi dan komunikasi, menjadikan mobilitas penduduk antar desa/ kecamatan sangat terbatas, dan akses pada pendidikan yang lebih tinggi terbatas. Masalah kesejahteraan sosial umumnya bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah; kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang jauh tertinggal dengan harga barang kebutuhan yang relatif cukup tinggi. Masalah kesejahteraan sosial yang cukup menonjol adalah kemiskinan, masalah rumah tidak layak huni, wanita rawan sosial ekonomi, dan keterlantaran. Masalah-masalah ini sebenarnya bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah, kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi jauh tertinggal dengan harga barang kebutuhan yang relatif cukup tinggi. Potensi dan sumber kesejahteraan sosial setempat, seperti Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan Karang Taruna (KT) saat ini kurang aktif melaksanakan fungsinya. Hal ini antara lain karena kurangnya pembinaan dari pemerintah setempat terhadap sumber-sumber tersebut. PSM dan KT yang merupakan andalan sektor sosial tampaknya lepas dari perhatian
Puslitbang Kesos

19

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

pemerintah setempat. Organisasi-organisasi sosial lokal mempunyai kegiatan yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan arisan, gotong royong dan pembinaan mental keagamaan. Tampaknya mereka belum tergugah dan kurang memahami pentingnya peran mereka dalam penanganan masalahan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Guna memacu kemajuan kehidupan masyarakat Sebatik, diperlukan upaya perbaikan dan peningkatan infrastruktur yang ada, terutama sarana pendidikan, komunikasi, dan transportasi/perhubungan dalam pulau dan antar pulau. Diharapkan dengan mudahnya akses pendidikan dan transportasi/perhubungan bagi penduduk akan mempunyai dampak terhadap peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat. Untuk itu, maka diperlukan program-program yang terpadu antar instansi (Dinas-Dinas), antara lain: a. Program-program sektor sosial yang diperlukan adalah upaya pemberdayaan penduduk miskin, perbaikan lingkungan dan perumahan, serta peningkatan fungsi dan peran sumber-sumber kesejahteraan sosial lokal agar mampu berperan dalam pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Untuk meningkatkan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan formal diperlukan sarana pendidikan yang berkaitan dengan lembaga pendidikan, buku-buku pelajaran dan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak terlantar. Mengingat keterbatasan lembaga pelayanan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, antara lain lembaga pelayanan dalam bentuk panti rehabilitasi sosial, maka perlu dipertimbangkan oleh pusat maupun pemerintah daerah (Instansi Sosial) untuk mendirikan pantipanti rehabilitasi sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan upaya ini, pemerintah daerah setempat perlu secara berkesinambungan melakukan pembaharuan data permasalahan kesejahteraan sosial, agar dengan demikian pemerintah daerah akan selalu mempunyai data yang akurat dan up to date bagi perencanaan pembangunan.

b.

c.

d.

20

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

e.

Wilayah Sebatik yang berbatasan langsung dengan negara lain, mempunyai posisi strategis terhadap kesatuan wilayah NKRI. Untuk itu, maka baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu lebih ekstra membangun wilayah yang bersangkutan, baik fisik maupun non fisik. Dengan demikian, diharapkan tidak lagi menjadi daerah tertinggal dan menjadi salah satu daerah perbatasan yang dapat diandalkan Pemerintah RI.

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Nunukan dengan BPS Kabupaten Nunukan, 2002, Kabupaten Nunukan dalam Angka Tahun 2002, BPS, Nunukan. Departemen Sosial, 2002, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, Pusdatin, Jakarta. Dwi Heru Sukoco, 1991, Profesi Pekerja Sosial, Bandung, STKS Press Kecamatan Sebatik Barat, 2005, Monografi Kecamatan Sebatik Rudito, Bambang dkk, 2004, Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development, ICSD, Jakarta. Taliziduhu, Ndraha, 1990, Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Rineke Cipta, Bandung.

Puslitbang Kesos

21

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Lampiran 1
Jenis PMKS dan Kriteria Menurut Masyarakat Lokal di Kecamatan Sebatik Barat Tahun 2006
No. 1. Jenis PMKS Balita Terlantar Kriteria anak usia 0 5 tahun, berasal dari keluarga kurang mampu, dan kurang atau tidak terpenuhi kebutuhannya secara memadai. anak usia 6 12 tahun, yatim atau yatim piatu, orangtua tidak mampu secara ekonomi, hanya mampu mendapatkan pendidikan sampai SD. anak usia 15 21 tahun, sering mengkonsumsi alkohol, sering menggunakan obat-obat terlarang, dan mengganggu orang lain/lingkungan. anak usia 6 21 tahun, menderita cacat karena bawaan atau kecelakaan, mengalami hambatan dalam beraktivitas. wanita, janda, usia produktif, kondisi ekonomi kurang mampu, mempunyai tanggungan anak usia sekolah, kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. laki-laki atau perempuan usia 60 tahun ke atas, tidak produktif lagi, tergantung pada bantuan orang lain, keluarga kurang mampu memberikan pelayanan. orang dewasa, cacat bawaan atau karena kecelakaan, mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas seharihari. orang dewasa, cacat akibat penyakit, seperti stroke, katarak dsb, hidupnya tergantung dari bantuan orang lain. anak-anak atau dewasa, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan meminta-minta, tidak punya pekerjaan tetap. orang dewasa, telah selesai menjalani hukuman karena pelanggaran lalu lintas, tidak mempunyai pekerjaan tetap. keluarga dengan penghasilan tidak tetap, kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarga, tidak mampu membiayai pendidikan anak, pendidikan keluarga paling tinggi SD, rumah darurat atau kondisinya kurang sempurna. Dinding tidak sempurna, banyak yang bolong, lantai tidak sempurna/lantai kayu banyak yang rusak, atap dari daun atau dari seng tapi rusak, dan kurang sehat. kurang harmonis, suami isteri sering bertengkar, biasanya terkait dengan masalah-masalah ekonomi. keluarga dengan penghasilan tetap, sering mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, hanya mampu membiayai pendidikan anak pada tingkat SD. Jumlah 14

2.

Anak Terlantar

62

3.

Anak Nakal

18

4. 5.

Anak Cacat Wanita Rawan Sosial Ekonomi LU Terlantar

17 121

6.

183

7.

Penyandang Cacat Cacat Bekas sakit Kronis Pengemis

38

8. 9.

20 8

10. 11.

Eks Napi Keluarga Fakir Miskin

3 23

12. 13. 14.

Rumah Tidak layak Huni Kel. Bermasalah Psikologi Keluarga miskin

461 3 1.113

22

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Lampiran 2

PETA WILAYAH
1. Peta Wilayah Desa Aji Kuning

2.

Peta Wilayah Desa Binalawan

Puslitbang Kesos

23

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

3.

Peta Wilayah Desa Setabu

4.

Peta Wilayah Desa Liang Bunyu

24

Puslitbang Kesos

DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL DI KABUPATEN PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH1


Dra. Indah Huruswati 2 ABSTRAK
Kabupaten Pulang Pisau merupakan sebuah Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Kapuas yang diresmikan pada tahun 1999. Dampak dari pemekaran tersebut, Kabupaten ini dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain permasalahan sumber daya manusia yang belum memadai, masalah administrasi yang belum tertata dengan baik, sarana dan prasarana infrastruktur yang masih kurang, serta masalah kesejahteraan sosial yang semakin merebak. Pemerintah Daerah berupaya menata kembali sistem administrasi wilayahnya, salah satunya adalah dengan menyediakan data dasar (database) yang akurat dan reliable tentang permasalahan sosial serta sumberdaya, yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan prioritas program pembangunan kesejahteraan sosial, sehingga pelaksanaan program pembangunan di Kabupaten ini dapat terwujud secara tepat sasaran dan tepat guna. Upaya penyediaan database tersebut, dilakukan melalui penelitian kerjasama antara Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial - Departemen Sosial RI dengan Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau - Kalimantan Tengah pada pertengahan tahun 2006 lalu. Penelitian dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pandih Batu dan Maliku yang dipilih berdasarkan keragaman masalah sosial dan potensi yang dimiliki. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa permasalahan sosial yang paling menonjol adalah masalah fakir miskin (kemiskinan), keluarga rentan dan keluarga berumah tidak layak huni, selain juga anak terlantar. Kriteria permasalahan sosial serta potensi, diungkapkan dalam hasil penelitian ini berdasarkan pandangan masyarakat lokal sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang mereka miliki. Kata kunci: Permasalahan Sosial

Tulisan ini diangkat dari penelitian Diagnosis Permasalahan Sosial di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah, dengan tim penelitian Drs. Moch. Syawie, MSc; Dra. Endang Kironosasi, M.Si. Indah Huruswati, Peneliti Muda pada Puslitbang Kessos, Badiklit Kesejahteraan Sosial

Puslitbang Kesos

25

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Pendahuluan Sejak dicanangkannya otonomi daerah yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun 1999 (yang diperbaharui menjadi UndangUndang No. 32 tahun 2002) tentang Pemerintahan Daerah, terjadi pemekaran pada beberapa wilayah di Indonesia. Tentunya berdampak pada perubahan status administrasi pada wilayah-wilayah tersebut. Beberapa wilayah yang semula merupakan kecamatan berubah menjadi kabupaten karena dianggap telah memenuhi persyaratan administrasi, kewilayahan dan sumberdaya manusia serta sumberdaya alam dan ekonomi. Pulang Pisau yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Kapuas menjadi kabupaten baru (pemekaran). Dampak dari pemekaran tersebut, Kabupaten Pulang Pisau dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain permasalahan sumber daya manusia yang belum memadai, masalah administrasi yang belum tertata dengan baik, sarana dan prasarana infrastruktur yang masih kurang, masalah kesejahteraan sosial yang semakin merebak serta permasalahan lainnya. Dalam kaitan dengan penataan kembali wilayah pemekaran ini tentunya memerlukan data dasar (database) yang akurat dan reliable sebagai dasar dalam menyusun perencanaan program pembangunan di wilayah tersebut, sehingga proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya serta dapat berlangsung secara berkesinambungan. Sementara itu data dasar (database) mengenai permasalahan sosial serta peta sumberdaya yang ada di wilayah yang bersangkutan belum dimiliki oleh Pemerintah Daerah setempat. Terkait dengan Pemerintah Pusat, dengan kurangnya data dan peta permasalahan sosial, sumber daya sosial, ekonomi dan alam yang bercirikan masyarakat lokal, tentunya akan berpengaruh pada program pusat yang dampaknya tidak mampu mengakomodir kebutuhan daerah. Akibat lebih lanjut adalah pelayanan sosial dan kebutuhan masyarakat tidak dapat sepenuhnya terjangkau. Padahal segala permasalahan sosial dapat diatasi secara sistematis dan tepat sasaran jika didasarkan pada data yang akurat dan reliable. Disinilah letak pentingnya data tentang masalah kesejahteraan sosial dan sumber kesejahteraan sosial sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan yang 26
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

terarah dan komprehensif. Tersedianya data yang akurat dan reliable akan menjadi acuan dalam penentuan kebijakan prioritas program pembangunan kesejahteraan sosial, sehingga pelaksanaan program pembangunan di Kabupaten Pulang Pisau dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut akan tepat sasaran dan tepat guna. Berdasarkan permasalahan tersebut, Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial Departemen Sosial RI bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau - Kalimantan Tengah melakukan Penelitian Diagnosa Permasalahan Sosial ini, sebagai langkah awal upaya identifikasi sekaligus menemukenali secara lebih dalam permasalahan yang dihadapi daerah. Pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Apa dan bagaimana jenis penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian? Bagaimana kriteria dan karakteristik penyandang masalah kesejahteraan sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian? Program kesejahteraan sosial apa saja yang selama ini dilaksanakan di Kabupaten Pulang Pisau?

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) diperolehnya data kualitatif tentang jenis penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam sebagai data dasar di lokasi penelitian; (2) diperolehnya data kualitatif tentang kriteria dan karakteristik penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian; (3) diperolehnya gambaran mengenai lokasi dan peta penyandang masalah kesejahteraan sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian; dan (4) diperolehnya gambaran tentang programprogram penanggulangan permasalahan sosial yang pernah dilaksanakan di lokasi penelitian. Masalah kesejahteraan sosial dapat terjadi di setiap wilayah dan disebabkan oleh berbagai hal yang saling berkait. Faktor penyebab masalah kesejahteraan sosial dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal sekaligus. Faktor internal pada umumnya menunjuk pada sistem sosial yang mengandung benih ketimpangan struktural dalam masyarakat. Biasanya terdapat segolongan masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap peluang-peluang sosial ekonomi, sehingga menjadi rentan terhadap masalah
Puslitbang Kesos

27

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

kesejahteraan sosial. Keterbatasan aset produksi dapat juga menyebabkan kemiskinan, kemiskinan menyebabkan kurang pangan dan gizi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental. Dalam kaitannya dengan faktor eksternal, bisa termasuk intervensi pemerintah, lembaga pemerintah dan pengusaha swasta. Intervensi program dari pemerintah yang pada awalnya bertujuan intervensi pemecahan masalah, ternyata justru menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dan/atau menimbulkan suatu jenis masalah yang sebelumnya tidak ada dalam masyarakat (Dove, 1985) Secara potensial setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengatasi masalah kesejahteraan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Potensi kesejahteraan sosial tersebut ada dalam bentuk sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial yang berupa kemampuan mengorganisir sumber daya alam atau manusia atau perpaduan keduanya. Untuk mempertahankan kehidupannya, masyarakat memanfaatkan dan mengorganisasikan semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas seperti aktivitas ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong dan sebagainya.

Metode Penelitian Penelitian diagnostik yang dilakukan merupakan proses mengenal pasti penyakit melalui tanda penyakit, simptom dan hasil pelbagai langkah diagnostik. Penyakit yang dimaksud di sini adalah permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Kesimpulan yang didapat melalui proses ini dikenali sebagai diagnosis. Untuk mengenal pasti permasalahan sosial yang ada, digunakan pendekatan kualitatif yang tujuannya adalah untuk memahami kondisi serta pemahaman sekelompok orang dalam satu kelompok sosial. Diharapkan dengan pendekatan ini diperoleh suatu gambaran bagaimana pelaku dalam komuniti memandang dan memahami gejala sosial yang tampak, diobservasi, dicatat dan dianalisa. Sumber data terdiri dari : (1) data primer yaitu perorangan atau individu, kelompok, lembaga/institusi yang berkompeten yang hidup dan berkembang di daerah tersebut; (2) data sekunder yaitu literatur, baik cetak maupun elektronik yang mendukung tujuan penelitian. Sedangkan 28
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

pengumpulan informasi dilakukan selain melalui pengamatan (observasi), juga wawancara, diskusi, penelusuran dokumen dan bahan-bahan visual. Penelitian dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, khususnya di Kecamatan Pandih Batu dan Kecamatan Maliku. Sebagian kecamatan Maliku sebelum ada pemekaran merupakan bagian dari kecamatan Pandih Batu. Sasaran penelitian adalah penduduk yang menetap di daerah Kecamatan Pandih Batu dan Kecamatan Maliku, baik dari jenis kelamin maupun jenis pekerjaan yang ada, kriteria penduduk sebagai penyandang masalah sosial, lokasi, penyandang masalah sosial dan potensi serta sumber kesejahteraan sosial.

Gambaran Umum Lokasi Kabupaten Pulang mempunyai wilayah seluas 8.997 km atau 899.700 ha, sebagian wilayahnya terdiri dari lahan gambut (277.300 hektar). Kabupaten ini meliputi 8 wilayah kecamatan, 83 desa definitif, dan 1 kelurahan. Secara umum wilayah Kabupaten ini memiliki potensi sumber daya alam yang lumayan besar, terutama pada sektor kehutanan dan sektor lain seperti pertanian dan peternakan yang turut menyumbang potensi cukup besar sejak dari tingkat desa. Kecamatan Pandih Batu dan Maliku yang menjadi lokasi penelitian ini, berjarak paling jauh sekitar 56 km sampai 75 km dari Ibukota Kabupaten, dengan waktu tempuh sekitar 4 6 jam. Sementara itu, jarak dari desa-desa ke ibukota Kecamatan antara 7 km sampai 30 km yang dapat dicapai melalui jalan darat (jalan kabupaten) maupun jalan air (Sungai Kahayan) dengan menggunakan perahu klotok dan speedboat. Karakteristik penduduk di dua kecamatan memiliki sifat heterogen, dimana komposisi penduduknya berasal dari ragam sukubangsa dan agama, baik yang tergolong sebagai penduduk lokal yang terdiri dari sukubangsa
Puslitbang Kesos

29

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Dayak dan Banjar maupun penduduk pendatang yang terdiri dari sukubangsa Madura, Jawa dan Sunda. Pola penyebaran penduduk sebagian besar mengikuti pola transportasi yang ada, yaitu terkonsentrasi di tepi sungai dan cabang-cabangnya, terutama para penduduk asli. Begitupun dengan pola pemukiman penduduk umumnya relatif sama yaitu mengelompok di tengah lahan wilayah desa, dan umumnya didirikan di tepi jalan dibuat sejajar atau mengikuti aliran sungai. Rumah mereka umumnya dibuat dari kayu atau papan, dengan atap ada yang menggunakan genteng dan daun kelapa atau rumbia. Pendidikan warga masyarakat di wilayah ini pada umumnya Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Anak-anak yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan di tingkat SLTP dan ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan SLTA terpaksa harus pergi keluar dari desanya, karena keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di wilayah ini. Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Mereka lebih memilih pergi merantau ke Kota Palangkaraya untuk menjadi buruh bangunan atau menjadi penambang emas di Kereng Pangi. Mata pencaharian warga masyarakat sebagian besar sebagai petani. Namun memperhatikan data yang ada di kecamatan ini tampaknya relatif banyak warga masyarakat yang belum/tidak bekerja.

Diagnosis Permasalahan Sosial Berdasarkan hasil diskusi dengan tokoh masyarakat di dua Kecamatan ditemukenali sejumlah permasalahan sosial yang ada yaitu 14 permasalahan sosial untuk Kecamatan Pandih Batu dan 19 permasalahan sosial untuk Kecamatan Maliku. Berdasarkan urutan permasalahan yang paling tinggi frekwensinya yaitu masalah yang terkait dengan kemiskinan yaitu masalah keluarga fakir miskin. Masalah lain yang juga relatif tinggi yaitu masalah rumah tidak layak huni dan wanita rawan sosial-ekonomi serta keluarga rentan. Kondisi ini disebabkan karena sebagian warga desa (laki-laki) yang sudah menikah dalam usia muda, meninggalkan desa dengan alasan mencari nafkah di tempat lain. Akhirnya keluarga mereka menjadi terlantar, demikian halnya dengan lahan yang mereka miliki juga menjadi terlantar sehingga membawa akibat pada kerentanan dan kemiskinan. Keluarga-keluarga yang 30
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

ditinggalkan oleh para kepala keluarga terpaksa harus berusaha mencari nafkah sendiri atau ikut dengan orang tua mereka. Namun karena keterbatasan dari kaum perempuan untuk bisa mengolah lahan, maka mereka akhirnya tidak bisa memperoleh penghasilan. Keluarga-keluarga tersebut akhirnya menjadi rentan untuk masuk ke dalam kemiskinan dan bagi ibu-ibu, mereka menjadi rawan secara sosial-ekonomi. Hal ini berdampak juga terhadap anak-anak mereka yang cenderung menjadi terlantar, karena orang tua tidak mampu memberikan kebutuhan dasar mereka. Anak-anak menjadi berhenti sekolah pada usia wajib belajar 9 tahun dan mereka tidak mendapatkan makanan bergizi, karena ibunya (orangtua) tidak mempunyai uang untuk membeli makanan bergizi. Kondisi lingkungan turut berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa dengan tidak meratanya distribusi penduduk antar desa di dua Kecamatan, yang salah satunya disebabkan oleh keterbatasan aksesibilitas antar desa dengan desa lainnya atau antar desa dengan kecamatan, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di lingkungan tidak dapat secara optimal dikelola dan dimanfaatkan, baik karena keterbatasan SDM maupun teknologi yang mereka miliki. Misalnya beberapa desa di Kecamatan Pandih Batu yaitu Desa Pantik terdapat lahan tidur seluas 970 ha, di Desa Pangkoh Sari terdapat lahan tidur seluas 400 ha dan di Desa Talio Muara terdapat lahan tidur seluas 391 ha. Lahan tersebut belum tergarap sebagai akibat keterbatasan SDM, baik dari segi jumlah dan penguasaan teknologi. Karakteristik masyarakat yang bermukim di dua kecamatan ini terdiri dari beragam sukubangsa dan agama. Sifat multi-etnik (heterogen) yang mewarnai kehidupan sosial masyarakat, pada satu sisi merupakan potensi, tetapi pada sisi yang lain potensial menimbulkan kerawanan konflik sosial, bahkan fisik. Potensi konflik antara sukubangsa menjadi semakin rawan karena pernah terjadi peristiwa konflik antara sukubangsa Dayak dan Banjar (melayu) dengan sukubangsa Madura sekitar buan Maret tahun 2001. Saat ini hubungan sosial diantara mereka yang pernah terlibat konflik relatif sudah berangsur membaik, walaupun kondisi ini tetap harus diwaspadai melalui kebijakan atau kegiatan-kegiatan yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial antara penduduk lokal (Dayak dan Banjar) dengan penduduk pendatang yang terdiri dari para transmigran umum maupun swakarsa yang terdiri dari Madura, Jawa dan Sunda.
Puslitbang Kesos

31

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Sementara itu bila melihat dukungan masyarakat terhadap program pembangunan seharusnya juga melihat kesiapan mereka dalam hal kemampuan mengelola dan memanfaatkannya. Membangun kapasitas salah satunya adalah melalui pendidikan formal, yaitu sekolah. Kesulitan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak biasanya terkendala oleh faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi putus sekolah atau tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masalah keterbatasan juga terjadi pada sarana pelayanan kesehatan, misalnya untuk Kecamatan Pandih Batu tersedia satu unit Puskesmas yang tidak dilengkapi Puskesmas Pembantu di tingkat desa. Tenaga dokter pun hanya satu dengan 15 tenaga medis lainnya (perawat dan bidan). Sementara alat perhubungan (transportasi) antar desa maupun desa ke kecamatan relatif sulit dan mahal. Tampaknya dengan melihat kondisi yang ada, diperlukan banyak program dan kegiatan yang dapat mengakomodasi berbagai keragaman kepentingan, sehingga melalui suatu proses tertentu keragaman karakteristik penduduk dapat saling bersinergi untuk mencapai kehidupan masyarakat yang sejahtera. Program dan kegiatan yang dikembangkan melalui pemanfaatan potensi keswadayaan masyarakat (gotong-royong) menjadi suatu yang bisa dipertimbangkan. Melalui potensi keswadayaan masyarakat itu sendiri di samping strategis juga memiliki nilai pemberdayaan dalam rangka proses memandirikan masyarakat untuk membantu dirinya sendiri. Aksesibilitas masyarakat dalam beraktivitas, baik aktivitas sosial maupun ekonomi masih menjadi kendala. Kondisi geografis dan alam yang demikian belum dilengkapi dengan sarana-prasarana transportasi yang memadai. Keterbatasan sarana-prasarana transportasi menyebabkan harga kebutuhan pokok sehari-hari relatif tinggi, sementara penghasilan rumah tangga relatif rendah. Hal ini terutama menjadi kendala terhadap aksesibilitas antar desa maupun antara desa ke ibukota kecamatan. Pembangunan infrastruktur fisik perlu dibarengi dengan pembangunan infrastruktur sosial yang baik, sehingga diharapkan akan mendorong partisipasi masyarakat. Tanpa itu, maka mereka cenderung memanfaatkan infrastruktur fisik yang ada untuk memudahkan mereka pergi mencari nafkah ke luar daerahnya. Dengan demikian, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di lingkungannya menjadi tidak optimal. Adanya tanah pertanian yang tidak digarap dan kegagalan upaya masyarakat memanfaatkan lahan tidur merupakan akibat pembangunan infrastruktur

32

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

sosial-ekonomi belum dilakukan sesuai harapan masyarakat. Dalam hal ini sudah tentu pihak Pemerintah berperan penting untuk memfasilitasi, baik dari aspek kebijakan, regulasi, permodalan maupun aspek teknologi tepat guna. Upaya meningkatkan kesejahteraan sosial diperlukan suatu perencanaan sosial yang baik. Perencanaan akan berjalan baik bila dilengkapi dan didasari data yang akurat. Mencermati pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dan upaya penanganan permasalahan sosial yang ada menunjukkan bahwa sasaran program kurang tepat. Di Kecamatan Pandih Batu, keluarga miskin atau fakir miskin tidak secara merata memperoleh bantuan Raskin, Askeskin atau pun BLT-BBM. Seharusnya setiap keluarga miskin/fakir miskin memperoleh beragam program bantuan. Tetapi hal ini tidak terjadi dengan alasan bahwa alokasi bantuan kurang sesuai dengan jumlah keluarga miskin atau fakir miskin yang ada. Apapun alasannya, maka program bantuan yang ada menjadi kurang efektif. Seperti penerima BLTBBM karena tidak memperoleh Askeskin, maka dana BLT yang diperolehnya dan seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari terpaksa digunakan untuk berobat. Penerima Raskin yang seharusnya bisa menikmati beras enak dengan harga murah terpaksa harus menjual berasnya itu ke pasar atau ke tetangga hanya untuk membiayai SPP anaknya yang masih sekolah tetapi tidak memperoleh beasiswa berupa dana Bantuan Khusus Murid (BKM) atau Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Penyandang permasalahan sosial seperti fakir miskin yang cacat karena penyakit kronis (diabetes) dan memiliki beberapa anak yang tidak terawat karena masalah keterbatasan ekonomi seharusnya memperoleh program bantuan sebagai fakir miskin, penyandang cacat akibat penyakit kronis serta program bantuan bagi anaknya, yaitu program bantuan untuk anak terlantar. Dinas Sosial dan Dinas terkait lainnya telah melakukan upaya penanganan permasalahan sosial melalui pendataan terhadap rumah tak layak huni, wanita rawan sosial, keluarga rentan, remaja nakal dan lahan tidur. Pembinaan dan pelatihan dilakukan pula kepada beberapa jenis penyandang masalah sosial untuk meningkatkan keterampilan (anyaman) dan bantuan lainnya berbentuk bantuan kursi roda bagi penyandang cacat dan bantuan ternak sapi kepada lansia terlantar, walaupun sebagian besar ternak sapi kini sudah mati akibat terkena wabah penyakit. Dinas Sosial
Puslitbang Kesos

33

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

melakukan program bantuan untuk Komunitas Adat Terpencil yang ada di Desa Talio melalui program pemberantasan buta aksara. Dinas Kesehatan juga membantu memberikan pelayanan kesehatan melalui kegiatan Posling dan Posyandu kepada anak-anak terlantar. Permasalahan sosial yang belum ditangani dengan upaya-upaya tertentu adalah masalah rumah tak layak huni, khususnya yang berada di Desa Kantan Muara berjumlah sekitar 96 unit dan di Desa Pangkoh Sari bahkan baru dalam proses pendataan. Demikian pula keluarga rentan yang sampai saat ini masih dalam proses pendataan, termasuk permasalahan sosial bagi penyandang cacat akibat penyakit kronis. Sementara itu, penanganan lahan tidur sudah dilakukan melalui musyawarah desa maupun sosialisasi, akan tetapi pelaksanaannya masih terkendala oleh kekurangan modal dan kurang kompaknya warga masyarakat. Berkaitan dengan penggunaan kriteria untuk menggolongkan jenis penyandang masalah sosial (Anak Terlantar, Anak Balita Terlantar, Remaja Nakal, Lansia Terlantar, Wanita Rawan Sosial, Anak Cacat, Penyandang Cacat, Anak Yatim/Piatu, Fakir Miskin, Keluarga Rentan dan sebagainya), tampaknya dari hasil diskusi dengan tokoh masyarakat di dua kecamatan masih terlihat perbedaan dalam menentukan usia anak dan remaja. Di samping perbedaan kriteria, penajaman kriteria menjadi sangat penting.

34

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Tabel 1. Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kecamatan Pandih Batu
No. 1. JENIS PMKS Fakir Miskin KRITERIA 1. Penghasilan kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; 2. Tingkat produktifitas KK rendah, karena sebagai pencari nafkah utama sudah memasuki usia lanjut; 3. Kondisi rumah / fisik bangunannya tidak layak ditempati (seperti bangunannya bocor, tidak memiliki jendela, lantainya masih beralaskan tanah, ukuran rumah 4 x 4 m dengan anggota keluarga lebih dari 5 orang, dan lain-lain). 4. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih menumpang, baik dengan orangtua/mertua/ kerabatan lainnya. 5. Tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. 1. Kepadatan hunian yang cukup tinggi (rumah ukuran 4 x 4 m dihuni lebih dari 5 orang); 2. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh dan buruk. Bahan atap dari daun, dinding dari seng atau kayu rapuh dengan lantai tanah atau papan (jenis rumah panggung); 3. Ukuran bangunan rumah relatif kecil, yaitu antara 4 x 4 m atau 4 x 6 meter dan umumnya tidak memiliki penyekat ruangan; 4. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih menumpang, baik dengan orangtua/mertua/ kerabat lainnya. 5. Bangunan rumah tidak dilengkapi fasilitas MCK. 1. Usia antara 16 tahun sampai 60 tahun; 2. Status janda ditinggal mati suami atau status belum menikah; 3. Banyak anak/tanggungan yang belum bekerja; 4. Penghasilan kecil dan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari; 5. Pengangguran atau tidak ada pekerjaan/penghasilan sama sekali. 1. Usia di atas 61 tahun; 2. Penghasilan kecil, bahkan tidak ada sama sekali, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri; 3. Hidup sendiri atau bersama kerabat/non kerabat, tetapi kurang diperhatikan/perawatan dari sanakkeluarganya, baik karena alasan ekonomi maupun alasan non-ekonomi.

2.

Rumah Tidak Layak Huni

3.

Wanita Rawan Sosial

4.

Lansia Terlantar

Puslitbang Kesos

35

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau


5. Anak Balita Terlantar Usia 0 4 tahun; Kurang gizi dan kondisi sering sakit; Kurang perawatan/perhatian orangtua; Orangtua tergolong kurang mampu secara ekonomi. Keluarga muda yang baru menikah sampai 5 tahun dan kurang serasi (ada di Desa Kantan Muara); 2. Usia nikah sudah 10 tahun dan masih menumpang orangtua/mertua (ada di Desa Gadabung); 3. Penghasilan kecil dan tidak mencukupi atau paspasan untuk memenuhi kebutuhan seharihari/penghasilan 10% di atas garis kemiskinan. 1. Usia antara 5 tahun sampai 16 tahun; 2. Ditinggal orangtua/satu atau kedua orangtua meninggal; 3. Berasal dari keluarga tidak mampu. 1. Adanya kelainan fisik/mental akibat kecelakaan maupun bawaan sejak lahir (bisu-tuli, kaki pincang, keterbelakangan mental); 2. Fungsi jasmani dan sosial terganggu; 3. Usia di atas 18 tahun 1. Mantan penderita penyakit kronis yang dinyatakan secara medis telah sembuh; 2. Memiliki cacat fisik/mental akibat penyakitnya itu 1. Usia 5 12 tahun; 2. Kurang perawatan orangtua karena kurang mampu secara ekonomi; 3. Kurang gizi dan sering sakit-sakitan; 4. Kurang pergaulan dan komunikasi 1. Usia 5 12 tahun dan ada pula yang menetapkan 5 18 tahun; 2. Memiliki kelainan fisik dan mental; 3. Memiliki kelainan fisik atau mental saja 1. Kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam satu kesatuan fisik dan sosial yang relatif kecil; 2. Lokasi kesatuan fisik dan sosial yang terpencil; 3. Masyarakatnya masih amat terikat dengan sumberdaya alam dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; 4. Keterbelakangan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. 1. Usia 13 1 6 tahun; 2. Perilaku mengganggu lingkungan atau membuat resah lingkungan. 3. Penghasilan kecil dan tidak mencukupi atau pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari/penghasilan 10% di atas garis kemiskinan 1. Lahan tidak digarap pemilik lebih dari 15 tahun; 2. Lahan ditinggal pemilik tanpa ada yang mengurus, sehingga menghambat perekonomian/produktivitas pertanian, khususnya ada di Desa Pantik 1. 2. 3. 4. 1.

6.

Keluarga Rentan

7.

Anak Yatim Piatu

8.

Penyandang Cacat Fisik/ Mental

9.

10.

Penyandang Cacat Fisik/ Mental akibat Penyakit Kronis Anak Terlantar

11.

Anak Cacat

12.

Komunitas Adat Terpencil (KAT)

13.

Remaja Nakal

14.

Lahan tidur

36

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Tabel 2. Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kecamata Maliku


No. 1. 2. 3. JENIS PMKS Balita Terlantar Anak Terlantar Anak Nakal KRITERIA 0 4 tahun, kurang perawatan dari orang tua/keluarga luas (laki-laki / perempuan) 5 13 tahun, tidak terlalu diperhatikan dan tidak terpenuhi kebutuhan dasar oleh orang tua/keluarga luas. 0 13 tahun, perilaku mengganggu kebiasaan umum (tetapi tidak masalah karena masih anak-anak, laki-laki/ perempuan). 14 18 tahun, perilaku mengganggu dan dipermasalahkan. 14 18 tahun, sering begadang. 5 13 tahun, fisik tidak normal, mental tidak normal, terganggu dalam aktifitasnya. 16 60 tahun, belum menikah/janda tidak terpenuhi kebutuhan dasar baik jasmani ataupun rohani. 16 60 tahun, disakiti secara fisik dan mental. Sudah menikah/janda tidak terpenuhi kebutuhan dasar. 60 tahun ke atas, dirampas hak-haknya (tergantung lokal). Individu sejak lahir mengalami kelainan fisik dan mental serta karena penyakit kronik. Hubungan sex dengan lawan jenis berulang-ulang tanpa menikah dan tidak mengharapkan imbalan, baik barang maupun jasa. Orang yang selesai menjalani hukuman dan kembali ke masyarakat (stigma sama tetapi perlakuan berbeda terhadap pelaku perampokan dan menabrak orang sampai meninggal karena tidak sengaja). Mempunyai pekerjaan tapi tidak tetap, penghasilan tidak mencukupi, termasuk untuk kebutuhan pangan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (jumlahnya paling besar). Rumah ukuran kurang dari 4 x 4 m, dinding dari jabuk (papan lapuk), lantai tanah, atap bocor. Kelompok orang yang jauh dari keramaian, transportasi hanya dari sungai, kebiasaan tidak berbeda dengan orang dari lokasi lain. Kelompok orang yang tinggal di daerah secara fisik dan mental tertekan oleh proses alam dan sosial. Merantau, pendatang yang mencari kerja di suatu tempat tidak memperoleh yang diharapkan dan menjadi masalah di tempat tersebut. Keluarga yang banyak masalah (sosial, ekonomi, kebiasaan).

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Remaja Laki-laki Nakal Remaja Perempuan Nakal Anak Cacat Wanita Rawan Sosial Ekonomi Wanita Korban Kekerasan Lanjut Usia Terlantar Lanjut Usia Korban Kekerasan Penyandang Cacat Tuna Susila

13.

Bekas Narapidana

14.

Keluarga Fakir Miskin

15. 16.

Keluarga Berumah Tidak Layak Komunitas Adat Terpencil

17. 18.

Masyarakat yang Tinggal di daerah Rawan Bencana Pekerja Migran Terlantar

19.

Keluarga Rentan

Puslitbang Kesos

37

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Kesimpulan dan Saran Masalah yang menjadi prioritas mendapat perhatian adalah masalah fakir miskin dan keluarga miskin, rumah tidak layak huni serta Wanita Rawan Sosial Ekonomi. Melihat kondisi permasalahan tersebut, yang paling menonjol adalah terkait dengan kemiskinan. Hampir di seluruh desa masalah kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dihadapi oleh warga masyarakat. Masalah kemiskinan yang merupakan masalah terbesar di wilayah ini, belum diupayakan penanganannya melalui program pemberdayaan secara maksimal dan berkesinambungan. Program bantuan bagi keluarga miskin yang tidak seluruhnya mendapat bantuan dan yang sifatnya hanya sesaat merupakan program yang klise tetapi terus berlangsung. Hal ini tentunya memerlukan komitmen dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini secara bersama-sama baik antara pemerintah dan masyarakat serta melakukan program pemberdayaan secara berkesinambungan. Kondisi kemiskinan terkait dengan keterbatasan atau hambatanhambatan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Hambatan tersebut antara lain terkait dengan infrastruktur, sarana transportasi dan hambatan dalam upaya pengolahan lahan. Hambatan ini menyebabkan relatif banyak lahan (lahan tidur) yang tidak dapat diolah oleh masyarakat (petani). Kemiskinan ini antara lain juga sebagai dampak dari gagalnya proyek lahan gambut (sejuta hektar lahan gambut), mengingat bahwa lokasi ini merupakan lokasi transmigrasi. Permasalahan lain yang ada, berkaitan dengan infrastruktur jalan. Prasarana jalan ini dianggap penting karena dapat memudahkan pemasaran hasil pertanian yang sangat potensial bagi masyarakat setempat. Sementara untuk saat ini, sarana transportasi yang utama di wilayah ini adalah sungai, transportasi ini relatif mahal khususnya bagi warga masyarakat yang akan menjangkau wilayah lain maupun untuk memasarkan hasil pertanian dan perkebunan mereka (dalam bidang pertanian). Permasalahan lain adalah keterbatasan sarana pendidikan dan transportasi yang dimiliki daerah, sehingga masyarakat harus menjangkaunya keluar desa atau kecamatan. Sementara kondisi ekonomi keluarga menyebabkan anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Demikian pula halnya dengan akses untuk mendapatkan 38
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

pelayanan kesehatan, merupakan masalah lain yang dihadapi oleh warga masyarakat karena sarana kesehatan (Puskesmas) hanya ada di Kecamatan dan Rumah Sakit Umum di provinsi. Lahan kosong yang dimiliki oleh sebagian warga, bisa menjadi sumberdaya alam yang potensial jika diolah dengan baik. Mengingat lahan di wilayah ini dapat ditanami dengan berbagai jenis tanaman jika saja ada kerjasama yang baik antara pemerintah setempat dengan warga masyarakat. Keterbatasan dalam hal penyediaan sarana pengolah lahan dan bibit tanaman merupakan salah satu hambatan dimana lahan yang luas akhirnya hanya menjadi lahan tidur. Sementara pada sisi lain, sumberdaya yang masih dimiliki adalah adanya rasa kebersamaan di antara warga masyarakat, karena mereka merasa sebagai orang perantauan (transmigran). Kerjasama dalam bentuk tolong menolong atau gotong royong serta semangat untuk mengolah lahan secara maksimal merupakan pranata yang dapat dijadikan sumberdaya sosial dari warga masyarakat di wilayah ini untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan ini tampaknya tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat namun masih diperlukan peran Pemerintah Daerah setempat. Dengan kata lain, meskipun memiliki keterbatasan modal usaha namun masyarakat masih memiliki modal sosial berupa rasa kebersamaan atau tolong menolong dan semangat membangun atau mengembangkan lahan untuk pertanian dan perkebunan, dalam upaya mengatasi kemiskinan yang dihadapi. Berdasarkan kesimpulan tersebut, diajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Sumberdaya alam yang potensial berupa lahan yang luas dan sumberdaya sosial yang dimiliki warga masyarakat (keterampilan dalam bidang pertanian dan beternak serta masih adanya rasa kebersamaan/tolong menolong) bisa merupakan modal utama dalam membangun masyarakat setempat. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antar Dinas-Dinas Provinsi maupun Kabupaten, guna membangun wilayah ini secara ber-kesinambungan. Dinas Teknis seperti Pekerjaan Umum, Perumahan dan Permukiman membangun prasarana jalan, saluran irigasi dan penyediaan perumahan sosial bagi warga masyarakat miskin. Prasarana jalan dan saluran irigasi

2.

Puslitbang Kesos

39

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

sangat penting dan diperlukan oleh wilayah ini untuk membangun ekonomi masyarakat. 3. Berkaitan dengan hal tersebut maka Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sangat diperlukan untuk meluncurkan program mereka ke wilayah ini. Masyarakat desa memiliki kemampuan yang potensial dalam hal pertanian dan peternakan. Hal ini seharusnya didukung dengan program pemberdayaan masyarakat di wilayah ini. Mereka siap untuk memanfaatkan sumberdaya alam (lahan) yang ada namun mereka sangat memerlukan stimulan berupa peralatan pengolah lahan dan penyediaan bibit padi, palawija serta karet. Selain itu, perlu dilakukan sosialisasi pengolahan tanah yang berkesinambungan di tingkat daerah, mengingat lahan yang digarap di wilayah ini berbeda dengan lahan di Jawa. Demikian pula halnya dengan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan, perlu meningkatkan kesejahteraan melalui program perlindungan dan asuransi sosial bagi keluarga miskin. Dinas Kesehatan diperlukan berkaitan dengan penyediaan air bersih. Dinas Sosial melalui Direktorat Fakir Miskin, Direktorat Pemberdayaan Keluarga, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Anak, Direktorat Lanjut Usia, dan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat, dapat berperan melakukan rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat secara bersama-sama dan berkesinambungan. Hal ini sangat diperlukan mengingat hasil diagnosis permasalahan sosial di wilayah ini menunjukkan permasalahan sosial yang menonjol adalah masalah Kemiskinan (keluarga fakir miskin), Keluarga Rentan, Rumah tidak Layak Huni, Anak Terlantar, Penyandang Cacat (termasuk Anak Cacat), dan Lanjut Usia Terlantar. Dinas Koperasi dan UKM diperlukan sebagai lembaga yang dapat memfasilitasi kredit usaha kecil bagi para petani khususnya terkait dengan keterbatasan modal usaha mereka dalam mengolah lahan pertanian atau mengembangkan usaha peternakan mereka. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa diperlukan secara bersama-sama dan berkesinambungan, sehingga pemberdayaan dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat desa, tidak sebagian-sebagian dan sesaat saja. Misalnya program
Puslitbang Kesos

4.

5.

6.

40

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

7.

pemberdayaan keluarga miskin tidak disarankan untuk memberikan bantuan tunai berupa uang namun diberikan dalam bentuk barang seperti traktor, dimana alat tersebut dapat dikelola secara bersamasama oleh seluruh warga masyarakat. Bantuan ini tidak berhenti sesaat, tetapi harus lebih bersifat kesinambungan. Program bantuan atau pemberdayaan bagi keluarga miskin sebaiknya diberikan untuk seluruh keluarga yang bersangkutan, baik bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan bantuan beasiswa sekolah (BOS) serta asuransi kesehatan bagi keluarga yang bersangkutan maupun jaminan sosial bagi keluarga tersebut. Sosialisasi pendidikan kedaerahan bagi anak-anak di tingkat desa, dianggap sangat penting, karena anak-anak perlu banyak diberi pengetahuan tentang daerahnya untuk membangun desa mereka. Bukan pengetahuan perkotaan atau pengetahuan tingkat nasional yang diberikan. Bila yang terjadi hal demikian, maka orientasi masa depan anak-anak akan cenderung memilih pergi ke kota. Merantau menjadi pilihan pemuda karena mereka tidak lagi mempunyai pengetahuan kedaerahan.

DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2006. Pulang Pisau dalam Angka tahun 2005. Kerjasama BPS dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pulang Pisau. Dove, M.R. (ed), 1985 Peranan Kebudayaan Tradisional di Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau, 2005 Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). Riwut, Tjilik, 2003 Maneser Panatau Tatu Hiang, Pusaka Lima, Palangkaraya.

