Agama Islam
*4#/
Rp.144.000,-
Agama Islam
*4#/
Rp.144.000,-
H
MUHAMMAD SANG TELADAN
‘Abdurrohman Asy-Syarqawi
604 hlm: 16,5 x 24 cm, HVS NW 70
ISBN : 978-602-6563-70-5
ISBN e Book : 978-602-6563-71-2
Cetakan Ke :I
Penerbit :
Senja Media Utama
Jl. Jl. Kemang 1 No. 3A
RT. 004/10 Kp. Cikumpa
Kel. Sukmajaya, Kec. Sukmajaya
Tlp. 021 29444 697
redaksisenja2016@gmail.com
“Tiadalah Kami mengutus dirimu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 107)
D
an memang benar demikian adanya bahwa
kedatangannya telah menghiasi bumi ini dengan
segenap kasih sayang dan kebaikan, sehingga tiada yang bisa
mengelak dari kenyataan ini, selain orang-orang yang benar-benar
ingkar kepadanya.
Muhammad adalah pelopor dari segala pelopor, yang luar biasa...
dalam hal kebaikan, kasih sayang, pembebasan dari belenggu kekafiran
dan kemunafiqan; dan keberhasilan perjuangannya mengentaskan manu-
sia dari kegelapan kepada cahaya sungguh merupakan rahmat, anugerah,
dan kemuliaan yang tiada hal yang serupa dengannya. Kehadirannya,
bahkan sebelum kemunculannya, telah memancarkan cahaya dan me-
nyebar berkah, yang segenap makhluk di bumi ini mendambakannya.
Sungguh, Muhammad sebenarnya bukan manusia biasa, meski kata-kata
ini yang senantiasa ia ucapkan. Ia adalah pancaran cahaya Ilahi yang
diciptakan untuk kebaikan manusia dan seluruh makhluk di bumi ini.
Karena itu, rasanya tiada berlebihan jika kami mereferensikan
pembaca untuk membaca buku ini, karena dengan bahasa cerita
yang sangat menarik dan rangkaian sejarah yang cukup lengkap,
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 5
‘Abdurrohman Asy-Syarqawi, sang penulis asli dari karyanya berjudul
Muhammad Rasuulul Hurriyyah, mengisahkan perjalanan hidupnya
yang penuh derita dan perjuangan, dengan seluruh akhlaq baik dan
mulianya, baik terhadap kawan, lawan, saudara, keluarga, maupun
semua relasi yang pernah berhubungan dengannya, agar kita dapat
mengenal dirinya lebih jauh dan mendalam. Dan tidaklah keliru jika
kami mempercayakan KH. Baihaqi Syafiuddin sebagai pengalih ba-
hasanya, selanjutnya memunculkan buku ini dengan judul Muhammad
Teladan Penegak Kebenaran, dengan harapan pembaca dan kaum
muslimin yang menelusurinya sejarah kehidupannya dan perjalanannya
hidupnya akan menangkap segala hikmah kehidupan yang mengiring-
inya dan mengambil manfaat serta meneladani kebaikan dan kemuliaan
yang melekat pada dirinya.
Tiada hal yang senantiasa kami harapkan, selain harapan agar Al-
lah senantiasa melimpahkan shalawat dan salamnya kepada beliau,
anutan dan kecintaan kita; keluarganya; dan segenap shahabatnya
yang menyertai perjuangan dan perjalanan dakwahnya. Demikian juga
semoga kerja sama jarak jauh dan dalam rentang waktu yang cukup
lama dari semua pihak, baik penulisnya, penerjemahnya, maupun
pihak yang mendukung terwujudnya buku ini, menghasilkan kebaikan
dan pahala yang melimpah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Semoga
Allah menjadikannya investasi akhirat sebagai saksi kebaikan yang
akan dihadapkan ke haribaan-Nya. Amiin.
6 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Daftar Isi
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 7
Kemakmuran membawa krisis internal............................. 243
Idealisme vs Interes Konfrontatif................................... 267
Banjir darah di Lembah Badar....................................... 287
Antara mata pedang dan kelicikan................................. 307
Darah membanjiri lembah Uhud, sebuah pelajaran............. 327
Membalut luka Membangun asa..................................... 345
Darah lembah Uhud harus ditebus.................................. 363
Gosip perselingkuhan ‘Aisyah menggoyang reputasi Muhammad 383
Perang Khandaq danpengkhianatan Bani Quraizhah............. 409
Kesuksesan yang membangkitkan konfidensi...................... 427
Rindu kampung halaman.............................................. 445
Badai menerpa keluarga Muhammad............................... 467
Kesepakatan yang membentangkan jalan.......................... 487
Makkah berada dalam genggamannya.............................. 507
Metamorfosis Makkah................................................. 533
Bendera kemenangan berkibar jauh................................ 555
Rembulan kembali ke peraduannya................................. 575
8 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Persembahan
B
Buku ini kupersembahkan buat Ayahku....
yang telah menanamkan dalam sanubariku
–sedari aku kecil– rasa cinta kepada Muhammad n.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 9
10 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Aku manusia biasa sepertimu
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 11
12 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
PENDAHULUAN
S
ebenarnya penulis sama sekali tidaklah akan
menyajikan tulisan yang baru dalam hal sejarah,
sebab khazanah kepustakaan sejarah sudah banyak sekali, baik
yang diformat dalam bentuk klasik maupun yang modern. Oleh karenanya,
dalam buku ini, penulis memang tidak berpretensi bahwa buku sejarah
ini akan menambah realiatas yang baru dalam karya tulisan sejarah.
Hanya saja, inisiatif penulis dalam buku sejarah ini ingin mengekspos
kisah sosok manusia yang memiliki ciri khas kelapangan hati untuk
menampung cerita yang menyelimuti kehidupan manusia, prob-
lematika kehidupan yang membebani, dan ekspektasi yang menjadi
idealisme hidup mereka. Sebab dialah pembawa ajaran-ajaran yang
mampu melahirkan mercusuar peradaban -laksana bunga yang tumbuh
berkembang dengan subur- sehingga menjadi khazanah peradaban
dunia yang tiada habis-habisnya sepanjang abad. Bahkan tidak hanya
itu, ajaran-ajarannya juga mampu memberikan tuntunan untuk senan-
tiasa dijadikan rujukan menuju progresivitas dan membuka wawasan
tentang dinamika kehidupan dan manusia.
Jasa peradaban Islam dalam mengantarkan umat manusia ke gerbang
pintu progresivitas, tak perlu diingkari oleh siapa pun. Kontribusi Ibnu
Sina dengan filsafatnya telah tersebar luas di Asia tengah. Filsafat
Islam dengan kecemerlangannya mampu mendobrak benteng Eropa
Selatan dan Barat yang diselimuti kegelapan dan kepekatan di bawah
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 13
cengkeraman kebuasan srigala, kelicikan-kelicikan tukang sihir, dan
metamorfose kubah-kubah keemasan. Begitu pula Ibnu Rusyd dan
Ibnu Khaldun dengan pemikirannya yang brilian dapat merebut posisi
di berbagai negara, seperti di pantai Mediterania. Masa keemasan
peradaban Kairo, Bukhara, Baghdad, Tunisia, Kordova, Tasyken, Dam-
askus, dan Asbilia menjadi bukti konkrit mercusuar yang menjulang
tinggi menyinari kegelapan dengan pancaran terang-benderangnya
sinar yang memancar dari ajaran Muhammad.
Bagi seseorang yang berinisiatif akan meneliti sejarah kehidupan si
pemilik ajaran-ajaran yang mampu menciptakan peradaban dunia
ini, sudah tentu akan sanggup menangkap pesan buku ini dengan
benar tanpa harus membaca muqaddimahnya terlebih dahulu, sebab
tulisan dalam muqaddimah buku ini tidak disajikan kepada mereka
tersebut; yaitu tokoh-tokoh yang ingin menatap potret Muhammad
sebagai sosok manusia biasa, bukan dari sisi anti riba, anti tuak, dan
menonjolkan kenabiannya. Kepada mereka, penulis mempersilakan
langsung membaca isi buku ini. Semoga saja Anda sekalian semua
menemukan kisah seorang manusia yang memiliki kepribadian yang
mengagumkan, seorang pahlawan yang tak pernah bergeming melawan
tindakan-tindakan tiranik, kebrutalan, dan kebengisan dalam berbagai
kondisi demi terealisasinya cinta-kasih antar sesama manusia, keadi-
lan, kebebasan, dan masa depan yang sentosa dan sejahtera tanpa
perlakuan yang diskriminatif, baik terhadap orang-orang yang beri-
man kepada profetik kenabiannya maupun orang-orang yang berani
mengingkarinya. Semua mendapatkan pengayomannya dan diposisikan
secara setara.
Dialah (Muhammad) sosok manusia yang harus diwarisi kepribadian-
nya, tidak hanya dispesialisasikan kepada manusia yang beriman saja,
tetapi juga buat kalangan manusia yang secara tegas memproklamirkan
penolakan terhadap misi profetik kenabiannya.
Jika secara kebetulan pembaca termasuk kategori mereka yang penulis
sebutkan di atas, maka buku ini sangat tepat disajikan untuk Anda, se-
bab, -sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas-, pendahuluan
dalam buku ini bukan untuk pembaca. Oleh karenanya, silakan saja lalui
14 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
pendahuluan ini dan langsung saja pembaca menikmati isinya.
Penulis tidak menyajikan pendahuluan ini untuk orang-orang yang
berasumsi bahwa sebagian kupasan dalam buku ini terdapat bentuk
reduksionis dari agama, termasuk orang-orang yang menuduh bahwa
buku ini cenderung mereduksi ajaran tasawuf yang negatif, dan tidak
pula muqaddimah ini ditujukan kepada orang-orang yang menuding
begini atau begitu menurut situasi dan kondisi. Demikian pula bukan
untuk disajikan kepada orang-orang yang membolak-balikkan buku
ini sembari menuding dengan tuduhan-tuduhan yang bersifat apriori:
Di manakah Rasulullah n di halaman-halaman buku ini? Di manakah
gerangan Muhammad sebagai sosok Nabi?
Jika tudingan-tudingan itu benar-benar berangkat dari sikap fanatisme
dan konsistensi terhadap agamanya, maka sikap tersebut sama sekali
tidak akan diremehkan oleh penulis. Hanya saja penulis ingin meny-
odorkan sebuah Hadits syarif (mulia) kepada mereka:
“Barangsiapa menuduh kafir kepada sesama muslim, maka salah satu dari
keduanya pasti menyandang tuduhan itu.”
Penulis hanya ingin membuka kembali memori mereka tentang per-
damaian Hudaibiyah agar kita dapat mencontohnya. Barangkali kasus
itu dapat kita ambil sebagai bentuk dari pelajaran.
Tulisan dalam pendahuluan ini hanya diperuntukkan bagi mereka
yang menyambut buku ini secara objektif dan mengkajinya dengan sikap
kritik konstruktif, sebagaimana yang telah dilakukan oleh penulis ketika
mengekspos secara berepisode pada sebuah koran sore tahun lalu. Muqad-
dimah ini bagi orang-orang yang tidak hanya membaca secara parsialistik
terhadap pasal-pasalnya saja, tetapi mereka menunggu dengan harapan
dapat menemukan tulisan dari buku ini yang berkenaan dengan sejarah
kenabian secara totalitas.
Penulis ingin mengemukakan sebuah opini bahwa sejarah tidaklah
membutuhkan buku baru yang membahas era Nabi ketika beliau mem-
bela kebenaran risalahnya ataupun mengokohkan kehebatan mukjizat
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 15
Nabi. Kita tidaklah membutuhkan buku-buku baru di bidang agama
yang hanya dapat dibaca orang-orang Islam saja, tetapi kita sangat
memerlukan beratus-ratus buku yang mampu mengungkapkan revolusi
dunia yang telah diperankan Islam, yang dapat diperoleh kalangan
Islam maupun non-Islam, hingga menjadi jelas tentang peradaban dan
sifat kemanusiaan dalam kehidupan Muhammad, si pembawa ajaran
Islam. Kita membutuhkan beratus-ratus literatur yang dapat dibaca
oleh seluruh umat manusia, baik mereka yang beriman kepada kena-
bian Muhammad maupun yang jelas-jelas menolaknya.
Saat ini sebenarnya kita dituntut untuk menegakkan kembali
peradaban, menghidupkan nilai-nilai humanis, dan menyebarkan ke
seluruh penjuru dunia serta mendeskripsikan tentang persamaan dan
perbedaan ajaran para rasul dari aspek duniawi yang menjadi warisan
budaya seluruh umat manusia, meskipun mereka berbeda agama,
filsafat, dan cara berpikirnya.
Penulis tahu bahwa ada sebagian orang yang tidak mengakui
gerakan yang telah diperankan Islam dan Muhammad. Ada pula yang
menuduh Islam sebagai gerakan reaksioner. Di antara mereka ada yang
melontarkan tuduhan bahwa Muhammad adalah seorang aristokrat
Makkah yang ingin mendominasi Hijaz. Muhammd dituding pula sebagai
orang yang akan mengatur perbudakan. Menurut tuduhan mereka,
bahwa perbaikan-perbaikan orang fakir miskin sebenarnya hanyalah
tipudaya belaka untuk mengelabuhi masyarakat agar mereka tidak
mengadakan pemberontakan. Ada juga yang lain lagi menuduh bahwa
Muhammad datang untuk melakukan agresi pada bangsa Yahudi.
Tuduhan-tuduhan tersebut mereka publikasikan melalui buku-buku
yang didistribusikan ke seluruh dunia dengan berbagai bahasa, bahkan
beribu-ribu argumentasi yang menunjukkan non-objektivitas pendapat-
pendapat mereka, juga fakta historis yang memastikan bahwa Islam
adalah gerakan reformatif dan pembebasan yang masih belum lenyap
jejaknya dalam sejarah kemanusiaan pada masa yang lalu dan masa
mendatang.
Meskipun kita tahu betapa gencarnya tuduhan-tuduhan yang dilon-
tarkan oleh orang-orang yang anti Islam, tetapi justru kebanyakan para
16 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
penulis tidak menarik untuk mengkajinya. Sebagian besar buku-buku
sejarah hanya berkutat pada sekitar kenabian, mukjizat, dan rasul
semata, bukan mengkaji dan menganalisis karakteristik Muhammad
sebagai sosok manusia pembebas. Semestinya, ketika kita berdialog
dengan orang-orang yang tidak mukmin, kita berdialog menurut logika
mereka, bukan dengan keislaman dan sistem teologi kita.
Mereka membahas tentang seorang manusia dan ajaran yang
dibawanya. Karena itu, kita tidak perlu berbicara yang lain-lain. Tidak
ada artinya kita menghadapi mereka dengan “Nabi”, ketika mereka
berbicara tentang “seorang manusia”. Sudah tentu akan lebih relevan
jika kita menghadapi mereka dengan “seorang manusia” juga. “Seorang
manusia” yang dalam hidupnya tersimpan kekayaan berupa cinta kasih,
kebijaksanaan, kesederhanaan, kedermawanan, dan kemampuan yang
luar biasa dalam manajerial, leadership, maupun dalam tindakan-
tindakan inovatif dan reformasinya.
Mengapa kita tidak berani berbicara tentang status Muhammad
sebagai seorang manusia biasa, bukan rasul, karena banyak di tengah-
tengah masyarakat kita yang tidak merasa puas kalau dalam kehidu-
pannya tidak memasang perangkat? Harus takutkah kita kepada orang-
orang yang merasa tersakiti hatinya, jika ada orang yang berupaya
membuka pintu-pintu pengetahuan yang baru? Begitu khawatirkah kita
untuk dituding kafir dan murtad serta tidak mengakui status kenabian?
Siapakah sesungguhnya yang berhak memeriksa hati seseorang untuk
menjajaki keyakinan dan sistem imannya? Haramkah jika aku menulis
untuk orang-orang nonmuslim tentang kehidupan Muhammad sang nabi,
keberaniannya, ketakutannya, kepahlawanannya, dan keimanannya?
Mengekspos dan mendistribusikan buku-buku yang membahas
tentang peradaban kita di tengah-tengah masyarakat yang begitu het-
erogen ideologi dan agamanya, tidaklah semata-mata tugas seorang
budayawan belaka, tapi juga merupakan keharusan umat Islam dan
tanggung jawab setiap orang menurut disiplin ilmu dan profesinya. Di
sini penulis telah berupaya untuk memikul tanggung jawab ini sesuai
dengan bidang keahlian penulis.
Penulis suguhkan buku ini dengan memilih format berbentuk roman
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 17
yang bernuansa cerita, bukan dalam format kajian. Usaha ini penulis
suguhkan pertama-pertama kepada orang-orang yang mengingkari kena-
bian Muhammad, dengan harapan pembaca buku ini akan menerima apa
pun keyakinannya, dengan semangat sebagaimana semangat penulis
dalam menulis buku ini. Semoga para pembaca yang budiman diberi
kemudahan untuk memahami buku ini oleh Allah l.
15 Ramadhan 1381 H.
20 Pebruari 1962 M.
‘Abdurrahman Asy-Syarqawi
18 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Kabut
di atas langit Makkah
L
laki itu merasa hidup untuk kedua kalinya setelah
melalui perjalanan panjang yang sangat mencekam.
Dirinya seolah-olah baru terlahir kembali dengan semangat
jiwa mudanya, cintanya, obsesinya, sosok postur tubuhnya yang tinggi
semampai, kelembutan suaranya, dan idealismenya yang hampir pupus.
Ia pun tidak memiliki daya kekuatan apa-apa untuk mengha-
dapi peristiwa yang terjadi, seperti halnya kebanyakan orang-orang
(masyarakat) Makkah waktu itu, sebab garis kehidupan orang-orang
Makkah, baik laki-laki maupun perempuan, ketika itu sangat ditentukan
oleh “peristiwa kebetulan”. Sang penentu di balik peristiwa-peristiwa
kebetulan itu adalah sebuah patung tuli yang bernama Manat, tuhan
tanpa hati. Dialah sang penguasa hukum yang di sampingnya berdiri
pula dengan penuh angkuh sebuah patung bernama Hubal, tuhan
semua tuhan; tuhan peristiwa kebetulan, tuhan yang menggenggam
erat garis-garis nasib umat manusia, dan tuhan tempat mereka meng-
gantungkan segala harapan, sedang tuhan di antara tuhan-tuhan itu
adalah Manat, Lata, dan ‘Uzza.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 19
Daya apakah yang dapat dia lakukan sebagai seorang pemuda sep-
erti dirinya untuk memberontak kepada tuhan-tuhan itu? Dia adalah so-
sok pemuda yang bernama ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib. Mampukah
pemuda seperti dirinya memberontak terhadap hegemoni kekuasaan
penjaga Ka‘bah yang sejak dahulu kala bukan hanya sebagai tempat
bergantung dan memohon masyarakat Makkah saja, tetapi hegemoni
itu juga terjadi pada ayahnya sendiri, yaitu ‘Abdul Muththalib yang
sangat disegani masyarakat dan telah melahirkan dirinya ke muka
bumi? Kuasakah ia menentang titah pemangku kekuasaan yang sangat
dipatuhi oleh seluruh suku Quraisy, yang merupakan ayahnya sendiri?
Kendati demikian hegemoni kekuasaan itu mencengkeram dirinya,
tetapi ‘Abdulllah harus membuka kelopak matanya bahwa adanya
peristiwa kebetulan itu pula justru telah memberikan konstribusi yang
dapat menyelamatkan hidupnya. Andaikata tidak, maka sudah tentu
darahnya telah mengalir di bawah kaki patung-patung yang menyeram-
kan dan paling berkuasa merenggut nyawa seseorang dari permukaan
bumi ini, termasuk jaminan keselamatan hidup seorang pemuda yang
seusia dengannya.
Setelah dikaruniai hidup untuk kedua kalinya, ia menuruti inisiatif
sang ayah, ‘Abdul Muththalib, yang akan membawanya ke suatu negeri
yang jauh, sebab ia merasa bahwa seluruh hidupnya kini betul-betul
bergantung pada kekuasaan sang ayah tercinta. ‘Abdullah bin ‘Abdul
Muththalib merasa bahwa garis kehidupannya tidak jauh berbeda den-
gan perjalanan hidup Yusuf di Palestina ketika ia mendengar cerita dari
orang-orang asing yang ia temui di sela-sela perjalanan bersama para
kafilah. Ia merasa seakan-akan menjadi Yusuf kedua yang terlempar
dari pangkuan kasih sayang sang ayah yang sabar dan merana untuk
menikmati hangatnya hubungan kebapakan setelah berkelana dan
terdampar di negeri asing.
‘Abdullah adalah putra bungsu ‘Abdul Muththalib yang teramat
disayangi. Konon, sebelum dikaruniai putra, perjalanan hidup ‘Abdul
Muththalib penuh dengan cobaan. Dalam keadaan seperti itu, tak
seorang pun yang sudi mengulurkan tangan dan berbagi belas kasih
untuk meringankan sedikit beban hidup yang ditanggungnya, sehingga
20 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
pada suatu ketika, ‘Abdul Muththalib berinisiatif akan menggali sumur
zamzam. Namun ketika inisiatif baik itu belum terrealisir, orang-orang
Quraisy justru menertawakannya. Mereka menganggap maksud ‘Abdul
Muththalib sebagai inisiatif yang tak waras. Meski caci-maki dan cibiran
datang bertubi-tubi, kebulatan tekad ‘Abdul Muththalib sedikit pun tak
tergoyahkan. Ia terus mengerahkan tenaga hingga akhirnya harapan
itu membuahkan hasil yang optimal, yaitu sumur zamzam itu kembali
memancarkan air, sebagaimana kondisi pancaran air sedia kala pada
masa Nabi Isma‘il.
Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang telah dica-
pai, ‘Abdul Muththalib membasahi wajahnya dengan air zamzam itu
setelah air tersebut memancar kembali dari sumur zamzam. Selanjut-
nya, ia palingkan wajahnya kepada tuhan Ka‘bah seraya bernadzar:
“Jika tuhan menganugerahkan kepadaku sepuluh orang anak hingga
mereka dewasa, maka aku akan menyembelih salah seorang di an-
tara mereka di sisi Ka‘bah sebagai ungkapan rasa syukur dan bentuk
pengorbananku.”
Harapan ‘Abdul Muththalib pun betul-betul menjadi kenyataan
indah yang menggairahkan. Saat itu ia dikaruniai sepuluh putra setelah
lahirnya ‘Abdullah sebagai putra bungsunya, hingga pada akhirnya usia
ke sepuluh putranya menjadi anak dewasa semua.
Tidak berapa lama kebahagiaan itu tercipta dan dinikmati bersama,
‘Abdul Muththalib kembali dirundung duka ketika ia mengingat tentang
nadzar yang pernah ia ucapkan dan punya dugaan kuat bahwa putra-
putranya akan membantah keputusan nadzar yang pernah ia ikrarkan
di hadapan tuhan-tuhan Ka‘bah tempo dahulu. Namun apa boleh buat,
ia tetap konsisten pada ikrar yang pernah ia ucapkan. Akhirnya, beliau
kumpulkan semua putranya.
Setelah mereka berkumpul, ia sampaikan maksud mengumpulkan
mereka dan memberitahukan kepada mereka tentang nadzar itu.
Selanjutnya, ‘Abdul Muththalib membawa mereka ke Ka‘bah dan
menghadapkannya kepada “Hubal”, sebuah patung terbesar di antara
tuhan-tuhan yang terdapat di sekeliling Ka‘bah.
Upaya realisasi sebagai tindak lanjut dari nadzar akan segera
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 21
dimulai. Selanjutnya, ‘Abdul Muththalib mengambil anak panah untuk
mengundi di antara putra-putranya, siapakah di antara salah seorang
mereka yang akan dijadikan qurban, sebagaimana telah dinadzarkan.
Ketika ‘Abdul Muththalib melepaskan anak panah dari busurnya
yang terus meluncur secara kilat, ternyata anak panah tersebut jatuh
pada putra bungsunya yang sangat dicintainya, ‘Abdullah. Kontan
saja jatuhnya panah tersebut membuat perasaan ‘Abdul Muththalib
menjadi galau dan merasa terkejut, sebab dengan begitu, ia harus
berpisah dengan putra tersayangnya. Meskipun demikian, ia tak dapat
mengelak dari kenyataan. Dengan hati berdebar-debar, ia melangkah
secara perlahan-lahan mendekati putra tersayangnya yang sebentar
lagi akan disembelihnya di bawah kedua belah kaki “Hubal”.
Melihat sang ayah, ‘Abdul Muththalib, menghunus sebilah pedang
sambil memegangi anak bungsunya, saudara-saudaranya yang ikut
menyaksikan akan terjadinya tragedi berdarah itu, secara serentak
berdiri dan berusaha keras mencegah terjadinya pertumpahan darah
pada saudara bungsunya. Akan tetapi, ‘Abdul Muththalib membentak
dan menghalau mereka seraya memperingatkan agar mereka tidak
menentang keputusan tuhan.
Aksi protes keras akan terjadinya tragedi berdarah itu tidak
hanya datang dari anak-anak ‘Abdul Muththalib, tetapi beberapa te-
man karibnya yang sedang duduk di pelataran Ka‘bah juga berusaha
ikut intervensi untuk mencegah penyembelihan ‘Abdullah. Mereka
menyarankan agar ia menangguhkan pemenggalan kepala putranya,
dengan suatu harapan akan menemukan solusi untuk menyelamatkan
nyawa ‘Abdullah, hingga pada akhirnya “Hubal” merespon positif dan
menyetujui penangguhan yang digagas oleh teman-temannya.
Tetapi sayang sekali, gagasan dan saran yang diajukan oleh teman-
temannya tetap tidak bisa mengubah konsistensi keputusan ‘Abdul
Muththalib. Ia masih tetap bersikeras atas pendiriannya. Maka pada
saat itulah muncul protes-protes keras di antara mereka: “Kalau eng-
kau tetap teguh dengan sikap egoismu untuk melaksanakan tindakan
gila ini, sudah tentu tradisi penyembelihan qurban anak manusia akan
22 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
terus berlangsung pasca penyembelihanmu. Lalu bagaimana jadinya
masyarakat ini selanjutnya?”
Mendengar protes keras itu, pintu hati para orang tua yang kebetu-
lan pada waktu itu sedang mengerubungi ‘Abdul Muththalib menjadi
miris dan bergetar dan ikut memberikan saran agar ia menggagalkan
niat penyembelihan putranya dengan memohon kerelaan “Hubal”.
Lobi-lobi untuk menggagalkan insiden berdarah terus digalakkan. Di
antara lobi itu ialah mereka mengajukan tawaran (bargaining) kepada
‘Abdul Muththalib supaya menebus nadzarnya dengan harta benda
saja. Namun tawaran itu ia tolak dengan mentah-mentah seraya me-
nyatakan: “Tidak! Anak itu harus disembelih di bawah dua belah kaki
“Hubal”, sebab prosesi undian telah jatuh padanya.”
Hati ‘Abdullah yang dulunya tegar menerima keputusan ayahnya,
ternyata kini dinding hatinya mulai bergetar ketika mendengar pekikan
protes terus mengalir deras dari berbagai penjuru. Hati nuraninya
sungguh-sungguh sangat tidak menerima keputusan ini. Rasanya ingin
sekali ia memberontak kepada ayahnya, bahkan kepada “Hubal” seka-
lipun. Tapi, apa hendak dikata, ia merasa tidak punya bekal keberanian
untuk berbicara dan hanya bisa membungkam seribu bahasa.
Ketika lobi-lobi dirasa sudah menemukan jalan buntu, akhirnya
terjadilah perdebatan sengit antara ‘Abdul Muththalib dan teman-
temannya. Untung saja, seorang laki-laki di antara mereka ada yang
mengajukan suatu pendapat bahwa sebelum penyembelihan ‘Abdullah
dilangsungkan, sebaiknya mereka mendatangi seorang paranormal di
Yatsrib. Barangkali paranormal itu dapat memberikan keputusan dan
solusi yang menggembirakan hati mereka. Saran ini pun mendapat
respon positif dari semua orang yang berkerumun di situ.
Keesokan harinya mereka berduyun-duyun berangkat ke Yatsrib
pagi-pagi sekali menuju rumah sang paranormal. Setibanya di tempat
itu, sang paranormal mengajukan pertanyaan tentang tebusan yang
akan dijadikan ganti penyembelihan ‘Abdullah. “Sepuluh ekor unta,”
jawab mereka.
Paranormal itu berkata: “Pulanglah kalian ke negerimu. Dekat-
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 23
kanlah teman kalian ini bersama sepuluh ekor unta di sisi “Hubal”.
Kemudian undilah. Jika undian yang keluar adalah tepat pada te-
manmu, maka kalian hendaknya menambah unta itu sampai tuhanmu
merelakannya. Namun jika undian jatuh kepada unta-unta itu, maka
sembelihlah, sebab tuhanmu telah menerima qurbanmu dan itu berarti
bahwa temanmu ini selamat,” pungkasnya.
Mereka akhirnya bersama-sama pulang ke Makkah dengan mem-
bawa keputusan yang sangat menggembirakan dengan perasaan riang
gembira. Solusi paranormal itulah yang sangat didamba-dambakan.
Sepulang dari Yatsrib bersama teman-teman, ‘Abdul Muththalib
kembali lagi menghadap “Hubal”. Ia berdiri di sisi “Hubal” dengan
membawa putra bungsunya, ‘Abdullah, bersama sepuluh ekor unta.
Ketika anak panah dilepaskan dari busurnya dan undian pertama jatuh
pada ‘Abdullah, maka mereka pun menambah sepuluh ekor unta sesuai
dengan saran yang diberikan oleh paranormal, sementara itu ‘Abdul
Muththalib terus berdo‘a. Selanjutnya, pada babak kedua, anak panah
diluncurkan lagi dan ternyata undian masih juga jatuh kepada putra
tercintanya, ‘Abdullah. Kembali mereka menambah jumlah qurban
sebanyak sepuluh ekor lagi, sementara itu ‘Abdul Muththalib masih
tetap dalam kondisi memanjatkan do‘a. Undian demi undian terus
berlangsung dan tetap saja nasib serupa jatuh pada putra ‘Abdul
Muththalib hingga akhirnya unta-unta itu mencapai jumlah seratus
ekor qurban. Namun tepat pada undian yang kesepuluh, barulah undian
meleset dari ‘Abdullah dan jatuh pada unta.
Gemuruh pekik kegembiraan mengelilingi Ka‘bah sebagai
ungkapan kebahagiaan lantaran diselamatkannya ‘Abdullah dari
tragedi berdarah. Sementara itu, ‘Abdullah sendiri tetap berdiri
tercengang. Dua bola matanya terbelalak sayu menatap ayahnya,
saudara-saudaranya, orang-orang yang mengerumuninya, patung-
patung, dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia seakan tidak
percaya seolah-olah tetap menyaksikan indahnya kehidupan seperti
semula, setelah melalui perjalanan panjang penuh aral dan rintangan
yang sangat mencekam dan menyeramkan.
24 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
‘Abdul Muththalib kemudian berteriak dengan lantang: “Sembeli-
hlah seratus ekor unta ini semuanya dan biarkan orang lain menikmati
dagingnya, sebab tidak akan ada seorang pun, baik manusia maupun
binatang, yang dapat menghalangi untuk memakannya.”
Setelah berteriak lantang, ia akhirnya menggaet tangan putranya,
‘Abdullah, pulang dengan menyusuri jalan-jalan di kota Makkah yang
terbentang luas di hadapannya. Di sana-sini berjajar rumah-rumah
penduduk yang menutup rapat pintunya dalam kesenangan, kenik-
matan yang melimpah-ruah, harta benda, dan segala sesuatu yang
dapat mengobarkan emosi pemuda seusia ‘Abdullah.
Dalam perjalanan panjang menuju rumahnya, di lubuk hati ‘Abdul-
lah yang terdalam tebersit pertanyaan: “Wahai ‘Abdullah, sampai
kapankah seorang anak manusia digiring untuk disembelih hanya
karena anak-anak panah tuli yang dilepaskan dari busurnya, lalu jatuh
padanya? Apakah hanya karena orang tua yang ingin bersyukur kepada
tuhan yang selalu haus darah, kita harus menggugurkan kepala anak-
anak kita?
Meski pertanyaan-pertanyaan yang bernada protes dan berontak itu
kadang bermunculan dari hati sanubarinya, tapi ‘Abdullah tak ubahnya
seperti pemuda-pemuda lainnya. Ia tak kuasa mengangkat kepala di
hadapan ayahnya, karena seorang ayah berkuasa penuh atas diri anak-
anaknya, termasuk juga jaminan hidup dan matinya, sedangkan hidup
sang ayah berada dalam genggaman kekuasaan “Hubal”.
Sebenarnya, bisa saja paranormal Yatsrib itu memerintahkan un-
tuk menyembelih ‘Abdullah, sebab hanyalah dia orang yang dianggap
memiliki kapabilitas untuk menafsirkan kehendak tuhan. Oleh kare-
nanya, selama paranormal itu masih dianggap sebagai satu-satunya
orang yang mampu memahami kehendak patung-patung ini, maka tak
seorang pun yang dapat menentang keputusannya, meski pembesar
Quraisy sekalipun yang akan menebus ‘Abdullah. Hegemoni keyakinan
seperti ini benar-benar telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat
Arab waktu itu. Tak seorang pun mampu melepaskannya.
