Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH SISTEM USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

“Usaha Kesejahteraan Sosial Dalam Permasalahan Disabilitas”

Dosen Pengampu: Mia Aulia Lubis S.Sos., M.Kesos

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4:

1. SITI SAFITRI (200902008)


2. SOLATIAH LINTANG (200902010)
3. ANGELICA BR KARO (200902038)
4. RADEN PUTRA (200902070)
5. ROSEVA A. LUMBAN TOBING (200902074)
6. SARAH MALAU (200902076)
7. HASSA NIA HARAHAP (200902088)
8. AMELIA PUTRISARI (200902090)
9. RIVALDO SINAGA (200902098)
10. PITER TAMPUBOLON (200902112)
11. RINA BR MANIK (200902120)
12. GEBY SIMANGUNSONG (200902122)

PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial yang berjudul “Usaha Kesejahteraan Sosial dalam
Permasalahan Disabilitas” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh
Dosen Mia Aulia Lubis S.Sos., M.Kesos pada mata kuliah Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca tentang
usaha kesejahteraan sosial dalam permasalahan disabilitas.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mia Aulia Lubis S.Sos., M.Kesos yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah wawasan dan menambah pengetahuan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih
kepada teman-teman yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa tugas makalah ini masih juah dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir
kata. kami ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan bias menambah pengetahuan bagi
pembaca.

Medan, 20 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................................4

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH....................................................................................................4

1.2 RUMUSAN MASALAH..............................................................................................................5

1.3 TUJUAN PENULISAN................................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6

2.1 DISABILITAS, JENIS DISABILITAS, DAN MASALAH DISABILITAS.............................6

2.1.1 PENGERTIAN DISABILITAS...............................................................................................6


2.1.2 JENIS PENYANDANG DISABILITAS..................................................................................7
2.1.3 MASALAH DISABILITAS...................................................................................................10
2.2 TUJUAN PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL........................................14

2.3 MASALAHAN DISABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN


SOSIAL DI INDONESIA...........................................................................................................15

2.4 USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL.....................................................................................17

2.5 CONTOH KASUS......................................................................................................................19

BAB III......................................................................................................................................................23

3.1 Kesimpulan.................................................................................................................................23

3.2 Saran............................................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................25
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1974, usaha-usaha
kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk
mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial
Sumarnonugroho, 1987:39. Usaha kesejahteraan sosial mengacu pada program, pelayanan,
dan berbagai kegiatan yang secara konkret berusaha menjawab kebutuhan ataupun masalah-
masalah yang dihadapi anggota masyarakat.

Penyandang Disabilitas menurut UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas


adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang
memberikan peluang dan menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk
menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau
peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak penyandang disabilitas.

Pemerintah telah memikili berbagai program bagi kesetaraan penyandang disabilitas,


salah satunya program atensi yaitu layanan rehabilitasi sosial yang menggunakan
pendekatan keluarga, komunitas, dan residensial dengan pemenuhan kebutuhan hidup layak
hingga pemenuhan aksesbilitas. Dalam Permensos RI Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan
Sosial, bentuk-bentuk rehabilitasi sosial lanjut yang tertera dalam Bab III Pasal 26 sebagai
berikut: a. motivasi dan diagnosis psikososial; b. perawatan dan pengasuhan; c. pelatihan
vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. layanan akesesibilitas; e. bantuan dan asistensi
sosial; f. bimbingan resosialisasi; g. bimbingan lanjut; dan/atau h. rujukan. Sedangkan
tahapan pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas oleh lembaga antara lain:
(1) pendekatan awal; (2) penerimaan; (3) pengungkapan dan pemahaman masalah;(4)
penyusunan rencana pemecahan masalah; (5) pemecahan masalah; (6) bimbingan sosial,
mental, fisik, vokasional, dan kewirausahaan; (7) resosialisasi;(8) terminasi; dan (9)
bimbingan lanjut. Dari landasan hukum tersebut dijadikan dasar dalam petunjuk pelaksanaan
atau petunjuk teknis pelayanan dalam panti. (10) Dalam rangka mewujudkan kesamaan
kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang disabilitas pemerintah menangani
permasalahan penyandang disabilitas dengan keberadaan lembaga pelayanan rehabilitasi
penyandang disabilitas berupa balai besar atau panti. Hal ini sangat penting untuk
mendukung upaya kesejahteraan sosial dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di
Indonesia.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka rumusan
masalahnya yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan disabilitas dan masalah disabilitas?
2. Apa tujuan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas?
3. Bagaimana perkembangan masalah disabilitas dalam praktik pekerjaan sosial?
4. Apa usaha kesejahteraan sosial dan bagaimana keterlibatan pekerja sosial dalam
menangani permasalahan disabilitas?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa itu yang dimaksud dengan disabilitas dan masalah disabilitas
2. Untuk mengetahui tujuan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas
3. Untuk mengetahui perkembangan masalah disabilitas dalam praktik pekerjaan sosial
4. Untuk mengetahui usaha dan praktik atau keterlibatan pekerja sosial dalam menangani
permasalahan disabilitas
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 DISABILITAS, JENIS DISABILITAS, DAN MASALAH DISABILITAS
2.1.1 PENGERTIAN DISABILITAS
Kelompok minoritas di manapun berada sangat dekat dengan perlakuan
diskriminatif. Tindakan diskriminatif baik berupa perkataan maupun perbuatan. Salah
satu bagian dari kelompok minoritas yang ada adalah kelompok penyandang
disabilitas. Kata “penyandang” menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu, kata disabilitas
merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal kata serapan bahasa Inggris disability
yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Penggunaan kata “disabilitas” sebenarnya
lebih dikenal dengan penyandang “cacat”. Sebagai bagian dari masyarakat umumnya,
penyandang Disabilitas memiliki hak yang sama. Hak tersebut meliputi hak hidup, hak
atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik serta hak
pembangunan.

Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,


intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap Masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan
untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak (Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-hak Penyandang Disabilitas).

Istilah Disabilitas berasal dari bahasa Inggris yaitu different ability yang
artinya manusia mempunyai kemampuan yang berbeda. Terdapat beberapa istilah
penyebutan menunjuk pada penyandang disabilitas, Kementerian Sosial menyebut
dengan istilah penyandang cacat, Kementerian Pendidikan Nasional menyebut dengan
istilah berkebutuhan khusus dan kementerian kesehatan menyebut dengan istilah
penderita cacat.

Berikut ini beberapa pengertian penyandang Disabilitas dari beberapa sumber:

 Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006,


Penyandang Disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu
menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh, atau sebagian kebutuhan
individual normal dan kehidupan sosial sebagai hasil dari kecacatan
mereka baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal
kemampuan fisik atau mentalnya.
 Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Penyandang Cacat / Disabilitas merupakan kelompok
masyarakat tentang yang berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
 Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, Penyandang Cacat / Disabilitas digolongkan sebagai bagian dari
masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara
kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.
 Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat, Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,
yang terdiri dari penyandang cacat fisik dan mental
 Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
lainnya berdasarkan kesamaan hak.

2.1.2 JENIS PENYANDANG DISABILITAS


1. Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
Penyandang Disabilitas dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Cacat Fisik
Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada
fungi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan
kemampuan berbicara. Cacat fisik antara lain: a) cacat kaki, b) cacat
punggung, c) cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat leher, f) cacat netra, g)
cacat rungu, h) cacat wicara, i) cacat raba (rasa), j) cacat pembawaan.
Cacat tubuh atau tuna daksa berasal dari kata tuna yang berarti rugi atau
kurang, sedangkan daksa berarti tubuh, jadi tuna daksa ditujukan bagi
mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna.
Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut:
 Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir disebabkan
oleh penyakit, kecelakaan, dan perang.
 Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai
dan lengan; cacat tulang, sendi, dan otot pada tungkai dan
lengan; cacat tulang punggung celebral palsu; cacat lain
yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi; paraplegia.
b. Cacat Mental
Cacat mental adalah kelainan ment dan atau tingkah laku, baik
cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi
mental, b) gangguan psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan
mental organik dan epilepsi.
c. Cacat Ganda atau Cacat Fisik dan Mental
Cacat ganda atau cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang
yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat
adalah keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang cacatnya.
2. Menurut Reefani (2013:17), Penyandang disabilitas dibagi menjadi beberapa
jenis yaitu:
a. Disabilitas Mental
Disabilitas Mental atau kelainan mental terdiri dari:
1) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di
mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga
memiliki kreativitas dan dan tanggung jawab terhadap tugas.
2) Mental Rendah. Kemampuan mental Rendah atau Kapasitas
Intelektual/IQ (Intelligence Quotient (di bawah rata-rata menjadi 2
kelompok yaitu lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang
memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak
yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan
anak berkebutuhan khusus.
3) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan
prestasi belajar (achievement) yang diperoleh.
b. Disabilitas Fisik
Disabilitas fisik atau kelainan fisik terdiri dari:
1) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tuna Daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan kelainan neuro-muskulat dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio
dan lumpuh.
2) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)
Tuna Netra adalah Individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan
yaitu: buta total (blind) dan low vision.
3) Kelainan Pendengaran (Tuna Rungu)
Tuna Rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki
hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
4) Kelainan Bicara (Tuna Wicara)
Tuna Wicara adalah seseorang yang mengalami kesulitan dan
menggunakan pikiran melalui bahasa verbal sehingga sulit bahkan
tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat
dimengerti oleh orang lain. Kelianan bicara ini dapat bersifat
fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan,
dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan
organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang
berkaitan dengan bicara.
5) Tuna Ganda (Disabilitas Ganda)
Tuna Ganda atau penderita cacat lebih dari kecacatan (cacat fisik
dan mental) merupakan mereka yang menyandang lebih dari satu jenis
keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna netra dengan tuna rungu
sekaligus, penyandang tuna daksa disertai dengan tuna grahita atau
bahkan sekaligus.