Puslitbang Kesos

41

PETA MASALAH SOSIAL DI BONE: POTENSI, PROBLEM DAN STRATEGI PENANGANANNYA1


Drs. Bambang Pudjianto, M.Si 2 ABSTRAK
Pemerintah daerah pada umumnya lebih mengutamakan pembangunan fisik dan ekonomi di wilayahnya daripada pembangunan kesejahteraan sosial. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah yang baru dimekarkan adalah masalah infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Namun kedua hal tersebut sangat terkait dengan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Di sisi lain, pada praktiknya jaringan sosial tidaklah begitu saja menciptakan modal fisik dan modal finansial. Dalam konteks penelitian ini banyak warga masyarakat yang memiliki pertalian-pertalian sosial yang kuat, namun sulit untuk mengakses peluang dan sumber daya melalui jaringan-jaringan yang ada (mainstream). Akibatnya, pertalian-pertalian sosial yang ada di tingkat lokal tidak secara langsung mampu memberikan manfaat ekonomis (tingkat kesejahteraan yang lebih baik), utamanya bagi warga masyarakat menengah-bawah. Jenis penelitian yang dipilih adalah deskriptif, dan alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam, pedoman FGD, dan peta wilayah Hasil penelitian dapat diketahui, bahwa di wilayah lokasi penelitian telah memiliki potensi sumber kessos berupa; pranata pendidikan, pranata sosial, pranata kesehatan, pranata keturunan dan kekerabatan yang kuat, serta pranata jaringan kerja. Namun dengan berbagai potansi ekonomi, sosial, dan kultural yang dimilikinya; penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa jenis permasalahan sosial yang bermuara pada masalah kemiskinan. Karena itu, penting untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut, yaitu agar digunakan strategi yang berprinsip pada partisipasi masyarakat dengan bersinergi pada peningkatan fungsi dan peran sumber-sumber lokal. Kata kunci: Pranata Sosial, Potensi dan Sumber Daya, Masalah Sosial

Diangkat dari penelitian Diagnosa Permasalahan Sosial di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan dengan anggota Tim : Konsultan Drs. M. Rondang Siahaan; DR Bambang Rudito. Ketua Tim : Drs.Sutaat. Anggota: Dra. Endang Kironosasi, M.Si; Drs. Bambang Pudjianto, M.Si; Dra. Indah Huruswati; Drs. Suyanto. Sekretariat: Dini Khairunnisa, S.Kom Bambang Pudjianto, Kasub Bid. Analisis Kebutuhan Bidang Program Puslitbang Kesos dan Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI

Puslitbang Kesos

43

Peta Masalah Sosial di Bone

Pendahuluan
Potret Kesejahteraan di Tengah Kelimpahan

Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone yang didirikan oleh Manurung Rimatajang pada tahun 1330, pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri Bontoala, pertengahan abad ke-17 (Abddurazak dkk, 1989:9). Pada masa itu, masyarakat Bone yang didominasi oleh suku Bugis tersohor bukan hanya sebagai pelaut dan pedagang yang tangguh, melainkan juga petani yang ulet, handal dan produktif.3 Cermin kemasyhuran warga Bone dan suku Bugis khususnya dibidang pertanian masih terlihat sampai sekarang. Data sensus penduduk tahun 2003 menunjukkan bahwa 72,2 persen penduduk Bone berusia 15 tahun ke atas bekerja dan hidup dari sektor pertanian. Dari jumlah itu, sebesar 97,4 persen adalah warga suku Bugis. Etos kerja yang tinggi dan sistem pertanian yang baik membuat Bone di kenal sebagai lumbung padi. Bahkan bukan hanya di Sulawesi Selatan, melainkan juga di kawasan timur Indonesia.4 Produksi tanaman bahan makanan, terutama padi, selalu surplus. Hampir setiap kecamatan menjadi penghasil padi. Sentra penghasil padi berada di Kecamatan Kahu, Barebbo, Sibulue, Bengo, Salomekko, Tonra, Awangpone, Ajangale, Dua Boccoe, dan Cina. Tahun 2002 Bone menghasilkan 517.535 ton padi. Sedangkan tahun 2003, menurut estimasi Dinas Pertanian Kabupaten Bone, meningkat mendekati 560.000 ton. Tanah yang digarap para petani tidak hanya menghasilkan padi. Produksi jagung, ubi kayu, kacang hijau, kacang tanah dan kedelai juga berlimpah. Bahkan tahun 2002 produksi kacang tanah (13.906 ton) dan kedelai (8.760 ton) merupakan produksi tertinggi di Sulsel. Produksi 84.159 hektar perkebunan rakyat ikut memperkuat peran sektor pertanian.5 Hasil yang menonjol dari perkebunan adalah tebu, kakao, kelapa, jambu mete, kemiri, dan cengkeh.
3 4 5

lihat profil Bone yang dirilis dalam situs resmi Kabupaten Bone; WWW.Bone.go.id Lihat Kabupaten Bone dalam Angka tahun 2003 diterbitkan BPS Kabupaten Bone Tahun 2004. Potensi Desa Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2006, atau lihat Bone dalam Angka tahun 2003/2004.

44

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Tebu merupakan bahan baku gula Pabrik Gula Bone dan Pabrik Gula Camming di Kabupaten Bone.6 Pertanian telah menjadi tiang utama kegiatan ekonomi Bone. Tahun 2002 nilainya mencapai Rp 2,2 trilyun. Yang merupakan 65 persen total kegiatan daerah. Angka itu lebih kecil dibanding tahun 1999 dan 2000 yang mencapai 67,7 dan 66,3 persen. Tanaman bahan makanan menjadi penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Dominannya sektor pertanian di Bone juga tercermin dari luas wilayah Kabupaten Bone yang sebagian besar merupakan lahan persawahan dan tegalan. Data BPS tahun 2002 menyebutkan, dari 4.559 km persegi luas Kabupaten Bone, 88.449 ha merupakan lahan persawahan, 120.524 ha lahan tegalan/ladang, dan 43.052 ha lahan perkebunan. Hanya 11.148 ha lahan untuk tambak/empang dan 145.073 ha merupakan hutan.7 Meskipun Bone menjadi daerah sentra penghasil bahan makanan, dalam mata rantai perdagangan hasil pertanian, para petani yang notabene menjadi aktor utama produksi dan merupakan mayoritas penduduk Bone justru tidak bisa menikmati keuntungan yang memadai. Segelintir spekulan dan tengkulak yang menguasai jalur perdagangan yang justru selama ini meraup untung besar. Tidak sulit untuk mendapatkan petani Bone yang terlilit hutang para tengkulak. Akibatnya taraf hidup masyarakat Bone terbilang rendah jika dibandingkan dengan potensi dan kemampuan berproduksi yang mereka miliki. Rendahnya taraf hidup masyarakat Bone terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh BPS-UNDP pada tahun 2004. Survey ini menyimpulkan bahwa Human Development Index (HDI) warga Bone tergolong rendah. Yakni ditunjukkan dengan angka partisipasi bidang pendidikan yaitu hanya 60,7% (yang seharusnya di atas 80-90%). Partispasi jender dalam ekonomi juga masih sangat terbatas, dimana wanita bekerja yang berpendapatan hanya 28,1%. Sementara itu life expectation juga rendah, dibawah 65 tahun, dengan balita penderita gizi buruk yang cukup tinggi, mencapai 27%.8

7 8

Laporan Litbang Kompas, 22/10/2002,atau lihat juga Laporan BPS-Bappenas-UNDP tentang The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia tahun 2004 Ibid. Ibid

Puslitbang Kesos

45

Peta Masalah Sosial di Bone

Data-data tersebut di atas jelas sangat memprihatinkan (terlebih pada kasus bayi penderita gizi buruk), mengingat posisi Bone sebagai sentra penghasil padi di Sulsel. Lebih memprihatinkan lagi karena Bone sejak tahun 2000-an, selain unggul di sektor pertanian, kontribusi sektor perikanan juga tak kalah produktifnya. Pada tahun 1997 misalnya, sektor perikanan telah menyumbang 9,2 persen pendapatan daerah, dan pada tahun 2001 meningkat menjadi 16,7 persen. Hal ini ditunjang oleh letak geografisnya, yaitu dari 27 kecamatan di kabupaten Bone, 10 di antaranya memiliki garis pantai sepanjang 127 kilometer. Ini jelas potensi ekonomi yang sangat menjanjikan. Namun sebaliknya, jika tidak dimanage secara benar, kasus pada sektor pertanian tidak mustahil berulang pada sektor perikanan dan sektor perekonomian lainnya, yaitu sebuah potret buram (kemiskinan) di tengah kelimpahan. Karena itu, jangan terkaget jika tanpa upaya dan strategi yang tepat dalam mengatasinya, maka meletusnya berbagai permasalahan sosial hanya tinggal menunggu waktu saja. Penelitian ini ditujukan untuk melihat gejala yang muncul akibat fakta sosial yang dijelaskan di atas. Artinya, bagaimanakah gambaran tentang potensi dan sumberdaya sosial, ekonomi dan alam di Kabupaten Bone memberi solusi atas permasalahan penyandang masalah sosial yang timbul akibat timpangnya strategi pembangunan dengan penguatan sumber daya lokal selama ini.

46

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Gambar 1 : Peta Kota Watampone, Kabupaten Bone

Kerangka Fikir Kelemahan mendasar dari pembenahan struktur perekonomian kita di tengah masa krisis (baik regional dan nasional) dinilai oleh banyak kalangan adalah karena diabaikannya variabel kondisi sosial-ekonomi sebagai bagian dari penyebab krisis. Diantaranya untuk konteks penelitian ini terlihat pada masalah ketimpangan pembangunan SDM khususnya masyarakat lapisan paling bawah.9 Artinya, bertambahnya keluarga miskin yang diikuti kemudian dengan meningkatnya kuantitas dan kompleksitas permasalahan sosial besar kemungkinan adalah akibat dari ketidakselarasan antara strategi pembangunan kesejahteraan dengan strategi pembangunan ekonomi dalam
9

Ketimpangan pembangunan masa Orde Baru terjadi dalam bentuk-bentuk: (1) ketimpangan antar golongan ekonomi masyarakat; (2) ketimpangan antara kelompok pengusaha besar-kecil; (3) ketimpangan antar wilayah; (4) ketimpangan antar subwilayah di daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi; (5) ketimpangan laju ekonomi antar sektor; (6) ketimpangan antara ekonomi perkotaan dan pedesaan; dan (7) ketimpangan pembangunan diri manusia Indonesia di lapisan masyarakat bawah. Lihat Adrinof A. Chaniago, 2001:309.

Puslitbang Kesos

47

Peta Masalah Sosial di Bone

praktik. Dengan bahasa lain, bahwasanya masalah kemiskinan dan rawan sosial-ekonomi adalah karena lemahnya ketahanan ekonomi dan ketahanan sosial masyarakat (modal sosial) golongan menengah-bawah dalam menghadapi guncangan besar arus krisis (Adrinof A.Chaniago, 2001:316). Untuk ukuran tertentu, program-program intervensionis10 dari pemerintah terhadap masyarakat kelas bawah diakui menunjukkan kemajuan dalam beberapa indikator keberhasilan di bidang kesejahteraan, misalnya dengan penjelasan angka pendapatan perkapita penduduk yang terus mengalami kenaikan, menurunnya jumlah angka orang buta huruf, angka kematian bayi semakin dapat ditekan, dan usia tingkat harapan hidup semakin panjang. Akan tetapi tingkat kesejahteraan tersebut di sisi lain tidak serta merta dapat menjamin kemampuan dan kualitas hidup mereka secara lebih baik. Pasalnya ketika arus krisis mendera pelbagai wilayah di Indonesia (1998- sekarang), hampir semua golongan lapisan bawah dipastikan tidak mampu bertahan di masa krisis tersebut, tidak terkecuali masyarakat di wilayah kajian ini. Akibatnya pengangguran semakin bertambah cepat, jumlah keluarga fakir miskin meningkat, menurunnya kadar asupan gizi dan tingkat kesehatan (cacat), rebaknya anak jalanan dan terlantar, ancaman eksploitasi seksual komersiil, perdagangan obat-obatan terlarang, dan seterusnya Terpaan krisis ekonomi dan dilanjutkan dengan perubahan orientasi sosial-politik pembangunan nasional melalui bergulirnya masa transisi yang disebut era reformasi tak pelak juga telah memunculkan kembali apresiasi masyarakat lokal yang (tak lain adalah kelompok masyarakat lapisan menengah-bawah) terbagi-bagi dalam wilayah kesukubangsaan berusaha menciptakan akses terhadap sumber daya yang ada di wilayah kesukubangsaannya. Bahkan komuniti-komuniti yang pada awalnya telah atau hampir terkubur di era Orde Baru, mereka berusaha sekuat tenaga membangun kembali sisa-sisa warisan kejayaan masa lalu dari sukubangsanya demi untuk turut bagian dalam sistem pencaharian ekonomi di era ini (Rudito, 2005:23).
10

Fungsi intervensi sosial, yaitu: (1) prevensi ditujukan untuk mencegah timbul dan meluasnya permaslahan kesejahteraan sosial dalam kehidupan masyarakat; (2) rehabilitasi, ditujukan untuk memfungsikan kembali dan memantapkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat; (3) pengembangan, ditujukan untuk pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosial masyarakat melalui pengembangan potensi dirinya. Lihat Bambang Rudito dkk, 2005: 36.

48

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Karena itu kini hendaknya pendekatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan perlu memperhatikan secara serius variabel pelapisan masyarakat baik secara sosial-ekonomi dan antar wilayah, memperkecil ketimpangan ekonomi antar sektor, serta terus mengupayakan perbaikan kualitas SDM lapisan menengah-bawah. Jika tidak, kita akan mengulang kembali kesalahan model pembangunan masa lalu yang pada akhirnya akan melahirkan tipe-tipe ketimpangan ekonomi, sosial dan politik versi terbaru. Salah satu kekhwatiran yang mengancam adalah kegagalan mengangkat kualitas hidup penduduk yang mayoritas bekerja di sektor tradisional (seperti pertanian dan peternakan). Yakni menjadikan sumber ekonomi sektor tradisional sebagai kekuatan potensial yang dapat meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial mereka secara proporsional. Berhadapan dengan kondisi faktual tersebut, maka sepatutya dicarikan alternatif langkah-langkah dan strategi penanganan yang tidak sepenuhnya menggantungkan pada anggaran pemerintah. Misalnya dengan melakukan participatory budgeting forum sebagaimana diamanatkan dalam SE Mendagri No. 050/987 Tahun 2003 yang menawarkan proses perencanaan pembangunan secara partisipatif (Rakorbang Partisipatif). Praktiknya, surat edaran menteri ini masih semata bersifat himbauan yang jarang (sulit) implementasinya dilakukan di lapangan secara tuntas. Padahal dengan penganggaran keuangan daerah secara partisipatif memungkinkan penanganan pelbagai masalah sosial dan pembangunan daerah dapat lebih terarah, obyektif dan lebih berdaya-guna maksimal bagi kebutuhan riil warga masyarakatnya. Namun, lagi-lagi pedekatan seperti ini terbentur oleh masalah internal pemerintah desa, kecamatan atau kabupaten yang umumnya para staf pemerintah tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengelola aset desa/kecamatan dan dana pendapatan desa/kecamatan dengan baik. Oleh karenanya, kecenderungan untuk menolak transparansi dan partisipasi sangat besar, sekalipun desa tidak memilik aset yang cukup untuk melakukan pembangunan. Dalam lintasan sejarahnya, suku-bangsa di Bone terkenal gigih dalam menjaga wilayah teritorialnya, atau dalam bahasa lain sumber daya perekonomian di wilayahnya. Karena itu penting memper-timbangkan konteks representasi identitas, golongan, sistem kehidupan lokal, serta pemerataan pembangunan di setiap kewilayahan.

Puslitbang Kesos

49

Peta Masalah Sosial di Bone

Potensi dan Masalah Tanete Riattang : Sebuah Analisa Sosial Di bandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Bone, kecamatan Tanete Riattang memiliki keistimewaan tersendiri. Secara geografis, posisi kecamatan yang tepat berada di tengah Kabupaten Bone memberikan keuntungan berupa infrastruktur pemerintahan dan layanan publik yang relatif lebih baik jika dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Posisi geografis Tanete Riattang yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan juga membuat kecamatan ini menjadi tujuan bagi warga Bone di wilayah pinggiran untuk mengadu peruntungan. Akibatnya, secara demografis, Tanete Riattang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Secara historis-kultural, Tanete Riattang juga menempati posisi istimewa di Bone, karena pusat Kerajaan Bone pada masa silam terletak di kecamatan ini. Tidak mengherankan jika di kecamatan ini pula terdapat cagar budaya berupa makan raja-raja bone, berbagai peninggalan dan artefak budaya Kerajaan Bone dan sebuah museum penting yang menyimpan warisan budaya kebesaran Kerajaan Bone dahulu kala. Tak berlebihan kiranya, jika kecamatan ini disebut sebagai pewaris sah kebudayaan Kerajaan Bone pada abad pertengahan. Posisi geografis yang strategis dan warisan kultural yang kaya membuat Tanete Riattang menyimpan potensi ekonomi yang cukup besar untuk didayagunakan menjadi keunggulan wilayah. Kelurahan Manurungge dan Watampone yang dapat dibilang sebagai epicentrum Kabupaten Bone merupakan bagian sentral dari perekonomian Tanete Riattang khususnya, dan Bone umumnya. Kekayaan warisan kultural seperti rumah adat Bugis (Bola Somba) di Kelurahan Watampone, Museum Saoraja Lapawawoi Kr. Sigeri dan makam raja-raja Bone di kelurahan Bukaka juga dapat menjadi objek pariwisata potensial.11 Hanya di Tanete Riattang, diversifikasi mata pencaharian penduduk terjadi dalam porsi yang relatif berimbang. Dari sejumlah kelurahan di kecamatan ini, tiga diantaranya yakni Kelurahan Pappolo, Ta, dan Walennae sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Kelurahan-kelurahan tersebut merupakan kelurahan di wilayah pinggiran kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk relatif rendah. Dengan lahan yang subur, pertanian
11

Potensi Obyek Wisata di Kabupaten Bone, dalam http://www.bone.go.id/pariwisata.php

50

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

di tiga wilayah kelurahan ini berkembang dengan baik. Sementara itu, di tiga kelurahan yakni Watampone, Bukaka dan Manurungge, sektor pertanian bukanlah mata pencaharian utama penduduknya. Kelurahan Bukaka dan Manurungge bergerak pada perekonomian sektor industri, berbeda halnya dengan Watampone yang lebih mengandalkan sektor jasa (administrasi) dan pariwisata. Selain sektor pertanian, jasa dan industri, saat ini Kecamatan Tanete Riattang juga tengah mengembangkan sektor peternakan sebagai bagian dari keunggulan wilayah. Beberapa jenis hewan ternak yang menjadi favorit untuk dikembangkan di wilayah ini adalah antara lain ayam buras, sapi dan kambing.12 Dengan berbagai potensi ekonomi tersebut, Kecamatan Tanete Riattang juga menyimpan potensi-potensi sosial strategis lainnya. Sebagai wilayah yang tergolong perkotaan, Kecamatan Tanete Riattang memiliki berbagai pranata yang dapat digunakan sebagai modal bagi peningkatan dan pengembangan kesejahteraan masyarakat. Beberapa pranata yang telah tersedia di Tanete Riattang antara lain; pranata pendidikan13, pranata sosial14, pranata kesehatan15, pranata keturunan dan kekerabatan yang kuat, serta pranata hubungan dan jaringan kerja yang baik dan mapan. Namun dengan berbagai potensi ekonomi, sosial dan cultural yang dimilikinya, Kecamatan Tanete Riattang yang tergolong wilayah perkotaan juga tak lepas dari berbagai permasalahan sosial. Walaupun tidak sangat kompleks, namun berbagai persoalan yang ada tetap membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah. Karena penanganan yang setengah-setengah hanya akan membuat permasalahan sosial yang muncul semakin banyak dan bukan tidak mungkin menjadi semakin kompleks.

12

13

14

15

Potensi Desa Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2006, atau lihat Bone dalam Angka tahun 2004/2005. Terdapat 74 lembaga pendidikan di Tanete Riattang dengan perincian; TPA/TK 25 buah, SD/ MI 34 buah, SMP/MTs 7 buah dan Perguruan Tinggi 4 buah, BPS Kabupaten Bone, 2005. Terdapat 6 jenis pranata sosial, yakni; arisan keluarga (17 buah), PKK (28 buah), dasawisma (39 buah), siskamling (28 buah), karang taruna (6 buah), LPM/BPD (8 buah) dan jimpitan (11 buah), lihat BPS Kabupaten Bone, 2005. Terdapat 2 puskesmas dan 24 posyandu, 20 dokter, 78 perawat, 16 bidan dan 8 dukun/ pengobat tradisional. Tidak terdapat rumah saki di Tanete Riattang, namun jarak dengan RS kabupaten sangat dekat, BPS Kabupaten Bone, 2005.

Puslitbang Kesos

51

Peta Masalah Sosial di Bone

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 12 jenis permasalahan sosial yang terjadi di Tanete Riattang, sejak dari masalah anak terlantar, anak nakal, anak cacat, wanita rawan sosial ekonomi, penyandang cacat, lanjut usia terlantar, cacat bekas penyakit kronis, napza, eks napi, keluarga fakir miskin, rumah tidak layak huni, sampai keluarga bermasalah psikologi. Dari sejumlah jenis permasalahan tersebut, masalah sosial yang berlatar belakang ekonomi menunjukkan gejala paling dominan. Dari 1520 kasus, terindikasi 80,1% diantaranya merupakan masalah sosial berlatar belakang ekonomi, yaitu dengan perincian 49,2% (748 kasus) masalah keluarga fakir miskin, 33,6% (512 kasus) masalah wanita rawan sosial ekonomi, dan 7,3% (111 kasus) masalah rumah tidak layak huni. Selebihnya, sebesar 19,9% terbagi relatif rata dalam 9 masalah sosial lainnya. Berbagai jenis masalah sosial tersebut di atas merupakan bentuk ancaman secara ekonomi, sosial dan politik bagi proses pembangunan kesejahteraan sosial di Tanete Riattang. Celakanya, ancaman ini secara faktual menjadi lebih besar akibat terbatasnya anggaran belanja daerah bagi upaya penanganan dan penyelesaian pelbagai jenis PMKS tersebut secara menyeluruh dan berkesinambungan. Terlebih dana stimulan bantuan sosial yang diharapkan menjadi bagian dari jawaban persoalan, selama ini masih sangat tergantung pada alokasi dana dari pusat dan provinsi, membuat pemerintah daerah tidak dapat secara leluasa dan cepat menyelesaikan masalah sosial tersebut.

52

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Gambar 2. Peta Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone

Metode Penelitian Jenis penelitian yang dipilih adalah deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran/peta mengenai jenis, kriteria dan lokasi penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber kesejahteraan sosial secara kualitatif di Kabupaten Bone. Deskriptif yang dimaksud adalah mencari dan menggali persepsi yang ada dan berkembang di masyarakat dengan menggali kenyataan sosial yang ada dan mengkaitkannya dengan budaya yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Yakni simbol-simbol penyampaian dan penetapan suatu gejala sosial sebagai kenyataan yang ada di sekeliling masyarakat dan yang dialami oleh anggota masyarakat. 16
16

Lebih lanjut tentang penelitian kualitatif lihat Matthew B Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru Jakarta : UI Press, 1992.

Puslitbang Kesos

53

Peta Masalah Sosial di Bone

Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bone Kecamatan Tanete Riantang, Sulawesi Selatan. Kriteria populasi dalam penelitian ini didasarkan pada penduduk yang menetap di daerah ini, baik dilihat dari jenis kelamin, jenis pekerjaan yang ada, kriteria penduduk penyandang masalah sosial, lokasi, dan potensi serta sumber kesejahteraan sosial di Kabupaten Bone. Sumber data terbagi dalam bentuk sumber data primer, yaitu kategori perorangan atau individu, kelompok, lembaga/institusi yang berkompeten yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Sementara sumber data sekunder mencakup literatur, baik cetak maupun elektronik yang mendukung tujuan penelitian. Alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam (indepth interview), pedoman FGD dan peta wilayah. Data yang berhasil dikumpulkan diolah secara kualitatif, lalu ditampilkan dalam bentuk tabel. Selanjutnya dibentuk matrik pemetaan sosial yang menggambarkan permasalahan sosial dan potensi kesejahteraan. Pendekatan kualitatif yang dimaksudkan disini adalah untuk melakukan pemetaan sosial, pemetaan terhadap pranatapranata sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan menjadikannya suatu aktivitas rutin serta berkesinambungan dilaksanakan oleh masyarakat lokal. Penelitian ini pada dasarnya mempunyai tujuan memetakan masalah sosial yang ada dan muncul di masyarakat dan ditanggapi oleh masyarakat itu sendiri sebagai suatu masalah. Untuk mendeteksi masalah sosial diperlukan suatu pendekatan dan metodologi guna memahami dan memetakan masalah sosial yang terjadi, yaitu dengan melakukan pendekatan yang sifatnya kualitatif, karena masalah sosial adalah masalah perasaan, penilaian berdasar pada norma dan aturan yang menjadi acuan bagi komuniti yang mengalaminya.

Alternatif Strategi Penanganan Masalah Sosial di Tanete Riattang Masalah pokok dari berbagai jenis permasalahan sosial di Tanete Riattang sebagaimana nampak dalam data di atas adalah persoalan kemiskinan. Seperti pernah diungkap banyak kajian bahwa menyelesaikan persoalan kemiskinan tergolong sebagai agenda yang berat dan rumit, meskipun bukan berarti tak teratasi. Oleh karenanya, penerapan strategi 54
Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

yang jitu yang didasarkan atas bacaan yang tepat dan akurat atas data dan realita mutlak diperlukan untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Kisah sukses beberapa negara atau komunitas dalam mengentaskan kemiskinan patut untuk ditelaah sebagai pelajaran dan sumber inspirasi. Banyak analisa yang menyatakan bahwa kemiskinan dipengaruhi banyak faktor, sejak dari persoalan ketertutupan akses modal, struktur sosial dan birokrasi yang menindas, pendidikan sampai budaya. Dan karenanya, penanganan terhadap masalah ini juga membutuhkan berbagai pendekatan. Namun demikian, tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, dalam kasus Tanete Riattang, pelajaran dari Porto Alegre di Brazil dan Grameen Bank di Banglades dalam mengentaskan kemiskinan patut untuk dijadikan inspirasi. Strategi penanganan kemiskinan di Porto Alegre didasarkan atas dua strategi, transparansi dan partisipasi dalam penyusunan dan pengalokasian anggaran daerah. Di Porto Alegre, melalui mekanisme local budgeting forum, setiap warga kota mempunyai hak untuk tahu berapa dan untuk apa anggaran daerah dialokasikan. Bukan hanya itu, warga juga mempunyai hak untuk turut menentukan alokasi anggaran daerah tersebut. Hasilnya, angka kemiskinan di Porto Alegre menurun drastis karena agenda-agenda utama yang menjadi kepentingan publik seperti pengentasan kemiskinan mendapatkan prioritas utama untuk didanai. Selain itu, korupsi juga menjadi tereliminasi yang membuat tingkat kebocoran anggaran untuk rakyat menjadi kecil.17 Strategi yang diterapkan Grameen Bank (GB) lain lagi. Muhamad Yunus, sebagai pendiri GB dan juga peraih nobel perdamaian 2006, berkeyakinan kemiskinan akut yang terjadi di Banglades khususnya daerahdaerah pedesaan akan dapat diatasi jika dapat dilakukan dua hal; pertama, akses terhadap modal bagi rakyat miskin dipermudah. Kedua, kaum perempuan diberdayakan sebagai penggerak roda perekonomian mikro. Melalui GB, Yunus melakukan dua hal tersebut; memberikan pinjaman modal bagi kaum papa secara mudah dan tanpa agunan, dan sasaran pemberian pinjaman itu difokuskan kepada kaum perempuan. Hasilnya, lebih dari 8000 keluarga yang menjadi nasabah GB terangkat taraf
17

Lihat, Boaventura de Sousa Santos, Participatory Budgeting in Porto Alegre : Toward a Redistributive Democracy Sage Publication, 1998

Puslitbang Kesos

55

Peta Masalah Sosial di Bone

perekonomiannya yang berdampak pada naiknya taraf pendidikan dan kesehatannya.18 Dua kasus tersebut, mengajarkan kita setidaknya terdapat empat strategi yang dapat digunakan dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Tanete Riattang, yakni melalui transparansi anggaran daerah, partisipasi (melibatkan masyarakat) dalam penyusunan alokasi anggaran, permudah akses modal bagi rakyat miskin, dan berdayakan perempuan sebagai leading sector penggerak ekonomi rumah tangga. Pertanyaannya, mungkinkah hal itu dilakukan? Menurut bacaan saya sangat mungkin! Pertama, dengan disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2002 memberikan peluang bagi setiap kabupaten/kota melakukan inovasi dan inisiasi dalam pembangunan wilayahnya masing-masing. Berdasarkan UU ini, daerah (kabupaten/kota) mempunyai kewenangan dan otonomi penuh untuk mengembangkan kreatifitas membangun daerahnya, diluar lima hal; pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, fiskal dan agama. Kedua, Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 050/987 Tahun 2003 yang menawarkan proses perencanaan pembangunan secara partisipatif (rakorbang partisipatif) membuka peluang bagi terjadinya participatory budgeting. Dengan SE ini, ide untuk membuat semacam participatory atau local budgeting forum di tingkat kabupaten ataupun kecamatan mempunyai pijakan hukumnya. Ketiga, iklim demokratisasi telah membuka kesadaran masyarakat kita akan pentingnya transparansi, efektivitas, efisiensi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Demokratisasi juga membuat organisasi-organisasi sosial masyarakat sebagai bagian dari civil society tumbuh subur, termasuk di Kabupaten Bone, khususnya di Tanete Riattang. Instrumen ini penting bagi pelaksanaan strategi-strategi tersebut di atas. Keempat, faktanya dari data penyandang masalah sosial tersebut terdahulu, perempuan merupakan kelompok masyarakat yang cukup dominan menyandang masalah sosial. Padahal jika diberdayakan, akan menjadi roda penggerak ekonomi keluarga yang sangat efektif. Dengan berbagai argumentasi tersebut, penerapan strategi pengentasan kemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dapat dilakukan. Oleh sebab itu, masalahnya bukan lagi seberapa mungkin strategi itu dapat
18

Lihat situs resmi Grameen Bank : www.grameen-info.org

56

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

diterapkan, melainkan seberapa kuat kemauan kepala daerah dan pihakpihak terkait melakukannya. Sebagai cacatan, strategi program/kegiatan dari pemerintah nantinya selayaknya bersinergi positif dengan pranatapranata sosial yang ada di masyarakat. Jika nilai, identitas, kultur, pola hidup dan pranata sosial yang ada di masyarakat diabaikan, dikhawatirkan akan menimbulkan segregasi sosial, ekonomi dan etnik, atau sekurangnya tidak mendapatkan apresiasi masyarakat lokal. Bercermin dari lingkup masalah sosial dan berbagai strategi penangannya, perlu ditegaskan bahwa target sasaran yang perlu diperhatikan untuk program penanganan masalah sosial di Tanete Riattang adalah rumah tangga miskin, kelompok perempuan rawan sosial-ekonomi, balita dan anak cacat, serta anak nakal dan anak terlantar. Sementara potensi institusi lokal yang bisa dioptimalkan adalah kelompok tani/kelompok usaha yang diharapkan dapat bersinergi dengan KUBE, Kukesra dan Koperasi. Selanjutnya PKK, posyandu, puskesmas dan pengajian yang diharapkan mampu bersinergi dengan dokter dan tenaga medis yang ada serta para tokoh agama; serta karang taruna dan LPM yang menjembatani akses pengambilan keputusan terkait hajat hidup masyarakat di lingkungannya. Beberapa program dapat digagas untuk menjalankan berbagai strategi penanganan masalah sosial diantaranya; Program Mitra Usaha Mandiri yang meliputi program penguatan ekonomi produktif bagi keluarga miskin, perempuan dan petani; Program Kesehatan Terpadu yang meliputi penyuluhan balita sehat, pembinaan penyandang cacat, bina anak terlantar dan tuna susila; Program Peningkatan Kualitas Layanan Panti dan Program penyediaan database PMKS melalui sejumlah penelitian dan pengkajian.

Kesimpulan Tanete Riattang sebagai salah satu kecamatan utama di Kabupaten Bone memiliki potensi ekonomi, sosial dan budaya yang cukup strategis untuk dikembangkan. Potensi ekonomi yang perlu untuk terus dikembangkan di Tanete Riattang terutama berada pada sektor pertanian, industri dan jasa (administrasi), termasuk sektor peternakan. Untuk potensi sosial Tanete Riattang terutama pada ketersediaan berbagai pranata yang cukup lengkap yang dapat digunakan sebagai instrumen penting dalam menangani berbagai permasalahan sosial. Selain itu, berbagai keunggulan demografis dan geografis juga menjadi modal sosial tersendiri yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kecamatan ini ke depan. Disamping tentunya potensi budaya Tanete Riattang berupa berbagai peninggalan
Puslitbang Kesos

57

Peta Masalah Sosial di Bone

budaya Kerajaan Bone yang dulu memang berlokasi di kawasan Tanete Riattang. Selain memiliki berbagai potensi unggulan, Tanete Riattang tidak lepas dari sejumlah permasalahan sosial yang patut untuk segera ditangani. Dari sejumlah masalah tersebut (12 jenis PMKS), maka masalah kemiskinan menjadi problem utama dan mendesak yang harus segera ditangani bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Ditilik dari diterminan kemiskinan, disamping disebabkan oleh kebijakan internal yang tidak kondusif bagi penguatan perekonomian lokal, tampaknya tergesernya fungsi dan rapuhnya peran jaringan pranata sosial-ekonomi semakin memperburuk ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Dengan demikian sebenarnya penguatan ketahanan sosial ekonomi tidak cukup dengan menemukan apa saja modal sosial yang ada, tetapi lebih luas lagi bagaimana menggalang kekuatan untuk mengembangkan jaringan lokal (desa) guna lebih berdaya dan tetap kokoh di tengah derasnya terpaan perubahan global. Karena itu penting untuk menangani berbagai masalah tersebut utamanya masalah kemiskinan, agar digunakan strategi yang berprinsip pada transparansi, partisipasi, mempermudah akses modal bagi rakyat miskin dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan fungsi dan peran sumber-sumber kesejahteraan sosial lokal melalui; 1. Peningkatan kualitas SDM para penggiat pranata sosial dan ekonomi melalui pelatihan para pengurus perkumpulan sosial-ekonomi, organisasi sosial berbasis okupasi (mata pencaharian pokok di tingkat lokal) yang umumnya cukup eksis di wilayah ini, serta organisasi sosial berbasis jender yang meskipun kegiatannya mengalami pergeseran (PKK dan Posyandu) tetapi perannya masih cukup efektif bagi peningkatan kualitas hidup utamanya warga miskin. Mempermudah akses modal bagi rakyat miskin dan perempuan melalui bantuan stimulan yang digulirkan secara proporsional dan merata. Serta menekan rebaknya spekulan dan para tengkulak (rentenir) yang memainkan nilai hasil produksi para petani/usaha kecil lokal. Membentuk kelompok jaringan atau forum bersama antar kelompok sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan seterusnya sebagai wadah edukasi, tukar informasi, termasuk menjadi embrio bagi terbentuknya semacam local budgeting forum.
Puslitbang Kesos

2.

3.

58

Peta Masalah Sosial di Bone

4.

Pengawasan secara berkesinambungan baik dari pemerintah daerah, provinsi dan pusat, maupun kalangan masyarakat untuk menjamin terlaksananya program sesuai dengan maksud dan tujuannya.

DAFTAR PUSTAKA
Adrinof A. Chaniago, 2001, Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, Jakarta: LP3ES. BPS (Statistic Indonesia)-Bappenas-UNDP, 2004, tentang The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. Christiaan Grootaert, Deepa Narayan, Veronica Nyhan Jones, dan Michael Woolcock, Measuring Social Capital: An Integrated Questionnaire, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, November, 2003, dalam http:// www.mapl.com.au/A13.htm. Deepa Narayan and Michael F. Cassidy, A Dimensional Approach to Measuring Social Capital: Development and Validation of a Social Capital Inventory, Current Sociology, March 2001, Vol. 49(2). Lihat http://www.mapl.com.au/A13.htm. Ian Winter, Towards a theorized understanding of family life and social capital, Australian Institute of Family Studies, Working Paper No. 21, April 2000, dalam http://www.mapl.com.au/A13.htm. Kabupaten Bone Dalam Angka, 2005, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone. Potensi Obyek Wisata di Kabupaten Bone, dalam http://www.bone.go.id/ pariwisata.php Rudito, Bambang dkk., 2005, Peta Permasalahan Sosial di Kabupaten Sebatik, Litbang Depsos RI. Tim Crescent IPB, 2003, Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial, 2003, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Puslitbang Kesos

59

Peta Masalah Sosial di Bone

Lampiran
Gambar 3. Kelurahan Pappolo, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 4. Kelurahan Walannae, Kecamatan Tanete Riattang

60

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Gambar 5. Kelurahan Bukaka, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 6. Kelurahan Manurungnge, Kecamatan Tanete Riattang

Puslitbang Kesos

61

Peta Masalah Sosial di Bone

Gambar 7. Kelurahan Ta, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 8. Kelurahan Watampone, Kecamatan Tanete Riattang

62

Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Gambar 9. Kelurahan Masumpu, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 10. Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang

Puslitbang Kesos

63

DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL DI KECAMATAN TOMOHON TENGAH KOTAMADYA TOMOHON - MINAHASA1


Rusmiyati, SE 2 ABSTRAK
Kotamadya Tomohon sebagai salah satu kota yang baru memisahkan diri dengan Kabupaten Minahasa memiliki berbagai permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian. Masalah dimaksud adalah belum tersedianya data (database) yang akurat sebagai bahan untuk menyusun rencana program pembangunan wilayah. Penelitian ini secara deskriptif mencoba menggambarkan kondisi dan permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di wilayah Kotamadya Tomohon, khususnya di Kecamatan Tomohon Tengah yang terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan, yaitu Kelurahan Talete Satu, kelurahan Talete Dua, Kelurahan Matani Satu, Kelurahan Matani Dua, Kelurahan Matani Tiga, Kelurahan Komasi, dan Kelurahan Kolongan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah-masalah kesejahteraan sosial sebagian besar bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah, yang antara lain disebabkan oleh merosotnya pendapatan bidang pertanian. Sementara itu untuk beralih ke luar sektor pertanian belum didukung oleh kondisi SDM yang memadai. Oleh karena itu, masalah kemiskinan dan masalah lain yang terkait cukup dominan di wilayah ini, misalnya fakir miskin, rumah tidak layak huni, lanjut usia terlantar, dan keluarga rentan. Untuk itu penelitian ini mengajukan rekomendasi antara lain: (1) perlunya program pemberdayaan fakir miskin sesuai dengan kondisi setempat; (2) penanganan masalah lanjut usia yang sudah ada pedoman pengembangannya, perlu penanganan yang lebih tuntas; dan (3) perlu membangun kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya, serta meningkatkan kapasitas Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) agar lebih berperan dalam pembangunan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Kata kunci: Masalah Sosial, Kemiskinan

Diangkat dari penelitian Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Tomohon Tengah Kotamadya Tomohon, Minahasa, dengan Tim: Drs. Ahendy Priatna, M.Si, Drs. Agus Dairo Beke, MM, dan Rusmiyati, SE. Rusmiyati, staff Subbid Perencanaan dan Anggaran, Bidang Program, Puslitbang Kessos

Puslitbang Kesos

65

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Pendahuluan Perubahan sistem pemerintahan dalam negeri dengan sistem otonomi daerah membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap permasalahan sosial secara lokal. Jika pemerintahan sebelumnya (Zaman Orde Baru) bersifat sangat power oriented yang bernuansa pelestarian rezim kekuasaan, tidak memberi ruang gerak pada masyarakat, dan semua harus menunggu perintah penguasa, maka kini semuanya berubah dalam bentuk keterbukaan, dan dengan demikian semua permasalahan yang selama ini terpendam secara terselubung muncul keper mukaan. Otonomi daerah merupakan jembatan menuju kemajuan suatu daerah, tetapi dibalik itu merupakan sumber masalah baru, yaitu dengan munculnya masalah lain berupa berbagai konflik kepentingan di setiap daerah otonom. Persoalan-persoalan muncul secara estafet dan ragamnyapun semakin banyak, sejalan pula dengan perkembangan suatu daerah (Otonom), bobot permasalahan baik secara kuantitas maupun kualitas cenderung meningkat. Tiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda-beda sesuai kondisi daerah masing-masing. Jika digeneralisir permasalahan setiap daerah akan terlihat adanya permasalahan yang serupa, hanya motifnya yang berbedabeda. Sebagai contoh: kenakalan remaja, mabuk-mabukan, narkoba dan sebagainya hampir terjadi di semua daerah. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah Kota Tomohon menjadi semakin besar dan bertambah. Pemerintah Kota Tomohon dituntut untuk melaksanakan pembangunan dibidang kesehatan dan kesejahteraan sosial serta menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat dalam ruang lingkup bidang tersebut dengan sumber daya atau potensi yang terbatas, baik dari sisi SDM, sarana dan prasarana maupun dari sisi anggaran. Sebagai upaya untuk menggali sumber permasalahan dapat dilakukan melalui suatu pengkajian berdasarkan kondisi daerah masing-masing. Upaya memaparkan dan mendiagnosa permasalahan di setiap daerah bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman tentang sumber dan motif permasalahan yang dikaji berdasarkan struktur sosial, kondisi eknonomi politik dan budaya masyarakat di masing-masing daerah. Ilustrasi diatas memberi gambaran bagaimana permasalahan masyarakat di berbagai daerah dengan perbedaan kondisi geografis, struktur masyarakat, budaya 66
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

dan nilai masyarakat setiap daerah mewarnai jenis dan jumlah permasalahan yang terdapat dimasing-masing daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan pokok penelitian ini adalah bahwa daerah belum memiliki data yang akurat tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) serta Potensi dan Sumberdaya Kesejahteraan Sosial (PSKS). Oleh karena itu, masih mengalami hambatan dalam merumuskan kebijakan dan program kesejahteraan sosial yang responsif terhadap kondisi yang ada. Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman yang sempurna tentang permasalahan sosial, baik tentang potensi penyebab tumbuh kembangnya permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat maupun kuantitas dan kualitas permasalahan kesejahteraan sosial di wilayah penelitian. Permasalahan sosial terjadi dimana-mana di seluruh wilayah Indonesia dengan faktor dan tingkat frekuensi yang berbeda-beda. Munculnya anekaragam permasalahan sosial tersebut bila didiagnosa lebih mengacu pada kasus sebab akibat, artinya masalah itu timbul karena ulah manusia, dan ketika manusia menangani masalahnya disitu timbul masalah lagi sehingga semakin lama semakin membesar ibarat bola salju (snow ball) dan berkarakter masalah yang akan menimbulkan masalah yang lain. Permasalahan sosial bersumber dari faktor internal yakni suatu sistem sosial yang menunjuk gejala ketimpangan struktural di masyarakat dalam penanganan permasalahan, sedangkan faktor eksternal lebih mengacu pada kebijakan pemerintah yang diwarnai dengan intervensi pemerintah melalui program di berbagai sektor. Akibat dari intervensi pemerintah yang sangat dominan, pada akhirnya menimbulkan permasalahan, misalnya: pertama, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah menjadi sangat tinggi, sehingga ketika masyarakat sedikit mengalami masalah, harapannya adalah menunggu bantuan pemerintah. Kedua, kemandirian menjadi hilang sehingga pola membantu mereka agar menolong dirinya sendiri jadi hilang. Dampaknya menimbulkan masalah baru yang secara proses dimulai dengan ketiadaan kepercayaan diri untuk bangkit berupaya keluar dari masalah, berpasrah menerima keadaan apa adanya. Individu-individu atau masyarakat yang mengalami masalah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dikenal sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ada 27 jenis PMKS yang telah diidentifikasi
Puslitbang Kesos

67

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Departemen Sosial, antara lain: balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan, anak cacat, anak korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak nakal, wanita rawan sosial ekonomi, wanita yang menjadi korban tindak kekerasan, lanjut usia terlantar, lanjut usia korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, penyandang cacat, penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis, tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas narapidana, korban penyalahgunaan napza, keluarga fakir miskin, keluarga berumah tak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, komunitas adat terpencil, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, korban bencana alam, korban bencana sosial, pekerja migran terlantar, penyandang HIV/ AIDS, dan keluarga rentan (Pusat Data dan Informasi Depsos, 2002). Suatu hal yang erat kaitannya dengan PMKS adalah sumber kesejahteraan sosial. Pengertian sumber menurut Max Siporin (Sukoco, 1991), adalah sesuatu yang bermanfaat, dapat dimobilisasi dan dapat digunakan sebagai alat dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah. Setiap masyarakat mempunyai berbagai potensi dan sumber antara lain sumber daya alami, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial. Untuk mempertahankan kehidupannya, suatu masyarakat memanfaatkan dan mengorganisasikan semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas seperti aktivitas ekonomi, sosial, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong dan sebagainya. Di dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial, potensi dan sumber kesejahteraan sosial merupakan faktor kekuatan/modal, sedangkan masalah kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai faktor kelemahan atau tantangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat tidak hanya mempunyai kelemahan atau tantangan, tetapi juga potensi dan sumber yang merupakan kekuatan diri untuk menghadapi kelemahan atau tantangan. Namun demikian tidak semua golongan atau masyarakat mampu memanfaatkan sumber dengan baik. Dalam hal yang demikian diperlukan pihak luar untuk menyadarkan dan mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sumber yang ada secara maksimal.

Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dengan maksud mencari dan menggali persepsi yang ada dan berkembang di masyarakat dengan menggali kenyataan sosial yang ada dan mengkaitkannya dengan budaya yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Tehnik pengumpulan data 68
Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

menggunakan: data sekunder, wawancara mendalam: dengan masyarakat umum, penyandang masalah, tokoh masyarakat (formal atau informal) dan juga aparat setempat, dan observasi terhadap kondisi fisik lokasi, tata kehidupan masyarakat setempat (masyarakat lokasi penelitian), pola hidup (kegiatan ekonomi) potensi geografis wilayah dan sumber daya manusianya serta faktor-faktor lain yang berkaitan.