‘Abdullah masih belum merasa lelah juga berjalan di lorong-lorong
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 25
Makkah. Pikirannya dipenuhi obsesi tentang kebebasan. Ia tak habis
pikir merenungkan segala peristiwa yang hampir saja akan menghabisi
masa mudanya. Namun secara tiba-tiba, pandangan ‘Abdullah berubah
dan terfokus pada seorang gadis yang teramat cantik paras mukanya;
ramping postur tubuhnya dengan mengenakan pakaian penuh dengan
aksesoris yang mahal harganya. Paras muka gadis itu memancarkan
cahaya yang berbinar-binar, ibarat sang ratu malam di atas singgas-
ananya.
Bak gayung bersambut, dalam benak gadis cantik muda belia itu
juga terlintas sosok remaja yang kini sedang menatap dirinya. Remaja
itu adalah seorang anak manusia yang menemukan hidupnya kembali.
Gadis itu ingin sekali menatap bola matanya yang memancarkan pan-
dangan yang penuh kerinduan akan sebuah masa depan dan sorot mata
tajam yang teramat menawan.
Belum lama tatapan itu terjadi, terlihatlah oleh ‘Abdullah lekuk
bahu dan lehernya yang menggiurkan pada saat desir angin padang
pasir yang nakal menyingkap sebagian baju gadis itu. Ia melangkah,
mendekati ‘Abdullah sambil melayangkan tatapan matanya yang begitu
tajam. Tatapan seorang gadis yang memancar dari gemuruh gairah
remaja itu menggulung habis wajah ‘Abdullah, bahkan tatapan itu
menembus ke dalam lubuk hatinya yang terdalam. Tatapan gadis itu
terus menelusuri wajah dan kedua bola matanya, ia juga berusaha
untuk menyingkap cinta yang terpendam di balik wajah dan kedua
mata ‘Abdullah yang sangat menawan rupanya.
Dari bibirnya yang tipis dan kemerah-merahan, terlempar sebuah
senyuman manis yang mampu menggetarkan hati ‘Abdullah seraya
menyapa mesra: “Wahai ‘Abdullah, hendak ke manakah engkau?”
“Aku pergi bersama ayahku,” sahut ‘Abdullah yang ketika itu
ingatannya masih belum dapat melupakan peristiwa mencekam yang
baru saja terjadi di dekat Ka‘bah.
“Engkau tak ubahnya seperti seekor unta yang akan disembelih.
Jika engkau menikahi diriku sekarang juga, maka dengan senang hati
aku akan menerima lamaranmu,” ujar gadis cantik itu melanjutkan
26 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
pembicaraan tanpa mempedulikan ‘Abdul Muththalib yang berada di
samping putranya.
Pernyataan sikap gadis itu membuat ‘Abdullah tertegun. Pikiran-
nya masih kacau diliputi oleh peristiwa yang hampir saja merenggut
nyawanya dari indahnya dunia. Namun ia tidak menghiraukan dan
mencoba untuk terus melangkahkan kakinya. Dalam situasi kacau
dan kebingungan, gadis itu justru kian mengundang tanda tanya bagi
‘Abdullah.
Siapakah sebenarnya gadis yang telah begitu berani menawarkan
diri secara terang-terangan tanpa merasa malu kepada ayahnya? Apak-
ah dia bukan perempuan jalanan yang suka menjajakan kemontokan
postur tubuhnya kepada setiap lelaki hidung belang di tepi-tepi jalan
kota Makkah? Namun, jika melihat raut muka, pakaian, serta aksesoris
yang dikenakan, dan tata cara bicaranya, terlihat bahwa gadis itu ter-
masuk kalangan hartawan dan bangsawan; dari kedua bola mata yang
lebar dan hitam terpancar sinar keteduhan dan kesucian. Pancaran
sinar matanya yang menyala-nyala laksana bara api yang berasal dari
seorang gadis yang berperangai lemah-lembuh, penuh kasih sayang,
dan feminim.
Pandangan kedua bola mata gadis itu mengindikasikan seuntai
harapan yang sungguh-sungguh dan tulus agar ‘Abdullah tidak meno-
lak dan tidak merasa keberatan menerima harapan cintanya. Tetapi,
harapan gadis itu terpaksa harus terganjal ketika sang ayah menarik
tangannya agar terus melangkahkan kakinya dan tidak menggubris
rayuan perempuan itu lagi.
Sambil berjalan di belakang ayahnya, ‘Abdullah hanya bisa memba-
las niat baik gadis itu seraya berkata: “Aku bersama ayahku. Aku tidak
kuasa untuk memberontak kehendak beliau dan berpisah dengannya.”
‘Abdullah terus berjalan mengiringi langkah ayahnya. Ia mening-
galkan gadis itu dengan membawa rasa iba dan simpati yang teramat
mendalam. Hatinya terasa mau meledak, tak kuasa memandang dan
terbuai oleh sikap feminimnya. Hampir saja ia akan memohon restu
kepada ayahnya untuk melamar gadis yang telah menawarkan itu.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 27
Rupanya kecantikan, kesempurnaan, keanggunan, dan kesucian itu
telah merebut hatinya.
‘Abdullah betul-betul terpesona dan tersanjung akan ketulusan
cinta gadis cantik nan mungil yang tak seorang pun menemukan kej-
elekan perangainya. Hal ini dikarenakan ‘Abdullah masih dijanjikan
pula akan diberi seratus unta. Sekalipun ‘Abdullah tak sampai hati
menolak harapan gadis itu, namun harapan itu kandas dan ia tidak
dapat berbuat apa-apa, karena ayahnya telah memutuskan akan men
jodohkan ‘Abdullah dengan seorang gadis yang menjadi idaman dan
pilihan sang ayah, yaitu putri dari kalangan teman dekatnya sendiri.
Selanjutnya, perjalanan ‘Abdul Muththalib bersama putranya tidak
langsung pulang ke rumah. Mereka berdua masih transit menuju ke
rumah seorang tokoh Bani Zahrah, Wahb Ibnu ‘Abdi Manaf. Setiba di
sana, ‘Abdul Muththalib mengutarakan maksud kedatangannya bahwa
ia akan melamar anak gadisnya yang bernama Aminah untuk dijodo-
hkan dengan putranya, ‘Abdullah. Harapan sang ayah tidak sia-sia,
sebab Wahab Ibnu ‘Abdi Manaf menerima lamarannya. Bahkan pada
hari itu juga ‘Abdullah dan Aminah langsung diikat secara resmi dalam
ikatan perkawinan. Ketika itu pengantin laki-laki, ‘Abdullah bin ‘Abdul
Muththalib, berusia tujuh belas tahun lebih, sedang usia pengantin
perempuan, Aminah, dua tahun lebih muda dari ‘Abdullah.
Keesokan harinya pasca pernikahan, ‘Abdullah pergi ke Ka‘bah
bersama istrinya, Aminah binti Wahb. Namun sewaktu di tengah-
tengah perjalanan menuju Ka‘bah, ‘Abdullah berpapasan lagi dengan
gadis cantik mungil yang pernah meminta kesediaan ‘Abdullah untuk
menikahinya kemarin. Hanya saja, gadis itu tak mau menyapanya lagi
walaupun ‘Abdullah memandangnya. ‘Abdullah mencoba melempar
senyum kepadanya, tapi gadis itu justru memalingkan raut mukanya
dengan penuh kekecewaan dan rasa emosi.
“Apakah gerangan yang membuatmu tidak menawarkan lagi seperti
kemarin?” tanya ‘Abdullah.
Gadis itu menjawab pertanyaan ‘Abdullah dengan ketus: “Sinar
yang berseri-seri itu kini sudah menghilang dari raut wajahmu. Kare-
28 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
nanya, sekarang aku sudah tidak sudi lagi membutuhkanmu.”
‘Abdullah akhirnya melangkah meninggalkan gadis cantik itu seraya
melantunkan bait syair:
Setelah Aminah
mengambil keputusan menerima ‘Abdullah
Mataku tak mau lagi memandangnya
dan mulutku bungkam seribu bahasa
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 29
30 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
2
Kondisi sosial-geografis
Makkah pada abad VII
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 31
waktu itu, di Makkah telah tersedia pasar-pasar sebagai tempat per-
tukaran barang-barang antar para saudagar dari Asia Tengah, Syam,
Yaman, Mesir, India, Irak, Etiopia, Persia, dan Rum. Dengan kondisi
yang kondusif semacam ini, maka para pedagang punya kesempatan
untuk melayani para kafilah-kafilah dagang dalam hal kalkulasi bisnis
menurut masing-masing kafilah.
Sudah barang tentu sumber perekonomian masyarakat Makkah
adalah perdagangan, mengingat posisi Makkah berada di suatu lem-
bah yang tandus. Hari demi hari, sektor perdagangan menjadi faktor
penentu utama dalam interaksi sosial penduduk kota Makkah. Pemban-
gunan sektor spritual, keagamaan, dan kebudayaan, bahkan semuanya
dibangun di atas prinsip dan logika bisnis yang berorientasi jual beli
dan untung rugi. Dengan konsep yang demikian, para saudagar kaya
menjadi orang-orang nomor satu untuk menentukan berbagai kebi-
jakan dalam dinamika dan sektor riil kehidupan. Bahkan aturan-aturan
kebijakan dan tradisi-tradisi yang berlaku senantiasa dikeluarkan dari
para saudagar tersebut. Sudah tentu, aturan-aturan dan tradisi-tradisi
dalam etika bisnisnya adalah logika orientasi profit yang selalu berpihak
pada mereka.
Demikian pula mereka membuat seperangkat aturan, bahwa para
pedagang asing yang meninggal dunia di Makkah, maka harta benda
mereka harus diwariskan kepada Makkah, yaitu para pedagang Quraisy
yang melakukan kontrak perdagangan dengan para pedagang asing
yang meninggal dunia tersebut.
Adapun dalam kasus utang-piutang, dikeluarkanlah aturan bahwa
kreditor harus memberikan jaminan yang besar kepada pihak debitor.
Tak jarang terjadi, seseorang menjadikan anak, istri, dan dirinya sendiri
sebagai barang jaminan utang. Dalam prakteknya, jika perjanjian
utang-piutang melewati batas jatuh tempo, maka pihak kreditor harus
membayar utangnya dengan cara pembayaran yang berlipat-ganda dari
jumlah utang yang diterimanya.
Namun yang sangat fatal sekali, seandainya utang itu belum juga
terlunasi, maka barang jaminan yang berupa anak, istri, dan dirinya,
berubah status menjadi budak yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak
32 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
debitor. Status budak itu kemudian diperas keuntungannya dengan
berbagai cara sesuai dengan kehendak debitor.
Tuhan-tuhan yang dibuat oleh para bangsawan Makkah di sekitar
Ka‘bah adalah tuhan yang menjadi sesembahan generasi demi gen-
erasi penduduk kota Makkah. Merekalah yang melayani tuhan-tuhan
itu dan mereka pula yang bersikap oportunis terhadap tuhan-tuhan itu
untuk mengeruk keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Mereka
ikuti aturan tuhan-tuhan itu dan mereka minta agar diberikan berkah
dalam perdagangannya. Mereka juga tunduk patuh kepada semua
keputusannya.
Selain sikap kepatuhan, mereka juga mengangkat tukang tenung
dan paranormal yang bertugas khusus menafsirkan keinginan patung-
patung tuli yang mereka buat sebagai simbol tuhan-tuhan mereka.
Akhirnya, tahun demi tahun Ka‘bah telah dipenuhi dengan patung-
patung sebagai simbol tuhan yang dijadikan sesembahan semua kabilah
(suku) yang mengadakan kontak dagang dengan kota Makkah.
Profesi yang dimainkan penduduk Makkah dalam hal perniagaan
sangat variatif. Sebagian mereka ada yang bergerak di bidang bisnis
ekspor-impor; mereka perjual-belikan dengan seluruh penduduk oasis
dan kota-kota yang tersebar di Jazirah Arab. Ada pula yang menjadi
perantara tukar-menukar barang antara pedagang-pedagang yang
melintasi kota Makkah. Ada pula di antara mereka yang bergerak di
bidang perbankan. Mereka menanam modal kepada para pedagang
kecil dengan bunga sebesar laba. Sebagian lagi, ada yang mencari
keuntungan dari membungakan uang yang berprofesi sebagai rentenir.
Profesi lain yang ditekuni oleh para elit pengusaha Makkah yaitu
juga mengembangkan usahanya dalam bidang sektor perkebunan kurma
dan anggur, peternakan babi, dan produksi minuman keras. Semen-
tara posisi puluhan ribu rakyat jelata, profesi mereka hanyalah hidup
sebagai buruh di ladang-ladang pertanian, kuli kasar, dan karyawan
bank dari pusat perdagangan. Bahkan ada pula di antara mereka yang
hidup sebagai gelandangan.
Perdagangan di kota Makkah telah meliputi semua komoditi yang
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 33
sangat populer. Trayek-trayek perjalanan kafilah membentang luas
hingga ke pedalaman Asia, Afrika, kawasan Laut Tengah, kawasan Laut
Merah, sampai mencapai trayek samudera Hindia.
Sebagai kota perdagangan, Makkah telah diperlengkapi dengan
aparat keamanan, tentara, dan polisi. Namun kaum bangsawan Makkah
tetap saja memberikan senjata kepada budak-budak yang dibeli dari
Afrika untuk dijadikan sebagai pengawal, baik disiagakan di luar mau-
pun di dalam kota Makkah, untuk menjaga stabilitas keamanan dan
keselamatan para kafilah dari ancaman aksi perampokan dan suku
Badui di tengah-tengah perjalanan.
Orang Arab menganggap Makkah sebagai penyelamat mereka.
Oleh karenanya, Makkah disebut sebagai Ummul Quro, yaitu sebagai
pusat perniagaan besar yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat
Makkah. Di dalamnya terdapat rumah tua sebagai tempat keramat
yang diberkati para penduduk Makkah.
Makkah menjadi sebuah kota yang ramai dan penuh kesibukan
lantaran kekuatan sektor perekonomiannya. Di sekeliling Ka‘bah
berjejer tuhan-tuhan semenanjung bangsa Arab dan tempat itu pula
menjadi ramai oleh berbagai suku bangsa Arab yang datang untuk
melaksanakan ritual ibadah haji. Musim haji adalah musim perdagangan
mereka yang ramai. Pada musim itu di kota Makkah banyak didirikan
pasar-pasar tempat perbelanjaan. Kota Makkah kian hari kian dipadati
para pengunjung. Bahkan di pinggiran Makkah banyak pula dibangun
pasar-pasar. Di antara pasar yang terbesar adalah pasar ‘Ukazh.
‘Ukazh adalah sebuah tempat perbelanjaan terlengkap yang tidak
hanya dikunjungi oleh orang-orang Quraisy, tetapi juga para raja; dan
semua pangeran dari seluruh Semenanjung Arab ikut pula menghadiri
bazaar pasar ‘Ukazh.
Mereka memamerkan barang-barang berharga dari Persia, Rum, dan
negeri-negeri asing lainnya. Di ‘Ukazh terdapat pula mimbar-mimbar
khusus, tempat kompetisi kepiawaian para penyair Arab. Syair-syair
mereka dipilih secara selektif dan yang pantas digantungkan di bawah
Ka‘bah agar senantiasa menjadi kenangan dalam sejarah.
34 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Selain hal-hal di atas, arena ‘Ukazh juga menjadi tempat memutus-
kan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota masyarakat.
Para kafilah (suku) di tempat ini pula mengumumkan terhindarnya diri
mereka dari macam-macam pelanggaran, sehingga salah satu anggota
kabilahnya yang dikenai hukuman karena pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang anggota yang lain sudah tidak ada lagi.
Di pasar ‘Ukazh juga terdapat tempat penjualan budak-budak yang
beraneka macam ras, mulai dari budak Ethiopia yang hitam, budak
Rum yang putih, budak Persia yang merah, dan budak-budak lainnya
yang berasal dari India, Mesir, dan juga perempuan Asia Tengah.
Dengan demikian, ‘Ukazh juga menjadi tempat yang sangat kon-
dusif dan strategis untuk mengais keuntungan dari kalangan rakyat
jelata yang mana posisi mereka hanyalah menjadi pengawal para
saudagar dengan cara menjaga keamanannya dari kekejaman para pe-
nyamun yang setiap saat mengancam keselamatannya. ‘Ukazh adalah
tempat yang tidak hanya menjadi ajang hiruk-pikuk dalam persoalan
bisnis belaka, melainkan juga menjadi tempat bagi pembunuhan
pengkhianat.
‘Ukazh juga menjadi wahana yang sangat menarik bagi perniagaan,
pertukaran budaya, dan komoditi. Di sana para penyair melantunkan
bait-bait puisinya yang berbicara tentang keturunan dan kehormatan
golongannya; para pendeta (rahib) berpidato tentang tokoh gerejanya;
orang Yahudi membacakan kitab-kitabnya; perempuan bangsawan
tampil di hadapan kaum lelaki sambil melantunkan tembang-tembang
tentang suaminya; tukang-tukang tenung berbicara tentang filsafat
Persia dengan kata-kata puitis; para raja dan semua pangeran mem-
bicarakan barang-barang dan permata yang langka; para pedagang
minuman keras, penghibur, pedagang budak, hostes, dan budayawan-
budayawan ulung, semuanya hadir membanjiri pasar ‘Ukazh.
Tetapi meskipun kota Makkah sebagai pusat perdagangan, ternyata
penduduknya hidup di bawah garis yang serba tidak berkecukupan
dalam gemerlapnya harta benda. Seluruh penduduk Makkah tidak
semuanya menjadi saudagar kaya-raya. Sebagian dari mereka ada
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 35
yang hidup dalam kepapaan, sehingga tidak jarang ditemui dalam satu
rumah dihuni oleh seluruh anggota keluarganya.
Demikian pula tidak jarang seorang pedagang kaya-raya mempunyai
saudara yang teramat miskin. Dalam kabilah ‘Abdul Muththalib dan Bani
Hasyim saja, ada yang menjadi saudagar-saudagar kaya-raya, tetapi
ada juga yang menjadi orang miskin yang hidup dalam penderitaan
yang memprihatinkan.
Di antara saudagar Makkah ada yang berprofesi pemilik modal
besar, pemilik kafilah-kafilah, pemilik bank, pemilik kebun di sekitar
Thaif, namun ada juga yang terus-menerus mencari utang untuk modal
perdagangan atau untuk biaya hidup sehari-hari.
Seorang pedagang kecil yang jatuh pailit, padahal modal usahanya
adalah uang berbunga, jika ia tidak mampu melunasi pinjaman itu,
maka ia harus rela menyerahkan kemerdekaannya selama bertahun-
tahun, bahkan kadang-kadang sampai akhir hidupnya. Ia akan menjadi
budak penuh yang dimiliki oleh si pemilik piutang seperti memiliki
harta kekayaan. Ia adalah seorang budak yang tidak lagi memiliki hak
asasi manusia.
Jika pihak debitor tidak membutuhkan para budak, bisa saja ia
meminta cara lain untuk melunasi utang-utangnya. Terkadang pihak
kreditor lebih antusias kepada perempuan, maka istri atau anak gadis
yang paling dicintai, ibu dan istri anak laki-lakinya, harus rela diserah-
kan kepada pihak debitor sebagai jaminan utang yang tidak mampu
dilunasinya.
Ketika perempuan jaminan telah menjadi milik pihak debitor,
maka posisi perempuan itu tidak hanya dijadikan sebagai tempat
melampiaskan nafsu seksual belaka, tetapi si debitor berhak penuh
untuk menggunakan perempuan itu sesukanya, sekalipun akan dijadi-
kan sebagai perempuan-perempuan penghibur pria hidung belang di
rumah-rumah bordil yang memiliki bendera-bendera khusus sebagai
simbol rumah pemuasan nafsu seksual.
Rancangan dan format rumah-rumah bordil yang khusus disediakan
36 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
bagi pencari kepuasan seksual memiliki aksesoris lengkap lagi mewah,
minuman keras, dan semerbak aroma dupa, mulai dari cendana sampai
kemenyan yang memenuhi setiap kamar. Di dalam rumah bordil itu
pihak debitor menyediakan fasilitas berupa perempuan untuk dijual
kepada para saudagar yang singgah. Di lembah hitam itu, berkumpul
semua perempuan yang beraneka ragam, baik yang berwarna kulit
yang merah, hitam, maupun putih.
Dari hasil perdagangan seks inilah pihak kreditor mampu melunasi
utang-utangnya. Jika utang-utangnya telah terlunasi, perempuan-
perempuan itu dilepas dan dikembalikan lagi. Hampir semua orang
laki-laki harus menundukkan kepala di hadapan kenyataan yang sangat
hina ini.
Memang ada juga sebagian kaum lelaki yang tidak ingin reputasinya
dilumuri lumpur kehinaan, maka mereka segera berusaha melepaskan
anak perempuannya dengan cara menyerahkan uang tebusan setelah
perempuan-perempuan itu dilarikan.
Kenyataan fenomenal pemerasan dan penjajahan yang sedang
melanda masyarakat Arab ketika itu, ternyata tidak diterima semua
penduduk Makkah dengan lapang dada. Sebagian mereka ada yang me-
nolak sama sekali terhadap pemerasan, perbudakan, dan perdagangan
seks itu. Namun apa yang dapat mereka perbuat? Mereka tak kuasa dan
tidak akan kuasa menghadapi kekuatan para cengkeraman bangsawan,
saudagar-saudagar, dan kaum-kaum feodal. Karena itu, pergi menjauh
dari tempat itu merupakan alternatif yang menggembirakan. Mereka
lebih memilih hidup terisolir di tempat pedalaman yang jauh daripada
harus terus-menerus menikmati hiruk-pikuknya keramaian kota Makkah
yang diliputi oleh kebiadaban moral yang tidak berperikemanusiaan.
Dari tempat terpencil nan jauh di sana, terdengar teriakan-teriakan
anak-anak manusia yang mengutuk keras aksi cacat moral kaumnya,
meratapi dirinya yang terlempar, dan protes-protes tajam akan praktek
ketidak-adilan penguasanya.
Mereka yang mengisolasikan diri dari kehidupan masyarakat kota
Makkah itu hidup secara berkelompok di lembah-lembah yang ter-
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 37
lindung dari bukit-bukit terjal. Mereka hidup dengan mengandalkan
ketajaman mata pedang dengan berprofesi menjadi perampok yang
siap menerkam para kafilah dagang di tengah perjalanan. Namun ada
juga di antara mereka yang menjadi pembunuh bayaran.
Di lokasi-lokasi itulah mereka menyusun kekuatan. Kekuatan ke-
lompok mereka telah melahirkan jembel yang terlempar dan terbuang
dengan mendekap luka dalam yang penuh dengan dendam-kesumat.
Kerajaan jembel mereka itu menciptakan tradisi-tradisi kemasyaraka-
tan di atas prinsip-prinsip prusianisme. Di tengah-tengah mereka ada
penyair yang menggubah syairnya dengan nafas-nafas keputus-asaan,
kebencian, emosional, dan cita-cita semua tentang sebuah keadilan.
Kota Makkah yang penuh dengan pemerasan, perbudakan, perda-
gangan seks, perampokan, perjudian, dan ketimpangan sosial bukan
berarti hidup tanpa undang-undang. Hanya saja, undang-undang yang
berlaku di Makkah bersikap diskriminatif dan berpihak pada kalangan
bangsawan dan saudagar belaka, karena peraturan-peraturan itu
menjadi hak prerogatif para bangsawan dan saudagar kaya yang mer-
eka jadikan instrumen untuk menjaga posisi dan ketimpangan kelas
mereka. Kaum dhuafa (lemah) adalah orang-orang yang terbuang dari
sistem kehidupan dan merupakan lahan empuk kalangan elite.
Para elite masyarakat hidup dalam kecongkakan, kesombongan,
dan kebanggaan, dengan segala fasilitas yang dimilikinya; hamba sa-
haya, harta benda, dan minum-minuman keras kesukaannya. Semen-
tara itu, rakyat jelata hanya bisa menikmati hidup dalam kemelaratan
dan kemiskinan.
Bentuk kehidupan kaum perempuan Makkah dengan banyaknya
lelaki selingkuhannya dan banyaknya anak laki-laki, sekalipun hubun-
gan mereka tidak sesuai dengan moral, menjadi kebanggaan tersendiri
bagi mereka, sebab nilai kehebatan perempuan pada waktu itu adalah
perempuan yang banyak menelorkan keturunan anak laki-laki. Ikatan
pernikahan bukan lagi menjadi sesuatu yang urgen dan sakral untuk
segera digalakkan, sebab sistem pergaulan kaum lelaki dengan kaum
perempuan tidaklah sama dengan aturan pergaulan yang kita kenal
38 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
sekarang.
Bagi orang-orang yang stratifikasi sosialnya berada di kelas bawah,
mereka tak punya pelindung siapa-siapa. Kekuatan undang-undang
dan tradisi, bahkan patung-patung di sekitar Ka‘bah sekalipun enggan
menatap dan memberikan perlindungan kepada mereka. Bagi rakyat
fakir-miskin yang hidup dalam ketiadaan, juga tidak ada sesuatu apa
pun yang dapat dimiliki, bahkan pribadinya sekalipun. Mereka terjerat
oleh kebutuhan hidup sehari-hari yang setiap saat dapat mengubah
nasibnya menjadi seorang budak. Sementara itu, kaum perempuan
-sekalipun tidak nakal- berada di bawah ancaman para durjana yang
suka mengumbar nafsu seksual di rumah-rumah bordil kelas elit.
Sedikit sekali jumlah kaum lelaki dan perempuan yang dapat
menikmati kehidupan wajar sebagai manusia utuh layaknya seorang
manusia di tengah-tengah kebrutalan Makkah, sebab kemuliaan, ke-
hormatan, pangkat, dan kedudukan itu hanyalah milik para elite dan
raja-raja jembel yang hidup di lembah-lembah curam. Sedikit sekali
dari kalangan orang-orang Quraisy yang dapat menyelamatkan diri dari
imbas kebiadaban dan cekikan rentenir-rentenir yang tak mengenal
belas kasihan. Mereka yang selamat dari cengkeraman itu laksana
hidup dalam sebuah benteng ajaib yang kokoh. Harta, tuhan Ka‘bah,
dan sikap hedonistik hanyalah milik elite penguasa. Orang-orang fakir
hidup dalam kehampaan, perbudakan, pemerasan, dan terlempar dari
garis kehidupan sejati.
Adapun mereka yang asal-mulanya hidup dalam bergelimang harta,
kemudian pada suatu moment tertentu jatuh bangkrut, maka ia secara
otomatis akan berubah status menjadi hamba sahaya. Mereka pun tak
lepas dari tekanan-tekanan kebutuhan hidup sehari-hari.
Istri-istri yang dirampas dari pelukan suaminya; ibu-ibu yang
dijadikan menu utama untuk menyenangkan tamu-tamu asing; gadis-
gadis yang menderita dalam cengkeraman manusia-manusia hamba
seks; dan para budak belian yang diperjual-belikan dari pantai Afrika
adalah orang-orang yang tidak memiliki apa-apa, selain kegetiran,
kehancuran, kepedihan, dan kepengapan yang hanya berfungsi sebagai
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 39
anjing penjaga harta kekayaan majikannya dan pelayan kesenangan-
nya.
Mereka semuanya adalah orang-orang yang terbuang jauh dari
Ka‘bah, tuhan, dan terbuang jauh dari istana-istana juragan yang
mengelilingi Ka‘bah, jauh terdampar di tengah-tengah padang pasir
dalam kepapaan, ketiadaan, dan kehampaan. Kini yang tersisa dari
mereka hanyalah nostalgia dan obsesi yang tertelan pupus oleh kebi-
adaban.
Pada saat kian merajalelanya kekejaman, kelamnya nuansa-nuansa
kehidupan dan rintihan tangis penderitaan, maka pada malam yang
penuh kegelapan, lahirlah sosok manusia pembebas, manusia penunjuk
jalan, yaitu Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib.
40 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Di
balik awan,
sang rembulan terbit
B
atang-batang pohon gandum di perkebunan Yaman
tumbuh subur menjulang tinggi; dedaunan kurma
di bumi Thaif kembali bersemi setiap kali musim semi tiba di
Jazirah Arab setiap tahun. Padang-padang rumput harum semerbak
dengan aroma bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun terbawa
oleh hembusan sang bayi. Padang rerumputan tumbuh menghijau di
lembah-lembah yang terbentang luas. Mayang-mayang hijau bermah
kotakan serangga menghiasi pepohonan kurma di Yatsrib.
Masyarakat kota Makkah selalu menyambut musim semi sebagai
pertanda awal kebebasan dan dimulainya kembali perjalanan dagang
musim panas. Pada waktu musim panas, orang-orang Quraisy merasa
riang gembira untuk mengadakan perjalanan dagang ke Syria, sedang
musim dingin ke Yaman.
Kedua bentuk perjalanan dagang musim dingin dan musim panas
tidaklah menyebabkan kekhwatiran dan kegelisahan terhadap kes-
elamatan anak-anak muda mereka yang mengarungi gurun pasir di
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 41
bawah panas terik matahari yang tak mengenal belas kasihan, dan
malam-malam yang riuh-gemuruh dengan hembusan-hembusan angin
yang sulit dimengerti.
Pada musim semi, tepatnya pada tahun 570 Masehi, Aminah binti
Wahb -istri ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib- merasa sangat berat
hatinya untuk melepas kepergian suami melaksanakan perjalanan
dagang bersama rombongan para kafilah. Rasa khawatir yang teramat
menggelisahkan senantiasa melilit lubuk hatinya. Ia ingin selalu berdua
dengan suami yang sangat disayanginya. Aminah begitu berharap andai
saja dapat menahan kepergian suaminya, tentu ia akan melakukannya.
Betapa ia sangat mencintai suaminya, bahkan ia merasa ada rasa damai
di hatinya pada saat-saat berdampingan dengannya. Bahkan tatkala
Aminah mendengar pembicaraan orang-orang bahwa pernikahannya
dengan ‘Abdullah telah membuat rasa cemburu di hati para gadis,
maka cinta kasih kepada suaminya menjadi kian menjulang tinggi.
Namun sebesar apa pun idealisme untuk terus-menerus berdamp-
ingan dengan suaminya, Aminah terbentur pada suatu kondisi himpitan
perekonomian keluarga, sebab selain ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib
hanya memiliki lima ekor kambing perah, ia juga tidak memiliki harta
kekayaan yang dapat menyambung hidup dirinya dan istri tersayang
yang sedang hamil. Jangankan untuk kebutuhan yang bersifat sekunder
dan tersier, mencukupi kebutuhan primer saja bagi kehidupan keluarga
kecil ini sangat sulit. Kalaupun ada, paling-paling hanya sedikit kurma
dan dendeng, padahal pasangan muda-mudi ini sedang menunggu
kelahiran anaknya yang sulung.
Sebagai seorang suami, ‘Abdullah tak punya penghasilan dari
sebuah usaha yang dapat menjadi sumber ekonomi keluarga. Jalan
alternatif meringankan beban dan tanggungan keluarga dengan cara
meminta uluran tangan dari orang tuanya, bagi ‘Abdullah rasa-rasanya
merupakan cara yang tidak mungkin ia lakukan, sebab meskipun
stratifikasi sosial ayahnya cukup terhormat di mata kaumnya, ia juga
hidup dalam garis kemiskinan. Himpitan kondisi ekonomi keluarga yang
demikian ini terjadi ketika ‘Abdullah masih berumur delapan belas
tahun.
42 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Betapapun Aminah berharap untuk senantiasa berdampingan den-
gan suami yang sangat dicintainya, namun ia rela melepaskan kepergian
suaminya, karena tuntutan kebutuhan hidup mereka berdua, hingga
akhirnya ‘Abdullah berangkat juga pergi berdagang bersama kafilah
ke manca negara untuk mencari nafkah, dengan satu harapan kelak
ia akan pulang kembali memboyong harta benda yang melimpah-ruah
buat istri tercinta, yang waktu itu Aminah sedang menunggu kelahiran
anaknya yang pertama.
Wahai ‘Abdullah, semoga anak yang akan terlahir dari istrimu kelak
menjadi anak yang dapat membantu usahamu dan menemanimu dalam
perjalanan dagangmu, baik di waktu musim panas maupun musim
dingin.
Wahai ‘Abdullah, demikian pula semoga anakmu yang terlahir
dari istrimu kelak akan mempunyai sepuluh orang saudara yang akan
menambah kekuatan kabilah Quraisy.
Betapa besar keinginanmu untuk senantiasa mendampingi istrimu
selama kehamilan hingga ia melahirkan seorang anak sebagai hasil dari
buah cinta kasihmu. Tetapi sampai detik-detik terakhir waktu kelahiran
anakmu, engkau masih juga berada di manca negara nan jauh di sana.
Alangkah berat suratan taqdir mempermainkan hidupmu. Akan tetapi,
istrimu adalah kehendak tuhan-tuhan Ka‘bah.
Dulu ketika engkau masih kecil, hampir saja engkau disembelih
agar pembesar tuhan Ka‘bah merelakan ayah dan dirimu. Akan tetapi,
tuhan itu telah menerima seratus ekor unta sebagai penggantimu dan
untuk menebus hidupmu dari nadzar ayahmu. Andaikata keseratus ekor
unta itu sekarang ada padamu, sudah tentu di tengah-tengah kabilah
Quraisy engkau akan bernasib lain dari keadaanmu saat ini. Sekarang,
keadaan hidupmu yang teramat berat telah memaksamu untuk menin-
ggalkan istrimu seorang diri, bahkan kini istrimu melahirkan anakmu
yang pertama tanpa engkau di sisinya.
Wahai engkau, seorang laki-laki yang berkelana untuk mencari
nafkah buat istrimu ke manca negara yang jauh dari Makkah, tumpah
darahmu dan kampung halaman pilihanmu untuk hidup! Engkau ber-
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 43
harap akan dapat berbaring di atas tanahnya dengan usia panjang
bersama-sama keluargamu.