2.1.3 MASALAH DISABILITAS


Masalah-masalah yang dihadapi penyandang disabilitas:

1. Implementasi atas Aksesibilitas pada Sektor Bangunan dan Transportasi


terhadap disabilitas
Aksesibilitas untuk mencapai kesetaraan dalam penggunaan bangunan
umum dan kantor pemerintah masih jarang diimplementasikan. Hal ini
tercermin melalui saran transportasi umum yang tidak bersahabat dengan
penyandang disabilitas, tidak adanya trotoar yang mendukung bagi
penyandang disabilitas, tempat parkir kendaraan yang tidak cocok bagi
penyandang disabilitas, elevator yang terlalu sempit, sarana sanitasi yang tidak
mendukung, dan juga jalanan yang licin serta tidak rata yang tidak dapat
dilewati oleh penyandang disabilitas. Hukum berjalan tanpa implementasi
yang layak. Hukum dan kebijakan dibuat dengan sanksi yang tidak pernah
dilaksanakan. Masalahnya juga menjadi semakin rumit jika dikaitkan dengan
jenis penyandang disabilitas dimana kebutuhan setiap penyandang disabilitas
tidak selalu sama.
2. Ketidakmampuan Pemerintah dalam Melaksanakan Kewajibannya terkait Hak
atas Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas
Isu mengenai pelanggaran hak atas pekerjaan terjadi manakala pemerintah
tidak mampu melaksanakan kewajiban sesuai mandat undang-undang. Hukum
HAM internasional menyatakan bahwa, Pertama Indonesia harus
menghormati HAM dengan tidak ikut andil dalam terjadinya pelanggaran
HAM. Dengan menolak penyandang disabilitas untuk menjadi pegawai negeri
karena disabilitasnya, maka pemerintah Indonesia telah melanggar hak asasi
manusia. Selanjutnya, pemerintah harus menghukum pihak yang melanggar
hak penyandang disabilitas sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia.
Hingga saat ini, belum ada sanksi yang jelas yang dikeluarkan oleh
pengadilian ataupun sanksi administrative yang diterapkan oleh Kementrian
Tenaga Kerja sehubungan dengan perusahaan yang tidak memperkenankan
penyandang disabilitas untuk bekerja. Lebih sering pemerintah hanya
mendorong pengusaha untuk memberikan kesempatan kerja bagi penyandang
disabilitas. Pemerintah akan memberikan penghargaan bagi perusahaan yang
memberikan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas, namun perlu
diketahui bahwa tidak ada mekanisme serupa jika ada pengusaha yang tidak
memberikan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas.
3. Diskriminasi Ganda terhadap Penyandang Disabilitas dalam Sektor
Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial
Semangat non-diskriminasi telah muncul di dalam kebijakan sektor
pendidikan. Namun di tahap pelaksanaan, hak untuk diperlakukan secara
setara di sekolah umum tidak dapat berjalan. Pendidikan konvensional melihat
bahwa masalah disabilitas sebagai hambatan siswa untuk memperoleh
pencapaian sebagaimana ‘siswa normal’. Pada kebanyakan kasus, siswa yang
berasal dari sekolah khusus menghadapi perlakuan diskriminatid karena
pencapaian/tingkat pendidikannya direndahkan dan dibedakan. Salah satunya
adalah dengan Ijazah yang mereka miliki tidak dapat digunakan untuk
melamar pekerjaan.
Pada sektor kesejahteraan sosial, Indonesia memiliki Undang-Undang No.
11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-undang tersebut
menyatakan bahwa penyandang disabilitas dikategorikan sebagai anggota
masyarakat bermasalah dan memiliki disfungsi sosial. Istilah disfungsi sosial
bagi penyandang disabilitas menciptakan beberapa masalah termasuk
diskriminasi yang tidak sejalan dengan hukum HAM internasional, konstitusi
Indonesia, dan Undang-Undang HAM. Istilah tersebut menciptakan
diskriminasi ganda bagi penyandang disabilitas karena dengan istilah
‘bermasalah ‘ dan ‘disfungsi sosial’, maka pemerintah menempatkan
penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak dapat berpartisipasi secara
penuh dan berfungsi secara utuh dalam masyarakat.
CRPD merupakan langkah besar dalam merubah persepsi mengenai
disabilitas dan memastikan bahwa masyarakat mengakui bahwa setiap orang
harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjalani hidup dengan
potensi penuhnya yang mungkin.
4. Ketidaksetaraan dalam Sektor Politik
Ada beberapa hal yang menjadi gap antara pemenuhan hak-hak