Gambaran Lokasi Penelitian


1. Kondisi Wilayah

Jumlah penduduk miskin berdasarkan data Bapeda Kota Tomohon (Maret 2005) berjumlah: 6938 KK atau mencapai 16,02%. Hal ini memberi indikasi bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan penduduk miskin yang nantinya berdampak pada masalah sosial dan kesehatan. Meningkatnya kasus-kasus penyakit pada akhir-akhir ini seperti demam berdarah dengue (DBD) 14 kasus, malaria: 217 kasus, TB paru klinis: 763 kasus, Hipertensi: 3860 kasus, diabetes militus: 362 kasus. Hal ini diakibatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sehat belum optimal, serta gaya hidup cenderung berpestapesta dengan ungkapan Kalau ada tada kalau tidak haga akhirya berdampak pada kesehatan dan masalah sosial. Meningkatnya pengangguran dan permasalahan sosial lainnya dikarenakan minimnya pendidikan formal dan keterampilan anakanak putus sekolah, dimana data menunjukkan anak terlantar sebanyak 6900 orang, anak nakal: 1236 anak. Anggapan masyarakat bahwa permasalahan sosial adalah tanggung jawab pemerintah. Penyandang masalah kesejahteraan sosial pada umumnya mengalami masalah kemiskinan dan kondisi ketidakberdayaan fakir miskin dapat dilihat dari tidak adanya alternatif individu, keluarga dan komunitas dalam menentukan pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya. Kecamatan Tomohon Tengah terletak pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut dengan suhu udara 28 derajat celcius. Kondisi lingkungan masyarakat kondusif, tentram dengan penduduk mayoritas homogen. Jarak ke Ibu Kota Tomohon 2,5 km dengan waktu tempuh 5 menit, dari ibukota provinsi sekitar 25 km, dan
Puslitbang Kesos

69

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

dengan sarana transportansi umum yang relatif lancar dan memadai. Kecamatan Tomohon terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu Kelurahan Talete Satu, Kelurhan Talete Dua, Kelurahan Matani Satu, Kelurahan Matani Dua, Kelurahan Matani Tiga, Kelurahan Komasi, dan Kelurahan Kolongan. Jumlah penduduk seluruhnya sekitar 18.556 jiwa, sebagian besar (90%) beragama Kristen Protestan, sebagian lainnya Katholik, Islam, dan Budha.
2. Potensi dan Sumber Alam

Hasil yang saat ini diperoleh dari pengolahan tanah berupa hasil pertanian tanaman padi dan palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kacang kedelai. Sedangkan produksi padi pada tahun 2004 menghasilkan padi sekitar 6.995 ton. Produksi tanaman sayuran tahun 2004 mencapai 9.839 ton, produktivitas tertinggi didominasi oleh tanaman terong sebesar 162,74 kw/ha. Sedangkan produksi tanaman perkebunan terdiri dari kelapa, cengkeh, vanili, kopi, dan kakao. Produksi tanaman perkebunan terbanyak adalah kelapa mencapai 729,125 ton. Untuk tahun 2004, sektor peternakan populasi terbesar terdiri dari sapi, kuda, kambing dan babi. Melihat potensi alam, terutama hasil pertanian dan perkebunan, pasang surutnya tampak tergantung dari luas lahan yang semakin menyempit dikarenakan banyak pembangunan permukinan penduduk, mini market dan mall.
3. Agama dan Kepercayaan

Agama yang dianut penduduk Kecamatan Tomohon Tengah mayoritas beragama Kristen Protestan. Dan sebagian lainnya beragama Katholik, Islam, dan Budha. Dengan demikian di lokasi kajian sarana ibadah yang paling menonjol adalah Gereja. Di Kecamatan Tomohon Tengah hanya terdapat sarana ibadah umat Islam, yaitu satu buah Masjid. Semua tempat ibadah tersebut merupakan usaha swadaya masyarakat. Saat ini semuanya masih dalam kondisi bagus dan masih digunakan sebagai tempat untuk ibadah umat penduduk di wilayah Kecamatan Tomohon Tengah. Kelompok-kelompok yang terkait dengan keagamaan yang ada di Kecamatan Tomohon Tangah adalah kelompok kebaktian gereja.

70

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Kegiatan yang dilakukan kelompok ini diantaranya adalah mengadakan kebaktian.


4. Sarana Pendidikan

Sebagai daerah perkotaan, Tomohon Tengah mempunyai sarana pendidikan yang relatif cukup lengkap, dari mulai TK sampai pergurunan tinggi. Sekolah negeri yang dimiliki wilayah ini adalah SD (3 buah), SLTP (3 buah), dan satu perguruan Tingga Negeri. Sedangkan sebagian lainnya yang jumlahnya relatif lebih banyak adalah sekolah atau perguruan tinggi swasta, yakni terutama yang dikelola oleh yayasan atau perkumpulan agama. Tabel 1. Sarana Pendidikan di Kecamatan Tomohon Tengah
No. 1. 2. 3. 4. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Jenis Fasilitas Pendidikan TK Swasta SD Negeri SD Swasta SLTP. Negeri SLTA. Swasta PT.Swasta PT.Negeri Akademi Swasta SLB Sekolah Kursus Montir Kursus Menjahit BLK Jumlah 13 3 9 3 7 5 1 2 1 3 7 1

5.

Kesehatan

Untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan/perawatan kesehatan masyarakat di Kecamatan Tomohon Tengah, umumnya penduduk memanfaatkan sarana kesehatan yang telah ada dan letaknya relatif cukup dekat. Masing-masing Puskesmas maupun Balai Pengobatan Jemaat Gereja maupun rumah sakit swasta (dibawah yayasan gereja) di Kecamatan Tomohon Tengah saat ini memiliki seorang Dokter, Perawat, dan Bidan dan para medis/perawat.

Puslitbang Kesos

71

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Tabel 2. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Tomohon Tengah


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Fasilitas Kesehatan Apotik Rumah sakit Posyandu Dokter Praktek Bersama Dokter Umum Dokter Gigi Dokter Mata Dokter THT Dokter Kulit Dokter Jiwa Dokter Hewan Bidan Mantri Kesehatan Dukun Bayi Puskesmas Puskesmas Pmbantu Toko Obat Dukun a 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 b 1 1 1 1 1 1 1 c 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 Kelurahan d e 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 2 2 1 1 2 2 1 3 1 2 1 1 2 1 1 2 f 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 g 1 2 1 2 1 1 1 1 3 -

Keterangan: a = Kel. Talete 1 b = Kel. Talete 2

c = Kel. Komasi d = Kel. Kolongan

e = Kel. Matani 1 f = Kel. Matani 2

g = Kel. Matani 3

6.

Ekonomi

Sebagai daerah perkotaan, Tomohon Tengah mempunyai sarana ekonomi yang cukup lengkap, misalnya warung/toko, pasar, mall/ swalayan dan sebagainya. Secara lebih rinci sarana ekonomi yang ada dapat dilihat pada tabel 3. Oleh karena itu, kebutuhan sandang dan keseluruhan bahan pangan masyarakat Tomohon Tengah mudah diperoleh dari pasar di lingkungan sekitar. Selain belanja langsung di pasar yang ada di wilayah kecamatan tersebut, masyarakat juga belanja di Mall dan juga di Minimarket/Supermarket yang banyak bertebaran di wilayah ini khususnya di Kota Tomohon.

72

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Tabel 3. Fasilitas Ekonomi PendudukKecamatan Tomohon Tengah


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Jenis Fasilitas Kesehatan Warung/Kios Koperasi Super Market/Toko Bank Usaha bersama Kel.Simpan Pinjam Badan Kredit Desa Lumbung Pitih Nagari Usaha Industri Kecil Usaha Industri RT Diskotik Karaoke Rumah Bilyar Gdg.Bioskop Hotel/Motel Restoran Losmen Pasar Biro Perjalanan Cafe Mess/asrama a 14 1 6 1 2 1 4 5 3 2 5 2 1 1 4 b 10 6 2 2 2 2 4 3 1 3 Kelurahan c d e 44 8 2 13 6 1 1 1 1 1 1 5 1 2 3 1 9 7 2 3 2 1 2 3 f 62 1 1 g 7 2 5 3 3 3 3 1 2 -

Permasalahan Kesejahteraan Sosial Fakir miskin merupakan masalah yang sangat menonjol di Tomohon Tengah. Warga masyarakat yang digolongkan sebagai keluarga miskin didasarkan pada tingkat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari serba kekurangan, kondisi bangunan rumah yang tidak layak huni, serta tingkat produktivitas kepala keluarga rendah dan kondisi lain yang tidak mendukung. Kriteria atau pengkategorian warga masyarakat miskin menurut kondisi lokal adalah sebagai berikut: a. Penghasilan kecil/tidak tetap dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. b. Tingkat produktivitas Kepala Keluarga yang rendah, karena sebagai pencari nafkah utama sudah memasuki usia lanjut/pensiun.
Puslitbang Kesos

73

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

c.

Kondisi bangunan rumah sudah rapuh dan sangat buruk dan bahan atap dari seng yang sudah tua atau menggunakan kayu yang sudah rapuh dengan lantai tanah atau papan. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih menumpang dan kontrak/sewa baik dengan orang tua/mertua maupun kerabatan lainnya. Ukuran bangunan rumah relatif kecil yaitu antara 5 x 4 meter atau 5 x 6 meter dan biasanya tidak mempunyai perekat ruangan.

d.

e.

Sebenarnya secara jujur Wilayah Minahasa (termasuk Tomohon) tidaklah pantas menyandang predikat fakir miskin, karena umum sudah mengetahui bahwa wilayah ini merupakan daerah subur, masyarakatnya intelek dan penghasil cengkeh terkenal. Namun munculnya permasalahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: a. Pertama-tama berawal dari anjloknya harga cengkeh beberapa tahun silam sehingga semangat masyarakat petani cengkeh turun drastis, dengan demikian sumber penghasilan dari cengkeh tidak lagi menjanjikan. Diikuti oleh kondisi rawan bencana yang juga meliputi daerah perkebunan cengkeh sehingga muncul kekhawatiran para petani sehingga tidak lagi menggarap lahan perkebunannya. Karena pergeseran gaya hidup dengan perkembangan kota desa sehingga masyarakat lebih cenderung beralih ke pola hidup kota (modern). Kurangnya dukungan Pemda setempat bagi kaum petani sehingga dengan mudah para petani begitu saja meninggalkan lahan pertaniannya. Seandainya dimotivasi agar beralih tanam hal ini masih memungkinkan adanya alternatif penghasil lain selain cengkeh.

b.

c.

d.

Ketika para petani beralih profesi menjadi pedagang, atau pengusaha rumah tangga, mereka tidak siap untuk itu sehingga alternatif pilihan adalah menjadi pekerja di Mall, Supermarket, Pertokoan dan sebagainya. Namun kendala lain yang dihadapi, yaitu tidak memiliki keterampilan yang memadai, dan lagi pula lapangan kerja yang tersedia di perkotaan tidak memadai dengan jumlah pencari kerja. Akhirnya secara proses jumlah fakir miskin sedikit demi sedikit mulai membengkak.

74

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Tabel 4. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Setiap Kelurahan


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Kelurahan a b c d e f g Anak Nakal 33 75 Anak Jalanan 16 Anak Cacat 4 Wanita Rawan Sosek 4 6 54 Penyandang cacat 21 9 28 25 16 15 Eks Napi 10 6 6 Kel.Fakir Miskin 106 109 258 215 96 126 166 Kel.Rmh tdk layak 38 20 24 30 20 Kel.Rentan 24 Pengungsi 3 Anak Terlantar 24 50 40 16 60 Wanita Krbn Kekerasan 16 15 97 16 10 26 LU Terlantar 30 55 10 25 115 96 Rawan Banjir 46 50 Korban benc. Alam 15 Kel.Bermasalah Sos. Psik. 2 Eks.Pnykt Kronis 10 Jenis PMKS

Tabel 5. Data Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di Setiap Kelurahan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14 Jenis PSKS Arisan PKK PSM Orsos Kemasy. Karang Taruna Orsos LKMD Org. Pemuda Dunia Usaha Peduli Kesos Panti Asuhan Koperasi Org. Profesi Panti Werdha Rmh Jompo a 2 2 4 1 1 1 2 1 2 8 b 1 2 4 2 2 1 2 2 c 1 1 5 1 1 1 1 Kelurahan d e 3 2 1 2 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 f 1 1 1 4 2 1 1 1 1 g 1 1 2 1 1 1 1 1 1 -

Puslitbang Kesos

75

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Rumah tidak layak huni di beberapa kelurahan hampir sama dengan kondisi di kelurahan lainnya yang ada di wilayah Kecamatan Tomohon Tengah yaitu Kelurahan Talete I dan II, Kelurahan Matani I, II, III, Kelurahan Komasi dan Kelurahan Kolongan. Jumlah rumah tak layak huni pada kelurahan yang mempunyai permasalahan ini berkisar antara: 20 hingga 30 keluarga. Rumah-rumah tersebut adalah rumah dalam bentuk rumah asli Minahasa yang sebagian besar terbuat dari kayu. Karena ketiadaan biaya perbaikan, maka rumahrumah ini semakin lama semakin rusak dan kondisinya tampak tidak layak huni. Para penghuninya tidak punya kemampuan untuk memperbaiki rumahrumah tersebut sehingga melapor dan meminta bantuan melalui dinas sosial setempat. Kriteria rumah tidak layak huni menurut kondisi lokal, sebagai berikut: a. Jumlah penghuni yang tidak sebanding dengan luas rumah b. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh c. Ukuran bangunan rumah relatif kecil d. Status kepemilikan bangunan rumah masih menumpang e. Kurangnya perlengkapan fasilitas MCK. Wanita korban tindak kekerasan terdapat hampir di setiap kelurahan (ada enam kelurahan). Wanita yang digolongkan sebagai wanita korban kekerasan didasarkan pada status perkawinan, tingkat penghasilan dan jumlah beban tanggungan. Kategori wanita korban kekerasan didasarkan pada kriteria lokal, sebagai berikut: a. Usia antara 20 hingga 60 tahun b. Status perkawinan: janda ditinggal mati suami atau belum menikah. c. Banyak anak dan belum ada yang menikah. d. Penghasilan kecil e. Memiliki sumber penghasilan yang tidak menentu. Lanjut Usia terlantar terdapat hampir disemua kelurahan. Ada di 6 (enam) kelurahan yang ada di Kecamatan Tomohon Tengah. Warga masyarakat di golongkan lanjut usia terlantar didasarkan pada usia, kondisi ekonomi, serta seberapa besar perhatian dan perawatan yang diberikan oleh anak/cucu atau keluarga lainnya. Sedangkan kriteria yang digunakan di Tomohon Tengah, sebagai berikut:

76

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

a. b.

Umur diatas 60 (enam puluh) tahun keatas. Hidup sendiri atau bersama anak/cucu atau keluarga lainnya tetapi sangat kurang diperhatikan dalam perawatan, permakanan dan kebutuhan hidup lainnya, baik karena ketidakmampuan ekonomi maupun non ekonomi. Masalah Anak Nakal merupakan masalah yang bersifat embrio yang muncul melalui tahapan-tahapan proses yang kelihatannya bersumber dari faktor lingkungan. Keterangan-keterangan yang diperoleh di lapangan menggambarkan proses seperti itu. Perkembangan kota desa yang memang berkembang dewasa ini menyebabkan juga adanya perubahan perkembangan perilaku anak, misalnya munculnya tempat belanja berupa supermarket, caf, atau diskotik, yang menyebabkan para remaja mulai beradaptasi diri dengan tempattempat ini. Contoh kasus lapangan yang dilihat langsung adalah di salah satu supermarket, sejak supermarket buka hingga ditutup pada malam harinya, polisi piket di depan supermarket dengan maksud menghindari masuknya para remaja siswa sekolah terutama pada jam-jam pelajaran sekolah (baik siswa pagi maupun siswa siang). Hal yang sama dilakukan di caf-caf atau tempat hiburan lainnya. Pada mulanya masyarakat di wilayah Tomohon terkenal sebagai petani cengkeh yang ulung, sekarang pola hidup sudah mulai bergesar dengan perubahan paradigma sebagai pedagang, pengusaha versi perkotaan. Oleh karena itu, putra-putri mereka juga secara otomatis mewarisi gaya hidup ini dengan tidak disebut sebagai anak petani dan lebih prestise kalau disebut sebagai anak pengusaha (ala kota pedesaan). Akibatnya, selepas sekolah mereka tidak mempunyai kegiatan, sehingga untuk mengisi kekosongan terjadilah pertemuan antar remaja dan kalau sudah berkumpul mulai bertindak yang tidak wajar. Dari sinilah timbul kenakalan-kenakalan remaja. Bentuk kenakalan anak menurut definisi wilayah ini adalah menggangu ketertiban masyarakat setempat dengan tindakan kumpul-kumpul yang disertai mabukmabukan, dengan mengkonsumsi minuman keras (miras), tindak kriminal walaupun dalam skala Desa/kelurahan dalam bentuk mengganggu milik masyarakat. Masalah yang dekat dengan anak nakal dan anak terlantar yaitu anak jalanan, yakni para remaja yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di jalanan secara tidak menentu. Faktor penyebabnya adalah faktor putus sekolah, ketiadaan kegiatan yang pasti dan ketidaksadaran akan makna
Puslitbang Kesos

77

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

mencari hidup. Diawali dengan jarang tinggal di rumah kemudian menjadi keseringan maka pada akhirnya hidup di luar menjadi suatu yang merupakan kebiasaan dan pada akhirnya menjadi pilihan. Faktor penyebab munculnya anak jalanan ini, berawal dari kurangnya pengawasan orang tua, namun karena kembali lagi terjadi perkembangan kota pedesaan maka cukup membawa pengaruh pada kebiasaaan hidup anak. Permasalahan Wanita Rawan Sosial Ekonomi adalah suatu permasalahan yang dialami oleh sekelompok wanita, dimana para wanita ini tidak mempunyai sumber penghasilan yang tetap. Minimnya lapangan kerja bagi kaum wanita di Kelurahan ini menjadi sumber permasalahan. Sebagai wilayah kelurahan yang kapasitas pertumbuhan industri tidak memungkinkan, maka sulit bagi para wanita untuk mendapatkan sumber penghidupan yang tetap. Hal ini ditambah pula dengan ketiadaan keterampilan yang dimiliki para wanita ini. Informasi lapangan yang diperoleh menyatakan, bahwa permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan menurunya secara drastis pertanian cengkeh yang tadinya menjadi idola di wilayah ini. Selepas dari itu para wanita ini sama sekali tidak punya alternatif lain untuk mengatasi permasalahan mereka. Permasalahan kecacatan secara khusus merupakan masalah yang tidak semata karena kelalaian manusia, seperti misalnya cacat karena faktor bawaan, maka permasalahan yang dihadapi di kelurahan ini merupakan masalah sosial umum yang penanganannya berada dibawah Pemerintah Daerah setempat. Jumlah kasusnya cukup banyak yakni 114 kasus. Dari sejumlah penyandang terdapat banyak diantaranya yang dapat dibina untuk melakukan kegiatan mandiri dengan dimodali oleh Pemda setempat. Masalah yang terkesan rawan bagi masyarakat adalah eks narapidana, dengan alasan kalaukalau suatu saat nanti perilakunya akan muncul kembali. Para napi pun ini sadar bahwa kehadiran mereka di tengah masyarakat kurang dapat diterima. Narapidana berawal mula dari kenakalan remaja, lama kelamaan meningkat ke tindakan kriminal dan akhirnya sebagai penghuni rutan. Dimanapun permasalahan narapidana ini hadir menjadi permasalahan yang memerlukan penanganan yang sangat bijak agar persepsi masyarakat terhadap para penyandangnya tidak ditolak oleh masyarakat setempat.

78

Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Keluarga rentan termasuk kategori keluarga manula yang perlu mendapat pertolongan. Sebenarnya keluarga rentan ini bisa ditangani oleh masingmasing keluarga, namun karena kondisi keluarga dalam kondisi yang sama yaitu ketidakmampuan ekonomi sehingga permasalahan keluarga rentan ini menjadi permasalahan tersendiri. Yang terutama memberi perhatian adalah kepedulian pemerintah setempat. Keluargakeluarga rentan ini dalam keadaan pasrah menunggu pertolongan pemerintah. Sayangnya di Minahasa ini belum begitu terdengar hal penampung keluarga rentan atau semacam panti penampungan.

Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal masalah penelitian, sebagai berikut: 1. Masalah yang paling menonjol dan merupakan masalah prioritas di kelurahan-kelurahan wilayah Tomohon Tengah adalah masalah fakir miskin. Permasalahan ini merata terdapat di semua kelurahan (7 kelurahan). 2. Di beberapa kelurahan, masalah yang juga masalah prioritas kedua adalah masalah lanjut usia terlantar. 3. Masalah-masalah lain berdasarkan pengamatan dan hasil kajian penelitian merupakan masalah yang terkait dan bersumber dari masalah-masalah prioritas seperti kemiskinan. Dari kesimpulan yang diambil dari hasil kajian akan diberikan saransaran/rekomendasi, sebagai berikut : 1. Perlu program yang baku, khususnya bagi permasalahan fakir miskin yang sesuai dengan sumber permasalahan lokal, sehingga diperoleh cara penyelesaian yang tepat. Untuk itu, program yang tepat adalah pemberdayaan fakir miskin melalui bantuan dan jaminan sosial, dengan memperhatikan kriteria lokal dan sumber-sumber yang tersedia.. 2. Masalah lanjut usia yang sudah ada pedoman penanganannya, memerlukan langkah-langkah kegiatan yang lebih praktis dan nyata, mudah diacu atau diikuti masyarakat, sehingga penanganannya dapat lebih tuntas.

Puslitbang Kesos

79

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

3.

Masalah-masalah terkait lainnya perlu ditangani dengan upaya pencegahan, misalnya melalui penyuluhan, membangun kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya, dan meningkatkan kapasitas Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) agar lebih berperan dalam pembangunan kesejahteraan sosial di lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Tomohon dengan BPS Kabupaten Minahasa, 2005, Tomohon Dalam Angka (Tomohon In Figures) Departemen Sosial, 2002, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, Pusdatin, Jakarta. ............, 2004, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial, Konsep dan Strategi, Jakarta, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial. Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Tomohon, 2005 Rencana Strategis Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Tomohon Tahun 2005-2009 Dwi Heru Sukoco, 1991, Profesi Pekerja Sosial, Bandung, STKS Press Tim Crescent IPB, 2003, Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

80

Puslitbang Kesos

PEMETAAN KEMISKINAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA BERBASIS INSTITUSI LOKAL DAN BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH DI PROVINSI SUMATERA BARAT1
Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si 2 ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memetakan kantong-kantong dan merumuskan strategi pengentasan kemiskinan berdasarkan institusi lokal. Penelitian ini merupakan penelitian terapan melalui survey terhadap 12 nagari dan 4 kelurahan dalam tiga kabupaten dan dua kota. Teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan, wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Temuan lapangan antara lain; (1) Kantong kemiskinan terdapat di Kabupaten Mentawai, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Kota Padang dan Kota Payakumbuh; (2) sebutan orang miskin yaitu urang indak bapunyo, urang indak mampu, urang susah, urang sulit, orang sangat miskin disebut juga urang bangsaik atau urang ino; (3) pekerjaan utama mereka yaitu buruh tani, tukang dan buruh kasar; (4) penyebab kemiskinan yaitu lokalitas ekosistem, rendahnya akses, krisis ekonomi dan kebudayaan. Untuk mempertahankan hidupnya (survival strategy) secara sosial dan ekonomi, antara lain melakukan pekerjaan secara tetap dan memperbanyak jumlah anggota rumah tangga untuk bekerja. Strategi pengentasan kemiskinan dengan membentuk suatu panitia berbasis institusi lokal (Nagari/kelurahan). Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai mitra kerja. Anggotanya terdiri dari orang miskin, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Keanggotaan harus mempunyai komitmen yang tinggi. Kata Kunci: Kemiskinan, Penanggulangan Kemiskinan, Nagari Kelurahan

Judul asli dari penelitian Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya Berbasis Institusi Lokal dan Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteran Sosial dengan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Achmadi Jayaputra, Kepala Bidang Program Puslitbang Kesos.

Puslitbang Kesos

81

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Pendahuluan Penanggulangan kemiskinan menjadi perhatian utama pembangunan nasional dan daerah, terutama sejak diberlakukannya undang-undang tentang pemerintahan daerah. Hal tersebut seharusnya dijadikan momentum dan peluang untuk mewujudkan desentralisasi pembangunan yang sensitif terhadap persoalan lokal. Termasuk permasalahan sosial yang disebutkan Departemen Sosial sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti pelacuran, anak jalanan, penyandang cacat, dan sebagainya. Permasalahan tersebut berkaitan erat dengan kemiskinan. Berarti memecahkan masalah kemiskinan secara tidak langsung memecahkan PMKS, sekaligus membuka pintu untuk pemecahan PMKS lainnya. Meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, sayangnya penduduk miskin di Indonesia makin bertambah. Khususnya di Provinsi Sumatera Barat, misalnya tahun 2001 penduduk miskin tercatat 1,4 juta jiwa (23%), tahun 2003 menurun hanya 501.100 jiwa dan tahun 2004 menjadi 472.100 jiwa. Namun tahun 2005 dari jumlah penduduk 4,46 juta jiwa terdapat 935.300 jiwa (20,70%) tergolong miskin. Pengentasan kemiskinan sejak bergulirnya otonomi daerah belum berhasil dengan baik, karena dihadapkan pada beberapa hal, antara lain: Program tidak tepat sasaran Program tidak bertahan lama (tidak berkesinambungan) Program dipaksakan dari atas, dan Program tidak diakses karena hambatan struktual. Penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan bersifat karitatif (charity) cenderung menjadikan orang miskin semakin tergantung pada bantuan pihak luar. Akibatnya perekonomian mereka rentan dan mereka dengan mudah kembali ke garis kemiskinan. Faktor lain berkaitan dengan kelemahan organisai pelaksana seperti pemerintah lokal dan pemerintah kelurahan atau desa (nagari). Oleh karena itu, diperlukan strategi baru dengan menggunakan potensi sosial lokal untuk membantu orang miskin agar terbebas dari kemiskinannya. Strategi yang dikembangkan itu termasuk dalam community based development.

82

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Permasalahan dalam penelitian, yaitu: a. Dimana rumah tangga miskin tersebut berkonsentrasi terhadap tipologi ekologis dan sumber pendapatan? b. Bagaimana kondisi budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tangga miskin tersebut? c. Mengapa anggota rumah tangga tetap miskin, walaupun telah ada program pengentasan kemiskinan? d. Apa strategi dalam pengentasan kemiskinan yang berbasis institusi lokal yang dapat diterapkan di Provinsi Sumatera Barat? Tujuan penelitian yaitu; a. Memetakan kantong-kantong kemiskinan berdasarkan tipologi ekologis dan sumber mata pendapatan dan mengidentifikasi karakteristik budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tangga miskin. b. Merumuskan strategi pengentasan kemiskinan dengan melibatkan institusi lokal, tokoh komunitas setempat dan pemerintah lokal. Penelitian ini akan merumuskan model penanggulangan kemiskinan yang dapat diadopsi untuk memecahkan PMKS lainnya karena bertumpu pada pemberdayaan komunitas lokal.

Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian terapan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu survey, wawancara mendalam, diskusi kelompok atau Focus Group Discussion (FGD) dan pengumpulan data skunder. Survey dilakukan terhadap 12 Nagari dan 4 kelurahan yang terdapat dalam 3 kabupaten yaitu Pasaman, Solok dan Pesisir Selatan, serta 2 kota yaitu Padang dan Payakumbuh. Lokasi dipilih secara sengaja berdasarkan angka kemiskinan yang tinggi dan kondisi ekologis. Selain itu berdasarkan mata pencaharian penduduk yaitu petani lahan kering, petani lahan basah, nelayan dan bukan nelayan. Diskusi dengan menghadirkan masing-masing 14 orang terbagi dalam dua kelompok; pertama, kelompok pendudukan miskin yang mengikuti program anti kemiskinan; kedua, tokoh masyarakat yang berpengalaman melaksanakan program anti kemiskinan. Responden seluruhnya berjumlah 224 orang. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan dari instansi pemerintah di 3 kabupaten dan 2 kota tersebut terdiri
Puslitbang Kesos

83

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

dari Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Kelautan, Pemberdayaan Masyarakat, Camat dan Wali Nagari. Lokasi Penelitian; a. Kabupaten Pasaman; Kecamatan II Koto di Nagari Simpang Tonang dan Cubadak; Kecamatan Bonjol di Nagari Koto Kaciak dan Gonggo Halia. b. Kabupaten Solok; Kecamatan II Koto Diateh di Nagari Paninjauwan dan Kuncir; Kecamatan Kubung di Nagari Gaung dan Panyangkalan. c. Kabupaten Pesisir Selatan; Kecamatan IV Jurai di Nagari Painan; Kecamatan Linggo Sari Baganti di Nagari Lumpo, Air Haji dan Pungasan. d. Kota Padang; Kecamatan Lubuk Bagalung di Kelurahan Kampung Baru dan Gates e. Kota Payakumbuh; Kecamatan Payakumbuh Barat di Kelurahan Parit Rantang dan Padang Karambie.

Hasil Penelitian Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota, 157 kecamatan dan terdiri dari 517 Nagari/Kelurahan. Khusus di provinsi ini, istilah Nagari digunakan untuk daerah kabupaten dan Kelurahan untuk daerah kota. Wilayahnya 42,297 Km2, dilihat dari kondisi dan penggunaan lahan sebagian terdiri dari hutan (61%), tanah yang dimanfaatkan untuk permukiman (28,59%) dan selebihnya tanah yang belum dimanfaatkan. Kinerja ekonomi di provinsi ini, untuk tahun 2003 pertumbuhan ekonomi 5%-7% per tahun. Diantaranya, yang terbanyak adalah pertanian 25,16% dan didukung lima sub sektor yaitu tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan laut.
1. Kantong Kemiskinan

Di Sumatera Barat, tahun 1996 angka atau garis kemiskinan di perkotaan sebesar Rp. 48.389,- dan di perdesaan sebesar Rp. 34.863,-. Sedangkan tahun 2006, diketahui garis kemiskinan di perkotaan sebesar Rp. 225.671,- dan di perdesaan sebesar Rp. 159.904,-.

84

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Tahun 2005, terdapat 223.825 rumah tangga miskin atau 22,07% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Rumah tangga miskin banyak terdapat dalam enam daerah yaitu Kabupaten Mentawai 8.002 (51,12%), Pasaman 19.922 rumah tangga (35,98%), Pasaman Barat 21.186 rumah tangga (29,41%), Pesisir Selatan 26.337 rumah tangga (25,17%), Padang 35.162 rumah tangga (21,07%) dan Payakumbuh 4.250 rumah tangga (17,12%). Orang miskin dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan perorangan atau rumah tangga seperti buruh tani, nelayan yang tidak punya alat tangkap, buruh dan pedagang kecil. Ditemukan beberapa sebutan orang miskin dalam istilah lokal yaitu urang indak bapunyo (orang tidak punya), urang indak mampu (orang tidak mampu), urang susah (orang susah), urang sulit (orang sulit). Orang miskin sebagai keadaan negatif, selalu dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan perorangan atau rumah tangga. Orang sangat miskin disebut juga urang bangsaik (orang bangsat) atau urang ino (orang hina). Mereka yang tergolong rumah tangga miskin kebanyakan di perdesaan dengan mata pencaharian pokok sebagai petani di lahan kering atau perladangan. Penyebabnya antara lain : 1) Tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit membutuhkan lahan yang luas. 2) Produktivitas rendah karena hama babi dan kera yang susah ditanggulangi masyarakat setempat. 3) Kesuburan tanah dan ketersediaan air rendah. 4) Areal sawah sangat sedikit, sehingga mereka harus membeli beras. Sedangkan di perkotaan angka yang tinggi karena tingginya jumlah penduduk. Diantaranya nelayan yang tergolong miskin yang dilihat dari kepemilikan alat tangkap. Nelayan terbagi tiga kelompok yaitu; pertama, nelayan miskin yang terdiri dari buruh angkut; kedua, nelayan sedang yang memiliki kapal dan bermotor tempel; ketiga, nelayan kaya yang memiliki alat tangkap lengkap dan kapal bermotor. Pada daerah yang berbasis pertanian sawah, golongan miskin biasanya menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan pendapatannya dari pekerjaan buruh tani. Ini terjadi karena tidak memiliki lahan sendiri atau lahan sempit seperti petani penggarap yang
Puslitbang Kesos

85

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

tidak mempunyai lahan pertanian. Pada tipologi yang berbasis nelayan, golongan miskin menunjuk pada rumah tangga buruh nelayan yang tidak memiliki sarana penangkap ikan yang lengkap. Biasanya buruh nelayan hanya memiliki sampan saja atau perahu tidak bermotor. Adapun tipologi di daerah perkotaan, golongan miskin biasanya menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan pendapatan dari buruh dan sektor informal. Khususnya sektor informal sangat bervariasi seperti buruh kasar, pedagang yang tidak bermodal atau bermodal kecil. Kebanyakan orang miskin melakukan pekerjaan ganda. Misalnya di daerah perdesaan seorang sebagai petani sawah dapat saja menjadi buruh tani, tukang dan buruh lainnya. Dikalangan nelayan, seorang buruh nelayan dapat saja merangkap sebagai tukang atau buruh angkat. Demikian juga daerah perkotaan, seorang pegawai rendahan merangkap sebagai tukang ojek atau buruh serabutan. Hasil survai secara keseluruhan, pekerjaan utama sebagai petani atau buruh tani (54,10%), nelayan kecil atau buruh nelayan (16,30%), tukang atau buruh (3,5%), pedagang kaki lima dan lain-lain (23,20%). Pendapatan yang mereka peroleh antara lain terendah Rp. 200.000,per bulan (20,10%), Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 399.000,(28,10%), berpendapatan Rp. 400.000,- sampai dengan Rp. 599.000,(35,30%) dan yang berpendapatan diatas Rp. 600.000,- (16,50%). Karakteristik sosial, kebanyakan rumah tangga yang dikepalai perempuan termasuk dalam kategori rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin memiliki jumlah anak yang lebih banyak dan sebagian besar menjadi tanggungan keluarga karena masih bayi, usia sekolah, belum bekerja atau belum menikah. Di tengah banyaknya program anti kemiskinan, ternyata ekonomi rumah tangga miskin banyak yang merasa pesimis melihat perbaikan ekonominya. Hasil survey, ada yang merasa ekonominya lebih baik (4,5%), merasa lebih buruk (28,60%) dan yang menjawab tidak ada perubahan (48,20%) dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penyebab kemiskinan antara lain; 1) Alternatif pekerjaan di daerahnya terbatas dan berkaitan dengan perkembangan ekonomi makro. Apabila ingin memperbaiki ekonomi, maka perlu mengakses peluang. Namun mereka tidak mampu karena terbatas pengetahuan dan keterampilan.

86

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

2) Ketiadaan alternatif dan tidak mampu mengkreasi peluang baru, maka orang miskin bergantung pada pekerjaan yang tidak memberi pendapatan yang mencukupi. 3) Produktivitas rendah karena orang miskin tidak memiliki aset lahan yang memadai. Pertumbuhan penduduk terus berlangsung, sementara luas lahan tetap dan dipengaruhi sistem pemilikan lahan secara adat. 4) Orang miskin tidak mampu mengakses sumber daya karena ketiadaan teknologi dan minimnya modal. Orang miskin atau rumah tangga miskin dalam menghadapi kemiskinan yang dialami melakukan upaya adaptasi. Strategi yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidupnya secara sosial dan ekonomi. Adapun strategi adaptasi tersebut yaitu; 1) Pekerjaan Tetap Mereka tidak berusaha pindah pekerjaan. Ini menunjukkan mereka bertahan dengan pekerjaan yang dilakukan sekarang. Alasannya tidak tahu alternatif yang tersedia dan pekerjaan yang dilakukan saat ini tetap lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan lain dengan resiko pilihannya. 2) Anggota Rumah Tangga Rumah tangga miskin cenderung memperbanyak jumlah anggota rumah tangga ikut bekerja untuk memecahkan kesulitan hidup. Pola ini merupakan bagian dari strategi adaptasi rumah tangga miskin dalam menghadapi kemiskinan. Tujuannya untuk bertahan hidup (survival strategy). Pilihan diversifikasi pekerjaan dan pendapatan melalui pola nafkah ganda. Cara lain yang mendorong orang miskin memecahkan masalah keuangan rumah tangganya yaitu berhutang kepada tetangga (38,80%), berhutang kepada anggota keluarga (20,50%) menerima bantuan dari anggota keluarga (14,70%) atau berhutang kepada bos atau tauke (12,10%). Sementara meminjam kepada lembaga keuangan perbankan atau lembaga keuangan mikro tidak menjadi alternatif karena masih kurangnya lembaga keuangan tersebut.

Puslitbang Kesos

87

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Secara umum penyebab kemiskinan, antara lain; 1) Lokalitas Ekosistem Di kalangan petani perdesaan atau lahan kering ketergantungan terhadap lahan secara mutlak, tetapi lahan terbatas. Sedangkan petani sawah ketersediaan air mutlak. Akan tetapi tidak ada irigasi yang baik atau sumber air terbatas, sehingga produksi lahan sawah rendah. Daerah perladangan dengan tanaman tua yang diusahakan membutuhkan lahan yang luas, tetapi lahan yang ada sangat terbatas. Selain itu status tanahnya sebagai tanah adat atau ulayat atau hutan lindung tidak dapat digunakan sembarangan karena pengaturannya yang berbeda. Pengaruh ekologis sangat dirasakan di kalangan nelayan sangat rentan terhadap perubahan cuaca yang tidak selalu sama atau tergantung iklim, musim angin dan bulan. 2) Rendahnya Akses Ada keluarga yang kekurangan lahan, disebabkan tanah ulayat hanya digunakan oleh anak kemenakan pemilik ulayat. Banyak orang miskin di nagari dari kalangan pendatang, sehingga tidak dapat menggunakan lahan yang ada. Tanah telah dibagi habis, sedangkan anggota kaum bertambah. Ada golongan keluarga atau masyarakat yang hidup turun-temurun dalam kekurangan aset ekonomi atau rendah aksesnya terhadap sumber daya setempat. Di kalangan komunitas nelayan miskin, rendahnya akses kepemilikan alat tangkap ikan seperti perahu motor. 3) Krisis Ekonomi Krisis ekonomi diikuti dengan kenaikan harga berbagai alat produksi dan kebutuhan konsumsi telah menyebabkan semakin beratnya kehidupan masyarakat. Termasuk kenaikan harga BBM membuat ongkos produksi naik. Pada masyarakat petani ladang yang terjadi meningkatnya biaya produksi seperti bibit dan pupuk. Sementara pendapatan tidak seimbang dengan biaya pengeluaran yang dibutuhkan untuk pangan dan konsumsi rumah tangga. Ada pula di perkotaan yang dahulu merantau, terkena PHK dan usahanya bangkrut, kini kembali ke kampung. Secara umum

88

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

yang paling dirasakan yaitu kenaikan harga kebutuhan dasar dan membiayai modal usaha. 4) Kebudayaan Semua rumah tangga miskin mempunyai pengetahuan dan keterampilan. Namun hanya tahu terhadap kegiatan atau pekerjaan yang diketahui saja, sehingga tidak ada alternatif pekerjaan lain.
2. Kinerja Anti Kemiskinan

Tahun 2002 Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan Gubernur Sumatera Barat sebagai penanggung jawab. Tugas komite tersebut yaitu menyiapkan data, mengkoordinasikan kegiatan, memfasilitasi dana, melakukan pemantauan dan pengendalian. Namun dalam pelaksanaan kegiatan belum menunjukkan hasilnya dalam penanggulangan kemiskinan. Ternyata, sejak tahun 1983 sudah masuk program pengentasan kemiskinan atau program anti kemiskinan yang dilakukan oleh beberapa departemen atau instansi pemerintah lainnya. Adapun program kemiskinan yang pernah dialami antara lain: 1) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dari Departemen Sosial RI 2) Inpres Desa Tertinggal (IDT) dari Departemen Dalam Negeri 3) Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Pedesaan (Kupedes), Kredit kelompok Kepada Kelompok Masyarakat (K3M) 4) Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) 5) Program Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (GEKS) dari BKKBN 6) Program perbaikan rumah tidak layak huni dari Departemen Kimpraswil 7) Program bantuan pendidikan bagi anak miskin 8) Program bantuan pengobatan orang miskin 9) Program bantuan beras miskin (Raskin) dari BULOG
Puslitbang Kesos

89

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

10)Bantuan Langsung Tunai (BLT) 11)Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari Departemen Dalam Negeri 12)Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) 13)Program Pengentasan Perkotaan (P2P) 14)Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PPMP) 15)Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) 16)Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 17)Subsidi BBM Menurut bantuan yang diberikan, semua program yang ada terbagi lima; pertama, program yang bersifat jaring pengaman atau program yang berorientasi pemenuhan kebutuhan sesaat dengan model bantuan karitatif seperti Raskin, BLT, Kartu Sehat, BAZIS; kedua, program memberdayakan keluarga miskin dengan bantuan modal usaha seperti IDT, KUBE, GEKS, PDM-DKE dan PMP; ketiga, program pembangunan infrastruktur seperti IDT, PPK dan Subsidi BBM; keempat, program, pengembangan keuangan mikro dengan memberikan bantuan modal kepada kelompok simpan pinjam seperti IDT, PPK, PMP dan P2P; kelima, program bantuan pendidikan seperti BOS dan PPK. Secara umum program anti kemiskinan yang pernah diikuti belum membuat perekonomian mereka membaik. Pada umumnya (90%) pernah mengikuti program anti kemiskinan, bahkan sebanyak 60% lebih pernah mengikuti dua sampai empat macam program anti kemiskinan. Juga diakui responden, sebagian besar (80%) responden mengaku ekonomi mereka tidak berubah dari sebelumnya dan selebihnya (20%) menyatakan lebih buruk dari tahun sebelumnya. Ratarata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar karena penghasilan yang diperoleh dibawah Rp. 600.000,- per bulan. Dampak program yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Program Tidak Efektif Program-program anti kemiskinan tidak efektif membebaskan penerima bantuan dari kemiskinannya. Bantuan yang bersifat jaring pengaman sosial hanya untuk memenuhi kebutuhan

90

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

hidup sehari-hari dan tidak membuat mereka menyimpan karena bantuan jumlahnya terlalu kecil. Beras Raskin lebih banyak dimanfaatkan penduduk miskin di perkotaan daripada penduduk miskin di perdesaan. 2) Pengembangan Infrastruktur Program pengembangan infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang dibangun telah memudahkan penduduk setempat untuk memasarkan produksinya, kendaraan bermotor dapat menjangkau desanya. Namun daerah penerima bantuan tetap saja menjadi kantong-kantong kemiskinan. 3) Keuangan Mikro Kurang Berhasil Program pengembangan keuangan mikro bukan perbankan. Terutama dalam bentuk simpan pinjam tidak bermanfaat dalam waktu jangka panjang. Hal tersebut disebabkan kelompok simpan pinjam tidak bertahan lama dan kelompok cepat bubar. Penyebab lain kemacetan tinggi karena cicilan terlalu besar dan anggapan uang pemerintah tidak perlu dikembalikan. Ikatan anggota dengan kelompok rendah karena kebanyakan anggota dan perlu uang. 4) Bantuan Bergulir Kurang Berhasil Bantuan yang diterima dalam kelompok tidak bergulir karena sapi yang diterima terlebih dahulu dijual sebelum beranak. Selain itu tidak ada pengawasan dan pembinaan dari penyelenggara program dan tidak ada perhatian dari tokoh masyarakat setempat. 5) Bantuan Alat Tidak Efektif Program bantuan peralatan usaha tidak efektif karena penerima tidak mampu mengoperasikan alat yang diterima, tidak mampu membayar cicilan dana bantuan dan pendapatan kecil dengan biaya operasional yang tinggi. Penyebab ketidakberhasilan program, yaitu; 1) Sifat Program Bantuan yang diberikan menyelesaikan kebutuhan sesaat karena bersifat karitatif dan parsial, hanya menyentuh sebagian rumah tangga, sehingga tidak memberdayakan penerimanya.
Puslitbang Kesos

91

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

2) Pengelolaan Program bantuan tidak berkelanjutan dan kelompok yang dibentuk tidak efektif. 3) Partisipasi Lokal Partisipasi organisasi sosial dan tokoh lokal rendah karena mereka tidak melakukan langkah-langkah untuk melanjutkan program. Hal itu dianggap bukan menjadi urusan mereka dan tidak ada mekanisme pertanggungjawabannya. Pemerintah nagari/ kelurahan diperlakukan sebagai ujung tombak yang tumpul karena program-program tidak memberdayakan organisasi lokal. Gagalnya program anti kemiskinan disebabkan; pertama, program-program tersebut tidak ada yang mendorong lembaga lokal untuk aktif terlibat dan bertanggung jawab terhadap program anti kemiskinan. Lembaga nagari/kelurahan tidak aktif memantau dan membenahi program yang ada; kedua, komunitas perdesaan beranggapan penanggulangan kemiskinan merupakan tugas pemerintah.
3. Keragaan Energi Sosial Lokal

1) Peran Institusi Formal Institusi formal lokal dalam pemerintah kabupaten (Nagari) dipimpin Wali Nagari, Badan Perwakilan Adat Nagari (BPAN) atau Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN). Kantor tidak tiap hari dibuka, hanya kalau ada keperluan atau pekerjaan tertentu barulah dibuka seperti ada kegiatan dari kecamatan atau instansi pemerintah lainnya. Sedangkan dalam pemerintah kota (Kelurahan) ada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Lembaga tersebut banyak berhubungan dengan warga setempat dibandingkan dengan lembaga pimpinan adat (nini mamak ). Namun dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari belum dapat mengeluarkan aturan-aturan bagi nagarinya. Kegiatan yang dilakukan terbatas pada penetapan anggaran pendapatan dan belanja nagari/kelurahan. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan belum peduli terhadap program kemiskinan dan belum berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.