Meskipun kota Makkah merupakan sebuah negeri yang dilanda
wabah, tetapi anakmu yang akan terlahir sudah tentu diselamatkan
Tuhan dari malapetaka ini. Malapetaka itu datang bersama Abrahah,
raja Habsy yang ambisius untuk membumi-ratakan kota Makkah dan
meluluh-lantakkan bangunan Ka‘bah.
Tidak mendengarkah Abrahah tentang legenda orang-orang Se-
menanjung Arabia tempo dulu? Apakah ia tidak mendengar juga tentang
legenda kejahatan, keberanian, dan keperkasaan pahlawan-pahlawan
padang pasir Arabia yang membuat kerdil musuh, bahkan jin sekali-
pun? Mereka membelah kegelapan dengan ketajaman mata pedang.
Mereka mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, kemudian mereka
menunjukkan sikap hipokritnya kepada tuhan Ka‘bah, sehingga mereka
terisolir oleh kutukan. Mereka hidup selama beratus-ratus tahun di
tengah-tengah gurun pasir, sebagai suatu bentuk hukuman.
Akan tetapi, Abrahah tidak mau peduli dengan legenda-legenda itu.
Ia merasa tak gentar sama sekali dengan legenda pendekar-pendekar
padang pasir Arabia. Ia tetap bersikukuh pada kekuatan ambisinya
untuk menggenggam dunia dalam kekuasaannya, karena ia mempunyai
pasukan perang berupa binatang besar yang bernama gajah, yang tidak
hanya mampu membuat kuda lari terebirit-birit ketakutan, tetapi juga
pendekar-pendekar pilih tanding sekalipun akan lari terkencing-kencing
bila berhadapan dengan kekuatan pasukan binatang gajahnya. Dengan
kekuatan pasukan perang yang tangguh itulah, Abrahah merasa yakin
akan mampu mendobrak pintu-pintu penduduk Makkah dengan meng-
gunakan pasukan tentara yang didukung pasukan gajah.
Wahai ‘Abdullah, betapa bijaksananya ayahmu, ‘Abdul Muththalib.
Dia adalah seorang bijaksana yang hampir-hampir tak pernah melaku-
kan kesalahan.
Ketika semua orang Quraisy bertekad akan mengadakan perlawa-
nan terhadap pasukan Abrahah, ‘Abdul Muththalib berusaha mencegah
kaumnya untuk melaksanakan kebulatan tekad mereka. Bukannya dia
44 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
seorang pengecut, tetapi ia tahu betul bahwa kaumnya tidak akan
mampu bertempur melawan Abrahah dan pasukan gajahnya.
Ia menyarankan agar mereka mengungsikan kaum perempuan dan
anak-anak ke pelosok-pelosok kota Makkah yang dipandang aman dari
agresi tentara-tentara Abrahah. Menurut ‘Abdul Muththalib, kesela-
matan Ka‘bah dari jamahan tangan-tangan jahil yang akan merusaknya,
tidak perlu dirisaukan lagi oleh orang-orang Quraisy, karena Ka‘bah
mempunyai tuhan-tuhan yang senantiasa menjaganya. Peristiwa-
peristiwa dan insiden semacam ini juga pernah terjadi dalam legenda
orang-orang tempo dulu.
Ketika balatentara Abrahah akan segera melakukan penyerbuan,
secara tiba-tiba dan tak diduga-duga, ternyata pasukannya dilanda
wabah penyakit yang pernah melanda penduduk Makkah. Satu persatu
anggota pasukannya tiba-tiba berguguran karena menderita penyakit
cacar. Abrahah sendiri juga tak luput dari serangan panyakit yang
mematikan ini. Penyakit ini membuat keperkasaan dan kegagahan
pasukan gajahnya tidak berguna lagi, sehingga mereka tak mampu
melakukan tindakan apa pun. Akhirnya, wabah panyakit cacar itu
memaksa Abrahah untuk melarikan diri bersama sisa tentaranya yang
sudah kocar-kacir selaksa dedaunan yang dicabik-cabik ulat.
Sementara itu pula, penduduk Makkah yang semula merasa cemas
di tempat persembunyiannya, kini bermunculan keluar seraya mengelu-
elukan kata kemenangan. Di antara mereka, ada ayahmu dan Aminah,
istrimu yang sedang hamil tua.
Tragedi agresi tentara pasukan bergajah ini terjadi sekitar satu
bulan dari kepergianmu. Ketika itu engkau berada di tempat yang jauh.
Engkau sedang dalam perjalanan dagangmu yang sangat jauh dari kam-
pung halamanmu, sanak keluargamu, juga istrimu dan kehamilannya
yang memang ditunggu-tunggu sejak berapa bulan yang lalu.
Wahai ‘Abdullah, kapankah engkau akan pulang kembali ke pan-
gkuan istrimu untuk menikmati sisa usiamu dengan hidup tenang dan
berkecukupan?
Akan tetapi, Abdullah tidak bisa kembali pulang, karena jatuh
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 45
sakit. Ia istirahat di rumah pamannya, Bani Najjar.
Bulan April yang membakar kota Makkah dengan sengatan panas
teriknya matahari kini telah berlalu. Lima puluh hari sudah tragedi
penyerbuan Abrahah dengan balatentaranya berlalu. Ketika itu Aminah
melahirkan kandungannya, dan ternyata ia dikaruniai seorang bayi
laki-laki.
Dalam hati kecil Aminah tebersit suatu keinginan yang sangat
besar sekali agar proses kelahiran anaknya tidak terlihat oleh siapa-
siapa, sebelum ayahnya. Akan tetapi, di manakah gerangan ayahnya
kini berada? Ketika idealisme itu dibenturkan pada sesuatu yang
mustahil, maka dengan perasaan pasti Aminah mengubahnya den-
gan suatu harapan agar bayinya tidak dilihat siapa-siapa sebelum
kakeknya, ‘Abdul Muththalib. Maka setelah bayi idaman itu lahir,
Aminah menyuruh agar bayinya ditutupi, kemudian ia menyuruh ses-
eorang supaya menyampaikan berita kelahiran anaknya kepada sang
kakek, ‘Abdul Muththalib: “Telah lahir seorang anak laki-laki untukmu,
maka datang dan lihatlah dia.”
‘Abdul Muththalib segera bangkit dan pergi menjeguk putri man-
tunya yang sedang melahirkan, sehingga dialah orang yang pertama
kali melihat wajah cucunya yang waktu itu pula Aminah telah memberi
nama bayinya Muhammad. Sebutan nama Muhammad itu dimaksudkan
dengan sebuah harapan agar anaknya menjadi terpuji dan selalu dipuji.
‘Abdul Muththalib menimang-nimang cucunya dengan kegembiraan
yang meluap-luap seraya mendo‘akannya, kemudian dia mencarikan
orang yang akan menyusuinya. ‘Abdul Muththalib menemukan seorang
perempuan bernama Tsuwaibah, pembantu rumah tangga anak laki-laki
Abu Lahab. Perempuan itu dikirimkan kepada Aminah untuk menyusui
anaknya yang baru dilahirkan itu. Tetapi ternyata perempuan itu hanya
bisa memberikan air susunya pada cucu kecil yang bernama Muhammad
dalam beberapa minggu saja. Sementara itu, ibunya terus menunggu
kepulangan ayahnya.
Aminah menyerahkan anaknya kepada Tsuwaibah, agar ia dapat
memulihkan kembali kebugaran fisiknya dalam rangka mempersiapkan
46 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
diri untuk menyambut kedatangan suaminya dari perjalanan dengan
segala yang dimilikinya, sebagaimana lazimya suami istri pada zaman
itu. Namun semuanya hanya impian belaka. Ia harus sabar menunggu
dalam penantian yang panjang.
Sementara itu di tempat nun jauh di sana, ‘Abdullah terbaring
lemah kaku tak berdaya apa-apa. Penyakit yang dideritanya kian hari
kian bertambah parah, kemudian bara hidup dalam dadanya padam.
Harapan untuk pulang kampung halaman melihat istri dan anak lenyap
sudah. Kini ia menutup mata selama-lamanya dengan impian-impian
yang terkubur.
Janda kembang yang masih berusia enam belas tahun itu akhirnya
sadar, bahwa suami, sang buah hati dan pujaan hidupnya, akan tinggal
selama-lamanya di bawah gundukan tanah bernisan di sebuah negeri
yang jauh, tempat ia mencari rizki untuk keluarga tercinta. Kini sudah
tak akan ada lagi kesempatan untuk bercanda-ria dalam gelora api
asmara seperti memori indah di masa-masa yang telah lalu. Bahkan
untuk membasahi tanah kuburan suaminya dengan derai air matanya
saja sekedar melepaskan rasa rindu yang menggelora merupakan
sebuah harapan kosong.
Meskipun saat itu Aminah sedang diliputi duka, tetapi para
tetangga di sekitarnya bersikap acuh tak acuh, seakan tak terjadi
apa-apa. Mereka tetap hidup dalam gelak-tawa kegembiraan, ket-
erlenaan dalam buaian gemerlapnya dunia, dan keglamoran yang
memberikan kepuasan semu dalam menikmati indahnya kehidupan
yang tak bermakna.
Belum lama berselang dari suasana berkabung atas kepergian sua-
minya menghadap Tuhan Rabbul Izzati, sang kakek -‘Abdul Muththalib-
memboyong Aminah dan anak malang yang ditinggal mati ayahnya itu
ke rumahnya untuk hidup bersama dengannya.
‘Abdul Muththalib berpikir untuk mengirim cucunya yang yatim
ke kampung Bani Sa‘ad agar disusui oleh inang. Di sana bayi mungil
itu juga diharapkan dapat tumbuh berkembang dan mulai berbicara,
sehingga anak itu akan baik kata-katanya dan fisiknya menjadi kuat.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 47
Pada musim paceklik para wanita Bani Sa‘ad biasanya berduyun-
duyun pergi ke kota Makkah untuk mencari pekerjaan sebagai inang
dan kebetulan saja pada saat itu di kabilah Bani Sa‘ad dilanda musim
krisis, sehingga banyak sekali wanita Bani Sa‘ad yang pergi ke kota
Makkah. Di antara mereka ada beberapa orang yang ditawari oleh
‘Abdul Muththalib untuk menyusui cucunya, Muhammad. Namun tidak
seorang pun di antara mereka yang mau menerima tawarannya.
“Dia hanyalah anak yatim yang miskin. Lantas apa yang dapat di-
harapkan dari ibu dan kakeknya dari pekerjaan ini?,” demikian jawab
mereka dalam hati kecilnya, karena pada umumnya para inang itu
mengharapkan pemberian-pemberian sebagai imbalan dari ayah anak
yang mereka susui.
Hampir saja kafilah-kafilah itu pulang kembali ke kampungnya
untuk membawa inang-inang itu. Namun ternyata masih ada seorang
inang di antara mereka yang bernama Halimah yang tidak mendapat-
kan bayi. Ia berkata dalam hatinya: “Aku tidak akan kembali kepada
teman-temanku tanpa membawa bayi susuanku. Biarlah, aku akan
pergi kepada anak yatim itu untuk aku ambil.”
Halimah kembali pulang bersama teman-temannya dengan membawa
anak yatim itu. Ia susui anak itu agar kelak ia berbangga hati dengan
pertumbuhannya di Bani Sa‘ad. Demikianlah, harapan dan impian inang
Halimah untuk membanggakan proses pertumbuhan anak itu menjadi
kenyataan, sebab setelah sekian tahun lamanya tinggal di Bani Sa‘ad,
anak yatim yang bernama Muhammad itu berkata dengan bangga:
“Aku adalah keturunan Arab tulen, sebab aku anak suku Quraisy yang
menyusu di Bani Sa‘ad Bin Bakr.”
Muhammad, anak yatim yang miskin itu, menyusu di Bani Sa‘ad Bin
Bakr hingga mencapai usia lazimnya anak disapih dari ibunya sekitar
dua tahun. Akan tetapi, ‘Abdul Muththalib tak ingin membawa pulang
cucunya. Ia masih menginginkan cucunya untuk tetap tinggal di Bani
Sa‘ad hingga mencapai usia lima tahun, agar dia dapat belajar mengu-
capkan kata-kata dan telinganya terbiasa mendengarkan bahasa Arab
yang fasih, sehingga pasca pembelajaran itu, nantinya ia juga mampu
48 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
berbicara dengan kata-kata yang fasih.
Kehidupan Muhammad di tengah-tengah keluarga Halimah,
menggembala kambing bersama-sama dengan saudara-saudara su-
suannya yang lain. Halimah datang kembali ke kota Makkah dengan
membawa anak yang sudah berusia lima tahunan, sebab pada waktu
itu usia lima tahun adalah usia seorang anak yang sudah layak bekerja.
Muhammad kecil merasa gembira sekali hatinya, karena ia diberi tahu
akan dibawa ke sebuah tempat di mana ia dilahirkan dan tempat di
mana ibu dan kerabat familinya bertempat tinggal.
Di tengah perjalanan, di sebuah tempat yang ramai sebelum
memasuki dataran tinggi kota Makkah, Muhammad berpisah dengan
Halimah. Ia hilang di tengah keramaian dan tetap tidak ditemukan
meskipun Halimah sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencarinya
ke sana ke mari.
Merasa gagal mencari Muhammad kecil yang hilang, akhirnya
Halimah memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanannya dengan
maksud untuk menyampaikan berita hilangnya Muhammad kepada
orang tuanya, Aminah, sesegera mungkin. Namun setibanya di rumah
Aminah, lagi-lagi ia gagal menemuinya. Selanjutnya, Halimah memu
tuskan untuk memberitahukan peristiwa itu kepada kakeknya, ‘Abdul
Muththalib, dengan perasaan sedih sekali seraya berkata: “Aku datang
pada malam ini bersama Muhammad, cucu Tuan. Namun sebelum kami
memasuki dataran tinggi kota Makkah, Muhammad terpisah dariku. Ia
hilang di tengah keramaian dan aku sendiri dengan segala kekuatanku
sudah berusaha mencarinya, tapi usahaku tetap saja sia-sia. Entah di
manakah anak itu berada sekarang ini!”
‘Abdul Muththalib lalu berdiri seraya memohon kepada tuhan-tuhan
Ka‘bah agar memulangkan cucunya itu setelah mendengar berita ke-
hilangan Muhammad dari penuturan Halimah. Belum lama berselang,
tahu-tahu datanglah Waraqah bin Naufal dengan menggandeng tangan
Muhammad sambil berkata: “Ini anakmu (cucu) Muhammad. Aku men-
emukannya di dataran tinggi Makkah.”
Melihat cucunya yang sedang digandeng tangannya oleh Waraqah,
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 49
‘Abdul Muththalib melompat kegirangan, lalu dipeluknya erat-erat
sambil melakukan thawaf di Ka‘bah, memohon perlindungan untuk
cucunya. Selanjutnya, beliau mengirimkan Muhammad kepada ibunya,
Aminah.
Setelah satu tahun lamanya tinggal bersama ibunya, Muhammad
diajak mengunjungi paman-pamannya yang bertempat tinggal di
sebuah perkampungan yang terletak di antara Makkah dan Yatsrib.
Aminah tinggal di sana hanya sebentar sekali. Namun ia tidak dapat
kembali lagi ke Makkah, karena ia meninggal dunia di tengah perjala-
nan pulang; dan jenazahnya dikuburkan di tempat itu juga.
Aminah -seorang janda kembang yang berusia dua puluh tiga tahun
itu- telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan Muhammad yang
masih berusia enam tahun menjadi anak yatim piatu.
Anak yatim piatu yang bernama Muhammad itu tak pernah dan ti-
dak akan pernah melihat ayahnya selama hidupnya. Kini ia ditinggalkan
ibunya, padahal ia masih belum puas melihat ibunya. Ia anak yatim yang
tidak pernah merasakan hangatnya belaian kasih seorang ibu. Aminah
tidak akan pernah mengajari anaknya melangkah. Aminah tidak akan
pernah menetahnya berjalan dan mengajarinya mengucapkan kata-kata
nama-nama benda. Baru setahun lamanya Muhammad diasuh ibunya,
tiba-tiba maut merenggut ibunya dari Muhammad dan meninggalkannya
hidup sebatang kara di padang luas tanpa batas, yang menakutkan dan
mengerikan.
Jika demikian kenyataan yang ada, apakah makna kematian itu
dan apa makna kehidupan itu pula?
Kini Muhammad di asuh oleh kakeknya, ‘Abdul Muththalib,
sepeninggal ibunya. ‘Abdul Muththalib merasa seolah-olah melahirkan
Muhammad untuk kedua kalinya. Dialah pada akhirnya yang merawat
dan memelihara putra (cucu)nya yang sangat dicintainya.
Aktivitas ‘Abdul Muththalib biasanya duduk seharian penuh di dekat
Ka‘bah pada sebuah alas hambal yang dibuat agak tinggi. Sementara
itu, putra-putranya duduk mengelilingi alas tersebut, hingga ayahnya
datang. Tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di atas
50 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
alas itu, sebagai rasa hormat mereka kepada ayahnya. Namun pada
suatu ketika datanglah Muhammad; bocah kecil yang ditinggal wafat
ayah ibunya itu melompat ke atas hambal itu, lalu duduk di atasnya.
Paman-pamannya segera mengambil bocah itu, menurunkannya
dari alas tersebut, tapi ‘Abdul Muththalib justru mencegah paman-
pamannya agar tidak menurunkan Muhammad dan membiarkan di
tempat itu.
“Biarkan anakku...,” cegah ‘Abdul Muththalib kepada mereka,
kemudian ‘Abdul Muththalib duduk di atas alas hambal itu sambil
mengelus-elus Muhammad dengan tangannya.
Keakraban mereka tampak sekali. Salah seorang paman Muhammad
yang tampan bernama Zubair bin ‘Abdul Muththalib sering kali me-
manggil Muhammad untuk bersenda-gurau atau menggodanya hingga
bocah kecil itu tertawa riang.
Hanya saja, curahan kasih sayang kakeknya yang dapat sedikit men-
gobati perihnya luka-luka keyatiman Muhammad tidaklah berlangsung
lama. Dalam usia Muhammad yang masih belum mencapai delapan
tahun, kakeknya merasa akan menemui ajalnya. ‘Abdul Muththalib
akan meninggal dan meninggalkan cucunya seorang diri di dunia yang
luas tak berbatas tanpa harta, ayah, dan ibu.
Ketika ajalnya akan tiba, ‘Abdul Muththalib memanggil putra-
putranya, menyampaikan wasiat kepada mereka agar memelihara,
merawat, dan mendidik cucunya yang yatim piatu itu. Ia menunjuk
salah seorang putranya yang bernama Abu Thalib -satu-satunya saudara
kandung ‘Abdullah- untuk bertanggung jawab sepenuhnya dalam men-
gasuh Muhammad.
Setelah selesai mengucapkan kata-kata perpisahan terakhirnya,
‘Abdul Muththalib menutup mata untuk selama-lamanya; dan bocah
yatim piatu itu akhirnya pindah ke rumah pamannya, Abu Thalib.
Abu Thalib punya tanggungan keluarga yang cukup banyak jum-
lahnya. Pendapatan dari hasil pekerjaannya hampir-hampir tak mencu-
kupi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan anggota keluarganya.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang cukup besar
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 51
itu, Abu Thalib melibatkan anaknya. Tidak jarang anak-anaknya ter-
paksa harus memeras keringat juga, sekedar untuk pengganjal perut,
sekalipun mereka masih kecil-kecil. Namun Abu Thalib tetap konsis
tidak mau mencari utang yang punya resiko berat, untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, betapapun sulitnya mencari nafkah bersama
anak-anaknya.
Perasaan asing yang dirasakan Muhammad di tengah-tengah ke-
luarga pamannya susah dihilangkan, walaupun ia sendiri merasakan
suasana kebersamaan dan sangat disayang oleh paman dan sanak kelu-
arganya. Setiap kali pamannya menghidangkan makanan untuk keluarga
dan anak-anaknya yang masih kecil, Muhammad tidak mengulurkan
tangannya seperti mereka, karena ia merasa rikuh dan malu. Namun
perasaan malu itu dapat dihilangkan juga, setelah sekian lama tinggal
di tengah-tengah keluarga pamannya.
Muhammad, bocah yatim itu, mulai membantu pekerjaan-peker-
jaan pamannya, sebagaimana pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak
pamannya. Mau tidak mau ia harus ikut membantu meringankan beban
pamannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Muhammad
ikut menggembala kambing, mencari rumput, bersama kafilah dalam
perjalanan dagang musim panas ke Syam. Mendengar rencana sang
paman akan melakukan perjalanan dagang, ia menyatakan kepada
pamannya akan ikut bersamanya. Tetapi keinginan tersebut tidak
mendapatkan restu dari pamannya, sebab sang paman tidak sampai
hati untuk membawa anak kecil seusia keponakannya itu dalam per-
jalanan jauh yang sangat melelahkan.
Saat ini adalah perpisahan Abu Thalib pertama kali dengan kepon-
akannya, Muhammad, sejak ia mengasuhnya. Sebenarnya Muhammad
telah memohon kepada pamannya untuk kesekian kali agar ia tidak
ditinggalkannya. Muhammad bertanya kepada pamannya: “Kepada
siapakah Pamanda akan meninggalkanku jika Pamanda nanti pergi?”
Mendengar pernyataan sang keponakan dengan nada memelas,
hati Abu Thalib merasa terenyuh. Akhirnya, Abu Thalib lalu bersumpah
kepada dirinya sendiri untuk pergi bersama keponakannya dan tidak
akan berpisah dengannya selamanya.
52 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Muhammad merasa lebih senang pergi ke manca negara yang jauh
daripada hanya ke Makkah yang diliputi suasana kehidupan yang penuh
dengan aksi pemerasan dan kebrutalan. Kondisi ini sungguh sangat me-
nyesakkan dada Muhammad. Gelapnya kehidupan masyarakat Makkah
menjadikan lenyapnya nilai-nilai kehormatan. Anak-anak fakir miskin
bekerja bersama-sama dengan kondisi fisik yang telanjang, tanpa harus
merasa malu. Sementara itu, pintu-pintu rumah para bangsawan ketika
malam hari tertutup rapat. Mereka berfoya-foya dan melantai dengan
para penari. Arak mengalir deras tiada terhitung lagi banyaknya, men-
guras habis keringat orang baik-baik, seperti ‘Abdullah dan ayahnya.
Keadaan orang-orang mencari rizki untuk mempertaruhkan antara
hidup dan mati, membuat kekayaan para saudagar besar terus berlipat-
ganda. Mereka dijaga oleh budak-budak yang juga adalah manusia,
seperti juragan-juragannya. Di luar rumah-rumah besar dan megah
milik para penghisap darah orang-orang lemah itu, ada seorang anak
muda belia yang bernama Muhammad, sedang menatapi gubuk-gubuk
reyot dan rumah-rumah kumuh yang pintu-pintunya tertutup rapat.
Di dalamnya tinggal orang-orang yang hidup menderita. Secara sayup-
sayup telinga mereka menangkap riuhnya gelak-tawa manusia-manusia
iblis yang sedang mengumbar nafsu binatangnya lewat hembusan angin
dalam keheningan malam.
Dalam gubuk-gubuk reyot nan kumuh itu, para penghuninya dihan-
tui bayang-bayang yang sangat menyeramkan. Mereka takut sekali,
jika bayangan itu akan menjadi kenyataan yang akan menimpa hidup
dan keluarganya. Mereka sangat khawatir kebutuhan hidup sehari-hari
akan menjerat mereka, memaksa mereka untuk menggadaikan anak
gadis, istri, dan ibunya, kemudian akan dikumpulkan dengan budak-
budak hitam atau putih yang dijadikan santapan para saudagar kaya
atau para penghamba seks seperti barang-barang dagangan.
Di sebuah halaman yang berjauhan dengan rumah-rumah megah
dan gubuk-gubuk reyot, berkumpullah pemuda-pemuda yang belum
pernah terjerat oleh cengkeraman lintah darat, sekalipun mereka
hidup dalam kekurangan. Pikirannya dipenuhi dengan impian-impian
tentang mukjizat yang mereka harapkan kedatangannya, karena hanya
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 53
mukjizat itulah yang akan mampu membebaskan Makkah dari kebejatan
dan kebiadaban para penindas itu.
Para pemuda itu berkumpul di suatu halaman, duduk melingkari
seorang laki-laki yang mengungkap sebuah legenda yang mengobar-
kan khayalan mereka yang tertindas, menenangkan hati mereka yang
tercekam ketakutan, dan membangkitkan semangat dan optimisme
di dalam hati yang terombang-ambing oleh gelapnya awan kehidu-
pan yang menyelimuti mereka. Legenda itu berisikan cerita tentang
pahlawan zaman dahulu, raja-raja yang bersikap tiranik dan sewenang-
wenang. Orang-orang lemah yang menguasai kehidupan dan tentang
mereka sendiri yang sudah sekian lama hidup dalam kekerasan. Hati
Muhammad merasakan adanya kegelisahan yang serius ketika melihat
realitas sosial yang penuh dengan ketimpangan dan intimidasi dalam
masyarakat Makkah.
Kepergian Abu Thalib -pamannya- bersama para kafilah akan me-
ninggalkanya seorang diri hidup di Makkah yang dengan pergumulan
orang-orang yang lemah dalam cengkeraman para saudagar membuat
Muhammad menjadi resah. Namun kesendirian saat ini dirasakannya
lebih berat daripada kesendiriannya di masa-masa yang telah berlalu.
Akhirnya, Muhammad menyertai pamannya pergi bersama para
kafilah ke negeri Syam. Ketika itu ia berusia dua belas tahun. Di neg-
eri Syam ia melihat realitas sosial yang tak jauh berbeda dengan di
Makkah. Sekumpulan budak-budak digiring seperti kambing-kambing.
Manusia dimiliki oleh manusia lainnya. Akhir perjalanan hidup mereka
tergantung pada kata-kata yang diucapkan majikannya dan para elite
masyarakat yang feodalistik menguasai perdagangan dan tanah. Reali-
tas sosial yang penuh dengan ketimpangan ini sangat menggetarkan
hati Muhammad.
Selang beberapa waktu dari perjalanan itu, akhirnya Muhammad
mendengar berita bahwa di Makkah ada orang-orang yang berani
memberontak terhadap sistem sosial kehidupan masyarakatnya dan
terjun ke tengah-tengah kaumnya untuk mengajak mereka menen-
tang kebiadaban yang tengah berlangsung. Di antara tokoh-tokoh
masyarakat yang cukup keras dalam melancarkan aksi protesnya
54 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
adalah Waraqah bin Naufal, Umayyah bin Abu Shalt, dan Zaid bin
‘Amr.
Tokoh-tokoh yang memberontak itu melontarkan kritik dan pro-
tesnya kepada kalangan elite masyarakat yang kejam, mengutuk Latta,
‘Uzza, dan Hubal. Dalam aksi protesnya, mereka menuntut direalisasi-
kannya kebijakan egalitarianisme dalam hal kerja sama. Muhammad
juga mendengar kabar tentang kritik mereka terhadap penguburan
yang sering kali dilakukan oleh para bangsawan terkemuka.
Salah seorang tokoh yang cukup vokal dan getol menggugah kesada-
ran kaumnya untuk membebaskan diri dari jeratan dan tirani mereka
adalah Zaid bin ‘Amr. Namun tampaknya, gagasan brilian Zaid itu tak
mendapat dukungan, sehingga ia akhirnya terpaksa diisolir dan dis-
ingkirkan oleh para saudagar ke suatu daerah yang jauh dari Makkah.
Saudagar-saudagar Makkah adalah penjaga tuhan-tuhan Ka‘bah yang
memberikan legitimasi terhadap sikap mereka yang intimidatif. Ada-
pun di Syam, situasinya berbeda dengan di Makkah, sebab kebanyakan
penduduk Syam menganut agama Kristen.
Sementara itu, dalam hati kecilnya Muhammad bertanya-tanya
tentang seseorang yang menampar pipi saudaranya. Ia juga memper-
tanyakan perihal seseorang yang merampas hak milik saudaranya.
Persoalan-persoalan yang tak luput dari perhatian Muhammad adalah
orang-orang yang seolah-olah memiliki kehidupan ini dan kondisi para
dermawan yang terbakar dalam gulatan api kecongkakan.
Muhammad pulang kembali ke Makkah bersama kafilah setelah
bertemu dengan seorang pendeta. Pendeta itu merasa kagum terha-
dap kepribadian Muhammad dan mengajaknya makan bersama para
pembesar, meskipun dicegah oleh mereka.
Setibanya di Makkah, Muhammad kembali menggembala kambing
dan thawaf di Ka‘bah. Hari demi hari berlalu dengan tanpa terasa,
sehingga ia memasuki masa remaja.
Kini Muhammad memasuki usia enam belas tahun. Profesi Muham-
mad tetap saja seperti sebelum pergi ke Syam, yaitu menggembala
kambing. Selanjutnya, ia pulang untuk thawaf di Ka‘bah. Namun ia kini
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 55
merasakan suatu kegelisahan yang membuatnya tidak pernah nyenyak
tidur sebagaimana nyenyaknya tidur orang-orang yang bekerja berat
sepanjang hari. Memori ingatannya melayang-layang kepada ayahnya
yang meninggal dunia karena mencari rizki untuk menjaga stabilitas
keluarga harmonis.
Ia juga terkenang kepada ibu dan kakeknya yang hidup dalam pen-
deritaan. Ia memikirkan tentang kehidupan pamannya, Abu Thalib yang
hidup dalam kekurangan, sementara paman-paman yang lain hidup
berkecukupan. Pikirannya menerawang jauh hingga pada kenyataan-
kenyataan yang ia saksikan ketika di Syam.
Selanjutnya, ingatannya terkenang kembali kepada para penyuluh
masyarakat yang telah terlempar dari kehidupan kaumnya, karena para
bangsawan dan saudagar kaya tidak menginginkan adanya perubahan
transformasi sistem kehidupan sosial yang sudah mapan dan meng
untungkan kelas mereka, termasuk juga sisitem teologi masyarakat
terhadap tuhan-tuhan Ka‘bah.
Betapa seringnya ia melihat di sekitar Ka‘bah. Ia heran sekali atas
sikap patung-patung yang acuh tak acuh itu terhadap realitas sosial
yang eksploitatif dan intimidatif di hadapan kedua belah matanya.
Muhammad bertanya-tanya, tuhan-tuhan macam apakah itu?
Di dekat Ka‘bah, ia melihat seorang laki-laki yang sedang bertha-
waf dengan telanjang. Para perempuan ada yang berthawaf hanya
dengan mengenakan pakaian transparan yang dapat membangkitkan
birahi setiap laki-laki yang memandangnya. Ia juga melihat beberapa
orang laki-laki yang menempel lengket pada orang-orang perempuan
di hadapan tuhan Ka‘bah. Sementara itu, tuhan-tuhan Ka‘bah tetap
saja memejamkan kedua matanya seolah tidak menyaksikan adegan
mesum itu.
Kelakukan-kelakuan mesum seperti itu terus mereka lakukan, ken-
datipun mereka percaya bahwa di antara batu-batu Ka‘bah yang tegak
berdiri, dua di antaranya merupakan perlambang sinyal kemurkaan
tuhan terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran di pelataran
suci itu. Simbol kutukan tuhan itu berupa dua buah batu yang meny-
56 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
erupai seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menurut kepercayaan
mereka, kedua batu itu berasal dari dua pezina yang kemudian diku-
tuk tuhan menjadi batu. Meskipun mereka percaya dengan mitos itu,
namun masih ada juga seorang laki-laki dan perempuan yang masuk
Ka‘bah, lalu bersembunyi di balik patung itu untuk berbuat mesum
sebagaimana biasa mereka lakukan.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 57
58 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Gejolak cinta
di masa muda
K
ehidupan sehari-hari telah membawa Muhammad
memasuki pintu gerbang masa remaja. Pada siang
harinya ia masih saja menggembala kambing, sementara di
malam harinya ia mulai terbawa ke dalam dunia pemikiran tentang
fenomena dan realitas sosial yang mengitarinya dan mencari solusi
perbaikan sistem sosial yang berlaku di tengah-tengah masyarakatnya.
Di manakah jalan itu?
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 59
tanya tentang sesuatu yang membuat ia meninggalkan gembalaannya
hanya karena ingin menikmati tontonan gratis yang terdapat di pesta
itu. Memang gairah remaja telah menggelora di dadanya, tetapi apa
boleh buat ketika rasa kantuk yang melelapkan datang untuk meny-
elamatkan dirinya dari hal-hal seperti itu. Akhirnya, ia memutuskan
untuk beristri saja agar dirinya tidak sampai terlibat dalam kenakalan-
kenakalan remaja yang merusak kepribadiannya seperti pemuda lain-
nya, sehingga pada saat itulah ia mulai mencurahkan seluruh tenaga
dan kemampuannya untuk setiap pekerjaannya.
60 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Cahaya
di Malam Gelap
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 61
kemunafiqan hingga dagu-dagu mereka, terlihat mengenakan pakaian-
pakaian bersih tak ternoda di hadapan orang lain, sehingga banyak
orang terkecoh oleh kulit luar mereka. Mereka terhormat dan terpuji
di mata orang banyak, tapi mereka sebenarnya menyimpan kebusukan.
Di hadapan orang-orang hipokrit dan suka menjilat, mereka tampak
selalu percaya. Bahkan acapkali cahaya itu lebih menyilaukan dari
kilauan mata seorang laki-laki pemberani dan tak seorang pun mampu
membedakan antara kearifan dan kegilaan.