penyangdang disabilitas dengan hukum dan kebijakan terkait:
1) Perlu diklarifikasi apakah peraturan perundang-undangan yang
menggunakan istilah ‘sesuai dengan derajat kecacatannya’ justru menjadi
diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip persamaan. Penyesuaian
terhadap derajat kecacatan dapat menjadi kendala dalam partisipasi dalam
kehidupan social.
2) Pembuatan Perda dapat meningkatkan anggaran pemenuhan hak-hak
penyandang cacat. Mengenai pembuatan Perda, belum semua daerah
memiliki Perda mengenai penyandang cacat. Oleh karena itu berdasarkan
Perda yang sudah ada, terutama Perda Penyandang Cacat yang pertama
yaitu di Kota Bandung, perlu dilakukan evaluasi sehingga pembentukan
Perda yang baru dapat lebih mengakomodir kepentingan penyandang
disabilitas serta dapat memastikan pelaksanaan perda di masyarakat.
3) Mengenai sektor ketenagakerjaan banyak terkandung dalam PP No. 43
Tahun 1998, termasuk kewajiban pengusaha memperkerjakan 1 orang
penyandang cacat setiap 100 pekerja. Sebagai bentuk affirmative action,
upaya ini dapat menjadi role model bagi sektor lain.
4) Mengenai sektor kesejahteraan sosial, perhatian khusus diberikan dalam
hal perkawinan dimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan dalam hal pasangan
menyandang cacat sehingga tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya
dalam perkawinan. Oleh karena itu UU dan PP ini dapat dikatakan
diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
5) Undang-Undang Kesejahteraan Sosial masih menempatkan penyandang
cacat sebagai anggota masyarakat yang bermasalah dan memiliki disfungsi
social. Tentunya UU ini bertentangan dengan semangat kesetaraan dan
kenyataan bahwa penyandang disabilitas masih dapat berfungsi social
secara aktif, misalnya dengan adanya kuota 1% di sector ketenagakerjaan.
6) Pada sektor pendidikan, sudah terdapat cukup ketentuan yang
menyetarakan penyandang cacat dalam hal pendidikan, namun dalam
peraturan perundang- undangan pendidikan belum diperkuat mengenai
persamaan strata pendidikan/ijazah pendidikan khusus penyandang
disabilitas, sehingga dalam dunia kerja seringkali ijazah penyandang cacat
tidak diterima ketika melamar pekerjaan. Bagian ini terbukti secara nyata
pada administrasi penerimaan pegawai negeri (keharusan sehat fisik dan
jasmani) dan juga anggota legislatif yang sesuai UU Pemilu mensyaratkan
adanya kecakapan menulis, membaca, dan berbicara Bahasa Indonesia.
7) Partisipasi politik belum seimbang antara penyandang cacat pemilih dan
sebagai anggota legislatif yang dipilih. Sebagai pemilih, telah ada
peraturan KPU (walaupun terbatas pada tuna netra), namun dalam
persyaratan anggota legislatif tidak dimungkinkan penyandang disabilitas
menjadi anggota legislatif. Perlu dibahas mengenai affirmative action. Hak
dalam partisipasi politik dipayungi oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia karena tidak terdapatnya dalam Pasal 6 UU No. 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
8) Secara keseluruhan, hukum dan kebijakan terkait penyandang cacat masih
terdapat kontradiksi satu sama lain. Dengan kata lain belum terdapat
harmonisasi kebijakan. Harmonisasi kebijakan dapat diupayakan melalui
pengadaan Perda (yang saat ini belum terdapat di semua daerah) maupun
revisi UU terkait.
2.2 TUJUAN PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia bersifat univers, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan sehingga
perlindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khusunya penyandang
Disabilitas harus diwujudkan. Komitmen pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak Penyandang Disabilitas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
penyandang Disabilitas. Komitmen Pemerintah tersebut diwujudkan dengan
diundangkannya undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pasca pengundangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
perlu disusun peraturan pelaksanaannya dalam bentuk peraturan pemerintah, salah satunya
pasal 96 yang mengamanatkan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial diatur dalam peraturan pemerintah.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas bertujuan untuk