92

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

2) Peran Institusi Informal Lembaga informal yang ada merupakan lembaga yang tidak terkait dengan pemerintah seperti Kerapatan/Lembaga Adat Nagari (K/LAN), Badan Musyawarah Adat dan Syara (BMAS), organisasi berbasis agama dan kekerabatan. Khususnya organisasi yang berbasis keagamaan seperti majlis taklim dan kelompok yasinan, perannya muncul ketika perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan lain-lain. Lembaga tersebut mempunyai tugas mengumpulkan zakat, infaq dan shadaqah untuk dibagikan kepada keluarga miskin. 3) Peran Kekerabatan Kebutuhan anggota kerabat atau keluarga yang dialami selalu dikaitkan dengan fungsi keluarga luas matrilineal. Bantuan sosial ekonomi diberikan kepada seluruh anggota keluarga yang memerlukan. Terutama berkaitan dengan keperluan yang sifatnya mendadak seperti sakit, kebakaran, meninggal dan musibah lainnya. Unsur matrilineal menjadi pokok perhatian yaitu; pertama, harta pusaka sebagai sumber ekonomi keluarga luas matrilineal; kedua, pola tempat tinggal keluarga luas matrilineal dalam menjalankan perannya; ketiga, aktualisasi adat. Hubungan sosial ekonomi dimulai dari hubungan timbal balik. Semangat akan timbul saat membantu dalam pelaksanaan perkawinan. Bantuan yang diberikan biasanya dalam bentuk uang dan tenaga, sedangkan dalam biaya pendidikan tidak karena menjadi urusan masing-masing. Bantuan terhadap orang miskin, lanjut usia dan yatim piatu menjadi urusan paruiknya. Mereka lebih baik dipelihara oleh paruik dan masyarakat setempat yang telah saling mengenal dan dijamin lebih baik. Masyarakat tidak mau dan merasa malu menempatkan lanjut usia dan anak yatim ke panti asuhan. Peran tokoh lokal membantu orang miskin dalam bentuk memberikan fasilitas atau modal usaha. 4) Nilai-nilai dan Solidaritas Lokal Nilai-nilai dan praktek solidaritas sosial lokal tumbuh dan berkembang dalam masyarakat didasarkan rasa tanggung jawab dan rasa kebersamaan. Tujuannya untuk membantu seluruh anggota
Puslitbang Kesos

93

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

keluarga dan masyarakat. Pepatah Minangkabau; bakampung mamaga kampung, tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari, sandar menyandar bagaikan aur dengan tebing. Nilai yang terkandung dalam pepatah tersebut mencerminkan kehidupan keluarga yang saling tolong menolong dan saling bekerja sama. Namun, dalam perkembangannya nilai-nilai tersebut tidak lagi dijalankan. Masyarakat menggunakan kata individualis untuk menyebut perilaku dari sebagian masyarakat yang tidak lagi memikirkan sanak saudara dan para tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Organisasi sosial yang sangat dikenal yaitu Kelompok simpan pinjam, Kongsi dan Julo-julo. Kelompok simpan pinjam terdiri dari beberapa orang yang mengelompokkan diri yang mengandalkan tenaga untuk kepentingan anggota atau kelompoknya. Ada kelompok laki-laki atau kelompok perempuan. Kelompok juga yang berhubungan dengan pihak luar atau organisasi sosial untuk memperoleh pinjaman. Kelompok simpan pinjam sering cepat bubar karena menjadi pengurus tidak semuanya disenangi masyarakat, kecurigaan anggota terhadap pengurus sangat tinggi. Kongsi suatu istilah yang dimulai dari individu yang menjual jasa dalam pengolahan lahan pertanian terhadap anggotanya. Kegiatannya bertujuan untuk mengatasi kesulitan mereka dalam membayar tenaga kerja. Biasanya, awal kegiatan kongsi berjalan baik dan selanjutnya sering anggota kongsi malas dengan berbagai alasan. Upah yang dibayarkan berbeda berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebesar Rp. 20.000,- per hari dan perempuan sebesar Rp. 10.000,- per hari. Julo-julo (Arisan) yang merupakan kelompok penabung, dipelopori ibu-ibu. Setiap anggota akan menabung sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan dan waktu penarikan yang ditentukan. Biasanya terdiri dari 10 orang, tiap orang akan menerima bagian sesuai dengan jumlah uang yang ditabung dan paling murah Rp. 5.000,-. Keberadaan kelompok ini sangat membantu masyarakat dalam mengatasi masalah keuangan terutama untuk biaya pendidikan dan modal kerja.

94

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Kesimpulan dan Saran Pemetaan kemiskinan telah menggambarkan kantong-kantong kemiskinan dalam beberapa kabupaten dan kota yang menjadi lokasi penelitian. Kantong-kantong kemiskinan tersebut berdasarkan tingkat nagari/kelurahan yang terbagi dalam kelompok petani lahan kering, persawahan dan nelayan. Dirumuskannya strategi pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal yang disebutkan berbasis nagari/kelurahan. Adanya model strategi pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal yang akan diujicobakan pada tingkat nagari/kelurahan yaitu; a. Konsep Pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal diartikan program yang bertumpu kepada kekuatan komunitas lokal dengan mengandalkan organiasi sosial yang telah ada. Tujuannya agar komunitas lokal dan tokoh masyarakat pelaku aktif pengentasan kemiskinan. Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai mitra. Partisipasi diperlukan mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pemeliharaan. b. Prinsip Organisasi sosial dan tokoh masyarakat harus aktif dan proaktif dalam pengentasan kemiskinan yang disusun sesuai potensi dan aspirasi masyarakat. Diperlukan badan atau organisasi sosial yang bertugas mengkoordinasikan upaya pengentasan kemiskinan. Diperlukan pendampingan yang menguasai tentang strategi dan teknik penanggulangan kemiskinan. Program bersifat pemberdayaan komunitas. c. Sasaran Komunitas nagari/kelurahan dengan angka kemiskinan tinggi melalui lembaga-lembaga dan rumah tangga miskin. Meningkatkan peran nagari/kelurahan yang mempunyai program anti kemiskinan berdasarkan potensi dan aspirasi lokal. Di lokasi dibentuk organisasi dengan sebutan Panitia Penanggulangan Kemiskinan Nagari/ Kelurahan.

Puslitbang Kesos

95

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Ketentuan panitia antara lain; Lembaga tersebut dibentuk melalui musyawarah di nagari/kelurahan masing-masing, Panitia beranggotakan kaum laki-laki dan perempuan secara proporsional Struktur organisasi tediri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan sekurang-kurangnya lima anggota, Tokoh-tokoh terseleksi yang mempunyai komitmen tinggi, Mempunyai anggaran khusus, Menggali sumber-sumber lokal, Perlu pemecahan faktor-faktor struktural lokal Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain: 1) Rekruitment Tenaga Pendamping Pendamping dalam nagari/kelurahan sebanyak dua orang. Pendamping selalu berkoordinasi dengan peneliti dan pemerintahan nagari/ kelurahan. 2) Upaya Penyadaran Pendamping melakukan upaya penyadaran kepada lembaga-lembaga dan tokoh masyarakat nagari/kelurahan agar mereka aktif melakukamn usaha pengentasan kemiskinan. 3) Membentuk Panitia Berkoordinasi dengan nagari/kelurahan dengan mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk panitia. 4) Pelatihan Dilakukan terhadap panitia penanggulangan kemiskinan agar memahami kegiatannya. 5) Pendataan Melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan merumuskan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan persepsi setempat. 6) Merumuskan Program Merumuskan program dan kegiatan nagari/kelurahan dengan mengikutsertakan tenaga ahli, pejabat pemerintah dan pihak lain untuk membantu rumah tangga miskin.

96

Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

7)

8)

9)

Membuat Peraturan Panitia dan tokoh masyarakat perlu membuat peraturan dalam pengentasan kemiskinan di daerahnya. Pelaksanaan Program Panitia penanganan kemiskinan melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Membangun Keterlibatan Keterlibatan organisasi-organisasi sosial dan pemerintah dalam melakukan monitoring pengentasan kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, 1997. Ikatan Kekerabatan sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi: Diskusi tentang Isu-isu Perubahan pada Ikatan Kekerabatan Matrilineal Minangkabau dalam Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial, Nomor 3 - 4. Ancok, Djamaluddin, 1995. Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk Mengentaskan Kemiskinan dalam Awan Setya Dewanta, dkk (ed), Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Indonesia. Yogyakarta; Aditya. Chambers, R, 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta; LP3ES Hikmat, Harry, 2003. Pemberdayaan Pranata Sosial Pengalaman Empiris dalam Umi Ratih Santoso, dkk (ed), Menemukan Model Pemberdayaan Pranata Sosial dalam Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat; Perspektif Teoritik, Metodologis dan Empiris. Jakarta; Pusbangtansosmas. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menangah (RPJM) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2006 2010: Agenda 6 Mempercepat Penurunan Tingkat Kemiskinan. Padang; Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Departemen Sosial RI, 2005. Data dan Informasi PMKS dan PSKS Tahun 2004. Jakarta; Pusdatin Kesos. Sherraden, M, 2006. Aset untuk orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Jakarta; Raja Grafindo Persada.

Puslitbang Kesos

97

PARTICIPATORY WEALTH RANKING Sebuah Alternatif Teknik Identifikasi dan Seleksi Sasaran Program Pemberdayaan Fakir Miskin1
Drs. Anwar Sitepu, MPM 2 ABSTRAK
Participatory Wealth Ranking (PWR) merupakan alternatif teknik mengidentifikasi keluarga termiskin dan miskin. Manual PWR mudah dijabarkan oleh fasilitator untuk memfasilitasi masyarakat melakukan pemeringkatan. Penyesuaian yang perlu dilakukan adalah pada sistem penilaian yaitu nilai tertinggi diberikan kepada keluarga terkaya. Data yang dihasilkan berupa data mikro, berupa daftar nama dan alamat keluarga menurut urutan (peringkat) kemiskinan. Untuk seleksi sasaran program, petugas lembaga tinggal menetapkan titik batas nilai. Dengan menggunakan teknik PWR tampak dengan nyata bahwa masyarakat tidak saja diberi kesempatan berpartisipasi tetapi diakui dan dihargai martabatnya. Apabila pemberdayaan fakir miskin berniat untuk merangsang prakarsa masyarakat mengatasi permasalahannya maka PWR adalah sebuah pilihan tepat untuk mengawali langkah. Kata kunci: Participatory Wealth Ranking, keluarga miskin

Pendahuluan Salah satu titik rawan dalam penyelenggaraan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) adalah pada tahap identifikasi dan seleksi sasaran. Tahap ini rawan karena pada satu sisi sangat menentukan efektivitas program secara keseluruhan pada sisi lain sering dianggap pekerjaan mudah sehingga kurang diperhatikan atau bahkan disepelekan. Mengatasi hal tersebut Puslitbang Kessos bermaksud menawarkan sebuah teknik yang disebut Participatory Wealth Ranking (PWR). Teknik ini dikembangkan oleh The Small

Dikembangkan dari Laporan Penelitian Pemeringkatan Keluarga Menurut Kondisi Sosial Ekonomi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badiklit Kesos, Departemen Sosial RI tahun 2006. Tim peneliti terdiri dari: Drs. Anwar Sitepu, MP (ketua), Drs. Agus Budi Purwanto (anggota), Dra. Haryati Roebiyantho (anggota), Ir. Hendriyati, M.Si (anggota), Yanuar Farida Wismayanti, S.ST (sekretariat), dan Dra. Siti Aminah (sekretariat). Anwar Sitepu, memperoleh gelar Magister dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Puslitbang Kesos

99

Participatory Wealth Ranking

Enterprise Foundation (SEF) sebuah Non Governmental Organization (NGO International), untuk mengidentifikasi dan menyeleksi penerima pelayanannya di Afrika Selatan. PWR dalam perkembangannya sudah diadopsi oleh NGO yang beroperasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan kajian awal teknik ini dipandang layak digunakan karena prosesnya dinilai aplicable dan teknisnya dikembangkan berlandaskan pendekatan partisipatif, senada dan selaras dengan paradigma, visi dan misi serta strategi P2FM. Lazimnya sebuah produk luar, sebelum dianjurkan untuk diaplikasikan secara luas dalam pelaksanaan P2FM, terlebih dahulu perlu dilakukan uji aplikasi. Tujuannya adalah mengetahui efektivitasnya, kendala dan kemudahannya. Penelitian dilakukan dengan mengaplikasikan di lapangan manual PWR yang disusun oleh The SEF. Peneliti, yang sebelumnya dilatih secara singkat, sekaligus bertindak sebagai fasilitator. Penelitian dilakukan di enam lokasi di provinsi berbeda, masing-masing sebagai satuan pemukiman setingkat atau bagian dari Dusun, Rukun Warga, dan Lingkungan. Proses aplikasi di lapangan diobservasi, seluruh pengalaman dan hasilnya dicatat dan diabstraksikan. Tulisan ini merupakan pengembangan dari laporan uji aplikasi PWR di lapangan.

Konsep dan Teknik PWR Participatory Wealth Ranking (PWR) adalah sebuah teknik pemeringkatan keluarga menurut kondisi sosial ekonomi berlandaskan pada pendekatan partisipatif. Tujuan PWR adalah untuk menemukan keluarga termiskin di suatu masyarakat menurut ukuran mereka sendiri dan oleh mereka sendiri. PWR adalah salah satu bentuk dari metode-metode partisipatif. Bentuk lain yang relatif sudah dikenal lebih banyak orang adalah Participatory Rural Apraisal (PRA). Seperti PRA yang dikembangkan oleh Robert Chambers, PWR adalah sebuah teknik penelitian tetapi bukan sekedar teknik penelitian biasa. Tekanan penting pada metode partisipatif bukan sebatas pada aktivitas pengkajian/penelitian atau pengumpulan data tetapi pada aspek pembelajaran masyarakat (Rianingsih (Ed),1996:14). Visi metode/ pendekatan partisipatif adalah perubahan sosial dan pemberdayaan (penguatan) masyarakat agar ketimpangan ditiadakan. Metode-metode/ Teknik-teknik participatory dikembangkan sebagai salah satu upaya menempatkan rakyat sebagai titik pusat pembangunan (people centred development). Dengan Teknik PWR konsep dan indikator miskin tidak disiapkan dari luar sebelum pengumpulan data dilakukan. 100
Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Penggunaan teknik ini efektif dilakukan di masyarakat yang warganya saling mengenal dengan baik. Pemeringkatan keluarga dilakukan oleh perwakilan warga, dengan asumsi mereka lebih tahu kondisi sesamanya. Perwakilan warga ditetapkan secara proporsional, minimal sebanyak 9 orang dan maksimal 15 orang. Pemeringkatan dilakukan melalui proses penilaian berlapis, yaitu sebanyak tiga kali (triangulasi). Setiap penilaian dilakukan oleh kelompok kecil (tiga sampai lima orang) perwakilan warga. Penilaian dilakukan dengan teknik pengelompokkan, setiap keluarga dibandingkan kondisi sosial ekonominya dengan keluarga lain. Keluarga yang sama atau seimbang kondisi sosial ekonominya dikelompokkan menjadi satu kelompok. Sumber data adalah perwakilan warga itu juga, sehingga mereka bertindak sekaligus sebagai pengumpul data dan informan. Orang luar, petugas lembaga bertindak sebagai fasilitator. Pemeringkatan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: Tahap Persiapan, Tahap Pelaksanaan dan Tahap Penghitungan Nilai.
1. Tahap Persiapan

Tahap Persiapan bertujuan untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk melakukan pemeringkatan. Kegiatan pada tahap ini meliputi tiga besaran, yaitu: perkenalan dan penjelasan, merencanakan pertemuan pemeringkatan dan pengaturan logistik. Perkenalan yang dimaksud dilakukan dengan aparat setempat. Kepada aparat dikenalkan siapa fasilitator, dijelaskan apa tujuannya dan bagaimana teknis pemeringkatan, termasuk cara kerja, dan dukungan apa yang diperlukan sampai pada kesepakatan melakukan pemeringkatan. Jika aparat setempat sudah jelas dan tidak keberatan, lanjutkan dengan pengaturan pelaksanaan kegiatan, termasuk waktu, tempat dan peserta. Pada kesempatan tersebut fasilitator menjelaskan persyaratan peserta, lokasi pertemuan yang diperlukan, dan perkiraan waktu yang dibutuhkan.
2. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini bertujuan untuk memisahkan atau mengelompokkan keluarga menurut kondisi sosial ekonomi. Semua keluarga yang sama atau seimbang dari segi sosial ekonomi dikelompokkan menjadi satu kelompok, sehingga seluruh keluarga akan masuk dalam salah satu
Puslitbang Kesos

101

Participatory Wealth Ranking

kelompok. Tujuan tersebut dicapai melalui sejumlah kegiatan yaitu: pemetaan, pendaftaran keluarga, pembuatan kartu, diskusi konsep, dan sorting. Pemetaan bertujuan untuk mengidentifikasi seluruh keluarga yang tinggal di suatu wilayah dimana PWR dilakukan, sehingga tidak ada yang terlewatkan. Peta memuat lokasi rumah setiap keluarga di masyarakat tersebut. Setiap rumah di peta diberi nomor urut. Nama masing-masing Kepala Keluarga dan identitas lain seperti nama panggilan, pekerjaan dan nama isteri, kemudian didaftarkan pada form khusus yang sudah disiapkan. Berikutnya, nama dan nomor urut masing-masing KK ditulis kembali di atas sebuah potongan kertas karton sehingga menjadi sebuah kartu. Kartu tersebut berfungsi sebagai alat sorting. Sorting adalah pembandingan antar satu keluarga dengan keluarga lain. Kegiatan dilanjutkan dengan diskusi konsep. Peserta diajak merumuskan apa yang dimaksud dengan miskin dan sangat miskin atau mengidentifikasi apa ciri-ciri sebuah keluarga miskin atau sangat miskin. Diskusi dimaksudkan agar peserta berpikir dan memiliki pemahaman yang sama tentang miskin dan sangat miskin. Kesamaan pemahaman diperlukan untuk mempermudah proses sorting. Sorting dilakukan dengan cara: Fasilitator menunjukkan kartu nama keluarga kepada kelompok. Dijelaskan bahwa masing-masing kartu tersebut mewakili sebuah keluarga. Kemudian, fasilitator mengambil dua kartu pertama, seraya memperlihatkan dan menanyakan kepada peserta, apakah mereka mengenal kedua keluarga yang namanya tertera pada masing-masing kartu tersebut? Keluarga mana yang lebih miskin? Disini akan berlansung diskusi, masing-masing peserta akan menyampaikan informasi dan pendapatnya. Setelah diperoleh kesepakatan, kedua kartu diletakkan bersebelahan, yang lebih miskin di sebelah kiri dan yang lebih kaya sebelah kanan. Alasan penempatan dicatat pada form yang telah disiapkan. Dilanjutkan dengan kartu berikutnya, bandingkan dengan dua kartu yang sudah diletakkan. Jika sama atau seimbang dengan

102

Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

salah satu kartu yang sudah diletakkan tadi, maka kartu ketiga diletakkan di atasnya. Jika lebih kaya dari kartu sebelah kanan, maka kartu ketiga diletakkan di sebelah kanannya lagi, atau jika lebih miskin dari yang paling kiri, maka kartu ketiga itu diletakkan di sebelah kirinya lagi. Demikian seterusnya, satu demi satu dibandingkan dan diletakkan di tempat yang sesuai. Pada akhirnya seluruh kartu akan masuk pada salah satu kelompok atau tumpukan kartu. Sorting dilakukan sebanyak tiga kali masing-masing oleh kelompok (3 sampai 5 orang) perwakilan warga, pada waktu dan tempat berbeda. Menurut The SEF tidak menjadi soal, berapa pun banyaknya tumpukan, yang penting adalah bahwa masing-masing tumpukan berbeda menurut kondisi sosial ekonomi. The SEF menganjurkan sebaiknya minimal 4 tumpukan. Hal yang harus diingat bahwa sorting adalah membandingkan kondisi kehidupan sosial ekonomi keluarga, bukan bagaimana orang mencari uang atau berapa besar pendapatan sebuah keluarga. Contoh, walau pun seseorang memiliki penghasilan besar tetapi uangnya tidak dibawa ke rumah untuk kepentingan keluarganya, maka itu percuma saja, tidak memberi dampak pada kesejahteraan keluarganya. Seluruh kegiatan di atas, mulai dari membuat peta, pendaftaran nama KK, pembuatan kartu, diskusi konsep dan sorting dilakukan oleh perwakilan warga. Petugas dari lembaga hanya sebagai fasilitator. PWR harus berlangsung dalam suasana santai tetapi tetap serius.
3. Tahap Penghitungan Nilai

Akhir dari sorting adalah terpisahnya kartu keluarga menjadi beberapa tumpukan. Tumpukan paling kiri di mana keluarga termiskin berada diberi nilai 100, artinya 100% miskin. Nilai masing-masing keluarga lain tergantung pada jumlah tumpukan (pengelompokkan) dan di tumpukan mana dia berada. Contoh: Anggaplah kelompok membagi keluarga ke dalam 4 kategori atau tumpukan menurut kondisi sosial ekonominya. Menghitung seberapa miskin setiap tumpukan, 100 dibagi dengan jumlah kategori. 100 dibagi 4 = 25 kalikan dengan nomor tumpukan. Tumpukan 4 = 100 : 4 x 4 = 100;
Puslitbang Kesos

103

Participatory Wealth Ranking

Tumpukan 3 = 100 : 4 x 3 = 75 ; Tumpukan 2 = 100 : 4 x 2 = 50; Tumpukan 1 = 100 : 4 x 1 = 25. Nilai dari masing-masing kelompok penilai dimasukan pada kolom tersendiri pada form yang sudah disiapkan. Tujuan kegiatan ini adalah memperoleh nilai rata-rata masingmasing keluarga. Nilai rata-rata berfungsi untuk menentukan peringkat akhir keluarga di masyarakatnya. Karena masing-masing keluarga dinilai sebanyak tiga kali maka setiap keluarga memperoleh tiga nilai. Nilai rata-rata setiap keluarga adalah jumlah tiga nilai dibagi tiga. Seleksi penerima program dilakukan dengan menetapkan titik batas nilai (the cut of point). Mengingat tingkat kesejahteraan di masyarakat berbeda dan bervariasi antara wilayah, maka titik batas nilai di setiap lokasi ditentukan secara sendiri-sendiri. Maksudnya tidak bisa seragam untuk semua lokasi. Titik batas nilai ditentukan oleh petugas lembaga yang sudah terlatih atau memiliki kualifikasi untuk itu. Titik batas nilai ditetapkan dengan mempertimbangkan ciri-ciri atau karakteristik peringkat.

Uji Aplikasi PWR Uji aplikasi dilakukan di 6 provinsi, masing-masing satu lokasi. Peneliti bertindak sekaligus sebagai fasilitator. Menurut tipe masyarakatnya, 4 lokasi berupa masyarakat perdesaan dan dua lokasi berupa masyarakat perkotaan. Keenam lokasi merupakan calon lokasi program pemberdayaan fakir miskin. Berikut adalah deskripsi aplikasi setiap tahap PWR.
1. Tahap Persiapan

Seluruh kegiatan pada tahap ini dapat dilakukan dengan baik di semua lokasi. Kegiatan diawali dengan menemui Kepala Kelurahan/ Desa. Tim Fasilitator didampingi oleh aparat Dinas Sosial Provinsi dan atau Dinas Sosial Kota/Kabupaten. Perkenalan dengan Kepala Kelurahan/Kepala Desa berlangsung dengan baik. Kepada mereka dijelaskan bahwa kegiatan dilakukan masih sebatas mengujicobakan teknik. Kepada masing-masing juga dijelaskan secara singkat tujuan dan teknik pelaksanaan PWR. Masing-masing tidak keberatan di wilayahnya dilakukan kegiatan dan bersedia membantu. Bersama Kepala Desa/Kelurahan ditetapkan bagian wilayahnya yang akan

104

Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

dijadikan lokasi. Fasilitator menjelaskan kriteria lokasi uji coba PWR yang diinginkan. Pada akhirnya lokasi terpilih menjadi bervariasi di masing-masing provinsi. Cakupan lokasi menjadi berbeda, di Medan meliputi satu lingkungan, di Subang dan Samarinda dua RT, di Bali satu dusun, dan seterusnya (lihat Tabel 1). Hal tersebut terjadi dalam upaya mencapai jumlah KK sebanyak antara 150 sampai 200 KK. Perkenalan dan penjelasan lebih lanjut dilakukan dengan aparat pemerintah di tingkat RT/RW/Kepala Dusun/Kepala Lingkungan. Persiapan lebih krusial berlangsung bersama mereka. Intensitas kerja lebih banyak dilakukan bersama aparat terbawah. Bersama Ketua RT/ RW/Lingkungan/Dusun dilakukan: pemilihan perwakilan warga, penetapan lokasi pertemuan, pengaturan jadwal dan logistik. Kepada mereka juga ditanyakan apakah warganya saling mengenal satu dengan yang lain. Perwakilan warga di lokasi yang terdiri dari dua atau lebih satuan administrasi (misal di Samarinda dua RT dan di Belu tiga dusun) ditetapkan secara proporsional, sekaligus dengan memperhatikan keseimbangan menurut jenis kelamin. Pemilihan dilakukan dengan melibatkan ketua-ketua wilayah masing-masing dan sejumlah tokoh setempat. Pelaksanaan PWR di Samarinda (Kaltim), Subang (Jabar) dan Wonogiri (Jatim) bertepatan dengan bulan puasa. Kegiatan dilaksanakan pada waktu dan tempat yang disepakati. Tabel 1. Lokasi Aplikasi PWR dan Tipe Masyarakatnya
No. 1. PROVINSI Sumatera Utara Jawa Barat KOTA/KAB Kecamatan Kota Medan Kec. Medan Denai Kabupaten Subang Kec. Cipunagara Kabupaten Wonogiri Kec. Purwantoro Kabupaten Buleleng Kec. Bangli Kabupaten Belu, Kec. Lamaknen Kota Samarinda Kec. Samarinda Seberang DESA/KEL. Kelurahan Tegalsari Mandala 1 Desa Jati, Dusun Jati Desa Kenteng Desa Kayubihi Desa Lakmaras Kelurahan Selili SATUAN Lingkungan (1): L IX Rukun Tetangga (2): RT 22 dan RT 23 RW 5 Dusun (1) : Dusun Ploso Jenar Dusun (1) : Dusun Pucangan Dusun (3): Sabulmil, Obipul, Abistas Rukun Tetangga (2): RT 29 dan RT 30 TIPE Kota

2.

Desa

3.

Jawa Tengah Bali

Desa

4.

Desa

5.

6.

Nusa Tenggara Timur Kalimantan Timur

Desa

Kota

Puslitbang Kesos

105

Participatory Wealth Ranking

2.

Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini, fasilitator bekerja bersama perwakilan warga atau disebut juga Tim Pemeringkat. Pada pertemuan pertama diawali dengan perkenalan dan penjelasan. Di semua lokasi pertemuan berjalan dengan baik, fasilitator dapat menyampaikan penjelasan dan hingga dipahami perwakilan warga. Pertanyaan yang banyak disampaikan warga adalah seputar tidak lanjut, apakah akan ada bantuan untuk warga setempat. Kesan umum yang muncul adalah sepertinya mereka tidak percaya bahwa mereka dapat melakukan pemeringkatan atau mereka meragukan manfaatnya, karena pemerintah sudah memiliki ukuran sendiri. Di beberapa tempat Tim Perwakilan warga minta agar fasilitator terlebih dahulu menetapkan ukuran miskin atau tidak miskin. Hal ini dapat dipahami sebagai indikasi, bahwa warga masyarakat sudah lama demikian tergantung pada instruksi, tidak percaya diri, kehilangan inisiatif. Kejadian berbeda terjadi di Buleleng (Bali), perwakilan warga dalam sesi tanya jawab seperti menginterogasi fasilitator dengan cara sangat halus. Seperti meminta memperlihatkan KTP, Surat Tugas, dan Rekomendasi Badan Linmas setempat. Pembuatan peta di semua lokasi berjalan mulus, semua peserta aktif, saling mengingatkan, memberi informasi, suasana rileks dan santai. Hubungan dengan fasilitator mulai cair. Peta dibuat menurut wilayah satuan administrasi, misalnya di Subang dibuat dua peta, masing-masing untuk RT 22 dan RT 23. Demikian juga di lokasi lain yang kegiatan mencakup lebih dari satu wilayah administrasi. Pembuatan peta berlangsung melalui dua cara berbeda: pertama, langsung sekali jadi; kedua, terlebih dahulu membuat sketsa kemudian disalin kembali di atas kertas karton. Pelajaran berharga diperoleh dari Wonogiri, salah seorang aparat Dinas Sosial setempat mengambil alih proses pembuatan peta akibatnya muncul kesulitan. Proses kemudian diulang lagi, seharusnya pembuatan peta diserahkan kepada warga. Pendaftaran KK di semua lokasi berlangsung lancar. Nama masing-masing KK sesuai nomor urut pada peta ditulis pada form yang sudah disiapkan. Di semua lokasi tidak ditemukan kesulitan berarti, Perwakilan Warga (Tim Pemeringkat) berhasil mengidentifikasi semua

106

Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

KK setempat. Hasil kegiatan ini adalah daftar nama KK berikut alamat, nama panggilan dan nama isteri masing-masing. Fenomena yang menarik adalah jumlah KK yang dilaporkan sebelumnya oleh aparat pemerintah setempat ternyata berbeda dengan temuan penelitian (lihat Tabel 2). Kecuali di Belu (NTT), jumlah KK hasil pemetaan lebih banyak dibanding data pemerintah setempat. Hal demikian patut diwaspadai karena dapat dibaca sebagai indikasi adanya sejumlah keluarga yang tidak tercover. Dalam konteks pemberdayaan, hal demikian sama artinya dengan menghilangkan akses sejumlah keluarga untuk masuk pada program yang diselenggarakan untuk mereka. Pertanyaan yang banyak muncul di semua lokasi adalah seputar siapa yang dimaksud keluarga. Misalnya, seorang anak yang sudah menikah tetapi masih tinggal bersama orangtuanya, seorang nenek yang tinggal bersama keluarga anaknya, seorang anak yang sudah menikah kemudian cerai dan kembali bersama orangtuanya, atau keluarga pendatang yang tinggal di rumah kontrakan di lingkungan setempat. Sesuai dengan semangat pemberdayaan, semua kasus-kasus seperti di atas didaftar sebagai keluarga tersendiri. Tabel 2. Banyaknya Kepala Keluarga Menurut Data dan Temuan di Lokasi Penelitian
LOKASI NO. PROVINSI/KAB/KOTA/ KEC/KEL Sumut,Kota Medan Kec. Mdn Denai Kel.Ts Mandala 1 Kaltim Kota Samarinda Kec. Samarinda Seberang Kel. Selili Jabar, Kab Subang, Kec. Cipunagara, Desa Jati, Dusun Jati Jateng, Kab. Wonogiri, Kec.Purwantoro, Desa Ploso Jenar Dusun Ploso Jenar SATUAN PEMUKIMAN SETEMPAT L9 RT 29 RT 30 Jumlah RT 22 RT 23 Jumlah RT1/5 RT2/5 RT3/5 RT4/5 RT1/6 RT2/6 Jumlah Dusun Pucangan Dusun Sabulmil Dusun Obipul Dusun Abistas Jumlah BANYAKNYA KEPALA KELUARGA DATA DESA 183 63 86 149 70 82 152 DITEMUKAN 305 70 109 179 76 90 166 63 43 40 61 48 41 343 276 60 42 51 153 PERBEDAAN 122 7 23 30 6 8 14

1. 2.

3.

4.

5. 6.

Bali, Kabupaten Bangli, Kec.Bangli,Desa kayubihi NTT, Kab. Belu, Kec. Lamaknen, Desa Lakmaras

212 189 63 43 53 159

131

-3 -1 -2 -6

Puslitbang Kesos

107

Participatory Wealth Ranking

Kesulitan terjadi di Medan (Sumut), perwakilan warga ternyata tidak hafal nama sebagian KK setempat. Mereka mengenal wajahnya tetapi tidak tahu siapa namanya. Ada dua persoalan pada kasus ini yang tidak diantisipasi sebelumnya. Pertama, jumlah penduduk di lokasi jauh melebihi data yang disampaikan Ketua Lingkungan sebelumnya, yaitu 187 KK. Setelah dilakukan pemetaan, ditemukan sebanyak 305 KK; Kedua, hubungan antar dua kelompok besar penduduk ternyata kurang harmonis, salah satu kelompok tertutup bagi kelompok yang lain. Pembuatan kartu keluarga di semua lokasi dilakukan sekaligus dengan pendaftaran nama KK. Kedua kegiatan dilakukan setelah peta selesai digambar. Selama pembuatan kartu tidak ditemukan kesulitan serius. Fasilitator dapat menjalankan tugasnya dengan baik, semua kegiatan dilakukan oleh Tim Perwakilan Warga. Kendala yang dihadapi di beberapa lokasi adalah form dan blanko yang disiapkan tidak mencukupi karena jumlah penduduk melampaui perkiraan. Sementara itu, salah satu faktor yang cukup mendukung kelancaran kegiatan adalah terdapatnya anggota perwakilan warga yang mampu menulis dengan jelas dan cepat. Sebelum sorting, terlebih dahulu dilakukan diskusi konsep. Pada kegiatan ini fasilitator dituntut mampu menggali pendapat peserta. Jika tidak cukup di fasilitasi, pengertian yang disampaikan cenderung abstrak. Di semua lokasi berhasil dirumuskan pengertian konsep miskin dan sangat miskin. Berikut adalah contoh definisi miskin: a) Lingkungan 9 Kel. TSM 1 Kota Medan. Ciri-ciri sebuah keluarga miskin menurut hasil diskusi adalah: (1). Rumah numpang (pada orangtua, mertua atau saudara); (2). Makan dari pemberian orang (anak/saudara/tetangga) atau mengemis; (3). Pendidikan anak putus sekolah sebelum tamat SD atau SLTP; (4). Tidak sanggup membayar biaya pengobatan apabila salah seorang anggotanya perlu berobat di rumah sakit. Biasanya cari pinjaman; (5). Pekerjaan tidak tetap (serabutan). b) RT 29 dan RT 30 Kel.Selili, Kota Samarinda. (1) Makan seadanya. Memperoleh makanan dari bantuan orang lain atau mengharap dari raskin. Lauk asal ada: contohnya ikan asin murahan.

108

Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

(2) Pekerjaan dan penghasilan tidak tetap. Untuk memenuhi kebutuhan makan (pokok) selalu utang. Penghasilan rata-rata per hari kurang dari Rp.25.000,- atau kurang Rp.750.000,- per bulan. (3) Tidak punya tempat tinggal sendiri yang layak huni. Biasanya numpang pada keluarga lain atau menyewa rumah yang tidak layak. Rumah Tidak layak huni yang dimaksud adalah rumah yang komponen-komponennya, seperti dinding, lantai dan atap sudah lapuk atau bocor. (4) Anggota keluarga sering sakit karena kurang gizi. (5) Tidak mampu membayar biaya pengobatan di rumah sakit. (6) Peralatan rumah tangga sangat minim. Misalnya tidak punya TV. (7) Tidak mampu membeli air bersih. (8) Tidak mampu menyediakan biaya pendidikan anak hingga minimal tamat SLTP. Setelah diskusi konsep selesai dilanjutkan dengan penjelasan dan peragaan bagaimana melakukan sorting. Teknik sorting seperti pada manual The SEF tampak cukup mudah dijelaskan oleh fasilitator dan mudah dipahami serta mudah dilakukan perwakilan warga di semua lokasi. Perwakilan warga kemudian dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing dengan 3 sampai 4 orang anggota. Tugas masingmasing kelompok adalah menilai seluruh keluarga dengan memperbandingkan satu dengan yang lain berdasar kondisi sosial ekonomi. Kegiatan ini disebut juga sorting, sementara kelompoknya disebut juga Kelompok Penilai. Pelaksanaan sorting berlangsung dalam dua model. Model pertama, secara simultan, ketiga kelompok penilai bekerja secara bergantian. Model kedua, secara paralel, kelompok penilai melakukan sorting secara terpisah pada waktu bersamaan di lokasi yang sama. Cara kedua ini dilakukan di kebanyakan lokasi karena di pandang lebih mudah dan mengirit waktu. Pada sorting dengan model paralel kartu keluarga perlu disiapkan sedemikian rupa, sehingga ketiga kelompok penilai dapat melakukan tugasnya. Misalnya di buat rangkap tiga (pengalaman di Subang dan Samarinda) atau tetap di buat rangkap satu, tetapi dibagi tiga bagian (pengalaman di Medan).
Puslitbang Kesos

109

Participatory Wealth Ranking

Dalam prakteknya sorting berlangsung lancar, kelompok penilai dapat menilai setiap keluarga dan menempatkannya ke dalam kelompok atau kategori tertentu. Hal tersebut dimungkinkan karena semua anggota Kelompok Penilai mengenal dengan baik keluargakeluarga setempat. Banyaknya kategori bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lain, mulai dari 4 sampai 6 kategori. Hasil sorting terdiri dari dua bagian penting. Pertama, catatan pada kategori mana sebuah keluarga ditempatkan dan alasan informatif mengapa ditempatkan pada kategori tertentu. Kedua, nilai bagi masing-masing keluarga. Karena sorting dilakukan sebanyak tiga kali maka masing-masing keluarga memperoleh tiga nilai dan tiga catatan alasan. Nilai berasal dari atau tergantung pada tumpukan mana dia ditempatkan dan jumlah seluruh tumpukan (lihat sub bagian penghitungan nilai di atas). Kesulitan terjadi apabila Kelompok Penilai tidak mengenal dengan baik keluargakeluarga setempat. Kejadian seperti ini dialami di Medan, sejumlah keluarga tidak dikenal dengan baik oleh Kelompok Penilai, sehingga nilai yang dihasilkan tidak konsisten.
3. Tahap Penghitungan Nilai

Penghitungan nilai yang dimaksud adalah mulai dari menetapkan nilai setiap keluarga sampai mencari nilai rata-rata. Menetapkan nilai masing-masing keluarga dilakukan oleh tiga Kelompok Penilai melalui proses sorting. Karena itu sorting dapat disebut juga sebagai proses penilaian. Kelompok penilai di semua lokasi tidak mengalami kesulitan memahami sistem menetapkan nilai. Mereka mudah memahami nilai tertinggi ditetapkan sebesar 100 diberikan kepada setiap keluarga termiskin yang kartunya berada pada tumpukan paling kiri, tumpukan ke-4. Sistem penetapan nilai demikian ternyata ditolak para peserta (anggota kelompok Penilai) di semua lokasi. Alasan mereka seragam, yaitu nilai tertinggi selalu diberikan kepada yang terbaik. Analog dengan sistem penilaian anak sekolah. Keberatan warga diterima oleh fasilitator di semua lokasi, nilai tertinggi diberikan kepada keluarga terkaya. Sistem ini diterima dengan pertimbangan tidak merubah substansi pengelompokkan. Dengan ketentuan demikian, apabila sebuah kelompok penilai membagi penduduk menjadi 4 kategori (tumpukan), maka nilai masing-masing keluarga mulai dari termiskin sampai terkaya adalah

110

Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

25,50, 75 dan 100. Pada umumnya jumlah kategori yang ditetapkan oleh tiga Kelompok Penilai di suatu lokasi adalah sama, sebanyak 4, 5 atau 6. Sistem penilaian tetap sama. Nilai masing-masing keluarga dengan mudah dapat dimasukkan kelompok penilai ke form yang disiapkan. Penghitungan nilai rata-rata dapat dilakukan dengan lancar oleh peserta. Mudah bagi mereka menghitung (25 + 25 + 50) : 3. Kesempatan memasukkan nilai ke form ternyata sekaligus berfungsi melakukan kontrol. Masing-masing peserta ternyata memperhatikan keluarga siapa dapat nilai berapa. Mereka spontan mengajukan protes jika merasa ada keluarga yang diberi nilai tidak semestinya. Berdasarkan nilai rata-rata diketahui peringkat kemiskinan setiap keluarga. Keluarga dengan nilai terendah adalah keluarga termiskin. Keluarga dengan nilai tertinggi adalah keluarga terkaya. Dalam upaya penyederhanaan, peringkat keluarga digolongkan menjadi 4 sampai 6 golongan peringkat (lihat Tabel 3). Tabel 3. Distribusi Keluarga menurut Golongan Peringkat Kondisi Sosial Ekonomi Di Lokasi Penelitian
NO. 1. LOKASI PROVINSI/ KAB/KOTA/ KEC/KEL Sumut, Kota Medan Kec. Mdn Denai Kel.Ts Mandala 1 Kaltim Kota Samarinda Kec. Smrd Seberang Kel. Selili Jabar, Kab Subang, Kec. Cipunagara, Desa Jati, Dusun Jati Jateng, Kab. Wonogiri, Kec.Purwantoro, Desa Kenteng SPS JML PEND GOLONGAN PERINGKAT Sosial Ekonomi I 52 6 5 11 25 18 43 12 10 6 10 11 10 65 108 4 2 8 14 II 97 28 34 72 22 37 59 22 14 23 25 26 22 155 104 7 1 2 1 III 68 41 63 104 29 31 60 15 14 10 9 6 6 68 60 4 4 4 14 IV 73 5 7 12 4 4 9 4 7 11 4 3 40 4 28 21 21 70 V 15 5 1 2 6 1 15 13 11 14 38 VI 4 2 2 8

L9 RT 29 RT 30 Jumlah RT 22 RT 23 Jumlah RT 1/5 RT 2/5 RT 3/5 RT 4/5 RT 1/6 RT 2/6 Jumlah Dusun Pucangan Sabulmil Obipul Abistas Jumlah

305 70 109 179 76 90 166 63 43 40 61 48 41 343 276 60 42 51 153

2.

3.

4.

5.

6.

Bali, Kabupaten Bangli, Kec.Bangli, Desa Kayubihi NTT, Kab. Belu, Kec. Lamaknen, Desa Lakmaras

Puslitbang Kesos

111

Participatory Wealth Ranking

4.

Menetapkan Sasaran Program

Seleksi penerima program dilakukan dengan menetapkan titik batas nilai (the cut of point). Mengingat tingkat kesejahteraan di masyarakat berbeda dan bervariasi antara wilayah, maka titik batas nilai di setiap lokasi ditentukan secara sendiri-sendiri. Maksudnya, tidak bisa seragam untuk semua lokasi. Titik batas nilai ditetapkan dengan mempertimbangkan ciri-ciri atau karakteristik peringkat. Titik batas nilai ditentukan oleh petugas lembaga yang sudah terlatih atau memiliki kualifikasi untuk itu. Contoh: Penduduk dibagi menjadi 4 kategori maka terdapat 10 variasi nilai rata-rata yang muncul, yaitu (lihat Tabel). Tabel 4. Variasi Nilai Rata-Rata yang berpeluang Muncul dan Peringkatnya
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. A 25 25 25 50 50 50 75 75 75 100 B 25 25 50 50 50 75 75 75 100 100 NILAI C 25 50 50 50 75 75 75 100 100 100 JML 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 RATA2 25 33 41 50 58 66 75 83 92 100 PERINGKAT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 GOLONGAN PERINGKAT I Paling Miskin II Miskin III IV

Dengan memperhatikan karakteristik umum keluarga sesuai nilai rata-rata atau peringkatnya dapat ditentukan titik batas poin keluarga yang berhak menjadi sasaran program. Hal ini harus disesuaikan dengan karakteristik sasaran program yang dirancang sebelumnya. Sasaran program P2FM kemungkinan bukan keluarga dengan nilai terendah, mungkin keluarga dengan nilai 33 sampai 41.

Keberhasilan Teknik PWR Teknik PWR berhasil dengan baik mengelompokkan secara relatif semua keluarga di setiap lokasi menurut peringkat sosial ekonomi. Dengan teknik PWR berhasil diidentifikasi keluarga termiskin di setiap lokasi. Penggolongan keluarga bervariasi di setiap lokasi. Di tiga lokasi, yaitu di Kaltim, Jabar dan Bali keluarga digolongkan menjadi 4 peringkat. Di Sumatera Utara dan di Jawa Tengah dibagi menjadi lima peringkat keluarga. Sedangkat di NTT menjadi 6 peringkat keluarga. Peringkat tertinggi, (yaitu 112
Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

peringkat 4 di Kaltim, Jabar dan Bali; peringkat 5 di Jateng dan Sumut dan peringkat 6 di NTT) terdiri dari keluarga terkaya. Di bawahnya berturutturut keluarga yang lebih rendah secara sosial ekonomi. Keluarga termiskin adalah keluarga yang masuk pada peringkat satu. Di setiap lokasi, masingmasing peringkat berhasil dideskripsikan gambaran kondisi sosial ekonominya.