Para tukang tenung, paranormal, dan penjual budak semuanya
berbicara tentang sebuah “kemuliaan”. Sementara Hubal berdiri tegak
dengan keangkuhannya di kelilingi tuhan-tuhan kecil yang tuli dan
bisu. Di hadapan tuhan-tuhan ini, perempuan pelacur dan perempuan
baik-baik nilainya sama saja.
Para pemilik modal adalah pemilik segala kebenaran. Karena
itu, mereka secara leluasa menyulap kebathilan menjadi kebena-
ran, sedangkan kebenaran yang hakiki hanyalah kesabaran hati
yang tercabik-cabik. Di padang kebejatan tersebut hati ini menjadi
sanggup untuk bersabar, bersabar menunggu masa depan yang cerah
dan bahagia.
Di atas bumi, di tempat ini, telah hidup hakikat kebenaran yang
lain sejak ribuan tahun; di sini, di rumah tua yang dibangun sebagai
tempat berkumpulnya manusia dan tempat yang aman.
Di manakah tuntunan yang telah diajarkan Ibrahim itu?
Bukankah di tempat ini Ibrahim berbicara secara tegas dan lan-
tang: “Janganlah kalian mencuri; janganlah kalian berbohong; jangan
melakukan sistem kontrak riba; jangan kalian melakukan sistem per-
zinaan; jangan kalian bersikap tidak adil dalam memutuskan suatu
perkara; jangan kalian membungakan uang; dan jangan kalian berkhi-
anat dalam menakar dan menimbang barang!”
Akan tetapi, kota yang telah dibangun Ibrahim itu kini telah di-
penuhi dengan kesewenang-wenangan dan kebiadaban. Orang-orang
yang mempunyai posisi kuat telah berlaku tiranik. Mereka mencuri,
62 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
berbohong, dan tidak adil dalam memutuskan perkara. Jika mereka
meminjamkan uang, mereka melakukan kontrak bunga yang berlipat-
ganda; dan jika menakar dan menimbang, mereka curang.
Nilai seseorang ditentukan oleh apa saja yang dimiliki. Tak ada
seorang pun yang mempertanyakan bagaimana cara memperolehnya,
sebab sistem yang digunakan oleh mereka berasaskan profit tanpa
mempedulikan bagaimana proses dan cara memperolehnya. Berdusta,
munafiq, mencuri, dan merampas, sudah dianggap instrumentalia yang
paling tepat. Selama orang masih sanggup berthawaf di Ka‘bah dan
mempersembahkan qurban untuk Hubal, maka semua kekejian itu
sah-sah saja dilakukan. Berbeda dengan para bangsawan yang selalu
mendapatkan legitimasi untuk bertindak apa pun, orang fakir miskin
yang tidak mencuri dan tidak merampas serta tidak mampu untuk ber-
qurban, maka patung-patung itu tidak sudi menerimanya di pelataran
Ka‘bah. Ini jelas tuhan-tuhan elitis yang hanya menyukai orang-orang
tertentu saja.
Lalu siapakah tuhannya orang-orang jelata? Sesungguhnya Ibra-
him mempunyai tuhan yang lain. Dialah Tuhan seluruh umat manusia.
Ibrahim melarang untuk menyembah tuhan selain itu. Dengan Tuhan
itu, Ibrahim menjanjikan sebuah kehidupan yang tenteram jika umat
manusia mematuhi-Nya. Dalam kehidupan yang tenteram itu, kilauan
mata pedang tak berarti apa-apa lagi di muka bumi mereka.
Namun di manakah gerangan Tuhan Ibrahim bersemayam? Patung-
patung yang hanya menyukai orang-orang yang memiliki posisi kuat
dan membiarkan orang-orang miskin, sudah tentu bukanlah tuhan yang
pantas dijadikan sesembahan manusia.
Adakah Tuhan Ibrahim selain matahari yang memberi kehidupan
pada segala sesuatu? Tetapi kadang-kadang matahari terbenam. Bu-
kankah Tuhan semestinya tidak tidur dan tidak mati, sementara se-
tiap hati yang senantiasa ingin menatapnya dan merindukannya tidak
menyukai suatu yang terbenam?
Di manakah gerangan Tuhan Ibrahim yang memutuskan bahwa se-
tiap orang yang dibunuh, harus dibunuh juga; setiap orang yang berzina
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 63
harus dibakar dengan api; setiap orang yang memendam kebencian
akan terkena kutukan; dan setiap dengki dan iri hati kepada orang lain
akan ditimpa adzab kehinaan, sehingga dengan demikian, kebejatan
dan kebiadaban tak dapat tumbuh dan hidup di permukaan bumi?
Di manakah gerangan Tuhan Ibrahim yang memuliakan orang-orang
yang tidak menyembah patung-patung, tidak menodai perempuan-
perempuan yang mempunyai hubungan keluarga dekat, tidak berbuat
aniaya kepada sesama, tidak mau menerima gadai, tidak suka meram-
pas hak milik orang lain, bahkan ia memberikan rotinya kepada orang-
orang kelaparan, memberi pakaian kepada orang-orang telanjang,
menolong fakir miskin, dan tidak melakukan praktek riba?
Lalu apakah batu yang dithawafi orang-orang itu? Di manakah
Tuhan Ibrahim itu bersemayam? Bukankah batu itu adalah batu yang
tuli, buta, tak berdaya untuk meniupkan angin, tak berdaya untuk
menurunkan hujan, dan tak berdaya pula untuk memberikan kemud-
haratan dan kemanfaatan?
Adakah sekelompok orang dari kabilah Quraisy yang memperhatikan
perilaku kaumnya dan sistem sosial yang berkembang di tengah-tengah
mereka? Sekelompok orang itu adalah sebagian warga kabilah Quraisy
yang sudah mulai merasakan suatu kemuakan berthawaf kepada Hubal.
Hati mereka merasa tergugah untuk merenungkan sikap fanatisme
kepada Hubal di mana banyak orang yang berqurban atas nama Hubal,
beri‘tikaf di sisinya, dan berkeliling mengitarinya. Salah seorang di
antara mereka berkata: “Apa yang dilakukan kaummu saat ini? Mereka
sungguh-sungguh telah melakukan penyimpangan dari agama mono-
theisme Ibrahim.”
Adapun di antara sekelompok orang itu adalah Waraqah bin Nau-
fal, ‘Abdullah bin Jahsy, ‘Utsman bin Huwairits, dan Zaid bin ‘Amr.
Mereka inilah yang terus-menerus gencar mendiskusikan dan mencari
kebenaran di tengah-tengah membludaknya praktek penipuan dan
kebohongan.
Mereka membaca referensi kitab-kitab yang ada kaitannya den-
gan kondisi yang terjadi di masyarakat kala itu. Problem rusaknya
64 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
tatanan sosial di tengah-tengah masyarakat Makkah menjadi pusat
perhatian pemikiran mereka. Mereka kemudian saling berjanji untuk
merahasiakan gerakan yang sedang mereka lancarkan hingga pada
akhirnya mereka memutuskan untuk berkelana ke berbagai manca
negara, dengan sebuah harapan bahwa kelak akan kembali lagi ke
tengah-tengah masyarakatnya, membawa agama Ibrahim dan mendidik
mereka dengan ajaran-ajarannya yang lurus.
Waraqah bin Naufal mendapatkan hidayah dalam ajaran Al-Masih
‘Isa w. Ia menjadi pemeluk agama Nabi ‘Isa w; dan akhirnya
kembali ke tengah-tengah kaumnya dengan membawa ajaran Nabi
‘Isa w yang mengajarkan tentang keesaan Tuhan dengan suatu
ajaran yang berbunyi: “Ia (Tuhan) tidak bertempat tinggal dalam
berhala-berhala yang dibuat oleh tangan-tangan manusia dan tidak
pula membutuhkan pelayanan mereka lantaran Dia tak membutuhkan
suatu apa pun. Karena Dialah yang memberi kehidupan dan nyawa
kepada semua makhluk hidup dan Dia pulalah Tuhan yang menguasai
langit dan bumi.”
Setelah menemukan petunjuk dari ajaran Nabi ‘Isa w , Waraqah
kini memulai karir kehidupan sehari-harinya sebagai guru spritual
(rahib) bagi kaumnya sebagaimana profesi para pendeta yang mena-
sihati kaumnya agar saling mencintai, karena cinta kasih tidak akan
pernah gugur selamanya; dan agar senantiasa mendo‘akan orang-orang
yang menindas mereka, bukan justru mengutuknya. Adapun ‘Abdullah
sendiri awalnya memeluk agama Kristen, tetapi karena merasa kurang
puas dengan apa yang selama ini ia jalani, akhirnya ia beralih memeluk
agama Ibrahim, agama nenek moyang mereka.
Sementara itu ‘Utsman bin Huwairits berkelana ke berbagai manca
negara, hingga akhirnya ia berkenalan dengan kaisar Rum yang meme-
luk agama Kristen, kemudian ia diangkat sebagai gubernur Makkah oleh
kaisar Rum. Akan tetapi, ketika ia pulang kembali ke tengah-tengah
masyarakat Quraisy dengan membawa surat kaisar, mereka membuang
surat itu karena enggan untuk tunduk pada kekuasaan kaisar sekalipun
ia sudah diangkat sebagai gubernur. Mereka berkata kepada ‘Utsman:
“Penduduk Makkah tidaklah memeluk agama seorang raja.”
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 65
Respon negatif mereka membuat ‘Utsman mengambil keputusan
untuk memisahkan diri dari kelompoknya. Ia tetap mengamalkan
ajaran-ajaran agama yang baru dipeluknya dan terus mengulang ayat-
ayat Injil hingga hafal: “Janganlah membunuh; jangan mencuri; dan
jangan memberi kesaksian palsu. Janganlah merusak dan berzina.
Hormatilah ayah dan ibumu. Pergilah kepada raja-raja yang adil dan
ulurkanlah tangan kepada orang fakir agar menjadi harta simpananmu
di langit; dan marilah ikut bersamaku membawa salib.”
Adapun sikap Zaid bin ‘Amr tidak hanya berusaha untuk mencari
kesucian dirinya saja, tapi ia juga berusaha untuk memberikan kesu-
cian tersebut kepada kaumnya. Ia mengajak kaumnya yang sedang
dalam kesesatan untuk meninggalkan berhala-berhala dan tidak me-
makan daging qurban yang disembelih di hadapan patung-patung itu.
Ia menyampaikan juga kepada kaumnya tentang larangan praktek
penguburan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. Zaid sering kali me-
larang seorang ayah yang akan membunuh putrinya seraya berkata:
“Janganlah engkau bunuh dia. Biarlah aku saja yang akan mencukupi
makan bayi itu.”
Namun ajakan Zaid itu tetap tidak diindahkan oleh mereka, se-
hingga dalam kondisi yang demikian ia sering kali menyandarkan pung-
gungnya kepada Ka‘bah sambil berkata: “Wahai orang-orang Quraisy,
demi Tuhan yang menguasai jiwa Zaid bin ‘Amr, tak seorang pun di
antara kalian yang lebih dulu memeluk agama Ibrahim, selain aku.”
Ia terus melancarkan kritiknya atas kebodohan orang-orang Quraisy
dan apa yang disembahnya. Ia menyerukan kepada mereka untuk tidak
melakukan riba, tidak berbohong, tidak melakukan kezhaliman, dan
tidak menyembah patung-patung. Dalam seruan-seruannya, Zaid mel-
antunkan syair-syair panjang, menceritakan kisah Nabi Musa melawan
Fir‘aun; Nabi Yunus melawan ikan paus; dan cerita sejarah tentang
misionaris terdahulu yang sudah pernah kontra dengan para penguasa
diktator dan tiranik.
Propaganda-propaganda yang dilancarkan oleh Zaid cukup mere-
sahkan perasaan kalangan para elite masyarakat. Dengan demikian,
dilakukanlah suatu upaya untuk membendung gerakan Zaid bin ‘Amr
66 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
ini. Orang-orang yang merasa tidak aman dengan propaganda Zaid
berusaha mencari pamannya yang bernama Al-Khaththab. Dia adalah
paman Zaid yang tergolong saudagar kaya yang suka memeras, mer-
ampas, mabuk, dan main perempuan.
Pada suatu hari datanglah Al-Khaththab menemui keponakannya.
Ia meminta kepada Zaid agar bersedia menghentikan aksi protes dan
propagandanya, tetapi langkah preventif dan permintaan itu ditolak
oleh Zaid dan ia tetap konsisten pada pendiriannya. Bahkan Zaid terus
dengan gencar melancarkan kritik dan propagandanya itu, sehingga
dengan perasaan yang kesal melihat ulah keponakannya, sang paman
akhirnya bertindak dengan cara kekerasan.
Zaid pergi ke gunung Hira’ yang berada di dekat Makkah. Di tempat
itu ia melakukan kontemplasi dalam waktu yang cukup lama. Setelah
itu, ia kembali lagi ke tengah-tengah kaumnya dan membawa ajaran
untuk meninggalkan perilaku amoral yang mewarnai kehidupan mer-
eka.
Karena cara untuk mencegah aksi keponakannya sudah tidak
mempan lagi, Al-Khaththab pun menggunakan siasat lain untuk
mendiskreditkan keponakannya itu. Maka ditempuhlah siasat licik,
yaitu provokasi. Zaid diadu domba dengan pemuda-pemuda Quraisy,
termasuk di antara mereka adalah putranya sendiri, yaitu ‘Umar bin
Khaththab. Al-Khaththab memerintahkan kepada mereka untuk tidak
membiarkan Zaid memasuki Makkah. “Jangan kalian membiarkan si
Zaid itu memasuki Makkah secara leluasa,” imbau Al-Khaththab.
Dengan imbauan itu, maka diadakanlah pengawasan terhadap
Zaid, sehingga ia tak mungkin lagi memasuki Makkah secara leluasa.
Meskipun demikian ketat pengawasan tersebut, Zaid masih juga bisa
memasuki Makkah secara sembunyi-sembunyi. Namun sial sekali, ia
ketahuan pemuda-pemuda Quraisy ketika masuk Makkah hingga mer-
eka memukulinya secara biadab. Mereka sangat khawatir akan terjadi
pengrusakan terhadap tatanan sosial yang dianggap sudah mapan.
Bahkan mereka juga khawatir terhadap protes dan propaganda yang
dilancarkan Zaid akan sampai mempengaruhi warga Quraisy.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 67
Dalam situasi demikian, bagi Zaid kehidupan ini terasa sempit,
sesak, dan pengap dalam kungkungan dan belenggu orang-orang
bodoh. Karena itu, ia memutuskan untuk pergi ke Hijaz dengan
maksud akan mencari agama Ibrahim. Ia berangkat berkelana ke
seantero Jazirah Arab, sehingga ia sampai ke Mosul. Di tempat itu
ia bertanya kepada para pendeta dan orang-orang yang ditemuinya
tentang agama Ibrahim.
Pendeta Yahudi dan Kristen yang ditemuinya sama-sama me-
maparkan secara detail tentang agama mereka masing-masing. Na-
mun penjelasan-penjelasan yang ia terima tetap saja tidak membuat
hatinya puas. Ia menolak kedua agama itu. Maka berkatalah para
pendeta itu kepada Zaid: “Kalau begitu, engkau sebenarnya mencari
suatu agama yang tidak akan engkau temui lagi pembawanya.”
Perjalanan panjang mencari kebenaran membuat Zaid dalam
kegelisahan. Namun ia tetap optimis. Ia terus berkelana, berpindah
dari suatu negeri ke negeri yang lain, mengetuk setiap pintu rumah
pendeta dan pemuka-pemuka agama, keluar masuk dari suatu gereja
ke gereja yang lain. Ia sempat dibuat heran oleh para penyembah api
yang melumuri kepalanya dengan debu-debu suci bersama para tukang
tenung; demikian pula orang-orang yang memeluk agama Budha dan
agama Zoroaster didatanginya, tetapi kebenaran yang ia cari-cari
selama ini masih juga belum ditemukan. Ia yakin bahwa kebenaran
sejati pasti terdapat pada agama yang lain dan ajaran yang lain. Dia
terus berkelana seperti seorang yang terlempar dari atas kendaraan
yang ditungganginya. Tangannya menggenggam sebuah tongkat; tu-
buhnya yang kurus kering karena dimakan usia, terguncang-guncang.
Tubuh yang sudah tinggal tulang itu hanya dibungkus dengan baju
yang terbuat dari kain kasar yang ditambal-tambal. Jenggotnya yang
memutih bergetar-getar. Kedua belah matanya yang cekung menatap
dengan pandangan kosong.
Pada suatu perjalanan panjang yang menyiksa kehidupannya, Zaid
dihadang oleh beberapa orang pencuri. Ia disiksa hingga penyiksaan itu
merenggut nyawanya. Kontan saja, mendengar informasi tentang ke-
68 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
matian Zaid, para bangsawan sangat gembira, sementara orang-orang
yang profesinya sama dengan Zaid untuk mengabdikan hidupnya dalam
mencari kebenaran, merasa sangat terpukul dan berduka sedalam-
dalamnya. Termasuk di antara mereka, teman-teman seperjuangannya
adalah Waraqah bin Naufal. Setiap kali terkenang memori perjalanan
perjuangan Zaid, air mata Waraqah terus-menerus bercucuran mem-
basahi pipinya yang sudah mulai keriput.
g
Muhammad juga menangis atas kepergian seorang penyuluh agung
yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam perjalanan panjang untuk
mencari kebenaran sejati sebelum ia menemukannya. Muhammad
menyimpan rasa kagum yang teramat besar kepada penyuluh agung
yang telah pergi untuk selamanya.
Muhammad bin ‘Abdullah juga terkenang kembali pada beberapa
tahun yang silam semenjak bertemu dengan Zaid, sewaktu makan
bersama di sebuah tempat ia berdagang, di mana waktu itu Zaid Bin
‘Amr sedang dalam pengembaraannya untuk mencari kebenaran yang
dia semaikan dalam hatinya.
Ketika itu Zaid menolak untuk makan daging qurban yang disem-
belih di bawah kedua belah kaki patung-patung yang dipertuhankan.
Dalam pertemuan itu Muhammad yang masih berusia dua puluh tahun
sempat berdialog dengan Zaid. Pertemuan itu adalah pertemuan dua
insan yang sama-sama merasakan keprihatinan yang serius terhadap
kebejatan orang-orang Quraisy, tuhan mereka yang tuli, dan tradisi-
tradisi yang sangat kondusif bagi berakarnya praktek eksploitatif
para saudagar besar atas leher-leher para budak. Sementara Muham-
mad waktu itu tidak menolak untuk makan daging binatang qurban,
tetapi Zaid adalah orang yang sangat konsisten dalam memegang
pendiriannya. Ia lebih memilih lapar daripada kenyang dengan makan
binatang-binatang yang disembelih di hadapan patung-patung tanpa
proses penyembelihan yang menyebut nama Tuhan Ibrahim.
Tiap kali terkenang Zaid, Muhammad merasakan duka yang begitu
mencekam. Zaid adalah pemeluk agama monotheisme. Dengan posisi
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 69
itu, Zaid bin ‘Amr diperlakukan oleh orang-orang Quraisy sebagai
seorang penjahat, lantaran melakukan kritik terhadap tatanan sosial
mereka dan melancarkan aksi propaganda untuk mengadakan refor-
masi terhadap sistem sosial. Semua saudagar kaya, bahkan keluarga
dekatnya pun tidak menaruh rasa kasihan sama sekali kepadanya.
Pamannya yang bernama Khaththab yang sangat dihormati oleh Zaid
dan putranya yang bernama Ibnu Khaththab -seorang pemuda Quraisy
yang terkenal pemberani-, keduanya tidak mempunyai rasa iba sama
sekali atas kematiannya.
Zaid bin ‘Amr telah pergi untuk selama-lamanya. Dialah sang pen-
erang yang hanya bersinar sekejap mata, selaksa bintang berekor yang
melesat di tengah gelap-gulitanya kehidupan Makkah. Akan tetapi, kini
semenjak kematian Zaid, kota Makkah kembali lagi seperti semula.
Para rakyat jelata mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para
bangsawan dan saudagar dengan cara leluasa.
Tak seorang pun yang mau mendengar seruan Zaid, sedangkan
kebohongan para pembohong justru masih didengar. Harta kekayaan
para rentenir kian menjulang tinggi hari demi hari. Tukang-tukang
tenung dan para penjual budak semakin lihai bersilat lidah. Meski-
pun demikian, di mata orang-orang hipokrit dan penjilat, mereka
tetap memancarkan cahaya terang yang menyilaukan.
Sementara itu, Muhammad, seorang pemuda, bekerja sebagai bu-
ruh kasar untuk menyambung hidupnya sebagaimana kehidupan pahit
yang dirasakan ayahnya. Dahulu, untuk sekedar menyambung hidup,
ayahnya harus menyambung nyawa hingga menemui ajalnya. Semen-
tara di sekitarnya hidup para elite Quraisy, seperti pamannya sendiri,
Abu Lahab, Walid bin Abu Sufyan yang memiliki emas bertumpuk-
tumpuk dan beratus-ratus budak. Siapakah yang merintis terciptanya
kondisi sosial seperti ini?
Dalam kondisi seperti itu, Hubal tetap saja berdiri tegak di sisi
Ka‘bah dan membiarkan orang-orang yang berlaku semena-mena.
Sikap Hubal dan tuhan-tuhan Ka‘bah tidak punya rasa solidaritas dan
loyalitas sedikit pun terhadap nasib si miskin.
70 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Dalam suatu kafilah yang terdiri dari seribu unta dan dua ratus
budak, paling sedikitnya sembilan ratus unta dan sebagian besar dari
dua ratus budak adalah milik tiga atau empat orang kaya Makkah.
Selebihnya adalah milik orang lain.
Kendatipun banyak orang yang kaya-raya, tetapi ketika terjadi
suatu peperangan, maka tetap saja orang-orang melaratlah yang harus
merasakan penderitaan akibat yang ditimbulkan oleh peperangan itu,
sedangkan orang-orang kaya hanya memikirkan keselamatan dirinya
sendiri. Sewaktu perang Fijar berkecamuk beberapa tahun yang silam,
Muhammad menyaksikan kelakuan pamannya, Abu Lahab, dan para
koleganya yang kaya. Mereka minta perlindungan kepada pamannya,
Zubair, dan pemuda-pemuda miskin.
Dalam pertempuran yang berlangsung di dekat Ka‘bah itu, Muham-
mad ikut bergabung juga. Ia berdiri di dekat pamannya, melindungi
mereka dari serangan panah-panah musuh dan akhirnya pertempuran
itu dimenangkan orang-orang Quraisy.
Pada waktu itu Zubair dan para pasukan penunggang kuda yang
berasal dari kalangan orang-orang miskin usai peperangan hanya
memperoleh bagian yang sangat sedikit; satu dinar atau dua dinar
saja. Kondisi ini berbeda sekali dengan apa yang telah diperoleh oleh
Abu Lahab dan Abu Sufyan. Mereka berdua memperoleh bagian beribu-
ribu dinar.
Dialah Muhammad yang terpaksa bekerja sebagai buruh kasar dalam
kafilah-kafilah, sekedar untuk menyambung hidup. Ia tidak memiliki
simpanan satu dinar pun. Ia harus menyambung nyawa bersama seorang
pamannya, Zubair, dalam perjalanan musim panas ke Yaman.
Di sinilah Muhammad melihat dengan kedua belah matanya perilaku
para pedagang dalam mencari keuntungan. Mereka mengurangi tim-
bangan dan curang dalam menakar. Praktek perdagangan yang penuh
kecurangan ini menjadi gugatan Muhammad. Di dalam hati kecilnya
ia berkata, mengapa para pedagang itu tidak cukup puas dengan
memperoleh keuntungan dari cara tukar-menukar yang baik dan harga
seimbang?
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 71
Ia pulang kembali ke Makkah dengan membawa beban pikiran
yang sangat menyusahkan batinnya. Ia berpikir tentang kebohongan
besar yang menjadi sokoguru kekayaan penduduk Makkah. Sebenarnya
apa yang dilakukan oleh para pedagang itu tidak layak bila dianggap
mencari keuntungan belaka. Kelakuan mereka jauh lebih jahat dari-
pada membungakan uang. Para pekerja yang ikut kafilah-kafilah juga
berbuat curang ketika menjual; dan mereka melakukan tindakan korup
pada laba yang diperolehnya dengan cara curang. Maka demikianlah,
kecurangan bercampur-aduk kecurangan. Ada jaringan terorganisir
memeras buruh. Sebaliknya, para buruh tidak risih-risih lagi untuk
melakukan tindakan korup.
Amanat merupakan mata uang yang tidak laku di pasar yang jelek
itu. Kebenaran, kesucian, dan kejujuran hanyalah suara sayup-sayup
yang digulung oleh gelombang-gelombang teriakan para calo, gemer-
incing emas, dan godaan barang-barang perhiasan.
Muhammad ingin sekali pergi dari bergabung bersama kafilah,
dengan membawa barang dagangannya sendiri atau barang dagangan
pamannya yang diasuh oleh Abu Thalib. Dalam hatinya berharap,
siapa tahu ia bisa bekerja pada seorang juragan yang jujur dalam cara
memperoleh laba.
Tetapi siapakah gerangan yang mau mempekerjakannya sekarang,
sebab ketika ia pulang bersama orang-orang yang sama-sama ikut
dalam kafilahnya, mereka justru menggunjing kelakuannya yang tidak
mau mengikuti kebiasaan mereka yang suka melakukan kecurangan
dalam menakar dan menimbang.
Memang begitulah kenyataannya. Muhammad benar-benar menen-
tang kebiasaan praktek perdagangan mereka. Bahkan ia menyarankan
kepada mereka untuk menyempurnakan timbangan dan tidak mengu-
ranginya. Sebab itu, kini tak seorang pun yang mau menerima Muham-
mad untuk diangkat sebagai pekerja pada perdagangannya.
Kendatipun demikian tradisi itu berjalan dalam tatanan masyara-
kat yang mayoritas serba curang, namun secara minoritas masih ada
beberapa orang juragan yang mencari keuntungan dengan cara-cara
72 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
yang jujur, hanya saja jumlahnya relatif terbatas. Lalu bagaimanakah
cara untuk bekerja pada mereka? Akankah Muhammad menawarkan
diri kepada mereka? Penolakannya terhadap praktek penipuan dalam
berdagang membuat ia enggan sekali untuk bekerja pada juragan-
juragan yang rakus, meskipun ia harus menanggung resiko beban hidup
yang sangat berat, bahkan mati sekalipun.
g
Untuk kesekian kalinya, Muhammad hidup seorang diri di rumah
pamannya, Abu Thalib. Ia hidup seorang diri tanpa memiliki apa-apa,
selain cita-cita masa depan yang tak menentu dan memori-memori
kelabu kehidupan masa lalu yang diwarnai coretan tinta hitam. Seuntai
kenangan ketika hidup bersama ibunya, kini muncul lagi kepermukaan.
Ibunya yang meninggalkan dia sebatang kara; ayahnya yang tak pernah
dilihatnya; dan kakeknya pun yang sangat menyayanginya, kemudian
ia ditinggal hidup terlunta-lunta seorang diri dalam kehampaan.
Ingatannya melayang-layang hingga pada kenangannya tentang
para penyuluh dan pencari kebenaran sejati yang terisolir dari garis-
garis kehidupan masyarakatnya, sehingga mereka menemui ajalnya
sebagai patriot di padang pasir. Itulah sebuah memori tentang orang-
orang yang berikhtiar untuk membebaskan masyarakat dari belenggu
praktek eksploitatif pada rakyat jelata. Hanya itulah miliknya yang
paling berharga dalam hidupnya. Selain itu, tak ada lagi.
Abu Thalib sudah kehabisan persediaan makanan di rumah, hingga
seluruh anggota keluarganya mencari pekerjaan, sekedar untuk me-
nyambung hidup. Sementara di luar sana, orang-orang kaya menindas
orang-orang yang kekurangan; orang-orang yang berkecukupan meng-
hardik peminta-peminta; dan orang-orang yang kelaparan hidup tanpa
tempat tinggal. Semuanya hidup dalam kesesatan.
Ia berpikir tentang kehidupan, kematian, masa depan, dan ke-
nangan ketika pamannya, Abu Thalib, menerima dirinya dengan berat
hati, lalu berkata kepadanya: “Wahai keponakanku, aku adalah seorang
laki-laki yang tak berharta. Masa demi masa menjerat perjalanan hidup
kita. Tahun demi tahun berlalu tanpa harapan. Kita tak memiliki materi
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 73
dan perdagangan. Inilah unta kaummu telah datang untuk bertolak ke
Syam. Khadijah telah mengutus beberapa orang untuk memasarkan
barang dagangannya dan mencari keuntungan. Andaikata engkau ber-
sedia datang kepadanya, sudah tentu ia akan mendahulukanmu, karena
orang-orang telah menyampaikan kepadanya perihal kesucianmu.”
Muhammad paham betul bahwa yang dimaksud pamannya adalah
Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar perempuan yang kaya-raya
nan cantik jelita yang menyewa orang-orang untuk mengurus barang-
barang dagangannya. Ia dikenal kebaikannya dan kesuciannya, sehingga
pantas jika ia digelari sebagai “perempuan suci”.
Muhammad sebenarnya ingin sekali berdagang barang-barangnya,
tapi Muhammad menolak, karena enggan untuk menawarkan diri ke-
padanya atau untuk meminta-meminta pekerjaan kepadanya. Ia ber-
kata kepada pamannya: “Mudah-mudahan saja ia mengutus kurirnya
untuk menyampaikan masalah itu kepadaku.”
Sang paman menyangkal: “Aku khawatir sekali jika ia akan men-
gangkat karyawan lain.”
Sungguh benar sekali bahwa Khadijah binti Khuwailid -seorang
perempuan terhormat dan kaya-raya itu- adalah saudara sepupu
Waraqah bin Naufal, salah seorang yang menderita mencari kebenaran,
hingga akhirnya ia memeluk agama Kristen. Khadijah nampaknya sangat
terpengaruh dengan ajaran-ajaran yang dibawa Waraqah. Karena itu,
ia tak pernah melakukan praktek pemungutan rente dari modal-modal
usaha perdagangannya yang dipinjamkan kepada pedagang-pedagang
kecil. Ia juga tak pernah dikenal melakukan praktek curang dalam
timbangan dan takaran.
Khadijah telah mendengar perihal perilaku Muhammad. Ia berharap
akan mempekerjakan Muhammad sebagai distributor atas barang-
barang dagangannya. Namun setelah Khadijah mengetahui bahwa
Muhammad enggan sekali untuk menawarkan diri kepadanya, maka
diutuslah seorang kurir untuk menyampaikan inisiatifnya untuk men-
gangkat sebagai karyawan yang bergerak dalam bidang distributor.
Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun; dan dia adalah
74 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
seorang perempuan terhormat. Dalam puncak kecantikannya, ia
teramat sukar untuk didekati. Ia pernah menikah dua kali dengan
saudagar dari kalangan bangsawan Makkah, tapi naas, kedua suaminya
itu meninggal dunia.
Kini Muhammad bin ‘Abdullah merespon positif maksud baiknya.
Muhammad datang menghadap kepadanya. Ketika itu Muhammad
adalah seorang pemuda berwajah tampan berseri-seri, berhidung man-
cung, berdahi lebar, bertubuh tinggi dengan langkah-langkahnya yang
tegap, berbodi sedang, dan berwibawa dengan sorot matanya yang
tajam. Kendatipun ia hidup dalam kemiskinan, namun pakaian yang
ia kenakan nampak terlihat bersih. Rambutnya hitam bergelombang
dan tubuhnya membias bau harum dan aroma yang menyegarkan. Pada
raut wajahnya yang masih baru memasuki masa remaja, menggoreskan
isyarat-isyarat tentang derita kehidupan yang tersimpan, karena beban
kehidupan dan cita-cita panjang yang ia harus lalui.
Khadijah menyambut kedatangannya dengan ucapan selamat
datang, kemudian ia memuji atas kejujurannya, sikap, dan tanggung
jawab, serta latar belakang sejarah kehidupannya yang bersih dari
noda hitam kehidupan masyarakatnya, sebagaimana telah ia dengar
dari orang-orang. Khadijah menawarkan kepadanya untuk membawa
barang-barang dagangannya ke Syam dengan imbalan yang jauh lebih
tinggi di atas imbalan yang pernah diberikan kepada orang lain.
Muhammad menerima tawaran yang disampaikan oleh Khadijah.
Ia berangkat ke Syam dengan membawa barang-barang dagangan
Khadijah. Sekembalinya dari Syam, ia berhasil mengantongi keuntun-
gan yang sangat besar, karena ternyata ia dapat menarik minat para
pembeli untuk berbelanja kepadanya. Ia terapkan cara-cara yang
jujur, tidak mengurangi takaran, baik ukuran maupun timbangan,
dalam melayani para konsumen yang datang berbelanja kepadanya.
Praktek perdagangan Muhammad sangat menyimpang dari cara-cara
yang biasa ditempuh oleh para pedagang lainnya.
Demikianlah Khadijah memperoleh keuntungan dari barang-barang
dagangannya secara berlipat-ganda, di luar perkiraan semestinya atas
kehebatan dan kejujuran Muhammad. Sebagai imbalan atas keberhasi-
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 75
lannya, Khadijah pun memberi dua kali lipat dari upah yang semestinya.