memenuhi kebutuhan dasar penyandang disabilitas, menjamin pelaksanaan fungsi sosial
penyandang disabilitas, meningkatkan kesejahteraan sosial yang bermartabat bagi
penyandang disabilitas, serta mewujudkan masyarakat inklusi Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan kesejahteraan sosial
bagi penyandang disabilitas adalah pelaksanaan ketentuan pasal 96 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

Menurut ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang


Penyandang Disabilitas penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas
dilakukan melalui rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
sosial dengan memperhatikan ragam, kebutuhan, dan derajat kerentanan penyandang
disabilitas. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan kesejahteraan sosial
bagi penyandang disabilitas dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi
penyandang disabilitas.
Kesejahteraan Sosial menurut PP 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan sosial bagi penyandang Disabilitas adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri. Sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/
atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas bertujuan:

1. Memenuhi kebutuhan dasar penyandang disabilitas;


2. Menjamin pelaksanaan fungsi sosial penyandang disabilitas;
3. Meningkatkan kesejahteraan sosial yang bermartabat bagi penyandang
Disabilitas; dan
4. Mewujudkan masyarakat inklusi.

2.3 MASALAHAN DISABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN


KESEJAHTERAAN SOSIAL DI INDONESIA
Pekerja sosial merupakan pekerjaan luhur dimana mereka yang berada di dalamnya
harus senantiasa ikhlas dan sabar. Meskipun pekerjaan sosial secara jelas memiliki peran
penting dalam menangani masalah sosial global, masih terdapat beberapa hambatan yang
menghadang pelaksanaan peran tersebut secara efektif. Salah satu hambatan yang dihadapi
pekerja sosial di Indonesia adalah masalah eksistensi. Pengakuan terhadap eksistensi profesi
pekerja sosial akan didapat ketika para pekerja sosial memberikan manfaat yang nyata
dimasyarakat. Banyak masyarakat berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara pekerja
sosial profesional dengan volunteer.

Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap penyandang disabiltas mental memberikan


keterbatasan bagi ruang lingkup mereka sehingga akan menghambat proses penyembuhan.
Dampak stigma juga dibagi menjadi dua bagian berdasarkan dampak yang dirasakan oleh
penyandang disabilitas mental dan anggota keluarganya, keduanya berdampak terhadap
pengobatan penyandang disabilitas mental itu sendiri, semakin tinggi stigma yang dialami,
maka proses pemulihan penyandang disabilitas mental akan semakin terganggu.
Akibat dari stigma tersebut, ODGJ harus menanggung konsekuensi kesehatan dan
sosiokultural, seperti: penanganan yang tidak maksimal, drop-out penggunaan obat,
pemasungan, dan pemahaman yang berbeda terhadap gangguan jiwa". Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdes) Tahun 2013 tercatat 14,3% penyandang gangguan jiwa berat
pernah dipasung. Presentase terbanyak berada di daerah pedesaan. Menurut riset Kementrian
Kesehatan RI metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional
(menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang
membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang menyertai
salah satu metode pemasungan. Tindakan pemasungan merupakan sesuatu yang salah karena
telah melanggar hak asasi manusia. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan hak asasi
manusia dan berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan keamanan
di masyarakat. Padahal mereka penyandang disabilitas mental sangat membutuhkan
dukungan dari lingkungan sosialnya terutama keluarga. Penyandang disabilitas mental
mempunyai masalah kompleks, seperti masalah kesehatan fisik dan mental, masalah mata
pencaharian, pemberdayaan dan masalah relasi sosial . Mengingat persoalan mengenai
disabilitas juga telah diatur dalam Undang-Undang bahwasanya penyandang disabilitas
menjadi tanggung jawab dan kesejahteraannya dijamin oleh Negara. Hal ini juga tertuang
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Pasal 17 Tentang Penyandang Disabilitas yang
menyebutkan bahwa Hak kesejahteraan sosial untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Pemerintah
melalui Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia telah
mendirikan beberapa panti rehabilitasi sosial berskala nasional. Melalui Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomer 16 Tahun 2016 panti ini diamanahi tugas
menyelenggarakan rehabilitasi sosial kepada penyandang disabilitas mental dengan
memberikan bimbingan fisik, mental, sosial serta pelatihan keterampilan. Hal tersebut
sebagai intervensi yang memperhatikan ketiga aspek manusia, yaitu aspek biologis,
psikologis dan sosial secara langsung. Seperti halnya dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 6, disebutkan bahwa, “Rehabilitasi sosial merupakan salah satu bentuk
intervensi sosial untuk menyelenggarakan kesejahteraan disamping jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.” Seorang Pekerja Sosial Profesional, dalam
melaksanakan Intervensinya terhadap Klien, harus didasarkan kepada 3 Kerangka Pekerjaan
Sosial, yaitu: ilmu pengetahuan, keahlian/keterampilan dan nilai-nilai untuk meningkatkan
keberfungsian sosial penerima manfaat . Intervensi yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah intervensi sosial yang diharapkan dapat mengembalikan keberfungsian sosial
penerima manfaat. Sehingga ketika klien atau penerima manfaat telah keluar dari panti
sosial mereka telah siap berbaur dengan masyarakat dan menjalankan peran sosialnya
sebagai masyarakat. Pasien penyandang disabilitas mental atau biasa disebut sebagai
penerima manfaat diberikan fasilitas tempat tinggal berupa asrama. Selain itu mereka
mendapatkan pelayanan sosial berupa pemenuhan kebutuhan fisik dan kesehatan serta
bimbingan yang meliputi bimbingan fisik, mental, sosial dan pendidikan keterampilan
vokasi sesuai dengan derajat dan jenis kedisabilitasannya. Pendidkan keterampilan vokasi
ini befokus pada skill, value, dan attitude. Kegiatan mereka di panti telah ditentukan, oleh
karena itu mereka wajib mengikuti jadwal kegiatan tersebut mulai dari pagi hingga petang.