Standar Keabsahan Data Teknik PWR dilengkapi dengan ukuran keabsahan tersendiri, yaitu: konsistensi skor. Apabila 90% konsisten maka hasil penilaian kelompok tersebut dianggap dapat dipercaya. Sebaliknya apabila skor tidak konsisten lebih dari 10% maka hasil penilaian kelompok itu perlu diragukan. Nilai konsisten yang dimaksud adalah apabila nilai yang diberikan oleh tiga kelompok penilai adalah sama atau kalau berbeda maksimal perbedaan sebesar 25 poin. Contoh: Kelompok Penilai A memberi nilai kepada keluarga nomor urut 1 sebesar 20. Apabila Kelompok Penilai B memberi nilai pada keluarga yang sama sebesar 60 maka nilai tersebut dianggap tidak konsisten. Konsistensi nilai di semua lokasi ternyata di atas 90%. Di Jabar dan Kaltim konsistensi nilai bahkan mencapai 100%, di Bali, Jateng dan NTT nyaris 100%. Dengan demikian tampak bahwa teknik PWR dapat menghasilkan data yang kebenarannya bisa dipertanggung jawabkan. Alasan lain untuk tidak meragukan keabsahan data yang diperoleh dengan teknik ini adalah: 1. Hasil observasi atas beberapa keluarga miskin setelah proses penilaian selesai, tampak bahwa penilaian yang diberikan Tim Pemeringkat cukup objektif. Hal tersebut diyakini karena home visit di ke-6 lokasi memperlihatkan keluarga yang memperoleh nilai rata-rata rendah, memang kondisinya miskin.
Tabel 5. Distribusi dan persentase keluarga menurut perbedaan nilai
No. 1. 2. PERBEDAAN NILAI 0 25 (Konsisten) 26 > (inkonsisten) Jumlah Sumut 258 (84,6%) 47 (15,4%) 305 Kaltim 179 (100%) 0 (0%) 179 LOKASI Jabar Jateng 166 331 (100%) (96,5%) 0 12 (0%) (3,5%) 166 343 Bali 273 (99,9%) 3 (0,1%) 276 NTT 151 (98,7%) 2 (1,3%) 153

Puslitbang Kesos

113

Participatory Wealth Ranking

2.

Upaya seseorang untuk menempatkan sebuah keluarga pada peringkat yang tidak sesuai, lebih kaya atau menjadi lebih miskin, tampak sulit terjadi. Karena: pertama, penilaian dilakukan berlapis, ada saling mengontrol antara peserta.; kedua, proses penilaian dengan kartu memperkecil peluang; ketiga, masih ada rasa malu para perwakilan warga untuk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak sesuai.

Pengecualian terjadi di Medan, nilai inkonsisten meliputi 15,4%. Hasil penilaian tiga kelompok penilai di Medan ternyata tidak dapat dipercaya sepenuhnya.

Kelebihan dan Kendala Kelebihan PWR adalah: a) Teknik PWR mudah dipahami dan mudah dilakukan meskipun oleh warga berpendidikan rendah. b) Waktu pelaksanaan fleksibel, dapat dilakukan di luar jam kerja. c) Masyarakat merasa dihargai karena seluruh proses dilakukan oleh mereka dan sesuai dengan ukuran yang berlaku sehari-hari di masyarakatnya. d) Dapat mengidentifikasi seluruh keluarga yang bertempat tinggal di wilayah setempat, PWR cukup cermat. Data yang diperoleh tidak sekedar angka tetapi lengkap dengan identitas mulai dari nama KK, pekerjaan, alamat dan nama isteri. PWR berpeluang untuk mengumpulkan data PSKS (Potensi Sosial Kesejahteraan Sosial) dan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) lebih luas/banyak. e) PWR dengan konsep keluarga lebih membawa nuansa keadilan. Keluarga yang sudah tidak lengkap, seperti janda yang tinggal serumah dengan keluarga anaknya, atau anak yang sudah menikah tetapi tinggal bersama orangtua/mertua dihitung sebagai keluarga tersendiri. f) Pada proses pemetaan versi The SEF, peta semata-mata untuk mengidentifikasi keluarga. Mengamati proses yang terjadi, peta dapat diperluas sehingga memuat unsur PSKS dan PMKS. g) Pada proses pendaftaran nama KK versi The SEF informasi yang dikumpulkan meliputi nama KK, nama panggilan, pekerjaan dan nama isteri. Ketika aplikasi PWR dilakukan di lapangan, tampak bahwa pengumpulan data dapat diperluas/diperdalam sesuai kepentingan. 114
Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

h)

Pada proses sorting, ketika melakukan penilaian/perbandingan satu keluarga dengan keluarga lainnya, dikumpulkan informasi lanjutan tentang kondisi sosial ekonomi masing-masing keluarga. Kendala dalam pelaksanaan PWR adalah: a) Masyarakat kita sudah terbiasa dengan instruksi. b) Diperlukan kesabaran fasilitator untuk melakukan seluruh proses. c) Pada masyarakat di mana hubungan sosial antara kelompok tidak harmonis atau renggang, pemilihan informan (perwakilan warga) harus hati-hati, melibatkan semua kelompok. d) Bahasa dapat menjadi kendala jika tidak ada penterjemah. e) Masyarakat cenderung mengharapkan bantuan.

Indomie VS Jagung Pemeringkatan keluarga dengan Teknik PWR, seperti dialami selama penelitian, dapat dilakukan oleh dua orang fasilitator bersama sebanyak 9 orang perwakilan warga untuk sebanyak 150 sampai 200 KK dalam waktu tiga hari. Untuk wilayah perdesaan, seperti pada kasus Wonogiri dan Bangli, di mana penduduknya homogen dan memiliki interaksi sosial yang relatif tinggi, dengan tenaga dan waktu yang sama dapat memperingkatkan lebih dari 200 KK. Dengan waktu dan tenaga seperti tersebut di atas, hasil yang diperoleh meliputi: 1. Peta wilayah pemukiman setempat 2. Daftar nama KK seluruh penduduk SPS. 3. Daftar alasan penempatan setiap keluarga pada peringkat tertentu. 4. Konsep miskin menurut masyarakat setempat; 5. Daftar nilai seluruh KK 6. Daftar nama KK menurut peringkat sosial ekonomi, mulai dari termiskin sampai terkaya, di setiap SPS. Hasil lain yang juga tidak ternilai harganya adalah dampak yang ditimbulkan pada pribadi perwakilan warga dan pada masyarakat sebagai kesatuan sosial.

Puslitbang Kesos

115

Participatory Wealth Ranking

1.

Pada pribadi perwakilan warga mereka merasa dihargai dan didengar pendapatnya. 2. Sebagai kesatuan sosial, masyarakat diakui dan dihargai eksistensinya. Bandingkan jika petugas datang lalu melakukan survey tanpa peduli pendapat masyarakat setempat. Perasaan inferior warga bisa diangkat. Sikap selalu menunggu instruksi bisa berkurang. Rasa percaya diri tumbuh. 3. Pengalaman perwakilan warga mengikuti kegiatan ini dapat dijadikan landasan membangun sistem pegumpulan data PSKS dan PMKS secara berkesinambungan. Mereka dapat melaksanakan sendiri PWR secara berkala baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun kepentingan pihak lain, termasuk pemerintah. 4. Melalui proses pelaksanaan PWR, fasilitator dapat menangkap situasi umum masyarakat, seperti: kecurigaan warga terhadap pendatang (di Bali); ketidakpecayaan warga atas penjelasan aparat pemerintah (di NTT); hubungan sosial yang kurang harmonis antara kelompok penduduk pribumi dan non pribumi (di Medan). 5. Pelaksanaan PWR selain berguna untuk pengumpulan data sekaligus dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi program. 6. Pelaksanaan PWR dapat menjadi titik awal (merangsang) muncul dan berkembangnya kesadaran dan tanggung jawab sosial bersama sesama warga untuk memecahkan masalah masyarakat. Apakah teknik PWR efesien? Mahal atau murah, praktis seperti memasak mie instan atau memerlukan waktu relatif lama seperti memasak jagung? Sangat tergantung dari sisi mana pengukuran dilakukan. Kalau pembangunan hendak mengejar setoran maka teknik PWR terasa boros dan mahal. Apabila pembangunan kesejahteraan sosial ingin konsisten hendak membangun masyarakat sebagai basis perkembangan mandiri, mendidik manusia, PWR menjadi super murah.

Kesimpulan dan Saran PWR cukup efektif digunakan untuk mengidentifikasi keluarga menurut urutan kemiskinannya secara partisipatif. PWR memungkinkan partisipasi masyarakat disalurkan secara representatif dan menghasilkan data secara sistematik. Teknik ini mudah dilakukan oleh fasilitator yang dilatih secara singkat dan perwakilan masyarakat sekali pun berpendidikan rendah. 116
Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

PWR potensial digunakan untuk menjaring informasi lebih dalam (spesifik) maupun lebih luas. PWR juga dapat digunakan sebagai landasan pengembangan sistem pengumpulan data berkelanjutan berbasis masyarakat. Apabila identifikasi dan seleksi sasaran Program Pemberdayaan Fakir Miskin hendak dijadikan kegiatan produktif, maka PWR dapat dijadikan pilihan teknik. PWR tidak sekedar mengidentifikasi keluarga miskin dan termiskin, tetapi sekaligus merangsang prakarsa masyarakat. Namun sebelum digunakan secara luas untuk mengidentifikasi dan seleksi sasaran P2FM, PWR perlu terlebih dahulu digunakan secara terbatas di beberapa kabupaten, sehingga diperoleh pengalaman riil. Pada aplikasi PWR harus diwaspadai prosesnya dilakukan dengan benar. Walapun teknik sudah cukup partisipatif tetapi jika tidak digunakan dengan benar hasil akhirnya akan berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
David S Gibbon, Anton Simanowitz, ben Nkuna; 1999, Cost Effective Targeting: Two Tools to Identify the Poor; CASHPOR Technical Service, Negeri Sembilan, Malaysia. Djohani, Rianingsih (Ed); 1996, Berbuat Bersama Berperan Setara: Penerapan Participatory Rural Appraisal; Bandung Driyamedia untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusatenggara.

Puslitbang Kesos

117

PEMBERDAYAAN KELUARGA DI WILAYAH PERBATASAN (Identifikasi Masalah dan Kebutuhan)1


Sugiyanto, S.Pd, M.Si. 2 ABSTRAK Penelitian ini, merupakan studi kasus wilayah perbatasan di lima propinsi (Kepulauan Riau, Kalimatan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua), dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan potensi serta untuk mendapatkan konsep model pemberdayaan keluarga di wilayah perbatasan. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif-kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis data yang bersifat kualitatif wawancara dengan para informan, yaitu: pemuka masyarakat (formal, informal), LSM, Perguruan Tinggi dan aparat instansi daerah terkait. Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data dari responden yang bersifat kuantitatif. Informan ditentukan secara purposive dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dokumentasi dan focus group discussion. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi, sedangkan data kualitatif dianalisis secara reduktif, yang diikuti penyajian data, yang akhirnya dilakukan pengambilan kesimpulan. Secara umum, permasalahan yang dihadapi oleh keluarga di wilayah perbatasan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan, keterampilan serta ketidakmenentuan jenis pekerjaan yang ditekuni dan penghasilannya. Untuk itu kebutuhan yang dibutuhkannya antara lain memfasilitasi mereka untuk dapat mengakses sistem sumber (informasi, pengetahun, keterampilan, Orsos, ekonomi, kesehatan dan lainnya). Adapun
1

Diangkat dari penelitian Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan-Identifikasi Masalah dan Kebutuhan, dengan anggota Tim : Konsultan : Dr. Marzuki, M.Sc.; Prof. Dr. H. Agus Suradika, M.Pd. Ketua Tim : Drs. Masngudin, M. Hum. Anggota : Ir. Erliwati Suin; Rukmini Dahlan, BA.; Drs. Muchtar, M.Si.; Sugiyanto, S.Pd., M.Si. Sekretariat : Bahder Husni, S.Sos. dan Haryanto, SST. Sugiyanto, Ajun Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendididkan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

Puslitbang Kesos

119

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

potensi (sosial, alam dan SDM) masih sangat terbuka sekali untuk dapat didayagunakan. Secara umum intervensi kebijakan (program pembangunan) pemerintah dan Orsos telah dilakukan tetapi secara spesifik yang mengarah terhadap pemberdayaan keluarga belum dilakukan. Karena program yang telah dilakukan masih bersifat charity. Konsep model pemberdayaan keluarga yang ditawarkan adalah konsep model pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan secara terpadu dan berkelanjutan. Konsep model tersebut masih perlu diujicobakan dan disosialisasikan ke berbagai pihak agar dapat menjadi program yang lebih efisien dan efektif.
Kata kunci: Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau. Dua pertiga wilayahnya terdiri dari perairan dengan garis pantai sekitar 81.000-an km dan terletak diantara dua benua (Australia dan Asia) serta dua samudera (Pasifik dan Hindia) memiliki perbatasan baik darat maupun laut (http//www.tnial.mil.id). Secara demografis, penyebaran penduduk di wilayah perbatasan umumnya jarang dan sporadis. Di wilayah yang berbatasan darat, misalnya: Kalbar, Kaltim, NTT jumlah penduduknya sedikit, sebarannya sangat jarang. Sedangkan pada perbatasan laut, termasuk pulau-pulau terluar, bahkan tidak berpenghuni (KRA XXXVIII, Lemhanas R.I., 2004). Abdulhadi (LIPI) mengidentifikasi sejumlah permasalahan di wilayah perbatasan, yaitu: pergeseran batas negara, minimnya pembangunan infrastruktur, kesenjangan kehidupan dengan negara tetangga, arus informasi dari dalam negeri kurang dan lebih deras arus dari negeri tetangga, kemiskinan penduduk, sampai kurangnya perhatian dari sektor-sektor terhadap pembangunan wilayah perbatasan (MI, 2 Januari 2006). Oleh karena itu, Menko Polhukkam - dalam Rapat Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar yang beranggotakan 17 menteri - menegaskan, masalah perbatasan saat ini merupakan masalah krusial yang harus mendapatkan perhatian khusus. Rencana pembangunan itu antara lain: peningkatan keamanan, pelayanan bagi masyarakat serta penyediaan navigasi pelayaran (MI, 30 Januari 2006). 120
Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Sejalan dengan pemikiran itu, pemberdayaan keluarga di wilayah perbatasan merupakan keharusan, karena keluarga mempunyai peran penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mutu suatu masyarakat ditentukan oleh kualitas kesatuan primer ini. Akan tetapi, kenyataan empirik menunjukkan, banyak keluarga (di perbatasan) di dera berbagai masalah seperti: kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesehatan & nutrisi, perumahan dan sanitasi yang tidak layak, anak-anak yang tidak sekolah dan berbagai masalah sosial lainnya. Terkait dengan itu, Puslitbang Kessos Depsos RI (2006) melakukan penelitian, bertujuan mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan keluarga di daerah perbatasan, serta ekplorasi model-model pemberdayaan keluarga baik yang telah maupun sedang dilaksanakan oleh berbagai pihak di daerah, unsur Pemda maupun masyarakat (LSM). Penelitian ini merupakan input bagi penyusunan konsep model pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan, yang nantinya diharapkan dapat diterapkan oleh unit operasional Departemen Sosial R.I. dalam hal ini Direktorat Pemberdayaan Keluarga dan pihak terkait lainnya; Pemda, Dunia Usaha, LSM/Orsos dan Perguruan Tinggi. Menurut para ahli, keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 1988). Soekanto (1990) juga menyatakan, keluarga adalah: (1) pelindung bagi pribadi-pribadi anggotanya, agar ketenteraman dan ketertiban diperoleh dalam keluarga tersebut; (2) unit sosial ekonomi yang secara material memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya; (3) menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah pergaulan hidup; dan (4) merupakan wadah terjadinya proses sosialisasi awal bagi manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor :10 Tahun 1992 dinyatakan, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud keluarga adalah keluarga miskin yang tinggal di wilayah berbatasan langsung dengan negara lain. Yang pada umumnya mereka dalam kondisi keterbatasan baik secara fisik (sarana transportasi, komunikasi & lainnya yang tidak memadai, bahkan tidak tersedia), maupun nonfisik (tingkat pendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah, derajat kesehatan rendah dan lain sebagainya).
Puslitbang Kesos

121

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Adapun arti dari pemberdayaan (empowerment) itu sendiri merupakan konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Ife (1995) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan memenuhi kehidupan komunitas mereka. Dalam konsep pemberdayaan, terdapat dua hal yang saling berkait, yaitu: kondisi berdaya dan ketidakberdayaan. Terkait dengan ketidakberdayaan, Chambers (1983) mengemukakan konsep perangkap deprivasi (concept of deprivation trap). Ia menganalisis penyebab kemiskinan sebagai hubungan sebab akibat yang saling berkait dari powerlessness (ketidakberdayaan), vulnerrebality (kerentanan), physical weakness (kelemahan fisik), poverty (kemiskinan) dan isolation (keterisolisasian). Chambers lebih lanjut menjelaskan, ketidakberdayaan membatasi akses terhadap sumber daya negara, memperumit keadilan hukum terhadap penyelewengan, hilangnya kekuatan tawar menawar, membuat rakyat semakin tidak mempunyai kemampuan terhadap permintaan mendadak untuk pembayaran pinjaman atau terhadap permintaan uang suap dalam suatu sengketa. Saling keterkaitan kelima itu dapat dicermati pada gambar berikut:
Ketidakberdayaan

Isolasi

Kerentanan

Kemiskinan

Kelemahan Fisik

Bagan 1. Perangkap Depriasi (Sumber : Chambers, 1983)

122

Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Menurut Oakley & Marsden (1984) dalam Pranarka & Moeljarto (1996), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu: (1) proses primer, yang menekankan pada pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat, agar menjadi lebih berdaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka; dan (2) proses sekunder, dengan menekankan pada menstimuli, mendorong, memotivasi masyarakat, agar mempunyai kemampuan/ keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Kedua proses ini bukan klasifikasi kaku, tetapi saling terkait. Agar kecenderungan primer terwujud, seringkali harus melalui proses sekunder terlebih dahulu.

Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif-kuantitatif. Informan ditentukan secara purposive mereka memahami secara baik kondisi daerah perbatasan. Atas pertimbangan itu, informan dalam penelitian ini adalah: (a) pemuka masyarakat setempat (formal-informal); (b) orsos/LSM; (c) perguruan tinggi; (d) aparat instansi Pemerintah Daerah terkait. Responden ditentukan secara random sampling - kepala keluarga di daerah berbatasan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dokumentasi, dan focus group discussion. Lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan, lokasi tersebut berbatasan langsung dengan negara lain. Atas dasar itu, lokasi terpilih adalah: (a) Kampung Skouw Sae (Jayapura Papua) berbatasan darat dengan PNG; (b) Desa Pancang (Nunukan Kaltim) berbatasan darat & laut dengan Malaysia; (c) Dusun Bungkang (Sanggau Kalbar) berbatasan darat dengan Malaysia; (d) Desa Berakit (Bintan Kepri) berbatasan laut dengan Malaysia & Singapura; dan (e) Desa Silawan (Belu NTT) berbatasan darat dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Data kuantitatif dianalisis secara distributive-frekuentif, sedangkan data kualitatif dianalisis secara reduktif, yang diikuti penyajian data, yang akhirnya dilakukan pengambilan kesimpulan. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan, sejumlah permasalahan keluarga yang mengedepan di daerah perbatasan lokasi penelitian adalah: kemiskinan penduduk, yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan serta keterampilan dan ketidak menentuan jenis pekerjaan yang ditekuni dan penghasilannya.
Puslitbang Kesos

123

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Masalah tersebut terkait erat dengan kerentanan, keterisolasian, dan ketidakberdayan secara sosial, politik, dan psikologis. Kondisi tersebut diperparah oleh berbagai keterbatasan sarana prasarana, antara lain: jalan, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (pasar), serta belum ada program pemberdayaan secara spesifik bagi keluarga di daerah perbatasan, baik yang dirancang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan demikian, kebutuhan keluarga di daerah perbatasan adalah: memfasilitasi mereka, untuk dapat mengakses sistem sumber (informasi, pengetahun, keterampilan, Orsos, ekonomi, kesehatan dan lainnya). Disamping itu, juga diperlukan sarana prasarana pendidikan, kesehatan, fasilitas pasar dan berbagai bantuan (kebutuhan pokok, bahan bangunan untuk perbaikan rumah dan bantuan usaha ekonomi). Adapun potensi (sosial, alam dan SDM) yang dapat didayagunakan untuk memberdayakan keluarga di daerah perbatasan, adalah: adanya rasa kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial pada keluarga di daerah perbatasan. Disamping itu, juga adanya lembaga-lembaga (informal, non formal) lokal, yang dapat dimanfaatkan bagi terjadinya perubahan. Demikian juga potensi alam (laut, lahan pertanian, perkebunan) yang masih belum diolah secara maksimal, dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga di daerah perbatasan. Adapun intervensi kebijakan (program pembangunan) pemerintah yang telah dilakukan terhadap keluarga di wilayah perbatasan, adalah: pembangunan sarana prasarana fisik (jalan, sekolah, kesehatan, ekonomi (pasar) dan pemukiman, BLT/SLT, raskin, bantuan modal dari Meneg UKM dan lainnya). Intervensi kebijakan pemerintah tersebut di rasakan masih jauh dari yang diharapkan, karena masih lebih bersifat charity, tidak berkelanjutan, tidak ada pendampingan dan tidak ada monitoring dan evaluasi. Demikian halnya intervensi sosial yang dilakukan oleh Masyarakat (Orsos/LSM: dalam, luar negeri), juga bersifat philantropy.

Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan Berdasarkan permasalahan, kebutuhan, potensi tersebut model yang ditawarkan ini akan diuraikan melalui variabel-variabel: lokasi penelitian (desa/kecamatan/ kabupaten), permasalahan, kebutuhan, potensi, metode, model yang ditawarkan (yang dilihat dari pelatihan, penyuluhan, UEP,

124

Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

pendampingan) dan user. Model tersebut seperti terlihat pada bagan tersebut di bawah ini :
Masyarakat (Pelaku perubahan) Pemerintah (Fasilitator)

LMS/Orsos

Pemuka Masyarakat

Intervensi: Pelatihan, bimbingan Bantuan teknis (pendampingan) Bantuan: Kebutuhan pokok, bahan bangunan perbaikan rumah, & UEP.

Keluarga di daerah perbatasan

Diperolehnya pengetahuan, keterampilan, bantuan: Pendamping, kebutuhan pokok, bahan bangunan perbaikan rumah, & bantuan UEP

Keberdayaan Keluarga

Pengawasan

Bagan 2. Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan.

Model tersebut memungkinkan untuk direplikasikan di tempat lain, tentunya selain di lima wilayah perbatasan yang menjadi sampel penelitiaan ini. Namun, masih diperlukan adanya penyempurnaan dalam usaha memperkecil kelemahan dan menjawab ancaman. Sesuai dengan prinsip participatory action research (PAR), maka untuk menghasilkan model yang diharapkan memerlukan proses yang panjang. Oleh karena itu, uji coba perlu dilaksanakan berkali-kali untuk meredesign sesuai dengan hasil uji coba. Pelaksanaan uji coba dalam penelitian ini nantinya masih terbatas pada lima lokasi penelitian awal (Bintan, Sanggau, Nunukan, Belu dan Jayapura), yang mewakili perbatasan darat maupun laut dengan negara tetangga. Setelah itu bisa di uji cobakan lagi pada daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Sehingga nantinya didapatkan/dihasilkan model yang variatif untuk setiap jenis wilayah perbatasan.

Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian itu disimpulkan bahwa permasalahan umum keluarga di daerah perbatasan, adalah kemiskinan penduduk. Masalah tersebut terkait erat dengan kerentanan, keterisolasian dan ketidakberdayan
Puslitbang Kesos

125

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

secara sosial, politik dan psikologis. Kondisi tersebut diperparah oleh berbagai keterbatasan sarana prasarana, antara lain: jalan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan ekonomi (pasar), serta belum adanya program pemberdayaan secara spesifik bagi keluarga di daerah perbatasan, baik yang dirancang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan demikian, kebutuhan keluarga di daerah perbatasan antara lain: memfasilitasi mereka, setidaknya untuk dapat mengakses terhadap sistem sumber informasi, pengetahun, keterampilan, ekonomi, kesehatan dan lainnya. Disamping itu, juga diperlukan sarana prasarana pendidikan, kesehatan, fasilitas pasar dan berbagai bantuan (kebutuhan pokok, bahan bangunan untuk perbaikan rumah dan bantuan usaha ekonomi melalui KUBE, misalnya).Adapun potensi (sosial, alam dan SDM) yang dapat didayagunakan untuk memberdayakan keluarga di daerah perbatasan, antara lain: masih kentalnya rasa kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial pada keluarga di daerah perbatasan. Disamping itu, juga adanya lembagalembaga (informal, non formal) lokal, yang dapat dimanfaatkan bagi terjadinya perubahan. Demikian juga potensi alam (laut, lahan pertanian, perkebunan) yang masih belum diolah secara maksimal, dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga di daerah perbatasan. Sedangkan intervensi kebijakan (program pembangunan) pemerintah yang telah dilakukan terhadap keluarga di daerah perbatasan lokasi penelitian, antara lain: pembangunan sarana prasarana fisik (jalan, sekolah, kesehatan, ekonomi (pasar) dan pemukiman, BLT/SLT, raskin, bantuan modal dari Meneg UKM dan lainnya), masih jauh dari yang diharapkan, karena masih lebih bersifat charity tidak berkelanjutan, tidak ada pendampingan dan tidak ada monitoring dan evaluasi. Dalam upaya pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan, untuk itu direkomendasikan, pertama: secara internal (Depsos R.I.) perlu dirancang suatu konsep model pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan secara terpadu dan berkelanjutan. Seperti konsep model yang ditawarkan (prescriptive) tersebut di atas. Kedua: secara eksternal, dipandang perlu: (a) penyusunan rancangan perundang-undangan tentang daerah perbatasan antar negara/pulau terluar/terpencil, sebagai acuan secara nasional dalam upaya mengembangkan daerah perbatasan antar negara/pulau terluar/ terpencil tersebut dalam rangka memperkokoh rasa nasionalisme dan tetap utuhnya NKRI; (b) membentuk semacam lembaga nasional, yang khusus menangani daerah perbatasan antar negara/pulau terluar/terpencil.

126

Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

DAFTAR PUSTAKA
Chambers, Robert. (1983). Rural development: Putting the last first, Published by Longman scientific and technical, essex, United Kingdom. Depsos R.I., Ditjen. Pemberdayaan Sosial, D it. Pemberdayaan Peran Keluarga. (2002). UU. R.I. Nomor: 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluar ga Sejahtera.Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Tugas Di. Pemberdayaan Peran Keluarga Gerungan, W.A. (1988). Psikologi Sosial. Bandung: Eresco. Ife, Jim. (1995). Community Development: Creating community alternatives-vision, analysis and practice, Australia, Longman Pty Ltd. Pranarka, A.M.W. & Moeljarto, Vindyandika. (1996). Pemberdayaan (Empowerment). Pemberdayaan, konsep, dan implementasi, Jakarta: Centre for Strategic and Intenational Studies (CSIS).

Puslitbang Kesos

127

EVALUASI PROGRAM SUBSIDI PANTI DALAM MENDUKUNG KELANGSUNGAN PELAYANAN PANTI SOSIAL1
Drs. Nurdin Widodo 2 ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pemanfaatan subsidi oleh pantipanti sosial; (2) pengaruh subsidi panti terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pengembangan usaha ekonomi produktif; dan (3) upaya panti-panti sosial dalam mengatasi masalah pembiayaan kegiatan selanjutnya (apabila subsidi dihentikan). Penelitian ini mengambil sampel lokasi panti di Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Data dan informasi digali melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistika deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, pada umumnya subsidi makanan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas makan pokok dan makanan tambahan dan memberikan pengaruh positif pada peningkatan kualitas menu makanan dan jenis makanan tambahan. Adapun subsidi Usaha Ekonomis Produktif (UEP) dimanfaatkan untuk membuka UEP baru atau pengembangan UEP yang sudah ada, yang hasilnya menunjukkan perubahan positif meskipun baru sebagian kecil panti sosial mengalami peningkatan omset dan aset setelah mendapatkan subsidi. Terkait dengan masalah tersebut adalah kurangnya pelatihan dan pendampingan dalam pengelolaan UEP. Panti-panti sosial pada umumnya masih tetap mengharapkan agar subsidi masih diterima pada masa-masa mendatang. Hal ini menggambarkan, bahwa tingkat ketergantungan panti-panti sosial terhadap pemerintah masih sangat tinggi. Dalam upaya mengatasi masalah pembiayaan, sebagian kecil dari panti sudah memiliki upaya konkret dan sebagian lainnya masih berupa gagasan. Namun, upaya ini menurut pengelola panti tetap belum bisa membantu biaya operasional panti. Kata kunci: Subsidi Panti, pemanfaatan subsidi, Pengaruh subsidi, Upaya panti, Harapan panti, Implikasi kebijakan

Diangkat dari hasil Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Program Subsidi Panti Dalam Mendukung Kelangsungan Pelayanan Sosial oleh Drs. Nurdin Widodo (Ketua), Drs. Suradi, M.Si, Drs. B. Mujiyadi, MSW, Dra Nunung Unayah, Ivo Noviana, S.Sos dan Muslim Sabarisman, AKS. Penerbit Puslitbang Kesos Depsos RI, 2006 Nurdin Widodo, Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteran Sosial, Departemen Sosial RI

Puslitbang Kesos

129

Evaluasi Program Subsidi Panti

Pendahuluan Setiap makhluk hidup pasti memiliki kebutuhan dan sifatnya menuntut pemenuhan dengan sesegera mungkin. Sebab apabila tidak segera dipenuhi akan menimbulkan masalah baik yang bersifat individual (private trouble) maupun gangguan yang bersifat kolektif (public issues). Menurut Neil Gilbert dan Harry Spect (dalam Sukoco, 1991), bahwa setiap manusia dimanapun dan kapanpun secara universal memiliki sejumlah kebutuhan, yaitu kebutuhan fisik, emosional, intelektual, spiritual dan sosial. Selo Soemardjan (1997), membagi kebutuhan manusia menjadi tiga jenis, yaitu (1) kebutuhan dasar (basic needs); (2) kebutuhan sosial-psikologis (social-phsyicological needs); dan (3) kebutuhan pengembangan (developmental needs). Krisis ekonomi yang hingga saat ini masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat termasuk didalamnya lembaga-lembaga pelayanan sosial mengakibatkan pemenuhan kebutuhan dasar ini masih merupakan hambatan. Dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah apabila kebutuhan dasar saja tidak dapat terpenuhi. Disinyalir terdapat lembaga pelayanan sosial yang merasa terancam kelangsungannya dan bahkan tidak tertutup kemungkinan mereka akan menghentikan kegiatannya Sebagai bentuk tanggung jawab dan kemauan politik, pemerintah telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap permasalahan ini. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah adalah diluncurkannya program Bantuan Biaya Makanan dan Bantuan Usaha Ekonomis Produktif bagi panti-panti sosial di seluruh Indonesia oleh Departemen Sosial. Sejak diluncurkan, program ini terus mengalami peningkatan dari segi jumlah subsidi maupun jumlah panti dan klien penerima subsidi. Pada tahun 2005, panti sosial yang menerima prorgam subsidi sebanyak 4.308 unit, dengan rincian sebanyak 149.050 orang klien menerima bantuan biaya makanan, 855 panti menerima bantuan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) dan 93 panti menerima pengembangan UEP. Di dalam Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 50/HUK/2005 tentang Standardisasi Panti Sosial, ditegaskan bahwa salah satu jenis pelayanan yang diberikan oleh panti sosial adalah pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi makan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan. Khusus untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan makan klien, diharapkan pihak panti sosial melakukan konsultasi dengan ahli gizi dari instansi kesehatan setempat 130
Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

guna memperoleh daftar menu makan yang memenuhi standar gizi dan kesehatan. Melalui konsultasi ini maka pelayanan makan bagi klien, terutama untuk anak-anak, tidak hanya bermanfaat secara fisik, akan tetapi juga bermanfaat dalam pengembangan intelegensi dan psikomotorik. Kemudian bagi para lanjut usia, pelayanan makan diharapkan akan mencegah atau mengendalikan gangguan fisik dan menjaga kebugaran. Konsep pelayanan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Alfred J. Khan (Soetarso, 1980), pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh lembaga kesejahteraan sosial disebut dengan pelayanan kesejahteraan sosial. Di negaranegara berkembang tertentu, pelayanan kesejahteran sosial dimaksudkan sebagai pelayanan yang difokuskan pada bantuan untuk perorangan atau keluarga yang mengalami masalah penyesuaian diri dan pelaksanaan fungsi sosial atau ketelantaran. Di negara lainnya digunakan istilah pelayanan sosial untuk mencakup apa yang terkandung dalam pengertian pelayanan kesejahteraan sosial di atas ditambah dengan : (1) Bantuan sosial, yaitu yang ditekankan pada pemberian bantuan uang dan atau barang; (2) Programprogram kesehatan yang tidak tercakup oleh program yang dikembangkan oleh swasta; (3) Pendidikan, Perumahan rakyat; (4) Program-program ketenagakerjaan; dan (5) Fasilitas umum. Menurut Anthony H. Pascal (dalam M.R. Siahaan, 2004) tujuan pelayanan sosial adalah: (1) memberikan perlindungan kepada orang yang mengalami kehilangan kemampuan; (2) menyediakan pilihan-pilihan kepada penerima pelayanan; (3) mengembangkan keberfungsian sosial; dan (4) meningkatkan keadilan untuk memperoleh kesempatan. Dalam rangka memperoleh informasi tentang bagaimana realisasi subsidi panti tersebut di lapangan dan pengaruhnya terhadap kelangsungan panti sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial perlu melaksanakan Penelitian Evaluasi terhadap Pelaksanaan Program Subsidi Panti dalam mendukung Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial. Tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini, adalah : 1. Diketahuinya pemanfaatan subsidi panti oleh panti-panti sosial. 2. Diketahuinya pengaruh subsidi panti terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pengembangan usaha ekonomis produktif (UEP). 3. Diketahuinya upaya panti-panti sosial dalam mengatasi masalah pembiayaan kegiatan selanjutnya (apabila subsidi dihentikan).
Puslitbang Kesos

131

Evaluasi Program Subsidi Panti

Adapun manfaat yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan rasional bagi pimpinan Departemen Sosial dalam pengembangan kebijakan dan program pemberdayaan panti sosial di Indonesia.

Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian evaluasi (evaluatif research), yang dilaksanakan dalam upaya mengetahui kekuatan dan kelemahan program subsidi panti sosial, serta suatu cara menentukan perbaikan bagi para pengambil keputusan di Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan variasi panti sosial yang menerima subsidi dari Departemen Sosial pada tahun 2005. Adapun jenis-jenis panti sosial yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah : Panti Sosial Asuhan Anak, Panti Sosial Tresna Werdha, Panti Sosial Penyandang Cacat, Panti Sosial Pamardi Putra dan Panti Sosial Tuna Sosial. Berdasarkan pertimbangan persebaran data panti penerima program subsidi panti, maka penelitian ini dilaksanakan di 5 (lima) provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Di setiap lokasi penelitian ditentukan panti sosial sebanyak 10 unit dengan mempertimbangkan variasi panti sosial. Sumber data untuk setiap provinsi terdiri dari unsur Dinas Sosial provinsi (2 orang), pengelola panti sosial (10 orang) dan klien (10 orang), yang ditentukan secara purposive. Dengan demikian jumlah responden di lima provinsi adalah 360 orang (10 orang Instansi sosial, 100 orang pengelola panti dan 250 klien panti). Teknik pengumpulan data yang digunakan wawancara, diskusi kelompok terfokus dan studi dokumentasi. Data yang terkumpul, dianalisis secara kualitatif dan dideskripsikan sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan melalui tahapan editing, kategorisasi, tabulasi, analisis dan interpretasi. Secara kualitatif, data yang terhimpun dianalisis dengan mempertimbangkan informasi dan masukan dari tiap responden dan informan lainnya yang didapat melalui wawancara. Gambaran Umum Panti Sosial Panti sosial yang menjadi sampel dalam Penelitian ini adalah panti sosial milik pemerintah daerah (74%) dan milik masyarakat (26%). Khusus untuk Provinsi Sumatera Utara, panti sosial milik pemerintah daerah tidak 132
Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

memperoleh subsidi panti. Adapun jenis dan jumlah panti sosial terdiri dari 32 Panti Sosial Anak Terlantar (64%), 5 Panti Sosial Lanjut Usia (10%), 7 Panti Sosial Penyandang Cacat (14%), 4 Panti Sosial Tuna Sosial (8%) dan 2 Panti Sosial Napza (4%). Sarana perkantoran yang dimiliki panti sosial berdasarkan data sekunder di setiap panti menunjukkan sebanyak 26% panti sosial belum memiliki komputer, 10% belum memiliki telepon dan sebanyak 72% belum memiliki faxcimilie. Sementara peralatan sound system dan tape recorder baru 22% yang memilikinya. Peralatan kantor lainnya seperti meja kerja dan lemari arsip sudah dimiliki oleh panti-panti sosial dengan jumlah terbatas, sedangkan filling cabinet, calculator dan brankas dimiliki oleh sebagian kecil panti-panti sosial. Sarana teknis seperti modul sebagai alat/panduan pelayanan kepada klien hanya sebagian kecil (26%) panti sosial yang memilikinya dan umumnya panti sosial milik pemerintah daerah. Peralatan olah raga dan kesenian sebagian besar (88%) sudah memilikinya. Sementara peralatan terapi medik, fisioterapi dan alat pijat refleksi dimiliki oleh panti sosial cacat dan panti sosial Napza. Sebanyak 48% panti sosial memiliki kendaraan bermotor roda empat dan 96% memiliki kendaraan roda dua. Sumber dana tetap berasal dari Dinas Sosial provinsi (54%), Yayasan Dharmais (48%), APBD (32%,) dan dari donatur/masyarakat sebesar 18%. Sumber dana tidak tetap terbesar berasal dari donatur/masyarakat (72%) dan Dinas Sosial provinsi (28%). Secara struktural panti-panti sosial pemerintah dipimpin oleh seorang kepala, dibantu oleh beberapa orang kepala seksi yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah setempat (Bupati/Walikota). Sedangkan pimpinan panti sosial swasta sebagian besar diangkat dan diberhentikan oleh pengurus yayasan, sebagian para pengurus/pengelola panti (kepala, sekretaris, bendahara, pengasuh dan tenaga lainnya) ada yang berasal dari anggota keluarganya sendiri. Jumlah tenaga di 50 panti sosial sebanyak 937 orang dan 69,05% diantaranya adalah tenaga tetap, yakni Pegawai Negeri di panti-panti sosial pemerintah., sedangkan tenaga tidak tetap merupakan tenaga honor panti. Tingkat pendidikan tenaga panti terdiri dari SLTA (44,99%), sarjana muda, sarjana dan pasca sarjana (44,11%), sedangkan tenaga yang berpendidikan SD dan SLTP (9,77%) bertugas sebagai pengemudi, bagian gudang, juru masak, tukang cuci dan satpam. Tenaga teknis terdiri dari pengasuh
Puslitbang Kesos

133

Evaluasi Program Subsidi Panti

(37,04%), pekerja sosial (27,37%), kerohanian (13,32%) dan lainnya adalah instruktur, psikolog, perawat, dokter/psikiater, analis laboratorium dan konselor. Khusus tenaga teknis pekerjaan sosial secara kuantitas masih relatif terbatas, yaitu rata-rata 3 orang per panti sosial, yang rata-rata per pekerja sosial mendampingi 74 orang klien. Rasio ini sangat berat terutama untuk klien penyandang masalah pathologis, seperti penyandang cacat dan korban napza. Pemahaman tentang pekerja sosial ini di setiap panti berbeda-beda. Sebagian besar panti-panti sosial milik pemerintah daerah berpendapat bahwa tenaga pekerja sosial merupakan tenaga profesi yang seharusnya mempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial, atau yang pernah mengikuti pelatihan profesi pekerjaan sosial. Sementara sebagian panti (terutama panti sosial swasta) menyatakan bahwa pekerja sosial yang dimaksud disini adalah relawan sosial yang melaksanakan pelayanan berdasarkan charitatif. Perbedaan persepsi tentang pekerjaan sosial ini berpengaruh terhadap pelayanan sosial kepada klien Bentuk dukungan paling besar (74%) terhadap panti-panti sosial dalam jaringan kerja adalah bidang kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk pengobatan kepada klien di puskesmas dan rumah sakit serta pelatihan keperawatan untuk lanjut usia. Sedangkan pelatihan keterampilan diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja setempat. Dinas Perindustrian memberikan dukungan magang kerja melalui kerjasama dengan dunia usaha, Kantor Urusan Agama memberikan bantuan pembimbing agama/mental kepada klien, Dinas Sosial dan BKKKS memberikan dukungan pelatihan manajemen panti. Namun, pelatihan ini baru diberikan sebanyak 46% dari panti-panti sosial. Selain itu pihak kepolisian juga memberikan penyuluhan tentang bahaya Napza. Dukungan dalam bentuk beasiswa diberikan oleh Muhammadiyah dan gereja. Mengenai pemenuhan kebutuhan fisik klien, diperoleh informasi sebanyak 50% panti memberikan menu makan tiga sehat plus berupa nasi, sayur, lauk dan pauk, kadang-kadang buah. Sedangkan 36% memberikan makan tiga sehat berupa nasi, sayur dan lauk pauk. Hanya sebagian kecil panti sosial yang memberikan menu makan empat sehat dan empat sehat plus berupa nasi, sayur, lauk pauk, kadang-kadang buah bahkan kadangkadang susu. Menu makanan rata-rata terdiri dari makanan pokok, sayur, lauk pauk, buah ditambah susu. Sedangkan makanan tambahan diwujudkan dalam bentuk kue, kolak, kacang hijau dan buah-buahan.

134

Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Sebagian besar (96%) panti-panti sosial memberikan pakaian sekolah, pakaian lebaran, pakaian ibadah (sarung, baju koko, mukena) dan pakaian dalam, yang biasanya dikaitkan dengan hari raya Idul Fitri dan Natal, sedangkan pakaian sekolah diberikan sesuai kebutuhan klien. Kadangkadang pakaian juga diberikan oleh para dermawan pada saat mengadakan kunjungan ke panti. Sebagian besar tempat tinggal klien menggunakan asrama (96%), lainnya dalam bentuk wisma (cottage). Apabila dilihat dari total jumlah klien, 95,83% klien tinggal dalam asrama dan 4,17% tinggal di cottage. Sebagian besar (98%) Panti sosial juga memberikan peralatan/ perlengkapan mandi seperti sabun mandi, sabun cuci, sikat gigi, odol, handuk dan pakaian dalam. yang diberikan setiap bulan dan ada yang tidak setiap bulan. Dalam bidang kesehatan, pelayanan yang diberikan meliputi P3K, rujukan ke puskesmas atau rumah sakit umum/daerah setempat. Mengenai kegiatan pembinaan fisik, sebagian besar panti sosial melaksanakan kegiatan senam secara rutin, sedangkan bola volley, sepak bola dan tenis meja dilaksanakan secara insidentil pada sore hari. Pelaksanaan bimbingan fisik sebagian besar memanfaatkan tenaga dari dalam panti, sedangkan penyuluhan kesehatan melibatkan tenaga Puskesmas setempat. Jenis bimbingan mental/psikososial yang dilaksanakan di panti-panti sosial meliputi bimbingan agama, bimbingan bicara (spech therapy), bimbingan kedisiplinan, konsultasi, pramuka dan psikoterapi. Pemahaman bimbingan sosial di setiap panti berbeda-beda sesuai dengan persepsi pimpinan/pengelola panti sosial. Jenis bimbingan sosial yang selama ini diberikan oleh panti-panti sosial meliputi sosialisasi dengan lingkungan/masyarakat, pengabdian masyarakat dan gotong royong. Bimbingan keterampilan yang ada di panti-panti sosial memiliki tujuan yang berbeda-beda. Secara umum kegiatan ini mempunyai tujuan: (1) memberikan keterampilan kepada klien, sehingga kegiatan ini merupakan program pokok bagi klien dalam panti, seperti yang dilaksanakan oleh Panti Sosial Bina Remaja; (2) sebagai terapi dalam usaha membantu penyembuhan klien sebagaimana kegiatan keterampilan yang dilaksanakan oleh Panti Sosial Bina Laras; dan (3) merupakan kegiatan ekstra kurikuler atau sekedar mengisi waktu luang. Walaupun memiliki tujuan yang berbeda, sebagian besar (86%) panti sosial melaksanakan bimbingan keterampilan
Puslitbang Kesos

135

Evaluasi Program Subsidi Panti

secara rutin, 2 % melaksanakan bimbingan keterampilan secara insidentil dan 12 % panti sosial tidak melaksanakan bimbingan keterampilan. Jenis bimbingan keterampilan di setiap panti sosial bervariasi, yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing panti. Setiap panti sosial ada yang melaksanakan 1 atau 2 jenis keterampilan ada juga yang melaksanakan 3 - 5 jenis keterampilan. Pelaksana kegiatan ini, sebagian memanfaatkan tenaga dalam panti, sebagian panti memanfaatkan tenaga dari Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan dunia usaha.

Pemanfaatan Subsidi Panti


1. Subsidi Makanan

Panti-panti yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah panti-panti sosial yang mendapatkan subsidi makanan pada tahun 2004 dan 2005. Namun, untuk tahun 2005 ini tidak semua panti yang menjadi responden mendapatkan subsidi makanan. Panti-panti milik pemerintah daerah untuk Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan tidak mendapatkan subsidi makanan dengan alasan sesuai dengan Surat Edaran dari Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang menyatakan bahwa panti milik Pemerintah tidak mendapatkan subsidi ini. Padahal, menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, yang tidak mendapatkan subsidi makanan adalah panti milik Pemerintah (pusat) bukan milik Pemerintah Daerah. Tidak semua panti sosial mendapatkan subsidi makanan sesuai dengan jumlah klien. Dari 50 panti sosial dengan jumlah klien 3.693 orang, yang mendapatkan subsidi sebanyak 2.450 orang atau 66.94% dari total klien dalam panti sosial. Untuk itu pemanfaatan subsidi diserahkan sepenuhnya kepada panti-panti yang menerimanya. Dengan demikian, ada keleluasaan bagi pengelola panti untuk mengelola subsidi sebatas untuk biaya makanan dan bukan untuk kebutuhan yang lain. Bagi panti yang telah memiliki sumber tetap seperti dari APBD (khusus panti pemerintah), dari Yayasan Dharmais, dari Yayasan pendukung utama operasional panti dan sebagainya, subsidi panti dapat digunakan sebagai tambahan sumber dana panti. Subsidi makanan yang besarnya Rp. 2.250,- per orang sangat signifikan sebagai suplemen pemenuhan makanan klien yang digunakan

136

Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

untuk menambah jumlah dan kualitas makanan yang diberikan kepada klien. Untuk Panti Pemerintah, subsidi dimaksud digunakan untuk menambah lauk-pauk, makanan tambahan dan susu. Hal ini berkaitan dengan sudah adanya dukungan APBD untuk menu pokok harian. Sedangkan untuk panti swasta, subsidi makanan terkesan menjadi yang utama. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya/kurangnya sumber dana tetap. Apabila dibandingkan dengan harga eceran tertinggi (HET) setempat untuk jenis barang yang dikonsumsi klien sehari-hari, secara rata-rata maka jumlah anggaran dimaksud antara kurang dan lebih dari mencukupi. Menu makanan yang diberikan panti Pemerintah mengikuti menu yang sudah ditetapkan dengan jadwal yang pasti dan masih dapat memberikan buah dan susu serta makanan tambahan seperti kacang hijau, meski tidak setiap hari. Sedangkan panti swasta, ada yang belum/ tidak dapat memberikan makanan tambahan. Namun demikian, ada satu panti swasta yang dapat memberikan makanan tambahan. Menu makanan yang diberikan panti kepada kliennya diusahakan sedemikian rupa untuk memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna. Namun demikian, untuk sebagian panti swasta standar tersebut masih dirasakan sebagai utopia karena perbandingan jatah SOSH dengan harga setempat masih relatif jauh. Membandingkan jatah SOSH dengan HET setempat tampak adanya angka minus dari anggaran panti untuk mengadakan bahan makanan tiap harinya. Untuk itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 1. Perbandingan SOSH dengan kebutuhan tiap orang
No. 1. 2. 3. 4. 5. Provinsi Sumut NTB DI Yogya Kalbar Sulsel SOSH (Rp) 7.500,9.000,10.000,9.600,11.000,Harga Kebutuhan per orang per hari (Rp) 10.120,10.100,11.150,11.140,9.900,Kekurangan (Rp) 2.620,1.100,1.150,1.540,1.100,-

Panti-panti pemerintah yang mendapatkan jatah SOSH tampak terjadi defisit tiap harinya, sehingga tuntutan untuk dapat memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna hampir pasti tidak dapat terpenuhi. Kondisi ini lebih parah dirasakan oleh panti swasta, karena tidak memiliki
Puslitbang Kesos

137

Evaluasi Program Subsidi Panti

sumber dana tetap seperti yang dimiliki panti pemerintah. Dari pengamatan pada waktu penelitian, tampak bahwa beberapa panti hanya mampu memberikan makanan seadanya kepada kliennya. Klien tidak setiap saat mendapatkan jatah lauk pauk yang memenuhi standar gizi dan bahkan kalau mereka mendapatkan makanan harian hanya dalam wujud nasi dan sayur yang dimasak dengan cara diberikan banyak kuah. Banyak panti swasta yang hanya dapat merasakan lauk pauk enak apabila klien panti dimaksud diundang untuk acara selamatan di masyarakat sekitar panti atau panti mendapatkan hantaran dari masyarakat dalam wujud makanan matang. Khusus untuk Yogya, tampak bahwa indeks kebutuhan lebih tinggi, meskipun secara umum diketahui bahwa HET relatif lebih murah bila dibandingkan dengan provinsi lain. Di Yogya panti milik pemda memberikan snack/ makanan ringan pada medio pagi dan sore. Harga makanan ringan dimaksud ditetapkan Rp 1.000,- tiap kali dan dengan demikian tiap hari diperlukan Rp 2.000,- untuk makanan ringan dimaksud. Jadi nilai Rp 11.150,- untuk Yogya merupakan kebutuhan paling besar dibandingkan panti-panti di provinsi lain.
2. Subsidi Usaha Ekonomi Produktif

Tidak semua panti responden mendapatkan subsidi UEP yang besarnya Rp 10 juta (subsidi baru) dan Rp 25 juta (subsidi pengembangan usaha). Untuk itu dapat dilihat tabel berikut ini. Tabel 2. Jenis Subsidi UEP yang didapatkan
No. Subsidi UEP 1. Baru 2. Pengembangan 3. Tidak ada UEP Jumlah 31 panti 4 panti 15 panti % 62 8 30

Dari 31 panti yang mendapatkan subsidi UEP baru dan 4 panti yang mendapatkan subsidi pengembangan UEP dan dimanfaatkan untuk berbagai jenis usaha, dari yang sifatnya ternak, usaha kerja hingga usaha jasa. Selain itu diketahui bahwa terdapat panti yang mengembangkan usahanya dalam 1 jenis atau lebih jenis usaha. Mengenai variasi jenis usaha/kerja diperoleh informasi, bahwa warung sembako menempati jumlah terbanyak (18,92%). Kemudian

138

Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

wartel dan rental komputer menempati urutan ke dua (10,81%). Pilihan ini tentunya berkaitan dengan kemudahan pemasaran dari hasil usaha/ kerja yang dipilih. Sedangkan jenis usaha lainnya, antara lain: ternak ayam, kambing dan sapi, budidaya lele, menjahit, salon, tanaman hias, bengkel, foto copy, koperasi/simpan pinjam, bengkel dan pertukangan. Alasan pemilihan jenis usaha ini berkaitan dengan pemasaran (31,33%), lokasi (21,69%), SDM/pengelola (13,25%) dan lain alasan. Dalam memanfaatkan dana subsidi UEP, masing-masing panti kemudian menjalin relasi dengan pihak lain sehingga diharapkan dapat mencapai peningkatan kemampuan kerja/produksi sekaligus dalam rangka pemasaran. Adapun jalinan kerja dimaksud, antara lain dengan pihak dunia usaha serta institusi milik pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian terdapat panti yang tidak melakukan jalinan kerja sama karena usahanya ada yang memang sudah dalam keadaan tidak operasi dan sebagian merasa dapat mengatasi sendiri masalahnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalinan terbanyak adalah dengan toko, terutama bagi panti yang mengembangkan UEP dalam bentuk jualan sembako. Jalinan dimaksud terutama dalam rangka pengadaan bahan dagangan. Didapatkan informasi bahwa sebagian toko memberikan kemudahan seperti mengambil barang terlebih dahulu dan baru membayar kemudian setelah barang dagangannya terjual. Jalinan terbesar ke dua adalah dengan PT Telkom. Ini berkaitan dengan jenis usaha yang dikembangkan panti, yakni Wartel atau Warnet. Sementara itu, untuk jalinan dengan lembaga/institusi lain adalah dalam rangka peningkatan keterampilan dan pemeliharaan usaha. Kerja sama dengan pihak lain baik dunia usaha maupun institusi dimaksudkan sebagai praktek kerja, peningkatan kemampuan hingga upaya pemasaran. Bentuk kerjasama/dukungan terhadap Panti Sosial antara lain praktek kerja, diklat perbengkelan, pemasaran dan penyuluhan kesehatan.

Pengaruh Subsidi Untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh program subsidi panti ini, analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang didukung oleh tabel destribusi frekuensi dan diagram.
Puslitbang Kesos

139

Evaluasi Program Subsidi Panti

1.

Makanan

Beberapa aspek terkait dengan makanan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini, yaitu frekuensi makan, menu makan (yang menggambarkan kualitas makanan) dan makanan tambahan. Pada aspek frekuensi makan, program subsidi panti tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Sebelum menerima subsidi, 96 persen panti sosial sudah memberikan makan tiga kali sehari dan kemudian menjadi 100 persen setelah menerima subsidi, atau ada penambahan sebesar 4 persen. Perubahan ini dinilai bermakna, karena dengan subsidi panti akhirnya seluruh panti kini sudah sesuai dengan Standardisasi Panti Sosial dalam pemberian makanan, khusunya dalam hal frekuensi makan. Aspek kedua dari makanan adalah menu makan klien dalam panti sosial yang menggambarkan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh klien. Menurut ahli gizi, makanan dikatakan sehat apabila secara umum telah memenuhi empat sehat lima sempurna, yaitu nasi, sayur, lauk-pauk, buah-buahan dan susu. Ukuran ini sebagai dasar bagi peneliti untuk mencermati menu makan yang disediakan panti sosial. Pada umumnya sebagian besar panti sosial sudah menyusun menu makan per hari bersama ahli gizi setempat. Namun, menu yang telah disusun tersebut belum dapat dilaksanakan setiap hari karena keterbatasan anggaran. Di lapangan, peneliti menemukan data, bahwa panti sosial belum sepenuhnya mengikuti daftar menu makanan yang yang telah disusun. Misalnya, untuk pemberian buah-buahan dan susu, pada umumnya panti sosial memberikan 2 - 3 kali seminggu. Berdasarkan kondisi lapangan itu, maka menu makan yang digunakan dalam penelitian ini ada 5 (lima) ukuran, yaitu dua sehat, tiga sehat, tiga sehat plus, empat sehat dan empat sehat plus yang menggambarkan skala ordinal. Namun demikian, data yang dikumpulkan hanya memenuhi 2 (dua) ukuran yaitu tiga sehat dan tiga sehat plus yang akan dianalisis kemudian.

140

Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Tabel 3. Kualitas Makan Sebelum dan Sesudah Subsidi


No. 1. 2. Menu Makanan Tiga sehat Tiga sehat plus Jumlah Sebelum F % 18 36 32 64 50 100 Sesudah F % 3 6 47 94 50 100

Berdasarkan tabel di atas, program subsidi panti memberikan pengaruh positif pada penyajian menu atau kualitas makanan panti sosial. Aspek berikutnya untuk melihat pemenuhan makanan klien adalah pemberian makanan tambahan. Makanan tambahan memang tidak termasuk makanan utama. Namun, klien panti sosial memerlukan makanan tambahan sebagai tambahan gizi, baik terkait dengan tumbuh kembang (bagi anak-anak) atau kesehatan (bagi orang dewasa). Perbandingan sebelum dan sesudah subsidi dari makanan tambahan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Makan Tambahan Sebelum dan Sesudah Subsidi
No. 1. 2. Makanan Tambahan Setiap hari Kadang-kadang Tidak ada Jumlah Sebelum F % 4 8 28 56 18 36 50 100 Sesudah F % 6 12 42 84 2 4 50 100

Berdasarkan data tersebut, program subsidi panti dapat disimpulkan berpengaruh positif dan signifikan pada kemampuan panti dalam memberikan makanan tambahan. Dari ketiga aspek yang dicermati dalam penelitin ini bahwa : 1) Pengaruh terhadap frekuensi atau kuantitas permakanan, terjadi peningkatan dari semula 96 persen menjadi 100 persen panti sosial yang memberikan makan 3 kali sehari. 2) Pengaruh terhadap menu atau kualitas : a) Terjadi penurunan dari semula 36 persen menjadi 6 persen panti sosial yang memberikan makan tiga sehat (pindah ke tiga plus). b) Terjadi peningkatan dari semula 64 persen menjadi 94 persen panti sosial yang memberikan makan tiga sehat plus.
Puslitbang Kesos

141

Evaluasi Program Subsidi Panti

3) Pengaruh terhadap makanan tambahan : a) Terjadi peningkatan dari semula 64 persen menjadi 96 persen panti sosial yang memberikan makanan tambahan. b) Terjadi peningkatan dari semula 8 persen menjadi 12 persen panti sosial yang memberikan makanan tambahan setiap hari. c) Terjadi peningkatan dari semula 56 persen menjadi 84 persen panti sosial yang memberikan makanan tambahan kadangkadang (2-3 kali seminggu). Berdasarkan informasi tersebut disimpulkan, bahwa pengaruh subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan makanan pada panti-panti sosial pada kategori rendah, yaitu berkisar 30 persen. Data ini menunjukkan, bahwa pada umumnya sebelum menerima program subsidi panti, panti sosial sudah memberikan kebutuhan makanan relatif baik, dilihat dari aspek frekuensi, menu dan makanan tambahan. Panti sosial sudah berupaya memberikan pelayanan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan klien. Hal ini menggambarkan bahwa panti sosial pada umumnya sudah memiliki pemahaman akan eksistensinya sebagai organisasi pelayanan manusia (human service organization). Meskipun secara kuantitatif pengaruh program subsidi panti relatif rendah, tetapi secara kualitatif memberikan manfaat yang sangat besar. Sebagaimana dikemukakan oleh para pengelola panti sosial, program subsidi panti sangat membantu kelancaran proses pelayanan dan karenanya perlu dilanjutkan.
2. Usaha Ekonomis Produktif

Berbagai jenis UEP diselenggarakan oleh panti sosial, yang hasilnya dapat diambil harian, mingguan maupun bulanan. Dalam rangka mengetahui pengaruh subsidi bidang UEP, ada 4 aspek yang dicermati dalam penelitian ini, yaitu penambahan jenis UEP, penambahan omzet/ minggu, penambahan aset dan pemanfaatan untuk kebutuhan operasional. Dari 32 panti sosial yang menerima program subsidi untuk kegiatan UEP, sebesar 8 panti sosial (25%) sudah berkembang (ada penambahan jenis UEP), dengan rincian 5 panti menambah satu jenis usaha dan 3 panti menambah 2 jenis usaha. Jenis-jenis usaha yang merupakan usaha tambahan dari usaha utama, yaitu rental komputer,

142

Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

traso, ternak ayam dan wartel. Sebagian besar (75%) panti sosial masih mengelola usaha utama dari program subsidi, meskipun sebanyak 14 panti sosial (43.75%) menerima subsidi untuk pengembangan UEP. Hal ini berarti terdapat 6 panti sosial yang menerima subsidi pengembangan UEP digunakan untuk menambah modal usaha utamanya. Aspek kedua dari UEP adalah penambahan omzet dari usaha yang dikelolanya. Aspek ini digunakan untuk mengetahui sejauhmana UEP yang dikelola panti sosial mengalami perkembangan dari kondisi awal. Hal ini didasari anggapan dasar, bahwa apabila panti sosial sudah mengelola UEP dengan baik minimal selama 1 tahun, maka sudah terjadi peningkatan omzet. Dari 32 panti sosial yang mengelola UEP, sebanyak 23 panti sosial (71.88%) mengalami peningkatan omzet, yang berkisar Rp. 25.000/minggu hingga Rp. 2.000.000,-/minggu. Namun demikian, pada panti sosial yang mengalami penambahan omzet, sebagian besar (82,61%) memiliki omzet berkisar Rp. 25.000,-Rp. 350.000,- atau rata-rata omzet Rp. 165.000,-/minggu atau ratarata Rp. 660.000,-/bulan. Perhitungan omzet ini hanya berdasarkan perkiraan pengelola saja, tanpa didukung oleh bukti tertulis berdasarkan pembukuan yang baik. Hal ini merupakan kendala dalam penelitian ini, karena data obyektif dalam bentuk data kuantitatif tentang omzet ini tidak dapat diperoleh. Berdasar informasi yang dihimpun dari pengelola, mereka memang tidak pernah memperoleh bimbingan pembukuan dalam pengelolaan UEP. Oleh karena itu, lemahnya administrasi pengelolaan UEP ini tidak sepenuhnya kesalahan dari pihak penerima program subsidi panti. Aspek ketiga dari pemanfaatan subsidi untuk UEP adalah penambahan aset panti sosial. Aspek ini dilandasi pula oleh anggapan dasar, bahwa dalam waktu minimal 1 tahun panti sosial sudah mampu menambah asetnya dari hasil mengelola UEP. Dari 32 panti sosial yang menerima program subsidi panti untuk UEP, hanya 4 panti sosial yang sudah mampu menambah aset masing-masing 1 jenis, yaitu peralatan rumah tangga, peralatan pesta, rak aluminium dan alat pembuat kacang telor. Hal ini menggambarkan, bahwa UEP yang dikelola oleh panti sosial belum mengalami perkembangan sebagaimana yang diharapkan.
Puslitbang Kesos

143

Evaluasi Program Subsidi Panti

Aspek berikutnya terkait dengan UEP ini adalah penambahan untuk kebutuhan operasional. Kebutuhan operasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebutuhan yang mendukung secara langsung pemenuhan kebutuhan klien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 6 panti sosial (6.75%) dari 32 panti sosial yang mengelola UEP sudah dapat menambah kebutuhan operasional, yaitu penambahan pada kebutuhan makanan, alat-alat penerangan, alat-alat keterampilan dan pendidikan. Sedangkan 81,25% belum ada penambahan kebutuhan operasional panti. Dari keempat aspek yang dicermati untuk mengetahui pengaruh program subsidi panti terhadap pengelolaan UEP, diperoleh informasi sebagai berikut : 1) Terjadi penambahan jenis UEP pada 8 panti sosial (25%). Jenisjenis UEP antara lain rental komputer, traso dan ternak ayam. 2) Terjadi penambahan omzet pada 23 panti sosial (71,88%) yang besarnya sebagian besar rata-rata Rp. 165.000,-/minggu. 3) Terjadi penambahan aset pada 4 panti sosial (12,5%) yang sudah mengalami penambahan aset, antara lain peralatan rumah tangga, peralatan pesta, rak aluminium dan alat pembuat kacang telor. 4) Terjadi penambahan kebutuhan operasional pada 6 panti sosial (6,75%), antara lain untuk mendukung makanan tambahan, alat penerangan, pengadaan alat-alat keterampilan dan pendidikan. Berdasarkan informasi tersebut, disimpulkan bahwa program subsidi panti berpengaruh relatif rendah terhadap pengelolaan dan pengembangan UEP. Dari 32 panti sosial yang menerima program subsidi panti untuk UEP, yang menonjol pada penambahan omzet. Namun demikian, penambahan omzet tersebut belum meng gambarkan keberhasilan panti dalam mengelola dan mengembangkan UEP, dikarenakan besarnya omzet tersebut per minggunya masih relatif rendah. Informasi ini menggambarkan, bahwa ada proses dalam pengelolaan UEP yang tidak tepat, antara lain penentuan jenis UEP, bahan dasar, keterampilan pengelola, pemasaran dan pembukuannya. Hal ini menggambarkan pula lemahnya proses monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh Instansi Sosial Provinsi terhadap proses pengelolan UEP. Pada umumnya Dinas Sosial memang melakukan

144

Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

monitoring dan evaluasi terhadap UEP yang dikelola panti-panti sosial. Namun demikian, informasi yang diperoleh dari kegiatan itu tidak segera ditindaklanjuti, dan akibatnya panti sosial mengelola UEP berdasarkan kemampuannya sendiri. Program subsidi panti yang dialokasikan untuk UEP ini didasarkan pada pemikiran, apabila UEP dikelola dengan baik, maka nantinya panti sosial tidak terlalu bergantung pada pihak lain, termasuk kepada pemerintah. Namun demikian, maksud dan tujuan dari program tersebut sulit direalisasikan, dan panti sosial masih bergantung pada bantuan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan. Oleh karena itu, upaya untuk memotong mengurangi ketergantungan panti sosial kepada pemerintah masih sulit diwujudkan untuk beberapa tahun ke depan.

Upaya Panti Mengatasi Masalah Pembiayaan Dalam kaitannya dengan upaya panti mengatasi permasalahan pembiayaan, sebesar 28 persen panti sosial belum memiliki upaya atau jalan keluar apabila program subsidi panti ini dihentikan. Sementara itu, 72 persen panti sosial sudah memiliki rencana mengatasi permasalahan pembiayaan apabila program subsidi dihentikan. Dari jumlah tersebut, 50 persen panti sosial merencanakan mengembangkan UEP. Lainnya masih bergantung pada pihak luar, dan bahkan ada yang akan mengurangi jumlah kliennya. Hal ini menunjukkan kemandirian panti sosial dalam pembiayaan program dan kegiatannya masih cukup rendah Harapan Panti Terhadap Program Subsidi Masih ada kekhawatiran para pengelola panti sosial apabila pada saatnya nanti program subsidi panti ini dihentikan. Mereka masih mengharapkan program subsidi panti terus dilanjutkan, terutama untuk kebutuhan makanan. Informasi ini relevan dengan informasi sebelumnya bahwa sumber dana panti sosial, sebagian besar masih berasal dari pemerintah. Menurut para pengelola, apabila tidak ada dukungan pemerintah, maka panti sosial akan menanggung beban yang amat berat dalam penyelenggaraan pelayanan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan makanan.

Puslitbang Kesos

145

Evaluasi Program Subsidi Panti

Selain bantuan makanan, panti sosial juga mengharapkan adanya bantuan untuk UEP. Apabila panti dapat mengelola UEP, maka akan memiliki sumber dana tetap yang berasal dari panti sendiri, sehingga akan mengurangi ketergantungannya terhadap pemerintah dan pihak luar lainnya. Harapan berikutnya adalah pelatihan pengelolaan UEP dan pendampingan.

Implikasi Kebijakan Sebagai suatu obyek penelitian, program subsidi panti ini menarik karena dari tahun ke tahun besarnya anggaran yang dialokasikan terus mengalami kenaikan. Khusus untuk tahun 2005, dari 50 panti sosial yang menjadi obyek penelitian ini, rata-rata setiap panti sosial menerima dana sebesar Rp. 38.247.911 per tahun. Besarnya dana subsidi panti ini apabila dilihat dari besarnya anggaran makanan pada panti sosial, rata-rata mencapai 53,48 persen. Hal ini menggambarkan cukup besarnya dukungan pemerintah cq. Departemen Sosial terhadap panti-panti sosial, demi kelangsungan penyelenggaraan pelayanan pada panti-panti sosial. Dana yang dialokasikan pemerintah pusat dalam program subsidi panti tersebut cukup besar. Pada pemanfaatan pemenuhan makanan dirasakan oleh pengelola cukup membantu, terutama pada pemberian makanan tambahan dan meningkatkan kualitas menu. Sedangkan untuk UEP, program subsidi ini pada umumnya, belum secara signifikan memberikan manfaat bagi panti-panti sosial. Manfaat memang telah dirasakan oleh pengelola, tetapi belum dapat diketahui secara pasti seberapa besar dampak tersebut. Pada umumnya pengelola panti sosial belum melakukan pencatatan atas penggunaan subsidi untuk UEP ini. Hasil dari UEP yang bersumber dari subsidi panti tidak dibukukan tersendiri, sehingga kesulitan ketika menghitung berapa besarnya manfaat ekonomis dari program subsidi panti. Berbagai persoalan administratif maupun teknis disinyalir terjadi secara berulang-ulang, karena skema dari program ini rawan terjadi penyalahgunaan. Proses awal penentuan panti sosial yang layak sebagai calon penerima program, jumlah klien yang diusulkan, sampai dengan pertanggungjawaban administratif, merupakan titik-titik yang lemah terjadinya bias kepentingan. Bias kepentingan ini akan semakin parah apabila proses supervisi, monitoring dan evaluasi tidak dilakukan dengan baik, baik oleh penanggung jawab program di Instansi Sosial Provinsi maupun Departemen Sosial. 146
Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Meskipun diantara panti-panti sosial sudah menerima program subsidi lebih dari satu kali, tetapi mereka masih sangat mengharapkan program tersebut tidak dihentikan. Hal ini menggambarkan, bahwa program subsidi panti pada umumnya belum mampu mendorong kemandirian panti sosial. Berdasarkan hasil penelitian, 28 persen panti sosial belum menyusun langkahlangkah untuk mengatasi permasalahan pembiayaan apabila program subsidi panti ini dihentikan. Sementara itu, panti sosial yang sudah menyusun langkahlangkah pun, masih menghaharapkan dana pada pihak luar. Hal ini semakin menegaskan, bahwa program subsidi panti belum mampu mendorong panti-panti sosial mengurangi ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah. Dalam upaya menjawab permasalahan ketergantungan panti sosial tersebut, maka skema program subsidi panti akan lebih tepat apabila diarahkan pada bantuan untuk pengembangan UEP. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan dari pengembangan UEP ini, yaitu: (1) mengurangi ketergantungan panti sosial pada pemerintah; (2) memperkuat komitmen dan percaya diri pengelola panti sosial di bidang pelayanan kemanusiaan; dan (3) panti-panti sosial akan semakin kreatif untuk mengembangkan skema pelayanan yang profesional. Persoalannya adalah bagaimana kemampuan panti sosial mengelola UEP tersebut, terutama dalam memilih jenis UEP yang prospektif dan dalam waktu cepat dapat memberikan hasil. Pada kerangka inilah diperlukan peran Instansi Sosial Provinsi untuk memfasilitasi panti-panti sosial tesebut menentukan pilihan UEP yang tepat. Meskipun penelitian ini menjangkau sample panti sosial yang sangat terbatas (50 panti sosial), tetapi informasi yang diperoleh terkait dengan bantuan kepada panti-panti sosial dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mendesain program yang tepat. Terutama mengurangi ketergantungan panti sosial terhadap pemerintah dan semakin mendorong profesionalisme panti sosial dalam penyelenggaraan pelayanan. Terkait dengan itu, maka supervisi, monitoring dan evaluasi perlu dilakukan dengan baik, mulai dari kegiatan seleksi panti sosial hingga terminasi. Perlu dilakukan evaluasi dari unit di luar penyelenggaran program atau pihak independen, sehingga akan diperoleh informasi yang obyektif tentang efektivitas pelaksanaan program subsidi panti ini.

Puslitbang Kesos

147

Evaluasi Program Subsidi Panti

Kesimpulan dan Saran Panti-panti sosial pada umumnya memanfaatkan subsidi panti untuk dua kegiatan besar, yaitu pemenuhan kebutuhan makanan dan usaha ekonomi produktif (UEP). Meskipun klien yang diusulkan untuk memperoleh subsidi jauh lebih kecil dari yang diusulkan, atau baru menjangkau 66,94 persen, tetapi seluruh klien yang ada di panti sosial ikut menikmati subsidi tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini sulit untuk mengetahui secara tepat dampak program subsidi untuk biaya makanan. Pemanfaatan subsidi untuk makanan ini, pada umumnya untuk makanan tambahan dan meningkatkan kualitas menu. Untuk makanan tambahan, diarahkan pada frekuensi pemberian makanan tambahan. Sedangkan berkaitan dengan menu, subsidi dimanfaatkan untuk menambah menu, seperti susu dan buah meskipun pemberian susu dan buah ini pada umumnya belum setiap hari. Namun demikian, diperoleh data kualitatif, bahwa subsidi panti dirasakan besar manfaatnya bagi panti-panti sosial dalam mendukung pemenuhan kebutuhan makanan klien. Dana dari program subsidi panti dimanfaatkan oleh panti sosial untuk membuka UEP baru ataupun pengembangan UEP yang sudah ada. Penentuan UEP yang tepat sepenuhnya diserahkan kepada panti-panti sosial sendiri. Panti-panti sosial menentukan jenis-jenis UEP didasarkan pada aspek tenaga, pasar, sarana dan bahan baku. Namun demikian, pada prakteknya baru sebagian kecil UEP yang bisa mendukung kegiatan operasional panti sosial. Hal ini menunjukkan bahwa panti-panti sosial masih menghadapi persoalan dalam pengelolaan UEP. Program subsidi panti untuk biaya makanan memberikan pengaruh cukup nyata dalam mendukung pemenuhan kebutuhan makanan klien dalam panti-panti sosial. Ada perubahan positif pada peningkatan kualitas menu makanan yang semula tiga kali sehari, yaitu nasi sayur dan lauk kemudian menjadi tiga sehat plus, yaitu nasi, sayur, lauk dan buah-buhan meskipun tidak setiap hari. Selain itu berpengaruh pula pada frekuensi dan jenis makanan tambahan, yakni dari satu jenis menjadi dua atau tiga dan dari seminggu sekali menjadi dua kali. Diharapkan adanya perubahan kualitas dan frekuensi serta jenis makanan tambahan ini akan semakin meningkatkan derajat kesehatan klien. Kemudian, kondisi UEP panti setelah menerima program juga menunjukkan adanya perubahan positif, meskipun belum signifikan. Baru 148
Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

sebagian kecil panti sosial yang mengalami peningkatan omzet dan aset setelah menerima program subsidi panti. Terkait dengan UEP ini adalah kurangnya pelatihan dan pendampingan terhadap panti sosial dalam pengelolaan UEP. Panti sosial diberikan kebebasan untuk mengelola UEP menurut caranya sendiri dan pada prakteknya panti sosial tidak tepat ketika memiliki UEP yang prospektif. Sebagian besar panti sosial masih mengharapkan program subsidi ini terus diterimanya. Sebagian kecil dari mereka telah memiliki gagasan menemukan jalan keluar apabila program subsidi ini nantinya tidak dilanjutkan. Hal ini menggambarkan, bahwa sebagian besar panti sosial penerima program subsidi panti masih memiliki ketergantungan yang kuat terhadap pemerintah untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini menunjukkan panti justru semakin sulit melepaskan ketergantungannya pada pemerintah. Berdasarkan hasil penelitian ini, diajukan beberapa saran yang ditujukan kepada pengelola dan penanggung jawab program subsidi panti, yaitu: a. b. Seleksi terhadap panti sosial calon penerima subsidi berdasarkan kondisi riil panti sebagaimana adanya. Penanggung jawab program bertanggung jawab terhadap panti sosial yang diusulkan sebagai penerima program dan memiliki data by name by address atas panti-panti sosial yang diusulkan. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya panti fiktif, mark up jumlah klien dan kelayakan panti sosial untuk menerima program. Panti sosial yang sudah mandiri, tidak memperoleh prioritas sebagai penerima program subsidi panti. Bantuan UEP perlu menjadi priroritas dibandingkan dengan subsidi untuk makanan. Terkait dengan itu, penyaluran bantuan UEP ini perlu diawali dengan pelatihan UEP dan diikuti dengan pendampingan, sehingga panti sosial tepat dalam memilih jenis UEP dan mampu mengelolanya dengan baik. Diharapkan subsidi untuk kegiatan UEP ini nantinya akan mengurangi ketergantungan panti-panti sosial terhadap pemerintah. Pemerintah perlu menetapkan jangka waktu yang tegas, yang diikuti dengan kriteria dan indikator yang terukur, kapan panti sosial akan dikurangi subsidinya atau dihentikan sama sekali.

c.

Puslitbang Kesos

149

Evaluasi Program Subsidi Panti

d.

e.

f.

Mekanisme pencarian dana melalui PT POS tetap dipertahankan, tetapi perlu diupayakan agar pencairan dana tidak terlambat sampai ke pengelola panti sosial dan akan mempengaruhi efektifitas program itu sendiri. Besarnya subsidi hendaknya disesuaikan dengan harga eceran tertinggi (HET) setempat (khusus makanan), sehingga setiap daerah besarnya alokasi anggaran per orang/panti akan berbeda-beda. Program subsidi panti sangat rawan dengan penyimpangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan lebih ketat mulai pada tahap penentuan panti-panti sosial calon penerima program sampai dengan penyaluran dananya. Perlu dibangun kemitraan secara sinergis antara penanggung jawab program pada unit Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Itjen, Puslitbang Kessos dan instansi sosial di daerah untuk mengawal program subsidi panti ini agar mencapai tujuan yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Sosial RI, 2003, Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Tambahan Biaya Makanan/Gizi, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. ,2003, Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Biaya Usaha Ekonomis Produktif, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. -, 2005, Standardisasi Panti Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial. , 2000, Pedoman Akreditasi Panti Sosial, Puslitbang Kesos. Mujiyadi, B., dkk, 2003, Studi Pengembangan Panti Sosial Pamardi Putra Sebagai Panti Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza Yang Komprehensif dan Profesional, Puslitbang UKS. Pincus, Allen and Anne Minahan, Social Work Practice : Model and Methode. Illinois : Peacock Publisher Inc , 1973. Selo Soemardjan, Selo, 1997, Kemiskinan Pandangan Sosiologi, Jurnal Sosiologi, Indonesia, Nomor 2/September 1997, Jakarta : Ikatan Sosiologi Indonesia.

150

Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Shortell, S.M. and Richardson, W.C. 1978, Health Program Evaluation, Saint Louis: The C.V Moshy Company. Siahaan, MPR, 2004, Beberapa Catatan dalam Praktek Pekerjaan Sosial, Makalah dokumen pribadi (tidak diterbitkan). Siporin, Max, (1975), Introduction to Sosial Work Practice, New York : Mac Millan Publisher Co. Inc. Soetarso, (1990), Praktek Pekerjaan Social dalam Pembangunan Masyarakat, KOPMA Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial : Bandung. Sukoco, Dwi Heru, (1991), Profesi Pekerjaan Sosial, Bandung : STKS Publisher.

Puslitbang Kesos

151

PELAYANAN LANJUT USIA BERBASIS KEKERABATAN ( Studi Kasus Pada Lima Wilayah Di Indonesia)1
Dra. Sri Gati Setiti 2 ABSTRAK
Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia seiring dengan jumlah penduduk lanjut usia. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, belum dapat memecahkan permasalahan yang ada. Sementara kekerabatan sebagai sumber dan potensi kesejahteraan sosial, yang telah berfungsi dalam pelayanan lanjut usia secara tradisional belum dioptimalkan. Pertanyaan dalam penelitian ini, apakah pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan telah sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia ? Penelitian ini bertujuan mengetahui kebutuhan lanjut usia, permasalahan lanjut usia dan pelayanan yang dilakukan oleh kerabat. Hal ini guna mengembangkan konsep model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan. Pendekatan deskriptif kualitatif, tehnik pengumpulan data dengan wawancara, FGD, studi dokumentasi dan observasi. Lokasi penelitian di Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Hasil penelitian bahwa pelayanan sosial dalam kerabat merupakan salah satu nilai budaya setempat yang membuat lanjut usia merasa aman dan terlindungi dalam lingkungan kerabat. Dilain pihak, kerabat merasa sudah menjalankan kewajiban dan tanggung jawab sesuai nilai budaya dan agama yang dianutnya. Permasalahan lanjut usia yang paling dirasakan adalah masalah kesehatan. Ditinjau dari kebutuhan hidup pokok kecuali ekonomi, secara fisik umumnya merasakan tercukupi. Harapan lanjut usia maupun kerabat adalah tempat serbaguna yang berfungsi pelayanan dan kegiatan lanjut usia. Untuk memeriksakan penyakit, lanjut usia berharap pelayanan khusus bagi lanjut usia atau Posyandu lansia yang murah dan mudah dijangkau. Penelitian ini merekomendasikan suatu model pelayanan lanjut usia dalam kerabat melalui : penguatan ekonomi kerabat bagi lanjut usia yang tidak potensial dan ekonominya lemah, penguatan ekonomi bagi lanjut usia potensial,

Diangkat dari Penelitian Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan (Studi Kasus pada Lima Wilayah di Indonesia), peneliti: Dra. Sri Gati Setiti, Drs. Setyo Sumarno, Dra.Nina Karinina, Drs.Achmadi Jayaputra M.Si, dkk. ed: Prof Dr. Rusmin Tumanggor. Sri Gati Setiti, Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

Puslitbang Kesos

153

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

pengembangan lembaga organisasi lanjut usia yang memiliki berbagai kegiatan yang bersifat psikis, maupun ekonomi, pembinaan generasi muda dalam upaya pelestarian nilai budaya dan pelayanan kesehatan lanjut usia yang optimal. Kata Kunci: lanjut usia, Pelayanan Sosial, Kekerabatan

Pendahuluan Peningkatan usia harapan hidup, diiringi jumlah dan persentase penduduk lanjut usia. Hal ini sebagai prestasi sekaligus tantangan/beban. Berbagai kebijakan dan pelayanan dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Baik melalui sistem panti maupun nonpanti atau berbasis masyarakat, seperti Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA), Day Care Service maupun Day Care Centre. Sebagian pelayanan cukup memadai, tetapi banyak yang memberikan pelayanan secara terbatas, disamping kendala dana maupun petugas. Upaya tersebut belum memadai dibanding populasi dan permasalahannya yang kompleks. Dewasa ini lanjut usia yang tertangani melaui sistem panti maupun nonpanti kurang dari 2% dari 2,3 juta lanjut usia. Mereka mengalami berbagai keterlantaran, diantaranya terkena tindak kekerasan oleh orang lain maupun kerabatnya. Pada sisi lain, kita memiliki kearifan budaya. Tuntunan agama dan nilai luhur menempatkan lanjut usia dihormati, dihargai dan dibahagiakan dalam kehidupan keluarga. Dalam berbagai budaya yang kita miliki, penanganan lanjut usia juga masalah lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat. Penanganan masalah sosial merupakan bagian dari dan berakar pada nilai tolong menolong yang dikenal hampir semua suku bangsa di Indonesia. Peran kerabat dalam masyarakat di seluruh Indonesia mempunyai keterikatan yang sangat kuat, sekaligus merupakan potensi yang luar biasa, sebagai sumber kesetiakawanan sosial yang mampu memecahkan permasalahan sosial didaerahnya. Hal ini perlu diangkat dan dikembangkan. Berdasarkan beberapa hal tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial tahun 2006 melakukan penelitian Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan.

154

Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Permasalahan Ketidakseimbangan antara pelayanan sosial yang tersedia dan permasalahan yang ada, berpengaruh kepada pelayanan lanjut usia. Lanjut usia yang terlantar semakin mudah kita saksikan disekitar kita. Keterlantaran baik disebabkan oleh kondisi yang berubah, sehingga merubah pola dan kegiatan anggota keluarga yang berdampak kepada pelayanan bagi lanjut usia. Keterlantaran lanjut usia juga disebabkan oleh semakin memudarnya nilai dan penghargaan kepada lanjut usia. Pada sisi lain belum ada pelatihan bagi pendamping kerabat yang melayani lanjut usia. Berdasarkan uraian tersebut, bagaimana pelayanan dilakukan oleh kekerabatan terhadap lanjut usia? Permasalahan yang akan diteliti: Apakah pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan telah sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia? Tujuan 1. Secara umum bertujuan, merumuskan pokok-pokok pikiran tentang kerangka dasar pelayanan lanjut usia yang berbasis kekerabatan (kerangka model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan, untuk uji coba pada penelitian tahap II tahun 2007). 2. Secara khusus bertujuan: a. Memahami tentang kebutuhan, permasalahan dan harapan lanjut usia. b. Memahami bentuk pelayanan lanjut usia yang berbasis kekerabatan c. Mengidentifikasi nilai-nilai terkait dengan pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan. d. Menyusun kerangka model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan Manfaat Manfaat yang dapat dipetik bagi pemerintah, sebagai dasar ilmiah perumusan kebijakan publik untuk menyelesaikan masalah pelayanan lanjut usia. Bagi akademisi, untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan model pelayanan lanjut usia. Bagi instruktur kediklatan, menjadi materi trainers. Bagi pemberi pelayanan menjadi alternatif pelayanan.

Puslitbang Kesos

155

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Tinjauan Teoritis Definisi lanjut usia menitik beratkan kepada usia seseorang yang lebih dari 60 tahun, mengacu kepada UU no 13 Th 1998. Adapun pelayanan lanjut usia, berpedoman kepada pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, yakni pelayanan dalam panti dan pelayanan luar panti. Sementara pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan adalah pelayanan yang dilakukan oleh kerabat pada suku bangsa yang diteliti. Kekerabatan mengangkat pendapat Suryono Sukanto (1990), Goode (1985) dan Koentjaraningrat (1990). Kekerabatan dalam penelitian ini adalah orang sedarah (consanguinal kin), yang dipanggil kekerabatan, kerabat angkat (adoptif kin), kerabat karena kawin mawin (afinal kin). Dari deskripsi teoritis tersebut, maka kerangka konseptual dalam penelitian ini, sebagai berikut :
Sosial Emosi/Spiritual Kesehatan fisik/psikis

Lanjut usia

Patrilineal

Parental

LU dilayani saudara lakilaki

LU dilayani anak laki-laki

LU dilayani anak perempuan dan anak laki-laki

LU dilayani saudara isteri atau saudara suami

Ekonomi

Bagan 1. Kerangka Konseptual dalam Pelayanan Lanjut Usia

Berikut preposisi teoritisnya adalah : Lanjut usia akan dirawat di lingkungan kerabat dalam memenuhi kebutuhan kesehatan, emosional dan spiritual serta sosial dan faktor ekonomi menjadi komponen penting dalam mencapai berbagai kebutuhan tersebut.

156

Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data melalui studi dokumentasi, FGD pada: Kerabat, Tokoh Agama/masyarakat setempat. Observasi pada lingkungan tinggal lanjut usia dirawat. Wawancara berstruktur kepada lanjut usia, kerabat yang melayani lanjut usia. Wawancara mendalam untuk informan kunci. Diskusi terbatas kepada pejabat terkait pada tingkat provinsi. Penelitian dilakukan di Sumatera Utara, diteliti suku Melayu dan Toba. Di Kalimantan Barat, Suku Dayak dan Melayu. Di Jawa Timur, Suku Jawa dan Madura. Di Sulawesi Selatan, Suku Bugis dan Makasar. Nusa Tenggara Barat, Suku Sasak dan Bima. Secara sosial budaya mewaklili sistem kekerabatan patrilineal dan parental, yang disajikan dalam studi kasus. Hasil Penelitian
Pemahaman tentang Lanjut usia

Adanya penyamaan persepsi tentang sapaan atau istilah lanjut usia, berlaku pada masing masing daerah sebagai berikut : 1. Sapaan tentang Lanjut Usia Lanjut usia dalam berbagai etnis memiliki sapaan yang berbeda. Pada suku Batak, lanjut usia laki laki disapa Opung Bulang, untuk wanita disapa dengan Opung Nini. Pada suku bangsa Jawa lanjut usia lakilaki disapa dengan mbah kakung (halus: eyang kakung), untuk perempuan disapa dengan mbah putri (halus: eyang putri). Pada suku Madura, lanjut usia laki laki disapa Embah lanang, sedang untuk perempuan juga disapa dengan Embah. Pada suku Sasak di NTB, lanjut usia Laki laki disapa Pupung, untuk perempuan disapa Ninik. Pada etnik Bima, lanjut usia Laki laki disapa Ompu (Tuak /halus), untuk perempuan disapa dengan Wai. Dalam etnik Bugis, lanjut usia laki laki disapa Nene, untuk perempuan disapa Kajao. Etnik Makassar, lanjut usia Laki laki disapa Toa Baina, wanita disapa Toa Baine. Dalam budaya Melayu, lanjut usia laki laki Melayu Sambas disapa Nek Aki, untuk perempuan disapa Nek Wan. Berbeda halnya dengan Melayu Kapuas, untuk laki-laki disapa Ai dan perempuan disapa Mi. Pada Suku Dayak, lanjut usia laki laki disapa Nenek atau Nek aki, wanita

Puslitbang Kesos

157

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

2.

disapa dengan Nenek. Walau demikian panggilan tersebut kadang ada yang sedikit berbeda. Hal ini karena adanya pengaruh budaya sekitar yang turut memberi warna pada istilah atau sapaan kepada lanjut usia yang berlaku bagi daerah tersebut. Ciri ciri lanjut usia, yang disepakati dari hasil FGD adalah: lanjut usia bila telah berusia lebih dari 60 tahun, berlaku sama pada semua etnik yang diteliti. Ciri lainnya, disepakati lanjut usia bila telah memiliki cucu. Berlaku untuk semua etnik yang diteliti, kecuali di Kalbar, sudah memiliki cicit. Ciri lainnya termasuk mereka yang sering sakit-sakitan atau fisiknya sudah lemah. Ciri ini berlaku untuk etnik Batak, Jawa dan Sasak juga Bima. Pola tempat tinggal bagi Lanjut Usia. Secara umum pola tinggal mereka mengikuti garis kerabat. Dalam Budaya Batak, yang menganut garis kerabat patrilineal, secara budaya lanjut usia tinggal bersama kerabat ayah. Bila tidak dapat dilakukan, maka kewajiban akan berpindah kepada adik laki lakinya. Namun, ditemukan lanjut usia tinggal pada kerabat garis Ibu atau tinggal berpindah antara anak satu dan lainnya. Dalam budaya Jawa, yang mengikuti garis parental, lanjut usia dapat secara bebas tinggal bersama kerabat pihak laki laki maupun pihak perempuan. Pada etnik Sasak dan etnik Bima, secara adat tinggal bersama anak laki laki tertua atau adiknya. Temuan dilapangan lanjut usia tinggal bersama anak yang tinggalnya berdekatan. Walau demikian, lanjut usia cenderung memilih tinggal pada anak peremuan atau yang paling disukai. Pada Etnik Bima, memiliki kebiasaan khusus, bila sudah pensiun dan anak-anak mereka sudah menikah, lanjut usia senang untuk pulang kampung ke Bima. Pada etnik Melayu dan Dayak, lanjut usia akan tinggal pada anak laki laki pertama atau adiknya. Namun, banyak ditemukan lanjut usia senang tinggal di rumah panjang. Kerabat yang tinggal di rumah panjang itulah yang bertanggung jawab kepadanya. Etnik Bugis dan Makassar mengikuti sistem parental, walau demikian biasanya menempatkan lanjut usia bersama dengan anak tertua atau adiknya. Perubahan yang terjadi pada semua etnik yang diteliti, lanjut usia tinggal bersama anak perempuan, anak yang tinggal berdekatan atau anak yang paling disenangi.

3.

158

Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

4.

Kerabat yang melayani Lanjut Usia. Secara umum pelayanan kepada lanjut usia dilakukan oleh kerabat yang paling dekat. Lanjut usia dirawat oleh kerabat sedarah, selain itu juga dilakukan oleh kerabat atas hubungan perkawinan atau adopsi. Pada kenyataannya, pelayanan dilakukan oleh anak, kemenakan dan saudara sepupu, atau tetangga/kerabat jauh.

Kebutuhan Lanjut Usia

1.

Kebutuhan fisik lanjut usia meliputi sandang pangan, papan, kesehatan dan spiritual. Kebutuhan makan umumnya tiga kali sehari ada juga dua kali. Makanan yang tidak keras, tidak asin dan tidak berlemak. Kebutuhan sandang, dibutuhkan pakaian yang nyaman dipakai. Pilihan warna sesuai dengan budaya setempat. Model yang sesuai dengan usia dan kebiasaan mereka. Frekuensi pembeliannya umumnya setahun sekali sudah mencukupi.

Kondisi Lanjut Usia.

Kebutuhan papan, secara umum membutuhkan rumah tinggal yang nyaman. Tidak kena panas, hujan, dingin, angin, terlindungi dari mara bahaya dan dapat untuk melaksanakan kehidupan sehari hari, dekat kamar kecil dan peralatan lansia secukupnya. Pelayanan kesehatan bagi lanjut usia sangat vital. Obat obatan ringan sebaiknya selalu siap didekatnya. Bila sakit segera diobati.Dibutuhkan fasilitas pelayanan pengobatan rutin, murah, gratis dan mudah dijangkau. 2. Kebutuhan psikis, kondisi lanjut usia yang rentan membutuhkan lingkungan yang mengerti dan memahaminya. Lanjut usia membutuhkan teman yang sabar, yang mengerti dan memahaminya. Mereka membutuhkan teman ngobrol, membutuhkan dikunjungi kerabat, sering disapa dan didengar nasehatnya. Lanjut usia juga butuh rekreasi, silaturahmi kepada kerabat dan masyarakat .

Puslitbang Kesos

159

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

3.

4.

Kebutuhan sosial lanjut usia membutuhkan orang-orang dalam berelasi sosial. Terutama kerabat, juga teman sebaya, sekelompok kegiatan dan masyarakat di lingkungannya, melalui kegiatan keagamaan, olahraga, arisan dan lain-lain. Kebutuhan ekonomi, bagi yang tidak memiliki pendapatan tetap, membutuhkan bantuan sumber keuangan. Terutama yang berasal dari kerabatnya. Secara ekonomi lanjut usia yang tidak potensial membutuhkan uang untuk biaya hidup. Bagi lanjut usia yang masih produktif membutuhkan keterampilan, UEP dan bantuan modal usaha sebagai penguatan usahanya. Kebutuhan spiritual, umumnya mereka mengisi waktu untuk beribadah. Melalui Ibadah lanjut usia mendapat ketenangan jiwa, pencerahan dan kedamaian menghadapi hari tua. Mereka sangat mendambakan generasi penerus yang sungguh sungguh dalam menjalani ibadah.

5.

Pelayanan Lanjut Usia oleh Kerabat 1. Pelayanan fisik, secara umum kerabat melayani makan tiga kali sehari. Namun, ada juga yang tidak terpenuhi. Makanan yang disajikan sesuai kemampuan mereka. Ada yang menyajikan nasi, sayur dan lauk. Ada juga yang ditambah dengan buah. Tetapi, keterbatasan ekonomi membuat mereka makan seadanya. Lanjut usia kadang mesti menyesuaikan dengan makanan apa adanya. Kerabat yang menyajikan makanan umumnya anak, menantu, keponakan perempuan yang tinggal satu rumah/berdekatan. Pelayanan sandang, bagi lanjut usia yang masih potensial biasanya membeli sendiri. Sementara kerabat menambahkan pakaian kesukaan mereka. Secara umum kerabat membelikan satu kali setahun. Bagi lanjut usia yang tidak mampu biasanya diberi oleh kerabat jauh atau masyarakat. Pelayanan di bidang papan, sesuai dengan kemampuan kerabat. Kondisi ekonomi kerabat yang terbatas, hanya mampu menyediakan tempat tinggal seadanya. Keterbatasan ekonomi juga membuat kerabat tidak mampu melayani pengobatan secara medis. Kadang mereka hanya memberikan obat dari warung atau ramuan tradisionil atau

160

Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

berobat ke dukun. Bagi yang memiliki kartu miskin, mereka masih harus menghadapi biaya transpotasi yang mahal, prosedur yang berbelit dan pelayanan yang sering tidak menyenangkan. Selain hal tersebut diatas, kerabat juga memperhatikan lanjut usia yang ditinggal mati pasangannya. Kerabat mencarikan pasangan, sebagai tempat mencurahkan isi hati. Lanjut usia ada teman ngobrol, pendamping dalam menjalani hidup. 2. Pelayanan psikis, dilakukan oleh kerabat yang mengerti dan memahami lanjut usia yang kadang perilakunya berubah seperti: kekanak kanakan, rewel, mudah tersinggung dll. Orang tua selalu memesan agar mengerti kepada lanjut usia, seperti kata mapakau untuk Bugis/Makassar lanjut usia ditemani untuk ngobrol, didengar nasehatnya dan didengar kaluhannya. Kerabat berusaha untuk sering mengunjungi, dengan oleh oleh kesukaanya. Sekalipun demikian, ada satu dua ditemukan lanjut usia mendapat perlakuan tidak baik, seperti dibentak bentak. Pelayanan sosial kerabat berusaha menemani berbicara, didengar nasehatnya, memberikan kabar keluarga dan berita secara umum. Pada sisi lain, lanjut usia diantar cucu atau kemenakan untuk bertemu dengan teman sebaya, juga teman sekelompok. Beberapa etnik yang diteliti, secara intensif mereka bekerja secara kelompok (kasus Sasak), juga teman sekampung asal (kasus Bima) dll. Lanjut usia juga diberikan kegiatan bersama kelompoknya, diantaranya kelompok keagamaan, olah raga, pengajian, yasinan, arisan, kelompok silaturahmi, kelompok adat dan lain-lain. Pelayanan ekonomi, dilakukan kerabat dengan memenuhi kebutuhan dasar hidup lanjut usia. Bagi yang masih potensial, diberikan kesempatan bekerja bersama kerabat. Melakukan kegiatan keterampilan untuk memperoleh penghasilan. Bagi lanjut usia yang sudah tidak potensial, kerabat memberikan uang, bahan mentah atau memberikan makanan siap saji. Kesemuanya dilakukan secara gotong royong. Pelayanan spiritual dilakukan oleh kerabat dengan menyediakan sarana dan peralatan ibadah. Ketika menjalani ibadah, berusaha menjauhkan dari anak agar tidak gaduh. Kerabat menemani saat beribadah di rumah, dimesjid atau dimajelis taklim.

3.

4.

5.

Puslitbang Kesos

161

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Pelayanan oleh Pemerintah dan Masyarakat Pelayanan sosial oleh Pemerintah melalui dua sistem, yakni sistem pelayanan sosial di dalam panti dan pelayanan diluar panti. Masing masing provinsi memiliki panti sosial Tresna Wreda. Setiap panti sosial memberi penampungan, jaminan hidup, pakaian, kesehatan, pemanfaatan waktu luang, bimbingan sosial dan spiritual. Selain itu juga KUBE dan UEP, penambahan Gizi, Kesehatan dan Informasi. Program pelayanan diluar panti berupa: pemberdayaan lanjut usia melalui dana Dekon, dalam bentuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Bantuan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dibidang ternak itik, ternak ayam, ternak kambing, ada juga sapi (Sulsel) dan Bantuan Peningkatan Gizi pada semua provinsi. Pemberdayaan lanjut usia melaui DAU dalam bentuk pembinaan dan pemberdayaan Orsos. Pelayanan lanjut usia yang dilakukan oleh masyarakat, umumnya berbentuk Orsos. Mereka bergabung dalam Karang Wredha, Karang Lansia dan lain lain. Kegiatanya secara umum berupa penambahan Gizi, olah raga, rekreasi, safari ibadah, kerja bakti dan penggalakkan tanaman obat. Kegiatan edukasi berupa keterampilan dan bantuan modal. Dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial berupa kunjungan orang sakit dan bantuan bagi warga yang meninggal. Pandangan Kerabat tentang Nilai-nilai yang Terkait Lanjut Usia Secara umum kerabat menghendaki lanjut usia tinggal bersama dan dirawat oleh kerabat. Hal ini memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Lanjut usia merasakan kedamaian berada ditengah kerabat. Sedang kerabat dapat memetik manfaat kepuasan batin dalam memberikan pengabdian, balas budi dan membahagiakan orang tua. Diskusi bersama tokoh dan Dinas terkait 162
Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Cara ini sesuai dengan agama, maupun budaya yang mengikat mereka. Bagi lanjut usia yang tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawat masyarakat sekitarnya. Bila tidak sanggup melakukan, lanjut usia sebaiknya dirawat di panti sosial. Kerabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan lanjut usia, dilakukan sesuai garis kerabat yang dianutnya. Kondisi ini kini mulai bergeser, banyak ditemui lanjut usia tinggal dan dirawat oleh anak yang tinggal berdekatan, bersama anak perempuan/anak bungsu atau anak yang paling disayangi. Permasalahan penting bagi lanjut usia adalah permasalahan kesehatan. Lanjut usia mengalami berbagai penyakit degeneratif maupun penyakit non infeksi yang sulit disembuhkan. Lanjut usia memerlukan pelayanan kesehatan rutin yang murah (gratis), cepat dan mudah. Bila lanjut usia sakit, segera diberikan obat atau dibawa berobat. Ada yang menemani ketika berobat, ada yang melayani ketika memerlukan bantuan. Secara ekonomi, sumber dana yang digunakan untuk merawat lanjut usia berasal dari kerabat, yang ditanggung secara bersama. Pelayanan sosial bagi lanjut usia perlu dipisahkan antara yang potensial dan yang tidak potensial. Bagi yang potensial tetapi miskin, memerlukan kegiatan usaha ekonomi produktif agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi yang tidak potensial memerlukan bantuan ekonomi, melalui keluarga yang merawat. Kerabat sebaiknya mengerti dan memahami yang baik dan tidak baik dilakukan kepada lanjut usia. Kondisi fisik yang mengalami kemunduran, memerlukan pelayanan sesuai kondisinya. Melayani lanjut usia harus bisa berlaku sabar, memenuhi perintahnya, sepanjang tidak mencelakakan. Mendengarkan dan melaksanakan nasehatnya. Lanjut usia perlu diisi perutnya dan dipelihara mata dan telinganya. Hal yang buruk , memperlakukan secara kasar, tidak sabar, baik ucapan atau perlakuan fisik. Pelayanan psikis, lanjut usia potensial memerlukan silaturahmi dan anjang sana. Mereka memerlukan wadah (Karang lansia/karang wredha) atau bentuk lainnya. Melalui wadah ini lanjut usia dapat melakukan aktifitas sesuai dengan keinginan mereka.
Harapan kepada kerabat, masyarakat dan pemerintah

Harapan kepada kerabat: pelayanan dinjalani secara ikhlas dan wajar. Kerabat masih mendengarkan dan menjalani nasehat lanjut usia. Bila ada perbedaan, dapat menyampaikan dengan cara yang tidak menyinggung.
Puslitbang Kesos

163

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Harapan yang sangat tinggi kepada kerabat untuk tekun beribadah, rajin belajar, kerja keras, setia dengan adat budayanya, menjaga dan meneruskan nilai nilai demi masa depan yang baik. Harapan kepada masyarakat: Memperlakukan lanjut usia dengan wajar, hidup bersama masyarakat. Menyumbangkan ilmu dan pengalamannya. Berpartisipasi dalam iuran, gotong royong, sekalipun tenaga/dana yang disumbangkan tidak seberapa. Harapan kepada Pemerintah: agar mengembangkan program penanganan ekonomi, bagi lanjut usia potensial. Memberi jaminan hidup kepada lanjut usia yang tidak potensial dengan kerabat tidak mampu. Memberi fasilitas pengobatan rutin, mudah dan gratis dengan memberi kartu sehat lansia, juga jaminan hari tua bagi lanjut usia. Membentuk wadah kegiatan lanjut usia seperti: Karang wredha/Karang Lansia. Mendorong dan memfasilitasi bagi yang sudah terbentuk. Menyediakan fasilitas umum untuk lanjut usia. Memberikan penyuluhan dan mensosialisasikan nilai-nilai yang terkait dengan lanjut usia kepada generasi muda tentang: 1. Kerabat yang merawat lanjut usia nonpotensial 2. Lanjut usia yang masih potensial 3. Penyuluhan bagi generasi muda tentang nilai nilai yang terkait dengan lanjut usia. 4. Penguatan & pemberdayaan pranata lanjut usia yang OBH maupun OTBH. 5. Pelayanan kesehatan bagi lanjut usia ( dekat, mudah, murah/gratis). Konsep Model
KERABAT LANJUT USIA POTENSIAL PEMBERDAYAAN EKONOMI PEMBERDAYAAN GENERASI MUDA PELAYANAN LANJUT USIA BERBASIS KEKERABATAN
PRANATA LANJUT USIA

PENGUATAN

KESEHATAN LANJUT USIA

Bagan 2. KONSEP MODEL PELAYANAN LANJUT USIA

164

Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Kesimpulan dan Rekomendasi


1. Kesimpulan

1. Ada dua kategori lanjut usia: (a) Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), umumnya terlantar dan tinggal di daerah rawan; (b) Lanjut usia potensial sebagai Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), yang berpotensi sebagai sumber kesos, mereka terorganisir dalam Karang Wredha/Karang Lansia dan lain lain. 2. Pelayanan lanjut usia oleh kekerabatan memiliki nilai budaya sebagai berikut: (a) lanjut usia sebaiknya dirawat oleh anaknya/keluarga/ kerabat; (b) lanjut usia yang tidak punya anak, sebaiknya dirawat oleh kerabat: adik kandung/sepupu, keponakan, cucu dan lain lain; (c) bilamana tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawat tetangga. Bilamana tetangga tidak ada yang merawatnya, alternatif terakhir dirawat di Panti Sosial Lanjut Usia. 3. Pola tinggal lanjut usia yang diteliti : (a) Lanjut usia tinggal mandiri dan dirawat oleh kerabat; (b) Lanjut usia yang tinggal bersama dan dirawat oleh kerabat (c) Lanjut usia yang tinggal di rumahnya sendiri, dirawat oleh tetangga; (d) Lanjut usia suami isteri. tinggal di rumahnya sendiri; (e) Lanjut usia dirawat oleh sepupu/ keponakan. 4. Permasalahan kesehatan: yang sulit disembuhkan/tidak bisa sembuh karena usia. Umumnya menderita kaku sendi/lengan dan sulit bergerak, katarak, kurang pendengaran, penyakit jantung, darah tinggi, osteoporosis dan penyakit penuaan lain. 5. Kebutuhan lanjut usia meliputi: (a) Pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan yang paling dirasakan lanjut usia; (b) Kebutuhan rohani, bagi lanjut usia yang masih sehat dan kuat, ingin beribadah sesuai agama masing masing. Lanjut usia yang sakit dapat beribadah dan mendengarkan radio/televisi; (c) Kebutuhan makan, lanjut usia memerlukan makanan bergizi sesuai kebutuhannya., tetapi tidak ada biaya untuk menyediakannya; (d) Kebutuhan pakaian, sesuai budaya dan kebutuhannya. Bagi yang sudah terbaring di tempat tidur memerlukan perlengkapan seperti pampers, perlak dan lainlain; (e) Secara sosial lanjut usia menginginkan dikunjungi kerabat. Sedangkan bagi lanjut usia potensial ingin berkunjung ke teman/ kerabat.
Puslitbang Kesos

165

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

6. Harapan para lanjut usia: (a) Menginginkan tempat pertemuan serbaguna, untuk pelayanan kesehatan, Posyandu, pertemuan/arisan dan pameran hasil keterampilan; (b) untuk memeriksakan penyakit, menginginkan pelayanan khusus yang dekat, mudah dan gratis; (c) Lanjut usia potensial yang mempunyai UEP barhasil memberi lapangan pekerjaan, ingin dicontoh generasi muda dan didukung pemerintah; (d) Pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan dapat dikembangkan karena sistem nilai budaya setempat di lima wilayah yang diteliti mendukung upaya tersebut; (e) Pelayanan lanjut usia dalam kerabat yang diteliti sudah memenuhi harapan. Para lanjut usia merasa aman dan terlindungi berada dilingkungan kerabat.
2. Rekomendasi

1. Penguatan ekonomi bagi kerabat yang lemah, agar ada peningkatan ekonomi dan dapat mencukupi kebutuhan lanjut usia secara lebih baik, terutama untuk pemenuhan gizi dan berobat ke rumah sakit yang biayanya mahal. 2. Penguatan ekonomi bagi lanjut usia potensial, yang memiliki UEP, dengan memberi dukungan dana, ketrampilan, bimbingan dari pemerintah, organisasi sosial maupun kelompok peduli. 3. Pengembangan lembaga/organisasi lanjut usia, agar lanjut usia dapat menyumbangkan ilmu dan keterampilannya, sekaligus sebagai kegiatan ekonomi maupun sosial kepada mesyarakat. 4. Pembinaan generasi muda dilakukan dengan memperkuat sistem nilai budaya masing masing, memberikan berbagai motivasi melalui penyuluhan dan mempraktekannya dalam bersikap dan berperilaku sehari hari. 5. Meningkatkan kesejahteraan lanjut usia dengan cara pelayanan kesehatan lanjut usia, yang didukung dengan tenaga dan pelayanan medis secara memadai, rutin, mudah, murah/gratis dan dekat.

166

Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hamid, 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta ; Idayu Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977. Adat Istiadat Daerah Jawa Timur. Jakarta ; Direktorat Jenderal Kebudayaan. ___________ , 1982. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta ; Direktorat Jenderal Kebudayaan. Hardywinoto, & Toni Setyabudhi, 1999. Menjaga Keseimbangan Kwalitas Hidup Para lanjut usia Panduan Gerentologi Tinjauan dari Berbagai Aspek, Jakarta, Gramedia. Jayaputra, Achmadi dan Setyo Sumarno, 1999. Kajian Tentang Model-model Pelayanan lanjut usia Berbasis Masyarakat Melalui Pusat Santunan Asuhan Dalam Keluarga. Jakarta ; BPPKS. Koentjaraningrat, 1990. Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jambatan, Jakarta. Loius Lowy, 1997, Social with the Aging, the Challange and Promise of the Later Year, New York, Philadephia, San Fransisco, Harver & Row Publisher. Pramuwito, dkk, 1991. Penelitian Uji Coba Model Pelayanan Kesejahteraan Sosial lanjut usia Berbasis Masyarakat. Jakarta; BPPKS. Robert C. Atchley, 1983, Aging Community and Change, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California Division Wadsworth Inc. ________, 1983. Aging Community and Change, Scripps Foundation Gerontology Center, Miami University, Wadswort Publishing Company, Belmont California.

Puslitbang Kesos

167

PENGEMBANGAN KOMUNITAS PEDULI ANAK 1


Dra. Alit Kurniasari, MPM 2 ABSTRAK
Penelitian pengembangan komunitas peduli anak bertujuan untuk mengidentifikasi latar belakang pembentukan komunitas peduli anak, mengidentifikasi potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan komunitas untuk mengembangkan kepedulian komunitas serta mengidentifikasi bagaimana bentukbentuk kepedulian komunitas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kualitatif melalui studi kasus yang dilakukan di 6 wilayah (Sumatera Utara/Medan, Sumatera Selatan/Palembang, Kalimantan Barat/Pontianak, Jawa Timur/Surabaya, Sulawesi Selatan/Makasar, Nusa Tenggara Timur/Timor Tengah Selatan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan komunitas peduli anak dilatarbelakangi oleh kondisi faktual di masing-masing wilayah. Banyaknya permasalahan anak-anak terlantar dan anak jalanan telah memprakarsai tokoh agama, kelompok remaja mesjid dan praktisi sosial, untuk membangun komunitas peduli anak. Pandangan tentang anak dan kebutuhannya memotivasi komunitas untuk memenuhi kebutuhan dan hak anak. Pendampingan secara intensif dari tokoh komunitas, lembaga sosial masyarakat yang peduli anak didukung keterlibatan pengusaha setempat maupun pemerintah menjadi sumber motivasi bagi anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif kedalam komunitas. Kepedulian diwujudkan dalam bentuk kelompok belajar, kelompok bermain dan TK, taman bacaan anak, pemberian beasiswa bagi anak jalanan yang mampu sekolah dan pelatihan keterampilan. Pada beberapa wilayah, pelayanan sosial tidak hanya bagi anak, tetapi juga menjangkau keluarga atau orang tua, melalui pemberian keterampilan usaha. Potensi dan sumber pendukung untuk mengembangkan komunitas seperti nilai ajaran agama sebagai pengikat kegiatan komunitas, selain pandangan masyarakat tentang hak anak dan kebutuhannya, yang berpihak pada anak dan tidak bias gender. Dukungan pengusaha setempat terhadap kelanjutan pendidikan serta keterlibatan LSM yang peduli pada kesehatan dan pendidikan anak, termasuk mengikutsertakan keluarga pada pelatihan usaha ekonomi produktif. Dukungan pemerintah melalui paket belajar dan pelatihan keterampilan telah memberi warna pada kegiatan komunitas. Adapun hambatan yang dihadapi komunitas seperti terbatasnya jaringan kerja komunitas, minimnya pemahaman
1

Diangkat dari penelitian Komunitas Peduli Anak dengan anggota Alit Kurniasari (Ketua), Gunawan, Tety Ati Padmi, Neni Riani, Sri Utami. Alit Kurniasari, Peneliti Pertama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

Puslitbang Kesos

169

Pengembangan komunitas Peduli Anak

masyarakat bahwa komunitas sebagai modal sosial yang dapat dikembangkan, belum adanya kesamaan antara dukungan pemerintah dengan kebutuhan komunitas. Oleh karenanya, untuk mengembangkan komunitas peduli anak perlu membentuk jejaring kolaboratif antar sektor terkait; dunia usaha, masyarakat peduli anak dan pemerintah, perlunya mengkampanyekan kegiatan peduli anak agar kesadaran masyarakat pada kebutuhan dan hak anak semakin meningkat, peningkatan kemampuan pekerja komunitas, fasilitasi pemerintah disesuaikan dengan kebutuhan komunitas, kebijakan tentang keberadaan komunitas sebagai bagian dari Sistem Kesejahteraan Nasional Indonesia. Kata kunci: Hak Anak, Pelayanan Sosial Anak, Komunitas Peduli Anak

Pendahuluan Kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak menjadi bagian penting dari pembangunan kesejahteraan sosial. Anak sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan sejak awal agar tujuan anak sebagai pemilik era masa datang dapat tercapai. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari legalitas tingkat global sampai tingkat nasional. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Rativikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990, telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya, yang bertujuan untuk mengupayakan tingkat kesejahteraan dan perlindungan anak seoptimal mungkin. Implikasinya adalah berbagai elemen seperti LSM, Orsos, Dunia Usaha dan pemerintah berupaya merealisasikannya dalam berbagai kegiatan. Pemerintah melakukan berbagai aksi, juga memfasilitasi pembentukan Komite Aksi Nasional, Gugus Tugas, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak di daerah yang melibatkan berbagai instansi pemerintahan dan elemen masyarakat. Departemen Sosial melalui Direktorat Pelayanan Sosial Anak yang telah lama dan berpengalaman dalam membina dan memfasilitasi pelayanan sosial anak baik dalam maupun luar panti, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak kalah gencarnya dengan kegiatan lembaga nonpemerintahan lainnya. Pada kenyataannya, kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan meningkatnya permasalahan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas. Jumlah anak terlantar, termasuk anak jalanan cenderung semakin meningkat, 170
Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

seiring dengan permasalahan kemiskinan yang belum dapat diatasi. Berdasarkan data Pusdatin Departemen Sosial RI (2006) menunjukkan jumlah anak terlantar sebanyak 2.815.383 anak. Permasalahan anak tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia, terutama masalah kemiskinan. Upaya penanganan yang dilakukan pemerintah tidak sebanding dengan besaran permasalahan anak, sehingga peran aktif masyarakat sangat diperlukan. Upaya penanganan permasalahan anak berbasis masyarakat semakin banyak ditemukan. Kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan yang sama terhadap kesejahteraan anak, yang selanjutnya disebut sebagai komunitas peduli anak, telah banyak melakukan kegiatan pelayanan anak. Keberadaan komunitas tersebut sejalan dengan salah satu tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yaitu meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbang Kessos), merasa perlu melakukan penelitian tentang pengembangan komunitas peduli anak. Dalam penelitian ini akan menelusuri bagaimana bentuk kegiatan komunitas, apa latar belakang terbentuknya komunitas serta sumber dan potensi apa yang dapat dimanfaatkan komunitas untuk mengembangkan kepedulian komunitas?

Metode Penelitian Metode pengumpulan data yang digunakan metode kualitatif dengan studi kasus, guna memberi penjelasan komprehensif mengenai komunitas peduli anak di wilayah yang terpilih. Penelitian studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai komunitas peduli anak yang ada di masyarakat. Pembahasan yang dilakukan berusaha untuk menjawab Why and How. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi dan penelaahan dokumen, yang bertujuan semaksimal mungkin memperoleh pandangan lengkap dan mendalam mengenai komunitas peduli anak. Lokasi yang terpilih dengan cara purposive, yaitu kota-kota yang memiliki jumlah permasalahan anak terlantar cukup tinggi yaitu Kota Medan, Palembang, Makasar, Surabaya, Pontianak dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Sumber informan pada tokoh komunitas, anggota komunitas, tokoh masyarakat, anak-anak dan Instansi Sosial. Untuk menjelaskan komunitas peduli anak maka digunakan teori sikap dari Marat yang beranggapan
Puslitbang Kesos

171

Pengembangan komunitas Peduli Anak

bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti melalui pendekatan teori stimulus respon, artinya perilaku sosial dianalisis sebagai respon spesifik terhadap stimuli yang diberikan, didukung oleh hukuman dan penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi. Artinya perilaku komunitas peduli anak, sebagai perilaku sosial yang dipengaruhi oleh penghargaan maupun dukungan terhadap kegiatan komunitas. Konsep komunitas dari Ferdinan Tonny yang membagi komunitas pada 3 aspek yaitu seperasaan, sepenanggungan dan saling membutuhkan. Berdasarkan hal tersebut, komunitas peduli anak dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat dan sebagai bentuk partisipasi aktif dan prakarsa komunitas terhadap penanganan permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat. Selanjutnya komunitas peduli anak, dapat menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan masyarakat, yang dapat berfungsi sebagai gerakan yang dirancang untuk meningkatkan kehidupan seluruh komunitas.

Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa bentuk kegiatan komunitas ada hubungannya dengan kondisi dan karakteristik sosial ekonomi wilayah setempat. Misalnya, komunitas di Kota Pontianak yang berbatasan dengan wilayah negara lain, telah mendorong komunitas untuk peduli terhadap maraknya masalah trafficking dan melakukan pendampingan bagi anak yang berkonflik hukum. Komunitas di Kota Medan dan Surabaya, sebagaimana kota-kota besar lainnya yang menjadi pusat persinggahan bagi penduduk di wilayah sekitarnya memiliki permasalahan anak jalanan cukup tinggi. Komunitas di Kota Palembang dan Makasar dengan posisi wilayahnya yang cukup strategis sebagai pintu gerbang bagi wilayah lainnya, diwarnai tingginya permasalahan anak terlantar. Meningkatnya permasalahan anak telah mendorong munculnya komunitas peduli anak yang diprakarsai oleh kalangan praktisi dan masyarakat terdidik dari berbagai perguruan tinggi serta masyarakat lokal baik yang diikat oleh satu rumpun agama maupun budaya, turut menangani permasalahan anak dan melakukan kegiatan demi menyelamatkan anak-anak dari keterpurukan. Peran kekerabatan dan tanggung jawab sosial keluarga pada kenyataannya tidak mampu menyelamatkan anak dari keterlantaran. Seperti kasus di Medan, kondisi kemiskinan keluarga semakin menjauhkan keluarga dari interaksinya dengan kerabat lainnya, sehingga keterlantaran anak harus ditanggung oleh keluarga bersangkutan. Kasus di Timor Tengah Selatan, berawal dari kegiatan 172
Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

keagamaan untuk membantu anak terlantar melalui pelayanan sosial bersifat insidental, tetapi kegiatannya berlanjut menjadi terorganisir setelah memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Motivasi atas jiwa kemanusiaan dan dilandasi nilai-nilai agama telah mendorong komunitas untuk berbuat yang terbaik bagi anak-anak. Nilai kasih sayang antar sesama karena saling membutuhkan, sesuai dengan ajaran agama yang dianut menjadi landasan komunitas untuk peduli pada anak. Semangat tersebut telah mampu memotivasi kelompok pemuda dan wanita, berpartisipasi pada kegiatan komunitas. Kepedulian tokoh masyarakat telah membangkitkan motivasi masyarakat setempat untuk peduli pada kehidupan anak jalanan. Kasus di Surabaya, telah melahirkan sanggar anak-anak jalanan yang diakui keberadaannya di masyarakat dan menjadi contoh kegiatan di berbagai provinsi lainnya. Perilaku yang ditunjukkan anggota komunitas semakin meningkat manakala adanya keberhasilan mengentaskan anak dari keterpurukan dan semakin meningkatnya partisipasi tokoh masyarakat dan agama serta kelembagaan yang ada di masyarakat. Keberhasilan komunitas terhadap pelayanan pada anak terlantar dan anak jalanan, telah berkembang menjadi embrio organisasi, diantaranya mampu membentuk lembaga pendidikan, dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak, seperti kasus komunitas di Kota Palembang. Kasus komunitas di Surabaya, mampu mengembangkan kegiatan pelayanan anak seperti pemberian beasiswa, pelayanan perlindungan bagi anak remaja dari tindak kekerasan seksual dan anak yang dipekerjakan menjadi pembantu rumah tangga. Perilaku sosial yang ditampilkan oleh komunitas dipahami sebagai wujud dari pandangan masyarakat tentang konsep anak dan kebutuhan yang harus dipenuhi anak, yang telah menimbulkan empathy untuk pemenuhan kebutuhan tersebut dan selanjutnya diwujudkan dalam kegiatan komunitas yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan melindungi anak dari keterpurukan. Konsep tentang anak diawali dengan pandangan tentang usia anak. Batasan usia sebagai anak adalah 18 tahun kebawah dan belum menikah, tetapi ada diantaranya yang berpendapat bahwa sebaiknya usia anak sampai dengan usia 16 tahun, dengan alasan perilaku anak usia 18 sudah tidak mencerminkan perilaku seorang anak demikian juga memperlakukannya sudah harus berbeda. Sebutan anak jalanan telah memberi stigmatisasi yang menghambat keberadaan anak untuk pemenuhan kebutuhannya di masyarakat, sehingga perlu merubahnya dengan sebutan anak negeri yang lebih mencerminkan keberpihakan pada anak. Konsep
Puslitbang Kesos

173

Pengembangan komunitas Peduli Anak

tentang anak cukup bervariasi, ada yang melihat dari sudut pandang positif, bahwa anak sebagai potensi dan aset generasi penerus cita-cita bangsa, harapan bangsa, penerus estafet pembangunan, titipan Tuhan, fitrah yang harus dijaga yang dapat mengangkat harkat dan martabat keluarga, penyejuk hati, menjadi kekayaan berharga dan ahli waris, menjadi bagian dari diri kita. Sebaliknya, ada yang berpandangan tradisional, bahwa anak diibaratkan sebagai kertas putih, yang tidak memiliki kemampuan, sebagai manusia lemah dan rawan, masa depannya tergantung pada orang dewasa, menjadi figur yang harus membantu keluarga. Pandangan demikian memberi pengertian bahwa keberadaan anak seolah-olah sangat tergantung pada orang tua, anak tidak memiliki hak untuk berkembang. Meskipun konsep tentang anak berbeda-beda, namun sebagian besar memahami bahwa anak memiliki kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan, bimbingan dan pengarahan. Kebutuhan dimaksud, seperti hidup layak sebagai mana seorang anak, memperoleh makanan sehat, tempat berlindung, kesempatan bersekolah, kasih sayang, perhatian dari orang tua, mempunyai waktu bermain dan diperlakukan secara manusiawi. Perlu pengarahan melalui pendidikan agama, budi pekerti serta memperoleh keterampilan, kesempatan berpendapat dan berkreativitas dan memperoleh pendidikan formal sesuai dengan kemampuan dan usianya. Kebutuhan tersebut sebenarnya sebagai bagian dari hak anak yang harus dipenuhi, yaitu: (1) hak untuk hidup; (2) hak untuk tumbuh kembang; (3) hak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan; meskipun hak anak untuk berpartisipasi masih belum nampak. Pandangan tersebut, telah menjadikan anggota komunitas merasa terpanggil untuk mewujudkannya melalui kegiatan pelayanan yang sesuai dengan hak dan kebutuhan anak. Kegiatan komunitas berupa pendampingan intensif pada anak jalanan, yang telah menyelamatkan anak dari tidak bersekolah menjadi bersekolah, memberi kesempatan pada anak untuk mengikuti pendidikan luar sekolah, memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan di jalanan, (kasus di Surabaya dan Medan) dan dari tindakan hukum seperti kasus di Pontianak. Bentuk kegiatan pelayanan tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan anak untuk memperoleh tempat tinggal memadai, perhatian atau kasih sayang, juga memberikan kebutuhan akan pendidikan dan keterampilan seperti bermain musik, teater, sablon, dorsmeer. Selain itu, memberi kemudahan memperoleh akte kelahiran dan memberi perlindungan dari tindak kekerasan. Pelatihan keterampilan bermusik pada dasarnya tidak hanya bertujuan untuk terampil bermain musik, tetapi juga memiliki kepercayaan

174

Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

diri untuk tampil di tempat umum. Meningkatnya kepercayaan diri pada anak, setidaknya berdampak pada pribadi dan perilaku anak jalanan, dimana anak merasa lebih dihargai dan berguna bagi orang lain. Pada kenyatannya, kegiatan komunitas tidak terbatas pada anak, tetapi juga membantu keluarganya dalam kemampuan ekonomi serta memberi akses bagi pelayanan kesehatan serta memberikan pembekalan keterampilan bagi keluarganya. Kegiatan dimaksud bertujuan agar keluarga dapat meningkatkan pendapatannya sehingga dapat meringankan beban pengeluaran untuk membesarkan anaknya. Bimbingan etika dan agama termasuk kegiatan yang penting diberikan pada anak dan orang tua, bertujuan agar anak dengan segala keterbatasan yang ada tetapi masih memiliki harkat dan martabat sebagai manusia.

Gambar 1 : Anak jalanan di Surabaya berlatih musik

Keterlibatan dunia usaha/swasta, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah menjadi kekhasan tersendiri dari masing-masing komunitas. Kasus di Kota Palembang dengan dukungan lembaga international mampu membangun komunitas peduli anak, tidak terbatas pada pemenuhan tumbuh kembang anak, tetapi lebih luas mampu menjangkau kesejahteraan keluarga. Komunitas di Makasar, didukung lembaga masyarakat setempat mampu menciptakan kepedulian pada permasalahan anak lainnya. Komunitas di Kabupaten Timor Tengah Selatan, menciptakan kepedulian masyarakat dengan prinsip memberikan yang terbaik bagi anak, tidak terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal. Kondisi ini memiliki nilai strategis dalam pembangunan kesejahteraan sosial, karena masyarakat telah ikut terlibat dalam menangani masalah anak. Partisipasi dan kegiatan yang dilakukan komunitas, melalui curahan tenaga, kontribusi pemikiran, sumbangan harta benda, maupun penggalangan dana, yang
Puslitbang Kesos

175

Pengembangan komunitas Peduli Anak

disesuaikan dengan kemampuan masing-masing komunitas, memotivasi komunitas untuk menyelamatkan anak dari keterlantaran.

Gambar 2 : Kegiatan Bimbingan agama bagi Orang Tua dan Anak di Surabaya

Dukungan kepedulian sosial yang dikembangkan secara tradisional maupun profesional, telah tumbuh menjadi modal sosial melalui tindakan kolektif komunitas guna mengatasi masalah yang dihadapi sesama warga masyarakat, terutama masalah anak-anak. Di dalamnya terkandung semangat karitas (charity), kepedulian sosial (volunteerism) dan kepedulian sesama warga (civic involvement), yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan komunitas masih banyak memerlukan keterlibatan pihak lain, terutama dalam rangka membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi komunitas, seperti dari Perguruan Tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga legislatif, Organisasi Masyarakat, Pengusaha, lembaga permodalan dan masyarakat itu sendiri. Keikutsertaan unsur-unsur tersebut dalam penyelesaian masalah, perlu ditata dengan baik yaitu melalui pembentukkan jejaring (network) antar lembaga secara kolaboratif. Jejaring kolaboratif bersifat informal, transparan, menampilkan kesetaraan, mengandalkan komitmen, mensinergikan upaya dan mengembangkan kesadaran kritis serta berfungsi pula sebagai kontrol sosial. Dengan prinsip-prinsip tersebut jejaring akan mampu mengkombinasikan fungsi-fungsi yang diperlukan bagi penyelesaian masalah komunitas, melalui pertukaran informasi, pengalaman dan pengetahuan serta penyediaan sumber daya yang berasal dari tingkat komunitas, tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat pusat. Jaringan kelembagaan komunitas peduli anak dapat dilihat dari gambar berikut ini:

176

Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Collective Action Sector (Komunitas Peduli Anak)

Jaringan Kelembagaan Peduli Anak

Public Sector (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah)

Private Sector (Dunia usaha, LSM, Orsos, Masyarakat peduli)

Bagan 3. Jaringan kelembagaan komunitas peduli anak

Masing-masing sektor memiliki fungsi tersendiri, misalnya public sector atau pemerintah harus diletakkan secara strategis untuk mendorong inisiatif warga masyarakat agar dapat mengembangkan berbagai potensi kemandirian mereka dalam rangka membantu sesama warganya. Collective Sector Action atau dapat disebut sebagai masyarakat sipil yang diantaranya adalah komunitas peduli anak, berperan penting dalam pengembangan dan perbaikan kebijakan sosial dan implementasi program kesejahteraan sosial anak. Sektor swasta (private sector) berkomitmen membantu mewujudkan kesejahteraan sosial anak, dengan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) yang menyediakan dana, keahlian dan sumber daya yang dapat digunakan untuk kegiatan pengembangan komunitas peduli anak. Penting diperhitungkan juga lembaga-lembaga filantropi dan pembangunan international sebagai salah satu komponen pelaku atau sumber daya pengembangan komunitas peduli anak. Gagasan tersebut sejalan gagasan Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional, yang menyebutkan bahwa pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan kesejahteraan (anak) tidak lagi dimonopoli Negara, tetapi dibagi bersama-sama kalangan swasta (perusahaan-perusahaan), lembagalembaga sosial masyarakat (termasuk organisasi keagamaan) dan lembagalembaga kerelawanan (seperti LSM yang mengumpulkan dana-dana amal). Langkah-langkah perlindungan sosial bagi anak terlantar sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin terpenuhinya hak dasar warganya yang tidak mampu, miskin atau marginal.
Puslitbang Kesos

177

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Komunitas peduli anak, sebagai lembaga sosial masyarakat pada kenyataannya berdiri sendiri, belum sepenuhnya mampu menjangkau kalangan swasta, dalam hal ini dunia usaha. Kurangnya koordinasi diantara lembaga yang bergerak dalam pelayanan sosial anak, menjadi kelemahan yang dirasakan komunitas. Hal tersebut bukan tidak mungkin kepercayaan dari dunia usaha untuk berkolaborasi menjadi minim. Meskipun selama ini dunia usaha cukup mendukung kegiatan komunitas, tetapi masih bersifat insidental, belum mampu menciptakan program terencana dan berkelanjutan. Peran Lembaga kerelawanan, sebagai funding bagi keberlangsungan komunitas, memberi andil besar terutama dalam dana dan program pelayanan sosial anak. Permasalahannya adalah komunitas belum mampu mandiri selepas berakhirnya program. Masyarakat belum terbiasa menjadi mandiri, ketergantungan masyarakat pada pemerintah masih cukup melekat, karena kondisi tersebut telah dibentuk sejak masa lampau. Hal ini pula yang menjadi salah satu kendala bagi upaya pemberdayaan masyarakat, seperti yang dialami pada kasus di Palembang.

Kesimpulan dan Saran Secara garis besar dapat disimpulkan, bahwa terbentuknya komunitas peduli anak, karena adanya kesamaan perasaan terhadap keterlantaran anak, memiliki kepentingan bersama untuk memberikan pelayanan bagi anak agar terhindar dari keterpurukan lebih lanjut. Keberadan komunitas menjadi bagian yang dibutuhkan anggotanya, terutama anak-anak terlantar dan anak jalanan menerima pelayanan yang selama ini hak dan kebutuhannya terabaikan. Tindakan kolektif komunitas dapat diprakasai oleh berbagai lapisan masyarakat, baik yang berlatar belakang agama, keilmuan bahkan atas dasar panggilan hati nurani sekalipun. Terpenting adalah motivasi yang dimiliki komunitas mampu menggerakkan partisipasi aktif anggotanya guna menciptakan kehidupan yang terbaik bagi anak-anak. Kegiatan komunitas tidak dapat terselengara tanpa dukungan pemerintah dan keterlibatan dunia usaha, maupun lembaga sosial masyarakat lainnya. Hanya saja keberadaan komunitas berikut kasus-kasus keberhasilan, serta manfaat yang telah diperoleh anak beserta keluarganya kurang tersosialisasikan. Keterbatasan petugas pendamping bagi anak-anak terlantar dan anak jalanan, menjadi kendala yang dialami komunitas, selain sarana dan prasarana bagi penyelenggaraan kegiatan pelayanan. Semakin meningkatnya minat anakanak terlantar yang membutuhkan pelayanan dari komunitas, semakin menuntut komunitas untuk memperluas jaringan kerja (network). Keberadaan 178
Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

komunitas paduli anak, menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan masyarakat sekitarnya. Untuk itu, perlu direkomendasikan peningkatan sosialisasi atau mengkampanyekan komunitas peduli anak, melalui dialog interaktif pada media masa dan elektronik, penyebarluasan informasi melalui media masa dan elektronik. Selain itu, upaya pengembangan komunitas peduli anak melalui fasilitasi program pemberdayaan kepada keluarga dengan anak terlantar. Melakukan peningkatan kemampuan petugas pendamping melalui kegiatan pemantapan, khususnya pekerjaan sosial agar lebih terarah, pengakuan terhadap petugas pendamping sebagai tenaga Pekerja Sosial dari Dinas Sosial setempat, memfasilitasi sarana prasarana komunitas, yang disesuaikan dengan kebutuhan komunitas. Hal yang penting lainnya adalah kebijakan berlandaskan pada Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional Indonesia yang dapat memperkuat keberadaan komunitas peduli anak, sehingga aksesibilitas komunitas peduli anak terhadap sumber-sumber daya kesejahteraan sosial seperti dunia usaha dan instansi pemerintah mendapat legalitas yang sah.

DAFTAR PUSTAKA
Deddy Mulyana, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Harry Hikmat, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Pers. Bandung. Hurlock, Elizabeth, 1989, Development Psychology, Mc Graw Hill, Toronto. Marat, 1981, Teori Sikap, PT. Remaja Karya, Bandung. Tonny F Nasdian & Lala Kolopaking, 2003, Sosiologi untuk Pengembangan Masyarakat, program Pasca Sarjana IPB. _______, 2005, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Sistem Kesejahteraan Nasional Indonesia, draft IX; Depsos RI.

Puslitbang Kesos

179

GENDER DAN KELUARGA MIGRAN DI INDONESIA1


Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si 2 ABSTRAK
Penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa para TKW melakukan migrasi ke luar negeri dengan meninggalkan keluarganya. Hal ini menimbulkan dampak sosial psikologis terutama bagi perempuan yang sudah menikah. Lebih jauh, hal ini mencerminkan adanya kompleksitas masalah keluarga buruh migran termasuk pergeseran pola relasi gender pasca migrasi sebagai TKW. Untuk memahami hal itu, penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian diutamakan pada wilayah pemasok utama tenaga kerja wanita (TKW) seperti Lampung, Indramayu, Malang dan Makassar. Sumber data dan informan penelitian adalah TKW dan keluarganya. Informasi dari isteri ini selanjutnya akan dikonfirmasi ulang ke suami, anak, mertua, masyarakat atau tokoh lainnya yang dinilai relevan. Penentuan keluarga yang menjadi informan dilakukan dengan snowball. Analisis data dilakukan dengan pendekatan patriarkhi dan analisis gender yang berkaitan dengan bargaining position dan kesetaraan antara suami dan isteri. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa Pasca kepulangan sebagai TKW, TKW membawa nilainilai baru yang diserap melalui proses akulturasi budaya di negara perantauannya yang didukung dengan posisi ekonomi isteri yang meningkat. Langsung atau tidak langsung kondisi ini menaikkan posisi tawar di tengah keluarganya. Hal ini memberikan ruang yang cukup bagi terjadinya pergeseran pola relasi gender lokal di tengah keluarganya, yang secara psikologis mengarah pada konsep androgini. Dengan konsep relasi gender ini, pembagian kerja yang semula sangat sexist mulai kabur. Suami mulai terlibat pada sektor domestik dan permisif pada nilai-nilai pemingitan, sementara isteri mulai terbuka pada sektor publik. Dalam hal ini pihak isteri mulai independent dalam membuat keputusan sehingga posisinya sebagai sub ordinat makin kabur dan mengarah pada posisi isteri sebagai mitra. Namun demikian, keluarga mengalami konflik secara potensial dan manifest, sehingga relatif kurang harmonis.

Diangkat dari hasil penelitian tentang Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga Di Indonesia, oleh Togiaratua Nainggolan, Faida Normawati, Ruaida Murni, Rachmanto Widjopranoto, dan Sudibyonoto. Togiaratua Nainggolan, Peneliti Pertama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial di Departemen Sosial RI.

Puslitbang Kesos

181

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Sehubungan dengan hal tersebut kepada pihakpihak terkait direkomendasikan untuk memberikan pelatihan bagi calon TKW dengan materi pelatihan penguatan fungsi dan tanggung jawab sosial keluarga yang mengarusutamakan pola relasi gender. Selain itu, diperlukan bimbingan dan konseling keluarga bagi keluarga mantan TKW sebagai upaya mengantisipasi dampak sosial negatif dari pergeseran pola relasi gender dalam kehidupan keluarga. Kata kunci : Pergeseran Pola Relasi Gender, Tenaga Kerja Wanita, Keluarga Migran

Pendahuluan Latar belakang penelitian ini didasarkan pada kenyataan, bahwa para TKW melakukan migrasi ke luar negeri dengan meninggalkan keluarganya. Hal ini menimbulkan dampak sosial psikologis terutama bagi perempuan yang sudah menikah. Lebih jauh hal ini mencerminkan adanya kompleksitas masalah pada buruh migran. Pendapat senada dikemukakan oleh Krisnawati & Safitri (dalam Daulay, 2001) dalam sebuah tulisannya bahwa masalah buruh migran sangat komplek karena konteksnya tidak saja soal perburuhan tetapi juga menyangkut migran internasional, kapitalisme dunia dan globalisasi. Ketimpangan pendapatan negara maju dan negara dunia ketiga, kesalahan konsep pembangunan di Indonesia selama lebih dari 30 tahun dan secara khusus bagi TKW menyangkut masalah perempuan, yaitu masalah gender. Selain masalah gender, sadar atau tidak, langsung atau tidak langsung perubahan peta situasi keluarga pasca TKW dapat mempengaruhi tingkat keharmonisan keluarga buruh migran yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan : (1) mendeskripsikan pergeseran pola relasi gender pada keluarga migran pasca migrasi sebagai buruh TKW; dan (2) mendeskripsikan gambaran keharmonisan keluarga mereka pasca migrasi sebagai TKW. Hasil penelitian diharapkan mampu : (1) menyajikan realitas positif maupun negatif dari tindakan migrasi TKW terhadap keluarga, untuk selanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi calon TKW dan keluarganya dalam membuat keputusan untuk migrasi sebagai TKW ; dan (2) bagi Departemen Sosial RI dan pihak terkait lainnya, dapat digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan dan pengembangan program yang ditujukan bagi TKW dan keluarganya. 182
Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian diutamakan pada wilayah yang menjadi pemasok utama tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Lampung. Sumber data dan informan penelitian adalah TKW dan keluarganya, terutama dengan melihat kondisi isteri yang pernah bekerja ke luar negeri menjadi TKW. Informasi dari isteri ini selanjutnya akan dikonfirmasi ulang ke suami, anak, mertua, masyarakat atau tokoh lainnya yang dinilai relevan. Pengambilan keluarga yang menjadi informan dilakukan dengan cara snowball dimana dari satu informan akan berkembang ke informan selanjutnya. Teknik analisis data diarahkan pada pendekatan patriarkhi dan analisis gender yang berkaitan dengan bargaining position antara suami dan isteri serta menyangkut kesetaraan posisi di antara mereka. Hasil dan Pembahasan
1. Realitas TKW Sebagai Persoalan Sosial Budaya

Sebagai sebuah realita sosial kehadiran TKW banyak mendapat pujian sehubungan dengan prestasinya dalam bidang ekonomi dengan sumbangan devisa yang besar, sehingga TKW diberikan predikat sebagai pahlawan devisa bagi negara. Namun, pujian dan predikat pahlawan ini dapat dikatakan semu, karena prestasi ini hanya dinilai berdasarkan indikator ekonomi, sehingga terkesan meninabobokan masyarakat terhadap substansi persoalan yang sesungguhnya dan cenderung menutupi kelemahan pihak tertentu sebagai penyelenggara program ini. Penegasan ini cukup beralasan karena hingga saat ini program pengiriman TKW ke luar negeri terlalu didominasi motif pendekatan bisnis yang didefinisikan secara bebas sesuai dengan selera kepentingan kelompok kapitalis. Akibatnya, prinsip hitung-hitungan ekonomi selalu menjadi ukuran. Dalam prakteknya, bagi kaum kapitalis menjadi TKW adalah menjadi produsen sekaligus menjadi konsumen dengan ukuran-ukuran yang dikonstruksikan oleh kelompok pengusaha. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri harus dipandang sebagai persoalan sosial budaya dalam arti luas, selain peluang yang dapat
Puslitbang Kesos

183

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

dimanfaatkan secara ekonomi, juga harus memanfaatkan peluang dari aspek sosial budaya. Mengekspor TKW ke luar negeri bukan saja mengirim individu TKW secara fisik tetapi sekaligus mempertemukan dua atau lebih budaya yang berbeda dari berbagai aspek. Mengacu pada model transmisi budaya dari Cavali dan Sproza (dalam Berry dkk, 1999) pertemuan antara TKW dengan majikan di negara tujuan sekaligus mempertemukan dan memfasilitasi kontak budaya dua pihak yang mengadakan transaksi jasa. Hal ini potensial memunculkan persoalan budaya dalam bentuk akulturasi dan enkulturasi dengan segala konsekuensi lintas budaya, baik yang positif maupun negatif. Fenomena ini lebih sensitif lagi karena melibatkan perempuan yang berstatus isteri dari seorang suami dan sekaligus ibu dari sejumlah anak. Bahkan secara politis adalah ibu dari sang masa depan bangsa. Hal yang harus menjadi catatan pertama adalah kepergian seorang ibu ke luar negeri tidak serta merta menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya dapat memunculkan masalah baru dalam konteks keluarga yang senantiasa tetap dituntut menjalankan segala fungsinya, yang secara ideal harus dikendalikan oleh suami-isteri. Hal senada dipertegas oleh Goode (1985), bahwa dengan bekerjanya sang isteri ternyata meningkatkan pertentangan dalam perkawinan. Pernyataan ini semakin relevan bagi TKW karena harus berpisah dengan keluarganya. Secara bersamaan, meningkatnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi, mengindikasikan peningkatan secara kuantitatif, dimana jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah semakin banyak, walau angka statistiknya belum dapat disebut secara pasti. Sementara pada sisi lain, ada peningkatan dalam jumlah bidang pekerjaan yang semula didominasi oleh laki-laki secara berangsur dimasuki bahkan didominasi oleh perempuan, walaupun secara kualitatif hal itu terjadi pada pekerjaan kasar sebagaimana yang dialami oleh TKW. Pada tataran global, perubahan kontemporer dalam hidup kaum perempuan ini, sebenarnya sudah dimulai pada saat modernisme menjadi bagian dari gaya hidup, bahkan ideologi masyarakat. Dalam konteks ini, beban menjadi perempuan di era modern menjadi lebih berat, karena berbagai muatan nilai harus di akomodasi. Sadar atau

184

Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

tidak, trend kehidupan mengikuti arus perubahan sosial membawa transformasi masyarakat yang melibatkan pergeseran nilai-nilai tradisional ke arah modernisasi, termasuk dalam hal pergeseran pola relasi gender di kalangan buruh migran. Perilaku penyesuaian diri dalam menerima arus informasi modernisasi dalam transmisi budaya menuntut kearifan tersendiri. Persepsi yang salah akan menimbulkan culture shock berupa respon negatif dan disorientasi yang dialami orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya baru. Bagi TKW yang harus pergi ke luar negeri, persoalan semacam ini seharusnya menjadi fokus perhatian dalam perumusan kebijakan, bukan saja pada tingkat mikro, akan tetapi juga pada tingkat makro. Secara makro, proses globalisasi telah membawa keuntungan atas fenomena perdagangan tanpa batas dengan mendapatkan pekerja migran yang murah. Secara tidak langsung buruh migran dieksploitasi di dalam negeri sekaligus di negara tujuan. Pada tingkat mikro, pemerintah memang melakukan intervensi. Tetapi hal itu lebih ditujukan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan dan aliran modal yang justru mendukung globalisasi itu sendiri, tetapi tidak untuk isu kemanusiaan yang melekat pada proses migrasi itu sendiri. Akibatnya muncul berbagai efek samping yang justru tidak diharapkan. Pada tataran inilah aspek sosial budaya dari program ekspor tenaga kerja ke luar negeri menjadi hal yang urgen untuk menjadikan TKW sebagai duta bangsa yang membawa nama harum bangsa dan bukan menjadi komoditas dagang yang mendapat perlakuan sesuai selera pasar.
2. TKW dan Rekonstruksi Gender

Sebagai bagian dari budaya, pola relasi gender menunjukkan kecenderungan laki-laki diorientasikan ke bidang publik dan perempuan ke bidang domestik. Kecenderungan ini menimbulkan ketimpangan kekuasaan antara kedua jenis kelamin. Pengaruh akar sosial budaya tradisional dalam mengasosiasikan perempuan sebagai kelompok orang yang memiliki ciri tertentu telah memberikan warna dalam keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi. Pemaknaan keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi ini ditentukan oleh sistem nilai adat istiadat yang memberikan peluang
Puslitbang Kesos

185

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

sekaligus pembatasan berupa etika, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Proses sosialisasi perempuan mengarah pada terjadinya identifikasi pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuanannya. Terlihat bahwa perempuan ternyata banyak dilibatkan di sektor-sektor yang sudah terpola pada pekerjaan yang bersifat menerima perintah. Kecenderungan tersebut terefleksikan dalam konteks yang lebih luas, dimana pihak yang memerintah adalah laki-laki, dan pihak yang menerima perintah adalah perempuan. Selain itu, perempuan sebagai pihak yang menerima perintah, di dalam struktur kekuasaan berada di posisi yang lemah dan terlihat jelas dengan adanya hubunganhubungan personal yang mempengaruhi ukuranukuran kedudukan dan kesempatan. Konstruksi gender ini menempatkan laki-laki pada ujung yang satu dan perempuan pada ujung yang yang lain di sebuah garis vertikal. Secara langsung konstruksi ini menegaskan posisi sub ordinat perempuan dan superioritas laki-laki. Penjelasan tersebut menunjukkan betapa hegemoni patriarkhi melingkupi pola relasi gender lokal. Dalam konteks ini, pembagian kerja menjadi sexist (didasarkan pada jenis kelamin) dan dibedakan dalam suatu dikotomi dari waktu ke waktu. Relasi gender menjadi perilaku spesifik yang diharapkan dan dijadikan standar yang diterapkan pada laki-laki dan perempuan, dimana penyimpangan subjek dari ketentuan ini akan mendapatkan sanksi sosial (penilaian negatif) masyarakat. Dengan kata lain, pola relasi gender ini merupakan tingkah laku yang cocok untuk tiap-tiap jenis kelamin. Dalam hal ini, kelompok laki-laki diharapkan akan menjadi maskulin dan perempuan diharapkan menjadi feminin. Bagi kaum perempuan, khususnya kaum isteri yang kebetulan menjadi TKW, pergeseran nilai ini justru semakin berpeluang terjadi. Konstruksi gender lokal yang dibawa dari daerah atau negara asal akan diuji dan dievaluasi melalui interaksi budaya di daerah tujuan perantauan dalam bentuk akulturasi budaya, khususnya budaya majikan di luar negeri. Artinya secara tidak langsung, sadar atau tidak, TKW bersama majikannya telah melakukan rekonstruksi gender terhadap pola relasi gender lokal yang dibawa TKW. Walaupun hal itu, berjalan tanpa diantisipasi oleh penyelenggara program.

186

Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Penjelasan tentang hal ini dikemukakan secara langsung oleh TKW bahwa secara perlahan tapi pasti mereka memasuki kehidupan keluarga majikannya sesuai dengan arahan dan petunjuk majikannya. Tanpa disadari TKW sering membanding-bandingkan kehidupan keluarganya dengan majikannya, dan memuji cara kerja anggota keluarganya yang tidak sexist (pembagian kerja tidak didasarkan pada jenis kelamin). Pengakuan ini menunjukkan, bahwa TKW mengidolakan pola relasi gender majikannya. Ini berarti bahwa paling tidak pada tingkat kognitif dan afektif ada perubahan pola relasi gender dalam diri TKW secara konsepsional. Lebih jauh, hal ini terbawa dalam kehidupan berkeluarga pasca TKW. Fenomena pergeseran ini terjadi pada 5 wilayah penelitian, walaupun dalam konteks dan kualitas yang berbeda-beda. Ini membuktikan bahwa posisi isteri pasca TKW dapat memberikan ruang yang cukup untuk melakukan pembongkaran terhadap pola relasi gender lokal sebagaimana dikemukakan oleh Daulay (2001). Secara umum pergeseran pola relasi gender tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut : Tabel 1. Perubahan Pola Relasi Gender Keluarga Migran Pasca Migrasi sebagai TKW
No. Keadaan sebelum menjadi TKW 1. Pencari nafkah utama adalah suami 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Suami meyakini nilai-nilai pemingitan terhadap isteri Isteri fokus terhadap sektor domestik Isteri tidak independen dalam membuat keputusan Suami tidak terlibat dalam sektor domestik Pembagian kerja sexist dikotomis Posisi isteri sebagai sub ordinasi sangat kelihatan Pola relasi gender lebih didominasi maskulin dan feminin Pengasuhan anak tanggung jawab utama isteri Keluarga relatif harmonis Keadaan setelah menjadi TKW Pencari nafkah utama adalah suami dan isteri Suami mulai permisif ketika isteri masuk sektor publik Isteri mulai terbuka pada sektor publik Isteri mulai independen dalam membuat keputusan Sebagian suami terjun ke sektor domestik Pembagian kerja mulai kabur, tidak sexist dan tidak dikotomois Posisi isteri sebagai mitra mulai kelihatan Pola relasi gender mengarah pada androgini Pengasuhan anak mengarah pada tanggung jawab bersama Ada konflik yang bersifat potensial dan manifest

Puslitbang Kesos

187

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Kesimpulan dan Saran Kehadiran TKW sebagai migran ternyata harus mengakomodasi berbagai nilai. Dari perspektif global dan makro, betapa globalisasi telah membawa keuntungan atas fenomena perdagangan tanpa batas dengan mendapatkan pekerja yang murah. Secara tidak langsung buruh migran dieksploitasi di dalam negeri sekaligus di negara tujuan. Dalam prakteknya, bagi kaum kapitalis menjadi TKW adalah menjadi produsen sekaligus menjadi konsumen dengan ukuran-ukuran yang dikonstruksikan oleh kelompok pengusaha, dengan memperlakukan manusia sebagai komoditas. Sementara dalam prespektif negara, TKW menyangkut persoalan devisa. Adapun bagi keluarga, khususnya yang mempunyai status isteri, TKW terkait fungsi dan tanggung jawab sosial istri terhadap suami dan atau anak. Lebih khusus lagi, dalam perspektif gender, TKW berpeluang melakukan pembongkaran pola relasi gender lokal dengan segala hegemoni patriarkhinya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan semacam redefinisi terhadap keberadaan program TKW dari sisi pendekatan kebijakan sosial, dengan mencoba menerjemahkan berbagai nilai ke dalam konsep dan indikator kebijakan. Penegasan ini kiranya cukup beralasan, mengingat hingga saat ini program pengiriman TKW ke luar negeri terlalu didominasi motif pendekatan bisnis yang didefinisikan secara bebas sesuai dengan selera kepentingan kelompok kapitalis. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri harus dipandang sebagai persoalan sosial budaya dalam arti luas secara strategis, yang harus memanfaatkan peluang tidak saja secara ekonomi tapi juga secara sosial budaya, dengan mengakomodasi berbagai nilai dalam prespektif kemanusiaan. Kepada Direktorat Pemberdayaan Keluarga Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja bersama LSM terkait diharapkan segera merumuskan kurikulum pelatihan bagi keluarga calon TKW menyangkut materi pola relasi gender dan persoalan sosial budaya lainnya, serta menajemen keluarga, sebagai upaya antisipasi terhadap kemungkinan masalah yang muncul sehubungan kepergian istri menjadi TKW. Sementara pasca migrasi sebagai TKW perlu diadakan konseling keluarga sebagai upaya meningkatkan ketahanan sosial keluarga dan masyarakat. 188

Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Berry dkk, (1999), Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasinya (terjemahan Edi Suhardono), Gramedia, Jakarta. Daulay, Harmona, (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga di Keluarga Migran, Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Jawa Barat. Galang Press, Yogyakarta. Goode, William, J, (1985), Sosiologi Keluarga, Bina Aksara, Jakarta.

Puslitbang Kesos

189

INDEKS
A Abddurazak dkk (1989), 44 Adoptif kin, 156 Adrinof A. Chaniago (2001:316), 48 Afinal kin, 156 Aksesibilitas, 32 Akurat, 3 Allan Pincus, 3 Androgini, 181 Anne Minahan, 3 Aplicable, 100 Australia, 120 B Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM), 89 Bali, 116 Banglades, 55 Banjar, 30 Bantuan Khusus Murid (BKM), 33 Bantuan Operasional Sekolah (BOS), 33, 41 Bargaining Position, 181, 183 Basic needs, 130 Belu, 125 Bintan, 125 Bone, i, 44, 45, 50, 54
Puslitbang Kesos

Brazil, 55 Bugis, 44, 50 Bukaka, 51

C Chambers (1983), 122 Charitatif, 134 Charity, 82, 120, 176 Civic Involvement, 176 Civil society, 56 Collective Sector Action, 177 Community based development, 82 Concept of deprivation trap, 122 Consanguinal kin, 156 Corporate social responsibility, 177 Culture shock, 185 D Day Care Centre, 154 Day Care Service, 154 Dayak, 30 Degeneratif, 163 Desa Aji Kuning, 5, 6, 13 Desa Binalawan, 5 Desa Liang Bunyu, 5 Desa Setabu, 4, 5, 9, 13 Desa Sungai Pancang, 4, 5 Desa Talio, 34 191

Indeks

Desa Tanjung Aru, 5 Desa Tanjung Karang, 5 Developmental needs, 130 Diagnosa, 27 Diagnostik, 4 Disorientasi, 185 Distributive Frekuentif, 123 Dorsmeer, 174 Dove (1985), 28 Dwi Heru Sukoco (1991), 3

Human Development Index (HDI), 45 Human Service Organization, 142

I Ife (1995), 122 Independent, 181 Indepth Interview, 54 Inferior, 116 Isolation, 122 J Jawa, 30 Jayapura, 125 K Kalimantan Barat, 129 Kalimantan Tengah, 29 Kalimantan Timur, 4 Kelompok Usaha Bersama (KUBE), 19, 57 Koentjaraningrat (1990), 156 Komprehensif, 3 Komunitas Adat Terpencil (KAT), 3, 34 L Leading Sector, 56 Life Expectation, 45 Local Budgeting Forum, 55, 56, 58 Lokalitas Ekosistem, 88 Lembaga Pembardayaan Masyarakat (LPM), 57, 92

E Edukatif, 16 Ekologis, 88 Ekonomis Produktif, 16 Empathy, 173 Empowerment, 122 Epicentrum, 50 Evaluatif Research, 132 F Ferdinan Tonny, 172 Focus Group Discussion (FGD), 83, 119, 123 G Goode (1985), 156 Grameen Bank, 55 H Heterogen, 31 Home visit, 113 192

Puslitbang Kesos

Indeks

M Madura, 30 Mainstream, 43 Malaysia Timur, 4, 5 Malaysia, 2, 5, 6, 9, 10 Maliku, 29 Manado, i Manifest, 181 Manurung Rimatajang, 44 Manurungge, 51 Max Siporin, 3, 68 Medan, 116 Minahasa, 74, 79 Muhamad Yunus, 55 N Nagari, 81, 82, 88, 92, 95 NAPZA, 3 Ndaraha (1990), 2 Network, 176 Non Governmental Organization International (NGO), 100 Nusa Tenggara Timur, 116 Nunukan, i, 1, 2, 3, 4, 5, 15, 125 Nusa Tenggara Barat, 129 O Oakley & Marsden (1984), 123 P Palembang, 175 Pandih Batu, 25, 29, 33

Participatory Action Research (PAR), 125 Participatory Budgeting Forum, 49 Participatory Budgeting, 56 Participatory Rural Apraisal (PRA), 100 Participatory Wealth Ranking (PWR), 99, 102, 104, 112, 114, 116, 117 Paruik, 93 Pathologis, 134 Patriarkhi, 186 Pekerja Sosial Masyarakat, 17 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), 2, 12, 18, 52, 57, 67, 82, 83, 114 People Centred Development, 100 Permisif, 181 Physical weakness, 122 Porto Alegre, 55 Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), 1, 16, 65, 67, 80 Power Oriented, 66 Powerlessness, 122 Poverty, 122 Pranarka & Moeljarto (1996), 123 Prestise, 77 Private Sector, 177 Private Trouble, 130 Psikologis, 3 Public issues, 130 Public sector, 177

Puslitbang Kesos

193

Indeks

Pulang Pisau, i, 26, 27, 29 Purposive, 119, 123, 171 Puslitbang UKS, 2

R Rakorbang Partisipatif, 49 Reliable, 3, 25, 26 Research minded, i Responsif, 3, 4 Rudito (2003, 2005:23), 2, 48 S Samarinda, 105 Sanggau, 125 Sebatik Barat, 1, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 17, 18 Sebatik Timur, 5 Segregasi Sosial, 57 Sexist, 186 Simptom, 28 Snowball, 181, 183 Social-phsyicological needs, 130 Sorting, 102 Speech therapy, 135 State obligation, 177 Stimulus Respon, 172 Subang, 105 Sukoco (1991), 68 Sulawesi Selatan, 129 Sumatera Barat, 89 Sumatera Utara, 129

Sunda, 30 Sungai Nyamuk, 5 Sungai Pancang, 5 Survival Strategy, 81, 87 Suryono Sukanto (1990), 156

T Tanete Riattang, 50, 51, 52, 54, 55 Tatamba, 13 The cut of point, 104, 112 The Small Enterprise Foundation (SEF), 100 Tomohon, 70, 72, 74 Trafficking, 172 Trainers, 155 Triangulasi, 101 U Usaha Ekonomis Produktif (UEP), 130, 139, 143, 144, 146, 147, 149, 160 V Volunteerism, 176 Vulnerrebality, 122 W Watampone, 51 Wonogiri, 105 Warren & Cottrell, 2

194

Puslitbang Kesos

SEKILAS EDITOR
Drs. Charles S. Talimbo, M.Si, lahir di Ternate, 27 Juli 1952, memperoleh gelar Magister Administrasi Bisnis tahun 1997 di Universitas Hasanudin, Makassar.
Sejak tahun 2006 sampai sekarang sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badiklit Kesos, Departemen Sosial RI. Selama berkerja di Departemen Sosial RI, pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penyuluhan Sosial, Kepala Bidang Penyuluhan Sosial, Kepala Bidang Program Pusdiklat Pegawai, Kepala Balai Diklat Pegawai Depsos Ujung Pandang, Kepala Kursus Tenaga Sosial (KTS) Ujung Pandang. Pernah sebagai Sales dan Marketing PT BAT. Pelatihan atau kursus yang pernah diikuti, antara lain : Diklat Pim II LAN RI (2000); Sepadya (1990); TOT, TOC ADAB Australia LAN RI (1984); Diklat Penyuluhan Sosial (1983); dan Pra jabatan tingkat III (1981).

Dr. Ir. R. Harry Hikmat, M.Si, dilahirkan di Denpasar, tanggal


9 Juli 1963, memperoleh gelar Doktor untuk Ilmu Sosial tahun 2003 di Universitas Padjadjaran Bandung dengan disertasi Marginalisasi Komunitas Lokal dalam Perspektif Kontingensi Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus di Kota Bekasi). Memperoleh gelar Master untuk Ilmu Pekerjaan Sosial di Universitas Indonesia tahun 1996. Sebelumnya Sarjana Statistika di FMIPA Institut Pertanian Bogor tahun 1987. Kegiatan pelatihan yang telah diikuti, antara lain Pelatihan Penyusunan Indikator Sosial (Kantor Meneg LH, 1988); Pelatihan metodologi penelitian kualitatif (UI, 1989); Asuransi Sosial JICWELS Jepang 1997; Manajemen Penanggulangan Kemiskinan-ESCAP Bangkok 1999; Financial and Budgeting Management ProgramIMDIUniversity of Pittsburgh USA 1999; International Course for National Economic Management and Poverty Eradication in National Institute of Public Administration (INTAN) Malaysia tahun 2000; Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Pimpinan Tingkat Dasar (SPADIA) Depsos tahun 2003; Statistics in Poverty Policies Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) in Cambodia, Swedia and Beijing (2004-2005).
Puslitbang Kesos

195

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang menjadi Dosen di Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah Analisis Kebijakan Sosial, Manajemen Pengembangan Masyarakat, Statistika Sosial, Manajemen Perencanaan dan Keuangan. Selain itu menjadi Dosen STKS Bandung tahun 1987 s.d 1997 dan Dosen Pasca Sarjana Spesialis Pekerjaan Sosial di STKS Bandung untuk mata kuliah Metodologi Penelitian Pekerjaan Sosial dan Pengembangan Modal Sosial. Fasilitator dalam berbagai kegiatan pelatihan Participatory Research Appraisal, perencanaan, pekerjaan sosial, penelitian sosial, dan analisis kebijakan di Depsos, Depdiknas, Dep. Energi & Sumberdaya Mineral, UNPAD, Lab Sosio UI, LSM, dan Bappenas. Aktivitas organisasi antara lain menjadi anggota Dewan Riset Nasional (DRN) 1999-2004 dan Anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak periode 2001-2005. Riwayat pekerjaan, tahun 1996-1997 sebagai Kaur Penelitian dan Pengembangan di STKS Bandung; tahun 1997 1998 sebagai Kasubag Perencanaan Program Wilayah Timur di Biro Perencanaan Depsos; tahun 2004-2006 sebagai Kabag Bantuan Usaha Kelompok di Dit. Pemberdayaan Fakir Miskin; tahun 2006 s.d sekarang sebagai Kabag Analisis Kebijakan Perencanaan Kesejahteraan Sosial di Biro Perencanaan Depsos. Karya penelitian antara lain Kualitas Pelayanan Panti Sosial Anak (Save The Children, Unicef & Depsos, 2006); Pemenuhan Hak atas Pendidikan Dasar di Daerah Konflik (Departemen Kehakiman dan HAM, 2003); Aspek-Aspek Hak Anak yang Berkonflik Dengan Hukum (Departemen Kehakiman dan HAM, 2004); Indikator dan Profil Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002), Studi Pengembangan Program Community Development Pupuk Kaltim (2002), Studi Kesiapan Daerah dalam Pelayanan Sosial Dasar di Era Desentralisasi (ADB & Bappenas, 2002), Studi Manajemen dan Standarisasi Panti Sosial di DKI Jakarta (Dinas Bintal & Kesos, 2002), Studi Dampak Pelayanan Program Jaring Perlindungan Sosial melalui Rumah Singgah bagi Kehidupan Anak Jalanan (ADB & Bappenas, 2001), Evaluasi Gerakan Rereongan Sarupi Propinsi Jawa Barat (Pemda Jabar, 1996); Analisis Kebijakan Pengentasan Orang Miskin melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Indonesia (Ditbangdes, 1995); Profil dan efektivitas LSM dalam mengatasi penyebarluasan AIDS di Indonesia (STKS,1993); Kegiatan Motivasi dalam Proyek Kelangsungan Hidup Anak (Unicef dan Departemen Agama, 1992);

196

Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Pengembangan Desa/kelurahan Juara Perlombaan Desa di Propinsi DT I Jawa Barat (Ditbangdes Prop. DT I Jawa Barat tahun 1989 s.d. 1993); Penelitian Keberhasilan Desa-Desa Juara di Jawa Barat (Ditbangdes Prov. DT I Jawa Barat tahun 1991). Karya ilmiah yang pernah disusun antara lain : Penerapan Statistika dalam Penelitian Pekerjaaan Sosial (1987), Paradigma pembangunan dan perencanaan sosial (1995), Model Pembangunan Sosial di Indonesia (1997); Metode Monitoring dan Evaluasi Program (1998); Filsafat dan Etika Ilmuwan (1998); Teknik ilustrasi dalam penulisan artikel ilmiah (1999); Metodologi penelitian sosial (1999); Analisis Dampak Sosial (1999). Karya ilmiah yang telah diterbitkan yaitu : Participatory Research Apprasial dalam Pengabdian Pada Masyarakat (HUP: 2001), Strategi Pemberdayaan Masyarakat (HUP: 2001), dan Perencanaan Partisipatif (Cipruy:, 2002).

Puslitbang Kesos

197

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

SEKILAS PENYUSUN
Drs. Sutaat, lahir di Tegal (1951), Pendidikan Sarjana Muda diperolehnya dari UMJ (1980) dan S1 dari STKS Bandung (1984). Memulai karir sebagai PNS di PPA Bambu Apus (1975), selanjutnya alih tugas ke Balitbang Kessos (1985). Jabatan struktural yang pernah diembannya adalah kasubid perumusan program Puslit PKS Balitbang Kessos (1986-1997) dan jabatan sekarang adalah Peneliti Muda (2005-sekarang). Diklat yang pernah diikuti, antara lain adalah diklat tenaga peneliti, Pengembangan Tenaga Peneliti, Diklat Dasar Demografi, Diklat Penyusunan Kerangka Acuan (Proposal) Sosbud, Pelatihan Komputer, dan Diklat SEPALA dan SEPAMA. Penelitian internal (Litbang Kessos) yang telah dilakukan dan dibukukan sedikitnya 21 buah, antara lain yaitu: (1) Identifikasi Kebutuhan Pelayanan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) (2003); (2) Analisis Kebutuhan Pekerja Sosial di Pusat Pelayanan Korban Bencana (2003); (3) Partisipasi Masyarakat Kota dalam Mengatasi Masalah Sosial Pasca Krisis (2003); (4) Prilaku Remaja di Daerah Pinggiran Kota (2004); dan (5) Persepsi Legislatif Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2004). Penelitian yang dilakukan kerjasama dengan institusi lain sedikitnya ada 10 buah, antara lain yaitu: (1) Survey on Accessibility Problems to Pantis and Vocational Rehabilitation Service after Decentralization in Indonesia (Yayasan Kandidat, 2003); (2) Kajian Managemen Kessos Panti Sosial DKI Jakarta (YASHINTHA, 2002); (3) Kekerasan Masyarakat Daerah Perkotaan (Pusbangtansosmas, 2002); (4) Studi Persiapan Daerah dalam Pelaksanaan Strategi dan Pelayanan Sosial bagi Anjal (YASHINTHA, 2002); dan (5) Tanggung Jawab Sosial Industri (Kantor MASKAT, 2000). Karya ilmiah yang telah diterbitkan, antara lain beberapa artikel pada majalah Jurnal dan Informasi yang diterbitkan oleh Puslit PKS maupun Puslitbang UKS Balatbangsos Depsos R.I. Disamping itu, juga sebagai editor beberapa tulisan yang diterbitkan oleh Balatbangsos. Pengalaman dibidang publikasi sebagai dewan redaksi, baik majalah Jurnal, Informasi Puslit PKS maupun Puslitbang UKS, Balatbangsos Depsos R.I

Puslitbang Kesos

199

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Dra. Indah Huruswati, lahir di Jakarta. Pendidikan terakhir Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI). Pengalaman kerja sebagai Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial sejak 1986 dan jabatan sekarang adalah Peneliti Madya.
Sejak bekerja di Badan Litbang Sosial ini, beberapa kali mengikuti pendidikan dan pelatihan yang berkait dengan bidang penelitian, antara lain: pelatihan tenaga peneliti, baik yang diselenggarakan oleh Balitbang Sosial maupun kerjasama dengan laboratorium Sosiologi FISIP UI; pelatihan pengolahan data yang diselenggarakan oleh BPS, pelatihan metodologi kualitatif yang diselenggarakan Balitbang Sosial, serta diklat penulisan ilmiah yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Departemen Sosial bekerjasama dengan majalah Tempo. Selain mengikuti diklat-diklat, penulis juga banyak memiliki pengalaman penelitian dan penulisan di bidang sosial, antara lain: berkaitan dengan Masalah Anak di Tempat Penitipan Anak, di Panti-panti Sosial Asuhan Anak, di Panti Sosial Petirahan Anak, Anak Terlantar melalui Sistem Panti, Profil Anak Jalanan, Pemetaan Anak Jalanan dan Orangtuanya di Kotakota Besar di Indonesia, Mapping and Social Survey of Street Children bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Atmajaya, dan Penelitian Permasalahan Remaja di Kota-kota Besar. Penelitian masalah kemiskinan juga pernah dilakukan, antara lain tentang Pola Penanganan Kemiskinan di Perkotaan yang dilakukan hingga kegiatan ujicoba pada beberapa kota. Pengalaman menulis ilmiah diperoleh penulis dari berbagai kegiatan, antara lain menjadi anggota redaksi pada majalah Jurnal Kesejahteraan Sosial, sejak tahun 1998-2000.

Drs. Bambang Pudjianto, M.Si, lahir di Jakarta, 11 November 1967. Menamatkan program S1 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran Bandung dan memperoleh gelar Magister pada Bidang Psikologi Sosial Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada D.I. Yogyakarta tahun 2000. Saat ini menjabat Peneliti Muda dan sebagai Kasub Analisa Kebutuhan Puslitbang Kesos Badiklit Departemen Sosial RI. Selain aktif menulis di media jurnal dan informasi Puslitbang Kesos juga sebagai tim editor Jurnal Penelitian dan Pengembangan UKS. Sejak tahun 1995 mulai aktif mengajar pada beberapa perguruan tinggi

200

Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

swasta di Jakarta, khususnya pada bidang Psikologi Sosial. Beberapa penelitian yang telah dilaksanakan, diantaranya KAT, Akreditasi Panti Sosial, Penyandang Cacat, Konflik dan Kedamaian Sosial dan Penyalahgunaan Napza. Rusmiyati, SE, lahir di Jakarta, 11 Juli 1958, Pendidikan Sarjana Manajemen (S1). Mulai karier sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balitbang Sosial Puslitbang Kesos bidang Program dan Anggaran sampai sekarang. Penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: Penelitian Uji Coba Model Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan; Penelitian Eks Penderita Penyakit Kronis Tuberkulosis (TBC); Penelitian Uji Coba Model Komunitas Adat Terpencil (KAT); Pemetaan Permasalahan Kesejahteraan Sosial di Kotamadya Tomohon.

Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si, lahir tanggal 2 November di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam). Pendidikan; Magister Pengembangan Masyarakat dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2000 2002); Diploma Ilmu Tauhid dari Uniersitas Islam Syekh Yusuf (1984 1986); Sarjana Antropologi dari FSUI (1978 1984); SMA Negeri 30 dan SLTP Negeri 76 di Jakarta (1971 1977); SD di Banda Aceh dan Jakarta (1965 1970). Jabatan Fungsional; Asisten Peneliti di Leknas LIPI (1983 1985); Asisten Peneliti Madya (1986) sampai dengan Ahli Peneliti Muda (2002) di Badan Litbang Sosial. Sejak tahun 1986 sampai sekarang sebagai pengajar Antropologi dan Sistem Budaya Indonesia di Universitas Muhamadiyah Jakarta. Jabatan Struktural; Kepala Sub Bidang Statistik dan Dokumentasi di Puslitbang UKS (1994 1998); Kepala Sub Bidang Rencana dan Program di Puslitbang PKS (1998 1999); Kepala Bidang Analisis dan Bimbingan Sosial di Pusbang Tansosmas (2000 2004); Kepala Bidang Kerjasama dan Publikasi di Puslit PKS (2004 2005) dan sampai sekarang sebagai Kepala Bidang Program di Puslitbang Kesos. Karya ilmiah antara lain; Pembinaan Masyarakat pedalaman Irian Jaya (1986 1992); Efektivitas Bantuan Pinjaman Modal Usaha RSDK (1999); Ujicoba Indikator Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara, Otonomi Daerah dalam Perspektif Budaya (2000); Kajian konflik Sosial Suku Bangsa Madura di Kabupaten Sambas (2001); Nilai Kesetiakawanan Sosial dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Suku Bangsa di Indonesia, Partisipasi Masyarakat dalam Pelayanan Lanjut Usia di DKI Jakarta (2002); Pengaruh Budaya dalam
Puslitbang Kesos

201

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Pengembangan Masyarakat Dayak di Kalimantan Timur (2003); Permasalahan Pengungsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pelayanan Sosial Lanjut Usia di Indonesia. Pengalaman lapangan melakukan pengkajian dan penelitian di berbagai daerah yang berkaitan dengan Komunitas Adat Terpencil, lanjut usia, pengembangan potensi masyarakat pedesaan, konflik dan solidaritas sosial.

Drs. Anwar Sitepu, MP, lahir di Sukanalu, 4 September 1958; menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Kesejahteraan Sosial pada Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Widuri di Jakarta, tahun 1986; dan pendidikan S2 Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bandung dan Bogor, tahun 2004.
Bekerja untuk Departemen Sosial sejak tahun 1990, langsung bergabung pada Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial di Jakarta, awalnya pada Sekretariat kemudian masuk pada Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial, tahun 1999 sampai sekarang. Sebelum bergabung dengan Departemen Sosial, bekerja sebagai pekerja sosial dan koordinator program pada Family Helper Project kerjasama Yayasan Pelita Kasih dengan Christian Childrens Fund Inc., di Tanjung Priok, Jakarta, tahun 1982 sampai 1987. Pelatihan teknis kelitbangan yang pernah diikuti antara lain: Peningkatan Kemampuan Tenaga Peneliti Balitbangsos pada Laboratorium Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia, Depok, tahun 1992; Pelatihan Komputer dan Statistik untuk Pengolahan Data Hasil Penelitian pada Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FEUI), Jakarta, tahun 1994; dan Pendidikan dan Pelatihan Analisa Data, kerjasama Pusdiklat Pegawai Dep. Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, tahun 1998. Penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: Pola Konsentrasi Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Tanah Grogot Kabupaten Pasir Kalimanatan Timur, Pola Hubungan Sosial Antara Kelompok Etnis di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, Pola Penanganan Kemiskinan di Wilayah Perkotaan (Surabaya dan Bandung), Dampak Judi Togel pada Kehidupan Keluarga Miskin di Kota Medan, Pola Pembinaan Remaja melalui Karang Taruna di Kota Medan dan Bekasi, Akreditasi Panti Sosial di Bandar Lampung.

202

Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Sugiyanto, S.Pd, M.Si, lahir di Tawangharjo, 8 Januari 1961. Magister Sains Program Studi Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Publik, Kekhususan Pengembangan Masyarakat (S2), diperoleh dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2005) dan S1 (Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara) diperoleh dari Sekolah Tinggi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (STPIPS) YAPSI Jayapura (1994), Jabatan peneliti: Ajun Peneliti Muda bidang Kesejahteraan Sosial (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial) Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial, Departemen Sosial RI. Aktif mengikuti mengikuti kegiatan penelitian bidang kesejahteraan sosial, dan berbagai seminar permasalahan sosial di Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya telah diterbitkan, baik secara mandiri maupun kelompok, dan kumpulan tulisannya pernah diterbitkan di JURNAL maupun INFORMASI. Drs. Nurdin Widodo, menamatkan program S1 di Sekolah Tinggi Kesejahteraaan Sosial Bandung. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial. Disamping itu, sebagai editor Jurnal Puslitbang Kesos dan anggota tim penilai jabatan fungsional Litkayasa Departemen Sosial RI. Penelitian yang telah dilakukan meliputi topik-topik yang berkaitan dengan Pelayanan Anak Terlantar Putus Sekolah Melalui Panti Sosial Bina Remaja, Hubungan Antar Kelompok Pribumi dan Etnis Cina di Jakarta, Peran Lembaga Sosial dalam Penanganan Pengungsi, Pemberdayaan Pranata Sosial, Pelayanan Kesejahteraan Sosial Tenaga Kerja di Sektor Industri, Pengungsi Wanita dan Anak Korban Konflik dan Kerusuhan Sosial, Potensi Sosial Dalam Pelaksanaan Ketahanan Sosial Masyarakat di Kota Kendari, Pengembangan Uji Coba Model Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna, Permasalahan Sosial Pengungsi Korban Poso dan Upaya Penanggulangannya, Konflik Serta Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Lintas Kalangan Masyarakat di Tanah Air, dan Penelitian Uji Coba Model Penanganan Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan. Dra. Sri Gati Setiti, menamatkan program Sarjana Muda di Fakultas Sastra dan Budaya Jurusan Anthropologi UGM Jogyakarta, Strata 1 di FISIP jurusan Anthropologi UNHAS Ujung Pandang. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya pada Puslitbang Kessos-Badiklit Kessos Departemen Sosial RI. Selain itu juga menjadi anggota dewan redaksi Jurnal Penelitian
Puslitbang Kesos

203

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

dan Pengembangan Sosial. Penelitian yang pernah dilakukan meliputi topiktopik yang berkaitan dengan: penanganan penyandang cacat, karang taruna, peranan wanita, anak jalanan, perlindungan tenaga kerja wanita di sektor industri, tanggung jawab sosial dunia usaha terhadap masyarakat sekitar, pemberdayaan keluarga dalam mencegah tindak tuna sosial, profesionalisme pengelolaan Orsos, dampak sosial industri, pola rekonsiliasi masyarakat antar etnis di daerah konflik di Indonesia, masalah narkotika di sekolah, lanjut usia, efektivitas GN-OTA dalam pemberian kesejahteraan anak, permukiman kumuh, dan pemberdayaan migran. Selain itu mengikuti berbagai seminar tingkat nasional. Mengikuti diklat dosen dan peneliti di LD-UI dan berbagai diklat penjenjangan peneliti. Menjadi anggota panitia pembina ilmiah (PPI), panitia penilai lomba karya tulis masalah-masalah sosial tingkat nasional, menjadi dosen tidak tetap di UMJ dan dosen di Universitas Satyanegara (USNI) Jakarta.

Dra. Alit Kurniasari, MP, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (2004), Sarjana Psikologi Perkembangan Universitas Pajajaran Bandung, pada tahun 1984. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Pertama di Puslitbang Kesos.
Penelitian yang pernah dilakukan: Penelitian tentang Anak Jalanan; Permasalahan Pengungsi Wanita dan Anak Korban Konflik; Penelitian Kualitas Pengasuhan dan Pelayanan Panti Sosial Asuhan anak (PSAA) di Indonesia. Tulisan di Jurnal Puslitbang Kesos; Pelayanan Sosial bagi Eks Penyandang Penyakit TBC Berbasis Masyarakat (2002); Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga (2006); Partisipasi Organisasi Sosial Lokal dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2006). Pernah menjadi staf pengajar di STKS Bandung, dari tahun 1986 1995, pada mata kuliah Psikologi Anak, Psikologi Abnormal dan Psikologi Sosial.

204

Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si, lahir 3 Maret 1966 di Samosir, Sumatera Utara. Pada tahun 1982 hijrah ke Payakumbuh Sumatra Barat. Setelah tamat dari SMPP 25 Payakumbuh tahun 1985, melanjut ke IKIP Padang hingga tamat 1991.Sejak tahun 1993 bekerja sebagai staf Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI. Dalam perjalanan karir sebagai PNS, tahun 1999 mengikuti tugas belajar ke Fakultas Psikologi-Universitas Gajah Mada Yogyakarta, hingga tamat tahun 2002.Tamat dari UGM Yogyakarta, bertugas sebagai staf di Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial hingga menjadi peneliti fungsional hingga sekarang di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial di Departemen Sosial RI. Pekerjaan lainnya, sejak tahun 2002 mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI Jakarta dalam mata kuliah Psikologi Sosial dan Psikologi Lintas Budaya.

Puslitbang Kesos

205

Anda mungkin juga menyukai