Maka terjalinlah hubungan kerja sama yang baik antara Khadijah
dan Muhammad. Sepanjang tahun Muhammad berkali-kali membawa
barang dagangannya. Bahkan pada perjalanan dagang musim dingin
ke Yaman, Muhammad ikut pergi bersama kafilah-kafilah besar yang
terdiri dari tiga ratus orang dan seribu lima ratus unta.
g
Ketika terdengar informasi di Makkah bahwa kafilah dagang musim
dingin dari Yaman telah pulang kembali dengan membawa keuntun-
gan besar, maka keluarlah semua orang Quraisy untuk mengadakan
penyambutan sebagaimana biasa mereka lakukan. Para penunggang
kuda, penabuh rebana, penari, dan para perempuan berdiri di tepi-tepi
jalan yang akan dilalui kafilah-kafilah itu untuk menyambut kedatangan
mereka.
Sedangkan Khadijah sendiri hanya menyambut para kafilah di
serambi rumahnya. Ia berdiri di serambi rumah dengan didampingi
para hamba sahayanya. Ketika Muhammad tampak di tengah-tengah
iring-iringan kafilah, tiba-tiba hati Khadijah terasa berdebar-debar.
Perasaannya mengakui bahwa sesungguhnya ia menyambut di serambi
rumahnya bukanlah untuk para kafilah, tapi sebenarnya ia menyambut
kedatangan Muhammad, raganya, kepemudaannya, dan kelemah-
lembutan sikapnya. Dia hanya menyambut Muhammad bukan sebagai
orang upahan yang akan menyerahkan keuntungan dari perniagaannya.
Seorang budak Khadijah yang ditugaskan menemani Muhammad,
bercerita banyak tentang perilaku Muhammad yang banyak mengun-
dang perhatian dan daya tarik semua orang, baik kaum lelaki maupun
perempuan. Penuturan tentang perilaku Muhammad yang disampaikan
oleh budaknya membuat perasaan Khadijah semakin tertarik terha-
dap Muhammad hingga dalam hati kecilnya terlontar sebuah kalimat
harapan: “Oh... alangkah bahagianya andaikata ia mau melamarku.”
Akan tetapi, rasa malu, minder, sungkan, perbedaan jenjang usia
yang terlampau mencolok, dan stratifikasi sosial yang sangat senjang
menjadikan idealismenya mendapatkan suatu ganjalan yang cukup
76 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
berat bagi dirinya.
Khadijah secara diam-diam menyuruh Nafisah binti Munabbih
untuk melakukan penjajakan terhadap respon dan sikap Muhammad.
Dengan sikap yang ramah, Nafisah mencoba bertanya: “Wahai Muham-
mad, mengapa engkau tidak segera mencari pendamping hidupmu,
padahal engkau sudah berusia dua puluh lima tahun. Aku yakin setiap
gadis-gadis Quraisy pasti mendambakanmu, karena engkau tepercaya,
pemberani, jujur, dan tampan. Kalau hanya masalah ekonomi yang
membuatmu pesimis untuk memasuki hidup berumah tangga, maka
aku sarankan kepadamu untuk mencari istri yang kaya-raya, bahkan
lebih dari itu semua. Wanita yang kutawarkan itu berasal dari keluarga
terhormat dan baik-baik.”
Mendengar pernyataan Nafisah, Muhammad menjawab dengan nada
menyangkal: “Ah... siapakah gerangan yang mau menerima diriku,
sedangkan diriku hanyalah orang upahan yang melarat.”
Nafisah menjawab: “Perempuan itu, Khadijah....”
Bagai mimpi di siang bolong, Muhammad hampir-hampir tak per-
caya akan kata-kata Nafisah. Ia berkata: “Mana mungkin Khadijah
dengan kekayaan yang melimpah-ruah akan mau menerima pemuda
miskin seperti diriku ini untuk dijadikan suaminya?”
“Tapi biarlah aku yang mengatur semuanya,” sanggah Nafisah.
Maka Nafisah pun segera pulang untuk menyampaikan kabar gem-
bira ini kepada majikannya, Khadijah binti Khuwailid. Disampaikan
juga kepadanya, bahwa Muhammad menginginkan untuk mempercepat
perkawinannya. Hanya saja ia enggan untuk mengajukan lamaran
karena persoalan ekonomi.
Maka diutuslah seorang kurir kepada Nabi Muhammad untuk me-
nyampaikan pesan lamaran kepadanya.
“Aku menaruh simpati kepadamu karena sikapmu yang familier,
bertanggung jawab, perilakumu yang lemah-lembut, dan kata-katamu
yang jujur,” pesan Khadijah.
Buru-buru Muhammad pergi menemui paman-pamannya untuk me-
nyampaikan perihal lamaran Khadijah. Selanjutnya, ia pergi bersama
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 77
Hamzah, paman yang paling mencintai dirinya dan sebaya umurnya,
Zubair, Abu Thalib, dan semua pamannya, untuk menemui Khuwailid
bin Asad, ayah Khadijah. Mereka menyampaikan lamaran buat anak
putrinya untuk dijodohkan dengan Muhammad. Ketika itu Khuwailid
sedang minum tuak; dan dalam keadaan setengah sadar, ia setuju dan
menerima lamaran Muhammad.
Tetapi keesokan harinya setelah ayahnya siuman dari mabuknya,
ia bertanya kepada putrinya, Khadijah, tentang kejadian kemarin.
Maka dikatakan oleh Khadijah bahwa ia mengikat dirinya dalam se-
buah pertunangan dengan seorang pemuda bernama Muhammad bin
‘Abdullah. Mendengar penuturan putrinya, Khuwailid langsung emosi
dan menyangkal atas keputusan itu: “Orang mana yang mau menjodo-
hkan pemuda miskin itu dengan putrinya yang cantik nan kaya, yang
pernah menolak lamaran bangsawan-bangsawan Quraisy?”
Akan tetapi, Khadijah terus membantahnya dan menyatakan rasa
tidak senang kepada ayahnya, jika sang ayah sampai menggagalkan
apa yang sudah menjadi kesepakatan. Dia berkata: “Aku tak butuh
suami yang kaya. Aku memilih pemuda yang akan menjadi pendaming
hidupku bukan karena harta, tapi karena suara hatinya yang tulus,”
begitulah pernyataan Khadijah kepada ayahnya.
Khadijah tahu bahwa Khuwailid tidak setuju lamarannya dengan
alasan ia menyetujui lamaran dalam keadaan mabuk.
Apa pula khamr itu? Bagaimana mungkin khamr dapat merusak
kesadaran seseorang sampai sejauh ini?
Akhirnya, perkawinan dua sejoli itu pun dapat dilangsungkan juga
lantaran Khadijah sanggup mempertahankan diri di hadapan ayahnya.
Zubair, paman Muhammad, merasakan gembira yang meluap-luap;
budak-budak Khadijah menari; dan unta dipotong di pintu rumahnya
untuk dishadaqahkan kepada fakir-miskin sebagai tanda bahagia yang
tiada tara bagi Khadijah yang telah memperoleh segala sesuatu yang
menjadi miliknya untuk dipergunakan semaunya. Hartanya ia shadaqa-
hkan kepada semua orang pada malam itu.
Dalam keharuan dan kegembiraan, Muhammad masih terkenang
78 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
kepada ibunya. Ia mencari Halimah, perempuan yang telah menyu-
suinya, lalu dikirimkanlah empat puluh ekor kambing untuk dijadikan
gembalaannya agar tidak kekurangan lagi hingga ajalnya tiba.
Kini Muhammad hidup senantiasa berada di sisi Khadijah siang dan
malam. Ia telah berpindah seutuhnya dengan cintanya, masa mudanya,
kehidupannya, impian-impian dan obsesi masa depannya ke rumah
perempuan suci itu.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 79
80 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Pengisolasian
di Dinding Tiran
W
ahai anakku, di padang pasir yang ganas dan
bernafas lumpur kutukan, kebohongan, dan
kebejatan, engkau hidup dalam keterasingan. Engkau dalam
keterasingan dan kedukaan! Tiada henti-hentinya engkau merenungi
berbagai fenomena, langit, bumi, dan potret kehidupan, baik kehidu-
pan kaum lelaki, perempuan, maupun anak-anak.
Hidup barumu yang penuh dengan kedamaian bersama seorang
perempuan cantik, suci, lagi bijaksana, yang telah memilihmu sebagai
teman sehidup-semati, hampir tak pernah terlihat senyum kebahagiaan
di bibirmu, sehingga timbul gelombang-gelombang dahsyat yang sulit
dipahami dari kedalaman jiwamu. Tiba-tiba senyum di bibirmu menjadi
beku. Tatapan indah bola matamu membelah kebisuan. Kedua belah
tanganmu yang kekar perkasa melambai-lambai dalam kehampaan.
Dari kedua pelipismu, mengucur keringat deras. Sorot tatapan matamu
yang tajam memancarkan seberkas cahaya yang menggentarkan,
seakan-akan ada sebuah sinar dari keghaiban menyelimutimu, sehingga
wajahmu yang merah merona terlihat galau menanggung beratnya
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 81
beban berbagai hal.
82 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
stapa yang pernah menimpa pada masa kecilmu. Dialah santapan yang
menyegarkan hausnya kejantanan.
Setelah sekian lama engkau mengembara di bawah terik panas
matahari, kini saatnya engkau bersuka ria dalam sebuah rumah yang
dipenuhi dengan suasana bahagia dan lucunya anak-anak. Di tempat
tidurmu, seorang perempuan suci dan senantiasa mendambakan cinta
kasihmu telah siap memberi segala yang menjadi keinginanmu.
Jika demikian realitas yang terjadi, lantas dari manakah sumber
kegalauan yang menyelimuti raut wajahmu dari hari ke hari? Bukankah
usaha perdagangan Khadijah kian hari kian berkembang pesat dalam
kekuasaanmu? Begitu pula sebaliknya, penghasilanmu kian menumpuk
di bawah kekuasaannya.
Engkau telah menjadi seorang ayah bagi anak-anak. Engkau kini
bebas berdagang sesuka hatimu, tanpa harus mengurangi sukatan atau
timbangan. Karena kejujuran itulah hingga engkau mendapat predi-
kat dari kaummu dengan sebutan “Al-Amin”. Tidak sedikit di antara
mereka yang mengikuti jejakmu.
g
Tapi hidup ini bukan hanya sebuah rumah mewah sebagai tempat
tinggal, bukan hanya karena istri cantik, baik budi, dan mencintai,
serta bukan pula hanya karena anak-anak yang memenuhi kebahagiaan
hati.
Sungguh, semua fasilitas itu merupakan ketenangan yang akan
menghiasi sebuah rumah tangga. Tapi fenomena kehidupan di luar
pintu sedang mengalami goncangan dahsyat yang sangat melukai hati
yang tenang.
Pasca menikmati bulan madu, engkau telah memperoleh ketenan-
gan dan ketenteraman yang mampu mengisi kehidupanmu, seorang
istri yang cantik dan baik hati, serta anak-anak kecil yang memberi
rasa bahagia bagi orang yang melihatnya. Akan tetapi, duniamu yang
luas, tempat tinggal hidupmu, tak pernah berada dalam ketenangan
dan ketenteraman. Semuanya sama sekali tak ada yang membahagia-
kanmu. Kondisi ini adalah sebuah kontradiksi yang membelah di antara
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 83
rumah dan alam di sekitarmu.
Akan tetapi, kehidupan di rumahmu mampu memberi kekuatan
untuk menghadapi sebuah dunia yang menjadi tempat berkocolnya
kebohongan. Kehadiran Khadijah dalam hidupmu sangat berarti sekali
setelah setahun engkau jalani kehidupan berumah tangga. Karenanya,
kian dalam pula cintamu. Segala bentuk kepalsuan dan kebohongan,
engkau hadapi bersamanya.
Berdua engkau peroleh kelapangan hidup dan berdua pula engkau
telah kehilangan anak. Keringat dan air matamu bercampur jadi satu.
Dia, istrimu, menangis di pundakmu, ketika Qasim –buah cintamu– men-
emui ajalnya. Ketika itu pula, engkau tak mampu menahan iba hingga
akhirnya engkau pun menangis di pundaknya. Lalu dia menghapus air
mata yang menetes di pipimu, kemudian dia memberimu anak-anak
yang lain.
Jika para bangsawan Quraisy tidak mempunyai rasa solidaritas
sama sekali pada persoalan intelegensia dan kerja, namun istrimu
justru sangat memperhatikan intelegensia dan kerjamu. Dialah yang
telah membersihkan dirimu dari kotornya kehidupan yang diwarnai
dosa, foya-foya, perjudian, dan pelacuran.
Wahai Abul Qasim, kini engkau tak ingin membebaninya lagi den-
gan persoalan yang menggalaukan batin, setelah kematian anakmu,
Qasim. Biarkan perempuan agung itu dalam duka kematian anaknya
(jangan beri beban lagi), sebab beban batin yang harus dipikulnya
terasa teramat berat baginya!
Betapa berat beban batin yang harus engkau pikul, wahai Anakku!
Apa rencanamu selanjutnya?
Membicarakannya bersama sahabat karibmu yang bernama Abu
Bakar.
Abu Bakar bin Abi Quhafah adalah satu-satunya orang di antara
para pemuda Quraisy yang setia dan tulus hati kepadamu. Karena itu,
engkau dapat mencurahkan segala beban persoalan yang terpendam
di dalam hatimu kepadanya. Dia adalah orang yang mempunyai kohe-
sifitas sosial dalam hal ikhtiar pembebasan seperti dirimu juga. Dia
84 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
orang yang mempunyai keyakinan bahwa patung-patung itu hanyalah
batu-batu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak akan pula
mencelakakan. Ia sudah pernah mengutarakan semua itu kepadamu.
Engkau pun juga tahu bahwa ia tak pernah menyembah patung-patung
itu. Tiada henti-hentinya ia menceritakan pertama kali pertemuannya
dengan patung-patung itu kepada teman seusianya yang tidak percaya
pada patung-patung itu.
Sewaktu dia (Abu Bakar) masih kecil, ayahnya pernah membawanya
pada suatu tempat seraya berkata: “Inilah tuhan-tuhanmu sebagai
sesembahan yang paling agung.” Kemudian ia meninggalkan ayahnya.
Setelah si kecil –Abu Bakar– mendatangi tuhan-tuhannya, ia berkata
kepada salah satu patung-patung itu: “Aku lapar. Berilah aku makan!”
Tetapi apa yang terjadi, ternyata patung itu diam saja membisu seribu
bahasa. Si bocah kecil melanjutkan kata-katanya lagi: “Aku telanjang.
Berilah aku pakaian!” Karena patung itu tidak menjawab, si bocah
kecil lalu melemparkan sebongkah batu. Karenanya, patung itu roboh
dalam kondisi tertelungkup. Sejak si bocah kecil melihat sebuah pa-
tung yang roboh tertelungkup ke bumi, sejak itu pulalah ia tidak mau
menyembah tuhan yang tuli dan lemah yang dapat dirobohkan oleh
anak kecil dengan sekali pukulan saja.
Tetapi Abu Bakar tidak tergolong anak kecil, bukan pula anak yang
telanjang, dan bukan pula anak yang kelaparan. Kini dia telah melalui
usia tiga puluh tahun seperti dirimu, wahai Muhammad! Dia pernah
pergi bersamamu dalam suatu perjalanan dagang. Dalam usianya yang
relatif muda, ia telah berhasil meraih posisi sebagai bangsawan. Ia
terus menekuni usaha perdagangan miliknya sendiri dan mengikuti
jejak-jejakmu dalam praktek jual beli, seperti dalam menakar dan
menimbang; dia tak pernah melakukan pengurangan dalam sukatan
dan timbangan.
Ia juga tak pernah melakukan cara-cara bohong. Kalian berdua
sama-sama memendam sikap anti terhadap tindakan para bangsawan
Quraisy. Engkau berdua sama-sama mendambakan terciptanya sebuah
dunia yang menjunjung keadilan; sebuah dunia di mana sudah tak ada
lagi si pembesar menjerat leher si kecil; tak ada lagi seorang pemberi
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 85
utang yang merendahkan martabat orang yang punya utang; tak ada
orang kuat yang bertindak semena-mena kepada si lemah. Kalian
berdua sama-sama mendambakan kedudukan yang lebih terhormat
bagi kaum perempuan, lebih dari sekedar pemuas nafsu birahi kaum
pria belaka.
Engkau berdua sama-sama mengetahui realitas sosial tersebut
dan merasakan suatu keprihatian yang mendalam terhadap sistem
sosial yang berlaku di Makkah. Semua itu tiada henti-hentinya engkau
renungkan.
Sedangkan Abu Bakar mempelajari secara serius literatur-literatur
orang-orang terdahulu yang sampai kepadanya. Alangkah beruntungnya
dia, karena kehidupan telah memberi kesempatan belajar membaca
dan menulis. Semua ini berbeda dengan kondisi dirimu. Abu Bakar
senantiasa membaca dan menghafal berbagai referensi yang sampai
kepadanya. Perjalanan dagangnya dijadikan kesempatan untuk me-
nambah pengetahuan, sehingga saat ini dia menjadi pemuda Quraisy
yang paling banyak memahami masalah-masalah tentang seputar
kebudayaan; dan engkau sendiri mengagumi kepiawaiannya.
Engkau berdua sama-sama mengetahui bahwa yang menjadi faktor
dominan tetap bercokolnya patung-patung di sekeliling Ka‘bah lantaran
suasana kehidupan dan sistem perdagangan masyarakat Quraisy. Para
penjaga patung-patung Ka‘bah itu adalah biang keladi kebobrokan
masyarakat Quraisy yang menganut sistem kehidupan amoral. Patung-
patung itulah yang telah memberkati aturan-aturan ini. Sementara
terhadap selain norma-norma yang telah ditentukan, patung-patung
itu sama sekali tak akan mentolerir. Patung-patung itu yang menarik
beribu bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk menunaikan ibadah
haji, membayar pajak kepada para bangsawan Quraisy, dan meramaikan
musim haji dengan perdagangan, sehingga dengan aturan-aturan itu
bertambahlah kekayaan para bangsawan Quraisy dari tahun ke tahun,
walaupun sebenarnya sebagian dari kalangan masyarakat Quraisy telah
melancarkan kritik tajam terhadap pola hubungan sosial para elite
penguasa dengan rakyat jelata serta mengecam patung-patung yang
memberikan legitimasi pada aturan-aturan ini.
86 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Kekayaan kota Makkah berada dalam genggaman segelintir orang
saja, sementara orang-orang yang berada dalam penderitaan jum-
lahnya bisa mencapai berpuluh-puluh ribu orang. Semua ketimpangan
sosial ini diberikan legitimasi oleh patung-patung Ka‘bah.
Siklus roda-roda kehidupan di Makkah dan ekspansi dalam bidang
perdagangannya kian mempertajam ketimpangan sosial ini, di mana
yang kaya semakin bertumpuk kekayaannya, sementara mayoritas
penduduk yang hidup dalam kemiskinan semakin tenggelam dalam
jurang penderitaan, sehingga membuat hati kaum tertindas semakin
muak terhadap kehidupan yang menjerat mereka. Semua orang tahu
bahwa semua ini adalah kebathilan yang nyata.
Patung-patung Ka‘bah tidak mampu lagi mengisi hati manusia dan
memuaskan kehidupan spritual mereka. Relasi yang terjalin antara
sang penguasa dan rakyat jelata dan antara si kaya dan si miskin sudah
dipandang sebagai pola hubungan sosial yang tak layak lagi direalisasi-
kan untuk masa-masa yang akan datang. Para penduduk Makkah yang
berada dalam kemiskinan memahami bahwa kenyataan hidup yang mer-
eka jalani adalah kehidupan yang menindas dan tiranik. Mereka juga
paham bahwa tuhan-tuhan yang banyak itulah yang telah melindungi
kondisi sosial yang bercorak penindasan ini, sehingga menyebabkan
kian bertambah jurang kemiskinan mereka dan bertambah investasi
kekayaan orang-orang kaya. Dialah tuhan-tuhan yang biadab! Dialah
tuhan yang keji!
Rakyat kecil yang hidup dalam kesusahan dan keterpurukan telah
menyadari sepenuhnya bahwa untuk memberikan solusi dari gejolak
sosial kiranya perlu sistem hubungan sosial yang lebih manusiawi dan
nilai-nilai spiritual baru. Sebuah sistem sosial yang baru tersebut sangat
dituntut kemampuannya untuk menegakkan pola hubungan sosial yang
stabil dan seimbang.
Tapi yang jelas, para pembesar Quraisy tidak akan pernah tol-
eran dan takkan pernah membiarkan aturan yang arif dan bijaksana
ini terus berkembang di tengah-tengah masyarakat Quraisy. Bahkan
sebagian dari pembesar Quraisy sengaja menghindar dari perbuatan-
perbuatan terpuji sebagai upaya membendung berbagai reaksi sosial
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 87
dan memadamkan berbagai cahaya yang akan bersinar dalam dinding
kepekatan tersebut.
Seorang bangsawan Quraisy yang bernama Khaththab bin Nufail tak
mau lagi melindungi tetangga yang satu kabilah dengan dirinya. Bahkan
ia tidak mau lagi menampung keponakannya yang bernama Zaid bin
‘Amr bin Nufail, karena ia berani gencar melakukan aksi kritik terhadap
nilai-nilai spiritual yang dianut oleh pembesar Quraisy, patung-patung,
berhala-berhala, politheisme, dan sisitem sosial masyarakat Makkah.
Di samping itu, karena keponakannya menuntut semua terciptanya
keadilan dan sistem nilai-nilai spiritual baru yang dapat menjawab
tuntutan dan kebutuhan bagi perkembangan masyarakat Makkah. Den-
gan demikianlah, setelah disiksa oleh orang-orang bodoh itu, akhirnya
Zaid dibuang ke padang pasir agar ia mati terasing dan sia-sia.
Wahai Muhammad, engkau tangisi kepergian Zaid. Demikian pula
Waraqah bin Naufal, Khadijah, dan Abu Bakar, turut berduka cita atas
kepergiannya.
Di antara orang-orang yang berpaling dari patung-patung itu dan
mengecam kebejatan kaumnya adalah Umayyah bin Abi Shalt. Secara
tegas Umayyah menyatakan bahwa tuhan-tuhan Ka‘bah tidak mampu
mengisi kehampaan batin yang dirasakannya. Akan tetapi, agar tetap
hidup, secara terpaksa Umayyah memuji-muji orang kaya Tsaqif di
Thaif dan orang-orang kaya Quraisy di Makkah yang sebelumnya ia
kritik melalui syair-syairnya.
Setelah kepergian Zaid, masih banyak lagi orang yang menentang
kebathilan, seperti Khalid bin Sinan yang menyerukan kepada kaumnya
agar mereka mau meninggalkan kehidupan yang kotor, hidup saling
menolong antar sesama, dan tidak menindas kaum lemah. Kepada
mereka dikabarkan juga kerajaan langit. Dia berharap agar mereka
meningggalkan patung-patung itu dan hanya menyembah Tuhan Yang
Maha Esa yang menguasai segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi, tetapi mereka mengabaikannya.
Pada mulanya mereka hanya mengejeknya, tetapi kemudian ketika
mereka menemukan orang yang mengikuti ajakannya, maka mereka
menyiksanya hingga meninggal dunia. Mereka minta kepadanya agar
88 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
minta tolong kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diajarkan, supaya
Tuhan yang dipercayainya dapat menyelamatkan dari siksaan mereka.
Maka demikianlah, Khalid bin Sinan menutup kedua belah mat-
anya yang mengucurkan darah dalam obsesinya tentang sebuah dunia
yang menjunjung tinggi keadilan dan nilai-nilai spiritual yang diidam-
idamkan.
Para pemegang kekuasaan Makkah yang terdiri dari para rentenir
dan pedagang-pedagang besar niscaya akan pergi bagaikan ikan-ikan
buas menelan ikan-ikan kecil yang menggigit daging segar dan kian
menambah pertumpahan darah. Tetapi rekayasa sosial yang dilakukan
oleh penyuluh agung itu tak ubahnya selaksa upaya menambal baju
kumal yang compang-comping dan tak dapat dipakai lagi. Mereka
tak ubahnya melakukan rehabilitas sebuah bangunan yang reot yang
menuntut rehabilitasi total, di mana kemudian hari dibangun lagi
dengan sebuah konstruksi yang baru sama sekali.
Para penyuluh-penyuluh agung itu berikhtiar untuk melakukan
renovasi terhadap masyarakatnya, sementara itu masyarakatnya
menuntut suatu revolusi total hingga ke akar-akarnya, kemudian
menciptakan sebuah tatanan konstruksi baru, pola hubungan sosial
dan sistem nilai-nilai spiritual baru yang dapat mengikis mitos-mitos,
menghapus dominasi ideologis manusia atas manusia lainnya, dan
membasmi patung-patung dengan seluruh pelayan-pelayannya serta
orang-orang yang memegang otoritas terhadap jalan kehidupan orang
lain yang mengatas-namakan patung-patung itu.
Dalam tatanan sosial baru tersebut tidak dibenarkan lagi ada orang
yang menggantungkan hidupnya pada seseorang atau alam; dan juga
tak layak lagi seseorang menyerahkan pekerjaannya kepada seseorang
yang mengatur seluruh aktivitasnya. Demikianlah karena setiap manu-
sia sama-sama memiliki hati untuk memahami, memiliki mata untuk
melihat, dan memiliki akal untuk berpikir secara logis. Setiap manusia
harus menjaga dirinya dari kenistaan dan menjaga kondisi badannya
dari segala sesuatu yang membahayakan. Janji yang diucapkannya dan
hak sesama manusia harus dihormati. Setiap manusia mempunyai hak
untuk hidup bebas.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 89
Oleh karena itu, Muhammad bin ‘Abdullah tidak mau memiliki
budak-budak. Ia sangat menekankan kepada istrinya agar memper-
lakukan budak-budaknya sebagaimana layaknya orang yang merdeka
dan tidak lagi menyebut-nyebut mereka dengan sebutan budak atau
pelayan.
Ketika Khadijah membeli seorang budak laki-laki yang bernama
Zaid bin Haritsah, Muhammadlah yang membayarnya, lalu ia di-
merdekakan olehnya, kemudian diangkat sebagai anaknya. Pada saat
Zaid telah menemukan ayah kandungnya, Muhammad memberikan
kebebasan baginya untuk memilih antara tetap tinggal bersama atau
kembali kepada keluarganya. Namun akhirnya, Zaid mengambil kepu-
tusan dan memilih tetap tinggal bersamanya dan menjadi anak ang-
katnya. Dengan demikian, tak dapat dielakkan lagi betapa pentingnya
mewujudkan suatu etika sosial yang menjunjung tinggi kejujuran dan
mengikis habis sebuah pengkhianatan.
Dalam kehidupan masyarakat yang baru tersebut, prinsip amanat
dan melindungi hak asasi setiap orang tanpa diskriminasi antara ras
yang berkulit hitam dan berkulit putih, antara bangsawan dan si budak,
antara si kaya dan si miskin, antara laki-laki dan perempuan, telah
direalisasikan dengan baik.
Dalam tatanan sosial baru tersebut, kepentingan sosial harus
mendapatkan perlindungan. Dengan demikian, dituntut adanya pemer-
iksaan terhadap pelaku pencurian dan penindasan, di mana seorang
yang melakukan pengkhianatan harus mendapat balasan terhadap dosa
yang dilakukannya. Seorang pelaku tindak kriminal pembunuhan harus
dibunuh pula tanpa adanya diskriminasi antara si kaya dan si miskin,
bahkan setiap perbuatan yang melukai orang lain harus dikenakan
hukum qishas.
Demikian pula dalam tatanan sosial yang baru tersebut, semua
kepentingan keluarga harus pula dilindungi. Oleh karena itu, bagi
pelaku perbuatan zina harus dijatuhi hukum pidana. Dalam konteks
tersebut dituntut pula adanya perlindungan terhadap kehormatan
perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga, seorang istri,
teman hidup, dan tumpuan hati. Maka tak dibenarkan lagi seorang
90 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
perempuan menyerahkan diri kepada seorang laki-laki untuk suatu
waktu tertentu, kemudian setelah laki-laki itu puas menikmati tu-
buhnya ternyata perempuan itu ditinggalkan begitu saja. Poliandri tak
dapat dibenarkan lagi. Para janda harus mendapatkan perlakuan yang
terhormat. Para janda tidak dapat lagi dipaksa untuk memilih seorang
pria sebagai suaminya, terkecuali mereka memang mencintainya.
Seorang istri harus mendapatkan perlakuan yang terhormat sebagai
seorang manusia yang sama-sama membutuhkan, bukan hanya sebagai
pemuas nafsu birahi belaka.
Dalam tatanan masyarakat baru tersebut tak dapat dibenarkan
lagi para perempuan memancangkan umbul-umbul di depan rumahnya
untuk menjemput kehadiran kaum laki-laki, lalu bila perempuan itu
hamil dan melahirkan anak, maka nasab anaknya dikaitkan dengan
laki-laki yang menyerupai wajahnya.
Semua itu adalah perbuatan keji, nista, dan hina. Masyarakat harus
menghindari semua perilaku-perilaku tersebut. Dalam kondisi yang
sudah demikian parah bobroknya, maka rekayasa sosial yang bersifat
rehabilitasi atau renovatif merupakan suatu solusi yang tidak kondusif.
Oleh karenanya, tak ada cara lain lagi selain melakukan rekayasa se-
cara revolusioner dan totalitas untuk kemudian direkonstruksi dengan
sebuah konstruksi sosial baru.
Dengan demikian, dituntut adanya gerakan pembasmian praktek-
praktek riba, kenistaan, kebejatan, penindasan, dan sikap arogansi
para penguasa, sehingga pada akhirnya gerakan tersebut dapat
mewujudkan tegaknya keadilan, terbebasnya manusia dari perlakuan
sewenang-wenang dan rasa takut, terbebasnya akal dan hati manusia
dari cengkeraman patung-patung dan kekuasaan yang bersembunyi
di balik patung-patung itu, serta terciptanya prinsip-prinsip pola
hubungan sosial antara pria dan perempuan yang sama-sama berposisi
sebagai manusia.
Hanya saja, bagaimana cara mewujudkan rekayasa secara revolu-
sioner itu?
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 91
Semua problema sosial ini sudah cukup lama menjadi perbincan-
gan antara Muhammad bin ‘Abdullah dengan shahabat karibnya yang
bernama Abu Bakar. Mereka berdua pergi dalam perjalanan dagang
bersama-sama. Mereka bersama-sama mendatangi dan menyaksikan
para pendeta dan tukang-tukang tenung di manca negara. Berdua, mer-
eka banyak menyadap informasi. Berdua, mereka sama-sama berjalan
di atas keadilan, kejujuran, dan amanat. Berdua, mereka menangisi
peristiwa yang menimpa para penyuluh terdahulu. Berdua, mereka
sama-sama menjauhi kaum pria dan perempuan yang berthawaf di
sekeliling Ka‘bah dalam keadaan telanjang dan saling berhimpitan
satu dengan yang lainnya di Baitul Haram. Berdua pula mereka dalam
impian panjang tentang kebebasan.
g
Rombongan dagang dari Makkah berangkat menuju ke Romawi
dan Yaman. Sementara di pasar-pasar Makkah berkumpul pedagang-
pedagang dari Mesir, India, Syam, dan Asia Tengah. Di pasar-pasar
telah beredar berbagai cerita-cerita yang aneh. Para pedagang Mesir
meceritakan tentang guru perempuan di Iskandariyah yang mengajar-
kan filsafat untuk berpikir secara rasional dari perguruan tinggi.
Guru perempuan tersebut banyak mengundang perhatian para pe-
lajar. Maka berkumpullah para pelajar mengelilingi si guru perempuan
tadi dengan penuh rasa kagum terhadap ajakan-ajakan dan perjalanan
hidupnya. Ketika itu guru perempuan tersebut berumur empat puluh
lima tahun. Ia memiliki paras ayu, anggun tiada duanya. Tetapi para
tukang tenung dan para pendeta yang memegang otoritas terhadap hati
semua manusia, merasa terancam posisinya oleh ajakan-ajakan yang
disampaikan guru tersebut. Karena guru perempuan itu melancarkan
kecaman, maka kehadirannya dianggap akan menjadi sumber perusak
kekayaan oleh para tukang tenung dan para pendeta, sebab jika akal
sudah dapat mengemban fungsi berpikir, maka akal akan menjadi alat
pengendali semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Karena
itu, lenyaplah kedudukan dan harta mereka.
Para tukang tenung berusaha untuk mendiskreditkan dan menodai
92 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
kehormatannya, tetapi aksi mereka tidak mempan. Dengan kecantikan-
nya yang memukau, guru perempuan itu tetap terpelihara kehormatan-
nya di tengah-tengah masyarakat yang jarang menjaga kehormatannya.
Ia sangat tanggap terhadap berbagai tipu muslihat. Akhirnya, mereka
tak berhasil memperdayakannya.
Karena tak menemukan cara untuk menyingkirkan guru perempuan
tersebut, maka akhirnya mereka melakukan agresi ke rumah guru
perempuan itu, lalu membunuhnya. Demikianlah, suara akal di Mesir
yang menganut ajaran monotheisme, beriman kepada ‘Isa Al-Masih,
dan mendirikan sebuah kota “Akhtanun” untuk Tuhan Yang Maha Esa,
telah dipadamkan.
Di negeri-negeri lainnya juga terjadi pengusiran atau penjatuhan
hukuman terhadap orang-orang yang mengembangkan pola berpikir
rasional.