2.4 USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL


Sistem usaha kesejahteraan sosial dan keterlibatan pekerja sosial dalam menangani
permasalahan disabilitas meliputi:

1. Sistem Usaha yang dilakukan pekerja sosial yaitu dengan melaksanakan beberapa
tahapan upaya terhadap penyandang disabilitas yang dimulai dari:
a. Pencegahan. Pencegahan adalah suatu tindakan yang ditunjukan untuk mencegah
terjadinya disabilitas (impairment) fisik, intelektual, psikiatrik atau indera
(pencegahan primer) atau mencegah agar disabilitas tersebut tidak mengakibatkan
keterbatasan kemampuan yang permanen atau disability (pencegahan sekunder). 
b. Mengorientasi dan konsultasi, yang biasa dilakukan dengan mengunjungi daerah-
daerah yang memiliki angka penyandang disabilitas yang tinggi. Di mana pekerja
sosial memberikan penyuluhan kepada keluarga peyandang disabiltas.
c. Mengidentifikasi, dilakukan untuk mengetahui kondisi penyandang disabilitas secara
lebih mendalam. Hal ini dilakukan untuk mendorong keluarga untuk lebih peduli
dengan penyadang disabilitas mental sekaligus tidak melakukan diskriminasi terhadap
mereka
d. Rehabilitasi, Rehabilitasi merupakan proses yang ditunjukan untuk memungkinkan
para penyandang Disabilitas mencapai dan mempertahankan tingkat kemampuanfisik,
penginderaan, intelektual, psikiatrik dan atau kemampuan sosial secaraoptimal
sehingga mereka memiliki cara untuk mengubah kehidupannya ketingkat
kemandirian yang lebih tinggi.
e. Menyeleksi dan penerimaan, tahap menyeleksi ini dilaksanakan untuk mengetahui
penerima manfaat tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan pelayanan disabilitas
oleh pekerja sosial serta Penerimaan bagi penyandang disabilitas yang telah lolos
seleksi dan memenuhi syarat akan diantar oleh keluarganya untuk mendapatkan
penanganan dalam permasalahan disabilitas.
2. Keterlibatan pekerja sosial dalam menangani permasalahan disabilitas
Pekerja sosial merupakan sebuah profesi profesional yang dapat membantu atau
menolong klien dalam mengatasi masalah-masalah yang dialami melalui intervensi dan
pendekatan yang dilakukan. Pekerja sosial dapat berperan sebagai konselor dalam
melakukan pendampingan, misalnya pendampingan pada atlet penyandang disabilitas
yang dipersiapkan untuk mengikuti perlombaan. Melalui perannya sebagai profesi
pertolongan, pekerja sosial dapat menangani permasalaha psikologis seperti stress,
depresi, kurang percaya diri dan masalah lainnya.
Untuk memotivasi penyandang disabilitas bukanlah suatu pekerjaan yang mudah
bagi konselor perlu adanya kesabaran dan pemahaman yang baik dalam melakukan
intervensi atau pendampingan karena latar belakang yang berbeda-beda akan membuat
masalah atau hambatan yang berbeda juga, seperti terdapat orang penyandang disabilitas
yang diakibatkan bawaan lahir atau yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang
penyandang disabilitas merupakan seseorang yang sangat kuat dan hebat karena dapat
menerima keadaan pada dirinya dan terus bersyukur kepada Tuhan Yang Esa atas apa
yang telah diberikannya. Konselor dalam memberikan motivasi kepada klien harus
menyampaikan dengan klaimat yang mudah diterima oleh klien, kalimat-kalimat tersebut
harus bersifat sebagai suatu pemicu atau dorongan agar selalu dapat meningkatkan
kualitas tertentu. Selain itu juga konselor harus membuat klien merasa terbuka
pemikirannya dan meyakinkan bahw ia akan berhasil mencapai apa yang sedang ia
usahakan. Dari motivasi-motivasi tersebut akan membuat seorang klien mempunyai
perasaan positif terhadap situasi atau keadaaan yang mengacu pada prestasi.
2.5 CONTOH KASUS
Contoh Kasus 1 Penyandang Disabilitas: Kendala Penyandang Disabilitas untuk
Beraktivitas di Perbankan

Berdasarkan contoh kasus tersebut, dijelaskan permasalahan yang dihadapi


penyandang disabilitas adalah sebagai berikut dikutip berdasarkan hasil wawancara:

Pertama, kurangnya literasi keuangan sehingga tidak sedikit para nasabah


khususnya penyandang disabilitas yang memiliki pemahaman rendah akan produk dan
fitur produk. Hal ini tentu menyebabkan penyandang disabilitas tidak akan mengakses
produk jasa keuangan yang kurang familiar dan hanya akan mengakses sesuai apa yang
dimengerti.

Kedua, beberapa penyandang disabilitas memiliki perekonomian yang sulit


sehingga finansial mereka juga masih di bawah rata-rata. Kondisi ini dinyatakan WHO
dan World Bank sejalan dengan hasil dari banyaknya studi yang mengemukakan bahwa
penyandang disabilitas memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan
bukan penyandang disabilitas.