Para pedagang dari Romawi menceritakan pula tentang munculnya
para missionaris agama yang melakukan aktivitas dakwah di tengah-
tengah mereka. Dalam dakwahnya, para missionaris tersebut men-
gatakan bahwa alam ini tunggal dan menunggal, dahulu tak berawal,
tidak diciptakan oleh manusia dan Tuhan. Alam ini ada dan hidup akan
terus menyala, lalu pada akhirnya akan padam menurut aturan-aturan
hukum alam yang telah ditentukan. Semua realitas dan aturan-aturan
alam ini hanya dapat disingkap dengan kekuatan dan fungsi akal.
Orang yang mengembangkan ketuhanan selain api, di negeri Persia
akan dilemparkan ke dalam api.
Sementara di Ka‘bah orang yang menentang kekuasaan orang-
orang yang mengambil keuntungan dari patung-patung Ka‘bah akan
dijatuhi pidana mati atau dibuang ke gurun sahara atau martabatnya
didiskreditkan. Para pemegang otoritas ini hanyalah beberapa gelintir
orang saja dari kalangan rentenir terkemuka di tengah masyarakat
Quraisy. Tak seorang pun yang tidak hidup dalam lumpur dosa. Mereka
menentukan jalan kehidupan berpuluh ribu laki-laki, perempuan, dan
anak-anak.
Kondisi dunia yang sudah sedemikian parah, rekayasa inovatif atau
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 93
rehabilitatif tak akan berarti banyak. Untuk itu, mesti dilakukan suatu
akselerasi atau reformasi secara total yang mampu merekonstruksi
tatanan itu. Kini hati semua orang telah siap menyambut reformasi
tersebut, kecuali segelintir orang yang memperoleh keuntungan dari
kondisi sosial yang penuh ketimpangan ini.
Ketika itu Muhammad memiliki citra dan reputasi yang baik. Tak
sedikit pun ia memiliki kejelekan. Dia tepercaya dan jujur. Karena
teramat jujurnya, andaikata ia mengatakan ada seekor keledai datang,
sementara itu orang-orang di sekitarnya tak melihat apa-apa, sudah
tentu mereka akan mempercayai kata-katanya dan takkan memper-
cayai mata mereka sendiri.
Keluhuran budi pekerti Muhammad yang tak pernah ada sebelum-
nya, kini popularitasnya menjadi tersebar luas di tengah masyarakat-
nya. Ia hanya mempunyai seorang istri, yaitu Khadijah binti Khuwailid,
padahal sekarang usianya sudah mencapai lima puluh tahun. Dalam
usianya yang telah melewati usia remaja, ia sama sekali tak pernah
berpikir untuk melukai perasaan istrinya dengan mencari istri muda,
tidak seperti kebanyakan kaumnya yang biasa mempunyai gundik. Ia
tidak terpikat kepada perempuan lain selain istrinya walaupun pada
masa remajanya banyak gadis tergila-gila pada ketampanannya.
Sikap keberpihakan Muhammad terhadap orang-orang yang tertin-
das, telah menyadarkan Zubair bin ‘Abdul Muththalib, salah seorang
pamannya yang tergolong pembesar Makkah, untuk memberikan per-
tolongan kepada seorang saudagar asing (luar Makkah) yang dirampas
dagangannya. Saudagar yang dirampas dagangannya itu melakukan
demo dengan cara berkeliling Ka‘bah sembari melantunkan sebuah
syair:
Wahai keluarga Fihr!
tolonglah orang yang dirampas barang dagangannya
di tengah-tengah kota Makkah
yang jauh rumahnya
94 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
dan jauh pula sanak saudaranya
Akhirnya, barang-barang dagangan yang dirampas itu dikembalikan
lagi kepada saudagar itu.
Dengan kegigihannya, Muhammad dapat membuat sebuah kes-
epakatan dengan sebagian masyarakat Quraisy di bawah pimpinan
Bani Hasyim. Dalam kesepakatan tersebut dinyatakan bahwa mereka
akan memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap orang-orang
yang diperlakukan sewenang-wenang di Makkah, baik orang tersebut
penduduk Makkah maupun pendatang, hingga haknya dikembalikan
lagi kepadanya.
Muhammad bin ‘Abdullah dalam persoalan ini adalah seorang arif
dan bijaksana. Ketika terjadi sebuah konflik yang nyaris memporak-
porandakan mereka, maka dengan kearifannya ia mampu menyelamat-
kan manusia dari malapetaka. Gelombang konflik itu muncul tatkala
masyarakat Quraisy akan merehab Ka‘bah setelah hangus terbakar
api. Pada saat penggalian pondasi dilakukan, salah seorang di antara
mereka menemukan sebuah batu tua yang bertuliskan kata-kata yang
tidak mereka pahami. Akhirnya, mereka menyerahkan batu tersebut
kepada orang yang punya banyak pengalaman ke berbagai manca
negara dan yang tahu berbagai macam bahasa. Di atas lempeng batu,
tertulis beberapa kalimat yang berbunyi: “Siapa menanam kebajikan
pasti ia akan menuai kebajikan. Siapa yang menanam keburukan, sudah
pasti akan menuai penyesalan. Mungkinkah kalian akan mendapatkan
imbalan kebajikan, padahal kalian semua melakukan keburukan? Maka
jawabannya pastilah ‘tidak’. Buah anggur takkan pernah dipetik dari
pohon berduri.”
Muhammad menyarankan kepada masyarakat Quraisy agar mau
mengambil pelajaran dari ungkapan yang tertera di atas batu tua
tersebut. Generasi-generasi sebelum mereka telah memberikan sebuah
pengalaman hidup. Semestinya mereka mengenang kembali dan men-
jadikannya sebuah peringatan, jika mereka orang-orang yang berpikir
waras.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 95
Setelah rehab Ka‘bah selesai, maka sampailah mereka pada
peletakan Hajar Aswad (batu hitam). Mereka kembali terlibat dalam
perselisihan sengit mengenai orang yang pantas meletakkan Hajar
Aswad tersebut ke tempatnya. Karena sangat sengitnya perselisihan
pendapat di antara mereka, hampir saja terjadi perang saudara. Pada
saat munculnya konflik tersebut, tiba-tiba muncul pendapat dari orang
yang paling sepuh di antara mereka. “Serahkanlah persoalan yang
kalian perselisihkan itu kepada orang yang masuk paling awal.”
Ternyata setelah dicari-cari, maka orang yang masuk pertama kali
adalah Muhammad bin ‘Abdullah. Setelah mereka tahu bahwa yang
masuk paling awal adalah Muhammad, mereka berkata: “Kita semua
setuju. Ini dia orang yang tepercaya. Ini dia Muhammad.”
Lalu disampaikanlah masalah yang dipersengketakan mereka ke-
pada Muhammad. Setelah mempelajari dengan seksama masalah yang
dikemukakan mereka, Muhammad lalu berkata: “Berikanlah kepadaku
sehelai kain.”
Ia kemudian mengambil Hajar Aswad, lalu diletakkan di atas seh-
elai kain tersebut, kemudian Muhammad berkata lagi: “Silakan setiap
kabilah memegang salah satu pojok kain ini.”
Demikianlah, akhirnya perselisihan pendapat di antara mereka
dapat diselesaikan secara mulus. Para pembesar yang kaya-raya itu
merasa puas terhadap pendapat yang dikemukakan pemuda miskin. Ma-
syarakat Quraisy benar-benar mengagumi kearifan dan kebijakannya.
Mereka tunduk pada pendapatnya. Mereka bangga pada sikapnya yang
jujur dan tepercaya di tengah kondisi sosial yang sangat mencekam
sekali dekadensi moralitasnya.
Mudah-mudahan mereka kini akan mau memberi makan kepada
orang yang lapar, bersikap adil kepada orang yang lemah, tidak me-
nindas siapa pun, menjaga kesucian dirinya, dan memberi kepada
orang-orang yang meminta-minta. Mereka tidak lagi melantarkan
anak-anak yatim dan tidak lagi makan harta orang-orang miskin dan
lemah.
Dan akhirnya, mudah-mudahan mereka akan mendapat pertolongan
96 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
dari ungkapan bijak yang tertera pada lempengan batu tua itu bahwa
manusia tidak akan dapat memetik anggur dari pohon berduri.
Kini beban kehidupan terasa berat di pundaknya. Ia tak lagi men-
emukan keindahan, selaksa menunggu setetes air kehidupan baru yang
tak kunjung datang.
Abu Bakar telah menceritakan kepadanya tentang pertemuan
Umayyah bin Abi Shalt dengan Zaid bin ‘Amr bin Nufail di pelataran
Ka‘bah beberapa waktu yang telah silam. Ketika itu Zaid bin ‘Amr
tiada henti-hentinya memikirkan langkah-langkah strategis untuk
memberantas kepercayaan politheisme yang dianut masyarakatnya.
Suatu ketika ia pernah didatangi Umayyah.
“Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai sang pencari kebenaran,”
sapa Umayyah.
“Baik,” jawab Zaid.
“Apakah engkau telah menemukannya?”
“Belum, keluargaku juga sedang mencari. Sesungguhnya yang
ditunggu-tunggu dari kita atau dari kalian atau dari penduduk Pales-
tina,” pungkas Zaid
Situasi kehidupan saat itu telah siap menunggu hadirnya seorang
penyelamat baru. Para penyebar ajaran-ajaran baru di zaman lam-
pau telah menyampaikan seruan-seruan mereka dengan lantang dan
ditopang oleh argumentasi yang kuat. Tetapi di dalam hati, mereka
mempercayai bahwa harus ada seseorang yang harus menyampaikan
kata-kata kebenaran yang dapat menyinari kegelapan dan mengubah
wajah dunia.
Sementara itu, tak seorang pun dari mereka yang berani tampil
untuk mensosialisasikan keyakinan mereka dan melakukan gerakan-
gerakan di bawah panji-panji mereka. Tiada hentinya mereka men-
ganalisis dan menjelaskan tentang kebaikan, tetapi tak seorang pun
dari mereka yang berani menanggung resiko untuk membebaskan
penindasan yang melilit leher kaum tertindas. Mereka hanyalah dapat
mewajibkan saja. Lebih dari semua itu, tidak.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 97
Dengan melihat kenyataan yang demikian itu, maka suara penin-
dasan tetap lantang; para pembuat keputusan adalah para pembesar
masyarakat; kaum pria direndahkan martabatnya; kaum perempuan
dijadikan bulan-bulanan; rumah tangga hancur berantakan; seorang
laki-laki masih saja dapat mewarisi istri ayahnya; poliandri tetap
dibenarkan; dan tak satu pun yang ada di dunia ini yang mendapat
perlakuan secara terhormat. Manusia diperbudak dan diperlakukan
laksana kuda. Kekuatan otot menjadi aturan hukum. Akal sudah tidak
dipedulikan lagi!
Apa yang akan terjadi kemudian?
Wahai Anakku, engkau hidup dalam selimut duka dan terisolir
seorang diri di gurun sahara yang bernafas dengan kebohongan, karena
kutukan dan kenistaan.
Wahai Abul Qasim, engkau mengisolasikan diri. Engkau tinggal-
kan keluargamu dalam meditasimu di gua Hira’, sebagaimana yang
telah dikerjakan oleh para pembebas sebelummu. Dalam waktu
yang tidak seberapa lama, para pembebas itu antusiasnya sempat
berapi-api dan menyala-nyala, namun kemudian mereka lenyap tak
terdengar lagi namanya.
Apakah gerangan arti diammu di atas berbagai kebejatan itu?
Apa pula gerangan arti pengisolasianmu sepanjang bulan Ramadhan?
Ucapkanlah kata-katamu. Bukankah kaummu telah menghargai dan
menghormati dirimu?
Gelora usia remajamu telah berlalu. Maka bangkitlah dan sampai-
kanlah kabar gembira! Tegaklah; hadapi musuh-musuhmu! Tegaklah;
berilah peringatan kepada mereka!
98 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Hegemoni Kebenaran
para Bangsawan
B
angkitnya aksi kepedulian Muhammad terhadap
persoalan kemanusiaan, bukan hanya ketika ia
melihat kenyataan yang terjadi di Semenanjung Arabia saja,
tetapi ia telah menjelajahi di berbagai negara belahan utara dan se-
latan. Semua ketimpangan sosial telah banyak ia temui, baik di Persia
maupun Romawi. Semua realitas tersebut ia renungkan bagaimana
solusinya. Di berbagai pelosok bumi, suatu ketika terjadi penindasan
terhadap manusia, namun dalam kesempatan yang lain antagonisme
merajalela, sehingga tak jarang terjadi praktek kanibalisme yang di-
lakukan oleh tangan-tangan perempuan yang lemah-lembut.
Para pembesar negeri Rum tak henti-hentinya menindas kaum
pria dan perempuan, sebagaimana halnya penindasan yang dilakukan
oleh pengusaha lintah darat di Makkah dan Persia. Penindasan terhadap
kaum papa yang mengatas-namakan kekuatan ghaib yang tak dapat
dilawan dan ditentang sedang melanda di sana sini. Ia adalah kekuatan
yang tak pernah merasa kenyang mengisap darah para kaum lemah.
Di Makkah kekuatan itu menggunakan nama patung-patung, di Per-
sia menggunakan nama tuhan-tuhan, sedang di Romawi menggunakan
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 99
nama pendeta-pendeta dan tukang-tukang tenung.
Segalanya sudah menjadi kehilangan makna dan tak memiliki harga
diri lagi. Tak jarang terjadi seorang perempuan memasuki dinding
istana Konstantinopel untuk menghadap raja. Perempuan itu beralih
pekerjaan dari pelayan toko menjadi budak-budak pemuas nafsu para
pembesar kerajaan Romawi. Hanya saja, untuk dapat membedakan
dirinya dari kebanyakan orang, maka dihiasilah dirinya dengan per-
hiasan yang mahal harganya dan langka, yaitu berupa mahkota im-
perior. Gereja-gereja pun berubah menjadi sarang-sarang penyamun
dan tukang jagal.
Di berbagai penjuru telah menjamur iklim kesewenang-wenangan
dan penindasan. Para buruh kecil diperintahkan untuk mengalihkan
bidang pekerjaannya pada sesuatu yang dapat memuaskan keinginan
pembesar-pembesarnya. Jika mereka menentang atau menolak, maka
dibunuhlah mereka, betapapun ratusan orang jumlahnya. Ladang-
ladang petani dapat saja diambil secara paksa dari pemiliknya atas
perintah penguasa negara. Istana kekaisaran yang berdiri menjulang
tinggi berubah menjadi pasar yang luas bagi budak putih menurut ke-
tentuan para penjual budak. Segala tempat yang disucikan sekalipun
telah berubah menjadi gembong penipuan.
Di negeri Persia timbul aliran-aliran lain yang aneh-aneh. Dongeng-
dongeng agama telah terlepas dari jiwa yang lama. Dari hari ke hari
cahaya dan kegelapan telah kehilangan maknanya sejak para tukang
tenung menguasai perdagangan dan pertanian. Gemerlapnya dunia telah
memperhamba mereka, sehingga timbul adanya penyembahan terhadap
tubuh perempuan yang mereka pertuhankan. Para tukang tenung itu
tenaganya habis terkuras dikerahkan dalam menyembah tubuh perempuan
itu. Syair-syair agung pun dipenuhi dan dihiasi dengan kata-kata cabul
untuk mengungkap dan menggambarkan tubuh perempuan telanjang
sedetil-detilnya tanpa rasa malu. Karena bernasib mujur, ada seorang
gadis yang sebelum dipertemukan dengan (calon) suaminya, ia terpilih
sebagai gadis yang hendak dijadikan sesembahan oleh para tukang tenung
senior pilihan. Gadis tersebut berada di hadapan para tukang tenung
selama seminggu penuh untuk dijadikan sesembahan secara bergantian
g
Krisis nilai-nilai kehidupan mewarnai kehidupan seantero dunia,
tidak di Makkah saja adanya. Muhammad bin ‘Abdullah mengetahui
kenyataan-kenyataan tersebut dari teman-temannya dan dari berbagai
pengembaraannya serta cerita-cerita yang disampaikan oleh teman-
temanya yang pulang dari pengembaraannya.
Ketika datangnya bulan Ramadhan masyarakat Makkah mengas-
ingkan diri keluar kota Makkah adalah sebuah tradisi yang terjadi
tiap tahun. Pada waktu itu juga Muhammad meninggalkan Khadijah
-istrinya yang tercinta- untuk beberapa hari dalam bulan Ramadhan.
Dalam pengasingan tersebut ia merenungkan tentang kebenaran se-
bagaimana lazimnya para pemikir sebelumnya, jauh dari hiruk-pikuk
dan glamornya kehidupan Makkah.
Muhammad tinggal di gua Hira’ beberapa malam pada bulan Ra-
madhan; dann biasanya bila Khadijah telah rindu, maka ia mengutus
seseorang untuk menyampaikan kerinduan kepadanya, maka ia pun
kembali ke rumahnya. Kadangkala Khadijah dan Muhammad keluar
bersama-sama. Ia buatkan kemah untuk istrinya di tempat yang dekat
dengan tempat ibadahnya agar ia tidak mengalami kesulitan pulang
g
Demikianlah, Muhammad dicintai dan dikagumi kalangan kaum
muda dan tua, baik kaum pria maupun perempuan.
g
Sementara itu, Abu Bakar bin Abi Quhafah datang juga kepada
Khadijah untuk menanyakan tentang Muhammad. Khadijah menjelas-
kan tentang peristiwa yang dialami suaminya. Hanya saja, yang
dikhawatirkan Khadijah jangan-jangan suaminya, Muhammad, terkena
demam pertenungan atau kesurupan jin. Khadijah telah menyarankan
kepada suaminya untuk menemui Waraqah bin Naufal, karena dengan
K
ehidupankahn telah menyediakan sebuah wahana baginya
dan menunggunya. Demikian juga kondisi sosial
yang penuh ketimpangan telah menyediakan wahana baginya.
Karena itu, sudah semestinya kalau ia datang mengisi wahana yang
sedang menantinya, dengan bersenjatakan konsepsi yang komprehensif
terhadap karakteristik fungsinya; pandangan yang integral terhadap
hidup dan mati; pemahaman yang menyeluruh dan memadai terhadap
tuntunan dan kebutuhan kalangan tertindas, yaitu tuntunan terhadap
adanya sistem interaksi sosial yang lebih manusiawi dan adil serta
terciptanya nilai-nilai sosial baru sebagai tuntunan kebutuhan rohani
mereka.
Demikianlah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah datang dengan
kedalaman cara berpikirnya, dari lingkungan masyarakatnya, dengan
sikap yang baik penuh sopan-santun sebagaimana halnya orang-orang
miskin, kendati ia memiliki sikap yang tangguh, berani, dan penuh
inisiatif. Ia sama sekali tidak dapat disamakan dengan orang-orang
yang berjalan di muka bumi secara arogan dan membangga-banggakan
harta dan golongannya, padahal semua perilaku itu tidak dapat men-
g
Kekuatan para saudagar dan rentenir yang kaya-raya senantiasa
dikait-kaitkan dengan patung Ka‘bah yang sejatinya tindakan itu
hanya merupakan tipu muslihat mereka untuk mengeruk keuntungan
material dan posisi kekuasaan semaksimal mungkin. Dengan kekuatan
itulah, ia dapat melindungi orang lain; dan dengan kekuatan itu pula
seluruh bangsa Arab selama tiga bulan dalam setiap tahun melakukan
ibadah haji. Mereka mempersembahkan qurban-qurban, persembahan-
persembahan, dan harta benda kepada patung-patung itu, yaitu kepada
orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan atas nama dan
dengan dalih patung-patung tersebut.
Di celah bulan-bulan ini para hartawan memetik keuntungan dari
harta benda mereka dalam transaksi jual-beli dan membungakan
uang. Mereka mengeruk keuntungan. Selanjutnya, patung-patung
itulah yang memberi kekuasaan mutlak kepada mereka untuk menin-
das kaum buruh, para dhu‘afa, budak-budak, dan para pelancong.
Realita ini membangkitkan inisiatif Muhammad untuk menyikapinya
dengan suatu reaksi tegas dengan menyatakan bahwa semua patung-
patung itu tak sedikit pun dapat memberi kecukupan, tak dapat
memberikan manfaat dan celaka, sebab segala sesuatu hanyalah hak
prerogatif Tuhan Yang Maha Esa, yang kekal, tidak beranak, dan tidak
pula diperanakkan; tak ada sesuatu dan tidak juga seorang pun yang
menyamainya.
Tuhan itu Maha-agung dari batas tempat semisal Ka‘bah, bahkan
Makkah sekalipun. Dia ada di setiap tempat; tak ada bentuk rupa bagi-
Nya. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Hanya Dialah yang patut
disembah. Di sisi-Nya tak ada diskriminasi antara hamba sahaya dan
bangsawan terkemuka, antara si papa dan si kaya-raya, dan antara
pria dan perempuan.
Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Dia akan menghidupkan
sesudah mati pada suatu hari untuk meminta pertanggung-jawaban
g
Dengan gambaran tentang kehidupan, kematian, dan nilai-nilai
spiritual yang baru inilah, Muhammad menghadapi kesesatan kaumnya.
Maka berguncanglah gelombang kehidupan di Makkah.
Siapa yang akan percaya dan membenarkannya sekarang?
Istrinya percaya dan membenarkannya ketika ia menceritakan
tentang peristiwa yang telah ia alaminya pada suatu malam di bulan
Ramadhan tatkala dia berkontemplasi di gua Hira’. Akan tetapi, kali
ini akankah ia percaya dan membenarkan kata-katanya? Khadijah
sangat mencintainya dengan penuh perhatian dan ia berupaya dengan
segenap tenaga untuk memberikan ketenangan batin dan rasa percaya
diri kepada Muhammad.
Anak pamannya, ‘Ali bin Abi Thalib, juga percaya dan membenarkan
pula peristiwa gua Hira’ itu. Demikian pula anak angkatnya, Zaid bin
Haritsah, dan Abu Bakar bin Abi Quhafah, seorang teman sejati yang
menyertainya dalam kontemplasinya, kegelisahannya, dan pengasin-
gannya. Mereka semua percaya dan membenarkan ketika Muhammad
datang kepada mereka di suatu malam pada bulan Ramadlan tiga tahun
yang lalu dengan membawa berita tentang peristiwa Hira’ itu.
Akan tetapi, pada hari itu mereka dihadapkan pada suatu yang
baru dan dituntut untuk beriman (percaya dengan sepenuh hati) ke-
padanya, memperhatikan, dan menghafal kata-katanya; dan mereka
dituntut untuk berjuang jika kenyataan menuntutnya sebagai upaya
menjadikan ajaran-ajaran yang dibawanya menjadi sebuah tatanan
kehidupan sosial yang baru di tengah-tengah mereka.
Bukankah hal itu jelas merupakan suatu yang teramat berat dan
g
Ajaran baru yang dibawa Muhammad ini melarang para suami dan
para ayah memaksa istri dan anak gadisnya menjalankan praktek pela-
curan. Ajaran ini memberikan jaminan kesetaraan hak bersama seorang
yang mencintai, menafkahi dan menggauli dengan baik, menceraikan-
nya dengan baik pula, menyerahkan maskawin ketika pernikahan, dan
menafkahinya pasca terjadinya perceraian.
Ajaran ini tidak memberikan legitimasi pada segala bentuk transaksi
model sistem aturan hukum yang berlaku di Makkah. Ajaran ini tidak
membenarkan praktek mempergundik kaum perempuan, menjadikan
sebagai hibah (pemberian), atau menuntut hibah kepada orang lain
sebagai ganti dari perempuan sebagaimana layaknya nilai suatu barang.
Dengan ajaran baru itu, kini sudah tidak ada lagi seorang suami memaksa
istrinya agar melakukan hubungan seksual dengan seseorang tertentu
di kalangan elite Quraisy supaya memperoleh keturunan dari seorang
yang kaya.
Ajaran Muhammad menuntut kaum pria dan perempuan untuk
menjaga harga diri dan kehormatannya. Seorang perempuan adalah
kehormatan dan harga diri suaminya, sementara posisi seorang laki-
laki adalah kehormatan istrinya. Kaum pria maupun perempuan wajib
menjaga jiwa raganya agar senantiasa tetap dalam kesucian dan tidak
mentolerir percampur-adukan keturunan. Model jalinan relasi di antara
g
Akan tetapi, tetap saja kaum bangsawan Quraisy memandang
remeh terhadap Muhammad, karena para pengikutnya hanyalah orang-
orang jembel. Bahkan pernah terjadi di mana ‘Amr bin ‘Ash meman-
dang ajaran baru ini dengan teramat sinis, ketika ia melihat salah
seorang hamba sahaya membaca apa yang disampaikan Muhammad.
Begitu pula tatkala ia mengetahui ada orang mucikari perempuan yang
banyak memiliki tempat pelacuran telah menurunkan umbul-umbul
yang dipancang di rumahnya, lalu mengusir para laki-laki hidung belang
sambil membacakan apa yang dia pelajari dari Muhammad, di mana
dengan tegas mereka menyatakan bahwa tidak lagi akan menjalin
hubungan dengan laki-laki yang mana pun, terkecuali ia mengawininya
menurut tata aturan yang diajarkan Muhammad dan ia mempercayai
ajaran Muhammad pula.
Kenyataan ini sangat tidak menggembirakan hati Abu Bakar.
Memang benar mereka memperoleh kebebasan menurut ajaran Mu-
hammad. Akan tetapi, meskipun demikian, Makkah hanya terdiri dari
kalangan budak-budak, pelacur, dan kaum buruh yang lemah. Sudah
tentu, apabila pengikut Muhammad berasal dari kalangan mereka,
maka para pengikut Muhammad takkan pernah terbebas dari cercaan
dan ejekan di kalangan para bangsawan Makkah.
Di antara para bangsawan Quraisy ada juga yang suka bergaul dan
bersikap ramah dengan Abu Bakar, sedang di kalangan pemuka Quraisy,
Abu Bakar termasuk orang yang paling banyak tahu tentang seluk-beluk
g
Sebelumnya, di tengah-tengah keheningan malam tiada terden-
gar selain jeritan tangis orang-orang yang terbuang di tengah-tengah
padang belantara dan gelak-tawa kaum pria hidung belang dan kaum
perempuan penghibur yang bercampur-baur dengan dentingan bunyi
cawan-cawan di balik pintu istana.
Sebelumnya, di celah-celah keheningan malam mulai terdengar
sayup-sayup suara yang sedang membaca kalimat-kalimat yang dibawa
Muhammad. Sayup kalimat itu menjanjikan kebebasan kepada setiap
hati orang yang dirundung duka nestapa.
Selanjutnya, timbul inisiatif Muhammad untuk mengumpulkan ke-
luarganya dari Bani Muththalib. Semua itu dilakukannya dengan tujuan
mengajak mereka agar percaya dan membenarkan sepenuh hati ajaran
yang dibawanya, sebab baginya tidak ada yang lebih ia cintai, selain
keluarga dekatnya.
Inisiatif itu akhirnya dapat terealisasi di mana mereka akhirnya
menghadiri undangan tersebut ke rumahnya. Pada waktu itu seorang
pamannya yang bernama Zubair, seorang laki-laki pecandu minum-
minuman dan hedonistis, meminta tuak yang akan diminumnya. Tatkala
Zubair asyik berdendang, Muhammad menyuguhkan cawan-cawan ke-
pada mereka, tetapi cawan-cawan itu ternyata berisi susu dan diminum
olehnya. Setelah itu mulailah Zubair dengan para undangan lainnya
mendengarkan kata-kata yang akan disampaikan anak pamannya.
Tetapi pertemuan itu tidak berhasil secara optimal, sebab dari
semua keluarga yang hadir pada waktu itu, tak seorang pun dari mereka
mau menerima ajakan Muhammad, selain ‘Ali bin Abi Thalib. Dialah
satu-satunya keluarga yang tergerak hatinya atas ajakan Muhammad
dan kemudian dengan tegas menyatakan akan membela Muhammad
g
Di atas bukit Shafa, di luar Makkah, Muhammad tegak berdiri den-
gan dikelilingi keluarga besar Bani Hasyim, sebagaimana kaum pria
dan wanita yang telah percaya dan membenarkan ajarannya.
“Apakah gerangan maunya Muhammad?”
g
Pada suatu sore Muhammad pulang ke rumahnya dengan perasaan
berat hati dalam menanggung beban penderitaan yang dialami para
pengikutnya. Kenyataan pahit ini terus menjadi spirit yang terpancar
dari dalam hatinya, terus menyala dan takkan pernah padam sela-
manya.
Muhammad yakin sekali bahwa pamannya, Abu Lahab, akan beru-
saha menarik semua Bani Hasyim ke dalam barisannya, sebab tanpa
dukungan dan bantuan Bani Hasyim, sudah tentu Abu Lahab laksana
barang rampasan taring-taring kekuasaan para bangsawan Quraisy.
Akan tetapi, setiap hari Abu Bakar mencari pendukung-pendukungnya.
Ini benar-benar spektakuler. Tetapi siapakah yang berani mendatangi
Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, si jagoan penunggang kuda itu? Mung-
“Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab. Sungguh dia akan binasa. Tak
ada guna harta kekayaan dan segala jerih-payah usahanya. Kelak dia akan
dijebloskan ke dalam api neraka yang membara. Begitu pula istrinya, si
pembawa kayu bakar (sang penebar fitnah), yang di lehernya ada tali dari
sabut.”(QS. Al-Lahab [111]: 1-5)
Istri Abu Lahab dengan hati geram mendatangi Abu Bakar yang
sedang berada di masjid.
“Apa maksud temanmu melantunkan syair tentang diriku?” tanya
Ummu Jamil.
“Demi Allah, temanku itu tak pandai bersyair,” sanggah Abu Bakar.
“Bukankah temanmu itu mengatakan: ‘yang di lehernya ada tali
dari sabut.’?”
g
Para pemuka Quraisy mengadakan suatu pertemuan yang dipimpin
langsung oleh Abu Sufyan. Dari pertemuan tersebut dicetuskan be-
berapa poin:
1. Menyatakan ajaran Muhammad sebagai ajaran terlarang.
2. Pemerintah Quraisy menetapkan akan membunuh para budak dan
majikan yang mengikuti ajaran Muhammad.
3. Barangsiapa dari para saudagar yang mengikuti ajaran Muhammad,
maka usaha dagangnya akan dihancurkan; kehormatannya akan
dilucuti, dan harta kekayaan mereka akan dirusak.
4. Mengerahkan para tokoh masyarakat dari para jagoan penung-
gang kuda untuk merintangi setiap derap langkah orang yang akan
memeluk ajaran Muhammad.
Sekalipun peraturan yang melarang ajaran Muhammad telah di-
cetuskan; ancaman dan kecaman terhadap para pengikutnya telah
dikeluarkan pula oleh pemerintah Makkah yang merupakan penguasa
tertinggi masyarakat Quraisy, tetapi ajaran-ajaran Muhammad terus
tersebar kian meluas.
Pemerintah Makkah dan orang-orang yang berkepentingan melaku-
kan gerakan-gerakan sebagai upaya untuk mengimbangi dakwah
Muhammad dan menekan orang-orang yang beriman kepada Muham-
mad. Mereka mulai melakukan aksi anarkhis dengan bentuk tindakan
pemukulan-pemukulan yang dapat menciutkan nyali para pemberani.
Sasaran tindakan anarkhis ini adalah kalangan rakyat lemah dan jelata.
g
Ceceran darah pengikut Muhammad lantaran siksaan orang-orang
g
Abu Bakar terus melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada
teman-teman sesama bangsawannya dan pemuka-pemuka Makkah,
hingga akhirnya berhasil mengajak ‘Utsman bin Mazh‘un, seorang
pemikir terkemuka dan tergolong orang kaya di Makkah, dan Arqam
bin Abi Arqam memeluk ajaran Muhammad.
Kini jumlah pemeluk ajaran Muhammad telah mencapai puluhan
orang laki-laki dan perempuan. Di antara mereka adalah para budak,
para buruh, rakyat miskin, para pelacur, rakyat jelata, perempuan-
perempuan papa, dan orang-orang yang tergilas oleh tatanan kema-
syarakatan yang berlaku, serta beberapa orang cerdik-cendikia, dan
sebagian pedagang kaya.
Rumah Muhammad yang kecil itu tidak lagi memadai untuk perte-
muan-pertemuan. Rumah itu teramat sempit untuk menampung semua
pengikutnya yang telah mencapai jumlah tersebut. Akan tetapi, Arqam
mengusulkan agar mereka mengadakan pertemuan rutin di rumahnya
yang ada di bukit Shafa. Selain rumah tersebut memadai, juga berada
di luar jangkauan bangsawan pemerintah Quraisy. Oleh karenanya,
D
iseantero dunia tak ada sesuatu pun yang mampu
melunakkan hati ‘Umar bin Khaththab dari sikap
dan tindakannya yang mudah naik pitam dan garang. Sikapnya
tak dapat diluluhkan oleh para gadis penghibur sekalipun tatkala ia
mendatangi pintu-pintu penjual minuman khamr. Tidak pula oleh para
pelaku begadang yang suka bergerombol di sebagian pelataran rumah
dan para penabuh rebana di rumah-rumah hiburan. Semuanya tidak
mampu melunakkan kekerasan hatinya yang mudah terbakar emosi
dan suka bertindak garang dan menyeramkan.
‘Umar telah mendengar semua berita tentang konfrontasi antara
Hamzah dan Abu Jahal. Hati ‘Umar cukup takjub atas keberanian
Hamzah melakukan konfrontasi dengan Abu Jahal dan sekaligus mena-
klukkannya. Ada dugaan kuat di hati ‘Umar bahwa para bangsawan
Quraisy yang di hari-hari biasanya sudah merasa takut terhadap
Hamzah, maka sejak hari itu rasa takut mereka terhadap Hamzah
tentu akan bertambah-tambah. Jelas hal ini akan membuat pengikut
Muhammad merasa besar, kuat, dan merasa mendapat sokongan
“(1) Thoohaa.. (2) Tidaklah Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu untuk me-
nyusahkanmu, (3) tetapi sebagai peringatan kepada orang yang takut (kepada
Allah)....” (QS. Thaahaa [20]: 1-16)
‘Umar menunggu hingga mereka selesai membaca, kemudian ia
mengetuk pintu kembali. Setelah Fathimah bisa memastikan bahwa
dari ketukan pintu itu yang datang adalah ‘Umar, maka laki-laki asing
tersebut segera bersembunyi di salah satu sudut rumah, sementara
Fathimah segera mengambil lembaran-lembaran yang tadi dibaca
laki-laki asing itu, lalu diselipkan di bawah pahanya, kemudian Sa‘id
membuka pintu.
“Suara apa yang baru saja kudengar itu?,” tanya ‘Umar dengan
nada emosi setelah ia masuk rumah.
“Ah, aku justru tak mendengar suara apa-apa sama sekali,” kilah
mereka berdua.
Seketika itu pula ‘Umar berteriak: “Baik, tapi aku telah mendengar
bahwa kalian berdua telah mengikuti ajaran Muhammad.”
g
Inilah tetesan darah saudara perempuanmu yang mengalir atas
kedua belah tanganmu juga, wahai ‘Umar! Darah yang paling engkau
sayangi, seorang perempuan yang masih dalam ikatan saudara dan
engkau laksana seorang ayah yang menyayanginya.
Saudara perempuannya yang belum pernah mengangkat muka di
hadapannya sebelum itu, tiba-tiba ia berubah geram sambil berteriak
lantang menentang: “Baiklah, lakukanlah apa yang engkau kehendaki.”
Dia sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi
pada dirinya dari tindakan saudaranya, bahkan harus mati sekalipun.
Dengan kedua belah tangan yang terentang, Fathimah telah siap meng-
hadapi tikaman pedang ‘Umar, kakaknya yang gagah dan perkasa.
Namun kekuatan ‘Umar tiba-tiba berubah lumpuh total lantaran ia
tak kuasa melawan rasa sayang kepada adik perempuannya. Ia tatap
dalam-dalam tetesan darah yang mengalir akibat cidera di kepala
adik dan saudara sepupunya yang tergeletak di lantai. Selanjutnya,
‘Umar meminta saudara perempuannya agar memperlihatkan lemba-
ran-lembaran yang mereka baca untuk melihat ajaran yang dibawa
Muhammad, tapi saudara perempuannya menolak untuk memenuhi
permintaannya. ‘Umar najis.
Kekuatan apakah gerangan yang mendorong perempuan lemah
berani berbicara? Dengan semangat apakah dia secara lantang berani
menentang?
‘Umar bangkit, lalu bergegas mandi. Setelah itu, Fathimah men-
gambilkan lembaran-lembaran itu dengan erat-erat agar tidak sobek.
“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua ‘Umar: Abu Jahal
‘Amr bin Hisyam atau ‘Umar bin Khaththab.”
Dengan tergesa-gesa, ‘Umar pun pergi ke Darul Arqam di bukit Shafa.
Dia langsung mengetuk pintu dengan kekuatan yang keras. Sebelum
membukakan pintu, laki-laki tersebut mengatakan: “Pengetuk pintu
itu adalah ‘Umar. Dia datang dengan sebilah pedang terhunus.”
“Biarkan saja dia masuk. Jika ia datang dengan maksud baik, kita
sambut dengan baik. Tapi jika dia datang dengan maksud jahat, kita
bunuh saja dia dengan pedangnya,” demikian pendapat yang dikemu-
kakan Hamzah bin ‘Abdul Muththalib kepada keponakannya, Muham-
mad.
Hamzah meraba gagang pedangnya. Dia telah siap membunuh
‘Umar, salah seorang temannya sendiri.
Tapi Muhammad bertekad akan menghadapinya sendiri dan akan
membuat bertekuk-lutut di hadapannya. Dengan demikian, tak ada lagi
orang yang dapat mengungguli kekuatan dirinya. Jika Hamzah telah
membuat Abu Jahal bertekuk lutut di hadapannya, maka kini giliran
Muhammad yang akan membuat ‘Umar tidak berkutik di hadapannya.
‘Umar tetap berdiri dan tidak masuk hingga akhirnya Muhammad
bangkit untuk menemuinya. Selanjutnya, Muhammad mencengkeram
lehernya dengan cengkeraman yang kuat sambil berkata: “Wahai
‘Umar, dengan maksud apakah engkau datang? Demi Allah, aku takkan
g
Kini Hamzah dan ‘Umar telah memeluk ajaran Muhammad dengan
segala kekuatan dan semangat yang dimilikinya. Sebagian orang yang
ingin menjelek-jelekkan Hamzah dan ‘Umar menyatakan bahwa mereka
berdua telah hilang kejantanan dan keberaniannya. Mereka berdua
telah mengikuti ajaran-ajaran yang mengharuskan manusia untuk ber-
serah diri kepada kekuatan yang misterius dan menjauhi kesenangan
hidup dengan menganut pola kehidupan orang-orang miskin.
Hamzah dan ‘Umar tiada henti-hentinya membaca dan bertanya,
hingga hatinya mempunyai keyakinan yang mantap bahwa ajaran-
ajaran baru itu menuntut manusia agar tidak menggantungkan jalan
kehidupan pada tuhan-tuhan Ka‘bah, tetapi menghadapkan jiwanya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap orang harus melakukan ikhtiar
dalam hidupnya dan harus bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang diketahuinya. Tiap orang bebas memilih jalan kehidupan yang
diniatinya. Dia berhak atas segala perbuatan yang dikerjakannya.
Dengan demikian, bukan menggantungkan jalan kehidupan, tetapi
menghadapkan diri kepada Tuhan.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Islam menuntut seseorang un-
tuk mengayunkan pedangnya, sebab yang benar dalam Islam adalah
mendorong untuk membangun segenap spirit dalam rangka terciptanya
tatanan keadilan dan melindungi kehormatan dan hak asasi manusia
S
aat ini kedengkian rasialis kesukuan dalam melawan
Bani Hasyim muncul kepermukaan. Suku-suku yang
memang sudah lama memendam rasa kebencian kepada Bani
Hasyim bersumpah tidak akan menjalin hubungan, hingga Bani Hasyim
mati lemas karena lapar terkapar dalam kehinaan dan kenistaan. Bani
Hasyim tidak hanya tidak boleh menerima suplay makanan, tetapi
dalam perdagangan pun mereka tidak boleh menjalin kerja sama.
Dengan kedengkian rasialis ini, kini banyak anak gadis yang diminta
kembali oleh keluarga mereka dari rumah yang suaminya berasal dari
Bani Hasyim. Para istri yang mempunyai tetes darah Bani Hasyim diusir
dari rumah-rumah suami mereka dan anak-anak dipisahkan dari ibu
mereka. Termasuk di dalamnya yang memperoleh perlakuan seperti itu
adalah putri Muhammad yang bernama Ummu Kultsum. Ia dipulangkan
kembali ke rumahnya dengan cara diusir dari rumah suaminya yang
bernama Qutaibah bin Abi Lahab, sebagaimana saudara perempuannya,
Ruqayyah, yang pernah pula mengalami nasib serupa sebelumnya dari
rumah itu juga.
Muhammad menyadari bahwa dirinya telah banyak menimbulkan
g
Kini pasca kedatangan Muhammad ke rumah Abu Jahal, kata-kata
telah dimanifestasikan dalam bentuk aksi yang konkrit. Ungkapan-
ungkapan harus diubah dalam bentuk langkah-langkah. Hal ini dik-
arenakan telah datang suatu masa, di mana suatu ajaran dituntut
menjadi suatu gerakan-gerakan faktual selama kurang lebih sepuluh
tahun di Makkah. Muhammad mengajak dengan kata-kata dan sikap
sabar dalam menghadapi berbagai penganiayaan. Akan tetapi, justru
kesabaran tersebut telah membuka peluang berakarnya sewenang-
wenang masyarakatnya.
Muhammad telah cukup kenyang makan garamnya kesabaran dan
ketabahan. Kini ia harus menghadapi kekerasan dengan kekerasan
pula. Bagaimanapun juga, masyarakat tidak akan mampu berbuat
lebih banyak lagi perbuatan-perbuatan yang pernah mereka lakukan.
g
Para pemuka Quraisy tak mau menunggu hingga kering air matanya.
Belum pulih kembali ketenangan hatinya dari luka kematian Abu Thalib
dan Khadijah, Makkah sudah mengobrak-abrik para pengikutnya yang
pulang dari Habasyah, membuang barang-barang dagangan mereka,
dan menyiksa sebagian di antara mereka yang tertangkap.
Kini masa lain datang lagi dengan siksaan yang baru!
Muncul sebuah angan-angan dalam hati Muhammad, seandainya
ia dapat menemukan suku yang beriman kepada ajarannya, lalu mer-
eka mengajak Muhammad dan seluruh pengikutnya untuk hidup di
tengah-tengah suku tersebut. Andaikata Bani Ghifar atau Daus yang
telah memeluk ajaran-ajarannya bersedia membebaskan dirinya dan
pengikut-pengikutnya dari siksaan hidup yang menjerat di Makkah.
Tapi ia tak mendapatkan ajakan yang diangan-angankannya dari
Bani Ghifar dan Daus.
Seorang pamannya, ‘Abbas, membujuk agar ia pergi ke Thaif saja.
Di sana ada beberapa orang yang mempunyai hubungan akrab dengan
pamannya. Di samping itu, di sana terdapat lahan pertanian anggur dan
zaitun yang cukup luas. Di sana juga terdapat banyak budak, buruh,
W a h a i A n a k k u , e n g k a u t e r u s i r d a n t e r s i n g k i r.
Engkau harus menjalani hidup dalam kemiskinan,
kemelaratan, kenestapaan, dan penyiksaan, sebagaimana yang telah
dirasakan oleh para penyuluh kebenaran terdahulu sebelum dirimu.
Mungkinkah engkau padamkan bara yang menyala-nyala di dalam
hatimu secara tiba-tiba, lalu segalanya pupus terhapus? Mungkinkah
engkau melintasi gelapnya kabut hitam yang menyelimuti gurun pa-
sir yang terhampar luas dipenuhi dengan kelicikan, kecurangan, dan
kebejatan?
Mungkinkah ajaran-ajaranmu akan hancur gugur terkubur di bawah
pasir-pasir tempat tegaknya tuhan-tuhan emas yang berkilau di bawah
pancaran sinar matahari; dan eksistensi manusia akan tetap ditump-
ahkan darahnya dan dicabik-cabik kehormatannya, dipotong-potong
dagingnya tanpa pertanggungjawaban; keringat dan tenaganya diperas
tanpa mengenal batas?
Wahai Abul Qasim, akankah engkau menjadi kenang-kenangan yang
g
Semua pemimpim Quraisy berkumpul di Ka‘bah. Mereka bersepakat
untuk membebaskan diri dari persoalan Muhammad. Mereka semua
menyetujui pendapat yang disampaikan Abu Jahal yang menyatakan:
“Kita melakukan rekrutmen pada seorang anak muda yang tangguh
dan terpandang dari tiap-tiap suku, kemudian kita berikan bekal sen-
jata dengan sebilah pedang yang tajam, sebab dengan pedang itulah
mereka bisa memukul Muhammad secara serentak, lalu membunuh-
nya. Kalau semua ini telah terjadi, barulah kita akan merasa tenang,
sebab dengan cara demikian, darah Muhammad akan terpercik pada
semua suku, sehingga Bani ‘Abdi Manaf tidak akan mampu memerangi
semua suku yang terlibat dalam pembunuhan Muhammad. Mengenai
persoalan ganti rugi pembunuhan itu, biarkan saja, sebab semuanya
menjadi urusan kita.”
Persekongkolan sindikat kejahatan yang mereka rancang ternyata
tercium Muhammad di luar prediksi mereka. Ia segera menemui te-
g
Muhammad dan Abu Bakar pasti sudah menyusul para pengikutnya
ke Yatsrib sebelum mereka mengepung rumahnya.
Sementara itu mereka menyebar ke berbagai jalan yang meng-
hubungkan ke Yatsrib untuk melacak jejak Muhammad dan temannya.
Mereka menanyakan kepada setiap orang yang ditemui di setiap jalan,
jalan manakah yang telah dilalui mereka berdua.
Adapun Muhammad sendiri telah berangkat bersama Abu Bakar dari
sebuah jendela kecil di tengah rumahnya, berusaha menjauhi pintu
dan jalan-jalan yang biasa dilalui. Mereka berdua cepat-cepat keluar
di tengah-tengah gelapnya malam, hingga sampai di kota Makkah.
g
Belum beberapa lama Muhammad menginjakkan kakinya di bumi
Yatsrib setelah menempuh jalan panjang yang begitu melelahkan, dia
mengumumkan akan membangun masjid. Masjid itu akan dibangun
sedemikian besar dan mengagumkan seperti masjid yang berdiri tegak
di sekitar Ka‘bah.
Muhammad meminta kesediaan semua pengungsi (kaum Muhajirin)
dan semua pendukungnya (kaum Anshar) untuk bekerja sama dalam
membangun masjid; dan orang yang pertama kali mengerjakan pem-
bangunan itu adalah Muhammad sendiri.
Pemuda-pemuda dari kalangan para pengungsi (Muhajirin) melak-
sanakan pekerjaan ini dengan penuh agresif di bawah pimpinan ‘Ali
bin Abi Thalib dan Ammar bin Yasir.
Sebenarnya para juragan yang kaya-raya sangat berat hatinya
untuk ikut serta dalam pekerjaan ini, tapi karena mereka melihat
Muhammad turun sendiri menangani pekerjaan itu, akhirnya mereka
mau datang dengan rasa berat hati dan enggan. Muhammad berusaha
menumbuhkan rasa hormat di hati mereka terhadap pekerjaan tangan,
tapi usaha itu tidak membawa efek sama sekali. Muhammad berupaya
meyakinkan mereka bahwa kemajuan dalam kebudayaan, kepiawaian
dalam perdagangan, dan berbagai aktivitas intelektual, efektivitas, dan
efesiensinya, tidak akan melebihi pekerjaan tangan selama-lamanya.
Tapi, lain Muhammad lain pula para juragan kaya. Mereka mempu-
nyai pandangan lain dalam menilai masalah kerja. Bagi mereka setiap
pekerjaan mempunyai kelebihan sendiri-sendiri.
Untuk menggugah semangat kerja di hati orang-orang, ‘Ali bin
Abi Thalib melantunkan syair-syair pada saat-saat melangsungkan
pekerjaannya yang diucapkan berulang-ulang, lalu diikuti oleh para
pekerja yang lain. Karena tembang-tembang puitis yang menggugah
semangat kerja itulah, maka tembok masjid tegak berdiri tinggi.
M
asjid yang baru saja dibangunnya secara swadaya
itu menjadi tempat berkumpulnya pengikut-
pengikut Muhammad, baik dari kalangan Muhajirin maupun
Anshar untuk mempelajari prinsip-prinsip tersebut dengan kehidupan
di antara mereka dan kaitan prinsip-prinsip tersebut dengan kehidupan
secara makro dalam naungan ajaran-ajaran yang baru itu.
Jika malam telah tiba, masjid berubah fungsinya menjadi tem-
pat penginapan kalangan Muhajirin yang belum menemukan tempat
penampungan. Tiap-tiap orang dari kalangan Anshar mengajak ting-
gal kalangan Muhajirin di rumah mereka masing-masing. Akan tetapi,
rumah-rumah kalangan Anshar tidak bisa menampung semua orang
Muhajirin. Oleh karena itulah, Muhammad mengizinkan orang-orang
yang belum memperoleh rumah sebagai tempat penampungan untuk
mempergunakan masjid sementara waktu sebagai rumahnya.
Kalangan-kalangan orang-orang Anshar mengupayakan jatah makan
bagi kalangan orang-orang Muhajirin. Muhammad telah mengikat
g
Kehidupan di Madinah setelah itu dihadapi Muhammad dengan
berbagai macam cobaan yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
Ajarannya telah menjadi kuat karena Hamzah dan ‘Umar. Orang-orang
Quraisy dibuat geger semua, ketika kedua pemuda itu bergabung dalam
barisannya. Tapi, tahu-tahu datanglah suatu waktu yang menyeret
kedua pemuda tersebut pada perbuatan-perbuatan yang mereka benci.
Setelah kembali dari perjalanannya yang mempertemukannya den-
gan Abu Jahal dan pasukan kuda Quraisy, Hamzah kembali lagi pada
kehidupan malam yang pernah dijalaninya di masa silam, bergelimang
dengan tuak dan gadis-gadis penghibur laki-laki hidung belang.
Hamzah kini telah memasuki usia lima puluh tahun. Lama sudah ia
tinggalkan kehidupan malam. Akan tetapi, sejak kematian menghadan-
gnya secara tiba-tiba di tepi pantai, ia kembali ke Madinah mereguk
hidup bersenang-senang dengan penuh kehausan yang tak ada suatu
apa pun yang melepaskan kedahagaannya. Semalam suntuk ia lewati
dengan minum-minum tuak dengan didampingi dua orang gadis penari
berdarah Israel yang menyanyi dan menghiburnya.
Keesokan harinya Hamzah pergi ke masjid menceritakan kecantikan
kedua gadis itu dan bukan rahasia lagi, yang jelas dia menikmati kedua
gadis itu. Ia mengigau, tertawa cekakakan, pergi ke masjid. Mulutnya
bau tuak. Bau wewangian kedua gadis itu masih tersisa harumnya dan
melekat pada tubuh dan wajahnya. Hatinya penuh dengan kenang-
kenangan indah malam itu!
Muhammad menunjukkan sikap ketidak-sukaannya tatkala meli-
hatnya. Tapi Hamzah yang masih mabuk sejak malam itu, melihatnya
dan orang-orang yang ada di sekitarnya dan mengungkapkan kata-kata
yang meremehkan mereka: “Kalian semua hanyalah budak-budak nenek
moyangku.”
“Allah akan menaunginya kelak pada hari Kiamat di bawah naungan ‘Arsy-
Nya, pada saat tiada naungan, kecuali naungan-Nya.”
Dia juga menjanjikan kepada mereka bahwa:
“Barang siapa yang melepaskan kesulitan orang lain, do‘anya akan senan-
tiasa dikabulkan Allah dan dia akan diberi jalan keluar dari kesulitannya.”
Di pasar yang baru berdiri ini terdengar suara nyaring ajakan para
pembawa kabar gembiara agama baru. Para pedagang asing menilai
sistem perdagangan yang berlaku sebagai sistem yang paling layak
untuk diikuti dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang pernah
mereka ketahui. Dengan demikian, kepercayaan yang membentuk budi
pekerti orang-orang mukmin sangat pantas dan sesuai untuk diterima
secara yakin di setiap hati orang.
g
Orang-orang Muhajirin tidak lagi menempuh cara-cara ini betapa-
pun Muhammad sangat mencintai mereka.
Sejak peristiwa Hamzah, tak ada lagi orang minum minuman tuak
secara berlebih-lebihan. Setelah hubungan Abu Bakar dan ‘Umar baik
g
Dalam kondisi yang demikian, Muhammad mampu menjaga
stabilitas keamanan Madinah dari gangguan-gangguan musuh. Di
tengah-tengah bergejolaknya problema yang cukup menghebohkan
ini, dia harus mampu menghadapi orang-orang Quraisy dengan segala
kekuatan mereka. Dia harus menunjukkan pamornya kepada orang-
orang Quraisy, agar mereka tak mencegah orang-orang yang menemui
dirinya, termasuk juga para penyair, dan tidak lagi memberikan support
kepada orang-orang yang mencaci-maki dirinya serta tidak memancing
timbulnya konflik di Madinah.
Dia harus mengirim pasukan-pasukan agar dapat menyelidiki secara
seksama gerak-gerik pihak Quraisy dan menjaga keamanan padang
pasir di sekitar Madinah. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya
serangan mendadak dari pihak Quraisy dan suku-suku yang bersekutu
dengan orang-orang Quraisy, sangat kecil.
Di tengah kemelut yang menghantam secara bertubi-tubi, dia harus
siap-siap mengendalikan hati orang-orang yang sudah mulai menam-
pakkan sikap ramah dan lemah-lembut, setelah melalui hari-harinya
yang menuntut pada perjuangan mati-matian.
Orang-orang Yahudi melakukan trik-trik. ‘Abdullah bin Ubay dan
kelompoknya menebarkan benih-benih permusuhan. Sementara itu,
orang-orang Muhajirin sibuk mengumpulkan harta kekayaan, bahkan
di antara mereka ada yang tidak segan-segan mendepak kedudukan
saudaranya. Sebagian orang-orang yang berjuang dengan gagah be-
rani pada permulaan gerakan dakwah, kini enak-enak tidur, padahal
orang-orang Quraisy sudah mulai mengadakan persiapan penyerbuan
kepada mereka.
Muhammad tiada henti-hentinya mengingatkan mereka tentang
S
emua perselisihan pendapat mengenai tindakan
gegabah ‘Abdullah harus segera diakhiri, sebab
percekcokan itu bisa dijadikan sebagai instrumen oportunis bagi
pihak musuh untuk meraup keuntungan. Sementara itu pihak musuh
kian gencar melancarkan aksi mereka untuk menambah panasnya suhu
percekcokan tersebut dan memancing permusuhan di antara sesama
muslim. Mereka menyebarkan isu bahwa agama baru ini telah memper-
bolehkan pengikut-pengikutnya untuk berperang di bulan-bulan Haram.
Tindakan gegabah itu bagi ‘Abdullah bin Jahsy membuat hari-
harinya hanya dihantui rasa berkhianat karena tudingan masyarakat
terhadapnya sebagai orang yang merusak kesucian bulan-bulan yang
telah diwariskan secara turun-temurun.
Kini ‘Abdullah menjalani hari-harinya dengan penuh tekanan batin
yang diliputi rasa tercela dan hina. ‘Abdullah merasa tak sanggup lagi
mengangkat kepalanya di hadapan seseorang di Madinah. Bahkan di
hadapan teman-temannya sendiri sekalipun ‘Abdullah merasa tidak
g
Orang-orang Yahudi Madinah memimpikan datangnya serbuan
orang-orang kuffar Quraisy beserta sekutu-sekutunya agar mereka
terbebas dari Muhammad dan ajaran-ajarannya yang (menurut mer-
eka) telah merusak hubungan di antara para majikan dan orang-orang
yang merdeka. Sementara kini, yang mereka takutkan adalah rusaknya
hubungan di antara laki-laki dan perempuan. Tapi, kapankah penyer-
g
Abu Sufyan menolak untuk menebus anaknya yang tertawan. Dia
A
bdullah bin Ubay menyebarkan gosip kepada
beberapa orang yang tidak ikut pergi ke medan
pertempuran Badar, bahwa Muhammad tidak mau memberi
barang-barang rampasan itu kepada mereka, sebab harta rampasan
itu akan dibagi-bagikan oleh Muhammad hanya kepada orang-orang yang
dicintainya. Salah satu buktinya, ‘Abdullah bin Ubay menunjuk kepada
‘Utsman. Menurutnya, ‘Utsman tidak ikut serta dalam pertempuran
seperti mereka, tapi kenyataannya Muhammad memberi bagian barang-
barang rampasan itu kepadanya. Bukankah semua ini suatu prioritas,
lantaran ‘Utsman itu menantunya?
Beberapa orang Islam memberikan peringatan kepada ‘Abdullah
Bin Ubay agar menghentikan ulahnya yang dapat menimbulkan gejolak
di antara sesama muslim.
Muhammad sama sekali tidak memberikan hak previlage dan
prioritas kepada siapa pun. Dia hanya memenuhi janjinya, sebab se-
benarnya ‘Utsman bersikeras untuk ikut serta ke medan pertempuran,
g
Kelelahan yang dirasakan umat Islam belum juga usai. Namun
secara tiba-tiba terdengar informasi bahwa sebagian sekutu-sekutu
Quraisy bermaksud akan mengadakan agresi. Karena itu, dengan serta-
merta berangkatlah Muhammad dengan membawa pasukan tentara
untuk menghadapi pasukan dari suku Tsa‘labah dan Ghathafan. Pada
saat itu pasukan Islam mengejar-ngejar mereka, sehingga pasukan
Tsa‘labah dan Ghathafan tak dapat berkutik lagi dalam kondisi keka-
lahan.
S
ebanyak tiga ribu prajurit Quraisy, sekutu-sekutu,
dan budak-budaknya bergerak bagai angin puyuh
yang siap menerjang dan mengerikan, diliputi api dendam
yang menyala-nyala dan impian-impian kemenangan. Mereka terus
bergerak maju.
Mereka siap menggedor rumah-rumah Madinah yang menjadi tempat
tinggal perempuan-perempuan, anak-anak, dan orang-orang lanjut
usia. Mereka siap meruntuhkan aqidah yang telah mengobarkan ke-
beranian setiap laki-laki dan membentuk menjadi manusia baru. Kini
mereka masih beristirahat di lembah Uhud, dekat Madinah.
Orang-orang Islam berkumpul di masjid mengadakan musyawarah. Mu-
hammad menceritakan secara detail kepada mereka tentang kekuatan
tentara Quraisy saat ini dan meminta saran-saran dari mereka.
Sebelum sebagian dari mereka ada yang angkat bicara mengajukan
gagasannya, Muhammad mengawali pembicaraan terlebih dahulu:
“Bagaimana menurut pendapat kalian semua, jika kalian tetap tinggal
g
Pada saat pasukan tentara muslimin berada di lembah, pasukan
Quraisy kembali lagi dan menyerbu ke medan pertempuran. Pasukan
yang mengambil pasukan lini tengah dipimpin Abu Sufyan; pasukan
sayap kiri dipimpin ‘Ikrimah; dan pasukan sayap kanan dipimpin Kha-
lid. Semuanya melakukan penyerbuan dari arah belakang. Dengan
kondisi yang seperti ini, tidak aneh jika pasukan muslim tiba-tiba
terkepung dan terkurung dari berbagai penjuru oleh tentara Quraisy.
Kuda-kuda yang ditunggangi tentara Quraisy sudah banyak yang
menginjak-injak tubuh-tubuh tentara muslim yang tergeletak menjadi
mayat.
Hamzah maju kembali dengan didampingi Abu Dujanah, ‘Ali,
‘Umar, dan Zubair. Mereka berempat berusaha sekuat tenaga untuk
mengobrak-abrik pengepungan tersebut. Hamzah berhasil menumpas
pasukan Quraisy satu demi satu, hingga akhirnya dia mendekati Wahsy
yang sedang bersembunyi di bawah pepohonan. Akan tetapi, kemu-
dian Hamzah mengalihkan pandangannya pada serangan pasukan kuda
Quraisy yang menyabetkan pedangnya pada barisan pasukan muslim.
Hamzah berteriak: “Kemarilah, Ibn Muqthimah Al-Badhur!” hingga
akhirnya perkelahian dua jagoan itu dapat dimenangkan Hamzah. Pada
saat itu pula dari jarak yang agak jauh diayunkanlah sebuah lembing,
lalu dilemparkannya ke arah Hamzah. Lembing melesat dan tepat
mengenai perut Hamzah. Lembing itu merobek perut Hamzah dan isi
perutnya tumpah. Hamzah mencoba akan memberi perlawanan den-
A
pakah semua ini merupakan bentuk dari kegilaan,
ataukah suatu hikmah yang bisa dipetik menjadi
pelajaran?
Bagaimana mungkin kenangan pahit di lembah Uhud ini akan ter-
hapus? Bagaimana mungkin luka-luka ini akan terobati?
Orang pilihan dari kalangan Anshar dan Muhajirin yang berjumlah
tujuh puluh orang telah tewas di lembah Uhud yang banjir darah
itu, dengan menelan korban di antaranya seorang tokoh yang sangat
populer bernama Hamzah bin Muththalib, seorang prajurit pemberani
yang sangat lincah.
Andai saja dia dulu mau mendengarkan saran ‘Umar agar mem-
bunuh tawanan Badar, niscaya orang-orang Quraisy tak akan sampai
memiliki kemampuan untuk mengerahkan pasukan sebesar ini.
Muhammad telah menunjukkan sikap baiknya kepada orang-orang
Quraisy, kemudian setelah mereka tertangkap menjadi tawanan dalam
perang Badar, dibebaskanlah tawanan itu olehnya, namun justru mer-
“Mereka itu hidup di sisi Rabb mereka dan dikaruniai rizki. Mereka
semuanya berada dalam suasana kegembiraan lantaran menerima karunia
Allah yang diberikan-Nya kepada mereka.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 169-170)
Sebaliknya, status kalian semua yang kembali pulang di tengah
jalan yang menyebabkan lemahnya semangat orang-orang Islam untuk
ikut pergi ke lemah pertempuran dan bermaksud akan menumbuhkan
g
Pada suatu pagi delegasi dari Bani Sulaim datang kepada Muham-
mad untuk menyampaikan permohonan agar Muhammad menugaskan
tenaga-tenaga edukatif agama baru ini. Mereka mulai tertarik kepada
ajaran baru ini sejak mendapatkan perlakuan musuh secara biadab.
Muhammad pun segera mengirimkan tenaga-tenaga edukatif agama
sebanyak enam orang yang berangkat bersama para delegasi itu. Mu-
hammad merasa sangat gembira, karena mereka mau bergabung dalam
barisannya. Namun, di balik semua ini, mereka menyembunyikan suatu
tipudaya yang sangat licik untuk menjatuhkan kharisma Muhammad
di mata suku-suku yang lain.
Tidak hanya delegasi Bani Sulaim yang diterima Muhammad, tetapi
beliau juga menerima delegasi dari Bani Hudzail yang datang dengan
A
kankah lantaran engkau senantiasa bersikap sabar
terhadap orang-orang yang memperdayakanmu,
mereka menyangka bahwa dirimu orang yang lemah?
Tapi, ternyata semua itu berada dalam genggaman tanganmu; dan
ternyata engkau masih sanggup melakukan tindakan untuk menghan-
curkan mereka.
Jika engkau memberi pengampunan kepada mereka, itu lebih baik
bagimu. Barangkali dengan sikap itu, engkau akan dapat terhindar dari
timbulnya benih-benih kebencian di hati anak-anak mereka, sehingga
anak-anak mereka itu akan tumbuh berkembang menjadi pemuda yang
berhati bersih dari kebejatan yang diperbuat oleh orang tua mereka.
Barangkali saja nantinya akan tumbuh sebuah komunitas baru yang
memiliki kesadaran yang lain pula dalam pancaran cahaya ajaranmu,
Muhammad. Komunitas tersebut adalah “masyarakat” yang hidup
dalam suasana kasih sayang, berbudi pekerti luhur, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran.
Bacakanlah kepada mereka: “Sesungguhnya telah datang bukti-
bukti yang nyata dari Tuhan kalian semua. Barangsiapa melihat ke-
g
Dengan kecintaannya itulah, mereka mati dengan gagah berani,
tak mau kompromi, dan kata-kata yang terucap dari mulut mereka
menimbulkan getaran rasa takut di hati orang lain. Ini merupakan
sesuatu yang sangat mengherankan dan belum pernah ditemui sebel-
umnya. Sungguh, ini sebuah kenyataan yang belum pernah ditemui di
kalangan masyarakat Arab.
Empat puluh orang laki-laki gugur satu per satu. Mereka melepas
jiwanya yang ridha penuh dengan kepasrahan, sebab keberanian si-
kap mereka dalam menghadapi kematian merupakan tanggung jawab
perjuangan yang sangat mulia. Keberanian mereka dalam menghadapi
kematian bukan hanya semata-mata terdorong oleh jaminan hidup
kekal di akhirat nanti (kelak), namun juga keberanian mereka akan
menjadi sebuah sejarah berupa cahaya petunjuk langkah-langkah
perjuangan saudaranya setelah mereka terkubur di dalam tanah.
Tidak hanya itu saja. Keberanian mereka akan mengisi semangat
juang saudara-saudara mereka dengan jauh lebih tangguh daripada
semangat yang memenuhi pedang mereka sendiri.
Muhammad, empat puluh syuhada agung itu, betapapun keberanian
mereka dalam menghadapi kematian dan kekejaman, meninggalkan
bekas-bekas yang teramat dalam, tetapi pembantaian terhadap mereka
akan membuka celah-celah bagi kian gencarnya ejekan-ejekan dari
berbagai suku.
Tapi sekarang, posisi bagian belakang sudah engkau amankan. Hal
ini sebagai persiapan untuk menghadapi pasukan Quraisy yang telah
berjanji akan beradu kekuatan lagi tahun depan di lembah Badar.
Persoalan Bani Nadhir telah engkau selesaikan secara tuntas.
Engkau telah mendapatkan ganti kerugian yang engkau derita dalam
g
Dengan fenomena kecemburuan seperti ini, maka selanjutnya
setiap kali Muhammad hendak pergi ke suatu pertempuran dengan
mengundi di antara para istrinya, maka tak seorang pun di antara
mereka –termasuk ‘Aisyah sekalipun– yang merelakan madunya pergi
bersama beliau.
g
Setelah mundurnya pasukan Quraisy dalam pertempuran tahun
ini, semua peperangannya menjadi semacam ajang pameran kekua-
tannya di hadapan suku Quraisy dan sekutunya. Sekalipun Muhammad
masih belum bentrok dalam suatu pertempuran dengan siapa pun,
tapi mereka berusaha menghindar terlibat bentrokan dengannya.