Permasalahan di atas adalah permasalahan berdasarkan faktor internal. Ada juga


permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas untuk beraktivitas di perbankan
berdasarkan faktor eksternal, di mana aksesbilitas penyandang disabilitas untuk
beraktivitas di perbankan dipandang negatif sehingga membuat posisi penyandang
disabilitas semakin termarginalkan. Faktor eksternal tersebut adalah:

Pertama, persyaratan untuk mendaftar dan membuat rekening baru yang cukup
sulit dan sudah sering kali dikeluhkan.

Kedua, infrastruktur yang kurang fleksibel seperti fitur layer pada mesin ATM
yang tidak seragam dan belum sepenuhnya inklusi. Selain itu, desain ruangan perbankan
masih kurang ramah terhadap penyandang disabilitas.

Ketiga, petugas yang kurang ramah karena pelayanan masih memandang fisik
bukan tujuan yang nasabah mereka inginkan.

Program Pemerintah berdasarkan Kasus di atas


Program Kementerian Sosial dalam peningkatan akses digital pada lembaga
keuangan untuk penyandang disablitias adalah dengan menetapkan program Asistensi
Rehabilitasi Sosial (ATENSI) di mana dalam program tersebut memastikan bahwasannya
penyandang disabilitas mendapatkan akses layanan sosial termasuk di dalamnya
pemberian bantuan, asistensi sosial, dan dukungan aksesibilitas dalam transaksi
keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pada tahun 2021, Direkrorat Jenderal
Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial akan menerapkan Cash Management melalui
Kartu ATENSI dalam bentuk kartu debet combo untuk penyaluran bantuan sosial dan
bantuan pemerintah yang akan diintegrasikan dengan kartu penyandang disabilitas.
Hambatan yang disampaikan oleh Ketua Wahana Inklusi Indonesia, Tolhas Damanik,
yaitu masih banyaknya Bank dan ATM yang secara fisik tidak dapat diakses sehingga
diperlukan adanya edukasi layanan perbankan dan literasi keuangan bagi penyandang
disabilitas.

Contoh Kasus 2: Penyandang Disabilitas Sulit Mencari Pekerjaan

Suci adalah penyandang disabilitas tuna daksa. Suci lahir dengan lengan kiri yang
hanya tumbuh sampai siku tanpa jari. Kepada BBC News Indonesia, Suci menceritakan
pengalamannya sebagai seorang disabilitas yang kesulitan mencari kerja di Indonesia.
Suci menuturkan bahwa ia dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan sosial yang
inklusif dan tidak melihatnya sebagai seseorang yang berbeda. Ia mengikuti pendidikn
hingga sarjana di sekolah yang formal. “Mulai berbeda sejak lulus kuliah dan mencari
kerja. Lulus kuliah tahun 2016 dan baru kerja pada 2019. Hampir tiga tahun (tidak dapat
kerja). Hampir 50 pekerjaan saya daftar dan hasilnya nihil. Mungkin sampai satu, dua,
tiga tahap terus tidak ada kepastian. Sulit sekali,” ungkap Suci.

Suci bercerita perusahaan menolak lamarannya dengan beragam cara. Beberapa


perusahaan memberikan kesempatan dirinya untuk diwawancarai, walaupun setelah itu
tidak ada kabar. “Ada juga perusahaan yang saya datangi langsung menolak secara jelas,
di sini tidak terima teman disabilitas”. Padahal, UU No 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas khususnya Pasal 53 Ayat 1 mensyaratkan pemerintah, pemerintah
daerah, badan usaha milik negara, dan daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2%
penyandang disabilitas dari jumlah pegawai. Lalu, Pasal 2 mewajibkan perusahaan
swasta memperkerjakan sedikitnya 1% penyandang disabilitas. Hingga kini, tidak ada
aturan turunan yang mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan
tersebut. Terlebih lagi belum ada data pasti berapa jumlah instansi dan perusahaan yang
mematuhi peraturan tersebut.

Saat itu, Suci merasa sakit hati dan sedih. Perusahaan langsung menutup pintu
kesempatan bekerja sebelum ia menunjukkan kemampuannya. Tidak mau larut dalam
kesedihan, Suci kemudian berkomunikasi dengan komunitas disabilitas. Tanpa menunggu
lama, dia mendapatkan pekerjaan di perusahaan This Able pada Juli 2019. Perusahaan
sosial itu didirikan oleh penyandang tuna rungu, Angkie Yudistia, yang kini menjabat
sebagai staf khusus Presiden Joko Widodo. Suci adalah satu contoh yang beruntung
dibandingkan penyandang disabilitas lain yang masih kesulitan mendapat pekerjaan.

Program Pemerintah berdasarkan Kasus di atas

Negara menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara termasuk penyandang


disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang
sama sebagai warga negara. Undang undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disablitas mengajak semua pihak untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi
penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi
menuju Indonesia yang inklusi dan ramah disabilitas,

Tidak hanya sebatas membuat aturan hukum, pemerintah juga telah


mengembangkan sejumlah program untuk melindungi kaum disabilitas. Program tersebut
antara lain Program Asistensi Penyandang Disabilitas Berat, Program Keluarga Harapan,
dan Program bantuan alat bantu bagi penyandang disabilitas sebanyak 3.164 orang.

Di dalam Pasal 10 UU Nomor 18 Tahun 2016 juga disebutkan bahwa penyandang


disabilitas berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Hak tersebut meliputi hak
untuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan yang
bermutu di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

Selain berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, UU Nomor 18 TAhun


2016 juga mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan
inklusi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan dan memfasilitasi
pendidikan untuk penyandang disabilitas disetiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan
sesuai kewenangannya.

Sebagai contoh peluang kerja yaitu program magang ANGKASA, PT> Trans
Retai Indonesia yang telah melakukan upaya empowerment bagi penyandang disabilitas.
Mereka dikenalkan dengan dunia kerja, sistem kelola usaha retail, dan hal teknis lainnya.
Hanya saja,dari segi penyediaan aksesbilitas, PT. Trans Retail Indonesia belum
memenuhi akses bangunan yang ramah penyandang disabilitas, seperti K3 khusus
karyawan penyandang disabilitas, akses bangunan, jalan, dan trasnportasi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyandang disabilitas merupakan orang yang keterbatasan fisik, mental,
intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap Masyarakatnya dapat Menemui hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak (Undang-undang Nomor 19
Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-hak Penyandang Disabilitas). Disabilitas juga
memiliki beberapa jenis, mulai dari disabilitas fisik mental atau bahkan kedua nya yang
membuat penyandang Disabilitas tersebut memiliki masalah masalah dalam menjalankan
kehidupan nya, hal ini yangendorong adanya penyelenggaraan kesejahteraan sosial
terhadap disabilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar penyandang disabilitas,menjamin
pelaksanaan fungsi sosial penyandang Disabilitas, meningkatkan kesejahteraan sosial
yang bermartabat bagi penyandang Disabilitas,serta mewujudkan masyarakat inklusi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2019 tentang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi penyandang Disabilitas adalah pelaksanaan
ketentuan pasal 96 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang
disabilitas.Pekerja sosial juga menyediakan metode atau upaya dan juga analisis terhadap
kasus kasus disabilitas yang ada dan menjalankan program program yang disediakan
pemerintah dalam berbagai wujud sehingga bisa membantu orang orang penyandang
disabilitas bertumbuh kembang dan membantu mempermudah penyandang dalam
menjalankan kesehariannya.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, kami ingin memberikan beberapa saran dalam
menangani permasalahan disabilitas yakni sebagai berikut:

1. Dalam menghadapi permasalahan ini, pentingnya peran dari pemerintah untuk


memberikan pergerakan berupa kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan para
penyandang disabilitas dalam memenuhi kebutuhannya melalui penyediaan
aksesibilitas pada sektor bangunan dan transportasi yang ditujukan dan dibentuk
untuk para penyandang disabilitas.
2. Pemerintah juga perlu menjalankan apa yang menjadi kewajibannya dalam
mengimplementasikan hak atas pekerjaan yang dikhususkan agar sesuai dengan
kemampuan para penyandang disabilitas atau dengan memberikan kesempatan berupa
kebebasan bagi para penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki. 
3. Pemerintah perlu menyediakan sarana terkait pemenuhan kebutuhan dari aspek
Pendidikan yang dibentuk secara khusus bagi para penyandang disabilitas agar tenaga
pengajar dapat disesuaikan dengan kondisi para penyandang disabilitas.
4. Dinas kesejahteraan sosial perlu bergerak untuk menindaklanjuti setiap program-
program yang telah dibentuk untuk menangani dan melindungi para penyandang
disabilitas dengan membantu memenuhi kebutuhan dasarnya, melaksanakan fungsi
sosial dan juga meningkatkan kesejahteraan sosial para penyandang disabilitas.
DAFTAR PUSTAKA

Jogloabang. 2019. PP 52 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi


Penyandang Disabilitas. https://www.jogloabang.com/sosial/pp-52-2019-
penyelenggaraan-kesejahteraan-sosial-penyandang-disabilitas (diakses pada 12 Maret
2022).

Pawestri, Aprilina. 2017. Hak Penyandang Disabilitas Dalam Perspektif HAM Internasional
dan HAM Nasional.Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum,2(4),164.
https://journal.untar.ac.id/index.php/hukum/article/view/670/536

Ridwan Maulana Kurnia & Nurliana Cipta Apsari, Desember 2020. Peran Pekerja Sosial Sebagai
Konselor Terhadap Atlet Penyandang Disabilitas Dalam Meningkatkan Motivasi Untuk
Meraih Prestasi, Jurnal Pengabdian Dan Penelitian Kepada Masyarakat (JPPM),

Jurnal Intervensi Pekerja Sosial terhadap Penyandang Disabilitas Mental di Margo Laras Pati
Scribd Pekerja Sosial Dengan Penyandang Disabilitas

https://spa-pabk.kemenpppa.go.id/index.php/perlindungan-khusus/anak-penyandang-disabilitas/
723-penyandang-disabilitas

Anda mungkin juga menyukai