Dan tak seorang pun berani lagi melakukan penyergapan terhadap
para shahabatnya. Tapi, peristiwa ini sama sekali tak meruntuhkan
Bani Musthaliq. Mereka merasa sebagai sekutu Quraisy dan yang pal-
ing kuat. Mereka menguasai sektor perdagangan, mempunyai banyak
harta dan budak-budak kulit hitam. Mereka membiarkan orang-orang
Quraisy menjadi pemimpin, karena orang-orang Quraisy dekat dengan
Ka‘bah yang menjadi tuhan-tuhan mereka.
Bani Musthaliq tidak sampai hati akan membiarkan Quraisy tanpa
ada yang membela. Maka mereka mengutus para penyair untuk
menemui Abu Sufyan, agar mengumandangkan syair-syair caci-maki
kepada Muhammad. Pemimpin Bani Musthaliq yang bernama Al-Harits
mengajak suku-suku yang ada di sekitarnya agar bergabung dalam se-
kutunya. Al-Harits berhasil mengumpulkan pasukan yang cukup besar
dari suku-suku yang bertempat tinggal di sepanjang Laut Merah.
Selanjutnya, kini yang memegang komandan pasukan Quraisy
adalah Bani Musthaliq dan Harits yang akan menggantikan posisi Abu
Sufyan sebagai pembawa bendera, sebab dia lebih pantas menduduki
posisi tersebut daripada Abu Sufyan.
g
Muhammad dirundung kegelisahan lantaran ‘Aisyah tidak ada. Na-
mun keesokan harinya, datanglah seorang pemuda tampan bernama
Shafwan ke Madinah bersama ‘Aisyah sambil menuntun untanya.
Kebetulan saja, ‘Abdullah bin Ubay melihatnya, lalu dia tersenyum
sinis melihat orang-orang yang ada di sekitarnya.
‘Abdullah masih saja mengelus-elus lehernya yang terbebas dari
tajamnya mata pedang pada beberapa hari yang lalu.
Kedatangan ‘Aisyah bersama Shafwan dijadikan momentum yang
tepat oleh ‘Abdullah bin Ubay untuk menyebar-luaskan berita yang
memalukan ini. Jika demikian, tertinggalnya ‘Aisyah dari rombongan,
berarti memang disengaja, agar dapat bermesra-mesraan dengan
Shafwan tadi malam. Mengapa Muhammad sekalipun berbudi pekerti
luhur ternyata harus menghadapi kenyataan pahit, lantaran istrinya
serong dengan laki-laki lain?
Serong dengan laki-laki lain, ‘Abdullah?
Inilah ‘Aisyah, ternyata ia jatuh cinta kepada laki-laki lain, Sauda-
ra-Saudara!
‘Abdullah bin Ubay menemui orang-orang dan menyatakan rasa
ibanya yang mendalam kepada Muhammad, padahal sebenarnya di
dalam hatinya menyimpan maksud untuk menggadukan kondisi Madinah
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap tuduhan yang kalian lontarkan.”
Air mata Abu Bakar dan istrinya tidak dapat dibendung lagi, maka
tenggelamlah mereka semua dalam tangis pilu.
Bagaimana jelasnya keadaan yang sebenarnya?
Tak satu pun akal yang mampu menembus tirai yang mengerikan,
yang di belakangnya bersembunyi sebuah kebenaran yang teramat
misterius.
Andaikata ‘Aisyah benar-benar terbebas dari tuduhan orang-orang,
tetapi mengapa kebebasan itu tidak mampu memberikan penjelasan
dan ketegasan sebagaimana praduga yang muncul di siang hari bolong?
Pada saat itu tiba-tiba datanglah beberapa orang utusan yang
memberitakan bahwa pihak kuffar Quraisy telah berhasil menjalin
persekutuan dengan suku-suku yang lain; dan kini pasukan Quraisy
dan sekutu-sekutunya siap untuk berangkat ke medan pertempuran.
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap tuduhan yang kalian lontarkan.”
Di dalam hatinya ‘Aisyah senantiasa berharap dan memohon kepada
Allah mudah-mudahan Allah mendatangkan mimpi kepada suaminya
yang dapat membebaskan dirinya dari gosip skandal itu. Tapi suaminya
tidak juga beranjak dari tempat tinggalnya. Tak seorang pun dari kelu-
arganya yang tinggal di rumah itu. Kemudian suaminya digelayuti oleh
sebuah beban yang sangat memberatkannya. Tampaknya, dia sedang
menyongsong turunnya ayat Al-Qur’an hingga keringatnya mengalir
deras laksana butir-butir mutiara, padahal ketika itu cuaca sangat
dingin.
Sesaat kemudian beban berat itu seolah lenyap dari suaminya,
kemudian dia tersenyum lebar untuk pertama kalinya, sejak hari-hari
panjang yang membuatnya pusing tujuh keliling. Lalu dia menatap
tajam ke arah ‘Aisyah sambil berkata: “‘Aisyah, bergembiralah karena
Allah telah membebaskan dirimu dari tuduhan-tuduhan gosip itu.”
Ibunya yang kegirangan lalu berkata kepada ‘Aisyah: “Berdirilah,
Nak, guna berterima kasih kepada suamimu.”
“Tidak, aku tidak akan berdiri berterima kasih kepadanya,” ucap
‘Aisyah menolak.
Ayahnya juga menyuruh putrinya agar berdiri guna menyampaikan
rasa terima kasih kepada suaminya, namun dia tetap bersikukuh me-
nolaknya. Di sela-sela tangisnya itu, dia lalu berucap: “Bukan kepada
engkau, Ayah; dan bukan kepada temanmu aku harus mengucapkan
terima kasih. Sungguh, aku tak akan mengucapkan puji syukur kepada
siapa pun, selain kepada Allah semata.”
Selanjutnya, Muhammad menemui orang-orang, membacakan ayat:
B
ani Nadhir tidak akan pernah melupakan
kekalahannya selama-lamanya. Mereka mengembara
di padang pasir yang luas. Bola-bola mata mereka mener-
awang ke angkasa raya. Mereka mengenang kehidupan yang tenteram
di Madinah, ketika mereka pernah melalui masa-masa kejayaan dan
memiliki harta kekayaan yang melimpah-ruah dari usaha rente mer-
eka. Terkenang kembali dalam angan-angan mereka, keberhasilannya
mengembangkan usaha pertanian. Mereka berhasil membangun perke-
bunan di sekitar Madinah. Mereka berhasil menyemarakkan Madinah
dengan rumah-rumah hiburan, keramaian, dan gemerlapnya kemega-
han. Mereka telah menerima anugerah mahkota kehormatan sebagai
raja. Akan tetapi, kemudian datanglah Muhammad, maka terhapuslah
praktek riba. Tak ada lagi budak-budak yang bekerja di kebun-kebun.
Tak ada lagi rumah-rumah hiburan. Tak ada lagi keramaian. Tak ada
lagi kemegahan.
Impian-impian mereka untuk pulang kembali ke Madinah mem-
bangun pasar-pasar seperti sebelumnya, mencari keuntungan yang
“(13) Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: ‘Hai pen-
duduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu.’ Dan
sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan
berkata: ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan
rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak
lari. (14) Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada
mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada
akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat. (15)
Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah: ‘Mereka
tidak akan berbalik ke belakang (mundur).’ Dan adalah perjanjian dengan
Allah akan diminta pertanggungan jawabnya. (16) Katakanlah: ‘Lari itu
sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian
atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga
akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.’ (17) Katakanlah: ‘Siapakah
yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana
atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?’ Dan orang-orang munafik
itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah. (18)
Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di
antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya:
‘Marilah kepada kami.’ Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan
J
ika prajurit-prajurit tangguh yang beribu-ribu
jumlahnya tak mampu melewati parit untuk
menyergap pasukan Muhammad dari berbagai penjuru, maka
eksistensi kuantitasnya sia-sia. Jika harus menghadapi tentara-tentara
satu lawan satu, apa istimewanya mereka? Ketiga ribu prajurit yang
dikerahkan Muhammad di depan tembok-tembok Madinah, mereka
semuanya sungguh menginginkan terjadinya pertempuran. Jika demiki-
an, tentara Quraisy hendaknya melepaskan ketiga ribu jagoannya juga.
Mungkin sekali ketiga ribu jagoan Quraisy itu akan dapat dibunuh semua
oleh prajurit-prajurit Muhammad. Sementara sisa tentara gabungan
Quraisy, pasti akan menarik diri dan menyerah angkat tangan.
Lamanya masa pengepungan menyebabkan timbulnya kejenuhan
di hati orang Quraisy. Perbekalan mereka kian menipis, sedangkan di
belakang prajurit-prajurit muslim terdapat Madinah yang menyediakan
kebutuhan-kebutuhan perbekalan mereka.
Ghathafan berharap konsensi perdamaian dengan Muhammad
g
Orang-orang yang tinggal di masjid Madinah yang dekat dengan
rumah Muhammad, masih saja hidup tanpa pekerjaan. Mereka hidup
tenang dengan mengandalkan harta zakat.
Maka timbullah fenomena baru di kalangan orang-orang, yaitu sikap
menghormati orang-orang yang aktivitas hidupnya hanyalah beribadah
di masjid. Muhammad menemukan salah seorang di antara mereka
yang mengkonsentrasikan hidupnya dalam aktivitas ibadah itu, hingga
mati kurus lantaran terlalu lama bangun malam dan berpuasa di siang
g
Orang-orang Yahudi Khaibar sibuk mengadakan persiapan agresi
ke Madinah dan menghimpun suku-suku di sekitarnya ke dalam se-
buah pasukan tempur yang tergabung dari berbagai kekuatan. Mereka
berhasil merekrut beberapa tentara dari Ghathafan yang tak pernah
melupakan kekalahannya di depan Madinah dalam suatu pertempuran
yang tergabung dari berbagai suku pada waktu silam. Muhammad men-
gambil keputusan akan segera melakukan aksi agresi yang mematahkan
kekuatan Yahudi Khaibar sebelum mereka berhasil menghimpun pasukan
dari berbagai suku. Ia bertekad akan menyerbu Yahudi Khaibar terlebih
dahulu, walaupun social cost yang harus ia bayar cukup mahal. Namun
daripada menunggu, agresi ini masih lebih baik.
Muhammad telah mengetahui bahwa orang-orang Yahudi mem-
bangun kota mereka di balik jaring-jaring pertahanan yang kokoh.
g
Kini pihak yang menjadi ancaman serius bagi Muhammad, sudah tak
ada lagi. Demikian pula, kini sudah tak ada lagi yang membuat letih
pikirannya. Orang-orang Yahudi telah berhasil ditumpas, sedangkan
dengan pihak Quraisy terikat perjanjian perdamaian selama sepuluh
tahun. Demikian pula suku Ghathafan telah lumpuh kekuatannya untuk
membantu Yahudi Khaibar dan tidak akan lagi melakukan penyerbuan.
Dari sana-sini banyak suku yang menyatakan masuk Islam tanpa
dihantui rasa cemas lagi, setelah perdamaian Hudaibiyah dan jatuh-
nya basis Yahudi di Khaibar ke dalam genggaman tangannya. Dengan
demikian, kini Muhammad berpikir akan melancarkan dakwahnya
keluar Semenanjung Arab, setelah merasakan tidak ada lagi ancaman
yang serius bagi gerakan dakwahnya di kalangan bangsa Hijaz.
“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
yang menguasai langit dan bumi, bagi kamu semua.”
Muhammad mengutus kurir untuk menyampaikan suratnya kepada
kaisar Romawi, Persia, dan Maqauqis Qibti di Mesir. Selanjutnya, ia
mengutus kurir pula untuk menyampaikan suratnya kepada pemimpin-
pemimpin bangsa Arab yang tinggal di daerah yang jauh; ke penguasa
Najd, penguasa Bahrain, dan raja Ghassan.
Muhammad mengajak mereka agar mau memeluk agama Islam dan
menjamin tidak akan mencaplok kekuasaan mereka kepada semua
kepala negara itu. Raja Romawi memperlakukan kurir yang diutus
Muhammad dengan penuh hormat. Akan tetapi, ia tidak memberikan
respon sama sekali terhadap surat Muhammad.
Sementara itu raja Persia menyobek-nyobek surat Muhammad dan
mengusir kurir-kurir yang di utusnya. Selanjutnya, raja Persia menulis
“Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) kaum
O
rang-orang Islam kini berada dalam kondisi yang
sangat mantap. Kondisi yang mantap ini mereka
rasakan setelah kepulangan mereka dari lembah Khaibar
dalam suatu kemenangan gemilang, membawa harta rampasan yang
melimpah-ruah, di samping tawanan-tawanan yang perkasa dan cantik-
cantik. Situasi yang mantap seperti saat ini belum pernah mereka
rasakan.
Pada suatu pagi mereka tiba-tiba dikejutkan oleh laki-laki, perem-
puan, dan anak-anak yang mengetuk pintu-pintu rumah-rumah mereka.
Pakaian para pendatang itu tampak asing sekali di mata mereka, tapi
bahasanya jelas menggunakan bahasa Arab.
Rupanya para pendatang itu adalah sebagian pengikut Muhammad
yang dulu mengungsi ke Ethiopia (Habsyah) dari ancaman orang-orang
Quraisy, ketika mereka dalam posisi terjepit dan berbagai kota menu-
tup pintu untuk mereka. Mereka tak menemukan apa-apa selain lautan
sebagai tempat penyeberangan dan raja Najasyi sebagai pemberi suaka
kepada mereka yang belum pernah diberikan kepada siapa pun selain
mereka.
g
Bulan Zhulhijah kian dekat menjelang. Perjanjian Hudaibiyah
telah berlalu satu tahun. Musim haji kini tiba lagi.
Muhammad mengumpulkan orang-orang yang ditolak masuk Makkah
pada tahun yang lalu dan memerintahkan kepada semua istrinya agar
melakukan persiapan untuk ikut serta pergi bersamanya. Ia menyiapkan
kuda-kuda yang terlatih untuk perang.
Meskipun perjanjian Hudaibiyah memberikan peluang untuk
mengunjungi Makkah pada tahun ini dengan aman, namun tiada
salahnya mereka berhati-hati dan berjaga-jaga.
Muhammad berangkat bersama para pengikutnya mengenakan
pakaian ihram dan bersenjata.
“Kita jangan sampai masuk ke tanah Haram membawa senjata.
Meskipun demikian, senjata-senjata itu jangan sampai jauh dari kita
agar jika kita melihat gelagat orang-orang Quraisy akan berkhianat,
g
Orang-orang Muhajirin memanfaatkan waktu perjumpaan itu den-
gan baik. Mereka mengajak sanak kerabat dan kawan-kawan dekat-
nya untuk memeluk agama baru itu. Mereka berhasil mempengaruhi
sejumlah orang-orang yang langsung datang menghadap Muhammad
untuk menyatakan bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Terma-
suk di antara mereka adalah Walid bin Walid, saudara kandung Khalid
bin Walid. Ia datang kepada Muhammad menyatakan keislamannya.
Muhammad menyambut baik kedatangannya, lalu mendo‘akan.
“Di mana Khalid?” Muhammad bertanya.
“Allahlah yang akan mendatangkan dia nanti,” jawab saudaranya.
“Orang yang seperti Khalid itu bukannya tidak mengerti tentang
Islam. Andaikata ia datang kepada kami, tentu hal itu akan lebih baik
bagi dirinya dan kami mengunggulkan Khalid di atas orang lain,” ujar
Muhammad lagi.
Karena itu, Walid bin Walid memutuskan untuk tidak meninggalkan
“Jika kalian semua enggan untuk ikut dalam pertempuran, niscaya Allah akan
menyiksa kalian dengan siksa yang pedih; dan Allah akan menggantikan kalian
dengan kaum yang lain.” (QS. At-Taubah [9]: 39)
Andaikata Muhammad memimpin pasukannya ke Makkah dalam
rangka membela sekutunya, Bani Khuza‘ah, maka yang pasti semua
kaum tertindas yang merupakan mayoritas penduduk Makkah akan
bergabung ke dalam pasukan Muhammad. Dan yang sudah pasti juga,
pedagang-pedagang yang sudah tergoyahkan posisinya karena kalah
persaingan dengan pedagang muslim, mereka akan bergabung dengan
Muhammad.
Kenyataan seperti ini jangan sampai terjadi. Muhammad jangan
sampai mengerahkan pasukannya, lalu bergerak ke Makkah. Perjanjian
damai Hudaibiyah harus tetap dijaga kontinuitasnya dan harus tetap
direformasi selamanya.
Sungguh telah terjadi kekeliruan langkah yang dapat beraki-
bat fatal. Sebab tidak selayaknya pemerintah Quraisy membiarkan
sekutu-sekutu mereka memerangi sekutu-sekutu Muhammad. Tidak
selayaknya pula orang-orang Quraisy menyangka Muhammad lemah
setelah mengalami kekalahan perang melawan pasukan Romawi, lalu
mereka membantu Bani Bakar memerangi Bani Khuza‘ah. Akan tetapi,
mereka menyadari bahwa kekeliruan langkah ini harus diperbaiki.
Karena itulah, orang-orang Quraisy mengutus pemimpinnya untuk
menemui Muhammad, yaitu Abu Sufyan sendiri yang berangkat. Abu
Sufyan berangkat ke Madinah. Ia menuju ke rumah putrinya Ummu
Habibah (Ramlah) yang sudah tak pernah bertemu dengannya se-
lama beberapa tahun lamanya, sejak Ummu Habibah mengungsi dari
Makkah ke Ethiopia; dan kini sudah menjadi istri Muhammad.
Ummu Habibah menyambut kedatangan ayahnya dan menumpah-
kan seluruh kerinduannya setelah sekian lama terpisah. Abu Sufyan
“Tiadalah Kami mengutus dirimu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 107)
Selanjutnya, dia memberikan maaf kepada Hindun. Hindun me-
nyatakan keislamannya bersama perempuan-perempuan lain.
Ketika Muhammad meminta para perempuan menyatakan keisla-
mannya agar tidak melakukan pencurian, Hindun berkata: “Apakah
perempuan yang merdeka boleh melakukan pencurian, sebab Abu Su-
fyan tergolong laki-laki yang bertipe pelit. Sering kali aku mengambil
hartanya tanpa sepengetahuannya untuk keperluan anaknya.”
Ketika itu Abu Sufyan kebetulan ada, maka tertawalah ‘Umar
sambil memperhatikan raut muka Abu Sufyan.
“Hindun, aku halalkan apa telah yang engkau ambil,” ucap Abu
Sufyan.
Kemudian Muhammad meminta para perempuan itu untuk berjanji
tidak akan melakukan perzinaan. Hindun lalu berkata lagi: “Apakah
perempuan merdeka tidak boleh berzina, wahai Rasulullah?”
Muhammad meminta para perempuan itu agar berjanji tidak akan
T
eman-teman dekat Muhammad yang berada di
Makkah, sebuah kota besar dan agung, yang
biasanya selalu dipenuhi hiruk-pikuk, gelak-tawa, dan cum-
bu-rayu, bergerak mengajak orang-orang masuk Islam. Kini tak ada
lagi yang perlu mereka takuti dan tidak pula membuat mereka susah,
sekalipun sebelumnya praktek tindakan anarkhis terhadap teman-
teman dekat Muhammad di Makkah luar biasa kejamnya.
Shahabat-shahabatnya berkeliling mendatangi para pedagang,
rakyat jelata, dan rumah-rumah hiburan. Mereka berhasil menggir-
ing para artis, para perempuan, dan para peminum, yang tidak kecil
jumlahnya, supaya mereka menyesali segala perbuatan yang telah lalu
dan supaya masuk dalam agama baru. Shahabat-shahabat Muhammad
di Makkah mengumumkan:
g
Pada saat kesibukan semacam ini, datanglah delegasi Yamamah
menghadap Muhammad. Di antara delegasi itu terdapat seorang laki-
laki lanjut usia, yang sudah sejak bertahun-tahun silam dia biasa
berkelana dari satu suku ke suku yang lain dengan menunggangi kele-
dainya untuk mengajak orang-orang agar mencari kebenaran.
Laki-laki yang lanjut usia itu sangat dihormati oleh kaumnya karena
faktor usianya yang sudah tua dan kecendekiawanannya. Popularitas
laki-laki itu telah tersebar ke luar negeri Yamamah. Bahkan orang-orang
Quraisy juga mendengar perihal laki-laki Yamamah itu. Di awal-awal
masa kenabian Muhammad, orang-orang Quraisy pun menuduh bahwa
Muhammad banyak belajar dari cendekiawan Yamamah itu.
Cendekiawan dan filosof Yamamah yang bernama Musailimah itu
datang belakangan, sementara delegasinya datang terlebih dahulu.
Para delegasinya menceritakan tentang Musailimah kepada Nabi, lalu
Nabi berkata kepada mereka: “Sesungguhnya dia bukan orang kalian
yang buruk posisinya.”*)
Mereka lantas menyatakan masuk Islam, lalu pergi menemui Mu-
*) Maksud ucapan Nabi ini adalah karena saat itu Musailimah benar-benar amanah kala dipercaya rekan-rekannya untuk menjaga barang-
barang bawaan mereka di penginapan mereka. Baca Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad n 7/62 oleh KH. Munawwar Chalil –edt..
g
Semuanya berantakan dan Muhammad sakit kembali.
Sejak mencicipi daging kambing yang diberi racun di Khaibar itu,
“... janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan
jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh
jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok)....”(QS. Al-Hujuraat [49]: 11)
Muhammad memalingkan wajahnya dari ‘Aisyah dengan penuh
sakit hati atas kecemburuannya.
‘Aisyah! Sungguh engkau telah mengatakan ucapan yang seandainya
ucapan itu dicampurkan ke laut, niscaya akan dapat mencemari air
laut itu,” demikian ucap Muhammad menanggapi ‘Aisyah.
Dia berisyarat kepada ketiga istrinya agar pergi, sebab dalam
keadaan sakit sangatlah tidak layak untuk saling cemburu. Belum lagi
“Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” (QS.
At-Taubah [9]: 81)
Tidak hanya himbauan yang menghentikan jalannya perang, tetapi
juga gosip beterbangan: “Untuk apa kita bergabung ke dalam Islam?
Apakah setelah memperoleh kehidupan yang enak, pangkat, kedudu-
kan, kekayaan, dan kebanggaan, terus kita dituntut melepaskan semua
M
uhammad bersama pasukannya kembali ke
Madinah dengan hanya mengenakan pakaian
yang terbuat dari kain kasar. Wajah-wajah mereka meny-
iratkan kesungguhan dan keseriusan. Jiwa mereka berbinar-binar.
Sorot mata mereka menyimpan obsesi yang terpendam. Mereka telah
melepaskan baju-baju bagus, wewangian, perhiasan, dan kebiasaan-
kebiasaan mereka. Dengan sikap kebersahajaan ini, mereka meng-
harap kedekatan hati dengan Muhammad. Di dalam negara yang baru
dibangun, mereka ingin mendapat anugerah kedudukan, perlidungan,
atau lapangan pertanian dan perdagangan dari Muhammad. Tiba-tiba
Muhammad menemui mereka dengan mengenakan pakaian bagus dan
wewangian yang semerbak sembari menyunggingkan sekilas senyum di
bibirnya dan sorot matanya menyentuh ke dalam relung hati mereka
semua.
Mereka menyatakan bahwa mereka telah memeluk agama Islam yang
dibawa Muhammad. Mereka menyanjung-nyanjung Muhammad. Akan
tetapi, Muhammad meminta kepada mereka agar jangan mengkultus-
“(1) (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya ter-
hadap orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka). (2) Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin)
di muka bumi selama 4 bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu
(kaum musyrikin) tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya
Allah menghinakan orang-orang kafir. (3) Dan (inilah) suatu permakluman
dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.
Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik
bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu
tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 01-03)
g
Penyakit yang diderita sejak mencicipi daging beracun di Khaibar
kini kambuh menyerang kembali. Tapi dia tetap tegar, tak mau meny-
erah pada penyakit apa pun, termasuk pengaruh racun yang menjalar
secara lambat-laun, tidak pula kesedihan yang menekan batinnya
dengan begitu kerasnya.
Orang-orang yang begitu besar jumlahnya dari kota Madinah,
Makkah, dan perkampungan-perkampungan, serta daerah terpencil,
perlu menyelenggarakan pertemuan akbar yang mempertemukan mer-
eka di bawah satu panji, bersatu-padu melakukan berbagai hal yang
didasarkan atas kesamaan iman dalam rangka menempatkan kesatuan
dan kebersamaan.
Ya, mereka semua yang harus berkumpul. Mereka yang bernaung
di bawah kepemimpinannya perlu didorong untuk meningkatkan pe-
nyebaran ajaran-ajaran yang dibawanya.
Muhammad menginformasikan akan menunaikan haji pada tahun
ini. Dengan demikian, gunung-gunung dan lembah-lembah telah di-
penuhi puluhan ribu jama‘ah haji yang menggiring puluhan ribu ternak
untuk dijadikan qurban di Makkah. Semuanya bertemu di Makkah.
Muhammad membawa semua istrinya. Dia memimpin lebih 100.000
jama‘ah haji untuk mengadakan pertemuan akbar di Makkah. Di hada-
pan mereka dia mengajarkan tuntunan ibadah haji yang mesti diikuti
oleh kaum laki-laki dan perempuan. Dia mengajarkan bertahallul dan
berihram. Dia memulai juga tuntunan ibadah haji yang mesti dilakukan
oleh para perempuan saat memberikan tuntunan kepada istri-istrinya.
Dari puncak bukit, terdengar gemuruh suara 100.000 lebih orang-
orang Islam untuk pertama kalinya, mengulang pekikan:
*) Nabi n mencintai wanita, karena kaum wanita berfungsi sebagai penyampai Sunnah-sunnah beliau yang luput dari perhatian kaum laki-laki
atau sesuatu yang beliau sendiri merasa “rikuh” untuk menyampaikannya secara langsung kepada kaum wanita. Baca Syarh Sunan Nasa’i
Hadits No. 3878 oleh As-Sindi –edt..
“Aku hanyalah manusia biasa sebagaimana kalian.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110;
Fushshilat [41]:6)
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul (utusan). Sungguh telah
berlalu beberapa orang rasul sebelumnya.” (QS. Aali ‘Imraan [3]: 144)
Suaranya keras terdengar berucap: “Sesungguhnya darah dan harta
kalian adalah haram bagi sesama kalian, hingga kalian menemui Rabb
g
Kendati Muhammad telah puas menyaksikan pemandangan yang
indah dan sejuk ini, namun kerajaan Romawi di kawasan utara mengan-
cam keamanan umat yang baru terbentuk itu dan menerapkan sistem
hubungan sosial yang bersifat menindas. Kaum borjuis (bangsawan) di
sana masih saja berbuat tiran terhadap kaum proletar (rakyat kecil).
Oleh karena itu, umatnya harus membebaskan kolonialisasi dan
juga mesti memberangkatkan pasukan ke Syiria, di mana Zaid bin
Haritsah dan Ja‘far bin Abi Thalib gugur sebagai syuhada beberapa
tahun yang silam. Pasukan itu harus melakukan agresi ke kerajaan
Romawi serta membebaskan orang-orang yang tertindas di sana.
Muhammad memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan di
bawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah. Dia sangat pantas sekali
untuk menuntut balas kematian ayahnya dan semua syuhada Mu’tah.
Pertempuran seperti ini sangat membutuhkan para pemuda yang
memiliki sikap militansi untuk gugur sebagai syuhada dengan kobaran
semangat keberanian yang dinyalakan oleh api cinta kemerdekaan.
Pasukan itu banyak melibatkan para pemuda dan menempatkan
pimpinan yang berpengalaman di bawah komando Usamah bin Zaid
bin Haritsah.
Protes yang bernada keberatan mulai bermunculan terhadap pen-
giriman pasukan yang dikomandoi pemuda berusia 20 tahun ini. Akan
tetapi, Muhammad menanggapi protes itu dengan ucapan: “Wahai
sekalian manusia, biarkanlah saja pengutusan Usamah diteruskan. Demi
usiaku, jika kalian membicarakan masalah kepemimpinannya, maka
“Setiap umat memiliki tingkatan ibadah yang paling tinggi, sedangkan tingka-
tan ibadah yang paling tinggi bagi umatku adalah jihad di jalan Allah.”
Dia juga mengajarkan kejujuran, sebab sesungguhnya kesaksian
“Khianat dihukumi dosa besar di sisi Allah, yakni engkau mengatakan ses-
uatu kepada saudaramu, lalu saudaramu mempercayaimu, padahal engkau
berdusta.”
Muhammad juga melarang sikap pelit dan perangai yang jelek. Dia
berkata:
“Hartamu yang menjadi bagianmu hanyalah apa yang engkau makan, namun
itu akan habis; atau apa yang engkau pakai, namun itu pun akan rusak; atau
apa yang engkau shadaqahkan, dan inilah yang akan kekal selamanya.”
Dia mengajarkan juga kepada mereka tentang sikap melawan
tiranik. Dia berkata:
“Jika kalian diam saja melihat orang yang berbuat zhalim tanpa mau mence-
gahnya, maka takkan lama kemudian Allah akan meratakan siksa-Nya kepada
kalian semua.”
Dia memperingatkan juga kepada mereka tentang para penguasa
setelah kepergiannya nanti. Dia berkata:
“... ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mem-
persekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa-
pun.’ Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan
(para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: ‘Adakah
kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya
kepada Kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu
tidak lain hanya berdusta.” (QS. Al-An‘aam [6]: 148)
Manusia itu merdeka. Pekerjaannya itulah yang menentukan pres-
tise dan prestasinya. Inilah ajaran-ajaran yang dia bawa: kejujuran,
kebajikan, menghormati kedua orang tua, budi pekerti luhur, kasih
sayang, keadilan, persamaan, keberanian, kedermawanan, hak-hak
yang harus diperoleh seseorang dalam alam kemerdekaan, dan ke-
wajibannya untuk membebaskan orang lain dari kertertindasan dan
untuk memperjuangkan kemerdekaan orang lain.
Muhammad mengajarkan semua tuntunan itu kepada mereka ber-
jalan selama 23 tahun.
Betapa berat penderitaan yang harus dia jalani dalam upaya men-
egakkan sistem nilai yang dia bawa dan berjuang demi terealisasinya
sistem nilai tersebut hingga menjadi prinsip-prinsip bagi kehidupan
umat yang satu, yang sebelumnya merupakan suku-suku yang berpecah-
belah.
Perjuangan panjang yang melelahkan telah menguras seluruh
tenaga dan pikirannya. Sementara itu racun yang diselipkan secara
diam-diam oleh orang Yahudi ke dalam makanannya di Khaibar kembali
menyerang ulu hatinya.
Dia masuk ke rumah ‘Aisyah dari pintu yang menghubungkannya
“Aku pesankan agar kalian betul-betul memelihara shalat, menunaikan zakat, dan
memperlakukan budak-budak yang kalian miliki dengan sebaik mungkin.”
Baru saja Muhammad mengutarakan beban pikirannya yang terakhir,
kemudian dia memejamkan kedua matanya untuk selama-lamanya.
Maka terdengarlah jeritan tangis: “Rasulullah kini telah wafat.
Muhammad kini telah tiada.” Rumah ‘Aisyah sesak dengan laki-laki
dan perempuan yang menampar-nampar pipi, sementara itu pula
jerit-tangis semakin ramai.
Tidak mungkin dia mati. Orang seperti dia tidak mungkin akan
mati! Dia harus hidup. Dia itu adalah pelopor yang luar biasa yang
benar-benar telah mewujudkan mukjizat bagi segenap manusia. Meski
demikian kehebatan yang dimilikinya, dulu dia selalu saja mengatakan:
“Aku hanyalah manusia biasa sebagaimana kamu sekalian, manusia
yang bisa sakit dan akan mati juga.”
Dia mati?
Mendengar informasi bahwa Muhammad telah meninggal, dari
kejauhan ‘Umar datang berteriak-teriak di tengah orang-orang dan
mengancam akan menebas batang leher siapa saja yang mengatakan
bahwa Muhammad telah wafat. Tapi kenyataannya, Muhammad me-
mang benar-benar telah wafat.
Abu Bakar datang, lalu dia memeluk jasadnya dan menciumnya
dengan linangan air mata hingga membasahi tikar sambil meratap:
“Demi ayah dan ibuku, alangkah baiknya kehidupan dan kematianmu,
wahai Rasul.”
Sementara ‘Utsman hanya tertegun serasa tidak percaya. Ia tidak
mampu berkata-kata. ‘Ali juga hanya termenung diam, tak kuasa untuk
bangkit dari tempatnya berada.
Di tengah hiruk-pikuknya orang-orang mengenang dan menangisi
kepergian sang anutan mereka, tiba-tiba terdengarlah suara yang
“Sesungguhnya kamu akan mati; dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” (QS.
Az-Zumar [39]: 30)
“Apakah jika rasul mati atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang (kembali
menjadi kafir)?” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 144)
‘Umar baru tersadar ketika mendengar kata-kata Abu Bakar yang
mengutip sebuah ayat. “Demi Allah, aku seolah-olah tak pernah men-
dengar ayat-ayat itu sebelum ini,” aku ‘Umar.
Selanjutnya, ‘Umar tersungkur ke tanah menumpahkan seluruh
kedukaan dan ratapannya: “Muhammad benar-benar telah pergi se-
lamanya!”
Abu Bakar melanjutkan kata-katanya: “Barangsiapa yang me-
nyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat.
Akan tetapi, barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah
Mahahidup dan tidak akan pernah mati.”
Ya, Muhammad benar-benar telah wafat, sebab dia selalu men-
gatakan: