Anda di halaman 1dari 607

Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, maka sudah selayaknya

kita mengenal beliau.


Tujuannya bukan saja sekedar mengetahui secara kronologis
perjalanan hidup beliau sebelum lahir hingga wafatnya, tetapi juga
harus mengambil pelajaran dan keteladanan dari beliau, karena
inilah hakikat pentingnya memahami Keteladanan
Nabi Muhammad SAW.
Muhammad adalah pelopor dari segala pelopor, yang luar biasa...
dalam hal kebaikan, kasih sayang, pembebasan dari belenggu
kekafiran dan kemunafiqan; dan keberhasilan perjuangannya
mengentaskan manusia dari kegelapan kepada cahaya sungguh
merupakan rahmat, anugerah, dan kemuliaan yang tiada hal yang
serupa dengannya. Kehadirannya, bahkan sebelum kemunculannya,
telah memancarkan cahaya dan menyebar berkah, yang segenap
makhluk di bumi ini mendambakannya. Sungguh, Muhammad
sebenarnya bukan manusia biasa, meski kata-kata ini yang
senantiasa ia ucapkan. Ia adalah pancaran cahaya Ilahi yang
diciptakan untuk kebaikan manusia
ini. dan seluruh makhluk di bumi
Semoga Pembaca senantiasa mendapat limpahan rahmat dan pahala
dari Allah Swt sehingga kita dapat memperluas wawasan dan
mengambil manfaat yang sebanyak-banyaknya dari buku ini.

Agama Islam
*4#/

  
Rp.144.000,-
Agama Islam
*4#/

  
Rp.144.000,-
H
MUHAMMAD SANG TELADAN
‘Abdurrohman Asy-Syarqawi
604 hlm: 16,5 x 24 cm, HVS NW 70
ISBN : 978-602-6563-70-5
ISBN e Book : 978-602-6563-71-2

Judul Asli : Muhammad Rasuulul Hurriyyah

Penulis : ‘Abdurrohman Asy-Syarqawi

Penerjemah : KH. Baihaqi Syafiuddin

Editor : Ir. Sumbodo, Eni Oesman, & Abu Khodijah AR

Design Cover : Agi Sandyta

Cetakan Ke :I

Penerbit :
Senja Media Utama
Jl. Jl. Kemang 1 No. 3A
RT. 004/10 Kp. Cikumpa
Kel. Sukmajaya, Kec. Sukmajaya
Tlp. 021 29444 697
redaksisenja2016@gmail.com

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku


ini tanpa izin tertulis penerbit
4 MUHAMMAD Teladan Penegak Kebenaran
Kata Pengantar Penerbit

“Tiadalah Kami mengutus dirimu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 107)

D
an memang benar demikian adanya bahwa
kedatangannya telah menghiasi bumi ini dengan
segenap kasih sayang dan kebaikan, sehingga tiada yang bisa
mengelak dari kenyataan ini, selain orang-orang yang benar-benar
ingkar kepadanya.
Muhammad adalah pelopor dari segala pelopor, yang luar biasa...
dalam hal kebaikan, kasih sayang, pembebasan dari belenggu kekafiran
dan kemunafiqan; dan keberhasilan perjuangannya mengentaskan manu-
sia dari kegelapan kepada cahaya sungguh merupakan rahmat, anugerah,
dan kemuliaan yang tiada hal yang serupa dengannya. Ke­hadir­annya,
bahkan sebelum kemunculannya, telah memancarkan cahaya dan me-
nyebar berkah, yang segenap makhluk di bumi ini mendambakannya.
Sungguh, Muhammad sebenar­nya bukan manusia biasa, meski kata-kata
ini yang senantiasa ia ucapkan. Ia adalah pancaran cahaya Ilahi yang
diciptakan untuk kebaikan manusia dan seluruh makhluk di bumi ini.
Karena itu, rasanya tiada berlebihan jika kami mere­ferensikan
pembaca untuk membaca buku ini, karena dengan bahasa cerita
yang sangat menarik dan rangkaian sejarah yang cukup lengkap,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 5
‘Abdurrohman Asy-Syarqawi, sang penulis asli dari karyanya berjudul
Muhammad Rasuulul Hurriyyah, mengisahkan perjalanan hidupnya
yang penuh derita dan perjuangan, dengan seluruh akhlaq baik dan
mulianya, baik terhadap kawan, lawan, saudara, keluarga, maupun
semua relasi yang pernah berhubungan dengannya, agar kita dapat
mengenal dirinya lebih jauh dan mendalam. Dan tidaklah keliru jika
kami mempercaya­kan KH. Baihaqi Syafiuddin sebagai pengalih ba-
hasanya, selanjutnya memunculkan buku ini dengan judul Muhammad
Teladan Penegak Kebenaran, dengan harapan pembaca dan kaum
muslimin yang menelusurinya sejarah kehidupan­nya dan perjalanannya
hidupnya akan menangkap segala hikmah kehidupan yang mengiring-
inya dan mengambil manfaat serta meneladani kebaikan dan kemuliaan
yang melekat pada dirinya.
Tiada hal yang senantiasa kami harapkan, selain harapan agar Al-
lah senantiasa melimpahkan shalawat dan salamnya kepada beliau,
anutan dan kecintaan kita; keluarganya; dan segenap shahabatnya
yang menyertai perjuangan dan perjalanan dakwahnya. Demikian juga
semoga kerja sama jarak jauh dan dalam rentang waktu yang cukup
lama dari semua pihak, baik penulisnya, penerjemahnya, maupun
pihak yang mendukung ter­wujudnya buku ini, menghasilkan kebaikan
dan pahala yang melimpah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Semoga
Allah menjadikannya investasi akhirat sebagai saksi kebaikan yang
akan dihadapkan ke haribaan-Nya. Amiin.

Depok, November 2017


Penerbit

6 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Daftar Isi

Kata Pengantar Penerbit.............................................. 5


Daftar Isi................................................................ 7
Persembahan........................................................... 9
Aku manusia biasa sepertimu........................................ 11
PENDAHULUAN.......................................................... 13
Kabut di atas langit Makkah......................................... 19
Kondisi sosial-geografis Makkah pada abad VII.................... 31
Di balik awan, sang rembulan terbit............................... 41
Gejolak cinta di masa muda......................................... 59
Cahaya di Malam Gelap............................................... 61
Pengisolasian di Dinding Tiran....................................... 81
Hegemoni Kebenaran para Bangsawan............................ 99
Mulai Runtuhnya Benteng Kesesatan............................... 113
Antagonisme Menolak Kebenaran................................... 131
Luluhnya Hati Singa Jantan Padang Pasir.......................... 151
Kegetiran dalam kesendirian......................................... 171
Mencari Bumi Tempat Berpijak...................................... 189
Mengungsi Demi Masa Depan........................................ 206
Jalan panjang yang melelahkan..................................... 225

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 7
Kemakmuran membawa krisis internal............................. 243
Idealisme vs Interes Konfrontatif................................... 267
Banjir darah di Lembah Badar....................................... 287
Antara mata pedang dan kelicikan................................. 307
Darah membanjiri lembah Uhud, sebuah pelajaran............. 327
Membalut luka Membangun asa..................................... 345
Darah lembah Uhud harus ditebus.................................. 363
Gosip perselingkuhan ‘Aisyah menggoyang reputasi Muhammad 383
Perang Khandaq danpengkhianatan Bani Quraizhah............. 409
Kesuksesan yang membangkitkan konfidensi...................... 427
Rindu kampung halaman.............................................. 445
Badai menerpa keluarga Muhammad............................... 467
Kesepakatan yang membentangkan jalan.......................... 487
Makkah berada dalam genggamannya.............................. 507
Metamorfosis Makkah................................................. 533
Bendera kemenangan berkibar jauh................................ 555
Rembulan kembali ke peraduannya................................. 575

8 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Persembahan

B
Buku ini kupersembahkan buat Ayahku....
yang telah menanamkan dalam sanubariku
–sedari aku kecil– rasa cinta kepada Muhammad n.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 9
10 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Aku manusia biasa sepertimu

“ Seorang manusia”, yang dalam hidupnya tersimpan kekayaan


berupa cinta kasih, kebijaksanaan,
kesederhanaan, kedermawanan, dan kemampuan
yang luar biasa dalam manajerial, leadership, maupun dalam tinda-
kan-tindakan inovatif dan reformasinya.

Haramkah jika aku menulis untuk orang-orang


nonmuslim tentang kehidupan Muhammad, sang nabi; keberanian-
nya; kepahlawanannya; keimanannya;
dan ketakutannya?

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 11
12 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
PENDAHULUAN

S
ebenarnya penulis sama sekali tidaklah akan
menyajikan tulisan yang baru dalam hal sejarah,
sebab khazanah kepustakaan sejarah sudah banyak sekali, baik
yang diformat dalam bentuk klasik maupun yang modern. Oleh karenanya,
dalam buku ini, penulis memang tidak berpretensi bahwa buku sejarah
ini akan menambah realiatas yang baru dalam karya tulisan sejarah.
Hanya saja, inisiatif penulis dalam buku sejarah ini ingin mengekspos
kisah sosok manusia yang memiliki ciri khas kelapangan hati untuk
menampung cerita yang menyelimuti kehidupan manusia, prob-
lematika kehidupan yang membebani, dan ekspektasi yang menjadi
idealisme hidup mereka. Sebab dialah pembawa ajaran-ajaran yang
mampu melahirkan mercusuar peradaban -laksana bunga yang tumbuh
berkembang dengan subur- sehingga menjadi khazanah peradaban
dunia yang tiada habis-habisnya sepanjang abad. Bahkan tidak hanya
itu, ajaran-ajarannya juga mampu memberikan tuntunan untuk senan-
tiasa dijadikan rujukan menuju progresivitas dan membuka wawasan
tentang dinamika kehidupan dan manusia.
Jasa peradaban Islam dalam mengantarkan umat manusia ke gerbang
pintu progresivitas, tak perlu diingkari oleh siapa pun. Kontribusi Ibnu
Sina dengan filsafatnya telah tersebar luas di Asia tengah. Filsafat
Islam dengan kecemerlangannya mampu mendobrak benteng Eropa
Selatan dan Barat yang diselimuti kegelapan dan kepekatan di bawah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 13
cengkeraman kebuasan srigala, kelicikan-kelicikan tukang sihir, dan
metamorfose kubah-kubah keemasan. Begitu pula Ibnu Rusyd dan
Ibnu Khaldun dengan pemikiran­nya yang brilian dapat merebut posisi
di berbagai negara, seperti di pantai Mediterania. Masa keemasan
peradaban Kairo, Bukhara, Baghdad, Tunisia, Kordova, Tasyken, Dam-
askus, dan Asbilia menjadi bukti konkrit mercusuar yang menjulang
tinggi menyinari kegelapan dengan pancaran terang-benderangnya
sinar yang memancar dari ajaran Muhammad.
Bagi seseorang yang berinisiatif akan meneliti sejarah kehidupan si
pemilik ajaran-ajaran yang mampu mencipta­kan peradaban dunia
ini, sudah tentu akan sanggup menangkap pesan buku ini dengan
benar tanpa harus membaca muqaddimahnya terlebih dahulu, sebab
tulisan dalam muqaddimah buku ini tidak disajikan kepada mereka
tersebut; yaitu tokoh-tokoh yang ingin menatap potret Muhammad
sebagai sosok manusia biasa, bukan dari sisi anti riba, anti tuak, dan
menonjolkan kenabiannya. Kepada mereka, penulis mempersilakan
langsung membaca isi buku ini. Semoga saja Anda sekalian semua
menemukan kisah seorang manusia yang memiliki kepribadian yang
menga­gumkan, seorang pahlawan yang tak pernah bergeming melawan
tindakan-tindakan tiranik, kebrutalan, dan kebengisan dalam berbagai
kondisi demi terealisasinya cinta-kasih antar sesama manusia, keadi-
lan, kebebasan, dan masa depan yang sentosa dan sejahtera tanpa
perlakuan yang diskriminatif, baik terhadap orang-orang yang beri-
man kepada profetik kenabiannya maupun orang-orang yang berani
mengingkarinya. Semua mendapatkan pengayoman­nya dan diposisikan
secara setara.
Dialah (Muhammad) sosok manusia yang harus diwarisi kepribadian-
nya, tidak hanya dispesialisasikan kepada manusia yang beriman saja,
tetapi juga buat kalangan manusia yang secara tegas memproklamirkan
penolakan terhadap misi profetik kenabiannya.
Jika secara kebetulan pembaca termasuk kategori mereka yang penulis
sebutkan di atas, maka buku ini sangat tepat disajikan untuk Anda, se-
bab, -sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas-, pendahuluan
dalam buku ini bukan untuk pembaca. Oleh karenanya, silakan saja lalui

14 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
pendahuluan ini dan langsung saja pembaca menikmati isinya.
Penulis tidak menyajikan pendahuluan ini untuk orang-orang yang
berasumsi bahwa sebagian kupasan dalam buku ini terdapat bentuk
reduksionis dari agama, termasuk orang-orang yang menuduh bahwa
buku ini cenderung mereduksi ajaran tasawuf yang negatif, dan tidak
pula muqaddimah ini ditujukan kepada orang-orang yang menuding
begini atau begitu menurut situasi dan kondisi. Demikian pula bukan
untuk disajikan kepada orang-orang yang membolak-balikkan buku
ini sembari menuding dengan tuduhan-tuduhan yang bersifat apriori:
Di manakah Rasulullah n di halaman-halaman buku ini? Di manakah
gerangan Muhammad sebagai sosok Nabi?
Jika tudingan-tudingan itu benar-benar berangkat dari sikap fanatisme
dan konsistensi terhadap agamanya, maka sikap tersebut sama sekali
tidak akan diremehkan oleh penulis. Hanya saja penulis ingin meny-
odorkan sebuah Hadits syarif (mulia) kepada mereka:

“Barangsiapa menuduh kafir kepada sesama muslim, maka salah satu dari
keduanya pasti menyandang tuduhan itu.”
Penulis hanya ingin membuka kembali memori mereka tentang per-
damaian Hudaibiyah agar kita dapat men­contohnya. Barangkali kasus
itu dapat kita ambil sebagai bentuk dari pelajaran.
Tulisan dalam pendahuluan ini hanya diperuntukkan bagi mereka
yang menyambut buku ini secara objektif dan meng­kajinya dengan sikap
kritik konstruktif, sebagaimana yang telah dilakukan oleh penulis ketika
mengekspos secara berepisode pada sebuah koran sore tahun lalu. Muqad-
dimah ini bagi orang-orang yang tidak hanya membaca secara parsialistik
terhadap pasal-pasalnya saja, tetapi mereka menunggu dengan harapan
dapat menemukan tulisan dari buku ini yang berkenaan dengan sejarah
kenabian secara totalitas.
Penulis ingin mengemukakan sebuah opini bahwa sejarah tidaklah
membutuhkan buku baru yang membahas era Nabi ketika beliau mem-
bela kebenaran risalahnya ataupun mengokohkan kehebatan mukjizat

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 15
Nabi. Kita tidaklah membutuhkan buku-buku baru di bidang agama
yang hanya dapat dibaca orang-orang Islam saja, tetapi kita sangat
memerlukan beratus-ratus buku yang mampu mengungkapkan revolusi
dunia yang telah diperankan Islam, yang dapat diperoleh kalangan
Islam maupun non-Islam, hingga menjadi jelas tentang peradaban dan
sifat kemanusiaan dalam kehidupan Muhammad, si pembawa ajaran
Islam. Kita membutuhkan beratus-ratus literatur yang dapat dibaca
oleh seluruh umat manusia, baik mereka yang beriman kepada kena-
bian Muhammad maupun yang jelas-jelas menolaknya.
Saat ini sebenarnya kita dituntut untuk menegakkan kembali
peradaban, menghidupkan nilai-nilai humanis, dan menyebarkan ke
seluruh penjuru dunia serta mendeskripsi­kan tentang persamaan dan
perbedaan ajaran para rasul dari aspek duniawi yang menjadi warisan
budaya seluruh umat manusia, meskipun mereka berbeda agama,
filsafat, dan cara berpikirnya.
Penulis tahu bahwa ada sebagian orang yang tidak mengakui
gerakan yang telah diperankan Islam dan Muhammad. Ada pula yang
menuduh Islam sebagai gerakan reaksioner. Di antara mereka ada yang
melontarkan tuduhan bahwa Muhammad adalah seorang aristokrat
Makkah yang ingin mendominasi Hijaz. Muhammd dituding pula sebagai
orang yang akan mengatur perbudakan. Menurut tuduhan mereka,
bahwa perbaikan-perbaikan orang fakir miskin sebenarnya hanyalah
tipudaya belaka untuk mengelabuhi masyarakat agar mereka tidak
mengadakan pemberontakan. Ada juga yang lain lagi menuduh bahwa
Muhammad datang untuk melakukan agresi pada bangsa Yahudi.
Tuduhan-tuduhan tersebut mereka publikasikan melalui buku-buku
yang didistribusikan ke seluruh dunia dengan berbagai bahasa, bahkan
beribu-ribu argumentasi yang menunjukkan non-objektivitas pendapat-
pendapat mereka, juga fakta historis yang memastikan bahwa Islam
adalah gerakan reformatif dan pembebasan yang masih belum lenyap
jejaknya dalam sejarah kemanusiaan pada masa yang lalu dan masa
mendatang.
Meskipun kita tahu betapa gencarnya tuduhan-tuduhan yang dilon-
tarkan oleh orang-orang yang anti Islam, tetapi justru kebanyakan para

16 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
penulis tidak menarik untuk mengkajinya. Sebagian besar buku-buku
sejarah hanya berkutat pada sekitar kenabian, mukjizat, dan rasul
semata, bukan mengkaji dan menganalisis karakteristik Muhammad
sebagai sosok manusia pembebas. Semestinya, ketika kita berdialog
dengan orang-orang yang tidak mukmin, kita berdialog menurut logika
mereka, bukan dengan keislaman dan sistem teologi kita.
Mereka membahas tentang seorang manusia dan ajaran yang
dibawanya. Karena itu, kita tidak perlu berbicara yang lain-lain. Tidak
ada artinya kita menghadapi mereka dengan “Nabi”, ketika mereka
berbicara tentang “seorang manusia”. Sudah tentu akan lebih relevan
jika kita menghadapi mereka dengan “seorang manusia” juga. “Seorang
manusia” yang dalam hidupnya tersimpan kekayaan berupa cinta kasih,
kebijaksanaan, keseder­hanaan, kedermawanan, dan kemampuan yang
luar biasa dalam manajerial, leadership, maupun dalam tindakan-
tindakan inovatif dan reformasinya.
Mengapa kita tidak berani berbicara tentang status Muhammad
sebagai seorang manusia biasa, bukan rasul, karena banyak di tengah-
tengah masyarakat kita yang tidak merasa puas kalau dalam kehidu-
pannya tidak memasang perangkat? Harus takutkah kita kepada orang-
orang yang merasa tersakiti hatinya, jika ada orang yang berupaya
membuka pintu-pintu pengetahuan yang baru? Begitu khawatirkah kita
untuk dituding kafir dan murtad serta tidak mengakui status kenabian?
Siapakah sesungguhnya yang berhak memeriksa hati seseorang untuk
menjajaki keyakinan dan sistem imannya? Haramkah jika aku menulis
untuk orang-orang nonmuslim tentang kehidupan Muhammad sang nabi,
keberaniannya, ketakutannya, kepahlawanannya, dan keimanannya?
Mengekspos dan mendistribusikan buku-buku yang membahas
tentang peradaban kita di tengah-tengah masyarakat yang begitu het-
erogen ideologi dan agamanya, tidaklah semata-mata tugas seorang
budayawan belaka, tapi juga merupakan keharusan umat Islam dan
tanggung jawab setiap orang menurut disiplin ilmu dan profesinya. Di
sini penulis telah berupaya untuk memikul tanggung jawab ini sesuai
dengan bidang keahlian penulis.
Penulis suguhkan buku ini dengan memilih format berbentuk roman

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 17
yang bernuansa cerita, bukan dalam format kajian. Usaha ini penulis
suguhkan pertama-pertama kepada orang-orang yang mengingkari kena-
bian Muhammad, dengan harapan pembaca buku ini akan menerima apa
pun keyakinannya, dengan semangat sebagaimana se­mangat penulis
dalam menulis buku ini. Semoga para pembaca yang budiman diberi
kemudahan untuk memahami buku ini oleh Allah l.

15 Ramadhan 1381 H.
20 Pebruari 1962 M.
‘Abdurrahman Asy-Syarqawi

18 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Kabut
di atas langit Makkah

L
laki itu merasa hidup untuk kedua kalinya setelah
melalui perjalanan panjang yang sangat mencekam.
Dirinya seolah-olah baru terlahir kembali dengan semangat
jiwa mudanya, cintanya, obsesinya, sosok postur tubuhnya yang tinggi
semampai, kelembutan suaranya, dan idealismenya yang hampir pupus.
Ia pun tidak memiliki daya kekuatan apa-apa untuk mengha-
dapi peristiwa yang terjadi, seperti halnya kebanyakan orang-orang
(masyarakat) Makkah waktu itu, sebab garis kehidupan orang-orang
Makkah, baik laki-laki maupun perempuan, ketika itu sangat ditentukan
oleh “peristiwa kebetulan”. Sang penentu di balik peristiwa-peristiwa
kebetulan itu adalah sebuah patung tuli yang bernama Manat, tuhan
tanpa hati. Dialah sang penguasa hukum yang di sampingnya berdiri
pula dengan penuh angkuh sebuah patung bernama Hubal, tuhan
semua tuhan; tuhan peristiwa kebetulan, tuhan yang menggenggam
erat garis-garis nasib umat manusia, dan tuhan tempat mereka meng-
gantungkan segala harapan, sedang tuhan di antara tuhan-tuhan itu
adalah Manat, Lata, dan ‘Uzza.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 19
Daya apakah yang dapat dia lakukan sebagai seorang pemuda sep-
erti dirinya untuk memberontak kepada tuhan-tuhan itu? Dia adalah so-
sok pemuda yang bernama ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib. Mampukah
pemuda seperti dirinya memberontak terhadap hegemoni kekuasaan
penjaga Ka‘bah yang sejak dahulu kala bukan hanya sebagai tempat
bergantung dan memohon masyarakat Makkah saja, tetapi hegemoni
itu juga terjadi pada ayahnya sendiri, yaitu ‘Abdul Muththalib yang
sangat disegani masyarakat dan telah melahirkan dirinya ke muka
bumi? Kuasakah ia menentang titah pemangku kekuasaan yang sangat
dipatuhi oleh seluruh suku Quraisy, yang merupakan ayahnya sendiri?
Kendati demikian hegemoni kekuasaan itu men­cengkeram dirinya,
tetapi ‘Abdulllah harus membuka kelopak matanya bahwa adanya
peristiwa kebetulan itu pula justru telah memberikan konstribusi yang
dapat menyelamatkan hidupnya. Andaikata tidak, maka sudah tentu
darahnya telah mengalir di bawah kaki patung-patung yang menyeram-
kan dan paling berkuasa merenggut nyawa seseorang dari permukaan
bumi ini, termasuk jaminan keselamatan hidup seorang pemuda yang
seusia dengannya.
Setelah dikaruniai hidup untuk kedua kalinya, ia menuruti inisiatif
sang ayah, ‘Abdul Muththalib, yang akan membawanya ke suatu negeri
yang jauh, sebab ia merasa bahwa seluruh hidupnya kini betul-betul
bergantung pada kekuasaan sang ayah tercinta. ‘Abdullah bin ‘Abdul
Muththalib merasa bahwa garis kehidupannya tidak jauh berbeda den-
gan perjalanan hidup Yusuf di Palestina ketika ia mendengar cerita dari
orang-orang asing yang ia temui di sela-sela perjalanan bersama para
kafilah. Ia merasa seakan-akan menjadi Yusuf kedua yang terlempar
dari pangkuan kasih sayang sang ayah yang sabar dan merana untuk
menikmati hangatnya hubungan kebapakan setelah berkelana dan
terdampar di negeri asing.
‘Abdullah adalah putra bungsu ‘Abdul Muththalib yang teramat
disayangi. Konon, sebelum dikaruniai putra, perjalanan hidup ‘Abdul
Muththalib penuh dengan cobaan. Dalam keadaan seperti itu, tak
seorang pun yang sudi mengulurkan tangan dan berbagi belas kasih
untuk meringankan sedikit beban hidup yang ditanggungnya, sehingga

20 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
pada suatu ketika, ‘Abdul Muththalib berinisiatif akan menggali sumur
zamzam. Namun ketika inisiatif baik itu belum terrealisir, orang-orang
Quraisy justru mener­tawakannya. Mereka menganggap maksud ‘Abdul
Muththalib sebagai inisiatif yang tak waras. Meski caci-maki dan cibiran
datang bertubi-tubi, kebulatan tekad ‘Abdul Muththalib sedikit pun tak
tergoyahkan. Ia terus mengerahkan tenaga hingga akhirnya harapan
itu membuahkan hasil yang optimal, yaitu sumur zamzam itu kembali
memancarkan air, sebagaimana kondisi pancaran air sedia kala pada
masa Nabi Isma‘il.
Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang telah dica-
pai, ‘Abdul Muththalib membasahi wajahnya dengan air zamzam itu
setelah air tersebut memancar kembali dari sumur zamzam. Selanjut-
nya, ia palingkan wajahnya kepada tuhan Ka‘bah seraya bernadzar:
“Jika tuhan menganugerahkan kepadaku sepuluh orang anak hingga
mereka dewasa, maka aku akan menyembelih salah seorang di an-
tara mereka di sisi Ka‘bah sebagai ungkapan rasa syukur dan bentuk
pengorbananku.”
Harapan ‘Abdul Muththalib pun betul-betul menjadi kenyataan
indah yang menggairahkan. Saat itu ia dikaruniai sepuluh putra setelah
lahirnya ‘Abdullah sebagai putra bungsunya, hingga pada akhirnya usia
ke sepuluh putranya menjadi anak dewasa semua.
Tidak berapa lama kebahagiaan itu tercipta dan dinikmati bersama,
‘Abdul Muththalib kembali dirundung duka ketika ia mengingat tentang
nadzar yang pernah ia ucapkan dan punya dugaan kuat bahwa putra-
putranya akan membantah keputusan nadzar yang pernah ia ikrarkan
di hadapan tuhan-tuhan Ka‘bah tempo dahulu. Namun apa boleh buat,
ia tetap konsisten pada ikrar yang pernah ia ucapkan. Akhirnya, beliau
kumpulkan semua putranya.
Setelah mereka berkumpul, ia sampaikan maksud mengumpulkan
mereka dan memberitahukan kepada mereka tentang nadzar itu.
Selanjutnya, ‘Abdul Muththalib membawa mereka ke Ka‘bah dan
menghadapkannya kepada “Hubal”, sebuah patung terbesar di antara
tuhan-tuhan yang terdapat di sekeliling Ka‘bah.
Upaya realisasi sebagai tindak lanjut dari nadzar akan segera

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 21
dimulai. Selanjutnya, ‘Abdul Muththalib mengambil anak panah untuk
mengundi di antara putra-putranya, siapakah di antara salah seorang
mereka yang akan dijadikan qurban, sebagaimana telah dinadzarkan.
Ketika ‘Abdul Muththalib melepaskan anak panah dari busurnya
yang terus meluncur secara kilat, ternyata anak panah tersebut jatuh
pada putra bungsunya yang sangat dicintainya, ‘Abdullah. Kontan
saja jatuhnya panah tersebut membuat perasaan ‘Abdul Muththalib
menjadi galau dan merasa terkejut, sebab dengan begitu, ia harus
berpisah dengan putra tersayangnya. Meskipun demikian, ia tak dapat
mengelak dari kenyataan. Dengan hati berdebar-debar, ia melangkah
secara perlahan-lahan mendekati putra tersayangnya yang sebentar
lagi akan disembelihnya di bawah kedua belah kaki “Hubal”.
Melihat sang ayah, ‘Abdul Muththalib, menghunus sebilah pedang
sambil memegangi anak bungsunya, saudara-saudaranya yang ikut
menyaksikan akan terjadinya tragedi berdarah itu, secara serentak
berdiri dan berusaha keras mencegah terjadinya pertumpahan darah
pada saudara bungsunya. Akan tetapi, ‘Abdul Muththalib membentak
dan menghalau mereka seraya memperingatkan agar mereka tidak
menentang keputusan tuhan.
Aksi protes keras akan terjadinya tragedi berdarah itu tidak
hanya datang dari anak-anak ‘Abdul Muththalib, tetapi beberapa te-
man karibnya yang sedang duduk di pelataran Ka‘bah juga berusaha
ikut intervensi untuk mencegah penyembelihan ‘Abdullah. Mereka
menyarankan agar ia menangguhkan pemenggalan kepala putranya,
dengan suatu harapan akan menemukan solusi untuk menyelamatkan
nyawa ‘Abdullah, hingga pada akhirnya “Hubal” merespon positif dan
menyetujui penangguhan yang digagas oleh teman-temannya.
Tetapi sayang sekali, gagasan dan saran yang diajukan oleh teman-
temannya tetap tidak bisa mengubah kon­sistensi keputusan ‘Abdul
Muththalib. Ia masih tetap bersikeras atas pendiriannya. Maka pada
saat itulah muncul protes-protes keras di antara mereka: “Kalau eng-
kau tetap teguh dengan sikap egoismu untuk melaksanakan tindakan
gila ini, sudah tentu tradisi penyembelihan qurban anak manusia akan

22 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
terus berlangsung pasca penyembelihanmu. Lalu bagaimana jadinya
masyarakat ini selanjutnya?”
Mendengar protes keras itu, pintu hati para orang tua yang kebetu-
lan pada waktu itu sedang mengerubungi ‘Abdul Muththalib menjadi
miris dan bergetar dan ikut memberikan saran agar ia menggagalkan
niat penyembelihan putranya dengan memohon kerelaan “Hubal”.
Lobi-lobi untuk menggagalkan insiden berdarah terus digalakkan. Di
antara lobi itu ialah mereka mengajukan tawaran (bargaining) kepada
‘Abdul Muththalib supaya menebus nadzarnya dengan harta benda
saja. Namun tawaran itu ia tolak dengan mentah-mentah seraya me-
nyatakan: “Tidak! Anak itu harus disembelih di bawah dua belah kaki
“Hubal”, sebab prosesi undian telah jatuh padanya.”
Hati ‘Abdullah yang dulunya tegar menerima keputusan ayahnya,
ternyata kini dinding hatinya mulai bergetar ketika mendengar pekikan
protes terus mengalir deras dari berbagai penjuru. Hati nuraninya
sungguh-sungguh sangat tidak menerima keputusan ini. Rasanya ingin
sekali ia memberontak kepada ayahnya, bahkan kepada “Hubal” seka-
lipun. Tapi, apa hendak dikata, ia merasa tidak punya bekal keberanian
untuk berbicara dan hanya bisa mem­bungkam seribu bahasa.
Ketika lobi-lobi dirasa sudah menemukan jalan buntu, akhirnya
terjadilah perdebatan sengit antara ‘Abdul Muththalib dan teman-
temannya. Untung saja, seorang laki-laki di antara mereka ada yang
mengajukan suatu pendapat bahwa sebelum penyembelihan ‘Abdullah
dilangsungkan, sebaiknya mereka mendatangi seorang paranormal di
Yatsrib. Barangkali paranormal itu dapat memberikan keputusan dan
solusi yang menggembirakan hati mereka. Saran ini pun mendapat
respon positif dari semua orang yang berkerumun di situ.
Keesokan harinya mereka berduyun-duyun berangkat ke Yatsrib
pagi-pagi sekali menuju rumah sang para­normal. Setibanya di tempat
itu, sang paranormal mengajukan per­tanyaan tentang tebusan yang
akan dijadikan ganti penyem­belihan ‘Abdullah. “Sepuluh ekor unta,”
jawab mereka.
Paranormal itu berkata: “Pulanglah kalian ke negerimu. Dekat-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 23
kanlah teman kalian ini bersama sepuluh ekor unta di sisi “Hubal”.
Kemudian undilah. Jika undian yang keluar adalah tepat pada te-
manmu, maka kalian hendaknya menambah unta itu sampai tuhanmu
merelakannya. Namun jika undian jatuh kepada unta-unta itu, maka
sembelihlah, sebab tuhanmu telah menerima qurbanmu dan itu berarti
bahwa temanmu ini selamat,” pungkasnya.
Mereka akhirnya bersama-sama pulang ke Makkah dengan mem-
bawa keputusan yang sangat menggembirakan dengan perasaan riang
gembira. Solusi paranormal itulah yang sangat didamba-dambakan.
Sepulang dari Yatsrib bersama teman-teman, ‘Abdul Muththalib
kembali lagi menghadap “Hubal”. Ia berdiri di sisi “Hubal” dengan
membawa putra bungsunya, ‘Abdullah, bersama sepuluh ekor unta.
Ketika anak panah dilepaskan dari busurnya dan undian pertama jatuh
pada ‘Abdullah, maka mereka pun menambah sepuluh ekor unta sesuai
dengan saran yang diberikan oleh paranormal, sementara itu ‘Abdul
Muththalib terus berdo‘a. Selanjutnya, pada babak kedua, anak panah
diluncurkan lagi dan ternyata undian masih juga jatuh kepada putra
tercintanya, ‘Abdullah. Kembali mereka menambah jumlah qurban
sebanyak sepuluh ekor lagi, sementara itu ‘Abdul Muththalib masih
tetap dalam kondisi memanjatkan do‘a. Undian demi undian terus
berlangsung dan tetap saja nasib serupa jatuh pada putra ‘Abdul
Muththalib hingga akhirnya unta-unta itu mencapai jumlah seratus
ekor qurban. Namun tepat pada undian yang kesepuluh, barulah undian
meleset dari ‘Abdullah dan jatuh pada unta.
Gemuruh pekik kegembiraan mengelilingi Ka‘bah sebagai
ungkapan kebahagiaan lantaran diselamatkannya ‘Abdullah dari
tragedi berdarah. Sementara itu, ‘Abdullah sendiri tetap berdiri
tercengang. Dua bola matanya ter­belalak sayu menatap ayahnya,
saudara-saudaranya, orang-orang yang mengerumuninya, patung-
patung, dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia seakan tidak
percaya seolah-olah tetap menyaksikan indahnya kehi­dupan seperti
semula, setelah melalui perjalanan panjang penuh aral dan rintangan
yang sangat mencekam dan menyeramkan.

24 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
‘Abdul Muththalib kemudian berteriak dengan lantang: “Sembeli-
hlah seratus ekor unta ini semuanya dan biarkan orang lain menikmati
dagingnya, sebab tidak akan ada seorang pun, baik manusia maupun
binatang, yang dapat menghalangi untuk memakannya.”
Setelah berteriak lantang, ia akhirnya menggaet tangan putranya,
‘Abdullah, pulang dengan menyusuri jalan-jalan di kota Makkah yang
terbentang luas di hadapannya. Di sana-sini berjajar rumah-rumah
penduduk yang menutup rapat pintunya dalam kesenangan, kenik-
matan yang melimpah-ruah, harta benda, dan segala sesuatu yang
dapat mengobarkan emosi pemuda seusia ‘Abdullah.
Dalam perjalanan panjang menuju rumahnya, di lubuk hati ‘Abdul-
lah yang terdalam tebersit pertanyaan: “Wahai ‘Abdullah, sampai
kapankah seorang anak manusia digiring untuk disembelih hanya
karena anak-anak panah tuli yang dilepaskan dari busurnya, lalu jatuh
padanya? Apakah hanya karena orang tua yang ingin bersyukur kepada
tuhan yang selalu haus darah, kita harus menggugurkan kepala anak-
anak kita?
Meski pertanyaan-pertanyaan yang bernada protes dan berontak itu
kadang bermunculan dari hati sanubarinya, tapi ‘Abdullah tak ubahnya
seperti pemuda-pemuda lainnya. Ia tak kuasa mengangkat kepala di
hadapan ayahnya, karena seorang ayah berkuasa penuh atas diri anak-
anaknya, termasuk juga jaminan hidup dan matinya, sedangkan hidup
sang ayah berada dalam genggaman kekuasaan “Hubal”.
Sebenarnya, bisa saja paranormal Yatsrib itu meme­rintahkan un-
tuk menyembelih ‘Abdullah, sebab hanyalah dia orang yang dianggap
memiliki kapabilitas untuk menafsirkan kehendak tuhan. Oleh kare-
nanya, selama paranormal itu masih dianggap sebagai satu-satunya
orang yang mampu memahami kehendak patung-patung ini, maka tak
seorang pun yang dapat menentang keputusannya, meski pembesar
Quraisy sekalipun yang akan menebus ‘Abdullah. Hegemoni keyakinan
seperti ini benar-benar telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat
Arab waktu itu. Tak seorang pun mampu melepaskannya.
‘Abdullah masih belum merasa lelah juga berjalan di lorong-lorong

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 25
Makkah. Pikirannya dipenuhi obsesi tentang kebebasan. Ia tak habis
pikir merenungkan segala peristiwa yang hampir saja akan menghabisi
masa mudanya. Namun secara tiba-tiba, pandangan ‘Abdullah berubah
dan terfokus pada seorang gadis yang teramat cantik paras mukanya;
ramping postur tubuhnya dengan mengenakan pakaian penuh dengan
aksesoris yang mahal harganya. Paras muka gadis itu memancarkan
cahaya yang berbinar-binar, ibarat sang ratu malam di atas singgas-
ananya.
Bak gayung bersambut, dalam benak gadis cantik muda belia itu
juga terlintas sosok remaja yang kini sedang menatap dirinya. Remaja
itu adalah seorang anak manusia yang menemukan hidupnya kembali.
Gadis itu ingin sekali menatap bola matanya yang memancarkan pan-
dangan yang penuh kerinduan akan sebuah masa depan dan sorot mata
tajam yang teramat menawan.
Belum lama tatapan itu terjadi, terlihatlah oleh ‘Abdullah lekuk
bahu dan lehernya yang menggiurkan pada saat desir angin padang
pasir yang nakal menyingkap sebagian baju gadis itu. Ia melangkah,
mendekati ‘Abdullah sambil melayangkan tatapan matanya yang begitu
tajam. Tatapan seorang gadis yang memancar dari gemuruh gairah
remaja itu menggulung habis wajah ‘Abdullah, bahkan tatapan itu
menembus ke dalam lubuk hatinya yang terdalam. Tatapan gadis itu
terus menelusuri wajah dan kedua bola matanya, ia juga berusaha
untuk menyingkap cinta yang terpendam di balik wajah dan kedua
mata ‘Abdullah yang sangat menawan rupanya.
Dari bibirnya yang tipis dan kemerah-merahan, terlempar sebuah
senyuman manis yang mampu mengge­tarkan hati ‘Abdullah seraya
menyapa mesra: “Wahai ‘Abdullah, hendak ke manakah engkau?”
“Aku pergi bersama ayahku,” sahut ‘Abdullah yang ketika itu
ingatannya masih belum dapat melupakan peristiwa mencekam yang
baru saja terjadi di dekat Ka‘bah.
“Engkau tak ubahnya seperti seekor unta yang akan disembelih.
Jika engkau menikahi diriku sekarang juga, maka dengan senang hati
aku akan menerima lamaranmu,” ujar gadis cantik itu melanjutkan

26 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
pembicaraan tanpa mempedulikan ‘Abdul Muththalib yang berada di
samping putranya.
Pernyataan sikap gadis itu membuat ‘Abdullah tertegun. Pikiran-
nya masih kacau diliputi oleh peristiwa yang hampir saja merenggut
nyawanya dari indahnya dunia. Namun ia tidak menghiraukan dan
mencoba untuk terus melangkahkan kakinya. Dalam situasi kacau
dan kebingungan, gadis itu justru kian mengundang tanda tanya bagi
‘Abdullah.
Siapakah sebenarnya gadis yang telah begitu berani menawarkan
diri secara terang-terangan tanpa merasa malu kepada ayahnya? Apak-
ah dia bukan perempuan jalanan yang suka menjajakan kemontokan
postur tubuhnya kepada setiap lelaki hidung belang di tepi-tepi jalan
kota Makkah? Namun, jika melihat raut muka, pakaian, serta aksesoris
yang dikenakan, dan tata cara bicaranya, terlihat bahwa gadis itu ter-
masuk kalangan hartawan dan bangsawan; dari kedua bola mata yang
lebar dan hitam terpancar sinar keteduhan dan kesucian. Pancaran
sinar matanya yang menyala-nyala laksana bara api yang berasal dari
seorang gadis yang berperangai lemah-lembuh, penuh kasih sayang,
dan feminim.
Pandangan kedua bola mata gadis itu mengindikasikan seuntai
harapan yang sungguh-sungguh dan tulus agar ‘Abdullah tidak meno-
lak dan tidak merasa keberatan menerima harapan cintanya. Tetapi,
harapan gadis itu terpaksa harus terganjal ketika sang ayah menarik
tangannya agar terus melangkahkan kakinya dan tidak menggubris
rayuan perempuan itu lagi.
Sambil berjalan di belakang ayahnya, ‘Abdullah hanya bisa memba-
las niat baik gadis itu seraya berkata: “Aku bersama ayahku. Aku tidak
kuasa untuk memberontak kehendak beliau dan berpisah dengannya.”
‘Abdullah terus berjalan mengiringi langkah ayahnya. Ia mening-
galkan gadis itu dengan membawa rasa iba dan simpati yang teramat
mendalam. Hatinya terasa mau meledak, tak kuasa memandang dan
terbuai oleh sikap feminimnya. Hampir saja ia akan memohon restu
kepada ayahnya untuk melamar gadis yang telah menawarkan itu.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 27
Rupanya kecantikan, kesempurnaan, keanggunan, dan kesucian itu
telah merebut hatinya.
‘Abdullah betul-betul terpesona dan tersanjung akan ketulusan
cinta gadis cantik nan mungil yang tak seorang pun menemukan kej-
elekan perangainya. Hal ini dikarenakan ‘Abdullah masih dijanjikan
pula akan diberi seratus unta. Sekalipun ‘Abdullah tak sampai hati
menolak harapan gadis itu, namun harapan itu kandas dan ia tidak
dapat berbuat apa-apa, karena ayahnya telah memutuskan akan men­
jodohkan ‘Abdullah dengan seorang gadis yang menjadi idaman dan
pilihan sang ayah, yaitu putri dari kalangan teman dekatnya sendiri.
Selanjutnya, perjalanan ‘Abdul Muththalib bersama putranya tidak
langsung pulang ke rumah. Mereka berdua masih transit menuju ke
rumah seorang tokoh Bani Zahrah, Wahb Ibnu ‘Abdi Manaf. Setiba di
sana, ‘Abdul Muththalib mengutarakan maksud kedatangannya bahwa
ia akan melamar anak gadisnya yang bernama Aminah untuk dijodo-
hkan dengan putranya, ‘Abdullah. Harapan sang ayah tidak sia-sia,
sebab Wahab Ibnu ‘Abdi Manaf menerima lamarannya. Bahkan pada
hari itu juga ‘Abdullah dan Aminah langsung diikat secara resmi dalam
ikatan perkawinan. Ketika itu pengantin laki-laki, ‘Abdullah bin ‘Abdul
Muththalib, berusia tujuh belas tahun lebih, sedang usia pengantin
perempuan, Aminah, dua tahun lebih muda dari ‘Abdullah.
Keesokan harinya pasca pernikahan, ‘Abdullah pergi ke Ka‘bah
bersama istrinya, Aminah binti Wahb. Namun sewaktu di tengah-
tengah perjalanan menuju Ka‘bah, ‘Abdullah berpapasan lagi dengan
gadis cantik mungil yang pernah meminta kesediaan ‘Abdullah untuk
menikahinya kemarin. Hanya saja, gadis itu tak mau menyapanya lagi
walaupun ‘Abdullah memandangnya. ‘Abdullah mencoba melempar
senyum kepadanya, tapi gadis itu justru memalingkan raut mukanya
dengan penuh kekecewaan dan rasa emosi.
“Apakah gerangan yang membuatmu tidak menawar­kan lagi seperti
kemarin?” tanya ‘Abdullah.
Gadis itu menjawab pertanyaan ‘Abdullah dengan ketus: “Sinar
yang berseri-seri itu kini sudah menghilang dari raut wajahmu. Kare-

28 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
nanya, sekarang aku sudah tidak sudi lagi membutuhkanmu.”
‘Abdullah akhirnya melangkah meninggalkan gadis cantik itu seraya
melantunkan bait syair:

Setelah Aminah
mengambil keputusan menerima ‘Abdullah
Mataku tak mau lagi memandangnya
dan mulutku bungkam seribu bahasa

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 29
30 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
2

Kondisi sosial-geografis
Makkah pada abad VII

M akkah adalah kota besar yang sangat berkembang


p a d a a b a d k e t u j u h M a s e h i . Ko t a i n i s u d a h s e j a k
lama dipersiapkan sebagai sentral perdagangan dengan segala fasilitas
yang memadai berupa perniagaan, termasuk rumah-rumah penginapan
para saudagar.
Secara geografis, kota Makkah terletak di sebelah utara kerajaan
Persia dan Rum, di mana dua kerajaan adidaya itu hidup dalam agresi
militer yang berkepanjangan dan sama-sama mencari bala bantuan
kepada bangsa Arab badui (dusun) yang hidup jauh di pelosok desa.
Tentu saja, perang yang berkepanjangan antar dua negara adidaya
itu sangat mempengaruhi kondisi lalu lintas perniagaan Makkah, se-
hingga para kafilah yang membawa barang-barang perniagaan berada
dalam ancaman antara bangsa Persia dan Rum serta suku-suku (kabilah)
yang bersekutu dengan masing-masing dua negara adidaya itu.
Karena letak geografisnya yang sangat strategis, tidak heran jika
Makkah menjadi tempat transit para kafilah dagang yang datang dan
pergi silih-berganti menuju ke kota sentral perniagaan. Bahkan pada

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 31
waktu itu, di Makkah telah tersedia pasar-pasar sebagai tempat per-
tukaran barang-barang antar para saudagar dari Asia Tengah, Syam,
Yaman, Mesir, India, Irak, Etiopia, Persia, dan Rum. Dengan kondisi
yang kondusif semacam ini, maka para pedagang punya kesempatan
untuk melayani para kafilah-kafilah dagang dalam hal kalkulasi bisnis
menurut masing-masing kafilah.
Sudah barang tentu sumber perekonomian masyarakat Makkah
adalah perdagangan, mengingat posisi Makkah berada di suatu lem-
bah yang tandus. Hari demi hari, sektor perdagangan menjadi faktor
penentu utama dalam interaksi sosial penduduk kota Makkah. Pemban-
gunan sektor spritual, keagamaan, dan kebudayaan, bahkan semuanya
dibangun di atas prinsip dan logika bisnis yang berorientasi jual beli
dan untung rugi. Dengan konsep yang demikian, para saudagar kaya
menjadi orang-orang nomor satu untuk menentukan berbagai kebi-
jakan dalam dinamika dan sektor riil kehidupan. Bahkan aturan-aturan
kebijakan dan tradisi-tradisi yang berlaku senantiasa dikeluarkan dari
para saudagar tersebut. Sudah tentu, aturan-aturan dan tradisi-tradisi
dalam etika bisnisnya adalah logika orientasi profit yang selalu berpihak
pada mereka.
Demikian pula mereka membuat seperangkat aturan, bahwa para
pedagang asing yang meninggal dunia di Makkah, maka harta benda
mereka harus diwariskan kepada Makkah, yaitu para pedagang Quraisy
yang melakukan kontrak perdagangan dengan para pedagang asing
yang meninggal dunia tersebut.
Adapun dalam kasus utang-piutang, dikeluarkanlah aturan bahwa
kreditor harus memberikan jaminan yang besar kepada pihak debitor.
Tak jarang terjadi, seseorang menjadikan anak, istri, dan dirinya sendiri
sebagai barang jaminan utang. Dalam prakteknya, jika perjanjian
utang-piutang melewati batas jatuh tempo, maka pihak kreditor harus
membayar utangnya dengan cara pembayaran yang berlipat-ganda dari
jumlah utang yang diterimanya.
Namun yang sangat fatal sekali, seandainya utang itu belum juga
terlunasi, maka barang jaminan yang berupa anak, istri, dan dirinya,
berubah status menjadi budak yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak

32 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
debitor. Status budak itu kemudian diperas keuntungannya dengan
berbagai cara sesuai dengan kehendak debitor.
Tuhan-tuhan yang dibuat oleh para bangsawan Makkah di sekitar
Ka‘bah adalah tuhan yang menjadi sesembahan generasi demi gen-
erasi penduduk kota Makkah. Merekalah yang melayani tuhan-tuhan
itu dan mereka pula yang bersikap oportunis terhadap tuhan-tuhan itu
untuk mengeruk keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Mereka
ikuti aturan tuhan-tuhan itu dan mereka minta agar diberikan berkah
dalam perdagangannya. Mereka juga tunduk patuh kepada semua
keputusannya.
Selain sikap kepatuhan, mereka juga mengangkat tukang tenung
dan paranormal yang bertugas khusus menafsirkan keinginan patung-
patung tuli yang mereka buat sebagai simbol tuhan-tuhan mereka.
Akhirnya, tahun demi tahun Ka‘bah telah dipenuhi dengan patung-
patung sebagai simbol tuhan yang dijadikan sesembahan semua kabilah
(suku) yang mengadakan kontak dagang dengan kota Makkah.
Profesi yang dimainkan penduduk Makkah dalam hal perniagaan
sangat variatif. Sebagian mereka ada yang bergerak di bidang bisnis
ekspor-impor; mereka perjual-belikan dengan seluruh penduduk oasis
dan kota-kota yang tersebar di Jazirah Arab. Ada pula yang menjadi
perantara tukar-menukar barang antara pedagang-pedagang yang
melintasi kota Makkah. Ada pula di antara mereka yang bergerak di
bidang perbankan. Mereka menanam modal kepada para pedagang
kecil dengan bunga sebesar laba. Sebagian lagi, ada yang mencari
keuntungan dari mem­bungakan uang yang berprofesi sebagai rentenir.
Profesi lain yang ditekuni oleh para elit pengusaha Makkah yaitu
juga mengembangkan usahanya dalam bidang sektor perkebunan kurma
dan anggur, peternakan babi, dan produksi minuman keras. Semen-
tara posisi puluhan ribu rakyat jelata, profesi mereka hanyalah hidup
sebagai buruh di ladang-ladang pertanian, kuli kasar, dan karyawan
bank dari pusat perdagangan. Bahkan ada pula di antara mereka yang
hidup sebagai gelandangan.
Perdagangan di kota Makkah telah meliputi semua komoditi yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 33
sangat populer. Trayek-trayek perjalanan kafilah membentang luas
hingga ke pedalaman Asia, Afrika, kawasan Laut Tengah, kawasan Laut
Merah, sampai mencapai trayek samudera Hindia.
Sebagai kota perdagangan, Makkah telah diperlengkapi dengan
aparat keamanan, tentara, dan polisi. Namun kaum bangsawan Makkah
tetap saja memberikan senjata kepada budak-budak yang dibeli dari
Afrika untuk dijadikan sebagai pengawal, baik disiagakan di luar mau-
pun di dalam kota Makkah, untuk menjaga stabilitas keamanan dan
kese­lamat­an para kafilah dari ancaman aksi perampokan dan suku
Badui di tengah-tengah perjalanan.
Orang Arab menganggap Makkah sebagai penyelamat mereka.
Oleh karenanya, Makkah disebut sebagai Ummul Quro, yaitu sebagai
pusat perniagaan besar yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat
Makkah. Di dalamnya terdapat rumah tua sebagai tempat keramat
yang diberkati para penduduk Makkah.
Makkah menjadi sebuah kota yang ramai dan penuh kesibukan
lantaran kekuatan sektor perekonomiannya. Di sekeliling Ka‘bah
berjejer tuhan-tuhan semenanjung bangsa Arab dan tempat itu pula
menjadi ramai oleh berbagai suku bangsa Arab yang datang untuk
melaksanakan ritual ibadah haji. Musim haji adalah musim perdagangan
mereka yang ramai. Pada musim itu di kota Makkah banyak didirikan
pasar-pasar tempat perbelanjaan. Kota Makkah kian hari kian dipadati
para pengunjung. Bahkan di pinggiran Makkah banyak pula dibangun
pasar-pasar. Di antara pasar yang terbesar adalah pasar ‘Ukazh.
‘Ukazh adalah sebuah tempat perbelanjaan terlengkap yang tidak
hanya dikunjungi oleh orang-orang Quraisy, tetapi juga para raja; dan
semua pangeran dari seluruh Seme­nanjung Arab ikut pula menghadiri
bazaar pasar ‘Ukazh.
Mereka memamerkan barang-barang berharga dari Persia, Rum, dan
negeri-negeri asing lainnya. Di ‘Ukazh terdapat pula mimbar-mimbar
khusus, tempat kompetisi kepiawaian para penyair Arab. Syair-syair
mereka dipilih secara selektif dan yang pantas digantungkan di bawah
Ka‘bah agar senantiasa menjadi kenangan dalam sejarah.

34 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Selain hal-hal di atas, arena ‘Ukazh juga menjadi tempat memutus-
kan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota masyarakat.
Para kafilah (suku) di tempat ini pula mengumumkan terhindarnya diri
mereka dari macam-macam pelanggaran, sehingga salah satu anggota
kabilahnya yang dikenai hukuman karena pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang anggota yang lain sudah tidak ada lagi.
Di pasar ‘Ukazh juga terdapat tempat penjualan budak-budak yang
beraneka macam ras, mulai dari budak Ethiopia yang hitam, budak
Rum yang putih, budak Persia yang merah, dan budak-budak lainnya
yang berasal dari India, Mesir, dan juga perempuan Asia Tengah.
Dengan demikian, ‘Ukazh juga menjadi tempat yang sangat kon-
dusif dan strategis untuk mengais keuntungan dari kalangan rakyat
jelata yang mana posisi mereka hanyalah menjadi pengawal para
saudagar dengan cara menjaga keamanannya dari kekejaman para pe-
nyamun yang setiap saat mengancam keselamatannya. ‘Ukazh adalah
tempat yang tidak hanya menjadi ajang hiruk-pikuk dalam persoalan
bisnis belaka, melainkan juga menjadi tempat bagi pembunuhan
pengkhianat.
‘Ukazh juga menjadi wahana yang sangat menarik bagi perniagaan,
pertukaran budaya, dan komoditi. Di sana para penyair melantunkan
bait-bait puisinya yang berbicara tentang keturunan dan kehormatan
golongannya; para pendeta (rahib) berpidato tentang tokoh gerejanya;
orang Yahudi membacakan kitab-kitabnya; perempuan bangsawan
tampil di hadapan kaum lelaki sambil melantunkan tembang-tembang
tentang suaminya; tukang-tukang tenung ber­bicara tentang filsafat
Persia dengan kata-kata puitis; para raja dan semua pangeran mem-
bicarakan barang-barang dan permata yang langka; para pedagang
minuman keras, penghibur, pedagang budak, hostes, dan budayawan-
budayawan ulung, semuanya hadir membanjiri pasar ‘Ukazh.
Tetapi meskipun kota Makkah sebagai pusat per­dagangan, ternyata
penduduknya hidup di bawah garis yang serba tidak berkecukupan
dalam gemerlapnya harta benda. Seluruh penduduk Makkah tidak
semuanya menjadi saudagar kaya-raya. Sebagian dari mereka ada

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 35
yang hidup dalam kepapaan, sehingga tidak jarang ditemui dalam satu
rumah dihuni oleh seluruh anggota keluarganya.
Demikian pula tidak jarang seorang pedagang kaya-raya mempunyai
saudara yang teramat miskin. Dalam kabilah ‘Abdul Muththalib dan Bani
Hasyim saja, ada yang menjadi saudagar-saudagar kaya-raya, tetapi
ada juga yang menjadi orang miskin yang hidup dalam penderitaan
yang memprihatinkan.
Di antara saudagar Makkah ada yang berprofesi pemilik modal
besar, pemilik kafilah-kafilah, pemilik bank, pemilik kebun di sekitar
Thaif, namun ada juga yang terus-menerus mencari utang untuk modal
perdagangan atau untuk biaya hidup sehari-hari.
Seorang pedagang kecil yang jatuh pailit, padahal modal usahanya
adalah uang berbunga, jika ia tidak mampu melunasi pinjaman itu,
maka ia harus rela menyerahkan kemerdekaannya selama bertahun-
tahun, bahkan kadang-kadang sampai akhir hidupnya. Ia akan menjadi
budak penuh yang dimiliki oleh si pemilik piutang seperti memiliki
harta kekayaan. Ia adalah seorang budak yang tidak lagi memiliki hak
asasi manusia.
Jika pihak debitor tidak membutuhkan para budak, bisa saja ia
meminta cara lain untuk melunasi utang-utangnya. Terkadang pihak
kreditor lebih antusias kepada perempuan, maka istri atau anak gadis
yang paling dicintai, ibu dan istri anak laki-lakinya, harus rela diserah-
kan kepada pihak debitor sebagai jaminan utang yang tidak mampu
dilunasinya.
Ketika perempuan jaminan telah menjadi milik pihak debitor,
maka posisi perempuan itu tidak hanya dijadikan sebagai tempat
melampiaskan nafsu seksual belaka, tetapi si debitor berhak penuh
untuk menggunakan perempuan itu sesukanya, sekalipun akan dijadi-
kan sebagai perempuan-perempuan penghibur pria hidung belang di
rumah-rumah bordil yang memiliki bendera-bendera khusus sebagai
simbol rumah pemuasan nafsu seksual.
Rancangan dan format rumah-rumah bordil yang khusus disediakan

36 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
bagi pencari kepuasan seksual memiliki aksesoris lengkap lagi mewah,
minuman keras, dan semerbak aroma dupa, mulai dari cendana sampai
kemenyan yang memenuhi setiap kamar. Di dalam rumah bordil itu
pihak debitor menyediakan fasilitas berupa perempuan untuk dijual
kepada para saudagar yang singgah. Di lembah hitam itu, berkumpul
semua perempuan yang beraneka ragam, baik yang berwarna kulit
yang merah, hitam, maupun putih.
Dari hasil perdagangan seks inilah pihak kreditor mampu melunasi
utang-utangnya. Jika utang-utangnya telah terlunasi, perempuan-
perempuan itu dilepas dan dikembali­kan lagi. Hampir semua orang
laki-laki harus menundukkan kepala di hadapan kenyataan yang sangat
hina ini.
Memang ada juga sebagian kaum lelaki yang tidak ingin reputasinya
dilumuri lumpur kehinaan, maka mereka segera berusaha melepaskan
anak perempuannya dengan cara menyerahkan uang tebusan setelah
perempuan-perempuan itu dilarikan.
Kenyataan fenomenal pemerasan dan penjajahan yang sedang
melanda masyarakat Arab ketika itu, ternyata tidak diterima semua
penduduk Makkah dengan lapang dada. Sebagian mereka ada yang me-
nolak sama sekali terhadap pemerasan, perbudakan, dan perdagangan
seks itu. Namun apa yang dapat mereka perbuat? Mereka tak kuasa dan
tidak akan kuasa menghadapi kekuatan para cengkeraman bangsawan,
saudagar-saudagar, dan kaum-kaum feodal. Karena itu, pergi menjauh
dari tempat itu merupakan alternatif yang menggembirakan. Mereka
lebih memilih hidup terisolir di tempat pedalaman yang jauh daripada
harus terus-menerus menikmati hiruk-pikuknya keramaian kota Makkah
yang diliputi oleh kebiadaban moral yang tidak berperikemanusiaan.
Dari tempat terpencil nan jauh di sana, terdengar teriakan-teriakan
anak-anak manusia yang mengutuk keras aksi cacat moral kaumnya,
meratapi dirinya yang terlempar, dan protes-protes tajam akan praktek
ketidak-adilan penguasanya.
Mereka yang mengisolasikan diri dari kehidupan masya­rakat kota
Makkah itu hidup secara berkelompok di lembah-lembah yang ter-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 37
lindung dari bukit-bukit terjal. Mereka hidup dengan mengandalkan
ketajaman mata pedang dengan berprofesi menjadi perampok yang
siap menerkam para kafilah dagang di tengah perjalanan. Namun ada
juga di antara mereka yang menjadi pembunuh bayaran.
Di lokasi-lokasi itulah mereka menyusun kekuatan. Kekuatan ke-
lompok mereka telah melahirkan jembel yang terlempar dan terbuang
dengan mendekap luka dalam yang penuh dengan dendam-kesumat.
Kerajaan jembel mereka itu menciptakan tradisi-tradisi kemasyaraka-
tan di atas prinsip-prinsip prusianisme. Di tengah-tengah mereka ada
penyair yang menggubah syairnya dengan nafas-nafas keputus-asaan,
kebencian, emosional, dan cita-cita semua tentang sebuah keadilan.
Kota Makkah yang penuh dengan pemerasan, perbudak­an, perda-
gangan seks, perampokan, perjudian, dan ketim­pangan sosial bukan
berarti hidup tanpa undang-undang. Hanya saja, undang-undang yang
berlaku di Makkah ber­sikap diskriminatif dan berpihak pada kalangan
bangsawan dan saudagar belaka, karena peraturan-peraturan itu
menjadi hak prerogatif para bangsawan dan saudagar kaya yang mer-
eka jadikan instrumen untuk menjaga posisi dan ketimpangan kelas
mereka. Kaum dhuafa (lemah) adalah orang-orang yang terbuang dari
sistem kehidupan dan merupakan lahan empuk kalangan elite.
Para elite masyarakat hidup dalam kecongkakan, kesombongan,
dan kebanggaan, dengan segala fasilitas yang dimilikinya; hamba sa-
haya, harta benda, dan minum-minuman keras kesukaannya. Semen-
tara itu, rakyat jelata hanya bisa menikmati hidup dalam kemelaratan
dan kemiskinan.
Bentuk kehidupan kaum perempuan Makkah dengan banyaknya
lelaki selingkuhannya dan banyaknya anak laki-laki, sekalipun hubun-
gan mereka tidak sesuai dengan moral, menjadi kebanggaan tersendiri
bagi mereka, sebab nilai kehebatan perempuan pada waktu itu adalah
perempuan yang banyak menelorkan keturunan anak laki-laki. Ikatan
pernikahan bukan lagi menjadi sesuatu yang urgen dan sakral untuk
segera digalakkan, sebab sistem pergaulan kaum lelaki dengan kaum
perempuan tidaklah sama dengan aturan pergaulan yang kita kenal

38 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
sekarang.
Bagi orang-orang yang stratifikasi sosialnya berada di kelas bawah,
mereka tak punya pelindung siapa-siapa. Kekuatan undang-undang
dan tradisi, bahkan patung-patung di sekitar Ka‘bah sekalipun enggan
menatap dan memberi­kan perlindungan kepada mereka. Bagi rakyat
fakir-miskin yang hidup dalam ketiadaan, juga tidak ada sesuatu apa
pun yang dapat dimiliki, bahkan pribadinya sekalipun. Mereka terjerat
oleh kebutuhan hidup sehari-hari yang setiap saat dapat mengubah
nasibnya menjadi seorang budak. Sementara itu, kaum perempuan
-sekalipun tidak nakal- berada di bawah ancaman para durjana yang
suka mengumbar nafsu seksual di rumah-rumah bordil kelas elit.
Sedikit sekali jumlah kaum lelaki dan perempuan yang dapat
menikmati kehidupan wajar sebagai manusia utuh layaknya seorang
manusia di tengah-tengah kebrutalan Makkah, sebab kemuliaan, ke-
hormatan, pangkat, dan kedudukan itu hanyalah milik para elite dan
raja-raja jembel yang hidup di lembah-lembah curam. Sedikit sekali
dari kalangan orang-orang Quraisy yang dapat menye­lamatkan diri dari
imbas kebiadaban dan cekikan rentenir-rentenir yang tak mengenal
belas kasihan. Mereka yang selamat dari cengkeraman itu laksana
hidup dalam sebuah benteng ajaib yang kokoh. Harta, tuhan Ka‘bah,
dan sikap hedonistik hanyalah milik elite penguasa. Orang-orang fakir
hidup dalam kehampaan, perbudakan, pemerasan, dan terlempar dari
garis kehidupan sejati.
Adapun mereka yang asal-mulanya hidup dalam bergelimang harta,
kemudian pada suatu moment tertentu jatuh bangkrut, maka ia secara
otomatis akan berubah status menjadi hamba sahaya. Mereka pun tak
lepas dari tekanan-tekanan kebutuhan hidup sehari-hari.
Istri-istri yang dirampas dari pelukan suaminya; ibu-ibu yang
dijadikan menu utama untuk menyenangkan tamu-tamu asing; gadis-
gadis yang menderita dalam cengkeraman manusia-manusia hamba
seks; dan para budak belian yang diperjual-belikan dari pantai Afrika
adalah orang-orang yang tidak memiliki apa-apa, selain kegetiran,
kehancuran, kepedihan, dan kepengapan yang hanya berfungsi sebagai

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 39
anjing penjaga harta kekayaan majikannya dan pelayan kesenangan-
nya.
Mereka semuanya adalah orang-orang yang terbuang jauh dari
Ka‘bah, tuhan, dan terbuang jauh dari istana-istana juragan yang
mengelilingi Ka‘bah, jauh terdampar di tengah-tengah padang pasir
dalam kepapaan, ketiadaan, dan kehampaan. Kini yang tersisa dari
mereka hanyalah nostalgia dan obsesi yang tertelan pupus oleh kebi-
adaban.
Pada saat kian merajalelanya kekejaman, kelamnya nuansa-nuansa
kehidupan dan rintihan tangis penderitaan, maka pada malam yang
penuh kegelapan, lahirlah sosok manusia pembebas, manusia penunjuk
jalan, yaitu Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib.

40 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Di
balik awan,
sang rembulan terbit

B
atang-batang pohon gandum di perkebunan Yaman
tumbuh subur menjulang tinggi; dedaunan kurma
di bumi Thaif kembali bersemi setiap kali musim semi tiba di
Jazirah Arab setiap tahun. Padang-padang rumput harum semerbak
dengan aroma bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun terbawa
oleh hembusan sang bayi. Padang rerumputan tumbuh menghijau di
lembah-lembah yang terbentang luas. Mayang-mayang hijau bermah­
kotakan serangga menghiasi pepohonan kurma di Yatsrib.
Masyarakat kota Makkah selalu menyambut musim semi sebagai
pertanda awal kebebasan dan dimulainya kembali perjalanan dagang
musim panas. Pada waktu musim panas, orang-orang Quraisy merasa
riang gembira untuk me­ngadakan perjalanan dagang ke Syria, sedang
musim dingin ke Yaman.
Kedua bentuk perjalanan dagang musim dingin dan musim panas
tidaklah menyebabkan kekhwatiran dan kegelisahan terhadap kes-
elamatan anak-anak muda mereka yang mengarungi gurun pasir di

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 41
bawah panas terik matahari yang tak mengenal belas kasihan, dan
malam-malam yang riuh-gemuruh dengan hembusan-hembusan angin
yang sulit dimengerti.
Pada musim semi, tepatnya pada tahun 570 Masehi, Aminah binti
Wahb -istri ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib- merasa sangat berat
hatinya untuk melepas kepergian suami melaksanakan perjalanan
dagang bersama rom­bongan para kafilah. Rasa khawatir yang teramat
menggeli­sahkan senantiasa melilit lubuk hatinya. Ia ingin selalu berdua
dengan suami yang sangat disayanginya. Aminah begitu berharap andai
saja dapat menahan kepergian suaminya, tentu ia akan melakukannya.
Betapa ia sangat mencintai suaminya, bahkan ia merasa ada rasa damai
di hatinya pada saat-saat berdampingan dengannya. Bahkan tatkala
Aminah mendengar pembicaraan orang-orang bahwa pernikahannya
dengan ‘Abdullah telah membuat rasa cemburu di hati para gadis,
maka cinta kasih kepada suaminya menjadi kian menjulang tinggi.
Namun sebesar apa pun idealisme untuk terus-menerus berdamp-
ingan dengan suaminya, Aminah terbentur pada suatu kondisi himpitan
perekonomian keluarga, sebab selain ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib
hanya memiliki lima ekor kambing perah, ia juga tidak memiliki harta
kekayaan yang dapat menyambung hidup dirinya dan istri tersayang
yang sedang hamil. Jangankan untuk kebutuhan yang bersifat sekunder
dan tersier, mencukupi kebutuhan primer saja bagi kehidupan keluarga
kecil ini sangat sulit. Kalaupun ada, paling-paling hanya sedikit kurma
dan dendeng, padahal pasangan muda-mudi ini sedang menunggu
kelahiran anaknya yang sulung.
Sebagai seorang suami, ‘Abdullah tak punya penghasilan dari
sebuah usaha yang dapat menjadi sumber ekonomi keluarga. Jalan
alternatif meringankan beban dan tang­gungan keluarga dengan cara
meminta uluran tangan dari orang tuanya, bagi ‘Abdullah rasa-rasanya
merupakan cara yang tidak mungkin ia lakukan, sebab meskipun
stratifikasi sosial ayahnya cukup terhormat di mata kaumnya, ia juga
hidup dalam garis kemiskinan. Himpitan kondisi ekonomi keluarga yang
demikian ini terjadi ketika ‘Abdullah masih berumur delapan belas
tahun.

42 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Betapapun Aminah berharap untuk senantiasa ber­dampingan den-
gan suami yang sangat dicintainya, namun ia rela melepaskan kepergian
suaminya, karena tuntutan kebutuhan hidup mereka berdua, hingga
akhirnya ‘Abdullah berangkat juga pergi berdagang bersama kafilah
ke manca negara untuk mencari nafkah, dengan satu harapan kelak
ia akan pulang kembali memboyong harta benda yang melimpah-ruah
buat istri tercinta, yang waktu itu Aminah sedang menunggu kelahiran
anaknya yang pertama.
Wahai ‘Abdullah, semoga anak yang akan terlahir dari istrimu kelak
menjadi anak yang dapat membantu usahamu dan menemanimu dalam
perjalanan dagangmu, baik di waktu musim panas maupun musim
dingin.
Wahai ‘Abdullah, demikian pula semoga anakmu yang terlahir
dari istrimu kelak akan mempunyai sepuluh orang saudara yang akan
menambah kekuatan kabilah Quraisy.
Betapa besar keinginanmu untuk senantiasa mendam­pingi istrimu
selama kehamilan hingga ia melahirkan seorang anak sebagai hasil dari
buah cinta kasihmu. Tetapi sampai detik-detik terakhir waktu kelahiran
anakmu, engkau masih juga berada di manca negara nan jauh di sana.
Alangkah berat suratan taqdir mempermainkan hidupmu. Akan tetapi,
istrimu adalah kehendak tuhan-tuhan Ka‘bah.
Dulu ketika engkau masih kecil, hampir saja engkau disembelih
agar pembesar tuhan Ka‘bah merelakan ayah dan dirimu. Akan tetapi,
tuhan itu telah menerima seratus ekor unta sebagai penggantimu dan
untuk menebus hidupmu dari nadzar ayahmu. Andaikata keseratus ekor
unta itu sekarang ada padamu, sudah tentu di tengah-tengah kabilah
Quraisy engkau akan bernasib lain dari keadaanmu saat ini. Sekarang,
keadaan hidupmu yang teramat berat telah memaksamu untuk menin-
ggalkan istrimu seorang diri, bahkan kini istrimu melahirkan anakmu
yang pertama tanpa engkau di sisinya.
Wahai engkau, seorang laki-laki yang berkelana untuk mencari
nafkah buat istrimu ke manca negara yang jauh dari Makkah, tumpah
darahmu dan kampung halaman pilihanmu untuk hidup! Engkau ber-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 43
harap akan dapat berbaring di atas tanahnya dengan usia panjang
bersama-sama keluargamu.
Meskipun kota Makkah merupakan sebuah negeri yang dilanda
wabah, tetapi anakmu yang akan terlahir sudah tentu diselamatkan
Tuhan dari malapetaka ini. Malapetaka itu datang bersama Abrahah,
raja Habsy yang ambisius untuk membumi-ratakan kota Makkah dan
meluluh-lantakkan bangunan Ka‘bah.
Tidak mendengarkah Abrahah tentang legenda orang-orang Se-
menanjung Arabia tempo dulu? Apakah ia tidak mendengar juga tentang
legenda kejahatan, keberanian, dan keperkasaan pahlawan-pahlawan
padang pasir Arabia yang membuat kerdil musuh, bahkan jin sekali-
pun? Mereka membelah kegelapan dengan ketajaman mata pedang.
Mereka mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, kemudian mereka
menunjukkan sikap hipokritnya kepada tuhan Ka‘bah, sehingga mereka
terisolir oleh kutukan. Mereka hidup selama beratus-ratus tahun di
tengah-tengah gurun pasir, sebagai suatu bentuk hukuman.
Akan tetapi, Abrahah tidak mau peduli dengan legenda-legenda itu.
Ia merasa tak gentar sama sekali dengan legenda pendekar-pendekar
padang pasir Arabia. Ia tetap bersikukuh pada kekuatan ambisinya
untuk menggenggam dunia dalam kekuasaannya, karena ia mempunyai
pasukan perang berupa binatang besar yang bernama gajah, yang tidak
hanya mampu membuat kuda lari terebirit-birit ketakutan, tetapi juga
pendekar-pendekar pilih tanding sekalipun akan lari terkencing-kencing
bila berhadapan dengan kekuatan pasukan binatang gajahnya. Dengan
kekuatan pasukan perang yang tangguh itulah, Abrahah merasa yakin
akan mampu mendobrak pintu-pintu pen­duduk Makkah dengan meng-
gunakan pasukan tentara yang didukung pasukan gajah.
Wahai ‘Abdullah, betapa bijaksananya ayahmu, ‘Abdul Muththalib.
Dia adalah seorang bijaksana yang hampir-hampir tak pernah melaku-
kan kesalahan.
Ketika semua orang Quraisy bertekad akan mengadakan perlawa-
nan terhadap pasukan Abrahah, ‘Abdul Muththalib berusaha mencegah
kaumnya untuk melaksanakan ke­bulatan tekad mereka. Bukannya dia

44 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
seorang pengecut, tetapi ia tahu betul bahwa kaumnya tidak akan
mampu bertempur melawan Abrahah dan pasukan gajahnya.
Ia menyarankan agar mereka mengungsikan kaum perempuan dan
anak-anak ke pelosok-pelosok kota Makkah yang dipandang aman dari
agresi tentara-tentara Abrahah. Menurut ‘Abdul Muththalib, kesela-
matan Ka‘bah dari jamahan tangan-tangan jahil yang akan merusaknya,
tidak perlu dirisaukan lagi oleh orang-orang Quraisy, karena Ka‘bah
mempunyai tuhan-tuhan yang senantiasa men­jaganya. Peristiwa-
peristiwa dan insiden semacam ini juga pernah terjadi dalam legenda
orang-orang tempo dulu.
Ketika balatentara Abrahah akan segera melakukan penyerbuan,
secara tiba-tiba dan tak diduga-duga, ternyata pasukannya dilanda
wabah penyakit yang pernah melanda penduduk Makkah. Satu persatu
anggota pasukannya tiba-tiba berguguran karena menderita penyakit
cacar. Abrahah sendiri juga tak luput dari serangan panyakit yang
mematikan ini. Penyakit ini membuat keperkasaan dan kegagahan
pasukan gajahnya tidak berguna lagi, sehingga mereka tak mampu
melakukan tindakan apa pun. Akhirnya, wabah panyakit cacar itu
memaksa Abrahah untuk melarikan diri bersama sisa tentaranya yang
sudah kocar-kacir selaksa dedaunan yang dicabik-cabik ulat.
Sementara itu pula, penduduk Makkah yang semula merasa cemas
di tempat persembunyiannya, kini bermun­culan keluar seraya mengelu-
elukan kata kemenangan. Di antara mereka, ada ayahmu dan Aminah,
istrimu yang sedang hamil tua.
Tragedi agresi tentara pasukan bergajah ini terjadi se­kitar satu
bulan dari kepergianmu. Ketika itu engkau ber­ada di tempat yang jauh.
Engkau sedang dalam perjalanan dagangmu yang sangat jauh dari kam-
pung halamanmu, sanak keluargamu, juga istrimu dan keha­milannya
yang memang ditunggu-tunggu sejak berapa bulan yang lalu.
Wahai ‘Abdullah, kapankah engkau akan pulang kembali ke pan-
gkuan istrimu untuk menikmati sisa usiamu dengan hidup tenang dan
berkecukupan?
Akan tetapi, Abdullah tidak bisa kembali pulang, karena jatuh

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 45
sakit. Ia istirahat di rumah pamannya, Bani Najjar.
Bulan April yang membakar kota Makkah dengan sengat­an panas
teriknya matahari kini telah berlalu. Lima puluh hari sudah tragedi
penyerbuan Abrahah dengan bala­tenta­ranya berlalu. Ketika itu Aminah
melahirkan kandungannya, dan ternyata ia dikaruniai seorang bayi
laki-laki.
Dalam hati kecil Aminah tebersit suatu keinginan yang sangat
besar sekali agar proses kelahiran anaknya tidak terlihat oleh siapa-
siapa, sebelum ayahnya. Akan tetapi, di manakah gerangan ayahnya
kini berada? Ketika idealisme itu dibenturkan pada sesuatu yang
mustahil, maka dengan perasaan pasti Aminah mengubahnya den-
gan suatu harapan agar bayinya tidak dilihat siapa-siapa sebelum
kakeknya, ‘Abdul Muththalib. Maka setelah bayi idaman itu lahir,
Aminah menyuruh agar bayinya ditutupi, kemudian ia menyuruh ses-
eorang supaya menyampaikan berita kelahiran anaknya kepada sang
kakek, ‘Abdul Muththalib: “Telah lahir seorang anak laki-laki untukmu,
maka datang dan lihatlah dia.”
‘Abdul Muththalib segera bangkit dan pergi menjeguk putri man-
tunya yang sedang melahirkan, sehingga dialah orang yang pertama
kali melihat wajah cucunya yang waktu itu pula Aminah telah memberi
nama bayinya Muhammad. Sebutan nama Muhammad itu dimaksudkan
dengan sebuah harapan agar anaknya menjadi terpuji dan selalu dipuji.
‘Abdul Muththalib menimang-nimang cucunya dengan kegembiraan
yang meluap-luap seraya mendo‘akannya, kemudian dia mencarikan
orang yang akan menyusuinya. ‘Abdul Muththalib menemukan seorang
perempuan bernama Tsuwaibah, pembantu rumah tangga anak laki-laki
Abu Lahab. Perempuan itu dikirimkan kepada Aminah untuk menyusui
anaknya yang baru dilahirkan itu. Tetapi ternyata perempuan itu hanya
bisa memberikan air susunya pada cucu kecil yang bernama Muhammad
dalam beberapa minggu saja. Sementara itu, ibunya terus menunggu
kepulangan ayahnya.
Aminah menyerahkan anaknya kepada Tsuwaibah, agar ia dapat
memulihkan kembali kebugaran fisiknya dalam rangka mempersiapkan

46 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
diri untuk menyambut kedatangan suaminya dari perjalanan dengan
segala yang dimilikinya, sebagaimana lazimya suami istri pada zaman
itu. Namun semuanya hanya impian belaka. Ia harus sabar menunggu
dalam penantian yang panjang.
Sementara itu di tempat nun jauh di sana, ‘Abdullah terbaring
lemah kaku tak berdaya apa-apa. Penyakit yang dideritanya kian hari
kian bertambah parah, kemudian bara hidup dalam dadanya padam.
Harapan untuk pulang kampung halaman melihat istri dan anak lenyap
sudah. Kini ia menutup mata selama-lamanya dengan impian-impian
yang terkubur.
Janda kembang yang masih berusia enam belas tahun itu akhirnya
sadar, bahwa suami, sang buah hati dan pujaan hidupnya, akan tinggal
selama-lamanya di bawah gundukan tanah bernisan di sebuah negeri
yang jauh, tempat ia mencari rizki untuk keluarga tercinta. Kini sudah
tak akan ada lagi kesempatan untuk bercanda-ria dalam gelora api
asmara seperti memori indah di masa-masa yang telah lalu. Bahkan
untuk membasahi tanah kuburan suaminya dengan derai air matanya
saja sekedar melepaskan rasa rindu yang menggelora merupakan
sebuah harapan kosong.
Meskipun saat itu Aminah sedang diliputi duka, tetapi para
tetangga di sekitarnya bersikap acuh tak acuh, seakan tak terjadi
apa-apa. Mereka tetap hidup dalam gelak-tawa kegembiraan, ket-
erlenaan dalam buaian gemerlapnya dunia, dan keglamoran yang
memberikan kepuasan semu dalam menikmati indahnya kehidupan
yang tak bermakna.
Belum lama berselang dari suasana berkabung atas kepergian sua-
minya menghadap Tuhan Rabbul Izzati, sang kakek -‘Abdul Muththalib-
memboyong Aminah dan anak malang yang ditinggal mati ayahnya itu
ke rumahnya untuk hidup bersama dengannya.
‘Abdul Muththalib berpikir untuk mengirim cucunya yang yatim
ke kampung Bani Sa‘ad agar disusui oleh inang. Di sana bayi mungil
itu juga diharapkan dapat tumbuh berkembang dan mulai berbicara,
sehingga anak itu akan baik kata-katanya dan fisiknya menjadi kuat.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 47
Pada musim paceklik para wanita Bani Sa‘ad biasanya berduyun-
duyun pergi ke kota Makkah untuk mencari pekerjaan sebagai inang
dan kebetulan saja pada saat itu di kabilah Bani Sa‘ad dilanda musim
krisis, sehingga banyak sekali wanita Bani Sa‘ad yang pergi ke kota
Makkah. Di antara mereka ada beberapa orang yang ditawari oleh
‘Abdul Muththalib untuk menyusui cucunya, Muhammad. Namun tidak
seorang pun di antara mereka yang mau menerima tawarannya.
“Dia hanyalah anak yatim yang miskin. Lantas apa yang dapat di-
harapkan dari ibu dan kakeknya dari pekerjaan ini?,” demikian jawab
mereka dalam hati kecilnya, karena pada umumnya para inang itu
meng­harap­kan pemberian-pemberian sebagai imbalan dari ayah anak
yang mereka susui.
Hampir saja kafilah-kafilah itu pulang kembali ke kampungnya
untuk membawa inang-inang itu. Namun ternyata masih ada seorang
inang di antara mereka yang bernama Halimah yang tidak mendapat-
kan bayi. Ia berkata dalam hatinya: “Aku tidak akan kembali kepada
teman-temanku tanpa membawa bayi susuanku. Biarlah, aku akan
pergi kepada anak yatim itu untuk aku ambil.”
Halimah kembali pulang bersama teman-temannya dengan membawa
anak yatim itu. Ia susui anak itu agar kelak ia berbangga hati dengan
pertumbuhannya di Bani Sa‘ad. Demikianlah, harapan dan impian inang
Halimah untuk mem­banggakan proses pertumbuhan anak itu menjadi
kenya­taan, sebab setelah sekian tahun lamanya tinggal di Bani Sa‘ad,
anak yatim yang bernama Muhammad itu ber­kata dengan bangga:
“Aku adalah keturunan Arab tulen, sebab aku anak suku Quraisy yang
menyusu di Bani Sa‘ad Bin Bakr.”
Muhammad, anak yatim yang miskin itu, menyusu di Bani Sa‘ad Bin
Bakr hingga mencapai usia lazimnya anak disapih dari ibunya sekitar
dua tahun. Akan tetapi, ‘Abdul Muththalib tak ingin membawa pulang
cucunya. Ia masih menginginkan cucunya untuk tetap tinggal di Bani
Sa‘ad hingga mencapai usia lima tahun, agar dia dapat belajar mengu-
capkan kata-kata dan telinganya terbiasa men­dengar­kan bahasa Arab
yang fasih, sehingga pasca pembelajaran itu, nantinya ia juga mampu

48 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
berbicara dengan kata-kata yang fasih.
Kehidupan Muhammad di tengah-tengah keluarga Halimah,
menggembala kambing bersama-sama dengan saudara-saudara su-
suannya yang lain. Halimah datang kembali ke kota Makkah dengan
membawa anak yang sudah berusia lima tahunan, sebab pada waktu
itu usia lima tahun adalah usia seorang anak yang sudah layak bekerja.
Muhammad kecil merasa gembira sekali hatinya, karena ia diberi tahu
akan dibawa ke sebuah tempat di mana ia dilahirkan dan tempat di
mana ibu dan kerabat familinya bertempat tinggal.
Di tengah perjalanan, di sebuah tempat yang ramai sebelum
memasuki dataran tinggi kota Makkah, Muhammad berpisah dengan
Halimah. Ia hilang di tengah keramaian dan tetap tidak ditemukan
meskipun Halimah sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencarinya
ke sana ke mari.
Merasa gagal mencari Muhammad kecil yang hilang, akhir­nya
Halimah memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanannya dengan
maksud untuk menyampaikan berita hilangnya Muhammad kepada
orang tuanya, Aminah, sesegera mungkin. Namun setibanya di rumah
Aminah, lagi-lagi ia gagal menemuinya. Selanjutnya, Halimah memu­
tuskan untuk memberitahukan peristiwa itu kepada kakeknya, ‘Abdul
Muththalib, dengan perasaan sedih sekali seraya berkata: “Aku datang
pada malam ini bersama Muhammad, cucu Tuan. Namun sebelum kami
memasuki dataran tinggi kota Makkah, Muhammad terpisah dariku. Ia
hilang di tengah keramaian dan aku sendiri dengan segala kekuatanku
sudah berusaha mencarinya, tapi usahaku tetap saja sia-sia. Entah di
manakah anak itu berada sekarang ini!”
‘Abdul Muththalib lalu berdiri seraya memohon kepada tuhan-tuhan
Ka‘bah agar memulangkan cucunya itu setelah mendengar berita ke-
hilangan Muhammad dari penuturan Halimah. Belum lama berselang,
tahu-tahu datanglah Waraqah bin Naufal dengan menggandeng tangan
Muhammad sambil berkata: “Ini anakmu (cucu) Muhammad. Aku men-
emukannya di dataran tinggi Makkah.”
Melihat cucunya yang sedang digandeng tangannya oleh Waraqah,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 49
‘Abdul Muththalib melompat kegirangan, lalu dipeluknya erat-erat
sambil melakukan thawaf di Ka‘bah, memohon perlindungan untuk
cucunya. Selanjutnya, beliau mengirimkan Muhammad kepada ibunya,
Aminah.
Setelah satu tahun lamanya tinggal bersama ibunya, Muhammad
diajak mengunjungi paman-pamannya yang bertempat tinggal di
sebuah perkampungan yang terletak di antara Makkah dan Yatsrib.
Aminah tinggal di sana hanya sebentar sekali. Namun ia tidak dapat
kembali lagi ke Makkah, karena ia meninggal dunia di tengah perjala-
nan pulang; dan jenazahnya dikuburkan di tempat itu juga.
Aminah -seorang janda kembang yang berusia dua puluh tiga tahun
itu- telah pergi untuk selama-lamanya me­ninggalkan Muhammad yang
masih berusia enam tahun menjadi anak yatim piatu.
Anak yatim piatu yang bernama Muhammad itu tak pernah dan ti-
dak akan pernah melihat ayahnya selama hidupnya. Kini ia ditinggalkan
ibunya, padahal ia masih belum puas melihat ibunya. Ia anak yatim yang
tidak pernah merasakan hangatnya belaian kasih seorang ibu. Aminah
tidak akan pernah mengajari anaknya melangkah. Aminah tidak akan
pernah menetahnya berjalan dan mengajarinya mengucapkan kata-kata
nama-nama benda. Baru setahun lamanya Muhammad diasuh ibunya,
tiba-tiba maut me­renggut ibunya dari Muhammad dan meninggalkannya
hidup sebatang kara di padang luas tanpa batas, yang menakutkan dan
mengerikan.
Jika demikian kenyataan yang ada, apakah makna kematian itu
dan apa makna kehidupan itu pula?
Kini Muhammad di asuh oleh kakeknya, ‘Abdul Muththalib,
sepeninggal ibunya. ‘Abdul Muththalib merasa seolah-olah melahirkan
Muhammad untuk kedua kalinya. Dialah pada akhirnya yang merawat
dan memelihara putra (cucu)nya yang sangat dicintainya.
Aktivitas ‘Abdul Muththalib biasanya duduk seharian penuh di dekat
Ka‘bah pada sebuah alas hambal yang dibuat agak tinggi. Sementara
itu, putra-putranya duduk mengelilingi alas tersebut, hingga ayahnya
datang. Tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di atas

50 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
alas itu, sebagai rasa hormat mereka kepada ayahnya. Namun pada
suatu ketika datanglah Muhammad; bocah kecil yang ditinggal wafat
ayah ibunya itu melompat ke atas hambal itu, lalu duduk di atasnya.
Paman-pamannya segera mengambil bocah itu, me­nurun­kannya
dari alas tersebut, tapi ‘Abdul Muththalib justru mencegah paman-
pamannya agar tidak menurunkan Muhammad dan membiarkan di
tempat itu.
“Biarkan anakku...,” cegah ‘Abdul Muththalib kepada mereka,
kemudian ‘Abdul Muththalib duduk di atas alas hambal itu sambil
mengelus-elus Muhammad dengan tangannya.
Keakraban mereka tampak sekali. Salah seorang paman Muhammad
yang tampan bernama Zubair bin ‘Abdul Muththalib sering kali me-
manggil Muhammad untuk bersenda-gurau atau menggodanya hingga
bocah kecil itu tertawa riang.
Hanya saja, curahan kasih sayang kakeknya yang dapat sedikit men-
gobati perihnya luka-luka keyatiman Muhammad tidaklah berlangsung
lama. Dalam usia Muhammad yang masih belum mencapai delapan
tahun, kakeknya merasa akan menemui ajalnya. ‘Abdul Muththalib
akan meninggal dan meninggalkan cucunya seorang diri di dunia yang
luas tak berbatas tanpa harta, ayah, dan ibu.
Ketika ajalnya akan tiba, ‘Abdul Muththalib memanggil putra-
putranya, menyampaikan wasiat kepada mereka agar memelihara,
merawat, dan mendidik cucunya yang yatim piatu itu. Ia menunjuk
salah seorang putranya yang bernama Abu Thalib -satu-satunya saudara
kandung ‘Abdullah- untuk bertanggung jawab sepenuhnya dalam men-
gasuh Muhammad.
Setelah selesai mengucapkan kata-kata perpisahan terakhirnya,
‘Abdul Muththalib menutup mata untuk selama-lamanya; dan bocah
yatim piatu itu akhirnya pindah ke rumah pamannya, Abu Thalib.
Abu Thalib punya tanggungan keluarga yang cukup banyak jum-
lahnya. Pendapatan dari hasil pekerjaannya hampir-hampir tak mencu-
kupi untuk memenuhi kebu­tuhannya sendiri dan anggota keluarganya.
Bahkan untuk memenuhi kebutuh­an keluarganya yang cukup besar

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 51
itu, Abu Thalib melibatkan anaknya. Tidak jarang anak-anaknya ter-
paksa harus memeras keringat juga, sekedar untuk pengganjal perut,
sekalipun mereka masih kecil-kecil. Namun Abu Thalib tetap konsis
tidak mau mencari utang yang punya resiko berat, untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, betapapun sulitnya mencari nafkah bersama
anak-anaknya.
Perasaan asing yang dirasakan Muhammad di tengah-tengah ke-
luarga pamannya susah dihilangkan, walaupun ia sendiri merasakan
suasana kebersamaan dan sangat disayang oleh paman dan sanak kelu-
arganya. Setiap kali pamannya menghidangkan makanan untuk keluarga
dan anak-anaknya yang masih kecil, Muhammad tidak mengulur­kan
tangannya seperti mereka, karena ia merasa rikuh dan malu. Namun
perasaan malu itu dapat dihilangkan juga, setelah sekian lama tinggal
di tengah-tengah keluarga pamannya.
Muhammad, bocah yatim itu, mulai membantu pekerjaan-peker-
jaan pamannya, sebagaimana pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak
pamannya. Mau tidak mau ia harus ikut membantu meringankan beban
pamannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Muhammad
ikut menggembala kambing, mencari rumput, bersama kafilah dalam
perjalanan dagang musim panas ke Syam. Mendengar rencana sang
paman akan melakukan perjalanan dagang, ia menyatakan kepada
pamannya akan ikut bersamanya. Tetapi keinginan tersebut tidak
mendapatkan restu dari pamannya, sebab sang paman tidak sampai
hati untuk membawa anak kecil seusia keponakannya itu dalam per-
jalanan jauh yang sangat melelahkan.
Saat ini adalah perpisahan Abu Thalib pertama kali dengan kepon-
akannya, Muhammad, sejak ia mengasuhnya. Sebenarnya Muhammad
telah memohon kepada pamannya untuk kesekian kali agar ia tidak
ditinggalkannya. Muhammad bertanya kepada pamannya: “Kepada
siapakah Pamanda akan meninggalkanku jika Pamanda nanti pergi?”
Mendengar pernyataan sang keponakan dengan nada memelas,
hati Abu Thalib merasa terenyuh. Akhirnya, Abu Thalib lalu bersumpah
kepada dirinya sendiri untuk pergi bersama keponakannya dan tidak
akan berpisah dengannya selamanya.

52 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Muhammad merasa lebih senang pergi ke manca negara yang jauh
daripada hanya ke Makkah yang diliputi suasana kehidupan yang penuh
dengan aksi pemerasan dan kebrutalan. Kondisi ini sungguh sangat me-
nyesakkan dada Muhammad. Gelapnya kehidupan masyarakat Makkah
menjadikan lenyapnya nilai-nilai kehormatan. Anak-anak fakir miskin
bekerja bersama-sama dengan kondisi fisik yang telanjang, tanpa harus
merasa malu. Sementara itu, pintu-pintu rumah para bangsawan ketika
malam hari tertutup rapat. Mereka berfoya-foya dan melantai dengan
para penari. Arak mengalir deras tiada terhitung lagi banyaknya, men-
guras habis keringat orang baik-baik, seperti ‘Abdullah dan ayahnya.
Keadaan orang-orang mencari rizki untuk memper­taruh­kan antara
hidup dan mati, membuat kekayaan para saudagar besar terus berlipat-
ganda. Mereka dijaga oleh budak-budak yang juga adalah manusia,
seperti juragan-juragannya. Di luar rumah-rumah besar dan megah
milik para penghisap darah orang-orang lemah itu, ada seorang anak
muda belia yang bernama Muhammad, sedang menatapi gubuk-gubuk
reyot dan rumah-rumah kumuh yang pintu-pintunya tertutup rapat.
Di dalamnya tinggal orang-orang yang hidup menderita. Secara sayup-
sayup telinga mereka menangkap riuhnya gelak-tawa manusia-manusia
iblis yang sedang mengumbar nafsu binatangnya lewat hembusan angin
dalam keheningan malam.
Dalam gubuk-gubuk reyot nan kumuh itu, para penghuninya dihan-
tui bayang-bayang yang sangat menye­ramkan. Mereka takut sekali,
jika bayangan itu akan menjadi kenyataan yang akan menimpa hidup
dan keluarga­nya. Mereka sangat khawatir kebutuhan hidup sehari-hari
akan menjerat mereka, memaksa mereka untuk mengga­daikan anak
gadis, istri, dan ibunya, kemudian akan dikumpulkan dengan budak-
budak hitam atau putih yang dijadikan santapan para saudagar kaya
atau para peng­hamba seks seperti barang-barang dagangan.
Di sebuah halaman yang berjauhan dengan rumah-rumah megah
dan gubuk-gubuk reyot, berkumpullah pemuda-pemuda yang belum
pernah terjerat oleh cengke­raman lintah darat, sekalipun mereka
hidup dalam keku­rangan. Pikirannya dipenuhi dengan impian-impian
tentang mukjizat yang mereka harapkan kedatangannya, karena hanya

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 53
mukjizat itulah yang akan mampu membebas­kan Makkah dari kebejatan
dan kebiadaban para penindas itu.
Para pemuda itu berkumpul di suatu halaman, duduk melingkari
seorang laki-laki yang mengungkap sebuah legenda yang mengobar-
kan khayalan mereka yang ter­tindas, menenangkan hati mereka yang
tercekam ketakut­an, dan membangkitkan semangat dan optimisme
di dalam hati yang terombang-ambing oleh gelapnya awan kehidu-
pan yang menyelimuti mereka. Legenda itu berisikan cerita tentang
pahlawan zaman dahulu, raja-raja yang bersikap tiranik dan sewenang-
wenang. Orang-orang lemah yang menguasai kehidupan dan tentang
mereka sendiri yang sudah sekian lama hidup dalam kekerasan. Hati
Muhammad merasakan adanya kegelisahan yang serius ketika melihat
realitas sosial yang penuh dengan ketimpangan dan intimidasi dalam
masyarakat Makkah.
Kepergian Abu Thalib -pamannya- bersama para kafilah akan me-
ninggalkanya seorang diri hidup di Makkah yang dengan pergumulan
orang-orang yang lemah dalam cengkeraman para saudagar membuat
Muhammad menjadi resah. Namun kesendirian saat ini dirasakannya
lebih berat daripada kesendiriannya di masa-masa yang telah berlalu.
Akhirnya, Muhammad menyertai pamannya pergi bersama para
kafilah ke negeri Syam. Ketika itu ia berusia dua belas tahun. Di neg-
eri Syam ia melihat realitas sosial yang tak jauh berbeda dengan di
Makkah. Sekumpulan budak-budak digiring seperti kambing-kambing.
Manusia dimiliki oleh manusia lainnya. Akhir perjalanan hidup mereka
tergantung pada kata-kata yang diucapkan majikannya dan para elite
masyarakat yang feodalistik menguasai per­dagangan dan tanah. Reali-
tas sosial yang penuh dengan ketimpangan ini sangat menggetarkan
hati Muhammad.
Selang beberapa waktu dari perjalanan itu, akhirnya Muhammad
mendengar berita bahwa di Makkah ada orang-orang yang berani
memberontak terhadap sistem sosial kehidupan masyarakatnya dan
terjun ke tengah-tengah kaumnya untuk mengajak mereka menen-
tang kebiadaban yang tengah berlangsung. Di antara tokoh-tokoh
masyarakat yang cukup keras dalam melancarkan aksi protesnya

54 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
adalah Waraqah bin Naufal, Umayyah bin Abu Shalt, dan Zaid bin
‘Amr.
Tokoh-tokoh yang memberontak itu melontarkan kritik dan pro-
tesnya kepada kalangan elite masyarakat yang kejam, mengutuk Latta,
‘Uzza, dan Hubal. Dalam aksi protes­nya, mereka menuntut direalisasi-
kannya kebijakan egalitaria­nisme dalam hal kerja sama. Muhammad
juga mendengar kabar tentang kritik mereka terhadap pengu­buran
yang sering kali dilakukan oleh para bangsawan terkemuka.
Salah seorang tokoh yang cukup vokal dan getol menggugah kesada-
ran kaumnya untuk membebaskan diri dari jeratan dan tirani mereka
adalah Zaid bin ‘Amr. Namun tampaknya, gagasan brilian Zaid itu tak
mendapat dukungan, sehingga ia akhirnya terpaksa diisolir dan dis-
ingkirkan oleh para saudagar ke suatu daerah yang jauh dari Makkah.
Saudagar-saudagar Makkah adalah penjaga tuhan-tuhan Ka‘bah yang
memberikan legitimasi terhadap sikap mereka yang intimidatif. Ada-
pun di Syam, situasinya berbeda dengan di Makkah, sebab kebanyakan
penduduk Syam menganut agama Kristen.
Sementara itu, dalam hati kecilnya Muhammad ber­tanya-tanya
tentang seseorang yang menampar pipi sau­daranya. Ia juga memper-
tanyakan perihal seseorang yang merampas hak milik saudaranya.
Persoalan-persoalan yang tak luput dari perhatian Muhammad adalah
orang-orang yang seolah-olah memiliki kehidupan ini dan kondisi para
dermawan yang terbakar dalam gulatan api kecongkakan.
Muhammad pulang kembali ke Makkah bersama kafilah setelah
bertemu dengan seorang pendeta. Pendeta itu merasa kagum terha-
dap kepribadian Muhammad dan mengajaknya makan bersama para
pembesar, meskipun dicegah oleh mereka.
Setibanya di Makkah, Muhammad kembali menggem­bala kambing
dan thawaf di Ka‘bah. Hari demi hari berlalu dengan tanpa terasa,
sehingga ia memasuki masa remaja.
Kini Muhammad memasuki usia enam belas tahun. Profesi Muham-
mad tetap saja seperti sebelum pergi ke Syam, yaitu menggembala
kambing. Selanjutnya, ia pulang untuk thawaf di Ka‘bah. Namun ia kini

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 55
merasakan suatu kegelisahan yang membuatnya tidak pernah nyenyak
tidur sebagaimana nyenyaknya tidur orang-orang yang bekerja berat
sepanjang hari. Memori ingatannya melayang-layang kepada ayahnya
yang meninggal dunia karena mencari rizki untuk menjaga stabilitas
keluarga harmonis.
Ia juga terkenang kepada ibu dan kakeknya yang hidup dalam pen-
deritaan. Ia memikirkan tentang kehidupan pamannya, Abu Thalib yang
hidup dalam kekurangan, sementara paman-paman yang lain hidup
berkecukupan. Pikirannya menerawang jauh hingga pada kenyataan-
kenyataan yang ia saksikan ketika di Syam.
Selanjutnya, ingatannya terkenang kembali kepada para penyuluh
masyarakat yang telah terlempar dari kehidupan kaumnya, karena para
bangsawan dan saudagar kaya tidak menginginkan adanya perubahan
transformasi sistem kehidupan sosial yang sudah mapan dan meng­
untungkan kelas mereka, termasuk juga sisitem teologi masyarakat
terhadap tuhan-tuhan Ka‘bah.
Betapa seringnya ia melihat di sekitar Ka‘bah. Ia heran sekali atas
sikap patung-patung yang acuh tak acuh itu terhadap realitas sosial
yang eksploitatif dan intimidatif di hadapan kedua belah matanya.
Muhammad bertanya-tanya, tuhan-tuhan macam apakah itu?
Di dekat Ka‘bah, ia melihat seorang laki-laki yang sedang bertha-
waf dengan telanjang. Para perempuan ada yang berthawaf hanya
dengan mengenakan pakaian transparan yang dapat membangkitkan
birahi setiap laki-laki yang memandangnya. Ia juga melihat beberapa
orang laki-laki yang menempel lengket pada orang-orang perempuan
di hadapan tuhan Ka‘bah. Sementara itu, tuhan-tuhan Ka‘bah tetap
saja memejamkan kedua matanya seolah tidak menyaksikan adegan
mesum itu.
Kelakukan-kelakuan mesum seperti itu terus mereka lakukan, ken-
datipun mereka percaya bahwa di antara batu-batu Ka‘bah yang tegak
berdiri, dua di antaranya merupakan perlambang sinyal kemurkaan
tuhan terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran di pelataran
suci itu. Simbol kutukan tuhan itu berupa dua buah batu yang meny-

56 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
erupai seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menurut kepercayaan
mereka, kedua batu itu berasal dari dua pezina yang kemudian diku-
tuk tuhan menjadi batu. Meskipun mereka percaya dengan mitos itu,
namun masih ada juga seorang laki-laki dan perempuan yang masuk
Ka‘bah, lalu bersembunyi di balik patung itu untuk berbuat mesum
sebagaimana biasa mereka lakukan.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 57
58 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Gejolak cinta
di masa muda

K
ehidupan sehari-hari telah membawa Muhammad
memasuki pintu gerbang masa remaja. Pada siang
harinya ia masih saja menggembala kambing, se­men­tara di
malam harinya ia mulai terbawa ke dalam dunia pemikiran tentang
fenomena dan realitas sosial yang mengitarinya dan mencari solusi
perbaikan sistem sosial yang berlaku di tengah-tengah masyarakatnya.
Di manakah jalan itu?

Akhirnya, pada suatu ketika ia menggembala kambing bersama


teman sebayanya; dan secara spontanitas dari kejauhan ia mendengar
bunyi rebana. Ia berkata kepada temannya: “Biarlah kita berhenti dulu
menggembala kambing-kambing ini. Aku ingin sekali tiba di Makkah.”

Buru-buru ia pergi ke rumah yang sedang menyeleng­garakan rebana


itu. Ternyata di rumah itu ada pesta perkawinan yang dimeriahkan
dengan berbagai macam hiburan musik. Setelah ia hampir sampai di
rumah yang dituju, ia merasa keletihan. Semalaman ia bersandar pada
tembok. Ia mengantuk, lalu terlelap dalam keletihan. Ia tidak sempat
mengikuti jalannya hiburan itu dengan penuh khidmat dan konsentrasi.

Ketika ia bangun dari tidurnya, ia tak habis pikir dan bertanya-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 59
tanya tentang sesuatu yang membuat ia me­ninggalkan gembalaannya
hanya karena ingin menikmati tontonan gratis yang terdapat di pesta
itu. Memang gairah remaja telah menggelora di dadanya, tetapi apa
boleh buat ketika rasa kantuk yang melelapkan datang untuk meny-
elamatkan dirinya dari hal-hal seperti itu. Akhirnya, ia memutuskan
untuk beristri saja agar dirinya tidak sampai terlibat dalam kenakalan-
kenakalan remaja yang merusak kepribadiannya seperti pemuda lain-
nya, sehingga pada saat itulah ia mulai mencurahkan seluruh tenaga
dan kemam­puannya untuk setiap pekerjaannya.

Sewaktu Muhammad melaksanakan thawaf di dekat Ka‘bah, ia


melihat gadis cantik yang sedang thawaf juga, sedang tingkah laku
gadis itu, perhiasan, dan baju yang dikenakannya, membuat hati
Muhammad sangat terpesona. Muhammad jatuh cinta kepada gadis
bernama Dhaba‘ah binti Amir bin Sha‘sha‘ah itu dan memutuskan un-
tuk meminangnya. Ibarat gayung bersambut, ternyata gadis itu juga
punya perasaan yang sama, jatuh cinta kepada Muhammad.
Akan tetapi, Muhammad lalu mendengar sendiri perihal tunan-
gannya yang meskipun sedang thawaf dengan mengenakan pakaian
yang sopan itu, ternyata wanita itu lalu melantunkan syair-syair yang
kurang etis dan tidak senonoh yang menggelorakan gairah remajanya,
di mana bait-bait syairnya mengungkapkan apa yang sedang diinginkan
gadis itu, maka pada waktu itu pula Muhammad mengambil sikap un-
tuk memutuskan dan meninggalkannya, sehingga kesepakatan untuk
melangsungkan ikatan pinangan akhirnya digagalkan. Gadis itu patah
hati hingga meninggal dunia dalam derita duka cintanya.

60 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Cahaya
di Malam Gelap

A pakah ia akan tinggal di Makkah menjadi


penggembala selama-lamanya? Mengapa dalam usia
yang keenam belas, ia tidak mencoba beralih profesi menjadi seorang
pedagang saja? Bukankah ia sudah tergolong seorang remaja yang
telah dewasa?
Tapi mungkinkah itu? Apakah ia menjadi jongos-jongos para juragan
yang congkak dan suka menghisap darah orang-orang miskin? Tak ada-
kah jalan lain untuk mencari penghidupan? Akan tetapi, harta benda
hanya milik orang-orang kaya saja sekalipun mereka punya hati.
Para pendusta itu masih juga mampu bicara di tengah-tengah
kehidupan masyarakatnya dengan segenap ke­bo­hong­annya. Mereka
berani menghadapi segala hal karena mereka masih menemukan
orang-orang yang mau men­dengarkan perkataan mereka, sebab mereka
memiliki segala-galanya; kekayaan, kekuasaan, dan tuhan-tuhan.
Kekayaan lintah darat itu hari demi hari kian menjulang tinggi.
Orang-orang yang tenggelam dalam lumpur-lumpur kebejatan dan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 61
kemunafiqan hingga dagu-dagu mereka, terlihat mengenakan pakaian-
pakaian bersih tak ternoda di hadapan orang lain, sehingga banyak
orang terkecoh oleh kulit luar mereka. Mereka terhormat dan terpuji
di mata orang banyak, tapi mereka sebenarnya menyimpan kebusukan.
Di hadapan orang-orang hipokrit dan suka menjilat, mereka tampak
selalu percaya. Bahkan acapkali cahaya itu lebih menyilaukan dari
kilauan mata seorang laki-laki pemberani dan tak seorang pun mampu
membedakan antara kearifan dan kegilaan.
Para tukang tenung, paranormal, dan penjual budak semuanya
berbicara tentang sebuah “kemuliaan”. Semen­tara Hubal berdiri tegak
dengan keangkuhannya di kelilingi tuhan-tuhan kecil yang tuli dan
bisu. Di hadapan tuhan-tuhan ini, perempuan pelacur dan perempuan
baik-baik nilainya sama saja.
Para pemilik modal adalah pemilik segala kebenaran. Karena
itu, mereka secara leluasa menyulap kebathilan menjadi kebena-
ran, sedangkan kebenaran yang hakiki hanyalah kesabaran hati
yang tercabik-cabik. Di padang kebejatan tersebut hati ini menjadi
sanggup untuk bersabar, bersabar menunggu masa depan yang cerah
dan bahagia.
Di atas bumi, di tempat ini, telah hidup hakikat kebenaran yang
lain sejak ribuan tahun; di sini, di rumah tua yang dibangun sebagai
tempat berkumpulnya manusia dan tempat yang aman.
Di manakah tuntunan yang telah diajarkan Ibrahim itu?
Bukankah di tempat ini Ibrahim berbicara secara tegas dan lan-
tang: “Janganlah kalian mencuri; janganlah kalian berbohong; jangan
melakukan sistem kontrak riba; jangan kalian melakukan sistem per-
zinaan; jangan kalian bersikap tidak adil dalam memutuskan suatu
perkara; jangan kalian membungakan uang; dan jangan kalian berkhi-
anat dalam menakar dan menimbang barang!”
Akan tetapi, kota yang telah dibangun Ibrahim itu kini telah di-
penuhi dengan kesewenang-wenangan dan ke­biadaban. Orang-orang
yang mempunyai posisi kuat telah berlaku tiranik. Mereka mencuri,

62 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
berbohong, dan tidak adil dalam memutuskan perkara. Jika mereka
meminjam­kan uang, mereka melakukan kontrak bunga yang berlipat-
ganda; dan jika menakar dan menimbang, mereka curang.
Nilai seseorang ditentukan oleh apa saja yang dimiliki. Tak ada
seorang pun yang mempertanyakan bagaimana cara memperolehnya,
sebab sistem yang digunakan oleh mereka berasaskan profit tanpa
mempedulikan bagaimana proses dan cara memperolehnya. Berdusta,
munafiq, mencuri, dan merampas, sudah dianggap instrumentalia yang
paling tepat. Selama orang masih sanggup berthawaf di Ka‘bah dan
mempersembahkan qurban untuk Hubal, maka semua kekejian itu
sah-sah saja dilakukan. Berbeda dengan para bangsawan yang selalu
mendapatkan legitimasi untuk bertindak apa pun, orang fakir miskin
yang tidak mencuri dan tidak merampas serta tidak mampu untuk ber-
qurban, maka patung-patung itu tidak sudi menerimanya di pelataran
Ka‘bah. Ini jelas tuhan-tuhan elitis yang hanya menyukai orang-orang
tertentu saja.
Lalu siapakah tuhannya orang-orang jelata? Sesungguh­nya Ibra-
him mempunyai tuhan yang lain. Dialah Tuhan seluruh umat manusia.
Ibrahim melarang untuk menyembah tuhan selain itu. Dengan Tuhan
itu, Ibrahim menjanjikan se­buah kehidupan yang tenteram jika umat
manusia me­matuhi-Nya. Dalam kehidupan yang tenteram itu, kilauan
mata pedang tak berarti apa-apa lagi di muka bumi mereka.
Namun di manakah gerangan Tuhan Ibrahim ber­semayam? Patung-
patung yang hanya menyukai orang-orang yang memiliki posisi kuat
dan membiarkan orang-orang miskin, sudah tentu bukanlah tuhan yang
pantas dijadikan sesembahan manusia.
Adakah Tuhan Ibrahim selain matahari yang memberi kehidupan
pada segala sesuatu? Tetapi kadang-kadang matahari terbenam. Bu-
kankah Tuhan semestinya tidak tidur dan tidak mati, sementara se-
tiap hati yang senantiasa ingin menatapnya dan merindukannya tidak
menyukai suatu yang terbenam?
Di manakah gerangan Tuhan Ibrahim yang memutuskan bahwa se-
tiap orang yang dibunuh, harus dibunuh juga; setiap orang yang berzina

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 63
harus dibakar dengan api; setiap orang yang memendam kebencian
akan terkena kutukan; dan setiap dengki dan iri hati kepada orang lain
akan ditimpa adzab kehinaan, sehingga dengan demikian, kebejatan
dan kebiadaban tak dapat tumbuh dan hidup di permukaan bumi?
Di manakah gerangan Tuhan Ibrahim yang memuliakan orang-orang
yang tidak menyembah patung-patung, tidak menodai perempuan-
perempuan yang mempunyai hubungan keluarga dekat, tidak berbuat
aniaya kepada sesama, tidak mau menerima gadai, tidak suka meram-
pas hak milik orang lain, bahkan ia memberikan rotinya kepada orang-
orang kelaparan, memberi pakaian kepada orang-orang telanjang,
menolong fakir miskin, dan tidak melakukan praktek riba?
Lalu apakah batu yang dithawafi orang-orang itu? Di manakah
Tuhan Ibrahim itu bersemayam? Bukankah batu itu adalah batu yang
tuli, buta, tak berdaya untuk meniupkan angin, tak berdaya untuk
menurunkan hujan, dan tak berdaya pula untuk memberikan kemud-
haratan dan kemanfaatan?
Adakah sekelompok orang dari kabilah Quraisy yang memperhatikan
perilaku kaumnya dan sistem sosial yang berkembang di tengah-tengah
mereka? Sekelompok orang itu adalah sebagian warga kabilah Quraisy
yang sudah mulai merasakan suatu kemuakan berthawaf kepada Hubal.
Hati mereka merasa tergugah untuk merenungkan sikap fanatisme
kepada Hubal di mana banyak orang yang berqurban atas nama Hubal,
beri‘tikaf di sisinya, dan berkeliling mengitarinya. Salah seorang di
antara mereka berkata: “Apa yang dilakukan kaummu saat ini? Mereka
sungguh-sungguh telah melakukan penyimpangan dari agama mono-
theisme Ibrahim.”
Adapun di antara sekelompok orang itu adalah Waraqah bin Nau-
fal, ‘Abdullah bin Jahsy, ‘Utsman bin Huwairits, dan Zaid bin ‘Amr.
Mereka inilah yang terus-menerus gencar mendiskusikan dan mencari
kebenaran di tengah-tengah membludaknya praktek penipuan dan
kebohongan.
Mereka membaca referensi kitab-kitab yang ada kaitannya den-
gan kondisi yang terjadi di masyarakat kala itu. Problem rusaknya

64 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
tatanan sosial di tengah-tengah masyarakat Makkah menjadi pusat
perhatian pemikiran mereka. Mereka kemudian saling berjanji untuk
mera­hasiakan gerakan yang sedang mereka lancarkan hingga pada
akhirnya mereka memutuskan untuk berkelana ke berbagai manca
negara, dengan sebuah harapan bahwa kelak akan kembali lagi ke
tengah-tengah masyarakatnya, membawa agama Ibrahim dan mendidik
mereka dengan ajaran-ajarannya yang lurus.
Waraqah bin Naufal mendapatkan hidayah dalam ajaran Al-Masih
‘Isa w. Ia menjadi pemeluk agama Nabi ‘Isa w; dan akhirnya
kembali ke tengah-tengah kaumnya dengan membawa ajaran Nabi
‘Isa w yang mengajarkan tentang keesaan Tuhan dengan suatu
ajaran yang berbunyi: “Ia (Tuhan) tidak bertempat tinggal dalam
berhala-berhala yang dibuat oleh tangan-tangan manusia dan tidak
pula membutuhkan pelayanan mereka lantaran Dia tak mem­butuhkan
suatu apa pun. Karena Dialah yang memberi kehidupan dan nyawa
kepada semua makhluk hidup dan Dia pulalah Tuhan yang menguasai
langit dan bumi.”
Setelah menemukan petunjuk dari ajaran Nabi ‘Isa w , Waraqah
kini memulai karir kehidupan sehari-harinya sebagai guru spritual
(rahib) bagi kaumnya sebagaimana profesi para pendeta yang mena-
sihati kaumnya agar saling mencintai, karena cinta kasih tidak akan
pernah gugur selamanya; dan agar senantiasa mendo‘akan orang-orang
yang menindas mereka, bukan justru mengutuknya. Adapun ‘Abdullah
sendiri awalnya memeluk agama Kristen, tetapi karena merasa kurang
puas dengan apa yang selama ini ia jalani, akhirnya ia beralih memeluk
agama Ibrahim, agama nenek moyang mereka.
Sementara itu ‘Utsman bin Huwairits berkelana ke berbagai manca
negara, hingga akhirnya ia berkenalan dengan kaisar Rum yang meme-
luk agama Kristen, kemudian ia diangkat sebagai gubernur Makkah oleh
kaisar Rum. Akan tetapi, ketika ia pulang kembali ke tengah-tengah
masyarakat Quraisy dengan membawa surat kaisar, mereka membuang
surat itu karena enggan untuk tunduk pada kekuasaan kaisar sekalipun
ia sudah diangkat sebagai gubernur. Mereka berkata kepada ‘Utsman:
“Penduduk Makkah tidaklah memeluk agama seorang raja.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 65
Respon negatif mereka membuat ‘Utsman mengambil keputusan
untuk memisahkan diri dari kelompoknya. Ia tetap mengamalkan
ajaran-ajaran agama yang baru dipeluknya dan terus mengulang ayat-
ayat Injil hingga hafal: “Janganlah membunuh; jangan mencuri; dan
jangan memberi kesaksian palsu. Janganlah merusak dan berzina.
Hormatilah ayah dan ibumu. Pergilah kepada raja-raja yang adil dan
ulurkanlah tangan kepada orang fakir agar menjadi harta simpananmu
di langit; dan marilah ikut bersamaku membawa salib.”
Adapun sikap Zaid bin ‘Amr tidak hanya berusaha untuk mencari
kesucian dirinya saja, tapi ia juga berusaha untuk memberikan kesu-
cian tersebut kepada kaumnya. Ia mengajak kaumnya yang sedang
dalam kesesatan untuk meninggalkan berhala-berhala dan tidak me-
makan daging qurban yang disembelih di hadapan patung-patung itu.
Ia menyampaikan juga kepada kaumnya tentang larangan praktek
penguburan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. Zaid sering kali me-
larang seorang ayah yang akan membunuh putrinya seraya berkata:
“Janganlah engkau bunuh dia. Biarlah aku saja yang akan mencukupi
makan bayi itu.”
Namun ajakan Zaid itu tetap tidak diindahkan oleh mereka, se-
hingga dalam kondisi yang demikian ia sering kali menyandarkan pung-
gungnya kepada Ka‘bah sambil berkata: “Wahai orang-orang Quraisy,
demi Tuhan yang menguasai jiwa Zaid bin ‘Amr, tak seorang pun di
antara kalian yang lebih dulu memeluk agama Ibrahim, selain aku.”
Ia terus melancarkan kritiknya atas kebodohan orang-orang Quraisy
dan apa yang disembahnya. Ia menyerukan kepada mereka untuk tidak
melakukan riba, tidak berbohong, tidak melakukan kezhaliman, dan
tidak menyembah patung-patung. Dalam seruan-seruannya, Zaid mel-
antunkan syair-syair panjang, menceritakan kisah Nabi Musa melawan
Fir‘aun; Nabi Yunus melawan ikan paus; dan cerita sejarah tentang
misionaris terdahulu yang sudah pernah kontra dengan para penguasa
diktator dan tiranik.
Propaganda-propaganda yang dilancarkan oleh Zaid cukup mere-
sahkan perasaan kalangan para elite masya­rakat. Dengan demikian,
dilakukanlah suatu upaya untuk membendung gerakan Zaid bin ‘Amr

66 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
ini. Orang-orang yang merasa tidak aman dengan propaganda Zaid
berusaha mencari pamannya yang bernama Al-Khaththab. Dia adalah
paman Zaid yang tergolong saudagar kaya yang suka memeras, mer-
ampas, mabuk, dan main perempuan.
Pada suatu hari datanglah Al-Khaththab menemui kepo­nakannya.
Ia meminta kepada Zaid agar bersedia meng­hentikan aksi protes dan
propagandanya, tetapi langkah preventif dan permintaan itu ditolak
oleh Zaid dan ia tetap konsisten pada pendiriannya. Bahkan Zaid terus
dengan gencar melancarkan kritik dan propagandanya itu, sehingga
dengan perasaan yang kesal melihat ulah kepo­nakan­nya, sang paman
akhirnya bertindak dengan cara kekerasan.
Zaid pergi ke gunung Hira’ yang berada di dekat Makkah. Di tempat
itu ia melakukan kontemplasi dalam waktu yang cukup lama. Setelah
itu, ia kembali lagi ke tengah-tengah kaumnya dan membawa ajaran
untuk meninggalkan perilaku amoral yang mewarnai kehidupan mer-
eka.
Karena cara untuk mencegah aksi keponakannya sudah tidak
mempan lagi, Al-Khaththab pun menggunakan siasat lain untuk
mendiskreditkan keponakannya itu. Maka ditempuhlah siasat licik,
yaitu provokasi. Zaid diadu domba dengan pemuda-pemuda Quraisy,
termasuk di antara mereka adalah putranya sendiri, yaitu ‘Umar bin
Khaththab. Al-Khaththab memerintahkan kepada mereka untuk tidak
membiarkan Zaid memasuki Makkah. “Jangan kalian membiarkan si
Zaid itu memasuki Makkah secara leluasa,” imbau Al-Khaththab.
Dengan imbauan itu, maka diadakanlah pengawasan terhadap
Zaid, sehingga ia tak mungkin lagi memasuki Makkah secara leluasa.
Meskipun demikian ketat peng­awasan tersebut, Zaid masih juga bisa
memasuki Makkah secara sembunyi-sembunyi. Namun sial sekali, ia
ketahuan pemuda-pemuda Quraisy ketika masuk Makkah hingga mer-
eka memukulinya secara biadab. Mereka sangat khawatir akan terjadi
pengrusakan terhadap tatanan sosial yang dianggap sudah mapan.
Bahkan mereka juga khawatir terhadap protes dan propaganda yang
dilancarkan Zaid akan sampai mempengaruhi warga Quraisy.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 67
Dalam situasi demikian, bagi Zaid kehidupan ini terasa sempit,
sesak, dan pengap dalam kungkungan dan belenggu orang-orang
bodoh. Karena itu, ia memutuskan untuk pergi ke Hijaz dengan
maksud akan mencari agama Ibrahim. Ia berangkat berkelana ke
seantero Jazirah Arab, sehingga ia sampai ke Mosul. Di tempat itu
ia bertanya kepada para pendeta dan orang-orang yang ditemuinya
tentang agama Ibrahim.
Pendeta Yahudi dan Kristen yang ditemuinya sama-sama me-
maparkan secara detail tentang agama mereka masing-masing. Na-
mun penjelasan-penjelasan yang ia terima tetap saja tidak membuat
hatinya puas. Ia menolak kedua agama itu. Maka berkatalah para
pendeta itu kepada Zaid: “Kalau begitu, engkau sebenarnya mencari
suatu agama yang tidak akan engkau temui lagi pembawanya.”
Perjalanan panjang mencari kebenaran membuat Zaid dalam
kegelisahan. Namun ia tetap optimis. Ia terus berkelana, berpindah
dari suatu negeri ke negeri yang lain, mengetuk setiap pintu rumah
pendeta dan pemuka-pemuka agama, keluar masuk dari suatu gereja
ke gereja yang lain. Ia sempat dibuat heran oleh para penyembah api
yang melumuri kepalanya dengan debu-debu suci bersama para tukang
tenung; demikian pula orang-orang yang memeluk agama Budha dan
agama Zoroaster didatanginya, tetapi kebenaran yang ia cari-cari
selama ini masih juga belum ditemukan. Ia yakin bahwa kebenaran
sejati pasti terdapat pada agama yang lain dan ajaran yang lain. Dia
terus berkelana seperti seorang yang terlempar dari atas kendaraan
yang ditungganginya. Tangannya menggenggam sebuah tongkat; tu-
buhnya yang kurus kering karena dimakan usia, terguncang-guncang.
Tubuh yang sudah tinggal tulang itu hanya dibungkus dengan baju
yang terbuat dari kain kasar yang ditambal-tambal. Jenggotnya yang
memutih bergetar-getar. Kedua belah matanya yang cekung menatap
dengan pandangan kosong.
Pada suatu perjalanan panjang yang menyiksa kehi­dupannya, Zaid
dihadang oleh beberapa orang pencuri. Ia disiksa hingga penyiksaan itu
merenggut nyawanya. Kontan saja, mendengar informasi tentang ke-

68 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
matian Zaid, para bangsawan sangat gembira, sementara orang-orang
yang profesinya sama dengan Zaid untuk mengabdikan hidupnya dalam
mencari kebenaran, merasa sangat terpukul dan berduka sedalam-
dalamnya. Termasuk di antara mereka, teman-teman seperjuangannya
adalah Waraqah bin Naufal. Setiap kali terkenang memori perjalanan
perjuangan Zaid, air mata Waraqah terus-menerus bercucuran mem-
basahi pipinya yang sudah mulai keriput.

g
Muhammad juga menangis atas kepergian seorang penyuluh agung
yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam perjalanan panjang untuk
mencari kebenaran sejati sebelum ia menemukannya. Muhammad
menyimpan rasa kagum yang teramat besar kepada penyuluh agung
yang telah pergi untuk selamanya.
Muhammad bin ‘Abdullah juga terkenang kembali pada beberapa
tahun yang silam semenjak bertemu dengan Zaid, sewaktu makan
bersama di sebuah tempat ia berdagang, di mana waktu itu Zaid Bin
‘Amr sedang dalam pengem­baraannya untuk mencari kebenaran yang
dia semaikan dalam hatinya.
Ketika itu Zaid menolak untuk makan daging qurban yang disem-
belih di bawah kedua belah kaki patung-patung yang dipertuhankan.
Dalam pertemuan itu Muhammad yang masih berusia dua puluh tahun
sempat berdialog dengan Zaid. Pertemuan itu adalah pertemuan dua
insan yang sama-sama merasakan keprihatinan yang serius terhadap
kebejatan orang-orang Quraisy, tuhan mereka yang tuli, dan tradisi-
tradisi yang sangat kondusif bagi berakarnya praktek eksploitatif
para saudagar besar atas leher-leher para budak. Sementara Muham-
mad waktu itu tidak menolak untuk makan daging binatang qurban,
tetapi Zaid adalah orang yang sangat konsisten dalam memegang
pendiri­annya. Ia lebih memilih lapar daripada kenyang dengan makan
binatang-binatang yang disembelih di hadapan patung-patung tanpa
proses penyembelihan yang menyebut nama Tuhan Ibrahim.
Tiap kali terkenang Zaid, Muhammad merasakan duka yang begitu
mencekam. Zaid adalah pemeluk agama monotheisme. Dengan posisi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 69
itu, Zaid bin ‘Amr diperlakukan oleh orang-orang Quraisy sebagai
seorang penjahat, lantaran melakukan kritik terhadap tatanan sosial
mereka dan melancarkan aksi propaganda untuk mengadakan refor-
masi terhadap sistem sosial. Semua saudagar kaya, bahkan keluarga
dekatnya pun tidak menaruh rasa kasihan sama sekali kepadanya.
Pamannya yang bernama Khaththab yang sangat dihormati oleh Zaid
dan putranya yang bernama Ibnu Khaththab -seorang pemuda Quraisy
yang terkenal pemberani-, keduanya tidak mempunyai rasa iba sama
sekali atas kematiannya.
Zaid bin ‘Amr telah pergi untuk selama-lamanya. Dialah sang pen-
erang yang hanya bersinar sekejap mata, selaksa bintang berekor yang
melesat di tengah gelap-gulitanya kehidupan Makkah. Akan tetapi, kini
semenjak kematian Zaid, kota Makkah kembali lagi seperti semula.
Para rakyat jelata mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para
bangsawan dan saudagar dengan cara leluasa.
Tak seorang pun yang mau mendengar seruan Zaid, sedang­kan
kebohongan para pembohong justru masih didengar. Harta kekayaan
para rentenir kian menjulang tinggi hari demi hari. Tukang-tukang
tenung dan para penjual budak semakin lihai bersilat lidah. Meski-
pun demikian, di mata orang-orang hipokrit dan penjilat, mereka
tetap memancarkan cahaya terang yang me­nyilaukan.
Sementara itu, Muhammad, seorang pemuda, bekerja sebagai bu-
ruh kasar untuk menyambung hidup­nya sebagai­mana kehidupan pahit
yang dirasakan ayahnya. Dahulu, untuk sekedar menyambung hidup,
ayahnya harus me­nyambung nyawa hingga menemui ajalnya. Semen-
tara di sekitarnya hidup para elite Quraisy, seperti pamannya sendiri,
Abu Lahab, Walid bin Abu Sufyan yang memiliki emas bertumpuk-
tumpuk dan beratus-ratus budak. Siapakah yang merintis terciptanya
kondisi sosial seperti ini?
Dalam kondisi seperti itu, Hubal tetap saja berdiri tegak di sisi
Ka‘bah dan membiarkan orang-orang yang berlaku semena-mena.
Sikap Hubal dan tuhan-tuhan Ka‘bah tidak punya rasa solidaritas dan
loyalitas sedikit pun terhadap nasib si miskin.

70 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Dalam suatu kafilah yang terdiri dari seribu unta dan dua ratus
budak, paling sedikitnya sembilan ratus unta dan sebagian besar dari
dua ratus budak adalah milik tiga atau empat orang kaya Makkah.
Selebihnya adalah milik orang lain.
Kendatipun banyak orang yang kaya-raya, tetapi ketika terjadi
suatu peperangan, maka tetap saja orang-orang melaratlah yang harus
merasakan penderitaan akibat yang ditimbulkan oleh peperangan itu,
sedangkan orang-orang kaya hanya memikirkan keselamatan dirinya
sendiri. Sewaktu perang Fijar berkecamuk beberapa tahun yang silam,
Muhammad menyaksikan kelakuan pamannya, Abu Lahab, dan para
koleganya yang kaya. Mereka minta perlindungan kepada pamannya,
Zubair, dan pemuda-pemuda miskin.
Dalam pertempuran yang berlangsung di dekat Ka‘bah itu, Muham-
mad ikut bergabung juga. Ia berdiri di dekat pamannya, melindungi
mereka dari serangan panah-panah musuh dan akhirnya pertempuran
itu dimenangkan orang-orang Quraisy.
Pada waktu itu Zubair dan para pasukan penunggang kuda yang
berasal dari kalangan orang-orang miskin usai peperangan hanya
memperoleh bagian yang sangat sedikit; satu dinar atau dua dinar
saja. Kondisi ini berbeda sekali dengan apa yang telah diperoleh oleh
Abu Lahab dan Abu Sufyan. Mereka berdua memperoleh bagi­an beribu-
ribu dinar.
Dialah Muhammad yang terpaksa bekerja sebagai buruh kasar dalam
kafilah-kafilah, sekedar untuk menyambung hidup. Ia tidak memiliki
simpanan satu dinar pun. Ia harus menyambung nyawa bersama seorang
pamannya, Zubair, dalam perjalanan musim panas ke Yaman.
Di sinilah Muhammad melihat dengan kedua belah matanya perilaku
para pedagang dalam mencari ke­untungan. Mereka mengurangi tim-
bangan dan curang dalam menakar. Praktek perdagangan yang penuh
kecurangan ini menjadi gugatan Muhammad. Di dalam hati kecilnya
ia berkata, mengapa para pedagang itu tidak cukup puas dengan
memperoleh keuntungan dari cara tukar-menukar yang baik dan harga
seimbang?

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 71
Ia pulang kembali ke Makkah dengan membawa beban pikiran
yang sangat menyusahkan batinnya. Ia berpikir tentang kebohongan
besar yang menjadi sokoguru kekayaan penduduk Makkah. Sebenarnya
apa yang dilakukan oleh para pedagang itu tidak layak bila dianggap
mencari keuntungan belaka. Kelakuan mereka jauh lebih jahat dari-
pada membungakan uang. Para pekerja yang ikut kafilah-kafilah juga
berbuat curang ketika menjual; dan mereka melakukan tindakan korup
pada laba yang diperolehnya dengan cara curang. Maka demikianlah,
kecurangan bercampur-aduk kecurangan. Ada jaringan terorganisir
memeras buruh. Sebaliknya, para buruh tidak risih-risih lagi untuk
melakukan tindakan korup.
Amanat merupakan mata uang yang tidak laku di pasar yang jelek
itu. Kebenaran, kesucian, dan kejujuran hanyalah suara sayup-sayup
yang digulung oleh gelombang-gelombang teriakan para calo, gemer-
incing emas, dan godaan barang-barang perhiasan.
Muhammad ingin sekali pergi dari bergabung bersama kafilah,
dengan membawa barang dagangannya sendiri atau barang dagangan
pamannya yang diasuh oleh Abu Thalib. Dalam hatinya berharap,
siapa tahu ia bisa bekerja pada seorang juragan yang jujur dalam cara
memperoleh laba.
Tetapi siapakah gerangan yang mau mempekerjakannya sekarang,
sebab ketika ia pulang bersama orang-orang yang sama-sama ikut
dalam kafilahnya, mereka justru meng­gunjing kelakuannya yang tidak
mau mengikuti kebiasaan mereka yang suka melakukan kecurangan
dalam menakar dan menimbang.
Memang begitulah kenyataannya. Muhammad benar-benar menen-
tang kebiasaan praktek perdagangan mereka. Bahkan ia menyarankan
kepada mereka untuk menyem­purnakan timbangan dan tidak mengu-
ranginya. Sebab itu, kini tak seorang pun yang mau menerima Muham-
mad untuk diangkat sebagai pekerja pada perdagangannya.
Kendatipun demikian tradisi itu berjalan dalam tatanan masyara-
kat yang mayoritas serba curang, namun secara minoritas masih ada
beberapa orang juragan yang mencari keuntungan dengan cara-cara

72 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
yang jujur, hanya saja jumlahnya relatif terbatas. Lalu bagaimanakah
cara untuk bekerja pada mereka? Akankah Muhammad menawarkan
diri kepada mereka? Penolakannya terhadap praktek penipuan dalam
berdagang membuat ia enggan sekali untuk bekerja pada juragan-
juragan yang rakus, meskipun ia harus menanggung resiko beban hidup
yang sangat berat, bahkan mati sekalipun.

g
Untuk kesekian kalinya, Muhammad hidup seorang diri di rumah
pamannya, Abu Thalib. Ia hidup seorang diri tanpa memiliki apa-apa,
selain cita-cita masa depan yang tak menentu dan memori-memori
kelabu kehidupan masa lalu yang diwarnai coretan tinta hitam. Seuntai
kenangan ketika hidup bersama ibunya, kini muncul lagi kepermukaan.
Ibunya yang meninggalkan dia sebatang kara; ayahnya yang tak pernah
dilihatnya; dan kakeknya pun yang sangat menyayanginya, kemudian
ia ditinggal hidup terlunta-lunta seorang diri dalam kehampaan.
Ingatannya melayang-layang hingga pada kenangannya tentang
para penyuluh dan pencari kebenaran sejati yang terisolir dari garis-
garis kehidupan masyarakatnya, sehingga mereka menemui ajalnya
sebagai patriot di padang pasir. Itulah sebuah memori tentang orang-
orang yang berikhtiar untuk membebaskan masyarakat dari belenggu
praktek eksploitatif pada rakyat jelata. Hanya itulah miliknya yang
paling berharga dalam hidupnya. Selain itu, tak ada lagi.
Abu Thalib sudah kehabisan persediaan makanan di rumah, hingga
seluruh anggota keluarganya mencari pekerjaan, sekedar untuk me-
nyambung hidup. Sementara di luar sana, orang-orang kaya menindas
orang-orang yang kekurangan; orang-orang yang berkecukupan meng-
hardik peminta-peminta; dan orang-orang yang kelaparan hidup tanpa
tempat tinggal. Semuanya hidup dalam kesesatan.
Ia berpikir tentang kehidupan, kematian, masa depan, dan ke-
nangan ketika pamannya, Abu Thalib, menerima dirinya dengan berat
hati, lalu berkata kepadanya: “Wahai keponakanku, aku adalah seorang
laki-laki yang tak berharta. Masa demi masa menjerat perjalanan hidup
kita. Tahun demi tahun berlalu tanpa harapan. Kita tak memiliki materi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 73
dan perdagangan. Inilah unta kaummu telah datang untuk bertolak ke
Syam. Khadijah telah mengutus beberapa orang untuk memasarkan
barang dagangannya dan mencari keuntungan. Andaikata engkau ber-
sedia datang kepadanya, sudah tentu ia akan menda­hulukanmu, karena
orang-orang telah menyampaikan kepadanya perihal kesucianmu.”
Muhammad paham betul bahwa yang dimaksud pamannya adalah
Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar perempuan yang kaya-raya
nan cantik jelita yang menyewa orang-orang untuk mengurus barang-
barang dagangannya. Ia dikenal kebaikannya dan kesuciannya, sehingga
pantas jika ia digelari sebagai “perempuan suci”.
Muhammad sebenarnya ingin sekali berdagang barang-barangnya,
tapi Muhammad menolak, karena enggan untuk menawarkan diri ke-
padanya atau untuk meminta-meminta pekerjaan kepadanya. Ia ber-
kata kepada pamannya: “Mudah-mudahan saja ia mengutus kurirnya
untuk menyampaikan masalah itu kepadaku.”
Sang paman menyangkal: “Aku khawatir sekali jika ia akan men-
gangkat karyawan lain.”
Sungguh benar sekali bahwa Khadijah binti Khuwailid -seorang
perempuan terhormat dan kaya-raya itu- adalah saudara sepupu
Waraqah bin Naufal, salah seorang yang menderita mencari kebenaran,
hingga akhirnya ia memeluk agama Kristen. Khadijah nampaknya sangat
terpengaruh dengan ajaran-ajaran yang dibawa Waraqah. Karena itu,
ia tak pernah melakukan praktek pemungutan rente dari modal-modal
usaha perdagangannya yang dipinjamkan kepada pedagang-pedagang
kecil. Ia juga tak pernah dikenal melakukan praktek curang dalam
timbangan dan takaran.
Khadijah telah mendengar perihal perilaku Muhammad. Ia berharap
akan mempekerjakan Muhammad sebagai distributor atas barang-
barang dagangannya. Namun setelah Khadijah mengetahui bahwa
Muhammad enggan sekali untuk menawarkan diri kepadanya, maka
diutuslah seorang kurir untuk menyampaikan inisiatifnya untuk men-
gangkat sebagai karyawan yang bergerak dalam bidang distributor.
Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun; dan dia adalah

74 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
seorang perempuan terhormat. Dalam puncak kecantikannya, ia
teramat sukar untuk didekati. Ia pernah menikah dua kali dengan
saudagar dari kalangan bangsawan Makkah, tapi naas, kedua suaminya
itu meninggal dunia.
Kini Muhammad bin ‘Abdullah merespon positif maksud baiknya.
Muhammad datang menghadap kepadanya. Ketika itu Muhammad
adalah seorang pemuda berwajah tampan berseri-seri, berhidung man-
cung, berdahi lebar, bertubuh tinggi dengan langkah-langkahnya yang
tegap, berbodi sedang, dan berwibawa dengan sorot matanya yang
tajam. Kendatipun ia hidup dalam kemiskinan, namun pakaian yang
ia kenakan nampak terlihat bersih. Rambutnya hitam bergelombang
dan tubuhnya membias bau harum dan aroma yang menyegarkan. Pada
raut wajahnya yang masih baru memasuki masa remaja, menggoreskan
isyarat-isyarat tentang derita kehidupan yang tersimpan, karena beban
kehidupan dan cita-cita panjang yang ia harus lalui.
Khadijah menyambut kedatangannya dengan ucapan selamat
datang, kemudian ia memuji atas kejujurannya, sikap, dan tanggung
jawab, serta latar belakang sejarah kehidupannya yang bersih dari
noda hitam kehidupan masyarakatnya, sebagaimana telah ia dengar
dari orang-orang. Khadijah menawarkan kepadanya untuk membawa
barang-barang dagangannya ke Syam dengan imbalan yang jauh lebih
tinggi di atas imbalan yang pernah diberikan kepada orang lain.
Muhammad menerima tawaran yang disampaikan oleh Khadijah.
Ia berangkat ke Syam dengan membawa barang-barang dagangan
Khadijah. Sekembalinya dari Syam, ia berhasil mengantongi keuntun-
gan yang sangat besar, karena ternyata ia dapat menarik minat para
pembeli untuk berbelanja kepadanya. Ia terapkan cara-cara yang
jujur, tidak mengurangi takaran, baik ukuran maupun timbangan,
dalam melayani para konsumen yang datang berbelanja kepadanya.
Praktek perdagangan Muhammad sangat menyimpang dari cara-cara
yang biasa ditempuh oleh para pedagang lainnya.
Demikianlah Khadijah memperoleh keuntungan dari barang-barang
dagangannya secara berlipat-ganda, di luar perkiraan semestinya atas
kehebatan dan kejujuran Muhammad. Sebagai imbalan atas keberhasi-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 75
lannya, Khadijah pun memberi dua kali lipat dari upah yang semestinya.
Maka terjalinlah hubungan kerja sama yang baik antara Khadijah
dan Muhammad. Sepanjang tahun Muhammad berkali-kali membawa
barang dagangannya. Bahkan pada perjalanan dagang musim dingin
ke Yaman, Muhammad ikut pergi bersama kafilah-kafilah besar yang
terdiri dari tiga ratus orang dan seribu lima ratus unta.

g
Ketika terdengar informasi di Makkah bahwa kafilah dagang musim
dingin dari Yaman telah pulang kembali dengan membawa keuntun-
gan besar, maka keluarlah semua orang Quraisy untuk mengadakan
penyambutan sebagai­mana biasa mereka lakukan. Para penunggang
kuda, penabuh rebana, penari, dan para perempuan berdiri di tepi-tepi
jalan yang akan dilalui kafilah-kafilah itu untuk menyambut kedatangan
mereka.
Sedangkan Khadijah sendiri hanya menyambut para kafilah di
serambi rumahnya. Ia berdiri di serambi rumah dengan didampingi
para hamba sahayanya. Ketika Muhammad tampak di tengah-tengah
iring-iringan kafilah, tiba-tiba hati Khadijah terasa berdebar-debar.
Perasaannya mengakui bahwa sesungguhnya ia menyambut di serambi
rumahnya bukanlah untuk para kafilah, tapi sebenarnya ia menyambut
kedatangan Muhammad, raganya, kepemudaannya, dan kelemah-
lembutan sikapnya. Dia hanya menyambut Muhammad bukan sebagai
orang upahan yang akan menyerahkan keuntungan dari perniagaannya.
Seorang budak Khadijah yang ditugaskan menemani Muhammad,
bercerita banyak tentang perilaku Muhammad yang banyak mengun-
dang perhatian dan daya tarik semua orang, baik kaum lelaki maupun
perempuan. Penuturan tentang perilaku Muhammad yang disampaikan
oleh budaknya membuat perasaan Khadijah semakin tertarik terha-
dap Muhammad hingga dalam hati kecilnya terlontar sebuah kalimat
harapan: “Oh... alangkah bahagianya andaikata ia mau melamarku.”
Akan tetapi, rasa malu, minder, sungkan, perbedaan jenjang usia
yang terlampau mencolok, dan stratifikasi sosial yang sangat senjang
menjadikan idealismenya mendapatkan suatu ganjalan yang cukup

76 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
berat bagi dirinya.
Khadijah secara diam-diam menyuruh Nafisah binti Munabbih
untuk melakukan penjajakan terhadap respon dan sikap Muhammad.
Dengan sikap yang ramah, Nafisah mencoba bertanya: “Wahai Muham-
mad, mengapa engkau tidak segera mencari pendamping hidupmu,
padahal engkau sudah berusia dua puluh lima tahun. Aku yakin setiap
gadis-gadis Quraisy pasti mendambakanmu, karena engkau tepercaya,
pemberani, jujur, dan tampan. Kalau hanya masalah ekonomi yang
membuatmu pesimis untuk mema­suki hidup berumah tangga, maka
aku sarankan kepadamu untuk mencari istri yang kaya-raya, bahkan
lebih dari itu semua. Wanita yang kutawarkan itu berasal dari keluarga
terhormat dan baik-baik.”
Mendengar pernyataan Nafisah, Muhammad menjawab dengan nada
menyangkal: “Ah... siapakah gerangan yang mau menerima diriku,
sedangkan diriku hanyalah orang upahan yang melarat.”
Nafisah menjawab: “Perempuan itu, Khadijah....”
Bagai mimpi di siang bolong, Muhammad hampir-hampir tak per-
caya akan kata-kata Nafisah. Ia berkata: “Mana mungkin Khadijah
dengan kekayaan yang melimpah-ruah akan mau menerima pemuda
miskin seperti diriku ini untuk dijadikan suaminya?”
“Tapi biarlah aku yang mengatur semuanya,” sanggah Nafisah.
Maka Nafisah pun segera pulang untuk menyampaikan kabar gem-
bira ini kepada majikannya, Khadijah binti Khuwailid. Disampaikan
juga kepadanya, bahwa Muhammad menginginkan untuk mempercepat
perkawinannya. Hanya saja ia enggan untuk mengajukan lamaran
karena persoalan ekonomi.
Maka diutuslah seorang kurir kepada Nabi Muhammad untuk me-
nyampaikan pesan lamaran kepadanya.
“Aku menaruh simpati kepadamu karena sikapmu yang familier,
bertanggung jawab, perilakumu yang lemah-lembut, dan kata-katamu
yang jujur,” pesan Khadijah.
Buru-buru Muhammad pergi menemui paman-pamannya untuk me-
nyampaikan perihal lamaran Khadijah. Selanjut­nya, ia pergi bersama

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 77
Hamzah, paman yang paling mencintai dirinya dan sebaya umurnya,
Zubair, Abu Thalib, dan semua pamannya, untuk menemui Khuwailid
bin Asad, ayah Khadijah. Mereka menyampaikan lamaran buat anak
putrinya untuk dijodohkan dengan Muhammad. Ketika itu Khuwailid
sedang minum tuak; dan dalam keadaan setengah sadar, ia setuju dan
menerima lamaran Muhammad.
Tetapi keesokan harinya setelah ayahnya siuman dari mabuknya,
ia bertanya kepada putrinya, Khadijah, tentang kejadian kemarin.
Maka dikatakan oleh Khadijah bahwa ia mengikat dirinya dalam se-
buah pertunangan dengan seorang pemuda bernama Muhammad bin
‘Abdullah. Mendengar penuturan putrinya, Khuwailid langsung emosi
dan me­nyangkal atas keputusan itu: “Orang mana yang mau menjodo-
hkan pemuda miskin itu dengan putrinya yang cantik nan kaya, yang
pernah menolak lamaran bangsawan-bangsawan Quraisy?”
Akan tetapi, Khadijah terus membantahnya dan menyatakan rasa
tidak senang kepada ayahnya, jika sang ayah sampai menggagalkan
apa yang sudah menjadi kesepakatan. Dia berkata: “Aku tak butuh
suami yang kaya. Aku memilih pemuda yang akan menjadi pendaming
hidupku bukan karena harta, tapi karena suara hatinya yang tulus,”
begitulah pernyataan Khadijah kepada ayahnya.
Khadijah tahu bahwa Khuwailid tidak setuju lamarannya dengan
alasan ia menyetujui lamaran dalam keadaan mabuk.
Apa pula khamr itu? Bagaimana mungkin khamr dapat merusak
kesadaran seseorang sampai sejauh ini?
Akhirnya, perkawinan dua sejoli itu pun dapat di­lang­sungkan juga
lantaran Khadijah sanggup memper­tahankan diri di hadapan ayahnya.
Zubair, paman Muhammad, merasakan gembira yang meluap-luap;
budak-budak Khadijah menari; dan unta dipotong di pintu rumahnya
untuk dishadaqahkan kepada fakir-miskin sebagai tanda bahagia yang
tiada tara bagi Khadijah yang telah mem­peroleh segala sesuatu yang
menjadi miliknya untuk dipergunakan semaunya. Hartanya ia shadaqa-
hkan kepada semua orang pada malam itu.
Dalam keharuan dan kegembiraan, Muhammad masih terkenang

78 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
kepada ibunya. Ia mencari Halimah, perempuan yang telah menyu-
suinya, lalu dikirimkanlah empat puluh ekor kambing untuk dijadikan
gembalaannya agar tidak kekurangan lagi hingga ajalnya tiba.
Kini Muhammad hidup senantiasa berada di sisi Khadijah siang dan
malam. Ia telah berpindah seutuhnya dengan cintanya, masa mudanya,
kehidupannya, impian-impian dan obsesi masa depannya ke rumah
perempuan suci itu.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 79
80 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Pengisolasian
di Dinding Tiran

W
ahai anakku, di padang pasir yang ganas dan
bernafas lumpur kutukan, kebohongan, dan
kebejatan, engkau hidup dalam keterasingan. Engkau dalam
keterasingan dan kedukaan! Tiada henti-hentinya engkau merenungi
berbagai fenomena, langit, bumi, dan potret kehidupan, baik kehidu-
pan kaum lelaki, perempuan, maupun anak-anak.
Hidup barumu yang penuh dengan kedamaian bersama seorang
perempuan cantik, suci, lagi bijaksana, yang telah memilihmu sebagai
teman sehidup-semati, hampir tak pernah terlihat senyum kebahagiaan
di bibirmu, sehingga timbul gelombang-gelombang dahsyat yang sulit
dipahami dari kedalaman jiwamu. Tiba-tiba senyum di bibirmu menjadi
beku. Tatapan indah bola matamu membelah kebisuan. Kedua belah
tanganmu yang kekar perkasa melambai-lambai dalam kehampaan.
Dari kedua pelipismu, mengucur keringat deras. Sorot tatapan matamu
yang tajam memancarkan seberkas cahaya yang menggentar­kan,
seakan-akan ada sebuah sinar dari keghaiban menyelimutimu, sehingga
wajahmu yang merah merona terlihat galau menanggung beratnya

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 81
beban berbagai hal.

Wahai Anakku, penyairkah engkau?


Adakah sebuah inspirasi telah timbul dalam dirimu
dalam keheningan?
Tapi dirimu selama ini belum pernah melantunkan syair
Tak seorang pun yang menduga bahwa dirimu
akan melantunkan syair-syair di kemudian hari
Betapa tabahnya dirimu!
Betapa dukanya dirimu!
Betapa nestapanya dirimu!
Bukankah hidup ini indah?
Untuk apa harus berduka?
Dulu engkau hidup serba kekurangan, suka mengangkut batu. Eng-
kau juga menjadi penggembala kambing milik orang lain, di bawah terik
sinar matahari yang tak pernah berbelas-kasihan menyengat tubuhmu,
menggembara untuk keuntungan orang lain dan bekerja berat dengan
seluruh kekuatan fisikmu. Tapi sejak hari ini, engkau telah memiliki
sesuatu yang membuat dengki seluruh pemuda Quraisy dengan peker-
jaan gampang yang telah memberimu lebih dari apa saja yang kamu
butuhkan, istri yang mencintai dan senantiasa memperhatikanmu, baik
di kala engkau dekat maupun jauh. Seluruh harta kekayaan, kebesaran,
dan hidup­nya, kini telah menjadi milikmu semua. Dialah seseorang istri
yang akan menjaga dan mencukupi segala tuntutan masa remajamu.
Dia pula yang menjaga pen­dengar­anmu. Dialah perempuan yang dapat
memberi belai kasih sayang mesra seorang ibu yang tak pernah eng-
kau rasakan sejak masa kecilmu. Dia memberi nikmatnya kehidupan
yang dapat menyegarkan hausnya gairah remaja seusiamu dan dapat
menunjukkan agungnya sifat kebapakan darimu.
Kehadiran perempuan itu dapat menggantikan seluruh duka ne-

82 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
stapa yang pernah menimpa pada masa kecilmu. Dialah santapan yang
menyegarkan hausnya kejantanan.
Setelah sekian lama engkau mengembara di bawah terik panas
matahari, kini saatnya engkau bersuka ria dalam sebuah rumah yang
dipenuhi dengan suasana bahagia dan lucunya anak-anak. Di tempat
tidurmu, seorang perempuan suci dan senantiasa mendambakan cinta
kasihmu telah siap memberi segala yang menjadi keinginanmu.
Jika demikian realitas yang terjadi, lantas dari manakah sumber
kegalauan yang menyelimuti raut wajahmu dari hari ke hari? Bukankah
usaha perdagangan Khadijah kian hari kian berkembang pesat dalam
kekuasaanmu? Begitu pula sebaliknya, penghasilanmu kian menumpuk
di bawah kekuasaannya.
Engkau telah menjadi seorang ayah bagi anak-anak. Engkau kini
bebas berdagang sesuka hatimu, tanpa harus mengurangi sukatan atau
timbangan. Karena kejujuran itulah hingga engkau mendapat predi-
kat dari kaummu dengan sebutan “Al-Amin”. Tidak sedikit di antara
mereka yang mengikuti jejakmu.

g
Tapi hidup ini bukan hanya sebuah rumah mewah sebagai tempat
tinggal, bukan hanya karena istri cantik, baik budi, dan mencintai,
serta bukan pula hanya karena anak-anak yang memenuhi kebahagiaan
hati.
Sungguh, semua fasilitas itu merupakan ketenangan yang akan
menghiasi sebuah rumah tangga. Tapi fenomena kehidupan di luar
pintu sedang mengalami goncangan dahsyat yang sangat melukai hati
yang tenang.
Pasca menikmati bulan madu, engkau telah memperoleh ketenan-
gan dan ketenteraman yang mampu mengisi kehidupanmu, seorang
istri yang cantik dan baik hati, serta anak-anak kecil yang memberi
rasa bahagia bagi orang yang melihatnya. Akan tetapi, duniamu yang
luas, tempat tinggal hidupmu, tak pernah berada dalam ketenangan
dan ketenteraman. Semuanya sama sekali tak ada yang membahagia-
kanmu. Kondisi ini adalah sebuah kontradiksi yang membelah di antara

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 83
rumah dan alam di sekitarmu.
Akan tetapi, kehidupan di rumahmu mampu memberi kekuatan
untuk menghadapi sebuah dunia yang menjadi tempat berkocolnya
kebohongan. Kehadiran Khadijah dalam hidupmu sangat berarti sekali
setelah setahun engkau jalani kehidupan berumah tangga. Karenanya,
kian dalam pula cintamu. Segala bentuk kepalsuan dan kebohongan,
engkau hadapi bersamanya.
Berdua engkau peroleh kelapangan hidup dan berdua pula engkau
telah kehilangan anak. Keringat dan air matamu bercampur jadi satu.
Dia, istrimu, menangis di pundakmu, ketika Qasim –buah cintamu– men-
emui ajalnya. Ketika itu pula, engkau tak mampu menahan iba hingga
akhirnya engkau pun menangis di pundaknya. Lalu dia menghapus air
mata yang menetes di pipimu, kemudian dia memberi­mu anak-anak
yang lain.
Jika para bangsawan Quraisy tidak mempunyai rasa solidaritas
sama sekali pada persoalan intelegensia dan kerja, namun istrimu
justru sangat memperhatikan intelegensia dan kerjamu. Dialah yang
telah membersihkan dirimu dari kotornya kehidupan yang diwarnai
dosa, foya-foya, perjudian, dan pelacuran.
Wahai Abul Qasim, kini engkau tak ingin membebaninya lagi den-
gan persoalan yang menggalaukan batin, setelah kematian anakmu,
Qasim. Biarkan perempuan agung itu dalam duka kematian anaknya
(jangan beri beban lagi), sebab beban batin yang harus dipikulnya
terasa teramat berat baginya!
Betapa berat beban batin yang harus engkau pikul, wahai Anakku!
Apa rencanamu selanjutnya?
Membicarakannya bersama sahabat karibmu yang bernama Abu
Bakar.
Abu Bakar bin Abi Quhafah adalah satu-satunya orang di antara
para pemuda Quraisy yang setia dan tulus hati kepadamu. Karena itu,
engkau dapat mencurahkan segala beban persoalan yang terpendam
di dalam hatimu kepada­nya. Dia adalah orang yang mempunyai kohe-
sifitas sosial dalam hal ikhtiar pembebasan seperti dirimu juga. Dia

84 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
orang yang mempunyai keyakinan bahwa patung-patung itu hanyalah
batu-batu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak akan pula
mencelakakan. Ia sudah pernah mengutarakan semua itu kepadamu.
Engkau pun juga tahu bahwa ia tak pernah menyembah patung-patung
itu. Tiada henti-hentinya ia menceritakan pertama kali pertemuannya
dengan patung-patung itu kepada teman seusianya yang tidak percaya
pada patung-patung itu.
Sewaktu dia (Abu Bakar) masih kecil, ayahnya pernah membawanya
pada suatu tempat seraya berkata: “Inilah tuhan-tuhanmu sebagai
sesembahan yang paling agung.” Kemudian ia meninggalkan ayahnya.
Setelah si kecil –Abu Bakar– mendatangi tuhan-tuhannya, ia berkata
kepada salah satu patung-patung itu: “Aku lapar. Berilah aku makan!”
Tetapi apa yang terjadi, ternyata patung itu diam saja membisu seribu
bahasa. Si bocah kecil melanjutkan kata-katanya lagi: “Aku telanjang.
Berilah aku pakaian!” Karena patung itu tidak menjawab, si bocah
kecil lalu me­lemparkan sebongkah batu. Karenanya, patung itu roboh
dalam kondisi tertelungkup. Sejak si bocah kecil melihat sebuah pa-
tung yang roboh tertelungkup ke bumi, sejak itu pulalah ia tidak mau
menyembah tuhan yang tuli dan lemah yang dapat dirobohkan oleh
anak kecil dengan sekali pukulan saja.
Tetapi Abu Bakar tidak tergolong anak kecil, bukan pula anak yang
telanjang, dan bukan pula anak yang kelaparan. Kini dia telah melalui
usia tiga puluh tahun seperti dirimu, wahai Muhammad! Dia pernah
pergi bersamamu dalam suatu perjalanan dagang. Dalam usianya yang
relatif muda, ia telah berhasil meraih posisi sebagai bangsawan. Ia
terus menekuni usaha perdagangan miliknya sendiri dan mengikuti
jejak-jejakmu dalam praktek jual beli, seperti dalam menakar dan
menimbang; dia tak pernah melakukan pengurangan dalam sukatan
dan timbangan.
Ia juga tak pernah melakukan cara-cara bohong. Kalian berdua
sama-sama memendam sikap anti terhadap tindakan para bangsawan
Quraisy. Engkau berdua sama-sama mendambakan terciptanya sebuah
dunia yang menjunjung keadilan; sebuah dunia di mana sudah tak ada
lagi si pembesar menjerat leher si kecil; tak ada lagi seorang pemberi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 85
utang yang merendahkan martabat orang yang punya utang; tak ada
orang kuat yang bertindak semena-mena kepada si lemah. Kalian
berdua sama-sama mendam­bakan kedudukan yang lebih terhormat
bagi kaum perem­puan, lebih dari sekedar pemuas nafsu birahi kaum
pria belaka.
Engkau berdua sama-sama mengetahui realitas sosial tersebut
dan merasakan suatu keprihatian yang mendalam terhadap sistem
sosial yang berlaku di Makkah. Semua itu tiada henti-hentinya engkau
renungkan.
Sedangkan Abu Bakar mempelajari secara serius literatur-literatur
orang-orang terdahulu yang sampai kepadanya. Alangkah beruntungnya
dia, karena kehidupan telah memberi kesempatan belajar membaca
dan menulis. Semua ini berbeda dengan kondisi dirimu. Abu Bakar
senantiasa membaca dan menghafal berbagai referensi yang sampai
kepadanya. Perjalanan dagangnya dijadikan kesempatan untuk me-
nambah pengetahuan, sehingga saat ini dia menjadi pemuda Quraisy
yang paling banyak memahami masalah-masalah tentang seputar
kebudayaan; dan engkau sendiri mengagumi kepiawaiannya.
Engkau berdua sama-sama mengetahui bahwa yang menjadi faktor
dominan tetap bercokolnya patung-patung di sekeliling Ka‘bah lantaran
suasana kehidupan dan sistem perdagangan masyarakat Quraisy. Para
penjaga patung-patung Ka‘bah itu adalah biang keladi kebobrokan
masya­rakat Quraisy yang menganut sistem kehidupan amoral. Patung-
patung itulah yang telah memberkati aturan-aturan ini. Sementara
terhadap selain norma-norma yang telah ditentukan, patung-patung
itu sama sekali tak akan mentolerir. Patung-patung itu yang menarik
beribu bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk menunaikan ibadah
haji, membayar pajak kepada para bangsawan Quraisy, dan meramaikan
musim haji dengan perdagangan, sehingga dengan aturan-aturan itu
bertambahlah kekayaan para bangsawan Quraisy dari tahun ke tahun,
walaupun sebenar­nya sebagian dari kalangan masyarakat Quraisy telah
melan­carkan kritik tajam terhadap pola hubungan sosial para elite
penguasa dengan rakyat jelata serta mengecam patung-patung yang
memberikan legitimasi pada aturan-aturan ini.

86 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Kekayaan kota Makkah berada dalam genggaman segelintir orang
saja, sementara orang-orang yang berada dalam penderitaan jum-
lahnya bisa mencapai berpuluh-puluh ribu orang. Semua ketimpangan
sosial ini diberikan legitimasi oleh patung-patung Ka‘bah.
Siklus roda-roda kehidupan di Makkah dan ekspansi dalam bidang
perdagangannya kian mempertajam ketim­pangan sosial ini, di mana
yang kaya semakin bertumpuk kekayaannya, sementara mayoritas
penduduk yang hidup dalam kemiskinan semakin tenggelam dalam
jurang pen­deritaan, sehingga membuat hati kaum tertindas semakin
muak terhadap kehidupan yang menjerat mereka. Semua orang tahu
bahwa semua ini adalah kebathilan yang nyata.
Patung-patung Ka‘bah tidak mampu lagi mengisi hati manusia dan
memuaskan kehidupan spritual mereka. Relasi yang terjalin antara
sang penguasa dan rakyat jelata dan antara si kaya dan si miskin sudah
dipandang sebagai pola hubungan sosial yang tak layak lagi direalisasi-
kan untuk masa-masa yang akan datang. Para penduduk Makkah yang
berada dalam kemiskinan memahami bahwa kenyataan hidup yang mer-
eka jalani adalah kehidupan yang menindas dan tiranik. Mereka juga
paham bahwa tuhan-tuhan yang banyak itulah yang telah melindungi
kondisi sosial yang bercorak penindasan ini, sehingga menyebabkan
kian bertambah jurang kemiskinan mereka dan bertambah investasi
kekayaan orang-orang kaya. Dialah tuhan-tuhan yang biadab! Dialah
tuhan yang keji!
Rakyat kecil yang hidup dalam kesusahan dan keter­purukan telah
menyadari sepenuhnya bahwa untuk mem­berikan solusi dari gejolak
sosial kiranya perlu sistem hubungan sosial yang lebih manusiawi dan
nilai-nilai spiritual baru. Sebuah sistem sosial yang baru tersebut sangat
dituntut kemampuannya untuk menegakkan pola hubungan sosial yang
stabil dan seimbang.
Tapi yang jelas, para pembesar Quraisy tidak akan pernah tol-
eran dan takkan pernah membiarkan aturan yang arif dan bijaksana
ini terus berkembang di tengah-tengah masyarakat Quraisy. Bahkan
sebagian dari pembesar Quraisy sengaja menghindar dari perbuatan-
perbuatan terpuji sebagai upaya membendung berbagai reaksi sosial

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 87
dan memadamkan berbagai cahaya yang akan bersinar dalam dinding
kepekatan tersebut.
Seorang bangsawan Quraisy yang bernama Khaththab bin Nufail tak
mau lagi melindungi tetangga yang satu kabilah dengan dirinya. Bahkan
ia tidak mau lagi menampung keponakannya yang bernama Zaid bin
‘Amr bin Nufail, karena ia berani gencar melakukan aksi kritik terhadap
nilai-nilai spiritual yang dianut oleh pembesar Quraisy, patung-patung,
berhala-berhala, politheisme, dan sisitem sosial masyarakat Makkah.
Di samping itu, karena keponakannya menuntut semua terciptanya
keadilan dan sistem nilai-nilai spiritual baru yang dapat menjawab
tuntutan dan kebutuhan bagi perkembangan masyarakat Makkah. Den-
gan demikianlah, setelah disiksa oleh orang-orang bodoh itu, akhirnya
Zaid dibuang ke padang pasir agar ia mati terasing dan sia-sia.
Wahai Muhammad, engkau tangisi kepergian Zaid. Demikian pula
Waraqah bin Naufal, Khadijah, dan Abu Bakar, turut berduka cita atas
kepergiannya.
Di antara orang-orang yang berpaling dari patung-patung itu dan
mengecam kebejatan kaumnya adalah Umayyah bin Abi Shalt. Secara
tegas Umayyah menyatakan bahwa tuhan-tuhan Ka‘bah tidak mampu
mengisi keham­paan batin yang dirasakannya. Akan tetapi, agar tetap
hidup, secara terpaksa Umayyah memuji-muji orang kaya Tsaqif di
Thaif dan orang-orang kaya Quraisy di Makkah yang sebelumnya ia
kritik melalui syair-syairnya.
Setelah kepergian Zaid, masih banyak lagi orang yang menentang
kebathilan, seperti Khalid bin Sinan yang menyerukan kepada kaumnya
agar mereka mau meninggal­kan kehidupan yang kotor, hidup saling
menolong antar sesama, dan tidak menindas kaum lemah. Kepada
mereka dikabarkan juga kerajaan langit. Dia berharap agar mereka
meningggalkan patung-patung itu dan hanya menyembah Tuhan Yang
Maha Esa yang menguasai segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi, tetapi mereka mengabaikannya.
Pada mulanya mereka hanya mengejeknya, tetapi kemudian ketika
mereka menemukan orang yang mengikuti ajakannya, maka mereka
menyiksanya hingga meninggal dunia. Mereka minta kepadanya agar

88 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
minta tolong kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diajarkan, supaya
Tuhan yang dipercayainya dapat menyelamatkan dari siksaan mereka.
Maka demikianlah, Khalid bin Sinan menutup kedua belah mat-
anya yang mengucurkan darah dalam obsesinya tentang sebuah dunia
yang menjunjung tinggi keadilan dan nilai-nilai spiritual yang diidam-
idamkan.
Para pemegang kekuasaan Makkah yang terdiri dari para rentenir
dan pedagang-pedagang besar niscaya akan pergi bagaikan ikan-ikan
buas menelan ikan-ikan kecil yang menggigit daging segar dan kian
menambah pertumpahan darah. Tetapi rekayasa sosial yang dilakukan
oleh penyuluh agung itu tak ubahnya selaksa upaya menambal baju
kumal yang compang-comping dan tak dapat dipakai lagi. Mereka
tak ubahnya melakukan rehabilitas sebuah bangunan yang reot yang
menuntut rehabilitasi total, di mana kemudian hari dibangun lagi
dengan sebuah konstruksi yang baru sama sekali.
Para penyuluh-penyuluh agung itu berikhtiar untuk melakukan
renovasi terhadap masyarakatnya, sementara itu masyarakatnya
menuntut suatu revolusi total hingga ke akar-akarnya, kemudian
menciptakan sebuah tatanan konstruksi baru, pola hubungan sosial
dan sistem nilai-nilai spiritual baru yang dapat mengikis mitos-mitos,
menghapus dominasi ideologis manusia atas manusia lainnya, dan
membasmi patung-patung dengan seluruh pelayan-pelayannya serta
orang-orang yang memegang otoritas terhadap jalan kehidupan orang
lain yang mengatas-namakan patung-patung itu.
Dalam tatanan sosial baru tersebut tidak dibenarkan lagi ada orang
yang menggantungkan hidupnya pada seseorang atau alam; dan juga
tak layak lagi seseorang menyerahkan pekerjaannya kepada seseorang
yang mengatur seluruh aktivitasnya. Demikianlah karena setiap manu-
sia sama-sama memiliki hati untuk memahami, memiliki mata untuk
melihat, dan memiliki akal untuk berpikir secara logis. Setiap manusia
harus menjaga dirinya dari kenistaan dan menjaga kondisi badannya
dari segala sesuatu yang membahayakan. Janji yang diucapkannya dan
hak sesama manusia harus dihormati. Setiap manusia mempunyai hak
untuk hidup bebas.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 89
Oleh karena itu, Muhammad bin ‘Abdullah tidak mau memiliki
budak-budak. Ia sangat menekankan kepada istrinya agar memper-
lakukan budak-budaknya sebagaimana layaknya orang yang merdeka
dan tidak lagi menyebut-nyebut mereka dengan sebutan budak atau
pelayan.
Ketika Khadijah membeli seorang budak laki-laki yang bernama
Zaid bin Haritsah, Muhammadlah yang membayar­nya, lalu ia di-
merdekakan olehnya, kemudian diangkat sebagai anaknya. Pada saat
Zaid telah menemukan ayah kandungnya, Muhammad memberikan
kebebasan baginya untuk memilih antara tetap tinggal bersama atau
kembali kepada keluarganya. Namun akhirnya, Zaid mengambil kepu-
tusan dan memilih tetap tinggal bersamanya dan menjadi anak ang-
katnya. Dengan demikian, tak dapat dielakkan lagi betapa pentingnya
mewujudkan suatu etika sosial yang menjunjung tinggi kejujuran dan
mengikis habis sebuah pengkhianatan.
Dalam kehidupan masyarakat yang baru tersebut, prinsip amanat
dan melindungi hak asasi setiap orang tanpa diskriminasi antara ras
yang berkulit hitam dan berkulit putih, antara bangsawan dan si budak,
antara si kaya dan si miskin, antara laki-laki dan perempuan, telah
direalisasi­kan dengan baik.
Dalam tatanan sosial baru tersebut, kepentingan sosial harus
mendapatkan perlindungan. Dengan demikian, dituntut adanya pemer-
iksaan terhadap pelaku pencurian dan penindasan, di mana seorang
yang melakukan peng­khianatan harus mendapat balasan terhadap dosa
yang dilakukannya. Seorang pelaku tindak kriminal pembunuhan harus
dibunuh pula tanpa adanya diskriminasi antara si kaya dan si miskin,
bahkan setiap perbuatan yang melukai orang lain harus dikenakan
hukum qishas.
Demikian pula dalam tatanan sosial yang baru tersebut, semua
kepentingan keluarga harus pula dilindungi. Oleh karena itu, bagi
pelaku perbuatan zina harus dijatuhi hukum pidana. Dalam konteks
tersebut dituntut pula adanya perlindungan terhadap kehormatan
perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga, seorang istri,
teman hidup, dan tumpuan hati. Maka tak dibenarkan lagi seorang

90 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
perempuan menyerahkan diri kepada seorang laki-laki untuk suatu
waktu tertentu, kemudian setelah laki-laki itu puas menikmati tu-
buhnya ternyata perempuan itu ditinggal­kan begitu saja. Poliandri tak
dapat dibenarkan lagi. Para janda harus mendapatkan perlakuan yang
terhormat. Para janda tidak dapat lagi dipaksa untuk memilih seorang
pria sebagai suaminya, terkecuali mereka memang mencintai­nya.
Seorang istri harus mendapatkan perlakuan yang ter­hormat sebagai
seorang manusia yang sama-sama membu­tuh­kan, bukan hanya sebagai
pemuas nafsu birahi belaka.
Dalam tatanan masyarakat baru tersebut tak dapat dibenarkan
lagi para perempuan memancangkan umbul-umbul di depan rumahnya
untuk menjemput kehadiran kaum laki-laki, lalu bila perempuan itu
hamil dan melahirkan anak, maka nasab anaknya dikaitkan dengan
laki-laki yang menyerupai wajahnya.
Semua itu adalah perbuatan keji, nista, dan hina. Masyarakat harus
menghindari semua perilaku-perilaku tersebut. Dalam kondisi yang
sudah demikian parah bobroknya, maka rekayasa sosial yang bersifat
rehabilitasi atau renovatif merupakan suatu solusi yang tidak kondusif.
Oleh karenanya, tak ada cara lain lagi selain melakukan rekayasa se-
cara revolusioner dan totalitas untuk kemudian direkonstruksi dengan
sebuah konstruksi sosial baru.
Dengan demikian, dituntut adanya gerakan pembasmian praktek-
praktek riba, kenistaan, kebejatan, penindasan, dan sikap arogansi
para penguasa, sehingga pada akhirnya gerakan tersebut dapat
mewujudkan tegaknya keadilan, terbebasnya manusia dari perlakuan
sewenang-wenang dan rasa takut, terbebasnya akal dan hati manusia
dari cengkeraman patung-patung dan kekuasaan yang bersem­bunyi
di balik patung-patung itu, serta terciptanya prinsip-prinsip pola
hubungan sosial antara pria dan perempuan yang sama-sama berposisi
sebagai manusia.
Hanya saja, bagaimana cara mewujudkan rekayasa secara revolu-
sioner itu?

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 91
Semua problema sosial ini sudah cukup lama menjadi perbincan-
gan antara Muhammad bin ‘Abdullah dengan shahabat karibnya yang
bernama Abu Bakar. Mereka berdua pergi dalam perjalanan dagang
bersama-sama. Mereka bersama-sama mendatangi dan menyaksikan
para pendeta dan tukang-tukang tenung di manca negara. Berdua, mer-
eka banyak menyadap informasi. Berdua, mereka sama-sama berjalan
di atas keadilan, kejujuran, dan amanat. Berdua, mereka menangisi
peristiwa yang menimpa para penyuluh terdahulu. Berdua, mereka
sama-sama menjauhi kaum pria dan perempuan yang berthawaf di
sekeliling Ka‘bah dalam keadaan telanjang dan saling berhimpitan
satu dengan yang lainnya di Baitul Haram. Berdua pula mereka dalam
impian panjang tentang kebebasan.

g
Rombongan dagang dari Makkah berangkat menuju ke Romawi
dan Yaman. Sementara di pasar-pasar Makkah berkumpul pedagang-
pedagang dari Mesir, India, Syam, dan Asia Tengah. Di pasar-pasar
telah beredar berbagai cerita-cerita yang aneh. Para pedagang Mesir
meceritakan tentang guru perempuan di Iskandariyah yang mengajar-
kan filsafat untuk berpikir secara rasional dari perguruan tinggi.
Guru perempuan tersebut banyak mengundang per­hatian para pe-
lajar. Maka berkumpullah para pelajar mengelilingi si guru perempuan
tadi dengan penuh rasa kagum terhadap ajakan-ajakan dan perjalanan
hidupnya. Ketika itu guru perempuan tersebut berumur empat puluh
lima tahun. Ia memiliki paras ayu, anggun tiada duanya. Tetapi para
tukang tenung dan para pendeta yang memegang otoritas terhadap hati
semua manusia, merasa terancam posisinya oleh ajakan-ajakan yang
disampaikan guru tersebut. Karena guru perempuan itu melancarkan
kecaman, maka kehadirannya dianggap akan menjadi sumber perusak
kekayaan oleh para tukang tenung dan para pendeta, sebab jika akal
sudah dapat mengemban fungsi berpikir, maka akal akan menjadi alat
pengendali semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Karena
itu, lenyaplah kedudukan dan harta mereka.
Para tukang tenung berusaha untuk mendiskreditkan dan menodai

92 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
kehormatannya, tetapi aksi mereka tidak mempan. Dengan kecantikan-
nya yang memukau, guru perempuan itu tetap terpelihara kehormatan-
nya di tengah-tengah masyarakat yang jarang menjaga kehormatannya.
Ia sangat tanggap terhadap berbagai tipu muslihat. Akhirnya, mereka
tak berhasil memperdayakannya.
Karena tak menemukan cara untuk menyingkirkan guru perempuan
tersebut, maka akhirnya mereka melakukan agresi ke rumah guru
perempuan itu, lalu membunuhnya. Demikianlah, suara akal di Mesir
yang menganut ajaran monotheisme, beriman kepada ‘Isa Al-Masih,
dan men­dirikan sebuah kota “Akhtanun” untuk Tuhan Yang Maha Esa,
telah dipadamkan.
Di negeri-negeri lainnya juga terjadi pengusiran atau penjatuhan
hukuman terhadap orang-orang yang mengem­bangkan pola berpikir
rasional.
Para pedagang dari Romawi menceritakan pula tentang munculnya
para missionaris agama yang melakukan aktivitas dakwah di tengah-
tengah mereka. Dalam dakwahnya, para missionaris tersebut men-
gatakan bahwa alam ini tunggal dan menunggal, dahulu tak berawal,
tidak diciptakan oleh manusia dan Tuhan. Alam ini ada dan hidup akan
terus menyala, lalu pada akhirnya akan padam menurut aturan-aturan
hukum alam yang telah ditentukan. Semua realitas dan aturan-aturan
alam ini hanya dapat disingkap dengan kekuatan dan fungsi akal.
Orang yang mengembangkan ketuhanan selain api, di negeri Persia
akan dilemparkan ke dalam api.
Sementara di Ka‘bah orang yang menentang kekuasaan orang-
orang yang mengambil keuntungan dari patung-patung Ka‘bah akan
dijatuhi pidana mati atau dibuang ke gurun sahara atau martabatnya
didiskreditkan. Para pemegang otoritas ini hanyalah beberapa gelintir
orang saja dari kalangan rentenir terkemuka di tengah masya­rakat
Quraisy. Tak seorang pun yang tidak hidup dalam lumpur dosa. Mereka
menentukan jalan kehidupan berpuluh ribu laki-laki, perempuan, dan
anak-anak.
Kondisi dunia yang sudah sedemikian parah, rekayasa inovatif atau

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 93
rehabilitatif tak akan berarti banyak. Untuk itu, mesti dilakukan suatu
akselerasi atau reformasi secara total yang mampu merekonstruksi
tatanan itu. Kini hati semua orang telah siap menyambut reformasi
tersebut, kecuali segelintir orang yang memperoleh keuntungan dari
kondisi sosial yang penuh ketimpangan ini.
Ketika itu Muhammad memiliki citra dan reputasi yang baik. Tak
sedikit pun ia memiliki kejelekan. Dia tepercaya dan jujur. Karena
teramat jujurnya, andaikata ia menga­takan ada seekor keledai datang,
sementara itu orang-orang di sekitarnya tak melihat apa-apa, sudah
tentu mereka akan mempercayai kata-katanya dan takkan memper-
cayai mata mereka sendiri.
Keluhuran budi pekerti Muhammad yang tak pernah ada sebelum-
nya, kini popularitasnya menjadi tersebar luas di tengah masyarakat-
nya. Ia hanya mempunyai seorang istri, yaitu Khadijah binti Khuwailid,
padahal sekarang usianya sudah mencapai lima puluh tahun. Dalam
usianya yang telah melewati usia remaja, ia sama sekali tak pernah
berpikir untuk melukai perasaan istrinya dengan mencari istri muda,
tidak seperti kebanyakan kaumnya yang biasa mempunyai gundik. Ia
tidak terpikat kepada perempuan lain selain istrinya walaupun pada
masa remajanya banyak gadis tergila-gila pada ketampanannya.
Sikap keberpihakan Muhammad terhadap orang-orang yang tertin-
das, telah menyadarkan Zubair bin ‘Abdul Muththalib, salah seorang
pamannya yang tergolong pembesar Makkah, untuk memberikan per-
tolongan kepada seorang saudagar asing (luar Makkah) yang dirampas
dagangannya. Saudagar yang dirampas dagangannya itu melakukan
demo dengan cara berkeliling Ka‘bah sembari melantunkan sebuah
syair:
Wahai keluarga Fihr!
tolonglah orang yang dirampas barang dagangannya
di tengah-tengah kota Makkah
yang jauh rumahnya

94 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
dan jauh pula sanak saudaranya
Akhirnya, barang-barang dagangan yang dirampas itu dikembalikan
lagi kepada saudagar itu.
Dengan kegigihannya, Muhammad dapat membuat sebuah kes-
epakatan dengan sebagian masyarakat Quraisy di bawah pimpinan
Bani Hasyim. Dalam kesepakatan tersebut dinyatakan bahwa mereka
akan memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap orang-orang
yang diperlakukan sewenang-wenang di Makkah, baik orang tersebut
penduduk Makkah maupun pendatang, hingga haknya dikembalikan
lagi kepadanya.
Muhammad bin ‘Abdullah dalam persoalan ini adalah seorang arif
dan bijaksana. Ketika terjadi sebuah konflik yang nyaris memporak-
porandakan mereka, maka dengan kearifannya ia mampu menyelamat-
kan manusia dari malapetaka. Gelombang konflik itu muncul tatkala
masyarakat Quraisy akan merehab Ka‘bah setelah hangus terbakar
api. Pada saat penggalian pondasi dilakukan, salah seorang di antara
mereka menemukan sebuah batu tua yang bertuliskan kata-kata yang
tidak mereka pahami. Akhirnya, mereka menyerahkan batu tersebut
kepada orang yang punya banyak pengalaman ke berbagai manca
negara dan yang tahu berbagai macam bahasa. Di atas lempeng batu,
tertulis beberapa kalimat yang berbunyi: “Siapa menanam kebajikan
pasti ia akan menuai kebajikan. Siapa yang menanam keburukan, sudah
pasti akan menuai penyesalan. Mungkinkah kalian akan mendapatkan
imbalan kebajikan, padahal kalian semua melakukan keburukan? Maka
jawabannya pastilah ‘tidak’. Buah anggur takkan pernah dipetik dari
pohon berduri.”
Muhammad menyarankan kepada masyarakat Quraisy agar mau
mengambil pelajaran dari ungkapan yang tertera di atas batu tua
tersebut. Generasi-generasi sebelum mereka telah memberikan sebuah
pengalaman hidup. Semestinya mereka mengenang kembali dan men-
jadikannya sebuah peringatan, jika mereka orang-orang yang berpikir
waras.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 95
Setelah rehab Ka‘bah selesai, maka sampailah mereka pada
peletakan Hajar Aswad (batu hitam). Mereka kembali terlibat dalam
perselisihan sengit mengenai orang yang pantas meletakkan Hajar
Aswad tersebut ke tempatnya. Karena sangat sengitnya perselisihan
pendapat di antara mereka, hampir saja terjadi perang saudara. Pada
saat munculnya konflik tersebut, tiba-tiba muncul pendapat dari orang
yang paling sepuh di antara mereka. “Serahkanlah persoalan yang
kalian perselisihkan itu kepada orang yang masuk paling awal.”
Ternyata setelah dicari-cari, maka orang yang masuk pertama kali
adalah Muhammad bin ‘Abdullah. Setelah mereka tahu bahwa yang
masuk paling awal adalah Muhammad, mereka berkata: “Kita semua
setuju. Ini dia orang yang tepercaya. Ini dia Muhammad.”
Lalu disampaikanlah masalah yang dipersengketakan mereka ke-
pada Muhammad. Setelah mempelajari dengan seksama masalah yang
dikemukakan mereka, Muhammad lalu berkata: “Berikanlah kepadaku
sehelai kain.”
Ia kemudian mengambil Hajar Aswad, lalu diletakkan di atas seh-
elai kain tersebut, kemudian Muhammad berkata lagi: “Silakan setiap
kabilah memegang salah satu pojok kain ini.”
Demikianlah, akhirnya perselisihan pendapat di antara mereka
dapat diselesaikan secara mulus. Para pembesar yang kaya-raya itu
merasa puas terhadap pendapat yang dikemukakan pemuda miskin. Ma-
syarakat Quraisy benar-benar mengagumi kearifan dan kebijakannya.
Mereka tunduk pada pendapatnya. Mereka bangga pada sikapnya yang
jujur dan tepercaya di tengah kondisi sosial yang sangat mencekam
sekali dekadensi moralitasnya.
Mudah-mudahan mereka kini akan mau memberi makan kepada
orang yang lapar, bersikap adil kepada orang yang lemah, tidak me-
nindas siapa pun, menjaga kesucian dirinya, dan memberi kepada
orang-orang yang meminta-minta. Mereka tidak lagi melantarkan
anak-anak yatim dan tidak lagi makan harta orang-orang miskin dan
lemah.
Dan akhirnya, mudah-mudahan mereka akan mendapat pertolongan

96 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
dari ungkapan bijak yang tertera pada lempengan batu tua itu bahwa
manusia tidak akan dapat memetik anggur dari pohon berduri.
Kini beban kehidupan terasa berat di pundaknya. Ia tak lagi men-
emukan keindahan, selaksa menunggu setetes air kehidupan baru yang
tak kunjung datang.
Abu Bakar telah menceritakan kepadanya tentang pertemuan
Umayyah bin Abi Shalt dengan Zaid bin ‘Amr bin Nufail di pelataran
Ka‘bah beberapa waktu yang telah silam. Ketika itu Zaid bin ‘Amr
tiada henti-hentinya memikirkan langkah-langkah strategis untuk
memberantas kepercayaan politheisme yang dianut masyarakatnya.
Suatu ketika ia pernah didatangi Umayyah.
“Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai sang pencari kebenaran,”
sapa Umayyah.
“Baik,” jawab Zaid.
“Apakah engkau telah menemukannya?”
“Belum, keluargaku juga sedang mencari. Sesungguhnya yang
ditunggu-tunggu dari kita atau dari kalian atau dari penduduk Pales-
tina,” pungkas Zaid
Situasi kehidupan saat itu telah siap menunggu hadirnya seorang
penyelamat baru. Para penyebar ajaran-ajaran baru di zaman lam-
pau telah menyampaikan seruan-seruan mereka dengan lantang dan
ditopang oleh argumentasi yang kuat. Tetapi di dalam hati, mereka
mempercayai bahwa harus ada seseorang yang harus menyampaikan
kata-kata kebenaran yang dapat menyinari kegelapan dan mengubah
wajah dunia.
Sementara itu, tak seorang pun dari mereka yang berani tampil
untuk mensosialisasikan keyakinan mereka dan melakukan gerakan-
gerakan di bawah panji-panji mereka. Tiada hentinya mereka men-
ganalisis dan menjelaskan tentang kebaikan, tetapi tak seorang pun
dari mereka yang berani menanggung resiko untuk membebaskan
penindasan yang melilit leher kaum tertindas. Mereka hanyalah dapat
mewajibkan saja. Lebih dari semua itu, tidak.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 97
Dengan melihat kenyataan yang demikian itu, maka suara penin-
dasan tetap lantang; para pembuat keputusan adalah para pembesar
masyarakat; kaum pria direndahkan martabatnya; kaum perempuan
dijadikan bulan-bulanan; rumah tangga hancur berantakan; seorang
laki-laki masih saja dapat mewarisi istri ayahnya; poliandri tetap
dibenarkan; dan tak satu pun yang ada di dunia ini yang mendapat
perlakuan secara terhormat. Manusia diperbudak dan diperlakukan
laksana kuda. Kekuatan otot menjadi aturan hukum. Akal sudah tidak
dipedulikan lagi!
Apa yang akan terjadi kemudian?
Wahai Anakku, engkau hidup dalam selimut duka dan terisolir
seorang diri di gurun sahara yang bernafas dengan kebohongan, karena
kutukan dan kenistaan.
Wahai Abul Qasim, engkau mengisolasikan diri. Engkau tinggal-
kan keluargamu dalam meditasimu di gua Hira’, sebagaimana yang
telah dikerjakan oleh para pembebas sebelummu. Dalam waktu
yang tidak seberapa lama, para pembebas itu antusiasnya sempat
berapi-api dan menyala-nyala, namun kemudian mereka lenyap tak
terdengar lagi namanya.
Apakah gerangan arti diammu di atas berbagai kebejatan itu?
Apa pula gerangan arti pengisolasianmu sepanjang bulan Ramadhan?
Ucapkanlah kata-katamu. Bukankah kaummu telah menghargai dan
menghormati dirimu?
Gelora usia remajamu telah berlalu. Maka bangkitlah dan sampai-
kanlah kabar gembira! Tegaklah; hadapi musuh-musuhmu! Tegaklah;
berilah peringatan kepada mereka!

98 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Hegemoni Kebenaran
para Bangsawan

B
angkitnya aksi kepedulian Muhammad terhadap
persoalan kemanusiaan, bukan hanya ketika ia
melihat kenyataan yang terjadi di Semenanjung Arabia saja,
tetapi ia telah menjelajahi di berbagai negara belahan utara dan se-
latan. Semua ketimpangan sosial telah banyak ia temui, baik di Persia
maupun Romawi. Semua realitas tersebut ia renungkan bagaimana
solusinya. Di berbagai pelosok bumi, suatu ketika terjadi penindasan
terhadap manusia, namun dalam kesempatan yang lain antagonisme
merajalela, sehingga tak jarang terjadi praktek kanibalisme yang di-
lakukan oleh tangan-tangan perempuan yang lemah-lembut.
Para pembesar negeri Rum tak henti-hentinya menindas kaum
pria dan perempuan, sebagaimana halnya penindasan yang dilakukan
oleh pengusaha lintah darat di Makkah dan Persia. Penindasan terhadap
kaum papa yang mengatas-nama­kan kekuatan ghaib yang tak dapat
dilawan dan ditentang sedang melanda di sana sini. Ia adalah kekuatan
yang tak pernah merasa kenyang mengisap darah para kaum lemah.
Di Makkah kekuatan itu menggunakan nama patung-patung, di Per-
sia menggunakan nama tuhan-tuhan, sedang di Romawi menggunakan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 99
nama pendeta-pendeta dan tukang-tukang tenung.
Segalanya sudah menjadi kehilangan makna dan tak memiliki harga
diri lagi. Tak jarang terjadi seorang perempuan memasuki dinding
istana Konstantinopel untuk menghadap raja. Perempuan itu beralih
pekerjaan dari pelayan toko menjadi budak-budak pemuas nafsu para
pembesar kerajaan Romawi. Hanya saja, untuk dapat membedakan
dirinya dari kebanyakan orang, maka dihiasilah dirinya dengan per-
hiasan yang mahal harganya dan langka, yaitu berupa mahkota im-
perior. Gereja-gereja pun berubah menjadi sarang-sarang penyamun
dan tukang jagal.
Di berbagai penjuru telah menjamur iklim kesewenang-wenangan
dan penindasan. Para buruh kecil diperintahkan untuk mengalihkan
bidang pekerjaannya pada sesuatu yang dapat memuaskan keinginan
pembesar-pembesarnya. Jika mereka menentang atau menolak, maka
dibunuhlah mereka, betapapun ratusan orang jumlahnya. Ladang-
ladang petani dapat saja diambil secara paksa dari pemiliknya atas
perintah penguasa negara. Istana kekaisar­an yang berdiri menjulang
tinggi berubah menjadi pasar yang luas bagi budak putih menurut ke-
tentuan para penjual budak. Segala tempat yang disucikan sekalipun
telah berubah menjadi gembong penipuan.
Di negeri Persia timbul aliran-aliran lain yang aneh-aneh. Dongeng-
dongeng agama telah terlepas dari jiwa yang lama. Dari hari ke hari
cahaya dan kegelapan telah kehilangan maknanya sejak para tukang
tenung menguasai perdagangan dan pertanian. Gemerlapnya dunia telah
memperhamba mereka, sehingga timbul adanya penyem­bahan terhadap
tubuh perempuan yang mereka per­tuhankan. Para tukang tenung itu
tenaganya habis terkuras dikerahkan dalam menyembah tubuh perempuan
itu. Syair-syair agung pun dipenuhi dan dihiasi dengan kata-kata cabul
untuk mengungkap dan menggambarkan tubuh perempuan telanjang
sedetil-detilnya tanpa rasa malu. Karena bernasib mujur, ada seorang
gadis yang sebelum dipertemukan dengan (calon) suaminya, ia terpilih
sebagai gadis yang hendak dijadikan sesembahan oleh para tukang tenung
senior pilihan. Gadis tersebut berada di hadapan para tukang tenung
selama seminggu penuh untuk dijadikan sesembahan secara bergantian

100 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


serta untuk diperoleh keberkahan darinya. Semua itu mereka lakukan
dalam kondisi telanjang sembari menenggak miras.
Kondisi sosial keagamaan ketika itu teramat parah. Nilai-nilai
spiritual dalam agama Kristen dan Yahudi tidak lagi diamalkan seb-
agaimana mestinya. Nilai-nilai spiritual tersebut telah berubah ben-
tuknya menjadi pemujaan-pemujaan terhadap gambar-gambar yang
dikeramatkan. Kekuasaan tuhan telah beralih ke tangan pemeras dan
tukang tenung. Para tukang tenung dan pemeras itulah yang memegang
otoritas untuk membuka pintu-pintu surga dan pintu-pintu neraka.
Demikianlah, praktek pengakuan yang dijadikan sebagai penebu-
san dosa bagi orang-orang yang melakukan kesalahan telah dijalankan
untuk mengeruk harta kekayaan melalui ancaman dan paksaan di balik
pengakuan tersebut. Inilah cara keji yang ditempuh para pemuka
agama untuk mengeruk harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya.

g
Krisis nilai-nilai kehidupan mewarnai kehidupan seantero dunia,
tidak di Makkah saja adanya. Muhammad bin ‘Abdullah mengetahui
kenyataan-kenyataan tersebut dari teman-temannya dan dari berbagai
pengembaraannya serta cerita-cerita yang disampaikan oleh teman-
temanya yang pulang dari pengembaraannya.
Ketika datangnya bulan Ramadhan masyarakat Makkah mengas-
ingkan diri keluar kota Makkah adalah sebuah tradisi yang terjadi
tiap tahun. Pada waktu itu juga Muhammad meninggalkan Khadijah
-istrinya yang tercinta- untuk beberapa hari dalam bulan Ramadhan.
Dalam pengasingan tersebut ia merenungkan tentang kebenaran se-
bagaimana lazimnya para pemikir sebelumnya, jauh dari hiruk-pikuk
dan glamornya kehidupan Makkah.
Muhammad tinggal di gua Hira’ beberapa malam pada bulan Ra-
madhan; dann biasanya bila Khadijah telah rindu, maka ia mengutus
seseorang untuk menyampaikan kerinduan kepadanya, maka ia pun
kembali ke rumahnya. Kadangkala Khadijah dan Muhammad keluar
bersama-sama. Ia buatkan kemah untuk istrinya di tempat yang dekat
dengan tempat ibadahnya agar ia tidak mengalami kesulitan pulang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 101


ke rumahnya di Makkah.
Muhammad kini telah berusia 40 tahun, usia yang diakui oleh orang
Quraisy sebagai indikasi kematangan jiwa. Oleh karena itu, dalam
batas usia tersebut semua pemuda telah berhak menjadi pemimpin
dalam pemerintahan suku Quraisy. Jika kondisi ekonominya baik, maka
pemerintah Quraisy memberikan kesempatan untuk menduduki jabatan
terhormat tesebut. Namun sistem kehidupan dalam suku Quraisy itu
tidak akan pernah sedikit pun memberikan peluang bagi Muhammad
sebagai anggota dalam peme­rintahan selamanya.
Di kabilah Quraisy ada 10 kelompok yang masing-masing kelompok
diwakili oleh seseorang dalam pemerintahan. Muhammad termasuk
golongan Bani Hasyim di mana dalam tata pemerintahan telah diwakili
oleh ‘Abdul Muththalib, sedangkan kini kedudukan tersebut direp-
resentasikan oleh pamannya, yaitu ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib. Ia
tergolong pedagang kaya Quraisy. Meskipun demikian sistem peme­
rintahan itu berjalan, Muhammad masih mempunyai seorang teman
dekat yang cukup berperan dalam peme­rintahan, yaitu Abu Bakar bin
Abi Quhafah, yang mempunyai tugas khusus menangani masalah dalam
bidang hukum yang berkenaan dengan denda. Ia tergolong sebagai sau-
dagar kaya.
Muhammmad kagum kepada sebagian tokoh-tokoh pemerintahan,
seperti ‘Umar bin Al-Khaththab yang menangani bidang kedutaan.
‘Umarlah yang menjadi juru bicara suku Quraisy dalam kaitannya
dengan kota-kota dan kabilah-kabilah lainnya.
Ketika itu Muhammad tinggal bersama istri dan anaknya dalam
situasi penuh ketenteraman. Akan tetapi, ia selalu digelisahkan oleh
berbagai obsesinya setelah kontemplasinya yang panjang. Ia tiada
henti-hentinya melakukan daya dan upaya untuk menemukan solusi
yang integral bagi krisis kemanusiaan yang mewarnai berbagai pelosok
dunia dan tidak hanya terbatas di Makkah saja. Akan tetapi, ia tidak
terjebak dengan kontemplasi dan obsesinya belaka. Ia hidup seb-
agaimana layaknya manusia. Bila ia telah menyelesaikan ibadahnya,
maka ia bekerja. Setiap pagi ia memerah kambingnya dengan tangan-
nya sendiri tanpa bantuan pelayanan istrinya. Kehidupan dan tempaan

102 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


masa lalunya telah membentuk kepribadiannya menjadi orang yang
bersahaja dan mandiri. Tak jarang ia pergi ke pasar untuk berbelanja
keperluan-keperluan rumah tangganya.
Tatkala Muhammad berjalan menuju pasar, ia senan­tiasa melem-
parkan senyum dari bibirnya dan melontarkan sapaan kepada anak-
anak yang ditemuinya. Sikapnya berbeda jauh dengan kebiasaan para
pemuka masyarakat seusia dirinya. Kadang-kadang Muhammad bersama
‘Ali bin Abi Thalib, anak pamannya. Muhammad pernah menyatakan
kepada ‘Abbas, pamannya: “Saudaramu, Abu Thalib, banyak keluar-
ganya. Banyak sekali orang yang dilanda krisis. Karenanya, marilah
pergi bersamaku kepadanya agar kita dapat sedikit meringankan beban
keluarganya. Aku akan memungut salah seorang putranya dan engkau
juga memungutnya.”
Keduanya pun pergi menghadap Abu Thalib, kemudian mereka
menyampaikan maksudnya. Muhammad memungut ‘Ali dan ‘Abbas
memungut Ja‘far.
Sejak saat itu ‘Ali tinggal bersama Muhammad. ‘Ali kini berusia
delapan tahun. Kadang-kadang ia berjalan-jalan dengan teman seu-
sianya sambil membicarakan keramahan sepupunya (Muhammad)
terhadap anak-anak dan tentang istrinya yang suci serta ketidaksetu-
juannya terhadap praktek perbudakan di mana di rumahnya tak dikenal
sebutan “budak”. Ia gantikan sebutan tersebut dengan “bujang”. Ia
begitu teramat santun dan bersikap sabar kepada para pembantunya.
Tatkala pembantunya melakukan kekeliruan, maka sedikit pun tak
pernah terlontar kata-kata kasar dari mulutnya.
Betapapun istrinya perempuan yang baik, tetapi ia tak pernah
henti-hentinya mengingatkan istrinya agar di waktu siang dan malam
senantiasa memberi makan kepada para pembantunya sebagaimana
makanan yang dimakan ke­luarga­nya dan memberi pakaian sebagaimana
pakaian yang dikenakan keluarganya. Kepada istrinya ia menasihatkan
agar tidak membebani pembantu dengan pekerjaan-pekerjaan yang
berat dan justru senantiasa membantu mereka dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaannya. Bahkan ia juga menyarankan kepada istrinya
agar tidak memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 103


luar batas kemampuannya.
Apa yang diceritakan ‘Ali tentang pribadi Muhammad dan situ-
asi rumah tangganya, sangat mengagumkan hati para pemuda yang
mendengarnya. Mereka menangkap kekuatan dan keberanian yang
tersimpan di balik diri Muhammad, namun meskipun demikian, ia
memiliki kasih sayang terhadap para kaum muda. Banyak pemberani
lain selain Muhammad yang dikenal para pemuda Quraisy, tetapi bila
mereka berjumpa dengan para pemuda, tak seorang pun dari para
pemuda yang berani berbicara dengan mereka, karena takut. Di ka-
langan para pemuda, terdapat sederet daftar nama pemberani yang
terkenal, seperti ‘Umar bin Khaththab, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib,
dan ‘Amr bin Hisyam. Akan tetapi, posisi Abul Qasim (Muhammad) jauh
lebih berani di atas mereka dan lebih berwibawa ucapan-ucapannya.
Namun meskipun demikian, Muhammad Abul Qasim jauh lebih santun
dan lemah-lembut daripada mereka.
Keberanian Muhammad yang luar biasa menghadapi seekor unta
jantan yang begitu ganas dan liar, menjadikan para pemuda dan
orang tua merasa terkagum-kagum. Karena teramat ganas dan liar,
tak ubahnya seperti binatang buas pemangsa daging yang sangat ber-
bahaya, para pemberani sekalipun lari darinya. Akan tetapi, kebera-
nian Mughammad di atas para pemberani lainnya. Ia menyerbu, lalu
menangkapnya dengan segala kekuatan yang dimiliki­nya, sehingga
unta ganas dan liar itu pun tunduk di bawah kendalinya.
Sebelum itu tak seorang pun dari orang-orang Quraisy yang me-
miliki jiwa pemberani seperti Muhammad dalam menanggung resiko
karena membela kepentingan orang lain. Seorang pemberani sebelum
Muhammad bin ‘Abdullah yang menanggung resiko seperti ini dengan
sikap yang tenang tak kenal gentar itu sangat jarang ditemui. Orang
kuat yang tuli dan berperangai jahat, akan dibuat ciut nyalinya di
hadapan keperkasaan Muhammad lantaran takut.

g
Demikianlah, Muhammad dicintai dan dikagumi kalangan kaum
muda dan tua, baik kaum pria maupun perempuan.

104 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Perjalanan hidup Muhammad di tengah-tengah hidup mereka telah
membalikkan pemikiran dan obsesi-obsesinya. Ia tak pernah melakukan
perbuatan yang dibencinya. Ia tak pernah berteriak di pasar karena
tak menyukainya, tak pernah mentolerir dirinya agar kenyang sendiri,
sementara tetangganya dalam kondisi kelaparan. Ia juga tak suka
membalas keburukan seseorang dengan keburukan lain. Ia teramat
membenci kebohongan dan kepalsuan, sehingga ia tak akan tinggal
diam terhadap kebohongan. Ia tak pernah melakukan kepalsuan untuk
mencari keuntungan. Baginya lebih baik tidak berdagang daripada
memperoleh keuntungan dengan cara manipulasi. Ia tetap berkata
benar, karena ia tahu kejujuran itu akan merugikan dirinya.
Baginya, janji adalah suci. Karena itu, ia tak pernah melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan dijauhi orang. Karena sikap dan
tindakannya dalam kehidupan telah membalikkan pikirannya tentang
ketulusan dan dunia yang lebih utama, maka ia teramat dikagumi dan
dicintai banyak kalangan, bahkan orang-orang yang tenggelam dalam
kotoran hingga dagu sekalipun. Para pedagang dan rentenir sekalipun
mengaguminya dan mencintainya, meskipun kejujuran, kebijakan,
dan kelemah-lembutan sikapnya merupakan sebuah reaksi dan protes
keras terhadap sistem kehidupan yang dianut mereka.
Kepergian Muhammad ketika bulan Ramadhan tiba ke gua Hira’
untuk beribadah, membuat suasana kota Makkah menjadi sepi, sebab
masyarakat tak terlihat lagi ada yang masih berkumpul-kumpul. Tam-
paknya kebiasaan yang dilakukan oleh Muhammad diikuti pula oleh
sebagian kalangan kaum muda dan tua. Di antara mereka ada yang
sudah mulai menghentikan minum arak, menjauhi pergi ke tempat-
tempat hiburan, dan mencukupkan diri berkumpul dengan istri, tidak
lagi bermain-main dengan sukatan dan timbangan, dan tak mau lagi
berthawaf di Ka‘bah dengan telanjang di tengah-tengah laki-laki dan
perempuan yang juga sama-sama telanjang. Bilamana bulan Ramad-
han telah datang, maka sebagian kalangan orang tua tersebut pergi
ke gunung Hira’ untuk mengisolasikan diri dari hiruk-pikuknya kota
Makkah.
Pada suatu malam Ramadhan, setelah pulang dari gua Hira’ kondisi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 105


Muhammad tidak seperti biasanya. Kali ini ia datang dengan muka
pucat dan tubuh menggigil. Peng­isolasian diri Muhammad kali ini me-
mang lebih lama dari biasanya, sehingga menyebabkan kegundahan
dan kege­lisahan hati Khadijah, sang istri yang teramat mencintainya.
Karena itu, diutuslah seseorang kepadanya dengan membawa pesan
agar secepatnya ia pulang. Sementara itu, Khadijah menunggu di dalam
tendanya. Karena ia menduga Muhammad telah pulang ke Makkah, ia
pun mengutus seseorang untuk mencarinya di sana.
Ketika Muhammad tiba, betapa terkejutnya hati Khadijah, karena
melihat suaminya datang dengan muka pucat dan tubuh gemetar seraya
mengucurkan keringat. Ternyata ia kembali dari Hira’ tidak langsung
ke Makkah. Akan tetapi, ia tertidur di gua dan di dalam tidurnya ter-
jadilah suatu peristiwa yang mengejutkan lagi aneh.
Khadijah sempat mengkhawatirkannya karena ter­lampau lamanya
Muhammad melakukan kontemplasi di gua Hira’.
Setelah mengalami kejadian yang aneh dalam mimpinya di gua
Hira’, akhirnya Muhammad mengadu kepada istrinya: “Wahai Khadijah,
aku khawatir akan menjadi tukang tenung atau kesurupan jin.”
“Jangan engkau mempunyai perasaan yang bukan-bukan, wahai
Abu Qasim. Janganlah engkau berkata seperti itu. Allah tidak akan
pernah berbuat demikian kepadamu selamanya, karena engkau senan-
tiasa jujur dalam ber­bicara, tak pernah membalas keburukan dengan
keburukan, melak­sanakan tanggung jawab sebagaimana mestinya,
menyam­bung tali persaudaraan, budi pekertimu luhur, dan engkau
tidak tergolong orang-orang yang suka berteriak-teriak di pasar,” jawab
Khadijah menenangkan hati suaminya.
Sungguh Muhammad adalah tipe manusia yang takkan pernah
ditemui lagi sesudahnya!
Ia tak pernah sekalipun berbuat jelek terhadap seseorang; ia tak
pernah merugikan harta dan diri orang lain. Ia suka memberi makan
kepada orang miskin dan para pelancong, tak pernah berbuat serong
dengan perempuan lain, dan ia juga tak pernah membiarkan pikirannya

106 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mabuk. Betapa banyak orang lain selain dirinya yang mengisolasikan
diri di gua Hira’, tetapi tak seorang pun dari mereka yang mengalami
peristiwa yang sama seperti yang telah dialami oleh Muhammad.
Pada tahun-tahun terakhir, setiap kali ia pergi ke Hira’ ia merasa
seolah-olah apa yang ada di sekelilingnya, mulai dari batu, langit, pasir,
dan keheningan, adalah sebuah teka-teki yang misterius, mencekam,
dan mengerikan. Temannya, Abu Bakar, pernah mengatakan hal itu
kepada­nya, tetapi ia tak mempedulikannya. Istrinya pun pernah men-
gatakan hal itu, namun ia tak mempedulikan kata-kata istrinya itu.
Di tahun ini ia tinggalkan dagangan dan pekerjaannya. Tak ada yang
lebih disukai selain menyepi dan mengisolasi­kan diri. Ia bermimpi lagi
dalam tidurnya sesuatu yang menyeramkan dan mengerikan, di mana
dalam mimpi-mimpinya itu terlukiskan seakan-akan patung-patung
Ka‘bah gugur berjatuhan; kekuasaan tirani dengan segala kemewahan
dan gemelapnya menjadi hancur berantakan dari atas puncak Romawi
dan Persia; dan manusia-manusia pun seolah-olah telah berubah men-
jadi manusia lain yang tak lagi mengangkat pedang terhadap saudaran-
ya dan tak ada lagi tangan yang terulur untuk melakukan penganiayaan
terhadap seseorang. Kebenaran pun berkibar-kibar laksana bendera
yang mampu menaungi dan mengayomi semua orang, tidak terbatas
hanya pada kalangan orang terhormat saja. Anak-anak seolah-olah
hidup dalam kebahagiaan dengan harapan-harapannya pada masa yang
akan datang. Ia tak menemukan lagi seorang menumpahkan darahnya
secara sia-sia dan tanpa guna. Taring-taring yang dijadikan alat untuk
memangsa kaum lemah-papa, seakan-akan telah berubah sama sekali.
Kehinaan dan kenestapaan yang selama ini tergores di raut wajah
manusia lemah nan papa, kini semuanya seolah-olah terhapus sirna.
Muhammad terbang dalam alam mimpi tidurnya lama sekali. Serasa
ia hidup dalam dunia baru, dunia yang menjanjikan kehidupan yang
jauh lebih baik keadaannya dari sebelumnya, yaitu sebuah dunia di
mana keburukan yang terlanjur diperbuat oleh seseorang terhadap
saudara­nya dimaafkannya dan keduanya berangkulan dalam har-
monisasi tali persaudaraan. Sebuah dunia di mana kaum perempuan
menyembunyikan perhiasannya, sehingga aksesoris itu tidak pernah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 107


terlihat, kecuali oleh suaminya yang berhak atas dirinya.
Dalam dunia baru itu, manusia menolong saudaranya dan tak lagi
menarik keuntungan dari uang yang dipinjam­kannya. Dunia yang terlu-
kis dalam mimpi-mimpinya itu adalah sebuah dunia lain yang tatanan
kehidupan sosialnya teramat sempurna. Betapa tidak, dalam dunia
impian itu para budak telah berubah menjadi manusia lain yang mampu
mengalunkan nyanyian-nyanyian kebebasan kehidupan yang menjanji-
kan harapan-harapan. Para budak sebagaimana para pemimpin lainnya
menduduki posisi penting dalam pemerintahan Makkah, Romawi, dan
Persia. Mereka bukan lagi budak-budak yang diperjual-belikan. Mereka
adalah manusia seutuhnya sebagaimana lazimnya, di mana tipe mereka
yang paling mulia di antara mereka adalah mereka yang terbaik jalan
kehidupannya.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan itu, Muhammad mengantuk
sebentar, lalu tertidur, kemudian ia bermimpi didatangi seseorang yang
memperlihatkan sebuah kitab kepadanya dan disuruhnya ia membaca.
“Apa yang akan aku baca?” tanya Muhammad.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan.
Dia yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah!
Rabbmu adalah Dzat Yang Maha Pemurah. Dia telah mengajar manusia
dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa-apa yang
tidak diketahuinya,” jawab orang tua yang datang dalam tidur seke-
japnya itu.
Ketika ia bangun, ia telah hafal apa yang telah didengar dari ti-
durnya. Ia mencari kejelasan mimpinya di antara apa yang didengarnya.
Tiba-tiba dalam keadaan di antara tidur dan bangun, ia seolah-olah
mendengar lagi suara dari kejauhan yang mengatakan: “Wahai Muham-
mad, engkau adalah utusan Allah dan aku adalah Jibril.”
Apa arti semua ini?
Muhammad takut akan menjadi tukang tenung atau kesurupan
jin. Siapakah yang akan mempercayai dirinya nanti...? Apa yang di-
maui Jibril dengan semua ini? Dia (Muhammad) sebagai utusan Allah

108 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang diutus untuk siapa? Ajaran apakah yang harus dia emban untuk
disampaikan kepada khalayak manusia? Sementara Jibril belum mem­
bicarakan apa yang dipikirkan Muhammad ini, tidak juga berbicara
tentang orang-orang yang disiksa, dan tidak pula berbicara tentang
dunia yang goncang yang selama ini sedang mencari solusi penyelesa-
ian....
Dalam keadaan seperti itu, Khadijah, istrinya yang teramat
mencintai, berusaha untuk menenangkan kegalau­an pikirannya dan
meyakinkan bahwa ia tak akan ditimpa suatu penyakit, karena ia tak
pernah menyakiti seseorang. Keluarga dekat Khadijah, Waraqah bin
Naufal, pernah ber­cerita banyak kepadanya tentang agama Masehi
yang ia peluk, tentang Tuhan dan kerajaannya, tentang terutusnya
seseorang yang bernama ‘Isa dan Musa sebelumnya.
Selanjutnya, Muhammad pergi meninggalkan Khadijah yang sedang
dalam kebingungan. Sementara Khadijah sendiri tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya untuk melenyapkan kesusahan yang sedang me-
landa suaminya. Khadijah hanya percaya apa yang telah dialami sua-
minya. Lalu datanglah ‘Ali dan mendengarkan apa yang dikatakan anak
pamannya. ‘Ali pun mempercayainya. Zaid bin Haritsah mendengar
pula apa yang terjadi pada Muhammad, maka ia pun mempercayainya.
Ketiga orang tersebut mempercayai Muhammad, tetapi masih be-
lum memahami persoalan yang sebenarnya. Mereka sungguh-sungguh
mempercayai segala apa yang mungkin dikatakannya tentang peris-
tiwa yang telah dialaminya. Mereka telah mengenali Muhammad yang
senantiasa berkata jujur, bersikap bijak, berpandangan objektif, dan
berhati lemah-lembut.

g
Sementara itu, Abu Bakar bin Abi Quhafah datang juga kepada
Khadijah untuk menanyakan tentang Muhammad. Khadijah menjelas-
kan tentang peristiwa yang dialami suaminya. Hanya saja, yang
dikhawatirkan Khadijah jangan-jangan suaminya, Muhammad, terkena
demam pertenungan atau kesurupan jin. Khadijah telah menyaran­kan
kepada suaminya untuk menemui Waraqah bin Naufal, karena dengan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 109


segala ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, ia sudah tentu akan
mampu menjelaskan dan menginterpretasikan semua peristiwa yang
terjadi pada diri Muhammad.
Selanjutnya, Abu Bakar pergi ke Waraqah bin Naufal, lalu ia ceri-
takan apa yang terjadi pada Muhammad. Apakah ia penyebar ajaran
baru seperti Zaid bin ‘Amr, padahal Zaid sama sekali tidak pernah
bermimpi seperti apa yang dialami Muhammad dan tak seorang pun
yang mengatakan bahwa Zaid adalah seorang rasul (utusan) Allah.
Sebagaimana kebiasaannya setiap kembali dari Hira’, Muhammad
melakukan thawaf di Ka‘bah. Ketika baru saja ia memulai thawafnya,
Waraqah bin Naufal datang mendekat kepadanya sambil berkata:
“Telah datang kepadamu Namus yang terbesar yang juga pernah datang
kepada Musa.” Setelah berkata demikian, ternyata Waraqoh mencium
kepala Muhammad sambil menyetir sebuah ucapan kesaksian: “Sung-
guh engkau adalah nabi umat ini.”
Lebih lanjut Waraqah memperingatkan kepada Muhammad bahwa
ia akan didustakan, disiksa, dicerca, diusir dari kampung halaman-
nya, dan akan diperangi. Demikianlah peristiwa yang menimpa pada
penyebar ajaran baru sejak dahulu!
Apakah yang akan terjadi sesudah itu?
Ya, apakah yang akan terjadi?
Ia telah dibenarkan istrinya, Khadijah; anak pamannya, ‘Ali; anak
angkatnya, Zaid bin Haritsah; dan teman dekatnya, Abu Bakar, sedan-
gkan lelaki shalih, Waraqah bin Naufal memberitahukan kepadanya
bahwa ia akan disiksa, disakiti, dan diperangi.
Akan tetapi, apa yang akan terjadi selanjutnya? Atas dasar apakah
mereka itu membenarkannya? Dengan dasar apa pula Waraqah mem-
berikan sikap optimisme dan memberi peringatan?
Zaid bin ‘Amr telah menyampaikan banyak hal kepada penduduk.
Khuwailid bin Sannan juga menyampaikan banyak hal. Selain mereka
berdua, masih banyak penyebar ajaran baru yang melakukan hal se-
rupa. Kesemuanya, para penyebar ajaran baru itu, mengalami resiko,
penyiksaan, pencercaan, dan pembunuhan.

110 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Adapun Muhammad, hal-hal apakah yang akan dikata­kan­nya? Ber-
bagai hal yang telah disampaikan para penyebar ajaran baru itu sama
sekali tak berguna, karena dunia teramat parah kerusakannya, sehingga
dengan demikian tak mungkin lagi dibangun secara tambal-sulam. Du-
nia yang sudah ambruk dengan kerusakannya harus dihacurkan untuk
selanjutnya direhabilitasi dan direkonstruksi kembali. Hanya cara yang
demikian itu saja yang akan dapat menghasilkan tatanan reformasi
yang memuaskan!
Setelah melalui kegelisahan yang hebat dan kontemplasi yang men-
dalam, Muhammad akhirnya mengambil keputusan untuk menyampai-
kan beberapa pernyataan penting, yaitu “bahwasanya keputusan yang
ditetapkan tuhan-tuhan, tukang-tukang tenung, dan patung-patung
di seluruh penjuru dunia yang bersikap sewenang-wenang, tidak lain
adalah kebohongan dan perangkap para penguasa untuk memangsa
rakyat jelata.”
Setiap orang tergantung dengan apa yang diperbuatnya. Demiki-
anlah konsistensi keyakinannnya, kemudian ia be­rangkat. Ia telah
menemukan peranan yang harus di­em­ban­­nya untuk pertama kalinya,
sejak malam Ramadhan itu.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 111


112 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Mulai Runtuhnya
Benteng Kesesatan

K
ehidupankahn telah menyediakan sebuah wahana baginya
dan menunggunya. Demikian juga kondisi sosial
yang penuh ketimpangan telah menyediakan wahana baginya.
Karena itu, sudah semestinya kalau ia datang mengisi wahana yang
sedang menantinya, dengan bersenjatakan konsepsi yang komprehensif
terhadap karakteristik fungsinya; pandangan yang integral terhadap
hidup dan mati; pemahaman yang menyeluruh dan memadai terhadap
tuntunan dan kebutuhan kalangan tertindas, yaitu tuntunan terhadap
adanya sistem interaksi sosial yang lebih manusiawi dan adil serta
terciptanya nilai-nilai sosial baru sebagai tuntunan kebutuhan rohani
mereka.
Demikianlah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah datang dengan
kedalaman cara berpikirnya, dari lingkungan masyarakatnya, dengan
sikap yang baik penuh sopan-santun sebagaimana halnya orang-orang
miskin, kendati ia memiliki sikap yang tangguh, berani, dan penuh
inisiatif. Ia sama sekali tidak dapat disamakan dengan orang-orang
yang berjalan di muka bumi secara arogan dan membangga-banggakan
harta dan golongannya, padahal semua perilaku itu tidak dapat men-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 113


embus bumi dan tak pernah mencapai ketinggian gunung, betapapun
hebatnya kecongkakan yang mereka lakukan.

g
Kekuatan para saudagar dan rentenir yang kaya-raya senantiasa
dikait-kaitkan dengan patung Ka‘bah yang sejatinya tindakan itu
hanya merupakan tipu muslihat mereka untuk mengeruk keuntungan
material dan posisi kekuasaan semaksimal mungkin. Dengan kekuatan
itulah, ia dapat melindungi orang lain; dan dengan kekuatan itu pula
seluruh bangsa Arab selama tiga bulan dalam setiap tahun melakukan
ibadah haji. Mereka mempersembahkan qurban-qurban, persembahan-
persembahan, dan harta benda kepada patung-patung itu, yaitu kepada
orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan atas nama dan
dengan dalih patung-patung tersebut.
Di celah bulan-bulan ini para hartawan memetik keuntungan dari
harta benda mereka dalam transaksi jual-beli dan membungakan
uang. Mereka mengeruk ke­untungan. Selanjutnya, patung-patung
itulah yang memberi kekuasaan mutlak kepada mereka untuk menin-
das kaum buruh, para dhu‘afa, budak-budak, dan para pelancong.
Realita ini membangkitkan inisiatif Muhammad untuk menyikapinya
dengan suatu reaksi tegas dengan menya­takan bahwa semua patung-
patung itu tak sedikit pun dapat memberi kecukupan, tak dapat
memberikan manfaat dan celaka, sebab segala sesuatu hanyalah hak
prerogatif Tuhan Yang Maha Esa, yang kekal, tidak beranak, dan tidak
pula diperanakkan; tak ada sesuatu dan tidak juga seorang pun yang
menyamainya.
Tuhan itu Maha-agung dari batas tempat semisal Ka‘bah, bahkan
Makkah sekalipun. Dia ada di setiap tempat; tak ada bentuk rupa bagi-
Nya. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Hanya Dialah yang patut
disembah. Di sisi-Nya tak ada diskriminasi antara hamba sahaya dan
bangsawan terkemuka, antara si papa dan si kaya-raya, dan antara
pria dan perempuan.
Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Dia akan menghidupkan
sesudah mati pada suatu hari untuk meminta pertanggung-jawaban

114 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


perbuatan yang telah dilakukan semasa hidupnya. Kehidupan ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang memperdaya. Kehidupan itu hanya se-
batas tergelincirnya matahari. Tuhan Yang Maha Esa tidak mentolerir
perzinaan, riba, pembunuhan, kesombongan, dan sebagainya.
Dia mengutuk orang-orang yang menumpuk emas dan perak tanpa
mau mendermakannya. Dia akan membakar simpanan harta tersebut di
neraka ketika manusia dibangkitkan lagi kelak, maka diseterikakanlah
tumpukan harta itu pada dahi, bahu, dan punggung orang-orang yang
menumpuk harta kekayaan. Dia juga akan membakar tubuh orang-orang
yang suka mempermainkan dan menganggap remeh hak-hak orang lain,
yaitu orang-orang yang suka mencuri sukatan dan timbangan.
Sebaliknya, orang-orang yang direndahkan martabat­nya ketika di
dunia, maka baginya akan berbeda jauh keadaannya ketika dibangkit-
kan kembali dari kuburnya. Balasan bagi mereka yang telah dilecehkan
martabatnya di dunia, maka Dia menyediakan surga-surga yang di
dalamnya terdapat buah-buah anggur dan cawan-cawan yang berisi
minum-minuman. Sudah tentu semua itu disediakan bagi mereka yang
direndahkan martabatnya, apabila mereka meninggalkan perzinaan,
tidak melakukan pencurian, tidak berkata dusta, tidak melakukan
pem­bunuhan, menyerahkan tanggung jawab kepada yang berhak,
tidak memaksa anak-anak gadisnya untuk melacur kepada laki-laki
hidung belang guna melunasi utang-utangnya kepada rentenir, tidak
menyembah patung-patung, membersihkan hatinya dari pengaruh
patung-patung itu, dan hanya menyatakan diri menyembah Tuhan Yang
Maha Esa, yang tak memiliki bentuk rupa, tidak juga dibatasi tempat
dan waktunya.
Dialah yang mengutus Muhammad sebagai utusan kepada semua
manusia dengan membawa kabar gembira tentang surga yang kekal
nan abadi dan membawa kabar yang menakutkan tentang neraka yang
kekal nan abadi pula.
Dia adalah Tuhan lain yang tidak mereka kenal. Tuhan Muhammad
tidak membutuhkan perantara, tidak pula harta, dan tidak membu-
tuhkan persembahan-persembahan. Pangkat, kedudukan, dan harta
bukan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Di sisi-Nya

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 115


manusia tidak punya arti apa-apa selain jalan kehidupan yang baik,
kejujuran, keberanian, kebaikan dalam pergaulannya, dan keutamaan
sifat-sifatnya. Hal ini karena Dia tidak membutuhkan semesta alam.
Setiap manusia tidak akan memperoleh balasan, selain apa yang telah
dilakukannya. Semua perbuatan yang telah dilakukan itu pada hari
pembalasan kelak akan diperlihatkan kepadanya.

g
Dengan gambaran tentang kehidupan, kematian, dan nilai-nilai
spiritual yang baru inilah, Muhammad menghadapi kesesatan kaumnya.
Maka berguncanglah gelombang kehidupan di Makkah.
Siapa yang akan percaya dan membenarkannya sekarang?
Istrinya percaya dan membenarkannya ketika ia menceritakan
tentang peristiwa yang telah ia alaminya pada suatu malam di bulan
Ramadhan tatkala dia berkontemplasi di gua Hira’. Akan tetapi, kali
ini akankah ia percaya dan membenarkan kata-katanya? Khadijah
sangat mencintainya dengan penuh perhatian dan ia berupaya dengan
segenap tenaga untuk memberikan ketenangan batin dan rasa percaya
diri kepada Muhammad.
Anak pamannya, ‘Ali bin Abi Thalib, juga percaya dan membenarkan
pula peristiwa gua Hira’ itu. Demikian pula anak angkatnya, Zaid bin
Haritsah, dan Abu Bakar bin Abi Quhafah, seorang teman sejati yang
menyertainya dalam kontemplasinya, kegelisahannya, dan pengasin-
gannya. Mereka semua percaya dan membenarkan ketika Muhammad
datang kepada mereka di suatu malam pada bulan Ramadlan tiga tahun
yang lalu dengan membawa berita tentang peristiwa Hira’ itu.
Akan tetapi, pada hari itu mereka dihadapkan pada suatu yang
baru dan dituntut untuk beriman (percaya dengan sepenuh hati) ke-
padanya, memperhatikan, dan menghafal kata-katanya; dan mereka
dituntut untuk berjuang jika kenyataan menuntutnya sebagai upaya
menjadikan ajaran-ajaran yang dibawanya menjadi sebuah tatanan
kehidupan sosial yang baru di tengah-tengah mereka.
Bukankah hal itu jelas merupakan suatu yang teramat berat dan

116 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mengerikan?
Jika patung-patung itu adalah suatu kesesatan yang nyata, maka
sudah tentu orang-orang Arab tidak mau mengunjungi Ka‘bah pada
hari-hari dalam tiga bulan Haram; orang-orang kaya akan kehilangan
sumber ekonomi kekayaannya yang besar; dan lenyaplah ke­muliaan
dan kekuasaannya bersama hancurnya patung-patung itu.
Para pembesar itu sudah tentu tidak akan tinggal diam. Mereka
akan berupaya untuk mendustakan, menyiksa, dan melenyapkan Mu-
hammad dari permukaan bumi sebelum mereka dibasmi dengan segala
kekayaan dan kekuasaan yang mereka miliki.
Ataukah Waraqah bin Naufal akan menunggu semua itu? Mereka
akan mendustakannya. Itu sudah pasti. Mereka akan menyiksa dan
mengusirnya ke padang pasir, se­bagaimana mereka lakukan terhadap
Khalid bin Sinan dan Zaid bin ‘Amr.
Mereka tak pernah berbelas-kasihan kepadanya.
Akan tetapi, apa yang dikatakan Muhammad adalah suatu yang
baru dan belum pernah dikatakan oleh Khalid maupun Zaid. Ia siap
berjuang dalam menyampaikan ajarannya hingga nafasnya yang tera-
khir sekalipun. Ia menjanjikan surga yang seluas langit dan bumi bagi
kaum yang tertindas yang menentang kebiadaban dan penindasan. Ia
mengancam orang-orang yang biadab dan penindas, dengan siksaan
api neraka; dan ia menyediakan kedudukan yang sejajar antara hamba
sahaya dan majikannya antara kaum pria dan perempuan.
Betapapun berat jalan yang ditempuhnya, Muhammmad Al-Amin
tak pernah melakukan kebohongan. Nilai-nilai luhur yang diajarkannya
adalah sistem nilai yang pantas untuk dijadikan prinsip interaksi sosial
antar sesama manusia.
Sang istri yang begitu tulus hati mencintainya dan memberikan
kedamaian dalam hidupnya, selamanya akan tetap percaya kepada
apa yang dikatakannya, sekaligus membenarkannya. Maka demikian-
lah, Khadijah memper­cayai dengan sepenuh hati semua ajaran yang
disampai­kan suaminya. Kini hatinya terkonsentrasi kepada Allah se-
mata yang menjadi tumpuan Muhammad dalam memohon keta­bahan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 117


dan menanggung siksa dan cerca, pertolongan dan perlindungan dari
orang-orang yang memiliki harta dan tahta.
‘Ali bin Abu Thalib pun percaya sepenuh hati dan membenarkan
ajaran-ajaran yang disampaikan Muhammad. Dengan gelora dan se-
mangat mudanya yang masih baru, ia berharap pada suatu saat nanti
akan menghunus pedangnya di hadapan kekuatan tersembunyi itu untuk
menanamkan ajaran Muhammad dalam setiap hati orang. Ia berlalu
sembari melambaikan kedua belah tangannya dalam menentukan
keputusan.
Zaid bin Haritsah pun percaya dan membenarkannya.
Suatu ketika Muhammad pergi ke Ka‘bah guna menyampaikan
perihal Tuhannya kepada orang-orang yang berkumpul di situ, dan
sikap lemah-lembut laksana orang-orang yang sedang mencari jalan
di antara kerumunan mereka.
Di Ka‘bah ada beberapa orang dari kalangan pemuda dan kalangan
tua. Mereka sedang memuji-muji nama Muhammad, karena mereka
tahu persis kejujurannya, keberaniannya, dan keluhuran budi pekerti-
nya. Mereka juga tahu ikatan keakrabannya dengan sahabat setianya
yang bernama Abu Bakar bin Abi Quhafah. Kesungguhan kedua orang
bersahabat itu dalam menjalin kerja sama dengan orang lain secara
jujur dan adil merupakan perilaku yang telah diketahui oleh publik.
Ketika sampai di Ka‘bah, betapa herannya mereka tatkala menden-
gar ajaran yang disampaikan Muhammad. Apa yang dimaksud dengan
Tuhan Yang Maha Esa sebagai­mana ia katakan itu? Apakah pengisola-
siannya telah menyebabkan Muhammad punya pandangan demikian?
Sungguh ia tergolong orang yang cerdas dan bijaksana. Semestinya
ia tidak mengajak kepada selain ajaran yang telah menjadi tradisi
sesembahan kaumnya. Lantas di manakah sikap bijaknya? Lupakah
Muhammad akan nasib Khalid bin Sinan dan Zaid bin ‘Amr?
Sebagian dari mereka yang hadir pada waktu itu ada yang menaruh
rasa kasihan dan iba kepada Muhammad. Karenanya, ia berusaha mem-
berikan nasihat kepadanya. Akan tetapi, Muhammad tetap konsisten
atas pendiriannya, yakni menyampaikan ajaran-ajarannya. Akhirnya,

118 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mereka sepakat untuk mengutus salah seorang di antara mereka ke-
pada Abu Bakar, seorang teman Muhammad yang paling dicintai dan
disayanginya.
Abu Bakar tergolong saudagar kaya yang banyak memperoleh
keuntungan-keuntungan pada bulan haji. Sebagian dari lahan perda-
gangannya itu jelas akan lenyap, jika ajakan temannya (Muhammad)
tersebar dan meng­goyahkan kepercayaan masyarakat Arab kepada
tuhan-tuhan Ka‘bah, lalu mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang tak dapat dibatasi oleh tempat, sedangkan Abu Bakar termasuk
sepuluh orang tokoh terkemuka yang memegang kendali pemerintahan
di Makkah, padahal di hati Muhammad, Abu Bakar mendapat tempat
yang sangat spesial. Dengan demikian, barangkali Abu Bakarlah yang
mampu membujuk Muhammad agar menarik kembali ajaran yang mulai
disampaikannya.
Maka segera berangkatlah beberapa orang di antara mereka untuk
menemui Abu Bakar.
“Wahai Abu Bakar, temanmu itu....”
“Mengapa dia?,” Abu Bakar memotong kata-kata mereka dengan
penuh kecemasan.
“Ia ada di masjid mengajak orang-orang untuk menyembah Tuhan
Yang Maha Esa; dan ia menyatakan dirinya sebagai seorang nabi.”
Abu Bakar tertegun sejenak, lalu bertanya: “Apakah benar ia me-
nyatakan demikian?”
“Ya,” mereka menjawab secara serentak.
Pasca dialog dengan Abu Bakar, mereka kemudian pulang dengan
diliputi rasa kasihan.
Dengan tubuhnya yang kurus kerempeng, mukanya yang pucat pasi,
dan tatapan matanya yang hampa, segera Abu Bakar bertolak menuju
Ka‘bah. Sepanjang perjalanan menuju Ka‘bah, ia bungkam seribu
bahasa dan tak menoleh sama sekali hingga ia menemui Muhammad.
“Wahai Abu Qasim, benarkah apa yang telah sampai kepadaku
bahwa semua itu merupakan berita tentang dirimu?,” tanya Abu Bakar.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 119


“Kabar apa yang telah engkau terima tentang diriku, wahai Abu
Bakar?,” jawab Muhammad sambil bertanya.
“Aku terima kabar bahwa engkau menyampaikan ajaran monothe-
isme dan engkau menyatakan diri sebagai seorang utusan Allah?”
“Memang betul, wahai Abu Bakar. Sesungguhnya Tuhanku telah
mengangkat diriku sebagai pembawa kabar gembira, pembawa per-
ingatan, pembawa ajaran Ibrahim. Tuhanku mengutus diriku untuk
seluruh umat manusia di jagad ini,” aku Muhammad.
Ketika itu Abu Bakar termasuk orang yang paling banyak menge-
tahui tentang historis dan peradaban masyarakat Arab. Ia mengetahui
banyak hal mengenai geneologi (keturunan-keturunan), historis, dan
kepercayaan-kpercayaan yang berkembang di Semenanjung Arabia dan
sekitarnya.
“Demi Allah, aku tak pernah menemukan dirimu berkata dusta.
Engkau pantas menyandang predikat rasul, karena engkau jujur, suka
menyambung silaturrahmi, dan berbudi pekerti luhur. Rentangkanlah
tanganmu, kini aku membai‘atmu,” demikianlah pernyataan sikap
tegas dan pengakuan Abu Bakar di hadapan Muhammad.
Setelah berdialog dengan Abu Bakar, Muhammad akhirnya pulang
kembali menemui Khadijah dengan perasaan gembira dan disampai-
kanlah kepada istrinya tentang pembai‘atan yang dilakukan Abu Bakar
yang mulia dan tepercaya.
Abu Bakar tiada henti-hentinya memikirkan tentang ajaran yang
disampaikan Muhammad serta kemungkinan-kemungkinan terjadinya
sikap resistensi dari teman-teman sejawatnya, baik di jajaran pemer-
intahan Makkah, di kalangan elite kekuasaan, maupun di kalangan
pengusaha.
Popularitas ajaran Muhammad hari demi hari kian tersebar luas di
kalangan kaum buruh dan budak-budak yang lemah. Mereka banyak
yang terpikat untuk memeluk ajaran yang disampaikan Muhammad dan
mereka siap menjadikan ajaran itu sebagai tatanan kehidupan sosial
yang baru di Makkah, sebab tatanan sosial yang baru tersebut mem-

120 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


berikan hak kebebasan kepada budak dan mewajibkan para majikan
untuk memenuhi keinginan budaknya yang menuntut kemerdekaan
dengan memberikan keleluasaan untuk bekerja mengambil upah agar
dapat membeli kemerdekaannya; dan kehadiran tatanan sosial tersebut
dapat memberikan hak tertentu bagi orang fakir di dalam harta orang
kaya.
Demikian pula tatanan sosial baru tersebut dapat memberikan
jaminan hak hidup bagi kaum perempuan sebagaimana kaum pria.
Kini tak ada lagi tradisi patriarkhi yang memandang kaum perempuan
sebagai akibat kesalahan di muka bumi, faktor pendorong, inspirator,
dan indikator terjadinya kesalahan.

g
Ajaran baru yang dibawa Muhammad ini melarang para suami dan
para ayah memaksa istri dan anak gadisnya menjalankan praktek pela-
curan. Ajaran ini memberikan jaminan kesetaraan hak bersama seorang
yang mencintai, menafkahi dan menggauli dengan baik, menceraikan-
nya dengan baik pula, menyerahkan maskawin ketika per­nikahan, dan
menafkahinya pasca terjadinya perceraian.
Ajaran ini tidak memberikan legitimasi pada segala bentuk transaksi
model sistem aturan hukum yang berlaku di Makkah. Ajaran ini tidak
membenarkan praktek memper­gundik kaum perempuan, menjadikan
sebagai hibah (pemberian), atau menuntut hibah kepada orang lain
sebagai ganti dari perempuan sebagaimana layaknya nilai suatu barang.
Dengan ajaran baru itu, kini sudah tidak ada lagi seorang suami memaksa
istrinya agar melakukan hubungan seksual dengan seseorang tertentu
di kalangan elite Quraisy supaya memperoleh keturunan dari seorang
yang kaya.
Ajaran Muhammad menuntut kaum pria dan perempuan untuk
menjaga harga diri dan kehormatannya. Seorang perempuan adalah
kehormatan dan harga diri suaminya, sementara posisi seorang laki-
laki adalah kehormatan istrinya. Kaum pria maupun perempuan wajib
menjaga jiwa raganya agar senantiasa tetap dalam kesucian dan tidak
mentolerir percampur-adukan keturunan. Model jalinan relasi di antara

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 121


mereka hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip rumah tangga dan
terjaminnya masa depan anak-anaknya, tidak seperti apa yang terjadi
saat ini, yang seolah-olah merupakan hukum rimba yang berbentuk
kerajaan binatang.
Oleh karena itu, setiap perempuan yang mendengar ajaran ini
dan mempercayai, sudah pasti memberikan motivasi kepada suaminya
untuk mempercayainya.
Maka demikianlah, ajaran baru ini tersebar luas dan berkembang
di kalangan kaum perempuan, budak-budak, dan kaum buruh.

g
Akan tetapi, tetap saja kaum bangsawan Quraisy memandang
remeh terhadap Muhammad, karena para pengikutnya hanyalah orang-
orang jembel. Bahkan pernah terjadi di mana ‘Amr bin ‘Ash meman-
dang ajaran baru ini dengan teramat sinis, ketika ia melihat salah
seorang hamba sahaya membaca apa yang disampaikan Muhammad.
Begitu pula tatkala ia mengetahui ada orang mucikari perempuan yang
banyak memiliki tempat pelacuran telah menurunkan umbul-umbul
yang dipancang di rumahnya, lalu mengusir para laki-laki hidung belang
sambil membacakan apa yang dia pelajari dari Muhammad, di mana
dengan tegas mereka menyatakan bahwa tidak lagi akan menjalin
hubungan dengan laki-laki yang mana pun, terkecuali ia mengawininya
menurut tata aturan yang diajarkan Muhammad dan ia mempercayai
ajaran Muhammad pula.
Kenyataan ini sangat tidak menggembirakan hati Abu Bakar.
Memang benar mereka memperoleh kebebasan menurut ajaran Mu-
hammad. Akan tetapi, meskipun demikian, Makkah hanya terdiri dari
kalangan budak-budak, pelacur, dan kaum buruh yang lemah. Sudah
tentu, apabila pengikut Muhammad berasal dari kalangan mereka,
maka para pengikut Muhammad takkan pernah terbebas dari cercaan
dan ejekan di kalangan para bangsawan Makkah.
Di antara para bangsawan Quraisy ada juga yang suka bergaul dan
bersikap ramah dengan Abu Bakar, sedang di kalangan pemuka Quraisy,
Abu Bakar termasuk orang yang paling banyak tahu tentang seluk-beluk

122 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


suku Quraisy, mulai dari kebaikan dan keburukannya.
Dengan segenap daya dan upaya, Abu Bakar melakukan ikhtiar
untuk menularkan ajaran Muhammad kepada sebagian teman-teman
dekatnya yang mempercayai dirinya. Karena betapapun gelapnya
suasana kehidupan masyarakat Quraisy, namun masih ada di antara
para elite Quraisy yang tidak tenggelam dalam lumpur dosa. Masih
ada di antara mereka yang tidak mau pada praktek riba dan sistem
sosial yang berlaku di Makkah, seperti Abu Bakar. Hati yang baik
senantiasa cenderung pada perbuatan-perbuatan yang baik dan tak
pernah membenarkan tindakan sewenang-wenang terhadap orang lain,
betapapun kepentingan ekonomi menuntutnya. Kepentingan bukanlah
faktor dominan yang dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan
sewenang-wenang dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga.
Ketika itu pula Abu Bakar mendatangi salah seorang temannya
yang memiliki posisi terpandang juga, ‘Utsman bin ‘Affan. Ia tergolong
bangsawan Quraisy yang kaya-raya. Abu Bakar menceritakan kepadanya
perihal Muhammad dan ajaran-ajarannya. Memang, sudah lama sekali
‘Utsman mendengar kabar yang dibawa Abu Bakar. “Bukanlah Mu-
hammad orang yang mendapat predikat ‘Al-Amin’; dan bukanlah ia
bapaknya Ruqayyah?” begitu kata hati ‘Utsman bertanya-tanya setelah
bertemu dengan Abu Bakar.
Sebenarnya hati ‘Utsman merasa simpatik dan terpikat dengan
ajaran Muhammad, namun ia terbentur pada suatu keadaan yang
memaksanya pada kondisi dilematis. Hal ini dikarenakan ayahnya
mengawinkan dengan putri pamannya yang kaya-raya.
Semula ‘Utsman dalam kondisi goyah dan goncang, tetapi lambat-
laun hatinya mulai terbuka menerima ajaran baru itu, sebab ia juga
telah lama memendam sikap anti terhadap kecongkakan dan kebiada-
ban teman-temannya dari kalangan Quraisy. Lama sudah ia memendam
sikapnya yang anti terhadap tatanan masyarakat Quraisy yang berlumur
dosa.
Akhirnya, ‘Utsman bin ‘Affan percaya dan membe­nar­kan ajaran
Muhammad setelah Abu Bakar meyakinkannya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 123


Tiada henti-hentinya Abu Bakar mendatangi teman-temannya,
hingga perjalanan lobi-lobi itu menuai hasil yang optimal di mana
akhirnya Zubair bin Awwam, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abi
Waqqash, dan Thalhah bin ‘Abdullah; mereka semuanya beriman ke-
pada ajaran baru Muhammad. Mereka semua adalah saudagar-saudagar
kaya yang berdagang dengan cara-cara bersih, anti rente, zina, dan
kebejatan. Mereka juga anti berfoya-foya sebagaimana kebiasaan
teman-temannya di Makkah sepanjang malam. Mereka adalah benar-
benar suku Quraisy dalam hal kekayaan dan kebangsawanan.
Kekayaan Zubair bin Awwam mencapai berjuta-juta dirham dan
‘Abdurrahman bin ‘Auf adalah saudagar kaya-raya yang memiliki
beribu-ribu dinar, beratus-ratus unta, dan kebun-kebun yang luas di
Thaif.
Adapun posisi Sa‘ad bin Waqqash adalah seorang yang cukup ter-
pandang di tengah-tengah kaumnya. Ia adalah seorang penunggang
kuda yang tangkas dan ternama di Makkah. Sekalipun ia tidak tergolong
saudagar Quraisy yang memiliki harta kekayaan melimpah-ruah, tetapi
ia mem­pu­nyai pengaruh yang cukup kuat di tengah-tengah kaumnya.
Thalhah bin ‘Abdul Malik adalah seorang saudagar yang memiliki
harta kekayaan yang terus meningkat. Perniagaan­nya berkembang
pesat dan luas hingga mampu menembus Irak. Ia juga mempunyai
kedudukan dan keturunan yang terpandang di tengah-tengah kaumnya.
Mereka semua memiliki segalanya, harta yang me­limpah-ruah,
posisi yang berpengaruh, pengikut yang banyak, dan hati yang ber-
sih. Karenanya, tidak akan ada seorang pun yang berani mengejek
dan meremehkan mereka. Jika demikian halnya, maka sudah dapat
dipasti­kan, tak seorang pun yang berani mencoba-coba menghina
ajaran-ajaran yang diprakarsai Muhammad.
Dengan posisi teman-temannya yang cukup strategis, maka para
pengikut ajaran Muhammad bukan lagi hanya berasal dari kalangan
orang-orang jembel, budak, pelacur-pelacur, dan orang-orang yang
lemah nan papa, tetapi terdapat pula pengikut yang berasal dari ka-
langan pemuka-pemuka dan pemimpin masyarakat yang memiliki citra

124 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


baik di mata kaumnya serta budayawan-budayawan terkemuka yang
tak ada bandingnya di kalangan Quraisy. Mereka semua percaya dan
membenarkan sepenuhnya ajaran Muhammad; mereka, para wanita
dan putri-putri pembesar Quraisy memiliki keturunan terpandang.

g
Sebelumnya, di tengah-tengah keheningan malam tiada terden-
gar selain jeritan tangis orang-orang yang terbuang di tengah-tengah
padang belantara dan gelak-tawa kaum pria hidung belang dan kaum
perempuan penghibur yang bercampur-baur dengan dentingan bunyi
cawan-cawan di balik pintu istana.
Sebelumnya, di celah-celah keheningan malam mulai terdengar
sayup-sayup suara yang sedang membaca kalimat-kalimat yang dibawa
Muhammad. Sayup kalimat itu menjanjikan kebebasan kepada setiap
hati orang yang dirundung duka nestapa.
Selanjutnya, timbul inisiatif Muhammad untuk me­ngumpul­kan ke-
luarganya dari Bani Muththalib. Semua itu dilakukannya dengan tujuan
mengajak mereka agar percaya dan membenarkan sepenuh hati ajaran
yang dibawanya, sebab baginya tidak ada yang lebih ia cintai, selain
keluarga dekatnya.
Inisiatif itu akhirnya dapat terealisasi di mana mereka akhirnya
menghadiri undangan tersebut ke rumahnya. Pada waktu itu seorang
pamannya yang bernama Zubair, seorang laki-laki pecandu minum-
minuman dan hedonistis, meminta tuak yang akan diminumnya. Tatkala
Zubair asyik ber­dendang, Muhammad menyuguhkan cawan-cawan ke-
pada mereka, tetapi cawan-cawan itu ternyata berisi susu dan diminum
olehnya. Setelah itu mulailah Zubair dengan para undangan lainnya
mendengarkan kata-kata yang akan disampaikan anak pamannya.
Tetapi pertemuan itu tidak berhasil secara optimal, sebab dari
semua keluarga yang hadir pada waktu itu, tak seorang pun dari mereka
mau menerima ajakan Muhammad, selain ‘Ali bin Abi Thalib. Dialah
satu-satunya keluarga yang tergerak hatinya atas ajakan Muhammad
dan kemudian dengan tegas menyatakan akan membela Muhammad

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 125


dengan pedangnya. Melihat sikap ‘Ali yang sportif itu, beberapa kera-
bat yang lebih tua darinya menertawakannya, karena ketika itu ‘Ali
adalah kerabat yang muda usianya di mana usianya baru beranjak
remaja. Meski demikian, ‘Ali di mata Muhammad justru sangat men-
gagumkan dan tak dapat diremehkan. Maka berdirilah Muhammad,
lalu dipeluknya ‘Ali dalam suasana yang mengharukan.
Muhammad heran kepada famili-familinya, mengapa mereka tak
mau menerima apa yang disampaikannya, padahal mereka sudah tahu
tentang keluhuran budi pekerti dan kejujuran dirinya. Muhammad tak-
kan pernah mengajak mereka, kecuali pada kebaikan. Betapa besar
harapan Muhammad andaikata mereka mau percaya kepada ajaran
yang disampaikannya sebagaimana yang telah diperbuat ‘Ali, sebab
bagi Muhammad, kepercayaan mereka merupa­kan modal terbesar yang
akan dapat melindungi dari gangguan dan ancaman para penguasa
Quraisy yang sudah pasti akan terjadi.
Muhammad begitu gigih membujuk keluarganya yang diharapkan
dapat memberikan support dan membentengi dirinya, meskipun hal
itu tak mudah baginya. Oleh karenanya, ia bermaksud mengulangi cara
itu sekali lagi dengan format yang berbeda.
Kali ini ia mengundang seluruh Bani Hasyim; para wanitanya,
budak-budaknya, dan pembantu-pembantunya. Ia tahu bahwa paman-
nya, ‘Abbas, menduduki posisi yang strategis dan hak prerogatif yang
luas dalam jajaran pemerintahan Makkah. Posisi dan otoritas ini tak-
kan pernah dapat digenggam, jika orang-orang tidak percaya kepada
patung-patung Ka‘bah.
Ia tahu bahwa kekayaan pamannya, Abu Lahab, yang melimpah-
ruah sebenarnya diperoleh dari rente (mem­bungakan uang) sebagaima-
na ‘Abbas. Abu Lahab memiliki banyak perkebunan yang digarap oleh
budak-budaknya. Ladang-ladang di Thaif ia jadikan tempat menggem-
bala peternakan babi. Dari kebun anggur dan kurmanya itulah, ia dapat
memproduksi minuman yang paling istimewa.
Abu Lahab melipat-gandakan harta kekayaannya di hari-hari dalam
tiga bulan Haram, saat orang-orang melakukan haji ke patung-patung
Ka‘bah. Sementara Ummu Jamil -istri Abu Lahab- yang masih saudara

126 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dengan Abu Sufyan, termasuk salah satu anggota pemerintahan Makkah
dan rentenir terkemuka. Akan tetapi, anak Abu Lahab dari perkawinan-
nya dengan Ummu Jamil telah mengawini Ruqayah, putri Muhammad
sendiri. Semoga Allah membuka hati mereka semua untuk menerima
ajaran Muhammad.
Ia tahu bahwa sebenarnya sang paman yang bernama Zubair tak
pernah mempunyai kepedulian yang sungguh-sungguh kepada tuhan-
tuhan dan patung-patung itu. Dalam hidupnya tak ada yang lebih
utama, selain berfoya-foya, musik, minum-minuman, dan perempuan.
Namun meski dalam kondisi yang demikian, siapa tahu dapat mengubah
perilaku Zaid?
Seorang pamannya lagi yang bernama Hamzah adalah pemuda pem-
berani yang semasa kecilnya pernah menyusu bersamanya, sehingga
masih membekas cinta kasih di hatinya. Akan tetapi, Hamzah tidak
dapat berbuat banyak, sebab Hamzah hanya sibuk latihan pacuan kuda
dan ia mem­punyai keinginan keras untuk mempertahankan reputasinya
sebagai jago pacuan kuda di kalangan suku Quraisy, sehingga tidak ada
tempat di hati Hamzah selain itu.
Semoga saja hati Hamzah -sang jagoan pacuan kuda yang disegani
berbagai kalangan- terbuka pintu hatinya untuk menerima ajaran
Muhammad.
Abu Thalib, seorang pria dermawan dan baik hati. Ia teramat
memperhatikan masalah kesehatan dan hubungan yang baik dengan
kaumnya. Barangkali ia mau menerima ajaran Muhammad. Ya, siapa
tahu? Barangkali mereka mau menerima ajaran-ajaran itu bila situasi
dan kondisi telah memungkinkan untuk menerimanya, maka pasti di-
upayakan.

g
Di atas bukit Shafa, di luar Makkah, Muhammad tegak berdiri den-
gan dikelilingi keluarga besar Bani Hasyim, sebagaimana kaum pria
dan wanita yang telah percaya dan membenarkan ajarannya.
“Apakah gerangan maunya Muhammad?”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 127


“Untuk apakah gerangan mereka dikumpulkan?,” demikianlah
mereka saling bertanya-tanya.
Dari atas puncak bukit Shafa, dengan suara lantang Muhammad
berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar memberikan
peringatan kepada kerabat dekatku. Sesungguhnya aku tidak dapat
memberikan keuntungan dunia dan akhirat bagi kalian, terkecuali
kalian mau menyatakan kalimat laa ilaaha illallooh.
Mendengar ungkapan itu, meledaklah amarah Abu Lahab sambil
mengangkat kedua tangannya ke muka Muhammad dengan luapan
emosi yang tak tertahankan seraya mengucapkan kata-kata yang tera-
mat kasar: “Celakalah seluruh hari-harimu, wahai Muhammad! Hanya
untuk inikah kamu mengumpulkam kami?”
Celakalah baginya? Celakalah bagi Muhammad?
Kecaman yang dilontarkan Abu Lahab membuat semua orang yang
hadir membungkam seribu bahasa sambil menunggu jawaban yang akan
dikatakan Muhammad. Lain halnya dengan sikap ‘Ali; ia justru sangat
geram sekali. Bahkan hampir saja ‘Ali akan membalas ketidak-ramahan
sikap pamannya, Abu Lahab. Akan tetapi, untung saja ia masih beru-
saha mengendalikan emosinya. Semua yang hadir masih saja menunggu
jawaban yang akan dikatakan Muhammad.
Akankah Muhammad berdiam diri menghadapi peng­hinaan dan
tudingan Abu Lahab?
Jika seorang pembesar dan pemuka Quraisy telah melangkah
akan menghancurkan harga diri dari keluarga dekatnya, marah, serta
menuding-nuding muka orang-orang yang jujur dan mencercanya se-
cara terang-terangan, kira-kira apa yang akan terjadi sesudah itu?
Ciutkah nyali Muhammad? Gentarkah hati Muhammad?
Memang, Abu Lahab mempunyai pengaruh kuat di kalangan orang-
orang Quraisy. Istrinya adalah saudara Abu Sufyan yang memiliki harta,
posisi, dan kekuasaan yang paling mapan di antara para bangsawan
dan hartawan Quraisy; ataukah karena belas kasihan terhadap Abu
Lahab dan istri-istrinya, sehingga bagi Muhammad bungkam merupakan

128 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


pilihan yang baik? Ataukah lantaran putrinya, Ruqayah, dipersunting
oleh anak laki-laki Abu Lahab dengan Ummu Jamil -istrinya-, sehingga
Muhamad akan menerima begitu saja caci-maki dan penghinaan Abu
Lahab?
Ternyata semua praduga di atas semuanya meleset.
Takkan pernah kompromi dan damai sesudah itu!
Bagi orang yang bertekad akan membangun peradaban yang baik
di tengah-tengah kebobrokan, maka ia tak pernah berdiam diri atau
berdamai terhadap caci-maki dan penghinaan.
Wibawa dan kebenaran ajaran ini benar-benar dihadap­kan pada
suatu ujian dan tantangan yang teramat berat. Takutkah Muhammad
menghadapi kecongkakan Abu Lahab dan kekuasaan Abu Sufyan?
Wahai Abu Lahab, apa yang engkau katakan? Sekarang dengar-
kanlah! Muhammad takkan pernah bungkam terhadap orang yang
menantangnya. Muhammad takkan pernah mau menerima caci-maki
dan penghinaan dari siapa pun, sekalipun dari pamannya sendiri terha-
dap dirinya dan ajaran-ajaran yang dibawanya. Muhammad akan siap
terjun ke medan laga untuk menghadapi orang-orang yang congkak.
Wahai Abu Lahab, dengarkanlah! Kini dengarkanlah, wahai Abu
Lahab! Aku telah mendengar petir (hendak menyambarmu).
“Binasalah engkau sendiri!”
“Binasalah engkau dan seluruh hari-harimu!”
“Binasalah engkau dan segenap hidupmu!”
“Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab. Sungguh dia binasa!”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 129


130 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Antagonisme
Menolak Kebenaran

T lah datang suatu masa pada saat manusia diikat


dan dilemparkan ke jurang kelaparan, kedengkian,
dan penderitaan. Suatu masa yang menuntut pengorbanan para syu-
hada; pahlawan; pemikir; pendamba persaudaraan, keadilan, dan
masa depan; para pembela keadilan yang memegang teguh komit-
mennya; dan orang-orang yang telah dikaruniai keimanan agar bahu-
membahu dalam menghadapi kemarahan, balas dendam, penyiksaan
dan kematian, caci-maki, dan segala bentuk kekejian, kebiadaban,
dan kebuasan.
Dengan segala kekuatan yang dimilikinya yang berupa kedudukan,
kekuasaan, dan kelompok, para bangsawan Makkah bangkit untuk
menangkal dahsyatnya badai gelombang yang akan menelan habis
semua milik mereka; sumber kekayaan yang telah memberi kekuasaan
dan membuka peluang kecongkakan dan kesombongan.
Untuk menangkal dahsyatnya badai gelombang kemanu­siaan, su-
dah tentu para bangsawan Makkah akan menempuh segala cara dalam

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 131


bentuk apa pun. Bagaimanapun juga mereka takkan pernah membuka
pintu hati untuk mengambil pelajaran dari sejarah kehancuran para
penguasa terdahulu yang tiran.
Para penguasa terdahulu yang tiran dan sewenang-wenang jauh
lebih kuat posisinya dan lebih besar golongannya bila dibandingkan
dengan para bangsawan Makkah, tapi akhirnya runtuh berkeping-
keping secara tiba-tiba dan tak terduga. Mereka jatuh dari posisinya
yang tinggi di hadapan gerakan rakyat jelata yang bergabung di bawah
bendera ajaran yang memancarkan cahaya kehidupan dan memberi­kan
harapan-harapan baru di masa yang akan datang.
Mengapa para bangsawan Makkah tak mau mengambil pelajaran
dari sejarah masa lampau? Mengapa harta keka­yaan menutup hati
mereka untuk menerima peringat­an? Mengapa mereka sama sekali tak
mau memahami kata-kata?
Teror dan intimidasi takkan mampu memadamkan cahaya keimanan
yang berpijar di dalam hati dan takkan kuasa mencabut pikiran dari
lipatan-lipatan otak. Dan akan datang saatnya kaum lemah nan papa
menggeser kaum elite dari puncak posisinya yang sewenang-wenang.
Tetapi kalangan elite penguasa tak pernah mau ambil peduli
terhadap kekuatan gerakan kemanusiaan yang terpancar dari arus
zaman. Mereka tak memahami gerakan monumental. Mereka takkan
pernah merasa akan mendapat kutukan yang memancar dari dalam
hati orang-orang yang pernah tertindas di kemudian hari. Abu Lahab
niscaya akan terus memperdaya Muhammad dan para pengikutnya. Ia
akan terus diburu oleh korban-korban kebiadabannya. Kelak dia akan
dijebloskan ke dalam api neraka yang membara. Namun teror dan
intimidasi takkan menyebabkan mundur­nya langkah-langkah gerakan
kemanusiaan para pengikut Muhammad. Dalam intimidasi itu para
pengikut Muhammad juga melihat adanya satu bentuk pengorbanan
baru yang harus dihadapi Ruqayyah, putri Muhammad.
Demikian pula dalam intimidasi itu, para pendukung Muhammad
melihat keberanian Muhammad sebagai suatu kenyataan yang baru
mereka saksikan. Betapa beraninya Muhammad menyatakan bahwa

132 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dirinya takkan pernah tinggal diam terhadap orang-orang yang mel-
ecehkan dakwahnya. Ia juga tak takut mengutuk para penentang aja-
rannya dan bersikap sewenang-wenang terhadap dirinya, betapapun
mereka keluarga dekatnya dan berkedudukan tinggi di tengah-tengah
masyarakat Quraisy.
Ternyata, secara diam-diam para pembesar bangsawan Quraisy
merasa heran atas keberanian dan kegigihan Muhammad.
Betapa tidak, karena mereka tahu bahwa Muhammad hanyalah
seorang anak yatim piatu yang kerjanya meng­angkat batu di lorong-
lorong Makkah. Mereka tahu Muhammad hanyalah seorang pemuda
miskin yang peker­jaan sehari-harinya hanyalah menggembala kambing-
kambing para bangsawan di bawah terik panas matahari di lereng-
lereng bukit demi sesuap nasi untuk menyambung hidupnya. Maka
bagaimana mungkin kini ia akan bertekad menjadi pemimpin para
bangsawan, bahkan akan melucuti gelar kehormatan mereka?
Maka demikianlah, kini antagonisme mulai mencuat ke permukaan.
Orang-orang kaya bersikukuh atas posisi mereka, sementara orang-
orang miskin menuntut hak untuk hidup terhormat dan terwujudnya
sebuah tatanan baru yang lebih baik.

g
Pada suatu sore Muhammad pulang ke rumahnya dengan perasaan
berat hati dalam menanggung beban penderitaan yang dialami para
pengikutnya. Kenyataan pahit ini terus menjadi spirit yang terpancar
dari dalam hatinya, terus menyala dan takkan pernah padam sela-
manya.
Muhammad yakin sekali bahwa pamannya, Abu Lahab, akan beru-
saha menarik semua Bani Hasyim ke dalam barisannya, sebab tanpa
dukungan dan bantuan Bani Hasyim, sudah tentu Abu Lahab laksana
barang rampasan taring-taring kekuasaan para bangsawan Quraisy.
Akan tetapi, setiap hari Abu Bakar mencari pendukung-pen­dukung­nya.
Ini benar-benar spektakuler. Tetapi siapakah yang berani mendatangi
Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, si jagoan penunggang kuda itu? Mung-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 133


kinkah Abu Lahab mempengaruhi agar ia mau menyiksa Muhammad?
Suatu ketika tiba-tiba pintu rumah Muhammad terbuka. Ternyata
yang datang adalah seorang perempuan yang bernama Ruqayyah binti
Muhammad. Ia datang kepada ibunya dengan penuh isak tangis dan ia
mencurahkan seluruh kedukaannya bahwa suaminya -Utbah bin Abu
Lahab- telah menceraikannya. Bahkan pada peristiwa itu Abu Lahab
sendiri memukulinya, sedangkan Ummu Jamil -mertua perempuannya-
merobek-robek bajunya. Mereka bertiga bersumpah takkan pernah
mau menerima kehadirannya, selama bapaknya tetap menjalankan
ajakan-ajakannya, khususnya kepada Abu Lahab. Mereka bersumpah
akan merintangi para lelaki yang bermaksud akan mengawininya pasca
perceraiannya dengan Utbah bin Abu Lahab.
Mendengar cerita itu, betapa sedih hati Khadijah melihat putrinya
kini menjadi seorang perempuan janda yang terusir. Ayahnya mengha-
pus air mata yang menetes di pipinya. Selanjutnya, Muhammad pergi
untuk menemui temannya, Abu Bakar. Ketika di tengah perjalanan,
tiba-tiba di hadapannya ia melihat duri-duri yang berserakan. Tidak
jauh dari tempat itu, Ummu Jamil dengan dandanan yang mencolok
mata berdiri angkuh dan mengusirnya dengan sorot mata sinis.
Namun bila Muhammad dapat melalui jalan yang ditumpuki duri-
duri itu, Ummu Jamil menyuruh budak-budak­nya untuk melempari
Muhammad dengan kotoran-kotoran, sementara Ummu Jamil berdiri
congkak di depan suaminya, Abu Lahab, sambil menertawakan dan
meng­ejeknya. Mereka berdua menuding-nuding Muhammad dengan
cemoohan: “Ini dia si anak yatim jembel yang bermaksud akan melucuti
kaum bangsawan dari kedudukan yang tinggi.”
Setibanya di rumah teman Abu Bakar sebagai sahabat sejatinya,
Muhammad mengadukan perlakuan Abu Lahab terhadap dirinya dan
anak perempuannya kepada teman setianya, Abu Bakar. Abu Bakar ke-
mudian menceritakan kepadanya bahwa ‘Utsman bin ‘Affan sebenarnya
sudah dari dulu menaruh hati kepada Ruqayyah, tapi sayang sekali, ia
kalah cepat dengan Utbah. Karena itu, ia amat menyesal sekali dan
kecewa lantaran tidak bisa menjadikan Ruqayyah sebagai pendamping

134 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


hidupnya.
Hanya beberapa hari berlalu dari peristiwa itu, akhirnya ‘Utsman
mengawini Ruqayyah. ‘Utsman bin ‘Affan adalah seorang saudagar
kaya yang memiliki budi pekerti yang luhur.
Namun meski Ruqayyah telah menjadi milik ‘Utsman, ternyata istri
Abu Lahab tak henti-hentinya memberi duri-duri di setiap jalan yang
dilalui Muhammad. Para budaknya diperintahkan untuk melemparkan
kotoran-kotoran kepada Muhammad. Akan tetapi, semua gangguan itu
dihadapi dengan penuh kesabaran. Dia adalah perempuan, tapi dia tidak
memahami hakikat kesabaran Muhammad. Bahkan dia kian meningkatkan
frekuensi gangguan-gangguannya terhadap Muhammad. Kini Ummu Jamil
tak segan-segan lagi untuk menyuruh para budak-budaknya membawa
setumpuk batu di setiap jalan yang dilalui Muhammad. Batu-batu itu
mereka lemparkan kepada Muhammad sewaktu ia lewat.
Binasalah dia sebagaimana binasanya kedua tangan Abu Lahab.

“Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab. Sungguh dia akan binasa. Tak
ada guna harta kekayaan dan segala jerih-payah usahanya. Kelak dia akan
dijebloskan ke dalam api neraka yang membara. Begitu pula istrinya, si
pembawa kayu bakar (sang penebar fitnah), yang di lehernya ada tali dari
sabut.”(QS. Al-Lahab [111]: 1-5)
Istri Abu Lahab dengan hati geram mendatangi Abu Bakar yang
sedang berada di masjid.
“Apa maksud temanmu melantunkan syair tentang diriku?” tanya
Ummu Jamil.
“Demi Allah, temanku itu tak pandai bersyair,” sanggah Abu Bakar.
“Bukankah temanmu itu mengatakan: ‘yang di lehernya ada tali
dari sabut.’?”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 135


Lalu ia meraba-raba leher dan dadanya, kemudian melanjutkan
kata-katanya: “Tak tahukah temanmu itu apa yang ada di leherku?”
dengan suara yang bernada emosi yang tak tertahan-tahan.
Abu Bakar memejamkan mata, tidak menanggapi kata-kata Ummu
Jamil. Sementara itu Ummu Jamil memper­tontonkan perhiasannnya
melenggak-lenggok dengan genitnya sambil tertawa ngakak penuh
kecongkakan. Kemudian ia berpaling meninggalkan Abu Bakar seraya
mengomel: “Semua orang Quraisy tahu bahwa aku adalah putri tuan
mereka.”
Ummu Jamil terus melontarkan hasutan-hasutan terhadap Muham-
mad di kalangan para budak dan hamba sahayanya, padahal para budak
dan hamba sahaya itu yang diperjuangkan dan dibela Muhammad agar
dapat hidup dan lebih manusiawi, hingga Muhammd rela menanggung
resiko celaan dan siksaan yang dilakukan oleh Abu Lahab bersama
istrinya, si pembawa kayu bakar.
Para pembesar Quraisy berusaha menekan tindakan yang dilakukan
Abu Lahab terhadap Muhammad, karena jika sampai menyakiti Mu-
hammad, dikhawatirkan kelompok Bani Hasyim akan berang. Hal ini
mengingat bahwa Abu Thalib, pemimpin Bani Hasyim, berada dipihak
Muhammad. Bahkan dengan tegas Abu Thalib menyatakan kepada ka-
umnya bahwa ia akan melindungi keponakannya dari ancaman siapa
pun, sekalipun dari saudaranya sendiri, Abu Lahab bin ‘Abdul Muth-
thalib.
Abu Thalib menemui Muhammad meminta agar mau menarik
kembali ajarannya. Semua itu dilakukan demi menjaga kondusivitas
keselamatan bersama. Namun pernyataan yang disampaikan paman-
nya itu membuat sesak dadanya, sebab Muhammad khawatir jangan-
jangan maksud kedatangan pamannya hanya sebagai akibat dari
ketidak­mampuan untuk melindungi keselamatan dirinya, sehingga ia
bermaksud akan melepaskan dan menyerahkannya kepada orang-orang
Quraisy. Karena itulah, pamannya meminta kepada Muhammad agar
bersedia meninggalkan ajarannya dan menanggalkan misinya, padahal
Muhammad telah bertekad tak akan pernah melepaskan tugasnya atau
ia mati karenanya.

136 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Namun praduga Muhammad disangkal oleh Abu Thalib, sehingga
untuk meyakinkan keponakannya, Abu Thalib bersumpah di hadapan-
nya, bahwa ia tak akan pernah menyerahkannya kepada siapa pun
selamanya. Maka kini, ia bebas mengatakan apa yang diinginkannya.
Sekelompok pembesar Quraisy berusaha membujuk Abu Thalib agar
mau melepaskan hubungan antara Bani Hasyim dengan keponakannya.
Mereka pergi menemui Abu Thalib dengan membawa seorang pemuda
Quraisy yang berwajah tampan, bernama ‘Amr bin Walid.
“Ini ‘Umarah bin Walid, seorang pemuda Quraisy yang gagah perkasa
dan paling tampan. Ambillah ia! Jadikanlah ia sebagai anak. Ia sekarang
jadi milikmu, dengan catatan serahkanlah keponakanmu yang menyalahi
agamamu dan agama nenek moyang kita, yang telah memecah-belah
persatuan dan kesatuan kaummu dan menggoblok-goblokkan obsesi
mereka, untuk kita bunuh,” demikian ucap mereka.
“Dengan demikian, cukup berimbang bukan? Seorang laki-laki
ditukar dengan seorang laki-laki pula,” lanjut mereka.
Tawaran mereka membuat emosi Abu Thalib meluap-luap dan
dengan suara lantang keras yang melengking, Abu Thalib menjawab
tawaran mereka: “Betapa jeleknya tawaran yang kalian sodorkan ke-
padaku. Apakah kalian akan memberikan anakmu untuk diberi makan,
sedangkan aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh? Demi
Allah, ini adalah sesuatu yang tak boleh terjadi selamanya!”
Salah seorang di antara mereka berkata: “Wahai Abu Thalib,
kaummu telah bertindak bijaksana kepadanya dan mereka telah
berupaya melepaskan apa yang engkau benci. Mengapa dirimu tak
mau menerima tawaran mereka sama sekali?”
“Demi Allah, kalian tidak bersikap bijak kepadaku. Tapi kalian
rupanya telah bersekongkol untuk merendah­kan dan mendiskredit-
kan diriku. Lakukanlah apa yang menjadi ke­inginanmu!,” demikianlah
tanggapan Abu Thalib lebih lanjut.
Jika demikian, berarti percuma saja dialog bargaining dengan
Abu Thalib. Sikap Abu Thalib jelas-jelas telah memecah-belah Bani
Hasyim ke dalam dua kelompok. Satu kelompok mendukung dirinya

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 137


dan keponakannya, sedangkan kelompok yang lain mendukung Abu
Lahab. Namun yang pasti dari dua tipe kelompok itu, kalangan orang
miskin akan berpihak pada Abu Thalib, sedangkan kalangan elite akan
bergerak dalam barisan Abu Lahab.
Dengan demikian, dituntut satu tindakan yang efektif dan efesien
sebagai langkah preventif atas tersebarnya ajaran-ajaran Muhammad
yang akan merongrong hegemoni pemerintahan Quraisy.

g
Para pemuka Quraisy mengadakan suatu pertemuan yang dipimpin
langsung oleh Abu Sufyan. Dari pertemuan tersebut dicetuskan be-
berapa poin:
1. Menyatakan ajaran Muhammad sebagai ajaran terlarang.
2. Pemerintah Quraisy menetapkan akan membunuh para budak dan
majikan yang mengikuti ajaran Muhammad.
3. Barangsiapa dari para saudagar yang mengikuti ajaran Muhammad,
maka usaha dagangnya akan dihancurkan; kehormatannya akan
dilucuti, dan harta kekayaan mereka akan dirusak.
4. Mengerahkan para tokoh masyarakat dari para jagoan penung-
gang kuda untuk merintangi setiap derap langkah orang yang akan
memeluk ajaran Muhammad.
Sekalipun peraturan yang melarang ajaran Muhammad telah di-
cetuskan; ancaman dan kecaman terhadap para pengikutnya telah
dikeluarkan pula oleh pemerintah Makkah yang merupakan penguasa
tertinggi masyarakat Quraisy, tetapi ajaran-ajaran Muhammad terus
tersebar kian meluas.
Pemerintah Makkah dan orang-orang yang berkepen­tingan melaku-
kan gerakan-gerakan sebagai upaya untuk mengimbangi dakwah
Muhammad dan menekan orang-orang yang beriman kepada Muham-
mad. Mereka mulai melakukan aksi anarkhis dengan bentuk tindakan
pemukul­an-pemukulan yang dapat menciutkan nyali para pemberani.
Sasaran tindakan anarkhis ini adalah kalangan rakyat lemah dan jelata.

138 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Pemerintah Makkah mulai mendera para budak dan kuli yang mengi-
kuti ajaran Muhammad. Karena dengan tindakan tersebut, diharapkan
dapat menjadi bentuk ultimatum politis pada kalangan elite yang
mengikuti ajaran Muhammad dari ancaman pemerintah Makkah yang
dapat menyebabkan hancurnya usaha dagang mereka dan jatuhnya
kedudukan mereka.
Adapun di kalangan para budak yang dimerdekakan yang paling
keras suaranya menentang tindakan bobrok ini adalah Bilal bin Ra-
bah. Tuannya, Umayyah bin Khalaf Al-Juhmi, menuntut agar ia mau
menyatakan dan menarik diri dari ajaran-ajaran Muhammad, tapi ia
justru mem­bangkang.
Penentangan yang dilakukan oleh budaknya akhirnya membuat
hati Umayyah menjatuhkan sikap dan meme­rintahkan agar Bilal
didera di bawah panas terik matahari, kemudian dilemparkan ke
padang pasir dalam keadaan telanjang bulat. Maka ditelanjangilah
dia oleh Umayyah, lalu Umayyah berkata: “Wahai budak jelek, engkau
akan diper­lakukan seperti ini hingga engkau mati atau engkau meng­
ingkari Muhammad atau menyembah Latta dan ‘Uzza lagi.”
Waraqah bin Naufal mendatangi Bilal yang sedang menjalani sik-
saan. Ia mengenang para syuhada kaum Nasrani terdahulu, lalu ber-
sumpah di hadapan Umayyah: “Andaikata Bilal sampai menghembuskan
nafas terakhir kalinya dalam keadaan disiksa karena mempertahankan
keyakinannya, niscaya ia akan membuat sebuah kuburan baginya se-
bagaimana kuburan orang-orang suci.”
Sejak mengetahui tindakan Umayyah terhadap budak­nya, maka
banyak budak para bangsawan Quraisy yang mengikuti ajaran Muham-
mad dan mereka akhirnya mendapat siksaan yang telah dialami oleh
Bilal di mana mereka diseret ke padang pasir yang panas di bawah
teriknya panas matahari. Sebelum dilakukan penyiksaan dan penyere-
tan, mereka dikenakan baju besi yang telah dipanasi dengan api
terlebih dahulu. Mereka didera terus-menerus tiada henti-hentinya,
hingga di antara budak itu ada yang jatuh pingsan. Bahkan sebagian
yang lain ada lagi yang mengakhiri hidup tragisnya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 139


Melihat kenyataan yang memilukan ini, Muhammad memberikan
kelonggaran bagi para pengikutnya untuk mengatakan apa saja yang
dapat menyelamatkan mereka dari siksaan, selama tuan-tuan mereka
masih menyiksa mereka.
Esok lusa kebenaran akan datang. Nabi akan tahu siapa yang lebih
lemah pembelanya dan lebih sedikit bilangannya.
Betapapun Muhammad telah memberikan kebebasan kepada para
pengikutnya, namun hanya sebagian kecil saja yang melakukan. Seba-
gian besar dari mereka tetap bersikeras memegang teguh keyakinannya
dan merelakan dirinya menanggung beban derita siksa di luar batas
kemampuan raga manusia.
Ketika kerabat-kerabat mereka datang mengadu kepada Muham-
mad, maka beliau hanya bisa menjawab: “Sabar!”
Sabar sampai mati!
Maka demikianlah, akhirnya Sumayyah Ummu Ammar tewas.
Sumayyah Ummu Ammar adalah seorang perempuan cantik yang
telah meraih ketulusannya dalam memeluk ajaran baru ini. Ia tinggal-
kan laki-laki (kafir) yang tergoda kepadanya dan dipilihnya seorang
suami yang beriman kepada Muhammad seperti dirinya. Ia mengajak
para perempuan dan sebagian laki-laki yang dikenalnya untuk memeluk
ajaran Muhammad.
Abu Jahal sendiri adalah orang yang tergila-gila kepada Sumayyah,
tapi sejak Sumayyah beriman kepada ajaran Muhammad, Abu Jahal
telah menyiksanya.
Abu Jahal termasuk bangsawan Quraisy yang kaya-raya dan me-
miliki pengaruh yang cukup kuat di tengah-tengah kaumnya. Maka
Abu Jahal pun menekan Sumayyah agar menarik diri dari ajaran yang
baru dipeluknya, tapi Sumayyah tetap membangkang. Bahkan ia gigih
mengajak teman-teman seprofesinya untuk memeluk ajaran Muham-
mad, tanpa mempedulikan datangnya ancaman-ancaman dari siapa
pun yang ditujukan kepada dirinya.
Para bangsawan Quraisy yang dulu pernah menjadi pengagum

140 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kecantikan Sumayyah kini telah menyeretnya di tengah jalan, lalu
melemparkannya di tengah padang pasir. Mereka memerintahkan
orang-orang untuk memukuli Sumayyah, maka dipukulilah dia dan
terus dipukuli, hingga ia pingsan. Mereka biarkan dulu perempuan
gemulai yang biasa mencumbu dan merayu laki-laki itu tergeletak.
Mereka memaksanya agar mau menyatakan penolakan terhadap aja-
ran Muhammad, tetapi ia tetap menolak dan mem­bangkang mereka
betapapun ia tahu bahwa dirinya berada dalam cengkeraman kuku-
kuku mereka, padahal tubuhnya yang teramat elok itu sebelumnya
tak pernah merasakan sakit yang seperti ini.
Dalam keadaan ini, ia terus membangkang dan ber­si­ku­kuh atas
keyakinannya, bahkan ia masih berani mence­ritakan kehalusan budi
pekerti Muhammad di hadapan mereka. Dengan tegas ia menyatakan
tak akan pernah me­ninggalkan ajaran-ajaran yang dipeluknya selama-
lamanya.
Ketika mendengar pernyataan sikap Sumayyah itu, tertumpahlah
segenap kemarahan dan keberingasan Abu Jahal seraya mengatakan:
“Engkau percaya kepada Muhammad tidak lain karena engkau tergila-
gila pada ketampanannya.”
Setelah mengucapkan kata-katanya, Abu Jahal me­nikam­kan tom-
baknya pada kemaluan Sumayyah, hingga ia menghembuskan nafas
untuk terakhir kalinya. Sumayyah Ummu Ammar tewas sebagai syahidah
pertama yang merelakan jiwanya demi ajaran baru ini!
Abu Jahal terus melancarkan hasutan-hasutan di kalangan bang-
sawan agar mereka tidak membiarkan hidup orang yang beriman
kepada ajaran Muhammad, meski orang tersebut merupakan orang
yang teramat dicintainya. Sementara itu tak ada seorang pun yang
mencintai seseorang bila dibanding dengan cintanya Sammiyah Ummu
Ammar kepada Abu Jahal. Kendatipun demikian, Abu Jahal telah mem-
bunuhnya dengan tangannya sendiri.

g
Ceceran darah pengikut Muhammad lantaran siksaan orang-orang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 141


biadab itu membuat perasaan Muhammad khawatir akan banyak orang
menjadi gila. Ia juga khawatir akan hilang kesabaran karena tumpahan
darah para pengikutnya yang terus-menerus bertambah. Karena dengan
begitu, barangkali akan banyak orang orang yang takut untuk mengi-
kuti ajarannya setelah melihat kenyataan yang teramat mengerikan,
menyeramkan, dan menakutkan. Ia membicarakan fenomena tersebut
dengan Khadijah dan Abu Bakar.
Bila demikian, apalah artinya segudang harta jika tak dapat berbuat
apa-apa untuk menyelamatkan orang-orang yang disiksa.
Bilal bin Rabbah hampir menemui ajalnya juga seperti Sumayyah.
Kini Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, dan semua orang-orang kaya
yang beriman kepada ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad mulai
bertindak tegas untuk membebaskan budak-budak yang disiksa dari
kekuasaan majikannya, maka bertindaklah mereka.
Abu Bakar mendatangi Umayyah bin Khalaf Al-Juhmi meminta ke-
padanya agar mau berbelas-kasihan kepada budaknya yang bernama
Bilal. Tapi permohonan Abu Bakar ditolak mentah-mentah seraya
mengatakan: “Engkau telah meracuni pikirannya, maka bebaskanlah
dia dari apa yang engkau lihat.”
Abu Bakar menawarkan kepada Umayyah akan membeli Bilal den-
gan harga lima uqiyah emas. Setelah Abu Bakar membayarnya, maka
diangkatlah batu dari tubuh Bilal itu.
“Wahai Abu Bakar, andai kamu menawarkan satu uqiyah saja, sudah
tentu aku akan menjualnya,” ucap Umayyah.
“Jangankan hanya lima uqiyah, andaikata engkau menjual seratus
uqiyah sekalipun, aku akan tetap mem­belinya,” tantang Abu Bakar.
Demikianlah Abu Bakar membeli Bilal, lalu memerde­kakannya dan
menjadikan Bilal sebagai asistennya.
Pembebasan para budak yang ditangani oleh Abu Bakar tidak hanya
jatuh pada Bilal, tetapi ia terus mendatangi para budak-budak lain
yang disiksa dan membebaskan mereka dari kekuasaan majikannya,
hingga seluruhnya mencapai enam orang. Budak terakhir yang dibe-

142 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


baskan adalah budak ‘Umar bin Khaththab yang sedang disiksanya.
Aksi solidaritas sosial yang dilakukan oleh Abu Bakar banyak menuai
kritik dan ejekan dari orang Quraisy. Menurut mereka, tindakan Abu
Bakar untuk membeli budak-budak lemah hanya membuang-buang
hartanya dan tak menguntungkan pemiliknya sama sekali. Akan tetapi,
keberanian Abu Bakar dalam mengatasi persoalan ini justru telah
membangkitkan semangat teman-temannya dari kalangan orang-orang
kaya yang sama-sama mengikuti ajaran Muhammad. Tindakan Abu
Bakar telah membangkit­kan semangat di kalangan para budak, kaum
buruh, dan rakyat kecil lainnya.
Dengan demikian, persoalan antara para budak dan majikannya
akan senantisa mendapat perhatian dan penanganan setelah itu,
karena setiap pengikut Muhammad akan bertindak untuk melakukan
pembebasan jika mereka mengetahui para budak disiksa oleh majik-
annya.

g
Abu Bakar terus melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada
teman-teman sesama bangsawannya dan pemuka-pemuka Makkah,
hingga akhirnya berhasil mengajak ‘Utsman bin Mazh‘un, seorang
pemikir terkemuka dan tergolong orang kaya di Makkah, dan Arqam
bin Abi Arqam memeluk ajaran Muhammad.
Kini jumlah pemeluk ajaran Muhammad telah mencapai puluhan
orang laki-laki dan perempuan. Di antara mereka adalah para budak,
para buruh, rakyat miskin, para pelacur, rakyat jelata, perempuan-
perempuan papa, dan orang-orang yang tergilas oleh tatanan kema-
syarakatan yang berlaku, serta beberapa orang cerdik-cendikia, dan
sebagian pedagang kaya.
Rumah Muhammad yang kecil itu tidak lagi memadai untuk perte-
muan-pertemuan. Rumah itu teramat sempit untuk menampung semua
pengikutnya yang telah mencapai jumlah tersebut. Akan tetapi, Arqam
mengusulkan agar mereka mengadakan pertemuan rutin di rumahnya
yang ada di bukit Shafa. Selain rumah tersebut memadai, juga berada
di luar jangkauan bangsawan pemerintah Quraisy. Oleh karenanya,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 143


mereka merasa stabilitas keamanannya lebih terjamin.
Rumah Arqam terbuka lebar untuk mereka. Pertemuan rutin itu dis-
elenggarakan oleh mereka pada setiap malam di mana pada pertemuan
tersebut Muhammad membacakan ajaran-ajarannya dan menyampaikan
seruan kepada mereka.
Dari hari ke hari jumlah pengikut Muhammad terus bertambah.
Kekhawatiran yang melanda sebagian para pedagang pun menjadi
lenyap, setelah Muhammad menge­luar­kan pernyataaan bahwa ajaran
yang dibawanya tidak akan menutup Makkah dari rombongan para
saudagar dan akan mengubah musim haji, sehingga semua orang tetap
bisa melakukan ibadah haji dari berbagai penjuru negeri yang akan
memberi keuntungan pada usaha dagang mereka.
Modifikasi sistem ajaran yang dilakukan Muhammad hanya dalam
bidang-bidang sebagai berikut:
1. Tidak akan dibenarkan lagi bagi mereka menyembah patung-patung
Ka‘bah.
2. Mereka tidak dibenarkan lagi menyerahkan persembah­a n-
persembahan dan qurban-qurban mereka untuk para bangsawan
Quraisy.
3. Mereka tidak dibenarkan menanggalkan pakaian dan tidak dibena-
rkan menyelenggarakan upacara ritual secara telanjang.
4. Tidak dibenarkan menarik keuntungan dari usaha prostitusi.
5. Tidak dibenarkan mengeluarkan kata-kata porno yang dapat
merangsang birahi, melakukan persetubuhan, dan melakukan
tindak pelanggaran lainnya pada saat melakukan ibadah haji.
Kelima point ajaran baru tersebut membuat tenang hati para
saudagar yang memeluk ajaran-ajaran baru ini. Kekhawatiran mereka
semula hanyalah jika Ka‘bah ditutup bagi orang-orang yang melaku-
kan ibadah haji. Mereka bukan pedagang budak dan mereka tidak
punya kepen­tingan dengan hewan persembahan dan hewan qurban
orang-orang yang berhaji. Kepentingan mereka hanyalah menjadikan
ibadah haji sebagai musim dagang bagi mereka. Pemerintah Makkah

144 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


merasa perlu melakukan langkah-langkah strategis yang lain dalam
upaya me­nangkal berkembangnya ajaran Muhammad.
Dengan demikian, para budak yang mengikuti ajaran Muham-
mad akhirnya akan terbebas dari majikannya secara mudah melalui
langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dan teman-temannya. Jika
demikian halnya, maka pemerintah Makkah tidak akan mampu lagi un-
tuk mem­bendung kian meningkatnya para budak yang membang­kang.
Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan kemudian adalah membunuh
mereka, agar budak-budak lain menjadi takut karenanya.
Para budak yang disiksa jumlahnya tidak sedikit. Akan tetapi,
semua praktek ini merupakan langkah yang percuma, sebab pendirian
para budak tetap konsisten dengan ajaran baru itu. Sumayyah Ummu
Ammar telah dibunuh, tapi ternyata para perempuan yang lain tetap
saja tak gentar menghadapi semua penderitaan ini; dan fenomena ini-
lah yang membuat mereka mencari alternatif yang lain, yaitu memukuli
Muhammad sendiri. Adapun orang yang ditugaskan untuk memukulnya
harus dari kalangan Bani Hasyim yang memiliki kedudukan dan punya
banyak pendukung serta ditakuti oleh pengikut Muhammad.
Betapapun Muhammad mendapat perlindungan dari pamannya,
tapi lantaran usianya yang cukup lanjut, membuat dia tidak bisa
mengangkat senjata, sedangkan anaknya sendiri, ‘Ali bin Abi Thalib,
tidak mungkin juga mampu untuk berbuat apa-apa. Sementara posisi
Hamzah yang sangat diperhitungkan dari kelompok Bani Hasyim, juga
tidak bisa dijadikan harapan untuk menolong Muhammad, sebab ia tak
punya kepedulian sama sekali kepada Muhammad, sekalipun ia adalah
pamannya dan saudara sesusuan. Ia sama sekali tak memberi dukungan
pada ajaran Muhammad, kecuali kepentingan dirinya sendiri, senang
hidup hedonis dan berburu.
Para pemuka Quraisy mulai menyeleksi orang-orang yang dipandang
layak untuk mengemban tugas pembunuhan tersebut. Akhirnya, mereka
menilai bahwa orang yang paling pantas untuk melakukan pemukulan
terhadap Muhammad hanyalah Abu Jahal dan ‘Umar bin Khaththab,
karena kedua orang tersebut adalah seorang joki kuda yang tangguh
dan ditakuti semua orang.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 145


Kepada kedua orang tersebut, tak ada seorang pun pengikut Mu-
hammad yang berani melawannya, baik Abu Bakar, ‘Utsman, Sa‘ad,
maupun Abu Ubaidah. Tak satu pun dari ketiga orang tersebut yang
berani menghadapi kedua jagoan tersebut.
Jika Muhammad telah dipukuli tanpa ada seorang pun yang mem-
belanya, maka habislah wibawanya. Dengan cara itu, tidak ada lagi
kesulitan bagi para bangsawan Quraisy untuk memukuli para pengi-
kutnya.
Langkah awal yang dilakukan adalah menyuruh orang-orang bodoh
untuk melakukan penyerangan dengan lemparan-lemparan batu di
jalan, lalu mereka meneriakinya dengan teriakan: “Pembohong besar!
Orang gila! Tukang sihir!”
Dengan cara olok-olokan tersebut, otomatis wibawa Muhammad
akan hancur, sehingga di mata publik martabat­nya menjadi turun
dengan sendirinya.
Pada suatu hari Muhammad lewat di beberapa ruas jalan di Makkah.
Tak seorang pun yang berpapasan dengannya, kecuali orang itu dan
meneriakinya dengan teriakan: “Pembohong besar! Orang gila! Tukang
sihir!”, termasuk juga para budak, para perempuan yang diper­juangkan
nasibnya oleh Muhammad, sebagian para buruh pasar, dan anak-anak
kecil, serta orang-orang yang tertindas sistem sosialnya yang menjadi
sasaran reformasi Muhammad.
Terasa berat beban Muhammad dalam menghadapi semua tantan-
gan yang menghadang di hadapannya. Tetapi beliau terus mencoba
untuk berpikir, berusaha untuk bersabar, dan menerima kenyataan.
Tepat di sebuah tempat yang di rindang, di atas sebongkah batu, dia
tidur terlentang berusaha menahan air matanya. Tak ada sesuatu pun
yang menyakiti hatinya, bila dibanding dengan celaan dan cercaan
orang-orang yang diperjuangkannya dengan sungguh-sungguh dan
penuh tenaga demi kebebasan mereka dari taring-taring sistem sosial
Makkah yang teramat buas.

146 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Dalam kesendiriannya di bawah pohon rindang itu, tiba-tiba datan-
glah Abu Jahal sambil bersungut-sungut mencaci-maki habis-habisan.
Sementara rakyat kecil yang tidak mengerti perjuangan Muhammad,
hanya mengarahkan pandangannya pada Abu Jahal dengan tatapan
yang tajam, kemudian arah pandangannya dialihkan ke arah kerumunan
orng-orang yang mengejeknya. Orang-orang yang meng­ejekinya itulah
sebenarnya yang telah membuat diri Muhammad dalam kedukaan dan
kesengsaraan.
Beliau diam dan tak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya.
Seorang budak merasa kasihan kepada Muhammad, tapi tak kuasa
mengutarakannya. Ia masih belum beriman kepadanya, namun ajaran-
ajaran Muhammad terus mengiang-ngiang dalam pikirannya.
Seorang budak perempuan itu melihat Hamzah bin Abu Muththalib
datang dengan penuh kesombongan dari perjalanan berburu. Busur
panahnya tergenggam di tangannya. Orang-orang saling berbisik mem-
bicarakannya penuh keheranan. Mengapa dia bisa tenang-tenang saja,
padahal keponakannya dicaci-maki orang, dicaci-maki oleh kelompok
lain yang menjadi rival Bani Hasyim? Betulkah dia adalah pemuda
Quraisy yang paling disegani, gagah-perkasa, dan pantang menyerah
kepada lawan? Mengapa dia kini tak berbuat sesuatu pun atas caci-
maki yang menimpa Bani Hasyim?
Seorang perempuan datang mendekatinya sambil berkata: “Tak
taukah engkau apa yang sedang menimpa keponakanmu itu?”
Lalu diceritakan semua peristiwa yang menimpa keponakannya.
Dikatakan pula bahwa setelah Abu Jahal mencaci-maki Muhammad,
ia lalu pergi bergegas ke Ka‘bah dengan rasa puas untuk disampaikan
kepada teman-temannya.
Dengan hati panas selaksa terbakar api, Hamzah segera menyu-
sul. Tanpa bicara dan tegur sapa kepada siapa pun, Hamzah langsung
menemui Abu Jahal yang sedang duduk di tengah teman-temannya di
pelataran Ka‘bah.
“Apakah engkau telah mencaci-maki Muhammad, padahal aku telah
memeluk agamanya dan berkata apa yang dikatakannya? Coba lakukan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 147


penghinaan kepadaku jika engkau memang pejantan tangguh,” labrak
Hamzah.
Setelah itu, Hamzah melayangkan pukulan kepada Abu Jahal
dengan menggunakan anak panahnya hingga kepala Abu Jahal ter-
luka parah. Memang pada insiden itu ada beberapa orang yang ingin
membela Abu Jahal, tetapi Abu Jahal punya dugaan kuat, jika mereka
maju, sudah pasti Hamzah tidak akan membiarkan hidup, sebab dia
jelas akan membunuhnya. Sebaliknya, bagi Hamzah, untuk mengha-
dapi beberapa orang tersebut bukan masalah berat. Maka akhirnya,
Abu Jahal pun memutuskan untuk mengalah saja agar Hamzah tidak
melancarkan pukulannya yang mematikan lagi. Abu Jahal berusaha
menahan emosinya dan menutupi lukanya. Kepada orang-orang yang
akan membelanya, Abu Jahal berkata: “Tinggalkan saja dia! Aku me-
mang telah mencaci-maki keponakannya.”
Maka menjauhlah mereka.
Setelah Abu Jahal tak berkutik, Hamzah pergi menemui Muhammad
dan menyatakan bahwa ia mempercayainya dan akan membelanya.
Mendengar kata-kata pamannya, dengan rasa gembira bercampur haru,
Muhammad langsung merangkul pamannya diiringi cucuran air mata.
Itulah dia penunggang jagoan Quraisy!
Siapa lagi yang berani mengganggu Muhammad setelah ini?
Bergabungnya seratus orang ke dalam barisan Muhammad ti-
daklah akan dapat membuat pengikut Muhammad merasa disegani,
ditakuti, dan kuat, bila dibandingkan dengan bergabungnya jagoan
penunggang kuda Quraisy yang bernama Hamzah ini.
Masyarakat Quraisy banyak mengecam tindakan Abu Jahal yang
gegabah tanpa perhitungan yang matang, karena akibatnya sudah
dapat dipastikan akan menimbulkan bentrokan tajam dengan Hamzah.
Meskipun demikian tindakan gegabah yang dilakukannya, Abu Jahal
tetap akan mendapatkan pembelaan dari para penunggang kuda lain
yang masih banyak jumlahnya. Di sana masih ada sederet daftar nama-
nama pemberani terkemuka, yaitu ‘Umar bin Khaththab dan Khalid
bin Walid.

148 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Setelah Abu Jahal dibuat bertekuk lutut di hadapan Hamzah,
masyarakat Quraisy menggantungkan harapannya kepada ‘Umar bin
Khaththab. Hanya ‘Umar bin Khaththab seorang sajalah yang mampu
mewujudkan cita-cita masyarakat Quraisy sekarang setelah Hamzah
menyatakan sikap tegas pembelaannya terhadap keponakannya.
Tapi beranikah ‘Umar bin Khaththab menentang Muhammad?
Karena siapa yang berani coba-coba mengganggu Muhammad, kini
yang siap menghadapi dan menangkalnya adalah Hamzah bin ‘Abdul
Muththalib, si jagoan penunggang kuda Quriasy yang ternama!

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 149


150 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Luluhnya Hati
Singa Jantan Padang Pasir

D
iseantero dunia tak ada sesuatu pun yang mampu
melunakkan hati ‘Umar bin Khaththab dari sikap
dan tindakannya yang mudah naik pitam dan garang. Sikapnya
tak dapat diluluhkan oleh para gadis penghibur sekalipun tatkala ia
mendatangi pintu-pintu penjual minuman khamr. Tidak pula oleh para
pelaku begadang yang suka bergerombol di sebagian pelataran rumah
dan para penabuh rebana di rumah-rumah hiburan. Semuanya tidak
mampu melunakkan kekerasan hatinya yang mudah terbakar emosi
dan suka bertindak garang dan menyeramkan.
‘Umar telah mendengar semua berita tentang konfron­tasi antara
Hamzah dan Abu Jahal. Hati ‘Umar cukup takjub atas keberanian
Hamzah melakukan konfrontasi dengan Abu Jahal dan sekaligus mena-
klukkannya. Ada dugaan kuat di hati ‘Umar bahwa para bangsawan
Quraisy yang di hari-hari biasanya sudah merasa takut terhadap
Hamzah, maka sejak hari itu rasa takut mereka terhadap Hamzah
tentu akan bertambah-tambah. Jelas hal ini akan membuat pe­ngikut
Muhammad merasa besar, kuat, dan merasa men­dapat sokongan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 151


dengan bergabungnya Hamzah di kubu mereka.
Kondisi itu jelas membakar emosi ‘Umar. Ia bersumpah akan
mendatangi rumah Hamzah. Maka, diambillah sebilah pedang yang
sangat tajam dan beberapa senjata lainnya, lantas bergegas ia pergi
menuju Darul Arqam di bukit Shafa. Maksud hati tidak lain hanyalah
ingin mengobrak-abrik rumah yang menjadi sentral aktivitas pengikut
Muhammad dan akan menyembelihnya, yang sudah tentu akan mem-
buat Makkah senang dan tenang.
Kini telah tiba saatnya, seorang teman beradu kekuatan dengan
temannya sendiri. ‘Umar bin Khaththab akan terlibat konfrontasi fisik
langsung dengan sahabat karibnya yang sama-sama menyandang gelar
singa padang pasir, yaitu yang bernama Hamzah bin ‘Abdul Muththalib.
Wahai Abul Qasim, mengapa engkau lakukan semua ini, padahal
engkau mencintai kami dan sangat mempeduli­kan kesulitan-kesulitan
kami?
Wahai anak ‘Abdullah, mengapa engkau datang kepada kami den-
gan ajaran-ajaranmu yang menyebabkan seorang teman menghunus
pedangnya pada muka temannya sendiri? Engkau telah mencerai-
beraikan kesatuan kelompok, menggoblok-goblokkan berbagai obsesi,
menimbulkan permusuhan di antara dua orang bersaudara, dan meru-
sak hubungan kami dengan para budak dan kekasih-kekasih kami!
Wahai Hamzah, siapa gerangan yang telah meng­hasutmu hingga
engkau bentrok dengan sahabatmu sendiri, Abu Jahal? Bukankah kita
bertiga dengan Khalid bin Walid telah berhasil mengangkat pamor
Quraisy di antara suku-suku Arab lainnya? Bukankah jerih-payah kita
berempat hingga Makkah menjadi bumi yang paling agung? Suku-
suku bangsa Arab merasa iri terhadap suku Quraisy karena memiliki
jagoan-jagoan penunggang kuda yang terkemuka. Satu orang di antara
mereka mampu mengimbangi kekuatan seluruh pasukan suku-suku
Arab. Lantas mengapa senantiasa menentang berbagai ancaman dari
suku-suku Arab yang lain, yang justru akhirnya akan menghujamkan
senjata-senjata kita pada leher teman-teman kita sendiri? Kita telah
menjadikan negeri ini sebagai negeri yang aman. Kita isi negeri ini

152 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dengan impian-impian dan kebanggaan kita. Di negeri ini kita bangun
sebuah mercusuar peradaban untuk seluruh bangsa Arab. Semua kita
lakukan dengan tangan-tangan kita sendiri. Wahai Hamzah, apakah
gerangan hasutan yang telah membuat dirimu tidak harmonis lagi
dengan teman-temanmu? Sejak kapankah engkau disibuk­kan dengan
persoalan ajaran-ajaran Abul Qasim?
Apakah sebenarnya yang engkau kehendaki di kemudian hari,
wahai Abul Qasim? Engkau telah membuat pusing kepala orang-orang
miskin, buruh-buruh kasar, budak-budak, dan para perempuan. Engkau
menetapkan hak-hak mereka yang harus dipenuhi oleh para majikan
mereka.
Engkaulah yang telah melancarkan fitnah terhadap para pedagang
ketika engkau mengatakan bahwa ajaran-ajaranmu tidak akan meng-
hapuskan aktivitas haji dan thawaf di Ka‘bah. Engkau mengajak umat
manusia untuk melakukan haji dengan satu maksud, yaitu hanyalah
menyembah Tuhanmu, bukan untuk patung-patung dan berhala. Selebi-
hnya, agar umat manusia dapat merasakan secara nyata manfaat dari
penyelenggaraan haji tersebut. Untuk maksud itu, maka didirikanlah
pasar-pasar dan stand-stand, tetapi semua itu tetap dalam garis-garis
yang telah ditentukan.
Sebenarnya pada suatu hari pernah aku dengar sese­orang mem-
bacakan ajaran-ajaranmu, lalu ingin aku ambil sebagian bacaannya.
Tapi aku berusaha mencegah diriku, lalu aku pergi ke warung-warung
khamr. Tukang sihirkah engkau? Sejak kapan engkau mempelajari ilmu
sihir?
Peringatan-peringatan yang telah engkau sampaikan menjadikan
para pengikutmu dari kalangan saudagar-saudagar kaya secara sukarela
mengorbankan seluruh hartanya untuk kepentingan dakwahmu dalam
derap langkah yang sungguh luar biasa, seolah-olah mereka berlomba-
lomba. Abu Bakar memerdekakan budak laki-laki dan perempuan yang
seluruhnya berjumlah enam orang. ‘Abdurrahman bin ‘Auf memerdeka-
kan tiga puluh orang budak dan masih banyak yang lainnya.
Engkaulah yang mengajak teman-temanmu yang dikhawatirkan
akan terkena kemarahan masyarakat Quraisy untuk berimigrasi ke

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 153


bumi Ethopia; sebuah negeri yang engkau katakan di bawah kekuasaan
seorang raja yang adil dan tidak melakukan penindasan terhadap raky-
atnya. Maka berimigrasilah kalangan rakyat jelata, kemudian mereka
diikuti ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Utsman bin ‘Affan bersama istrinya,
dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Tak seorang pun di antara mereka yang
mempedulikan masalah usaha dagang pun yang luas setelah mereka
berimigrasi.
Wahai Abul Qasim, dengan sihir apakah engkau mempengaruhi
hati mereka? Pada suatu hari salah seorang di antara kami mendapat-
kan Makkah dalam keadaan kosong; siang malam berlalu begitu saja
tanpa seorang teman. Sejak mengikuti ajaranmu, Abu Bakar tidak mau
lagi berdagang dan juga tak ada lagi kebiasaan menceritakan kabar
orang-orang yang merantau, hingga pada akhirnya Hamzah mengikuti
ajaranmu juga. Betapa sepinya malam-malam tanpa Hamzah.
Oh, betapa remehnya masyarakat Quraisy di mata musuh mereka,
setelah Hamzah memisahkan diri dari mereka!
Wahai Abul Qasim, tidak adakah rasa belas kasihan dalam hatimu
kepada orang-orang yang berimigrasi (hijrah) dari Makkah ke negeri
Ethiopia? Mereka tinggalkan tanah tumpah darah yang sangat mereka
cintai dan sanak famili yang mereka kasihi. Di antara para pengungsi
itu sebenarnya ada sepotong hati buah cintamu, yaitu Ruqayyah, istri
‘Utsman bin ‘Affan.
Wahai Abul Qasim, hati kami takkan pernah sembuh dari luka;
semua provokasi telah mengguncangkan Makkah sejak kehadiranmu
dengan ajaran-ajaranmu, hingga aku dapat menyingkirkan dirimu dari
Makkah. Akan kubunuh engkau, biar Makkah tenang dan senang.
Ketika ‘Umar hampir sampai di rumahnya, seorang perempuan
datang mencegatnya di tengah jalan. Perem­puan itu menumpuk
barang-barangnya di depan rumahnya sambil menunggu putranya
untuk mengungsi ke Ethiopia dengan rombongan pengungsi baru yang
menurut rencana akan meninggalkan Makkah pada tengah malam
buta. Ia adalah seorang perempuan baik-baik yang telah cukup lanjut
usia. ‘Umar menaruh belas kasihan dan rasa sayang kepadanya. Akan

154 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


tetapi, sejak mengikuti ajaran-ajaran Muhammad, ia selalu diganggu
oleh ‘Umar. Karena perempuan itu takut diamuk oleh ‘Umar, maka ia
bersembunyi di balik tumpukan barang-barangnya seraya menahan
hembusan nafas dan debaran hati agar tidak diketahui oleh ‘Umar.
“Jadi engkau benar-benar akan berangkat, wahai Ummi ‘Abdul-
lah?,” tegur ‘Umar. Teguran yang baru saja keluar dari mulut ‘Umar,
kedengarannya tidak menampakkan amarah, sebagaimana ia pernah
bertemu sebelumnya.
“Ya, demi Allah, engkau telah menyakitiku dan menindasku. Aku
akan benar-benar pergi ke bumi Allah, hingga Allah memberi jalan
keluar kepadaku,” sahut perempuan tua itu.
‘Umar terdiam sesaat dan tak berbicara. Ini dia tetangganya akan
pergi juga dari Makkah. Sudah lama ia menaruh hati kepadanya, yaitu
hati belas kasihan. Keberingasannya telah menumbuhkan rasa iba
dan belas kasihan kepadanya. Sesaat lagi segalanya akan sirna secara
tiba-tiba. ‘Umar menatap raut wajah perempuan setengah tua itu di
belakang barang-barangnya, yang akan pergi meninggalkan segalanya
untuk hidup di manca negara, jauh dari segenap kehidupannya di
Makkah. Nada-nada keibaan terdengar jelas dari suara ‘Umar. Den-
gan ucapan lirih dan lembut terucap kata-kata ‘Umar: “Semoga Allah
senantiasa menyertaimu.” Tentu saja, melihat sikap ‘Umar yang sangat
lembut, perempuan itu sangat heran, maka diceritakanlah semua itu
kepada putranya. Pertemuan itu adalah pertemuan keduanya untuk
pandangan terakhir kalinya di Makkah.
“Tak melihatkah engkau pada kelemah-lembutan dan kedukaan
‘Umar terhadap kita?,” ucap perempuan itu kepada putranya.
Di tengah-tengah perjalanan panjang yang tak tentu arah dan tu-
juan itu, putranya berkata: “Apakah Ibu berharap dia akan memeluk
ajaran agama Islam? Dia yang pernah Ibu lihat tak akan pernah masuk
Islam, hingga keledai Khaththab masuk Islam?”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 155


‘Umar bin Khaththab baru saja berangkat dari rumahnya menuju
ke Darul Arqam di bukit Shafa sambil menghunus sebilah pedang, yang
tiada lain tujuannya hanya untuk membunuh Muhammad. Baginya, di
mana saja dia menemui Muhammad, maka di sanalah dia akan mem­
bunuhnya. Ya, membunuh Muhammad di depan mata kepala para
pengikutnya. Mengenai Hamzah, bagi ‘Umar bisa saja akan bertarung
setelah itu. Baginya, membunuh Hamzah atau Hamzah yang akan
membunuh dirinya merupakan persoalan yang tak perlu terlalu dip-
ikirkan dan dirisaukan, sebab yang penting adalah menghabisi nyawa
Abul Qasim, Muhammad bin ‘Abdullah!
Dalam perjalanannya, pikirannya selalu terusik oleh perbuatan-
perbuatan yang dilakukan Muhammad. Hatinya teriris-iris dalam ke-
pedihan yang tak jelas. Di matanya terbayang putra perempuan tua
yang mengungsi berbaur dengan potret orang-orang yang meninggalkan
Makkah. Kerongkongannya tersumbat oleh rasa duka yang seolah-olah
mengganjal tenggorokannya secara tiba-tiba.
Di tengah jalan, salah seorang temannya bertemu dengannya, lalu
menanyakan hendak ke mana ia akan pergi dengan menghunus sebilah
pedang yang tajam.
“Aku akan menemui Muhammad, sebab dia yang menukar agama
nenek moyang; dia yang memecah-belah integritas masyarakat Quraisy;
dia yang mempunyai obsesi-obsesi tolol; dan dia juga yang mencaci
tuhan-tuhan masyarakat Quraisy. Karenanya, sekarang aku akan mene-
bas batang lehernya,” jawab ‘Umar tegas.
“Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai ‘Umar.
Apakah tindakanmu membunuh Muhammad akan dibiarkan saja oleh
Bani ‘Abdi Manaf? Tidakkah lebih baik engkau pulang saja? Urusi ke-
luargamu sendiri!” Orang itu menghela ‘Umar.
“Keluargaku yang mana?,” tanya ‘Umar dengan nada heran.
“Saudara sepupumu sendiri, Sa‘id bin Zaid bin ‘Amr dan saudara
perempuanmu, Fathimah binti Khaththab, telah mengikuti ajaran
Muhammad. Urusi saja mereka,” jawab temannya lugas.

156 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


g
Mendengar berita dari orang tadi, spontan ‘Umar bergegas pergi
menuju ke rumah saudaranya. Ia akan bertindak kepada Sa‘id bin Zaid
sebagaimana bapaknya, Khaththab, bertindak kepada Zaid bin ‘Amr,
ayah Sa‘id.
Setelah sampai ke rumah saudara perempuannya, ‘Umar kemudian
mengetuk pintu. Namun setibanya di depan pintu, ‘Umar menghentikan
ketukannya lantaran mendengar bacaan yang tak pernah didengarnya
dari seorang laki-laki dan juga bacaan itu terasa asing baginya. Ia hanya
berdiri di depan pintu. Laki-laki yang asing suaranya di telinga ‘Umar
itu membacakan bacaan-bacaan. Selanjut­nya, ‘Umar mendengar di
luar pintu, sementara Fathimah dan Sa‘id mengikuti bacaan tersebut
secara berulang-ulang:

“(1) Thoohaa.. (2) Tidaklah Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu untuk me-
nyusahkanmu, (3) tetapi sebagai peringatan kepada orang yang takut (kepada
Allah)....” (QS. Thaahaa [20]: 1-16)
‘Umar menunggu hingga mereka selesai membaca, kemudian ia
mengetuk pintu kembali. Setelah Fathimah bisa memastikan bahwa
dari ketukan pintu itu yang datang adalah ‘Umar, maka laki-laki asing
tersebut segera bersembunyi di salah satu sudut rumah, sementara
Fathimah segera mengambil lembaran-lembaran yang tadi dibaca
laki-laki asing itu, lalu diselipkan di bawah pahanya, kemudian Sa‘id
membuka pintu.
“Suara apa yang baru saja kudengar itu?,” tanya ‘Umar dengan
nada emosi setelah ia masuk rumah.
“Ah, aku justru tak mendengar suara apa-apa sama sekali,” kilah
mereka berdua.
Seketika itu pula ‘Umar berteriak: “Baik, tapi aku telah mendengar
bahwa kalian berdua telah mengikuti ajaran Muhammad.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 157


Dengan gagang pedangnya, ‘Umar melayangkan pukulan kepada
Sa‘id hingga ia terluka, maka mengalirlah darahnya. Fathimah ber-
kata sambil berusaha melerai aksi anarkhis saudara­nya kepada sang
suami tercinta. Namun meski begitu, ‘Umar tetap saja menghajarnya
hingga kepalanya cedera. Darah menetes pada kedua belah tangan
saudara perempuannya.

g
Inilah tetesan darah saudara perempuanmu yang mengalir atas
kedua belah tanganmu juga, wahai ‘Umar! Darah yang paling engkau
sayangi, seorang perempuan yang masih dalam ikatan saudara dan
engkau laksana seorang ayah yang menyayanginya.
Saudara perempuannya yang belum pernah mengangkat muka di
hadapannya sebelum itu, tiba-tiba ia berubah geram sambil berteriak
lantang menentang: “Baiklah, lakukanlah apa yang engkau kehendaki.”
Dia sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi
pada dirinya dari tindakan saudaranya, bahkan harus mati sekalipun.
Dengan kedua belah tangan yang terentang, Fathimah telah siap meng-
hadapi tikaman pedang ‘Umar, kakaknya yang gagah dan perkasa.
Namun kekuatan ‘Umar tiba-tiba berubah lumpuh total lantaran ia
tak kuasa melawan rasa sayang kepada adik perempuannya. Ia tatap
dalam-dalam tetesan darah yang mengalir akibat cidera di kepala
adik dan saudara sepupunya yang tergeletak di lantai. Selanjutnya,
‘Umar meminta saudara perempuannya agar memperlihatkan lemba-
ran-lembaran yang mereka baca untuk melihat ajaran yang dibawa
Muhammad, tapi saudara perempuannya menolak untuk memenuhi
permintaannya. ‘Umar najis.
Kekuatan apakah gerangan yang mendorong perem­puan lemah
berani berbicara? Dengan semangat apakah dia secara lantang berani
menentang?
‘Umar bangkit, lalu bergegas mandi. Setelah itu, Fathimah men-
gambilkan lembaran-lembaran itu dengan erat-erat agar tidak sobek.

158 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


‘Umar mulai membaca lembaran-lembaran itu. Ia membaca sebagian
besar lembaran-lembara itu, kemudian ia kembalikan lagi kepada
saudara perempuannya sambil berkata: “Alangkah bagus dan agungnya
kata-kata ini.”
Mendengar ucapan ‘Umar, laki-laki asing yang ber­sembunyi segera
muncul dari tempat persembunyiannya sambil berkata: “Wahai ‘Umar,
aku sungguh berharap mudah-mudahan Allah mengistimewakan dirimu
sebab do‘a Nabinya. Kemarin aku mendengar beliau berdo‘a:

“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua ‘Umar: Abu Jahal
‘Amr bin Hisyam atau ‘Umar bin Khaththab.”
Dengan tergesa-gesa, ‘Umar pun pergi ke Darul Arqam di bukit Shafa.
Dia langsung mengetuk pintu dengan kekuatan yang keras. Sebelum
membukakan pintu, laki-laki tersebut mengatakan: “Pengetuk pintu
itu adalah ‘Umar. Dia datang dengan sebilah pedang terhunus.”
“Biarkan saja dia masuk. Jika ia datang dengan maksud baik, kita
sambut dengan baik. Tapi jika dia datang dengan maksud jahat, kita
bunuh saja dia dengan pedangnya,” demikian pendapat yang dikemu-
kakan Hamzah bin ‘Abdul Muththalib kepada keponakannya, Muham-
mad.
Hamzah meraba gagang pedangnya. Dia telah siap membunuh
‘Umar, salah seorang temannya sendiri.
Tapi Muhammad bertekad akan menghadapinya sendiri dan akan
membuat bertekuk-lutut di hadapannya. Dengan demikian, tak ada lagi
orang yang dapat mengungguli kekuatan dirinya. Jika Hamzah telah
membuat Abu Jahal bertekuk lutut di hadapannya, maka kini giliran
Muhammad yang akan membuat ‘Umar tidak berkutik di hadapannya.
‘Umar tetap berdiri dan tidak masuk hingga akhirnya Muhammad
bangkit untuk menemuinya. Selanjutnya, Muhammad mencengkeram
lehernya dengan cengkeraman yang kuat sambil berkata: “Wahai
‘Umar, dengan maksud apakah engkau datang? Demi Allah, aku takkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 159


melihat engkau berhenti dengan sikap dan tindakanmu terhadap kita
hingga Allah menurunkan bencana untukmu.”
Dengan suara lirih yang penuh ketakutan, ‘Umar menjawabnya:
“Wahai Rasulullah,....”
Semua yang ada di Darul Arqam tercengang tatkala ‘Umar melan-
jutkan kata-katanya: “Aku datang kepadamu untuk beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya.”
Maka terucaplah dari mulut Muhammad sebuah kalimat kegembi-
raan dan mengagumkan kebesaran-Nya: “Alloohu akbar.” Selanjutnya,
Hamzah mengikuti pula dengan kata takbir. Dalam kegembiraan yang
tiada tara, Muhammad mengusap dada ‘Umar dan mendo‘akannya
semoga ia akan tetap dalam keimanan.
Pada waktu itu Darul Arqam bergema dengan ungkapan-ungkapan
kegembiraan yang menggetarkan persendian-persendian semua orang.
Hamzah dan ‘Umar, jagoan penunggang kuda Quraisy terkemuka
bergabung di tengah-tengah mereka dalam satu hari. Mereka akan
menuntut terwujudnya keadilan bersama-sama dan mempertahankan
diri bersama-sama.
Sebentar kemudian, ‘Umar meninggalkan mereka pulang. Dalam
perjalanan pulangnya, ‘Umar menyempatkan diri mampir ke rumah
Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam. Setelah ia mengetuk pintu, Abu Jahal me-
nyambutnya dengan ucapan: “Selamat datang, wahai keponakanku!
Kabar apakah gerangan yang engkau bawa?”
“Aku datang untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku telah
mempercayai ajaran-ajaran Muhammad.”
Dengan suara lantang sambil menggebrak pintu, Abu Jahal berkata:
“Mudah-mudahan Allah mengutukmu. Betapa buruknya kabar yang
engkau bawa.”
Sepanjang jalan menuju rumahnya, ‘Umar tiada henti-hentinya
menyampaikan kabar keimanan dirinya kepada ajaran-ajaran Muham-
mad kepada setiap orang yang menemuinya.

160 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Keesokan harinya Muhammad berjalan di lorong-lorong Makkah
dengan diapit oleh Hamzah di sebelah kanannya dan ‘Umar di sebelah
kirinya. Setiap orang melihatnya, mereka semua melihat dengan penuh
keheranan.
Selanjutnya, ‘Umar pergi seorang diri menuju Ka‘bah, diumum-
kanlah kepada semua orang bahwa dirinya telah beriman kepada
Muhammad. Namun mereka tak mau terima dengan keputusan ‘Umar
itu. Antara mereka dan ‘Umar akhirnya terus dalam konflik panjang.
Mereka berusaha membunuh ‘Umar, dan ‘Umar berusaha mem­bunuh
mereka. Terus demikian tiada henti bertikai, hingga matahari teng-
gelam di ufuk barat.

g
Kini Hamzah dan ‘Umar telah memeluk ajaran Muhammad dengan
segala kekuatan dan semangat yang dimilikinya. Sebagian orang yang
ingin menjelek-jelekkan Hamzah dan ‘Umar menyatakan bahwa mereka
berdua telah hilang kejantanan dan keberaniannya. Mereka berdua
telah mengikuti ajaran-ajaran yang mengharuskan manusia untuk ber-
serah diri kepada kekuatan yang misterius dan menjauhi kesenangan
hidup dengan menganut pola kehidupan orang-orang miskin.
Hamzah dan ‘Umar tiada henti-hentinya membaca dan bertanya,
hingga hatinya mempunyai keyakinan yang mantap bahwa ajaran-
ajaran baru itu menuntut manusia agar tidak menggantungkan jalan
kehidupan pada tuhan-tuhan Ka‘bah, tetapi menghadapkan jiwanya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap orang harus melakukan ikhtiar
dalam hidupnya dan harus bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang diketahuinya. Tiap orang bebas memilih jalan kehidupan yang
diniatinya. Dia berhak atas segala perbuatan yang dikerjakannya.
Dengan demikian, bukan menggantung­kan jalan kehidupan, tetapi
menghadapkan diri kepada Tuhan.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Islam menuntut seseorang un-
tuk mengayunkan pedangnya, sebab yang benar dalam Islam adalah
mendorong untuk membangun segenap spirit dalam rangka terciptanya
tatanan keadilan dan melindungi kehormatan dan hak asasi manusia

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 161


dalam kehidupan. Seseorang dituntut membebaskan orang-orang yang
tertindas, membantu orang-orang yang membutuh­kan, memperlakukan
baik famili dekat, dan menikmati barang-barang yang halal, termasuk
pula berhias dan makan dengan makanan yang halal pula. Demikan
juga beristri dengan tidak melampaui batas-batas aturan yang telah
ditentukan.
Islam tidaklah melarang perdagangan yang menjadi sokoguru per-
ekonomian dan berkembangnya peradaban Makkah. Islam memperbole-
hkan jual beli yang didasarkan atas prinsip saling menguntungkan. Tapi
Islam melarang riba (rentenir) yang memanfaatkan kebutuhan orang
lain untuk mengeruk keuntungan tanpa harus bekerja susah-payah,
bahkan merampas harta orang lain dengan cara-cara yang tidak benar.
Dalam memperoleh keuntungan, Islam meletakkan prinsip pada
nilai-nilai cinta kasih, persaudaraan, tolong-menolong, dan kebersa-
maan, karena hidup ini bukanlah semata-mata didasarkan pada harta
kekayaan yang melimpah-ruah semata. Cinta kasih adalah kekayaan
yang jauh lebih mahal nilai dan harganya daripada tumpukan emas
dan perak.
Islam menganjurkan untuk bertindak secara adil dan berbuat baik.
Seorang muslim dikategorikan bermartabat tinggi karena amalnya,
bukan karena harta kekayaan yang tak seorang pun tahu dari mana
memperolehnya.
Nilai seorang laki-laki ataupun seorang perempuan didasarkan
pada amal shalihnya, bukan pada dasar depositonya di bank-bank
Makkah, bukan pula gundik-gundiknya dan koneksinya dengan para
pejabat pemerintah. Kekuasaan bukanlah anugerah yang turun dengan
sendiri­nya; sebab para thaghut menyukai yang demikian. Para pejabat
pemerintah tak lain adalah orang yang dipilih oleh mayoritas rakyat.
Islam menganjurkan umat manusia agar meninggalkan konflik di
antara mereka, sehingga mereka bersatu bagai saudara dan tidak
berpecah-belah.
Sekelompok orang dari masyarakat Quraisy merasa kebingungan,
karena sejak waktu yang silam Abu Bakar telah keluar dari kelompok

162 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mereka dan bergabung dengan Hamzah dalam barisan pengikut ajaran
Muhammad. Tak seorang pun yang masuk Islam, kecuali akan menyisi-
hkan sebagian hartanya untuk membeli budak laki-laki dan perempuan
yang memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, mereka dimerdekakan agar
menjadi orang-orang yang lebih tinggi derajatnya dari para bangsawan
dan dari seluruh masyarakat Quraisy yang tidak mengikuti ajaran
Muhammad. Kedudukan mereka tidak dibatasi oleh apa pun, selain
perbuatan mereka belaka.
Sejumlah delapan orang telah mengungsi ke Ethiopia. Sekarang
para pengungsi telah mencapai sekitar delapan puluh orang laki-laki
dan perempuan. Mereka memperoleh perlakuan yang baik dari raja
Habsy.
Memang, masyarakat Quraisy telah mengirim delegasi khusus ke
raja Habsy untuk memberi peringatan atas keputusannya itu, karena
antara raja Habsy dan masyarakat Quraisy ada kepentingan bersama.
Namun peringatan tersebut tidak diindahkan sama sekali. Akhirnya,
delegasi khusus itu kembali dengan tangan hampa dan membawa
kegagalan yang memalukan dan membuat orang-orang Islam mencela
mereka.
Di antara yang ikut dalam rombongan delegasi khusus tersebut
terdapat ‘Amr bin ‘Ash dan Ibnul Walid, seorang pemuda Quraisy yang
tampan dan pemberani, yang hampir akan dijadikan tumbal kepada
Abu Thalib sebagai ganti keponakannya. Adapun ‘Amr bin ‘Ash ikut
dalam rom­bongan delegasi itu disertai oleh istrinya yang baru saja
dikawini. Dia seorang perempuan cantik yang memikat hati. ‘Amr bin
‘Ash sangat mencintainya dan tak dapat berjauhan dengannya.
Ketika dalam perjalanan menuju Ethiopia, istrinya melihat Ibnul
Walid, lalu mengajaknya berbincang-bincang. Namun rupanya, dia
terpikat oleh ketampanan Ibnul Walid hingga akhirnya ia jatuh hati.
Pada suatu malam dia meninggalkan ‘Amr bin ‘Ash secara diam-
diam dan pergi ke tempat tidur Ibnul Walid. Perempun cantik itu tak
mau kembali lagi kepada ‘Amr, kecuali dengan syarat dia diperbolehkan
menjalin hubungan dengan Ibnul Walid.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 163


Kabar yang memalukan ini telah sampai terlebih dahulu kepada
raja Najasy dan para imigran muslim. Maka usaha-usaha yang dilakukan
‘Amr bin ‘Ash tak membawa hasil yang baik, sementara orang-orang
Islam Quraisy mencela ‘Amr bin ‘Ash dan memberi tahu kepadanya
bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang menjaga diri dan istrinya
dari kekejian seperti itu.
Kini umat Islam kian berani menampakkan diri di pasar-pasar,
membaca ajaran-ajaran Muhammad dengan memproklamasikan secara
terang-terangan, dan mengadu argumentasi dengan musuh-musuh
mereka dengan jumlah kekuatan yang terus bertambah lantaran dua
singa jantan padang pasir, yaitu Hamzah dan ‘Umar bin Khaththab,
telah ikut bergabung dan memeluk ajaran baru itu.
Masyarakat Quraisy sepakat untuk melakukan perun­dingan dengan
Muhammad. Mereka bermaksud akan menarik Muhammad ke dalam
kelompok mereka atau mendudukkan Muhammad dalam jajaran
pemerintah Makkah. Langkah strategis tersebut dimaksudkan agar
Muhammad menghentikan aktivitas dakwahnya, sehingga prediksinya
bahwa mereka dapat selamat dari kehancuran total. Tak ada langkah
strategis lagi selain berunding (negosiasi). Untuk itu, masyarakat
Quraisy mengirimkan utusan khusus kepada Muhammad.
Muhammad menyambut tawaran mereka dengan rasa gembira.
Kegembiraan tersebut muncul, karena di dalam benak Muhammad
tersimpan sebuah harapan agar kiranya ajaran yang telah dipeluk oleh
Hamzah dan ‘Umar akan dipeluk pula oleh mereka.
Pada momentum negosiasi, pemuka-pemuka Quraisy telah berkum-
pul. Di antara mereka terdapat Abu Jahal bin Hisyam, Abu Sufyan bin
Harb, Abu Lahab, Utbah bin Rabi‘ah, Walid bin Mughirah, dan Umayyah
bin Khalaf.
“Telah sampai suatu kabar kepada kami bahwasanya orang yang
telah mengajarmu adalah seorang laki-laki dari daerah Yamamah
bernama Musailimah yang terkenal dengan sebutan Ar-Rahman. Kita
masyarakat Quraisy takkan pernah percaya selamanya kepada laki-laki
yang berasal dari daerah Yamamah itu,” begitulah salah seorang di

164 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


antara mereka membuka pembicaraan kepada Muhammad.
Raut muka Muhammad tampak layu karena dadanya terasa sesak.
Hanya untuk inikah mereka mengundang Muhammad, lalu ia memenuhi
undangan mereka?
Tetapi salah seorang cerdik-cendekia di antara mereka menangkap
kesesakan yang dirasakan Muhammad. Oleh karenanya, langkah se-
lanjutnya sebagai suatu cara agar perundingan tidak berakhir dengan
kegagalan, ia segera melontarkan kata-katanya dengan lemah-lembut:
“Wahai Abul Qasim, keteguhan dan kegigihanmu sungguh sangat men-
gagumkan kami. Belum pernah kami temukan seorang laki-laki yang
berani membawa ajaran ke tengah-tengah masyarakat Arab sebagaima-
na ajaran yang kamu bawa ke tengah-tengah masyarakatmu. Engkau
caci-maki nenek moyang. Engkau robek-robek integritas masyarakat.
Kiranya semua kenyataan yang tidak kita inginkan ini tidak akan terus
berlangsung, jika engkau melakukan negosiasi dengan kami. Andaikata
dengan perundingan ini engkau menginginkan harta kekayaan, maka
kami akan mengum­pul­kan harta kami untukmu, hingga engkau menjadi
orang terkaya di antara kami. Bahkan andaikata yang engkau inginkan
adalah kekuasaan, maka kami rela menjadikanmu sebagai penguasa
di antara kami.”
Dengan negosisasi itu, Muhammad diam sesaat. Hanya untuk inikah
penguasa Quraisy mengadakan pertemuan? Engkau telah memenuhi
keinginan mereka untuk mengada­kan perundingan dengan rasa gem-
bira. Di dalam hatimu terselip berbagai harapan dan impian. Wahai
Muhammad bin ‘Abdullah, berapa banyak yang engkau impikan?
Beberapa detik kemudian, ternyata Muhammad me­nolak tawaran
mereka seraya berkata: “Apa yang kalian kata­kan sama sekali tidak per-
nah terlintas dalam lubuk hatiku. Aku datang untuk memenuhi ajakan
kalian untuk mengada­kan perundingan. Tak ada maksud sama sekali
untuk men­cari harta kekayaan, tidak pula kemuliaan dan kekuasaan.
Tapi Allah telah mengutus diriku sebagai utusan bagi kalian semua.
Jika kalian mau menerima ajaran-ajaran yang kubawa, maka hal itu
merupakan keberuntungan kalian di dunia dan akhirat. Namun jika

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 165


kalian semua menolak, maka aku akan bersabar hingga Allah akan
memutuskan persoalan yang terjadi di antara aku dan kalian.”
Abul Qasim tiada henti-hentinya berbicara tentang Tuhannya, ten-
tang akhirat, tentang ketetapan dan keputusan Allah, dan sebagainya.
Setelah itu, apalagi yang akan engkau bicarakan, wahai Abul Qasim?
Salah seorang dari mereka mengajukan permintaan kepada Muham-
mad untuk membuat konsensus agar ia tidak lagi melecehkan tuhan-
tuhan mereka. Jika konsensus itu dise­pakati, maka mereka tidak akan
melecehkan lagi Tuhannya.
Wahai orang-orang Quraisy, sampai kapankah tuhan-tuhan kalian
tidak akan dicaci-maki dan kalian meng­hentikan caci-maki pula?
Salah seorang dari mereka memberanikan diri ber­bicara: “Marilah
antara kami dan engkau mengadakan kerja sama dalam persoalan ini.
Jika yang kami sembah lebih baik daripada yang kamu sembah, maka
kami akan memperoleh keuntungan darinya. Sebaliknya, jika yang
engkau sembah lebih baik daripada yang kami sembah, maka engkau
akan memperoleh keuntungan darinya.”
“Maka engkau harus menyembah tuhan-tuhan kami dan men-
jalankan perintah-perintahnya,” lanjut mereka.
“Tidak. Aku takkan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun
bukanlah orang-orang yang menyembah apa yang kusembah. Agama
kalian adalah agama kalian dan agamaku adalah agamaku sendiri.”
Dengan demikian, tak ada jalan untuk mengadakan perubahan!
Para pemuka Quraisy dituntut untuk mempelajari problema yang
dihadapi sebelum menjadi besar. Suku-suku di luar kota Makkah sudah
mulai mendengar tentang Islam. Jika hal itu dibiarkan, maka akan
berakibat gugurnya patung-patung Ka‘bah dengan segala keuntungan
dan hasil perolehnya.
Jumlah orang-orang Islam terus kian bertambah. Budak-budak
telah mulai berani angkat bicara dan angkat muka di hadapan majikan-
majikan mereka dalam perlindungan para pengikut Muhammad yang

166 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kaya-raya.
Belum lagi salah seorang majikan melakukan penyiksaan kepada
para budak itu, salah seorang pengikut Muhammad akan datang dengan
tanpa berat hati akan membeli dan memerdekakan mereka.
Budak-budak yang telah dimerdekakan berjumlah mencapai ratu-
san. Bukan suatu hal yang mustahil lagi pada akhirnya jumlah itu akan
membengkak menjadi ribuan budak, kemudian mereka dipersenjatai.
Oleh karenanya, jika itu terus terjadi, maka akan muncullah sebuah
revolusi bersenjata!
Sejak Hamzah dan ‘Umar masuk Islam, maka tak ada lagi jagoan
penunggang kuda yang ditakuti dan diper­hitungkan lagi, selain Khalid
bin Walid, Abu Jahal, dan ‘Amr bin Hisyam.
Dengan melihat kenyataan tersebut, maka dituntutlah langkah-
langkah strategis lain yang kondusif dan mampu mendiskreditkan posisi
Muhammad dan para pengikutnya.
Abu Thalib yang sedari dulu sama sekali tak meng­untungkan mer-
eka, dia tetap pada pendirian dan sikap melindungi dan membela
keponakannya. Semenjak Hamzah dan ‘Umar bergabung dalam barisan
orang-orang Islam, mereka berjalan tanpa dihantui rasa takut lagi. Kini
mereka secara terang-terangan telah berani membaca ajaran-ajaran
yang dibawa Muhammad.
Bani Hasyimlah yang paling bertanggung jawab dalam masalah
ini, karena andaikata mereka merintangi Muhammad, sudah tentu dia
tidak akan melanjutkan aktivitasnya. Oleh karena itu, para pemuka
Makkah perlu membuat konsensus dan memutuskan hubungan dengan
Bani Hasyim. Seluruh sektor usaha perdagangan mereka dijegal, agar
meraka mati kelaparan, hingga mereka mau melepaskan Muhammad
bin ‘Abdullah!
Maka berkumpullah para pemuka Quraisy dan membuat kesepaka-
tan, termasuk dari mereka adalah Abu Lahab. Selanjutnya, mereka
menulis suatu pengumuman yang isinya berupa larangan menjalin
pernikahan dan jual beli dengan Bani Hasyim. Tidak dibenarkan me-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 167


nikah dan dinikahi atau menjual dan membeli dengan salah seorang
keturunan Bani Hasyim. Pengumuman yang tertera di selembar kertas
itu mereka gantungkan pada dinding Ka‘bah.
Lembar pengumuman ini telah menumbuhkan soli­daritas dan
komitmen seluruh Bani Hasyim, bahkan orang-orang yang sudah beri-
man kepada ajaran Muhammad sekalipun. Mereka semua tergabung
di bawah pimpinan Abu Thalib dan Hamzah, dua orang pembela Mu-
hammad. Keputusan pemerintah Quraisy melakukan embargo kepada
Bani Hasyim adalah sebagai upaya untuk melemahkan semangat dan
kekuatan pada Bani Hasyim.
Maka mulailah pemerintah Quraisy menerapkan keputusan embargo
tersebut dengan seluruh tentaranya. Di samping itu, para pemuka
Quraisy turun tangan sendiri dalam rangka penerapan keputusan
tersebut.
Pada suatu ketika Abu Jahal bertemu dengan seorang laki-laki
yang membawa gandum dan makanan yang biasa dihaturkan kepada
bibinya, Khadijah, istri Muhammad. Abu Jahal memukuli anak laki-laki
itu dan merampas gandum dan makanan tersebut. Dia bersumpah tak
akan mem­perbolehkan apa pun masuk dalam rumah Muhammad.
Seorang laki-laki datang mendekati Abu Jahal seraya berkata:
“Apakah yang membuatmu melarang anak laki-laki ini untuk mengan-
tarkan makanan kepada bibinya?”
Laki-laki tersebut mendesak Abu Jahal agar melepaskan anak
tersebut, tapi Abu Jahal tetap tak mau melepaskannya. Kontan saja
egoisitas Abu Jahal membuat ia marah, lalu berkelahi, hingga akhirnya
hampir saja terjadi aksi saling membunuh.
Wahai Muhammad, embergo ekonomi di sekitar rumah­mu dan
rumah sanak keluargamu tak akan pernah terlepas, tanpa mengor-
bankan salah seorang di antara mereka.
Apa pun yang menghadang di hadapanmu, engkau harus tetap
menyampaikan ajaran-ajaranmu. Bersuaralah dengan lantang di
jalan-jalan dan kampung-kampung Makkah meski engkau tak pernah

168 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


melakukannya sebelumnya, sebab kobaran kata-kata yang brilliant
akan membuat bongkahan-bongkahan besi sekalipun akan luluh me-
lepuh dan cair laksana air.
Kini berangkatlah engkau! Kutuklah orang-orang yang memusuhimu
dengan kutukan-kutukan yang tak pernah engkau lakukan sebelum-
nya! Berilah harapan dan janji yang membangunkan optimisme pada
orang-orang yang tabah dalam menghadapi penderitaan yang berada
di barisanmu.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 169


170 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Kegetiran dalam kesendirian

S
aat ini kedengkian rasialis kesukuan dalam melawan
Bani Hasyim muncul kepermukaan. Suku-suku yang
memang sudah lama memendam rasa kebencian kepada Bani
Hasyim bersumpah tidak akan menjalin hubungan, hingga Bani Hasyim
mati lemas karena lapar terkapar dalam kehinaan dan kenistaan. Bani
Hasyim tidak hanya tidak boleh menerima suplay makanan, tetapi
dalam perdagangan pun mereka tidak boleh menjalin kerja sama.
Dengan kedengkian rasialis ini, kini banyak anak gadis yang diminta
kembali oleh keluarga mereka dari rumah yang suaminya berasal dari
Bani Hasyim. Para istri yang mempunyai tetes darah Bani Hasyim diusir
dari rumah-rumah suami mereka dan anak-anak dipisahkan dari ibu
mereka. Termasuk di dalamnya yang memperoleh perlakuan seperti itu
adalah putri Muhammad yang bernama Ummu Kultsum. Ia dipulangkan
kembali ke rumahnya dengan cara diusir dari rumah suaminya yang
bernama Qutaibah bin Abi Lahab, sebagaimana saudara perempuannya,
Ruqayyah, yang pernah pula mengalami nasib serupa sebelumnya dari
rumah itu juga.
Muhammad menyadari bahwa dirinya telah banyak menimbulkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 171


malapetaka bagi Bani Hasyim, sementara tidak semua Bani Hasyim
mampu menanggung beban berat malapetaka ini. Hanya sebagian
kecil saja dari mereka yang mengikuti ajarannya. Namun ia telah me-
nyebarkan timbulnya kepahitan dan kepedihan jalan keimanan yang
ditempuhnya.
Abu Thalib sebagai pemimpin Bani Hasyim menyarankan kepada
mereka agar mengungsi ke pelosok-pelosok Makkah untuk menghindari
ancaman dan serangan dari suku-suku yang lain. Mereka dianjurkan
untuk tetap tinggal di lokasi-lokasi pengungsian yang cukup terlind-
ung di berbagai pelosok tersebut. Mereka harus mempertahankan
hidup dalam pengungsian hari demi hari. Bagi mereka, bagaimanapun
laparnya, semuanya masih jauh lebih baik daripada dihina oleh suku-
suku lain, esok atau lusa, karena mereka melepaskan salah seorang di
antara mereka dan menye­rahkannya kepada pedang-pedang musuh.
Aksi kebencian dan pemblokadean ini dipimpin langsung oleh Abu
Sufyan dan Abu Jahal. Kedua pemuka Quraisy ini melakukan monitor-
ing ketat terhadap pihak-pihak yang berusaha melakukan penyusupan
kepada Bani Hasyim yang hidup dalam pengungsian, yang terpencil
dan merana di balik dinding-dinding penyekat.
Tidak lama berselang, tindakan yang keterlaluan dari Abu Sufyan,
Abu Jahal, dan suku dari keduanya, telah membuka tendensi terse-
lubung dalam aksi kebencian dan blokade terhadap Bani Hasyim itu.
Sebenarnya duduk permasalahan yang sesungguhnya bukanlah
persoalan menyingkirkan Muhammad dan bukan pula persoalan me-
nyelamatkannya. Persoalannya adalah meruntuhkan Bani Hasyim dan
menghancurkan mereka, karena dengan hancurnya Bani Hasyim, maka
posisi Bani Hasyim dalam pemerintahan, perdagangan, dan kekayaan
mereka akan jatuh ke dalam genggaman tangan Abu Sufyan, Abu Jahal,
dan suku mereka berdua.
Tendensi perebutan posisi yang terselubung dalam aksi kebencian
terhadap Bani Hasyim, kini mulai terkuak tabirnya dan ditangkap oleh
suku-suku Quraisy yang belum pernah menaruh rasa iri, dengki, dan
kebencian terhadap Bani Hasyim sebelum itu. Bahkan di antara mer-

172 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


eka ada yang masih mempunyai pertalian darah dengan Bani Hasyim
berupa paman, keponakan, dan bibi.
Sebelumnya mereka telah menandatangi keputusan itu, ketika
digambarkan kepada mereka bahwa tujuan utama dari adanya kes-
epakatan itu adalah menyingkirkan Muhammmad semata dan tidak
melakukan pendiskreditan kepada Bani Hasyim.
Sejak mereka mengetahui bahwa maksud pemblokedan itu adalah
untuk mennghancurkan dan melenyapkan Bani Hasyim dari Makkah,
maka timbullah rasa iba, kasihan, dan simpatik yang mendalam pada
beberapa sanak famili Bani Hasyim tersebut.
Setelah terkuaknya transparansi ambisi musuh-musuh Bani Hasyim
yang bermaksud akan menguasai posisi dan kekayaannya, maka
tergugahlah hati kelompok Bani Hasyim untuk mengambil langkah
penyobekan lembar perjanjian itu.
Di bawah gelapnya malam, Hisyam bin ‘Amr bin Rabi‘ah pergi
dengan seekor unta yang membawa makanan untuk dihantarkan ke-
pada Bani Hasyim yang tinggal di pelosok-pelosok bukit. Tidak hanya
itu saja aksi solidaritas yang dilakukan oleh Hisyam, bahkan ia lalu
pergi menemui Zuhair bin Abi Umayyah, seorang putra Atikah binti
‘Abdul Muththalib. Ia katakan kepadanya: “Relakah engkau makan,
berpakaian, dan beristri, sementara paman-pamanmu tak diperbole-
hkan melakukan jual beli? Tidak ingatkah dirimu seandainya mereka
itu adalah paman-pamannya, sudah tentu dia tidak akan pernah mau
selamanya.”
Kata-kata itu terasa merobek-robek hati Zuhair. Peristiwa pahit
yang menimpa paman-pamannya, Abu Thalib, Hamzah, ‘Abbas, sauda-
ra-saudara sepupu, dan sanak keluarga dari ibunya, menggoreskan
luka di dalam hatinya. Oleh karena itu, Zuhair bin Atikah bertekad
akan merobek lembar kesepakatan yang pernah dicetuskan bersama
dengan pemuka-pemuka Quraisy. Hisyam bin ‘Amr bin Rabi‘ah tiada
henti-hentinya membicarakan pem­blokadean ekonomi terhadap Bani
Hasyim dengan tokoh terkemuka lainnya, sehingga aksi ini berjalan
mulus dan pada akhirnya bergabunglah Muth‘am bin Ady, Bahtari bin

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 173


Hisyam, dan Zam‘ah bin Aswad. Mereka tergolong orang kaya yang
memiliki posisi terpandang di tengah-tengah masyarakatnya.
Mereka semua membuat kesepakatan untuk pergi ke Ka‘bah
keesokan harinya dengan maksud akan melakukan penyobekan lembar
pengumuman blokade terhadap Bani Hasyim yang dicetuskan oleh
pemuka-pemuka Quraisy dan mereka gantungkan lembar keputusan
itu di dinding Ka‘bah.
Keesokan harinya Zuhair bin Umayyah, putra Atikah binti ‘Abdul
Muththalib, pergi ke Ka‘bah. Kepada orang-orang yang berkumpul di
sekitar Ka‘bah ia mengatakan: “Wahai penduduk Makkah, akankah kita
makan dan minum, sementara Bani Hasyim bergumul dalam penderi-
taan diambang kehancuran? Mereka tak diperbolehkan berdagang dan
tidak pula diperbolehkan membeli dagangan dari mereka? Demi Allah,
aku takkan duduk sebelum aku bisa merobek lembar pengumuman
blokade yang sangat kejam ini.”
Ketika itu Abu Thalib telah datang dari pelosok-pelosok perbuki-
tan. Ia duduk seorang diri, terpencil dari yang lain, sedangkan Abu
Jahal duduk di salah satu pilar dengan penuh kecongkakan di antara
pemuka-pemuka Quraisy. Abu Jahal mulai menjawab kata-kata yang
dilontarkan oleh Zuhair bin Abu Umayyah.
“Zuhair, engkau bohong! Engkau takkan pernah berani menyobek
lembar pengumuman ini,” tantang Abu Jahal.
“Abu Jahal, justru engkaulah pembual besar. Aku sungguh-sungguh
tidak dapat menerima tulisan yang tertera dalam lembaran yang eng-
kau tulis itu,” sahut Zam‘ah bin Aswad yang ada dalam pertemuan itu.
Ucapan Zam‘ah tadi diperkuat lagi oleh Bahtiar: “Kita tak pernah
menerima tulisan yang tertera dalam lembaran itu dan kita tak ada
kaitan sama sekali dengan tulisan itu.”
Muth‘am bin Ady menyusuli ucapan Zam‘ah: “Kalian berdua benar.
Orang yang berkata selain itu adalah pembohong besar! Kita bebas
dari lembaran ini dan tulisan yang tertera di atasnya.”
Hisyam bin ‘Amr mengukuhkan pula kata-kata yang telah din-

174 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yatakan mereka sebelumnya. Sementara itu, Abu Thalib duduk di
kejauhan, diam dalam kesendirian.
Abu Jahal segera memotong pembicaraan mereka dengan menyam-
paikan pengumuman kepada orang-orang yang hadir bahwa keputusan
yang tertuang dalam lembar pe­ngumuman itu merupakan konsensus
para pemuka Quraisy. Ia berusaha mempertahankan lembar pengumu-
man itu, tetapi kelima orang yang telah bersepakat menghapus blokade
terhadap Bani Hasyim bangkit dari duduknya secara serentak, lalu
merobek-robek lembar pengumuman itu. Meli­hat keberanian mereka
merobek lembaran itu, kema­rahan Abu Jahal, Abu Sufyan, dan kawan-
kawannya memun­cak tak tertahankan. Akan tetapi, ketegasan sikap
kelima orang itu menumbuhkan semangat keberanian pada yang lain.
Abu Thalib yang tetap tidak beranjak dari tempat duduknya men-
gamati dengan seksama. Di dalam hatinya muncul keyakinan bahwa
blokade itu pada akhirnya tak berpengaruh apa-apa. Tembok-tembok
yang didirikan oleh orang Quraisy sudah penuh dengan lubang-lubang.
Bani Hasyim pada akhirnya akan mendapatkan orang-orang yang mau
menjalin hubungan dengan mereka. Para istri yang dipulangkan secara
terusir akan diminta kembali lagi dan para suami akan menerima pe-
nyerahan kembali istri-istri yang dirampas dari mereka.
Abu Thalib kembali lagi ke pelosok-pelosok bukit dengan menegas-
kan kepada mereka bahwa mereka boleh pulang ke rumah masing-
masing dan kehidupan mereka di Makkah.
Bani Hasyim sangat mendambakan perubahan situasi seperti se-
diakala. Maka takkan ada lagi seorang dari masyarakat Quraisy yang
melakukan pemutusan hubungan dengan mereka.
Namun meskipun demikian, beban derita blokade itu telah mengg-
oreskan bekas kepahitan yang tak dapat disembunyikan pada diri Abu
Thalib yang sudah berusia lanjut dan pada diri Khadijah yang kini telah
melampaui usia enam puluh tahun. Khadijah melalui tahun-tahun
terakhirnya dalam sakit yang berkepanjangan dan dalam kepahitan
hidup bersama suaminya. Semua itu ia sembunyi­kan dari suaminya.
Dia selalu menampakkan wajah yang berseri-seri di hadapan suaminya,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 175


walaupun dalam hatinya tersimpan tangis kegetiran.
Muhammad datang kembali dalam kondisi yang lebih tegar bila
dibandingkan dengan kondisinya sebelum me­ngungsi ke pelosok-
pelosok bukit. Dia berani mengejek pada hal-hal yang ditemuinya,
menentang musuh-musuh­nya, dan berjalan seperti biasanya di antara
Hamzah dan ‘Umar.
Kini tumbuh sebuah tekad di dalam hatinya untuk tidak diam begitu
saja terhadap gangguan-gangguan yang menimpa dirinya, sementara
orang-orang Quraisy tak memiliki kekuatan lagi untuk melakukan lebih
banyak dari tindakan sebelumnya.
Di tengah jalan Umayyah bin Khalaf berpapasan dengannya.
Umayyah adalah seorang laki-laki yang berperangai jelek, gemar ber-
musuhan, dan tak mempunyai rasa takut kepada siapa pun. Sekalipun
Hamzah dan ‘Umar telah bergabung dalam barisan Muhammad, namun
Umayyah tetap menganggap enteng-enteng saja. Bahkan ia sesumbar
akan membunuh Muhammad dengan tangannya sendiri. Umayyah
menghadapi Muhammad dengan maksud akan menakut-nakutinya
seraya berkata: “Aku beri makan kuda ini tidak lain adalah untuk
membunuhmu.”
“Tidak, justru akulah yang akan membunuhmu dengan izin Allah,’
sahut Muhammad menanggapi ejekan Umayyah.
Demikianlah, Muhammad menjalankan aktivitasnya. Beliau meng-
hadapi setiap tantangan dengan tantangan pula. Dia juga mengejek
setiap orang yang mengejek dirinya. Musuh-musuhnya dihadapi dengan
langkah-langkah yang dapat meruntuhkan wibawa mereka yang sekian
lama mereka bangga-banggakan. Di celah-celah kenyataan semua ini,
Muhammad menebarkan ajaran-ajarannya. Dia bersikap konsisten
menjalankannya. Dia menganjurkan orang-orang agar mau mengikuti
ajaran-ajarannya dan terus melakukan gerakan-gerakan agresif, tanpa
mempedulikan resikonya lagi.
Hari demi hari, keberanian Muhammad menumbuhkan rasa kegagu-
man dalam hati kalangan rakyat kecil. Sebagian dari mereka ada sebuah
perasaan yang jika bergabung ke dalam kelompok Muhammad saat ini,

176 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


maka mereka tidak akan diejek-ejek dan disakiti lagi, sebagaimana
perlakuan yang pernah diderita oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini
disebabkan keberanian Muhammad dalam menghadapi orang-orang
Quraisy mampu mengukuhkan hati orang-orang yang akan mengikuti
ajaran-ajarannya. Dia akan mampu menangkal setiap ancaman dan
rintangan.
Para pemuka Quraisy merasa sangat khawatir. Keadaan ini akan
mempengaruhi orang-orang asing yang berkunjung ke Makkah untuk
berniaga dan berkumpul pada musim haji. Oleh karena itu, pemer-
intah Makkah menetapkan suatu keputusan lagi yang menyatakan
bahwa Muhammad telah melakukan perbuatan melanggar hukum;
dan orang yang mendengarkan kata-katanya berarti telah menentang
pemerintahan Makkah. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga dan
memelihara kestabilan Makkah, maka pemerintah akan menerapkan
aturan ini sebagaimana mestinya.
Secara khusus Makkah sangat takut kepada para penyair, karena
setiap suku membangga-banggakan diri dengan para penyairnya dan
sangat memperhatikan kata-kata yang diucapkan mereka. Seandainya
seorang penyair yang mengikuti ajaran Muhammad, lalu dia memuji-
muji ajaran itu, sudah tentu ajaran-ajaran itu akan segera tersebar
luas kepada suku si penyair tersebut. Maka berkem­banglah ajaran
Muhammad dan dipuja-puja para penyair itu dengan penuh rasa apre-
siatif, sebagaimana apresiasi yang dituang dalam untaian-untaian kata
si penyair.
Pemerintah Makkah kini menunggu hasil usaha orang-orang yang
ditugaskan untuk mencegah para penyair yang datang berkunjung
kepada Muhammad dan orang-orang yang ditugaskan untuk menyebar
isu kepada para cendi­kiawan yang juga datang kepada Muhammad,
bahwa Muhammad adalah orang sinting dan dipandang hina oleh ma-
syarakatnya.
Akan tetapi, Muhammad berusaha menentang para penyair yang
cerdik-cerdik itu. Ketika mereka duduk di sekitar Ka‘bah, Muhammad
masuk ke tengah mereka. Muhammad menjelaskan ajaran-ajarannya
dengan suara lantang melebihi gemuruh suara orang-orang yang meng­

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 177


ejek­nya. Di suatu pojok dari tempat itu, ada seorang pria asing yang
menjerit: “Wahai orang-orang Quraisy, adakah orang yang bersedia
menolong diriku untuk mengambil hakku dari ‘Amr bin Hisyam? Aku
adalah pendatang yang dalam perjalanan telah diperlakukan sewenang-
wenang.”
Sebagian orang-orang Quraisy memberi petunjuk kepada pria as-
ing itu agar minta tolong kepada Muhammad, padahal sebenarnya di
dalam hati mereka tersimpan maksud mengejek Muhammad.
Mereka semua tahu bahwa tak seorang pun berani menentang Abu
Jahal Bin Hisyam. Maka bagaimana mungkin Muhammad akan berani
menuntutnya?
Mereka semua tahu bahwa Muhammad tak mungkin melakukan-
nya, karena Abu Jahal adalah musuh besarnya yang paling garang dan
bringas. Namun pria asing itu memenuhi petunjuk mereka. Ia datang
kepada Muhammad untuk menceritakan bahwa Abu Jahal telah mem-
beli sebagian untanya, tapi Abu Jahal tak membayarkan uang pembe-
lian unta itu.
Riuhnya suara orang-orang yang mengejek Muhammad berubah
kian gaduh. Mereka yakin bahwa Muhammad pasti akan mengecewakan
harapan pria asing itu. Muhammad tak punya keberanian yang cukup
untuk menghadapi Abu Jahal. Karena itu, mereka bersiap-siap akan
mengejek Muhammad dengan ejekan-ejekan yang akan meruntuhkan
wibawa dan pengaruhnya terhadap orang-orang yang mengikuti ajaran-
ajarannya.
Tetapi ternyata Muhammad beranjak pergi menuju ke rumah ‘Amr
bin Hisyam bersama pria asing itu. Muhammad dan orang-orang Islam
sudah terbiasa menyebut ‘Amr bin Hisyam dengan sebutan Abu Jahal.
Muhammad pergi ke rumah Abu Jahal diiringi pandangan orang-orang
yang meremehkan dengan tatapan penuh keheranan.
Sewaktu Muhammad sampai di rumah Abu Jahal, di mana ia sedang
duduk di tengah-tengah budak-budak dan penunggang-penunggang
kudanya, maka dengan spontanitas Muhammad menggedor pintu
rumahnya dan menyuruh Abu Jahal agar segera menemui dirinya.

178 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Raut mukanya tampil penuh percaya diri dengan segenap kekua-
tannya dalam upaya membela pria asing yang teraniaya itu. Maka Abu
Jahal keluar dari dalam rumahnya menemui Muhammad dengan penuh
antisipatif. Apakah gerangan yang telah terjadi di Makkah, hingga
Muhammad berani memukul pintu rumahnya dengan cara seperti ini?
Bahkan sebelum Abu Jahal tersadar dari ketertegunannya, Muhammad
segera menggertak lagi: “Berikanlah hak orang lain!”
Melihat aksi gertakan Muhammad, Abu Jahal tidak menjawab, bah-
kan ia justru masuk kembali ke dalam rumahnya, kemudian ia keluar
lagi dengan membayar uang pembelian unta yang pernah diutanginya
itu kepada pria asing tersebut.
Sekembalinya pria asing itu dari rumah Abu Jahal yang telah me-
lunasi utangnya, ia memberi tahu kepada orang-orang yang ada di
sekitar Ka‘bah bahwa Muhammad telah mengambilkan haknya dari
seorang penindas yang sangat ditakutinya itu.
Keberanian Muhammad ini menimbulkan suatu kega­guman di hati
orang-orang asing. Orang-orang yang mengejek menjadi bubar dan
berubah heran dalam kekesalan dan kegeraman.

g
Kini pasca kedatangan Muhammad ke rumah Abu Jahal, kata-kata
telah dimanifestasikan dalam bentuk aksi yang konkrit. Ungkapan-
ungkapan harus diubah dalam bentuk langkah-langkah. Hal ini dik-
arenakan telah datang suatu masa, di mana suatu ajaran dituntut
menjadi suatu gerakan-gerakan faktual selama kurang lebih sepuluh
tahun di Makkah. Muhammad mengajak dengan kata-kata dan sikap
sabar dalam menghadapi berbagai penganiayaan. Akan tetapi, justru
kesabaran tersebut telah membuka peluang berakarnya sewenang-
wenang masyarakatnya.
Muhammad telah cukup kenyang makan garamnya ke­sabaran dan
ketabahan. Kini ia harus menghadapi kekerasan dengan kekerasan
pula. Bagaimanapun juga, masyarakat tidak akan mampu berbuat
lebih banyak lagi perbuatan-perbuatan yang pernah mereka lakukan.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 179


Manusia dituntut memenuhi janjinya, demikianlah menurut ajaran­nya.
Oleh karena itu, dia sendiri harus menekan orang-orang yang congkak
agar mereka mau memenuhi janji mereka.
Dia mengutuk penindasan dan mengajak untuk tidak makan harta
milik orang lain. Oleh karena itu, dia sendiri yang harus merampas hak
itu kembali dari cengkeraman kuku-kuku perampas. Dia sendiri yang
harus menekan dan mendesak para perampas agar mengembalikan
hak-hak orang yang terampas kepada pemiliknya.
Di lorong-lorong jalan, beberapa orang asing yang mengunjungi
Makkah merasa tertarik kepada Muhammad. Seorang penyair “Daus”
dan ahli filsafat bernama Thufail bin ‘Amr datang ke rumah Muham-
mad.
“Wahai Muhammad, masyarakatmu telah bercerita banyak ke-
padaku tentang dirimu. Tiada henti mereka menakut-nakuti diriku
berkenaan dengan dirimu hingga aku menyumbat telinga agar aku
tak mendengar lagi ucapan-ucapanmu. Namun ternyata setelah aku
dengar sendiri ucapan-ucapanmu, aku menemukan ucapan yang baik,
maka aku jadi tertarik kepada ajaranmu,” demikian ucap sang penyair
yang cendekiawan itu. Dialah seorang pemimpin suatu suku yang jauh
bersusah-payah datang untuk menemuinya.
Muhammad berbincang-bincang dengannya, menjelas­kan ajaran-
ajaran yang dibawanya, hingga ia (Thufail bin ‘Amr) masuk Islam. Bah-
kan setelah ia kembali ke tengah masyarakatnya, istri dan ayahnya juga
mengikuti jejaknya, masuk Islam. Ia terus mengajak masyarakatnya,
hingga terhitung sebanyak tujuh puluh orang laki-laki dan perempuan
dari mereka yang masuk Islam.
Informasi tentang masuknya Thufail ke dalam Islam kepada orang-
orang Quraisy, menumbuhkan rasa ke­khawatiran akan timbulnya ba-
haya besar di kemudian hari. Jika ajaran-ajaran Muhammad menyebar
keluar Makkah dan ada orang-orang yang bersedia membelanya, sudah
pasti Muhammad akan merasa lebih kuat di atas mereka dan bantuan
orang-orang dari manca negara. Ketika sudah menjadi kelompok may-
oritas, jika mereka menemukan kesulitan, sudah dapat dipastikan mer-
eka akan bergabung untuk melakukan penyerbuan kepada masyarakat

180 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Quraisy di Makkah dan mereka menjadikan Muhammad sebagai raja.
Makkah sangat menyesali telah membiarkan Thufail menemui Muham-
mad.
Dengan demikian, perlu langkah-langkah strategis lain untuk
menekan para pengikut Muhammad yang tinggal di manca negara.
Para pemuka Quraisy sebenarnya telah berusaha menakut-nakuti mer-
eka, namun cara ini tampak­nya tidak membawa pengaruh apa-apa.
Oleh karenanya, diperlukan langkah yang anarkhis untuk mencegah
berlangsungnya pertemuan-pertemuan dengan Muhammad dan para
pengikutnya.
Tentara-tentara Makkah mulai melakukan pengintaian-pengintaian
kepada setiap pendatang. Pemerintah Quraisy menyebarkan intel di
setiap pasar Makkah dan dalam masa-masa penyelenggaraan haji.
Setiap orang yang diketahui menjalin hubungan dengan Muhammad,
dengan serta-merta mereka langsung dikenai tindakan pengusiran
dengan cara dipukul dan disiksa setelah barang dagangannya disita
terlebih dahulu.
Akan tetapi, Muhammad takkan mempedulikan reaksi ini. Ia tetap
berdiri di sekitar Ka‘bah menjelaskan ajaran-ajaran Islam kepada para
pendatang. Sebagian para pendatang ada yang diam mendengarkan,
kemudian ber­paling, sementara sebagian yang lain lagi ada yang men-
jauh, karena takut kepada ancaman pemerintah Quraisy.
Dalam keadaan apa pun, pemerintah Quraisy tak akan pernah
memberi kesempatan kepada siapa pun untuk berbincang-bincang
dengan Muhammad selamanya hingga datanglah seorang laki-laki
yang bijaksana dari suku Ghifar, dengan hati yang dibebani beratnya
kecongkakan para pemuka Quraisy yang kaya-raya dan diliputi obsesi
tentang pembebasan dan penindasan yang dilihatnya.
Pada suatu sore laki-laki dari suku Ghifar ini berbaring di dekat
Ka‘bah. ‘Ali bin Abi Thalib melihat dan memper­hati­kan laki-laki itu
seorang diri yang lemah-lembut pe­ra­ngai­nya. ‘Ali bertanya: “Seper-
tinya engkau laki-laki asing?”
Selanjutnya, ‘Ali mengajak laki-laki tersebut ke rumahnya hingga

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 181


ia bermalam di rumah ‘Ali. Namun keesokan harinya ‘Ali tak melihat
laki-laki itu lagi.
Sore harinya, laki-laki itu datang lagi ke rumah ‘Ali. Raut muka
laki-laki yang cekung itu menyiratkan getirnya duka dalam menang-
gung obsesi yang panjang.
“Tuan, jika Tuan tidak keberatan, apakah gerangan yang mendorong
Tuan untuk berkunjung di negeri ini?,” tanya ‘Ali.
“Jika engkau mau berjanji akan menunjukkan aku, akan aku beri
tahu.”
‘Ali berjanji akan menunjukkan laki-laki itu dan akan merahasiakan
persoalannya.
Laki-laki itu mengatakan bahwa dirinya telah men­dengar informasi
tentang Muhammad. Karenanya, ia datang dengan maksud ingin men-
emuinya, tapi ia mengetahui tindakan yang akan dikenakan pemerintah
Quraisy kepada pendatang yang berani menemui Muhammad.
“Tuan ini siapa dan dari mana?,” tanya ‘Ali lagi.
“Namaku Abu Dzar; kabilahku Ghifar.”
‘Ali segera beranjak demi Abu Dzar Al-Ghifari dan pergi menemui
Muhammad sambil berbisik: “Ikut saja aku dan masuklah di mana aku
masuk. Jika engkau melihat orang yang aku khawatirkan akan meng-
ganggu keselamatan Tuan, maka aku akan mendekat ke sebuah tembok,
seolah-olah aku sedang buang air kecil, kemudian silakan Tuan terus
berjalan.”
Maka berangkatlah mereka berdua hingga bertemu dengan Muham-
mad. Selanjutnya, Muhammad menjelaskan ajaran-ajarannya kepada
Abu Dzar Al-Ghifari.
Esok malamnya, Abu Dzar mengunjungi Muhammad kembali mele-
wati jalan itu juga dengan ditemani ‘Ali lagi. Ia menanyakan ajaran-
ajaran baru itu dalam kaitannya dengan persoalan budak-budak,
rentenir-rentenir, orang-orang yang congkak, kaum perempuan, orang-
orang miskin, dan orang-orang yang tertindas.
Esok malamnya lagi Abu Dzar mengunjungi Muhammad kembali

182 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


bersama ‘Ali. Ia menanyakan tentang problema yang dipertanyakan
dan Abu Dzar menemukan jawabannya dalam ajaran-ajaran baru ini.
Memang inilah yang dicari-cari Abu Dzar sejak dulu. Seorang manusia
bebas di hadapan Tuhan; tak ada Tuhan selain Dia, sedangkan orang-
orang yang lemah dan dilemahkan di muka bumi ini, ajaran baru itulah
yang akan mengangkat mereka sebagai pemimpin dan pewaris.
Abu Dzar Al-Ghifar menyatakan keimanannya terhadap ajaran-
ajaran ini. Ia bertekad akan menyampaikan kepada masyrakat Bani
Ghifar.
Ketika Abu Dzar berpamitan, Muhammad memberi saran: “Wahai
Abu Dzar, kembalilah kepada masyarakatmu. Kabarkanlah kepada mer-
eka; dan rahasiakanlah persoalanmu dari penduduk Makkah, karena
aku khawatir mereka akan mengganggu keselamatanmu.”
Akan tetapi, Abu Dzar tetap saja nekad. Ia pergi ke Ka‘bah.
Di sekitar Ka‘bah ia bertemu dengan beberapa seorang laki-laki,
maka diajaklah mereka memeluk ajaran Islam. Mendengar ajakan
Abu Dzar, orang-orang itu tersentak kaget atas keberanian pria as-
ing ini menentang pemerintah Makkah. Mereka lalu memukuli Abu
Dzar hingga hampir saja nyawanya melayang. Namun untung saja
‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib berteriak mencegah mereka seraya
berkata: “Celaka kalian! Tidak tahukah kalian bahwa laki-laki ini
berasal dari suku Bani Ghifar? Bukankah jalan perniagaan kalian ke
Syam harus melewati Bani Ghifar?”
Mereka berhenti tak memukulinya lagi, karena khawatir jika pria
Bani Ghifar ini sampai mati, sudah dapat dipastikan perjalanan dagang
mereka ke Syam akan dicegat oleh Bani Ghifar untuk menuntut balas
dendam atas perlakuan mereka terhadap Abu Dzar.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, Abu Dzar akhirnya
dilepas. Ia pulang kembali ke tengah masya­rakat­nya dengan mem-
bawa ajaran-ajaran yang diimpikannya sejak lama. Dalam hatinya
penuh dengan seruan-seruan untuk bersikap adil dan memperjuang-
kan persamaan hak.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 183


g
Cara apa lagi yang dapat dilakukan untuk menekan aktivitas Mu-
hammad setelah ini?
Abu Thalib masih saja memberi perlindungan kepada Muhammad.
Bila terjadi sesuatu yang cukup serius, Bani Hasyim membelanya. Kini
ajakannya telah menembus dinding-dinding Makkah dan bebukitannya
dan mulai tersebar ke berbagai suku, baik Daus dan Bani Ghifar, dan
siapa tahu apa yang akan terjadi besok.
Kini Muhammad membacakan ajaran-ajarannya di masjid tanpa
merasa risih lagi.
Untuk kesekian kalinya para pemuka Quraisy men­datangi paman-
nya lagi untuk meminta pendapatnya dalam menye­lesaikan masalah
Muhammad, tapi Abu Thalib sedang dalam keadaan sakit keras. Dalam
keadaannya yang sangat kritis, Muhammad yang duduk di sampingya
berusaha mengajak­nya untuk mempercayai ajaran-ajarannya.
Namun sayang, Abu Thalib menghembuskan nafas yang terakhir
kalinya....
Mereka senang dan gembira atas kematian Abu Thalib, karena
kematian itu memberikan indikasi lenyapnya batu sandungan besar
dari pihak musuh-musuh Muhammad, sebab selama ini musuh-musuh
Muhammad sangat memper­hitungkan eksistensi Abu Thalib. Sekalipun
mereka telah berusaha untuk tidak mengait-kaitkan pribadi Muham-
mad dengan Bani Hasyim, tetapi Bani Hasyim senantiasa merintangi
musuh-musuhnya untuk melakukan penganiaya­an terhadap pribadi
Muhammad.
Dalam duka yang termat dalam, Muhammad pulang ke rumahnya
menangisi kematian pamannya. Di rumahnya dia sudah tidak menemu-
kan lagi tangan yang biasanya mengusap air matanya dalam keadaan
gemetar dan menahan sakit. Sementara itu Khadijah juga menderita
sakit dalam kondisi yang sangat kritis; dan kematian Khadijah akhirnya
datang juga, setelah berselang beberapa hari saja dari kematian Abu
Thalib.

184 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Dalam beberapa hari saja, Muhammad telah kehilangan dua orang,
yaitu seorang pamannya yang telah mengasuh dirinya; dan seorang
istri yang setia mendampinginya dalam suka dan dukanya kehidupan
selama kurang lebih sepuluh tahun. Kegembiraan terasa pudar; in-
dahnya kehidupan terasa hambar selaksa lebur terkubur. Ia menunduk
dalam tangis di dekat pusara Khadijah. Ia tidak dapat berbuat banyak
dan hanya bisa menangis dan menangis.
Ketika teman-temannya dan sanak keluarganya mengajak pulang
ke rumahnya, Muhammad dalam kondisi murung tanpa bicara. Hanya
desah nafasnya yang terdengar dan air matanya mengalir deras dari
kedua matanya.
Apakah yang dapat diberikan oleh kehidupan baginya setelah ini?
Betapa banyak penderitaan yang dipikul pamannya lantaran me-
lindungi dirinya. Betapa banyak penderitaan yang harus dirasakan oleh
Khadijah dalam mendampingi dirinya.
Kini Muhammad harus menjalani hidup sebatang kara. Lenyap su-
dah naungan pamannya sebagai tempat ia berteduh. Dia akan tidur di
tempat tidur yang dingin sambil meratapi kembali kenang-kenangan
indah yang tak mudah dilupakan.
Sebagian teman-temannya menyarankan Muhammad agar mau
mengawini seorang gadis yang dapat mengganti peran atas kepergian
Khadijah, tapi ia menolak. Bertahun tahun ia menjalani hidup bersama
Khadijah dan usianya kian bertambah tua. Usia tua kemudian mereng-
gut Khadijah untuk pergi meninggalkan dirinya selama-lamanya. Karena
itu, wajar saja jika kepergian istrinya membuatnya teramat memukul
batinnya, walaupun banyak perempuan lain yang masih menaruh hati
kepada dirinya.
Hanya saja, secara mendadak para pengikutnya yang mengungsi ke
Ethiopia pulang kembali. Raja Najasy yang memberikan perlindungan
kepada mereka menghadapi krisis politik di negaranya. Di samping
itu, terdengar berita bahwa Makkah telah mengalami perubahan. Mer-
eka yang kembali di antaranya adalah Ruqayyah bersama suaminya,
‘Utsman bin ‘Affan; ‘Abdurrahman bin ‘Auf; Zubair bin Awwam; dan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 185


Mush‘ab bin Umair. Mereka semua pulang bersama istrinya dan hanya
beberapa orang saja yang telah mereka kubur di bumi Ethiopia (Hab-
syah).
Di antara mereka ada juga seorang perempuan yang pulang seorang
diri. Dia ditinggal mati suaminya yang telah dikebumikan di bumi
Ethiopia di sana. Perempuan itu- setelah ditinggal mati suaminya-
hidup dirundung susah dalam menanggung beban hidup sehari-hari dan
hidup seorang diri. Karena itu, Muhammad mengemukakan kepada
bebe­rapa orang temannya bahwa ia bermaksud ingin menyem­buhkan
luka di hati perempuan itu dan akan menikahinya. Akan tetapi, hati
perempuan itu tak tertarik lagi kepada siapa pun. Namun siapa tahu
dengan kehadiran Muhammad, luka yang tergores di hati perempuan
itu dapat terobati, maka dilamarlah perempuan itu oleh Muhammad
sendiri.

g
Para pemuka Quraisy tak mau menunggu hingga kering air matanya.
Belum pulih kembali ketenangan hatinya dari luka kematian Abu Thalib
dan Khadijah, Makkah sudah mengobrak-abrik para pengikutnya yang
pulang dari Habasyah, membuang barang-barang dagangan mereka,
dan menyiksa sebagian di antara mereka yang tertangkap.
Kini masa lain datang lagi dengan siksaan yang baru!
Muncul sebuah angan-angan dalam hati Muhammad, seandainya
ia dapat menemukan suku yang beriman kepada ajarannya, lalu mer-
eka mengajak Muhammad dan seluruh pengikutnya untuk hidup di
tengah-tengah suku tersebut. Andaikata Bani Ghifar atau Daus yang
telah memeluk ajaran-ajarannya bersedia membebaskan dirinya dan
pengikut-pengikutnya dari siksaan hidup yang menjerat di Makkah.
Tapi ia tak mendapatkan ajakan yang diangan-angankannya dari
Bani Ghifar dan Daus.
Seorang pamannya, ‘Abbas, membujuk agar ia pergi ke Thaif saja.
Di sana ada beberapa orang yang mempunyai hubungan akrab dengan
pamannya. Di samping itu, di sana terdapat lahan pertanian anggur dan
zaitun yang cukup luas. Di sana juga terdapat banyak budak, buruh,

186 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


petani, dan perempuan yang terlantar hidupnya.
Dengan demikian, di Thaif dia menemukan orang-orang yang akan
membelanya karena menghormati dan meng­hargai pamannya.
Bersama dengan seorang budaknya yang bernama Zaid bin Harit-
sah, ia berangkat ke Thaif. Kebun-kebun anggur, kebun-kebun kurma,
dan kebun-kebun zaitun, daunnya melambai-lambai dari kejauhan.
Inilah rupanya daerah “impian”; pagar-pagarnya tampak putih kemilau
menju­lang. Kini dadanya dipenuhi wanginya kebun-kebun yang harum
semerbak di tengah-tengah kilauan padang pasir.
Tiba-tiba wajahnya cerah berbinar-binar. Ia merasakan sebuah
ketenangan batin yang merayap ke dalam sekujur tubuhnya. Ia telah
menemukan naungan tempat ia berteduh dari teriknya panas dan
pembela yang akan mengangkat kehormatannya dan menyebarkan
ajaran-ajarannya.
Di sini, di negeri kurma, ketenteraman dan kebahagiaan yang
didambakannya kini akan ditemukan olehnya. Siapa tahu di sebuah
negeri yang hijau ini, panji-panji ajaran-ajarannya akan mencuat ke
atas.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 187


188 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Mencari Bumi
Tempat Berpijak

W a h a i A n a k k u , e n g k a u t e r u s i r d a n t e r s i n g k i r.
Engkau harus menjalani hidup dalam kemiskinan,
kemelaratan, kenestapaan, dan penyiksaan, sebagaimana yang telah
dirasakan oleh para penyuluh kebenaran terdahulu sebelum dirimu.
Mungkinkah engkau padamkan bara yang menyala-nyala di dalam
hatimu secara tiba-tiba, lalu segalanya pupus terhapus? Mungkinkah
engkau melintasi gelapnya kabut hitam yang menyelimuti gurun pa-
sir yang terhampar luas dipenuhi dengan kelicikan, kecurangan, dan
kebejatan?
Mungkinkah ajaran-ajaranmu akan hancur gugur terkubur di bawah
pasir-pasir tempat tegaknya tuhan-tuhan emas yang berkilau di bawah
pancaran sinar matahari; dan eksistensi manusia akan tetap ditump-
ahkan darahnya dan dicabik-cabik kehormatannya, dipotong-potong
dagingnya tanpa pertanggungjawaban; keringat dan tenaganya diperas
tanpa mengenal batas?
Wahai Abul Qasim, akankah engkau menjadi kenang-kenangan yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 189


melekat di hati orang-orang yang lemah, laksana sebuah impian tentang
kebahagiaan yang porak-poranda dan engkau lenyap tak akan mening-
galkan bekas selain senyuman sinis di bibir para penguasa?
Mungkinkah semua ini akan terjadi?
Tapi dirimu tak sama dengan penyuluh kebenaran terdahulu yang
disia-siakan.
Engkau datang dengan sesuatu yang lain dan berbeda. Zaman menyong-
song kehadiranmu dengan cara yang lain pula, tidak seperti kehadiran
Ibnu Samman, Ibnu Nufail, dan siapa pun yang datang pada zaman
yang menunggu keha­dirannya sebagaimana kehadiranmu yang datang
dengan mem­bawa obat bagi jiwa-jiwa yang engkau temui, meme­nuhi
berbagai tuntunan dan kebutuhan jasmani dan rohani.
Jalan kehidupan para penyuluh ajaran-ajaran terdahulu tak mem-
buatmu susah sama sekali. Demikian juga, orang-orang yang beriman
kepada ajaran-ajaranmu pun juga menemui sesuatu sebagaimana apa
yang engkau temui. Mereka yang beriman kepada ajaran-ajaranmu
merasakan juga pedihnya siksaan dan mereka tak akan pernah menun-
dukkan kepala selamanya. Sebaliknya, para penyuluh ajaran terdahulu,
tak seorang pun dari mereka yang menghadapi siksaan, tantangan, dan
pembangkangan sebagaimana kenyataan yang engkau hadapi.
Alangkah keterlaluan ejekan dan penghinaan masya­rakat Thaif!
Alangkah kejamnya mereka menghancurkan segenap obsesi-obsesinya
dan membuatnya berdarah hingga kedua tumitnya.
Orang-orang yang mengusirnya dengan ejekan, kotor­an, dan batu
adalah justru budak-budak, buruh-buruh, dan rakyat jelata yang
diajaknya untuk memperoleh kemer­dekaan dan diberinya harapan-
harapan kebebasan mereka.
Teman-teman pamannya, Al-‘Abbas, menentang kedatangannya dan
mengusirnya, karena berusaha menjaga hubungan baik mereka dengan
para pedagang Quraisy, juga karena kelangsungan hegemoni mereka
terhadap budak-budak dan buruh-buruh.
Sebelum kedatangan Muhammad di tengah-tengah mereka, mereka

190 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


sudah tahu bahwa dia mengharamkan bunga uang, anti tuak, dan
menekan orang-orang untuk membenci daging babi, sedangkan harta
kekayaan mereka menumpuk karena membungakan uang. Perdagangan
mereka yang paling utama adalah babi-babi yang memenuhi padang
gembala Thaif dan arak yang mereka hasilkan dari perkebunan ang-
gur di sana.
Mereka juga tahu bahwa kehadiran Muhammad di tengah-tengah mer-
eka akan menghasut orang-orang lemah dan miskin untuk menuntut
apa yang disebut-sebut sebagai “hak orang-orang miskin terhadap
harta benda orang-orang kaya”. Oleh karena itulah, mereka tidak
mau menerima kedatangannya dan ditumbuhkanlah rasa kebencian di
hati budak-budak yang terus-menerus membuntutinya di setiap jalan.
Apabila Muhammad berusaha berbicara, maka buruh-buruh dan budak-
budak yang telah termakan hasutan itu senantiasa menyumbat lubang
telinga mereka dan mereka melempari dengan batu-batu yang tajam.
Darah segar mengalir di sekujur tubuh Muhammad yang telah mengalir
di atas bumi Thaif. Mereka telah mengusirnya dengan lemparan batu.
Akhirnya, dia menyatakan akan pulang kembali ke Makkah agar musuh-
musuhnya dari suku Quraisy tidak memaki-maki dirinya dan berupaya
menya­kiti­nya lagi dengan siksaan yang lain.
Akan tetapi, Bani Tsaqif, penduduk Thaif menolak untuk merahasiakan
persoalan dirinya. Mereka bersumpah akan mengeksposnya.
Dia berjalan di atas kedua tumitnya yang luka berdarah secara tertatih-
tatih dan diiringi Zaid bin Haritsah dengan cucuran air mata. Muham-
mad duduk bersama dengan bujangnya berteduh di sebuah tembok
mengobati luka-lukanya. Ia memulihkan tenaganya dan menghibur
bujang­nya. Pandangan matanya yang tertutup oleh derasnya air mata
sedang menatap padang pasir yang terbentang luas di hadapannya
dengan pasir-pasirnya yang menguning laksana emas seolah-oleh telah
lenyap.
Di dalam benaknya yang menanggung beban derita, terlintas
kata-kata pamannya, Abu Thalib, yang diwasiat­kannya kepada para
pemimpin Quraisy ketika dia berbaring lemah di atas tempat tidur

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 191


yang telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
“Aku titipkan Muhammad kepada kalian untuk men­jaga­nya baik-
baik. Dia adalah orang yang tepercaya di kalangan masyarakat Quraisy
dan orang yang jujur di kalangan masyarakat Arab. Sepertinya aku me-
lihat kalangan rakyat jelata masyarakat Arab, para pecinta kebajikan
di berbagai pelosok, dan orang-orang yang lemah, telah menerima
ajakan-ajakannya dan menghormati ajaran-ajarannya. Selanjutnya,
dia menyelam bersama-sama mereka ke dalam kancah yang memper-
taruhkan nyawa. Maka tidak heran, jika di kemudian hari dia menjadi
pemimpin masyarakat Quraisy dan para bangsawan Quraisy menjadi
ekornya, sedangkan rakyat jelata menjadi tuan-tuan. Bangsa Arab
telah menyerahkan tampuk kepemim­pinan mereka kepadanya. Wahai
segenap masyarakat Quraisy, terimalah dan jagalah putra bapak kalian
semua. Jadilah kalian sebagai pelindung untuknya.”
Akan tetapi, Abu Thalib kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Tak seorang pun dari masyarakat Quraisy yang mem­perhatikan saran-
sarannya. Orang-orang yang cinta keba­jikan, rakyat jelata, dan orang
miskin di Thaif telah me­nolaknya, menyakitinya, mengusirnya, dan
tak mau mem­beri makanan, bahkan air sekalipun. Bahkan yang fatal
sekali, mereka bersumpah akan menyampaikan segala peristiwa itu
kepada orang-orang Quraisy yang buta hati agar menya­kitinya lagi
nanti setelah kembali ke kampung halamannya.
Beban kehidupan apalagi yang akan dirasakan di Makkah esok?
Seorang pamannya yang banyak menyelamatkannya dari anca-
man, telah meninggalkannya dan telah pergi untuk selama-lamanya.
Demikian pula istri yang banyak me­nanggung beban penderitaan, telah
meninggalkan dirinya menuju alam Barzakh.
Meskipun masih ada pamannya yang bernama ‘Abbas, tetapi
wibawa pamannya tidak sebesar wibawa Abu Thalib yang telah tiada.
Demikian pula meski sekarang telah ada istrinya yang baru, tetapi
kehadirannya sama sekali tak mampu menggantikan posisi istri yang
dahulu, yaitu Khadijah.
Shahabat-shahabatnya yang pulang kembali ke Habsyah menemui

192 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


penyiksaan yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Pemerintah
Quraisy dengan segala kesiapan dan kekuasaannya, kini berkeliaran
seperti binatang buas kelaparan menerkam orang-orang yang mengikuti
Muhammad di Makkah dan orang-orang asing yang coba-coba berani
menjalin kontak dengan Muhammad. Sementara posisi Hamzah dan
‘Umar sudah tidak diperhitungkan lagi. Apa yang dapat diperbuat
Hamzah, ‘Umar, dan beberapa puluh orang lainnya yang jumlahnya
sangat minim sekali untuk menghadapi jumlah musuh yang besar se-
banyak beribu-ribu orang yang bermata gelap karena membela kepen­
tingan mereka.
Muhammad dan bujangnya belum lama melepas lelah di balik
tembok itu, ternyata luka-luka di kedua tumitnya yang baru saja di-
alaminya sudah tak mengeluarkan darah lagi, namun orang-orang yang
mengusirnya datang lagi. Mereka mengobrak-abriknya, menyeretnya,
dan men­dorongnya secara paksa. Muhammad dan bujangnya harus
berjalan lagi, sementara mereka terus melempari dan menertawakan-
nya.
Lemparan demi lemparan mengakibatkan darah segar mengucur
lagi. Setelah keluar dari daerah Thaif, baru dia dapat beristirahat.
Dia tidur terlentang seorang diri di hadapan pagar-pagar kokoh yang
putih. Nafasnya tersengal-sengal dari segumpal hatinya. Dia mendesah
sambil berdo‘a kepada Tuhannya: “Kepada siapakah Engkau menyerah-
kan diriku? Kepada orang yang jauh yang menyambutku dengan muka
sinis ataukah kepada musuh Engkau, aku serahkan segala persoalanku.
Jika Engkau tak murka kepadaku, maka aku tak akan peduli.” Setelah
berdo‘a, dia meraih tangan bujangnya, lalu mereka berdua berjalan
lagi.
Ia akan coba menawarkan ajarannya kepada orang lain. Ia bertekad
akan mendobrak benteng-benteng penghalang yang dibangun pemer-
intah Quraisy antara dirinya dan orang-orang asing itu. Ia bertekad
akan menanggung segala resiko yang akan diperbuat oleh orang-orang
Quraisy.
Konsistensi sikapnya itulah yang mampu memikat hati dan me-
numbuhkan rasa kekaguman di kalangan orang-orang yang menolak

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 193


ajaran-ajarannya.
Dia berjalan dengan postur tubuhnya yang sedang dan padat. Dia
terobos tempat-tempat di sekitar Ka‘bah yang sesak dengan para sau-
dagar asing. Informasi tentang avonturirnya ke Thaif telah sampai lebih
dahulu ke Makkah. Musuh-musuhnya di Makkah telah bersiap-siap akan
melancarkan aksi intimidasi yang jauh lebih sadis daripada sebelumnya.
Tapi dia telah bersikukuh untuk tidak mempedulikan semua itu. Dia
mulai memberikan penjelasan tentang ajaran-ajarannya kepada para
saudagar asing. Dia mengajak mereka untuk percaya kepada ajaran
Islam yang dibawanya. Dia memberi kesempatan kepada mereka untuk
berpikir, kemudian dia pergi.
Musuh-musuh dari kalangan para tokoh pemerintah Quraisy men-
getahui apa yang telah dilakukannya. Mereka segera berkumpul di
Ka‘bah untuk membicarakan strategi dan taktik yang akan mereka
ambil dalam rangka menekan Muhammad. Mereka bersumpah akan
menunggu perkem­bangan selanjutnya sampai esok.
Keesokan harinya dengan segenap keyakinan dan kegigihannya,
Muhammad kembali lagi menghadapi masyarakat Quraisy tanpa ambil
peduli. Muhammad berpapasan dengan mereka tatkala mereka berada
di sekitar Ka‘bah. Mereka saling mengedipkan mata, tetapi isyarat
kedipan mata itu diketahui oleh Muhammad tentang adanya indikasi
terselubung bahwa mereka sedang membi­carakan langkah-langkah
yang akan dilancarkan kepada dirinya.
Dia datang seorang diri, sementara itu jumlah mereka sepuluh
orang, yang terdiri dari para pemimpin, para penunggang kuda, dan
jongos-jongos masyarakat Quraisy. Dia menantang mereka seraya
berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, aku datang untuk memenggal
leher kalian.”
Menyembelih?
Dengan nama apakah hingga dia berani menantang seperti itu?
Begitu beraninya dia menerobos kerumunan publik seorang diri tanpa
didampingi siapa-siapa, tanpa Hamzah dan tanpa ‘Umar. Rasa-rasanya

194 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


tak mungkin ada seorang yang menakut-nakuti orang lain seorang diri.
Orang-orang yang duduk sama-sama bengong, lantaran terkejut.
Mereka bungkam, tak kuasa berkata-kata.
Maka dengan suara lemah-lembut, Abu Jahal berkata: “Muham-
mad, engkau tidak bodoh kan?”
Mungkin hanyalah berdalih dengan para pembesar atau mungkin ia
mengatakan sesuatu yang memberikan ke­puas­an kepada orang-orang
yang sedang duduk, tetapi se­sungguh­nya yang dituju adalah orang-
orang yang buta hati.
Dengan muka masam penuh kebencian, Muhammad menjawab uca-
pan Abu Jahal sambil berpaling: “Abu Jahal! Termasuk juga engkau.”
Para pemimpin Quraisy bertekad akan mengambil tindakan ke-
kerasan sebagai suatu pelajaran di hadapan para pendatang asing
itu. Dengan demikian, Muhammad tidak akan berani lagi mengungguli
mereka dan tidak akan memiliki kekuatan apa-apa untuk menghadapi
mereka dengan ejekan.
Mengapa mereka tidak mengambil tindakan kepadanya, sebagaima-
na tindakan yang pernah dilakukan Bani Tsaqif ketika ia mengunjungi
Thaif? Mereka berkumpul dengan kalangan pendekar-pendekarnya,
jagoan-jagoan penunggang kudanya, dan jongos-jongosnya.
Seperti biasanya, Muhammad datang lagi ke Ka‘bah esok harinya.
Mereka membiarkan Muhammad menuju ke Maqam Ibrahim, namun
saat ia sedang melakukan shalat di mihrab, mereka melompatinya.
Secara serentak, mereka melompat.
Ketika Muhammad sedang membungkuk penuh khusyu‘ dalam shalat-
nya, secara tiba-tiba ‘Utbah bin Rabi‘ah melakukan tindakan sadis den-
gan cara menjeratkan selendang Muhammad ke lehernya, kemudian ia
menariknya hingga Muhammad terjatuh bersimpuh. Sementara mereka
yang lain langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi kepadanya.
Sebagian orang yang ada di masjid menjerit nyaring melengking.
Mereka mengutus seseorang kepada Hamzah dan ‘Umar agar meny-
elamatkan temannya, tapi di Makkah tak ada teman-temannya, selain

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 195


Abu Bakar seorang diri. Karena itu, bergegaslah ia untuk menyingkir-
kan orang-orang yang menganiaya temannya itu. Dalam insiden itu,
Muhammad hanya bisa menolak serangan-serangan mereka dengan
kedua belah tangannya.
Ketika telah terlepas dari cengkeraman mereka, Muhammad men-
gancam mereka lagi bahwa ia akan memenggal leher mereka semua.
Muhammad kemudian berlalu; kini tinggallah Abu Bakar seorang diri,
maka melompatlah mereka, lalu memukulinya. ‘Utbah memukuli muka
Abu Bakar dengan sandal. Namun untung saja, seorang laki-laki dari
kalangan sanak famili Abu Bakar datang, kemudian mereka melepas-
kannya dari ceng­keraman para penganiaya itu.
Demikianlah orang-orang Quraisy mulai melayangkan sandal
mereka sebagai suatu siksa yang membara, siksaan berat yang akan
meluluh-lantakkan seluruh isi perut dan kulit seseorang. Tetapi hari
itu, dia pulang ke rumahnya setelah dia dan seorang temannya disiksa.
Salah seorang putrinya menyambut kedatangannya dengan derai air
mata. Bajunya sobek terkoyak-koyak. Raut wajahnya yang merah
merona berubah legam memar akibat pukulan yang bertubi-tubi.
Di kepalanya penuh debu yang dilemparkan para jongos Quraisy ke-
padanya. Putrinya membasuh kepalanya, membalut luka-lukanya, dan,
menambal sobekan bajunya dalam tangis yang tertahan. Di manakah
tangan ibunya yang tercinta?
Istrinya telah pergi ke alam baka.
Dengan kondisi kesepian seperti itu, putrinya menya­rankan agar
sebaiknya dia memilih seorang istri lagi yang dapat menggantikan po-
sisi istrinya yang telah pergi. Sementara saudaranya hanyalah seorang
perempuan tua yang tak mampu berbuat apa-apa.
Kini putrinya menawarkan kepadanya agar menyuning ‘Aisyah binti
Abu Bakar, seorang gadis yang berambut pirang dan berhati lembut,
untuk dijadikan sebagai istri. Tetapi ‘Aisyah masih terlalu muda.
Namun akhirnya, dia melamarnya juga, namun dengan tetap mem-
biarkan gadis itu di rumah orang tuanya sampai keadaan memungkinkan
untuk menikahinya.

196 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Dia pergi mengumumkan kepada teman-temannya untuk memulai
babak baru dari sebuah aktivitas yang terus berjalan secara kontinyu.
Dia akan pergi ke pusat-pusat perdagangan; pasar ‘Ukazh, pasar Dzil
Majaz, dan lain-lainnya untuk berpidato kepada khalayak ramai,
sebagai­mana halnya para penyuluh ajaran-ajaran terdahulu, para
pendeta, para tukang tenung, dan para penyair yang saling membang-
gakan diri.
Dia akan menawarkan Islam kepada orang-orang, sebagaimana
mereka menawarkan syair-syair dan pemi­kiran-pemikiran mereka.
Akhirnya, dia harus mendapatkan suatu suku yang mau mendukung
dan senang kepada ajaran-ajarannya, kemudian akan tinggal di sisi
mereka. Suku tersebut nantinya akan dia jadikan sebagai sokoguru
kekuatan untuk menghadapi semua orang Arab.
Abu Bakar menyertainya, agar dia mengenal para pendatang dan
asal-usul kebangsaan mereka. Abu Bakar adalah seorang budayawan
yang mengetahui banyak tentang masalah-masalah dunia Arab.
Di suatu pasar Muhammad dan Abu Bakar mendatangi salah seorang
pendatang. Abu Bakar mendahuluinya seraya memberi salam, lalu
bertanya:
“Siapakah Tuan-Tuan ini?”
Salah seorang di antara mereka menjawab atas nama kelompoknya:
“Kami dari kabilah Syaiban bin Tsa‘labah?”
Abu Bakar mengenal dan menyebut beberapa kebesaran mereka.
Mereka senang mendengarnya.
“Bagaimana peperangan dan kekuatan kalian?,” tanya Abu Bakar
lagi.
“Sesungguhnya kami lebih menyukai senjata daripada bergumul
dengan istri dan lebih menyukai kuda-kuda yang tangguh daripada
anak-anak,” jawab salah seorang dari mereka yang berbicara atas
nama kelompoknya.
Abu Bakar kemudian memperkenalkan Muhammad dan kini beliau
tampil menjelaskan Islam.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 197


“Kemarilah Tuan-Tuan! Aku akan membacakan hal-hal yang dilarang
Tuhan kalian bagi kalian semua. Kalian semua dilarang menyekutukan-
Nya dengan suatu apa pun; diperintah berbuat baik kepada orang tua;
dilarang membunuh anak-anak karena takut lapar; dan harus menjauhi
perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembu-
nyi.”
“Selain itu, apa lagi ajaran-ajaranmu?,” tanya lagi salah seorang
dari mereka.
“Tuhan kalian semua mengajak untuk berbuat adil, berbuat baik,
membantu kerabat dekat, dan menjauhi perbuatan keji, perbuatan
melanggar hukum, dan menolak kebenaran.”
Ketika orang-orang itu memperhatikan apa yang disampaikan oleh
Muhammad, tiba-tiba Abu Lahab sudah berdiri di antara mereka dengan
mengenakan baju kebesarannya.
“Wahai kalian semua, janganlah kalian dengarkan ucapan-ucapannya.
Dia adalah pembual besar,” ejek Abu Jahal.
Abu Lahab berdiri dengan didampingi oleh seorang budaknya yang
menaruh simpati kepada Muhammad.
Orang-orang pendatang itu bertanya tentang laki-laki yang men-
genakan pakaian kebesaran itu. Ketika mereka tahu bahwa laki-laki
itu adalah salah seorang paman Muhammad yang ditemani budaknya,
suka menyakiti keponakannya, dan selalu mencelanya di hadapan
orang-orang pendatang, maka timbullah rasa tidak simpatik di hati
mereka terhadap tindakan Abu Lahab terhadap keponakannya. Mereka
melihat tindakan Abu Lahab sebagai suatu kenistaan yang tak layak
bagi orang Arab yang mulia. Mereka akhirnya membela Muhammad.
“Sungguh bohong suatu kelompok yang mendustakanmu dan ber-
sikap semena-mena terhadap dirimu,” aku mereka.
Selanjutnya, Muhammad meminta kesediaan mereka untuk
menerima dirinya di tengah-tengah mereka dan membela dirinya. Akan
tetapi, mereka mengatakan bahwa mereka tinggal di suatu negeri yang
separuhnya dikuasai oleh seorang kaisar. Mereka tidak dapat menam-
pungnya di separuh negeri mereka hingga mendapat rekomendasi dari

198 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kaisar mereka.
Kaisar? Sampai kapankah akan memerintah sebagian negeri Arab?
Sampai kapankah sebagian bumi ini berada di bawah bumi kekuasaan
Romawi?
Kapan bangsa Arab dapat melepaskan diri dari kolonial ini, ke-
mudian menjadi sebuah bangsa yang merdeka di bumi mereka dan
menjadi ikatan saudara yang penuh rasa saling mencintai dalam sistem
sosialnya?
Andaikata dia menemukan suatu suku yang bersedia membelanya
dan memberi tempat baginya di tengah-tengah mereka, maka tak
mustahil lagi, semenanjung ini akan dibebaskan dari kolonialisme
bangsa asing. Selanjutnya, bangsa Arab dan masa depan mereka akan
mampu menentukan kaisar-kaisar itu.
“Tidak tahukah kalian, jika kalian tak pernah tinggal diam, Allah
akan mewariskan bumi dan harta kekayaan, serta menghamparkan
perempuan-perempuan mereka untuk kalian,” demikian ucap Mu-
hammad kepada mereka.
Ucapan-ucapan ini memberikan getaran-getaran yang cukup dah-
syat di hati mereka. Mudah-mudah saja mereka mau mengikutinya.
Mereka berjanji akan memikirkan ajaran-ajarannya terlebih dahulu
secara serius. Selanjutnya, mereka pulang kembali ke negeri mereka,
sedangkan Muhammad terus melangsungkan pembicaraan dengan
setiap rombongan dagang asing yang ditemuinya.
Beberapa orang datang kepadanya. Mereka adalah para perempuan
pendatang yang berkunjung dalam rangka musim haji bersama para
pedagang budak untuk tinggal beberapa malam dan menjual barang-
barang. Meskipun demikian, Muhammad berusaha untuk tidak berpaling
dari mereka, bahkan dia mencoba menawarkan ajaran-ajaran­nya; dan
ternyata mereka menyatakan beriman kepadanya. Selanjutnya, dia
meminta agar mereka berjanji untuk tidak berzina, tidak mencuri,
tidak berbohong, dan tidak membiarkan seseorang bersenang-senang
dengan salah seorang dari mereka di luar pernikahan yang sah, seka-
lipun cumbu mesra itu hanya berupa sentuhan maupun ciuman.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 199


Para perempuan yang telah menyatakan keimanan mereka kepada
ajaran Muhammad, sama-sama melarikan diri dari belenggu para
pedagang budak-budak perempuan menuju pada sebuah kehidupan
baru yang memberikan kebebasan dalam tanggung jawab kaum pria
yang baik, untuk membangun sebuah rumah tangga yang harmonis.
Dia terus melakukan penawaran kepada para rombong­an dagang
dari berbagai suku yang menciptakan tuhan-tuhan untuk mereka
sendiri. Adapun suku Kalb dan suku Bani Hanifah menolak ajaran-
ajarannya secara terang-terangan dengan sikap menentang, sementara
Bani ‘Amir masih mau mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Bagaimana menurutmu, jika engkau menguasai kami di kemudian
hari?,” tanya mereka.
Akan tetapi, dia sama sekali tak bermaksud mengajak mereka
untuk membangun sebuah kerajaan yang membagi­kan barang-barang
hasil rampasan perangnya sejak hari ini. Sia-sia saja segala usahanya
untuk menjalankan Islam kepada mereka. Mereka semua telah berpal-
ing darinya sambil berkata:
“Apakah leher-leher kami akan engkau jadikan sasaran anak-anak
panah masyarakat Arab hanya untuk membela­mu, padahal bila engkau
menang, keuntungannya tak akan dirasakan kami. Kami tak membu-
tuhkan dirimu.”
Walaupun demikian, dia terus mendakwahkan ajaran Islam dari
sekelompok pendatang yang satu kepada sekelompok pendatang yang
lain, namun semuanya sama-sama mengemukakan dalih penolakan.
Karena itu, tak ada yang menyatakan keimanan kepadanya selain
sebagian budak-budak, perempuan-perempuan, rakyat jelata, dan
buruh-buruh kasar hingga akhirnya dia bertemu dengan ke­lompok pen-
datang dari Yatsrib (sekarang disebut Madinah).
“Siapakah Tuan-Tuan?,” tanya Muhammad kepada mereka.
“Rombongan dari suku Khazraj,” jawabnya.
“Silakan Tuan-Tuan duduk dulu! Ada sesuatu yang akan aku katakan
kepada Tuan-Tuan!” pinta Muhammad.

200 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad duduk dan berbincang-bincang dengan mereka di mana
isi perbincangan itu dia mengajak mereka untuk memeluk ajaran Islam
yang dibawanya; dan dia meminta kesediaan mereka untuk menam-
pung dan mendukungnya. Hasil dari perbincangan itu ternyata ada
enam orang laki-laki dan perempuan dari mereka yang menyatakan
keimanan kepadanya. Keenam orang tersebut langsung mengucapkan
janji di hadapannya untuk tidak berzina, tidak mencuri, tidak berbo-
hong, tidak curang dalam timbangan, dan tidak membunuh anak-anak
mereka.
Setelah kembali ke Yatsrib, mereka mengajak orang-orang di sana
untuk mengikuti Muhammad, menampung, dan membelanya; dan se-
bagian besar dari masyarakat Yatsrib banyak yang menerima. Mereka
terdiri dari kalangan cendikiawan.
Kabar ajaran-ajaran Muhammad yang dibawa oleh mereka segera
meluas di Yatsrib. Sementara itu suku Aus, sebuah suku lain yang bersa-
ing dengan suku Khazraj, mulai tertarik untuk mencari-cari berita itu.
Beberapa orang dari suku Aus merasa puas terhadap informasi yang
sampai kepada mereka. Selanjutnya, kelompok delegasi dari mereka
berangkat ke pasar. Mereka menemui Muhammad dan berbincang-
bincang dengannya, lalu mereka menyata­kan keimanannya.
Makkah kini juga mendengar peristiwa peristiwa yang terjadi di
kalangan suku Aus dan Khazraj, maka diutuslah beberapa kurir ke
Yatsrib untuk mengintimidasi mereka, tapi masyarakat Yatsrib tak
menggubris.
Pemerintah Quraisy tak mampu mengambil tindakan sama sekali
terhadap masyarakat Yatsrib, karena di Yatsrib sendiri terdapat perda-
gangan senjata, tempat para tukang celup, pasar-pasar emas, dan
perdagangan bahan-bahan makan­an. Secara geografis, Yatsrib berbeda
dengan Makkah. Ia adalah daerah dataran rendah yang subur, penuh
dengan kebun-kebun. Sebagian besar pedagang dan hartawan Makkah
mempunyai hubungan yang baik dengan Yatsrib.
Inilah sebuah tempat akhir dari petualangannya, sebuah daerah
pertahanan yang menjadi impian sejak lama, agar dia dan shahabat-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 201


shahabatnya dapat bertahan dari segala ancaman, membela diri, dan
menebarkan ajarannya ke seluruh pelosok dunia, ke suku-suku yang
terpencar di seluruh Semenanjung Arabia, ke daerah koloni Persia dan
Romawi, dan ke seluruh tempat yang menjadi ajang penindasan umat
manusia.
Para pemuka Quraisy mempunyai dugaan kuat bahwa Muham-
mad akan dapat melumpuhkan mereka dengan dukungan masyarakat
Yatsrib. Karenanya, mereka mem­buat suatu kesepakatan untuk men-
gasingkan Muhammad dari para pendukungnya di Makkah.
Mereka memutuskan akan melakukan penyiksaan terhadap para
pengikutnya dengan suatu siksaan yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Mereka tidak akan membiar­kan seorang pun dari para
pendukungnya, hingga mereka mati atau menyatakan lepas hubungan
dengan Muhammad.
Demikianlah mereka telah melakukan penyiksaan kepada sebagian
besar pengikut Muhammad, termasuk pula orang-orang yang pernah
mengungsi ke Ethiopia dan menanggung beratnya siksaan sebelum itu
karena pengungsian.
Muhammad menyarankan kepada para pengikutnya yang eksistensi
keselamatannya terancam agar mengungsi ke Yatsrib. Karena itu,
diutuslah Mush‘ab bin ‘Umair ke masyarakat Yatsrib untuk menyam-
paikan berita kepada mereka tentang rencana pengungsian tersebut
dan persiapan penyambutan kedatangan para pengungsi. Masyarakat
Yatsrib menyatakan kesediaan mereka untuk menampung orang-orang
yang akan mengungsi.
Mush‘ab kembali pulang dengan membawa berita tersebut kepada
Muhammad dan kemudian disusul oleh beberapa orang laki-laki. Mer-
eka mengucapkan janji untuk memerangi semua orang yang bersikap
semena-mena secara bahu-membahu.
Para pengungsi itu pun mulai keluar dari Makkah secara sembu-
nyi-sembunyi untuk menemui orang-orang yang baru masuk Islam
dari kalangan Aus dan Khazraj yang akan menyambut kedatangan
mereka dengan penuh kehangatan dan saling berebut untuk me-

202 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


nampung dan memuliakan mereka.
Pada saat itu berangkatlah Mush‘ab mengungsi ke Yatsrib. Dia
adalah seorang anak yang sangat menghormati kedua orang tuanya.
Kedua orang tuanya mengenakannya pakaian yang paling bagus dan
memberinya minyak yang paling harum. Sebenarnya berat sekali ibu-
nya melepaskan kepergiannya, maka tanpa terasa air matanya pun
menetes. Ibunya bersumpah tidak akan makan, tidak akan minum,
dan tidak akan bernaung di tempat yang teduh, hingga putranya yang
tercinta kembali ke pangkuannya. Ia mulai berdiri di bawah terik
panas matahari hingga akhirnya ia pingsan.
Para pemimpin Quraisy menugaskan seseorang yang menyusul di
belakang para pengungsi itu untuk mencari cara agar bisa memulang-
kan kembali dengan berbagai bujukan dan ancaman, tapi misi mereka
gagal. Tak seorang pun dari para pengungsi itu yang mau kembali,
bahkan Mush‘ab yang teramat mencintai ibunya sekalipun, menolak
juga untuk kembali ke Makkah, meski ia mendengar kabar tentang
kepingsanan ibunya. Dia katakan kepada orang yang membujuknya:
“Ibu nanti akan berteduh juga jika terik panas Makkah sangat
menyengat; dan jika rasa lapar melilit perutnya, dia pada akhirnya
akan makan juga.”
Setelah orang-orang Quraisy gagal total mengupayakan pemulangan
para pengungsi itu, mereka kian memperketat pengepungan kepada
orang-orang yang masih tersisa. Telik-telik sandi mereka sebarkan di
jalan-jalan yang dimungkin­kan akan dilalui untuk keluar dari Makkah.
Tujuannya tidak lain adalah untuk membendung lolosnya para pen-
dukung Muhammad yang akan mengungsi ke Yatsrib dengan cara ke-
kerasan.
Muhammad menginstruksikan kepada para pengikutnya untuk me-
merangi orang-orang yang memerangi mereka, meski pada sisi lain dia
telah memerintahkan kepada mereka yang lemah untuk bersiap-siap
berhijrah....
Kini Muhammad menyadari bahwa dia telah mampu memerangi
para tokoh kuffar Quraisy, sekiranya semua pengikutnya dari kalangan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 203


suku Quraisy telah bergabung dan bersatu dengan para pengikutnya
yang baru, yang berada di tanah Yatsrib....
Orang-orang berhijrah ke Yatsrib secara bergelombang. Sebagian
dari mereka ada yang berangkat secara sembunyi-sembunyi dan se-
bagian lain siap bertempur jika pasukan Quraisy yang dipersenjatai
mencegat mereka.
Kini pengikut-pengikut Muhammad dari hari ke hari kian banyak
yang telah berhijrah. Sebagian dari mereka ada yang meninggalkan istri
dan anak-anak, agar para perempuan tidak menjadi sasaran kebrutalan
tentara-tentara Quraisy di tengah perjalanan. Sementara sebagian
yang lain ada yang berangkat dengan membawa serta keluarganya.
Maka dia menemukan kenyataan yang menimpa kaum perempuan yang
belum pernah mereka temui sebelum itu.
Di Makkah tak ada lagi yang tersisa, selain Hamzah, ‘Umar, Abu
Bakar, dan beberapa gelintir pengikutnya yang tidak menemukan cara
untuk lolos dari Makkah, kemudian tinggal Muhammad sendiri.
Hamzah akhirnya berangkat juga bersama beberapa orang. Ia malu
berangkat secara sembunyi-sembunyi. Ia berangkat dengan penuh
kesiapan untuk berperang jika ada orang yang coba-coba berbuat
semena-mena. Akan tetapi, ternyata tak seorang pun ada yang berani
bertanya-tanya hendak ke mana dia akan pergi.
‘Umar bin Khaththab menyelendangkan pedangnya dan meletakkan
busurnya di pinggangnya. Tangannya meng­genggam anak-anak panah.
Dia pergi ke Ka‘bah pada waktu orang-orang Quraisy duduk di pelataran
Ka‘bah. Dia berdiri di hadapan orang-orang yang sedang duduk itu.
“Siapa di antara kalian yang menginginkan ibunya kehilangan
anaknya, menjadi yatim anaknya, dan menjadi janda istrinya, maka
temuilah aku di belakang lembah ini,” demikian tantang ‘Umar.
Akan tetapi, tak seorang pun yang berani menjawab tantangan
ini. Kemudian dia berangkat menunggang kudanya, berlalu jauh sam-
pai lenyap dari pandangan mata orang yang duduk itu. Dia berangkat
disertai orang-orang yang lemah dan papa. Mereka ingin berhijra, tapi
tak menemukan jalan untuk lolos. Karena itulah, ‘Umar memimpin

204 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kepergian mereka ke tempat tujuan hijrah.
Demikianlah hijrah ini berjalan, sehingga di Makkah hanya tinggal
Abu Bakar, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Muhammad sendiri. Tak seorang pun
di antara mereka bertiga yang menampakkan rencana persiapannya
untuk berhijrah, hingga bertanyalah Abu Bakar kepada Muhammad,
kapan dia berangkat. Akan tetapi, dia meminta kesabaran Abu Bakar
untuk bertahan beberapa hari lagi dan tidak membicarakannya lagi
mengenai rencana hijrah itu.
Sementara itu dengan naluri pemburu, masyarakat Quraisy mempu-
nyai dugaan kuat bahwa buronannya kemungkinan besar akan lolos dari
incaran mereka. Muhammad sangat merahasiakan rencana hijrahnya,
karena dia sedang mencari waktu efektif dan efesien untuk melak-
sanakan rencana hijrahnya. Jika Muhammad ber­gabung dengan para
pengikutnya dan membangun persatuan Yatsrib, maka akan datanglah
saatnya di mana dia datang dengan kekuatan penuh keperkasaan.
Sementara itu, pembesar-pembesar Quraisy terus disibukkan
dengan berbagai upaya untuk menyisihkan Muhammad dan pengikut-
pengikutnya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 205


Mengungsi
Demi Masa Depan

M uhammad harus berangkat pergi untuk mengungsi


saat batas usia dan pada saat ingin beristirihat
dari berbagai aktivitas dan bersenang-senang menikmati buah yang
dihasilkan dari segenap jerih-payahnya pada masa lalu.
Dalam usia lima puluh tiga tahun, dia harus pergi meninggalkan
tanah tumpah darahnya, sanak familinya, kenangan-kenangannya,
dan segala sesuatu yang pernah mengecewakan hatinya, untuk meraih
masa depan di belahan bumi di mana dia belum pernah menginjakkan
kedua belah kakinya sebelum itu. Meski demikian adanya, dia amat
banyak menelan pil pahit ejekan-ejekan dalam menjalani kehidupan
di tempat kelahirannya sendiri.
Sejak hari itu kehidupan telah menyerahkan dirinya, seluruh aja-
rannya, jalan kehidupannya, dan darahnya kepada musuh-musuhnya
yang ganas, beringas, dan amat mem­benci­nya, yaitu kepada seorang
pamannya yang bernama Abu Lahab.
Sejak kepergian pamannya, Abu Thalib, yang pem­berani ke alam

206 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


sana, maka sebagai pemimpin keluarganya adalah seorang adik paman-
nya yang bernama Abu Lahab. Dialah orang yang paling tua usianya
setelah Abu Thalib. Sebagai seorang yang dipercaya sebagai pemimpin,
tentu seluruh anggota keluarganya harus mengikuti perintahnya.
Keputusan apakah gerangan yang mungkin dikeluarkan Abu Lahab
bagi dirinya?
Jika hari ini Abu Lahab tidak mengambil tindakan apa-apa bagi
dirinya, tapi setahun atau dua tahun lagi dia pasti akan menjatuh-
kan tindakan penyisihan baginya. Tersisih dari sukunya, sebagaimana
kebanyakan suku-suku yang menyisihkan satu dua orang dari ikatan
kesukuannya.
Betapa besar ikhtiar Abu Thalib agar dia tidak dihina! Dia telah
merasakan perihnya lapar, namun dia tetap tak sudi menyerahkan ke-
ponakannya. Betapapun Abu Lahab telah memblokade, menyiksa, dan
menantangnya, tetapi ia tetap bersikukuh pada pendiriannya, tidak
mau menye­rahkan Muhammad kepada musuh-musuhnya. Sebaliknya,
Abu Lahab yang kini menggantikan ke­pemimpinan di tengah-tengah
keluarga Muhammad, sudah pasti tidak akan pernah memberikan
perlindungan selama-lamanya.
Kendati seorang pamannya yang bernama ‘Abbas tidak beriman
kepadanya, namun bagi dirinya, dia dapat menggantikan posisi Abu
Thalib, seorang pamannya yang telah tiada. Memang ‘Abbas tidak beri-
man, namun ia mau menjaga keselamatan jiwanya dengan segala harta,
wibawa, dan kekuasaan yang dimilikinya dalam masyarakat Quraisy.
Sekalipun dia pernah gagal dalam upayanya untuk menyelamatkan
Muhammad di Thaif, tapi dia masih mampu menjaganya di Makkah.
Oleh karena itu, dia keluar bersama Muhammad untuk mengadakan
pertemuan rahasia dengan delegasi Yatsrib di bukit ‘Aqabah dalam
rangka mengecek kesungguhan masyarakat Yatsrib dan meminta jami-
nan dari mereka untuk tetap melindungi keponakannya, betapapun
ancaman akan datang kepada mereka.
“Sebagaimana Tuan-Tuan telah ketahui, Muhammad berasal dari
suku kami. Kami telah melindungi dirinya secara maksimal dari orang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 207


yang bermaksud jahat. Sebenarnya dia dihormati masyarakatnya,
tapi dia menolak. Dia lebih suka bergabung bersama Tuan-Tuan.
Jika Tuan-Tuan bertekad melindunginya dari orang-orang yang akan
menganiayanya, maka Tuan-Tuan yang bertanggung jawab atas ke-
selamatannya. Namun jika Tuan-Tuan hanya akan menyerahkan dia
kepada musuh-musuhnya dan mengejek­nya setelah dia mengungsi
ke daerah Tuan-Tuan, maka tinggalkan saja dia. Dia masih terhormat
dan mampu membela dirinya di tengah-tengah masyarakatnya dan
negerinya,” demikian ujar ‘Abbas kepada mereka dengan diliputi rasa
kasihan kepada keponakannya.
Delegasi Yatsrib sekali lagi mempertegas kebulatan tekadnya dan
meyakinkan ‘Abbas bahwa mereka akan melindungi keponakannya dan
akan memenuhi maksud dan tujuan dari undangan mereka. Mereka
sudah sepakat akan memerangi orang-orang yang akan menganiayanya.
Kedatangan mereka tiada lain hanya agar rencana pengungsiannya
ke Yatsrib dilaksanakan secara akseleratif, setelah para pengikutnya
mengungsi dan telah tinggal di Yatsrib dalam keadaan terhormat.
Maka mulailah Muhammad berkemas-kemas melakukan persiapan
keberangkatannya. Saat menjelang musim dingin yang sejuk dengan
sepoi-sepoi tiupan angin berembun, rombongan dagang mulai bersiap-
siap untuk melakukan perjalanan dagang di musim dingin. Di antara
mereka ada yang mendatangi Muhammad ke rumahnya untuk menitip­
kan barang-barang mereka yang dikhawatirkan akan terjadi hal-hal
yang tidak mereka inginkan, sebagaiman kebiasaan para pedagang yang
selalu menitipkan barang-barang mereka kepadanya. Bagaimanapun
Muhammad disisihkan oleh kebanyakan mayarakat Quraisy, namun dia
tetap menjadi orang yang tepercaya di tengah masyarakatnya.
Demi menjaga ketenangan mereka, Muhammad tak ingin menolak
para pedagang yang sudah terbiasa meminta bantuannya untuk dititipi
barang-barang dagangan mereka setiap musim haji. Siapa tahu, ba-
rangkali rombongan dagang musim dingin telah kembali sebelum ia
dan temannya berikut para pendukungnya menyusul ke Yatsrib.
Berita-berita yang diterima oleh para pemimpin Quraisy menyebab-
kan kekhawatiran terhadap kenyataan esok hari dan seterusnya, yang

208 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dimungkinkan sekali akan terjadi. Hal ini disebabkan para pengikut
Muhammad telah melakukan pengungsian sejak musim panas. Peda-
gang-pedagang yang telah tergabung dalam rombongan pe­ngungsi itu
sudah cukup matang strategi perhitungan bisnisnya. Mereka membawa
semua harta benda dan barang-barang dagangan mereka ke Yatsrib.
Penarikan semua harta kekayaan ini jelas akan menimbulkan ketimpa-
ngan neraca perdagangan pemerintah Quraisy.
Para pengikut Muhammad dari kalangan hartawan telah membawa
seluruh kekayaan mereka ke Yatsrib, dengan maksud agar nantinya
frekuensi fluktuatif perdagangan Yatsrib akan berada di atas Makkah.
Maka demikianlah, Muhammad menyusun kekuatan kelompok para
hartawan di sebuah negeri yang kompetitif. Di sana dia mendapatkan
kekuatan.
Dan siapa tahu, pada akhirnya dia akan dapat merun­tuh­kan kekua-
tan dan peluang-peluang bisnis para pedagang Quraisy. Siapa tahu,
barangkali akhirnya Yatsrib inilah yang akan menjadi sentral pedagang-
pedagang Arab. Dengan demikian, beralihlah kekuasaan Quraisy.

g
Semua pemimpim Quraisy berkumpul di Ka‘bah. Mereka bersepakat
untuk membebaskan diri dari persoalan Muhammad. Mereka semua
menyetujui pendapat yang disampaikan Abu Jahal yang menyatakan:
“Kita melakukan rekrutmen pada seorang anak muda yang tangguh
dan terpandang dari tiap-tiap suku, kemudian kita berikan bekal sen-
jata dengan sebilah pedang yang tajam, sebab dengan pedang itulah
mereka bisa memukul Muhammad secara serentak, lalu membunuh-
nya. Kalau semua ini telah terjadi, barulah kita akan merasa tenang,
sebab dengan cara demikian, darah Muhammad akan terpercik pada
semua suku, sehingga Bani ‘Abdi Manaf tidak akan mampu memerangi
semua suku yang terlibat dalam pembunuhan Muhammad. Mengenai
persoalan ganti rugi pembunuhan itu, biarkan saja, sebab semuanya
menjadi urusan kita.”
Persekongkolan sindikat kejahatan yang mereka rancang ternyata
tercium Muhammad di luar prediksi mereka. Ia segera menemui te-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 209


mannya Abu Bakar di siang hari yang biasanya dia tidak berkunjung
kepada siapa pun saat itu. Dia masuk menemui Abu Bakar yang sedang
duduk di antara kedua putrinya, Asma’ dan ‘Aisyah.
“Justru merekalah yang akan aku bunuh,” ucap Abu Bakar dengan
nada bersahabat setelah Muhammad menceritakan adanya mafia.
Akan tetapi, Muhammad sangat berhati-hati agar tidak seorang
pun tahu rencana-rencana rahasia yang akan disampaikan kepada Abu
Bakar, bahkan ‘Aisyah yang sudah menjadi tunangannya sekalipun.
Pada waktu itu ‘Aisyah dan Asma’ meninggalkan mereka berdua,
sehingga tinggallah Muhammad dan Abu Bakar. Dalam perbincangan
empat mata yang sangat rahasia itu, Muhammad menyampaikan
berita yang baru dia terima tentang rencana jahat yang akan di-
lakukan para pembesar Quraisy. Muhammad menyampaikan untuk
mengungsi nanti malam.
Abu Bakar menyetujui keinginannya dan mengatur segala ses-
uatu yang berkenaan dengan pengungsian itu secara rahasia sekali.
Setelah itu Muhammad pulang ke rumahnya dan menyuruh ‘Ali bin Abu
Thalib agar menempati tempat tidurnya nanti malam. Selanjutnya, dia
menyerah­kan barang-barang titipan para pedagang dan meme­rintahkan
‘Ali untuk tetap tinggal di Makkah dan menyerah­kan barang-barang
titipan itu kepada para pemiliknya. Setelah itu barulah ‘Ali boleh
menyusul ke Yatsrib.
Abu Bakar mempersiapkan dua ekor unta dan seorang pembantu
setia yang dapat dipercaya. Ia menunggu temannya hingga malam tiba.
Sang surya tenggelam di ufuk barat. Gelapnya malam mulai me-
nyelimuti suasana Makkah. Pemuda-pemuda pilihan para bangsawan
Quraisy yang telah ditugaskan untuk membunuh Muhammad mulai
bergerak. Mereka mengambil posisi agak jauh dari Masjidil Haram.
Di situlah keberadaan tempat tinggal Muhammad, warisan Khadijah,
istrinya. Mereka berdiri menunggu di depan pintu dengan penuh siaga.
Muhammad pasti akan keluar menunaikan shalat di pelataran Ka‘bah,
sebagaimana biasanya dia lakukan setiap lepas matahari terbenam.
Dia akan melewati lorong sempit yang menuju ke masjid.

210 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Ketika dia nanti sedang berjalan di tengah lorong sempit yang
sepi dan sunyi itu, dia akan dibantai secara beramai-ramai. Jika hal
ini sukses dilaksanakan, maka pasti segalanya akan berakhir sampai
di situ. Namun gerangan apa yang terjadi, Muhammad yang ditunggu-
tunggu ternyata tak kunjung muncul jua. Beberapa pemimpin yang
terlibat dalam kesepakatan itu datang melakukan pemantauan. Mereka
menemukan para pemuda yang ditugasi itu berada dalam posisi penuh
siaga dengan senjata mereka. Semen­tara itu rumah tempat kediaman
Muhammad tertutup rapat dalam keadaan terkunci. Di balik rumah
incaran itu, tak ada suara gerakan apa pun di dalamnya.
Sikap ‘Ali bin Abu Thalib di dalam rumah menggantikan posisi Mu-
hammad menyadari sepenuhnya peranan yang sedang dimainkannya
itu. Dia berbaring di atas tempat tidur saudara sepupunya dengan
memakai selimut milik sepupunya. Sementara di kamar yang lain dari
beberapa kamar yang terdapat dalam rumah itu, istri baru sepupu
Muhammad yang bernama Sa‘udah, yang tak pernah dibawa ke tem-
pat tidur istrinya almarhumah Khadijah, sedang berbaring, sedangkan
Fathimah sedang duduk, hanya diliputi rasa kegelisahan yang tak
menentu. Fathimah sama sekali tak tahu apa-apa tentang permainan
sandiwara ini. Tapi, matanya tak dapat terpejam.
Demikian pula seorang kakaknya yang bernama Ummu Kultsum, ia
merasakan pula apa yang dirasakan Fathimah, adiknya. Ia pun dalam
kegelisahan juga. Ia mencoba beranjak dari kamar tidurnya dan mau
mengajak tidur bersama adiknya di sebuah ruangan yang biasanya
dibuat tempat untuk menyendiri oleh ayahnya (Muhammad) atau tem-
pat untuk menerima tamu-tamunya. Fathimah berjalan di belakangnya.
Kedua anak perempuan bersaudara ini berdiam di ruangan itu dengan
perasaan berdebar-debar. Detak-detak jantungnya berdegub dengan
kencang membelah kesunyian dan kelengangan.
Peristiwa apakah yang akan terjadi di malam ini? Ayahnya pergi
meninggalkan mereka berdua dan meminta kepada mereka berdua
untuk tidak menanyakan tentang suatu apa pun kepadanya, sebab ‘Ali
yang akan menjelaskan kepada mereka besok.
Lama sekali kelompok mafia itu menunggu munculnya Muhammad

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 211


di luar rumah, tapi tetap saja Muhammad tidak muncul-muncul juga,
sehingga mereka merasakan perasaan kesal dan hampir putus asa.
Maka salah seorang dari mereka mengajukan gagasan untuk langsung
menerobos pintu rumah Muhammad. Bunuh saja dia di tempat tidurnya.
Gagasan cerdas itu diterima oleh teman-temannya yang lain, maka
didobraklah pintu rumah Muhammad. Sementara yang sebagian lagi ada
yang melompat pagar tembok yang tidak seberapa tinggi. Akan tetapi,
mereka dikejutkan oleh jeritan dari dalam rumah. Mereka khawatir
jeritan perempuan dalam rumah itu akan didengar oleh salah seorang
keluarga dekat Muhammad yang akan mendatangi datang­nya jeritan
itu dengan segera. Hal ini jelas akan menggagal­kan rencana mereka
yang telah disepakati dan telah matang.
Mereka menjauh dari pintu dan tembok rumah itu. Salah seorang
dari mereka berkata dengan suara malu-malu: “Sungguh merupakan
sebuah aib jika masyarakat bangsa Arab sampai membicarakan ten-
tang kita bahwa kita telah memanjat sebuah tembok untuk mengintip
anak-anak perempuan paman kita, maka hancurlah reputasi dan harga
diri kita di depan publik.”
Akhirnya, mereka mengambil keputusan untuk me­nunggu hingga
pagi menjelang, sebab Muhammad pasti akan membuka pintu rumahnya
untuk menunaikan shalat ketika fajar menyingsing. Namun meski sang
fajar telah menyingsing di ufuk timur, ternyata Muhammad tetap tidak
muncul-muncul juga.
Matahari pagi di musim gugur menampakkan mukanya. Cahayanya
memancar hingga ke lorong-lorong sempit. Pintu rumah itu terbuka.
Komplotan pembunuh langsung saja memasuki rumah itu. Ternyata
buronan yang mereka incar sudah tidak ada. Mereka hanya menemukan
‘Ali sedang tidur di atas tempat tidur itu.
Lantas ke manakah Muhammad? Bagaimana dia bisa lolos? Ke
manakah dia pergi? Mungkinkah dia keluar dari jendela kecil di tengah
rumah itu? Ataukah dia melompat dari satu atap ke atap yang lain,
lalu turun di rumah Abu Bakar?
Bagaimana mungkin dia mengetahui rencana yang akan mereka
lakukan kepadanya? Ataukah salah seorang di antara mereka yang telah

212 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


membuat kesepakatan di masjid ada yang membelot dan menaruh rasa
simpatik kepada Muhammad, lalu dia membocorkan rahasia itu?
Mungkin saja Bakhtari yang telah pergi menemui ‘Abbas, lalu dia
memberikan perhatian kepadanya. Bakhtari adalah teman dekat ‘Ab-
bas. Dialah yang telah menyobek lembar keputusan yang ditetapkan
oleh masyarakat Quraisy dan telah mengisolasikan Bani ‘Abdul Manaf.
Muhammad pasti bersembunyi di rumah Abu Bakar.
Sebaiknya mereka menuju ke sana, lalu membunuh kedua orang
itu bersama-sama. Mereka pun pergi dan setibanya ke tempat yang
dituju, mereka berencana akan mendobrak rumah Abu Bakar saat sinar
matahari musim gugur membiaskan cahayanya di jalan-jalan Makkah.
Mereka letih, berang dalam emosi yang tak tertahankan lantaran
tidak tidur semalam suntuk.
Abu Jahal ada di paling depan dalam perjalanan sindikan itu.
Mereka mengetuk pintu rumah Abu Bakar, maka keluarlah Asma’.
“Di mana ayahmu?,” tanya mereka kepada Asma’.
“Aku tak tahu ke mana ayahku,” jawabnya.
Mendengar jawaban demikian, Abu Jahal marah, lalu menampar
anak gadis Abu Bakar itu hingga anting-antingnya jatuh, kemudian Abu
Jahal pergi dengan diiringi para komplotan pembunuh itu.

g
Muhammad dan Abu Bakar pasti sudah menyusul para pengikutnya
ke Yatsrib sebelum mereka mengepung rumahnya.
Sementara itu mereka menyebar ke berbagai jalan yang meng-
hubungkan ke Yatsrib untuk melacak jejak Muhammad dan temannya.
Mereka menanyakan kepada setiap orang yang ditemui di setiap jalan,
jalan manakah yang telah dilalui mereka berdua.
Adapun Muhammad sendiri telah berangkat bersama Abu Bakar dari
sebuah jendela kecil di tengah rumahnya, berusaha menjauhi pintu
dan jalan-jalan yang biasa dilalui. Mereka berdua cepat-cepat keluar
di tengah-tengah gelapnya malam, hingga sampai di kota Makkah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 213


Di tempat itu seorang pembantu Abu Bakar telah menunggu mereka
berdua. Pembantu itu bernama Banaqatiz yang sangat mengetahui
jalan-jalan yang tidak bisa dilalui orang-orang dan jalan-jalan yang
ada di tengah-tengah padang pasir. Dialah pembantu setia Abu Bakar
yang menjadi penunjuk jalan mereka berdua.
Abu Bakar sangat khawatir, orang-orang Quraisy akan berhasil
mencari jejak mereka berdua, karena orang-orang Quraisy memiliki
banyak orang yang sangat memahami liku-liku jalan di padang pasir,
termasuk jalan-jalan yang sudah tak biasa lagi dilalui para pejalan.
Apakah gerangan yang akan terjadi jika mereka benar-benar men-
emukan jejak mereka berdua? Akankah mereka membunuhnya?
Mereka pasti akan membunuh Abu Bakar dan Muhammad.
Kalau hanya masalah dirinya, hal itu merupakan kematian seorang
laki-laki saja. Tetapi jika mereka berhasil membunuh Abu Bakar dan
Muhammad, maka itu berarti mereka telah membunuh seluruh umat
dan dengan ini pula, mereka berarti telah membunuh masa depan
manusia secara keseluruhan.
Abu Bakar mengungkapkan kekhawatirannya kepada Muhammad di
mana kedua belah matanya berkaca-kaca dan penuh dengan linangan
air mata duka. Muhammad menepuk bahu Abu Bakar dengan tangan-
nya. Dia meminta agar dia tidak bersedih hati.
Muhammad mempunyai gagasan untuk bersembunyi di sebuah
gua, guna mengecoh komplotan Quraisy dalam pencarian jejak,
hingga akhirnya mereka akan putus asa mencari mereka berdua. Mu-
hammad memutuskan untuk berlindung di sebuah gua kecil terdekat.
Sebelum ia memasuki gua itu, Abu Bakar memasuki terlebih dahulu
untuk menjajaki tempat itu bagi dirinya dan bagi Muhammad. Siapa
tahu persembunyian transit ini dapat meloloskan mereka berdua dari
sergapan komplotan Quraisy, tapi tahu-tahu diterkam binatang buas
atau diserang ular di dalam gua itu.
Berapa harikah mereka berdua akan tinggal di sebuah tempat yang
sempit ini? Tak seorang pun yang tahu tentang apa yang akan terjadi
kemudian. Mereka berdua harus tetap di sana, hingga komplotan

214 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Quraisy itu kelelahan dan putus asa mencari-cari jejak mereka berdua.
Abu Bakar memerintahkan pembantunya untuk kembali kepada
salah seorang putranya yang bernama ‘Abdullah agar mencari-cari
informasi tentang masyarakat Quraisy, setelah keberangkatan mereka
berdua. Selanjutnya, setelah menemukan informasi, secepatnya agar
dia menyampaikan kepada mereka berdua setelah malam tiba, juga
agar dia mengurusi makanan untuk mereka berdua.
‘Abdullah bin Abu Bakar melakukan tugasnya mencari informasi
komplotan pencari jejak, sementara Asma’ binti Abu Bakar bertugas
mempersiapkan makanan untuk mereka berdua. Asma‘ menyimpan
makanannya pada ikat pinggangnya.
Kenyataan seperti ini berlangsung selama tiga hari. Ketika terden-
gar informasi bahwa komplotan Quraisy telah putus asa mencari jejak
mereka berdua di setiap lorong-lorong dan jalan-jalan rahasia yang
menghubungkan ke Yatsrib, maka keluarlah mereka dari persembunyi-
annya menuju ke sebuah padang sahara yang luas tiada bertepi. Ber-
dua, mereka tenggelam dalam sebuah gurun pasir yang melemparkan
mereka ke dalam perjalanan hidup yang tak jelas ke mana arahnya.
Betapa iba hati Abu Bakar kepada temannya dalam menempuh
perjalanan ini! Ini adalah perjalanan yang benar-benar mengadu nasib
dan sebagai taruhannya adalah jiwa antara hidup dan mati. Cerita-
cerita lama yang ia ketahui terasa sangat merobek-robek hatinya.
Betapa banyak perjalanan para penyuluh ajaran-ajaran yang ketika
baru hampir saja akan berhasil dalam menunaikan tugas mereka dan
ketika mereka mengulurkan tangan-tangannya untuk menggenggam
kebenaran yang mereka kumandangkan sejak lama, tiba-tiba turunlah
sebilah pedang tajam menghadang untuk memotong ujung jari-jemari
mereka. Sungguh hal ini tragis sekali!
Mungkin cara lama penyembelihan korban-korban ini akan memeng-
gal leher Muhammad juga, lalu dijadikan persembahan untuk tuhan-
tuhan Ka‘bah oleh para jagoan penunggang kuda Quraisy?
Tapi tidak, Muhammad lain dari yang lain.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 215


Perjalanan itu menempuh waktu yang amat panjang. Dia menapaki
lorong-lorong sempit dan sulit secara tersembunyi; dan si penunjuk
jalan tabah menyelam dalam gundukan-gundukan pasir.
Setelah mendekati daerah Yatsrib, Muhammad merasa aman me-
lalui jalan yang biasa dilalui lalu-lalang orang, maka dia berbelok arah
ke suatu jalan yang cukup sulit di bukit-bukit batu yang terjal secara
sembunyi-sembunyi.
Ketika mereka telah mendekati Yatsrib, tiba-tiba di luar dugaan
para penunggang kuda Quraisy muncul dari atas gundukan bukit-bukit
bebatuan yang jauh. Komandan pasukan kuda itu menggebrak kudanya
melintasi bukit-bukit gundul yang terjal penuh dengan jurang-jurang
menganga. Kuda yang ditungganginya lari melesat dengan kencang.
Namun untung saja, kuda itu tersandung. Hampir saja kuda itu me-
lemparkan jokinya ke batu-batu cadas yang dapat meremukkan leher
penunggangnya. Komandan pasukan kuda itu bersungut-sungut sambil
menarik kendali kudanya, kemudian dia gebrak lagi kudanya, tanpa
memberi tahu apa yang dilihatnya kepada salah seorang anggota pa-
sukannya.
Akhirnya, Abu Bakar, Muhammad, beserta penunjuk jalannya me-
masuki daerah-daerah sekutu. Dari kemah-kemah yang tersebar di
luar Yatsrib inilah, beberapa orang laki-laki telah datang ke Makkah
dan menyatakan keimanan mereka kepada Muhammad. Mereka tahu
bahwa yang datang adalah Muhammad. Mereka keluar dari kemah
masing-masing untuk menyambut kedatangannya sambil mengelu-
elukannya. Mereka memintanya untuk tinggal ber­sama mereka. Mereka
akan memberikan perlindungan juga sebagaimana masyarakat Yatsrib,
tapi Muhammad menolak. Muhammad hanya menyatakan rasa terima
kasihnya kepada mereka atas kebaikan sambutan yang mereka beri-
kan. Muhammad meminta kepada mereka dengan segala kerendahan
hati untuk membiarkan dirinya pergi melanjut­kan perjalanannya ke
Yatsrib, karena di sana dia telah ditunggu kedatangannya oleh para
pendukungnya dari penduduk Yatsrib dan teman-temannya para pen-
gungsi.
Mereka membiarkan untanya bersimpuh sekehendak­nya. Dia adalah

216 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


unta yang tunduk kepada perintah tuannya. Di dalam benaknya terlin-
tas gambaran tentang Yatsrib, tentang kebun anggurnya, tentang kebun
kurmanya, tentang tumbuh-tumbuhan yang menghijau, dan tentang
kebun-kebun jeruk dan zaitun. Beberapa orang dari kalangan pemuka
sana dan teman-temannya juga datang menyambutnya. Dia memasuki
Yatsrib dan diterima dengan sambutan-sambutan hangat, seolah-olah
dia sebagai penakluk yang menang, bukan sebagai pengungsi yang
sedang mencari perlindungan, pertolongan, dan dukungan.
Yatsrib adalah sebuah kota besar. Sejak beberapa abad yang si-
lam, orang-orang Yahudi memasuki daerah itu, lalu mereka menetap.
Mereka menggarap tanah subur itu dari proses irigasi dari parit-parit
yang mengalir dari puncak gunung.
Yatsrib adalah sebuah lembah yang luas terbentang, di dalamnya
tumbuh subur beraneka ragam pepohonan. Bertahun-tahun orang-orang
Yahudi hidup membaur dengan para penduduknya yang berkebangsaan
Arab. Di antara mereka ada yang membangun tempat-tempat pem-
buatan arak, peternakan babi, dan rumah-rumah hiburan.
Orang-orang Yahudi Yatsrib terbagi menjadi tiga golongan: Bani
Qainuqa’, Bani Quraizhah, dan Bani Nadhir. Bani Qainuqa’ menempati
suatu kampung tersendiri, yaitu sebuah perkampungan tukang emas.
Di perkampungan tukang emas inilah emas-emas milik penduduk
Yatsrib bertumpuk-tumpuk. Di kampung ini pula terdapat bank-bank
yang meminjamkan uang dengan sistem bunga. Para pedagang besar
Semenanjung Arabia semua meminta bantuan ke kampung ini untuk
meminjamkan modal ketika mereka membutuhkan.
Suku Bani Qainuqa’ ini memiliki modal-modal besar dan diinvestasi-
kan dalam perusahaan-perusahaan senjata dan perusahaan-perusahaan
lainnya, juga diinvestasikan untuk pembangunan usaha para pedagang
dan perdagangan emas. Dengan sistem inilah, Bani Qainuqa’ mem-
peroleh ke­untungan yang jauh lebih besar daripada sektor pertanian.
Adapun suku Bani Nadhir dan Bani Quraizhah memper­oleh kedudu-
kan terhormat, karena mereka memiliki lahan-lahan yang luas di suatu
negeri yang perekonomiannya sebagian besar diperoleh dari sektor

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 217


pertanian. Oleh karena itu, mereka terdorong untuk hidup membaur
dengan suku Aus dan Khazraj. Mereka keluar dari keterpencilan hidup.
Mereka memperoleh harta kekayaan dari sektor pertanian. Karena itu,
mereka banyak memiliki kebun yang luas, peternakan, dan tanam-
tanaman.
Selebihnya, penduduk Yatsrib bekerja dalam sektor pertanian.
Pemuka-pemuka Aus dan Khazraj sebagai pemilik ladang-ladang perta-
nian. Sementara itu, buruh-buruh tani bekerja bahu-membahu dengan
para budak.
Kondisi masyarakat Yatsrib berbeda jauh, di mana mereka jauh
lebih maju dibandingkan dengan masyarakat Makkah. Di sini terdapat
pula hubungan sosial yang berbeda dengan pola hubungan sosial yang
berlaku di Makkah. Di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas
memeluk ajaran-ajaran Muhammad, seorang rentenir Yahudi tidak
dapat memperbudak seorang bangsa Arab yang mempunyai utang,
apalagi tidak mampu melunasi utang-utangnya. Berbeda sekali dengan
pola hubungan antara debitur dan kreditur, seperti halnya praktek-
praktek yang terjadi di kalangan masyarakat Quraisy.
Buruh tani di sana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada kedudu-
kan seorang budak Makkah yang peker­jaannya sebagai bodyguard
(security) rombongan dagang atau bank-bank. Dia mempunyai hak
memilih orang yang akan membeli keringat kerjanya. Berbeda dengan
seorang budak Makkah yang terbelenggu dalam ikatan yang menjerat
leher selama-lamanya.
Bahkan budak-budak tani sekalipun, di sana langsung menggarap
lahan-lahan pertanian dan berpindah-pindah dari satu majikan ke
majikan yang lain. Seorang majikan tak punya hak menguasai hidup
seorang budak, sebagaimana sistem yang berlaku di Makkah. Lahan-
lahan pertanian memang terus membutuhkan para pekerja, tapi
seorang majikan hanya memiliki hak terhadap etos kerja para pekerja,
bukan kehidupannya.
Yatsrib mempunyai corak yang berbeda sekali dengan Makkah.
Yatsrib mempunyai aneka ragam suku dan agama yang dianut ma-

218 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


syarakat. Mereka tidak mewarisi suatu tempat semisal Ka‘bah, yang
menjadikan bangsa Arab memperoleh kemuliaan dari tempat itu,
memperoleh kekayaan dari persembahan-persembahan kepada patung-
patung mereka, memperoleh kehormatan pada patung-patung mereka,
dan memperoleh kehormatan dari pasar-pasar yang dibangun untuk
menjual hewan-hewan per­sembahan itu.
Di Yatsrib tak ada dua kelompok masyarakat yang memiliki kesa-
maan pandang mengenai suatu hal, bahkan orang-orang Yahudi sekali-
pun. Bagi masing-masing kelompok masyarakat Yahudi sendiri terdapat
aliran paham dan versi pemikiran dari suatu ajaran yang mereka anut.
Suasana kehidupan yang kompetitif dalam menumpuk harta kekayaan
menjadi api penyulut bergejolaknya konflik di antara mereka.
Di kalangan bangsa Arab yang berasal dari suku Khazraj dan suku
Aus terdapat ketidaksamaan pandang di antara mereka dalam berbagai
hal. Dari tahun ke tahun barometer kehidupan senantiasa mengalami
destabilisasi. Suatu suku bergabung dalam persekutuan dengan suku
lainnnya untuk mengadakan perlawanan kepada suku yang lain. Fungsi
persekutuan mereka kemudian pecah menjadi saling bermusuhan, lalu
bergabung dengan pihak musuh. Demikian terus berputar-putar tiada
putusnya dari kompetisi ke konflik. Bagi setiap kelompok ada seorang
pembuat keputusan (policy-maker) sendiri-sendiri.
Sebenarnya penduduk Yatsrib hampir saja mencapai konsensus
mengangkat seorang pengambil keputusan, yaitu ‘Abdullah bin Ubay
bin Salul. ‘Abdullah bin Ubay sudah mempersiapkan kepalanya untuk
mengenakan mahkota. Namun karena pertemuan penduduk Yatsrib
dengan Muhammad, kemudian kedatangan para pengungsi yang lalu
disusul oleh Muhammad, menyebabkan semua rencana yang sudah
mencapai konsensus itu menjadi buyar dan digagalkan. Sabotase ini
membuat ‘Abdullah bin Ubay memendam rasa kecewa di dalam hat-
inya.
Pada saat-saat pasangnya gelombang konflik inilah Muhammad
datang meniupkan angin segar tentang cinta kasih, persaudaraan, dan
keadilan. Beberapa hari kemudian setelah Muhammad dipastikan telah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 219


menetap di Yastrib, ‘Ali bin Abu Thalib datang menyusul bersama-sama
keluarga Muhammad dan Abu Bakar yang lain.

g
Belum beberapa lama Muhammad menginjakkan kakinya di bumi
Yatsrib setelah menempuh jalan panjang yang begitu melelahkan, dia
mengumumkan akan mem­bangun masjid. Masjid itu akan dibangun
sedemikian besar dan mengagumkan seperti masjid yang berdiri tegak
di sekitar Ka‘bah.
Muhammad meminta kesediaan semua pengungsi (kaum Muhajirin)
dan semua pendukungnya (kaum Anshar) untuk bekerja sama dalam
membangun masjid; dan orang yang pertama kali mengerjakan pem-
bangunan itu adalah Muhammad sendiri.
Pemuda-pemuda dari kalangan para pengungsi (Muhajirin) melak-
sanakan pekerjaan ini dengan penuh agresif di bawah pimpinan ‘Ali
bin Abi Thalib dan Ammar bin Yasir.
Sebenarnya para juragan yang kaya-raya sangat berat hatinya
untuk ikut serta dalam pekerjaan ini, tapi karena mereka melihat
Muhammad turun sendiri menangani pekerjaan itu, akhirnya mereka
mau datang dengan rasa berat hati dan enggan. Muhammad berusaha
menumbuhkan rasa hormat di hati mereka terhadap pekerjaan tangan,
tapi usaha itu tidak membawa efek sama sekali. Muhammad berupaya
meyakinkan mereka bahwa kemajuan dalam kebudayaan, kepiawaian
dalam perdagangan, dan berbagai aktivitas intelektual, efektivitas, dan
efesiensinya, tidak akan melebihi pekerjaan tangan selama-lamanya.
Tapi, lain Muhammad lain pula para juragan kaya. Mereka mempu-
nyai pandangan lain dalam menilai masalah kerja. Bagi mereka setiap
pekerjaan mempunyai kelebihan sendiri-sendiri.
Untuk menggugah semangat kerja di hati orang-orang, ‘Ali bin
Abi Thalib melantunkan syair-syair pada saat-saat melangsungkan
pekerjaannya yang diucapkan berulang-ulang, lalu diikuti oleh para
pekerja yang lain. Karena tembang-tembang puitis yang menggugah
semangat kerja itulah, maka tembok masjid tegak berdiri tinggi.

220 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Ammar bin Yasir juga membangkitkan semangat kerja beberapa
orang yang masih belum bekerja. Dia me­nembangkan syair-syair di
hadapan orang-orang; di antaranya terdapat pula ‘Utsman bin ‘Affan.
Mereka mengejeki Ammar, tapi Ammar tetap saja menggugah semangat
bekerja mereka. Karena itu, ‘Utsman datang mendekatinya.
‘Utsman ketika itu adalah suami Ruqayyah binti Muhammad. Dia
termasuk rombongan pertama yang mengikuti ajaran Muhammad dan
termasuk orang yang paling dekat hubungan persahabatannya dengan
Muhammad. Lebih dari itu dia adalah seorang pedagang dari kalangan
pembesar Makkah yang sukses dan kaya-raya. Tidak sedikit hartanya
dikorbankan dan dia mengorbankan perda­gangannya di Makkah. Dia
mengungsi dengan semua harta kekayaannya yang menumpuk, untuk
mendukung Muhammad di tempat pengungsiannya.
Dengan berat hati, ‘Utsman bin ‘Affan menerima motivasi-motivasi
yang diucapkan Ammar bin Sumayyah, seorang perempuan teman dekat
Abu Jahal sebelum dia masuk Islam. Dia adalah seorang perempuan
yang ditusuk kemaluannya oleh Abu Jahal hingga menghembuskan
nafas yang terakhir.
Hampir saja ‘Utsman menonjokkan ujung tombaknya pada hidung
Ammar seraya berkata: “Aku telah mendengar apa yang kamu katakan
sejak hari ini, wahai putra Sumayyah. Demi Allah, aku akan menonjok-
kan ujung tongkatku ke batang hidungmu.” Peristiwa pertengkaran
antara ‘Utsman dan Ammar bin Yasir ini akhirnya terdengar juga oleh
Muhammad.
Mengapa ‘Utsman merasa lebih tinggi dari putra Sumayyah?
Dengan apakah ‘Utsman melebihi Ammar? Hartakah atau karena
mengawini Ruqayyah atau karena kedudukan­nya di kalangan masyara-
kat Quraisy?
Ammar mengikuti ajaran Muhammad sama seperti halnya ‘Utsman.
Dia banyak juga berkorban untuk kepentingan ajaran Muhammad yang
dianutnya, bahkan melebihi pengorbanan yang dilakukan ‘Utsman.
Pada hari ini dia jauh lebih utama daripada ‘Utsman, karena dia bekerja
dengan tangannya dan memeras keringatnya untuk membangun sebuah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 221


masjid yang menjadi tempat ber­kumpulnya semua manusia muslim.
Muhammad tidak tinggal diam terhadap sikap memuji dan men-
gagumkan diri yang masih melekat di kalangan sebagian pengikutnya.
Dia sama sekali tidak mentolerir tumbuhnya sikap-sikap egoisitas,
karena konsekuensi logis dari semua itu mengakibatkan disintegritas
para pengikutnya yang sedang membangun suatu kehidupan baru.
Namun yang pasti, setiap orang harus memiliki sikap apresiatif kepada
sesama muslimnya.
Muhammad membenci sikap seseorang yang merasa lebih utama
daripada saudaranya. Tak ada seorang pun yang melebihi dari sauda-
ranya, selain karena karya-karyanya.
Muhammad menunjukkan sikap anti terhadap sikap ‘Utsman dan
orang-orang yang bersamanya, juga terhadap mereka yang mempun-
yai dugaan bahwa dengan memusuhi Ammar, maka mereka menempuh
jalan kelompok lain.
Mereka tidak menemukan jawaban yang akan diajukan kepada
Muhammad. Mereka terus minta kepada putra Sumayyah dan akhirnya
mau bekerja juga dengan tangan mereka yang halus dan tak pernah
bekerja kasar sebelumnya.
Pembangunan masjid akhirnya dapat diselesaikan dalam beberapa
hari saja. Beberapa tokoh masyarakat Yatsrib men­datangi Muhammad
dengan maksud menyampaikan pernya­taan mereka kepadanya, bahwa
mereka akan mengubah nama Yatsrib dengan nama Madinah, yaitu
kota Muhammad.
Muhammad menyelenggarakan persiapan rapat di masjid dalam
rangka menyongsong era baru yang cerah di Madinah. Hatinya terasa
telah menemukan ketenteraman dalam jalan kehidupannya. Dia mulai
mempersiapkan penyerangan ke kota Makkah untuk meluluh-lantakkan
kecongkakan dan kebobrokannya. Dia membacakan sebuah ayat kepada
mereka:

222 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Betapa banyak negeri yang (penduduknya) lebih kuat daripada (penduduk)
negerimu yang telah mengusirmu itu, Kami binasakan mereka, sehingga tak
akan ada seorang pun yang dapat menolong mereka.” (QS. Muhammad [47]:
13)

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 223


224 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Jalanpanjang
yang melelahkan

M
asjid yang baru saja dibangunnya secara swadaya
itu menjadi tempat berkumpulnya pengikut-
pengikut Muhammad, baik dari kalangan Muhajirin maupun
Anshar untuk mempelajari prinsip-prinsip tersebut dengan kehidupan
di antara mereka dan kaitan prinsip-prinsip tersebut dengan kehidupan
secara makro dalam naungan ajaran-ajaran yang baru itu.
Jika malam telah tiba, masjid berubah fungsinya menjadi tem-
pat penginapan kalangan Muhajirin yang belum menemukan tempat
penampungan. Tiap-tiap orang dari kalangan Anshar mengajak ting-
gal kalangan Muhajirin di rumah mereka masing-masing. Akan tetapi,
rumah-rumah kalangan Anshar tidak bisa menampung semua orang
Muhajirin. Oleh karena itulah, Muhammad mengizinkan orang-orang
yang belum memperoleh rumah sebagai tempat penampungan untuk
mempergunakan masjid sementara waktu sebagai rumahnya.
Kalangan-kalangan orang-orang Anshar mengupayakan jatah makan
bagi kalangan orang-orang Muhajirin. Muhammad telah mengikat

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 225


kedua kelompok pengikutnya tersebut ke dalam satu ikatan sosial
yang berbasis persaudaraan. Antara suku Bani Nadhir dan orang-orang
Muhajirin dijalin dalam janji persaudaraan berupa sikap saling cinta
kasih, sebagaimana saudara kandungnya sendiri, memberi makan, dan
saling berbagi rasa antara pahit dan manisnya kehidupan.
Pada suatu hari timbullah desas-desus di kalangan suku Yahudi,
bahwa Muhammad telah datang membawa bebe­rapa jumlah orang
laki-laki dan perempuan pengangguran. Mereka hanya menjadi beban
masyarakat Yatsrib. Mereka mem­peroleh makanan dan rizki tanpa ada
imbalan apa pun.
Maka dianjurkan oleh Muhammad agar mereka bekerja. Tapi yang
jelas orang-orang Muhajirin tidak tahu sama sekali bagaimana tata
cara mencari makanan di daerah Yatsrib, selain bercocok tanam.
Adapun penduduk Makkah tidak mempunyai banyak waktu untuk
mempelajari masalah pertanian. Akan tetapi, mereka mulai mencoba
belajar bagaimana caranya, mulai dari mencangkul tanah, menabur
benih, memupuk tumbuh-tumbuhan, dan melakukan irigasi pada lahan-
lahan. Mereka memperoleh bantuan yang banyak dari para petani
Yatsrib. Lahan-lahan pertanian yang subur dan terbentang luas meru-
pakan garapan bagi tangan-tangan pekerja baru untuk memperoleh
hasil panen yang berlipat-ganda dari hasil panen sebelumnya.
Muhammad sendiri tidak berdiri sebagai seorang raja yang men-
guasai Yatsrib, segaimana keinginan orang-orang Anshar yang gigih
dan penuh vitalitas. Muhammad tidak pernah mentolerir dirinya un-
tuk tidak bekerja. Dia ikut belajar bertani, betapapun usianya telah
mencapai 53 tahun, sebab bertani adalah suatu pekerjaan baru yang
masih sangat asing bagi dirinya.
Muhammad menganjurkan juga agar kaum perempuan tidak hanya
bekerja di wilayah prifat, tapi juga pada wilayah publik, yaitu ikut tu-
run bekerja sebagaimana kaum pria. Maka banyaklah perempuan yang
bekerja, termasuk juga perempuan-perempuan yang terbiasa hidup
mewah dan berkecukupan di balik dinding rumahnya yang menyimpan
harta benda kekayaan yang melimpah-ruah ketika masih tinggal di

226 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Makkah sebelum mereka mengungsi.
Ketika Muhammad sedang bekerja di ladang di tengah kaum pria
dan wanita, beliau tidak henti-hentinya menyarankan kaum pria agar
meringankan beban pekerjaan para kaum wanita.
Pada suatu ketika dia melihat Asma’ binti Abu Bakar sedang bekerja
di tengah ladang sambil memanggul barang bawaannya. Waktu itu Mu-
hammad sedang di atas kendaraan yang ditungganginya. Dia menyuruh
Asma’ untuk mem­bonceng atau dia akan turun dari kendaraannya biar
Asma’ yang mengendarai kendaraannya saja. Akan tetapi, tawaran itu
ditolak oleh Asma’ lantaran ia merasa malu. Setelah dia menceritakan
itu kepada suaminya yang pencemburu, suaminya sangat menyesal
karena dia telah mempekerjakan dengan pekerjaan berat di ladang.
Sekali lagi suaminya meyakinkan bahwa kegelisahannya bukan karena
dia membonceng pada Muhammad, tapi karena dia telah membeban-
inya dengan suatu pekerjaan yang teramat berat bagi istrinya.
Putri Abu Bakar bekerja dengan tangannya sendiri dan tak peduli
meski ayahnya seorang saudagar kaya yang sukses. Abu Bakar dalam
pengungsiannya ke Yatsrib membawa kekayaan bernilai empat puluh
ribu dirham Makkah, namun setiap pengungsi yang masih mampu
bekerja, dituntut untuk mencari penghidupan dengan kedua belah
tangannya agar tidak menjadi beban hidup bagi orang-orang Anshar.
Karena lahan-lahan pertanian di Yatrib tidak memadai untuk dita-
nami oleh sekian banyak pengungsi, maka Muhammad meminta kepada
kalangan pengungsi yang kaya-raya untuk membeli tanah-tanah yang
cocok bagi lahan pertanian agar nantinya bisa digarap oleh orang-orang
yang belum mendapatkan jatah pekerjaan. Dari hasil panennya itu,
diharapkan nantinya dapat membuat stabilitas neraca perekonomian
setelah terpencar-pencarnya orang-orang Muhajirin.
Berkat kepiawaian Muhammad melobi orang-orang kaya, akhirnya
sejumlah orang Muhajirin mendapat pekerjaan di ladang-ladang yang
baru. Maka mengalirlah hasil panen yang mendukung pasar-pasar dan
sektor perekonomian di Yatsrib.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 227


Di antara orang-orang Muhajirin terdapat juga sejumah pedagang
yang piawai dan kaya-raya. Mereka meng­investasi­kan modalnya tidak
hanya di sektor pertanian an-sich, tetapi juga di sektor perdagangan.
Adapun uang Abu Bakar yang berjumlah empat puluh ribu dirham
Makkah yang dibawa dalam pengungsian, diserahkan kepada Muham-
mad untuk dikelola sebagai dana santunan bagi mereka yang tidak
memperoleh lapangan pekerjaan atau tidak mampu lagi bekerja.
Muhammad menghimbau kepada shahabat-shahabatnya yang lain
untuk mengikuti langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar. Mereka
dihimpun untuk menyisihkan sebagian harta kekayaan mereka sebagai
upaya mengurangi ledakan pengangguran dan kemiskinan. Sangat-
lah tercela jika terdapat di antara sesama muslim yang kelaparan,
kekurangan, atau kesusahan, sementara yang lain ada yang hidup
mewah. Maka ‘Umar menyerahkan separuh ke­kayaannya dan yang lain
ikut juga menyerahkan sesuai dengan kemampuannya.
Kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar yang kaya-kaya beru-
saha sekuat tenaga untuk mengangkat saudara sesama muslim mereka
pada taraf kehidupan yang lebih baik. Tidaklah pantas sama sekali
jika seseorang berpakaian compang-camping, sementara yang lain
berpakaian mewah. Tidaklah pantas sama sekali jika seseorang di
antara mereka makan daging dan roti, sementara ada orang muslim
yang tidak mendapatkan makanan, selain kurma basah.
Demikianlah, kesejahteraan sosial di Yatsrib mencapai tingkat ke-
hidupan yang setara. Tak ada yang kelaparan dan tidak ada yang tidak
berpakaian. Semuanya makan; semuanya bekerja. Adapun mereka
yang tidak mampu lagi bekerja, mereka memperoleh jaminan sosial
dari saudara sesama muslimnya yang mampu membantu mereka.
Kalangan orang-orang kaya di Yatsrib yang tidak masuk agama
baru ini, merasa bahwa munculnya sekelompok orang-orang kaya (dari
pengikut Muhammad) telah menyaingi kekayaan mereka dan juga
merusak pola hubungan sosial mereka dengan pihak lain.
Adanya sistem baru dalam pola hubungan sosial antara orang-
orang kaya dan orang-orang miskin, menyebabkan problema yang

228 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dikhawatirkan akan berdampak langsung terhadap eksistensi mereka,
sebab jika demikian keadaan­nya, haruskah orang-orang kaya memberi
makan kepada orang-orang miskin dari makanan yang mereka makan
dan memberi pakaian dari sebagian pakaian yang mereka kenakan?
Sudah datangkah era baru di mana buruh-buruh hidup sama dengan
majikan-majikan?
Lantas di manakah garis kehidupan yang memisahkan antara buruh
dan juragan dalam bentuk stratifikasi sosial? Di manakah keistimewaan
yang diperoleh dari kekayaan? Apakah hak bekerja bagi buruh diper-
lakukan sama dengan hak bekerja bagi juragan? Ini jelas menjungkir-
balikkan sistem nilai dan barometer kehidupan sosial. Gelombang
badai ini harus segera dihentikan agar tidak meledak menjadi sebuah
revolusi yang akan menghantam posisi sosial juragan-juragan kaya.
Sebagian besar dari juragan-juragan kaya itu berasal dari orang-
orang Yahudi, sedangkan bangsa Arab yang berasal dari suku Khazraj
dan Aus sudah bernaung di bawah panji ajaran baru ini.
Juragan-juragan kaya dari golongan Yahudi, termasuk di dalamnya
‘Abdullah bin Ubay bin Salul sudah sejak lama memimpikan mahkota
Yatsrib, namun semua impian-impian itu musnah total setelah ke-
datangan Muhammad. Mereka pun mulai menyebar desas-desus dan
intrik-intrik.
Tapi apalah arti trik-trik itu jika juragan-juragan kaya telah ber-
sedia turun dari posisi mereka yang “tinggi” untuk menyantuni orang-
orang miskin. Toh, pada akhirnya orang-orang miskin akan berperang
habis-habisan hingga nafas terakhir untuk mempertahankan hak-hak
yang telah mereka peroleh.
Orang-orang miskin dari kalangan Yatsrib sudah tentu akan men-
gangkat senjata. Demikian pula para pengikutnya yang kaya-kaya.
Muhammad telah berhasil menancapkan suatu pandangan di hati mereka
bahwa mereka tidaklah memiliki secara mutlak kekayaan yang mereka
miliki. Harta benda hanyalah hak milik yang diberikan secara yuridis
belaka.
Desas-desus yang dihembuskan oleh juragan-juragan kaya kalangan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 229


Yahudi, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, dan kelompoknya dari kalangan
bangsawan Yatsrib, telah tercium oleh Muhammad.
Namun Muhammad tidak bertindak menghadapi mereka secara
frontal, karena dia merasa berada dalam posisi yang sangat kuat.
Hanya saja yang menjadi prioritas utama garapan Muhammad adalah
menumbuhkan rasa cinta kasih di kalangan penduduk Madinah. Dia
telah sukses men­ciptakan jalinan sosial yang harmonis antara suku
Aus dan suku Khazraj dalam cinta kasih yang sangat murni, hingga
di antara mereka seolah-olah tak pernah terjadi per­tumpuh­an darah
dan kekerasan. Dia merasa bahwa kewajibannya yang paling utama
adalah mengintegrasikan warga Madinah, yang dia tinggal di situ seb-
agai orang yang butuh per­lindungan dan dukungan, agar dia memiliki
kekuatan untuk menghadapi orang-orang Quraisy dengan mudah agar
menerobos celah-celah lubang itu.
Kalangan orang-orang Yahudi yang kaya-kaya yang berada di Yatsrib,
tetap memegang posisi yang signifikan dalam sektor perekonomian.
Mereka menguasai sektor perbankan dan industri emas. ‘Abdullah bin
Ubay bin Salul dan kelompoknya adalah pemegang kendali pemerin-
tahan di tengah masyarakatnya. Di tangan mereka berbagai peluang
dan kesempatan. Tapi sejak kedatangan Muhammad, mereka menangisi
kedudukan yang telah lenyap. Muhammad mengetahui kelemahan ini,
namun ia berbelas-kasihan kepadanya. Dia tetap menjaga hubungan
baik dengannya.
Muhammad mengundang seluruh warga Yatsrib ke masjid. Ia men-
ganjurkan kepada mereka agar hidup dalam tali kesatuan dan cinta
kasih. Selanjutnya, dia mengajukan usulan untuk membuat suatu
perjanjian tertulis (pakta) yang dapat disepakati oleh semua pihak
untuk saling mencintai dan saling berbuat jujur antara sesama mereka,
bersatu-padu, memberikan bantuan kepada orang yang membutuh-
kan, menjaga hak-hak tetangga, tidak menolong orang-orang Quraisy
dan orang yang memihak kepada mereka, tidak melakukan perbuatan
sewenang-wenang, tidak saling bermusuhan, dan tidak melakukan
perbuatan dosa. Siapa yang melakukan pembunuhan, maka akan dike-
nakan pidana mati. Barangsiapa menyakiti atau melukai orang lain,

230 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


maka akan dibalas setimpal dengan perbuatan­nya. Orang-orang Yahudi
dan orang-orang Islam adalah sekutu. Jika orang-orang memilih Islam,
maka itu lebih baik. Tetapi jika tetap memeluk agama mereka, maka
harta benda dan tempat-tempat peribadatan memperoleh jaminan
perlindungan. Akan tetapi, mereka semua wajib memerangi orang-
orang yang menyerang Yatsrib dan mereka wajib mengeluarkan harta
benda untuk membiayai perang tersebut.
Orang-orang yang berkumpul di masjid, baik dari kalangan Yahudi,
orang-orang Anshar, maupun Muhajirin, membubuhkan tanda tangan
mereka pada piagam perjanji­an Madinah (mitsaq) tersebut. Mereka
semua sepakat akan menindak-lanjuti pihak-pihak yang melanggar
pakta itu.
Muhammad tetap memperlakukan orang-orang Yahudi dengan
sikap lemah-lembut, betapapun sebagian penduduk Madinah tidak
sependapat dengan sikap perlakuan Muhammad tersebut, sebab mer-
eka sudah terbiasa bersikap kasar terhadap kelompok Yahudi. Kendati
demikian, Muhammad dapat memuaskan hati orang-orang yang tidak
menyetujui pada sikapnya dengan alasan bahwa ajaran yang dibawanya
adalah misi persaudaraan dan kasih sayang.
Kondisi ini sangat menenteramkan hati Muhammad. Kini dia melihat
tak ada lagi lubang-lubang pada tembok tempat dia bersandar.
g
Akan tetapi, kehidupannya di rumah sangat membebani hatinya.
Dia hidup bersama seorang perempuan yang tak pernah memperoleh
apa-apa dari dirinya, selain cinta kasih dan belaian mesra belaka.
Perempuan itu sudah cukup lanjut usia; dia sudah tidak sanggup lagi
mengurusi dan melayani­nya dalam rumah tangga. Sementara ‘Aisyah
putri Abu Bakar kini telah menjadi seorang gadis yang matang dengan
iklim Yatsrib.
Abu Bakar telah menyampaikan rencana perkawinan ‘Aisyah dengan
Muhammad, karena dia telah menjadi seorang gadis yang matang dan
montok seperti layaknya seorang perempuan, betapapun dia masih
bersifat kekanak-kanakan, suka berlari-lari, dan bermain-main dengan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 231


anak-anak kecil.
Akhirnya, terjadilah kesepakatan antara ayah dan calon suaminya
untuk membawanya mengarungi bahtera kehidup­an rumah tangga.
Selanjutnya, beberapa orang perempuan pergi mencari ‘Aisyah, me-
nariknya dari atas gundukan pasir. Mereka membawanya ke rumah
calon suaminya. ‘Aisyah masih tampak kotor raut mukanya karena
sering berlari-lari ketika bermain.
Muhammad memulai kehidupan barunya bersama ‘Aisyah. Dia
menyuruh putrinya, Fathimah, agar mengajak­nya berjalan-jalan dan
mencintainya.
Sementara itu ‘Umar bin Khaththab datang kepada Muhammad
untuk melamar Fathimah ketika Fathimah sedang berumur enam belas
tahun, cantik dan menarik. Akan tetapi, Muhammad menolaknya. Abu
Bakar juga mendatangi Muhammad untuk keperluan yang sama, namun
Muhammad memberikan jawaban yang sama seperti halnya jawaban
yang diberikan kepada ‘Umar.
Beberapa pemuda Anshar dan Muhajirin datang untuk melamar
putrinya, tetapi Muhammad merasa khawatir bahwa menyerahkan
putrinya kepada seseorang dari kalangan Anshar dan menolak lainnya
akan menyebabkan timbulnya emosional di pihak lain dan di pihak
keluarganya; atau jika dia menerima seseorang dari kalangan Muhaji-
rin, maka akan timbul kemarahan di kalangan lain, baik dari kalangan
Muhajirin sendiri maupun dari kalangan Anshar karena sama-sama
berharap akan dapat menyunting putrinya. Adapun kekhawatiran yang
lain jika Muhammad menerima lamaran salah seorang dari mereka,
akan timbul sikap merasa lebih tinggi dari shahabat-shahabatnya yang
lain karena berhasil menyunting putrinya itu. Sebab pada dasarnya, Mu-
hammad telah menanamkan prinsip ke dalam hati setiap orang bahwa
keluarga dekatnya tak dibenarkan merasa lebih tinggi daripada orang
lain, sebab manusia mulia bukan karena strata sosialnya, tetapi karena
amalnya. Bahkan dia tak segan bersikap keras terhadap ‘Utsman bin ‘Af-
fan, seorang teman dekatnya dan suami putrinya, lantaran bersikap kasar
terhadap Ammar putra Yasir.... putra Sumayyah.

232 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad meminta pertimbangan Abu Bakar. Dia menyebutkan
nama orang-orang yang melamar Fathimah. Mereka semua adalah
pemuda-pemuda Quraisy. Dari semua daftar calon pelamar Fathimah,
tak seorang pun di antara mereka yang punya cela.
“Bagaimana jika engkau menerima lamaran ‘Ali bin Abi Thalib?,”
tanya Abu Bakar.
“Aku tak menginginkan Fathimah diperistrikan oleh orang yang
masih terlalu muda,” jawab Muhammad terhadap nama pilihan yang
diajukan Abu Bakar.
‘Ali ketika itu sudah berumur dua puluh dua tahun, tapi Abu Bakar
mengatakan: “Bilamana engkau memberi perhatian kepadanya, mereka
berdua akan diliputi keberkahan dan dikaruniai kenikmatan.”
Abu Bakar terus membujuk Muhammad hingga akhirnya ia mau
menerima pendapat yang ditawarkannya, kemudian jadilah Fathimah
yang cantik menjadi gadis yang diper­sunting ‘Ali.
Tapi ‘Ali tidak memiliki rumah yang akan ditempati untuk hidup
berumah tangga. Karena itu, Fathimah meminta sebuah rumah kepada
ayahnya, tapi ayahnya menolak keras permintaannya. Lalu datanglah
seorang laki-laki kaya dari kalangan Anshar yang bermaksud memberikan
sebuah rumah yang mungil di antara rumah yang dimilikinya, kepada
kedua suami istri yang masih muda belia itu. Namun ‘Ali dan Fathimah
tidak mau menerima pemberian laki-laki tersebut, dan laki-laki itu jus-
tru bersumpah takkan mema­suki rumah itu selama-lamanya. Laki-laki
itu tetap bersikap keras untuk memberikan rumahnya hingga akhirnya
Muhammad memper­bolehkan mereka berdua menerima pemberian itu
dengan cara jual-beli, tidak dengan cara pemberian (hibah).
Pemuda-pemuda dengan gadis-gadis dari kalangan Muhajirin banyak
yang dijodohkan dengan pemuda-pemuda dan gadis-gadis dari kalan-
gan Anshar. Dengan demikian, kehidupan baru dari kalangan Muhajirin
menjadi kian mantap. Mereka telah mendapatkan pekerjaan, rizki, dan
istri yang memberikan rasa tenteram bagi mereka. Namun demikian,
mereka takkan akan pernah melupakan Makkah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 233


g
Kenangan terhadap Makkah tidak hanya dirasakan oleh mereka,
bahkan Muhammad sendiri tak kuasa melupakan Makkah. Dia selalu
terkenang Makkah. Di sana, di bawah gundukan tanah, terkubur seorang
kekasihnya. Di sana, dia banyak meninggalkan kenangan, baik suka
maupun duka. Teramat sering kenangan itu menghidupkan kembali
impian-impiannya dengan hidup tenteram. Betapa banyak derita yang
telah mewarnai kehidupannya. Namun, betapapun demikian tiada
negeri yang lebih dicintai daripada tumpah darahnya sendiri, yaitu
Makkah.
Seorang laki-laki pengungsian datang kepadanya dengan membawa
kabar berita tentang Makkah.
“Bagaimana situasi Makkah saat engkau tinggalkan?,” tanya ‘Ai-
syah.
Laki-laki itu menggambarkan situasi Makkah setelah kepergian para
pengungsi. Suaranya gemetar penuh kepiluan dan kesedihan berpisah
dengan Makkah. Dia gambarkan keadaan rumah-rumah, padang-padang
tandus, jalan-jalan, pasar-pasar yang ramai dengan hiruk-pikuknya
orang-orang, dan bunga-bunga yang bertaburan di sepanjang jalan-
jalan yang menuju bebukitan. Kerinduan hati Muhammad kepada
Makkah telah memuncak. Kedua belah matanya berkaca-kaca penuh
linangan air mata saat mengenang kota Makkah.
“Jangan! Jangan kaubangkitkan kerinduanku! Biarkan aku hidup
tenang,” Muhammad memenggal cerita yang sedang diungkapkan laki-
laki itu.
Sebenarnya semua shahabatnya dari kalangan Muhajirin dari hari
ke hari telah bertemu dengan laki-laki yang menggerakkan ingatan
mereka dan membangkitkan kecintaan dan kerinduan mereka. Mereka
semua berharap akan datangnya hari terbukanya pintu-pintu Makkah
untuk menyambut kedatangan mereka.
Sesungguhnya yang menjadi penghalang mereka dengan Makkah
adalah sekelompok saudagar yang berkuasa di sana dan telah mengusir

234 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mereka dari bumi kenangan, angan-angan, dan masa depan! Lantas
kapankah Muhammad memberikan komando kepada mereka untuk
melancarkan agresi terhadap sekelompok orang yang kejam, agar
mereka dapat menghabiskan sisa-sisa usia di bumi kelahiran mereka
yang jauh di sana? Tapi, jumlah mereka saat ini masih relatif kecil
sekali untuk membobol tembok per­tahanan Makkah.
Di antara mereka ada beberapa laki-laki yang merasa khawatir
akan adanya perintah penyerbuan itu dari Muhammad. Di sini, mereka
telah hidup berkecukupan setelah sekian lama hidup dalam kekuran-
gan. Di antara mereka ada pula yang merasakan kedamaian hati
dalam hidupnya yang sudah pulih kembali seperti sedia kala. Namun
demikian, bagaimanapun juga pemimpin-pemimpin Quraisy tak akan
pernah membiarkan mereka menjani kehidupan yang tenteram.
Delegasi-delegasi pemerintah Quraisy mulai mendatangi pen-
gusaha-pengusaha Yahudi yang kaya-raya dan ter­kemuka di Yatsrib
dalam rangka perlindungan manakala rombongan-rombongan dagang
melewati jalan yang menuju ke Syam di padang Yatsrib. Di antara
mereka terdapat orang-orang yang paling ditakuti pedagang-peda-
gang Quraisy. Mereka itu orang-orang yang pernah dirampas harta
kekayaannya dan barang-barang dagangannya, kemudian diserahkan
kepada pemerintah Quraisy sebagai syarat agar pemerintah Quraisy
membiarkan pengungsi dalam keadaan tenang.
Orang-orang Quraisy khawatir mereka akan menyerbu untuk men-
gambil harta benda yang pernah dirampas dari mereka sebelumnya.
Delegasi-delegasi orang Quraisy menyusup ke rumah-rumah para
pemuka Yahudi.
Pemuka-pemuka Yahudi yang kaya-raya merasa takut untuk melaku-
kan penyimpangan dari perjanjian yang tertuang dalam piagam itu
secara terang-terangan, karena akibatnya suku Aus dan Khazraj akan
menyerang mereka dan yang pasti, Muhammad akan menerapkan
sanksi bagi pelanggar perjanjian (pakta), sebagaimana ketentuan yang
tertuang dalam piagam itu.
Karena itu, para pemuka Yahudi menggunakan strategi lain untuk

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 235


menciptakan disintegrasi di Madinah. Strategi yang mereka tempuh
adalah menyebarkan desas-desus bahwa orang-orang Quraisy yang
merasa terancam perdagangan­nya dari serangan orang-orang Mu-
hajirin, akan melakukan perampokan terhadap pedagang-pedagan
Madinah.
Dengan demikian, sudah dipastikan bahwa Muhammad akan mene-
tapkan suatu kebijaksanaan yang membebani penduduk Yatsrib di luar
batas kemampuannya. Muhammad akan memotivasi mereka untuk
memusuhi orang-orang Quraisy dan segenap pendukung mereka. Hal ini
akan menyebabkan Muhammad menyeret mereka pada kerugian dalam
perdagangan yang akan menimbulkan kesengsaraan dan keputus-asaan
pada semua pihak.
Para pemuka Yahudi berusaha menjelajahi setiap orang dengan
opini ini. Mereka melancarkan trik-trik untuk membangkitkan perla-
wanan terhadap Muhammad dan orang-orang yang datang bersamanya.
Ketika Muhammad duduk di masjid dengan mem­b icara­k an
toleransi, cinta kasih, mengajak orang-orang untuk tidak berbuat
sewenang-wenang, tidak melanggar perjan­jian, dan melaksanakan
tanggung jawab, beliau menatap Bilal dengan tatapan penuh kekagu-
man seraya berkata: “Engkau buah pertama dari Habsyah (Ethiopia),”
ucap Muhammad. Lalu dia menoleh. Dia melihat Suhaib Ar-Rumy yang
berkelana dari negeri Romawi yang jauh. Dia melepas senyumnya di
atas cita-citanya yang me­layang-layang.
“Suhaib, engkau buah pertama dari Romawi,” lanjut Muhammad
sekali lagi; dan akhirnya pandangannya jatuh pada Salman Al-Farisi
yang datang kepadanya dengan segala kegelisahannya dalam mencari
kebenaran sepanjang jalan Persia, Mosol, Syam, dan Antikiyah, hingga
sampai di Yatsrib, lalu dia masuk Islam.
Kepada Salman, Muhammad berkata: “Salman, engkau buah per-
tama dari Persia.”
Kalangan Yahudi melakukan trik-trik dan move-move terhadap
orang-orang. Sementara itu Muhammad duduk di antara pengikut-
pengikutnya dari kalangan orang-orang Arab sambil tersenyum kepada

236 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Bilal Al-Habsy, Shuhaib Ar-Rumy, dan Salman Al-Farisi, sembari mem-
bayangkan panji-panji ajarannya berkibar-kibar dengan gagahnya,
menaungi seluruh negeri yang menjadikan umat bersatu-padu.
Selanjutnya, akan datang kepadanya orang-orang yang akan
menceritakan tentang seorang laki-laki di Yamamah yang melarang
minum-minuman keras, menganjurkan kebersahajaan, dan menekank-
an untuk berkata jujur kepada pengikut-pengikutnya.
Adapun seorang laki-laki yang lain lagi di Hadratul Maut berkel-
iling dengan menunggangi keledainya, menyerukan kepada semua
orang untuk berbuat baik, sebagaimana ‘Isa bin Maryam menunggangi
keledainya dari Al-Khalil dan Al-Kudus, mengajak orang-orang untuk
berbuat adil dan me­megang kebenaran dengan sepenuh hati. Itulah
sebuah potret reformasi mentalitas besar-besaran di pelbagai penjuru.
Di lingkungan itulah para penyuluh ajaran yang meniupkan hara-
pan-harapan terhadap masa depan yang cerah tumbuh bersemi. Di
lingkungan itu dia dapat membangkitkan spirit orang-orang mukmin
untuk terjun ke kancah pertempuran bersama-sama mereka ke Makkah
melawan orang-orang Quraisy yang congkak dan membebas­kan bangsa
Arab di belahan lain dari koloni Persia dan Romawi serta mengibarkan
panji-panji keadilan dan persamaan hak (egality) di negeri-negeri
yang berkubang dalam lumpur-lumpur antagonisme, anarkhisme, dan
prostitusi. Negeri-negeri itu adalah negeri yang kehidupannya hitam-
kelam melumatkan harkat dan martabat manusia.
Akan tetapi, pemuka Yahudi yang kaya-kaya terus saja melakukan
manuver politis. Sentimen sosial yang memenuhi hati mereka terhadap
kelompok baru yang kompetitif tak pernah padam dan terus berkobar.
Mereka meninggalkan Yatsrib berada dalam otonomi mereka sendiri.
Mereka tetap ingin memberlakukan sistem kekuasaan mutlak terhadap
nasib-nasib buruh dan budak-budak dengan modal per­dagangan milik
mereka. Karena itu, mereka lantas mengangkat ‘Abdullah bin Ubay
bin Salul sebagai pembuat keputusan menurut kehendak mereka dan
membuat aturan-aturan transaksi yang dapat mengeruk keuntungan
yang sebesar-besarnya untuk menangkal ajaran-ajaran yang dibawa
Muhammad.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 237


Ketika Muhammad sedang berada di masjid di tengah para sha-
habatnya dalam rangka memberikan pelajaran kepada mereka dan
memimpi-mimpikan sebuah masa depan, secara spontanitas terdengar
suara jeritan melolong dari luar Yatsrib meminta tolong.
Apakah orang Quraisy telah melakukan penyerbuan secara men-
dadak...?
Orang-orang terkejut, lalu mereka berhamburan. Mereka berge-
gas menuju ke luar masjid mengikuti Muhammad, tetapi ia masuk
ke rumahnya yang ber­dempetan dengan masjid terlebih dahulu, lalu
disambarnya sebilah pedangnya. Dia segera pergi menemui lolongan
suara itu. Dia mendapatkan seekor kuda tanpa pelana, langsung saja
dia tunggangi kuda itu, melesat keluar Yatsrib seorang diri sambil
menghunus pedangnya.
“Kalian tidak perlu cemas!, demikian ia berseru kepada orang-
orang dari atas kudanya.
Sebelum ada yang menyusulnya, dia telah kembali lagi menemui
orang-orang. Dia katakan bahwa dia tak menemukan adanya indikasi-
indikasi serbuan dari pihak lawan. Di sana tak ada hal-hal yang perlu
mereka khawatirkan.
Namun meskipun demikian, dia memandang perlunya peningkatan
kewaspadaan yang antisipatif untuk menjaga kemungkinan-kemungkian
adanya serangan lawan secara tiba-tiba dan untuk mengantisipasi per-
ang urat saraf yang dilancarkan orang-orang Yahudi. Oleh karena itu,
dia mengambil keputusan untuk mengirim balatentara dari kalangan
Muhajirin agar mengadakan ronda di sekeliling Madinah dan jalan-jalan
yang menuju ke Madinah.
Dengan sistem itu, semua orang di Madinah akan merasa tenang
dan aman. Tapi, belum sampai dia mengirim tentara-tentara tersebut,
tiba-tiba Madinah dilanda wabah penyakit, sehingga sebagian besar
orang Muhajirin jatuh sakit.
Timbullah desas-desus di Madinah bahwa orang-orang Muhajirin
datang dengan membawa wabah penyakit ini. Karena itu, bagi mereka

238 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang datang dengan membawa wabah penyakit ini harus dipulangkan
kembali.
Adapun orang-orang Muhajirin berkeyakinan bahwa timbulnya
wabah penyakit yang menimpa mereka justru berasal dari Madinah.
Karena itu, timbullah rasa tidak senang di hati mereka kepada Madi-
nah, setelah mereka merasakan ketenangan hidup di Madinah.
Betapapun berbagai upaya yang telah dilakukan oleh orang-orang
Anshar dalam mencarikan dokter bagi orang-orang Muhajirin yang
terserang penyakit, namun wabah penyakit tetap merajalela hingga
tak satu pun rumah atau pondokan di Madinah yang tak ditempati
orang sakit yang mengigau karena demam yang sangat tinggi.
Demam menyerang hampir setiap orang, hingga timbul dugaan di
kalangan orang-orang Muhajirin bahwa demam ini akan mengakibatkan
bencana kematian. Sebagian di antara mereka berharap untuk kembali
pulang ke Makkah daripada mati terasing di Yatsrib lantaran wabah
penyakit yang tak kunjung usai.
Muhammad kini mengunjungi mereka yang terserang demam.
Kepada Tuhan-Nya dia berdo‘a agar menumbuhkan kecintaan mereka
kepada Yastrib sebagaimana menumbuh­kan kecintaan mereka kepada
Makkah.
Ketika wabah demam mulai mereda, maka kondisi masjid mulai
ramai kembali dengan pengunjung. Akan tetapi, akibat demam yang
sangat dahsyat, mereka tampak tak punya gairah, bahkan tak seorang
pun di antara mereka yang mampu berdiri.
Abu Bakar termasuk juga di antara orang-orang yang terserang
penyakit. Begitu dahsyatnya penyakit yang menyerangnya, hingga
ia mengigau. Muhammad menyuruh ‘Aisyah agar merawatnya hingga
dia sembuh. Demikian pula demam itu menyerang tubuh Ruqayyah.
Muhammad menyuruh ‘Utsman bin ‘Affan untuk menjaganya.
Setelah lenyap sama sekali wabah yang meninggalkan banyak
korban, Ruqayyah tetap sakit-sakitan; tubuhnya kurus hampir-hampir
tak mampu berdiri. Ini wabah penyakit, kemudian keresahan muncul
juga!

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 239


Mereka, musuh-musuhnya dari kalangan Yahudi, melakukan intrik-
intrik dan provokasi. ‘Abddullah bin Ubay membuka kedoknya. Dia
melabrak Muhammad pada saat berkeliling menjenguk orang-orang
yang terserang penyakit demam. Dengan nada yang sangat tidak sim-
patik, ia menyuruh Muhammad untuk tidak pergi ke mana-mana, tetapi
tinggal di rumahnya saja agar tidak membawa benih-benih penyakit
yang tidak diinginkan oleh orang-orang yang dikunjunginya.
Muhammad berusaha menahan emosinya. Dia tidak menghendaki
timbulnya gejolak di Madinah saat orang-orang di Madinah gugur
berjatuhan oleh serangan wabah penyakit, laksana daun-daun ker-
ing berjatuhan. Muhammad akhirnya memutuskan untuk tidak pergi
ke mana-mana. Dia berdiam saja di rumahnya untuk beberapa hari
lamanya.
Akan tetapi, banyak laki-laki dari kalangan penduduk Yatsrib men-
dengar juga apa yang dikatakan ‘Abdullah bin Ubay kepada Muhammad.
Mereka segera mendatangi ‘Abdullah bin Ubay, lalu memaki-maki dan
memarahinya. Mereka bersumpah kepada Muhammad bahwa mereka
akan tetap memperbolehkan Muhammad mengunjungi rumah-rumah
mereka, sebagaimana ia lakukan selama ini. Tak ada suatu hal yang
lebih disenangi oleh orang-orang, bila dibandingkan dengan perjump-
aannya dengan Muhammad.
Pengikut-pengikut ‘Abdullah bin Ubay memperlakukan orang-orang
Muhajirin dengan cara seperti itu pula. Mereka menyalahkan orang-
orang Muhajirin setiap kali men­dapatkan kesempatan dan melempar-
kan tanggung jawab merajalelanya wabah penyakit demam kepada
mereka. Bahkan mereka mengaku-ngaku bahwa merekalah yang selama
ini telah memberikan tempat bernaung dan memberikan penghidupan
kepada kaum Muhajirin. Dan mereka menyatakan bahwa mereka telah
memberikan Yatsrib yang aman bagi serbuan orang-orang Quraisy dan
sekutu-sekutunya.
Muhammad berusaha menasihati shahabat-shahabatnya agar beru-
saha menahan diri. Akan tetapi, beberapa orang dari kalangan Anshar
tak mampu menahan emosi lagi melihat gelagat yang dilakukan oleh

240 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


orang-orang Yahudi. Mereka akan memukuli orang-orang Yahudi yang
coba-coba menyinggung perasaan orang-orang Muhajirin. Akan tetapi
Muhammad mencegah mereka dan menyuruh memaafkan saja, sebab
di Madinah yang menjadi pusat aktivitas gerakan dakwahnya tidak
layak lagi timbul kekacauan.
Muhammad mempersiapkan satu pasukan yang ber­anggotakan
30 orang. Semuanya berasal dari kalangan Muhajirin yang kapabili-
tasnya dalam menunggang kuda sangat lihai untuk diangkat sebagai
komandannya. Kepada mereka Muhammad memerintahkan untuk
berangkat dan melakukan perondaan di padang pasir di luar daerah
Yatsrib dan melakukan pengintaian terhadap siapa saja yang dicuragai
akan melakukan penyerbuan. Muhammad memerintahkan Ubaidah bin
Haritsah dan Sa‘ad bin Abu Waqqash untuk mengadakan pemantauan di
posisi-posisi lain bersama dengan 80 orang pasukan kuda dari kalangan
orang-orang Muhajirin.
Sejak hari itu tentara-tentara yang telah ditugaskan mengada-
kan patroli di luar kota Yatsrib dan pengintaian di setiap jalan yang
menuju kota Yatrib, agar mereka mengetahui secepatnya jika terdapat
orang-orang yang dicurigai akan melakukan kekacauan di Yatsrib, un-
tuk kemudian segera mereka melaporkan hasil investigasi itu kepada
Muhammad tanpa harus terjadi pertumpahan darah.
Pasukan Ubaidah bertemu dengan rombongan dagang Quraisy yang
cukup besar jumlahnya. Tiga puluh orang dari anggota rombongan
dagang tersebut melarikan diri, lalu mereka mengikuti orang-orang
Muhajirin. ‘Ikrimah bin Abu Jahal, pimpinan rombongan itu marah
sekali. Dia melepas­kan anak panahnya kepada Sa‘ad bin Abi Waqqash.
Sa‘ad bin Abi Waqqash pun mengobati luka-lukanya dan mencabut anak
panah yang menancap di tubuhnya tanpa harus terjebak ke dalam
pertempuran.
Amanat yang diperintahkan Muhammad kepada mereka adalah ti-
dak boleh terlibat pertempuran ketika mereka menjumpai rombongan
dagang orang-orang Quraisy.
Sa‘ad adalah orang yang pertama dari shahabat Muhammad

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 241


yang terkena panah. Sa‘ad! Akan datang suatu hari, di mana engkau
mengembalikan anak panah itu. Karena itu, bersabarlah.
Sementara itu Hamzah bersama pasukannya melakukan patroli
di sekitar tepi Laut Merah tersebut. Di situ tak ada tentara musuh
yang ditemui Hamzah, kecuali rombongan pedagang yang cukup besar
jumlahnya di bawah pimpinan Abu Jahal sendiri. Abu Jahal didampingi
tiga ratus orang yang memanggul senjata. Mereka adalah securitiy
rombong­an dagang tersebut. Ini dia Abu Jahal! Betapa seringnya dia
memicingkan matanya, hingga engkau melukai kepalanya sebagaimana
telah engkau lakukan beberapa tahun silam.
Abu Jahal melimpahkan emosinya dengan ketiga ratus laki-laki itu.
Hamzah hampir saja terjebak ke dalam kancah pertempuran dengan
delapan puluh orang pasukannya. Hanya saja ketika itu ada orang laki-
laki yang amat bijaksana dari suku Juhainah yang bertempat tinggal di
tepi Laut Merah melibatkan diri dalam persolan itu. Ia berusaha mel-
erai kedua kelompok tersebut. Memang Hamzah dan Abu Jahal masih
sama-sama mengendalikan emosinya masing-masing. Maka berhasillah
si laki-laki Juhni itu melerai pertengkaran di antara mereka, kemudian
berlalulah mereka di jalannya masing-masing.
Hamzah pulang kembali ke Yatsrib. Dia mempunyai dugaan kuat
bahwa tidak lama lagi akan datang hari-hari yang membawanya ke
dalam kancah pertempuran. Dia menceritakan kepada Muhammad apa
yang telah ditemui­nya. Oleh karenanya, tak pelak lagi bagi Muhammad
bahwa ia harus memulai mengadakan persiapan untuk me­nyongsong
datangnya aksi pertempuran.

242 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Kemakmuran
membawa krisis internal

B eberapa orang tokoh di Madinah mengatakan:


“Andai saja Muhammad memberikan hak kepada kita, tentu saja
putri dan shahabat-shahabatnya tak akan terserang wabah penyakit.
Tak akan ada sebagian teman-temannya yang gugur dan takkan sampai
wabah penyakit melanda mereka.”
Mereka menyebarkan gosip bahwa dia tidak lain dan tidak bukan hany-
alah tukang sihir, sebagaimana telah dikatakan orang-orang Quraisy.
Hanya saja, sihirnya tidak mempan berjalan mulus.
Apa yang dikatakan para provokator Madinah itu kepada sebagian
pengikutnya tentang Muhammad pada hakikatnya hanya agar timbul
keraguan di hati mereka terhadap eksistensi pribadinya. Dia mengeta-
hui keraguan telah mulai menyerang hati sebagian para pengikutnya,
sebab jika dia memang sungguh-sungguh jujur dengan ajaran yang
dibawanya, mengapa dia tak kuasa menyembuhkan penyakit demam
yang diderita putrinya, Ruqayyah? Mengapa pula dia tak mampu
menyelamatkan hidup sebagian para pengikutnya yang gugur karena
penyakit tersebut?

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 243


Sebagian orang yang konsisten pada pendiriannya datang menemuinya
untuk menyampaikan sikap penolakannya dan keragu-raguan mereka
terhadap semua desas-desus yang mempersoalkan posisi dirinya,
bahkan mereka menyanjung-nyanjungnya. Dia pun lalu mengangkat
kepalanya yang kala itu tengah dibebani berbagai macam persoalan,
lalu berkata kepada mereka dalam keadaan sedih: “Janganlah kalian
menyanjung-nyanjung diriku.”
Seorang laki-laki dari pengikutnya maju ke hadapannya, menentang
orang-orang yang menjadi biang kerok provokasi dan orang-orang yang
meragukan dirinya.
“Bagaimana kita tidak menyanjung-nyajung dirimu, padahal engkau
pemimpin kita semua,” akunya.
Tapi dia berusaha mencegah sikap fanatisme atau kultus laki-laki itu
kepada dirinya. Dia memperingatkan kepada orang-orang yang men-
dengarnya, agar menyingkirkan sikap fanatik kepada dirinya, sebab
sikap ini akan menimbulkan dampak negatif. Dia harus membersihkan
hubungan mereka dengan dirinya dari sanjungan dan pemujaan.
Dia harus mencegah mereka agar tidak menempatkan dirinya di atas
mereka. Dia harus menutup pintu dari pengkultusan mereka terhadap
dirinya, karena dia tidak lain hanyalah manusia biasa seperti mereka
juga, yang biasa keliru dan benar dalam kehidupan. Mereka harus
memandang dirinya dengan jernih dan objektif. Segala problema ha-
rus dimusyawarahkan di antara mereka. Jika mereka bungkam, selain
suara pujian dan sanjungan, maka ajaran-ajarannya akan menjeratnya
pada kebenaran dan kebajikan dalam jeritan-jeritan yang melampaui
agama dan pujian-pujian yang gila-gilaan.
Dia hanyalah manusia biasa. Manusia seperti mereka juga. Dia tidak
memiliki kekuasaan bagi dirinya sendiri untuk mendatangkan keman-
faatan dan menolak kecelakaan. Dia tak dapat menolak datangnya
penyakit atau kematian dirinya sendiri maupun orang lain. Dia menan-
gis, tertawa, merasakan kepayahan, kesegaran, tidur, bangun, marah,
senang, lapar, dahaga, makan, dan berjalan ke pasar tak ubahnya
seperti aktivitas mereka juga. Dia sama sekali tak dapat mengetahui

244 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


hal-hal yang metafisis-supra rasional. Dia bukanlah orang yang dapat
mengalahkan orang lain, sebab di dunia ini tak ada seorang pun yang
memiliki kekuatan untuk mengalahkan orang lain.
Akan tetapi, dari dalam dadanya terpancar ungkapan-ungkapan ber-
cahaya yang menerobos gelapnya kebodohan untuk menerangi semua
jalan setiap orang menuju pada keadilan, kebenaran, ketulusan,
kejujuran, dan kebajikan agar manusia terbebas dari belenggu yang
akan mencam­pak­kannya ke dalam lumpur kenistaan, karena manusia
diciptakan sebagai makhluk yang papa.
Bagian wajahnya pernah tersenak, dan tensi darahnya juga pernah
meninggi. Dia juga pernah jatuh sakit. Karenanya, kepadanya pernah
datang seorang tabib yang biasa mengobati pasien dengan cara menge-
luarkan darah. Tabib itu pun lalu melakukan penyayatan agar darah
kotor yang menggumpal dalam dirinya dapat keluar. Ketika darahnya
telah keluar dari bagian tubuhnya yang disayat, tabib itu hendak
menjilati darahnya (“ngalap berkah”: Jawa –edt.). Namun Muham-
mad melarang keras tabib itu sambil memperhatikan orang-orang di
sekitarnya dengan penuh kemarahan:
“Semua darah haram! Semua darah haram!,” ujarnya melarang.
Setelah siuman dari sakitnya, Muhammad menghadapi situasi aneh
yang menyelimuti Madinah di mana musuh-musuhnya dari kalangan
orang-orang Yahudi dan sekutu-sekutu mereka dari kelompok ‘Abdullah
bin Ubay menye­barkan desas-desus untuk menimbulkan rasa keragu-
raguan tentang dirinya di kalangan-kalangan pengikutnya. Semen­tara
itu pula orang-orang dari kalangan Anshar justru sangat berlebihan
dalam menilai dirinya, sehingga mereka hampir-hampir mengubah
dirinya dikultuskan menjadi Tuhan yang mereka sembah.
Dia menyatakan dengan tegas kepada mereka bahwa ajaran-ajaran
yang dibawanya tidak untuk mengkultuskan dirinya, tapi dia datang
membawa persaudaraan, per­samaan hak, kewajiban, dan keadilan.
Dia datang untuk membebaskan hati setiap orang dari cengkeraman
kekuasan tukang-tukang tenung dan patung-patung, membebaskan
setiap orang dari pemerasan, membebaskan budak-budak dari peda-
gang budak, dan membebaskan pikiran dari kenistaan, kehinaan, dan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 245


ketakutan, agar seluruh potensi seorang tumbuh berkembang dengan
baik untuk memper­kokoh rekayasa insani yang sangat berharga di
permukaan bumi ini.
Dia menuntut manusia untuk beribadat menurut ajaran yang dibawa-
nya. Kendati demikian, dia menuntut agar mengembangkan intelek-
tualitasnya dengan cara mempe­lajari ilmu pengetahuan dan filsafat.
Mereka harus mempelajari ilmu pengetahuan ke berbagai manca
negara, betapapun negara tersebut tidak menganut ajaran yang sama
dengan ajaran-ajaran yang mereka anut, sekalipun semua itu dipe-
lajari di negeri Cina, sebab hanyalah ilmu pengetahuan belaka yang
mampu mengembangkan mereka. Ilmu pengetahuan sajalah yang dapat
memberi suatu keyakinan bahwa tak ada seorang yang lebih utama
daripada orang lain, selain dengan pengetahuan yang memenuhi hati
seseorang. Ilmu pengetahuan itulah yang menjadikan seseorang dis-
egani oleh semua kekuatan tirani yang eksploitatif, selaksa benteng
berdindingkan tembok-tembok yang kokoh.
Oleh karena itulah, dia pernah mengatakan kepada mereka:

“Keutamaan ilmu jauh lebih baik daripada keutamaan ibadah.”


Shahabat-shahabatnya dalam melaksanakan ibadah dengan cara
berlebih-lebihan di mana mereka shalat di malam hari dan berpuasa di
siang hari. Bahkan di antara mereka ada yang tidak menggauli istrinya-
istrinya lagi. Bagaimana ini bisa terjadi, padahal dia datang dengan
ajaran seperti ini. Dia telah menegaskan kepada mereka bahwa dia
sendiri makan, minum, menjalani kehidupan, menggauli istri-istrinya,
dan menikmati rizki yang halal. Agama yang dibawanya adalah sistem
yang mengatur jalinan sosial juga.
Pernah suatu ketika disampaikan kepadanya bahwa si Fulan adalah
orang yang sangat dalam keimanannya, memperbanyak shalat, sha-
daqah, dan puasa. Hanya saja dia suka menyakiti hati tetangganya.
“Dia di neraka tempatnya,” demikian jawab beliau sambil
mengerutkan dahinya.

246 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


g
Suatu ketika Muhammad masuk ke rumah istrinya, ‘Aisyah. Dia
melihat beberapa orang perempuan teman-teman istrinya berada di
sisinya. Di antara mereka ada seorang perempuan yang cantik, tetapi
tampak bajunya kusut tak terurus. Kecantikannya tertutupi oleh kes-
usahan yang teramat mendalam.
Muhammad menanyakan kepada istrinya perihal perempuan itu:
“Apa gerangan yang menyebabkan perempuan itu demikian keadaan-
nya?”
“Dia adalah istri salah seorang shahabatmu. Suaminya selalu ber-
puasa di siang hari dan shalat di malam hari,” jelas ‘Aisyah kepadanya.
Barangkali para istri tidak akan bersikap seperti ini jika para suami
melayani kebutuhan istri dan tidak terlampau menyibukkan diri dengan
aktivitas ibadah.
Sungguh, Muhammad tidak datang dengan membawa ajaran yang
seperti ini. Karena itu, dia mengutus seseorang untuk memanggil
suami si perempuan tadi. Setelah dia berjumpa dengan suaminya,
dia berkata: “Aku dengar bahwa engkau selalu menjalankan puasa di
siang hari dan shalat di malam hari. Jangan engkau lakukan hal itu
terus-menerus, karena fisikmu mempunyai hak; matamu mempunyai
hak; dan istrimu juga mempunyai hak yang harus engkau penuhi.”
Suami perempuan tersebut pun pulang dan menjalankan nasihat
tersebut. Keesokan harinya istri laki-laki tersebut datang kembali ke
rumah ‘Aisyah dengan hati berbunga-bunga; bau wewangian harum
semerbak; dan kedua belah pipinya merah merona; serta aura kehidu-
pan kini telah terpancar di wajahnya.
“Wah, ada apa gerangan yang terjadi?” tanya ‘Aisyah meng-
godanya.
Perempuan itu menjawab pertanyaan ‘Aisyah dengan sorot matanya
yang memancarkan kebahagiaan: “Aku telah merasakan kebahagiaan
sebagaimana orang lain merasa­kannya.”
Demikianlah, Muhammad terus melakukan berbagai upaya untuk

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 247


memecahkan persoalan musuh-musuhnya yang garang dan memberi-
kan solusi kepada pengikut-pengikutnya yang melampaui batas dalam
beribadat.

g
Kehidupan di Madinah setelah itu dihadapi Muhammad dengan
berbagai macam cobaan yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
Ajarannya telah menjadi kuat karena Hamzah dan ‘Umar. Orang-orang
Quraisy dibuat geger semua, ketika kedua pemuda itu bergabung dalam
barisannya. Tapi, tahu-tahu datanglah suatu waktu yang menyeret
kedua pemuda tersebut pada perbuatan-perbuatan yang mereka benci.
Setelah kembali dari perjalanannya yang mempertemu­kannya den-
gan Abu Jahal dan pasukan kuda Quraisy, Hamzah kembali lagi pada
kehidupan malam yang pernah dijalaninya di masa silam, bergelimang
dengan tuak dan gadis-gadis penghibur laki-laki hidung belang.
Hamzah kini telah memasuki usia lima puluh tahun. Lama sudah ia
tinggalkan kehidupan malam. Akan tetapi, sejak kematian menghadan-
gnya secara tiba-tiba di tepi pantai, ia kembali ke Madinah mereguk
hidup bersenang-senang dengan penuh kehausan yang tak ada suatu
apa pun yang melepaskan kedahagaannya. Semalam suntuk ia lewati
dengan minum-minum tuak dengan didampingi dua orang gadis penari
berdarah Israel yang menyanyi dan menghiburnya.
Keesokan harinya Hamzah pergi ke masjid mencerita­kan kecantikan
kedua gadis itu dan bukan rahasia lagi, yang jelas dia menikmati kedua
gadis itu. Ia mengigau, tertawa cekakakan, pergi ke masjid. Mulutnya
bau tuak. Bau wewangian kedua gadis itu masih tersisa harumnya dan
melekat pada tubuh dan wajahnya. Hatinya penuh dengan kenang-
kenangan indah malam itu!
Muhammad menunjukkan sikap ketidak-sukaannya tatkala meli-
hatnya. Tapi Hamzah yang masih mabuk sejak malam itu, melihatnya
dan orang-orang yang ada di sekitarnya dan mengungkapkan kata-kata
yang meremeh­kan mereka: “Kalian semua hanyalah budak-budak nenek
moyangku.”

248 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Pada malam berikutnya Hamzah bersiap-siap me­nyam­but datang-
nya malam yang indah untuk bersenang-senang dengan artis-artis
penyanyi Madinah yang cantik-cantik di rumah-rumah yang disediakan
pemuka-pemuka Yahudi untuk menyambut kedatangan tokoh-tokoh
orang Islam.
Inilah akibat yang ditimbulkan tuak pada sebagian orang! Ini adalah
jebakan-jebakan yang sengaja dibuat mereka.
Muhammad kian keras menganjurkan kepada shahabat-shahabatnya
agar menjauhi tuak. Betapapun di dalam minuman tuak terdapat hal-
hal yang poisitf, tapi dampak negatifnya jauh lebih besar.
Jalan yang ditempuh Hamzah sangat menyesakkan dada Muham-
mad. Hanya saja akhirnya ia sadar dengan sendiri­nya. Ia kemudian
menyatakan penyesalannya di hadapan semua shahabatnya. Ia ber-
sumpah tak akan mendekati mi­numan tuak lagi dan tak akan mendekati
perempuan, selain istrinya sendiri. Ia menangis dalam penyesalan,
hingga terhapuslah semua dosa-dosanya dengan derasnya linangan air
mata. Akhirnya, Muhammad meringankan beban batinnya.
Belum beberapa lama Muhammad terbebas dari persoalan Hamzah,
tahu-tahu Abu Bakar datang kepadanya dan mengadukan perihal ‘Umar
bin Khaththab. Keduanya terlibat dalam perselisihan pendapat tentang
suatu masalah di mana Abu Bakar memarahinya. Tapi, justru ‘Umar
lebih marah lagi kepadanya seolah-olah Abu Bakarlah yang bersikap
keterlaluan terhadap ‘Umar. Karena itulah, Abu Bakar bermaksud me-
minta maaf kepadanya. Akan tetapi, ‘Umar menolak keras permintaan
maafnya.
Mungkinkah hal itu terjadi pada orang-orang yang paling dekat
dengan diri Muhammad?
Hanya saja ‘Umar bin Khaththab datang kepada Muhammad sesu-
dah kedatangan Abu Bakar. Akhirnya, Muhammad mengatakan kepada
‘Umar sambil menatap orang-orang yang berkerumunan di sekelil-
ingnya: “Abu Bakar adalah orang yang mempercayai diriku dengan
jiwanya dan harta kekayaannya ketika kalian semua mendustakan
diriku. Apakah kalian semua akan meninggal­kan temanku?”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 249


Akhirnya, hubungan setia kawan antara ‘Umar dan Abu Bakar ter-
jalin mesra kembali.
Perselisihan-perselisihan lain timbul di kalangan orang-orang Mu-
hajirin. Persengkataan itu berpangkal di seputar masalah batas-batas
tanah yang mereka garap. Muhammad meminta kepada mereka untuk
tidak bersengketa, tidak bercerai-berai, dan tidak tertipu oleh rayuan
harta benda. Harta benda adalah fitnah.
Semua orang Yahudi Yatsrib telah menipu mereka. Dan dia memer-
angi desas-desus. Dia memerangi kesulitan dan akhirnya dia memerangi
harta benda.
Orang-orang Yahudi Yatsrib tak akan membiarkan adanya golongan-
golongan dari kalangan Muhajirin yang kaya-raya dan orang-orang
yang kuat dalam perdagangan. Memang tak ada orang yang mampu
menandingi kepiawai­an orang-orang Quraisy dalam hal perdagangan.
Bahkan kini, salah seorang dari mereka ada yang sudah melebihi
kekayaan orang-orang Yahudi, seperti ‘Abdur Rahman bin ‘Auf.
Orang-orang Yahudi merencanakan sebuah strategi untuk meng-
hancurkan sistem perekonomian yang baru itu dengan cara membuat
kontrak-kontrak perdagangan palsu di pasar Bani Qainuqa’. Dengan
demikian, sudah dapat dipastikan pedagang-pedagang Muhajirin dan
Anshar akan menderita kerugian.
Di Madinah tak ada pasar lagi, selain pasar Bani Qainuqa’. Oleh
karena itu, Muhammad memerintahkan kepada para pedagang muslim
untuk membangun pasar-pasar baru yang tidak boleh disusupi oleh
para spekulan Yahudi dan kelompok ‘Abdullah bin Ubay yang akan
menghancurkan perekonomian mereka.
Mereka pun membangun pasar baru. Aktivitas per­dagangan mulai
digiatkan dan mulai ramai. Banyak pedagang asing yang datang ke
pasar baru itu. Pedagang-pedagang asing lebih banyak yang memilih
pasar baru itu, karena sistem perdagangan yang diterapkan lebih adil
dan lebih terjamin bagi penjual maupun pembeli.
Tata aturan perdagangan di pasar baru ini diinstruksikan oleh Mu-
hammad dengan instruksi yang berbunyi: “Tidak boleh membungakan

250 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


uang, tidak boleh curang, dan tidak boleh menjual suatu barang yang
tidak ada.”
Penjual bertanggung jawab atas keselamatan barang yang dijual.
Pembeli mendapat jaminan cacat barang-barang yang dibelinya. Keadi-
lan dan saling menghormati hak seorang berimbang adalah dasar tata
aturan yang berlaku di pasar baru ini. Selanjutnya, dia menekankan
pentingnya bersikap baik dalam melakukan kontrak-kontrak perdagan-
gan dengan orang-orang yang tak mampu. Muhammad mengatakan:

“Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang lain yang sedang


dalam kesulitan, maka dia akan memperoleh kemudahan di dunia dan akhirat.
Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu mau menolong
saudaranya.”
Kemudian dia menjanjikan kepada orang-orang yang berkenan membe-
baskan sebagian piutangnya kepada orang yang berutang yang kesulitan
melunasinya, bahwa:

“Allah akan menaunginya kelak pada hari Kiamat di bawah naung­an ‘Arsy-
Nya, pada saat tiada naungan, kecuali naungan-Nya.”
Dia juga menjanjikan kepada mereka bahwa:

“Barang siapa yang melepaskan kesulitan orang lain, do‘anya akan senan-
tiasa dikabulkan Allah dan dia akan diberi jalan keluar dari kesulitannya.”
Di pasar yang baru berdiri ini terdengar suara nyaring ajakan para
pembawa kabar gembiara agama baru. Para pedagang asing menilai
sistem perdagangan yang berlaku sebagai sistem yang paling layak
untuk diikuti dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang pernah
mereka ketahui. Dengan demikian, kepercayaan yang membentuk budi
pekerti orang-orang mukmin sangat pantas dan sesuai untuk diterima
secara yakin di setiap hati orang.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 251


Beberapa pedagang asing telah menyatakan masuk Islam. Para
pemuka pedagang Yahudi mempunyai dugaan kuat bahwa sistem
kepercayaan ini dan ajaran-ajarannya dalam soal jual beli, sangat
memungkinkan untuk disebar­kan di berbagai suku dan kota-kota Arab
lainnya dan menarik perhatian orang-orang untuk menerimanya. Hal
ini jelas akan berdampak negatif terhadap mereka, bahkan hal ini bisa
menghancur-luluhkan kepentingan bisnis mereka.
Ada kesamaan dalam kepentingan antara pemuka-pemuka peda-
gang Yahudi di Madinah dan pemuka-pemuka pedagang Quraisy di
Makkah. Mereka berusaha melakukan pencegatan terhadap suku-
suku yang bermaksud akan mendatangi pasar baru ini, termasuk juga
mencegat agar tidak mengunjungi Muhammad.
Mereka juga berupaya keras mencegat para penyair dari berbagai
suku untuk mengunjunginya. Pasar Madinah menarik minat kalangan
para penyair untuk mengunjungi­nya. Para pedagang muslim bertekad
akan menyaingi pasar Makkah. Karenanya, didirikanlah podium-podium
kepada mereka sebagai tempat para penyair untuk melantunkan syair-
syairnya yang baru digubah.
Para penyairlah yang mengungkapkan penderitaan suatu suku dan
kehebatan-kehebatannya. Sang penyairlah yang mengangkat nama
suatu suku di atas suku-suku yang lain dengan untaian kata-kata yang
memukau dan menggetar­kan. Kata-kata sang penyair itu kemudian
menyelusup ke dalam nalar para pendengarnya, lalu sampai kepada
generasi demi generasi secara turun-temurun.
Jika sampai ada seorang kondang mengunjungi Madinah, lalu dia
memeluk ajaran-ajaran Muhammad atau sebagian pengikut-pengikut-
nya yang kaya memberikan harta yang diinginkan, kemudian si penyair
tersebut pergi melantunkan puisi-puisinya tentang Muhammad dan
ajaran-ajarannya, sudah tentu ajaran-ajaran Muhammad akan terse-
bar luas di Semenanjung Arabia dan untaian kata-kata yang indah
memukau itu akan menyelusup ke dalam hati sanubari setiap orang.
Muhammad sendiri menyadari kedahsyatan kata-kata yang ber-
bentuk puitis. Karena itu, dia menyuruh seorang penyair Hassan bin

252 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Tsabit untuk menggubah sebuah puisi. Muhammad tahu persis pengaruh
kata-kata dan peranan­nya dalam mendorong dan membela keper-
cayaannya. Dia berharap penyair-penyair kondang lainnya bergabung
dengan Hassan.
Akan tetapi, saudagar-saudagar Yahudi dan Makkah yang tahu persis
bahaya para penyair dalam suatu pertempuran, akhirnya membuat
suatu kesepakatan untuk menghalang-halangi Muhammad untuk men-
jalin hubungan dengan para budayawan terkemuka yang mempunyai
pengaruh kuat di bidang kesusastraan
Menghadapi ancaman-ancaman mereka, Muhammad telah cukup
banyak bersikap sabar. Akan tetapi, dia tak akan membiarkan mer-
eka merintangi kontak-kontak dengan para penyair, sebab dia adalah
orang yang sangat menggandrungi soal-soal kebudayaan dan pengagum
budayawan-budayawan. Dia sangat memahami pengaruh para penyair.
Dia berharap akan menjadi kuat dan menang lantaran peran serta para
penyair itu.
Dia memperlakukan Hassan bin Tsabit dengan perlakuan istimewa
yang tidak diketahui oleh orang yang paling dekat dengan dirinya,
bahkan Abu Bakar sekalipun. Sedikit banyak dia memahami arti pent-
ing Hassan dalam melancarkan serangannya lewat gubahan-gubahan
puisinya. Dia mengu­kuhkan kepada Hassan bahwa tugas dan peranannya
dalam agama baru ini adalah menggubah dan membacakan puisi-puisi.
Tugas yang harus dijalankan Hassan ini dimaksudkan untuk meringankan
tanggung jawab yang harus ditunaikan oleh para penyair lainnya.
Suatu ketika datanglah seorang laki-laki muslim ke hadapannya,
mengecam keras perilaku Hassan bin Tsabit yang suka minum tuak.
“Sudahlah! Kamu tak perlu mengecamnya. Sekalipun begitu, dia
sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya,” demikian tanggapan Muham-
mad.
Shahabat-shahabat Muhammad akhirnya memper­laku­­kan pe-
nyair Hassan dengan penghormatan yang istimewa. Mereka tahu, sang
penyair itulah yang paling lantang suaranya menggambarkan potret
kepercayaan baru ini. Dialah sang penyair yang menjadi kebanggaan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 253


mereka di tengah berbagai bangsa dan suku. Mereka juga berharap
akan menjadi kuat dan terhormat karena penyair-penyair lain yang
setara dengan profesionalitas Hassan bin Tsabit.
Mudah-mudahan para penyair yang lain, seperti Umayyah bin Shalt,
akan bergabung dalam barisan orang-orang Islam. Akan tetapi, di Thaif,
sejak suku Tsaqif mengusir Muhammad, mereka tetap menyimpan
rasa kebencian; dan mereka telah menjadi sekutu dekat orang-orang
Quraisy.
Malik bin Zuhair, yah…mudah-mudahan saja terbuka pintu hatinya
untuk menerima kepercayaan yang baru ini.
Sementara A‘sya adalah seorang penyair yang suaranya bergema
dalam membacakan puisi-puisinya laksana irama simbal-simbal yang
merdu. Andaikata ia datang juga kepada mereka, maka gunung-gunung
dan lembah-lembah akan bergema ikut melantunkan ajaran-ajaran
mereka berulang-ulang. Dan, gadis-gadis pingitan serta budak-budak
perempuan di tempat hiburan, akan turut pula mengalunkan tem-
bang-tembang tentang ajaran mereka. Sementara itu, jagoan-jagoan
penunggang kuda Arab akan tenggelam dalam kebencian yang tak
bermuara.
Pengikut-pengikut Muhammad tidak lama menunggu kedatangan
para penyair itu, betapapun utusan-utusan yang dikirim oleh orang-
orang Quraisy berupaya mencegat dan membujuknya dengan imbalan
harta yang melimpah.
Namun tidak semua penyair dapat dibujuk dengan umpan harta.
Ada juga penyair yang tidak silau dengan iming-iming harta kekayaan.
Tak ada sesuatu pun yang dapat mencegah kepergiannya dalam upaya
mencari suatu kebenaran, baik harta maupun hukuman dera. Sang
penyair akan tetap melangkahkan kakinya ke suatu tempat yang jauh
bersama seluruh kerinduannya dan kegelisahan batinnya.
Kegelisahan itu menghujani hati Umayyah bin Shalt. Tapi ia enggan
menemui Muhammad, karena dirinya merasa sebagai penyair terkemuka
yang lebih berhak dari Muhammad dan lebih layak mengembangkan
ajaran-ajaran ini.

254 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Sementara itu Malik bin Zuhair, awalnya menentang ajaran-ajaran
Muhammad. Sebagai suatu cara agar dia tidak direkrut oleh orang-orang
Islam untuk membela mereka, maka dia melakukan pengejekan dan
kecaman-kecaman yang menjelek-jelekkan mereka. Karenanya,
mengalirlah harta benda dan kepingan-kepingan emas yang dibawa
kurir-kurir hartawan Yahudi dan hartawan Makkah kepadanya.
Tapi A‘sya menemukan obat penawar kegoncangan batinnya dalam
ajaran baru ini. A‘sya adalah seorang penyair yang selalu menyelidiki
apa-apa yang tidak diketahui. Dia mengungkapkan segala sesuatu yang
ditangkap pandangan matanya dan dibencinya. Dia selalu berpindah-
pindah dari satu negeri ke negeri yang lainnya melantunkan syair-syair
tentang kehidupan; dan orang-orang merasa terbuai syahdu dengan
syair-syair yang dialunkannya. Dia banyak memper­oleh harta dari
pemberian pemuka-pemuka masyarakat yang berlomba-lomba me-
nyambut kedatangannya dan menjamunya dari satu negeri ke negeri
yang lain dan dari gadis-gadis penghibur ke gadis-gadis penghibur yang
baru, melanglang buana bersama minuman tuak yang mahal, sambil
mengungkapkan kebahagiaan dan kesenangan. Seluruh hidupnya
bergelimang dalam minuman tuak dan gadis-gadis penghibur.
Di tengah-tengah pengembaraannya, A‘sya mendengar berita ten-
tang Muhammad, tentang pasar Madinah, dan tentang ajaran-ajaran
yang dibawa laki-laki itu. Dia memutuskan akan melakukan penyeli-
dikan terhadap informasi-informasi yang diterimanya. Dia berangkat
untuk menemui Muhammad, yaitu sosok manusia yang menjadi tema
pembicaraan teman-temannya di pasar-pasar dengan perlindungan
orang-orang yang rela mati.
Dia menggubah syair-syair panjang yang isinya menya­­ta­kan sump-
ahnya untuk pergi tanpa akan mengenal rasa belas kasihan kepada
unta yang ditungganginya, hingga dia dapat berjumpa dengan orang
yang bernama Muhammad. Namun rencana kepergiannya untuk men-
emui Muhammad telah diketahui oleh orang-orang Quraisy. Karenanya,
segera ditugaskanlah orang-orang yang akan mencegah kepergi­annya.
Mereka berusaha menarik kekang untanya, tapi dia menghardik mer-
eka. Dia minta agar mereka membiar­kan untanya pergi, karena ia

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 255


punya janji dengan warga Yatsrib.
Lalu mereka mencoba mengumpannya dengan harta. Ternyata
umpannya tak berhasil juga. Akhirnya, mereka membujuk dengan
lemah-lembut.
“Abu Bashir! Dia, Muhammad, itu melarang perzinaan.”
Mereka menggambarkan kepadanya mengenai larangan-larangan
yang harus dia hindari dalam naungan ajaran-ajaran baru itu, tak
dapat berkencan lagi dengan perempuan-perempuan penghibur dan
tak bebas lagi berganti-ganti pasangan; selamanya dengan seorang
istri saja.
A‘sya berpikir sejenak tentang kehidupannya di masa silam yang
terus-menerus berganti-ganti pasangan dari perempuan penghibur
yang satu ke perempuan penghibur yang lain. Gelas-gelas kesenangan
telah direguknya hingga dirinya mabuk. Maka tak apalah jika kini dia
harus hidup bersama satu orang istri saja.
“Abu Bashir! Dia, Muhammad, itu melarang minum minuman
keras,” demikian lanjut salah seorang di antara mereka memprovo-
kasinya.
“Nah, kalau soal ini, rasa-rasanya aku belum siap meninggalkan-
nya. Tapi, biarlah akan aku puaskan minum-minum dulu untuk tahun
ini, baru aku akan datang kepada Muhammad,” demikian ucap A‘sya
sambil menarik kembali kekang untanya, pulang kembali.
Tapi A‘sya tak pernah menemui Muhammad. Dia minum dan mi-
num terus. Dia dihantui oleh perasaan bahwa dia tidak akan pernah
mereguk tuak kesenangannya selamanya, sehingga akhirnya dia jatuh
sakit, kemudian menemui ajalnya.
Muhammad mendengar peristiwa yang terjadi pada diri A‘sya itu,
padahal ketika itu tuak masih belum dilarang secara tegas. Hanya saja
dia menganjurkan kepada orang-orang agar tidak menikmati minuman
keras, karena lebih besar kerugiannya daripada manfaatnya.
Orang-orang Islam merasa sedih atas kepergian seorang buday-
awan terkemuka, karena tak mudah mencari orang yang kualitasnya

256 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


sekaliber A‘sya.
Orang-orang Quraisy melakukan blokade baru pada orang-orang
Islam, yaitu melakukan tindakan pencegatan terhadap penyair-penyair
kondang yang akan menjumpai mereka. Langkah ini ditempuh ketika
bujukan orang-orang Quraisy kepada penyair-penyair itu sudah tidak
ada artinya apa-apa.
Langkah-langkah strategis yang sangat membahayakan dari perang
fisik ini harus dihadapi dengan langkah-langkah yang sama pula, juga
harus timbul kesan di kalangan orang-orang Quraisy, bahwa mereka
saat ini sudah menjadi suatu kelompok yang memiliki kekuatan yang
tak dapat begitu saja diserang. Orang-orang Quraisy harus memper-
hitungkan kekuatan mereka.
Semua trik-trik ini bersumber dari orang-orang Quraisy, sedan-
gkan di interen Yatsrib, orang-orang Yahudi, ‘Abdullah bin Ubay,
dan kelompoknya melakukan trik-trik juga. Syair-syair Zuhair bin
Malik menyebarkan celaan-celaan kepada Muhammad, shahabat-
shahabatnya, dan para pendukung­nya. Di kampung-kampung Yahudi
Madinah, tersebut juga syair-syair ejekan lainnya yang digubah oleh
penyair-penyair Yahudi.
Muhammad memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk menangkis
syair-syair dari pihak musuh-musuhnya. Maka Hassan pun menangkis
semua syair-syair itu dengan ungkapan-ungkapan sangat kotor. Seba-
gian teman-teman Muhammad merasa keberatan terhadap syair-syair
yang berisikan ungkapan-ungkapan kotor tersebut, tapi Muhammad
membiarkan Hassan mengungkapkan kata-kata sekehendak hatinya.
Dia memberikan kebebasan kepada Hassan untuk menakar syair-syair
balasan buat musuh-musuhnya menurut takaran Hassan sendiri.

g
Orang-orang Muhajirin tidak lagi menempuh cara-cara ini betapa-
pun Muhammad sangat mencintai mereka.
Sejak peristiwa Hamzah, tak ada lagi orang minum minuman tuak
secara berlebih-lebihan. Setelah hubungan Abu Bakar dan ‘Umar baik

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 257


kembali, tak ada lagi orang yang bermusuhan hingga dalam bentuk
permusuhan kesumat. Tapi, kondisi jiwa rakus tidak pernah lenyap-
lenyap juga dari hati para pengikutnya. Orang-orang dari kalangan
Muhajirin masih saja melakukan pelanggaran batas-batas tanah milik
orang lain.
Impian-impian menjadi orang kaya telah memenuhi kepala sebagian
orang-orang Muhajirin, setelah mereka memperoleh keuntungan dari
pertanian. Di antara mereka ada yang sudah mulai merasakan kes-
enangan, setelah sekian lama mereka di Makkah mengalami tekanan
dan me­nanggung siksa. Di antara mereka ada yang berebut peluang
untuk meraih kenikmatan baru supaya menjadi orang kuat. Sementara
itu dalam menata sistem organisasi Madinah, Muhammad mengangkat
beberapa orang yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk menduduki
posisi-posisi tertentu menurut tugasnya.
Dengan adanya pengangkatan pejabat-pejabat ini, muncullah
sekelompok orang yang melakukan pendekatan-pendekatan dan beru-
saha memperoleh keuntungan secara korup. Kini, mulai muncul juga
orang-orang yang menuntut imbalan sebagai ganti dari beban tugas
yang diembannya dalam rangka menegakkan ajaran baru ini. Untuk
beberapa waktu, mereka menjalankan tugas sambil menuntut imba-
lan kerja mereka. Di antara mereka ada juga yang iri pada apa yang
diperoleh saudara sesama muslimnya.
Jalan masih panjang dan sulit, penuh dengan hal-hal yang me-
letihkan. Muhammad menasihati mereka semua agar hatinya tidak
dipenuhi, selain cinta kasih. Jangan sampai di dalam hati seorang
hamba bersemayam keimanan dan kedengkian menjadi satu.
Dia menegaskan kepada mereka bahwasanya orang yang terbaik
di antara mereka adalah orang yang menjalankan kepercayaan dan
keyakinannya secara maksimal dan totalitas. Sebaliknya, kerakusan
dalam meraih kesenangan hidup duniawi dapat merusak hati; dan
kedengkian akan menelan seluruh amal kebajikan seperti api melalap
padang rumput yang kering.
Dia memerintahkan juga kepada mereka agar senan­tiasa menolong

258 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


sesama saudara muslimnya, karena manusia yang paling utama bu-
kanlah orang yang terkaya, bukan pula orang yang tertinggi pangkat
dan kedudukannya. Manusia yang paling utama adalah manusia yang
paling terpelihara kedua belah tangannya dari melakukan pelanggaran
hukum dan paling taqwa hatinya. Dia sangat menekankan juga agar
mereka mengisi hati mereka dengan nilai-nilai terpuji, bukan karena
kerakusan terhadap harta dan tahta.
Kini ajaran-ajarannya mendapat tempat yang baik di hati orang
banyak. Namun demikian, betapapun dia telah mengatakan semua itu
kepada beberapa orang Muhajirin, pada suatu hari dia dikejutkan den-
gan orang yang mencuri dua buah baju besi milik temannya. Ternyata
di tengah gencarnya saran-saran dan peringatan, masih marak juga
terjadi aksi pencurian. Dengan fenomena ini, Muhammad memerin-
tahkan untuk memotong tangan pencuri jika jelas-jelas melakukan
pencurian. Inilah ajaran yang dibawanya.
Orang-orang yang menaruh sentimen pribadi, menuduh salah
seorang di antara mereka yang telah melakukan pencurian, maka
timbullah sikap saling menuduh dan saling mencurigai. Sementara di
balik semua ini, orang-orang Yahudi mengipas-ngipas api permusuhan
dan menumbuhkan kebencian di antara muslim yang satu dengan
muslim yang lainnya. Semua itu mereka lakukan untuk menimbulkan
kesulitan pada Muhammad.
Muhammad menegaskan, Barangsiapa yang memberi kesaksian
palsu, maka akan dijatuhi pidana. Barangsiapa yang menuduh orang
lain tanpa diperkuat dengan bukti-bukti yang dapat diterima secara
yuridis, dia akan dijatuhi pidana. Barangsiapa yang menyebar-luaskan
berita-berita yang tak dapat dipertanggung-jawabkan validitasnya,
maka akan dijatuhi pidana juga.
Demikian pula, Barangsiapa yang menuduh orang lain, maka dia
harus dapat membuktikan tuduhan tersebut. Dia menangani sendiri
kasus pencurian itu. Dia memasuki suatu kasus yang pelik yang dapat
memancing emosinya. Seseorang menuduh orang lain tanpa mem-
berikan bukti maupun saksi-saksi. Muhammad lalu melakukan intero-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 259


gasi kepada pihak tertuduh, tapi keluarga dekat tertuduh tidak mau
menerima tuduhan itu. Mereka memandang bahwa penyelidikan yang
dilakukannya terhadap pihak tertuduh merupakan bagian dari bentuk
penghinaan.
Kedatangannya di Madinah telah berhasil menumbuhkan rasa sal-
ing mencintai di hati orang-orang yang saling bermusuhan, tapi kini,
orang-orang yang ikut serta mengungsi bersama dirinya justru terjebak
ke dalam permusuhan. Di antara orang-orang Muhajirin sudah mulai
ada yang berani mengungkit-ngungkit jasa pengorbanan dirinya dan
menuntut diberlakukannya qishash terhadap orang-orang yang mem-
buat kasak-kusuk kepada dirinya, sedangkan kebenaran sulit untuk
dibuktikan, sebab pencuri yang sebenarnya pastilah tidak mau mengaku
terus-terang apa yang telah diperbuatnya.
Muhammad melakukan usaha secara maksimal untuk menangkap
pelaku pencurian yang sebenarnya, kemudian akan menjatuhinya
pidana agar menjadi jelas persoalan yang sebenarnya dan terbebaslah
orang-orang yang diduga sebagai pelaku pencurian. Di samping itu,
agar tidak terjadi pencurian lagi.
Saat bergolaknya percekcokan mengenai persoalan ini, tiba-tiba
pelaku pencurian yang sebenarnya meloloskan diri, pulang kembali ke
Makkah, berlindung di rumah seorang bekas kekasihnya sebelum dia
masuk Islam, karena dia sudah tidak punya apa-apa lagi di Makkah;
tidak punya harta dan tidak punya rumah. Tapi, orang-orang Quraisy
menyerahkan kembali semua miliknya lagi kepadanya.
Gejolak sosial ini membakar hati penyair Hassan, maka dia pun
melantunkan syair-syair tentang orang-orang yang melakukan pencu-
rian dan orang-orang yang mengobarkan api kebencian. Dia menyindir
pelarian pencuri itu ke Makkah. Dia menyebut-nyebut juga perempuan
yang telah memberi penampungan kepada pencuri itu. Dia menyebar-
luaskan syair-syairnya kepada publik.
Syair-syair gubahan Hassan yang berbicara tentang pencurian itu
tersebar luas, sehingga banyak pemuda-pemuda Quraisy yang hafal.
Pemuda-pemuda Quraisy lalu memperdengarkan syair-syair kepada si
perempuan yang menampung pencuri itu; dan perempuan itu men-

260 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


datangi temannya yang melakukan pencurian sambil memaki-maki:
“Aku telah tahu segalanya dari syair-syair Hassan!” Selanjutnya,
perempuan itu melemparkan pencuri itu ke luar rumah setelah sebe-
lumnya ia menarik kaki si pencuri bekas kekasihnya itu.

g
Dalam kondisi yang demikian, Muhammad mampu menjaga
stabilitas keamanan Madinah dari gangguan-gangguan musuh. Di
tengah-tengah bergejolaknya problema yang cukup menghebohkan
ini, dia harus mampu meng­hadapi orang-orang Quraisy dengan segala
kekuatan mereka. Dia harus menunjukkan pamornya kepada orang-
orang Quraisy, agar mereka tak mencegah orang-orang yang menemui
dirinya, termasuk juga para penyair, dan tidak lagi memberikan support
kepada orang-orang yang mencaci-maki dirinya serta tidak memancing
timbulnya konflik di Madinah.
Dia harus mengirim pasukan-pasukan agar dapat menyelidiki secara
seksama gerak-gerik pihak Quraisy dan menjaga keamanan padang
pasir di sekitar Madinah. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya
serangan mendadak dari pihak Quraisy dan suku-suku yang bersekutu
dengan orang-orang Quraisy, sangat kecil.
Di tengah kemelut yang menghantam secara bertubi-tubi, dia harus
siap-siap mengendalikan hati orang-orang yang sudah mulai menam-
pakkan sikap ramah dan lemah-lembut, setelah melalui hari-harinya
yang menuntut pada perjuangan mati-matian.
Orang-orang Yahudi melakukan trik-trik. ‘Abdullah bin Ubay dan
kelompoknya menebarkan benih-benih per­musuhan. Sementara itu,
orang-orang Muhajirin sibuk mengumpulkan harta kekayaan, bahkan
di antara mereka ada yang tidak segan-segan mendepak kedudukan
saudara­nya. Sebagian orang-orang yang berjuang dengan gagah be-
rani pada permulaan gerakan dakwah, kini enak-enak tidur, padahal
orang-orang Quraisy sudah mulai mengadakan persiapan penyerbuan
kepada mereka.
Muhammad tiada henti-hentinya mengingatkan mereka tentang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 261


jalan panjang yang harus mereka tempuh secara bersama-sama,
kendati duri-duri, batu-baru terjal, dan segala aral melintang akan
menghadang mereka.
Mereka harus bersiap-siap menghadapi hari-hari yang akan datang
yang penuh berbagai kesulitan. Namun Barangsiapa yang terjun ke
medan laga, lalu dia gugur dalam medan pertempuran karena membela
keyakinannya, maka dia memperoleh ganti ladangnya dengan sebuah
kebun di akhirat kelak. Rumah tempat tinggalnya akan diganti dengan
sebuah singgasana megah. Bidadari-bidadari yang cantik molek yang
tiada taranya akan menjadi ganti istrinya ketika di dunia.
Hidup ini hanyalah sementara; suatu saat manusia akan mening-
galkannya, sebab setiap manusia pasti akan mati. Tetapi mati di medan
pertempuran adalah kematian yang terhormat. Mereka berperang
bukanlah karena terdorong oleh sikap rakus untuk menjajah Quraisy,
melainkan berperang untuk mempertahankan keberadaan mereka dan
membela ajaran-ajaran yang mereka yakini dan cintai.
Mereka akan bertempur untuk membela masa depan. Mereka harus
senantiasa menyadari bahwa setiap manusia pada saatnya akan ber-
hadapan dengan kematian. Pada saat kematian, tiada lagi yang akan
mengiringinya ke tempat istirahat panjangnya dalam kubur, kecuali
tiga hal: yaitu keluarganya, hartanya, dan amal-amalnya. Namun,
sanak familinya akan pulang kembali pada kehidupannya masing-
masing; harta bendanya akan dibagi-bagi; dan tiada lagi yang tinggal
bersamanya, selain amalnya.
Muhammad menjelaskan ajaran-ajaran ini kepada orang-orang
Muhajirin dan Anshar. Maka ajaran-ajaran ini pun mulai menyentuh
hati sanubari mereka yang paling dalam dari hari ke hari, menggeser
nafsu haus kekuasaan, harta kekayaan, dan lahan-lahan pertanian.
Di sebagian hati para pengikutnya telah penuh dengan keyakinan ini,
meresap ke dalam tulang-tulang sumsum, menumbuhkan kerinduan
akan datangnya suatu hari di mana bunyi benturan pedang berdenting
keras dalam sebuah pertempuran untuk merebut dan mempertahankan
masa depan kebenaran.

262 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad sendiri yang pergi menjadi komandan pasukan-pasukan
itu, kemudian pulang kembali ke Madinah dengan tenang.
Setiap kali melakukan patroli, dia menunjuk seorang yang diperin-
tahkan menduduki posisinya dari kalangan orang Islam kebanyakan. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari adanya sikap merasa paling tinggi
dari kalangan orang-orang yang beriman terlebih dahulu kepadanya
atau dari kalangan keluarga dekatnya sendiri.
Orang-orang Yahudi menangkap adanya gerakan-gerakan baru
untuk membangkitkan semangat berjuang di hati setiap orang Islam.
Karena itu, mereka mencoba melakukan trik-trik yang baru lagi. Seba-
gian laki-laki dan perempuan Yahudi ada yang ahli dalam bidang ilmu
sihir, yang ketika itu sihir merupakan kekuatan misterius yang mampu
menguasai akal sebagian orang. Seorang perem­puan Yahudi mencoba
menyihir Muhammad agar lumpuh dan impoten.
Dia memang sempat merasakan suatu kesulitan, lantaran sihir itu,
tapi dia berusaha melawan kekuatan sihir itu. Dia tetap saja mengo-
mandani patroli dan kembali lagi ke Madinah sebagaimana biasanya.
Dia datang seolah-olah mengejek sihir itu. Hanya saja dia benar-benar
tidak dapat menggauli beberapa istrinya. Saudah, istrinya yang telah
berusia lanjut, harus bersabar dalam rentang waktu beberapa bulan
lamanya lantaran sihir tersebut. Sementara ‘Aisyah, istri mudanya
yang masih sangat belia, juga harus menanggung beban berat dalam
beberapa bulan lamanya, tapi ‘Aisyah punya akal. ‘Aisyah meminta
kepadanya untuk berbuat sesuatu yang dapat menolak kekuatan sihir
yang sudah menyerang dirinya. Maka dilaksanakanlah suatu cara me-
nolak kesan pengaruh sihir tersebut dengan cara menampakkan kepada
orang-orang bahwa hubungan Muhammad dengan istrinya mesra-mesra
saja. Muhammad membiarkan istrinya, ‘Aisyah, duduk bersandar den-
gan dagunya pada bahunya di hadapan semua orang. Sementara itu,
rambut ‘Aisyah menyentuh pipinya, sambil menonton tabuhan-tabuhan
rebana yang dimainkan orang-orang Habsyi di halaman masjid.
Dia yakin orang-orang Yahudi pasti memfokuskan perhatiannya
pada persoalan sihir-menyihir saat Muhammad berada dalam kesulitan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 263


mengembangkan dakwahnya. Dalam keadaan bagaimanapun, ia yakin
dirinya sembuh dari pengaruh sihir itu, tapi semua itu hanya dugaan
dirinya belaka. Namun ‘Aisyah terus mendesak agar mencari jampi-
jampi atau apa saja yang dapat menolak kekuatan sihir itu; dan ia
harus mengambil tindakan pada para pelaku penyihiran tersebut.
Muhammad tak menugaskan seseorang, selain agar mengadakan
persiapan menyongsong serangan orang-orang Quraisy dan sekutu-
sekutunya. Timbullah permusuhan terhadap Madinah dan pedagang-
pedagangnya, mengantar­kan Muhammad pada suatu masa sulit untuk
menutupi lubang-lubang intern Madinah dan merapikan barisan yang
terjalin baik dan kokoh.
“Aku tidak ingin membalas keburukan kepada orang lain,” ucapnya
kepada ‘Aisyah.
Dia menyiapkan pasukan tentara di bawah komando ‘Abdullah bin
Jahsy dan tujuh orang lainnya dari kalangan Muhajirin, termasuk pula
di dalamnya ada Sa‘ad bin Abi Waqqash. Kepada komandan pasukan,
dia memberikan sepucuk surat yang berisi saran agar tidak membuka-
buka surat tesebut, kecuali setelah menempuh perjalanan selama dua
hari.
Dia sendiri kembali pulih pada keadaan semula, hidup sehat
setelah berhari-hari dalam keadaan kondisi fitalitas tubuhnya sedikit
terganggu. Kini, hidup ‘Aisyah tenang kembali. Senyum kegembiraan
sebagaimana hari-hari sebelumnya, kini merekah lagi.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, ‘Abdullah bin Jahsy
membuka surat instruksi tersebut. Ternyata, surat tersebut berisikan
instruksi agar dia bersama anggota pasukannya menuju ke suatu daerah
dekat Makkah yang bernama Nakhlah untuk mengadakan peng­intai­an
terhadap orang-orang Quraisy, kemudian pulang kembali ke Madinah
dengan membawa informasi mengenai orang Quraisy. Dalam surat
tersebut, diinstruksikan juga kepada ‘Abdullah agar tidak memaksa
anggota pasukannya. Barangsiapa di antara mereka ada yang mau
pulang kembali, dipersilakan saja, sedangkan bagi mereka yang rela

264 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


gugur sebagai syahid, silakan maju terus.
‘Abdullah bin Jahsy dan anggota pasukannya sudah berada di lem-
bah Nakhlah. Ada serombongan pedagang kecil melintas bertemu den-
gan mereka, membawa kulit dan kismis. ‘Abdullah bersama pasukan-
nya menyergap rom­bongan tersebut. Pasukannya berhasil membunuh
beberapa orang, menawan dua orang, dan merampas barang-barang
dagangannya. Mereka, sepasukan tentara di bawah komando ‘Abdul-
lah, lalu kembali ke Madinah. Dari pihaknya, dua anggota pasukannya
tertangkap pihak musuh. Salah seorang di antaranya adalah Sa‘ad bin
Abi Waqqash.
Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab, bulan yang lazim di
kalangan orang-orang dijadikan sebagai waktu sakral untuk mengun-
jungi Makkah, sehingga termasuk bulan haram yang dilarang melaku-
kan pertempuran. Setelah ‘Abdullah bin Jahsy sampai di Madinah, dia
menghadap Muhammad dengan penuh kebanggaan dalam menjalankan
tugasnya. Dia bawa juga barang-barang rampasannya dan bukti ke-
menangannya yang diraihnya. Keringat menetes di wajah Muhammad.
Dia dan beberapa shahabatnya men­jerit atas tindakan ‘Abdullah: “Aku
tak menginstruksi­kan kalian semua untuk berperang pada bulan-bulan
Haram!”
Dia memerintahkan agar tak seorang pun menyentuh rampasan
yang dibawa ‘Abdullah bin Jahsy. Madinah diselimuti suasana murung.
Di Madinah biang kerok desas-desus kian santer tersebar bahwa Muham-
mad dan pengikut-pengikutnya telah menghalalkan pertempuran pada
bulan Haram. Mereka telah merampas harta dan menawan beberapa
orang laki-laki di bulan Haram. Orang-orang Islam mengecam tindakan
gegabah ‘Abdullah. Mereka merasa malu sekali, karena salah seorang
di antara mereka telah menodai bulan Haram. ‘Abdullah dan anggota
pasukannya menunggu tindakan yang akan dijatuhkan Muhammad.
Adakah kalian melihat mereka telah berbuat onar di muka bumi, se-
hingga untuk beberapa hari lamanya Muhammad tidak mau berbicara
dengan mereka karena tindakan kecerobohan tersebut.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 265


R

266 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Idealisme
vs
Interes Konfrontatif

S
emua perselisihan pendapat mengenai tindakan
gegabah ‘Abdullah harus segera diakhiri, sebab
percekcokan itu bisa dijadikan sebagai instrumen oportunis bagi
pihak musuh untuk meraup keuntungan. Sementara itu pihak musuh
kian gencar melancarkan aksi mereka untuk menambah panasnya suhu
percekcokan tersebut dan memancing permusuhan di antara sesama
muslim. Mereka menyebarkan isu bahwa agama baru ini telah memper-
bolehkan pengikut-pengikutnya untuk berperang di bulan-bulan Haram.
Tindakan gegabah itu bagi ‘Abdullah bin Jahsy membuat hari-
harinya hanya dihantui rasa berkhianat karena tudingan masyarakat
terhadapnya sebagai orang yang merusak kesu­ci­an bulan-bulan yang
telah diwariskan secara turun-temurun.
Kini ‘Abdullah menjalani hari-harinya dengan penuh tekanan batin
yang diliputi rasa tercela dan hina. ‘Abdullah merasa tak sanggup lagi
mengangkat kepalanya di hadapan seseorang di Madinah. Bahkan di
hadapan teman-temannya sendiri sekalipun ‘Abdullah merasa tidak

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 267


berdaya. Penyesalan demi penyesalan yang dia rasakan sangat me-
nyiksa batinnya, bukanlah sebagai hukuman yang memadai. Dia harus
menjalani hukuman setimpal yang dapat memberikan peringatan dan
penolakan terhadap suara-suara sumbang yang melanda di sepanjang
Semenanjung Arab.
Akankah dia diisolir dari Madinah?
Akan tetapi, isolir itu dia rasakan bukanlah pidana yang setimpal
atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Ataukah ‘Abdullah harus
dipidana mati agar darahnya dapat membersihkan pengikut-pengikut
Muhammad dari aib yang melumuri mereka hingga melumuri dahi?
Hanya saja sebagian orang-orang yang terlebih dahulu masuk Islam
menyebut-nyebut penyiksaan yang dialami ‘Abdullah tempo lalu, pada
saat permulaan dakwah Islam, ketika orang-orang Quraisy melancarkan
siksaan terhadap orang-orang yang mengikuti kepercayaan baru ini.
Bahkan penyiksaan itu sering kali berakhir di ujung kematian, penyitaan
harta benda, makian, dan pengrusakan pada nilai-nilai kehormatan.
Adapun pelanggaran terhadap segala sesuatu yang dihormati secara
yuridis, maka hukum pidananya adalah rajam (qishash).
Betapapun ‘Abdullah melakukan kekeliruan fatal yang cukup mem-
buat malu orang-orang Islam, tapi kenyataannya orang-orang Quraisy
telah melakukan dan masih saja terus melakukan tindakan-tindakan
keji yang harus ditentang oleh setiap orang yang memiliki hati mulia.
Memang benar, ‘Abdullah melakukan tindakan kekeliru­an dan
pelanggaran hukum, tapi bukankah orang-orang Quraisy jauh lebih
jelek kedudukannya dan lebih sesat lagi dari jalan kebenaran?
Bagaimana mungkin orang-orang Madinah tidak akan marah, semen-
tara orang-orang Quraisy merintangi orang-orang Islam yang akan
menunaikan ibadah haji di Ka‘bah. Ataukah mereka akan melakukan
langkah-langkah tipu daya?
Benar adanya, ‘Abdullah memang telah melakukan pe­langgaran
ketika dia menyergap dan membunuh rombongan dagang Quraisy
pada bulan Haram. Tapi cobalah orang-orang Muhajirin yang sangat
membenci tindakan ‘Abdullah yang miskin itu berpikir sejenak dan

268 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mau mengingat kembali kebiadaban orang-orang Quraisy. Orang-orang
Islam yang mendatangi Masjidil Haram pada bulan-bulan Haram telah
dijegal oleh orang-orang Quraisy. Mereka masih saja menganiaya
pengikut-pengikut Muhammad yang lemah-lemah agar menanggalkan
agama yang baru dipeluknya.
Sementara ‘Abdullah, memang telah melakukan pelanggaran berat,
karena dia telah melakukan pembunuh­an terhadap seseorang pada
bulan Haram. Tapi, bukankah fitnah itu lebih besar dosanya daripada
pembunuhan? Bukankah mencegat orang-orang yang akan menunaikan
ibadah ke Baitullah dan mengusir penduduknya merupakan tindakan
yang jauh lebih besar dosanya?
Muhammad keluar menemui orang-orang untuk mem­beri­kan kepu-
tusan atas percekcokan yang tiada ujung pangkalnya itu.
Muhammad! Putuskanlah semua percekcokan ini dengan tepat.
Apa yang engkau ucapkan saat ini menuntut segenap kapabilitas dan
efesiensi ucapan dalam mengambil keputus­an agar barisanmu menjadi
semakin kuat.
Mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa. Karena itu, sampaikanlah
pada saat ini bahwa mereka akan mendapat­kan instruksi untuk men-
gangkat senjata sebagai upaya membela jalan hidup mereka dalam
kondisi apa pun.
Tindakan ‘Abdullah bin Jahsy pasti akan dipertanyakan kepad-
amu oleh orang-orang Quraisy. Tapi kejahatan-kejahatan yang telah
diperbuat oleh mereka jauh lebih besar dosanya. Mereka juga pasti
mempertanyakan kepadamu tentang hukum berperang di waktu-waktu
bulan Haram. Katakanlah bahwa hukumnya dosa besar.
Janganlah kalian membiarkan temanmu tersia-sia di hadapan
orang-orang yang pernah menyiksa dan mengusir kalian dari kampung
halaman. Mereka tak akan pernah mau berhenti merongrong kalian,
maka lawanlah mereka. Buatlah mereka agar merasa ketakutan; dan
perangilah mereka hingga rongrongannya dapat berhenti.
Belum beberapa hari Muhammad menyatakan sikap kepada teman-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 269


temannya, sebuah kehidupan baru muncul kembali dalam diri ‘Abdullah
dengan segenap jiwa mudanya, setelah hampir saja keindahan masa
remajanya ditelan oleh penyesalan yang menyiksa.
‘Abdullah pergi bersama orang-orang dengan kepala tegak penuh
dengan kepasrahan terhadap resiko yang menimpa dirinya. Dia men-
gatakan kepada Muhammad: “Dapatkah aku berharap akan mem-
peroleh kesempatan untuk meraih pahala sebagai seorang pahlawan
yang gugur di medan pertempuran dengan pertempuran?”
Kini dia sangat memimpikan dirinya akan menjadi seorang pahlawan
dalam membela keyakinan yang dipeluk­nya, gugur di medan pertem-
puran.
Bukankah Muhammad pernah mengajarkan kepada dirinya dan
orang-orang lain, bahwasanya orang-orang yang gugur di medan per-
tempuran dalam membela keyakinan yang dianutnya akan mendapat
balasan surga yang di bawahnya terdapat sungai-sungai yang mengalir
dan di dalamnya disediakan segala sesuatu yang diidam-idamkan semua
orang?
‘Abdullah! Sabarlah, hari yang engkau rindukan bersama teman-
temanmu pasti akan datang kelak.
Di sisi lain, pihak Quraisy tak akan pernah memberikan suasana
tenteram kepada orang-orang Islam. Pihak Quraisy mengirimkan utusan
untuk menebus tawanan-tawanan yang berhasil ditangkap ‘Abdullah,
tapi tawaran itu tetap ditolak oleh Muhammad.
“Kalian tak dapat menebus kedua orang itu, hingga kalian mau
mengembalikan teman-temanku,” ujarnya.
Pihak Quraisy menerima keputusan Muhammad, maka dilepaslah
tawanan Sa‘ad bin Abi Waqqash bersama seorang temannya, lalu
kembali ke Madinah, sedangkan salah seorang tawanan Quraisy telah
masuk Islam. Dia tak mau lagi pulang ke Makkah. Hanya tinggal seorang
tawanan lagi yang mau kembali ke Makkah.
Muhammad kembali hidup tenang sebagaimana keten­teraman yang
pernah dirasakan sebelumnya. Siang harinya Muhammad bekerja dan

270 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


pada malam harinya berkontem­plasi, melakukan ibadah, dan tidur
dari rumah Saudah ke rumah ‘Aisyah secara bergantian tiap malam.
Dia senantiasa berpikir tentang langkah-langkah yang mungkin akan
dilakukan oleh para pemuka Quraisy setelah dia menge­luarkan suatu
komunike perang, sehingga pihak Quraisy tidak menimbulkan hal-hal
yang bergejolak di kalangan orang-orang Islam.
Muhammad akan meminta pertimbangan teman-temannya bila
bertemu mereka di masjid. Kemudian dia akan memberi tahu bahwa
orang-orang Quraisy akan berusaha memperbaiki hubungan dengan
suku-suku yang pernah terjadi konflik, untuk mencari dukungan dan
sekutu dalam melawan pihaknya, barulah kemudian mereka akan
mengadakan aksi agresi.
Musuh-musuh Muhammad yang ada di Madinah ber­sorak-sorai
kegirangan ketika mendengar berita tersebut. Muhammad akan pergi
pada suatu hari bersama teman-temannya dari kalangan Anshar dan
Muhajirin untuk bertemu dengan orang-orang Quraisy dalam sebuah
pertempuran. Pihak Quraisy sudah pasti akan melenyapkan mereka
dari permukaan bumi. Maka dengan sendirinya, ajaran-ajaran Muham-
mad di Madinah pun akan lenyap terhapus. Pasar-pasar yang dibangun
pedagang-pedagang muslim akan ditutup. Pola interaksi di pasar-pasar
dan pertanian-pertanian akan kembali lagi berlaku sebagaimana yang
terjadi sebelum kedatangan pengungsian itu, yaitu pola interaksi yang
bersifat diskriminatif dan eksploitatif antara pemilik modal dan buruh.
Suasana kehidupan akan kembali pada suatu masa seperti sebelum
datangnya ajaran Muhammad, yang mem­be­ri­kan harapan-harapan
kepada orang-orang miskin, mene­tap­kan hak-hak mereka yang miskin
dalam harta orang-orang kaya, dan menutup jalan bagi para pendatang
Madinah untuk mengeksploitasi kekayaan yang sebanyak-banyaknya.
Karena itu, kelompok Yahudi Madinah bermaksud akan menghadapi
Muhammad secara bersama-sama. Alasannya, karena para pemuka
Yahudi telah menyadari betul bahwa kalangan rakyat miskin Madinah
telah condong kepada ajaran Muhammad. Bahkan sebagian kalangan
rakyat elitnya juga sudah ada yang mulai menaruh rasa simpatik pada

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 271


ajaran-ajaran Muhammad dan menaruh rasa hormat pada jalan ke-
hidupan yang ditempuh Muhammad di tengah-tengah mereka, sehingga
hampir saja mereka terpikat mengikuti ajaran-ajarannya.
Betapa berat cobaan-cobaan yang dilancarkan oleh pemimpin-pe-
mimpin Yahudi. Mereka melancarkan aksi kekacauan berkali-kali yang
dapat menimbulkan rasa cemas dalam hati setiap pengikut-pengikut
Muhammad. Betapapun demikian adanya, namun akhirnya Muhammad
mampu menumpas segala rasa skeptisisme itu dan justru meniupkan
angin segar kedamaian dalam setiap hati shahabatnya. Dengan kondisi
itu, jiwa-jiwa yang sebelumnya diliputi oleh kegelisahan dan kesulitan
itu telah bebas berubah menjadi tenteram dan tenang.
Namun meskipun begitu, Muhammad saat ini benar-benar diha-
dapkan pada kesibukan untuk mengadakan persiapan perang melawan
orang-orang Quraisy. Selain itu, kondisi Ruqayyah yang tidak juga
sembuh-sembuh semenjak terserang penyakit pada saat wabah demam
melanda, menjadi beban persoalan yang melilit perasaannya.
Kini peluang baru untuk menciptakan rasa skeptis terbuka luas.
Orang-orang Yahudi berhasil mencegat orang-orang yang sudah mu-
lai menolehkan perhatiannya kepada Muhammad. Muhammad telah
datang dengan bermacam-macam hukuman yang belum pernah terjadi
di kalangan masyarakat Arab. Sejak Muhammad menetapkan ancaman
pidana potong tangan kepada pelaku pencurian atas dua buah baju
besi itu, salah seorang dari kalangan Muhajirin telah meloloskan diri
dan kembali ke Makkah. Jika suku-suku Yahudi bersatu-padu menjadi
sekutu dan melancarkan ancaman kepada orang-orang yang mulai
menaruh simpati kepada Muhammad, maka kondisi ini sudah pasti
akan menjadi kekuatan baru dalam melawan Islam.
Sebagian kalangan elit orang-orang Yahudi berkumpul dan membuat
kesepakatan untuk melancarkan trik-trik di salah satu rumah orang
Yahudi yang kepala keluarganya menampakkan sikap simpatik kepada
Muhammad.
Kepala keluarga tersebut mempunyai anak gadis cantik, bernama
Busrah yang jatuh hati kepada salah seorang pemuda bangsawan mar-

272 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


ganya. Beberapa orang pedagang kaya membuat manajemen siasat
itu dengan sangat rapi. Busrah mereka suruh untuk berasyik-mansyuk
dengan lelaki pujaannya itu, sementara suami Busrah mereka suruh
untuk pergi keluar rumah. Dalam keadaan demikian, mengadulah istri
pria yang dicintai Busrah itu dengan membawa saksi-saksi dari kalangan
pembesar Yahudi kepada Muhammad dan meminta agar Muhammad-
lah yang mengadili kasus tersebut. Mereka mengetahui bahwa ajaran
Muhammad memerintahkan pidana kasus tersebut dengan hukuman
rajam hingga mati.
Muhammad sendiri telah mengetahui apa yang ada di balik aksi
semua ini. Apa yang mereka lakukan adalah cara licik untuk menjauh-
kan orang-orang dari dirinya. Keluarga Busrah memang merupakan
kalangan Yahudi yang paling dekat untuk mengimani Muhammad. Mu-
hammad menyata­kan kepada mereka yang datang, bahwa di kalangan
mereka ada kitab Taurat. Karena itu, untuk memutuskan kasus tersebut
sebaiknya mereka merujuk pada Kitab Taurat saja. Akan tetapi, mereka
tetap bersikeras juga untuk meminta solusi kepada dirinya.
Para pemuka Yahudi pulang kembali sambil mempelajari secara
seksama persoalan yang sedang mereka hadapi di mana Muhammad
tetap bersikukuh untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan Kitab
Taurat. Sikap Muhammad hampir saja merusak skenario langkah-
langkah licik mereka, maka dilancarkanlah gosip-gosip lain, yaitu me-
nyebarkan rasa skeptis di Madinah. Mengapa Muhammad tidak berani
menjatuhkan pidana rajam kepada Busrah dan pacar selingkuhnya
hingga mati?
Apakah hukum-hukum yang diajarkan itu sudah tidak berlaku lagi
lantaran ia berharap agar keluarga Busrah bergabung dengan kelom-
poknya? Keadilan macam apa jika kondisinya seperti ini?
Ketika itu Muhammad sedang sibuk-sibuknya mengada­kan persiapan
penyerbuan terhadap orang-orang Quraisy; dan beliau juga sedang
dalam duka yang teramat menyayat hatinya, lantaran penyakit putrinya
yang tak kunjung sembuh jua.
Pemuka Yahudi datang menemui Muhammad kembali. Mereka

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 273


mengatakan bahwa sesungguhnya Taurat menetap­kan pidana dengan
cara perempuan dan kekasih gelapnya yang telah berselingkuh itu
harus diletakkan di atas keledai, kemudian diumumkan di pasar-pasar,
sedang muka kedua orang tersebut dilumuri dengan aspal, padahal
mereka tahu persis aturan pidana yang terdapat dalam Kitab Taurat
bahwa dalam kasus seperti ini pelakunya harus dipidana rajam hingga
mati; laki-laki dan perempuan itu dilempari batu di sebuah lubang.
Maka Muhammad pun menegaskan kepada mereka bahwa itulah yang
benar menurut aturan hukum Kitab Taurat.
Muhammad mengusulkan kepada mereka untuk menga­cu pada
Kitab Taurat yang mereka anut, lalu mereka hendaknya mengumum-
kan aturan-aturan hukumnya kepada khalayak ramai. Tapi mereka
menyangkal bahwa dalam Kitab Taurat tidak tercantum suatu hukum
seperti yang dikatakan Muhammad. Maka diam-diam, ada seorang
pemuda dari kalangan Yahudi yang mencoba mempelajari Kitab Taurat.
Ternyata, dia menemukan aturan hukum tersebut sama persis dengan
yang dikatakan Muhammad. Pemuda itu berkata: “Abul Qasim, engkau
memang benar. Tapi mereka iri hati kepadamu dan ingin mengisolir
dirimu.”
Betapapun demikian adanya, keluarga Busrah dan kekasih gelapnya
merasakan kesusahan dan merasa terkejut tentang hukuman pada
pidana ini. Mereka sama sekali tidak memikirkan, keluarga Busrah dan
kekasih gelapnya pada akhirnya akan bergabung ke dalam kelompok
Muhammad agar tertutup jalan untuk menjalin hubungan dengan orang-
orang Yahudi berkenaan dengan kasus yang terjadi di tengah-tengah
mereka.

g
Orang-orang Yahudi Madinah memimpikan datangnya serbuan
orang-orang kuffar Quraisy beserta sekutu-sekutunya agar mereka
terbebas dari Muhammad dan ajaran-ajarannya yang (menurut mer-
eka) telah merusak hubungan di antara para majikan dan orang-orang
yang merdeka. Sementara kini, yang mereka takutkan adalah rusaknya
hubungan di antara laki-laki dan perempuan. Tapi, kapankah penyer-

274 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


buan terhadap Muhammad digencarkan oleh orang-orang Quraisy?
Tapi justru Muhammadlah yang telah menetapkan untuk mengada-
kan penyerbuan terlebih dahulu, sebab penyerbuan ini adalah langkah
yang terbaik dan strategi pertahanan yang lebih efektif dan efesien.
Dia telah meminta pertimbangan kepada para sha­habat­nya dan
mereka semuanya sependapat akan merusak persekutuan yang diupay-
akan oleh orang-orang Quraisy untuk menghimpun seluruh kekuatan
suku-suku. Mereka juga sepakat akan mengambil suatu tindakan yang
menunjukkan kekuatan mereka terhadap orang-orang Quraisy dan
suku-suku yang lain.
Dengan demikian, tak akan ada satu sekutu pun yang mau be-
rafiliasi dengan orang-orang kuffar Quraisy untuk menyerang mereka
(kaum muslimin). Jika kaum muslimin diam saja, tidak berbuat suatu
apa pun, sudah pasti orang-orang Quraisy menganggap mereka lemah.
Siapa tahu mereka akan menyerang Madinah, tapi justru serangan itu
hanya akan mengantarkan nyawa saja. Muhammad mengetahui bahwa
orang-orang Quraisy telah menyiapkan satu rombongan dagang dengan
jumlah yang sangat besar ke Syam untuk menempuh perjalanan musim
panas, sedang­kan orang yang akan memimpin rombongan tersebut
adalah Abu Sufyan. Saat ini rombongan dagang tersebut sedang dalam
perjalanan pulang dari Syam. Rombongan dagang itulah yang dibiayai
oleh orang Quraisy dengan lima puluh ribu uang emas, di mana di
dalamnya ikut pula keluarga Abu Sufyan dengan membawa lima puluh
ribu uang emas.
Uang yang jumlahnya berjuta-juta itu adalah kekayaan orang-orang
Quraisy yang diperas dari keringat kerja rakyat lemah dan hasil-hasil
rampasan. Dalam uang tersebut juga terdapat kekayaan orang-orang
Muhajirin yang dirampas, setelah mereka menguasai secara paksa.
Saat ini telah datang suatu moment yang tidak ada lagi orang-
orang yang dianggap lemah setelah itu. Dan telah tiba pula saatnya
untuk merebut kembali harta-harta mereka yang dirampas orang-orang
Quraisy sebelum mereka mengungsi.
Mereka harus menunjukkan kekuatan orang-orang Muhajirin.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 275


Mereka diinstruksikan untuk pergi mencaplok harta kekayaan yang
dibawa oleh rombongan dagang itu. Muhammad menyampaikan suatu
komunike bahwa hasil rampasan tersebut akan dibagikan kepada
orang-orang yang berhasil merampas, baik dari kalangan Muhajirin
maupun Anshar. Barangsiapa di antara mereka yang menemui ajalnya
dalam penyergapan tersebut, maka hal itu lebih baik baginya daripada
kematian di tempat tidurnya, karena kematiannya adalah kematian
membela keyakinan dalam menghadapi orang-orang yang telah ber-
buat sewenang-wenang. Hanya saja, kemungkinan untuk terjadi per­
tempuran rasanya sangat minim sekali. Hal ini dikarenakan rombongan
tersebut dikawal oleh body guard yang jumlahnya terdiri dari kurang
lebih tiga puluh orang.
Dalam penyergapan tersebut, Muhammad membawa tiga ratus
anggota pasukan dari golongan Muhajirin dan Anshar, sedang di Madi-
nah Muhammad memberikan mandat kepada dua orang laki-laki dari
kalangan rakyat biasa. Salah seorang dari kedua tersebut ditugaskan
untuk menjadi imam shalat, sementara seorang lagi ditugaskan untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di antara mereka. Muhammad
menyarankan kepada orang yang bertugas sebagai hakim itu agar
memberikan keputusan-keputusan hukum dalam berbagai persoalan
yang aturan hukumnya belum dijelaskan secara pasti.
Orang-orang Yahudi mengirim utusan kepada Abu Sufyan yang
sedang berada di tengah-tengah perjalanan untuk memberikan perin-
gatan agar berhati-hati. Abu Sufyan segera menugaskan salah seorang
anggota rombongannya ke Makkah untuk meminta bala bantuan. Dia
meminta kepada pemerintah Makkah untuk menugaskan pemuda
penunggang kuda yang profesional agar mereka segera menyusul ke
lembah Badar. Pilihan lokasi ini dikarenakan di tempat itu, selain ter-
dapat sumber mata air, juga merupa­kan tempat yang teduh yang bisa
dijadikan tempat peristirahatan rombongan dagang yang dipimpinnya
dan juga sebagai tempat mengambil kebutuhan persediaan minum
rombongan. Bala bantuan itu secepatnya segera dikirim, sebelum
Muhammad dan anggota pasukannya tiba di sana.
Semua orang yang tergabung dalam rombongan tersebut berang-

276 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kat untuk memberikan dukungan kepada Abu Sufyan. Setiap laki-laki
yang mampu memanggul senjata, semuanya pergi atau mengutus
seorang yang akan menggantikan dirinya dan berperang atas na-
manya. Pada waktu itu Abu Lahab tidak ikut mereka, karena sedang
sakit, tapi Abu Lahab menggantikan posisinya kepada seseorang yang
memang punya utang kepadanya untuk berperang atas namanya.
Sementara Umayyah bin Khallaf pada waktu itu sebenarnya tidak
akan ikut berperang juga. Namun keputusan itu diejek oleh sebagian
pemuda-pemuda Quraisy dan mereka mengelilinginya sambil memba-
kar dupa.
“Engkau tak ubahnya seperti perempuan saja,” ejek mereka ke-
pada Umayyah.
Tidak kuasa menahan ejekan kekerdilan itu, lalu berdirilah
Umayyah dan ia akhirnya bersiap-siap menerjuni medan peperangan.
Istri Abu Sufyan yang bernama Hindun, mendesak kaum lelaki
untuk mendukung suaminya dan membakar kebencian mereka ke-
pada ajaran-ajaran Muhammad. Dia juga mengungkapkan kepada
para pemuda agar menuntut balas dendam atas korban-korban yang
pernah diserbu ‘Abdullah bin Jahsy hingga berkobarlah semangat para
pasukan. Walhasil, terhimpunlah sepasukan perang yang cukup besar,
yang tentunya juga tak lepas dari provokasi ‘Utbah (ayah Hindun),
pamannya yang bernama Syaibah, dan saudaranya yang bernama Walid
bin Utbah. Bala bantuan bertolak pada saat siang bolong di bawah
komando Abu Jahal. Hanya saja, ketika rombongan itu belum mera-
sakan lelah dalam menempuh perjalanan di tengah-tengah padang
pasir, tiba-tiba datanglah kurir yang diutus Abu Sufyan menyampaikan
perintah untuk pulang kembali, karena rombongan dagang sudah tiba
(di Makkah) dengan selamat tanpa ada rintangan yang mengganjal di
tengah perjalanan.
Akan tetapi, Abu Jahal meminta pasukannya untuk tetap melan-
jutkan perjalanannya ke lembah Badar. Di sana dia bersama pasukan-
nya menetap selama tiga hari tiga malam, menyembelih binatang-
binatang ternak, makan-makan, minum-minum tuak, berfoya-foya

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 277


dengan para gadis penghibur, dan untuk menakut-nakuti Muhammad
dan semua pengikutnya. Selain itu, juga bertujuan agar berbagai suku
Arab mendengar perihal mereka dan perkumpulan mereka, sehingga
nantinya semua suku yang ada menjadi gentar terhadap mereka buat
selam-lamanya.
Adapun Muhammad ketika itu terus melangkahkan kaki menuju
ke lembah Badar menelusuri jejak-jejak Abu Sufyan yang menempuh
tepian Laut Merah. Berita kedatangan orang-orang Quraisy sampai
juga kepadanya.
Muhammad sama sekali tidak menduga bahwa orang-orang Quraisy
akan pergi dengan pasukan kuda dan balatentaranya. Suatu ketika dia
membayangkan tentang posisi dirinya dan teman-temannya yang akan
melakukan penyergapan secara tiba-tiba terhadap rombongan dagang
yang dipimpin Abu Sufyan, lalu merampas harta kekayaan yang dibawa
rombongan itu, kemudian seusai penyergapan itu, ia kembali pulang
ke Madinah.
Tapi kenyataan yang dihadapi saat ini tidaklah seperti yang pernah
dibayangkan, sebab ternyata dia harus melawan orang-orang Quraisy
yang datang dengan segenap kekuatan tentaranya yang mengendarai
kuda.
Muhammad meminta pertimbangan-pertimbangan kepada para
shahabatnya, akankah mereka melanjutkan ke lembah Badar, lalu
di sana akan berhadapan dengan pasukan Quraisy, ataukah memilih
selamat dan kembali pulang ke Madinah. Abu Bakar berpendapat agar
terus maju pantang mundur ke medan Badar, karena jika mereka
sampai kembali, sudah pasti orang-orang Quraisy dan suku-suku yang
lain akan menganggap mereka lemah tanpa membawa pulang harta
rampasan.
Pihak Muhajirin yang lain tidak jauh berbeda dengan pendapat
Abu Bakar dan ‘Umar, sedangkan dari pihak kaum Anshar, tiada satu
pun dari mereka yang menge­mukakan pendapatnya. Memang, sebelum
itu orang-orang Anshar telah berikrar kepada Muhammad untuk mem­
berikan perlindungan di Madinah. Akan tetapi, jika Muhammad pergi

278 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dengan mereka dalam menyongsong musuh di luar Madinah, maka
persoalan ini menjadi beda adanya.
Mereka terus menelusuri jejak Abu Sufyan di tepian Laut Merah.
“Maukah kalian mengemukakan pendapat kepadaku?” ujar Muham-
mad pada suatu ketika sambil memandang salah seorang Anshar yang
ikut bersamanya.
“Sepertinya engkau menghendaki sesuatu kepada kami,” ucap
Sa‘ad bin Mu‘adz.
“Tentu!”
“Kita telah beriman kepadamu dan mempercayai dirimu. Karena
itu, andaikata engkau memerintahkan kami menyelam ke dalam laut
dan engkau sendiri juga ikut menyelam, sudah tentu aku akan meny-
elam bersamamu. Tak seorang pun di antara kita yang akan tinggal
diam; dan kita tidak akan tinggal diam saja jika engkau memerintahkan
kami untuk menghadapi musuh besok,” ungkap Sa‘ad menunjukkan
kesetiaannya.
Jika demikian adanya, maka ini berarti kita semua telah sepakat
untuk menghadapi serangan tentara Quraisy.
Muhammad menjadi komandan mereka menuju lembah Badar.
Mereka menemukan dua orang pemuda Quraisy yang sedang mengisi
beberapa bejana dari salah satu sumur. Melihat gelagat itu, ‘Ali bin
Abi Thalib, Sa‘ad bin Abi Waqqash, dan Zubair bin Awwam menanyakan
kepada kedua orang pemuda tersebut.
“Kami adalah pelayan-pelayan minum orang Quraisy,” aku pemuda
itu.
Selanjutnya, Muhammad melakukan interogasi terhadap kedua
pemuda tersebut, hingga dia tahu dari pemuda tersebut bahwa jumlah
tentara Quraisy berkisar antara 900 sampai 1.000 personel. Di antara
mereka terdapat Abu Jahal Hakim bin Hisyam, Utbah bin Rabi‘ah,
Syaibah bin Rabi‘ah, Walid bin Utbah, Abul Bakhtari bin Hisyam,
Umayyah bin Khalaf, Aswad bin ‘Abdul Asad, dan masih banyak lagi
dari kalangan tentara pasukan berkuda serta tokoh Quraisy. Muham-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 279


mad n lalu berkata kepada tentara­nya: “Makkah telah mengirim­kan
beberapa putra kesa­yangannya kepada kalian.”
Kala itu Makkah mengirimkan kurang lebih 1.000 tentaranya,
sedang Muhammad berikut tentaranya hanya berkisar 300-an orang.
Sungguh merupakan pertarungan yang tak seimbang!!
Muhammad harus menghadapi tentara Quraisy agar tak seorang
pun menyangka bahwa ia dan pengikut-peng­ikutnya takut dan memilih
lari, sebab jika demikian halnya, maka lenyaplah pamor ajaran baru
ini dan orang-orang yang mulai simpatik akan berubah haluan men­
jauhinya.
Sebuah pertarungan dituntut adanya garis-garis perjuangan agar
bisa merebut kemenangan. Muhammad telah meyakinkan para pengi-
kutnya bahwa Barangsiapa yang gugur di medan pertempuran dalam
membela keyakinannya, maka akan mendapat balasan surga yang
luasnya laksana langit dan bumi. Para pengikutnya pun telah yakin
dengan sepenuh hati kepada ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad.
Mereka siap membela ajaran-ajaran yang mereka yakini dengan jiwa
dan raga.
Mereka siap memperjuangkan aqidah ini. Mereka akan menjadi
orang-orang yang terhormat pada saat hari kemenangan. Memang
kebanyakan dari mereka tak memiliki harta kekayaan, yang akan
menyebabkan mereka merasa rugi bilamana mereka harus gugur di
medan laga. Mereka tak akan merasa rugi, selain jika menjadi orang
yang tersingkir, tertindas, dan terbelenggu.
Muhammad telah mempersiapkan semua sarana untuk terjun ke
medan pertempuran. Di sisi lain, pasukan Quraisy datang dengan segala
kecongkakan dan kesombongannya. Pasukan Quraisy akan melumat
habis Muhammad dan pasukannya, yang datang ke medan pertempuran
yang tidak pernah diduga sebelumnya akan berhadapan dengan lawan
sebesar ini. Muhammad mengirim utusan ke Madinah untuk meminta
bala bantuan, tapi dia melihat waktu yang tersedia sangatlah tidak
memungkinkan, sebab pasukan Quraisy akan menyerbunya dalam

280 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


setiap kesempatan. Oleh karena itu, Muhammad merasa sebaiknya
menyiapkan barisan pasukannya saja agar tidak mendapat serangan
mematikan yang datang secara cepat.
Muhammad memprediksikan bahwa posisi yang stra­tegis adalah
menempati lembah Badar yang dekat dengan sumber mata air. Tapi
salah seorang di antara shahabat-shahabatnya mengajukan pertanyaan
kepada Muhammad: “Apakah tempat ini merupakan wahyu dari Allah
atau hanyalah berdasarkan hasil strategi dan taktik perangmu saja?”
“Tempat ini merupakan hasil pengamatanku, strategi perang, dan
taktikku saja,” jawab Muhammad.
“Ini bukan tempat yang strategis. Tinggalkan tempat ini dengan
seluruh pasukan,” usul seorang laki-laki yang bernama Habbab bin
Mundzir. Habbab mengajukan pendapat agar menempati posisi yang
tinggi yang berada di dataran lembah Badar dengan rawa-rawa dan
sumber mata airnya; dan di antara pasir-pasir yang berjurang yang akan
ditempati pasukan Quraisy. Demikianlah, seluruh pasukan hendaknya
menempati posisi antara pasukan Quraisy dengan sumber mata air,
barulah mereka menyerbu. Hal ini jelas akan sangat menguntungkan
bagi keamanan pasukan Muhammad. Di belakang mereka terdapat
sumber air dan pohon-pohon. Jika pasukan Quraisy terus bertempur,
pasti akhirnya mereka akan kehabisan air untuk persediaan minum,
kecuali harus menerobos sumber mata air ini. Karena itu, dibangunlah
sebuah telaga luas yang menjadi tempat penampungan air dari rawa-
rawa lembah Badar, sedangkan pasukan muslim menempati posisi dekat
air tersebut.
Gagasan posisi tempat yang strategis dan kondusif yang ditawarkan
Habbab pun diterima Muhammad dengan senang hati, sebab dengan
strategi ini pasukan Quraisy akan dibinasakan dengan pedang dan
kondisi kehausan.
Muhammad mengambil keputusan akan mengambil posisi terde-
pan dalam barisan. Tapi Sa‘ad bin Mu‘adz mengusulkan agar dia tidak
melakukan hal itu, sebab jika berada di barisan terdepan, sudah
tentu dia akan menjadi sasaran pertama para pemanah Quraisy dan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 281


penunggang kudanya. Menurut pendapat Sa‘ad, Muhammad sebaiknya
tetap tinggal di bagian belakang untuk mengendalikan pasukan. Maka
dibuatlah sebuah kemah yang dipergunakan sebagai tempat berteduh,
jika pasukan Quraisy dapat ditaklukkan. Namun andaikata pasukan
Quraisy menakluk­kan mereka, maka adanya kemah ini dapat menjamin
keadaan Muhammad, kemudian baru mengundurkan diri tanpa harus
menyerahkan hidupnya dalam pertempuran yang sangat mengerikan
ini. Akhirnya, Muhammad mengubah pendapatnya dan mengikuti
pendapat yang digagas oleh Sa‘ad.
Sebuah tenda akhirnya didirikan. Pengawal-pengawal Muhammad
kini telah mengambil posisi di depan sumber air. Beberapa orang
Quraisy langsung disambut hujan anak panah ketika mereka hendak
mencoba mengambil air. Tak seorang pun dari pasukan Quraisy yang
kembali dengan membawa air untuk mereka.
Kondisi orang-orang Quraisy mulai terdesak oleh rasa haus dan
dahaga yang tak tertahankan, maka bermusya­warah­lah beberapa elite
Quraisy. Dari hasil musyawarah tersebut, muncullah suatu keputusan
bahwa sebaiknya sekarang pulang kembali ke Makkah.
Mampukah mereka bertahan dalam kondisi yang demikian? Semen-
tara di satu sisi mereka menghadapi orang-orang yang mengangkat
senjata, padahal di antara mereka ada yang mempunyai pertalian
kerabat dekat, saudara, dan sepupu di kalangan orang-orang Muhajirin.
Utbah yang berdiri di tengah-tengah pasukan Quraisy berkata: “Para
anggota pasukan Quraisy, apa yang kalian semua inginkan dari penyerbuan
ini terhadap Muhammad dan pengikut-pengikutnya? Jika kalian semua ber-
hasil mengalahkan mereka, maka sudah dapat dipastikan akan ada orang
yang memandang orang lain dengan sinis, lantaran ia telah membunuh
saudara sepupunya sendiri dan kerabat dekatnya. Karena itu, sebaiknya
kalian semua kembali saja. Biarkan saja pertempuran terjadi di antara
Muhammad dengan semua bangsa Arab. Bukankah kalian semua hanya
menghendaki agar seluruh bangsa Arab dapat mengalahkan Muhammad?”
Ucapan Utbah itu dianggap oleh Abu Jahal sebagai ucapan seorang
pengecut.

282 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Sementara itu, beberapa orang dari kalangan pasukan Quraisy su-
dah mulai merasakan beratnya rasa haus. Abu Jahal merasa khawatir,
mereka akan mengikuti Utbah; dan secara khusus Abu Jahal sangat
mengkhawatirkan mereka akan meng­ingat-ingat bahwa mereka tak
lain adalah memerangi sanak familinya sendiri. Karena itu, Abu Ja-
hal segera me­ngu­mandangkan seruan perang. Aswad bin ‘Abdul Asad
beranjak maju dari pasukan Quraisy sambil mengucapkan sumpah,
bahwa dia akan minum dari telaga Muhammad dengan cara paksa
atau menghancur-luluh­kannya. Aswad bin ‘Abdul Asad adalah seorang
laki-laki yang berwatak beringas, jahat, dan sangat ditakuti. Orang-
orang Islam hanya terdiam dalam kemarahan. Sementara itu Aswad
bin ‘Abdul Asad terus melangkah maju, lalu keluarlah Hamzah bin
‘Abdul Muththalib menghadapinya. Maka terjadilah perang tanding di
antara keduanya, persis di depan telaga. Dalam perang duel tersebut
akhirnya kekalahan berpihak pada Aswad yang mati terluka parah di
ujung pedang Hamzah.
Genderang pertempuran sudah dimulai. Pasukan dari kedua belah
pihak berada dalam posisi siaga, kemudian dari barisan pasukan Quraisy
keluarlah Utbah bin Rabi‘ah yang diapit oleh saudaranya, Syaibah; dan
anaknya, Al-Walid. Utbah menantang pasukan muslim untuk bertem-
pur sampai titik darah penghabisan. Mereka bertiga adalah prajurit
tangguh dari pihak Quraisy. Maka majulah menghadapi ketiga prajurit
tersebut, tiga personil dari prajurit Anshar yang tangguh juga. Tapi
Utbah berteriak dengan congkaknya: “Wahai Muhammad, tolong ke-
luarkan pasukanmu yang selevel dengan kami yang berasal dari kaum
kami juga (suku Quraisy).
Muhammad lalu memerintah Hamzah, ‘Ali bin Abi Thalib, dan
Ubaidah bin Harits untuk menghajar ulah tiga prajurit tersebut.
Hamzah menghadapi Syaibah bin Rabi‘ah, seorang pemberani dari
pasukan Quraisy. ‘Ali bin Abi Thalib mendapat bagian menghadapi
Walid, sedangkan Ubaidah bin Harits menghadapi Utbah. Kesempatan
untuk menebas batang leher dan menghabisi nyawa Syaibah tidak
disia-siakan oleh Hamzah. Demikian juga halnya apa yang dilakukan
‘Ali terhadap Walid. Sedangkan Ubaidah, hampir saja ia ditamatkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 283


riwayat hidupnya oleh Utbah seandainya Hamzah tidak cepat-cepat
menolong. Seketika itu pula, dengan segala kelihaiannya, ‘Ali dapat
menewaskan Utbah dengan ujung pedangnya.
Dalam waktu sekejap, tiga personel dari kalangan pembesar Qurai-
sy itu tewas bersimbah darah. Mereka yang gugur dalam waktu yang
bersamaan itu adalah jagoan-jagoan pasukan Quraisy yang menemui
ajalnya di ujung pedang pahlawan muslimin.
Setelah pasukan Muhammad melihat tiga personel dari pasukan
Quraisy itu mati bersimbah darah, maka ber­gemuruhlah suara takbir
dan tahlil.
Selanjutnya, dengan lantang Nabi berseru: “Barangsiapa yang
berperang pada hari ini, lalu terbunuh dalam kesabaran dan meng-
harapkan keridhaan Allah dengan kemantapan hati pantang mundur,
maka Allah akan memasukkan orang tersebut ke dalam surga kelak.”
“Ha...?! Penyebabku masuk surga saat ini adalah jika aku terbunuh
oleh tentara kuffar itu?” gumam seorang laki-laki yang sedang makan
buah kurma dengan penuh keheranan.
Laki-laki itu langsung membuang kurmanya, lalu bergegas pergi ke
kancah pertempuran, diikuti oleh pasukan muslimin yang lain. Maka
pertempuran pecah kembali di antara kedua belah pihak itu.
Seluruh personel pasukan Islam tidak mempunyai alternatif lain,
selain gugur dalam pertempuran untuk memperoleh imbalan surga yang
dijanjikan. Sementara motif yang melatar-belakangi pasukan Quraisy
adalah melenyapkan Muhammad dari permukaan bumi semata, agar
mereka dapat hidup tenang dalam hedonisme, kekayaan yang keji,
tuak, dan perempuan.
Tiga ratus pasukan bertempur dalam bara keimanan dan kecintaan
mendambakan kematian di medan per­tempuran. Dengan kemantapan
aqidahnya, tiga ratus pasukan muslimin tersebut menghadapi seribu
tentara Quraisy yang bertempur lantaran membela kepentingan hidup
semata serta didorong oleh emosional yang membara, api dendam dan
memimpikan kekuasaan belaka.

284 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Tentara Quraisy dengan pasukan yang berjumlah seribu orang itu,
lebih unggul dalam persenjataan. Mereka dilengkapi dengan kuda-kuda
tangguh serta perisai baju-baju besi. Sedangkan tentara muslimin yang
berjumlah tiga ratus personel itu hanya mempunyai dua orang pasukan
berkuda.
Muhammad memerintahkan pasukannya agar mereka bertempur
dengan semangat yang tinggi untuk menumpas gembong-gembong
Quraisy. Muhammad juga memerintah­kan agar mereka mencari Abu
Jahal, sebab kematiannya akan mengkerdilkan nyali pasukan Quraisy
yang pemberani, seperti rasa kerdilnya pasukan Quraisy ketika tewas-
nya Syaibah, Utbah, dan Walid.
Hamzah telah membuka pertempuran dengan baik. Kini ia terjun
ke kancah pertempuran dengan segala popularitas keberaniannya di
hadapan orang-orang Quraisy. Pasukan berkuda dari pihak Quraisy
sudah pasti akan menghadangnya dan akan memotong jalannya. Di
sisi Hamzah bertarung, ‘Ali bin Abi Thalib bertempur dengan amat
gagah berani, sementara tidak jauh dari mereka bertarung Sa‘ad bin
Abi Waqqash terlibat pertarungan juga. Di sana-sini pedang-pedang
berguguran dibabat habis oleh ‘Umar bin Khaththab, Bilal bin Rabah,
dan semua pasukan kuda di bawah komandan Muhammad.
Pertempuran demi pertempuran terus berkobar tak kunjung jua
usai. Kalangan Quraisy dengan pasukan kudanya yang dilengkapi den-
gan baju besi terus melakukan penyerbuan. Namun prajurit-prajurit
dari pasukan ajaran baru ini satu-persatu mulai ada yang berguguran
dengan bersimbah darah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 285


286 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Banjir darah
di Lembah Badar

P asukan Quraisy yang berkekuatan seratus kuda,


tujuh ratus unta yang terlatih, dan seribu personel
yang dilengkapi dengan baju besi terus meradang dan melakukan
penyerangan secara agresif.
Pasukan Quraisy hampir saja dapat membabat habis sebanyak tiga
ratus personel muslimin yang berada di posisi terkepung, tanpa meng-
gunakan pelindung baju besi dan kuda. Di pihak pasukan muslim,
ada orang yang memutar pedangnya, agar tidak menyasar ke dada
saudaranya, ayah, kerabat dekat, atau temannya sendiri yang berada
dalam pasukan musuh.
Kini pasukan dari pihak orang-orang Islam jatuh berguguran, satu demi
satu. Kekuatan yang sebelumnya terhimpun, kini sudah terkuras semua,
tak ada lagi yang tersisa!
Mata menyambar ke sana-sini mencari mangsa yang akan diterkamnya,
dada-dada atau leher-leher yang dapat ditemuinya. Dengan hati yang
berdebar-debar, Muhammad berdo‘a di depan pintu kemahnya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 287


Jika pasukan Quraisy pada hari ini yang memenangkan pertempuran,
maka panji-panji dakwahnya tak akan pernah berkibar lagi dan semua
ketimpangan yang terjadi di muka bumi akan terus berlangsung se-
lamanya. Abu Bakar yang berada di sisi Muhammad berusaha men-
enangkan kegelisahannya, memberikan support rasa percaya diri dan
optimisme-optimisme yang lain.
Hanya saja pasukan Quraisy terus maju dari bukit yang ditempati
mereka. Saat ini mereka sudah mendekati posisi pasukan muslim yang
berada di daerah dataran yang tinggi. Pasukan Quraisy hampir menca-
pai sumber air. Jika mereka dapat mencapai sumber mata air, hingga
dapat meng­hilangkan rasa hausnya, maka sudah dapat dipastikan
“tentara-tentara Muhammad” tak akan mampu lagi menahan serangan
pasukan berkuda pihak Quraisy yang terus menerjang.
Hamzah melakukan penjagaan ketat pada pasukan Quraisy yang akan
menuju ke sumber mata air. Hamzah terlibat pertarungan dengan
beberapa orang prajurit yang dilengkapi baju besi yang berusaha
menerobos ke sumber mata air tersebut. Namun ternyata dua penung-
gang kuda pihak Quraisy tewas sebelum mencapai sumber air. Tetapi
untung saja yang seorang lagi dapat lolos. Ia membuka celah-celah
pertahanan yang akan diterobos oleh pe­nung­gang-penunggang kuda
lainnya yang tangguh dan cekatan.
Hamzah dengan tubuhnya yang tegap dan gempal ber­diri tegak me-
nutupi celah-celah pertahanan tersebut. Dia tegak berdiri dengan
menggenggam sebilah pedang di tangan­nya. Bulu-bulu dadanya yang
halus bergetar-getar. Dia telah menebas dua batang leher penunggang
kuda Quraisy yang berusaha menerobos ke sumber air. Pe­nunggang
kuda yang pemberani itu, dia habisi satu per satu.
Muhammad pada waktu itu berseru dengan suara lantang kepada
anggota pasukannya agar jangan sampai memberikan peluang bagi
tentara-tentara Quraisy untuk mencapai ke sumber air. Dia berseru:
“Mereka kini sedang dalam kehausan. Hendaklah rasa haus mereka
juga kalian jadikan sebagai senjata untuk menggempur mereka. Mer-
eka kini juga sedang kepayahan lantaran dibakar teriknya matahari.

288 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Biarkan mereka dirobek-robek oleh kepayahan. Biarkan saja mereka
hanya bisa berteduh di bawah pedang-pedang tentara-tentara muslim.
Wahai para anggota pasukan, ganyang terus mereka. Ganyanglah semua
musuh-musuh kalian. Bantai saja semuanya tanpa berbelas kasihan
lagi, karena surga berada di bawah pedang-pedang kalian.
Pasukan Islam tersentak mendengar seruan itu. Mata pedang berkele-
batan ke sana ke mari menebas batang leher siapa saja, bahkan ada
yang menyasar ke mantan teman sekalipun.
‘Umar juga menyergap pamannya, lalu ia membunuh­nya. Ubaidah bin
Jarrah mencoba menasihati ayahnya agar menjauh, tetapi ayahnya
tetap berdiri di hadapannya dengan pedang yang terhunus, maka di-
bunuhlah ayahnya. Tangan Ubaidah berlumuran darah dari percikan
darah ayahnya. Setelah membunuh, Ubaidah maju terus me­nembus
barisan-barisan musuh yang sedang bertempur.
Sementara ‘Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh beberapa sauda-
ranya, sedangkan Hamzah tanpa ambil peduli terus menerobos barisan
demi barisan tentara Quraisy dengan satu tekad akan melibas jagoan-
jagoan dan pemuka Quraisy. Akhirnya, Hamzah berhasil juga membunuh
Handhalah bin Abu Sufyan dan Harits bin Amir.
Selanjutnya, Naufal bin Khuwailid menyelinap ke tengah-tengah
pasukan muslim, lalu menyerang dengan beringas dan kuda yang di-
tungganginya menggilas mayat-mayat tentara Islam. Hamzah datang
menyerang Naufal bin Khuwailid yang sedang duduk di atas kuda sam-
bil mengenakan baju besi dan topi baja. Naufal menggebrak kudanya
untuk menyerang Hamzah, tapi Hamzah dapat melakukan lompatan-
lompatan elakan beberapa jengkal ke belakang, lalu berputar, kemu-
dian dia membabatkan pedangnya pada kuda yang ditunggangi Naufal.
Hamzah membalas serangan Naufal. Sementara itu, tentara-tentara
dari kedua belah pihak memperhatikan dengan penuh kecemasan,
menunggu hasil akhir perang tanding yang sangat mengerikan ini.
Pedang Hamzah berkelebat ke arah leher Naufal dan tepat men-
genai sasaran. Mata pedang Hamzah membabat bagian tubuh Naufal
yang terletak di antara bagian baju besi dan topi baja. Akhirnya, kepala

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 289


Naufal lepas terpisah dari tubuhnya yang sedang menunggangi kuda.
Demikianlah, Hamzah dapat menebas batang leher seorang gem-
bong Quraisy. Melihat insiden ini, hati tentara-tentara muslim terasa
sedikit lega. Pasukan muslim merasa gembira sekali, karena dengan
dada telanjang tanpa perisai, tanpa baju besi dan topi baja, dapat
mendesak kekuatan musuh yang bertempur dengan peralatan dan
pakaian lengkap. Sementara orang-orang Quraisy yang melihat ke-
hebatan Hamzah terkejut sekali. Nyali mereka mulai ciut. Selangkah
demi selangkah mereka mundur.
Abu Jahal segera memacu kudanya menemui tentara-tentara yang
berada di posisi terjepit. Dia mencari peluang dan kesempatan untuk
menata barisan mereka. Duduk di atas punggung kudanya, Abu Jahal
memperhatikan situasi dan mengamati kekuatan pasukan muslim.
Sebaliknya, tentara pihak muslim sedang mengincarnya. Ia tidak sadar
bahwa ada dua prajurit muslim menyelinap menghadapi Abu Jahal,
hingga akhirnya Abu Jahal tewas terkapar di ujung pedang prajurit
muslim tersebut.
Muhammad optimis bahwa ia akan dapat meraih kesuksesan di
pertempuran ini dalam tempo yang relatif singkat. Itulah mereka,
mayat-mayat pembesar Quraisy dan pasukan kudanya bergelimpangan
di atas tanah.
Hamzah! Alangkah mengagumkan engkau!
Engkau dapat menyulap pasukan yang jumlahnya sedikit ini
meraih kemenangan yang gemilang. Engkaulah yang tegak berdiri
dengan gagah berani menghadang pasukan-pasukan Quraisy yang akan
mengambil air. Engkaulah pula yang dapat menumpas habis pasukan
berkuda Quraisy yang tangguh-tangguh, hanya dengan mencurahkan
segenap kekuatanmu.
Beberapa orang pasukan Quraisy yang melarikan diri terbirit-birit
itu saling bertanya-tanya: “Siapakah laki-laki yang dikenal dengan
bulu-bulu dadanya yang halus dan wajah­nya tertutup dengan debu-
debu medan per­tem­puran?”
“Dia itu Hamzah,” jawab salah seorang dari mereka.

290 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Sementara mereka yang lain mendesah dalam ke­kesalan.
“Dialah yang sebenarnya banyak melakukan penye­rangan kepada
kita semua,” pungkasnya.
Hamzah! Engkau telah menghajar mereka. Meskipun engkau
seorang diri, tapi kekuatanmu hampir menyamai kekuatan seluruh
pasukan. Kini sejumlah tentara Quraisy lari tunggang-langgang men-
cari posisi yang dapat menye­lamatkan dirinya sendiri. Hati mereka
mulai dilanda rasa takut. Bahkan tidak terkecuali, mereka yang masih
mencoba bertahan dalam pertempuran.
Di tengah-tengah gemerincingnya suara pedang, terdengar suara
nyaring memberi peringatan: “Pasukan Muhammad lebih dari tiga
ratus personel. Mereka tanpa mengenakan pakaian pelindung, kecu-
ali pedang-pedang mereka. Setiap kali ada yang terbunuh di antara
mereka, pasti ada yang terbunuh di antara kita. Jika jumlah pasukan
mereka sama dengan jumlah pasukan kita, lalu dari pihak kita terbunuh
tiga ratus personal, maka apakah ada peluang hidup bagi kita?”
Di balik situasi yang kian terjepit itu, Abu Jahal terus bertempur.
Dia mendengar teriakan pasukan tersebut. Karena itu, ia mengutus
anaknya, ‘Ikrimah, untuk men­dorong barisan-barisan Quraisy tetap
bertahan dalam pertempuran. Dia mengingatkan kepada mereka bah-
wa mereka adalah pemimpin-pemimpin Arab dan kelompok mayoritas.
Sementara itu laskar-laskar Islam terus mendesak untuk membunuh
lebih banyak lagi dari pemuka-pemuka Quraisy.
Ini dia giliran Bilal bin Rabbah yang akan menemui bekas majikan-
nya yang bernama Umayyah bin Khalaf.
Betapa ganas Umayyah dulu ketika menyiksa Bilal di tengah terik
matahari kota Makkah.
Umayyah akhirnya meminta perlindungan kepada seorang te-
mannya yang bernama ‘Abdurrahman bin ‘Auf lantaran ia takut mati,
apalagi diujung pedang mantan budaknya.
Namun Bilal tetap memperotes semua ini. Dengan lantang ia
katakan kepada orang-orang sekitarnya: “Aah! Ini dia Umayyah bin
Khalaf, si gembong kekafiran.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 291


Betapapun usaha yang dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf dalam
rangka menyelamatkan temannya itu, semuanya hanyalah sia-sia be-
laka. Hal ini dikarenakan Bilal berbulat hati dan menyatakan dengan
tegas: “Aku takkan pernah selamat, jika Umayyah selamat.”
Orang-orang yang pernah disiksa Umayyah ketika mereka berada
di Makkah sebelum mengungsi, dalam sekejap saja mereka semuanya
berkumpul. Mereka mencerca tindakan ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang
memberi­kan perlindungan tidak hanya kepada dirinya, tetapi juga
tindakan Umayyah yang telah menyakiti Muhammad.
Mereka menuduh ‘Abdurrahman bahwa meskipun ia telah masuk
Islam, namun ia masih menyisakan rasa simpatik terhadap kawan-
kawan lamanya dari kalangan pembesar Quraisy. Kualitas dan kuantitas
keimanan ‘Abdurrahman dapat dikalahkan oleh rasa simpatik serta
hubungan pribadi dengan teman-temannya.
‘Abdurrahman marah sekali kepada mereka, dia mencela Bilal:
“Hai anak hitam.”
Tapi kesempatan untuk berdialog dan mencaci-maki pada saat ini
bukanlah waktu yang tepat.
Hamzah dan ‘Ali telah berani membunuh saudara-saudara sepu-
punya. ‘Umar telah membunuh pamannya. Ubaidah bin Jarrah telah
membunuh ayahnya. Lalu mengapa ‘Abdurrahman merasa berat hati
membunuh temannya hanya karena dia itu orang kaya seperti dirinya?
Bilal menantang Umayyah untuk berduel. Tantangan itu akhirnya
diterima dan terjadilah perang tanding di antara mereka berdua,
hingga akhirnya Bilal bin Rabah berhasil menebas batang leher
Umayyah. Setelah kepala Umayyah lepas dari tubuhnya, Bilal bin
Rabah masih saja dengan cepat menusukkan ujung pedangnya pada
kepala Umayyah yang bergulir-gulir di tanah, sambil berlari dan me-
nari penuh kegairahan di tengah-tengah kepulan debu peperangan.
Muhammad datang untuk melihat jumlah pembesar Quraisy yang
gugur. Di atas bumi lembah Badar, dia melihat sepupunya mati ter-
kapar berlumur darah, yang sebelum itu ia belum pernah melakukan
kejahatan terhadap dirinya. Dia juga melihat pasukan muslim meny-

292 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


erang barisan-barisan tentara Quraisy dengan garang terhadap siapa
saja yang di temuinya, walaupun terhadap sanak saudaranya sendiri.
Semua kenyataan yang terbentang di hadapannya, sebenar­nya terasa
memilukan hatinya.
“Aku tahu banyak orang dari kalangan Bani Hasyim yang kepergi-
annya hanya terpaksa saja. Sebenarnya mereka tak punya kepentingan
apa-apa berperang melawan kita. Karena itu, Barangsiapa yang men-
jumpai Bakhtari, jangan kalian bunuh, karena dia telah menghalang-
halangi pihak-pihak yang akan menyiksa kita sewaktu ada di Makkah;
dan kita belum pernah mendengar hal-hal yang kita benci dari Bakhtari.
Dialah orang yang telah merobek lembar pengumuman blokade pada
Bani Hasyim. Barangsiapa yang juga menjumpai pamanku, ‘Abbas bin
‘Abdul Muththalib, janganlah kalian bunuh, karena dia berperang hanya
karena terpaksa saja,” pinta Muhammad.
Barisan tentara Quraisy sementara itu terus berdesak-desakan
mundur.
“Kita sudah membantai ayah kita dan sanak famili kita, lalu
mengapa kita akan membiarkan ‘Abbas? Demi Allah, jika aku sampai
menemukannya, aku akan menebas batang lehernya,” protes salah
seorang dari pasukan yang dihimbau Muhammad.
Muhammad memandang orang yang memprotes itu dengan tatapan
mata yang tajam, hingga mendekatlah ‘Umar bin Khaththab pada si
tukang protes tersebut. Si tukang protes itu mengatakan: “‘Umar,
bukankah engkau telah menancapkan pedangmu di wajah pamanku?’
‘Umar menyadari hal itu, tapi ia tetap memarahinya seraya ber-
kata: “Sungguh, engkau ini munafiq. Akan kupenggal batang lehermu.”
Kini ‘Umar mengambil ancang-ancang untuk memukul roboh laki-
laki yang memprotes itu, tapi Muhammad tak memperbolehkan ada
pedang yang dipergunakan untuk lawan berubah fungsi dan berputar
pada arah kawan.
Pasukan muslim terus melancarkan serangan-serangan pada pasu-
kan Quraisy. Namun tanpa diduga-duga, salah se­orang pasukan muslim
berhasil menemukan Bakhtari, maka disampaikanlah himbauan Muham-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 293


mad kepada laki-laki itu.
Bakhtari meminta perlindungan kepada seorang teman­nya. Tapi
beberapa orang tentara muslim terus menyer­gapnya. Ketika itu
Bakhtari mengatakan: “Jika demikian, biarkan aku mati dengan dia
bersama-sama. Aku tak ingin engkau menceritakan tentang diriku ke-
pada perempuan-perempuan Makkah, bahwa aku telah me­ninggalkan
teman-teman, karena aku ingin sekali untuk hidup.”
Perang tanding pun tak dapat dihindarkan lagi. Bakhtari akhirnya
tewas di ujung pedang juga.
Matahari masih belum tergelincir, pasukan Quraisy dibuat kewala-
han menanggung rasa haus dalam per­tempuran. Tewasnya penunggang-
penunggang kuda Quraisy yang tangguh-tangguh dan jagoan-jagoan
serta bangsawan-bangsawan mereka membuat pihak pasukan Quraisy
patah semangat. Mereka tak punya pilihan lain, kecuali harus men-
gumpulkan pedang teman-temanya yang sudah tumpul dan mening-
galkan bangkai-bangkai mayat yang ber­ge­limpangan di bumi lembah
Badar. Namun meskipun demikian, pasukan mereka yang masih tersisa
terus diburu oleh pasukan muslim, lalu ditangkapnya untuk dijadikan
tawanan perang.
Setiap kali tentara muslim melihat segerombolan tentara Quraisy
lari kocar-kacir, hati tentara kaum muslimin merasa berbunga-bunga
lantaran gembira telah meraih keme­nangan. Ungkapan salam kemenan-
gan menebar di antara mereka semua.
Tapi hati Muhammad masih merasa khawatir melihat kemenan-
gan yang telah diraih oleh pasukannya, jangan-jangan fenomena ini
hanyalah tipu daya dari pihak musuh belaka, sebab peperangan penuh
dengan tipu daya. Bagi Muhammad, jangan-jangan dari pihak musuh
pura-pura kalah, tetapi sebenarnya aksi itu hanyalah siasat licik mereka
untuk balik lagi, lalu melakukan pengepungan atau penyerbuan pada
saat pasukannya masih berada di luar kota Madinah.
Muhammad memerintahkan beberapa telik sandi untuk membun-
tuti tentara Quraisy yang lari terbirit-birit dan sudah tidak memiliki
kekuatan lagi agar menangkap salah seorang di antara mereka. Siapa

294 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


tahu, barangkali orang-orang Yahudi membukakan pintu peluang bagi
mereka untuk memasuki Madinah dari arah belakang.
Beberapa telik sendi yang ditugaskan Muhammad terus melacak je-
jak tentara-tentara Quraisy yang lumpuh total. Sementara itu, tentara
Quraisy lari tergopoh-gopoh dalam kehausan dan menanggung beratnya
kekalahan, sampai-sampai mereka tak memikirkan lagi perlengkapan
dan bahan-bahan makanan mereka yang dibawanya.
Namun pasukan muslim merasa yakin bahwa tentara-tentara
Quraisy benar-benar telah pulang kembali ke Makkah. Berhamburanlah
tentara-tentara muslim menuju ke medan pertempuran hanya untuk
mengambil baju besi, pedang-pedang, kuda-kuda, dan baju-baju su-
tra yang mahal-mahal yang dikenakan pembesar-pembesar Quraisy
dengan bau parfum yang semerbak. Mereka tinggal di lembah Badar
untuk beberapa hari, menyelenggarakan pesta-pora, makan-makan,
minum-minum tuak, dan dihibur oleh budak-budak mereka. Tetapi
tingkah laku pasukannya itu membuat hati Muhammad merasa khawatir
akan menjadi bahan cemoohan dan akan menimbulkan citra negatif
di kalangan bangsa Arab.
Sementara itu, masing-masing orang menjaga perleng­kapan per-
ang dan tawanan yang telah berhasil dirampasnya. Tapi Muhammad
menginstruksikan agar membawa semua barang-barang rampasan dan
tawanan yang mereka peroleh ke dalam kemahnya. Adapun tawanan
yang berhasil mereka dapatkan adalah sebanyak tujuh puluh orang
laki-laki, di antaranya terdapat orang yang stratifikasi sosialnya ter-
golong elit di kalangan Quraisy. Muhammad juga menginstruksikan agar
mereka mengumpulkan orang-orang yang terbunuh, supaya diketahui
jumlahnya dari pihak muslim dan pihak kuffar Quraisy. Bahkan dia
meng­instruksikan agar mencari Abu Jahal untuk mengetahui apakah
dia terbunuh atau masih bergentayangan.
Tak lama berselang, ‘Abdullah bin Mas‘ud datang menghadap
Muhammad dengan menjinjing kepala Abu Jahal. Abu Jahal menghem-
buskan nafasnya yang terakhir di kancah pertempuran dalam keadaan
mengutuk Muhammad dan pengikut-pengikutnya. ‘Abdullah menginjakkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 295


kakinya di dada Abu Jahal, kemudian dia memenggal lehernya, lalu
membawanya menghadap Muhammad.
Ketika Muhammad melihat kepala Abu Jahal, dia mengatakan
kepada ‘Ammar bin Yasir: “Allah telah membunuh orang yang telah
membunuh ibumu.”
Muhammad turun langsung ke bekas medan per­tempuran untuk
mengadakan pemantauan. Dia menemukan empat belas orang dari
pasukannya yang gugur sebagai syahid, termasuk di dalamnya saudara
Sa‘ad bin Abi Waqqash dan suami Hafshah binti ‘Umar. Sedangkan
jumlah orang yang terbunuh dari pihak kuffar Quraisy sebanyak tujuh
puluh orang.
Pihak Quraisy yang ditemukan Muhammad dalam keadaan terbunuh
tersebut di antaranya adalah Utbah bin Rabi‘ah, Syaibah bin Rabi‘ah,
Ibnul Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, Zam‘ah bin Aswad, Naufal
bin Khuwailid, Aswad bin Abdul Aswad, pembesar-pembesar Quraisy
yang lain, penunggang-penunggang kudanya, dan jago-jagoannya. Mer-
eka semuanya yang kini telah menjadi bangkai lembah Badar adalah
orang yang pernah menyiksa dan bersikap congkak terhadap dirinya.
Mereka itulah orang-orang yang mendustakannya, mencaci-maki, dan
melakukan tindakan makar kepada dirinya.
Muhammad memerintahkan anggota pasukannya untuk mengubur
semua korban dari pihaknya, tanpa terkecuali, sedangkan mayat-mayat
pembesar Quraisy justru diperin­tah­kan agar dibuang ke dalam sumur
kering, lalu ditimbuni dengan bebatuan.
Pasukan muslim kembali pulang ke Madinah sambil berarak-arakan
membawa kemenangan gemilang. Di samping Muhammad ada beberapa
orang yang ditugaskan mengiring tawanan yang diikat kuat-kuat. Dia
mem­perhatikan raut muka shahabat-shahabatnya yang berbinar-binar
dengan cahaya kemenangan, kecuali wajah Hudzaifah bin Utbah, si
pembunuh ayahnya sendiri, yang berjalan di samping Hamzah.
“Barangkali saja duka menyelimuti hatimu lantaran kematian
ayahmu?” Muhammad mencoba menanyakan membelah kedukaannya.

296 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Batinku sama sekali tak merasa goyah tentang per­soalan ayah
ataupun kematiannya, tapi aku mengenal pemi­kiran, kesabaran, dan
keutamaan yang dimilikinya. Aku sebenarnya sangat berharap dia akan
mendapat petunjuk. Setelah aku melihat kenyataan yang menimpa
ayahku, aku merasa sangat duka sekali,” jawab Hudzaifah lirih.
Iringan-iringan pasukan Muhammad yang membawa kemenangan
terus bergerak menuju Madinah. Muhammad mendengar gelak tawa
dan sorak-sorai orang-orang yang menggiring dan menyeret tawanan-
tawanan di belakangnya. Mush‘ab bin ‘Umar mengatakan kepada be-
berapa orang temannya: “Perkuatlah ikatanmu itu, karena dia memiliki
seorang ibu yang kaya dan banyak perabot-perabot rumah berharga.
Barangkali saja ibunya akan menebusnya.”
Muhammad melihat tawanan-tawanan itu diikat dengan kuat
sekali. Akhirnya, beliau memberikan saran kepada para shahabatnya:
“Hendaklah kalian semua memper­lakukan tawanan-tawanan itu dengan
baik.”
Dia memerintahkan kepada dua orang penunggang kuda agar
membawa beberapa tawanan dan memberi minum, supaya tawanan
itu tidak mati dalam kondisi kehausan. Sekilas, dia melihat tawanan-
tawanan itu terdapat suami Zainab, anak perempuannya; dan paman-
nya, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib.
Di suatu dataran tinggi Madinah, beberapa delegasi dari suku-
suku yang mempunyai hubungan baik, datang mengucapkan selamat
atas kemenangan yang diraih Muhammad dengan segenap pasukan-
nya. Salah seorang di antara shahabat-shahabat Muhammad berkata
dengan congkak: “Apa yang mendorong mereka hingga mau datang
kepada kita untuk menyampaikan ucapan selamat, padahal kita tak
menghadapi apa-apa, selain menemui orang-orang tua bangka yang
sudah botak-botak selaksa unta-unta, lalu kita menyembelihnya?”
Mendengar kecongkakan kata-kata shahabatnya, Muhammad
merasa kurang senang seraya mengatakan: “Wahai putra saudaraku,
para tawanan ini adalah para pembesar,” ucap Muhammad.
“Tidaklah pantas menghina kedudukan seseorang karena kalah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 297


berperang,” lanjutnya.
Sebelum memasuki kota Madinah, Muhammad mem­b agikan
tawanan kepada para shahabatnya. Sekali lagi dia menghimbau agar
memperlakukan tawanan itu dengan baik. Himbauan ini dia katakan
dengan maksud ingin memancing tanggapan dari teman-temannya.
Dia berpikir sejenak, kemudian dia meminta pertimbangan kepada
teman-temannya.
Menurut pendapat ‘Umar, para tawanan itu sebaiknya dibunuh
saja. Alasannya, karena mereka datang dengan sikap menentang dan
bermaksud menyerang orang-orang Islam. Akan tetapi, Abu Bakar
berpendapat sebaliknya bahwa tindakan yang sebaiknya kita berikan
kepada para tawanan itu adalah memberi mereka kesempatan untuk
berpikir, barangkali mereka bersedia mengikuti ajaran baru ini.
Muhammad condong pada pendapat Abu Bakar, karena pengam-
punan adalah kunci untuk membuka pintu yang tertutup rapat.
Akhirnya, dia memutuskan untuk membebaskan para tawanan
dengan syarat ada tebusan yang dikirim dari pihak mereka. Adapun
para tawanan yang menguasai tulis-baca sementara mereka tak mampu
menebus dirinya, maka sebagai gantinya tiap-tiap orang dari mereka
harus mengajarkan tulis-baca kepada 10 anak kaum muslimin.
Seorang tawanan menghadap kepada Muhammad dan menyatakan
bahwa dirinya tergolong orang miskin yang tidak memiliki harta benda.
Ia juga tak memiliki ilmu yang dapat dijadikan tebusan, padahal ia
mempunyai anak-anak perempuan di Makkah yang masih memerlukan
uluran tangannya untuk menjalani kehidupan. Akhirnya, Muhammad
melepaskan tawanan itu agar kembali lagi kepada anak-anak perem-
puannya untuk dibesarkan dengan catatan pada waktu yang lain ia tidak
akan mengadakan penyerbuan lagi.
Pihak Quraisy pun lalu mengirimkan sejumlah uang untuk menebus
para tawanan itu. Menurut informasi yang disampaikan oleh salah
seorang dari para kurir yang ditugaskan kuffar Quraisy untuk menyam-
paikan uang tebusan tersebut, Muhammad mengetahui bahwa pihak
Quraisy tengah mengadakan persiapan penyerbuan lagi. Mereka sedang

298 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mengumpulkan sejumlah pasukan untuk menyerang orang-orang Islam
dengan jumlah yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Sudah banyak tawanan yang dilepaskan Muhammad, tapi yang
kembali ke Makkah sedikit saja. Dia diam sejenak untuk mempertim-
bangkan keputusan yang lebih tepat, jika demikian keadaannya. Dia
keluar menemui shahabat-shahabatnya dan menyatakan kekeliruan
yang telah diperbuatnya ketika menolak saran-saran yang dikemukakan
‘Umar. Semestinya, dia tidak melepaskan tawanan Quraisy yang nanti-
nya akan dimanfaatkan pihak Quraisy untuk melakukan penyerbuan
kembali.

“Tidak selayaknya bagi seorang Nabi mempunyai tawanan, sebelum ia me-


lumpuhkan musuh-musuhnya di muka bumi.” (QS. Al-Anfaal [8]: 67)
Tetapi, bagaimanapun juga dia tidak dapat menerap­kan dua aturan
yang berbeda pada para tawanan. Tidak ada pilihan lain, dia harus
menerima tebusan dari tawanan yang masih tersisa.
Muhammad masih tetap tinggal bersama sekutu-sekutunya di
luar kota Madinah, menerima tebusan dari para tawanan yang ditebus
oleh keluarganya. Dari uang tebusan itu, akhirnya terkumpul seban-
yak empat puluh dirham. Bagus! Jumlah ini sangat memadai untuk
persiapan perang, jika pihak Quraisy mencoba akan mengadakan
penyerbuan kembali. Para prajurit perang itu sudah tidak sabar lagi
menunggu pembagian harta rampasan tersebut yang dirasakan proses
distribusinya sangat lambat. Memang, Muhammad memerintahkan
mereka agar mengumpulkan semua hasil rampasan kepada dirinya.
Tapi, kenyataannya harta rampasan perang itu tidak juga dilakukan
sistem pembagiannya.
Mereka saling membicarakan persoalan ini. Masing-masing di an-
tara mereka punya pendapat sendiri-sendiri dalam pembagian harta
rampasan ini, hingga mereka terlibat dalam perselisihan pendapat
yang cukup kritis dan tak lagi memperhatikan etika dalam konflik ini.
Mereka yang telah bertempur melawan musuh, merasa paling

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 299


berhak terhadap rampasan itu, sebab andaikata tanpa mereka, tak
mungkin mendapatkan harta rampasan. Sementara bagi orang-orang
yang mengumpulkan harta rampasan, justru dialah orang yang mengaku
paling berhak memilikinya, tak ada orang lain yang berhak atas harta
rampasan itu.
Sedangkan tentara yang bertugas menjaga kemah Muhammad me-
nolak sikap mereka semua, sebab menurut­nya bahwa yang bertugas
menjaga kemah Muhammad bisa saja bertempur sebagaimana halnya
mereka yang ber­tempur dan bisa saja mengumpulkan harta rampasan.
Tapi, lantaran mereka bertugas menjaga kemah yang jika mereka
meninggalkannya menjadikan stabilitas keamanan dan keselamatan
Muhammad merasa terganggu, maka akhirnya mereka tidak bisa men-
gumpulkan harta rampasan.
Shahabat-shahabat Muhammad hampir saja berkelahi gara-gara
masalah pembagian harta rampasan ini, di mana antara yang satu
dengan yang lain saling menggoblok-goblokkan, hingga shahabat yang
satu akan menggores muka saudaranya sendiri dengan sebilah pedang.
Menyaksikan insiden ini, keluarlah Muhammad menemui mereka
sambil berteriak penuh dengan kemarahan: “Kalian semua adalah
orang-orang yang paling utama daripada orang-orang yang lain. Kare-
nanya, jadikanlah cinta kasih di antara kalian semua sebagai prisip
dalam pengambilan keputusan, bukan kompetitif dalam harta benda.
Jika kalian semua sudah tak lagi menjadikan ketulusan hati sebagai
dasar kehidupan kalian, maka sudah pasti kalian akan dilanda perti-
kaian dan kekacauan hidup terus-menerus.”
Selanjutnya, Muhammad memutuskan pembagian harta rampasan
secara merata di antara orang-orang yang ikut dalam pertempuran.
Semua pihak tunduk patuh pada keputusan ini.
Suara-suara kerakusan akan harta rampasan telah bungkam, tetapi
sebagian masih ada orang yang bermaksud akan minta barang-barang
yang diinginkan kepada Muhammad. Tapi Muhammad tidak mau
menerima permintaan tersebut. Hanya shahabat Arqam yang punya
bagian sebilah pedang yang dirampasnya sendiri dan memang menjadi

300 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dambaannya.
Setelah memasuki Madinah, Muhammad langsung me­nuju masjid,
menyampaikan orasi dan sekaligus meng­umumkan nama-nama bang-
sawan Quraisy yang terbunuh.
Setelah berorasi, Muhammad keluar dari masjid langsung menuju
ke rumah Ruqayyah untuk menjenguknya. Akan tetapi, sebelum ia
sampai ke rumah putrinya, tiba-tiba datang beberapa orang laki-laki
tergopoh-gopoh di mana mereka sebenarnya baru pulang dari upacara
penguburan Ruqayyah.
Setibanya di rumah putrinya, suami Ruqayyah, ‘Utsman langsung
merangkul Muhammad. Dia mengajak ke kuburan istrinya. Muham-
mad menundukkan mukanya sambil menangis sedih di dekat pusara
putrinya. Beberapa temannya yang sedang duduk di dekatnya beru-
saha menghibur hatinya. “Hentikan tangismu! Apakah engkau akan
melakukan perbuatan yang engkau larang kepada kami?” Demikian
cegah salah seorang di antara mereka. Teman-temannya kemudian
menggandengnya, lalu meng­ajak pulang ke rumahnya. Hatinya galau
di antara kebanggaan memenangkan pertempuran dan luka dalam yang
sangat memilukan lantaran telah kehilangan putrinya. Air matanya
membasahi suara kemenangannya.
Sebelum Muhammad dan teman-temannya melangkah­kan kaki ke
jalan menuju rumahnya, seorang laki-laki dari kalangan bangsawan
Yahudi menghadang dengan tatapan mata sinis. Si Yahudi itu ngomel:
“Bangsawan Quraisy memang tak punya keahlian dalam soal peperan-
gan. Andai saja engkau berperang melawan kami, maka sudah tentu
engkau akan tahu, bahwa yang benar-benar jagoan hanyalah dari
kalangan kami.”
Kemenangan Muhammad dalam pertempuran melawan orang-
orang Quraisy, rupanya sangat menyebalkan hati orang Yahudi. Apa
masalahnya dulu, sehingga dia berani menantang Muhammad dan
menentang untuk berperang. Tapi Muhammad tidak mengizinkan sha-
habatnya untuk melakukan disintegrasi di Madinah.
Dia bersikap wajar saja kepada si Yahudi tadi. Dia tak mau men-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 301


gangkat senjata terhadap salah seorang penduduk Madinah. Hari ini
dia sangat mendambakan integrasi daripada waktu-waktu yang telah
berlalu, sebab pihak Quraisy sedang mempersiapkan penyerbuan
kembali untuk menuntut balas kawan-kawan mereka yang tewas di
lembah Badar. Baginya, orang-orang Quraisy tidak boleh me­manfaatkan
ketujuh puluh korban yang tewas dalam pertempuran di lembah Badar
itu, hingga mereka dapat menuntut balas kepada orang-orang Islam,
sebab hatinya masih menyimpan duka yang sangat dalam atas kematian
empat belas teman-temannya di pertempuran tersebut.
Selanjutnya, dia masuk rumahnya. Mula-mula dia bertemu den-
gan Saudah yang sedang bertindak kasar kepada seorang tawanan yang
terikat pada sebuah tiang kamar dan membentak-bentaknya, karena
dia tidak berperang hingga mati daripada memilih hidup sebagai
seorang tawanan perang.
Ada apa pula gerangan ini hingga istrinya, Saudah, menyuruh
tawanan itu untuk berperang sampai mati? Muhammad menegurnya
dan kemudian Saudah minta ampun atas kesalahan yang diperbuatnya.
Istimewakah posisi perempuan ini, jika dibandingkan dengan
Khadijah?
Muhammad kemudian meninggalkan Saudah dan pergi berlalu
menuju ‘Aisyah, istrinya yang cantik dan masih muda belia, yang dia
tinggalkan cukup lama.
Tatkala bertemu ‘Aisyah, Muhammad mendapatkan sambutan yang
hangat darinya. ‘Aisyah mampu menghibur duka lara yang dirasakan
Muhammad atas meninggalnya Ruqayyah.
Baru saja dia beristirahat, lalu datanglah utusan dari Makkah yang
membawa tebusan dari putrinya yang bernama Zainab sebagai tebusan
suaminya yang ditawan. Muhammad menerima tebusan itu. Namun
setelah dia membuka tebusan itu, ternyata berisi sebuah perhiasan
milik istrinya yang telah pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya,
yaitu Khadijah. Perhiasan tersebut diberikan Khadijah kepada Zainab
pada malam perkawinannya.

302 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Perhiasan milik istrinya itu digenggamnya kuat-kuat. Lama sekali
dia tertegun mengenang istrinya yang telah pergi. Kini buliran setetes
air mata membasahi pipinya.
Di tangannya, dia menggenggam sesuatu yang sangat berharga
milik al-marhumah istrinya yang teramat dicintainya. Dia kini harus
mengumpulkan perhiasan ini pada harta rampasan untuk dijual. Berat
sekali rasanya.
Akhirnya, dia menyuruh seseorang di antara beberapa temannya
untuk minta persetujuan mereka atas ke­inginannya mengembalikan
perhiasan tersebut kepada putrinya dan melepaskan suaminya yang
telah tertawan.
Semua shahabatnya menyetujui permintaannya itu. Maka dia
mengutus seseorang untuk memberitahukan kepada suami Zainab
tentang pelepasannya sebagai tawanan, dengan satu syarat agar mau
melepaskan Zainab, lalu mengirimkannya ke Madinah.
Suami Zainab sangat mencintai Zainab. Ketika kaumnya menyuruh
menceraikan istrinya dan mereka akan menga­win­kannya dengan gadis
yang jauh lebih cantik, suami Zainab mengatakan: “Di kalangan suku
Quraisy tak ada gadis-gadis yang dapat menyaingi posisi istriku.”
Tapi akhirnya, syarat pelepasan Zainab untuk dikembali­kan kepada
ayahnya itu, ia terima.
Suami Zainab bisa terbebas dari status tawanan dan kembali lagi
ke Makkah, tak lain adalah berkat perhiasan istrinya itu.
Setelah sampai di Makkah, suami Zainab berusaha untuk men-
girimkan Zainab kepada ayahnya, tapi orang-orang Quraisy justru
mencegahnya. Orang-orang Quraisy khawatir, Muhammad menyangka
mereka sudah tak punya keberanian lagi, setelah mereka mengalami
kekalahan perang di lembah Badar. Mereka meminta kepada suami
Zainab agar menangguhkan pengiriman itu untuk beberapa hari. Suami
Zainab tidak mau menerima permintaan mereka. Ia tetap mengirimkan
Zainab kepada ayahnya dengan menunggang untanya. Beberapa orang
Quraisy tetap berusaha mencegat­nya. Mereka melompat ke atas unta,
lalu mereka men­jatuhkan perempuan bertubuh kecil yang sedang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 303


duduk di atas punggung unta itu. Perempuan yang sedang hamil itu
pun terjatuh. Kontan saja, ia mengalami nasib keguguran kandungan
akibat ulah mereka.
Muhammad meminta kepada para shahabatnya agar memberikan
tawanan yang bernama ‘Abbas, pamannya, kepada dirinya, jika mer-
eka tak keberatan. Akhirnya, mereka mau melepaskan ‘Abbas tanpa
tebusan. ‘Abbas adalah orang yang melindungi Muhammad ketika
berada di Makkah. Secara diam-diam, dia terus mengirimkan seba-
gian hartanya dan menyampaikan semua gelagat orang-orang Quraisy
kepada Muhammad.
‘Abbas kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat Quraisy, agar
dapat mengirimkan informasi-informasi persiapan penyerbuan yang
akan dilancarkan oleh pihak Quraisy.
Pemerintah Makkah melarang siapa pun untuk menangisi korban-
korban pertempuran di lembah Badar itu, hingga pemerintah Makkah
dapat menuntut balas dengan kepala Muhammad dan Hamzah. Bani
Umayyah akan mengeluarkan seluruh harta kekayaannya untuk
mendapatkan penggalan kepala Muhammad atau Hamzah.
Semua orang yang menanam modal dalam rombongan dagang yang
dipimpin Abu Sufyan menyerahkan sebagian hartanya untuk persiapan
penyerbuan ke Madinah. Kini mereka semua menghimpun sekutunya
dari berbagai suku dan mengerahkan semua penyairnya untuk melawan
pasukan Muhammad.
Muhammad memerintahkan kepada seorang penyair bernama Has-
san untuk melantunkan bait-bait puisinya yang mengerahkan segenap
kemampuannya mengagungkan kemenangan orang-orang Islam dalam
pertempuran di lembah Badar dan menyatakan ultimatum kepada
orang-orang Quraisy dengan semua sekutunya agar tidak melakukan
agresi kembali yang akan menyebabkan mata pedang orang-orang Islam
akan memancing mereka di padang pasir sebagai makanan burung liar
yang ganas; dan agar kemenangan ini bergema di setiap penjuru.

g
Abu Sufyan menolak untuk menebus anaknya yang tertawan. Dia

304 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


menyatakan dengan sesumbar akan mem­bebaskan dengan mata ped-
angnya. Istrinya yang bernama Hindun juga menyatakan sesumbarnya
bahwa ia tidak akan memakai parfum dan tak akan berdekatan den-
gan suaminya sebelum dapat menuntut balas atas kematian ayahnya,
Utbah; saudaranya, Walid; pamannya, Syaibah; dan bangsawan-bang-
sawan Quraisy lainnya yang telah menjadi korban lembah Badar.
Tidak itu saja yang dilakukan Hindun, tetapi ia juga menghimbau
kepada para istri agar tidak mau digauli oleh suami mereka, terkecu-
ali telah membalas api dendam teman-temannya yang terbunuh. Ia
berkeliling menemui budak-budak yang berkulit hitam seraya berjanji
akan memerdekakannya secara gratis dan akan memberikan hadiah
yang diinginkan, bahkan tubuhnya sendiri sekalipun. Semua janji itu
akan diberikan dengan catatan dapat memenggal batang leher Hamzah,
lalu ia membawa sekeping hati Hamzah untuk dikunyah-kunyah dengan
gigi-giginya.
Mendengar semua usaha yang dilakukan Hindun binti Utbah itu,
Hamzah tidak menanggapi secara serius, bahkan dia hanya tersenyum
mencibir. Hassan bin Tsabit mendengar juga tentang himbauan Hindun
untuk membunuh Muhammad dan Hamzah dan juga mendengar tentang
kepergiannya berkeliling menemui para perempuan Quraisy dan budak-
budak kulit hitam. Maka Hassan menggubah syairnya dan mencela
Hindun serta merendahkan tingkah lakunya. Dalam bait-bait syairnya,
Hassan mengejek pula Hindun yang melancarkan rayuan gombalnya
kepada kaum lelaki untuk sekedar kepentingan mendapatkan kepala
Hamzah. Semua perbuatan Hindun dicerca dengan kata-kata yang
sangat kasar oleh Hassan.
Para pedagang Quraisy mengutus beberapa kurir rahasia untuk
menemui para pedagang Yahudi di Madinah agar mereka dapat mem-
bantu pihak Quraisy untuk mendapatkan Muhammad. Jika mampu,
hendaknya mereka memenggal kepala Muhammad atau kepala Hamzah
yang telah melakukan kekejaman kepada para pendekar Quraisy. Na-
mun jika semuanya tidak bisa mereka lakukan, maka yang penting bagi
mereka mau memberikan peluang memasuki Madinah, ketika pasukan
kuda Quraisy datang melakukan aksi agresinya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 305


Semua tipu daya keinginan untuk membalas dendam yang menim-
bulkan sikap emosional yang gila-gilaan dan sangat buas ini, terjadi
tidak lama berselang setelah kemenangan Muhammad dalam per-
tempuran di lembah Badar. Adapun Muhammad sendiri pada waktu
itu, masih baru mengatasi masalah-masalah yang berkenaan dengan
kepentingan masyarakatnya dan mengobati luka-luka korban dari
pihaknya. Kini untuk menyongsong datangnya pertempuran kedua
kalinya yang akan menambah jumlah daftar korban yang berpredikat
syuhada, Muhammad harus mempersiapkan dirinya kembali.
Muhammad mengenang kembali siksa dan derita yang pernah me-
nimpa ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Umar bin Khaththab, Ubaidah bin Jarrab,
Bilal, dan Ammar bin Yasir, dan juga cobaan yang menimpa Hamzah.

306 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Antara mata pedang
dan kelicikan

A
bdullah bin Ubay menyebarkan gosip kepada
beberapa orang yang tidak ikut pergi ke medan
pertempuran Badar, bahwa Muhammad tidak mau memberi
barang-barang rampasan itu kepada mereka, sebab harta rampasan
itu akan dibagi-bagikan oleh Muhammad hanya kepada orang-orang yang
dicintainya. Salah satu buktinya, ‘Abdullah bin Ubay menunjuk kepada
‘Utsman. Menurutnya, ‘Utsman tidak ikut serta dalam per­tempuran
seperti mereka, tapi kenyataannya Muhammad memberi bagian barang-
barang rampasan itu kepadanya. Bukankah semua ini suatu prioritas,
lantaran ‘Utsman itu menantunya?
Beberapa orang Islam memberikan peringatan kepada ‘Abdullah
Bin Ubay agar menghentikan ulahnya yang dapat menimbulkan gejolak
di antara sesama muslim.
Muhammad sama sekali tidak memberikan hak previlage dan
prioritas kepada siapa pun. Dia hanya memenuhi janjinya, sebab se-
benarnya ‘Utsman bersikeras untuk ikut serta ke medan pertempuran,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 307


tetapi Muhammad memerintahkan agar ia tetap tinggal di rumah saja
untuk merawat Ruqayyah, istrinya yang sedang sakit. Muhammad telah
menjanjikan kepadanya, bahwa meskipun dia tidak ikut serta dalam
pertempuran, dia akan mendapat pahala juga sebagaimana pahalanya
orang-orang yang ikut bersamanya ke lembah Badar.
Namun, kendati ‘Utsman telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk
merawat Ruqayyah dengan baik, tapi ternyata pada akhirnya nyawa
Ruqayyah tidak tertolong juga. Muhammad sampai terluka hatinya.
Sangatlah tidak pantas rasanya jika sampai menambah kepedihan hat-
inya lagi dengan persoalan-persoalan ‘Utsman, suami Ruqayyah, sebab
‘Utsman termasuk nominasi pengusaha kaya yang luas bidang usahanya
dan sudah tidak membutuhkan lagi harta rampasan, walaupun ia tidak
memperoleh bagian dari harta itu.
‘Abdullah bin Ubay mencari isu-isu yang lain. Dia sekarang meng-
hasut beberapa orang agar menuntut pembagian uang tebusan yang
diberikan oleh orang-orang Quraisy. Sekali lagi, ‘Abdullah bin Ubay
diberi peringatan agar tidak mengungkit-ngungkit masalah tersebut,
karena mereka telah menyetujui penyisaan sebagian besar hasil te-
busan tersebut untuk kepentingan pertahanan Madinah, bila sewaktu-
waktu pihak Quraisy bermaksud akan menuntut balas atas kekalahan
mereka.
‘Abdullah bin Ubay senantiasa tidak segan-segan menyebarkan
gosip. Di kalangan rakyat Madinah ia semakin gencar menebar fitnah,
bahwa Muhammad memerintahkan kepada mereka agar berpaling dari
gemerlapnya harta kekayaan, namun sebenarnya harta kekayaan itu
dia pergunakan untuk makan-makan dan minum-minum yang enak-
enak serta melengkapi aksesoris-aksesoris rumahnya. Muhammad
menginginkan agar dirinya seperti kaisar Persia yang memiliki aksesoris
rumah yang mewah dan lengkap.
Inilah taktik lain yang diekspos ‘Abdullah bin Ubay dalam rangka
merongrong Muhammad yang kian mantap setelah memenangkan per-
tempuran. Dan, hal itu berarti impian-impian ‘Abdullah untuk merebut
mahkota Madinah menjadi semakin tertutup jalan. Gosip demi gosip
terus ditebarkan. Sementara itu, ‘Abdullah diam-diam mendatangi

308 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


seorang perempuan dari kalangan Anshar dan menyuruhnya agar
memberi permadani yang mahal harganya kepada ‘Aisyah, istri muda
Muhammad yang cantik. Menurutnya, dengan pemberian permadani
ini, bagi ‘Aisyah yang kondisi usianya masih muda, sudah tentu harta
kekayaan menjadi impian yang selalu didambakannya.
Mendengar berita tentang hal itu, Muhammad segera pulang ke
rumahnya. Di rumahnya, dia melihat istrinya, ‘Aisyah, sedang berbar-
ing diliputi rasa gembira di atas permadani baru yang empuk tersebut.
Kelembutan permadani itu semakin memanjakan tubuhnya.
“Aisyah, dari mana permadani ini?” tanya Muhammad dengan nada
marah.
“Seorang perempuan dari kalangan Anshar telah datang ke sini.
Ketika dia melihat tikarmu, ia lalu mengutus seseorang kepadaku
untuk menyampaikan permadani ini,” jawab ‘Aisyah lirih. Spontan
Muhammad menyuruh ‘Aisyah agar mengembalikan permadani itu
kepada perempuan yang telah memberinya, kemudian Muhammad
tidur terlentang di atas sehelai tikar kasar seperti biasanya sebelum
ini.
‘Umar bin Khaththab datang ke rumah Muhammad untuk mem-
buktikan kebenaran gosip yang tersebar di kalangan beberapa orang
penduduk Madinah, bahwa Muhammad telah membelanjakan hasil
tebusan itu untuk membeli aksesoris-aksesoris rumah yang mahal-
mahal harganya.
Ternyata apa yang dilihat ‘Umar tetap tak berubah keadaannya
seperti biasanya. ‘Umar sempat membayangkan aksesoris mewah
dan makanan enak-enak di rumah Muhammad. Namun kenyataannya,
hamparan sehelai tikar kasar masih saja ditiduri olehnya.
Mendadak air mata keharuan pun menetes tak dapat dibendung
dari kedua belah mata ‘Umar.
“‘Umar, apa yang menyebabkan engkau menangis?” tanya Muham-
mad.
“Bagaimana aku tidak meneteskan air mata bila aku melihat bekas-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 309


bekas tikar itu melekat pada belikatmu. Hanya inilah kekayaanmu yang
aku tahu, sedangkan Kaisar Romawi dan Persia hidup dalam gelimangan
harta benda,” jawab ‘Umar.
Muhammad mencoba menghibur ‘Umar dan memberi­kan suatu pe-
lajaran bahwa nilai seseorang tidaklah ditentukan oleh harta kekayaan
yang dimilikinya, tapi tergantung pada kemampuannya untuk menye-
barkan kebahagiaan kepada orang lain. Kebajikan akan membuat ses-
eorang menjadi kekal; dan sikap konsisten seseorang dalam melakukan
kebajikan akan membuahkan hasil kebaikan selama-lamanya.
Saat ini yang terpenting adalah mencurahkan perhatian kepada
penyelesaian masalah-masalah yang timbul setelah pertempuran.
Tentang aksi gosip yang dilancarkan orang-orang yang berhati hipokrit,
jangan sampai merusak perhatian menyongsong era yang akan datang.
Pada suatu hari ‘Umar menghadap Muhammad me­nyam­paikan
persoalan para janda yang ditinggal mati suaminya saat pertempuran
Badar. Muhammad merasa dirinya orang yang paling bertanggung jawab
atas nasib para janda itu. Dia harus berupaya untuk menyembuhkan
semua luka-luka ini. Maka para janda istri almarhum suami mereka
yang tewas dalam pertempuran itu pun akan mendapat santunan
kesejahteraan hidup dari bagian harta rampasan suami mereka, se-
dangkan bagi mereka yang masih tergolong janda kembang, maka dia
bertanggung jawab mencarikan ganti suaminya. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan.
‘Umar mengutarakan kesedihan yang menyesakkan dadanya ke-
pada Muhammad bahwa seorang putrinya yang bernama Hafshah telah
menjadi janda dalam usia yang masih muda belia, karena suaminya
gugur dalam per­tempuran di lembah Badar. ‘Umar telah menawarkan
kepada ‘Utsman, tapi ‘Utsman mengatakan bahwa dirinya tak punya
inisiatif untuk menikah lagi. Selanjutnya, ia menawarkan putrinya lagi
kepada Abu Bakar. Ternyata Abu Bakar pun tak memberi tanggapan,
bahkan diam saja.
Menyaksikan kegelisahan ‘Umar, Muhammad ter­senyum. Ia me-
minta kepada ‘Umar agar tidak tersinggung. Dia bermaksud akan

310 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


menjodohkan Hafshah dengan laki-laki yang jauh lebih baik daripada
‘Utsman, sebagaimana ‘Utsman menikahi seorang perempuan yang
jauh lebih baik daripada Hafshah.
Akhirnya, Muhammad memutuskan bahwasanya dia sendirilah
yang akan meminang Hafshah. Demikianlah, maka dengan luapan rasa
kegembiraan yang tiada tara lantaran putrinya dipinang Muhammad,
akhirnya ‘Umar melakukan berbagai persiapan perkawinan Hafshah.
Di suatu jalan ‘Umar berpapasan dengan Abu Bakar, lalu ia meng­
informasikan kepada Abu Bakar mengenai rencana pinangan Muhammad
kepada putrinya yang telah berstatus janda.
“Memang Rasulullah sudah pernah membicarakan hal itu kepadaku.
Karena itu, aku tak ingin membuka rahasianya. Andai saja beliau tidak
meminang Hafshah, sudah tentu akulah laki-laki yang akan menika-
hinya,” aku Abu Bakar.
‘Umar merias Hafshah, kemudian membawanya ke rumah Muham-
mad. Dia terus menganjurkan kepada teman-temannya yang mampu
hendaknya mengawini janda-janda para syuhada, dengan suatu hara-
pan akan dapat meng­ganti­kan posisi suami-suami mereka yang telah
meninggal dunia.
Muhammad membagi giliran malamnya di antara ke tiga istrinya
yang bernama Saudah, ‘Aisyah, dan Hafshah. Akan tetapi, ketika pagi
menjelang, ketiga istrinya dia kumpulkan di rumah salah seorang
istrinya yang mendapat giliran pada malam harinya untuk memberi-
kan nasihat kepada mereka, sedangkan sore harinya, Muhammad me-
manfaatkan waktunya untuk berbincang-bincang dengan mereka dan
menceritakan apa saja yang ditemui dalam perjalanan. Cerita-cerita
dan pepatah-pepatah dia ungkap­kan semuanya.
Semenjak Hafshah menjadi istri Muhammad, ‘Umar sering mengun-
jungi rumah Muhammad. ‘Umar sering kali melihat orang-orang keluar
masuk dari rumah Muhammad siang dan malam tanpa meminta izin
terlebih dahulu. Bahkan tidak jarang pula dia melihat orang-orang yang
masuk ke kamar tidur Muhammad dan berbincang-bincang dengan para
istrinya. Terkadang, salah seorang istrinya hanya mengenakan gaun

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 311


yang rasa-rasanya tidak layak untuk menyambut kehadiran laki-laki
bukan mahramnya.
Melihat fenomena ini, ‘Umar merasakan keberatan. Bahkan ia
hampir saja menyuruh putrinya, Hafshah, agar mengenakan gaun yang
dapat menutupi sekujur tubuhnya. Tapi dia mengurungkan niat baiknya
dan lebih memilih mengkonsultasikan keinginannya tersebut kepada
Muhammad saja.
“Wahai Rasulullah, banyak kaum laki-laki yang men­jumpai istri-
istrimu di rumahmu, tanpa diketahui identitas­nya apakah dia laki-laki
baik atau laki-laki nakal. Alangkah baiknya andaikata engkau memerin­
tahkan kepada istri-istrimu untuk menggunakan gaun yang menutupi
seluruh tubuh mereka,” tutur ‘Umar.
Tapi pada waktu itu Muhammad sedang memfokuskan perhatian-
nya pada persoalan orang-orang kafir Quraisy dan masa depan Madinah
pasca kemenangannya pada perang Badar. Dia sudah percaya penuh
kepada istri-istrinya dan percaya juga kepada orang-orang yang masuk
ke rumahnya. Lantas mengapa ‘Umar menaruh rasa curiga? Bukankah
lebih urgen baginya untuk turut memikirkan bersama Muhammad n
masalah-masalah yang berkenaan dengan orang-orang kafir Quraisy?
Belum pernah orang-orang Quraisy merasakan kekalah­an telak
sebagaimana kekalahan yang telah diderita dalam perang Badar. Abu
Bakar, shahabat Muhammad yang memiliki pengetahuan luas tentang
peradaban, menegaskan bahwasanya dalam sejarah perjalanan Se-
menanjung Arabia, belum pernah ditemui adanya bencana seperti saat
ini. Bahkan pertempuran-pertempuran yang terjadi antar suku yang
terus berlangsung selama bertahun-tahun, belum pernah terjadi hebat
yang menelan korban sampai mencapai jumlah tujuh puluh orang dan
tujuh puluh tawanan.
Surat-surat rahasia yang datangnya dari ‘Abbas bin ‘Abdul Muth-
thalib menyampaikan informasi penting tentang persiapan-persiapan
yang dilakukan pemerintah Quraisy untuk mengadakan penyerbuan
kembali. Ambisius peme­rintah Quraisy untuk memperoleh kepala
Muhammad dan kepala Hamzah semakin menjadi-jadi. Para saudagar

312 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Quraisy berupaya menjalin kerja sama dengan kelompok Yahudi dan
suku-suku yang bertempat tinggal di kemah-kemah luar Madinah.
Sejak kekalahan pertempuran di lembah Badar, orang-orang Quraisy
mengubah jalur perjalanannya ke Syam melalui sepanjang jalan Irak
dengan meminta perlindungan kepada suku Bani Sulaim. Akan tetapi,
orang-orang Quraisy juga mencari jalan untuk menjalin kerja sama
dengan suku-suku yang bertebaran di sekitar Madinah. Ternyata apa
yang mereka lakukan cukup berhasil. Akhirnya, rombongan-rombongan
dagang Quraisy kembali lagi pada rute yang biasa dilalui sebelumnya.
Orang-orang Quraisy mempunyai sekutu yang tinggal di jantung
kota Madinah. Mereka itu adalah kelompok Yahudi Bani Qainuqa’ yang
menguasai daerah Hijaz Utara. Para saudagar di kalangan mereka
memonopoli komoditas yang meliputi beberapa sektor yang mem-
berikan profit besar bagi mereka. Mayoritas dari saudagar kaya yang
memiliki bank-bank perkreditan memberikan kredit dengan sistem
renten. Selain mereka, tak ada peluang untuk memasuki pasar-pasar
tersebut. Kontak dagang yang diadakan dengan orang-orang Quraisy
dilaksanakan dengan berbagai sistem saling berbagi keuntungan.
Akan tetapi, kekalahan telak yang menimpa pemerintah Quraisy
dalam perang di lembah Badar, berdampak negatif bagi peluang-
peluang binis Bani Qainuqa’ di pasar-pasar kawasan Hijaz Utara. Di
kalangan orang-orang Islam banyak juga yang menjadi saudagar besar
yang terus menjepit mereka dari kota Madinah. Dan siapa tahu para
saudagar besar muslim itu akan mengadakan ekspansi bisnis ke pasar-
pasar kawasan utara juga.
Di kawasan Hijaz Utara terdapat kepentingan bisnis bersama Qa-
inuqa’ dan pemerintah Quraisy. Semenjak kemenangan gemilang yang
pernah diraih oleh orang-orang Islam di lembah Badar, kepentingan
mereka mulai terancam kehancuran. Akan tetapi, meskipun demikian
adanya, Bani Qainuqa’ tidak menunjukkan sikap permusuhan-per-
musuhan secara deklaratif, karena terikat dalam pakta persekutuan
dengan pihak Muhammad, walaupun pada akhirnya mereka menjadi
sekutu ‘Abdullah bin Ubay dan sekutunya yang memiliki posisi yang
kuat di tengah-tengah golongan Anshar. Tapi, ‘Abdullah bin Ubay tetap

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 313


menampakkan sikap bersahabat terhadap kelompok muslim, meski
dalam hati kecilnya berkata lain. Sementara Yahudi Bani Qainuqa’ tidak
menunjukkan sikap secara terang-terangan untuk merusak pakta yang
tertuang dalam piagam itu, sebab mereka merasa justru di Madinah
sendiri ancaman itu bersarang. Kemungkinan ini sangat besar sekali
adanya, akhirnya Muhammad akan terkepung dan ditaklukkan.
Sumber bahaya laten itu adalah kelompok Bani Sulaim, sebab
mereka mempunyai jalinan persahabatan yang sangat dekat dengan
orang-orang Quraisy. Mereka itulah yang memberikan kemudahan
bagi rute perjalanan orang-orang Quraisy dan menjadi sekutu Quraisy
secara deklaratif, karena mereka merasa bangga dengan wibawa dan
popularitas mereka sebagai kelompok penjaga perang.
Mereka menempati daerah pegunungan yang agak jauh dari Ma-
dinah yang sekaligus menjadi benteng pertahanan dari musuh-musuh
mereka. Jika Muhammad tidak meng­ambil sikap yang tegas terhadap
mereka, maka sudah dapat dipastikan akan ada suku-suku Arab lain
yang berani ber­gabung dalam barisan Quraisy. Dan yang pasti, semua
suku Arab menyangka, Muhammad tidak mau mengambil sikap tegas
terhadap Bani Sulaim lantaran takut kepada jagoan pasukan kuda Bani
Sulaim yang gagah berani dan perkasa.
Muhammad mengutus kepada Bani Sulaim agar mereka tidak mem-
bantu semua orang Quraisy yang ingin melakukan agresi kepada dirinya.
Tapi Bani Sulaim meremehkannya. Bahkan justru mereka menunjukkan
sikapnya secara terang-terangan dalam menjalin hubungan dengan
pihak Quraisy. Mereka mengerahkan kekuatan pasukan kuda untuk
menjaga stabilitas keamanan rombongan-rombongan dagang Quraisy.
Sementara loyalitas sikap orang-orang Quraisy semakin nampak pada
mereka lantaran mereka memperoleh bantuan perbekalan berupa
keuangan dan senjata secukupnya.
Muhammad mengumpulkan kembali tentara-tentara yang masih
belum sempat melepas kelelahan sepulangnya dari pertempuran
Badar, namun semangat kemenangan membakar keberanian mereka.
Muhammad menjadi komandan lagi bagi pasukannya menuju kawasan
pemu­kiman Bani Sulaim.

314 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Ketika Muhammad bersama seluruh pasukannya mendekati
perkampungan Bani Sulaim, suku tersebut mempunyai dugaan kuat
bahwa insiden tragis yang pernah menimpa orang-orang Quraisy di
lembah Badar akan menimpa juga pada suku mereka. Maka sesepuh
Bani Sulaim menyarankan kepada pasukan penunggang kudanya agar
menghindari pertempuran. Akan tetapi, Muhammad dengan seluruh
pasukannya terus bergerak maju secara defensif. Karena itu, warga
Bani Sulaim meninggalkan rumah-rumah dan barang-barang mereka
tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-
anak sekalipun, semua­nya melarikan diri. Muhammad dengan seluruh
tentaranya memasuki perkampungan Bani Sulaim tanpa mendapat
perlawanan dari mereka. Akhirnya, Muhammad kembali dalam keadaan
selamat dengan membawa harta rampasan yang melimpah-ruah.
Adapun di antara harta rampasannya itu terdapat sebanyak lima
ratus ekor unta. Ini merupakan kekayaan seluruhnya. Suku-suku yang
bertempat tinggal di sekitar Madinah setelah kemenangan kilat yang
luar biasa dan tanpa perlawanan ini merasa bersalah. Karena itu,
banyak suku yang memutuskan hubungan dengan orang-orang Quraisy.
Mereka takut akan dibabat habis-habisan oleh Muhammad dengan cara
seperti ini. Sementara suku lain, semuanya tidak ada yang menunjuk-
kan sikap keberaniannya untuk membela Bani Sulaim.
Muhammad kini kembali ke rumahnya. Pasca keme­nangan yang
diraih di lembah Bani Sulaim, Muhammad kembali menghabiskan hari-
hari indahnya bersama semua istrinya dengan cara mengajarkan hukum
yang mengatur tata hubungan kaum pria dengan kaum perempuan.
Dia meminta kepada semua istrinya agar mengajarkan tata pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang baru saja diterimanya, kepada
perempuan-perempuan muslimah yang lain. Selanjutnya, dia melanjut-
kan perbincangannya pada malam hari sambil menceritakan berbagai
tantangan yang dihadapi dalam setiap perjalanan dan peperangannya.
Diceritakan, kadang-kadang dia harus menempel sendiri sepatunya
yang copot; kadang-kadang pula, baju-bajunya yang sobek harus ia
tambal sendiri.
Tetapi, kini Muhammad mempunyai persoalan pelik yang meng-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 315


ganggu ketenteraman rumah tangganya, gara-gara anak angkatnya,
Zaid bin Haritsah, yang mengadukan kepadanya tentang perilaku
istrinya yang bernama Zainab binti Jahsy. Zainab binti Jahsy adalah
seorang perempuan muda belia yang teramat cantik. Dia mempunyai
sikap yang agak sok, karena dia anak perempuan bibi Muhammad yang
dijodohkan dengan Zaid bin Haritsah. Dia tidak menyukai suaminya,
karena Zaid hanyalah seorang budak Khadijah yang dimerdekakan,
lalu dipungut sebagai anak angkat. Bagaimana mungkin Zainab binti
Jahsy ‘binti ‘Abdul Muththalib yang berasal dari keturunan Muhammad
akan menyukai Zaid, seorang budak hitam yang dimerdekakan, lalu
dipungut sebagai anak angkat?
“Aku merasa tidak pantas menjadi istrinya. Bahkan aku anak
bibimu,” demikian ucap Zainab kepada Muhammad suatu ketika yang
menyatakan ketidaksukaannya kepada Zaid.
Muhammad tidak senang dengan sikap Zainab yang membangga-
banggakan kerabatnya. Muhammad memaksa Zainab agar mau mener-
ima Zaid sebagai suaminya. Tapi begitulah, Zainab tidak mendapat
kebahagiaan hidup bersama Zaid karena dirinya selalu merasa sebagai
majikannya.
Memang, Zainab termasuk perempuan keturunan Bani Hasyim
yang tercantik dan muda belia. Semestinya Zainab dijodohkan dengan
seorang pemuda Muhajirin atau Anshar yang status sosialnya setara
dengan dirinya.
Melihat sikap hipokrit Zainab, Zaid merasa kesal kepadanya. Namun
setiap kali ia mengadukan perihal Zainab kepada Muhammad, maka
jawaban yang selalu didapat dari Muhammad adalah jawaban yang
sama: “Kamu harus mempertahankan istrimu.” Namun akhirnya, Zaid
tidak mampu lagi mempertahankan jalinan mahligai rumah tangga
dengan Zainab, istrinya. Rumah Muhammad yang menjadi tempat ting-
gal mereka berdua, sering kali diributkan oleh pertengkaran mereka.
Karena itu, sepulang­nya dari penyerbuan Bani Sulaim, Muhammad
berusaha untuk mendamaikan mereka berdua, tapi langkah damai yang
diusahakannya gagal, sehingga perceraian pun tak bisa dielakkan lagi.

316 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Pasca perceraian itulah, akhirnya Zainab dipersunting oleh Muhammad
sendiri.
Keputusan Muhammad untuk mempersunting Zainab dijadikan
kesempatan oleh ‘Abdullah bin Ubay untuk menyebarkan isu, bahwa
Muhammad tergila-gila pada kecantikan Zainab; dan tidak layak bag-
inya memperistri bekas istri anak angkatnya, sebab status anak angkat
sama dengan anak kandung. Hampir seluruh shahabat Muhammad
merasa keberatan akan keputusan pernikahan ini.
Namun Muhammad menyanggah opini publik bahwa status anak
angkat tidak sama dengan anak kandung. Dia memutuskan akan men-
gawini Zainab agar mereka tahu bahwa hal itu bukanlah perkara ter-
larang dan agar tidak ada rasa enggan di kalangan orang-orang Islam
untuk menikahi anak-anak angkat mereka. Muhammad sama sekali
tidak membutuhkan kecantikan Zainab, sebab di sisinya telah ada
dua istri yang kecantikannya tidak dapat dikalahkan oleh kecantikan
Zainab, yaitu istri yang bernama ‘Aisyah dan Hafshah.
Muhammad menyelenggarakan malam resepsi per­kawinan yang di-
hadiri oleh beberapa orang temannya dan sejumlah orang dari kalangan
Muhajirin dan Anshar. Resepsi tersebut dihadiri juga oleh ketiga istrin-
ya: Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, dan istri barunya, Zainab. Muhammad
duduk bersama keempat istrinya menyelenggarakan jamuan malam
kepada orang-orang yang hadir. Jamuan itu di hidangkan di atas satu
wadah, sehingga semua tangan undangan terarah pada wadah itu.
Tanpa sengaja, ‘Umar yang menjulurkan tangannya pada wadah
makanan itu membentur tangan ‘Aisyah. Wajah ‘Aisyah pun merah
padam karena malu dan merasa tersinggung. ‘Umar sebenarnya juga
sangat malu. Karena itu, dengan berat hati, ‘Umar meminta maaf:
“Andaikata Muhammad menerima sarannya dahulu yang berkenaan
dengan kalian semua, sudah tentu tak akan ada sepasang mata pun
yang dapat melihat kalian.”
‘Umar mendesak Muhammad sekali lagi agar meme­rintahkan
istri-istrinya supaya mengenakan cadar. Saat ini ketiga istrinya masih
muda-muda dan cantik-cantik: ‘Aisyah, Hafshah, dan Zainab.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 317


Tidak lama berselang, Muhammad menyatakan kepada orang-orang
untuk tidak memasuki rumah orang lain, sebelum memperoleh izin
dari penghuninya. Demikian juga diperintahkan agar para istri tidak
memperlihatkan perhiasannya kepada laki-laki yang tidak memiliki
pertalian mahram, selain yang tampak saja. Selanjutnya, secara
khusus, Muhammad memerintahkan para istrinya untuk mengenakan
cadar, karena mereka bukan perempuan biasa.
Mengapa mereka tidak diperlakukan sama dengan perempuan-
perempuan yang lain? Mengapa pula mereka harus mengenakan cadar?
Hal ini dikarenakan Muhammad tidak ingin terjebak dalam persoa-
lan-persoalan gosip privasi. Dia harus mene­kankan kepada istri-istrinya
agar berpaling dari kesenangan hidup duniawi dan melempar jauh dari
fantasi kekayaan.
Muhammad meletakkan prinsip-prinsip aturan bagi hubungan kaum
laki-laki muslim dan kaum perempun muslimah. Dia mengancam akan
menjatuhkan pidana yang berat bagi siapa saja yang melanggar prinsip
tersebut.
Setelah menyelesaikan kasus-kasus di atas, sekarang Muhammad
memfokuskan perhatiannya pada persoalan kelompok Yahudi Bani Qa-
inuqa’. Surat-surat rahasia mereka kepada pihak Quraisy menyatakan
bahwa ancaman serbuan mereka yang sudah lama menunggu kesem-
patan.
Taktik yang mereka jalankan bukan hanya itu saja. Mereka juga
mengundang prajurit-prajurit perang Badar yang berwatak cekatan
untuk bersenang-senang dan minum-minum di beberapa rumah yang
mereka sediakan untuk berfoya-foya. Mereka menyediakan pula gadis-
gadis penyanyi Yahudi dan tuak-tuak mewah yang diproduksi oleh Bani
Qainuqa’ yang terkenal lezat.
Suatu ketika ‘Ali bin Abi Thalib pernah melewati salah satu warung
minuman dengan membawa dua ekor unta yang diperoleh dari harta
rampasan perang Badar. Dia tinggalkan kedua ekor untanya di ruang
minum itu, ternyata kedua ekor untanya telah disembelih oleh ses-
eorang. Dia menanyakan kepada orang-orang, siapa yang telah berani

318 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


melakukan ini? Seseorang memberi tahu bahwa pelaku pencurian itu
adalah para pembeli minuman yang sedang menikmati minumannya
dan berfoya-foya di warung itu.
‘Ali segera mengadukan hal itu kepada Muhammad. Tak lama kemu-
dian, Muhammad bersama ‘Ali tiba di warung itu. Beliau meminta izin
masuk; dan mereka yang sedang ada di warung itu mempersilakannya.
Setelah Muhammad masuk, ternyata mereka semuanya sedang dalam
keadaan mabuk. Tiba-tiba Muhammad mendengar omelan Hamzah yang
sedang mabuk juga: “Muhammad, bukankah kalian hanya budak-budak
kulit hitam?” Maka dengan rasa belas kasihan, Muhammad mundur.
Beberapa hari kemudian, seseorang berkeliling Madinah menyam-
paikan pengumuman kepada orang-orang yang masih belum menge-
tahui larangan minum tuak bahwa jenis minuman tersebut haram
hukumnya.
Bagi peminum-peminum tuak akan dijatuhi pidana, siapa pun
orangnya. Bahkan termasuk juga bagi semua orang yang ikut dalam
pertempuran Badar sekalipun.
Dengan adanya larangan tersebut, Bani Qainuqa’ marah sekali.
Mereka menganggap semua keputusan ini sebagai suatu tindakan
sabotase kepada mereka sebagai penghasil tuak terbesar di Madinah.
Jangan hidup bersama Muhammad lagi! Muhammad harus dilenyapkan
di muka bumi.
Untuk kesekian kalinya, mereka mengirim utusan lagi dan mendo-
rong orang-orang Quraisy agar mereka meng­adakan agresi ke Madinah.
Mereka menyatakan akan membukakan pintu lebar-lebar bagi orang-
orang Quraisy.
Betapapun situasi sudah sangat kritis, namun Muhammad tidak dapat
menghadapi mereka dengan cara-cara anarkhis, karena mereka masih
menampakkan sikap kepatuhan kepada pakta persekutuan. Di samp-
ing itu, seandainya Muhammad menyatakan secara deklaratif kepada
mereka tentang surat-surat rahasia yang dikirim kepada orang-orang
Quraisy, maka sudah pasti peranan pamannya, ‘Abbas bin ‘Abdul Muth-
thalib, yang kini tinggal di Makkah akan terbeber ke depan publik.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 319


Muhammad mengambil keputusan untuk mengajak mereka agar
menganut ajaran yang dibawanya dan memberikan peringatan kepada
mereka agar jangan sampai bersikap seperti orang-orang Quraisy. Akan
tetapi, mereka menolak Muhammad seraya berkata dengan penuh
bangga: “Apakah engkau memandang kami seperti halnya masya­
rakatmu? Kemenangan yang engkau raih di perang Badar usahlah kau-
banggakan, karena orang-orang yang engkau temui itu memang bukan
orang-orang yang ahli berperang, sedangkan pihak kami, demi Allah
jika engkau memerangi­nya, barulah engkau nanti akan mengetahui
siapa kami sebenarnya.”
Hinaan dan gertakan yang bertubi-tubi kepada Muhammad tidaklah
mempengaruhi luapan emosinya. Beberapa orang shahabatnya ber-
pendapat bahwa sebaiknya ia memutuskan kontak saja dengan Yahudi
dan mengeluar­kan larangan kepada orang-orang Islam agar tidak men-
jalin interaksi sosial dengan mereka. Tapi gagasan itu ditolak olehnya.
Bujukan demi bujukan untuk memutuskan kontak dengan mereka,
tidak jua berhasil, sebab Muhammad sedang mengkonsentrasikan per-
hatiannya pada persiapan konfrontasi melawan orang-orang Quraisy.
Hanya saja dia tak mau keluar dari Madinah sebelum situasi di belakang
dalam keadaan stabil.
Muhammad melakukan pendekatan lagi kepada Bani Qainuqa’
dengan pola persuasif, menghimbau mereka untuk menjalin hubungan
yang tulus, sebab tak ada alasan yang dapat menghalangi mereka untuk
bersikap tulus dalam bersahabat. Tapi, pemuka-pemuka Bani Qainuqa’
merasa kurang suka atas kompetisi dagang yang dilancarkan pihak
Muhajirin; dan tata aturan baru yang mengatur sistem perdagangan
mereka diterimanya dengan berat hati.
Faktor-faktor inilah yang menjadi alasan bagi mereka untuk
melakukan trik-trik politik dan menunggu agresi orang-orang Quraisy
yang akan meluluhkan Muhammad bersama para shahabat dan ajaran-
nya. Mereka siap membuka pintu peluang bagi orang-orang Quraisy
secara totalitas.
Di tengah situasi yang tidak stabil dan penuh dengan intrik-intrik
ini, seorang perempuan muslimah yang berasal dari suatu dusun datang

320 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


ke pasar Bani Qainuqa’ dengan mengenakan cadar yang menutupi raut
wajahnya, sebagai­mana yang telah diperintahkan dalam ajaran Islam.
Perempuan itu bermaksud untuk menjual barang-barang­nya, kemudian
dia melangkahkan kakinya menuju seorang tukang emas untuk membeli
perhiasan. Beberapa pemuda Yahudi mendekati perempuan itu. Rupa-
nya, keindahan dan kecantikan wajah yang tersimpan di balik cadar
tersebut sangat menggoda mereka. Mereka menggoda perempuan itu
sambil mengejek cadar yang menutupi kecantikan raut wajahnya dan
memperolok-olok ajaran Islam yang meng­haruskan pemeluknya me-
makai cadar penutup kecantikan seperti ini hingga pandangan mata
tidak bisa menikmatinya.
Perempuan itu marah sekali terhadap ulah mereka, terutama
ejekan-ejekan mereka terhadap Islam. Beberapa orang laki-laki muslim
berusaha mencegah tindakan pelecehan pemuda-pemuda Yahudi itu
terhadap perempuan-perempuan tersebut dan ejekan-ejekan mereka
terhadap Islam, tapi pemuda-pemuda Yahudi sama sekali tidak meng-
gubrisnya. Bahkan mereka secara brutal bermaksud membuka cadar
perempuan itu. Beberapa pria muslim bermaksud menyingkirkan
perempuan itu dari kerumunan para pemuda Yahudi tersebut. Ketika
itulah, tukang emas yang juga berasal dari kalangan Yahudi mengikat
ujung baju perempuan itu ke punggungnya, sedangkan si perempuan
tadi tak menyadari sama sekali ulahnya. Bahkan ujung bajunya yang
lain dipaku dengan memakai paku kecil ke tempat duduk si perempuan
itu.
Setelah si perempuan muslimah tadi selesai menjual perhiasannya,
kemudian dia berdiri untuk beranjak pergi, maka tersingkaplah pung-
gungnya, kemudian ia terantuk hingga terjungkal jatuh ke tanah den-
gan baju tersingkap, bahkan ada bagian bajunya yang sobek, sehingga
bagian kulit tubuhnya kelihatan. Pemuda-pemuda itu mendekatinya
sambil tertawa cekakakan, sedangkan perempuan itu menjerit dalam
ketakutan.
Melihat peristiwa tersebut, beberapa orang laki-laki muslim ber-
hamburan untuk membela perempuan itu. Salah seorang di antara
mereka ada yang menghajar tukang emas dan terjadilah pertarungan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 321


di antara keduanya. Namun ketika laki-laki muslim itu berhasil mem-
bunuhnya, beberapa orang Yahudi mengeroyoknya secara bergerombol
hingga laki-laki muslim itu terbunuh.
Insiden pengeroyokan itu mengawali terbukanya suatu konflik
baru. Orang-orang Yahudi yang tinggal di per­kampungan tukang emas
tersebut semuanya berlindung di benteng-benteng mereka. Mereka
menyatakan bahwa pakta yang tertuang dalam piagam Madinah itu
tidak berlaku lagi. Mereka mengobarkan api peperangan dan menunggu
bantuan dari Yahudi Bani Quraizhah dan Bani Nadhir.
Akhirnya, Muhammad menginstruksikan kepada bebe­rapa orang
tentaranya dari kalangan Anshar untuk melakukan pengepungan ke-
pada warga Bani Qainuqa’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Ubay menemui
beberapa tokoh suku Khazraj, mengingatkan kembali ikatan perseku-
tuan mereka yang dahulu dengan Bani Qainuqa’ sebelum kedatangan
Muhammad. Sebagian orang-orang Khazraj menolak sikap ‘Abdullah
bin Ubay. Bahkan kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Mu-
hammad.
Mereka minta persetujuan Muhammad untuk me­menggal leher
‘Abdullah bin Ubay, sebab sikap dan pendirian ‘Abdullah hanyalah
menjadi virus penyakit yang menge­ruhkan situasi. Bahkan hampir men-
imbulkan malapetaka di dalam tubuh orang Islam sendiri. Akan tetapi,
Muhammad menolak. Dia lebih cenderung menghindari pertumpahan
darah di Madinah. Bahkan beberapa orang laki-laki dari suku Aus akan
membunuh ‘Abdullah bin Ubay dengan cara meminta lisensi terlebih
dahulu.
Tapi Muhammad merasa khawatir jika lisensi itu diberikan, justru
hanya akan menimbulkan krisis baru di antara suku Aus dan Khazraj.
Oleh karena itu, dia menginstruksikan kepada orang-orang Anshar
agar mem­biarkan ‘Abdullah bin Ubay, karena dia sendiri yang akan
menyelesaikan kasus ini.
‘Abdullah bin Ubay takluk tidak berdaya.
Untuk sementara waktu ‘Abdullah bin Ubay harus menahan kesaba-

322 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


rannya, sebab dia menyadari sepenuhnya tidak akan dapat memancing
timbulnya konflik seperti yang dia kehendaki dan tidak dapat mem-
bantu Bani Qainuqa’. Sementara itu pengepungan terhadap tukang
emas yang dilakukan oleh pihak orang-orang Islam kian diperketat.
Warga Bani Qainuqa’ yang bersembunyi di balik benteng-benteng tidak
mendapat bantuan dari siapa pun.
Bani Quraizhah dan Bani Nadhir mengutus seseorang kepada Mu-
hammad untuk menyampaikan suatu penegasan bahwa mereka masih
berpegang teguh pada prinsip piagam persekutuan dan sama sekali
tidak punya urusan dengan Bani Qainuqa’ yang harus menanggung
resiko sendiri atas tindakan yang mereka lakukan.
Setelah lima belas hari aksi blokade berlangsung, Yahudi Bani Qa-
inuqa’ akhirnya menyerah dengan tanpa syarat dan menyerahkan per-
soalan mereka kepada Muhammad untuk mendapat tindakan menurut
keputusan Muhammad. ‘Abdullah bin Ubay mengingatkan bahwasanya
menurut ketentuan yang tertuang dalam piagam persekutuan di antara
mereka dengan Muhammad, setiap pihak yang melanggar perjanjian
tersebut, harus dijatuhi hukuman pidana mati.
‘Abdullah bin Ubay pun menunggu keputusan pidana mati dari
Muhammad yang akan dijatuhkan kepada seluruh warga Qainuqa’,
tapi ternyata Muhammad belum juga mengambil keputusan.
Sebagian besar shahabat-shahabat Muhammad meng­a jukan
pendapat agar Muhammad menjatuhkan pidana kepada mereka semua.
Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk realisasi dari ketentuan yang
tertuang dalam piagam tersebut. Namun Muhammad tetap menolak
gagasan tersebut.
‘Abdullah bin Ubay datang menghadap Muhammad: “Muhammad,
hendaknya engkau berbuat baik kepada teman-temanku,” pinta Ubay,
sementara Muhammad tidak menanggapi.
“Tinggalkan aku,” harap Muhammad.
Akan tetapi, ‘Abdullah bin Ubay memasukkan tangannya ke dalam
saku baju Muhammad sambil berkata: “Demi Allah, aku tidak akan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 323


meninggalkanmu, hingga engkau berbuat baik kepada teman-temanku.
Mereka semuanya berjumlah empat ratus orang dengan mengenakan
pakaian warna mewah, dan tiga ratus orang yang tidak meng­gunakan
pakaian pelindung. Mereka menghalangiku untuk memperoleh orang
yang berkulit hitam dan yang berkulit merah, sedangkan engkau dapat
memanen mereka dalam satu pagi saja. Demi Allah, aku tidak akan
pernah merasa aman terhadap nasib mereka.”
“Mereka semua buat kamu,” ucap Muhammad.
Muhammad memerintahkan agar mereka semua keluar dari bumi
Madinah, karena Madinah bukan milik mereka. Mereka hanya pen-
datang yang dulu masuk dengan cara anarkhis, kemudian bermukim
dan menguasai perdagangan, lalu mereka membangun perkampungan
emas.
Setelah itu Muhammad menunjuk pemuka Anshar sebagai komandan
satu pasukan yang bertugas untuk mengawasi keberangkatan orang-
orang Yahudi, agar mereka tidak melakukan aksi destruktif pada saat
mereka keluar dari Madinah.
Orang-orang Yahudi yang terusir menelusuri padang pasir berhari-
hari, hingga akhirnya mereka sampai di Yordania selatan, kemudian
tinggal di sana. Tak seorang pun di antara mereka yang terbunuh.
Orang-orang Islam tidak hanya merampas rumah-rumah dan senjata-
senjata, tetapi beraneka ragam aksesoris interior rumah tangga yang
mereka tinggalkan, juga menjadi sasaran empuk rampasannya.

g
Kelelahan yang dirasakan umat Islam belum juga usai. Namun
secara tiba-tiba terdengar informasi bahwa sebagian sekutu-sekutu
Quraisy bermaksud akan mengadakan agresi. Karena itu, dengan serta-
merta berangkatlah Muhammad dengan membawa pasukan tentara
untuk menghadapi pasukan dari suku Tsa‘labah dan Ghathafan. Pada
saat itu pasukan Islam mengejar-ngejar mereka, sehingga pasukan
Tsa‘labah dan Ghathafan tak dapat berkutik lagi dalam kondisi keka-
lahan.

324 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Mengetahui hal ini, pihak Quraisy merasa sudah pupus harapan
untuk dapat memukul Muhammad. Selanjutnya, untuk membangkitkan
kepercayaan diri orang-orang Quraisy yang sudah hampir pupus ini,
alternatif satu-satunya yang harus mereka lakukan adalah mengadakan
agresi kilat yang mematikan. Semua tawanan perang Badar yang telah
dibebaskan harus ditekan untuk melakukan agresi ke Madinah kali ini.
Pada waktu itu pula Hindun binti Utbah telah menemukan seseorang
yang menyatakan kesanggupannya untuk memenggal batang leher
Hamzah. Dia seorang budak yang sangat ahli dalam lempar lembing.
Budak ini adalah seseorang yang saudaranya pernah mati terbunuh
di tangan Hamzah dalam pertempuran di lembah Badar. Kepadanya
Hindun menjanjikan akan memberi imbalan yang berlimpah-ruah.
Demikian pula apa yang dijanjikan oleh teman-temannya. Mereka
berjanji akan memerdekakannya, jika saja ia sukses menebas batang
leher Hamzah saja.
Dalam agresi kali ini, pihak Quraisy mengerahkan sebanyak tiga
ribu personel yang terdiri dari budak-budak kulit hitam yang menjadi
polisi dan tentara Makkah, di bawah komando pimpinan pasukan kuda
dan jagoan-jagoan Makkah dari suku Tihamah dan Kinanah.
Seluruh anggota pasukan berangkat dengan me­nunggang kuda dan
unta yang terlatih dilengkapi dengan pakaian tempur, sedangkan para
perempuan Makkah dan budak-budak perempuan yang cantik-cantik
mengiringi mereka di baris belakang. Semuanya mengenakan perhiasan
yang indah-indah, di bawah komando Hindun binti Utbah yang berjalan
di tengah gadis-gadis penabuh rebana yang harum semerbak oleh aroma
wewangian. Gadis-gadis itu mendendangkan lagu heroik perang yang
mengobarkan semangat tempur para tentara. Mereka bersumpah, jika
para tentaranya tidak berhasil menumpas Muhammad dengan semua
pasukannya serta pulang dengan tidak menjinjing kepala Hamzah,
maka mereka tak akan pernah memperbolehkan tentara-tentaranya
mendekat untuk menikmati kecantikan mereka.
Dalam hati setiap tentara, api dendam atau rasa ingin pamer
kekuatan di hadapan gadis-gadis Quraisy dan budak-budak perem-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 325


puannya yang memikat hati, terus berkobar-kobar.
Di bawah komando Abu Sufyan dengan kekuatan dua sayap pasukan
berkuda yang dikawal Khalid bin Walid dan ‘Ikrimah bin Abu Jahal,
gemerincing suara genderang yang bertalu-talu dan teriakan para
perempuan-perempuan yang semerbak dengan aroma wewangian,
kian membakar api semangat pertempuran tentara-tentara yang be-
lum ada tandingannya sebelum itu. Iring-iringan pasukan yang diliputi
semangat menggelora untuk menuntut balas dendam terus bergerak
maju diiringi hiruk-pikuknya teriakan para perempuan yang berbaur
dengan suara ringkik kuda dan teriakan para tentara. Pasukan tersebut
bergerak menuju ke dataran tinggi Madinah, yaitu Gunung Uhud.
Sementara itu Muhammad menerima sepucuk surat rahasia dari
pamannya, ‘Abbas, yang isinya menggambarkan secara detail seluruh
kekuatan pasukan Quraisy tersebut. Jika demikian pasukan Quraisy itu
bergerak, maka berarti tempat pertempuran saat ini adalah di Gunung
Uhud. Apakah tetap di Uhud?

326 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


17

Darah membanjiri lembah Uhud, se-


buah pelajaran

S
ebanyak tiga ribu prajurit Quraisy, sekutu-sekutu,
dan budak-budaknya bergerak bagai angin puyuh
yang siap menerjang dan mengerikan, diliputi api dendam
yang menyala-nyala dan impian-impian keme­nangan. Mereka terus
bergerak maju.
Mereka siap menggedor rumah-rumah Madinah yang menjadi tempat
tinggal perempuan-perempuan, anak-anak, dan orang-orang lanjut
usia. Mereka siap meruntuhkan aqidah yang telah mengobarkan ke-
beranian setiap laki-laki dan membentuk menjadi manusia baru. Kini
mereka masih beristirahat di lembah Uhud, dekat Madinah.
Orang-orang Islam berkumpul di masjid mengadakan musyawarah. Mu-
hammad menceritakan secara detail kepada mereka tentang kekuatan
tentara Quraisy saat ini dan meminta saran-saran dari mereka.
Sebelum sebagian dari mereka ada yang angkat bicara mengajukan
gagasannya, Muhammad mengawali pem­bicaraan terlebih dahulu:
“Bagaimana menurut pendapat kalian semua, jika kalian tetap tinggal

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 327


di Madinah, maka kondisi ini memancing mereka untuk turun. Seba-
liknya, jika mereka tetap tinggal di atas sana, maka itu berarti mereka
menempati posisi yang berbahaya. Jika mereka menyerang kita, maka
kita akan menghadapi mereka di Madinah.”
Muhammad menunggu tanggapan peserta musyawarah, sedangkan
orang-orang yang kembali dari Badar dengan membawa kemenangan
yang gemilang pada waktu yang telah lalu, senantiasa membanggakan
diri mereka dengan penuh kesombongan.
Para pemuda saling berbisik-bisik sambil mengelus-elus mata pandang
mereka. Sementara itu pula dari kejauhan terdengar terompet dan
ringik-ringik kuda menyalakan semangat tempur. Jantung mereka
berdetak keras tergugah oleh suara rebana yang bertalu-talu. Dalam
benak mereka hanya terlintas impian-impian tentang harta rampasan
dan tawanan.
Orang-orang Quraisy telah datang dengan membawa perempuan dan
budak yang cantik, baju perang yang sangat mahal, pedang, kuda,
unta, dan seluruh harta kekayaan mereka. Semua itu akan diperoleh
secara halal setelah berhasil memenangkan pertempuran. Tak ada
alasan lagi bagi Muhammad untuk tidak memberikan peluang serupa
bagi tentara-tentara yang tidak memperoleh bagian harta rampasan
dan kehormatan pada waktu pertempuran Badar.
“Rasulullah, hadapi saja musuh kita; jangan sampai kita bersikap
pengecut,” salah seorang berkata dengan penuh ambisius.
Sementara itu para sesepuh kaum Anshar sendiri merasa tidak tertarik
sama sekali dengan usul pemuda tersebut, karena mereka mengetahui
secara persis kondisi kota dan lebih layak mengikuti saja hasil voting
musyawarah. Pemuda-pemuda dari kalangan Anshar maupun Muhajirin
yang belum pernah terjun ke kancah pertempuran merasa terpukau
atas kemenangan tiga ratus pasukan muslim dalam menghadapi seribu
personel pasukan Quraisy di lembah Badar. Mestinya para pemuda itu
tahu bahwa orang-orang Quraisy tidak datang sendirian. Pihak Quraisy
datang dengan mengerahkan sekutu-sekutu dan tentara-tentaranya
yang telah dipersiapkan selama satu tahun sebelumnya.

328 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Semestinya para pemuda itu memahami bahwa keberanian dalam
pertempuran bukanlah menyerang musuh semata, tetapi keberanian
itu merupakan langkah yang dapat mengantarkan pada kemenangan.
Sementara dari kalangan generasi tua memberikan pendapat seraya
berkata: “Rasulullah, tetaplah tinggal di Madinah. Jangan pergi meng-
hadapi musuh. Jika kepergian menghadapi musuh tetap kita paksakan,
maka itu berarti pihak musuh sudah menang. Sebaliknya, andaikata
musuh datang menyerbu kita, kita yang pasti menang. Biarkan saja
mereka di sana. Jika mereka tetap bertahan tinggal di sana, itu be-
rarti mereka tinggal dalam posisi tertawan yang merugikan mereka
sendiri. Jika mereka menyerbu kemari, maka kita lawan saja mereka.
Sementara itu para perempuan dan anak-anak diperintahkan untuk
melempari mereka dari atas. Jika mereka kembali, maka mereka akan
pulang dengan membawa kekalahan yang sangat mengecewakan.”
Inilah pendapat yang diharapkan Muhammad agar dapat diterima oleh
peserta musyawarah. Akan tetapi, mengapa ‘Abdullah bin Ubay mendu-
kung pendapat pemuda tadi dan mereka setujui, padahal ia tak pernah
menyimpan maksud apa-apa, selain hanya ingin Muhammad terjatuh.
Sebagian orang-orang Islam merasa khawatir untuk tetap tinggal di
Madinah. Mereka khawatir akan terjadi pengkhianatan pada saat-saat
berkecamuknya pertem­puran, karena di Madinah terdapat musuh-
musuh dalam selimut yang selalu menyimpan sikap permusuhan dan
melakukan kelicikan-kelicikan.
Jalannya rapat yang berkepanjangan itu, akhirnya terpaksa diskors-
ing terlebih dahulu, karena suara adzan Bilal sudah berkumandang.
Setelah semuanya selesai menunaikan shalat Jum‘at, skorsing rapat
dicabut dan agenda selanjutnya dibahas kembali.
Muhammad tidak berhasil menggolkan pendapat kalangan generasi tua
yang menyatakan sebaiknya tetap bertahan tinggal di Madinah. Per-
timbangan penolakan peserta rapat adalah kekhawatiran akan adanya
peng­khianatan secara tiba-tiba, sedangkan pertimbangan yang lain
adalah kemenangan yang dulu dan kekhawatiran adanya dugaan semen-
tara pihak bahwa mereka bertahan di Madinah karena pengecut dan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 329


berharap akan mendapatkan harta rampasan lagi dari pihak Quraisy.
Pertimbangan inilah yang menguatkan pendirian peserta rapat untuk
keluar dari Madinah menghadapi pasukan Quraisy di lembah Uhud.
Karena mayoritas peserta rapat yang mampu me­manggul senjata
menolak pendapat tersebut dan bersikukuh untuk keluar menghadapi
musuh, maka Muhammad mengambil keputusan dengan cara aklamasi.
Voting adalah cara yang paling efektif dan efesien untuk menyelesaikan
jalannya prosesi rapat ini. Akhirnya, diambillah satu keputusan: me-
nyambut musuh di medan Uhud....
Muhammad kini harus menerima suara yang terbanyak dari dua kubu
antara yang pro dan yang kontra. Akhirnya, setelah rapat ditutup,
Muhammad memasuki rumahnya untuk mengenakan baju perangnya.
Ketika Muhammad pergi ke medan laga, mereka saling memaki. Se-
bagian dari mereka mengucapkan kata-kata kasar kepada Muhammad
dan memaksakan kehendak mereka. Muhammad kembali lagi men-
emui mereka setelah mengenakan baju perangnya. Di antara mereka
berkata kepada Muhammad: “Kembalilah engkau ke sana, karena hal
itu bukan yang kita kehendaki. Jika engkau mau, duduklah. Semoga
rahmat diberikan kepadamu oleh Allah.”
Tapi Muhammad telah siap untuk berperang dan persoalannya sudah
tuntas. Tidak layak bagi dirinya untuk kembali lagi, setelah menyatakan
siap tempur dengan tegas.
Kelompok minoritas yang mendukung pendapat agar tetap bertahan
di Madinah berjanji akan mendukung kelompok mayoritas. Selama
keputusan rapat tersebut dinyatakan tetap berlaku, maka semua pihak
harus menghormati dan siap menjalankan keputusan untuk keluar ke
lembah Uhud.
Muhammad menginstruksikan kepada semua orang Islam agar bersiap-
siap. Mereka berangkat hari ini ke lembah Uhud untuk memulai per-
tempuran esok hari. Orang-orang Islam pulang ke rumah masing-masing
untuk mengambil senjata dan pakaian perang yang diperoleh dari hasil
rampasan perang Badar dan Bani Qainuqa’.
Muhammad mengirim himbaun kepada sekutu-sekutu­nya dari Yahudi

330 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Bani Quraizhah dan Bani Nadhir agar ikut serta pergi ke medan per-
tempuran untuk mempertahankan Madinah, sebab menurut ketentuan
yang tertuang dalam piagam perjanjian, mereka diharuskan ikut serta
dalam mempertahankan Madinah dari serangan musuh. Namun masih
ada sebagian dari mereka yang komplain mengajukan keberatannya
dengan alasan, piagam tersebut tidak berlaku jika peperangan terjadi
di luar Madinah.
Sementara yang lainnya dari kelompok Yahudi Bani Quraizhah dan
Bani Nadhir menyatakan: “Piagam per­janjian tersebut mengharuskan
kita untuk mempertahankan Madinah dengan cara apa pun, tanpa
menentukan secara rinci mengenai batas dan cara mempertahankan-
nya. Muhammad akan memulai pertempuran besok pada hari Sabtu,
padahal pada hari tersebut kita dilarang bekerja dan senjata tidak
boleh diangkat.”
Mendengar perkataan orang-orang tersebut, salah seorang tokoh mer-
eka marah sekali, kemudian memaki-maki mereka dan menyatakan
akan bergabung ke dalam barisan pasukan Muhammad. Andai saja
nanti dia sampai terbunuh di dalam pertempuran, maka dia yang akan
menyerahkan harta kekayaan kepada Muhammad agar dipergunakan
sesuai dengan keperluan. Laki-laki itu langsung menghunus pedang
dan baju perang sambil menatap tajam kepada orang-orang yang ada
di sekelilingnya.
“Hari Sabtu berlaku juga buat kalian semua,” ucap laki-laki tersebut
dengan nada mengejek.
Muhammad mengumpulkan sekitar seribu orang-orang laki-laki dari
kalangan Muhajirin dan Anshar, beberapa ekor kuda dan unta. Beberapa
orang perempuan ikut serta juga berjalan di belakang tentara-tentara
dengan membawa perbekalan makanan dan minuman.
Muhammad membagi tentaranya ke dalam tiga regu. Salah satu regu
berada di bawah komando ‘Ali bin Abu Thalib. Sewaktu ketiga regu
itu sudah sampai di daerah pertengahan antara Madinah dan lembah
Uhud, ‘Abdullah bin Ubay mengadakan pembicaraan dengan anggota
regu tersebut. Jumlah mereka berkisar tiga ratus personil. Mayori-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 331


tas di antara mereka berasal dari kalangan suku Khazraj. Sepanjang
perjalanan, mereka saling berbisik-bisik dan bertanya-tanya: “Men-
gapa Muhammad tidak mengambil keputusan menurut pendapat dia
sendiri? Mengapa dia mau mengikuti pendapat pemuda-pemuda yang
pemberani itu?”
“Muhammad mengikuti pendapat pemuda itu; dan sengaja menentang
pendapatku,” ucap ‘Abdullah bin Ubay.
‘Abdullah bin Ubay orang yang sangat ahli membuat argumentasi dan
sangat ulung mempengaruhi orang lain. ‘Abdullah tiada henti-hentinya
berbicara dengan mereka tentang keputusan Muhammad yang telah
menjerumuskan pada ketidak-jelasan nasib yang penuh spekulasi
dan khayalan-khayalan para pemuda yang tidak ahli dalam strategi
pertempuran. “Demi Allah, kita tidak tahu untuk apa kita berperang
di sini?” teriak ‘Abdullah kepada orang-orang membelah keheningan.
Selanjutnya, dia menarik tali kekang kudanya dan kembali lagi ke
Madinah yang diikuti oleh tiga ratus orang prajurit handal. Beberapa
orang temannya memanggil mereka dari kejauhan: “Janganlah kalian
meninggalkan kami!”
Tapi ‘Abdullah bin Ubay terus berpaling dari mereka dengan menyung-
ging senyuman licik yang dingin: “Andaikata kami tahu kalian akan
berperang, sudah tentu kami tidak akan pernah mau menyerahkan
diri kepada kalian.”
Betapapun demikian, Muhammad tetap maju terus bersama sisa-sisa
pasukannya sebanyak tujuh ratus orang. Muhammad menghimbau
kepada mereka agar bersabar dan jangan terpengaruh tindakan pro-
vokasi ‘Abdullah.
Setibanya di lembah Uhud, ternyata mereka melihat tentara Quraisy
telah memadati sebagian besar lembah. Di belakang mereka, terben-
tang padang pasir yang luas dan jalan ke Makkah yang aman.
Pasukan Quraisy berkekuatan tiga ribu personel yang terdiri dari budak-
budak kulit hitam yang ahli dalam lempar lembing. Pemuka-pemuka
Quraisy dan pasukan-pasukan penunggang kudanya lengkap dengan
seluruh perbekalannya.

332 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Pada waktu itu orang-orang Islam sangat membutuhkan kuda, tapi
‘Abdullah bin Ubay telah menggiring sebagian besar kuda milik orang-
orang Islam untuk dibawa pulang sebagai aksi kelicikannya.
Namun apa pun yang terjadi, mereka harus terus maju dengan
hanya berbekal optimisme dan rasa percaya diri untuk menghadapi
kekuatan pasukan lawan yang lebih unggul persenjataannya.
Sementara itu, pasukan tempur yang mengidealisasikan posisi
terhormat telah siap-siaga di sana. Seorang perempuan bangsawan,
Hindun binti Utbah, kini menerobos barisan dengan mengenakan per-
hiasan yang mencolok mata. Di sekitar beberapa orang perempuan dari
kalangan elit Quraisy dan budak-budak perempuan yang cantik-cantik
dan wewangian yang harum semerbak, dia senantiasa mengobarkan
semangat juang tentara-tentara sambil memegang tulang-belulang
kerangka mayat dengan cara dimain-mainkan.
Tulang-tulang siapakah ini? Bagaimana mungkin jari-jemari yang
lentik ini menggenggam tulang mayat? Muhammad! Ternyata tulang-
belulang itu merupakan kerangka mayat ibumu. Jari-jemari yang lentik
itu telah menggali kuburan ibumu yang telah berbaring selama lima
puluh tahun, pada saat pasukan Quraisy berjalan menuju ke lembah
Uhud. Semua ini menunjukkan kepada kalian bahwa tindakan Hindun
merupakan suatu tindakan yang buas, mengerikan, dan menjengkelkan.
Hanya saja situasi sudah tak memungkinkan lagi untuk memikirkan
persoalan lain, kecuali menghadapi kekuatan pasukan Quraisy.
Pasukan Quraisy dipecah menjadi tiga regu. Posisi tengah di pimpin
Abu Sufyan. Sayap kanan terdiri dari pasukan kuda di bawah pimpinan
Khalid bin Walid, sedangkan sayap kiri terdiri dari pasukan kuda juga
yang dipimpin oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal.
Muhammad mencari lokasi yang strategis, kemudian dia me-
mutuskan ujung lembah yang terletak di tepi gunung Uhud sebagai
markasnya. Muhammad menginstruksikan kepada lima puluh tentara
pemanah agar naik ke puncak gunung dan mencurahkan perhatian
mereka untuk melayangkan anak panah kepada pasukan kuda Quraisy

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 333


serta merintangi mereka untuk maju bertempur di medan laga.
Kuda-kuda mereka jelas akan ketakutan pada anak-anak panah.
Pasukan kuda Quraisy yang pasti tidak akan dapat memasuki arena
pertempuran, selama anak-anak panah terus menghujani mereka dari
puncak gunung. Demikianlah strategi tempur Muhammad yang telah
diinstruksikan untuk membabat habis pasukan Quraisy yang mengambil
posisi lini tengah, yang di dalamnya terdiri dari pembesar-pembesar
Makkah, jagoan-jagoan, dan budak-budak kulit hitam. Pasukan yang
mengambil posisi lini tengah yang menjadi sentral kekuatan tentara,
akan dapat ditumpas setelah mencegati pasukan kuda yang mengambil
posisi sayap kanan dan sayap kiri.
Muhammad memerintahkan kepada komandan pasukan pemanah
agar bersikap waspada terhadap taktik Khalid bin Walid, sebab dia
adalah komandan yang pintar dan sangat cerdik.
Muhammad menekankan agar pasukan pemanah tidak meninggal-
kan posisi mereka, apa pun yang terjadi. Mereka harus bertahan pada
posisinya hingga ada instruksi baru dari Muhammad atau ada orang
lain yang menggantikan posisinya jika terdapat pasukan yang gugur
dalam pertempuran.
Setelah menjelaskan peranan penting pasukan pemanah dalam
pertempuran, Muhammad mengulagi lagi instruksi­nya: “Kalian harus
melindungi kita dari serangan pasukan kuda dan anak panah. Kalian juga
harus bertahan pada posisimu, jangan sampai musuh menyerang kita dari
belakang.”
Muhammad mengumpulkan sebagian jagoan-jagoan muslim un-
tuk melingkari dirinya. Dia memberikan sebilah pedangnya kepada
seorang laki-laki Anshar yang bernama Abu Dujanah. Dia meminta
kepada laki-laki itu agar menggunakan pedangnya sebagaimana mes-
tinya, kemudian laki-laki itu menggenggam pedang tersebut dengan
penuh percaya diri bahwa ia tidak akan terkalahkan. Abu Dujanah
mengeluarkan sebuah selendang berwarna merah dan membebatkan
ke kepalanya. Orang-orang berkata: “Abu Dujanah telah mengeluarkan
selendang mautnya.”

334 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Di samping Muhammad telah memberikan pedangnya kepada Abu
Dujanah, beliau juga memberikan kepercayaan kepada Mush‘ab bin
Umair untuk memegang bendera. Kini pasukan muslim mulai berbaris.
Hamzah berada di barisan terdepan, didampingi Abu Dujanah, ‘Ali bin
Abi Thalib, Sa‘ad bin Abi Waqqash, ‘Umar bin Khaththab, dan Ubai-
dah bin Jarrah. Selanjutnya, Muhammad memberikan isyarat untuk
memulai penyerbuan, maka meluncurlah anak-anak panah ke arah dua
sayap pasukan Quraisy. ‘Ikrimah memberikan komando penyerbuan
kepada anggota pasukan Quraisy. Namun akhirnya kuda-kuda yang
mereka tunggangi belingsatan tidak dapat dipaksa lagi untuk maju
lantaran begitu derasnya anak-anak panah menghujani mereka dari
atas bukit. Karena itu, terjadilah benturan antara pasukan kuda yang
satu dengan pasukan kuda yang lainnya. Tak pelak lagi, Muhammad
terus memerintahkan tentaranya untuk bertempur melawan mereka.
Sementara Khalid bin Walid bersama anggota pasukan­nya men-
gambil posisi agak jauh dari posisi pasukan pemanah anak muslim.
Ketika pasukan muslim menyerang posisi sayap kiri yang dipimpin
‘Ikrimah, maka terjadilah kekacauan di barisan sayap kiri tersebut
dan terpaksa ‘Ikrimah mengambil keputusan untuk mundur. Kenangan
pahit yang pernah dirasakan dalam perang Badar tiba-tiba terlintas
di hadapannya. Dalam benak ‘Ikrimah, bayangan sosok laki-laki yang
terkenal dengan bulu dadanya; dan pasukan-pasukan Quraisy yang
bergelimpangan bersimbah darah di atas lautan pasir, terus meng-
godanya. Laki-laki itu adalah Hamzah bin Muththalib.
Hamzah maju dengan pedangnya, membabat semua kepala yang
dijumpainya sambil berteriak dengan suara lantang yang membuat bulu
kuduk merinding: “Mampuslah kalian! Mampuslah kalian! Mampuslah
kalian!” Di samping itu, Abu Dujanah juga membabat lawan-lawannya
dengan pedang milik Muhammad. Keyakinan akan keampuhan pedang
yang digenggamnya semakin mengobarkan se­mangat­nya untuk me-
numpas pasukan Quraisy.
Benteng pertahanan pasukan Quraiys kini telah dikuasai oleh pa-
sukan muslim. Seorang pembawa bendera Quraisy gugur, kemudian
datang seorang lain lagi untuk meng­gantikan tugasnya, namum nasib

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 335


sial juga berpihak pada pembawa bendera kedua. Selanjutnya, datan-
glah orang yang ketiga guna menggantikan tugas yang telah ditinggal
mati oleh kedua temannya, tetapi tak lama kemudian ia pun juga
tewas menyusul kedua temannya. Pergantian demi pergantian telah
dilakukan, maka akhirnya majulah seorang perempuan yang meng-
gantikan tugas sebagai pembawa bendera. Sementara itu, pasukan
muslim maju terus untuk membinasakan tentara musuh. Sayap kiri
yang dipimpin ‘Ikrimah bin Abu Jahal mundur terbirit-birit ketakutan.
Banyak penunggang kuda tewas yang terlempar dari punggung kudanya
secara mengenaskan.
Pasukan Islam terus bergerak maju terbakar tekad untuk meraih
kemenangan secara kilat dan keyakinan yang kokoh bahwa kematiannya
akan mendapat imbalan suatu kehidupan baru yang kekal nan abadi
kelak di surga.
Melihat pasukan berkuda Quraisy telah lari ketakutan lantaran
mendapat serangan pasukan pemanah muslim, maka Hindun binti
Utbah berteriak lantang melantunkan syair-syair heroik untuk mem-
bangkitkan kembali semangat juang mereka:

Majulah terus bertempur


sejengkal tanah pun jangan mundur
Tebaslah musuh-musuh dengan mata pedang kalian
hingga hancur-lebur
Jika kalian maju, maka kalian akan dipeluk
Hamparan permadani yang lembut buat kita duduk
Namun jika mundur takluk
maka kita berpisah tanpa cinta kasih
Baju besi dan topi baja yang dikenakan Hindun dan sebilah pedang
yang terhunus di genggaman tangannya membabat dada para musuh

336 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang tidak mengenakan pakaian pelindung.
Ketika Abu Dujanah melihat di antara pertempuran ada tentara
yang menunggang kuda begitu sengit dan menelan banyak korban, maka
ia pun menyerang pe­nunggang kuda tersebut. Namun pada saat ia akan
mengangkat pedang dan mengayunkannya ke arah pe­nunggang kuda
yang sengit itu, tiba-tiba penunggang kuda tersebut meminta belas-
kasih Dujanah sambil membungkuk di hadapannya dalam kondisi men-
gangkat tangannya yang ternyata penunggang kuda itu adalah Hindun
binti Utbah. Merasa terpaksa, Abu Dujanah melepaskan Hindun sambil
berkata: “Aku lepaskan engkau karena aku ingin menjaga keagungan
pedang Rasulullah untuk aku hunjamkan pada seorang perempuan.”
Maka selamatlah Hindun dari kematian, kemudian Hindun me-
lepaskan baju perangnya dan pergi mengumpul­kan para perempuan,
berlari-lari ke belakang tentara Quraisy yang mundur ketakutan. Se-
mentara itu, pasukan muslim menyerang di tengah-tengah segerom-
bolan pasukan Quraisy. Satu demi satu, Hamzah berhasil menghabisi
tentara Quraisy. Dalam kepanikan Hindun mencari budak hitam yang
bersembunyi dengan sebilah tombaknya di balik pohon di lembah itu.
Budak kulit hitam yang dicarinya ternyata dia temukan juga. Hindun
lalu memegang tangannya, kemudian menyeret budak itu ke tempat
Hamzah bertempur dengan rayuan-rayuan gombal dan janji-janji yang
menggiurkan.
Pasukan muslim sedikit pun tidak pernah takluk dalam penyerbuan
mereka, hingga akhirnya mereka berhasil mengurung Hindun, teman-
teman, dan budak-budaknya sebagai tawanan perang.
Pasukan-pasukan Quraisy yang sudah merasa kewalahan kini mu-
lai mundur. Abu Sufyan menggiring pasukannya yang berada di posisi
tengah, sedangkan ‘Ikrimah dan pasukannya yang menempati di posisi
sayap kiri juga berjalan mundur. Hanya Khalid dan pasukannya saja
yang terus bertahan mengambil posisi sayap kanan dan masih berada
di posisi yang agak jauh, karena khawatir dalam pertempuran itu akan
terjadi bentrok.
Seorang budak kulit hitam tetap menunggu kesempatan yang tepat

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 337


untuk membunuh Hamzah dengan cara bersembunyi di balik pohon.
Jika ia telah berhasil memenggal kepala yang sedari tadi diintainya,
maka ia akan membawa kepala itu sambil berlari dengan sekencang-
kencangnya.
Dari atas puncak gunung, para pemanah melihat pasukan Quraisy
lari kocar-kacir meninggalkan barang-barang, baju perang, pedang
mereka, dan para perempuan.
Ternyata pertempuran berakhir dengan cepat sekali. Prajurit-
prajurit muslim kini sibuk mengumpulkan harta rampasan dan para
tawanan. Seorang anggota pasukan pemanah mengusulkan kepada
rekan-rekannya agar segera turun dari posisi mereka untuk memun-
gut harta rampasan yang mahal-mahal harganya serta perempuan-
perempuan tawanan yang cantik-cantik. Tapi, komandan mereka
mengingatkan tentang instruksi yang telah disampaikan Muhammad,
yakni agar tetap bertahan pada posisi mereka apa pun yang terjadi,
hingga mereka dapat instruksi baru dari Muhammad sendiri, barulah
mengambil sikap.
Tetapi mereka sudah tak sabar lagi untuk turun gunung. Sementara
di lembah sana, sejumlah harta rampasan sudah menumpuk, mulai
dari kuda yang tangguh, baju besi, unta yang penuh dengan muatan,
perempuan cantik, setumpuk makanan yang enak, dan barang per-
hiasan yang mahal harganya.
Tetapi, instruksi Muhammad agar mereka turun gunung belum juga
datang. Mungkinkah Muhammad lupa kepada mereka? Bila Muhammad
telah membagi-bagikan harta rampasan tersebut, maka ini berarti
mereka tak akan kebagian harta rampasan sama sekali.
Dengan prediksi yang demikian, akhirnya mereka memutuskan
untuk turun gunung semua. Sesampainya di lembah, mereka langsung
berebut harta rampasan dan menawan perempuan-perempuan yang
mereka sukai.
Dari kejauhan, Khalid bin Walid yang berada di posisi sayap kanan
memperhatikan tentara-tentara Quraisy yang sudah kucar-kacir. Dia
mencari langkah yang strategis untuk melakukan penyerangan kembali.

338 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Ketika dia melihat pasukan pemanah muslim telah turun gunung dan
sibuk mengumpulkan barang-barang rampasan, maka dia mengomando
anak buahnya. Dengan cepat dia berputar, menaiki puncak gunung
dan menyerbunya. Pasukan muslim terkejut mendapat serbuan dari
belakang, pada saat mereka sedang berebut harta rampasan. Selan-
jutnya, Khalid bin Walid memerintahkan kepada pasukan Quraisy yang
sudah banyak melarikan diri agar segera kembali lagi dan merapatkan
barisan untuk menyerbu kembali kaum muslim yang konsentrasinya
telah terfokus pada harta rampasan.

g
Pada saat pasukan tentara muslimin berada di lembah, pasukan
Quraisy kembali lagi dan menyerbu ke medan pertempuran. Pasukan
yang mengambil pasukan lini tengah dipimpin Abu Sufyan; pasukan
sayap kiri dipimpin ‘Ikrimah; dan pasukan sayap kanan dipimpin Kha-
lid. Semuanya melakukan penyerbuan dari arah belakang. Dengan
kondisi yang seperti ini, tidak aneh jika pasukan muslim tiba-tiba
terkepung dan terkurung dari berbagai penjuru oleh tentara Quraisy.
Kuda-kuda yang ditunggangi tentara Quraisy sudah banyak yang
menginjak-injak tubuh-tubuh tentara muslim yang tergeletak menjadi
mayat.
Hamzah maju kembali dengan didampingi Abu Dujanah, ‘Ali,
‘Umar, dan Zubair. Mereka berempat berusaha sekuat tenaga untuk
mengobrak-abrik pengepungan tersebut. Hamzah berhasil menumpas
pasukan Quraisy satu demi satu, hingga akhirnya dia mendekati Wahsy
yang sedang bersembunyi di bawah pepohonan. Akan tetapi, kemu-
dian Hamzah mengalihkan pandangannya pada serangan pasukan kuda
Quraisy yang menyabetkan pedangnya pada barisan pasukan muslim.
Hamzah berteriak: “Kemarilah, Ibn Muqthimah Al-Badhur!” hingga
akhirnya perkelahian dua jagoan itu dapat dimenangkan Hamzah. Pada
saat itu pula dari jarak yang agak jauh diayunkanlah sebuah lembing,
lalu dilemparkannya ke arah Hamzah. Lembing melesat dan tepat
mengenai perut Hamzah. Lembing itu merobek perut Hamzah dan isi
perutnya tumpah. Hamzah mencoba akan memberi perlawanan den-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 339


gan cara mengangkat sebilang pedangnya, tetapi kekuatannya telah
terkuras dan dia roboh tersungkur ke bumi dengan bersimbah darah.
Sewaktu Hamzah telah tergeletak kaku, Wahsy men­datangi tu-
buh Hamzah yang sudah tidak bergerak lagi, kemudian dia mencabut
lembingnya, lalu dengan sikap dingin dia membersihkan darah-darah
Hamzah yang melumuri lembingnya.
Dalam kondisi ini pulalah, Hindun datang tergesa-gesa, lalu mer-
obek dada Hamzah, lalu mengeluarkan hati dan jantungnya. Selanjut-
nya, ia memeras jantung Hamzah dengan tangannya, memakan dengan
mulutnya dan meminum darahnya sambil menari-nari kegirangan di
atas mayat Hamzah, sebagai aksi melampiaskan seluruh api dendam
yang membara di dalam jiwanya yang sejak lama didambakannya.
Tentara-tentara muslim yang tewas telah mencapai puluhan jiwa.
Abu Sufyan datang juga pada mayat Hamzah yang sudah tercabik-cabik
itu. Dia menginjak-injakkan kakinya di atas jasad Hamzah dan me-
nyepaknya. Merasa belum puas, ia kemudian mengayunkan pedangnya
ke mulut Hamzah. Melihat mulut Hamzah robek menganga, Abu Sufyan
tertawa terbahak-bahak, terus berjalan meng­injakkan sepatunya ke
tubuh Hamzah yang sudah tak tampak lagi raut wajahnya.
Kepandaian dan kejantanan laki-laki yang telah membuat musuh-
musuh ketakutan kini telah menjadi seonggok mayat yang tercampak
dan darah-darahnya bercampur dengan pasir.
Hamzah tewas! Hamzah tewas! Mana Muhammad?
Lembah yang menjadi arena pertempuran diliputi teriakan-teriakan
Abu Sufyan: “Hamzah telah mampus!” Sementara itu Hindun melumuri
tangannya dengan darah Hamzah dan mengacung-acungkan tangannya
setinggi-tingginya sambil memekikkan teriakan atas kematian Hamzah.
Menyaksikan kondisi itu, pasukan muslim goncang. Mush‘ab bin
Umair maju membawa bendera, tetapi seorang tentara Quraisy
menyerangnya dan akhirnya tangan Mush‘ab putus, bahkan tentara
Quraisy itu pun berhasil mem­bunuhnya. Kebetulan, Mush‘ab bin Umair
mempunyai wajah yang hampir mirip dengan Muhammad, sehingga
tentara Quraisy yang berhasil membunuhnya, merasa telah mem-

340 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


bunuh Muhammad, kemudian ia berteriak-teriak kegirangan seraya
menginformasikan kepada teman-temannya: “Aku telah membunuh
Muhammad. Aku telah berhasil membunuh Muhammad.”
Pengakuan tentara Quraisy bahwa dirinya telah membunuh Mu-
hammad membuat perasaan semua pasukan muslim kian tergoncang,
sebab untuk apa lagi mereka bertahan jika Muhammad telah tewas.
Hampir saja mereka akan melarikan diri, tetapi Muhammad segera
meme­rintahkan agar menyerahkan bendera kepada ‘Ali bin Abi Thalib.
‘Ali bin Abi Thalib pun terjun ke tengah-tengah barisan dengan
membawa bendera yang didampingi Abu Dujanah. Ketika ‘Umar bin
Khaththab, Sa‘ad bin Abi Waqqash, Ubaidah bin Jarrah, dan Zubair
bin Awwam sedang mencari Muhammad di sebuah arena pertempuran
yang penuh dengan tentara yang saling berdempet-dempetan dan
bercampur-aduk dalam kepanikan, ternyata mereka menemukan Mu-
hammad sedang duduk menahan sakit yang sedang dideritanya.
Kepala Muhammad penuh dengan bercak-bercak luka; darah
mengalir dari tubuhnya. Pipinya sobek di mana di dalam bagian yang
sobek itu, ada dua pecahan lingkaran baju besi. Abu Ubaidah mem-
bungkuk dan berusaha mencabut pecahan besi yang mengendapnya. Ia
menggigit kedua lingkaran besi itu dengan giginya dan untung saja ia
berhasil mencabutnya, walaupun beberapa giginya ada yang tanggal.
Sementara itu, Sa‘ad bin Abi Waqqash melepaskan anak-anak panah
ke arah gerombolan tentara yang mendesak ke arah Muhammad yang
akan membunuhnya.
“Terus hujani mereka dengan anak panah ke arah mareka,” per-
intah Muhammad kepada Sa‘ad dengan suara terputus-putus karena
menahan sakit.
Sementara itu Zubair mengumumkan kepada orang-orang bahwa
Muhammad masih hidup. Dia belum tewas. Selanjutnya, dengan suara
lantang ‘Umar memanggil pasukan muslim yang sudah mulai berlarian
agar kembali lagi, karena Muhammad masih hidup. ‘Umar mengomando
tentara-tentara kembali lagi, melanjutkan pertempuran di bawah
pimpinan Muhammad.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 341


Sementara itu tentara yang lain menjadikan tubuh mereka sebagai
perisai yang melindungi Muhammad dari serangan anak-anak panah
para tentara Quraisy. Tiba-tiba datanglah Ubay bin Khalaf bermaksud
menerobos mereka. Dia meminta agar Muhammad keluar dan bertand-
ing dengan dirinya.
Ubay datang dengan menunggang kudanya yang dulu pada saat
Muhammad masih tinggal di Makkah. Dahulu dia pernah mengatakan
kepada Muhammad: “Aku memberi makan kuda ini adalah untuk mem-
bunuhmu.”
“Justru akulah yang akan membunuhmu dengan kehendak Allah,”
jawab Muhammad ketika itu.
Abu Ubaidah, ‘Umarm dan Zubair memohon kepada Muhammad
agar mengizinkan salah seorang dari mereka bertiga untuk menghajar
Ubay bin Khalaf, tapi Muhammad menolak permohonan mereka. Be-
tapapun dalam keadaan yang penuh luka, Muhammad bertekad akan
menghadapi Ubay sendiri.
Muhammad kini melangkah untuk menghadapi Ubay. Ia mengum-
pulkan seluruh sisa-sisa tenaganya. Dengan sekali bacokan, langsung
saja Ubay bin Khalaf terjatuh dari kuda­nya. Ubay terkenang kembali
dengan ancaman yang dulu.
“Engkau membunuhku,” teriak Ubay dengan suara agak gemetar.
Ubay bin Khalaf tak pernah bangun lagi dengan tubuhnya yang
tercabik-cabik penuh luka.
Sementara itu Muhammad kembali lagi dengan tubuhnya yang
tercabik-cabik penuh luka, kemudian ia tidur telentang di tengah-
tengah shahabatnya yang mengelilingi dirinya. Semua shahabatnya
berusaha untuk mengobati lukanya.
Pasukan Quraisy tidak mampu melakukan penyerbuan terhadap
Muhammad lantaran semua kekuatan pasukan tentara Islam berpusat
di sekeliling Muhammad. Sementara itu matahari telah condong ke
ufuk barat. Pasukan Quraisy berkumpul untuk selanjutnya pulang ke
Makkah.

342 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad menduga bahwa pasukan Quraisy itu akan melancarkan
penyerbuan ke Madinah. Oleh karenanya, dia menginstruksikan kepada
‘Ali bin Thalib untuk memper­hatikan rute yang dilalui mereka. Tapi,
ternyata mereka memang benar-benar akan kembali ke Makkah dengan
mem­bawa kemenangan. Mata pedang mereka berkilau-kilau oleh so-
rotan matahari senja. Tawa perempuan dan budak-budak perempuan
menggema di bumi pertempuran di mana tentara-tentara Islam terluka
mengerang-ngerang kesakitan.
Dalam luapan emosi yang meledak-ledak, ‘Umar menyuruh Hassan bin
Tsabit agar mengubah syair untuk membalas perbuatan Hindun, si wanita
bejat yang bernyanyi, menari-nari bersama budak-budak perempuan­nya,
dan melantunkan syairnya-syairnya. Tetapi Hassan diliputi rasa pilu lagi
hatinya tatkala dia membuka bagian perut orang-orang yang terluka. Dia
mengatakan: “Bangkai saudaranya....”
Muhammad berdiri dengan bertopang pada sebagian shahabatnya
di bumi pertempuran yang penuh dengan mayat-mayat yang berjum-
lah sebanyak tujuh puluh pasukan muslim di mana mereka semuanya
tergeletak berserakan.
Selanjutnya, Muhammad mencari sosok mayat Hamzah. Ketika dia
mendekati tubuh Hamzah yang sudah terbujur kaku dan terkoyak-
koyak, dia menemukan sebagian tulang-belulang kerangka mayat
ibunya yang ditinggalkan Hindun di dekat mayat Hamzah.
Semakin dekat dia memperhatikan mayat Hamzah. Dia menemukan
perut Hamzah terbelah. Hidung dan kedua belah telinganya terkupas.
“Andaikata Allah memberikan kemenangan kepadaku atas orang-
orang Quraisy pada suatu hari nanti, maka pasti akan kubuat tiga puluh
orang dari mereka sebagaimana perbuatan yang mereka lakukan ter-
hadap Hamzah,” sumpah dan janji Muhammad sambil melihat mayat
Hamzah yang sedang tergeletak.
“Demi Allah, jika suatu hari nanti Allah memberikan kemenangan
kepada kita atas mereka, maka kita akan menghajar mereka dengan
suatu pembalasan yang belum pernah dilakukan oleh bangsa Arab,”
ucap mereka yang mengelilingi mayat Hamzah di samping Muhammad.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 343


Setelah memperhatikan mayat Hamzah, akhirnya Muhammad
memutar tubuhnya untuk pulang dengan langkah gemetar. Tapi ia
kembali lagi ke mayat Hamzah sambil bergumam: “Aku tak ingin lagi
melihat kenyataan yang menimpa pada dirimu juga menimpa yang lain
selamanya. Tak pernah aku merasa terbakar, selain bara hatiku saat
ini.”
Muhammad pulang ke Madinah dengan dikelilingi beberapa orang
shahabatnya. Namun sesampainya di tengah jalan, Muhammad men-
dengar suara-suara para perempuan yang menangisi dan meratapi
orang-orang yang telah tewas di medan Uhud. Di setiap rumah, dia
mendengar ratap tangis. Di sini, dia dan keluarganya merasakan ses-
uatu yang lebih terasing dari hari-hari yang telah lalu.
Beberapa orang Anshar yang berada di sekelilingnya, mencoba
menenangkan perasaannya yang galau, sementara ratap tangis keluarga
korban pertempuran semakin ter­dengar jelas di telinganya.
Muhammad mendesah dengan suara yang tertahan oleh linangan
air mata: “Tapi Hamzah, kenapa tak seorang pun yang menangisi ke-
pergiannya.”
Melihat orang-orang yang tidak menangisi kepergian tokoh syu-
hada yang bernama Hamzah itu, akhirnya dia memerintahkan kepada
perempuan-perempuan Anshar untuk menangisinya.
Baru saja himbaun itu diucapkan, maka ratapan tangis dari tiap-
tiap rumah atas kepergian Hamzah mulai me­lengking-lengking. Setelah
itu, Muhammad melangkah me­nuju ke rumahnya dengan wajah murung
dan membisu. Tak seorang pun yang berani menyapanya, kemudian
dia menutup pintunya rapat-rapat, lalu menangislah sejadi-jadinya.
Sebuah tangisan duka yang sebelumnya tak pernah ia alami.

344 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Membalut luka
Membangun asa

A
pakah semua ini merupakan bentuk dari kegilaan,
ataukah suatu hikmah yang bisa dipetik menjadi
pelajaran?
Bagaimana mungkin kenangan pahit di lembah Uhud ini akan ter-
hapus? Bagaimana mungkin luka-luka ini akan terobati?
Orang pilihan dari kalangan Anshar dan Muhajirin yang berjumlah
tujuh puluh orang telah tewas di lembah Uhud yang banjir darah
itu, dengan menelan korban di antaranya seorang tokoh yang sangat
populer bernama Hamzah bin Muththalib, seorang prajurit pemberani
yang sangat lincah.
Andai saja dia dulu mau mendengarkan saran ‘Umar agar mem-
bunuh tawanan Badar, niscaya orang-orang Quraisy tak akan sampai
memiliki kemampuan untuk mengerahkan pasukan sebesar ini.
Muhammad telah menunjukkan sikap baiknya kepada orang-orang
Quraisy, kemudian setelah mereka tertangkap menjadi tawanan dalam
perang Badar, dibebaskanlah tawanan itu olehnya, namun justru mer-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 345


eka itulah yang paling gencar menyerbu dengan mata pedangnya di
lembah Uhud memenggal kepalanya. Bahkan di antara mereka ada pula
yang berpidato mengobarkan semangat tempur pasukan Quraisy untuk
melawan dirinya, ketika tentara-tentara Quraisy hampir melarikan
diri.
Berkali-kali ‘Umar telah mengatakan kepadanya: “Bunuh orang-
orang ini, agar tak seorang pun berpidato mengobar­kan api kebencian
terhadap dirimu.” Tapi, justru mereka yang paling berang dan ganas
dalam pertempuran di lembah Uhud justru yang paling banyak adalah
para tawanan perang Badar. Bahkan di antara mereka ada yang diper-
lakukan dengan baik dan dilepaskan tanpa uang tebusan, agar mereka
kembali pulang kepada anak-anaknya di Makkah. Namun mereka itulah
yang mengangkat senjata juga!
Orang-orang seperti mereka itu tak berhak mendapat­kan kasih
sayang kemudian hari nanti.
Inilah dia salah seorang tawanan perang Badar yang dibebaskan
dengan tanpa uang tebusan, tertangkap lagi dalam perang di lembah
Uhud, merengek-rengek meminta dikasihani kepada Muhammad.
“Demi Allah, engkau tak akan dapat menutupi kelicikan­mu lagi
di Makkah, lalu engkau katakan: ‘Aku telah menipu Muhammad dua
kali.’ Sungguh orang mukmin itu pantang digigit ular berbisa dua kali
di satu lubang,” demikian jawab Muhammad kepada laki-laki tawanan
itu, kemudian Muhammad memerintahkan Zubair bin Awwam untuk
membunuhnya.
Seorang tawanan yang lain lagi dari kalangan hartawan Quraisy
meminta perlindungan kepada ‘Utsman bin ‘Affan, maka ‘Utsman
memberikan jaminan keamanan kepada kedua orang tua itu. Akan
tetapi, Muhammad merasa terpaksa sekali memberikan dispensasi
kepada laki-laki tersebut untuk bepergian hingga lebih dari tiga hari
lamanya. Ternyata, tawanan kaya itu bepergian telah lewat dari tiga
hari. Setelah dicari-cari ke sana ke mari, ternyata laki-laki itu berse-
mbunyi di sebuah tempat yang terletak di pinggiran Madinah, maka
Muhammad menugaskan beberapa orang untuk membunuhnya.

346 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Niat yang baik janganlah sampai membuka pintu peluang bagi
pencuri-pencuri untuk memasuki rumahmu, Muhammad! Hampir saja
kepalamu melayang. Andaikata kepalamu sampai terpenggal, maka
sudah pasti pengikut-pengikutmu akan berubah lagi keyakinannya;
dan panji-panji ajaranmu niscaya akan runtuh; dan hingga kini engkau
masih tetap menjalankan aktivitasmu dan berkata yang banyak pula
untuk membebaskan umat manusia dari cengkeraman kesewenang-
wenangan. Oleh sebab itu, kebaikan sikapmu itu selayaknya harus
menjadi benteng yang melindungi dirimu dari berbagai ancaman.
Penjahat tampaknya masih saja mencari tempat berlindung di
balik kebaikan sikapmu, ketika sudah tidak mampu lagi menerjang
keluhuran perilakumu. Seharusnya orang-orang yang baik memahami
hal ini agar tidak mudah memberikan kesempatan kepada para pen-
jahat untuk menipu. Ketika penjahat itu minta maaf, bukan berarti
mengindikasikan bahwa ia mau bergabung ke dalam barisan tentara
penegak kemuliaan, tetapi justru untuk meruntuh­kan panji-panji yang
bergerak di bawah naungan ajaran itu pada saat peluang yang tepat
ia temukan.
Para pejuang yang bergerak untuk kebebasan setiap hati, pikiran,
dan intuisi selayaknya memahami keagungan tanggung jawab mereka.
Andai saja tidak ada sebagian orang Anshar yang berbelas-kasihan ke-
pada Hindun binti Utbah di kancah pertempuran perang Uhud dan tidak
memberi peluang untuk hidup lagi, termasuk pula teman-temannya,
niscaya Hamzah tak akan sampai menjadi korban kebiadaban seorang
budak kulit hitam yang bernama Wahsy yang tidak tahu siapa Hamzah
itu.
Wahsy sendiri juga tidak tahu mengapa kartu pilihan untuk mem-
bunuh harus jatuh ke tangan Hamzah. Tapi Hindun telah membujuk
dan mengiming-iminginya dengan imbalan yang memikat hatinya.
Hindun itulah sebenarnya yang mendorong dan menunjukkan tempat
persembunyian­nya di balik pohon untuk menghabisi Hamzah, jagoan
si penunggang kuda itu. Barulah setelah itu Hindun dan temannya lari
sambil memanggil kembali tentara yang sudah melarikan diri.
Betapapun Khalid bin Walid melakukan serbuan mendadak dari

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 347


belakang pasukan Islam, ternyata pasukan Islam masih cukup mampu
menangkis serbuan mereka. Andaikata Hindun dan teman-temannya
tidak mengejar Abu Sufyan dan ‘Ikrimah yang sudah melarikan diri
dengan pasukan lini tengah dan sayap kiri pasukan Quraisy agar kem-
bali lagi untuk menyerbu pasukan Islam dari berbagi penjuru, tentu
Hamzah tidak akan terbunuh dengan cara mengenaskan.
Semestinya orang-orang Islam belajar bahwa di arena pertempuran
seperti itu tidak sampai melakukan kelengahan lagi dan jangan sampai
berbelas-kasihan kepada musuh, sebab rasa belas kasihan yang dapat
dikecoh ini telah melayangkan jiwa Hamzah dan sekaligus membuka
pintu kemenangan bagi mereka.
Oleh karena itu, orang yang paling bertanggung jawab atas keka-
lahan ini adalah para pemanah yang telah meninggalkan posisinya.
Demikian juga ‘Abdullah bin Ubay bersama tiga ratus personilnya
yang lari sebelum per­tempuran itulah yang bertanggung jawab atas
kematian tujuh puluh orang pasukan Islam di medan Uhud.
Kalian semua pemanah, mengapa meninggalkan posisi kalian se-
belum ada komando, sekedar melihat harta rampasan dan tawanan?
Pikiran kalian terbius dan lupa daratan. Kalian semua telah melakukan
pelanggaran berat! Di antara kalian ada yang gila harta kekayaan,
walaupun telah memeluk ajaran ini. Kalian semua harus dimintai
pertanggung-jawaban atas pelanggaran itu.
Tapi betapapun pelanggaran yang kalian lakukan teramat berat,
setelah Muhammad melihat penyesalan dan derai air mata kalian,
beliau akhirnya memutuskan untuk mema­af­kan kesalahan-kesalahan
yang pernah kalian kerjakan.
Warga Madinah sekalian, apa pun yang terjadi janganlah kalian
semua putus asa di hari esok. Hari akan datang terus silih-berganti.
Kalah dan menang merupakan hukum kausalitas yang bergerak secara
siklus. Jangan kalian merasa sedih dan duka. Jadikanlah peristiwa
pahit ini sebagai bahan pelajaran.
Muhammad muncul dari pintu biliknya yang tertutup rapat dan
memberikan sebilah pedang kepada Fathimah, putrinya, agar mencuci

348 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


bekas darah yang melekat di pedangnya. Selanjutnya, Muhammad
pergi menuju ke masjid sebagaimana biasanya untuk menemui para
pengikutnya. Ternyata sesampai di sana, dia melihat ‘Abdullah sedang
berpidato di hadapan orang-orang.
Apalagi yang telah dikatakan ‘Abdullah setelah me­ngurung­kan
bantuannya dalam perang di lembah Uhud dan menggiring pulang
sepertiga tentara?
Ternyata ‘Abdullah menganjurkan kepada orang-orang agar men-
dengarkan kata-kata Muhammad, mematuhi, dan mencintainya.
Untuk kepentingan apa lagi, gembong-gembong orang munafiq itu
mempermainkan pikiran orang lain? Adakah ia juga berbicara tentang
cinta? Adakah ia berbicara tentang kepatuhan, padahal dia itulah yang
menyulut pemberontakan secara tiba-tiba dan membuat celah-celah
dalam barisan Muhammad? Sementara itu, dia berusaha membersihkan
diri dari tipuan-tipuan itu; bibirnya mengulum senyum; kedua belah
tangannya siap berpelukan, padahal di dalam hatinya telah menyimpan
sejuta kebencian dan kejahatan.
Sebelum Muhammad sampai ke tempat ‘Abdullah bin Ubay ber-
pidato, beberapa orang yang menyertainya dalam perang di bawah
lembah Uhud, melompat ke arah ‘Abdullah dan langsung memegang
bajunya, kemudian mereka mencekik lehernya. Mulut mereka masih
merasakan pahit-getirnya kekalahan dalam pertempuran di lembah
Uhud.
Mereka menumpahkan kekesalan ke muka ‘Abdullah bin Ubay
dan menyerangnya. Sementara itu pula, ‘Abdullah bin Ubay hanya
berteriak: “Mengapa kalian menyerang diriku saat aku menganjurkan
kepada orang-orang patuh dan cinta kepada Muhammad?”
Tapi teriakan tersebut tak digubris dan justru mereka terus
mendorong ‘Abdullah bin Ubay hingga keluar masjid. ‘Umar berbisik
kepada Muhammad: “Andaikata engkau memerintahkan aku untuk
membunuhnya, sudah tentu aku akan membereskannya.”
Tapi Muhammad memandang ‘Umar dengan pandangan tidak
setuju.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 349


Selama ‘Abdullah bin Ubay masih diberi peluang untuk mempen-
garuhi hati orang-orang, maka sikap pro dan kontra di Madinah kepada
‘Abdullah tidak akan pernah berakhir.
Muhammad, bersabarlah! Hati-hati saja. Jangan sampai ‘Abdul-
lah bin Ubay mengecoh dirimu lagi. Dalam keadaan bagaimanapun,
Muhammad tak akan pernah memerintah­kan membunuh ‘Abdullah,
kecuali pada suatu hari, saat orang-orang menuntut kepalanya dan
tak seorang pun ada yang mampu membelanya.
Muhammad berbicara kepada orang-orang yang hadir tentang batu
ujian yang ditemuinya di lembah Uhud agar semuanya hendaknya men-
jadi pelajaran. Mudah-mudahan pengalaman pahit itu akan menyinari
jalan mereka menuju masa depan yang cemerlang.
Dia sudah menghapus air mata tangisnya atas kepergian Hamzah.
Dia menyatakan bahwa jika kelak menang dalam suatu pertempuran,
maka dirinya tidak akan melakukan pembunuhan terhadap musuh
dengan cara keji sebagaimana pembunuhan-pembunuhan yang dilaku-
kan tentara-tentara Quraisy terhadap Hamzah. Sebab baginya, tidak
pantas melakukan cara seperti itu terhadap orang-orang yang sudah
terbunuh. Baginya membunuh saja sudah cukup, sebab dalam ajaran
Muhammad dinyatakan: “Jika kalian semua akan membalas kekejaman
musuh-musuh, maka balaslah mereka dengan balasan yang setimpal.
Jika kalian semua sabar, maka hal itu adalah sikap yang terbaik.”
Muhammad menyarankan agar tidak berbelas-kasihan kepada
musuh-musuh, karena rasa belas kasihan dalam kancah pertempuran
termasuk kategori keteledoran. Rasa belas kasihan dalam kancah
pertempuran merupakan sikap yang merugikan, bahkan dapat menje-
rumuskan ke dalam kekalahan dan meruntuhkan nilai-nilai ajaran yang
diperjuangkan. Muhammad berbicara panjang lebar tentang nilai-nilai
kepatuhan.
Muhammad senantiasa akan memusyawarahkan semua problema
yang terjadi, sebab jika sistem musyawarah ditinggalkan, niscaya akan
timbul kekacauan dan kese­wenang-wenangan. Namun meski demikian,
prinsip yang harus diupayakan dalam setiap musyawarah hendaknya

350 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


harus diupayakan mencari kata mufakat. Hal ini dikarena­kan, jika
suatu konsensus telah dicapai menjadi suatu keputusan, maka tak
seorang pun yang dibenarkan melanggar keputusan tersebut. Namun
jika ternyata melanggar, maka dia harus dijatuhi sanksi.
Dalam suatu kancah pertempuran, tentara-tentara harus mema-
tuhi instruksi komandan mereka, karena seorang komandan tidak akan
mengeluarkan perintah atas nama kepentingan pribadinya, tetapi in-
struksi itu merupa­kan representasi kehendak orang banyak. Demikian
halnya keputusan yang dicetuskan dari suatu permusyawarahan meru-
pakan cerminan aspirasi semua pihak. Oleh karena itu, Barangsiapa
yang melanggar keputusan tersebut, berarti dia telah melanggar
terhadap semua pihak.
Bagi Muhammad, problem apa pun yang terjadi, dia tidak akan
pernah menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang melakukan
kekeliruan dan menyebabkan kekalahan. Dia tidak hanya akan mem-
berikan maaf kepada mereka, tetapi juga akan menyelesaikan per-
masalahan tersebut ke dalam suatu forum sidang.
Muhammad menghimbau kepada orang-orang agar tidak menangisi
lagi teman-teman mereka yang tewas dalam per­tempuran di lembah
Uhud. Jenazah mereka tak perlu dieva­kuasi ke Madinah, sekedar untuk
menguburkan dan hal itu hanya akan memperpanjang rasa sedih yang
berlarut-larut.
“Kuburkan saja di tempat mereka gugur,” pinta Muhammad kepada
shahabat-shahabatnya.
Status mereka walaupun sudah tidak bernafas, tetapi pada hakikatnya
mereka tidak mati. Bahkan para syuhada’ itu:

“Mereka itu hidup di sisi Rabb mereka dan dikaruniai rizki. Mereka
semuanya berada dalam suasana kegembiraan lantaran menerima karunia
Allah yang diberikan-Nya kepada mereka.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 169-170)
Sebaliknya, status kalian semua yang kembali pulang di tengah
jalan yang menyebabkan lemahnya semangat orang-orang Islam untuk
ikut pergi ke lemah pertempuran dan bermaksud akan menumbuhkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 351


rasa rugi di hati orang-orang yang telah bertempur di medan laga, jan-
gan sampai kalian semua mengatakan kepada saudara-saudara kalian
-yang apabila mereka telah berangkat ke suatu medan pertempuran-
dengan suatu perkataan: “Andaikata mereka mau bersama dengan
kita, niscaya mereka tidak akan sampai menemui ajal.” Ketahuilah,
kalau ajal memang telah ditaqdirkan, maka kematian itu pasti akan
datang juga menjemput ke tempat tidur kalian, walaupun kalian semua
berusaha dengan sekuat tenaga agar tetap tinggal di rumah masing-
masing.
Belum terasa penat mereka mendengar ucapan-ucapan Muhammad
mengenai batu ujian di lembah Uhud, mereka merasa pengalaman pa-
hit itu justru membangunkan spirit, hingga mereka merasa siap untuk
menyongsong masa depan yang jauh lebih kokoh, patuh, dan tangguh.
Barulah Muhammad mengalihkan tema pembicaraan pada urusan
Madinah setelah timbul rasa cinta kasih di antara sesama pengikutnya.
Orang-orang Quraisy akan mengancam Muhammad kembali dengan
pasukan yang akan dapat menghancurkan gunung pada tahun depan.
Karenanya, mulai detik ini Muhammad harus mempersiapkan pasukan
untuk meng­hadapi mereka. Dia harus menghimpun kembali pasukannya
yang sudah terkoyak-koyak oleh kekalahan. Dia harus menanamkan
optimisme di hati mereka, bahwa masa depan yang cemerlang adalah
miliknya.
Namun tugas utama yang harus diselesaikan olehnya saat ini adalah
harus mengobati luka-luka yang masih membekas di tujuh puluh rumah
di Madinah di mana mereka masih saja memperdengarkan ratap tangis
atas kepergian anggota keluarganya. Muhammad melakukan penin-
jauan ke rumah-rumah penduduk untuk membesarkan hati para janda
dan anak-anak yatim yang telah ditinggal mati oleh ayahnya di lembah
Uhud.
Dengan demikian, langkah konkrit yang dijadikan solusi oleh Mu-
hammad adalah menganjurkan kepada shahabat-shahabatnya agar
menikahi janda-janda muda supaya mereka dapat menjaga timbulnya
fitnah.

352 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad mengatur pembagian jatah santunan sosial ini kepada
keluarga yang sudah kehabisan persediaan makanan untuk kebutuhan
esok.
Dari manakah Muhammad dapat membagi-bagikan jatah santunan
sosial ini, padahal kancah pertempuran Uhud telah membebaninya di
atas kemampuan yang ada pada dirinya? Sejumlah senjata dan per-
lengkapan perang yang cukup banyak telah dirampas pasukan Quraisy.
Sementara untuk mempersiapkan persenjataan dalam rangka mengha­
dapi serbuan orang-orang Quraisy pada tahun depan, dia sendiri masih
sangat membutuhkan modal yang cukup besar.
Hanya saja, sebagai bentuk kepedulian sosial kepada janda-
janda dan anak yatim itu, Muhammad akhirnya menghimbau kepada
orang-orang yang mampu agar menyisihkan sebagian hartanya untuk
menyantuni keluarga para syuhada. Namun apa boleh buat, ternyata
hampir mayoritas pengikutnya tidak mau membantu lantaran mereka
semuanya sudah benar-benar menjadi orang-orang tak mampu juga.
Bahkan fatalnya dari dampak negatif setelah pasukan-pasukan
Quraisy menghancurkan impian-impian orang Islam untuk memperoleh
harta rampasan dan tawanan di lembah Uhud, kini kegemaran berjudi
melanda hampir setiap orang Islam di sudut-sudut kota Madinah.
Bagi orang-orang yang keterlibatannya dalam perang Uhud hanya
didorong oleh motif harta kekayaan, mereka pulang dari lembah
berdarah itu dengan membawa rasa kecewa berat yang hampir-
hampir menyebabkan mereka gila. Karena itulah, mereka lalu men-
datangi rumah-rumah perjudian, dengan harapan akan dapat menebus
impian-impian mereka yang sirna di telan lembah Uhud. Pada saat
mereka berjudi, tuak-tuak disuguhkan tak terhitung lagi jumlahnya.
Kegoncangan jiwa-jiwa orang Islam yang stres lantaran kalah
perang untuk memperoleh keuntungan materi yang sebesar-besarnya,
kini situasi dan kondisinya telah dijadikan momentum yang sangat
kondusif oleh Yahudi Bani Nadhir untuk mengambil manfaat secara
profit. Karena itu, mereka lalu membuka bar dan klub yang menye-
diakan meja perjudian dan dimeriahkan dengan para penari Yahudi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 353


yang cantik nan menawan.
Di tempat-tempat hiburan seperti inilah sebagian besar orang-
orang Islam menjadikannya sebagai ajang pelarian rasa stres. Di
tempat-tempat seperti ini pulalah, harta kekayaan mereka dihabiskan
secara sia-sia. Sebenarnya sejak Bani Qainuqa’ meninggalkan Madinah,
Bani Nadhir sangat menginginkan dapat mewarisi pasar mereka. Akan
tetapi, setelah mereka tahu bahwa ternyata orang-orang Islam yang
menguasai pasar Yahudi itu, maka mereka melakukan siasat untuk
menghancurkan sistem per­eko­nomian Islam.
Belum beberapa lama orang-orang Islam menderita kekalahan di
lembah Uhud, orang-orang Yahudi sudah selesai mendirikan rumah-
rumah mewah dan pasar-pasar baru yang diperuntukkan bagi perju-
dian dan hiburan. Mereka memanfaatkan situasi kegoncangan batin
orang-orang Islam untuk mengeruk keuntungan. Memang betul, mereka
berhasil mengeruk keuntungan besar dari usaha mereka, melebihi dari
keuntungan yang mereka impi-impikan dari pasar Bani Qainuqa’.
Muhammad menyadari bisnis jelek yang dikembangkan oleh orang-
orang Yahudi tak hanya akan berdampak pada timbulnya kemiskinan
di tengah-tengah keluarga muslim, tetapi juga akan berdampak pada
penghancuran sistem organisasi yang harus dijaga oleh sekelompok
masyarakat yang memikul tanggung jawab atas kebebasan umat
manusia. Bani Nadhir tidak hanya sekedar melakukan tindakan yang
menghancurkan perekonomian Madinah, namun penghancuran terha-
dap jiwa manusia juga menjadi lahan empuk baginya.
Muhammad merasakan suatu kekhawatiran melihat prajurit per-
ang yang ikut bertempur bersama dirinya, kini terjebak dalam jurang
keputus-asaan yang sangat mem­bahayakan. Mereka sangat sulit dis-
embuhkan dari kese­nangan minum tuak. Sulit sekali rasanya untuk
meninggalkan meja-meja perjudian yang menyuguhkan para penari
dan artis yang cantik-cantik dari kalangan Yahudi, sebab di dalam hati
dan pikiran mereka hanya dipenuhi impian kesenangan, angan-angan,
kekayaan, kenikmatan hidup, serta gairah untuk mencari hiburan-
hiburan yang memberi kebahagiaan semu.

354 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Setiap pagi mereka saling membangga-banggakan perjudian yang
mereka lakukan semalam. Cerita-cerita pengalaman berjudi tersebar
luas di Madinah. Muhammad mengatakan kepada mereka: “Sesungguh-
nya permainan itu laksana seseorang melakukan pekerjaan di malam
hari, kemudian Allah menutupi orang tersebut di pagi harinya, lalu
orang itu membuka tirai Allah dari dirinya.”
Muhammad senantiasa memanjatkan do‘a kepada Tuhannya dan
berusaha menghibur hati mereka yang hancur kelelahan yang sangat
menyayat batinnya di lemah Uhud, tapi semua upayanya hanya sia-
sia belaka. Sebagai langkah terakhir, dia menugaskan seseorang yang
menyerukan kepada orang-orang agar meninggalkan minum minuman
keras, sebab minuman keras dilarang, yaitu tuak telah diharamkan.
Mereka tidak boleh mendekati perjudian yang dibuka oleh Bani Nad-
hir. Karena itu, orang-orang Bani Nadhir mengajukan protes kepada
Muhammad, dengan suatu tuduhan, kebijaksanaan yang dikeluarkan
Muhammad dapat dinilai sebagai tindakan mempersempit ruang gerak
sektor perekonomian. Namun sebagai gantinya, mereka menuntut
adanya kebijaksanaan yang memperbolehkan mereka untuk menjalin
kerja sama di bidang perdagangan dengan orang-orang Quraisy, sebab
jika tidak demikian, maka hal ini akan menghancurkan usaha arak dan
peternakan babi yang telah lama mereka memproduksinya.
Tapi, Muhammad mengambil sikap untuk tidak mem­buka forum
dialog dalam rangka mencari penyelesaian krisis perekonomian ma-
syarakat Bani Nadhir. Biarkan saja usaha arak mereka hancur dan
peternakan babi mereka gulung tikar. Biarkan saja gadis-gadis Yahudi
penghibur itu terserang wabah penyakit kotor. Sebab tujuan Muham-
mad adalah menye­lamatkan orang-orangnya dan membangkitkan se-
mangat sesuai dengan tugas-tugas mereka. Muhammad tidak peduli,
betapapun masyarakat Bani Nadhir meng­ancam akan membatalkan
pakta persekutuan mereka terdahulu yang menetapkan pemutusan
hubungan dengan masyarakat Quraisy. Dia juga tak peduli, biarpun
mereka mengancam menjual senjata-senjata mereka kepada orang-
orang Quraisy. Pokoknya, masa bodoh dengan semuanya.
Muhammad menasihati lagi kepada shahabat-shahabat­nya agar

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 355


mencari alternatif dan solusi lain untuk menghibur hati mereka yang
goncang. Mereka harus memiliki rasa optimis akan meraih masa depan
yang gemilang. Mereka harus memiliki keyakinan bahwa kebenaran
yang mereka perjuangkan, akhirnya akan menang. Mereka harus kem-
bali lagi pada pekerjaan mereka masing-masing. Benih-benih di ladang
senantiasa “memanggil” orang-orang yang menuai. Mereka semestinya
menjadi orang-orang yang dapat melipur duka-lara anak-anak yang
ditinggal mati bapaknya di lembah Uhud dan istri-istri yang ditinggal
mereka, karena sesungguhnya: “Orang yang berusaha menyantuni para
janda dan orang-orang miskin, laksana orang yang berjihad di jalan
Allah atau laksana orang yang mengerjakan qiyamullail pada malam
hari dan berpuasa di siang harinya.” Mereka selayaknya menyerah­kan
harta kekayaan kepada keluarga syuhada’ daripada mereka hambur-
hamburkan di rumah-rumah hiburan dan tempat-tempat perjudian
serta restoran-restoran yang memakai menu babi.
Muhammad berhasil menemukan para lelaki dari kalangan para
shahabat-shahabatnya untuk menggantikan kepala rumah tangga yang
telah tiada di beberapa rumah. Tapi, dia menemukan seorang janda
yang mengatakan dengan tegas tak akan menikah lagi, sebab bagi
janda itu, eksisitensi suaminya yang telah menghadap Ilahi tidak bisa
tergantikan dengan kehadiran laki-laki yang dibawa Muhammad.
Janda itu bernama Hindun binti Umayyah. Suaminya telah gugur
sebagai syuhada’ meninggalkan dia dan seorang putrinya bernama
Salamah dalam kesedihan hidup dan derai air mata yang berkepanjan-
gan. Usianya tiga puluh tahun. Wajahnya cantik. Sikapnya menunjuk-
kan bahwa ia orang terdidik. Kecantikannya dalam usia tersebut dan
kematang­an mentalitas yang terbentuk oleh keterdidikannya, banyak
mempunyai kemiripan dengan Khadijah, mantan istrinya yang agung.
Muhammad berusaha agar dia mau menerima seorang calon suami
dari kalangan Muhajirin atau Anshar yang terkemuka, tapi dia selalu
menolak.
“Siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah?” jawabnya dengan
nada pesimis.

356 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Kini ‘Umar mencoba melamarnya, namun Ummu Salamah meno-
laknya. Selanjutnya, Abu Bakar memberani­kan juga melamarnya.
“Aku sudah tak terpikirkan untuk menikah lagi,” jawab Ummu Sala-
mah. Alasannya, dalam usianya yang memasuki tiga puluh tahun, dia
tak tertarik lagi kepada laki-laki. Dia sudah menjadi ibu dari seorang
anak perempuan. Dia mau menghabiskan hari-harinya bersama dalam
mencurahkan seluruh perhatian kepada putrinya. Lebih dari semua
itu, ia sebagai perempuan yang tahu persis akan keadaan dirinya dan
memiliki sepotong hati yang memiliki rasa cemburu. Sebab itulah, dia
tak mau dalam satu pondok ada dua cinta di samping seorang laki-laki.
“Dalam keadaan bagaimanapun, Muhammad telah memiliki tiga
orang istri cantik-cantik yang usianya masih belum melampaui dua pu-
luh tahun, seperti ‘Aisyah dan Zainab. Lantas apa perlunya menyunting
diriku yang sudah berusia tiga puluh tahun?” jawab Ummu Salamah
dengan nada halus.
Muhammad mencoba berbicara kepada Ummu Salamah: “Jika
engkau sudah merasa tidak pantas lagi bersuami, sungguh itu keke-
liruan,” sebab ia masih muda, padahal usia Muhammad sendiri sudah
hampir dua kali lipat usia Ummu Salamah. Mengenai posisi anaknya,
biar saja Muhammad yang menjadi ayahnya. Dia tidak perlu merasa
cemburu kepada istri-istri Muhammad yang masih muda, sebab dia
masih memiliki kecantikan dan keagungan sebagaimana mereka. Biar
saja, nanti Muhammad akan memanjatkan do‘a kepada Tuhannya agar
membersihkan hati Ummu Salamah dari rasa cemburu. Muhammad
hanya menghawatirkan timbulnya fitnah, dia tinggal sebatang kara
tanpa seorang laki-laki pendamping hidupnya.
Setelah Ummu Salamah melihat keseriusan Muhammad untuk me-
nikahi dirinya, lamaran itu pun akhirnya diterima juga. Ummu Salamah
pun memasuki malam pengantin bersama Muhammad di sebuah rumah
yang terpisah dari istri-istrinya yang lain. Setelah keduanya dapat men-
jalin hidup rumah tangga, Muhammad merasa memiliki harta kekay-
aan yang sangat berharga. Ummu Salamah dan kecantikannya adalah
seorang perempuan yang memiliki kematangan mental dan cekatan.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 357


Kehadiran Ummu Salamah benar-benar membangkitkan memori indah
kepada Khadijah, istrinya yang telah tiada.
Kini Muhammad merasa tidak khawatir lagi kepada para janda.
Orang-orang Islam sudah menjauhkan diri dari arak, judi, daging babi,
dan rumah-rumah hiburan orang-orang Yahudi. Ajaran-ajarannya telah
menyelamatkan harta dan jiwa orang Islam. Selanjutnya, yang harus
dipikirkan adalah hanyalah langkah-langkah untuk mengembalikan pamor
ajarannya setelah mengalami kekalahan di lembah Uhud.
Orang-orang Quraisy telah menggembar-gemborkan kemenangan
mereka dalam pertempuran di lembah Uhud. Mereka melepas para
penyair yang mengumandangkan kemenangan tersebut dan mengejek
Muhammad bersama seluruh pengikutnya. Suasana kegembiraan hampir
me­warnai di seluruh rumah di Makkah. Di setiap halaman rumah ramai
oleh hiruk-pikuk para penyanyi dan penari. Arak-arak dituangkan;
hewan-hewan disembelih; dan orang-orang Arab dari berbagai pelosok
semuanya diundang agar merasakan kegembiraan dalam menyambut
kemenangan tersebut secara bersama-sama. Mereka memberikan uang
yang sangat besar jumlahnya kepada para penyair dari suku-suku yang
lain. Penyair-penyair itu pun kemudian ber­se­nandung ria, yang isinya
mengejek Muhammad dan men­dorong untuk mengerahkan seluruh
kekuatan dalam rangka menghadapi Muhammad dan pasukannya di
tahun depan.
Kegembiraan ini bergema di seluruh pelosok padang pasir yang luas.
Suku-suku yang dulunya takut kepada Muhammad, kini mulai memiliki
keberanian. Tidak hanya di Makkah saja, gema ini terasa juga getarnya
hingga ke benteng-benteng Yahudi di Madinah. Orang-orang Yahudi
Madinah tergugah keberaniannya untuk meremehkan Muhammad.
Sejak melarang pengikut-pengikutnya pergi ke rumah bordil untuk
berjudi, minum minuman arak, dan menyantap daging babi, orang-
orang Bani Nadhir kian bertambah marah kepada Muhammad.
Tidak lama berselang, selain seorang hartawan Bani Nadhir yang
menyatakan akan melarang orang-orang Islam yang minum air dari
sumur yang dimilikinya, Muhammad juga telah mengeluarkan larangan

358 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


minum arak kepada para pengikutnya. Dengan demikian, itu berarti
mereka harus minum air. Akan tetapi, harga segelas air lebih mahal
dari harga segelas arak.
Dengan keputusan itu, warga Madinah dilanda kegon­cang­an lan-
taran sebelumnya tidak terbiasa membeli air. Oleh karenanya, untuk
membasmi krisis ini, Muhammad menghimbau kepada hartawan-
hartawan dari kalangan Muhajirin agar membeli sumur tersebut.
Himbauan itu mendapat respon positif dari ‘Utsman bin ‘Affan. Ia
akhirnya menemui pemilik sumur itu dengan menawar dengan harga
mahal. Akan tetapi, pemilik sumur tak mau menjualnya lebih dari
separuh sumur. ‘Utsman menaikkan tawaran harga untuk separuh
sumur tersebut dengan harga tiga sumur. Selanjutnya, ‘Utsman akan
menghibahkan sumur itu kepada orang-orang Islam untuk keperluan
minum tanpa membeli, baik untuk mereka sendiri maupun untuk ter-
naknya. Hal ini sebagai suatu cara untuk menekan pemilik sumur itu
agar mau menjualnya dengan harga murah.
Dari hari ke hari, rasa percaya diri kembali tumbuh di hati orang-
orang Islam. Ketika hari-hari tersebut telah berlalu, kini suku-suku
yang selama ini takut kepada Muhammad, mereka mulai bersiap-siap
untuk menantang Muhammad.

g
Pada suatu pagi delegasi dari Bani Sulaim datang kepada Muham-
mad untuk menyampaikan permohonan agar Muhammad menugaskan
tenaga-tenaga edukatif agama baru ini. Mereka mulai tertarik kepada
ajaran baru ini sejak mendapatkan perlakuan musuh secara biadab.
Muhammad pun segera mengirimkan tenaga-tenaga edukatif agama
sebanyak enam orang yang berangkat bersama para delegasi itu. Mu-
hammad merasa sangat gembira, karena mereka mau bergabung dalam
barisannya. Namun, di balik semua ini, mereka menyembunyikan suatu
tipudaya yang sangat licik untuk menjatuhkan kharisma Muhammad
di mata suku-suku yang lain.
Tidak hanya delegasi Bani Sulaim yang diterima Muhammad, tetapi
beliau juga menerima delegasi dari Bani Hudzail yang datang dengan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 359


maksud yang sama. Maka Muhammad mengirimkan beberapa orang
tenaga pengajar agama kepada mereka. Namun begitu, semua ini tak
berbeda dari Bani Sulaim. Di balik semua itu, Bani Hudzail menyimpan
maksud jahat yang terselubung.
Rombongan tenaga edukatif itu telah berangkat. Namun belum
sampai jauh berjalan di padang pasir, tenaga edukatif yang ditugas-
kan oleh Muhammad disergap oleh penunggang kuda Bani Sulaim,
lalu dibunuhnya, kecuali dua orang. Bani Hudzail kemudian juga
membunuh salah satu dari keduanya, hingga hanya tinggal satu
orang saja.
Aksi pembunuhan terhadap tenaga edukatif itu akhirnya sampai
ke Muhammad. Ia terkejut sekali mendengar berita yang mengenaskan
ini.
Sampai sejauh mana orang-orang Quraisy dan sekutu-sekutunya
akan mengejek Muhammad dan berbuat salah kepadanya. Kali ini
Muhammad harus berhati-hati agar para shahabatnya tidak terbunuh
lagi dengan licik dan menge­naskan. Dia masih berusaha meyakinkan
keseriusan mereka terlebih dahulu. Setelah mereka serius, maka Mu-
hammad mengirimkan delegasi yang jumlahnya sama dengan jumlah
delegasi Najd yang menghadap.
Karena delegasi yang dikirim Muhammad merasa khawatir akan
terjebak ke dalam perangkap yang tidak dipahami oleh Muhammad,
maka mereka menyergap delegasi Najd terlebih dahulu. Mereka mem-
bunuh dua anggota delegasi dari Bani Amir, kemudian kembali lagi
kepada Muhammad.
Kendati situasi saat itu memang sangat sulit mem­bebaskan para
shahabatnya dari rasa kekhawatiran, tapi Muhammad merasa sangat
simpatik atas tindakan mereka. Bagaimana mungkin suku-suku akan
datang kepadanya lagi, jika shahabatnya menyergapi delegasi-delegasi
mereka di tengah jalan? Mengapa shahabat-shahabat pilihan melaku­
kan tindakan kurang terpuji ini hanya lantaran perbuatan-perbuatan
jahat yang dilakukan oleh orang-orang yang terdahulu.
Akhirnya, Muhammad memutuskan akan membayar diyat (tebusan)

360 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kedua orang Bani Amir yang terbunuh itu.
Tapi, dia tidak punya uang untuk membayarnya. Karena itu, dia
mencoba pergi menemui Bani Nadhir untuk meminta bantuan dana
pembayaran diyat tersebut. Hal ini memang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang tertuang dalam piagam persekutuan.
“Baik. Kita akan membantu sesuai dengan permintaan yang engkau
minta,” demikian ucap mereka kepada Muhammad.
Selanjutnya, mereka mengadakan pembicaraan ber­sama, semen-
tara Muhammad dibiarkan menunggu di depan pintu pagar mereka.
Karena lama sekali menunggu hasil pem­bicaraan mereka, maka Muham-
mad duduk di tanah ber­sama Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Ali. Ketika mereka
berempat sedang duduk di depan pagar mereka, tiba-tiba laki-laki dari
Bani Nadhir naik loteng dan membawa sebongkah batu besar untuk
dijatuhkan ke kepala Muhammad.
Bani Nadhir yang ada di dalam rumah menyepakati akan menghabisi
Muhammad. Kesempatan yang sangat kondusif ini tidak akan mereka
sia-siakan begitu saja. Mereka tak akan menemukan kesempatan se-
baik seperti ini lagi untuk membunuh Muhammad dengan tenang tanpa
melalui senjata.
Tapi untung saja, Muhammad dan ketiga orang shahabatnya dapat
menghindar dari sebongkah batu itu sebelum jatuh. Sepulangnya, Mu-
hammad menyampaikan kepada orang-orang di masjid tentang peris-
tiwa yang baru saja dialaminya dan hampir saja akan membawa maut.
Dia mengumumkan akan melakukan peperangan dengan kelompok
Yahudi dan Bani Nadhir. Karena itu, bergeraklah dia dengan pasukan
perangnya dan orang-orang yang mengangan-angankan kekayaan.
Muhammad meminta Bani Nadhir agar menyerah saja, tapi mereka
menolak. Muhammad pun memerintahkan agar melakukan penebangan
pada pohon-pohon kurma dan membakarnya.
“Muhammad, tindakan destruktif telah engkau larang, bahkan
engkau sangat mencela para pelakunya. Tapi mengapa justru kali ini
engkau sendiri yang menebangi pohon-pohon kurma itu dan memba-
karnya?” protes salah seorang Bani Nadhir kepadanya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 361


Tapi aksi protes itu tak digubris oleh Muhammad. Sekali lagi Mu-
hammad meminta kepada mereka agar menyerah saja.
Sebagaimana halnya Yahudi Bani Qainuqa’, Bani Nadhir juga ber-
lindung selama beberapa hari di dalam benteng-benteng mereka,
kemudian mereka tunduk, lalu pergi membawa anak dan istrinya.
Sedangkan budak-budak dan para penari mengiringi kepergian mereka
sambil bernyanyi. Mereka meninggalkan rumah-rumah, harta kekayaan,
dan senjata-senjata mereka. Semua itu adalah kekayaan baru yang
akan memenuhi gudang-gudang Madinah.
Para penyair juga mengumandangkan syair keme­nangan yang
dapat menjadi penebus kekalahan para prajurit dalam pertempuran di
lembah Uhud. Gudang-gudang penuh dengan harta dan senjata. Rasa
percaya diri kembali tumbuh di banyak hati. Orang-orang Quraisy dan
pendukung-pendukungnya boleh datang lagi. Saat ini mereka telah
siap dengan berbagai macam persenjataan yang mereka rampas dari
Bani Nadhir.
Orang-orang boleh datang lagi, tetapi mereka akan tahu bagaimana
Madinah menuntut balas kekalahan di lembah Uhud yang telah menelan
banyak korban.

362 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Darah lembah Uhud
harus ditebus

A
kankah lantaran engkau senantiasa bersikap sabar
terhadap orang-orang yang memperdayakanmu,
mereka menyangka bahwa dirimu orang yang lemah?
Tapi, ternyata semua itu berada dalam genggaman tanganmu; dan
ternyata engkau masih sanggup melakukan tindakan untuk menghan-
curkan mereka.
Jika engkau memberi pengampunan kepada mereka, itu lebih baik
bagimu. Barangkali dengan sikap itu, engkau akan dapat terhindar dari
timbulnya benih-benih kebencian di hati anak-anak mereka, sehingga
anak-anak mereka itu akan tumbuh berkembang menjadi pemuda yang
berhati bersih dari kebejatan yang diperbuat oleh orang tua mereka.
Barangkali saja nantinya akan tumbuh sebuah komunitas baru yang
memiliki kesadaran yang lain pula dalam pancaran cahaya ajaranmu,
Muhammad. Komunitas tersebut adalah “masyarakat” yang hidup
dalam suasana kasih sayang, berbudi pekerti luhur, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran.
Bacakanlah kepada mereka: “Sesungguhnya telah datang bukti-
bukti yang nyata dari Tuhan kalian semua. Barangsiapa melihat ke-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 363


benaran tersebut, maka ke­untungannya akan kembali pada dirinya.
Barangsiapa buta melihat kebenaran itu, maka resikonya akan kembali
pada dirinya; dan aku bukanlah sebagai pengawas kalian semua.”
Biarkan saja ‘Abdullah bin Ubay dan kelompoknya melakukan ti-
pudaya kepadamu di Madinah. Toh, pada akhirnya mereka juga berada
dalam genggaman tanganmu. Engkau tak perlu mempertimbangkan
saran-saran ‘Umar yang berkenaan dengan mereka, supaya engkau
tidak menuai benih-benih dendam di dalam hati anak-anak mereka.
Biarkan saja anak-anak itu sendiri yang akan menyingkap kebenaran di
kemudian hari. Anak-anak itu akan mampu menanggung malu perilaku
ayah-ayah mereka yang amoral. Setelah menjadi dewasa, anak-anak
itu tidak akan mau mengaitkan dirinya dengan ayah-ayah mereka yang
jelek perangainya. Anak-anak itu nanti pasti akan menjadi dewasa,
Muhammad!
Karena engkau selalu mengajarkan kearifan dan keadilan kepada
orang-orang, maka sudah selayaknya jika engkau mampu menahan
diri untuk tidak bertindak anarkhis. Untuk kelapangan hatimu, engkau
harus membayar harga yang mahal sebagai perimbangan hasil panen
yang engkau harapkan.
Tapi, bukankah engkau meniupkan hembusan angin kasih sayang
yang menyebabkan dirimu harus menanggung resiko siksa dan derita
yang acap kali muncul?
Apakah engkau mendambakan otoritas emosi anar­kisme, lalu
engkau menanggalkan sikap kritismu, sehingga menyebabkan melay-
angnya beberapa kepala shahabatmu yang agung? Alangkah kejinya
mengharuskan pikiran untuk menghadapi kekuatan yang kejam dan
biadab tanpa perilaku yang berbasis moralitas.
Kehidupan yang tak dapat dicerna oleh pikiran manusia telah
berubah menjadi semak belukar penuh duri yang dijadikan sarang
ular-ular dan kalajengking yang berbisa. Bagaimana mungkin manusia
akan mampu menghadapi semua ini, padahal ia memiliki senjata yang
lebih ampuh dari kata-kata belaka?
Dengan kata-kata apakah manusia akan dapat melalui jalanan duri

364 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang dihuni ular berbisa yang mengerikan dan menakutkan, dalam
gelak-tawa penuh penghinaan atas kelemahan seorang anak manusia?
Haruskah manusia menangis sebagai penebus atas kelemahan dirinya?
Kemudian selain menangis, apalagi yang dapat dilakukan?
Beberapa lama lagi kita akan terus di malam-malam yang gelap
dalam impian-impian tentang harkat dan mar­tabat dan terbebasnya
bumi dari hal-hal yang menakut­kan. Bersama-sama, kita menghadapi
maut, kemudian ber­sama-sama pula kita bertekad akan membangun
sebuah kebu­dayaan dan peradaban yang membuka pintu opti­misme,
sehingga setiap hati yang hidup dalam peradaban tersebut akan dapat
menyanyikan lagu yang bertemakan keadilan.
Ular-ular berbisa yang mengerikan itu kembali lagi mengancam
keselamatan manusia. Gelak tawa terdengar nyaring penuh ejekan.
Kekuatan yang amoral dengan bersikap congkak, semena-mena, dan
melampaui batas, mempermainkan segala impian-impian yang mulia
dan luhur dari sepotong hati yang luka.
Jika bukan untuk itu, lantas untuk maksud apakah orang-orang
Quraisy menghasut suku-suku tetangganya yang kecil dalam pesta besar
menyambut kemenangan itu, sehingga delegasi masyarakat penggem-
bala dari Hudzail datang ke Madinah untuk meminta tenaga-tenaga
guru agama untuk mengajari mereka mengenai keislaman. Beberapa
orang Islam berangkat.
Mereka terdiri dari beberapa kalangan shahabat yang terkemuka.
Tahu-tahu suku Hudzail menyerahkan mereka kepada orang-orang
Quraisy dengan imbalan emas sebesar kepala untuk satu kepala
shahabat-shahabatmu. Maka melayanglah kepala salah seorang sha-
habatmu; sebuah kepala yang penuh kearifan, kasih sayang, dan sikap
menghormati orang lain; sebuah kepala yang dipenuhi obsesi panjang
tentang dunia yang menjunjung tinggi cinta kasih dari ranting-ranting
bunga zaitun mengungguli duka nestapa, sebagai ganti dari sebuah
kehidupan yang dikuasai “pedang”. Tapi, justru kepala itulah yang
digorok dan dipotong-potong, lalu darahnya diminum laksana arak
oleh seorang perempuan bejat dari suku Quraisy.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 365


Dari kejauhan terdengar gelak-tawa menembus gunung-gunung dan
lembah-lembah serta padang pasir yang luas mengejekmu, Muhammad!
Tapi, suara yang agung masih mampu mengungguli gemuruhnya
gelak-tawa ini. Suara yang agung itu masih mampu menembus sudut-
sudut kahidupan. Hal ini me­nunjukkan secara nyata bahwa sebuah
keyakinan memiliki kekuatan di atas ejekan yang lebih menggetarkan
hati daripada menghadapi sebuah kematian.
Inilah sejumlah pemimpin Quraisy berkumpul menge­lilingi Zaid bin
Datsinah, salah seorang di antara mereka yang akan dibeli kepalanya
dari orang-orang Hudzail. Sementara itu pula, seorang perempuan
bejat sambil meminum tuak dengan tengkorak kepala seorang muslim
di tengah riuh-gemuruhnya gelak-tawa yang melengking laksana orang
gila dan binatang liar.
Orang-orang, baik laki-laki maupun perempuan, mengejek Muham-
mad dan ajaran-ajarannya di hadapan bangkai shahabat-shahabatnya
yang tergeletak kaku di bawah telapak kaki mereka di setiap rumah.
Zaid bin Datsinah berdiri tegak membacakan ayat-ayat yang dia-
jarkan Muhammad dengan suara lirih. Pandangannya terarah tajam
ke arah Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy yang kaya-raya yang
melakukan kekejaman kepada jasad korban di atas semua orang.
Abu Sufyan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk menebas
batang leher Zaid. Tapi sebelum itu, dia kembali bertanya kepada Zaid
dengan nada mengejek.
“Zaid, sukakah engkau andaikata Muhammad saat ini berada di ten-
gah-tengah kami menggantikan posisimu untuk kami potong lehernya,
sementara engkau bisa kembali ke tengah-tengah keluargamu?” tanya
Abu Sufyan.
“Demi Allah, aku tidak rela andaikata Muhammad saat ini di tem-
patnya berada walau sekedar tertusuk duri sekalipun, sementara aku
duduk nyaman bersama keluarga­ku,” jawab Zaid.
Kini tak terdengar lagi gelak-tawa. Selanjutnya, Abu Sufyan memer-
intahkan seorang algojonya untuk membunuh Zaid. Setelah itu, dari

366 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mulut Abu Sufyan terdengar suara lirih: “Tak pernah aku temui orang
yang lebih mencintai orang lain bila dibandingkan dengan cintanya
para shahabat Muhammad kepada Muhammad.”

g
Dengan kecintaannya itulah, mereka mati dengan gagah berani,
tak mau kompromi, dan kata-kata yang terucap dari mulut mereka
menimbulkan getaran rasa takut di hati orang lain. Ini merupakan
sesuatu yang sangat mengheran­kan dan belum pernah ditemui sebel-
umnya. Sungguh, ini sebuah kenyataan yang belum pernah ditemui di
kalangan masyarakat Arab.
Empat puluh orang laki-laki gugur satu per satu. Mereka melepas
jiwanya yang ridha penuh dengan kepasrahan, sebab keberanian si-
kap mereka dalam menghadapi kematian merupakan tanggung jawab
perjuangan yang sangat mulia. Keberanian mereka dalam menghadapi
kematian bukan hanya semata-mata terdorong oleh jaminan hidup
kekal di akhirat nanti (kelak), namun juga keberanian mereka akan
menjadi sebuah sejarah berupa cahaya petunjuk langkah-langkah
perjuangan saudaranya setelah mereka terkubur di dalam tanah.
Tidak hanya itu saja. Keberanian mereka akan mengisi semangat
juang saudara-saudara mereka dengan jauh lebih tangguh daripada
semangat yang memenuhi pedang mereka sendiri.
Muhammad, empat puluh syuhada agung itu, betapapun keberanian
mereka dalam menghadapi kematian dan kekejaman, meninggalkan
bekas-bekas yang teramat dalam, tetapi pembantaian terhadap mereka
akan membuka celah-celah bagi kian gencarnya ejekan-ejekan dari
berbagai suku.
Tapi sekarang, posisi bagian belakang sudah engkau amankan. Hal
ini sebagai persiapan untuk menghadapi pasukan Quraisy yang telah
berjanji akan beradu kekuatan lagi tahun depan di lembah Badar.
Persoalan Bani Nadhir telah engkau selesaikan secara tuntas.
Engkau telah mendapatkan ganti kerugian yang engkau derita dalam

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 367


pertempuran di lembah Uhud dengan harta rampasan yang berhasil
engkau peroleh dari Bani Nadhir.
Karena itu, engkau tak perlu lagi menunggu orang-orang Quraisy
hingga tahun depan. Engkau jangan sampai memberi peluang bagi
orang-orang Quraisy untuk meng­himpun sekutu-sekutu mereka lebih
lagi dalam rangka menyerangmu, sebab hal itu akan menambah kian
merajalelanya penyergapan-penyergapan berbagai suku pedalaman
terhadap shahabat-shahabatmu dengan cara-cara yang jarang terjadi.
Meski demikian keadaannya, tidaklah pantas bagimu meminta
jaminan keselamatan hidup shahabat-shahabatmu kepada delegasi-
delegasi dari berbagai suku yang datang menghadap dirimu, sebab
dengan begitu mereka menduga engkau takut. Akibatnya, ruang gerak
dakwahmu akan menjadi kian sempit, jika engkau menolak permo-
honan mereka. Namun begitu, engkau harus melakukan upaya-upaya
yang dapat melindungi keselamatan dan keamanan orang-orangmu
yang engkau utus.
Untuk itu, meski dilakukan suatu upaya terciptanya kondisi budi
pekerti yang luhur di satu sisi dan menumbuhkan kewibawaan kelom-
pokmu di hati setiap suku pedalaman di sisi lain, dengan langkah itu
tentu akan ada lagi gerombolan-gerombolan dari suku-suku pedalaman
yang akan berbuat licik kepadamu.
Kemenangan dan keberhasilanmu mengusir Bani Nadhir yang ter-
kenal keahliannya dalam hal peperangan dari Madinah akan menjadi
peringatan tanpa harus bertengkar kepada semua sekutu-sekutumu
yang akan coba-coba menipumu dan bermaksud akan merusak per-
janjian persekutuan. Jelas hal ini akan menjadi perhatian bagi Yahudi
Bani Quraizhah.
Akan tetapi, engkau masih dituntut pula melakukan langkah
cepat untuk menekan sekutu-sekutu Quraisy yang coba-coba akan
meruntuhkan wibawamu dan menekan pula suku-suku yang akan
bergabung dengan orang-orang Quraisy.
Muhammad mempelajari berbagai kekuatan suku yang menjadi
sekutu orang-orang Quraisy. Dia amati, suku Bani Musthaliqlah sekutu

368 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


orang-orang Quraisy. Mereka itulah yang paling berperan di antara
suku-suku yang lain; dan mereka pula yang menjadi pangkal bencana
di lembah Uhud. Orang-orang Quraisy sangat bergantung pada mereka
dalam melakukan penyerbuan kepada pasukan muslim. Nah, andaikata
dia memerangi mereka dan berhasil mengalahkan mereka, niscaya dia
akan menumbuhkan rasa takut di hati berbagai suku yang menjalin
persekutuan dengan Quraisy.
Dia telah banyak memperoleh barang-barang rampasan dari Bani
Nadhir berupa baju besi, pedang-pedang, dan perlengkapan perang
lainnya. Semuanya merupakan persenjataan perang yang masih baru
diproduksi. Hal ini karena orang-orang Yahudi memang pembuat dan
penjual senjata yang sudah tentu memiliki berbagai macam senjata
pilihan untuk mereka sendiri.
Muhammad telah merampas kuda-kuda mereka yang sudah sangat
terlatih dengan baik, padahal kemenangan pasukan Quraisy di lembah
Uhud terletak pada kekuatan pasukan kudanya.
Maka demikianlah, Muhammad telah melengkapi pasukannya den-
gan berbagai jenis senjata dan perlengkapan perang lainnya, termasuk
sepuluh kuda terlatih yang siap ditunggangi oleh para prajuritnya
untuk terjun ke kancah pertempuran menghadapi dua pasukan kuda
sekaligus.
Kekuatan ini akan mampu menghadapi Quraisy dan sekutu-sekutun-
ya yang bermaksud akan mengadakan pertempuran kembali di lembah
Badar, sebagaimana dijanjikan Abu Sufyan pada saat meninggalkan
lembah Uhud.
Langkah terbaik adalah mengupayakan terpisahnya Quraisy dari
sekutu-sekutunya yang kuat. Hanya saja di Madinah, saat ini sedang
dilanda isu-isu yang menjengkelkan tentang sikap Muhammad yang
telah memprioritaskan pembagian harta rampasan dari Bani Nadhir
kepada kalangan Muhajirin daripada kalangan Anshar.
‘Abdullah bin Ubay menyebarkan isu-isu di kalangan suku Khazraj
bahwa Muhammad senantiasa mempriori­taskan orang-orang Muhajirin
di atas mereka, padahal justru merekalah yang telah memberikan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 369


perlindungan kepada orang-orang Muhajirin. Padahal orang-orang
Muhajirin tidak akan mendapatkan tempat berlindung dari kejaran
orang-orang Quraisy, jika bukan karena bantuan orang-orang Anshar.
Sa‘ad bin Ubadah menampung semua gosip yang beredar di tengah-
tengah suku Khazraj, kemudian dia mengajak temannya, seorang
pemuka Aus, untuk menye­lenggarakan dialog. Dalam dialog tersebut
mereka men­datangkan ‘Abdullah bin Ubay dan kelompoknya dari
suku Khazraj. Mereka menanyakan tentang gosip yang disebar­kannya,
saat Muhammad sedang mengadakan persiapan perang yang sangat
menentukan dengan orang-orang Quraisy dan sekutu-sekutunya. Dari
manakah engkau memperoleh gosip yang hampir berdampak disinteg-
ritas Madinah dan timbulnya kekacauan?
‘Abdullah bin Ubay menghadapi pertanyaan tersebut dengan
senyum kecil, seolah-olah tak tahu apa-apa sama sekali. Dia menam-
pakkan sikap seolah-olah adanya seseorang yang menyebarkan gosip
itu kepada kelompoknya. Bahkan dia justru menunjukkan sikap tidak
terima atas beredarnya gosip seperti itu.
Sa‘ad bin Mu‘adz dan Sa‘ad bin Ubadah menyatakan dengan te-
gas kepada tokoh-tokoh masyarakat Anshar bahwa Muhammad tidak
pernah mengambil keputusan tanpa mereka berdua. Muhammad telah
mengundang mereka berdua dan sejumlah orang dari kalangan Anshar.
Muhammad menyatakan kekagumannya kepada orang-orang Anshar
atas pelayanan mereka dalam menyambut kedatangan kaum Muhajirin.
“Sesungguhnya saudara-saudara kalian semua dari orang-orang
Muhajirin tidak memiliki harta sama sekali. Jika kalian semua menyetu-
jui, aku akan membagi-bagikan harta Bani Nadhir dan harta kekayaan
kalian semua di antara kalian. Sebaliknya, jika kalian menghendaki,
silakan urus sendiri harta kalian. Aku akan membagi-bagikan seba­gian
harta ini untuk orang-orang Muhajirin saja,” demikian ucap Muhammad
kepada mereka berdua ketika itu.
“Silakan engkau bagikan harta ini buat orang-orang Muhajirin; dan
silakan engkau bagi-bagikan harta itu untuk mereka sekehendaknya,”
jawab mereka kecewa.

370 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Setelah Sa‘ad bin Mu‘adz dan Sa‘ad bin Ubadah menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya kepada orang-orang yang hadir di situ, mer-
eka berdua meminta kepada semua yang mendengarkan untuk berjanji
tak akan berbicara lagi tentang masalah ini. Mereka juga tak akan lagi
menduga yang bukan-bukan terhadap orang-orang Muhajirin. Mereka
diminta berjanji tak akan membiarkan seseorang menyebarkan gosip
tentang saudara mereka yang sama-sama berada dalam satu pasukan
untuk menghadapi satu sasaran, yaitu orang Quraisy.
Akhirnya, orang-orang yang hadir di situ buyar dengan hati lega.
Sorot pandang mereka tertuju pada sosok ‘Abdullah bin Ubay yang
keluar majlis dengan menyungging senyum di bibirnya dan membuka
kedua belah tangannya untuk merangkul Muhammad dan shahabat-
shahabat Muhammad, padahal di dalam hatinya tersimpan sejuta
dendam dan kelicikan!
Persiapan penyerbuan kepada Bani Musthaliq belum selesai, tiba-
tiba dikejutkan dengan kedatangan seorang laki-laki yang bermaksud
melakukan tindakan makar terhadap dirinya. Laki-laki tersebut seorang
pajineman (pembunuh bayaran) yang ditugaskan oleh Abu Sufyan untuk
membunuh Muhammad.
Laki-laki pembunuh bayaran itu memang utusan orang-orang
Quraisy. Tapi bagaimana mungkin ia dapat menyelinap masuk ke Ma-
dinah? Dan di manakah selama ini kiranya dia tinggal dalam waktu
berhari-hari untuk menunggu kesem­patan yang tepat? Siapa gerangan
orang yang menjadi penunjuk kesempatan kepadanya untuk melakukan
pem­bunuhan terhadap Muhammad?
Siapa mereka, tak seorang pun yang tahu. Semua pandangan me-
mang tertuju pada ‘Abdulllah bin Ubay. Tapi dia justru yang menampak-
kan sikap tidak terima di hadapan orang-orang atas usaha pembunuhan
tersebut. Bahkan ‘Abdullah menunjukkan sikapnya yang serius untuk
membela hidup Muhammad.
Pada waktu itu sikap tak terima dan keseriusan ‘Abdullah melind-
ungi Muhammad nampak jauh lebih menonjol dibandingkan dengan
shahabat-shahabat dekat Muhammad, seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ut-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 371


sman, ‘Ali, Sa‘ad bin Mu‘adz, Zaid bin Haritsah, dan shahabat-shahabat
yang lain.
Selanjutnya, ‘Abdullah bin Ubay kembali menyungging senyum
kecilnya dan membuka kedua belah tangannya untuk merangkul Mu-
hammad dan para shahabat Muhammad.
Dua dan tiga kali Muhammad terus dikejutkan oleh orang yang
berusaha membunuh putrinya. Demikian beberapa hari lamanya ber-
langsung suasana yang men­cekam. Sa‘ad bin Abi Waqqash semalaman
menjaga Muhammad dengan sebilah pedangnya.
Tak seorang pun mengetahui bagaimana pembunuh bayaran yang
dikirim Abu Sufyan itu menyelinap masuk ke Madinah. Mungkinkah hal
itu berasal dari orang-orang Yahudi yang terusir?
Setiap kali Muhammad atau salah seorang shahabatnya menjadi
sasaran pembunuhan, dan sorot mata kebencian tertuju pada ‘Abdul-
lah bin Ubay, maka ‘Abdullah bin Ubay justru lebih menampakkan
kemarahannya dan kedukaannya atas peristiwa tersebut. Selanjutnya,
lagi-lagi dia me­nyunggingkan senyum di kedua bibirnya, sementara
kedua belah tangannya direntangkan untuk merangkul leher Muham-
mad.
Beberapa orang teman Muhammad mengutus seseorang untuk
menghabisi nyawa Abu Sufyan secara sembunyi-sembunyi. Tapi, hal ini
tercium oleh Muhammad, maka diutuslah seseorang oleh Muhammad
untuk menyusul orang suruhan tersebut dan orang-orang yang meny-
uruhnya, karena cara keji semacam ini tidak layak bagi Muhammad.
Biarkan saja, pada saatnya nanti Muhammad akan menghajar Abu Su-
fyan dan akan membunuhnya secara jantan dengan berhadap-hadapan
satu lawan satu.
Cara seperti ini bukanlah aplikasi nilai-nilai yang diajarkan Muham-
mad, bahkan termasuk perbuatan yang dibencinya dan diperintahkan
kepada shahabat-shahabat agar mengutuknya. Hanyalah ular berbisa
dan binatang melata saja yang akan menyerang musuhnya secara tiba-
tiba dari belakang.

372 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Sudah seminggu lamanya suasana diwarnai dengan ketegangan
dan ketakutan yang mencekam, sehingga tidak ada kesempatan untuk
mempersiapkan penyerbuan pada Bani Musthaliq, sekutu Quraisy yang
kuat.
Minggu demi minggu terus berlalu, maka sampailah pada batas
waktu yang telah dijanjikan Abu Sufyan tahun lalu pada hari kemenan-
gannya di lembah Uhud.
Muhammad mengerahkan seluruh pasukannya untuk bertempur
dengan pasukan Quraisy bersama dengan segenap sekutunya. Sebuah
pertempuran yang dapat membersihkan noda-noda kekalahan di lem-
bah Uhud.
Akhirnya, sampai juga pada waktu keberangkatan ke medan laga.
Dalam rentang batas waktu semasa keper­giannya, Muhammad menu-
gaskan ‘Abdullah bin Ubay untuk menggantikan posisinya di Madinah.
‘Abdullah bin Ubay memang memendam impian-impian mahkota
kepemimpinan itu. Mereka mengumpulkan barang berharga untuk
‘Abdullah bin Ubay sebelum Muhammad tiba.
Sejak itu iri dengki kian bersarang dan mekar di hati ‘Abdullah bin
Ubay. Maka demikianlah, dia mencoba menduduki posisi sebagai raja;
dan dia boleh merasa puas dengan kelicikan-kelicikan yang diperbuat-
nya.
Muhammad berangkat menuju lembah Badar dengan persiapan
yang prima untuk menghadapi suatu per­tempuran yang akan menelan
waktu cukup lama. Kedua orang istrinya ikut menyertainya. Di hadapan
pasukannya, Muhammad menyampaikan pidato bahwa pertempuran
memakan waktu yang cukup lama, karena orang-orang Quraisy tidak
akan menyerah kalah, setelah mereka mengenyam kemenangan di
lembah Uhud dan kegagalan upaya mereka untuk melakukan pem-
bunuhan terhadap dirinya secara licik.
Di samping itu, kedatangan pasukan Quraisy kali ini bersama
sekutu-sekutu barunya yang lebih besar jumlahnya daripada sekutu-
sekutu yang pernah menyertai mereka dalam lembah pertempuran di
lembah Uhud.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 373


Muhammad bersama pasukannya berusaha datang lebih dulu ke
lembah Badar untuk mencari posisi yang strategis. Ketika itu, persis
pada musim panas yang biasanya tidak ada orang bekerja. Muhammad
merasa khawatir pasu­kannya akan dilanda kegelisahan karena terik
panas matahari yang menyengat kulit. Maka dia berusaha meyakinkan
mereka bahwa orang-orang yang berjuang akan memperoleh pahala
yang berlipat-ganda, sesuai dengan tantangan situasi dan kondisi yang
dihadapinya.
Sepanjang jalan Muhammad berbincang-bincang dengan pasukan-
nya. Dia melihat seorang prajuritnya kepayahan, terengah-engah di
atas punggung untanya yang kurus dan lemah kepayahan.
“Maukah engkau menjual untamu kepadaku?” tanya Muhammad
kepada laki-laki itu dengan bercanda.
“Bagaimana kalau kuberikan saja kepadamu?”
“Jangan. Jual saja kepadaku,” ucap Muhammad lagi.
“Tapi harganya berapa, Rasulullah?” tanyanya.
“Satu dirham,” jawab Muhammad.
“Tidak, sebab jika begitu, engkau berarti menang kepadaku, Ra-
sulullah,” sangkalnya.
“Bagaimana kalau dua dirham?” tanya Muhammad kembali sambil
tertawa.
Tiada henti-hentinya bercakap-cakap dengan laki-laki itu, hingga
terasa hilang penatnya.
Selanjutnya, Muhammad mempercepat lari kudanya dan akhirnya
mendekati seorang pemuda yang kepayahan oleh sengat matahari juga.
“Kamu sudah menikah?” tanya Muhammad memulai percakapan.
“Sudah, Rasulullah,” jawabnya lirih.
“Perawankah atau janda?” beliau tanya lagi.
“Janda Rasulullah,” akunya.
“Mengapa engkau tidak menikah dengan seorang perawan, biar
lebih mesra?” tanya Muhammad lanjut sambil tersenyum.

374 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Masalahnya aku ini ditinggal mati oleh ayahku waktu perang Uhud.
Beliau meninggalkan tujuh orang anak perempuan. Untuk itulah, aku
mengawini seorang perem­puan yang dapat mengurusi mereka.”
“Tepat sekali keputusanmu,” ucap Muhammad kepada pemuda
itu.
Muhammad meninggalkan pemuda itu, untuk kemudian berbin-
cang-bincang dengan prajurit-prajurit yang lain. Muhammad terus
ngobrol-ngobrol, bersenda-gurau bersama prajuritnya yang lain untuk
menghilangkan rasa kesal dan capek dengan tawa dan canda.
Demikianlah, dia menciptakan suasana yang enjoy dengan senda-
gurau dalam perjalanan yang melelahkan di bawah sengatan terik
matahari, hingga akhirnya sampai di lembah Badar.
Di sebuah mata air lembah Badar, pasukan Muhammad membangun
markas di bawah terik sinar matahari yang hampir membakar ranting-
ranting yang hijau.
Muhammad menduduki posisi di samping mata air itu, sebagaimana
pernah dilakukannya pada pertempuran Badar pertama. Selanjutnya,
Muhammad memilih beberapa orang prajurit untuk menempati posisi
yang terletak di antara mata air dan pasukan Quraisy, manakala mereka
datang.
Di mana Hamzah sekarang?
Pasukan muslim menempati mata air, sambil menunggu kedatangan
Abu Sufyan sesuai dengan janjinya. Tapi Abu Sufyan tak kunjung jua
datang.
Muhammad khawatir, semua ini hanyalah siasat belaka. Barangkali
saja pasukan Quraisy mereka tinggal di situ, hingga mereka kesal dan
tersiksa oleh panas matahari. Jika mereka nanti bermaksud akan pu-
lang lagi ke Madinah, maka pasukan Quraisy akan menyerbu mereka
secara tiba-tiba di mana mereka senantiasa berada dalam kondisi yang
sangat payah di tengah perjalanan.
Seseorang datang menghadap kepada Muhammad dan menyam-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 375


paikan berita bahwa Abu Sufyan tidak akan datang.
Muhammad memutuskan masih akan menunggu hingga datang lagi
informasi yang dapat meyakinkan dirinya.
Suatu informasi dari pamannya menyatakan bahwa Abu Sufyan
tidak akan datang menemuinya dalam tahun ini. Sebenarnya, ia telah
berangkat dengan sejumlah pasukan Quraisy dan berjanji dengan
sekutu-sekutunya untuk bertemu di suatu tempat di tengah jalan. Tapi
rupanya dia mendengar bahwa pasukan yang menyertai Muhammad
berjumlah besar, lengkap dengan persenjataan produk baru dan kuda-
kuda terlatih. Tampaknya, dia memperhitungkan hal ini. Dia melihat,
pertempuran akan berakibat kekalahan di pihaknya. Di samping itu,
pihak Quraisy akan menghadapi pasukan yang memiliki tekad kuat
untuk membalas kekalahan di bawah panasnya terik matahari meny-
engat.
Dengan pertimbangan itulah, Abu Sufyan memutuskan untuk
mengurungkan pertempuran pada tahun ini. Tapi dia mempersiapkan
segalanya untuk mengadakan per­tempuran tahun depan. Hanya saja,
dalam pertengahan tahun ini, dia akan membuat pusing kepala Muham-
mad di Madinah, setelah Muhammad berhasil menguasai Madinah, lalu
menggantikan kedudukannya kepada ‘Abdullah bin Ubay dan berhasil
mengusir Yahudi Bani Nadhir.
Abu Sufyan mengumpulkan komandan-komandan pasukannya, dia
mengatakan: “Tahun ini adalah tahun kekeringan. Kiranya tahun yang
lebih baik bagi kalian adalah tahun subur, tahun melepaskan ternak
dan minum susu. Aku akan kembali saja.” Maka kembalilah Abu Sufyan
diiringi oleh anggota pasukannya dengan mendapat caci-maki dari
sekutu-sekutunya.
Berita tentang mundurnya Abu Sufyan dan pasukannya, karena
takut bertarung melawan Muhammad, tersebar luas ke berbagai suku.
Akhirnya, Muhammad memutuskan kembali ke Madinah dengan mem-
bawa kemenangan, walau­pun tanpa harus bertarung dalam kancah
pertempuran.
Dengan adanya kemenangan tanpa pertarungan ini, Muhammad

376 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


memerintahkan kepada para penyairnya agar mengumandangkan ke-
menangan ini. Maka bergemalah di padang pasir yang luas, syair-syair
yang menyanjung-nyanjung kegagahan pasukan muslim dan ejekan-
ejekan kepada Abu Sufyan serta ejekan kepada orang-orang Quraisy
dan sekutu-sekutunya. Muhammad pulang dengan hati riang ke tengah-
tengah para istrinya, setelah melihat nasib baik yang dialami ‘Aisyah
dalam pertempuran yang tanpa pertarungan tersebut.
‘Aisyah adalah istri beliau termuda yang merasa dirinya paling di-
cinta dan dimanja. Sebelum keberangkatannya ke medan pertempuran,
Muhammad biasa mengundi di antara para istrinya. Ternyata undian
yang keluar kali ini berpihak pada dirinya dan Hafshah binti ‘Umar.
Maka berangkatlah mereka berdua menyertai kepergian Muhammad.
Ketika malam tiba, sementara itu iring-iringan tentara berada di
tengah perjalanan menuju ke lembah Badar, ‘Aisyah bermaksud ingin
mengetahui kata-kata Muhammad yang diucapkan kepada istri-istrinya
yang lain. Maka ‘Aisyah membuat kesepakatan dengan Hafshah untuk
bertukar kendaraan.
‘Aisyah tahu jika malam tiba, suaminya suka ber­bincang-bincang
dengan dirinya dengan tetap berada di atas untanya. Benar, saat
malam tiba, Muhammad mendekati unta ‘Aisyah, namun dia mendapati
Hafshah yang menaikinya. Muhammad melihat sekilas bahwa ‘Aisyah
berada di atas unta Hafshah, berusaha mendekat dan menguping pem-
bicaraan mereka berdua. Muhammad melihat gelagat ‘Aisyah seperti
itu dan ia juga tahu yang diinginkan oleh ‘Aisyah. Oleh karena itu,
Muhammad bermaksud akan memberikan pelajaran kepadanya. Maka
dia pun memperlakukan Hafshah dengan mesra sekali.
Muhammad pura-pura tidak tahu apa yang dilakukan ‘Aisyah.
Sejatinya malam itu adalah malam jatah giliran buat ‘Aisyah, tapi
beliau n sengaja bermalam di tenda yang ditempati Hafshah. Keeso-
kan harinya, ‘Aisyah menceritakan kepada Hafshah, bahwa semalam
dirinya mencari-cari suaminya, tapi tidak mendapatkannya. Maka
bergeloralah rasa cemburu, hingga ia berjalan dengan kaki telanjang
di atas rerumputan padang pasir, lalu memasuk­kan kakinya ke semak-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 377


semak (lantaran kesal) seraya berkata: “Wahai Rabb, kalau begini,
tolong datangkan saja ular atau kalajengkiang untuk menggigitku.”

g
Dengan fenomena kecemburuan seperti ini, maka selanjutnya
setiap kali Muhammad hendak pergi ke suatu pertempuran dengan
mengundi di antara para istrinya, maka tak seorang pun di antara
mereka –termasuk ‘Aisyah sekalipun– yang merelakan madunya pergi
bersama beliau.

g
Setelah mundurnya pasukan Quraisy dalam pertempuran tahun
ini, semua peperangannya menjadi semacam ajang pameran kekua-
tannya di hadapan suku Quraisy dan sekutunya. Sekalipun Muhammad
masih belum bentrok dalam suatu pertempuran dengan siapa pun,
tapi mereka berusaha menghindar terlibat bentrokan dengannya.
Dan tak seorang pun berani lagi melakukan penyergapan terhadap
para shahabatnya. Tapi, peristiwa ini sama sekali tak meruntuhkan
Bani Musthaliq. Mereka merasa sebagai sekutu Quraisy dan yang pal-
ing kuat. Mereka menguasai sektor perdagangan, mempunyai banyak
harta dan budak-budak kulit hitam. Mereka membiarkan orang-orang
Quraisy menjadi pemimpin, karena orang-orang Quraisy dekat dengan
Ka‘bah yang menjadi tuhan-tuhan mereka.
Bani Musthaliq tidak sampai hati akan membiarkan Quraisy tanpa
ada yang membela. Maka mereka mengutus para penyair untuk
menemui Abu Sufyan, agar mengu­mandangkan syair-syair caci-maki
kepada Muhammad. Pemimpin Bani Musthaliq yang bernama Al-Harits
mengajak suku-suku yang ada di sekitarnya agar bergabung dalam se-
kutunya. Al-Harits berhasil mengumpulkan pasukan yang cukup besar
dari suku-suku yang bertempat tinggal di sepanjang Laut Merah.
Selanjutnya, kini yang memegang komandan pasukan Quraisy
adalah Bani Musthaliq dan Harits yang akan menggantikan posisi Abu
Sufyan sebagai pembawa bendera, sebab dia lebih pantas menduduki
posisi tersebut daripada Abu Sufyan.

378 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad mengetahui langkah-langkah yang dilakukan Al-Harits.
Karena itu, sebelum Bani Musthaliq mengadakan persiapan penuh dan
menyerbu, Muhammad memutuskan untuk pergi ke medan pertem-
puran terlebih dahulu. Selanjutnya, Muhammad memulai mencari
tempat pilihan yang tepat untuk dijadikan arena pertempuran.
Muhammad mengumpulkan orang-orang untuk menga­da­kan musy-
awarah. Akhirnya, mereka menyepakati keputusan sesuai dengan
pendapat yang dikemukakannya. Secara khusus, Muhammad meminta
pendapat ‘Abdullah bin Ubay juga di hadapan orang-orang yang hadir
ketika itu. ‘Abdullah bin Ubay setuju juga dengan pendapat yang
dikemukakannya dengan sebuah harapan, agar Muhammad mewakilkan
segala aktivitasnya lagi di Madinah berada di bawah komandonya. Yah,
untuk sekali lagi.
Tapi Muhammad meminta kesediaan ‘Abdullah bin Ubay untuk
mengadakan persiapan juga, karena dia akan menugaskannya sebagai
pemegang bendera suku Khazraj.
Muhammad berhasil mengerahkan sebanyak 1.500 personil dan
sejumlah kuda dan unta yang kecil jumlahnya, kemudian Muhammad
mengadakan undian di antara istri-istrinya. Undian tersebut jatuh pada
‘Aisyah.
Muhammad mempercepat keberangkatan tentaranya untuk melaku-
kan penyerbuan terhadap Bani Musthaliq. Muhammad mendapati mer-
eka sedang menempuh sebuah dataran terbuka dekat rumah mereka.
Muhammad meme­rintahkan kepada pasukannya agar menyerbu mereka
yang sedang berada di sebuah dataran terbuka itu.
Dengan instruksi itu, dilakukanlah serangan kilat dengan mengerah-
kan seluruh kekuatan pasukannya. Al-Harits, komandan tertinggi
pasukan Bani Musthaliq, terkena anak panah. Dia jatuh tersungkur
mendekap lukanya. Maka kocar-kacirlah barisan pasukan Bani Musthaliq
menghadapi derasnya anak panah dan pasukan muslim yang meny-
erbu dengan pedang terhunus dan menunggang kuda. Demikian pula
pemimpin-pemimpin Bani Musthaliq yang lain ber­jatuhan bersimbah
darah setelah Al-Harits juga jatuh bersimbah darah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 379


Pasukan Bani Musthaliq menjadi kian kacau-balau. Mereka sama
sekali tak pernah membayangkan akan menghadapi kekuatan dan
kekompakan pasukan Islam sebagaimana mereka temui ketika itu,
setelah mereka pernah melihat kekuatan pasukan muslim di lembah
Uhud.
Prajurit-prajurit Bani Musthaliq banyak yang mulai melarikan diri.
Sementara itu pula, prajurit-prajurit muslim kini memperkuat serbuan,
hingga akhirnya sekitar 200 prajurit Bani Musthaliq tertawan dan
sejumlah harta berupa unta, kuda, dan barang-barang mereka dapat
dirampas dan berada di bawah kekuasaan pasukan muslim.
Barulah Muhammad merasa sedikit lega dan tenang pikirannya
dari ancaman musuh yang tak kalah bahayanya daripada orang-orang
Quraisy. Kini, setelah kemenangan ini, dia akan memenuhi perbenda-
haraan Madinah dalam tempo yang cukup lama. Siapa lagi yang mau
menjadi sekutu Quraisy setelah ini, jika melihat Bani Musthaliq sudah
terkapar?
Pemimpin Bani Musthaliq, Al-Harits, terluka parah; dan anak
perempuannya menjadi tawanan perang. Sementara Muhammad
membagi-bagikan tawanan, baik laki-laki maupuan perempuan, kepada
tentara-tentaranya yang ikut ambil bagian dalam penyerbuan tersebut.
Barrah binti Harits, anak gadis pemuka Bani Musthaliq, menjadi bagian
seorang laki-laki miskin. Laki-laki itu berharap akan memperoleh ba-
gian harta anak gadis Al-Harits tadi. Oleh karena itu, laki-laki miskin
itu menjadikan Barrah sebagai budak yang harus membayar cicilan
tebusan dalam jumlah yang besar untuk kemerdekaannya.
Namun apa boleh buat, hartanya menjadi habis juga karena
menjadi barang rampasan perang, sehingga karenanya, si gadis anak
perempuan Al-Harits itu akhirnya pergi menemui Muhammad untuk
menyampaikan pe­ngaduannya.
“Aku adalah anak gadis Al-Harits, pemimpin Bani Musthaliq. Aku
tertimpa bencana yang sudah tidak samar lagi bagimu,” akunya.
Selanjutnya, gadis itu menjelaskan bahwa laki-laki yang mendapat
bagian dirinya lebih menginginkan hartanya untuk kemerdekaannya.

380 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Dia mendesak Muhammad untuk menyerahkan hartanya kepada lelaki
miskin itu.
Pengaduan putri sang komandan Al-Harits itu diper­timbangkan
oleh Muhammad. Andaikata Barrah binti Harits dimerdekakan dan
dipulangkan ke tengah-tengah kaumnya, niscaya dia dapat membangun
semangat baru lagi dan sudah pasti akan memimpin kaumnya untuk
menuntut balas atas kekalahan ayahnya.
Kedua belah mata gadis itu memang memancarkan sorot keberanian.
Paras mukanya yang elok luar biasa cantiknya menyimpan suatu kebera-
nian yang memberikan dugaan kuat bahwa dia akan mampu menerjang
berbagai tantangan.
“Apakah kamu mau kuberi jalan keluar yang lebih baik dari itu?”
demikian tanya Muhammad sambil menatap tajam gadis itu.
“Apa itu?” tanya gadis itu.
“Aku akan membayar uang tebusanmu, lalu menikahi­mu,” tawar
Muhammad.
“Ya,” ucap gadis itu menyetujui tawarannya.
“Baik. Kalau begini, akan kulakukan.”
Akhirnya, Muhammad membayar uang tebusannya kepada laki-laki
miskin itu, kemudian dia mengajak gadis itu masuk Islam, lalu dia
menikahinya. Setelah itu, menyusul pula tawanan-tawanan yang lain.
Dengan peristiwa pernikahan politis ini, Bani Musthaliq menemukan
pertalian nasab yang mulia. Mereka me­mandang Muhammad bagai
seorang raja yang berkuasa di Madinah dan suku-suku yang bersekutu
dengan Madinah.
Kini Muhammad menduduki puncak posisi yang menju­lang tinggi,
di mana semua pemimpin suku-suku yang lain di Semenanjung Arabia
tidak bisa menandinginya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 381


382 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Gosip perselingkuhan ‘Aisyah meng-
goyang reputasi Muhammad

P asca pertempuran sengitnya melawan kekuatan


Bani Musthaliq, kini Muhammad siap pulang
kembali lagi ke Madinah dengan konvoi keme­na­ngan. Dalam sekali han-
tam, dia berhasil meraih keberhasilan melebihi apa yang diharapkan.
Dia menyerbu Bani Musthaliq di rumah-rumah mereka. Dia mampu
menunjukkan kekuatan di mata orang yang coba-coba berani menja-
lin hubungan baik dengan pihak Quraisy. Dia juga berhasil merampas
sejumlah harta benda, pedang-pedang, dan perabot-perabot rumah
tangga yang memberikan ke­agungan dan sekaligus pertahanan pada
Madinah.
Muhammad menjamin bahwa pasca pertempuran itu, Bani Musthaliq
tak akan dapat menuntut balas atas kekalahan mereka, sebab dia telah
berhasil memperistri anak gadis pemimpin mereka, Al-Harits, yang
kemudian ayah anak gadis itu, saudaranya, dan kaumnya memeluk
agama Islam. Kini mereka berkesimpulan bahwa lebih baik mereka
menjadi pembela-pembela Muhammad saja, lantaran telah terjalin
hubungan kekerabatan dengan Muhammad....

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 383


Muhammad mengubah nama anak gadis Harits dengan nama baru,
yaitu Juwairiah. Dia menunjukkan sikap hormatnya kepada gadis itu,
sebagai upaya menghapus luka-lukanya, setelah kaumnya menderita
kekalahan, pada sebuah tangan yang menggenggam tangan kekua-
saan dengan lemah-lembut yang belum pernah ditemui sebelum­nya.
Namun kehadiran gadis itu menjadi bagian dalam keluarga Muham-
mad, menyebabkan kondisi psikologis ‘Aisyah sempat amburadul
dan merasa cemburu atas semua ini lantaran istri barunya itu lebih
dominan dalam hal apa pun dibanding istri-istrinya yang lain, ter-
masuk juga diri ‘Aisyah.
Adanya persekutuan bersama pihak Bani Musthaliq, ternyata tidak
mampu mengubah sikap cemburu yang menyiksa ‘Aisyah kepada istri
barunya yang teramat cantik itu. ‘Aisyah justru merasa bahwa kehadi-
ran Juwairiah di sisi Muhammad hanya akan menyaingi dirinya. Hal
ini dikarenakan selain usia Juwairiyah masih muda belia seperti usia
dirinya, ia juga paling cantik di antara istri-istrinya, bahkan dengan
dirinya sekalipun.
Muhammad tak ingin melukai hati ‘Aisyah dalam meraih kesenangan
yang diraihnya. Akan tetapi, betapapun telah diupayakan dengan
berbagai cara, ‘Aisyah merasakan duka yang sangat menggelisahkan
batinnya, menyiksanya, dan membuat menderita dalam gelora api
kecemburuan yang menyala-nyala. Demikianlah, sebab baginya,
kemenangan pertempuran yang luar biasa gemilangnya dan strategi
politik barunya, telah merusak hati cinta suaminya.
‘Aisyah hampir jatuh sakit, lantaran memendam duka derita cemburu.
Hanya saja, ketika itu terasa kurang layak membicarakan masalah
tersebut, karena tampaknya ada persoalan lain yang lebih serius, yaitu
persoalan gosip yang disebarkan oleh ‘Abdullah bin Ubay di kalangan
orang-orang Anshar atas pembagian harta rampasan yang terasa lebih
banyak diberikan kepada orang-orang Muhajirin. Bagaimana mungkin
harta rampasan itu lebih banyak diberikan kepada mereka?
Sebelum melangsungkan pembagian harta rampasan, Muhammad
meluangkan waktunya untuk melepaskan para tawanan. Selan-

384 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


jutnya, sebagian para shahabatnya, secara khusus mengajarkan
keislaman kepada mereka. Dia mengingat perjanjian dengan Bani
Musathaliq agar mereka menjadi kekuatan yang membela Islam di
tepian Laut Merah.
Akan tetapi, tebaran gosip yang menyulut kecemburuan sosial di hati
orang-orang Anshar terhadap orang-orang Muhajirin berhasil dilakukan
oleh ‘Abdullah bin Ubay.
“Hati-hatilah kalian semua kepada Muhammad, sebab dia akan
senantiasa bersikap lebih mengutamakan orang-orang Anshar terhadap
orang-orang Muhajirin berhasil dilakukan oleh ‘Abdullah bin Ubay.
“Hati-hatilah kalian semua kepada Muhammad, sebab dia akan
senantiasa bersikap lebih mengutamakan orang-orang Muhajirin; dan
orang-orang Muhajirin akan terus merasa sebagai kelompok yang lebih
terhormat,” demikian­lah gosip yang disebarkan oleh ‘Abdullah bin
Ubay.
Di hati ‘Abdullah bin Ubay dengan sebagian orang-orang kaya dari
kalangan Anshar memendam suatu ambisi untuk memperoleh sebagian
harta rampasan tersebut, padahal keputusan Muhammad akan me-
nyerahkan harta rampasan tersebut kepada orang-orang Muhajirin,
agar mereka tidak lagi menggantungkan hidup pada santunan orang-
orang Anshar. Selama ini dia memang menginginkan secepatnya dapat
mengentaskan penderitaan dan beban hidup yang melilit orang-orang
Muhajirin, karena memang dia selama ini sering kali menyitir kepada
orang-orang:

“Kemiskinan itu hampir-hampir dapat menjerumuskan seseorang pada keku-


furan.”
Dia menginginkan terciptanya kondisi yang dapat menjembatani
ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin, sehingga dapat ter-
hindar dari sentralisasi harta pada kalangan kelompok elite belaka.
Dia lalu membacakan ayat berikut kepada mereka:

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 385


“Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang
kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Akan tetapi, keputusan ini diterima dengan berat hati oleh ‘Abdul-
lah bin Ubay. Dalam hati kecilnya terpendam suatu keinginan yang
besar untuk memperoleh harta rampasan itu dan menuntut adanya
kondisi sentralisasi harta rampasan di kalangan elite masyarakat.
‘Abdullah bin Ubay mencari trik untuk menimbulkan ketidak-puasan
dan penilaian salah di hati orang-orang Anshar atas pembagian harta
rampasan ini, tapi niat jahat itu tak berhasil dia lakukan.
Seorang laki-laki dari suku Khazraj disuruh oleh ‘Abdullah bin Ubay
agar mendesak seorang laki-laki dari Muhajirin yang sedang mengam-
bil air di sebuah sumur. Tidak terima diperlakukan begitu, laki-laki
Muhajirin itu lalu mendorong laki-laki Khazraj hingga terjatuh. Maka
minta tolonglah si laki-laki Khazraj itu seraya berteriak: “Wahai orang-
orang Anshar!” Sepontan, sebagian dari anak buahnya ‘Abdullah bin
Ubay datang hendak menolongnya. Sementara laki-laki Muhajirin itu
berteriak: “Hai orang-orang Muhajirin!”
Maka berdatanganlah beberapa orang Anshar dan Muhajirin ke su-
mur itu hingga akhirnya tempat tersebut menjadi sesak. Kesempatan
baik itu tidak disia-siakan oleh ‘Abdullah bin Ubay. Maka berdirilah
‘Abdullah bin Ubay, menyampaikan pidatonya di tengah orang Anshar.
“Bukankah orang-orang Muhajirin yang bikin ulah? Mereka telah
memusuhi kita. Mereka merasa menjadi kelompok mayoritas di tengah-
tengah kita. Demi Allah, sesungguhnya di antara kita dan mereka lak-
sana sebuah pepatah yang mengatakan: ‘Gemukkanlah anjingmu, maka
ia akan memangsamu.’ Ingatlah! Demi Allah, andaikata kita pulang
kembali ke Madinah, niscaya orang-orang terhormat akan mengusir

386 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


orang-orang hina dari Madinah,” demikian ucap ‘Abdullah bin Ubay.
Selanjutnya, ‘Abdullah bin Ubay berkata yang ditujukan khusus
kepada kelompoknya: “Ini semua adalah akibat ulah kalian sendiri.
Kalian semua telah memperbolehkan negeri kalian dijadikan tempat
tinggal untuk mereka. Kalian semua telah sudi membagi harta kekayaan
kepada mereka. Ingatlah! Demi Allah, andaikata kalian semua tidak
mau menyerahkan harta kekayaan kepada mereka, niscaya mereka
akan pindah dari negeri kalian.”
Peristiwa di sumur itu didengar oleh Muhammad dan ia langsung
bergegas ke tempat kejadian perkara yang telah banyak orang berkeru-
munan sambil berteriak menegur mereka. Selanjutnya, dia memanggil
‘Abdullah bin Ubay, lalu menanyakan apa yang telah dikatakannya.
Tapi ‘Abdullah bin Ubay menyangkal terhadap semua kenyataan
yang telah dikemukakannya. Bahkan dia mengatakan, di antara mereka
ada seseorang yang telah membuat informasi palsu.
‘Umar datang dan segera ia mendekat dan berbisik kepada Muhm-
mad seraya berkata: “Bagaimana kalau aku bunuh saja dia?”
Berkali-kali ‘Umar sudah menyarankan agar Muhammad membunuh
‘Abdullah bin Ubay, tapi Muhammad selalu menjawab: “Bagaimana
menurut pendapatmu, jika sampai orang-orang mengatakan: ‘Muham-
mad telah membunuh shahabatnya?’”
‘Umar sangat muak kepada ‘Abdullah bin Ubay di mana senyum
liciknya dan kedua belah tangannya selalu terbuka untuk merangkul
Muhammad serta kata-katanya yang lemah-lembut tapi menyimpan
kepalsuan. Kelemah-lembutan kata-katanya jelas menyimpan keben-
cian yang tak diragukan lagi. Secara terang-terangan, ‘Umar menun-
jukkan rasa muaknya kepada ‘Abdullah bin Ubay. Setiap kali keduanya
berpapasan, ‘Abdullah bin Ubay merasakan sorot pandang ‘Umar telah
merobek-robek topeng-topeng palsunya satu per satu.
Muhammad memperhatikan wajah-wajah orang Anshar dan kemu-
dian salah seorang tokoh mereka mengatakan: “Barangkali saja orang
yang menyampaikan informasi mengenai pernyataan yang dilontarkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 387


‘Abdullah bin Ubay masih diragukan validitasnya.”
Beberapa orang Anshar masih saja menaruh simpati kepada Bin
Ubay.... Sebab bin Ubay sendiri memang berlagak tak menampilkan
kedengkian agar sikapnya terlihat lembut dan patuh di mata orang
lain..., padahal di dalam lubuk hatinya ia memendam kedengkian yang
menggelora. Dan kedengkiannya itu ternyata tak dapat disembunyikan
dari pandangan ‘Umar. Dan memang, kedengkian Bin Ubay itu takkan
bisa kentara jelas, melainkan hanya di mata mereka yang betul-betul
tak suka padanya.
Sementara Muhammad menunggu kata-kata yang akan diucapkan
oleh seorang dari kalangan Anshar. Sementara itu pula, Muhammad
mengisyaratkan kepada orang-orang Muhajirin agar tetap diam. Maka
tampillah seorang dari kalangan Anshar mengemuka­kan komentarnya:
“Dia mengata­kan bahwa jika kita telah kembali ke Madinah nanti,
maka orang yang mulia benar-benar akan mengusir orang yang hina
dari Madinah. Maka engkaulah, wahai Rasulullah yang akan mengusir
dia dari Madinah, jika engkau mau. Dia itulah, demi Allah, orang yang
hina dan engkaulah orang yang mulia.”
Seorang laki-laki yang lain berkata pula: “Kasihanilah dia, sebab
dia memandang engkau telah merebut ke­kuasaannya.”
Selanjutnya, terlontarlah ungkapan-ungkapan yang bernada ejekan
kepada ‘Abdullah bin Ubay dari beberapa orang Anshar.
Mereka merasakan kekecewaan yang menyelimuti hati Muhammad,
setelah mengetahui kebohongan ‘Abdullah. Salah seorang dari kalan-
gan orang-orang Anshar membela ‘Abdullah, maka dia mendustakan
kepada teman-temannya yang lain. Namun sebenarnya mereka merasa
tidak simpatik terhadap kelicikan-kelicikan yang diperbuat ‘Abdullah.
Mereka sangat mengagumi kemampuan Muhammad dalam menahan
emosi menghadapi semua itu. Tetapi dengan segala kebohongan dan
kelicikan yang selalu diperbuatnya, mereka saling merebut akan
menghajar ‘Abdullah.
Sementara itu, ‘Abdullah bin Ubay hanya terdiam, menundukkan
kepalanya. Dia sudah kehabisan akal untuk menyodorkan apologis-

388 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


apologis liciknya. Tak ada kata-kata lagi untuk meluncur dari mulutnya.
Senyum khasnya yang biasanya tersungging di bibirnya, kini membeku.
Tubuhnya mulai tampak gemetar ketakutan.
Orang-orang suku Khazraj yang merupakan kelompok ‘Abdullah,
mengajukan tuntutan kepada Muhammad agar menjatuhkan hukuman
kepada ‘Abdullah bin Ubay sebagai­mana hukuman yang dikenakan pada
orang-orang yang melakukan perbuatan destruktif di permukaan bumi.
Demikian pula salah seorang pemuka Khazraj dan Aus mengajukan
tuntutan agar Muhammad menjatuhkan pidana mati kepada ‘Abdul-
lah. Tuntutan-tuntutan itu datang dari para pemuda-pemuda Anshar,
sedangkan Muhammad tetap diam hanya menatap tajam ‘Abdullah
yang kini dalam kondisi gemetar, tak kuasa lagi mengulum senyum
licik di bibirnya.
Tak lama kemudian, dengan semangat menggelora putra ‘Abdul-
lah bin Ubay sendiri (yakni ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay –edt.)
berbicara kepada Muhammad n: “Demi Allah, seantero masyarakat
Khazraj telah tahu bahwa tak seorang pun dari kalangan mereka yang
lebih berbakti kepada orang tuanya melebihi diriku. Aku khawatir, jika
engkau meme­rintahkan seseorang selainku untuk mem­bunuh ayahku,
lalu orang itu betul-betul melaksanakannya, kemudian diriku tak sang-
gup melihat pembunuh ayahku itu bebas berkeliaran di tengah-tengah
manusia, sehingga aku balas membunuhnya. Padahal dengan begitu,
aku telah membunuh seorang mukmin lantaran dia telah membunuh
orang kafir, lalu aku masuk neraka karenanya. Untuk itu, izinkan agar
aku saja yang membunuhnya.”
“Tidak, bahkan kita akan memperlakukannya dengan ramah dan
akan tetap menjalin hubungan baik dengannya, selama dia masih
bersama kita,” ucap Muhammad kepada putra ‘Abdullah bin Ubay.
Ucapan Muhammad membuat orang-orang heran, padahal tangan-
tangan mereka sedang menghunus pedang. Masing-masing mereka
sudah menunggu untuk memperoleh kehormatan: menghabisi nyawa
‘Abdullah bin Ubay.
Ketika mereka mendengar pengampunan dari Muhammad, serentak

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 389


mereka menyergap ‘Abdullah dengan sikap kasar. Tapi, Muhammad
mengatakan kepada ‘Umar: “Biarkan saja dia pergi,” pintanya.
Muhammad kemudian melanjutkan perjalanannya bersama ‘Umar
dengan menunggang kuda.
“Demi Allah, andai saja engkau membunuh ‘Abdullah waktu engkau
mengatakan kepadaku akan membunuhnya di hari yang lalu, niscaya
banyak orang yang akan me­marahimu. Tapi, jika hari ini aku perintahkan
kepada mereka untuk membunuhnya, niscaya mereka akan membunuh-
nya.”
Rombongan pasukan terus bergerak menuju ke Madinah.
Muhammad berjalan bersama para shahabatnya siang-malam
tanpa istirahat, dengan tujuan agar mereka tidak terus mengingat
tragedi yang baru saja terjadi di antara sesama mereka di dekat
sumur dan juga ulah ‘Abdullah bin Ubay.
Seharian Muhammad berjalan bersama mereka hingga tiba malam
hari, kemudian semalaman juga dia berjalan hingga tiba pagi hari.
Keesokan harinya, bersama para shahabatnya dia tetap meneruskan
perjalanan seharian penuh di bawah terik mentari. Ketika malam
tiba, barulah mereka beristirahat sebentar guna melepas lelah. Tak
mengherankan karenanya, begitu kaki mereka diselon­jorkan ke tanah,
mereka langsung tertidur pulas.
Selanjutnya, Muhammad membangunkan mereka yang telah tidur
pulas. Dia menyuruh seseorang untuk meng­umum­kan bahwa rombongan
siap diberangkatkan kembali. Akhirnya, mereka sampai di Madinah.
Muhammad membacakan sebuah ayat:

“Mereka berkata: ‘Sungguh jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar


orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya.’ Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang muk-
min, tetapi orang-orang munafiq itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munaafiquun

390 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


[63]: 8)
Di Madinah semua pasukan tidur pulas di rumah mereka masing-
masing dalam kepulasan yang belum pernah mereka rasakan sebel-
umnya.
Muhammad mengunjungi rumah-rumah istrinya. Namun ketika
hendak menemui ‘Aisyah, ternyata dia tidak mendapatkan ‘Aisyah.
Di mana gerangan ‘Aisyah istirahat? Tampaknya ‘Aisyah tidak pulang
bersama rombongan. Maka timbullah kekhawatiran dalam hati semua
orang, jangan-jangan ‘Aisyah pada malam itu pergi untuk menunaikan
hajatnya, kemudian diterkam binatang buas di padang pasir.

g
Muhammad dirundung kegelisahan lantaran ‘Aisyah tidak ada. Na-
mun keesokan harinya, datanglah seorang pemuda tampan bernama
Shafwan ke Madinah bersama ‘Aisyah sambil menuntun untanya.
Kebetulan saja, ‘Abdullah bin Ubay melihatnya, lalu dia tersenyum
sinis melihat orang-orang yang ada di sekitarnya.
‘Abdullah masih saja mengelus-elus lehernya yang terbebas dari
tajamnya mata pedang pada beberapa hari yang lalu.
Kedatangan ‘Aisyah bersama Shafwan dijadikan momentum yang
tepat oleh ‘Abdullah bin Ubay untuk menyebar-luaskan berita yang
memalukan ini. Jika demikian, tertinggalnya ‘Aisyah dari rombongan,
berarti memang disengaja, agar dapat bermesra-mesraan dengan
Shafwan tadi malam. Mengapa Muhammad sekalipun berbudi pekerti
luhur ternyata harus menghadapi kenyataan pahit, lantaran istrinya
serong dengan laki-laki lain?
Serong dengan laki-laki lain, ‘Abdullah?
Inilah ‘Aisyah, ternyata ia jatuh cinta kepada laki-laki lain, Sauda-
ra-Saudara!
‘Abdullah bin Ubay menemui orang-orang dan me­nyatakan rasa
ibanya yang mendalam kepada Muhammad, padahal sebenarnya di
dalam hatinya menyimpan maksud untuk menggadukan kondisi Madinah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 391


dengan caci-maki dan cemooh kepada Muhammad. Dia mengatakan
kepada orang-orang bahwa ‘Aisyah menaruh rasa cemburu. Rupanya
kecantikan anak gadis Al-Harits yang telah diberi nama Juwairiyah oleh
Muhammad, di mana putri komandan Bani Munthaliq yang jauh lebih
cantik dan lebih muda dari ‘Aisyah ini, telah merusak hati Muham-
mad. Karena itulah, sebagai bentuk aksi pembalasan dan pelampiasan,
‘Aisyah berusaha mencari pria lain yang jauh lebih muda. Dengan
perselingkuhan ini, reputasi Muhammad jatuh menjadi korban istrinya
yang penuh dengan kecemburuan yang nekad mempermainkan popu-
laritas dan kemuliaan Muhammad, sementara dia menyembunyikan
pria lain di tempat tidur suaminya. Sengaja dia menimbulkan aib dan
nestapa, agar suaminya mau meletakkan mahkotanya.
Ketika ‘Umar mendengar gosip miring yang diekspos oleh ‘Abdul-
lah bin Ubay, hampir saja dia akan menemuinya, lalu menggorok
lehernya, agar orang-orang menjadi tenang kembali. ‘Umar menemui
Muhammad untuk minta pertimbangan. Akan tetapi, beban berat itu
menyebabkan Muhammad senantiasa menundukkan kepalanya, tak
kuasa membuka kedua matanya untuk menatap raut muka seseorang,
sekalipun kepada teman-teman dekatnya sendiri, seperti Abu Bakar
dan ‘Umar. Muhammad belum pernah mengetahui bahwa ‘Aisyah
melakukan perselingkuhan dengan pria lain sebelum itu. Muhammad
juga belum pernah mengetahui bahwa Shafwan berbuat khianat.
Tapi, apakah sedari dulu dirinya telah ditipu oleh ‘Aisyah? Haruskah
dirinya menanggung cela justru pada hari kepulangannya ke Madinah
dengan membawa kemenangan gemilang untuk masa depan cerah yang
diliputi keagungan dan ketenteraman?
Andaikata ‘Abdullah bin Ubay yang menyebarkan gosip itu, maka
sudah pasti pedang-pedang orang yang berpihak pada Muhammad akan
memenggal leher ‘Abdullah. Dan yang sudah pasti pedang Muhammad-
lah yang pertama kali menuntut balas di antara pedang-pedang itu.
Tapi ‘Aisyah memang benar datang terlambat dari rombongan pada
malam itu; dan dia pulang kembali ke Madinah pada pagi harinya ber-
sama Shafwan. Tampaknya faktor kecemburuan yang telah mengubah
perangai ‘Aisyah menjadi jelek. Ini adalah kenyataan yang tak dapat

392 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dipungkiri kebenarannya.
Ini dia, saudara perempuan Zainab binti Jahsy (yang bernama
Hamnah binti Jahsy –edt.), membicarakan pengkhianatan ‘Aisyah dari
satu rumah ke rumah yang lain.
Kenyataan ini menjadi peluang yang tepat bagi saudara perem-
puan Zainab untuk menyingkirkan ‘Aisyah dari sisi Muhammad yang
merupakan satu-satunya rival di antara istri-istri Muhammad bagi
saudarinya ini. Bahkan orang yang paling dekat dengan ‘Aisyah seka-
lipun, menyatakan secara tegas bahwa ‘Aisyah telah berselingkuh dari
suaminya dengan seorang pemuda tampan bernama Shafwan. Adapun
orang yang menyatakan hal itu adalah Misthah, seorang anak tiri Abu
Bakar yang termasuk di antara pejuang-pejuang Muhajirin, padahal
semestinya dia yang membela ‘Aisyah.
Dengan skandal itu, tak seorang pun berani mengangkat kepal-
anya untuk membela ‘Aisyah. Hassan bin Tsabit yang ikut pulang pada
malam kelabu itu mengerahkan segenap kemampuannya menggubah
syair-syair dan menyebarkannya ke kalangan musuh-musuh Muhammad.
Hassan bin Tsabit termasuk pula seorang yang membenarkan gosip
tentang perselingkuhan ‘Aisyah. Hassan mengulang syair-syairnya,
hingga hampir menyebar ke berbagai pelosok.
Sementara itu ‘Aisyah tak tahu apa-apa tentang gosip mengenai
perselingkuhan dirinya. Dia berada di rumahnya di balik kelambu. Tak
seorang pun ada yang berani menyampaikan berita gosip kepadanya.
‘Aisyah pulang dari pertempuran Bani Musthaliq dalam keadaan
sakit. Kecemburuannya kepada anak Al-Harits yang cantik itu telah
menyebabkan beban pikiran yang sangat menyiksa batinnya. Sakit yang
diderita ‘Aisyah dianggap oleh orang-orang sebagai dampak kesalahan
yang telah diperbuatnya seraya mengatakan: “Setelah menyadari
kesalahannya, ‘Aisyah tak sanggup lagi menanggung beban dosa yang
dipikulnya.”
Meskipun prahara telah melanda keluarga Muhammad dengan
istrinya, putri Abu Bakar, Muhammad memang masih menemui ‘Aisyah.
Dia juga pergi menemukan orang-orang menanyakan tentang ‘Aisyah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 393


Tapi perasaannya kini tak lagi berselera, sekalipun untuk memandan-
gnya.
‘Aisyah sendiri sedang merasakan kesalahan yang belum pernah
dia rasakan sebelumnya. Karena itu, dia minta izin kepada Muhammad
untuk sementara waktu akan pulang ke rumah ibunya, dengan alasan
agar dirawat oleh ibunya. ‘Aisyah tinggal di rumah ibunya beberapa
minggu hingga sembuh dari penyakitnya. Di rumah keluarganya, ‘Ai-
syah dilayani Ummu Misthah. Pada suatu hari ketika ‘Aisyah dan Ummu
Misthah keluar untuk menunaikan hajat, Ummu Misthah tersangkut baju
‘Aisyah. Tanpa terasa ia melontar­kan kata-kata: “Celaka Misthah!”
‘Aisyah menanggapi kata-kata Ummu Misthah tersebut dengan
sikap menolak: “Demi Allah, betapa jeleknya kata-kata yang engkau
ucapkan kepada laki-laki dari kalangan Muhajirin yang ikut serta dalam
pertempuran Badar!”
“Apakah kamu tak mendengar informasi, wahai putri Abu Bakar?”
demikian Ummu Misthah malah balik bertanya.
Maka diceritakanlah oleh Ummu Misthah, gosip yang menimpa
dirinya yang dikatakan oleh Misthah, ‘Abdullah bin Ubay, saudara
perempuan Zainab binti Jahsy, Hassan bin Tsabit, dan laki-laki maupun
perempuan, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin.
Setelah ‘Aisyah mendengar semuanya tentang gosip dirinya, dia
menumpahkan tangisnya di pangkuan ibunya.
“Ibu! Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa dirimu. Banyak
orang yang membicarakan gosip tentang diriku, tapi mengapa mereka
tak menjelaskan semua itu kepada­ku?” tanya ‘Aisyah terbata-bata di
sela isak tangisnya.
“Anakku! Betapa hinanya dirimu. Demi Allah, jarang sekali terjadi
seorang perempuan cantik di sisi suami yang mencintainya di antara
beberapa orang istrinya, yang tidak akan dibesar-besarkan kesalah-
annya oleh istri-istrinya yang lain dan orang banyak,” demikian ucap
ibunya sambil menasihati dengan nada optimisme.
Tak ada satu rumah pun di Madinah yang tak mem­bicarakan isu

394 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


perselingkuhan antara ‘Aisyah dan Shafwan. Sementara itu, Muham-
mad pulang dan pergi di antara mereka dalam menanggung beban
duka derita sebagai seorang suami yang sedang dikhianati istrinya,
padahal dialah yang memberikan ajaran-ajaran tentang kejujuran dan
tuntunan baru tentang kemuliaan hubungan sosial.
Sampai kapankah kenyataan ini akan membuat resah dan goncang?
Suku Aus, Suku Khazraj, orang Muhajirin, dan Yahudi Bani Quraizhah,
semuanya membicarakan tentang peng­hianatan dari perselingkuhan
yang telah diperbuat ‘Aisyah kepada suami yang telah mengajari dirinya
untuk ber­perilaku jujur.
Dalam keadaan yang sedemikian goncang ini, pihak Quraisy menja-
dikan prahara yang melanda rumah tangga Muhammad sebagai kesem-
patan strategis untuk memper­siapkan pasukan ke medan pertempuran
yang akan menggilas kekuatan pasukan Muhammad. Utusan Quraisy
berangkat ke Ghathafan dan Hawazin untuk mengadakan perjanjian
persekutuan. Barangkali dengan demikian, pihak Quraisy akan dapat
menggantikan Bani Musthaliq dan sekutu-sekutu yang baru.
Semua orang di Makkah, baik laki-laki maupun perempuan, si-
buk dengan persiapan pertempuran yang akan segera berlangsung.
Sampai-sampai setiap kaum pria yang masuk ke rumahnya pasti akan
mengasah pedangnya dan memerintahkan istrinya agar memberi makan
secukupnya unta-unta dan kuda-kuda mereka agar nantinya mereka
memperoleh kemenangan ketika berkecamuknya per­tempuran antar
kekuatan pasukan perang. Sementara di Madinah sendiri, setiap kaum
pria yang memasuki rumahnya pasti menanyakan kepada istrinya:
“Apakah kamu juga berbuat seperti apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah?”
Ketika istrinya menjawab: “Tidak, Demi Allah, aku tidak melaku-
kannnya,” suami yang lain mengatakan: “Tapi ‘Aisyah melakukannya,
padahal engkau tidaklah lebih baik daripada dia.”
Tak sedikit para suami yang menuduh istrinya berbuat jelek dan
membuat perbandingan dengan ‘Aisyah. Betulkah ‘Aisyah melaku-
kan penyelewengan? Atau ‘Aisyah tidak melakukannya? Andai saja ia
melakukan penyelewengan, maka berarti ajaran baru ini tidak mem-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 395


berikan cahaya sama sekali pada hati para kaum istri. Di Madinah tak
ada lagi para suami yang berani meninggalkan istrinya dan tak akan ada
lagi para suami yang akan membawa istrinya dalam suatu perjalanan.
Apa lagi yang dapat dilakukan? Segalanya telah bobrok dan gila.
Adapun kaum pria di Makkah sibuk membicarakan persiapan un-
tuk suatu penyerbuan yang belum pernah dilakukan oleh bangsa Arab
sebelum tergabungnya berbagai suku dan kelompok yang memusuhi
Muhammad. Mereka akan melakukan penyerbuan ke Madinah untuk
meng­hancurkannya. ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib mengirimkan se-
pucuk surat dari Makkah yang isinya memberikan peringatan kepada
Muhammad agar mewaspadai per­tempuran yang akan di hadapinya,
sebab pertempuran tersebut berbeda sekali dengan pertempuran-
pertempuran yang sebelumnya.
Tapi Muhammad tak kuasa membicarakan informasi tersebut ke-
pada siapa pun. Mereka semua disibukkan dengan gosip penyelewengan
‘Aisyah. Tak seorang pun dari mereka yang memahami berita gosip
yang melanda di tengah mereka. Setiap kali gosip tentang ‘Aisyah dan
Shafwan mereda, ‘Abdullah bin Ubay dan orang-orang Yahudi berusaha
mengungkit-ungkit lagi.
Mungkin saja pasukan Quraisy menyerbu mereka ketika sedang
sibuk berdebat mengenai kehormatan Muhammad.
Abu Bakar merasa sedih sekali hatinya. Air matanya kini membasahi
pipinya. Demikian pula ‘Umar merasakan kepiluan, tak tahu apa yang
harus diperbuat. Sementara ‘Ali mengajukan saran agar Muhammad
menceraikan ‘Aisyah saja. Masih banyak perempuan-perempuan lain
yang dapat menggantikan ‘Aisyah. Tapi sebelum menceraikan ‘Aisyah,
sebaiknya Muhammad melakukan klarifikasi terlebih dahulu tentang
perilaku ‘Aisyah kepada budaknya, barangkali dia pernah melihat
kejelekan perangai tuan putrinya, ‘Aisyah.
Kini tibalah saatnya Muhammad mengklarifikasi tentang ‘Aisyah
kepada budak perempuannya. Budaknya menyatakan berani bersumpah
bahwa dirinya tak pernah mengetahui perilaku jelek ‘Aisyah, selain

396 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


ketika membuat adonan roti ia tertidur hingga adonan tersebut di-
makan ayam. Pembantunya yang masih berusia dua puluh tahun itulah
yang dapat menjadi penunjuk.
Selanjutnya, Muhammad menanyakan juga perihal ‘Aisyah kepada
istri-istrinya yang lain. Mereka semua adalah para madu yang mem-
peroleh kesempatan baik untuk menyingkirkan ‘Aisyah, seandainya
mereka mengetahui persis tentang keraguan terhadap benar tidaknya
gosip yang sedang menimpa ‘Aisyah.
Pertama kali Muhammad menanyakannya kepada Zainab binti
Jahsy yang berbagi bilik dengan ‘Aisyah di rumah Muhammad. Ternyata
Zainab menyatakan perihal ‘Aisyah baik-baik saja. Jika demikian hal-
nya, lantas bagaimana dengan saudara lelaki Zainab, yang tegas-tegas
menyatakan kejelekan perangai ‘Aisyah.
Akhirnya, Muhammad menemui ‘Aisyah di rumah ayahnya. Dia
tidak berbicara apa-apa kepada ‘Aisyah. Hanya sebuah pertanyaan
yang terlontar dari mulutnya: “Bagai­mana keadaanmu?”
Muhammad menemui ‘Aisyah di rumahnya sedang duduk di antara
ayah dan ibunya, kemudian Muhammad melayangkan pandangannya
ke arah Abu Bakar. Keduanya tenggelam dalam sebuah cobaan yang
teramat berat pada hari-hari yang diliputi badai gosip sebagai prahara
yang menggoncang rumah tangga. Kedua orang bersahabat itu saling
menatap dan saling beradu pandang. Masing-masing saling melihat
goresan kepiluan yang membuat redup cahaya masa depan. Kepala
mereka masing-masing terduduk dalam menanggung beratnya cobaan.
Hati mereka dipenuhi dengan kesusahan yang meluap tinggi.
Dengan suara lirih, Muhammad berkata: “‘Aisyah! Jika engkau
benar-benar melakukan keburukan, sebagaimana yang dikatakan
orang-orang, maka bertaubatlah kepada Allah, karena sesungguhnya
Allah menerima pertaubatan hamba-Nya.”
‘Aisyah menangis dan mendesak ayah dan ibunya agar menjawab
kata-kata yang diucapkan suaminya, tapi kedua orang tuanya men-
gatakan kepada ‘Aisyah: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 397


kukatakan kepada suamimu.”
Di sela-sela isak tangisnya, ‘Aisyah berkata kepada suaminya:
“Demi Allah, aku tak akan bertaubat kepada Allah selamanya mengenai
apa yang engkau katakan itu.... Demi Allah, aku tahu jika aku men-
gakui tuduhan orang-orang, sementara Allah mengetahui bahwa diriku
bersih dari tuduhan itu, berarti aku telah mengakui sesuatu yang tidak
pernah aku lakukan! Namun jika aku menyangkal ter­hadap tuduhan
mereka, niscaya engkau tidak akan mem­percayai diriku. Tapi, biarlah
aku katakan kepada mereka sebagaimana kata-kata yang dilontarkan
ayah Yusuf w (yakni Ya‘qub w kepada saudara-saudara Yusuf
w –edt.)

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap tuduhan yang kalian lontarkan.”
Air mata Abu Bakar dan istrinya tidak dapat dibendung lagi, maka
tenggelamlah mereka semua dalam tangis pilu.
Bagaimana jelasnya keadaan yang sebenarnya?
Tak satu pun akal yang mampu menembus tirai yang mengerikan,
yang di belakangnya bersembunyi sebuah kebenaran yang teramat
misterius.
Andaikata ‘Aisyah benar-benar terbebas dari tuduhan orang-orang,
tetapi mengapa kebebasan itu tidak mampu memberikan penjelasan
dan ketegasan sebagaimana praduga yang muncul di siang hari bolong?
Pada saat itu tiba-tiba datanglah beberapa orang utusan yang
memberitakan bahwa pihak kuffar Quraisy telah berhasil menjalin
persekutuan dengan suku-suku yang lain; dan kini pasukan Quraisy
dan sekutu-sekutunya siap untuk berangkat ke medan pertempuran.

*) ‘Aisyah mengutip QS. Yusuf [12] ayat 18 –edt.

Yahudi Bani Quraizhah menyebarkan gosip yang baru lagi tentang


kemungkinan serong ‘Aisyah dengan laki-laki selain Safwan sebelum
itu. Hal ini mungkin saja terjadi. Siapa tahu?

398 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Secara kebetulankah skandal Shafwan itu tersiar ke mana-mana?!
Sebuah delegasi dari Bani Ghifar datang ke Madinah, di bawah
pimpinan Abu Dzar Al-Ghifari yang sudah mengenal Muhammad sejak di
Makkah waktu yang silam. Abu Dzar menyatakan akan tinggal di dekat
tempat tinggal Muhammad di Madinah. Tidak beberapa lama tinggal,
Abu Dzar mendengar juga mengenai gosip ‘Aisyah itu.
Abu Dzar bersuara lantang di tengah kerumunan orang-orang yang
sedang memperbincangkan skandal ‘Aisyah dan Shafwan: “Sesungguh-
nya semua ini merupakan cobaan baru yang dilancarkan musuh-musuh
Muhammad untuk menodai kehormatannya. Janganlah kalian semua
sibuk dengan gosip ini, Saudara-Saudara. Sebaiknya kalian semua
memper­siapkan diri untuk menghadapi ancaman penyerbuan pasukan
Quraisy dan sekutu-sekutunya.” Tapi, tak seorang pun mempedulikan
teriakan Abu Dzar itu.
Namun kini Muhammad mengambil keputusan akan menyelesaikan
problema tersebut secara tuntas demi menyelamatkan Madinah dan
penduduknya serta mengatasi gosip yang mengganggu persiapan me-
nyongsong per­tempuran.
Muhammad menyampaikan pidato di masjid: “Sebagai­m ana
Saudara-Saudara sekalian ketahui! Apa pedulinya orang-orang menodai
rumah tanggaku dan mengatakan tuduhan-tuduhan terhadap keluar-
gaku tanpa didasarkan pada fakta yang benar. Demi Allah, aku tak
pernah mengetahui laki-laki itu melakukan perbuatan keji. Laki-laki
yang dituduh oleh mereka itu tak pernah memasuki salah satu dari
beberapa rumahku, selain ia bersamaku.”
Setelah Muhammad selesai menyampaikan pidatonya, beberapa
orang yang hadir masih saja merasa berat untuk melepaskan keragu-
raguan mereka mengenai skandal yang terjadi di antara ‘Aisyah dan
Shafwan.
Di tengah isak tangisnya, ‘Aisyah membeberkan segala sesuatu
yang berkenan dengan gosip terhadap dirinya kepada istri-istri Nabi
yang lain:

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 399


“Ketika mereka mengumumkan perintah keberangkat­an rombongan
pasukan, aku terbangun. Tapi aku terpaksa pergi meninggalkan rom-
bongan pasukan, karena aku hendak berhajat. Setelah berhajat, aku
kembali ke untaku. Tapi sewaktu aku meraba dadaku, ternyata kalung-
ku telah terjatuh. Maka aku berusaha untuk mencarinya hingga lama
sekali. Lalu datanglah beberapa orang yang bertugas mendampingi
perjalananku. Mereka kemudian mengangkat sekedupku. Setelah itu
mereka langsung memberangkatkan unta yang kutunggangi! Mereka
menyangka aku berada dalam sekedupku. Setelah pasukan rombon-
gan pergi, aku baru menemukan kalungku, lalu aku pergi ke tempat
peristirahatan mereka. Namun aku tak menemukan seorang pun yang
memanggil maupun yang menyahut. Akhirnya, aku memutuskan kem-
bali saja ke tempat peristirahatanku semula dengan harapan mereka
akan merasa kehilangan diriku, lalu kembali mencariku .”
‘Aisyah melanjutkan lagi klarifikasinya: “Pada saat duduk di
tempat peristirahatanku, aku mengantuk sekali, lalu aku tertidur
tanpa terasa. Kala itu, kebetulan Shafwan bin Mu‘aththal As-Sulami
Adz-Dzakwani memang ditugasi berjalan di belakang pasukan (untuk
mengecek kalau-kalau ada anggota pasukan yang tertinggal –edt.).
Pada pagi harinya dia mendekati tempat peristirahatanku dan tanpa
dinyana dia melihat bayang-bayang hitam sosok manusia yang sedang
tertidur. Dia langsung mengenaliku begitu melihatku; hal itu karena
dia telah mengenaliku sejak sebelum diturun­kannya perintah berhijab.
Aku akhirnya terbangun lantaran mendengar ucapan istirja‘*)nya yang
dia lontarkan setelah dia tahu bahwa yang tertidur itu adalah diriku.
Maka aku tutupi mukaku dengan jilbabku. Demi Allah, aku dan dia tak
berbicara apa-apa sama sekali; dan aku tidak mendengar darinya selain
istirja‘nya itu. Kemudian dia turun dari untanya, lalu menderumkan-
nya sembari menginjakkan kakinya pada kaki depan untanya agar aku
mudah menaikinya. Aku pun lalu mendekati untanya dan menaikinya.
Selanjutnya, aku berangkat pulang ke Madinah menunggangi unta,
sementara dia menuntun untanya yang kutumpangi itu.”
Apa yang dibeberkan ‘Aisyah kepada beberapa kaum ibu masih
diragukan kebenarannya oleh para suami mereka. Tetapi setelah men-

400 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dengar cerita tersebut dari para suami mereka, maka mereka baru lebih
yakin terbebasnya ‘Aisyah dari tuduhan skandal itu. Hal yang menguat-
kan dugaan para suami mereka itu adalah pribadi Shafwan yang tidak

*) Istirja‘ adalah ucapan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji‘uun –edt..

mempunyai nafsu syahwat terhadap kaum perempuan. Shafwan berani


bersumpah kepada orang-orang: “Demi Allah, aku tak pernah membuka
dada seorang perempuan pun sama sekali,” akunya.
Tapi beberapa orang yang hadir di masjid menyatakan keberatan
untuk menerima kebenaran cerita itu. Beberapa orang dari kelompok
‘Abdullah bin Ubay dari kalangan suku Khazraj mengatakan: “Sungguh
ini merupakan omongan yang tidak logis. Kata-kata itu hanyalah alibi
belaka.” Begitulah mereka saling berbisik-bisik.
Sementara itu, Muhammad menunggu seseorang dari mereka yang
ingin menelusuri secara mendalam persoalan prestise dirinya. Tapi
tak seorang pun dari mereka yang mau buka mulut dan angkat bicara.
Akhirnya, seseorang laki-laki dari kalangan suku Aus angkat berbicara:
“Jika mereka berasal dari kalangan suku Aus, sudah pasti kami cegah
mereka. Tapi, jika mereka dari kalangan suku Khazraj, maka silakan
engkau perintahkan kepada kami. Dengan perintahmu, demi Allah,
mereka termasuk orang-orang yang layak dipenggal lehernya.”
Pada saat itu datanglah Sa‘ad bin Ubadah yang ter­golong orang shalih
dan bijak. Dia juga percaya atas isu per­selingkuhan ‘Aisyah. Dia duduk di
dekat ‘Abdullah bin Ubay.
Sa‘ad menanggapi kata-kata yang diungkapkan oleh laki-laki dari
suku Aus itu: “Engkau bohong. Demi Allah, engkau tidak akan memeng-
gal leher mereka. Demi Allah, engkau tidak akan mengucapkan kata-
kata itu, melainkan karena engkau tahu bahwa mereka berasal dari
suku Khazraj. Andaikata mereka berasal dari kelompokmu, niscaya
engkau tidak berani mengatakannya.”
Laki-laki dari suku Aus itu menyanggah pernyataan Sa‘ad: “Eng-
kaulah pembohong. Demi Allah, engkau adalah orang munafiq yang
memperdebatkan orang-orang munafiq.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 401


Beberapa orang dari suku Khazraj siap membela Sa‘ad bin Ubadah.
Demikian pula beberapa orang dari Aus siap membela laki-laki dari Aus
itu, kemudian orang-orang saling berlompatan. Konflik fisik di antara
mereka hampir-hampir tak dapat dihindari. Tapi Muhammad segera
berteriak kepada mereka agar kembali tenang dan melarang jangan
sampai terjadi salah seorang di antara mereka melayangkan sebilah
pedangnya ke arah saudaranya sendiri.
Muhammad pergi meninggalkan mereka dengan hati jengkel,
sedangkan orang-orang yang ada di masjid terus saja beradu mu-
lut dan saling caci-maki. Sementara itu utusan dari Yahudi Bani
Quraizhah pergi secara diam-diam menyampaikan persekutuan baru
yang bersifat rahasia antara Bani Quraizhah dan orang-orang Quraisy
dalam masa lebih dari satu bulan yang penuh dengan badai gosip di
Madinah.
Selama beberapa hari Muhammad berdiam diri, tak mau berbicara
dengan siapa pun, selain dengan seorang kurir pamannya yang mem-
bawa informasi mengenai rencana penyerbuan Quraisy dan sekutu-
sekutunya serta gambaran mengenai jumlah dan tingkat kesiapan
mereka.
Di rumahnya ‘Aisyah menangis di antara ayah dan ibunya. Kedua
matanya terus melinangkan air mata. Tiba-tiba datanglah seorang
perempuan dari kalangan Anshar datang menemui dirinya dan duduk
di sampingnya, ikut tenggelam dalam lautan tangis. Selanjutnya,
Muhammad datang menemui ‘Aisyah menyarankan agar ‘Aisyah mau
mengakui saja perbuatannya dan memohon ampun kepada Allah atas
dosa-dosa yang dilakukannya. Muhammad mengatakan kepada ‘Aisyah:
“Sesungguhnya seorang hamba, apabila mengakui kesalahan yang di-
perbuatnya, lalu memohon ampun, maka Allah akan mengampuninya.”
Apakah Muhammad juga meragukan kesucian diri ‘Aisyah dan
mempercayai gosip yang disebarkan oleh ‘Abdullah bin Ubay dan
orang-orang Yahudi?
Tapi ‘Aisyah hanya terisak dalam tangis sesunggukan, hingga me-
nyangka bahwa tangisnya akan dapat membelah hatinya. Kata-kata

402 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang terlontar dari mulutnya lagi-lagi:

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap tuduhan yang kalian lontarkan.”
Di dalam hatinya ‘Aisyah senantiasa berharap dan memohon kepada
Allah mudah-mudahan Allah men­datangkan mimpi kepada suaminya
yang dapat membebas­kan dirinya dari gosip skandal itu. Tapi suaminya
tidak juga beranjak dari tempat tinggalnya. Tak seorang pun dari kelu-
arganya yang tinggal di rumah itu. Kemudian suaminya digelayuti oleh
sebuah beban yang sangat memberatkannya. Tampaknya, dia sedang
menyongsong turunnya ayat Al-Qur’an hingga keringatnya mengalir
deras laksana butir-butir mutiara, padahal ketika itu cuaca sangat
dingin.
Sesaat kemudian beban berat itu seolah lenyap dari suaminya,
kemudian dia tersenyum lebar untuk pertama kalinya, sejak hari-hari
panjang yang membuat­nya pusing tujuh keliling. Lalu dia menatap
tajam ke arah ‘Aisyah sambil berkata: “‘Aisyah, bergembiralah karena
Allah telah membebaskan dirimu dari tuduhan-tuduhan gosip itu.”
Ibunya yang kegirangan lalu berkata kepada ‘Aisyah: “Berdirilah,
Nak, guna berterima kasih kepada suamimu.”
“Tidak, aku tidak akan berdiri berterima kasih kepadanya,” ucap
‘Aisyah menolak.
Ayahnya juga menyuruh putrinya agar berdiri guna menyampaikan
rasa terima kasih kepada suaminya, namun dia tetap bersikukuh me-
nolaknya. Di sela-sela tangisnya itu, dia lalu berucap: “Bukan kepada
engkau, Ayah; dan bukan kepada temanmu aku harus mengucapkan
terima kasih. Sungguh, aku tak akan mengucapkan puji syukur kepada
siapa pun, selain kepada Allah semata.”
Selanjutnya, Muhammad menemui orang-orang, membacakan ayat:

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 403


“(11) Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk
bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka
yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu bag-
inya azab yang besar. (12) Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong
itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri
mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ‘Ini adalah suatu berita bohong
yang nyata.’ (13) Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan
empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak men-

404 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


datangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang
dusta. (14) Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena
pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (15) (Ingatlah) di waktu kamu
menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan
mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggap-
nya suatu yang ringan saja, padahal pada sisi Allah adalah sesuatu yang
berat. (16) Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita
bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha
Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.’ (17) Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti
itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, (18) dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. (19) Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar
(berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah
mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (20) Dan sekiranya tidaklah
karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha
Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang
besar). (21) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan. Barang­siapa yang mengikuti langkah-langkah
syaitan, maka se­sungguh­nya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan
yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang­pun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]:11-21)

Allah juga menurunkan firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh berbuat zina wanita-wanita yang


baik-baik, yang dalam hatinya sama sekali tak pernah terbersit keinginan untuk
berbuat keji, lagi beriman, mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi
mereka azab yang amat pedih.” (QS. An-Nuur [24]: 23)

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 405


Selama ini Abu Bakar menanggung biaya hidup Misthah, karena
adanya hubungan kekerabatan, di samping Misthah tergolong orang
yang ekonominya lemah. Akan tetapi, karena dia ikut-ikutan juga
membicarakan soal gosip yang menimpa diri ‘Aisyah bersama orang-
orang yang menyebar-luaskan gosip itu, maka Abu Bakar berniat tidak
lagi memberikan santunan lagi kepada Misthah. Namun Abu Bakar
mendengar Muhammad membacakan ayat:

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di


antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada
kaum kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada
jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Peng­
ampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur [24]: 22)
“Tentu saja. Demi Allah, aku sangat ingin memperoleh pengampu-
nan dari Allah,” demikian jawab Abu Bakar menanggapi ayat tersebut.
Abu Bakar pun kembali memberi santunan kepada Misthah seb-
agaimana biasanya. Dia mengatakan kepada Misthah: “Demi Allah, aku
tidak akan mencabut santunan lagi untukmu selamanya.”
Sementara ‘Aisyah menyimak ayat-ayat itu secara seksama tiada
hentinya, hingga air matanya menetes dalam kegembiraan dan keha-
ruan yang teramat dalam tak terlukiskan. Bibirnya berucap: “Demi
Allah, aku tiada menyangka bahwa Allah akan menurunkan ayat yang
dapat dibaca selamanya khusus berkenaan dengan kasusku; sebab
menurutku, kasus yang menimpaku ini teramat tidak layak untuk
difirmankan Allah dalam Kitab-Nya.
Adapun orang-orang yang begitu gencar membicarakan gosip skan-
dal ‘Aisyah dan Shafwan merasakan suatu penye­salan yang teramat
dalam. Mereka semua segera memohon maaf kepada Muhammad atas

406 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


segala kekeliruan mereka, kecuali ‘Abdullah bin Ubay, sedangkan Hasan
bin Tsabit mengumandangkan sebuah syair pujian keagungan ‘Aisyah.
Akan tetapi, Muhammad menghimbau kepada mereka untuk
berhenti meminta maaf, karena dia telah memaafkan caci-maki dan
penghinaan mereka terhadap kehormat­annya. Kini mereka sudah tidak
layak lagi sibuk dengan urusan selain persiapan untuk menghadapi
pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 407


408 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Perang Khandaq dan
pengkhianatan Bani Quraizhah

B
ani Nadhir tidak akan pernah melupakan
kekalahannya selama-lamanya. Mereka mengembara
di padang pasir yang luas. Bola-bola mata mereka mener-
awang ke angkasa raya. Mereka mengenang kehidupan yang tenteram
di Madinah, ketika mereka pernah melalui masa-masa kejayaan dan
memiliki harta kekayaan yang melimpah-ruah dari usaha rente mer-
eka. Terkenang kembali dalam angan-angan mereka, keberhasilannya
mengembangkan usaha pertanian. Mereka berhasil mem­bangun perke-
bunan di sekitar Madinah. Mereka berhasil menyemarakkan Madinah
dengan rumah-rumah hiburan, keramaian, dan gemerlapnya kemega-
han. Mereka telah menerima anugerah mahkota kehormatan sebagai
raja. Akan tetapi, kemudian datanglah Muhammad, maka terhapuslah
praktek riba. Tak ada lagi budak-budak yang bekerja di kebun-kebun.
Tak ada lagi rumah-rumah hiburan. Tak ada lagi keramaian. Tak ada
lagi kemegahan.
Impian-impian mereka untuk pulang kembali ke Madinah mem-
bangun pasar-pasar seperti sebelumnya, mencari keuntungan yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 409


sebesar-besarnya dari riba, membuka rumah-rumah hiburan yang
dimeriahkan dengan perjudian, arak, dan penyanyi-penyanyi Yahudi
yang cantik-cantik, serta penobatan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul,
bukan berarti telah sirna dari benak mereka.
Mereka berkelana bersama sisa-sisa Yahudi Bani Qainuqa’. Ke-
pala mereka dipenuhi oleh dendam yang membara dan gelora ambisi
kekuasaan. Mereka ber­kunjung dari satu suku ke suku yang lain untuk
menga­dakan perjanjian persekutuan, hingga akhirnya mereka sampai
ke Makkah untuk menemui orang-orang Quraisy. Mereka selanjutnya
mengadakan kesepakatan untuk menghancurkan kekuatan Muhammad,
hingga sirna sampai ke akar-akarnya.
Makkah telah siap, lalu datanglah orang-orang Yahudi yang me-
nambah kian bersemangatnya mereka. Kalangan hartawan Makkah
menyerahkan sebagian besar hartanya dari sana-sini. Mereka meng-
umpulkan juga dana yang cukup besar jumlahnya untuk membiayai
aksi agresi merebut Madinah.
Sebuah angkatan perang yang belum pernah ada bandingannya
di Semenanjung Arabia sebelum itu, bergerak maju. Pasukan tempur
tersebut terdiri dari pasukan Tihamah, Kinanah, pasukan tempur dari
Najd, pemanah-pemanah Yahudi cekatan, tentara-tentara Quraisy yang
terlatih beringas, budak-budak kulit hitam yang ahli lempar lembing,
kuda-kuda yang tangguh, bangsawan-bangsawan­nya, budak-budak
perempuannya yang pandai menyanyi, pelayan-pelayan barnya, dan
penghibur-penghiburnya, yang mampu mengobarkan semangat tempur
prajurit dalam suatu pertempuran. Semuanya tak ketinggalan ikut
dalam konvoi pasukan yang luar biasa jumlahnya.
Jumlah pasukan yang sangat besar ini bergerak di bawah komando
Abu Sufyan, seorang pemuka pemerintahan Quraisy. Sementara itu,
di Madinah Muhammad menerima sepucuk surat rahasia dari seorang
pamannya, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, yang menggambarkan secara
detail kekuatan pasukan Quraisy itu.
Muhammad menyadari, rasa-rasanya dalam waktu yang sangat
terbatas tak mungkin lagi mengerahkan suatu pasukan yang mampu

410 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


menghadapi angkatan perang Quraisy dalam sebuah medan per-
tempuran yang terbuka di gurun sahara, andai saja waktu masih
memungkinkan. Tapi rasa-rasanya sulit mendapatkan jumlah tentara-
tentara yang mengimbangi jumlah pasukan Quraisy. Memang jika me-
nilik pengalaman yang lalu, Muhammad pernah menghadapi pasukan
Quraisy yang berkekuatan tiga ribu personel dengan pasukannya yang
hanya berkekuatan seribu personel, lalu tiga ratus personel tersebut
membelot. Sekalipun hanya dengan kekuatan personel yang sisanya
hanya tinggal tujuh ratus personel, Muhammad hampir saja meluluh-
lantakkan pasukan Quraisy yang berkekuatan 3.000 personel tersebut,
andai saja tidak terjadi deviasi-deviasi yang dilakukan oleh pasukan-
nya.
Tapi kini, pertimbangan di antara dua kekuatan sungguh-sungguh
sangat tajam dan tak sebanding sama sekali.
Sekalipun Muhammad akan mengerahkan seluruh pasukannya dari
orang-orang Muhajirin, orang-orang Anshar, dan sekutu-sekutunya, dia
tidak akan mampu mengumpul­kan tentara lebih dari 3.000 personel
dengan tanpa kuda. Lantas bagaimana mungkin dia akan dapat meng-
hadapi pasukan Quraisy yang beribu-ribu jumlahnya dan didukung
dengan persenjataan terbaru yang diproduksi oleh orang-orang Yahudi
serta beratus-ratus pasukan kuda?
Ketika Madinah sibuk dengan caci-maki terhadap prestise Muham-
mad dan tokoh-tokohnya, termasuk teman dekatnya sendiri, pihak
pemerintah Quraisy selalu me­ngadakan persiapan penyerbuan sema-
tang mungkin siang dan malam tiada henti. Sebaliknya, orang-orang
Yahudi sendiri mendatangi suku-suku dan kelompok-kelompok untuk
menghimpun kekuatan.
Penyesalan hari ini tak dapat menggantikan lagi hari-hari yang
telah mereka biarkan berlalu dengan sia-sia. Tak ada jalan lain lagi,
kecuali mengambil langkah tegas dan tepat untuk menghadapi agresi
musuh.
Sebagaimana biasanya, tiap kali akan bertempur meng­hadapi agresi
lawan, Muhammad mengadakan sidang. Salah seorang dari mereka

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 411


mengajukan inisiatifnya agar mereka keluar dari Madinah dengan
pasukannya yang ada. Allahlah yang akan membelanya, sebagaimana
Allah menolongnya sewaktu menghadapi musuh besar di lembah Badar.
Sementara yang lain berpendapat, sebaiknya mereka tetap ber-
tahan saja di Madinah. Hal ini sebagai upaya langkah konkrit untuk
mempertahankan kota Madinah. Se­lanjutnya, mereka bertempur saja
di jalan-jalan, di lorong-lorong, dan di rumah-rumah. Dengan demikian,
pihak musuh tidak akan dapat menguasai sejengkal tanah pun dari
bumi Madinah, sebelum Rasul melangkahi mayat mereka.
Setelah mempertimbangkan berbagai saran dan pendapat dalam
waktu sidang itu, Muhammad mem­prediksikan bahwa keluar dari Ma-
dinah resikonya lebih besar. Siapa tahu ‘Abdullah bin Ubay berulah
lagi, sebab ‘Abdullah bin Ubay masih punya orang-orang yang loyalitas
masih kental. Muhammad tak ingin lagi dia memukulnya dari belakang,
betapapun dia telah menampakkan per­mintaan maaf atas tindakan-
nya yang menggoyang prestise Muhammad sebelumnya. ‘Abdullah bin
Ubay memang sudah tak dapat berkutik lagi. Diam dalam kebimbangan
dan keraguan. Raut muka ‘Abdullah memang menampakkan malu dan
penyesalan atas gosip yang dilancarkannya terhadap ‘Aisyah, hingga
dia diisolir oleh orang-orang di masjid. Dia tak mampu lagi beranjak
keluar.
Selain pertimbangan itu, di pinggiran Madinah juga berdiam Yahudi
Bani Quraizhah dan hal ini merupakan ancaman. Mereka itu tidak lebih
baik daripada Bani Qainuqa’ atau Yahudi Bani Nadhir.
Bani Quraizhah tidak akan ikut serta bersama dirinya melawan mu-
suh, bila dia mengambil keputusan untuk pergi ke medan pertempuran,
sebab tak seorang pun yang tahu, tindakan apa yang akan dilakukan
oleh mereka. Bisa saja mereka dapat memanfaatkan peluang yang
tepat untuk membelot atau bersekutu dengan ‘Abdullah bin Ubay, lalu
mengangkatnya menjadi raja, kemudian mereka men­diri­kan sebuah
pemerintahan sendiri. Begitu nanti Muhammad pulang kembali dari
pertempuran, mereka menemukan dalih bahwa kepergian Muhammad
telah menyebabkan Madinah dicaplok oleh kekuatan musuh.

412 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Namun demikian, jika Muhammad tetap bertahan di Madinah,
maka sudah dapat dipastikan bahwa segerombolan tentara mencaplok
Madinah yang hijau, membunuh anak-anak, menggusur rumah-rumah,
membakar kebun-kebun, dan menawan para perempuan. Jelas hal ini
dapat memastikan terjadinya pembantaian yang harus dibayar oleh
orang-orang yang lemah.
“Ini bukan satu-satunya pendapatku. Sebisa mungkin, bagaimana
mereka agar dapat berlindung dari serangan musuh Madinah,” ujar
Muhammad.
Muhammad mengerahkan segala pikirannya untuk menemukan
langkah penangkalan terhadap serbuan musuh. Sementara waktu terus
berlalu. Banyak sudah pendapat-pendapat yang dikemukakan orang.
Tapi semua pendapat yang diajukan masih menyimpan celah-celah
kelemahan. Namun akhirnya, shahabat Salman tampil sambil meng­
ajukan sebuah gagasan.
Salman teringat sejarah bagaimana panglima-panglima besar mem-
pertahankan kota-kota Persia dari serangan pasukan Romawi. Salman
mengusulkan agar orang Islam meniru langkah-langkah tersebut. Semua
tentara keluar dari kota Madinah, lalu berlindung di balik parit.
Parit? Apa yang kaumaksudkan dengan parit itu, Salman?
Menurut Salman, bahwa mereka harus menggali parit yang agak
lebar dan dalam di muka pagar-pagar Madinah. Mereka bertahan di
balik parit itu. Jika ada pasukan musuh yang coba-coba mendekati
parit itu, pasukan Islam menampakkan diri kepada musuh dan memanc-
ingnya agar musuh yang lain mau maju. Ini merupakan langkah untuk
menghancurkan barisan musuh di parit tersebut, bilamana barisan
musuh berusaha melewatinya. Karena keberingasan orang-orang yang
terlibat dalam kancah pertempuran, parit ini tidak akan menyebabkan
musuh-musuh mundur. Musuh-musuh akan terus menerjang.
Gagasan brilian yang diusung Salman ini dinilai oleh Muhammad
merupakan ide cerdas. Ia merasa puas atas gagasan tersebut. Demikian
pula gagasan ini membuat mayoritas orang-orang Islam merasa ter-
gugah kembali semangatnya. Ini suatu taktik yang belum pernah diper­

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 413


gunakan oleh bangsa Arab.
“Kami setuju dengan gagasan Salman,” demikian menurut tang-
gapan sebagian orang-orang Anshar.
“Kami pun setuju dengan gagasan Salman,” orang-orang Muhajirin
menimpalinya.
Ternyata pandangan-pandangan yang dikemukakan Salman sejalan
dengan daya nalar Muhammad.
“Salman termasuk dari kita juga, ahlil bait,” komentar Muhammad
dengan penuh kekaguman.
Selanjutnya, Muhammad menetapkan taktik yang akan ditempuh
dalam pertempuran. Mereka harus menggali parit. Pasukan pemanah
hendaknya menempati posisi di atas tembok-tembok pagar. Sementara
prajurit-prajurit yang lain mengambil posisi di pinggir parit dengan
bersandar pada tembok-tembok pagar.
Muhammad mulai menginstruksikan penggalian parit kepada
shahabat-shahabatnya. Namun dia sendiri yang memulai pencangkulan
pertama kali. Dia mulai mengayun­kan cangkulnya di atas tanah yang
keras. Dengan kedua tangannya, dia mengangkat batu padas. Orang-
orang Islam yang ada di sekitarnya juga bekerja penuh semangat luar
biasa, dikobarkan oleh cerita-cerita Salman tentang parit-parit yang
mampu menahan serangan lawan, sekalipun jumlahnya berlipat-ganda.
Tapi, lagi-lagi terdengar suara-suara sumbang. Apa artinya mem-
buat parit? Untuk apa orang-orang bersusah-payah mengerjakan semua
ini, padahal nanti ketika musuh menyerbu, mereka akan keletihan dan
loyo. Mengapa tidak sebaiknya masing-masing orang menjaga fitali-
tas dan staminanya dan menjaga rumahnya untuk mempertahankan
keluarganya, jika musuh menyerbu? Parit ini tidak akan ada artinya
sama sekali. Penggalian ini yang jelas hanya membuang-buang tenaga
secara sia-sia. Bukankah tembok-tembok pagar Madinah yang tinggi
cukup mampu untuk menangkal serbuan lawan?
Di balik suara-suara sumbang ini dalangnya adalah ‘Abdullah bin
Ubay. Sebagian orang yang terpengaruh oleh suara-suara sumbang ini
mulai ogah-ogahan untuk bekerja menggali parit. Bahkan sebagian

414 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


orang yang sudah terang-terangan menolak untuk bekerja, langsung
pulang ke rumahnya tanpa sepengetahuan Muhammad.
Muhammad mengeluarkan keputusan berupa larangan kepada siapa
pun untuk menarik diri dari penggalian parit, kecuali mendapat restu.
Dia juga mengeluarkan peringatan keras kepada orang-orang yang
membangkang perintahnya bahwa suatu saat akan ada kekacauan,
baik di dunia dan siksa yang pedih di akhirat.
Orang-orang yang termakan oleh provokasi dan suara sumbang yang
dilancarkan oleh ‘Abdullah bin Ubay, minta izin kepada Muhammad
untuk pergi dengan dalih tidak mampu bekerja, karena sebelumnya
mereka tak terbiasa melakukan pekerjaan seberat itu lantaran mereka
banyak memiliki budak yang bekerja di ladang-ladang mereka.
Muhammad menghimbau kepada orang-orang yang mempunyai
tangan-tangan halus agar bersedia melumuri tangan mereka dengan
tanah dalam penggalian parit ini, karena pekerjaan ini termasuk jihad
yang mempunyai imbalan pahala.
Sekalipun Muhammad mengeluarkan himbauan keras, namun dia
tidak mau menjatuhkan hukuman bagi orang-orang yang bandel tidak
mau bekerja dengan alasan tidak kuat atau sakit atau tidak mampu
mengangkat cangkul dan memecahkan batu padas.
Tangan-tangan sekitar 3.000 orang terus mengayunkan cangkul
dan memecahkan batu-batu padas. Ratusan kepala perempuan yang
memanggul tanah untuk dibuang ke tempat yang jauh, juga bekerja
dengan setia.
Apa susahnya dengan beberapa puluh orang yang memisahkan diri,
merasa dirinya terhormat, dan membelot itu? Sikap sinis terhadap
mereka sudah cukup menyakitkan untuk dijadikan pedoman sebagai
hukuman bagi mereka.
Biarkan para penggali parit kian diperkokoh. Muhammad memer-
intahkan orang-orang yang enggan menggali parit agar tinggal saja di
rumah mereka, selama penyakit dan kelesuan yang menghalangi mer-
eka bekerja masih me­nimpa. Barulah ia mengharap mereka kembali
bekerja setelah fitalitas fisiknya pulih kembali.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 415


Muhammad tidak perlu menyelidiki apa yang tersem­bunyi di balik
wajah mereka. Ini bukan urusannya. Muhammad hanya akan mengena-
kan hukuman menurut pengakuan mereka yang tampak.
Silakan saja mereka beristirahat di rumah-rumah mereka jika me-
mang benar-benar menderita sakit yang menghalangi mereka untuk
ikut serta dalam penggalian parit itu. Mereka tidak berdosa. Tapi, jika
tidak, mereka tidak akan memperoleh kemuliaan sebuah pertempuran,
pahala pejuang, dan harta rampasan. Bahkan mereka akan mendapat
pidana atas dalih mereka, jika mereka bohong dari dalihnya.
Meski demikian adanya, akhirnya penggalian parit dapat terse-
lesaikan juga. Pasukan Quraisy datang dengan kekuatan lebih
10.000 personil yang terdiri dari pasukan Tihamah, Kinanah, dan
prajurit-prajurit tempur Najd yang gagah-perkasa dengan dipelopori
jagoan-jagoan Ghathafan.
Pasukan perang yang tergabung dari berbagai golongan itu bermar-
kas di sebuah puncak bukit yang langsung mengarah ke kota Madinah.
Sedangkan Muhammad menempatkan pasukannya di depan tembok-
tembok pagar yang ada di antara dia dan pasukan musuh yang terpisah
sebuah parit buatan yang cukup dalam dan luas.
Sampai malam menjelang, kedua pasukan masih belum terlibat
pertempuran.
Huyay bin Akhthab, seorang pemimpin Bani Nadhir yang terusir,
melompati sebuah pagar untuk menemui Yahudi Bani Quraizhah yang
berlindung di balik tembok pagar mereka di pinggiran kota Madinah,
jauh dari parit itu dan kedua pasukan yang sedang berbenah diri.
Meskipun Yahudi Bani Quraizhah terikat dengan piagam perjan-
jian persekutuan dengan Muhammad, tapi Bani Quraizhah mengambil
keputusan untuk tidak memerangi siapa pun, selain orang-orang yang
menyerbu mereka di balik tempat-tempat perlindungan mereka.
Ka‘ab bin Asad, seorang pemuka Quraizhah, segera menyambut
kedatangan Huyay bin Akhthab An-Nadhari itu.
“Aku datang kepadamu dalam masa yang teramat sulit saat meng-

416 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


hadapi gelombang bencana. Aku datang kepada­mu dengan orang-orang
Quraisy dan orang-orang Ghathafan dengan segenap pembesar dan
pemimpin mereka. Antara aku dan mereka terjalin perjanjian (kon-
trak) untuk tidak tinggal diam, hingga dapat membasmi Muhammad
dan orang-orang yang mengikuti ajarannya,” demikian ucap Huyay bin
Akhthab kepada temannya, Ka‘ab bin Asad.
Huyay terus membujuk Ka‘ab agar mengambil sikap kontra saja
kepada Muhammad, tetapi Ka‘ab bin Asad menolak dengan alasan
tidak berani untuk bersikap demikian, sebab jika pasukan Quraisy
dan pasukan Ghathafan telah pulang dari pertempuran dan mereka
tidak berhasil mengalahkan Muhammad, sudah pasti Muhammad akan
menghajar Bani Quraizhah habis-habisan.
“Biarkan saja aku tetap pada sikapku, sebab aku menilai Muham-
mad sangat jujur dan menjaga perjanjian,” tolak Ka‘ab.
Tapi Huyay tetap tak putus asa. Dia terus membujuk Ka‘ab dengan
menyatakan bahwa jika mereka berhasil merobohkan Muhammad dan
pengikut-pengikutnya hingga ke akar-akarnya, maka suasana kehidupan
mereka yang bergelimang harta kekayaan di masa lalu itu akan dapat
mereka nikmati kembali.
Selanjutnya, Huyay mengiming-imingi Ka‘ab dengan imbalan sepa-
ruh kekayaan Madinah, jika mau bergabung ke dalam pasukan Quraisy.
Mereka nantinya akan dapat menguasai Madinah seluruhnya. Huyay
berjanji akan masuk ke benteng-benteng mereka, hingga dirinya akan
merasakan juga penyerbuan Muhammad jika pasukan gabungan Quraisy
kalah dalam pertempuran nanti.
Desakan demi desakan, bujukan demi bujukan, akhir­nya Huyay bin
Akhthab berhasil mempengaruhi pimpinan Bani Quraizhah itu. Ka‘ab,
pemimpin Bani Quraizhah, kini dengan tegas menyatakan keterlepas-
annya dari pakta persekutuan dengan Muhammad dan selanjutnya
menyata­kan bergabung dengan pihak musuh.
Ketika mendengar komunike yang dikeluarkan oleh Ka‘ab itu,
Muhammad sangat terkejut, karena pada saat itu Muhammad meng-
hadapi pasukan tempur yang terdiri dari prajurit-prajurit gabungan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 417


berkekuatan puluhan ribu di depan, sementara posisi di belakang
menghadapi ancaman pasukan tempur Bani Quraizhah. Bagaimana
mungkin memerangi mereka?
Sa‘ad bin Mu‘adz, pemimpin suku Aus yang pernah jadi sekutu
sekaligus pelindung Bani Quraizhah; dan Sa‘ad bin Ubadah, seorang
pimpinan suku Khazraj dan beberapa orang teman mereka, menghadap
Muhammad menyaran­kan agar mengecek kebenaran pernyataan Ka‘ab
yang sampai kepada dirinya.
Jika Bani Quraizhah tetap memegang teguh pakta persekutuan,
maka hendaknya mereka menampakkan sikap secara nyata di hadapan
orang-orang. Jika benar-benar telah membelot dari pakta persekutuan
tersebut, maka hendaknya mereka menyatakan dengan tegas pula,
hingga tidak terjadi kesimpang-siuran berita.
Orang-orang yang ditugaskan oleh Muhammad pun berangkat un-
tuk menemui Bani Quraizhah yang sedang bersembunyi di balik ben-
teng mereka. Sa‘ad bin Mu‘adz, sekutu dan pelindung mereka dulu,
menanyakan perihal kebenaran informasi yang telah sampai kepada
Muhammad.
“Antara kita dan Muhammad sudah tidak ada ikatan apa-apa dan
tidak ada perjanjian apa-apa,” jawab mereka kepada Sa‘ad.
Sa‘ad bin Mu‘adz berusaha menyadarkan mereka akan resiko
yang akan diterima atas pembelotan dari pakta persekutuan yang
telah mereka jalin bersama Muhammad. Sa‘ad meminta mereka agar
tetap mau menjadi sekutu dengan segala kejujuran sebagaimana
di masa-masa yang lalu dan tetap mau menjaga daerahnya, agar
mereka tidak mengecewakan Muhammad dalam posisi sulit saat ini.
Tapi ternyata Sa‘ad mendapatkan Bani Quraizhah jauh lebih jelek
dari perkiraannya. Sa‘ad marah sekali kepada mereka. Akhirnya, ter-
jadilah cekcok antara Sa‘ad dengan mereka.
Sa‘ad meninggalkan mereka dan teman-temannya dengan hati
kesal.
“Biarkan saja mereka mengumpat dirimu, sebab kalau mereka

418 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dilayani, maka hanya akan menambah kian ramainya percekcokan di
antara kita dengan mereka,” Sa‘ad bin Ubadah berusaha menyadarkan
Sa‘ad bin Mu‘adz.
Akhirnya, mereka yang diutus menemui Bani Quraizhah pulang
kembali menyampaikan hasil investigasi mereka. Dengan tegas mereka
menyampaikan, bahwa Bani Quraizhah benar-benar telah membelot
dan khianat kepada Muhammad. Muhammad mengerti betul tentang
indikator itu.
Sa‘ad bin Mu‘adz mengusulkan kepada Muhammad agar memberikan
pelajaran kepada Bani Quraizhah. Serang saja langsung ke benteng-
benteng mereka yang mempunyai peluang untuk menusuk orang-orang
Islam dari belakang. Sementara pasukan-pasukan pemanah tetap men-
empati posisi di depan tembok-tembok pagar untuk menghadapi serbuan
pihak gabungan musuh-musuh itu dengan anak-anak panah, jika musuh
itu mendekat, sebab rasa-rasanya parit buatan tersebut cukup mampu
menahan serbuan lawan.
Tapi, usul tersebut ditolak oleh Muhammad. Masalahnya, Muham-
mad menginginkan tetap mengerahkan seluruh kekuatan pasukannya
untuk menghadapi pasukan musuh yang tergabung dari berbagai suku
itu. Muhammad akan membebankan tanggung jawab pertempuran
kepada Bani Quraizhah, jika mereka berani meninggalkan benteng-
benteng mereka dan melakukan penyerbuan kepada orang-orang Islam
secara mendadak dari belakang saat terjadi pertempuran nanti.
Tentara-tentara pasukan musuh yang tergabung dari berbagai suku
bergerak mendekati parit. Beberapa ribu orang pasukan pemanah
melepaskan anak-anak panah mereka ke arah pasukan Islam secara
serentak.
Pasukan gabungan itu jumlahnya jauh lebih besar. Sungguh, kebesa-
ran jumlah mereka sangat mengerikan. Pasukan pemanah orang-orang
Islam kewalahan meng­hadang serbuan musuh. Akhirnya, Muhammad
memerintah­kan mereka agar mundur dari posisi mereka di atas tem-
bok-tembok pagar Madinah, untuk selanjutnya mereka ber­lindung di
balik tembok-tembok pagar, namun mereka dipe­rin­tah­kan agar tetap

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 419


mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghajar tentara-tentara
musuh dengan anak-anak panah mereka.
Hanya saja, serbuan pasukan musuh yang datang laksana badai
yang dahsyat dan mengepung tembok-tembok pagar, menimbulkan
rasa ngeri dan takut di hati kebanyakan orang-orang Islam. Pasukan
Islam hanya berjumlah 3.000 personil, lengkap dengan kuda-kuda,
peralatan perang, dan unta-unta mereka yang terlatih.
Orang-orang Islam khawatir akan datangnya serbuan dari Bani
Quraizhah yang melihat adanya peluang strategis. Selanjutnya, mereka
mengepung dari posisi belakang atau merusak rumah-rumah yang sepi
dari kaum pria dari pinggiran kota Madinah.
Terdengar suara lantang melengking dari markas pasukan Islam:
“Muhammad berjanji kepada kita semua akan memberikan sebuah
kesempatan untuk merebut harta kekayaan kaisar Persia dan kaisar
Romawi. Padahal hari ini, tak seorang pun dari kita merasakan aman
atas dirinya, walaupun hanya sekedar untuk pergi ke jamban,” ujarnya.
Suara-suara sumbang yang lain juga terdengar.
“Rumah kita saat ini sedang kosong, tak berpenghuni. Karena itu,
izinkanlah kita keluar dari barisan tempur, sebab percuma saja terjun
ke medan pertempuran dalam keadaan batinnya merasa tertekan dan
terpaksa.”
Muhammad menyadari betul, sebagian orang-orang Islam dilanda
rasa takut. Oleh karena itu, dia mengizinkan orang yang ingin pulang
ke rumahnya. Ini lebih baik daripada bertahan di barisan pasukan,
namun hanya kian menebarkan kekalahan. Biarlah, orang-orang yang
mampu menghadapi bahaya dan benar-benar menginginkan mati syahid
saja yang tetap bertahan di barisan pasukan.
Sambil bergumam, Muhammad mendatangi barisan pasukannya:
“Mudah-mudahan Allah mengampuni dirimu. Mengapa dirimu memberi
izin kepada mereka,” demikian kata-kata yang terlontar dari mulutnya.
Dia katakan untuk dirinya sendiri.
Setelah mengamati secara seksama, dia melihat dampak keputu-
sannya justru lebih baik untuk membersihkan barisan pasukannya dari

420 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


personil-personil yang bermental lemah.
Selanjutnya, dia membacakan ayat kepada mereka:

“(13) Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: ‘Hai pen-
duduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu.’ Dan
sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan
berkata: ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan
rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak
lari. (14) Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada
mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerja­kannya; dan mereka tiada
akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat. (15)
Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah: ‘Mereka
tidak akan berbalik ke belakang (mundur).’ Dan adalah perjanjian dengan
Allah akan diminta pertanggungan jawabnya. (16) Katakanlah: ‘Lari itu
sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian
atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga
akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.’ (17) Katakanlah: ‘Siapakah
yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana
atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?’ Dan orang-orang munafik
itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah. (18)
Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di
antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya:
‘Marilah kepada kami.’ Dan mereka tidak men­datangi peperangan melainkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 421


sebentar.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 13-18)
Muhammad mengumpulkan para komandan pasukan­nya, meminta
saran dan pandangan mereka dalam meng­hadapi kondisi yang sulit dan
terjepit seperti ini.
Terlintas dalam pikiran Muhammad akan melakukan politik pecah-
belah terhadap kesatuan pasukan musuh. Bukankah sebuah pertem-
puran itu penuh dengan tipu-daya?
Muhammad bermaksud akan menawarkan perdamaian sendiri
kepada pasukan yang berasal dari Najd, dengan suatu tawaran, jika
mereka mau pulang kembali, maka mereka akan memperoleh imbalan
berupa sepertiga buah-buahan Madinah. Pasukan Najd yang dipimpin
oleh suku Ghathafan menyambut tawaran itu dengan gembira. Konsesi
tersebut hanya tinggal menunggu tanda tangan Muhammad.
Muhammad juga mengumpulkan orang-orang untuk memperoleh
kesamaan pendapat. Dia menjelaskan kepada mereka mengenai usul
yang diajukan kepada pasukan Najd. Orang-orang yang hadir menyam-
but penyelesaian yang ditempuh Muhammad dengan senang hati,
sebab jika pasukan Najd pulang dan melucuti pasukan mereka, maka
berarti kekuatan pasukan orang-orang Islam akan kian bertambah kuat
menghadapi sisa pasukan musuh, walaupun sisa pasukan musuh masih
jauh lebih besar.
Tapi Sa‘ad bin Mu‘adz, seorang pemuka suku Aus, dan Sa‘ad bin
Ubadah, seorang pemuka suku Khazraj, keduanya maju mendekat
kepada Muhammad penuh emosi.
“Rasulullah, apakah tindakan itu hanya merupakan kecenderun-
ganmu, lalu engkau memutuskannya ataukah memang merupakan
perintah Allah yang mau tidak mau harus kita laksanakan, ataukah
memang engkau ambil semata-mata untuk kepentingan kita?” tanya
kedua pemuka tersebut kepada Muhammad.
“Semua ini kulakukan untuk kepentingan kalian. Demi Allah, aku
tidak melakukan semua ini, selain karena aku melihat seluruh bangsa
Arab sudah serentak hendak memanah kalian dan mengepung kalian
dari berbagai penjuru. Karena itu, aku bermaksud memecah-belah

422 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kekuatan mereka, apa pun resikonya,” jawab Muhammad menanggapi
pertanyaan kedua tokoh Aus dan Khazraj itu.
“Tapi bukankah warga Najd itu tidak bisa memakan buah-buahan
Madinah barang satu pun, terkecuali jika mereka telah membelinya
atau jika merupakan hidangan yang disuguhkan kepada mereka? Lantas
bagaimana jika sepertiga buah-buahan Madinah diserahkan kepada
mereka?” tanya Sa‘ad bin Mu‘adz keberatan.
Sepertiga buah-buahan Madinah? Tidak. Tidak setuju.
“Demi Allah, kita tidak akan pernah memberi, selain mata pedang
kepada mereka,” ujar Sa‘ad geram.
Selanjutnya, Sa‘ad mengambil lembaran konsep per­setujuan
damai, lalu menghapus isi yang tertera di atasnya sambil berkata:
“Tidak. Biarkan saja mereka mengerahkan seluruh kekuatan mereka
untuk menghadapi kita.”
Pasukan yang berasal dari suku Najd siap bertempur di samping
pasukan sekutu yang lain. Masing-masing kelompok pasukan bersiap-
siap juga untuk memulai penyerbuan. Sejumlah pasukan berkuda
bergerak maju, mencari suatu lokasi parit yang sempit sebagai tempat
penyeberangan.
Setelah cukup lama mereka mencari-cari bagian dari parit yang
mungkin dilewati, akhirnya mereka menemukan juga lokasi itu. Lang-
sung saja, mereka menggebrak kuda-kudanya. Derap kaki-kaki kuda
terdengar gemuruh, menyerbu ke lokasi tersebut.
‘Ali bin Abi Thalib mengetahui, pasukan berkuda musuh berusaha
menyeberang lokasi bagian parit yang sempit itu. ‘Ali mengomando
beberapa orang anggota pasukan Islam untuk menghadang pasukan
kuda agar tidak menyeberang parit.
Tempat itu memang tidak dapat dilewati selain oleh seekor kuda
saja, tapi ‘Ali punya dugaan kuat, jika mereka membiarkan tempat
tersebut tanpa adanya penjagaan ketat, sudah tak mustahil lagi ratusan
pasukan kuda akan melewatinya secara bergiliran.
Adapun orang yang memimpin sekawan pasukan kuda yang menye-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 423


berangi parit itu adalah seorang penunggang kuda Quraisy yang sangat
ahli, namanya ‘Amr bin ‘Abdu Wudd.
‘Ali menantang ‘Amr untuk berduel.
“Mengapa ‘Ali? Aku tidak ingin membunuhmu,” ucap ‘Amr kepada
‘Ali.
“Tapi aku, demi Allah, ingin sekali membunuhmu,” jawab ‘Ali
sambil maju dengan suara lantang,
Maka terjadilah pertarungan di antara mereka berdua. ‘Ali yang
lebih dulu melancarkan serangannya, berhasil menghabisi riwayat
hidup ‘Amr.
Selanjutnya, ‘Ali mengomando beberapa orang prajurit muslimin
agar menyerang pasukan berkuda musuh yang berusaha melintasi
parit itu. ‘Ali dan anak buahnya berhasil memukul mundur mereka.
Kuda-kuda mereka banyak yang lari terbirit-birit menjauh dari parit.
Ketika itu ‘Ali melakukan suatu tindakan sebagaimana serangan yang
pernah dilakukan oleh Hamzah di lembah Badar.
Orang-orang Islam mengenang lagi peristiwa pertem­puran di
lembah Badar dan kemenangan gemilang yang diraih mereka di sana
dengan melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa seperti ini.
Mereka ingin mengembalikan kekuatan internal yang luar biasa,
yang telah memberikan sebuah kemenangan bagi mereka di lembah
Badar.
Kini tak ada lagi prajurit-prajurit musuh yang berani melewati
parit itu. Pasukan musuh untuk sementara waktu, tinggal di perke-
mahan mereka di seberang parit, mencari cara lain untuk melakukan
serangan yang dapat membawa maut.
Abu Sufyan, panglima pasukan Quraisy, memutuskan untuk men-
embakkan anak-anak panah itu. Jika berhasil mengenai sebagian dari
pasukan muslim, maka pasukan Quraisy dan seluruh tentara gabun-
gannya akan dapat melewati lokasi sebagian dari parit yang sempit
itu secara bergiliran. Selanjutnya, pasukan Quraisy memadati parit
itu dari berbagai arah yang terpencar-pencar, agar prajurit-prajurit

424 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Quraisy yang lainnya dapat melewati parit itu juga.
Agresi utama yang dilakukan mereka adalah diarah­kan pada ksa-
tria-ksatria Muhajirin dan bangsawan-bangsawan Madinah. Kalau
mereka sudah gugur semua, maka untuk menaklukkan yang lainnya
merupakan perkara yang mudah.
Muhammad telah menginstruksikan kepada para prajurit agar
tidak menampakkan diri kepada pihak pasukan Quraisy, kecuali jika
mengenakan baju tempur dengan lengkap yang mereka rampas dari
Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, dan Bani Musthaliq.
Tapi Sa‘ad bin Mu‘adz secara berani menampakkan diri kepada
mereka dengan baju besi pendek, tanpa kedua lengan. Begitu Sa‘ad
terlihat oleh pasukan pemanah Quraisy, sebuah anak panah meluncur,
jatuh melesat tepat pada lengan Sa‘ad.
Muhammad memerintahkan agar Sa‘ad bin Mu‘adz dibawa pulang
ke Madinah untuk mendapatkan terapi dari seorang perempuan yang
ahli dalam bidang pengobatan.
Malam yang kian kelam menyelimuti Madinah lagi dan sekitarnya.
Orang-orang Quraisy mencari langkah-langkah yang tepat untuk dapat
melewati parit itu. Sementara itu, orang-orang Islam mengadakan pen-
jagaan di lokasi bagian parit yang sempit itu dengan cara bergantian.
Pada suatu malam seorang anggota pasukan kuda lainnya beru-
saha menerobos lokasi parit yang sempit itu, tapi nasib sial menimpa
dirinya. Kudanya berperosok ke dalam parit. Anggota pasukan kuda
lainnya yang mengiringi juga ikut terperosok, maka secara spontanitas
turunlah hujan batu menghantam mereka dari atas parit.
Pasukan kuda lainnya yang di komando ‘Ikrimah bin Abu Jahal
berteriak: “Lokasi parit yang sempit ini tidak strategis untuk dilalui
lagi. Pasukan Muhammad menggali lagi di bawah kegelapan malam.”
Mendengar suara teriakan tersebut, Muhammad memerintahkan
kepada para prajurit pemanah agar meluncurkan anak panahnya ke
arah suara itu, sedang Muhammad sendiri meluncurkan anak panahnya
ke arah ‘Ikrimah bin Abu Jahal. Anak panah melesat mengenai sasaran

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 425


yang dituju, yaitu ‘Ikrimah; dan otomatis ia tewas seketika itu pula.
Pasukan Quraisy tak punya cara lain lagi untuk menyerbu parit itu.
Saat ini satu-satu cara yang dapat dilakukan adalah mengupayakan
orang Islam agar terpancing untuk segera keluar melewati parit itu,
lalu bertempur ke arena terbuka di padang pasir yang luas.
Abu Sufyan mengirim surat kepada Muhammad. Dalam suratnya,
Abu Sufyan menuduh Muhammad sebagai pengecut, karena Muham-
mad menggunakan taktik perang yang belum dikenal oleh orang-orang
Arab, yaitu berlindung di balik parit. Kalau Muhammad memang jantan,
temui saja mereka di lapangan yang terbuka luas.
Setelah membuka isi surat Abu Sufyan, Muhammad tersenyum,
kemudian Muhammad membalas surat Abu Sufyan, bahwa ia akan
keluar menemui mereka dalam waktu dekat, untuk menggilas habis-
habis patung-patung dan berhala Quraisy.
Muhammad menghimbau kepada para prajurit agar tetap bertahan
pada posisinya dan bersabar saja. Di belakang mereka ada Madinah
yang tak kurang dengan pangan, air, dan perbekalan, sedangkan pihak
pasukan Quraisy berada di tengah padang terbuka. Di antara mereka
dan pusat perbekalan terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Mereka
tak akan mampu bertahan lebih lama lagi.
Biar saja pasukan bersabar saja untuk sementara waktu, hingga
pasukan Quraisy tertimpa siksa kekurangan stok persediaan pangan
dan air. Muhammad menduga mereka pasti akan mengutus sebagian
anggota pasukan mereka untuk mencari perbekalan. Dia akan keluar
untuk menyerbu mereka pada waktu yang sangat tepat. Orang-orang
Islam berusaha bersabar, karena senjata yang paling ampuh pada hari
ini hanyalah kesabaran.

426 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Kesuksesan
yang
membangkitkan konfidensi

J
ika prajurit-prajurit tangguh yang beribu-ribu
jumlahnya tak mampu melewati parit untuk
menyergap pasukan Muhammad dari berbagai penjuru, maka
eksistensi kuantitasnya sia-sia. Jika harus menghadapi tentara-tentara
satu lawan satu, apa istimewa­nya mereka? Ketiga ribu prajurit yang
dikerahkan Muhammad di depan tembok-tembok Madinah, mereka
semuanya sungguh menginginkan terjadinya pertempuran. Jika demiki-
an, tentara Quraisy hendaknya melepaskan ketiga ribu jagoannya juga.
Mungkin sekali ketiga ribu jagoan Quraisy itu akan dapat dibunuh semua
oleh prajurit-prajurit Muhammad. Sementara sisa tentara gabungan
Quraisy, pasti akan menarik diri dan menyerah angkat tangan.
Lamanya masa pengepungan menyebabkan timbulnya kejenuhan
di hati orang Quraisy. Perbekalan mereka kian menipis, sedangkan di
belakang prajurit-prajurit muslim terdapat Madinah yang menyediakan
kebutuhan-kebutuhan perbekalan mereka.
Ghathafan berharap konsensi perdamaian dengan Muhammad

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 427


menemukan titik akhir penyelesaian yang dapat diterima Muhammad.
Tapi sayangnya, konsensi perdamaian itu ditarik kembali.
Bahkan Bani Sulaim yang datang dengan pasukan kuda mereka
dengan semangat ingin menuntut balas dendam atas kekalahan dalam
pertempuran yang lalu, mulai berpikir akan menarik pasukan mereka
juga, sejak melihat persediaan logistik mereka mulai menipis dan
kuda-kuda mereka mulai tampak kurus, lantaran kekurangan rumput-
rumput hijau.
Muhammad telah menyusun konsep strategi pertem­puran yang
sangat cantik dalam menghadapi kekuatan musuh yang tidak berimbang
ini. Dia telah mencabut seluruh tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan
serta semua daun-daunan yang menghijau dari berbagai lokasi yang
akan ditempati pihak lawannya. Dia juga membuat sebuah permainan
baru dalam menciptakan kegagalan agresi, yaitu mengatur makanan
dan tempat penggembalaan untuk tentara dan kuda-kuda mereka.
Bani Quraizhah tidak melakukan penyerbuan lagi. Mereka
menunggu kesempatan penyerbuan secara totalitas dan menyeluruh.
Sementara itu, Abu Sufyan kebingungan, tidak mampu bersabar atas
pengepungan. Dia terus ber­upaya untuk memancing pasukan muslim
agar mau mening­galkan posisi mereka di balik parit itu dan mau terjun
ke kancah pertempuran di arena terbuka di hadapan kekuatan pasukan
gabungan Quraisy sebagaimana di lembah Uhud.
Abu Sufyan merasa kejemuan dalam pengepungan yang berkepan-
jangan ini, sangatlah berdampak negatif dan kurang menguntungkan
pada rasa antusias tempur anggota pasukannya. Dan yang sangat
dikhawatirkan, anak buahnya akan mundur secara tiba-tiba. Hal ini
jelas akan memaksa dirinya untuk menarik diri juga dengan seluruh
kekuatan pasukan tempurnya.
Muhammad tidak akan memberi ampunan lagi kepada mereka atas
usaha-usaha mereka yang gagal ini. Namun yang pasti, Muhammad
akan memutus jalur perdagangan Quraisy ke Syam.
Di hati Abu Sufyan terlintas beberapa saat akan menawarkan per-
damaian dengan Muhammad secara rasional agar memberi kesempatan

428 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


bagi pasukan Quraisy untuk menarik diri dari Madinah tanpa harus
menanggung kekalahan. Abu Sufyan akan menawarkan juga perjanjian
kepada Muhammad agar tidak mengganggu rute perjalanan dagang
Quraisy.
Tapi, gagasan Abu Sufyan hanya dipendam dalam benaknya. Dia
tidak berani mengungkapkan hal itu kepada sekutu-sekutunya, sebab
kalau sampai meminta per­timbangan kepada sekutu-sekutunya, maka
Abu Sufyan khawatir bahwa mereka akan menghadap Muhammad untuk
menyatakan kepatuhan mereka, lalu bersekutu dengan Muhammad
dalam mengadakan aksi penyerbuan kepada pihak Quraisy. Kondisi
semua ini jelas akan amburadul.
Muhammad mengetahui apa yang sedang terjadi di perkemahan
pasukan musuh. Karena itu, dia menyarankan kepada semua praju-
ritnya agar senantiasa bersabar, sebab kesabaran itulah yang akan
membawa kemenangan di akhir pertempuran.
Pemuka-pemuka pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya berkumpul,
mengadakan suatu sidang, sebab yang jelas bagi mereka bahwa kondisi
sikap menunggu terus-menerus sama sekali tidak menguntungkan mer-
eka. Dengan demikian, dari hari ke hari mereka akan selalu terdesak
oleh pengaduan kebutuhan logistik. Kuda-kudanya pun akhirnya akan
mati kelelahan lantaran kesulitan mencari rerumputan segar.
Kini mereka yakin, strategi yang ditempuh Muhammad adalah sabar
dan menunggu. Demikianlah karena Muhammad tidak pernah menga-
dakan pertempuran dengan pihak musuh yang berjumlah puluhan ribu
personil di arena pertempuran terbuka dengan kekuatan pasukannya
yang hanya berjumlah 3.000 personil.
Jika demikian, mereka harus melakukan penyerbuan ke parit itu
seorang demi seorang. Selanjutnya, mereka harus bertempur dengan
tentara-tentara Muhammad satu lawan satu. Bagi mereka, hanya ini
saja satu-satunya alternatif. Tapi siapakah gerangan orang yang akan
memulai dari pihak pasukan sekutu?
Tentunya, jagoan-jagoan Quraisylah yang harus maju terlebih
dahulu. Lantas mengapa yang maju duluan bukan terdiri dari jagoan-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 429


jagoan Ghathafan atau jagoan-jagoan Bani Sulaim?
Pada saat mereka terlibat perdebatan serius yang hampir-hampir
memancing emosi mereka, tiba-tiba datanglah beberapa prajurit Mu-
hammad dari balik parit meneriakkan sebuah ajakan untuk mengikuti
jalan kebe­naran agar mereka mau beriman kepada agama luhur ini
dan menarik diri secara damai. Namun ajakan itu dirasakan oleh Abu
Sufyan sebagai penghinaan dan pelecehan.
Dalam kondisi terkepung oleh kekuatan pasukan musuh yang tak
terbilang jumlahnya, Muhammad masih punya keberanian untuk me-
nyampaikan seruan-seruannya kepada orang-orang agar mau memeluk
agama yang diajarkannya dengan penuh optimisme bahwa mereka
akan meraih kemenangan. Jika mereka beriman kepada ajakan Mu-
hammad, apakah kiranya dia akan memberikan keaman­an bagi hidup
mereka sebagaimana andaikata jadi tawanan?
Abu Sufyan menolak ajakan Muhammad. Bahkan dia menuduh Mu-
hammad sebagai pengecut. Ia juga menantang Muhammad agar mau
keluar bersama seluruh pasukannya dari balik parit untuk bertarung
dengan pasukan gabungan di arena terbuka, sebagaimana di lembah
Uhud pada waktu yang silam.
Sementara itu, Muhammad tetap tidak menghentikan seruan-seru-
annya kepada prajurit-prajurit pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya
agar mau beriman kepada ajarannya dan mau menjadikannya sebagai
landasan pergaulan sosial di antara mereka. Mereka dihimbau agar
menyatakan beriman secara terang-terangan, lalu mereka boleh pulang
kembali ke tengah keluarga mereka dalam keadaan selamat.
Muhammad mengarahkan juga seruan-seruannya kepada Bani
Quraizhah yang berlindung di balik benteng-benteng pertahanan mer-
eka dalam keadaan menunggu peluang yang tepat untuk melakukan
agresi. Tapi ajakan dan seruan-seruan Muhammad hanyalah mendapat
jawaban yang bersifat meremehkan, melecehkan, dan mengungkit-
ungkit kekalahannya di lembah Uhud serta ancaman pembasmian
terhadap dirinya dan pengikutnya.
Pemimpin-pemimpin Yahudi memperbaharui janji-janji mereka lagi

430 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kepada pimpinan pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya. Mereka men-
janjikan kepada pemuka pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya akan
menyerahkan harta kekayaan Madinah, jika Madinah dapat dirobohkan.
Mereka menjanjikan juga akan memberi tambahan harta lagi. Para
pemuka Ghathafan yang sudah tak sabar lagi menunggu, mem­­bisikkan agar
mau bersabar dan berusaha kembali untuk me­nye­berangi parit dengan
menggunakan kuda, lalu menyerbu kembali pasukan muslim. Mereka
akan memberi imbalan berupa separuh perkebunan Khaibar yang kaya
dengan buah-buahan kepada Ghathafan, jika berhasil dalam agresi itu.
Tapi bagi Bani Ghathafan tidak ada jalan lagi untuk melakukan
agresi melalui parit, sebab ‘Ali bin Abi Thalib telah siap di balik parit
itu memimpin pasukannya untuk mempertahankan Madinah dan akan
meremukkan orang-orang yang coba-coba berani menyerangnya, se-
bagaimana dilakukan oleh Hamzah dalam mempertahankan sumber
mata air di lembah Badar pada waktu yang silam.
Dalam menghadapi pertempuran ini, Muhammad dan pasukannya
yang jelas dilandasi oleh semangat tempur sebagaimana pertempuran
di lembah Badar.
Tapi, apakah demi sebuah keuntungan materi, pemuka-pemuka
Bani Ghathafan akan berani menghadapi berbagai resiko? Tidak pernah
terlintas dalam pikiran mereka untuk mendiskusikan ajakan Muham-
mad.
Bani Ghathafan berusaha mengadakan perundingan dengan Mu-
hammad untuk menarik diri dari pertempuran dengan imbalan berupa
sepertiga daerah perkebunan. Muhammad sebenarnya sudah menyetu-
jui rencana perun­dingan tersebut. Hanya saja pemuka-pemuka suku
Aus dan Khazraj sangat keberatan terhadap konsensi damai tersebut.
Mengapa mereka tidak menawarkan perundingan damai dengan syarat-
syarat yang bisa diterima oleh pemimpin suku-suku di Madinah?
Seorang pemimpin Bani Ghathafan, Nu‘aim bin Mas‘ud datang
secara sembunyi-sembunyi menemui Muhammad. Kali ini Nu‘aim
menemui Muhammad bukan sebagai mediasi. Dia menghadap Muham-
mad membawa suatu pernyataan tentang rencana penggagalan per-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 431


tempuran dan keinginan­nya untuk menarik diri dengan tanpa syarat.
Alasannya, karena setelah dia mempertimbangkan masak-masak,
akhirnya dia beriman kepada ajaran Muhammad.
Nu‘aim adalah seorang laki-laki yang punya keluasan pandangan
kritis dan berpikiran brilian. Namun beberapa orang shahabat Muham-
mad punya suatu kekhawatiran, bahwa kedatangan Nu‘aim adalah
sebagai suatu siasat dan taktik belaka. Karena itu, para shahabatnya
menyarankan Muhammad agar berhati-hati dan menyelidiki secara
seksama dalam rangka menjajaki kesungguhan Nu‘aim tersebut.
Tapi dengan cara atau tipudaya bagaimana Nu‘aim dapat men-
datangi perkemahan Islam seorang diri?
Rupanya, Muhammad telah menjajaki kejujuran Nu‘aim. Karenalah
itulah, dalam keadaan bagaimanapun Muhammad tidak perlu merasa
khawatir lagi kepadanya.
“Rasulullah, sesungguhnya kaumku tidak mengetahui keislamanku.
Karena itulah, silakan engkau lakukan apa saja yang engkau inginkan
terhadap diriku,” ucap Nu‘aim.
“Engkau adalah satu-satunya orang yang seperti itu di tengah-
tengah kita. Karena itu, pengaruhilah mereka agar tidak sampai me-
nyerang kita, karena pertempuran itu penuh tipudaya,” demikianlah
jawab Rasulullah kepada Nu‘aim.
Dengan segala kepandaiannya, Nu‘aim menemui Bani Quraizhah.
Dia katakan kepada mereka: “Kalian semua telah tahu betapa aku
sangat mencintai kalian.”
“Kita memang tidak menaruh rasa curiga sama sekali kepadamu,”
ucap mereka.
Dengan sikap lemah-lembut, Nu‘aim berkata kepada mereka:
“Sebenarnya orang-orang Quraisy dan Ghathafan tidaklah sama den-
gan kalian semua, sebab negeri ini adalah negeri kalian yang menjadi
tempat penyimpanan harta dan istri-istri kalian. Orang-orang Quraisy
dan Ghathafan tidak sama dengan kalian, sebab harta kekayaan dan
istri-istri mereka berada di negeri mereka. Jika di sini berada dalam

432 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


posisi terjepit, mereka akan pulang kembali ke negeri mereka. Mereka
akan membiarkan kalian menghadapi Muhammad. Yang pasti, kalian
tidak akan mampu menghadapi Muhammad, jika Muhammad langsung
berhadapan dengan kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian memer-
angi Muhammad bersama dengan mereka, hingga kalian mengambil
beberapa pemuka mereka yang harus tinggal di sisi kalian sebagai suatu
jaminan agar mereka tidak khianat kepada kalian dan tidak mundur
begitu saja,”
Setelah itu Nu‘aim mendatangi orang-orang Quraisy dan kaumnya,
yaitu Ghathafan. Dia mengatakan kepada mereka: “Aku mendapat
suatu informasi penting yang harus kalian rahasiakan baik-baik.”
Selanjutnya, Nu‘aim mengemukakan informasi yang sangat pent-
ing itu kepada mereka. Informasi yang dia terima menyatakan bahwa
Yahudi Bani Quraizhah menyesal sekali telah mengambil keputusan
menentang Muhammad. Untuk itulah, mereka mengirimkan utusan
kepada Muhammad untuk mengadakan perjanjian damai dengan jami-
nan mereka mau menyerahkan kepala pemuka-pemuka Quraisy dan
Ghathafan kepada Muhammad.
Selanjutnya, Nu‘aim menutup pembicaraannya: “Jika orang-orang
Yahudi mengirim utusan kepada kalian untuk meminta beberapa
orang bangsawan sebagai suatu jaminan, maka janganlah kalian
mau menyerahkan salah seorang di antara para bangsawan kalian,
meskipun itu hanya satu orang.”
Setelah pagi hari tiba, Abu Sufyan mengutus seseorang untuk men-
emui Bani Quraizhah, memerintahkan kepada mereka agar melakukan
penyerbuan kepada Muhammad. Tapi Bani Quraizhah menolak perintah
Abu Sufyan sambil mengatakan: “Kita tidak mau berperang melawan
Muhammad dalam barisan kalian, sebelum kalian memberikan jaminan
beberapa orang bangsawan di antara kalian yang harus tinggal bersama
kita agar kita yakin akan kesungguhan kalian. Sebab kita khawatir
sekali, kalian akan menarik diri dari kancah pertempuran apabila
pertempuran terasa memberatkan kalian, sedangkan di negeri kita,
tak seorang pun mampu menghadapi Muhammad.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 433


Rupanya saran Nu‘aim dipegang erat oleh Quraisy dan Ghathafan.
Mereka menolak untuk menyerahkan bangsa­wan mereka kepada Banu
Quraizhah, betapapun hanya satu orang.
Ketika Bani Quraizhah menerima penolakan ini, maka sema-
kin yakinlah mereka bahwa sekutu-sekutu mereka itu hanya ingin
menelan­tarkan mereka, lalu menarik diri apabila pertempuran telah
berkecamuk, persis sebagaimana yang dikemukakan oleh Nu‘aim.
Maka demikianlah, pasukan Quraisy yang tergabung dari berbagai
suku itu terpecah-pecah. Bani Quraizhah mulai dihantui kekhawati-
ran mundurnya pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya. Di kalangan
pemuka-pemuka pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya melanda
juga rasa ke­khawatiran akan adanya pengkhianatan Bani Quraizhah.
Sementara itu persediaan makanan semakin menipis dan tak ada lagi
tempat penggembalaan kuda-kuda mereka. Dalam kondisi yang sangat
kurang menguntungkan itu, di langit mendung bergulung-gulung.
Tiba-tiba tertiuplah angin kencang. Pasukan Islam berlindung di
balik pagar-pagar Madinah. Sementara itu, badai angin terus mempo-
rak-porandakan perkemahan pasukan Quraisy dan sekutunya. Banyak
sekali kemah-kemah yang berhamburan dan membuat kocar-kacir
segala perlengkapan mereka.
Kegelisahan dan kejenuhan benar-benar mencapai puncaknya.
Pada saat badai bergemuruh, Abu Sufyan berteriak kepada orang-
orang: “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, sesungguhnya kalian
semua tidaklah tinggal di tempat yang layak. Kuda-kuda dan unta
banyak mati. Bani Quraizhah telah mengkhianati janji mereka kepada
kita. Kita dihadapkan pada badai yang membuat periuk-periuk kita
kocar-kacir, tidak dapat menyalakan api; dan tak ada satu bangunan
pun yang tegak. Oleh karena itu, pulanglah kalian semua. Aku sendiri
akan pulang.” Abu Sufyan lalu pergi dan mendekati untanya, kemudian
menungganginya.
Pasukan Quraisy menarik diri dan diikuti Ghathafan dan sekutu-
sekutu yang lain. Sementara itu badai menyapu pasir-pasir di belakang
mereka, hingga bertebaran di udara, menutupi pandangan mereka
yang sedang berjalan di atas gurun pasir dengan kepala merunduk,

434 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


tubuh membungkuk di bawah tekanan batin yang hampa menanggung
keke­cewaan berat.
Ketika itu pula terdengar sorak-sorai gegap-gempita kemenan-
gan di perkemahan pasukan muslim. Muhammad berdiri menatap
tajam wajah orang-orang yang ada di se­k elilingnya dalam keadaan
antara percaya dan tidak. Bagai­m ana mungkin, Madinah terbebas
dari penge­pungan ini?
Bagaimana mungkin balatentara yang terdiri dari pasukan kuda dan
prajurit yang paling tangguh di Semenanjung Arabia dapat terkalahkan?
Mereka tak akan mampu lagi mengalahkan dirinya untuk selamanya.
Tak mungkin lagi mereka mampu mengerahkan kekuatan sebesar ini
untuk kesekian kalinya.
Dengan demikian, dirinya, ajaran, dan shahabat-shahabatnya
berarti telah selamat dalam menghadapi cobaan dan ancaman yang
teramat berat. Dakwahnya sejak hari itu menjadi sebuah ajaran baru
yang di tunggu-tunggu kedatangannya.
“Segala puji bagi Allah. Dialah yang telah menolong hamba-Nya.
Dialah yang memberikan kekuatan kepada tentara-tentara-Nya. Dialah
yang mengalahkan segerombol­an pasukan dengan diri-Nya sendiri,”
demikianlah kata-kata yang terucap dari mulut Muhammad dalam ke­
tertegunan.
Orang-orang Quraisy tak akan pernah lagi memerangi kalian semua.
Bahkan sebaliknya, kalian yang akan memerangi mereka. Kalian yang
akan memasuki Makkah, lalu kalian hancurkan patung-patung Ka‘bah.
Orang-orang Islam mengadakan persiapan untuk pulang ke rumah-
rumah mereka ke Madinah. Hati mereka diliputi oleh rasa bangga atas
kemenangan yang mereka raih. Mereka meletakkan senjata masing-
masing, kemudian pulang. Tapi di tengah perjalanan mereka saling
berbisik membicarakan persoalan di antara mereka dengan pihak
Quraizhah.
“Yah, bagaimana dengan penyelesaian Bani Quraizhah?”
Muhammad menginstruksikan kepada mereka agar jangan pulang,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 435


sebelum mengalahkan Bani Quraizhah.
Pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya telah pergi meninggalkan
Bani Quraizhah dan kini berarti nasib Bani Quraizhah harus ditentukan
sendiri olehnya.
‘Ali bin Abi Thalib tampil sebagai komandan pasukan yang akan
melakukan penyerbuan ke benteng Bani Quraizhah. ‘Ali bersumpah
akan merobohkan tembok pagar benteng Bani Quraizhah atau menemui
ajal kematiannya dalam penyerbuannya, sebagaimana kematian yang
menimpa pamannya, Hamzah.
Bani Quraizhah berlindung dalam benteng mereka. Mereka ber-
tahan, tidak mau keluar ke kancah pertempuran, sementara orang-
orang Islam memutuskan untuk meng­adakan pengepungan.
Pada suatu malam para prajurit muslim mendengar seorang laki-laki
dari balik tembok pagar berbicara dengan suara yang sangat lantang
di tengah kaumnya.
“Telah kukatakan kepada kalian semua bahwa aku tak akan pernah
melakukan pengkhianatan kepada Muhammad,” laki-laki itu berucap.
Para prajurit Islam mengenal suara laki-laki itu. Suara itu tidak
lain adalah suara ‘Umar bin Sa‘ad Al-Quradhi. Para prajurit Islam
membiarkan laki-laki itu pergi melarikan diri, bergegas menelusuri
gurun pasir berbatu di bawah gelapnya malam. Tak seorang pun tahu
ke mana laki-laki itu pergi.
Pada pagi harinya para prajurit Islam menuturkan peristiwa se-
malam kepada Muhammad.
“Dialah laki-laki yang diselamatkan oleh Allah, karena dia me-
nepati janjinya,” ucap Muhammad menanggapi penuturan shahabat-
shahabatnya.
Setelah itu tak terdengar lagi suara-suara lantang dari Bani
Quraizhah yang mengadu pendapat. Mereka semua nampaknya
telah sepakat untuk mengadakan pertempuran dengan Muhammad.
Pengepungan berlangsung selama 25 hari, kemudian pihak dari Bani
Quraizhah mengirim delegasi kepada Muhammad yang ditugaskan me-

436 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


nyampaikan suatu permohonan agar pengepungan segera dihentikan
dan mereka akan pergi sebagaimana kepergian orang-orang Yahudi
sebelum mereka.
Permohonan mereka ditolak. Alasan penolakan Muhammad,
karena persoalan Bani Quraizhah tidak sama dengan persoalan dengan
orang-orang Yahudi sebelumnya. Tindakan yang dilakukan mereka ti-
daklah sama dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi yang telah pergi itu. Jika mau, silakan saja mereka menyerahkan
diri dengan tanpa syarat. Jika tidak, maka perang pilihan satu-satunya,
hingga mereka mampu menumpas Muhammad sebagaimana mereka
merencanakan atau Muhammadlah yang akan membabat mereka
habis-habisan.
Akhirnya, Bani Quraizhah mau menerima keputusan Muhammad.
Mereka patuh kepada kebijakan Muhammad. Mereka menyerahkan diri
dengan tanpa syarat. Beberapa pemuka suku Aus melompat mendekati
Muhammad sambil berkata: “Ya Rasulullah! Mereka adalah (bekas)
saudara-saudara kami selain suku Khazraj. Sementara kemarin-kemarin
engkau telah memberi keringanan kepada Bani Qainuqa’ yang menjadi
(bekas) saudara-saudara kami dari suku Khazraj. Oleh karenanya,
berikanlah keputusan mengenai Bani Quraizhah kepada kami (suku
Aus).”
“Tidak senangkah kalian semua, wahai suku Aus, andaikata aku
angkat seorang penentu keputusan dari kalangan kalian?” tanya Mu-
hammad.
Orang-orang Aus sependapat dengan saran Muhammad, kemudian
Muhammad pun mengangkat Sa‘ad bin Mu‘adz, sang pemuka suku Aus,
sebagai penentu keputusan atas nasib Bani Quraizhah.
Banu Quraizhah juga menyambut gembira keputusan ini, yakni
bahwa nasib mereka kini ada di tangan Sa‘ad bin Mu‘adz. Demiki-
anlah, walaupun mereka dulu pernah dibuat jengkel oleh Sa‘ad bin
Mu‘adz, tatkala Sa‘ad meminta mereka agar meninggalkan sikap
pengkhianatan terhadap Muhammad. Semua itu tak lain, sebab
Sa‘ad bin Mu‘adz adalah mantan pemimpin mereka, yang mana dia

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 437


adalah seorang laki-laki adil yang tak pernah dikenal, selain sifat-
sifat kesabar­annya, pemaafnya, dan kejernihan cara pandangnya.
Sementara itu, Sa‘ad bin Mu‘adz masih belum sembuh dari lukanya.
Ia berada di kemah seorang tabib perempuan yang secara sukarela
bekerja mengobati prajurit-prajurit muslim yang terluka.
Beberapa orang Aus pergi ke kemah tempat Sa‘ad dirawat. Mereka
membawa Sa‘ad dengan seekor unta, ke tempat orang-orang Islam
yang sedang melakukan pengepungan terhadap Bani Quraizhah. Di
tengah jalan, orang-orang yang menjemput berkata kepada Sa‘ad:
“Berbuat baiklah engkau kepada (bekas) saudara-saudara­mu, karena
Rasulullah telah mengangkatmu sebagai penentu keputusan atas nasib
Bani Quraizhah, tidak lain agar engkau bersikap baik kepada mereka.”
“Kini telah tiba saatnya bagi Sa‘ad untuk tidak dicaci-maki lagi
dalam menegakkan agama Allah,” ucap Sa‘ad.
Kini Sa‘ad mengingatkan bahwa setiap orang Yahudi yang keluar
dari Madinah, berarti hal itu memerangi orang-orang yang tinggal di
Madinah. Mereka bersatu-padu di lembah Khaibar. Di sana mereka
bergabung dengan kelompok-kelompok Yahudi yang lain, menjalin
hubungan dengan berbagai suku untuk mengadakan aksi perlawanan
kepada Muhammad. Sekalipun begitu Muhammad meng­hadapi semua
ini dengan sikap baik terhadap mereka dan tetap saja mengawinkan
orang dari mereka. Bahkan Muhammad senantiasa menekankan kepada
shahabat-shahabatnya agar memperlakukan mereka dengan per­lakuan
yang baik.
Akan tetapi, sikap toleransi ini mereka balas dengan tipu-daya
dan kelicikan, penghinaan, pengrusakan tata ekonomi pemerintahan
Muhammad, meracuni setiap hati orang, menyebarkan gosip di ka-
langan shahabat-shahabat Muhammad, dan berusaha menjatuhkan
kehormatan Muhammad.
Sudah beberapa kali mereka menghunus pedang kepada Muham-
mad, tapi ternyata Muhammad tetap memaafkan mereka dan membiar-
kan orang-orang yang mengangkat senjata kepada dirinya pergi dalam
keadaan aman. Bani Qainuqa’ telah pergi terlebih dahulu, sebelum

438 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Bani Nadhir. Akhirnya, apa yang terjadi?
Justru mereka mengerahkan beberapa prajurit yang jumlahnya
beribu-ribu orang, lalu menyerang Madinah, dengan maksud akan
menghabisi Muhammad dan shahabat-shahabatnya.
Inilah mereka yang tiada henti-hentinya melancarkan aksi pengkhi-
anatan! Bukankah sangat kuat sekali kemung­kinannya, pasukan yang
tergabung dari berbagai suku itu dapat merebut kemenangan. Lalu
mereka hancurkan seluruh warga Madinah dan mereka akan membunuh
orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang jumlah ke­semuanya
hingga mencapai ribuan jiwa?
Mereka itu bagaikan anjing. Jika kamu menghalau atau membiar-
kannya, tetap saja anjing itu akan menjulurkan lidahnya. Cukup lama
mereka menjalin perjanjian damai dengan orang-orang Islam, tapi
setiap mereka mengikat satu perjanjian, ada saja sekelompok orang
dari mereka yang melanggar perjanjian itu. Memang mayoritas dari
mereka bukanlah orang-orang yang beriman. Mayoritas dari mereka
suka mendengar informasi-informasi bohong dan suka makan barang-
barang haram.
Berapa kali mereka telah berusaha menyulut api pertempuran.
Untungnya, setiap kali mereka menyulut api pertempuran, Allah segera
memadamkannya.
Mereka suka melakukan perbuatan-perbuatan destruktif di muka
bumi, padahal Allah sama sekali tidak menyukai para pelaku kebejatan.
Demikianlah Muhammad membaca­kan ayat-ayat Allah kepadamu,
wahai Sa‘ad.
Anak panah ini telah membuat mereka saat ini berada dalam pen-
deritaan, wahai Sa‘ad. Bukankah anak panah itu produk dari Yahudi
Quraizhah itu?
Andaikata diberi peluang untuk pergi sebagaimana kepergian
orang-orang sebelum mereka, sudah pasti mereka akan menghimpun
berbagai suku lagi. Siapa yang dapat mengetahui apa yang akan ter-
jadi kemudian? Dapat saja pasukan tergabung dari berbagai suku itu
kembali lagi untuk menghancurkan warga Madinah, menguasai harta

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 439


kekayaan, para perempuan, dan anak-anaknya; dan yang pasti mereka
akan menghancurkan benteng Islam.
Selagi Sa‘ad bin Mu‘adz belum sampai ke tempat Muhammad yang
berada di tengah-tengah pasukannya, Muhammad sudah siap berdiri
untuk menyambut ke­datangan Sa‘ad bin Mu‘adz. Beliau juga mendaulat
pasukannya untuk berdiri menyambut kedatangan Sa‘ad.
Sesampainya Sa‘ad bin Mu‘adz, Muhammad n lalu menyerahkan
sepenuhnya kepada Sa‘ad untuk menjatuhkan keputusan mengenai
nasib Bani Quraizhah. Sa‘ad lalu menatapkan sorot matanya ke semua
orang yang ada di sekitarnya, lalu berkata: “Hendaklah kalian semua
me­megang teguh janji Allah; bahwasanya keputusan yang berlaku atas
mereka adalah keputusan yang aku tentukan.”
Semua orang yang ada di sekeliling Sa‘ad menjawab: “Ya,” jawab
mereka dengan serampak.
Selanjutnya, Sa‘ad menyodorkan janji itu kepada Muhammad
secara khusus.
“Ya,” jawab Muhammad.
“Aku memutuskan untuk mereka (Bani Quraizhah) agar semua lelaki
mereka dijatuhi hukuman mati; harta benda mereka kita bagi-bagi;
dan semua anak-anak dan para kaum perempuan mereka kita tawan,”
ucap Sa‘ad.
Selanjutnya, orang-orang Islam melakukan penyerbuan ke ben-
teng-benteng Bani Quraizhah. Pasukan muslim berhasil merampas
bermacam-macam senjata mutakhir, kuda-kuda, dan sejumlah harta
kekayaan, termasuk rumah-rumah warga Bani Quraizhah. Setelah
segala berhasil dirampas, pasukan Islam lalu membunuh para kaum
prianya dan membagi-bagikan para perempuan dan anak-anak mereka.
Di antara sekian perempuan Bani Quraizhah yang ditawan dan
dibagi-bagikan, seorang gadis yang bernama Raihanah menjadi bagian
Muhammad. Para gadis itu bukan sebagai budak, asalkan mau masuk
Islam. Tapi Raihanah, gadis berdarah Bani Quraizhah itu, menolak
untuk masuk Islam kepada Muhammad.

440 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Biarkan saja aku menjadi tawananmu, sebab hal itu lebih ringan
bagiku dan bagimu,’ jawab Raihanah meng­hadapi tawaran Muhammad.
Namun tidak beberapa lama Raihanah menjadi budak Muhammad,
dia akhirnya menyatakan keislamannya. Maka dia diperistri Muhammad.
Selanjutnya, setelah status Raihanah telah menjadi istrinya, maka dia
diperlakukan sebagaimana istri-istri Muhammad yang lain.
Seluruh pria Bani Quraizhah dibunuh, termasuk pula orang-orang
yang masuk dalam benteng Bani Quraizhah. Hal ini dilakukan sebagai
suatu tindakan preventif agar tidak ada lagi orang-orang yang mencoba
berani mengada­kan konfrontasi dengan Muhammad. Di antara mereka
yang terbunuh itu adalah Huyay bin Akhtab, seorang Bani Nadhir.
Begitu rampung menghadapi para pembelot Bani Quraizhah, Mu-
hammad dan seluruh pasukannya bertolak ke Madinah untuk menata
kehidupan kembali di sana. Kini dia telah mempunyai wibawa yang
sangat disegani oleh berbagai suku di seluruh Semenanjung Arab.
Orang-orang Quraisy mempunyai dugaan kuat, Muhammad akan
melakukan penyerangan lebih lanjut terhadap sikap permusuhan orang-
orang Quraisy dengan cara menjegal rute perjalanan dagang mereka
yang akan menuju ke Syam.
Dari fenomena itulah, timbul gagasan di kalangan orang-orang
Quraisy untuk mengadakan perjanjian damai dengan Muhammad,
yang menjamin keamanan dan keselamatan rombongan dengan rute
perjalanan niaga mereka. Ini yang paling penting saat ini.
Sebagian suku-suku yang lain dilanda kekhawatiran akan mengalami
nasib yang sama dengan Bani Quraizhah. Mereka semua mulai men-
girim delegasi ke Khaibar dalam rangka merumuskan strategi untuk
menuntut balas.
Lain halnya dengan Muhammad. Kini dia dengan sikap tegas dan
tegar berani berkata di hadapan orang-orang yang ikut bertempur:
“Untuk masa-masa yang akan datang, orang-orang tidak berani lagi
memerangi kalian semua. Bahkan justru kalian yang akan memerangi
mereka.”
Beberapa hari kemudian, Muhammad membacakan ayat-ayat ke-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 441


pada mereka dan mereka mendengarkan dengan penuh kekhusyu‘an
yang berbunyi:

“(22) Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang


bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya
kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu
tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (23) Di an-
tara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak
merubah (janjinya), (24) supaya Allah memberikan balasan kepada orang-
orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafiq jika
dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguh­nya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (25) Dan Allah meng­halau orang-
orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka
tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang
mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
(26) Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang
membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka,
dan Dia memasukkan rasa takut dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu
bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan. (27) Dan Dia mewariskan kepada

442 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula)
tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala
sesuatu.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 22-27) R

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 443


444 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Rindu
kampung halaman

M uhammad sama sekali tak pernah melihat tanah


tumpah darahnya selama enam tahun lamanya.
Selama itu pula interaksi sosial antara dirinya dan warga Makkah selalu
diwarnai dengan tipudaya dan pertumpahan darah.
Terkadang ada seorang laki-laki atau perempuan yang datang dari
Makkah, bercerita kepada orang-orang yang berhijrah, tentang situasi
yang terjadi di tanah kelahiran tempat mereka melalui masa kanak-
kanak dan bermaian-main sewaktu masa remaja.
Wahai semuanya, setelah kepergian kami, bagaimana kondisi sua-
sana kota padang pasir yang terhampar luas memutih?
Wahai semuanya, bagaimana pula keadaan rumah-rumah sewaktu
engkau tinggalkan?
Bagaimana kondisi Shafa sekarang?
Kondisi Ka‘bah?
Dan padang gembala nan luas dan berbatu di balik bukit-bukit itu,
bagaimana pula situasinya kini?

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 445


Apa saja yang ada di sana kini membuat kami rindu. Bahkan kami
begitu merindukan udara panas.
Betapapun orang-orang Muhajirin meraih kemajuan dalam men-
jalani kehidupan di Madinah, namun dalam setiap lubuk hati mereka
terpendam kerinduan yang teramat dalam kepada kampung halaman,
sebuah kota padang pasir yang terhampar luas memutih, yaitu Makkah.
Memang, berbagai negeri telah mereka taklukkan. Sering kali
mereka bergaul dengan tantangan, namun akhirnya mereka berhasil
menjadi pemenang. Dengan panji kemenangan, mereka telah menje-
lajahi berbagai negeri. Mereka telah menikmati kebun-kebun di sekitar
Madinah yang lebat menghijau. Akan tetapi, di balik cakrawala, kota
Makkah, sebuah kota milik mereka yang agung dan terhampar luas
memutih berkilau-kilau, senantiasa melekat tergambar di kelopak
mata mereka.
Kapankah datangnya sang waktu yang akan memberikan peluang
kepada orang-orang rantau yang teramat merindu­kan bumi kelahiran
mereka untuk pulang kembali ke rumah-rumah mereka masing-masing?
Ini dia anak-anak dan cucu-cucu sebagai generasi penerus sudah
mulai belajar kata-kata, datang, pergi, dan mengisi dunia mereka den-
gan gelak-tawa dan canda-ria. Namun semua generasi baru ini belum
pernah melihat tanah air mereka. Mereka mengganti nama Makkah di
antara nama-nama negeri yang mereka pelajari. Tapi, mereka tidak
mengetahui bagaimana masa depan Makkah.
Muhammad menatap dalam-dalam kedua cucunya, Hasan dan Hu-
sain, yang sedang bermain-main di hadapan­nya. Husain bersembunyi di
kamarnya, sedangkan sang kakek memper­hatikan kedua anak itu sambil
tertawa riang dengan diliputi rasa kasihan yang mendalam kepada
kedua anak kecil yang hidup dalam perantauan itu. Kedua anak itu
dilahirkan, kemudian dibawa merantau ke suatu negeri yang jauh,
tatkala keduanya baru pertama kali belajar melangkahkan kakinya.
Fathimah, ibu kedua anak itu, datang mendekat untuk mencegah,
tapi sang kakek menyuruh membiarkan kedua anak itu. ‘Ali, ayah
kedua anak itu, datang pula, lalu menggertak Husain yang naik ke

446 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


pundak Muhammad. Tapi Muhammad meminta kepada ‘Ali agar jangan
menggertak kedua anak itu. Cukuplah kedua anak ini merasakan derita
pahit-getirnya menjadi orang yang hidup dalam perantauan.
Fathimah menanyakan kepada ayahnya, sebab apakah ia tampak
berduka? Bukankah ia telah berhasil memenang­kan pertempuran dari
pasukan musuh yang tergabung dari berbagai pasukan itu? Bukankah ia
telah berhasil juga menumpas Bani Quraizhah, padahal belum pernah
tercatat dalam perjalanan sejarah Arab suatu kemenangan yang begitu
gemilang, sebagaimana kemenangan yang telah diraihnya? Ataukah ia
kini sedang teringat kembali kepada seorang istrinya, Khadijah, yang
teramat dicintanya, yang telah pergi untuk selamanya?
Dari kedua matanya, Fathimah melihat linangan air mata yang terus
mengucur. Karena itulah, Fathimah bermaksud meninggalkan ayahnya.
Ia mengisyaratkan kepada suaminya agar meninggalkan ayahnya saja.
Biarkan saja sang ayah bersama anak itu, sebab tak ada orang yang
mampu melipur hati orang tua yang sedang berduka, bila dibanding
dengan kehadiran cucu-cucunya.
Di luar bilik Fathimah mendengar kedua anaknya sedang cekcok,
maka meledaklah tawa sang kakek kembali. Sang kakek memberikan
pelajaran dan melerai apa yang diperselisihkan oleh kedua anak itu.
Muhammad keluar dari biliknya, menemui putrinya, Fathimah,
dan suaminya, ‘Ali. Dia bertanya kepada Fathimah dan ‘Ali, tidakkah
mereka berdua teringat bahwa saat ini menghadapi bulan Dzulqa‘dah?
Bukankah musim haji telah datang?
Fathimah menarik nafas panjang. Sementara itu pula raut muka
‘Ali berbinar-binar tidak seperti biasanya.
Betul, saudara sepupuku! Di sana orang-orang berjejal-jejal
menuju rumah tua yang dulu pernah dijaga oleh kakek kita, ‘Abdul
Muththalib; dan paman kita, ‘Abbas, masih terus menjalankan tugas
meyediakan minuman kepada jama‘ah haji hingga kini.
Di sana, di sekeliling Ka‘bah, yang dulu pernah engkau saksikan
kebesaranmu, sekaligus sedikit keberdayaanmu, ketidak-mampuanmu
untuk mengadakan perlawanan, pengepungan para tokoh kuffar

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 447


Quraisy kepadamu, dan juga keimanan orang-orang yang tertindas
kepadamu...., kini di sana masih saja diduduki oleh para tokoh kuffar
Quraisy dan juga menjadi tempat ditekennya berbagai akad jual-beli.
Dan yang paling menyebalkan adalah tempat tersebut dijadikan seb-
agai tempat penyembelihan qurban-qurban untuk berhala, sehingga
hal itu mengindi­kasikan bahwa patung-patung dan berhala-berhala di
sana masih tegak berdiri dengan penuh keangkuhan.
Di sana, di kota kita yang agung dan luas terhampar memutih,
saat ini berlangsung pertemuan orang-orang, baik laki-laki maupun
perempuan, dari berbagai penjuru yang mencari kebenaran dan ber-
bagai manfaat lainnya.
Syair-syair yang baru saat ini sedang berkumandang di berbagai
pasar. Para penyebar agama menyampaikan perasaan-perasaan mer-
eka. Berbagai suku mengadakan kontrak-kontrak persekutuan. Tapi
kita, masih ada di sini. Kita adalah pemilik dan penjaga rumah tua itu
sebagaimana orang-orang melakukan prosesi ritual thawaf di sana.
Tapi Muhammad mengambil keputusan akan melaksana­kan thawaf
di rumah tua pada tahun ini. Dia bertekad akan memasuki Makkah
pada bulan haji dengan shahabat-shahabatnya, sebagaimana halnya
jama‘ah yang lain. Muhammad keluar menemui shahabat-shahabat
Muhajirin untuk meminta saran dan pendapat mereka.
Akhirnya, mereka mencapai kata sepakat untuk pulang ke Makkah
sekali waktu dalam usia mereka setelah menjalani hidup dalam pen-
gasingan yang sangat menyiksa.
Dada mereka dalam gelora impian-impian untuk pulang ke kampung
halaman. Betapa lama salah seorang dari mereka telah menyimpan
beban yang begitu berat dirasakannya, sembari terus berjuang mem-
bangun sebuah kehidupan baru di tanah pengungsian.
Sementara itu kerinduan kepada tanah kelahiran mendetak-detak
kalbunya. Namun bagaimanapun juga, semua kerinduan itu berusaha
dipendamnya, tidak ingin diungkit-ungkit agar tidak menyayat hati
saudaranya yang hidup dalam pengungsian juga.
Muhammad mengumumkan kepada orang-orang bahwa dirinya
akan pergi menunaikan ibadah haji bersama mereka yang akan

448 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mempertemukan dengan orang-orang Arab di sekitar Ka‘bah dalam
keadaan damai. Kepada orang-orang yang akan ikut menunaikan iba-
dah haji, Muhammad memerintahkan agar menjaga larangan-larangan
haji dan hendaknya mereka mempersiapkan diri untuk menunaikan
ibadah haji, karena mereka akan memasuki Makkah sebagai jama‘ah
yang menjaga diri dari larangan-larangan ibadah haji, bukan sebagai
pasukan perang yang akan menaklukkan Makkah.
Maka orang-orang yang berminat melakukan ibadah haji pun mulai
berkumpul satu per satu hingga akhirnya mencapai 1.400 orang dengan
menggiring 70 ekor hewan qurban yang gemuk-gemuk di depan mereka
untuk disembelih di depan Ka‘bah dan memberi makan kepada orang-
orang yang kelaparan dan membutuhkan daging qurban ini.
Mereka semua akan memasuki Makkah dalam keadaan ihram.
Mereka akan membuang jauh-jauh segala interes pribadi terhadap
harta-benda dan perhiasan. Mereka siap sepenuhnya untuk menunaikan
ibadah haji sesuai dengan semua aturannya: mengenakan baju tanpa
jahitan, menjauhkan diri dari istri, wewangian, dan harum-haruman,
serta tidak memotong rambut dan kuku.
Mereka semua akan bertolak ke Makkah dalam keadaan seperti ini,
tanpa membawa senjata, untuk melakukan thawaf di rumah tua dan
melakukan segala aturan-aturan ibadah haji untuk pertama kalinya
sejak mereka mengungsi ke Madinah.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa Muhammad bersama 1.400
orang Islam berangkat dari Madinah menuju Makkah. Dialah Muham-
mad! Setelah dia berhasil menangkal serangan pasukan Quraisy dan
berbagai suku lainnya hingga mereka melarikan diri dari Madinah, dan
berhasil menumpas Bani Quraizhah yang terkenal perkasa, kini dia
akan memasuki Makkah dan musim haji dengan orang-orang Islam dari
kalangan Muhajirin dan Anshar untuk menemui orang-orang Quraisy dan
suku-suku Arab lainnya serta mengajak mereka memeluk agamanya
yang baru dengan bersandar pada kemenangannya yang mengagumkan.
Dialah Muhammad yang dulu pergi dari Makkah dalam keadaan papa
tak berdaya, seorang diri, dan terusir.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 449


Apakah dia bermaksud akan memaksa orang-orang untuk mereguk
pahitnya kekalahan hingga tetes darah penghabisan?
Abu Sufyan mengumpulkan tokoh-tokoh pemerintahan di belakang
orang Quraisy. Akhirnya, mereka menghasilkan suatu keputusan akan
merintangi Muhammad dan orang-orang yang ikut bersamanya, dan
akan menghalau Muhammad dan orang-orang Islam yang mengikutinya,
agar pulang kembali ke Madinah. Mereka tidak boleh memasuki Makkah;
dan aksi pencegahan ini harus dilakukan dengan cara anarkhis.
Orang-orang Quraisy menghimpun pasukan kuda mereka di bawah
komando Khalid bin Walid. Khalid bin Walid termasuk di antara salah
seorang komando Quraisy. Dialah satu-satunya komandan pasukan
yang berhasil menghancur­kan pasukan muslim. Jelas apa yang pernah
dilakukan Khalid bin Walid di lembah Uhud terhadap orang-orang Islam
tak akan dilupakan begitu saja.
Khalid bin Walid bergerak meninggalkan Makkah, mengomando
pasukan kuda, guna memerangi Muhammad dan orang-orang yang ikut
bersamanya. Sementara itu Muhammad mengetahui tentang hal itu.
Karena itu, akhirnya Muhammad menginstruksikan kepada orang-orang
yang ikut bersamanya agar menghindari peperangan, sebab mereka
datang ke Makkah bukan untuk berperang; dan mereka tidak membawa
persenjataan sama sekali.
Muhammad memilih mencari alternatif jalur jalan lain yang tidak
lazim dilalui orang. Hal ini ia lakukan agar tidak berpapasan dengan
pasukan kuda Quraisy.
Muhammad memimpin rombongan melalui jalan-jalan di celah-
celah bebukitan yang tidak dilalui oleh orang dalam ke­adaan panas oleh
terik matahari yang menyengat kulit, yaitu di antara bebatuan padas yang
gersang tidak berpepohonan.
Orang-orang yang ikut bersamanya, merasakan beratnya haus yang
tak terlukiskan. Sementara itu, Muhammad mengitari rombongannya,
berusaha menyebar­kan kepada mereka kenikmatan yang didambakan
dan disediakan bagi orang-orang yang sabar.

450 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Ketika rombongan telah sampai di sebuah dataran yang terdapat
sumur-sumur yang sudah tidak dipakai lagi di dekat kota Makkah, Mu-
hammad memperbolehkan rombong­annya untuk berhenti agar mereka
minum dan tinggal dekat Hudzaibiyah untuk sementara waktu.
Selanjutnya, Muhammad mengirim utusan yang ditugaskan untuk
meyakinkan pemerintah Quraisy, bahwa kedatangan orang-orang Islam
tidak ada maksud lain selain untuk menunaikan ibadah haji, bukan
untuk berperang.
Tetapi orang yang diutus Muhammad kembali lagi dengan membawa
informasi bahwa orang-orang Quraisy menggunakan kulit-kulit harimau
dan dalam keadaan siap tempur.
Selanjutnya, datang juga kurir yang diutus oleh orang-orang Quraisy
yang membawa misi untuk memberikan saran agar Muhammad men-
gurungkan rencana piknik spritualnya.
Tapi Muhammad memberikan penjelasan kepada kurir yang diutus
oleh orang-orang Quraisy bahwa dirinya datang ke Makkah hanyalah
sebagai peziarah ke Baitullah yang akan memuliakan keagungannya.
Sama sekali tidak ada maksud untuk mengadakan peperangan.
Pada saat para kurir Quraisy itu terdiam, Muhammad menyitir se-
buah pernyataan sikap tegasnya: “Sungguh celaka sekali orang-orang
Quraisy! Rupanya mereka telah termakan oleh nafsu peperangan.
Tak tahukah mereka konsekuensi tindakan mereka, jika berupaya
mengisolasikan diriku dengan semua suku-suku bangsa Arab? Memang
betul, jika mereka berhasil mengalahkan diriku, hal itu jelas akan ter-
wujud sesuai dengan keinginan yang mereka harapkan. Tapi jika Allah
memberikan kemenangan kepada diriku, jelas mereka akhirnya akan
masuk Islam dalam keadaan nista lagi tidak terhormat. Andaikata me-
nolak, sudah tentu mereka harus berperang dengan segenap kekuatan
yang mereka miliki. Lantas kira-kira bagaimana dugaan orang-orang
Quraisy? Demi Allah, aku akan terus berjuang di atas garis-garis yang
telah dimandatkan oleh Allah kepada diriku, hingga Allah memberikan
kemenangan kepada diriku atau aku harus melepaskan nyawa dalam
membela tugas itu.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 451


Para kurir Quraisy itu pulang kembali kepada kaumnya dan mereka
mengadukan pernyataan yang dikatakan Muhammad: “Wahai orang-
orang Quraisy! Rupanya kalian semua terlalu tergesa-gesa dalam men-
gambil keputusan terhadap persoalan Muhammad, padahal Muhammad
datang ke Makkah bukanlah untuk mengadakan pertempuran. Dia
hanyalah ingin berziarah ke Baitullah semata.”
Betapapun para kurir itu sudah menyatakan demikian, tapi para
pemuka pemerintah Quraisy tetap pada sikap resitensi mereka. Bahkan
mereka berkata kasar kepada kurir itu: “Demi Allah, Muhammad jangan
sampai diper­boleh­kan memasuki Makkah dengan sikap memaksa dan
menekan kita.”
Para pemuka Quraisy mempunyai pandangan untuk mengirimkan
kurir yang membawa misi ancaman kepada Muhammad. Karena itu,
mereka mengirimkan pemimpin orang-orang kulit hitam. Para pemuka
Quraisy mempunyai dugaan kuat, orang-orang Islam tentunya masih
belum melupakan peristiwa yang pernah menimpa salah seorang dari
mereka saat pertempuran Uhud.
Ketika kurir Quraisy yang berasal dari kalangan pemuka orang-
orang kulit hitam itu datang, maka Muhammad menginstruksikan agar
mereka memperlihatkan binatang ternak yang akan mereka giring ke
Ka‘bah sebagai qurban, kepada kurir Quraisy itu.
Maka jelaslah semua itu di depan mata kurir Quraisy tersebut.
Kurir itu melihat dengan mata kepalanya sendiri orang-orang Islam
yang mengenakan pakaian ihram, tanpa membawa senjata. Melihat
kenyataan seperti itu, maka kurir itu mengurungkan niatnya untuk
menyampaikan misi yang dibawanya. Tidak ada alasan lagi bagi dirinya
yang mendorong untuk menghadap Muhammad.
Kurir itu segera pulang kembali ke Makkah, lalu dia menceritakan
kenyataan yang dilihatnya kepada para pemimpinnya. Tapi, dengan si-
kap sinis dan meremehkan, para pemimpin Quraisy berkata kepadanya:
“Kamu tak tahu apa-apa!”
Karena komandan tentara resmi mereka mengancam akan men-
gadakan pemberontakan jika mereka mengambil keputusan akan

452 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


memerangi Muhammad, maka para pemimpin Quraisy mengambil
kebijaksanaan untuk melakukan taktik lain sebagai upaya merintangi
maksud kedatangan Muhammad ke Makkah dengan tidak mengguna­kan
kekerasan.
Para pemuka Quraisy mengadakan lobi kembali dengan komandan
tentara berkulit hitam itu. Kepada komandan itu, mereka mengharap-
kan agar menahan Muhammad dan pengikutnya dan diperbolehkan
mengambil apa saja yang diinginkan.
Tawaran yang menggiurkan itu rupanya tidak termakan oleh kom-
andan itu, karena dia telah diliputi oleh keharuan suasana yang dilihat
dengan mata kepalanya sendiri di Hudaibiyah. Di sana, di Hudaibiyah,
kedua matanya melihat sendiri sejumlah orang-orang laki-laki dan
perempuan mengenakan pakaian serba putih dengan suatu maksud
damai serta diliputi oleh kerinduan yang mendalam kepada tanah
kelahiran dan keinginan yang sungguh-sugnguh untuk menunaikan
ibadah haji.
Komandan kulit hitam itu tetap konsis pada pendirian­nya, meskipun
tawaran pemuka Quraisy itu sangat menggiurkan. Dia tetap mengancam
akan mengadakan pemberontakan kepada orang-orang Quraisy, jika
mereka tetap bersikukuh memusuhi rombongan haji yang datang dari
Madinah itu.
Akhirnya, pemuka-pemuka Quraisy mengutus orang lain yang ahli
berdiplomasi, dengan suatu harapan dia mampu mendesak Muhammad
untuk pulang kembali ke Madinah.
Tapi dengan sikap tegas, Muhammad berkata pada kurir tersebut:
“Kami datang tidak bermaksud memerangi siapa pun; kami semua
datang untuk menunaikan ibadah haji. Tapi orang-orang Quraisy telah
kerasukan nafsu peperangan dan melecehkan kami. Jika mereka mau,
maka kami akan menekan mereka; atau jika mereka mau, mereka
masuk saja pada ajaran kami sebagaimana orang-orang lain. Tapi
andaikata mereka menolak, maka demi Allah aku akan memerangi
mereka hingga aku tinggal seorang diri atau Allah akan menyelesaikan
persoalanku.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 453


Dua orang Quraisy menanggapi ucapan Muhammad: “Bagaimana
menurut pendapatmu, jika keputusanmu itu akan berakibat dibasminya
kaummu? Pernahkan engkau mendengar cerita salah seorang pemuka
Arab sebelummu yang mengorbankan kaummu, maka aku mempunyai
dugaan kuat bahwa akan banyak orang disekelilingmu yang melarikan
diri dan meninggalkanmu.”
Muhammad diam, tidak menjawab kata-kata duta Quraisy itu.
Tetapi Abu Bakar mendamprat duta Quraisy itu dan bertanya dengan
nada menyangkal statemennya: “Apakah menurutmu kita ini akan
melarikan diri dan meninggalkan Muhammad?”
Laki-laki itu bermaksud akan bercakap-cakap dengan Muhammad
sebagaimana lazimnya berbicara dengan orang biasa lainnya. Laki-laki
itu bermaksud hendak memegangi jenggot Muhammad dengan berlagak
kasih sayang. Tapi sebagian shahabat Muhammad berkata: “Hentikan!
Jangan sampai tanganmu menyentuh wajah Rasulullah n. Atau kalau
tidak, tanganmu terputus dari tubuhmu.”
Setelah pulang kembali ke tengah orang-orang Quraisy, laki-laki itu
berkata: “Wahai orang-orang Quraisy! Aku sudah pernah mendatangi
Kisra (raja Persia) di kerajaannya, Kaisar (raja Romawi) di kerajaan-
nya, dan juga Najasyi (raja Habasyah) di kerajaannya. Tapi demi Allah,
sungguh aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya
seperti Muhammad di tengah-tengah para shahabatnya. Aku sungguh
mempunyai keyakinan, kaumnya tidak akan pernah menyerahkan
Muhammad kepada musuh dengan imbalan atau intimidasi apa pun
selamanya. Lantas menurut pendapat kalian bagaimana?”
Orang-orang Quraisy menemui jalan buntu. Tak ada keputusan
apa-apa yang dapat diambil oleh mereka.
Muhammad mempunyai suatu gagasan untuk mengirim utusan
kepada orang-orang Quraisy yang mempunyai posisi cukup terpandang.
Muhammad memilih ‘Umar bin Khaththab. Pertimbangannya, karena
pada waktu sebelumnya, ‘Umar adalah orang yang menjadi juru bicara
orang-orang Quraisy dan duta masyarakat Quraisy.
Namun penunjukan Muhammad kepada dirinya oleh ‘Umar ditolak.

454 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


‘Umar mengemukakan alasan keberatan­nya: “Begini persoalannya,
Rasulullah! Aku khawatir orang-orang Quraisy akan berbuat kejam
terhadapku. Masalah­nya, di Makkah aku sudah tidak memiliki seorang
kerabat pun yang akan mencegah tindakan mereka. Saat ini orang-
orang Quraisy tahu persis akan kebencian dan sikap permusuhanku
terhadap mereka. Aku usulkan penunjukan delegasi itu agar dipilih
salah seorang di antara kita yang lebih disegani oleh orang-orang
Quraisy ketimbang aku. Menurutku, yang paling tepat menduduki posisi
itu adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”
Gagasan ‘Umar disetujui oleh Muhammad dan kemu­dian ia menun-
juk ‘Utsman bin ‘Affan sebagai delegasi khusus untuk menemui Abu
Sufyan dan para pejabat pemerintahan Quraisy, untuk meyakinkan
mereka bahwa kedatangan Muhammad ke Makkah bukanlah untuk
perang, tetapi dalam rangka menunaikan ibadah haji semata.
‘Utsman memang memiliki banyak teman dan sanak famili di ka-
langan bangsawan Quraisy, khususnya dengan Abu Sufyan yang meme-
gang tampuk pemerintahan. Akan tetapi, sejak keberangkatannya, tak
terdengar kabar berita tentang ‘Utsman. Informasi tentang ‘Utsman
benar-benar terputus. Bahkan muncul berita yang teramat santer di
kalangan masyarakat bahwa ‘Utsman bernasib sial. Ia diberitakan telah
dibunuh di Makkah.
Tampaknya, selama orang-orang Quraisy masih me­nyim­pan kelici-
kan, tak ada langkah lain bagi orang-orang Islam selain menemui
mereka dengan membawa senjata. Karena itu, Muhammad menunjuk
beberapa orang shaha­bat­nya untuk pulang ke Madinah agar meminta
balabantuan dari warga Madinah dan sekutu-sekutunya, kemudian
kembali membawa persenjataan, perbekalan perang, para lelaki, dan
kuda-kuda.
Di bawah naungan sebatang pohon, Muhammad berdiri di tengah
para shahabatnya, meminta janji setia mereka untuk bertempur hingga
titik darah penghabisan. Maka ber­ikrarlah semua shahabatnya di bawah
pohon yang teduh itu.
Belum lama berselang setelah pengambilan ikrar, ternyata ‘Utsman

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 455


datang kembali dalam keadaan utuh. Kedatangan ‘Utsman disambut
kegembiraan dan keharuan oleh Muhammad. Demikian pula kegem-
biraan tampak terlihat di kalangan orang-orang Islam.
‘Utsman menyampaikan hasil misi yang diembannya. Ternyata, ia
memang berhasil meyakinkan Abu Sufyan dan kawan-kawan lamanya
di kalangan para juragan dagang Quraisy, bahwa perdamaian adalah
lebih baik, sebab bukanlah kewenangan orang-orang Quraisy untuk
melaku­kan pelarangan terhadap orang-orang Muhajirin untuk pulang
kembali ke Makkah. Orang-orang Quraisy tidak memiliki kewenangan
melakukan larangan terhadap siapa pun untuk memasuki bumi yang
menjadi tumpah darahnya dan menjadi tempat peristirahatan abadi
nenek moyangnya atau orang-orang Islam yang akan menunaikan iba-
dah haji ke rumah tua itu, tanpa mendapat persetujuan dari seluruh
bangsa Arab.
Belum tuntas ‘Utsman menceritakan semua pembicara­an yang
dilakukannya dengan para pemuka Quraisy, tahu-tahu datanglah salah
seorang delegasi dari pihak Quraisy yang dikenal cinta perdamaian.
Begitu laki-laki delegasi Quraisy itu sampai, maka berkatalah
Muhammad: “Orang-orang Quraisy berarti benar-benar menginginkan
perdamaian ketika mengutus orang ini.” Negosiasi antara Muhammad
n dan utusan kuffar Quraisy ini pun berlangsung cukup alot. Namun
akhirnya, dicapailah kata sepakat dengan Muhammad atas semua
persyaratan yang diajukan. Kini, tinggal penulisan tersebut di atas
sehelai kertas.
Untuk itu, Muhammad memanggil ‘Ali bin Abi Thalib untuk men-
diktekan redaksi perjanjian damai tersebut.
“Tulislah: ‘Bismillaahir rohmaanir rohiim’,” ucap Muhammad.
Tetapi laki-laki delegasi Quraisy (Suhail bin ‘Amr –edt.) segera
berkata: “Aku tidak tahu dengan redaksi itu. Tapi tulislah Bismikal-
loohumma.” Muhammad menyetujui keinginan delegasi Quraisy itu.
Dia memerintahkan ‘Ali agar menulis Bismikalloohumma! (Dengan
nama-Mu, ya Allah.)
Selanjutnya, Muhammad mendiktekan lagi kepada ‘Ali: “Ini adalah

456 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


pernjanjian damai yang ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah!”
Tapi, lagi-lagi delegasi Quraisy itu menolak: “Andaikata kami me-
nyaksikan bahwa engkau adalah Rasulullah, sudah tentu kita tidak akan
memerangimu. Karena itu, tulislah namamu dan nama bapakmu.”
“Baik. Hapuslah kata Rasulullah lalu tulislah: ‘Ini adalah perjanjian
damai yang ditetapkan oleh Muhammad bin ‘Abdullah,’” ucap Muham-
mad n.
Sampai pada redaksi tersebut, tangan ‘Ali tak mau menulis lagi.
Dengan suara gemetar penuh emosi, ‘Ali berkata kepada Muhammad:
“Tidak! Demi Allah, aku tak sudi menghapus kata itu.”
Luapan emosi ‘Ali ini adalah ledakan yang muncul dari balik dada
orang-orang Islam, sebagai suatu ketegasan sikap.
Mengapa Muhammad mau menerima begitu saja delegasi Quraisy
itu? Mengapa Muhammad mau menerima begitu saja untuk menghapus
prolog perjanjian damai yang dibuat oleh orang-orang Islam kepada
delegasi Quraisy itu? Muhammad tidak mendapatkan seorang pun dari
shahabat-shahabatnya yang menyetujui untuk menghapus klausul
“Rasulullah”. Selembar kertas itu selanjutnya dia ambil dari tangan
‘Ali, lalu dia sendiri yang menghapus apa yang telah ditulis ‘Ali itu,
kemudian dia sendiri yang menulis prolog perjanjian damai menurut
redaksi yang dimaui delegasi Quraisy itu.
Pada lembaran itulah, dia menulis untuk pertama kalinya, sejak
dia terbiasa memperhatikan huruf-huruf yang didiktenya kepada para
penulis Al-Qur’an.
‘Umar yang duduk tidak jauh dari Muhammad berkata dengan
nada emosi kepada Abu Bakar: “Wahai Abu Bakar, bukankah dia itu
Rasulullah?”
“Betul sekali!” jawab Abu Bakar.
“Bukankah kita ini orang-orang Islam?” lanjut ‘Umar
‘Betul!” jawab Abu Bakar lagi.
“Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 457


“Betul!”
“Lalu mengapa kita memberikan yang buruk kepada agama kita?”
‘Umar berteriak.
Abu Bakar berusaha menasihati ‘Umar agar mengendali­kan emosin-
ya, tetapi ‘Umar kembali lagi mengucapkan pertanyaan itu kepada
Muhammad langsung. Dengan nada emosi pula, Muhammad menjawab
pertanyaan ‘Umar: “Aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku
tak akan pernah melanggar perintah-Nya. Aku yakin, Allah tak akan
menyia-nyiakan diriku.”
‘Umar pergi dengan menyimpan kekesalan; mulutnya bungkam, tak
mau berkata-kata lagi, menuju ke tengah-tengah orang yang sedang
dilanda gelora amarah pula.
Sementara itu, Muhammad terus melanjutkan penulisan syarat-
syarat perdamaian dengan pihak Quraisy:
1. Mereka (kedua belah pihak) harus melakukan gencatan senjata se-
lama 10 tahun ke depan, hingga semua orang memperoleh jaminan
keamanan dan hendaknya satu sama lain saling menahan diri.
2. Barangsiapa dari pihak kuffar Quraisy hendak bergabung ke pihak
Muhammad (baca: masuk Islam –edt.) tanpa seizin walinya, maka
Muhammad harus mengembalikan orang tersebut kepada pihak
Quraisy.
3. Barangsiapa dari pengikut Muhammad hendak ber­gabung ke pi-
hak orang-orang Quraisy (baca: murtad –edt.), maka orang-orang
Quraisy tidak wajib mengem­bali­kan orang tersebut kepada Muham-
mad.
4. Kaum mana saja (di luar suku Quraisy) yang ingin menjalin ikatan
persahabatan dan perjanjian damai dengan Muhammad, diperbo-
lehkan. Kaum mana saja (di luar pengikut Muhammad) yang ingin
menjalin ikatan persahabatan dan perjanjian damai dengan pihak
Quraisy, juga diperbolehkan.
5. Masing-masing pihak harus menjaga isi perjanjian yang tertuang

458 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dalam surat itu dan tidak boleh melakukan pengkhianatan.
Ketika Muhammad mengumumkan syarat-syarat perjanjian damai
tersebut, maka berlompatanlah suku Khuza‘ah. Mereka menyatakan
sikapnya untuk bergabung dengan Muhammad. Sementara itu pula,
Bani Bakar berlompatan pula menyatakan sikapnya akan bergabung
dengan pihak Quraisy.
Delegasi Quraisy menetapkan persyaratan agar Muhammad dan
shahabat-shahabatnya pada tahun ini pulang kembali ke Madinah, ken-
datipun mereka adalah warga Makkah. Dan tahun depan, Muhammad
dan shahabat-shahabatnya baru boleh memasuki Makkah. Muhammad
boleh tinggal selama tiga hari di Makkah dengan membawa senjata
untuk keperluan perlengkapan perjalanan saja, yaitu berupa pedang-
pedang yang tetap di dalam warang­kanya. Muhammad dan shahabat-
shahabatnya tidak boleh memasuki Makkah, selain dengan perlengkapan
senjata tersebut.
Muhammad menyetujui semua syarat perjanjian damai tersebut
di tengah gerutu ketidak-puasan shahabat-shahabatnya.
Begitu usai Muhammad menanda-tangani perjanjian damai terse-
but, tiba-tiba seorang laki-laki yang dibelenggu tangannya dengan
rantai, mendatangi Muhammad. Laki-laki itu adalah anak delegasi
Quraisy yang bermaksud melarikan diri ke pihak Muhammad. Karena
tindakannya diketahui oleh orang-orang Quraisy, maka si anak itu dir-
ingkus oleh mereka, lalu dibelenggu dengan rantai. Delegasi Quraisy
(Suhail bin ‘Amr) itu terperanjat melihat kedatangan anaknya (yakni
Al-‘Ash bin Suhail bin ‘Amr yang dikenal dengan nama Abu Jandal,
seorang yang telah memeluk Islam namun masih tertahan di Makkah
–edt.), dia langsung saja melayangkan “bogem mentah” ke muka
anaknya.
Delegasi Quraisy itu meminta kepada Muhammad agar anaknya
dikembalikan lagi kepadanya sesuai dengan ketentuan perjanjian
damai yang masih belum kering tintanya itu.
Anak delegasi Quraisy itu menjerit meraung-raung: “Wahai orang-
orang Islam, apakah aku akan dikembalikan lagi kepada orang-orang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 459


musyrik yang telah mengganggu agamaku?”
Bagaimanapun melengkingnya jeritan anak delegasi Quraisy itu, na-
mun Muhammad n telah terlanjur menan­datangani perjanjian damai;
dan segalanya telah tuntas. Muhammad memerintahkan agar anak itu
dikembalikan ke pihak Quraisy sesuai dengan ketentuan syarat-syarat
perdamaian. Demikianlah, anak delegasi Quraisy itu dikembalikan lagi,
maka kian gencarlah suara-suara protes ketidak-puasan!
Sebenarnya orang-orang Islam sangat keberatan dengan perundin-
gan damai tersebut, khususnya pada penulisan prolog perjanjian yang
disodorkan oleh delegasi Quraisy dan pemulangan kembali orang-orang
Quraisy yang meminta perlindungan dengan menyatakan keislamannya.
Dari semua kebenaran itu, ada yang lebih berat lagi untuk mereka
terima, yaitu keputusan Muhammad untuk tunduk pada tuntunan pi-
hak Quraisy yang mengharuskan mereka pulang kembali ke Madinah,
padahal saat ini mereka sudah berada di depan pintu gerbang Makkah.
Sudah cukup lama mereka mengimpikan di malam-malam yang mer-
eka lalui, akan datangnya suatu hari saat mereka dapat mengunjungi
bumi kelahiran mereka dan berthawaf di Baitullah sebagaimana yang
dilakukan oleh orang lain. Akan tetapi, ketika hari yang dinanti-nantikan
itu telah tiba dan Makkah sudah ada di depan mata mereka, ternyata
mereka dihalang-halangi oleh orang-orang Quraisy. Dan sebagai ganti-
nya, jika mereka tidak mau mengangkat senjata melawan orang-orang
Quraisy demi meraih hak mereka yakni mengunjungi Makkah, berarti
mereka harus tunduk dan meng­indahkan apa yang disepakati oleh pihak
kuffar Quraisy.
Mengapa Muhammad mengambil kebijakan seperti ini kepada
mereka?
Salah seorang di antara mereka berkata kepada Muhammad dengan
penuh emosi: “Bukankah engkau telah menjanjikan kepada kita untuk
mengunjungi Makkah?”
“Ya, kita akan mengunjungi Makkah tahun depan,” jawab Muham-
mad dengan lemah-lembut.

460 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad berusaha meyakinkan keuntungan-ke­untungan politis
dari perjanjian damai itu kepada mereka. Sementara itu, dalam hat-
inya merasakan beban batin yang teramat berat menanggung ketidak-
puasan yang melanda di kalangan shahabat-shahabatnya.
Setelah adanya perjanjian damai ini, orang-orang Quraisy tak akan
mempunyai peluang politis lagi untuk menghancurkan mereka. Ke-
bimbangan yang melanda suku-suku untuk bergabung dengan mereka,
karena dibayang-bayangi rasa takut terhadap ancaman orang-orang
Quraisy selama ini, tidak akan terjadi lagi setelah perjanjian damai.
Perhatian mereka saat ini agar dikonsentrasikan pada pengemban-
gan dakwah, tanpa merasa dibayang-bayangi ancaman dan gangguan
orang-orang Quraisy.
Seyogyanya mereka saat ini melakukan pengkajian terhadap kondisi
yang mereka hadapi agar tahu bagaimana langkah-langkah yang mesti
mereka lakukan untuk mengantisipasi langkah yang akan datang; dan
seyogyanya pula mereka melayangkan pandangan terhadap langkah-
langkah yang telah mereka tempuh. Perdamaian ini seyogyanya mereka
terima dengan suatu pengertian tuntutan kondisi dan mengantisipasi
situasi yang akan datang. Mereka akan memperoleh keuntungan ber-
lipat-ganda dari perdamaian itu, melebihi keuntungan yang mereka
peroleh dari mata pedang.
Perdamaian yang baru saja dilangsungkan itu tidaklah mengandung
penyerahan sama sekali, sebab orang-orang Quraisy yang bermaksud
bergabung dengan Muhammad dapat bersabar di tempat tinggal mereka
dan mengem­bangkan kepercayaan yang dipeluknya kepada orang lain
dalam keadaan terlindungi keamanannya dari ancaman dan rintangan
sebagaimana pernah dialami oleh orang-orang Islam terdahulu.
Adapun orang-orang Islam yang bermaksud akan bergabung dengan
pihak Quraisy, jelas mereka tidak akan menemukan kebaikan apa-apa
sama sekali, termasuk juga dalam keislaman mereka. Karena itu,
mereka pantas dinyatakan sikap murtadnya sejak hari ini.
Sedangkan penolakan pihak Quraisy terhadap klausal perjanjian
damai tersebut, sama sekali tidak mengubah kebenaran.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 461


Seharusnya orang-orang Islam menyambut gembira dengan tere-
alisirnya perjanjian damai ini daripada berselisih. Seharusnya mereka
tahu bahwa keuntungan dari perdamaian ini adalah menutup peluang
bagi musuh-musuh mereka yang lain untuk memperkuat posisi Quraisy;
dan perdamaian itu secara tidak langsung berakibat terisolasinya
orang-orang Quraisy dari kelompok Yahudi.
Semestinya orang-orang Islam mengingat bahwa kelompok Yahudi
Madinah yang terisolir, saat ini berkumpul di lembah Khaibar untuk
melakukan penyerbuan di Madinah dalam waktu dekat, karena merasa
kuat setelah mereka bergabung dengan kelompok Yahudi Khaibar.
Seandainya kelompok Yahudi Madinah yang terisolir itu tidak di-
tutup peluangnya dalam memperkuat pasukan Quraisy, sudah tentu
hal itu merupakan ancaman baru yang teramat serius bagi keamanan
Madinah, warganya, dan secara khusus bagi eksistensi aqidah Islam.
Kini, orang-orang Islam seyogyanya melakukan per­siapan untuk
menghadapi pertempuran melawan orang-orang Yahudi. Seyogyanya
mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi suku-suku lain yang
akan mengadakan agresi terhadap diri mereka setelah tertutupnya
jalan bagi tentara-tentara musuh untuk menjalin persekutuan dengan
pasukan Makkah.
Akhirnya, perselisihan pendapat di sekitar perdamaian yang cukup
tajam di antara orang-orang Islam dapat terselesaikan dengan baik,
sehingga orang-orang Islam menerima dan puas atas pertimbangan-
pertimbangan itu.
Pertimbangan yang dikemukakan dan keputusan untuk mengadakan
perdamaian itu memang betul. Tapi mengapa mereka harus pulang
dengan sia-sia tanpa menunaikan ibadah haji?
Mengapa mereka tidak memasuki Makkah tahun ini saja, padahal
mereka saat ini sudah berada di depan pintu gerbang Makkah?
Haruskah menunggu tahun depan?
Akhirnya, Muhammad mengumumkan kepada mereka untuk me-
lepas pakaian ihramnya dan kembali pada kehidupan mereka yang
biasa, kemudian mempersiapkan kepulangannya ke Madinah. Akan

462 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


tetapi, mereka enggan melakukan himbauan itu.
Di hati setiap orang masih saja terlintas harapan agar Muhammad
sendiri pergi ke Makkah secepatnya, meski dalam kondisi apa pun.
Mengapa hal ini harus terjadi?
Sungguh, sebelum ini mereka juga pernah melanggar perintahnya
saat berperang di medan Uhud, maka menjadi porak-porandalah orang
Islam. Bahkan hampir saja Muhammad terbunuh akibat ulah mereka
yang melanggar perintahnya itu.
Mengapa kini mereka semua menghadapi Muhammad dengan sikap
membandel?
‘Ali juga termasuk di antara sekian orang yang tidak mematuhi
himbauannya, bahkan ‘Ali berani sekali menolak perintahnya untuk
menulis apa yang akan didiktekannya pada surat perjanjian damai itu.
Tidak hanya ‘Ali saja yang melanggar, tapi ‘Umar juga termasuk
di antara sekian orang yang menolak himbauan­nya. Bahkan ‘Umar
bukan sekedar menolak, tapi secara tegas dan keras tidak menerima
keputusannya untuk berdamai dengan pihak Quraisy.
Beberapa saat lamanya mereka menggerutu penuh kekesalan,
tapi Muhammad berusaha menjelaskan kepada mereka tentang
keuntungan-keuntungan politis yang diperoleh dari perdamaian ini.
Muhammad menghimbau mereka untuk mempersiapkan kepulangan-
nya ke Madinah dan mencurahkan perhatian untuk mempersiapkan
per­tempuran melawan Yahudi Khaibar yang sedang menyusun kekua-
tan untuk mengadakan penyerbuan ke Madinah. Terlintas dalam
pikiran Muhammad sebelum mengadakan perdamaian bahwa mereka
akan menerima segala tindakan­nya dan segala ucapannya. Tapi kini
mereka menolak semua itu.
Muhammad memasuki kemahnya dengan hati duka dan tersiksa,
sehingga dari kedua bola matanya menetes air mata.
Istri yang cantik nan bijak, Ummu Salamah, menyam­but kedatan-
gannya, seperti apa yang telah dilakukan oleh almarhumah istrinya,
Khadijah, yang telah membangkitkan semangatnya di masa silam yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 463


penuh dengan warna kegelapan. Dia adalah seorang perempuan yang
memiliki suara lemah-lembut yang penuh kedamaian. Muhammad
menumpahkan kekecewaannya kepada Ummu Salamah.
“Kasihan betul orang-orang itu,” gerutu Muhammad kesal.
Ummu Salamah meminta kepadanya agar tidak bersedih dan ber-
duka dalam menghadapi kenyataan pahit ini. Bukankah sudah terbiasa
hatinya menanggung cobaan-cobaan yang teramat berat.
Sebaiknya saat ini keluar saja ke tengah shahabat-shahabatnya, lalu
bertahallullah di hadapan mereka, karena pengaruh perbuatan jauh
lebih kuat daripada pengaruh perkataan. Sudah tentu tak akan ada lagi
orang-orang yang akan mendebatnya setelah mereka melihat langsung
ia sendiri melakukan segala apa yang dihimbaukan kepada mereka.
Maka keluarlah Muhammad menuju shahabat-shahabat­nya; dia
langsung menyembelih hewan qurbannya, lalu duduk, kemudian men-
cukur rambutnya.
Setelah shahabat-shahabatnya melihat dia telah menyembelih
qurbannya dan mencukur rambutnya, maka berlompatanlah mereka
melakukan penyembelihan qurban dan pemotongan rambut juga.
Selanjutnya, mereka meminta maaf atas sikap mereka.
Muhammad pulang kembali ke Madinah bersama mereka. Tapi
belum lama sampai di Madinah, datanglah utusan pemerintah Quraisy
yang bermaksud meminta kesediaan Muhammad untuk menampung
warga Makkah yang masuk Islam di Madinah, karena mereka melaku-
kan pemberontakan, menekan terhadap orang lain, dan membuat
pertahanan di luar kota Makkah, serta melakukan tindakan-tindakan
destruktif pada rute-rute perdagangan.
Muhammad menyambut sekitar tujuh orang pengungsi baru dari
warga Quraisy yang seluruhnya menyatakan masuk Islam. Maka sejak
ia mengumumkan perdamaian, baru hari itulah sorak-sorai dari orang-
orang Islam yang penuh kegirangan menggemuruh di antara mereka.
“Ini betul-betul suatu kemenangan atas orang-orang Quraisy yang
belum pernah kita peroleh dalam setiap kancah pertempuran sebelum
ini. Betapa bijaksananya Muhammad ketika menetapkan perdamaian.”

464 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Semua ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Maka
hendaklah kalian mendengarkan apa yang akan dibacakan oleh kalian:

“(18) Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika


mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa
yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan
memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
(19) Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (20) Allah menjanjikan kepada
kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-
Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari
(membinasa­kan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi
bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan
yang lurus.” (QS. Al-Fath [48]: 18-20)

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 465


466 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Badai
menerpa
keluarga Muhammad

S aat-saat indah yang teramat menguntungkan dalam


seluruh perjalanan kehidupannya, kini disambut oleh
Muhammad dengan riang gembira. Namun demikian, dalam hati kecil-
nya masih tersisa sebuah kesulitan yang harus ditanggungnya.
Perdamaian Hudaibiyah yang didamba-dambakannya agar tercipta
sebentuk ketenangan bagi dirinya dan orang-orang Islam, masih belum
jua dirasakan manisnya. Ketika orang-orang Islam belum sepenuhnya
menerima secara lapang dada keuntungan-keuntungan yang diperoleh
dari perdamaian itu, ternyata persoalan baru yang menengge­lamkan
dirinya ke dalam suatu ujian lain yang teramat berat, tanpa terasa
telah mencuat ke permukaan. Ia kini dihadapkan pada kasus pengung-
sian seorang perempuan. Saudara perempuan itu meminta kepada
Muhammad agar mengembalikan perempuan itu kepada kedua sauda-
ranya, sesuai dengan perjanjian yang telah dijalin antara pihaknya
dengan pihak Quraisy di Hudaibiyah.
Selanjutnya, kasus lain lagi yang meminta segera diselesaikan oleh

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 467


Muhammad adalah perempuan-perempuan lain warga Makkah yang
juga bermaksud mengungsi sesuai dalam perjanjian damai Hudaibiyah,
sehingga para suami mereka datang juga kepada Muhammad untuk
menuntut pemulangan istri-istrinya itu kembali.
Kalau tidak begitu, atas dasar apakah orang-orang Quraisy mengam-
bil keuntungan dari perdamaian ini, jika mereka membiarkan Madinah
membuka kedua belah tangannya bagi perempuan-perempuan Quraisy
yang mengungsi?
Tapi akankah orang-orang Islam membiarkan begitu saja perem-
puan-perempuan yang datang atas kehendak mereka sendiri?
Fenomena ini membuat hati orang-orang Islam menjadi tergoncang.
Haruskah mereka memaksakan kehendaknya kepada para perempuan
itu untuk hidup berumah tangga dengan suami yang tidak hanya men-
jadi musuh bebuyutan mereka, tetapi juga tidak disenangi?
Jeritan di dalam setiap hati yang masih diliputi oleh bekas-bekas
kekesalan, kian santer membahana. Tapi memang dilematis. Jika mer-
eka melanggar perjanjian damai dengan pihak Quraisy, maka pihak
Quraisy jelas akan mengangkat senjata melawan mereka dan akan
mem­bangun kekuatan dengan pihak kelompok Yahudi Khaibar.
Muhammad merasa telah melakukan suatu kekeliruan yang teramat
besar. Sebenarnya maksud ia mengadakan perjanjian dengan pihak
Quraisy agar pihak Quraisy dapat menolak orang-orang yang melawan
pihak Quraisy, lalu mereka mengungsi kepadanya. Akan tetapi, pada
waktu itu tak terpikirkan sama sekali perihal kaum perempuan tatkala
perjanjian damai telah disepakati.
Shahabat-shahabatnya mempertanyakan kembali kepadanya ten-
tang apa tindakan yang akan diambil terhadap perempuan-perempuan
yang mengungsi. Tapi masalah kaum perempuan adalah persoalan lain.
Ini jelas tak bisa dipungkiri.
Kehinaan apalagi yang akan ditimpakan kepada orang-orang Islam
atas dasar perdamaian itu? Apakah agar orang-orang Arab mengatakan
bahwa Muhammad dan shahabat-shahabatnya tidak mampu memberi-
kan perlindungan kepada mereka, lalu mereka menyerahkan para

468 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


perempuan itu kepada musuh secara terpaksa?
Muhammad keluar ke tengah-tengah para shahabatnya sambil
membacakan ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu


perempuan-perempuan yang beriman, maka hendak­lah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka....” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 10)
Dengan adanya ayat di atas, maka jelaslah semuanya dan persoalan
itu selesai lantaran mendapatkan argumentasi teologis berupa ayat.
Setelah itu pulanglah para laki-laki Quraisy itu ke Makkah. Mereka
melakukan tindakan yang ketat terhadap para istri agar tidak sampai
mengungsi. Mereka tidak mene­mukan alasan untuk menuduh Muham-
mad telah melakukan deviasi dari ketentuan perjanjian perdamaian
Hudaibiyah atas sikap resistensi Muhammad untuk memu­langkan para
perempuan itu kembali, karena perdamaian itu tidak menyinggung-
nyinggung masalah perempuan pengungsi.
Sepantasnya mereka tetap menghormati perdamaian. Ini lebih
menguntungkan bagi kepentingan perniagaan mereka. Dengan begitu,
mereka dapat menikmati juga masa-masa aman untuk mengembangkan
kekayaan.
Hati Muhammad merasa lega setelah terlepasnya perjanjian da-
mai Hudaibiyah dari ujian, dan orang-orang Islam yang terlibat dalam
perselisihan pendapat tentang perdamaian pun mulai sadar.
Tapi pikirannya saat ini beralih pada masalah Khaibar. Di sana, di
lembah yang subur, hidup legenda yang teramat aneh. Konon ketika
Bani Israil diisolir dari Mesir dan Musa melintasi lautan bersama mer-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 469


eka, mereka hidup terlunta-lunta di padang pasir selama berhari-hari,
kemudian bersatu kembali di lembah Khaibar. Oleh karena itu, Khaibar
dengan kesuburan lahan-lahan pertaniannya menjadi sokoguru kekua-
tan orang-orang Yahudi hingga akhir zaman.
Demikian juga di bawah pengaruh legenda tersebut, orang-orang
Yahudi hidup bertempat tinggal di Khaibar dari generasi ke generasi.
Lembah Khaibar menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang Yahudi
yang tidak bisa merasa tenteram di kampung asal mereka. Demikian
sisa-sisa Yahudi Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir berlindung di lembah
Khaibar di samping penduduk asli Khaibar. Mereka berusaha memban-
gun kerajaan besar yang menguasai seluruh Semenanjung Arabia.
Obsesi kekuasaan itulah yang menggerakkan mereka, di samping
fantasi-fantasi yang tak pernah padam, untuk membasmi Muhammad.
Kini mereka mengadakan persiapan untuk menjegal rute perdagan-
gan Madinah yang nampak berkembang pesat. Mereka mengumpulkan
seluruh kekuatannya untuk mem­basmi Muhammad dalam upaya mereka
mengadakan agresi ke Madinah dalam waktu dekat. Karena orang-orang
Quraisy telah mengadakan perjanjian damai dengan Muhammad, maka
tak ada cara lain bagi mereka, selain mencari sekutu-sekutu yang lain
di sepanjang Semenanjung Arabia.
Semua ini merupakan ancaman serius yang dapat menghancurkan
orang-orang Islam dan membinasakan Muhammad. Akankah Muham-
mad menunggu hingga mereka menggerakkan seluruh kekuatan tem-
pur dengan sekutu-sekutu mereka ataukah akan memerangi mereka
terlebih dahulu?
Tapi bagaimana cara menyerang mereka, sedangkan mereka be-
rada di lembah Khaibar yang terlindung oleh benteng-benteng yang
menjulang tinggi lagi kokoh?
Betapa bingungnya pikiran Muhammad menghadapi persoalan
kelompok Yahudi yang bertempat tinggal di lembah Khaibar.
Selain masalah kelompok Yahudi, Muhammad masih menghadapi
persoalan-persoalan istri-istrinya. Persoalan dahulu tentang posisi

470 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dan status ‘Aisyah yang selalu merasa tersaingi dengan kehadiran
Juwairiyah, muncul lagi. ‘Aisyah nampak tidak suka sekali kepada Ju-
wairiyah. Zainab binti Jahsy juga saling berkompetisi dengan ‘Aisyah
untuk merebut hati Nabi. Sementara itu pula, Hafshah membangun
opini di tengah-tengah istri Nabi yang lain bahwa Muhammad lebih
mengutamakan Zainab binti Jahsy di atas mereka semua. Hafshah
juga beranggapan bahwa Nabi telah mengharamkan makanan (madu)
yang dihidang­kan oleh Zainab untuk dirinya sendiri demi menyenang-
kan hati istri-istrinya yang lain. Tapi ternyata istri-istrinya yang lain
tetap juga menaruh kecemburuan. ‘Aisyah sangat cemburu kepada
Hafshah, sedangkan Hafshah menaruh rasa kesal kepada Muham-
mad lantaran menurut perasaan­nya, ‘Aisyah lebih istimewa daripada
dirinya, sehingga karenanya ‘Aisyah banyak mendapatkan kasih sayang
dari Muhammad.
Konflik internal rumah tangga yang terus-menerus melandanya,
sangatlah tidak pantas terjadi karena hanyalah persoalan kecemburan
belaka. Istri-istri Muhammad semuanya mengadu tentang kondisi
kehidupan keluarga Muhammad yang dirundung kesusahan dalam per-
soalan ekonomi. Mereka menangis lantaran tidak pernah mengena­kan
kain sutra Syam, katun Mesir, dan tidak pula baju yang halus produk
Yaman.
Di tengah-tengah pengaduan istri-istrinya di seputar pakaian, kedua
bola mata Muhammad meneteskan air mata, karena hatinya sedang
risau menghadapi orang-orang Yahudi yang melakukan persiapan di
lembah Khaibar untuk menghancurkan Madinah.
Muhammad meminta kepada istri-istrinya agar hidup rukun dan da-
mai di antara mereka dan tidak ambisius pada perhiasan. Selanjutnya,
dia minta tolong kepada Ummu Salamah. Namun apa yang terjadi? Istri-
istrinya yang lain malah menuduhnya lebih mengistimewakan Ummu
Salamah daripada diri mereka, karena mereka menemukan ke­miripan
dalam diri Ummu Salamah, baik fisik maupun psikis, dengan istrinya
yang telah pergi ke alam baka, Khadijah. Dengan berkobarnya api
kecemburuan yang melanda istri-istrinya, maka tak pelak lagi memori
indah saat-saat bersama mantan istrinya yang pertama, Khadijah, kini

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 471


terkenang kembali.
Di hadapan Muhammad, ‘Aisyah secara terang-terangan men-
gatakan bahwa dirinya lebih superior daripada Khadijah, baik dalam
hal kecantikan maupun kondisi usianya yang lebih muda, dibanding
dengan perempuan yang tak pernah dapat dilupakannya itu.
Spontan emosi Muhammad memuncak, karena ‘Aisyah mengungkit-
ungkit almarhumah istrinya yang telah menjadi sandaran semangat
juangnya pada saat-saat perjuangan penuh berbagai aral.
Putrinya, Fathimah, juga emosi lantaran ibunya yang sudah al-
marhumah disebut-sebut dalam badai rumah tangga itu. Muhammad
melarang keras kepada ‘Aisyah dan istri-istrinya yang lain agar tidak
melibatkan Khadijah dalam persoalan konflik internal keluarga.
Lagi-lagi ‘Aisyah membanding-bandingkan antara hidup bahagia
yang pernah dirasakan oleh Khadijah dengan kehidupan yang penuh
kesusahan dan kesengsaraan, padahal dirinya adalah perempuan cantik
dan masih muda yang tiada bandingnya di istana kerajaan mana pun.
Hafshah merasa kesal juga terhadap kehidupannya yang serba
kasar, padahal selama masih hidup bersama ayahnya, ‘Umar bin Kha-
ththab, selama menjadi bangsawan di Makkah, kehidupan sehari-hari
Hafshah senantiasa ber­gelimang dengan sutera-sutera halus.
Tuntutan semua istri tentang perjalanan hidup diajukan ke hada-
pan Muhammad dengan penuh argumentatif. Mereka beralasan bahwa
mereka adalah istri-sitri yang masih muda-muda dan cantik-cantik
yang tidak pernah hidup sebagai­mana layaknya istri-istri seorang laki-
laki seperti Muhammad yang saat ini memerintah sebuah negara yang
cukup besar.
Dari semua tuntutan para istrinya itu, Muhammad dengan tegas
menyatakan seraya menyitir sebuah ayat:

“Jika kalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah

472 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


supaya kuberikan kepada kalian mut‘ah dan aku ceraikan kalian dengan cara
yang baik.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 28)
Ancaman perceraian? Ya. Tapi apa yang terjadi? Ancaman per-
ceraian sekalipun tak mampu mengubah tuntutan mereka lagi. Anca-
man itu tak ada gunanya.
Masih ada cara lain lagi. Muhammad berusaha menya­darkan diri
mereka bahwa mereka tidak sama dengan istri-istri yang lain. Mereka
sepantasnya menjadi perempuan-perempuan yang sabar, tunduk, dan
patuh kepada suami; dan sepantasnya mereka menjadi figur bagi para
istri kawan-kawan seperjuangannya. Dengan sikap lemah-lembut, Mu-
hammad berusaha menyadarkan istri-istrinya, kemudian ia mengubah
tindakan kursifnya. Tapi, istri-istrinya tidak juga mengubah tuntutan-
tuntutannya, walaupun telah digunakan cara persuasif dan kursif.
Dengan kondisi ini, maka alternatif terakhir yang di­gunakan Mu-
hammad adalah terpaksa menceraikan Hafshah; dan pisah ranjang
dengan ‘Aisyah dan Zainab. Kepada kedua istrinya tersebut, Muham-
mad mengancam akan mence­raikannya juga. Selanjutnya, Muham-
mad mengasingkan diri dari para istrinya. Sementara itu pula, kedua
matanya lembab dengan air mata lantaran ke­bingung­an dalam meng-
hadapi ancaman orang-orang Yahudi yang sedang menyusun strategi
dan kekuatan di lembah Khaibar.
Muhammad mengadu kepada Abu Bakar dan ‘Umar bahwa istri-
istrinya telah merusak ketenangan hidupnya, justru dalam kondisi
kehidupannya dan perjalanan risalahnya dalam suatu ancaman yang
serius. ‘Umar pun menyarankan kepada Muhammad agar bersikap keras
saja kepada istri-istrinya. Alasannya, karena para istrinya itu tidak
sempurna akal dan agamanya, bahkan sekalipun mereka itu adalah
figur sebagai Ummahatul mukminin (ibunya kaum mukmin). ‘Umar
langsung saja menemui Hafshah, lalu ia mencela atas sikapnya dan
memukulinya. Demikian juga Abu Bakar merasa sangat menyesalkan
tindakan putrinya, ‘Aisyah, yang telah membuat marah pemimpinnya
dan teman dekatnya, Muhammad. Abu Bakar membentak-bentaknya
dan mengancamnya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 473


Teguran dari para ayah dan kerabat para istri yang tidak membena-
rkan sikap para istri itu kian gencar. Para istri itu adalah pendamp-
ing Muhammad dalam perjuangan dan mereka sebagai Ummahatul
mukminin (ibunya kaum mukmin). Para istri itu pun dikucilkan dari
kerabat-kerabat­nya dan mereka mendapat celaan dari kanan-kiri
mereka. Akhirnya, mereka baru menyadari kekeliruan mereka yang
membiarkan diri dikuasai oleh api ke­cemburuan.
Mereka kemudian menyadari bahwa mereka tidak lagi mencer-
minkan sikap sebagaimana Ummahatul mukminin dan tidak pula
sebagai pendamping Muhammad dalam perjuangan, karena mereka
telah berani menuntut Muhammad agar memberikan kesenangan hidup
berupa pemenuhan pakaian dan perhiasan sutera dan emas.
Setelah menyadari atas segala kekeliruan, mereka pun meminta
maaf kepada Muhammad. Mereka berjanji kepadanya akan menjalani
kehidupan bersamanya menurut keinginannya dan akan bersikap pro-
porsional sejalan dengan posisi tanggung jawab dan kemitraan mereka
dalam perjuangan bersamanya.
Muhammad memaafkan kekeliruan mereka, tapi Muhammad tetap
menolak Hafshah. Namun demikian, Muhammad tetap pisah ranjang
dengan mereka, selain dengan Ummu Salamah karena memberikan
pelajaran.
Kedua bola mata Muhammad memandang jauh ke lembah Khaibar,
di mana orang-orang Yahudi menyusun kekuatan.

g
Orang-orang yang tinggal di masjid Madinah yang dekat dengan
rumah Muhammad, masih saja hidup tanpa pekerjaan. Mereka hidup
tenang dengan mengandalkan harta zakat.
Maka timbullah fenomena baru di kalangan orang-orang, yaitu sikap
menghormati orang-orang yang aktivitas hidupnya hanyalah beribadah
di masjid. Muhammad menemukan salah seorang di antara mereka
yang mengkon­sentrasikan hidupnya dalam aktivitas ibadah itu, hingga
mati kurus lantaran terlalu lama bangun malam dan berpuasa di siang

474 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


hari. Muhammad juga heran melihat laki-laki yang meninggal dengan
tubuh kurus itu.
“Siapa yang memberi makan dia?” tanya Muhammad lantaran
hatinya tergugah dengan fenomena ini.
“Saudaranya,” jawab seseorang.
“Saudaranya itu jauh lebih ahli ibadah daripada dia,” ucap Muham-
mad kepada mereka.
Karena itu, Muhammad menghimbau kepada orang-orang agar mau
bekerja, sebab yang terbaik bagi seseorang adalah makan dari hasil
keringat pekerjaannya. Nabi Dawud adalah orang yang makan dari
hasil pekerjaannya sendiri.
Himbaun itu mendapat respon positif dari mereka dan akhirnya
mereka bekerja. Di Madinah setiap orang diberi pekerjaan. Akan tetapi,
orang-orang kaya yang menguasai padang gembala dan sumur-sumur
yang ditinggalkan oleh orang-orang Yahudi, akhirnya menyerahkan
penghasilannya kepada orang-orang yang tidak memiliki harta sama
sekali. Karena itu, Muhammad mengatakan: “Manusia bersekutu dalam
tiga hal, yaitu: air, rumput, dan garam.”

g
Orang-orang Yahudi Khaibar sibuk mengadakan persiapan agresi
ke Madinah dan menghimpun suku-suku di sekitarnya ke dalam se-
buah pasukan tempur yang tergabung dari berbagai kekuatan. Mereka
berhasil merekrut beberapa tentara dari Ghathafan yang tak pernah
melupakan kekalahannya di depan Madinah dalam suatu pertempuran
yang tergabung dari berbagai suku pada waktu silam. Muhammad men-
gambil keputusan akan segera melakukan aksi agresi yang mematahkan
kekuatan Yahudi Khaibar sebelum mereka berhasil menghimpun pasukan
dari berbagai suku. Ia bertekad akan menyerbu Yahudi Khaibar terlebih
dahulu, walaupun social cost yang harus ia bayar cukup mahal. Namun
daripada menunggu, agresi ini masih lebih baik.
Muhammad telah mengetahui bahwa orang-orang Yahudi mem-
bangun kota mereka di balik jaring-jaring pertahanan yang kokoh.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 475


Meskipun demikian, Muhammad telah merancang langkah-langkah
agresi pada benteng orang-orang Yahudi yang jumlah kesemuanya
terdiri dari tujuh benteng.
Muhammad mengerahkan anggota pasukan berkuda lebih besar
daripada kemampuan yang diprediksi sebelum­nya. Pada hari itu juga,
ia berhasil mengumpulkan 200 personel pasukan kuda.
Tidak hanya pasukan kuda yang berhasil ia himpun, tetapi ia juga
berhasil mengumpulkan sekitar 2.000 tentara yang langsung di bawah
komandannya menuju lembah Khaibar.
Pada suatu hari para petani Yahudi Khaibar melihat Muhammad
mendatangi ladang-ladang mereka.
“Muhammad mengejar kami,” teriak mereka dengan penuh keta-
kutan setelah melihat Muhammad men­da­tanginya.
Pada saat itu Muhammad membagi pasukannya menjadi dua bagian;
sebagian merupakan pasukan kuda di mana dalam kelompok tersebut
tergabung sebagian besar tentara, sedangkan sebagian lagi bertugas
mengawasi jalan yang terbentang di antara Khaibar dan Ghathafan. Hal
ini dimaksudkan agar orang-orang Islam tidak mendapatkan serangan
secara tiba-tiba dari arah belakang oleh tentara Ghathafan.
Orang-orang Yahudi bertahan di balik benteng mereka. Karena
itu, Muhammad memerintahkan kepada pasukannya agar melakukan
pengepungan terhadap benteng tersebut dan menebangi pohon-pohon
kurma yang mengelilinginya. Selanjutnya, ia memerintahkan kepada
pasukannya agar mendirikan perkemahan di ladang-ladang orang Ya-
hudi itu, sehingga dengan demikian, pasukannya dapat memberi makan
kuda-kuda dan unta-untanya dan melarang warga Khaibar mengambil
tanaman di ladang Khaibar. Muhammad meng­ingat­kan kepada pasukan-
nya bahwa semua orang mempu­nyai hak yang sama dalam memperoleh
air dan rerumputan.
Akhirnya, orang orang Yahudi terpaksa keluar dari benteng mereka
ke tempat terbuka untuk bertempur dengan orang Islam.
Demikianlah taktik yang dilakukan oleh Muhammad agar mereka

476 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


tidak memperoleh profit apa-apa dengan cara bersembunyi di balik
benteng mereka yang kuat dan menjulang tinggi. Muhammad memaksa
mereka keluar dari balik benteng, karena mereka sudah tentu tidak
ingin mati kelaparan dan kehausan. Terpaksa mereka menghadapi pa-
sukan Islam yang telah menguasai ladang-ladang mereka yang menjadi
sumber kehidupan dan sumur-sumur yang men­jadi tempat pengambilan
persediaan air minum mereka.
Pertempuran akhirnya meletus. Orang-orang Yahudi keluar ke
tempat terbuka untuk memerangi orang-orang Islam sepanjang siang
hari, tapi begitu malam menjelang, mereka segera berlindung kembali
di balik benteng.
Ketika Muhammad telah melihat tanda-tanda keber­hasilan seran-
gannya dalam menaklukkan benteng, dia berseru kepada pasukan-
nya: “Bakal hancur binasalah Khaibar! Sesungguhnya jika kita telah
menginjakkan kaki di suatu kampung musuh, maka akan celakalah
orang-orang yang dipertakuti itu.”
Dalam kondisi yang terjepit sekalipun, orang-orang Yahudi masih
belum kehabisan akal untuk mencari taktik lain. Maka mereka semua
berkumpul di balik suatu benteng. Mereka memegang panah dan
ketapel yang seluruhnya mengarah ke tentara-tentara Islam. Hal ini
dilakukan agar mereka dapat mendesak mundur pasukan Islam dari
balik benteng.
Muhammad mempunyai gagasan untuk mengerahkan seluruh
kekuatan pasukannya agar segera menaklukkan benteng itu untuk
mengimbangi taktik mereka, sebab berkumpulnya orang-orang Yahudi
di suatu benteng tersebut dapat membangun kekuatan bagi mereka
untuk memporak-porandakan kekuatan orang-orang Islam.
Muhammad mengumpulkan seluruh pasukannya. Ia menginstruksi-
kan kepada mereka agar melakukan agresi terhadap benteng tersebut.
Ia menyerahkan bendera pasukannya kepada Abu Bakar. Akan tetapi,
Abu Bakar gagal menyerbu benteng tersebut.
Pada hari berikutnya, komandan penyerbuan diserahkan kepada
‘Umar bin Khaththab. Sehari suntuk ‘Umar menyerbu habis-habisan,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 477


tapi hasilnya masih nihil juga, sekalipun pintu-pintu benteng tersebut
mulai melemah. Sementara itu, orang-orang Yahudi tetap bertahan
pada posisi mereka dengan mengerahkan anak-anak panah dan tak
seorang pun di antara mereka yang diperkenankan untuk bertarung
di tempat terbuka.
Selanjutnya, Muhammad memanggil ‘Ali bin Abi Thalib. Ia berkata:
“Ambillah bendera itu. Mudah-mudahan Allah memberikan kemenan-
gan kepada dirimu.”
Dengan instruksi itu, ‘Ali segera menanggalkan baju besinya agar
dapat bergerak leluasa. Selanjutnya, ‘Ali meminta kepada anak buahn-
ya agar menanggalkan baju besi juga supaya dapat bergerak gesit.
‘Ali berangkat dengan berbekal wasiat Muhammad: “Laksanakanlah
tugasmu dengan baik. Ketika engkau telah sampai di halaman mer-
eka, ajaklah mereka agar memeluk Islam. Jika membangkang, maka
perangilah mereka. Demi Allah, pemberian petunjuk-Nya kepada ses-
eorang lantaran usahamu, itu jauh lebih berarti dan berharga dibanding
dengan binatang yang gemuk-gemuk.”
‘Ali berhasil menerobos benteng pertahanan hingga ia dapat
menginjakkan kakinya ke halaman mereka. ‘Ali mengajak mereka agar
memeluk agama Islam, tapi ajakan ‘Ali justru hanya mendapatkan
ejekan dari mereka.
‘Ali kini menantang mereka untuk berperang tanding lantaran mer-
eka mengejek ajakannya. ‘Ali menantang mereka agar mengeluarkan
jagoan-jagoan mereka untuk bertanding satu lawan satu dengan ‘Ali
sendirian dan hal ini dilakukan secara bergantian.
Harits, salah seorang jagoan Yahudi, tampil. Sekali sergap, Harits
dapat dirobohkan. Tampil lagi jagoan berikutnya, tetapi dengan mudah
‘Ali dapat merobohkannya pula.
Ketika jagoan Yahudi tergeletak di tanah bersimbah darah satu
demi satu, terdengar sorak-sorai pasukan Islam mengejeki kekuatan
pasukan jagoan-jagoan Yahudi. ‘Ali meminta kepada para jagoan
Khaibar agar menampilkan jagoan yang layak tanding.
Murahhab yang dielu-elukan sebagai jagoan penunggang Khai-

478 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


bar kini maju menemui ‘Ali. Murahhab berjalan menuju ke arah ‘Ali
dengan langkah tenang dalam kesombongan, percaya diri, mantap,
menyeramkan, dan bertubuh kekar. Di tangannya tergenggam sebilah
tombak berkepala tiga yang teramat menyeramkan. Seluruh tubuhnya
yang tinggi kekar tertutup baju besi. Kepalanya tertutupi topi baja. Tak
sedikit pun ada celah-celah di tubuhnya yang dapat ditembus senjata.
Di hadapan tubuh yang tidak terlampaui tingginya, ‘Ali maju tanpa
menggunakan baju besi. Namun hanya sebilah pedang yang tergeng-
gam erat di tangannya.
Orang-orang Islam dan orang-orang Yahudi mem­prediksi bahwa
pertarungan kali ini akan merupakan akhir dari perjalanan hidup ‘Ali.
Akan tetapi, ‘Ali dapat memanfaatkan secara baik keringanan tubuh-
nya yang tidak mengenakan baju besi dan pakaian perang lainnya. ‘Ali
membiarkan Murahhab menyerang terlebih dahulu. Begitu Murahhab
memperoleh kesempatan menjulurkan ujung tombaknya, ‘Ali langsung
saja menyerbu, tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ujung
tombak Murahhab hampir saja menembus dada ‘Ali. Untung saja, ‘Ali
dapat menghindar. ‘Ali mundur beberapa langkah, kemudian secepat
kilat ‘Ali melompat tinggi-tinggi. Pada saat itu pula ‘Ali langsung me-
nyarangkan pedangnya dengan segenap kekuatannya ke bagian kepala
Murahhab.
Topi baja Murahhab terlepas dari kepalanya. Pedang ‘Ali menembus
ubun-ubun Murahhab hingga kepalanya terbelah dua. Murahhab lang-
sung roboh, tergeletak tak bergerak-gerak lagi. Orang-orang Yahudi
terbelalak matanya keheranan. Sementara itu, terdengar pula sorak-
sorai kemenangan dari pasukan Islam. Setelah berhasil me­robohkan
Murahhab, ‘Ali dan anak buahnya terus menyerbu pintu gerbang ben-
teng, memecahkannya hingga berhasil merobohkannya. Sementara itu,
orang-orang Yahudi yang masih keheranan atas kekalahan Murahhab
lari terbirit-birit menuju ke benteng yang lain.
Namun begitu, mereka sudah tidak dapat bertahan lebih lama
lagi. Hanya sebentar saja mereka memberikan perlawanan, kemudian
mereka menyatakan kesediaan untuk menyerah, jika mereka mendapat
perlindungan.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 479


Akhirnya, disepakati mereka akan dibiarkan hidup dengan catatan
asalkan para laki-laki mau keluar dari Khaibar, masing-masing mereka
hanya mengenakan satu pakaian saja dengan tubuh tertutup dan me-
ninggalkan senjata, harta benda, simpanan, istri, dan anak-anak mereka.
Para laki-laki Khaibar keluar satu per satu menuju ke gurun sahara.
Selanjutnya, orang-orang Islam menguasai seluruh kekuasaan Khaibar.
Muhammad menginstrusikan agar tidak menggauli para perempuan
tawanan yang hamil dan tidak menjual harta rampasan, sebelum
dibagi-bagikan.
Ketika Muhammad berjalan di bekas arena per­tempuran, ia me-
lihat dua gadis cantik yang meraung-raung. Bilal mendorong kedua
gadis itu ke tengah mayat-mayat orang Yahudi yang bergelimpangan
dan memperlihatkan apa yang diperbuat orang-orang Islam terhadap
mayat-mayat itu kepada kedua gadis tersebut.
“Bilal, sudah tak adakah belas kasihan dalam hatimu kepada kedua
gadis yang menangisi suaminya yang terbunuh itu?” tegur Muhammad
mencegah tindakan Bilal.
Selanjutnya, Muhammad memberikan selendangnya kepada salah
seorang gadis itu. Gadis itu bernama Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab,
pemuka Bani Quraizhah. Shafiyyah tinggal di lembah Khaibar sejak
ayah dan kaumnya terbunuh dalam pertempuran Bani Quraizhah.
“Shafiyyah, aku mohon maaf kepadamu atas tindakan yang telah
aku lakukan terhadap kaummu. Tetapi mereka...,” ucap Muhammad
dengan sedih.
Shafiyyah mengetahui apa yang telah diperbuat kaumnya terhadap
Muhammad. Karena itu, ia menjawab ucapan Muhammad dengan baik.
Selanjutnya, Muhammad mengajak Shafiyyah untuk memeluk aja-
ran Islam dan Shafiyyah menerima ajakan Muhammad. Ia masuk Islam.
Setelah menyatakan masuk Islam, Shafiyyah akhirnya dipersunting oleh
Muhammad dan tinggal bersama dalam satu kemah.
Ketika pagi tiba Muhammad melihat ada seseorang laki-laki dari
pasukannya berada di depan pintu kemah dengan menggenggam se-

480 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


bilah pedang. Muhammad bertanya kepada laki-laki itu, mengapa ia
berdiri di depan pintu kemahnya. Laki-laki itu menjawab: “Aku kha-
watir akan kesela­matanmu dari perempuan itu, sebab engkau telah
memerangi ayahnya, suaminya, dan kaumnya, sedang ia masih baru
terlepas dari kekufuran. Karena itulah, aku sangat mengkhawatirkan
keselamatanmu.”
Dengan tersenyum, Muhammad berkata: “Tuhanku, mudah-
mudahan Engkau menjaganya sebagaimana dia telah menjaga diriku
semalaman.”
Hanya saja shahabat-shahabatnya tidak mau menjaga diri dari ti-
pudaya saudara perempuan Murahhab yang telah dibebaskan bersama
Shafiyyah dari tangan Bilal, sewaktu Bilal bertemu dengan kedua gadis
itu di tengah mayat-mayat orang-orang Yahudi yang bergelimpangan.
Rupanya, saudara perempuan Murahhab menyelipkan racun di
dalam makanan. Salah seorang shahabat Muhammad ikut makan ber-
samanya dan Muhammad mengambil sepotong daging itu. Karena itu,
dia meludahkannya. Akan tetapi, shahabat begitu saja makan daging
yang beracun itu, tiba-tiba shahabatnya itu mati seketika.
Karena itu, Muhammad memerintahkan para shahabat­nya untuk
menangkap saudara perempuan Murahhab itu. Setelah diinterogasi,
saudara perempuan Murahhab mengaku bahwa ia telah menyelipkan
racun pada daging itu. Maka dibunuhlah saudara perempuan Murah-
hab, karena ia telah melakukan pembunuhan.
Setelah segalanya selesai, Muhammad mengumumkan keberangka-
tan pasukan untuk kembali ke Madinah. Kini kemenangan atas Yahudi
Khaibar bergema di berbagai penjuru Semenanjung Arab.
Di tengah perjalanan, pada saat singgah di suatu tempat untuk
melepas lelah, datanglah delegasi dari berbagai suku Yahudi yang
berdekatan, menghadap Muhammad untuk meminta perlindungan dan
menyatakan kepatuhan mereka serta melakukan pengutukan kepada
Yahudi Khaibar.
Tidak sedikit di antara mereka yang memeluk agama Islam. Mu-
hammad tidak menolak keislaman mereka, sekalipun ia mengetahui

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 481


mereka tidak sungguh-sungguh.
Akhirnya, Muhammad sampai di Madinah dengan seluruh pasukan-
nya. Mereka berhasil memperoleh harta rampasan yang melimpah
melebihi harta rampasan yang mereka peroleh dari pertempuran-
pertempuran sebelumnya.

g
Kini pihak yang menjadi ancaman serius bagi Muhammad, sudah tak
ada lagi. Demikian pula, kini sudah tak ada lagi yang membuat letih
pikirannya. Orang-orang Yahudi telah berhasil ditumpas, sedangkan
dengan pihak Quraisy terikat perjanjian perdamaian selama sepuluh
tahun. Demikian pula suku Ghathafan telah lumpuh kekuatannya untuk
membantu Yahudi Khaibar dan tidak akan lagi melakukan penyerbuan.
Dari sana-sini banyak suku yang menyatakan masuk Islam tanpa
dihantui rasa cemas lagi, setelah perdamaian Hudaibiyah dan jatuh-
nya basis Yahudi di Khaibar ke dalam genggaman tangannya. Dengan
demikian, kini Muhammad berpikir akan melancarkan dakwahnya
keluar Semenanjung Arab, setelah merasakan tidak ada lagi ancaman
yang serius bagi gerakan dakwahnya di kalangan bangsa Hijaz.
“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
yang menguasai langit dan bumi, bagi kamu semua.”
Muhammad mengutus kurir untuk menyampaikan suratnya kepada
kaisar Romawi, Persia, dan Maqauqis Qibti di Mesir. Selanjutnya, ia
mengutus kurir pula untuk menyampaikan suratnya kepada pemimpin-
pemimpin bangsa Arab yang tinggal di daerah yang jauh; ke penguasa
Najd, penguasa Bahrain, dan raja Ghassan.
Muhammad mengajak mereka agar mau memeluk agama Islam dan
menjamin tidak akan mencaplok keku­asaan mereka kepada semua
kepala negara itu. Raja Romawi memperlakukan kurir yang diutus
Muhammad dengan penuh hormat. Akan tetapi, ia tidak memberikan
respon sama sekali terhadap surat Muhammad.
Sementara itu raja Persia menyobek-nyobek surat Muhammad dan
mengusir kurir-kurir yang di utusnya. Selanjutnya, raja Persia menulis

482 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


surat kepada Gubenur di Shan‘a agar mengirimkan pasukannya ke Ma-
dinah untuk menangkap Muhammad; dan setelah Muhammad berhasil
ditangkap, maka agar segera dikirim ke ibu kota kerajaan Persia dalam
keadaan dibelenggu.
Pemerintah Shan‘a tidak mampu melaksanakan perintah tersebut;
dan usaha penangkapan Muhammad terus dilakukan, hingga raja Per-
sia meninggal dunia dan digantikan putranya. Raja Persia yang baru,
mengirim surat susulan kepada pemerintahan Shan‘a yang isinya:
“Tangguh­kan saja penangkapan terhadap Muhammad, hingga datang
instruksi.”
Berbeda dengan raja Persia, raja Qitbi di Mesir justru menyam-
but kedatangan kurir Muhammad dengan penuh hormat. Bahkan ia
menghadiahkan seratus dinar dan lima pakaian. Hanya saja, ia tidak
memberikan respon terhadap isi surat Muhammad. Ia hanya mengir-
imkan beberapa pakaian mewah yang terbuat dari katun Mesir, emas,
minyak misik, kayu gaharu, cawan-cawan yang terbuat dari perak,
madu, keledai yang gemuk, kuda dengan kendali yang terbuat dari
perak, himar yang berwarna kelabu, budak hitam manis yang bernama
Barirah, budak kulit putih yang cantik bernama Sirin, dan seorang gadis
yang teramat cantik di kalangan gadis-gadis Mesir; seorang gadis per-
anakan, ayahnya berdarah Mesir, sedangkan ibunya berdarah Yunani.
Nama gadis itu Mariyah.
Semua persembahan itu diterima Muhammad dengan senang hati.
Ia mengirim kurir kembali kepada raja Qibti untuk menyampaikan uca-
pan terima kasih. Selanjutnya, semua persembahan itu ia kumpulkan
ke bagian perben­daharaan negara. Budak perempuan yang berkulit
putih, ia anugerahkan kepada penyairnya, Hassan bin Tsabit, sedang-
kan Mariyah dilamar oleh Muhammad sendiri, setelah gadis itu masuk
Islam. Mariyah menerima tawaran Muhammad, kemudian menjadi istri
yang paling dicintai di antara istri-istri yang lain. Muhammad teramat
berbahagia dengan perkawinannya ini. Karena itu, ia menjadi menantu
bagi para raja Qitbi Mesir.
Tidak seperti ketiga penguasa yang tidak memberikan respon
terhadap ajakan Muhammad, penguasa Bahrain menerima ajakan Mu-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 483


hammad untuk memeluk ajaran Islam. Penguasa Bahrain menyatakan
keislamannya, lalu mengajak rakyatnya untuk memeluk agama Islam
juga.
Penguasa Najd tidak sama dengan penguasa Bahrain. Ia tidak
memeluk ajaran Islam, tetapi memberikan kebebasan bagi rakyatnya
untuk memeluk agama baru itu. Penguasa Najd menanggapi surat
Muhammad dengan sikap baik. Bahkan ia mengirimkan persembahan
kepada Muhammad melalui kurir-kurir yang diutus Muhammad.
Sementara sikap raja Ghassan ketika menerima kurir Muhammad,
ia merobek-robek surat dan menyatakan penolakannya secara keras.
“Katakan kepada temanmu, bahwa aku akan datang kepadanya
dan temanmu itu sama sekali tak mampu menurunkan posisiku dari
singgasanaku,” demikian hardik raja Ghassan kepada kurir Muhammad.
Selanjutnya, raja Ghassan mengirim utusan kepada raja Romawi, guna
memohon persetujuan rencana agresi ke Madinah. Namun Raja Romawi
menunjukkan sikap penolakannya atas permohonan tersebut.
Setelah semua tanggapan surat-suratnya yang telah dikirimkan
kepada para penguasa di berbagai macam negara itu terkumpul,
Muhammad merencanakan akan melakukan pengiriman sekali lagi
kepada para penguasa yang menolak secara terang-terangan dengan
merobek-robek suratnya atau mereka yang sekedar memberikan tang-
gapan dengan cara mengirim kado persembahan. Inti surat yang akan
dikirimkan itu adalah ajakan untuk menjalin hubungan secara damai,
sebelum menyatakan perang dengan mereka.
Muhammad menyatakan akan melakukan peperangan dalam rangka
melindungi masyarakat tertindas, demi tegaknya keadilan dan demi
kebebasan seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia.

“Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) kaum

484 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo‘a:
‘Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri (Makkah) ini yang zhalim pen-
duduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong
dari sisi-Mu.’” (QS. An-Nisaa’ [4]: 75)
Tapi sebelum deklarasi perang dikumandangkan, ia harus menye-
barkan ajakan-ajakan untuk memeluk ajaran Islam terakhir kalinya:

“Marilah (berpegang) pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada


perselisihan antara kami dan kalian semua....” (QS. Ali ‘Imran [3]: 64)

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 485


486 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Kesepakatan
yang membentangkan jalan

O
rang-orang Islam kini berada dalam kondisi yang
sangat mantap. Kondisi yang mantap ini mereka
rasakan setelah kepulangan mereka dari lembah Khaibar
dalam suatu kemenangan gemilang, membawa harta rampasan yang
melimpah-ruah, di samping tawanan-tawanan yang perkasa dan cantik-
cantik. Situasi yang mantap seperti saat ini belum pernah mereka
rasakan.
Pada suatu pagi mereka tiba-tiba dikejutkan oleh laki-laki, perem-
puan, dan anak-anak yang mengetuk pintu-pintu rumah-rumah mereka.
Pakaian para pendatang itu tampak asing sekali di mata mereka, tapi
bahasanya jelas menggunakan bahasa Arab.
Rupanya para pendatang itu adalah sebagian pengikut Muhammad
yang dulu mengungsi ke Ethiopia (Habsyah) dari ancaman orang-orang
Quraisy, ketika mereka dalam posisi terjepit dan berbagai kota menu-
tup pintu untuk mereka. Mereka tak menemukan apa-apa selain lautan
sebagai tempat penyeberangan dan raja Najasyi sebagai pemberi suaka
kepada mereka yang belum pernah diberikan kepada siapa pun selain
mereka.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 487


Di sanalah, di negeri yang jauh itu mereka tinggal selama itu.
Mereka mencari kehidupan. Mereka menyebarkan dakwah ajaran yang
mereka bawa mengungsi, lalu mereka melahirkan generasi-generasi
penerus yang belum pernah tahu asal tanah leluhurnya, betapapun
generasi itu tahu bahwa dirinya berdarah Arab.
Di sana pulalah, di bawah kolong langit negeri yang jauh itu, mer-
eka meninggalkan kesenangan mereka, kenang-kenangan yang agung,
dan kekasih yang tiada terhitung jumlahnya.
Setelah sampai kepada mereka tentang adanya perjanjian gen-
catan senjata antara Muhammad dan pengikut-pengikutnya dengan
pihak Quraisy, mereka bertekad akan meninggalkan Habsyah. Mereka
minta izin kepada raja Najasyi; dan mereka diizinkan. Bahkan raja
Najasyi memberikan bekal kepada mereka dengan bingkis­an-bingkisan
istimewa dan menyediakan dua buah perahu besar sebagai alat trans-
portasi mereka.
Pemimpin rombongan adalah Ja‘far bin Abi Thalib, seorang pemuda
jangkung yang pemberani; jiwa pem­beraninya ditetesi keberanian jiwa
Hamzah, pamannya; dan keberanian ‘Ali, saudaranya. Ja‘far sempat
memanfaat­kan masa tinggal di Ethiopia untuk mempelajari berbagai
ilmu tehnik perang yang belum pernah dipelajari oleh orang-orang
Arab. Ilmu yang dipelajarinya itu adalah tehnik perang yang mampu
mengalahkan jagoan yang dibanggakan oleh Bani Hasyim dan Hamzah
dalam perang Uhud.
Adapun orang yang ikut serta dalam rombongan itu adalah Ram-
lah binti Abu Sufyan, si pelopor kesesatan di kalangan orang-orang
Quraisy. Ramlah binti Abu Sufyan termasuk di antara orang-orang
yang ikut mengungsi. Ia mengungsi bersama suaminya sejak sepuluh
tahun, hidup beranak-pinak di tanah pengungsian. Namun suaminya
tertarik kepada agama Kristen. Suaminya menyatakan masuk Kristen,
lalu menceraikan istrinya yang cantik jelita itu, kemudian menikah
dengan perempuan Ethiopia yang beragama Kristen.
Kisah perjalanan hidup Ramlah binti Abu Sufyan diketahui lang-
sung oleh Muhammad di Madinah. Tanpa perlu melihat perempuan

488 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang diceraikan oleh suaminya itu, Muhammad langsung melamarnya.
Raja Najasyi sendiri yang menjadi wakil dalam akad pernikahan itu.
Raja Najasyi mulai memandang Muhammad sebagai raja Hijaz. Karena
itulah, raja Najasyi memperlakukan Muhammad sebagai­mana mem-
perlakukan raja-raja yang lain dan dia bersedia menjadi wakil dalam
pernikahan itu.
Tidak berapa lama setelah prosesi akad nikah itu selesai, Ramlah
bertolak ke Madinah bersama para pengungsi yang lain disertai pula
anak perempuannya yang bernama Habibah.
Ketika Banu Umayyah mengetahui bahwa Muhammad telah me-
nikahi putri pembesar mereka, Abu Sufyan, mereka merasa bangga,
sebab Muhammad saat itu menjadi pemimpin Madinah dan menjadi
anutan dari 15 suku yang termasuk paling kuat di kalangan Semenan-
jung Arab.
“Si jantan itu memang tidak dapat dipotong batang hidungnya
(tidak bisa ditaklukkan –edt.),” ucap Abu Sufyan.
Muhammad menyambut kedatangan para pengikutnya dengan
kegembiraan, kemudian menyelenggarakan walimah (resepsi pernika-
han) di rumahnya pada malam pernikahan­nya dengan Ummu Habibah,
wanita yang telah berusia 30 tahun itu.
“Aku tidak tahu karena faktor manakah yang membuat aku bergem-
bira. Karena kemenangan di Khaibar ataukah karena kedatangan Ja‘far
(serombongan),” ujar Muhammad di hadapan para shahabatnya.
Kini Ja‘far diberi peluang yang sebesar-besarnya untuk bergabung
dalam pasukan Islam, jika pasukan ini akan melakukan pertempuran
lagi.
Tapi saat ini tidak ada rencana pertempuran lagi. Tak ada lagi
persoalan yang menyibukkan Muhammad, selain upaya memberikan
penghidupan kepada para pengikutnya yang baru pulang dari Ethiopia
itu, walaupun di antara mereka ada yang merasakan kesenangan hidup
dari pemberian-pemberian raja Najasyi.
Muhammad menganjurkan kepada mereka agar mau bekerja untuk

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 489


kebutuhan pangan mereka. Namun tampak­nya di antara mereka masih
ada yang terus meminta-minta. Di antara mereka ada juga yang merasa
lebih berhak menerima zakat. Alasannya, karena mereka tergolong
orang-orang miskin yang tidak memiliki pangan.
“Orang miskin itu bukanlah orang yang tidak mendapat­kan ses-
uap atau dua suap makanan. Akan tetapi, orang miskin itu adalah
orang yang tidak mempunyai harta kekayaan dan merasa malu untuk
meminta-minta kepada orang lain atau tidak meminta-minta kepada
orang lain secara paksa,” ucap Muhammad kepada mereka.
Karena itu, mereka harus segera menghentikan ke­biasa­an me-
minta-minta, termasuk orang-orang yang menadahkan tangannya
yang datang dari berbagai suku, lalu bermukim di masjid beribadah
siang dan malam, semata-mata menggantungkan hidupnya dari harta
zakat. Cara-cara hidup seperti ini tidak boleh terus berlanjut men­jadi
tradisi kehidupan masyarakat Madinah. Seseorang tidak boleh hidup
di bawah jerih-payah orang lain. Muhammad tak menginginkan sama
sekali adanya seseorang yang hanya memfokuskan diri pada aktivitas
ritual belaka, duduk bersila di masjid tanpa mau bekerja mencari rizki,
lalu untuk keperluan makannya hanya mau meminta-minta saja.
Ini bukan ajaran yang dibawanya. Ia datang membawa ajaran yang
mendorong untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Ia justru
datang dengan membawa ajaran kebesaran jiwa, sebab tak ada orang
yang lebih utama dari orang lain, melainkan karena pekerjaannya.
Sementara itu orang-orang yang menghimpun kekayaan dari harta
rampasan mulai menyimpan harta kekayaan mereka, karena kha-
watir akan habis dishadaqahkan secara gratis. Karena itu, Muhammad
memerintahkan kepada mereka agar mendermakan sebagian harta
kekayaannya.
Muhammad menghimbau keras kepada semua orang agar mau
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebaliknya, bagi
kalangan hartawan, Muhammad melarang melakukan penghimpunan
harta kekayaan dan mengharuskan berderma kepada mereka yang
melarat dan sengsara.

490 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad senantiasa menyampaikan statemennya:

“Tiadalah benar-benar beriman kepadaku,


orang yang melewati malam dalam keadaan kenyang,
sementara tetangganya kelaparan.”

“Barangsiapa mati terlantar di tengah-tengah para hartawan,


maka perlindungan Allah dan Rasul-Nya benar-benar
telah tercabut dari para hartawan itu.”

“Barangsiapa mempunyai kelebihan kendaraan, maka


hendaklah ia meminjami/memboncengkan orang yang tidak punya kendaraan.
Barangsiapa yang mempunyai kelebihan harta,
maka hendaklah ia membantu orang-orang yang kekurangan. Karenanya, tidak
dibenarkan bagi seseorang di antara mereka mempunyai kelebihan (sementara
orang lain
berada dalam kekurangan).”

“Barangsiapa yang berpagi hari


tidak memiliki kepedulian terhadap orang-orang Islam,
maka ia bukan tergolong dari mereka.”
Statemen-statemen Muhammad ini menimbulkan kegelisahan di
hati para hartawan. Salah seorang dari hartawan itu ada yang menawar-
kan seluruh harta kekayaan­nya untuk dishadaqahkan.
“Tahanlah sebagian hartamu untuk keperluanmu sendiri, karena
itu lebih baik bagimu. Sebaik-baik shadaqah adalah yang dikeluar­kan
setelah (sekedar) terpenuhinya kebutuhan pokok,” ucap Muhammad
menanggapi mereka.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 491


Selanjutnya, Muhammad menuju ke masjid menemui orang-orang
yang hanya mencurahkan aktivitas pada kegiatan ritual belaka,
ternyata mereka tetap saja meminta-minta. Karenanya, Muhammad
memerintahkan kepada mereka agar mau bekerja untuk kepentingan
hidup mereka sendiri dan juga agar mempunyai harta kekayaan yang
dapat mereka jadikan shadaqah bagi orang-orang yang sedang dalam
perjalanan dan orang-orang yang sudah tidak memiliki kemampuan lagi
untuk bekerja. Dengan demikian, tentu mereka akan enggan untuk
meminta-minta lagi kepada orang lain.
Muhammad telah mengharamkan mereka untuk mengkonsentra-
sikan diri pada aktivitas ritual belaka, tanpa mau melakukan usaha
untuk memperoleh rizki. Ia sama sekali tidak membawa ajaran seperti
itu. Setiap orang harus berusaha mencari pekerjaan dengan berikhtiar
untuk memperoleh kehidupan yang layak.
Setiap orang hendaknya menunaikan kewajibannya, baik kewajiban
terhadap istri maupun kewajiban terhadap anak-anaknya. Para istri
juga harus memperhatikan kepa­tuhan kepada suami mereka. Muham-
mad sama sekali tidak mengajarkan ibadah-ibadah yang menghalangi
seorang suami dari memperhatikan sang istri atau menye­babkan para
istri merasa sumpek karena ulah suami mereka. Semua itu sama sekali
bukan ajaran Muhammad. Para istri hendaknya senantiasa tampil me-
narik di hadapan para suaminya.
Manusia harus energik, produktif, dan sportif melak­sana­kan sepenuh-
nya kewajiban yang harus dijalankan dan menikmati kesenangan ke-
hidupan duniawi tanpa harus merasa berdosa, selama itu masih dalam
ketentuan yang telah disampaikannya. Islam tidak membenarkan hidup
sebagai seorang paderi dan tenggelam dalam aktivitas ritualnya.

“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang


telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?’....” (QS. Al-A‘raaf [7]: 32)
Oleh karena itu, seyogyanya mereka menikmati segala rizki yang

492 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


baik itu. Mereka harus menghentikan kebiasaan yang hanya melakukan
aktivitas ritual belaka itu. Semua orang harus bekerja, selama masih
mampu. Dengan begitu, ia dapat memperoleh penghidupan dari pe-
kerjaannya dan ia dapat membantu orang lain.
Sebaik-baiknya orang adalah yang dapat memberikan kemanfaatan
kepada orang lain. Mereka harus menyebar di muka bumi dan men-
cari rizki; jangan hanya terus-menerus melakukan aktivitas ritual dan
meminta-minta kepada orang lain.
Meminta-minta adalah perbuatan nista dan hina. Muhammad ti-
daklah datang kepada mereka, kecuali dengan membawa ajaran yang
menganjurkan orang agar mem­bebaskan dirinya dan memenuhi hatinya
dengan kemuliaan.
Seseorang yang pagi-pagi benar mengambil tambang, kemudian ia
ke gunung untuk mengumpulkan kayu, setelah itu ia menjualnya dan
dari hasil penjualannya, kemudian ia makan, maka semua itu lebih
baik dibanding dengan meminta-minta.

g
Bulan Zhulhijah kian dekat menjelang. Perjanjian Hudai­biyah
telah berlalu satu tahun. Musim haji kini tiba lagi.
Muhammad mengumpulkan orang-orang yang ditolak masuk Makkah
pada tahun yang lalu dan memerintahkan kepada semua istrinya agar
melakukan persiapan untuk ikut serta pergi bersamanya. Ia menyiapkan
kuda-kuda yang terlatih untuk perang.
Meskipun perjanjian Hudaibiyah memberikan peluang untuk
mengunjungi Makkah pada tahun ini dengan aman, namun tiada
salahnya mereka berhati-hati dan berjaga-jaga.
Muhammad berangkat bersama para pengikutnya mengenakan
pakaian ihram dan bersenjata.
“Kita jangan sampai masuk ke tanah Haram membawa senjata.
Meskipun demikian, senjata-senjata itu jangan sampai jauh dari kita
agar jika kita melihat gelagat orang-orang Quraisy akan berkhianat,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 493


kita tak perlu bingung, karena senjata tidak jauh dari kita,” himbau
Muhammad kepada mereka ketika mereka telah mendekati Makkah.
Muhammad memerintahkan kepada mereka untuk meletakkan
senjata-senjata itu tidak jauh dari Makkah dan meninggalkan sekitar
200 orang yang senantiasa siaga di atas kudanya untuk menjaga kes-
elamatannya.
Akan tetapi, penduduk Makkah telah tunduk pada perjanjian-
perjajian perdamaian Hudaibiyah itu. Warga Makkah membiarkan
Muhammad dan orang-orang yang ikut bersamanya memasuki Makkah
dalam keadaan damai.
Untuk pertama kalinya Muhammad memasuki Makkah, setelah
tujuh tahun lamanya meninggalkan kampung halamannya. Ia duduk
di atas punggung untanya. Di belakang dan di samping kirinya dan
kanannya, dikelilingi orang-orang Muhajirin dan Anshar. Hati mereka
bergolak. Mereka mulai melakukan thawaf di Ka‘bah, sedangkan
di samping Ka‘bah terdapat beberapa pembesar Quraisy yang me­
mandangi mereka sambil berbisik-bisik:
“Sesungguhnya kelemahan akan membinasakan orang-orang Islam.”
Sementara itu pula, Muhammad berkata kepada shahabat-
shahabatnya: “Mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang
memperlihat­kan kekuatan dirinya kepada mereka.” Muhammad keluar
dengan cepat dan penuh semangat, sambil diikuti para pengikutnya.
Setelah Muhammad dan shahabat-shahabatnya telah selesai
melakukan thawaf, maka ia memerintahkan kepada 200 pengikutnya
agar pergi keluar Makkah untuk menyuruh teman-temannya yang ber-
tugas menjaga persenjataan supaya menunaikan ibadah haji.
Betapapun Muhammad dan shahabat-shahabatnya dapat memasuki
Makkah dengan damai dan dapat menunaikan ibadah haji dengan aman,
namun pemerintah Makkah mengeluarkan instruksi kepada orang-orang
Makkah untuk tidak melakukan kontak dagang dengan mereka.
Di antara sebagian pembesar Makkah ada juga yang tidak betah
berdiam di dalam kota demi melihat fenomena Muhammad dan para

494 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


shahabatnya itu. Karena itu, mereka pergi ke gunung-gunung, hingga
orang-orang Islam menyelesaikan ibadah haji dan pergi dari Makkah.
Khalid bin Walid, panglima pasukan kuda Quraisy, merasa khawatir jika
warga Makkah akan membuka perbincangan dengan salah seorang dari
kaum muslimin. Dia sendiri juga turut pergi jauh dari Makkah bersama
pemuka Makkah yang lain.
Dan yang paling fenomenal dari semua fenomena kala itu adalah
banyak orang dari kaum muslimin maupun dari kaum kuffar Quraisy yang
sama-sama merasa kangen, karena di antara mereka ada yang masih
berkerabat di samping saking lamanya mereka tak bersua. Karenanya,
sebagian dari kaum kuffar Quraisy tak kuasa menahan diri untuk menemui
kerabat mereka yang sudah menjadi golongan Muhajirin itu. Praktis,
kedengkian kuffar Quraisy akhirnya luluh di bawah telapak kaki mereka
sendiri secara seketika. Mereka pun lalu saling merangkul, berbincang-
bincang, dan saling bertanya-tanya perihal segala sesuatu sepanjang
masa-masa yang telah memisahkan di antara mereka.

g
Orang-orang Muhajirin memanfaatkan waktu perjum­paan itu den-
gan baik. Mereka mengajak sanak kerabat dan kawan-kawan dekat-
nya untuk memeluk agama baru itu. Mereka berhasil mempengaruhi
sejumlah orang-orang yang langsung datang menghadap Muhammad
untuk menyatakan bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Terma-
suk di antara mereka adalah Walid bin Walid, saudara kandung Khalid
bin Walid. Ia datang kepada Muhammad menyatakan keislamannya.
Muhammad menyambut baik kedatangannya, lalu mendo‘akan.
“Di mana Khalid?” Muhammad bertanya.
“Allahlah yang akan mendatangkan dia nanti,” jawab saudaranya.
“Orang yang seperti Khalid itu bukannya tidak mengerti tentang
Islam. Andaikata ia datang kepada kami, tentu hal itu akan lebih baik
bagi dirinya dan kami mengunggulkan Khalid di atas orang lain,” ujar
Muhammad lagi.
Karena itu, Walid bin Walid memutuskan untuk tidak meninggalkan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 495


saudaranya hingga ia mau memeluk agama Islam.
Pemerintah Quraisy terkejut sekali pada kenyataan yang mereka
lihat. Banyak kaum perempuan dan pria dari kalangan kerabat orang-
orang Muhajirin dan kawan-kawan dekat mereka berbondong-bondong
untuk masuk Islam.
Utusan pemerintah Quraisy datang menemui Muhammad menyam-
paikan perintah agar ia segera meninggalkan Makkah, karena ia telah
tinggal selama tiga hari dan pelaksanaan ibadah haji telah selesai.
Sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah, waktu yang tersedia bagi orang-
orang Islam telah habis dan tidak dibenarkan tinggal di Makkah pada
hari berikutnya.
Muhammad memerintahkan kepada para pengikutnya agar
segera meninggalkan Makkah, tetapi ia meminta dispensasi kepada
pemerintah Makkah untuk menambah masa tinggalnya satu hari lagi.
Masalahnya, ia telah meminang seorang perempuan Quraisy. Sebai-
knya ia melangsungkan malam pertamanya di Makkah. Perempuan
yang dipinang Muhammad adalah salah seorang terhormat keturunan
bangsawan yang sukarela menawarkan dirinya untuk dipersunting
Muhammad dan tawaran itu diterima­nya. Muhammad menginginkan
agar melangsungkan resepsi di Makkah.
Muhammad berkata kepada utusan Quraisy: “Tentu tidak ada
salahnya jika kalian membiarkan aku untuk mengadakan resepsi
pernikahan terlebih dahulu di hadapan kalian, sehingga kami bisa
menghidangkan makanan untuk kalian?”
“Kami tidak membutuhkan makananmu. Segeralah kamu keluar,”
jawab utusan pemerintah Quraisy itu.
Karena permohonannya ditolak, maka Muhammad mengambil
keputusan untuk segera keluar dari Makkah, maka berangkatlah Mu-
hammad disertai beberapa sha­habatnya.
Salah seorang shahabatnya ia tinggalkan. Dia diperin­tah­kan men-
emui Maimunah, perempuan yang dipersunting Muhammad itu, seorang
janda yang telah berusia 50 tahunan yang berasal dari kalangan ke-

496 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


luarga Khalid bin Walid. Perempuan itu mempunyai pengaruh yang
cukup luas di kalangan masyarakat Quraisy. Muhammad tinggal untuk
sementara waktu, kemudian seorang shahabatnya itu menyusulnya di
tengah perjalanan. Selanjutnya, Muhammad tinggal di rumah Maimu-
nah untuk sementara waktu di dekat Makkah.
Pada diri Maimunah tak terdapat keistimewaan sama sekali yang
dapat menimbulkan kecemburuan istri-istri Muhammad. Ia datang di
antara istri-istri Muhammad yang lain dengan kematangan usianya
dan wibawa pengaruhnya di kalangan masyarakat Quraisy. Karena itu,
istri-istri Muhammad menyambut kedatangannya dengan baik. Tak ada
alasan bagi istri-istri Muhammad untuk merasa tersaingi oleh Maimunah
dengan melihat profil keibuannya yang sangat lemah-lembut.
Setelah perkawinannya dengan Maimunah, Muhammad menge-
luarkan suatu pernyataan kepada istrinya, bahwa dalam keadaan
bagaimanapun, setelah ini ia tidak akan menikah lagi dengan perem-
puan mana pun juga. Muhammad pulang ke Madinah dengan penuh
kebahagiaan atas peristiwa yang baru berlangsung itu.
Obsesi orang-orang Islam yang teramat agung telah menjadi ke-
nyataan. Di Makkah banyak orang yang telah membuka pintu hatinya
untuk menerima ajakan orang-orang Islam, betapapun kondisi mereka
dalam ancaman dan siksaan pemerintah Quraisy.
Masuknya Muhammad ke Makkah merupakan langkah-langkah yang
bermakna strategis bagi terjalinnya relasi Muhammad dengan berbagai
suku. Ibadah haji kali ini telah membuka peluang bagi orang-orang
Islam untuk mengada­kan dialog dengan mayoritas warga Makkah dan
warga suku-suku yang lain dengan melancarkan dakwah kepada mereka
untuk memeluk agama Islam.
Semua itu dapat dilakukan secara mulus tanpa ancaman yang
berarti, bahkan sekalipun dari pihak-pihak yang tidak mau menerima
ajakan Muhammad. Tak ada lagi yang berani melakukan ancaman
terhadap orang-orang Islam secara terang-terangan dan biadab se-
bagaimana masa-masa yang silam.
Kemenangan secara beruntun sepanjang tujuh tahun membuat

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 497


hati pemerintah Quraisy kalang-kabut. Sementara itu perkawinannya
dengan Maimunah binti Harits, seorang janda lanjut usia dan berpenga-
ruh di kalangan warganya, merupakan faktor lain pula yang membuat
orang-orang lain segan kepada orang-orang Islam.
Sesampainya di Madinah, Muhammad kembali menulis surat yang
akan dikirim kepada raja-raja dan penguasa di luar Semenanjung Arab
yang isinya berupa ajakan untuk bergabung dalam ajarannya.
Muhammad mengutus kurir yang ditugaskan untuk menyampai-
kan suratnya kepada penguasa Bashrah di Syiria. Isi surat itu adalah
ajakan untuk masuk Islam. Muhammad mengetahui daerah Bashrah
sejak masih remaja, ketika masih sering mengikuti pamannya, Abu
Thalib, dalam perjalanan niaga pada musim dingin dan musim panas.
Dia mengetahui bagaimana kehidupan warga Bashrah. Karena itu, Mu-
hammad dalam suratnya mengingatkan tentang derita warga Bashrah
yang hidup dalam kolonialisasi imperium Romawi; dan secara khusus
Muhammad meng­gugah kesadaran mereka agar berupaya menegakkan
keadilan dan melepaskan manusia dari kesewenang-wenangan yang
terjadi dalam kehidupan mereka.
Muhammad menunggu kedatangan kurirnya dengan suatu harapan
sekalipun penguasa Bashrah tidak mau menerima Islam, namun ia
memberikan kebebasan kepada orang-orang untuk memeluk Islam.
Muhammad menunggu dan terus menunggu kepulangan kurirnya itu.
Pada suatu pagi ketika ia sedang dalam menunggu kepulangan
kurirnya itu, datanglah Walid bin Walid yang mengabarkan bahwa
Khalid bin Walid dan ‘Amr bin ‘Ash datang ke Madinah dengan suatu
maksud menemui Muhammad untuk menyatakan keislaman mereka.
Khalid bin Walid, orang yang pernah mencabik-cabik tentara Islam,
akhirnya datang juga.
Muhammad menyambut kedatangan Khalid bin Walid dan ‘‘Amr
bin‘Ash dengan penuh kegembiraan. Dialah komandan pasukan kuda
Quraisy yang akhirnya bergabung juga ke dalam pasukan Muhammad.
Islam akan menjadi lebih kuat lagi dengan kedatangan Khalid, seb-
agaimana Islam menjadi lebih kuat karena Hamzah dan ‘Umar sebelum

498 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


itu.
Ketika Khalid menyatakan keislamannya di hadapan Muhammad,
maka berkatalah Muhammad: “Segala puji bagi Allah yang telah men-
datangkan petunjuk kepadamu. Aku sungguh melihat kecemerlangan
pikiranmu yang kuharapkan agar kecerdasanmu itu tidak diarahkan
selain untuk kebaikan.”
“Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar Dia berkenan
mengampuniku atas dosa-dosa yang telah kuperbuat di negeri-negeri
di mana aku pernah bertempur melawan dirimu,” pinta Khalid.
“Islam itu menghapus segala dosa yang telah berlalu,” jawab Mu-
hammad memberikan optimisme.
Muhammad menyediakan kamar khusus untuk Khalid dan ‘Amr bin
‘Ash. Selanjutnya, Muhammad n memasuki rumahnya untuk beristi-
rahat....
Kebetulan ketika itu, jatah giliran bermalam Muhammad di antara
para istrinya jatuh pada Hafshah. Namun ternyata Hafshah saat itu
sedang pergi ke rumah ayahnya. Muhammad pun lalu bermalam di
kamar Hafshah bersama istrinya yang berkebangsaan Mesir, Mariyah,
yang teramat cantik itu. Hafshah, ‘Aisyah, dan Zainab menaruh rasa
cemburu kepada perempuan Mesir itu.
Begitu Hafshah kembali ke kamarnya, ia menemukan Mariyah ada
di sana.
“Demi Allah, sungguh engkau telah menyakiti hatiku. Andaikata
kedudukanku tidak rendah di sisimu, sudah tentu engkau tidak akan
berani berbuat begitu dengannya di kamarku,” ucap Hafshah kepada
Muhammad.
Muhammad berusaha minta maaf kepada Hafshah. Ia berjanji tidak
akan mendekati Mariyah selamanya, jika Hafshah mau menyimpan
rahasia itu dan tidak mem­bocorkan kepada istri-istrinya yang lain.
Muhammad tidak ingin peristiwa bergolaknya api cemburu antara
istri-istrinya terulang kembali, sebab ia tidak akan mampu berbuat
banyak dalam hidup ini, apabila suasana saling cemburu berlarut-larut.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 499


Hafshah berjanji kepada Muhammad untuk tidak mem­bocorkan
rahasia itu, tapi karena Hafshah tidak mampu me­nanggung beban
kecemburuan yang bergejolak dalam hatinya, akhirnya rahasia itu dic-
eritakan juga kepada ‘Aisyah.
‘Aisyah pun bercerita juga kepada Zainab. Dari hari ke hari rahasia
itu diketahui juga oleh Shafiyyah yang tergolong cantik. Maka demiki-
anlah, rahasia itu menyebar di kalangan istri-istrinya yang lain. Men-
gapa Muhammad meng­istimewakan Mariyah dan mengalahkan giliran
Hafshah? Betapapun perempuan berdarah Mesir itu teramat cantik,
namun masing-masing istri-istrinya merasa dirinya masih lebih cantik
daripada Mariyah. Lantas mengapa Muhammad mengistimewakan
Mariyah di atas istri-istrinya yang lain hingga ia berani memasukkan
Mariyah ke kamar istrinya yang pada saat itu memang waktu giliran-
nya.
Api kecemburuan berkobar kembali. Kecemburuan ‘Aisyah berge-
jolak kembali kepada semua istri-istri Muhammad yang lain, bukan
hanya kepada Mariyah saja. Maka Muhammad pun mengisolasikan diri
dari istri-istrinya selama sebulan penuh. Ia pun menjatuhkan thalaq
satu kepada Hafshah lantaran Hafshah telah membocorkan rahasianya
bersama Mariyah, setelah sebelumnya Hafshah berjanji untuk meny-
embunyikan rahasia itu. Golakan api kecemburu­an para istrinya itu
membuat Muhammad n. merasa begitu dilecehkan, sehingga beliau
mengancam akan menceraikan istri-istrinya yang lain.
Dalam bulan ini Muhammad menunggu kepulangan kurirnya dari
Bashrah, tapi kurir itu belum kembali juga. Ia pergi menemui istri-
istrinya setelah dirinya merasakan kelelahan tidur di atas sehelai
tikar. Ia menyatakan bahwa ia tidak akan mengharamkan Mariyah
berhubungan dengan dirinya semata-mata untuk menuntut kerelaan
istri-istrinya.
Ia mengatakan juga bahwa ia akan memaafkan istri-istrinya,
asalkan mereka mau berjanji tidak akan membuat kesulitan hidup
kembali pada dirinya. Namun jika mereka mengulangi lagi perbua-
tannya, maka ia tidak segan-segan akan menceraikan semua istrinya.
Boleh jadi Tuhan akan mengganti istri-istri yang jauh lebih baik dari

500 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mereka, perempuan muslimah yang beriman penuh kepatuhan, suka
bertaubat, suka melakukan ibadah, dan yang suka berpuasa, baik yang
sudah janda maupun perempuan yang masih berstatatus perawan.
Akhirnya, mereka minta maaf juga. Mereka berjanji tidak akan
berbuat hal-hal yang menyulitkan kehidupannya dan Hafshah pun
kembali lagi kepadanya. Selanjutnya, satu demi satu istrinya kembali
lagi kepadanya.
Beberapa orang shahabatnya melihat bekas-bekas cap tikar tempat
tidurnya melekat di belikatnya.
“Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi tahu kepada kami,
supaya kami menghamparkan permadani di atas tikar itu?” demikian
ucap shahabat-shahabatnya.
“Antara diriku dan dunia ini tak ubahnya bagaikan orang yang
naik kendaraan yang berteduh di bawah pohon, kemudian ia me-
lepas lelah, lalu berangkat lagi meninggalkan pohon yang baru
saja menjadi tempat berteduhnya,” ucap Muhammad menanggapi
keprihatinan shahabat-shahabatnya.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah berita dari Bashrah bahwa
utusannya telah mati terbunuh tanpa memberikan perlawanan.
Lalu akankah Muhammad mengambil sikap tinggal diam terhadap
penghinaan ini, setelah ia membangun wibawa agamanya dengan
susah-payah siang dan malam?
Betapapun kokohnya kekuasaan imperium Romawi, tapi Muhammad
tidak akan tinggal diam terhadap penghinaan ini. Muhammad memu-
tuskan untuk mengirimkan pasukan­nya ke pusat kerajaan Romawi,
di mana kurirnya terbunuh. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
pelajaran kepada orang yang telah berani melakukan pembunuhan
terhadap kurirnya itu.
Ja‘far telah pulang ke Ethiopia setelah mempelajari berbagai
tehnik peperangan di sana. Khalid pun telah bergabung dalam barisan-
nya. Inilah saat yang tepat bagi kedua jagoan itu untuk membuktikan
kehebatan diri mereka masing-masing.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 501


Muhammad mengumpulkan 3.000 prajuritnya dan memerintahkan
agar mereka segera berangkat ke Syiria. Komandan pasukan diserah-
kan kepada Zaid bin Haritsah. Dalam pasukan ini yang ikut bergabung
adalah Ja‘far bin Abi Thalib, saudara sepupu Muhammad; Khalid bin
Walid, komandan pasukan kuda yang gagah berani; dan ‘Abdullah bin
Rawahah, seorang penyair yang bertugas sebagai pengobar semangat
tempur heroik prajurit.
Sementara itu pula, imperium Romawi mengerahkan dua 200.000
prajuritnya.
Setelah mereka mengetahui imperium menyiapkan 200.000 pasu-
kannya, komandan pasukan Islam merunding­kan persoalan ini. Strategi
tempur apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi 200.000 pasukan
yang memiliki persenjataan perang dan pasukan penunggang kuda yang
berjumlah 3.000? Salah seorang di antara pasukan Islam berpendapat,
sebaiknya mereka tidak memasuki arena pertempuran. Mereka lebih
baik mengirim utusan ke Madinah untuk menghadap panglima besar
mereka sekaligus meminta balabantuan.
Tetapi sang penyair ‘Abdullah bin Rawahah berdiri di tengah-tengah
pasukan mengungkapkan kata-kata yang menggugah semangat tempur
para prajurit untuk segera turun ke medan perang. Sang penyair ‘Abdul-
lah bin Rawahah melantunkan bait-bait syair yang membangunkan
kebe­ranian para prajurit.

Kita bertempur bukan bersandar


pada jumlah pasukan dan kekuatan persenjataan
Kita bertempur di atas pijakan dan sandaran
spirit agama yang dimuliakan Allah
Maka bergeraklah kalian semua
Perang hanya mengenal salah satu di antara dua kebaikan: menang
atau mati syahid,”
ucap ‘Abdullah bin Rawahah.

502 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Kini tentara Romawi bergerak maju, maka terjadilah pertempuran
antara dua kekuatan di Mu‘tah, sebuah desa dekat Qudus. Zaid bin
Haritsah terjun ke dalam laga di mana di tangannya tergenggam ben-
dera pasukan. Tapi sial, sebuah tombak tentara Romawi menancap
di dadanya. Ia jatuh terpelanting, lalu roboh ke tanah saat pertem-
puran baru saja dimulai. Bendera pasukan Islam lalu diambil alih oleh
Ja‘far bin Abi Thalib, kemudian ia terjun ke kancah peperangan tanpa
menunggangi kuda lagi, karena kudanya telah terluka. Ja‘far meny-
erang dengan sebilah pedangnya, tenggelam di tengah-tengah tentara
Romawi. Ja‘far ter­kena sabetan pedang tentara Romawi. Tangannya
yang meng­genggam bendera terputus, tetapi semangatnya pantang
surut juga. Ia alihkan bendera itu ke tangan sebelahnya.
Tangan Ja‘far yang tinggal sebelah akhirnya terkena sabetan
pedang lagi hingga putus juga. Ia tetap saja memegang bendera
itu dengan mendekapkan ke dadanya. Ja‘far yang telah kehilangan
kedua belah pergelangan tangannya itu masih saja terus menerjang
arena per­tempuran. Tapi karena terlampau banyak sabetan pedang
yang mengenai tubuhnya, akhirnya Ja‘far roboh tersungkur juga dan
menghembuskan nafasnya yang terakhir sebagai syahid di arena per-
tempuran.
‘Abdullah bin Rawahah mengambil alih bendera pasukan. Ia lalu
maju bertempur hingga tewas dalam keadaan melantunkan bait-bait
syairnya.
Pasukan Islam mengalami kegoncangan yang hebat. Karena itu,
sebelum digilas habis oleh pasukan Romawi yang mempunyai kekuatan
di atas mereka, mereka segera mundur. Komandan pasukan memu-
tuskan untuk menyerah­kan bendera kepada Khalid bin Walid. Dalam
rangka menyelamatkan pasukan Islam dari kehancuran total, Khalid
memandang perlunya perubahan strategi tempur. Pada hari itu Khalid
memutuskan untuk menghentikan pertempuran.
Keesokan harinya Khalid mengubah posisi pasukan yang asalnya
di belakang dialihkan ke posisi depan, sedangkan pasukan yang men-
empati posisi sayap kanan dialihkan ke sayap kiri. Selanjutnya, Khalid

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 503


melakukan penyerbuan, lalu mundur. Hal ini dimaksudkan untuk me-
mancing pasukan Romawi agar mau bertempur di padang pasir.
Perubahan posisi pasukan itu menimbulkan kesan di kalangan
pasukan Romawi, bahwa pasukan Islam memper­oleh balabantuan
tentara lagi dan seolah-olah pasukan Islam memang sengaja mengh-
endaki pertempuran di padang pasir; dan bagi orang-orang Arab hal
yang demikian sangat memungkinkan. Sebaliknya, tentara Romawi,
jangankan bertempur di padang pasir, jalan-jalannya saja mereka
sama sekali tidak mengetahuinya.
Pasukan Romawi memandang sebaiknya tidak melayani pertem-
puran di padang pasir, sehingga mereka dapat terhindar dari perangkap.
Taktik perang yang diprakarsai Khalid ini berhasil menyelamatkan pa-
sukan yang sudah berada di ambang pintu kehancuran total. Akhirnya,
Khalid memutuskan untuk pulang kembali ke Madinah.
Berita tentang kegagalan yang mengenaskan itu telah sampai
terlebih dahulu ke Madinah. Kedatangan sisa-sisa pasukan Islam disam-
but dengan sikap sangat tidak simpatik. Bahkan kedatangan sisa-sisa
pasukan Islam disambut oleh warga Madinah dengan lemparan debu
sambil mencomooh: “Wahai para pengecut perang!”
Tapi Muhammad menyambut pasukannya dengan ucapan: “Tidak,
bahkan merekalah orang-orang yang akan kembali lagi, insya Allah!”
Muhammad memasuki rumah Ja‘far, lalu dipeluknyalah putra-putra
Ja‘far yang masih kecil dengan penuh derai air mata duka. Setelah itu,
Muhammad pergi ke rumah Zaid. Melihat anak-anak Zaid yang masih
kecil-kecil, air mata Muhammad tidak dapat dibendung lagi membasahi
pipinya. Sejenak Muhammad tinggal di sisi anak-anak yang kehilangan
orang tua mereka, kemudian ia keluar sambil berusaha menenangkan
hati sanak famili para syuhada. Sementara para prajurit yang pulang
dengan membawa kegagalan, mereka tak kuasa keluar dari rumah
mereka lantaran harus menanggung beban rasa malu dikarenakan telah
menarik diri dari pertempuran dan tidak menjadi syuhada di medan
pertempuran di sana.
Cemoohan dan cercaan dari warga Madinah terhadap para prajurit

504 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


yang pulang membawa kekalahan itu terdengar kian gencar. Muham-
mad tidak mampu lagi mendengar cercaan yang kian santer itu. Karena
itu, dia menyatakan kepada warga Madinah bahwa pasukannya tidak
kalah. Memang wajar mereka menarik diri, karena tidak sewajarnya
komandan pasukan menyeret anggota pasukannya ke tempat penja-
galan. Tidak ada untungnya 3.000 pasukan menyerahkan hidupnya
secara sia-sia.
Selanjutnya, tersebarlah informasi di kalangan masya­rakat Arab
bahwa pasukan Romawi menggilas habis pasukan Islam. Justru pasu-
kan Romawilah yang tidak mampu bertarung melawan pasukan Islam,
ketika Khalid me­mancing mereka untuk bertempur di padang pasir.
Para prajurit telah berbuat menurut kemampuan yang mereka miliki;
dan semestinya warga Madinah berterima kasih kepada mereka serta
memuji komandan pasukannya, yakni Khalid bin Walid yang telah
mampu menangkal agresi pasukan Romawi, hingga akhirnya Khalid bin
Walid dapat membawa pulang pasukannya dengan selamat. Pada suatu
hari nanti orang-orang Islam akan berangkat ke medan pertempuran
lagi dengan jumlah yang sangat besar dan akan meraih kemenangan
dari kerajaan Romawi.
Jika hal ini sukses diselesaikan, maka setelah itu warga Madinah tak
perlu lagi mengejek tentara-tentara itu; dan prajurit-prajurit tempur
itu dapat keluar lagi dari rumah mereka untuk menemui orang-orang
tanpa membawa beban rasa malu.
Mundurnya pasukan Islam dari pertempuran melawan pasukan
Romawi akhirnya sampai juga kabarnya ke Makkah. Betapapun ma-
syarakat Quraisy berada dalam ikatan perdamaian Hudaibiyah, namun
dengan mundurnya pasukan Islam dari medan pertempuran itu mereka
menemukan suatu peluang yang sangat luas untuk melakukan teror
secara diam-diam kepada Muhammad.
Pemerintah Quraisy memang tidak bermaksud me­lakukan teror
secara terang-terangan, tetapi mereka akan melakukannya melalui
politik pecah-belah di antara suku-suku yang bergabung dengan Mu-
hammad. Barangkali saja dengan strategi itu, pemerintah Quraisy akan
dapat menimbulkan rasa ketakutan dan sekutu-sekutu Muhammad yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 505


lain akan memisahkan diri lagi dari Muhammad.
Maka secara diam-diam pihak Quraisy memberikan support kepada
sekutu-sekutu mereka untuk mengadakan penyerbuan terhadap sekutu-
sekutu Muhammad. Pihak Quraisy memberikan support persenjataan
dan beberapa pasukan kuda. Maka demikianlah, Bani Bakar, sekutu
Quraisy, melakukan penyerbuan terhadap perkampungan Khuza‘ah,
sekutu Muhammad. Bani Bakar berhasil menga­lah­kan suku Khuza‘ah
dan membunuh 20 orang Islam.
Suku Khuza‘ah mengirimkan kurir untuk menghadap Muhammad
dalam rangka meminta bantuan menghadapi suku Quraisy yang mem-
bantu suku Bani Bakar.
Informasi tentang praktek deviasi pemerintah Quraisy terhadap
perjanjian Hudaibiyah itu, kini telah didengar oleh Muhammad dan ia
meresponnya dengan tanpa berkomentar apa-apa.... Namun Muham-
mad bertekad untuk merencanakan segalanya....

506 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Makkah
berada dalam genggamannya

T okoh-tokoh dan pedagang-pedagang Quraisy


terkemuka berkumpul membicarakan langkah apa
yang mesti mereka lakukan setelah itu, ketika mereka mengetahui
bahwa suku Khuza‘ah telah meminta bantuan kepada Muhammad,
sebab dengan kondisi ini akhirnya tak dapat disangkal lagi bahwa Mu-
hammad akan menang dan seakan-akan tak pernah tergoyahkan lagi
posisi kekuasaannya.
Hal ini dikarenakan, andaikata posisi Muhammad dapat digoyang,
maka pihak Quraisy sudah pasti akan menggilas Muhammad ketika
konflik baru terjadi dan sudah pasti suku Tsaqif akan mengakhiri ri-
wayat kehidupan Muhammad, ketika warga Tsaqif melempari Muham-
mad dengan batu-batu, hingga sampai di luar batas suku Tsaqif atau
setidak-tidaknya, bergabungnya berbagai suku pada waktu yang silam
dapat melakukan agresi terhadap warga Madinah.
Jika Muhammad menderita kekalahan dari tentara Romawi, ia pun
telah pernah menderita kekalahan juga dalam perang Uhud. Dalam

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 507


keadaan yang kurang mengun­tungkan itu, ia tak dapat diremehkan
begitu saja, sebab saat ini ada 15 suku, termasuk di antaranya Bani
Sulaim dan Bani Musthaliq yang telah menyatakan bergabung dengan
Muhammad, padahal sampai saat ini tidak ada suku-suku di Semenan-
jung Arab yang dikenal ahli tempur selain hanya mereka.
Dengan pertimbangan itu, maka saat yang terbaik bagi pihak
Quraisy adalah tetap menjaga stabilitas perjanjian damai Hudaibiyah.
Perjanjian damai ini telah memberikan suasana kehidupan yang sta-
bil selama dua tahun, sehingga rombongan dagang dapat melakukan
perjalanan niaga yang tenang dan aman, baik di musim panas maupun
musim dingin.
Tapi kali ini muncul persoalan baru lagi. Pihak Quraisy terus sema-
kin terdesak dalam sektor perniagaan, karena suku-suku yang telah
bergabung dengan Muhammad mengambil sikap anti kerja sama dalam
perdagangan dengan pihak Quraisy.
Pasar ‘Ukazh dan beberapa pasar lainnya yang biasa ramai pada
waktu musim haji, yang telah dipenuhi dengan kain sutera, katun,
kurma, baju-baju yang terbuat dari kulit, perhiasan, dan senjata, serta
yang biasanya ramai dengan syair-syair baru dan vokalis-vokalis yang
menggiur­kan, kini sudah tak ada lagi. Segala sesuatu yang membuat
semarak­nya pasar pada musim haji sudah tak terdengar lagi, karena
orang-orang yang masuk Islam telah me­mutus­­­kan hubungan dengan
pasar-pasar yang terdapat di Makkah.
Mereka melakukan traksaksi perdagangan di antara sesama muslim
saja serta mengalihkan aktivitas per­ekonomian ke Madinah. Mereka
juga mengirimkan rombongan dagang ke Syam, Yaman, Etiopia, dan
pasar-pasar lainnya yang biasanya dipenuhi oleh pedagang-pedagang
Makkah saja. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya persaingan orang-
orang Islam dalam sektor perniagaan dengan orang-orang Quraisy.
Setiap warga Makkah mengetahui semua kenyataan ini. Dampak
kenyataan ini menciptakan kondisi yang berbalik sekali terhadap sek-
tor perdagangan, posisi dalam sektor perekonomian, dan juga posisi
sosial mereka. Para saudagar kaya yang sejak dulu memegang posisi

508 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


menen­tukan dalam pemerintahan masyarakat Quraisy, kini posisi mer-
eka semakin tertekan. Mereka kian menyadari akan kehilangan posisi
mereka yang mungkin telah dijabatnya selama ini. Sementara untuk
melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Muhammad bin ‘Abdullah,
orang yang pernah mereka usir di masa silam, yang terus kian meluas
pengaruhnya, sudah nyaris tidak mungkin lagi. Semua warga Makkah
sudah mengetahui sejak dulu, bahwa pembesar bangsawan Quraisy
semakin mencekik leher masyarakat setiap kali muncul rival-rival bisnis
baru yang mampu menggeser posisi para bangsawan itu di salah satu
pasar di mana mereka menyemaikan harta kekayaan.
Masyarakat Makkah saat ini sedang merasakan beban tindakan tirani
para bangsawan, undang-undang yang menindas, rentenir-rentenir
yang rakus, dan tuntutan hidup yang semakin sulit dipenuhi. Betapa
lamanya mereka dibebani kehidupan yang sangat sulit dalam perang
melawan Muhammad. Betapa besar harta kekayaan para pedagang
yang harus dikeluarkan dalam pertempuran melawan Muhammad.
Sementara itu, masyarakat Arab sudah ingin sekali berpaling dari
menghambakan diri kepada patung-patung Ka‘bah kepada mengham-
bakan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi sentral ajakan
Muhammad agar beribadah kepada-Nya semata.
Setiap hari ada saja orang yang menyerahkan kemer­dekaannya
kepada para rentenir itu untuk dijadikan budak. Setiap hari ada saja
orang laki-laki yang menyerahkan istri atau anak gadisnya ke rumah-
rumah pelacuran yang tumbuh tersebar di Makkah untuk membayar
utang kepada para rentenir yang terus mengejarnya.
Setiap hari hati yang hidup dalam derita penindasan semakin
tercabik-cabik. Sementara itu, budak-budak yang bergabung dengan
Muhammad menjadi orang-orang merdeka yang memiliki persamaan
hak dan kedudukan dengan para bangsawan dalam segala hal. Di sana,
di sebuah daerah di mana suatu tatanan masyarakat baru tumbuh,
tidak ditemukan lagi adanya hak kekuasaan pemberi utang terhadap
kemerdekaan orang-orang yang mempunyai utang, tidak pula terhadap
istrinya dan anak-anak gadisnya. Di sana, seorang budak kulit hitam
menjadi pemimpin masyarakat kalangan bangsawan. Di sana, seorang
dari Bani Ghifar yang tak memiliki harta kekayaan dapat saja menjadi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 509


pemimpin Madinah, ketika Muhammad sedang bepergian.
Di sana, laki-laki atau perempuan bebas melakukan apa saja ses-
uai kehendaknya. Di sana, setiap orang berhak melakukan pekerjaan
sesuai keahliannya. Pekerjaan itulah yang memberikan prestise bagi
diri pribadinya. Pekerjaan itulah yang menentukan posisinya, bukan
kekayaannya, bukan koneksinya dengan Muhammad, dan bukan pula
keke­rabatannya. Tak ada yang menentukan harga diri dan posisi ses-
eorang, selain prestasi kerjanya. Semua ini berjalan dengan adil dan
terpuji.
Di sana Muhammad menganjurkan kepada para pengikutnya agar
memerdekakan para budak. Bahkan, ada sebuah cerita dari para
pengikutnya, bahwa pada suatu ketika Muhammad melihat seseorang
memukul budaknya. Maka melihat perbuatan orang itu, Muhammad
marah sekali.
“Allah lebih kuasa atas dirimu bila dibandingkan ke­kuasaanmu
terhadap budak itu,” tegur Muhammad.
Pemilik budak itu pun seketika minta maaf atas tindakan yang
telah diperbuatnya.
“Dia merdeka karena Allah,” demikian tegas pemilik budak itu di
sela-sela permohonan maafnya.
“Yah, andai saja engkau tidak melakukan hal itu, niscaya nerakalah
yang akan membakarmu,” jawab Muhammad.
Berulang kali Muhammad menghimbau agar para budak dimerdeka-
kan oleh para pengikutnya. Beliau bersabda kepada mereka:

“Barangsiapa yang memerdekakan budak muslim, maka Allah akan membe-


baskan semua anggota tubuh orang itu dari api neraka berkat setiap anggota
tubuh budak yang telah di­merdekakannya dari perbudakan itu.”
Di sana Muhammad juga menekankan kepada para pengikutnya agar
bersedia meninggalkan rumahnya demi membebaskan kaum tertindas

510 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


di mana pun berada. Muhammad mengancam para pengikutnya yang
tidak mau terjun ke medan pertempuran, seraya membacakan ayat:

“Jika kalian semua enggan untuk ikut dalam pertempuran, niscaya Allah akan
menyiksa kalian dengan siksa yang pedih; dan Allah akan menggantikan kalian
dengan kaum yang lain.” (QS. At-Taubah [9]: 39)
Andaikata Muhammad memimpin pasukannya ke Makkah dalam
rangka membela sekutunya, Bani Khuza‘ah, maka yang pasti semua
kaum tertindas yang merupakan mayoritas penduduk Makkah akan
bergabung ke dalam pasukan Muhammad. Dan yang sudah pasti juga,
pedagang-pedagang yang sudah tergoyahkan posisinya karena kalah
persaingan dengan pedagang muslim, mereka akan bergabung dengan
Muhammad.
Kenyataan seperti ini jangan sampai terjadi. Muhammad jangan
sampai mengerahkan pasukannya, lalu bergerak ke Makkah. Perjanjian
damai Hudaibiyah harus tetap dijaga kontinuitasnya dan harus tetap
direformasi selamanya.
Sungguh telah terjadi kekeliruan langkah yang dapat beraki-
bat fatal. Sebab tidak selayaknya pemerintah Quraisy membiarkan
sekutu-sekutu mereka memerangi sekutu-sekutu Muhammad. Tidak
selayaknya pula orang-orang Quraisy menyangka Muhammad lemah
setelah mengalami kekalahan perang melawan pasukan Romawi, lalu
mereka membantu Bani Bakar memerangi Bani Khuza‘ah. Akan tetapi,
mereka menyadari bahwa kekeliruan langkah ini harus diperbaiki.
Karena itulah, orang-orang Quraisy mengutus pemimpinnya untuk
menemui Muhammad, yaitu Abu Sufyan sendiri yang berangkat. Abu
Sufyan berangkat ke Madinah. Ia menuju ke rumah putrinya Ummu
Habibah (Ramlah) yang sudah tak pernah bertemu dengannya se-
lama beberapa tahun lamanya, sejak Ummu Habibah mengungsi dari
Makkah ke Ethiopia; dan kini sudah menjadi istri Muhammad.
Ummu Habibah menyambut kedatangan ayahnya dan menumpah-
kan seluruh kerinduannya setelah sekian lama terpisah. Abu Sufyan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 511


merasakan suatu ketenangan, kemudian ia mengutarakan maksud
kedatangannya kepada putrinya.
Ia datang bukan untuk masuk Islam, sebagaimana yang dibayangkan
oleh putrinya. Kedatangannya kali ini untuk terus menjaga kelangsun-
gan perjanjian Hudaibiyah, sehingga Muhammad tidak menjatuhkan
sangsi atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy dan
tidak menuntut diyat atas orang-orang yang terbunuh, karena orang-
orang Quraisy tidak mampu lagi menanggung kerugian material.
Abu Sufyan mengutarakan maksud kedatangannya, setelah mema-
suki kamar putrinya. Ia meminta kepada putrinya agar membicarakan
semua itu kepada suaminya, karena Abu Sufyan tahu posisi putrinya di
sisi suaminya yang cukup baik. Akan tetapi, putrinya tidak menjawab,
bahkan malah melipat tikar yang tengah diduduki Abu Sufyan.
“Wahai Anakku, demi Allah, aku tidak tahu apakah engkau lebih
menyukai aku daripada tikar ini ataukah engkau lebih menyukai tikar
ini daripadaku?” tanya Abu Sufyan dengan penuh heranan.
“Tidak, ini adalah tikar hamparan Rasulullah. Engkau laki-laki
musyrik yang najis. Aku tidak senang engkau duduk di atas tikar Ra-
sulullah,” jawab Ummu Habibah ketus.
Mendengar kata-kata yang diucapkan putrinya, Abu Sufyan terper-
anjat sekali. Dari manakah keberanian yang luar biasa itu berpangkal,
sehingga orang Islam berani berkata secara terus-terang di hadapan
orang yang sangat ditakuti.
Musyrik dan najis? Kamu najis, Abu Sufyan? Bagai se­onggok sam-
pah? Kata-kata seperti ini pernah juga diucapkan kepada ‘Umar bin
Khaththab oleh saudarinya yang merasa takut kepada ‘Umar sebelum
keislaman ‘Umar dahulu.
Ini dia, putrimu yang lemah tak berdaya, hai Abu Sufyan, berani
sekali mengatakan kalimat-kalimat itu di hadapanmu dan berani men-
gusirmu.... Namun kini, dia adalah istri Muhammad.
Ajaran Islam mampu mengisi hati semua orang yang tertindas,
bahkan para perempuan sekalipun dengan suatu militansi yang spe-
ktakuler sekali.

512 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Abu Sufyan pergi meninggalkan rumah putrinya untuk menemui
Muhammad. Ia ingin membicarakan langsung dengan Muhammad tanpa
melalui media siapa pun.
Abu Sufyan menemui Muhammad. Ia berusaha membuka pem-
bicaraan dengan Muhammad, tapi Muhammad bungkam saja tidak
menjawab. Selanjutnya, Abu Sufyan pergi menemui Abu Bakar dengan
suatu maksud meminta kesediaannya untuk membicarakan masalah
tersebut kepada Muhammad. Namun secara tegas Abu Bakar menolak
permintaannya.
Selanjutnya, Abu Sufyan menemui ‘Umar bin Khaththab, seorang
kawan lamanya. Abu Sufyan yakin, ‘Umar tidak akan mengecewakan-
nya.
Tapi apa yang ditemuinya? Ternyata ‘Umar berkata kepadanya:
“Aku akan menghadap Muhammad guna memohon pertolongan untuk
kalian? Demi Allah, andaikata aku tidak mendapatkan sesuatu selain
pasir, niscaya aku akan memerangi kalian meski dengan (senjata) pasir
itu.”
Abu Sufyan meninggalkan ‘Umar. Akhirnya, ia sampai di rumah
‘Ali. Ia masuk ke rumah ‘Ali dan ia memperhatikan anak ‘Ali, Hasan,
yang sedang di pangkuan Fathimah. Abu Sufyan meminta kesediaan
‘Ali untuk menjadi mediator dalam pembicaraan masalah tersebut
dengan Muhammad, namun ‘Ali menolak juga. Selanjutnya, Abu Sufyan
menoleh kepada Fathimah.
“Putri Muhammad, dapatkah engkau memerintahkan anakmu ini
untuk kepentingan publik, maka nantinya ia akan dipertuankan oleh
orang-orang Arab,” harap Abu Sufyan.
“Demi Allah, anak-anakku ini belum cukup umur untuk melindungi
orang banyak; dan tak seorang pun yang akan mau melindungi orang
lain dari ancaman Rasulullah,” ucap Fathimah gamblang.
Dalam keadaan putus asa, Abu Sufyan berkata kepada ‘Ali: “Ses-
ungguhnya engkau famili yang paling dekat denganku. Aku melihat
persoalan ini kian menjadi runyam. Maka berilah aku saran dan pan-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 513


dangan.”
‘Ali menyarankan kepada Abu Sufyan agar berdiri di masjid, kemu-
dian mengumumkan kepada orang-orang bahwa pihak Quraisy tetap
menghormati perjanjian damai Hudaibiyah.
Kini Abu Sufyan melakukan apa yang disarankan ‘Ali. Setelah itu, ia
pulang kembali ke Makkah dan menceritakan segala yang ditemuinya.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada Abu Sufyan, apakah Muham-
mad yang memberikan rekomendasi ter­hadap kata-kata yang diucap-
kannya di masjid itu?
“Tidak!” jawab Abu Sufyan tegas.
“Celaka sekali engkau, Abu Sufyan, karena ‘Ali bin Abi Thalib tidak
lebih dari sekedar mempermainkan dirimu. Apa yang engkau katakan
itu tidak ada artinya sama sekali bagi kita,” ucap mereka.
“Demi Allah, selain cara itu aku tidak menemukan cara lagi,” jawab
Abu Sufyan.
Tak seorang pun di Madinah yang mau menerima bahwa orang-orang
Quraisy tidak terlibat dalam kasus berdarah antara Bani Bakar dengan
Bani Khuza‘ah itu. Akan tetapi, warga Madinah boleh berbangga hati,
karena Abu Sufyan yang dikenal sebagai gembong Makkah itu sampai
datang sendiri kepada warga Madinah untuk mengharap peng­ampunan.
Adapun Muhammad, dia tahu persis terhadap pribadi Abu Sufyan
–dengan segala bualannya, kesombongannya, dan ke-sok-akrab-annya–,
bahwa kali ini dia datang tak lain hanyalah untuk meminta maaf atas
kesalahan orang-orang Quraisy, karena persoalan di Makkah berjalan
di luar harapan yang diinginkan oleh para bangsawan.
Makkah saat ini sudah merasa lemah. Karena itulah, Makkah
dengan susah-payah mendatangi orang-orang yang pernah diusir dan
diperanginya.
Masih tergambar dalam ingatan Muhammad, ketika ia datang ke
Makkah untuk melakukan haji bersama serombongan orang Islam dari
kalangan Muhajirin dan Anshar. Muhammad tentu tak bisa melupakan

514 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


semua fenomena yang ditemuinya di Makkah yang begitu terasa asing
bagi orang-orang pengikutnya: sambutan hangat..., rasa persamaan...
dan lainnya. Padahal pola hidup yang diterapkan di antara sesama
muslim dalam bermu‘amalah adalah dibangun di atas prinsip persa-
maan....
Muhammad merasa sulit untuk melupakan fenomena-fenomena
menyedihkan yang menimpa orang-orang Islam. Sulit sekali juga bagi
dirinya untuk melupakan keluhan orang-orang yang tertindas yang
disampaikan kepada dirinya. Andai saja tidak ada blokade yang dilan-
carkan pemerintah Quraisy kala itu....
Akan tetapi, sekalipun orang-orang yang tertindas itu mendapat
tekanan dan larangan dari pemerintah Quraisy untuk mengadakan
kontak dengan Muhammad, Muhammad tetap saja mendapat tempat
di hati masyarakat tersebut. Orang-orang yang hidup dalam kehinaan
berharap akan dapat mengangkat kepala mereka dan berjalan ber-
sama secara sejajar dengan orang-orang yang terlahir dalam suasana
kemegahan hidup, sebagaimana pola hubungan sosial yang berlaku di
kalangan masyarakat Islam.
Para perempuan yang hidupnya menjadi penyemarak kehidupan
malam di Makkah dengan tembang-tembang syair, menjual kemon-
tokan dan kehangatan tubuhnya kepada para pendatang, sangat
mendambakan hidup yang baik, bersih, dan suci, dengan raut wajah
yang berseri-seri sebagaimana perempuan-perempuan muslimah; dan
para pedagang besar yang posisinya sudah mulai goyah oleh pedagang
muslim, berharap untuk dapat masuk dalam komunitas baru, dengan
suatu harapan akan dapat memainkan peran baru yang lebih mapan
dari posisi mereka sebagai pedagang, yaitu sebuah peran kepemimpi-
nan dalam kerajaan baru.
Muhammad tahu semua itu. Muhammad tahu, telah tiba saatnya
untuk mengibarkan panji dakwah di Makkah. Ia optimis akan mendapat
pengikut yang menyatakan keislamannya dengan berbondong-bondong,
andaikata mereka tidak terancam.
Namun meski demikian kenyataannya, mengapa Muhammad

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 515


tidak melakukan aktivitas dakwahnya di Makkah? Bukankah Makkah
merupakan sentral segala akitvitas di Hijaz? Bukankah masih banyak
suku yang datang ke Makkah dari berbagai penjuru untuk melakukan
thawaf di Baitullah dan membungkuk di hadapan patung-patung
Ka‘bah?
Sepantasnya, Muhammad menyucikan rumah tua itu untuk orang
Islam, untuk orang-orang yang berthawaf, dan orang-orang yang melaku-
kan ruku’ serta sujud di depannya.
Makkah adalah ibu kota Hijaz. Dengan berbagai kelebihannya
dibanding dengan kota-kota lain, maka sepantasnya Makkah harus
dijadikan sebagai pusat kerajaan baru yang lebih berkembang lagi
pasar-pasarnya, karena semua jalan di Semenanjung Arab bersambung
dengan Makkah; dan sepantasnya bendera Islam berkibar di sana.
Muhammad masuk ke dalam rumahnya, lalu memerin­tah­kan ke-
pada keluarganya agar bersiap-siap berangkat menuju Makkah. Maka
bersiap-siaplah semua istrinya untuk berangkat. Abu Bakar pun masuk
rumah putrinya, ‘Aisyah. Ia menemukan ‘Aisyah sedang mengemasi
barang-barangnya.
“Apakah Rasulullah memerintahkan kamu untuk mengadakan per-
siapan?” tanya Abu Bakar heran.
“Ya,” jawab ‘Aisyah.
“Lalu ke manakah kiranya Rasulullah akan pergi?” lanjut Abu Bakar.
“Demi Allah, aku tidak tahu.”
Abu Bakar lalu pergi dari rumah ‘Aisyah. Ia menemukan Muham-
mad sedang berada di masjid dan menyampaikan pengumuman kepada
orang-orang bahwa ia akan pergi ke Makkah. Muhammad meminta
pendapat mereka dan ternyata hasrat kembali ke kampung halaman
mendapat dukungan dari mereka yang hadir di masjid itu.
Orang-orang Muhajirin merasa gembira. Akhirnya, mereka kembali
lagi ke Makkah untuk menghabiskan sisa-sisa usia di tanah kelahiran
mereka.
Muhammad memerintahkan kepada semua pengikutnya agar ber-
siap-siap dan merahasiakan rencana tersebut, karena ia ingin membuat

516 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kaget orang-orang Quraisy. Hassan bin Tsabit memerintahkan orang-
orang agar mau bergabung dalam rangka melakukan penyerbuan ke
Makkah, untuk membalas kekejaman orang-orang Quraisy yang telah
melakukan pembunuhan terhadap saudara muslim mereka dari pihak
Bani Khuza‘ah.
Namun agar rencana tersebut tidak sampai tercium orang-orang
Quraisy, maka Muhammad mengumpulkan beberapa orang shahabat-
nya. Selanjutnya, Muhammad menginstruksikan beberapa seorang
shahabatnya agar mereka berjalan di jalan yang menuju Syiria.
Cara ini merupakan sebuah alternatif untuk mengelabui orang-
orang Quraisy; dan memang betul juga, orang-orang Quraisy mem-
peroleh informasi bahwa Muhammad mengirim pasukannya untuk
menuntut balasan kekalahannya kepada pasukan Romawi.
Selanjutnya, ia menempatkan penjaga di semua jalan menuju
Makkah, agar dapat memata-matai orang yang akan membocorkan
rencana yang sangat rahasia itu, karena jika sampai terjadi kebocoran,
maka rencana semua itu akan hancur berantakan. Tetapi secara diam-
diam salah seorang Muhajirin yang pernah ikut dalam perang Badar,
menjadi musuh dalam selimut, di mana ia mengirim surat kepada
orang-orang Quraisy yang isinya menginformasikan rencana penyerbuan
itu. Surat itu diserahkan kepada seorang perempuan.
Muhammad tahu gelagat yang kurang beres itu. Karena itu, Muham-
mad memerintahkan ‘Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam untuk
mencegat perempuan itu di tengah jalan, lalu menginterogasinya.
Tapi perempuan itu menyangkal. ‘Ali mengancam perempuan itu akan
dibunuh jika tidak mau mengaku terus-terang. Akhirnya, perempuan
itu mengeluarkan surat dari celah-celah rambutnya yang dikepang. ‘Ali
dan Zubair langsung pulang menghadap Rasulullah setelah merampas
surat tersebut.
“Apa yang mendorongmu melakukan hal ini?” tanya Muhammad
kepada seorang laki-laki yang datang diinterogasi.
Laki-laki itu menundukkan kepalanya dan nampak menyesal sekali

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 517


atas tindakan yang telah dilakukannya, kemudian ia mengakui secara
terus-terang segala tin­dakannya dan mengutarakan motif yang men-
dorongnya, yaitu mengambil hati orang-orang Quraisy, sebab di sana
ia mempunyai istri dan anak-anak kecil yang dikhawatirkan kesela-
matannya.
Setelah laki-laki itu mengemukakan maksud jahatnya, maka ‘Umar
menuntut kepada Muhammad agar laki-laki itu dibunuh saja, karena
ia telah berani bersikap hipokrit. Tapi Muhammad menyebut-nyebut
penderitaan yang dialami laki-laki itu dalam pertempuran perang
Badar. Karena itu, Muhammad memutuskan untuk memberikan maaf
saja. Setelah itu, laki-laki tersebut pergi dengan membawa duka yang
sangat dalam.
Muhammad mengirim kurir ke berbagai suku yang telah memeluk
ajaran Islam agar mengirimkan balatentaranya; dan setelah mencapai
jumlah pasukan yang telah ditarget­kan, maka tepat pada suatu hari
yang sangat dingin di bulan Januari, tahun 630 Masehi, dengan penuh
hati-hati agar orang-orang Quraisy tidak sampai mendengar kabar
tentang rencana agresi ini, Muhammad berangkat dengan membawa
10.000 personil.
Mereka bermalam di tengah jalan. Ketika mereka sudah mendekat
di Makkah, malam tiba dengan cuaca anginnya yang teramat dingin
menusuk ke dalam tulang sumsum.
Muhammad memperbolehkan orang-orang untuk menyalakan api.
Pamannya yang bernama ‘Abbas datang bersama anak dan istrinya
menemui Muhammad di suatu tempat dekat Makkah. Muhammad
menyambut kedatang­an pamannya dengan penuh kehangatan. ‘Ab-
bas tahu dari Muhammad bahwa mereka bermaksud akan memasuki
Makkah.
Di dalam hatinya, ‘Abbas berangan-angan seandainya saja ia dapat
menemui salah seorang penggembala, pencari kayu, pedagang susu,
atau seorang yang punya keperluan ke Makkah, sudah tentu ia dapat
meng­informasikan tempat Muhammad kepada warga Makkah agar
mereka segera menemui Muhammad untuk meminta perlindungan

518 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kepada­nya sebelum ia melakukan peng­grebekan terhadap mereka.
Ketika ‘Abbas mencari orang yang akan disuruh membawa suratnya
di jalan-jalan pegunungan Makkah, tiba-tiba ia bertemu Abu Sufyan
yang sedang mengamat-amati api yang dinyalakan orang-orang Islam.
“Bukankah itu api orang-orang Khuza‘ah?” tanya Abu Sufyan kepada
seorang laki-laki yang menyertainya.
“Itu bukan api orang-orang Khuza‘ah. Mereka yang kecil jumlahnya,
tidak mungkin sampai sebanyak itu api dan tentaranya.”
‘Abbas membicarakan hal itu dengan Abu Sufyan. ‘Abbas me-
nyarankan kepada pembesar Makkah itu agar meminta perlindungan
saja kepada Muhammad.
Ternyata Abu Sufyan mau menerima saran ‘Abbas. Selanjutnya,
‘Abbas kembali lagi ke markas pasukan Islam dengan Abu Sufyan.
Selagi Abu Sufyan masih di atas punggung keledai ‘Abbas, ‘Umar
melihatnya.
“Abu Sufyan, musuh Allah. Allah telah memberikan peluang untuk
membunuhmu tanpa perjanjian,” labrak ‘Umar kepadanya.
Namun ‘Abbas segera menghadang aksi anarkhis yang segera di-
luncurkan oleh ‘Umar bin Khaththab.
Selanjutnya, terjadilah perselisihan antara ‘Umar dan ‘Abbas
mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap Abu Sufyan. ‘Umar
menuntut agar Abu Sufyan dipenggal kepalanya, sedangkan ‘Abbas
bersikap melindunginya. Sementara itu, Muhammad diam tanpa bicara.
“Sabarlah, ‘Umar! Demi Allah, andai saja Abu Sufyan termasuk sanak
familimu, tentu engkau tidak akan setega itu menuntut kepalanya. Tapi
engkau tahu bahwa Abu Sufyan tidak termasuk sanak familimu,” cegah
‘Abbas penuh emosi.
Namun ‘Umar menolak kata-kata ‘Abbas.
“Tahan dulu emosimu, ‘Abbas! Demi Allah, keislamanmu pada hari
engkau menyatakan keislamanmu, itu lebih aku sukai daripada keisla-
man ayahku, sekiranya ayahku itu masuk Islam. Tiada alasan bagiku

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 519


berkata demikian, kecuali karena aku tahu bahwa keislamanmu lebih
dicintai Rasulullah dibanding keislaman Al-Khaththab (ayahku), sean-
dainya dia masuk Islam,” pangkas ‘Umar.
Kata-kata ‘Umar yang lemah-lembut menjernihkan hati ‘Abbas.
“Abbas! Silakan engkau pergi bersama Abu Sufyan ke tempatmu.
Besok pagi aku harap engkau menemuiku lagi bersama Abu Sufyan,”
pinta Muhammad.
Abu Sufyan pergi bersama ‘Abbas ke tendanya.
Selanjutnya, Muhammad menyusun garis-garis kebijak­an yang akan
dilakukan dalam memasuki Makkah.
Muhammad membagi pasukan ke dalam empat bagian: sayap kiri
dipimpin Zubair bin ‘Awwam; sayap kanan dipimpin oleh Khalid bin
Walid; jantung pertahanan dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah;
dan posisi garis depan dipimpin oleh Sa‘ad bin Ubadah. Semua kom-
andan pasukan berasal dari kalangan orang Muhajirin, selain Sa‘ad
bin Ubadah Al-Anshary.
Ketika pagi menjelang Muhammad mengumpulkan semua koman-
dan pasukannya dan memerintahkan agar memasuki Makkah dengan
sedapat mungkin menghindari pertempuran darah. Sebab itulah men-
gapa ia mengangkat komandan pasukannya dari kalangan Muhajirin.
Hal itu karena ia tahu bahwa mereka tidak akan bertindak secara
beringas dan melampaui batas tanah airnya sendiri.
Tapi Sa‘ad bin Ubadah pergi dari sisi Muhammad dengan melon-
tarkan kata-kata ancaman sambil memandangi Makkah dari kejauhan:
“Hari ini hari penyerbuan. Hari ini segala hal yang dihormati akan
dianggap halal.”
Kehormatan yang manakah Sa‘ad?
Kehormatan para bangsawan dan tentara warga Makkah atau
kehormatan diri Muhammad? Sebab betapa banyak tokoh suku yang
menginginkan tawanan-tawanan Quraisy yang cantik-cantik.
Mendengar statemen Sa‘ad, ‘Umar segera menghadap Muhammad.

520 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Ya Rasulullah, apakah engkau mendengar apa yang diucapkan
Sa‘ad bin Ubadah? Sungguh aku merasa khawatir ia akan melakukan
agresi terhadap orang-orang Quraisy,” ucap ‘Umar dengan nada pesi-
mis.
Begitu mendengar informasi dari ‘Umar, spontan Muhammad
mengeluarkan instruksi baru.
“‘Ali! Coba kamu segera menyusul Sa‘ad. Ambillah bendera pasukan
dari dia. Aku perintahkan engkau yang masuk Makkah dengan membawa
bendera pasukan itu,” demikian perintah Muhammad kepada ‘Ali bin
Abu Thalib.
Namun sebelum memerintahkan pasukannya bergerak, datanglah
‘Abbas bersama Abu Sufyan.
“Abu Sufyan, celaka sekali engkau! Tidakkah telah tiba saatnya
bagimu untuk menyaksikan bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” ucap
Muhammad.
“Demi ayah dan ibuku. Betapa sabarnya engkau. Betapa mu-
lianya engkau dan betapa senangnya engkau menyam­b ung tali
persaudaraan. Demi Allah, aku mem­punyai dugaan, andaikata ada
tuhan lain selain Allah, maka sudah pasti ia akan mencukupi diriku,”
ujar Abu Sufyan.
“Celaka sekali engkau, Abu Sufyan! Tidakkah sudah datang saatnya
bagi dirimu menyaksikan bahwa aku adalah Rasulullah?” tegas Muham-
mad lagi.
“Demi ayah dan ibuku. Betapa sabarnya engkau. Betapa mulianya
engkau dan betapa senangnya engkau menyam­bung tali persaudaraan,
khususnya mengenai hal ini, sampai saat ini aku mempunyai keyakinan
lain. Karena itu, aku minta agar engkau sudi memberi jangka waktu
lagi.”
Tapi kemudian ‘Abbas berkata kepada Abu Sufyan: “Sungguh celaka
sekali kamu, Abu Sufyan! Masuk Islam sajalah engkau sebelum batang
lehermu dipenggal.”
‘Abbas dan Abu Sufyan terlibat dalam perdebatan sengit hingga

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 521


akhirnya Abu Sufyan mau menyatakan keislamannya.
“Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang meng-
gandrungi jabatan. Karena itulah, silakan engkau memberikan jabatan
kepadanya,” ucap ‘Abbas.
Atas saran itu, Muhammad pun mengeluarkan suatu statemen:
“Barangsiapa memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Barang-
siapa menutup pintunya, maka dia aman. Barangsiapa masuk masjid,
maka dia aman.”
Abu Sufyan berdiri sambil tak habis pikir memandangi bendera
berbagai suku yang berbeda, penuh keheranan. Bagaimana mungkin
Muhammad mengintegrasikan mereka. Setelah itu, Abu Sufyan pergi
untuk menyampaikan informasi apa yang baru dilihatnya kepada warga
Makkah. Ketika akan pergi, Abu Sufyan sempat berkata kepada ‘Abbas:
“Sungguh, kerajaan keponakanmu itu akan menjadi besar.”
“Itu termasuk bukti bahwa dia adalah seorang nabi, bukan raja,”
jawab ‘Abbas.
“Ya!” ujar Abu Sufyan kembali sambil tertawa.
Selanjutnya, dua orang bangsawan Quraisy datang meng­hadap Mu-
hammad dengan meminta bantuan Ummu Salamah.
“Ya Rasululllah, ini adalah putra pamanmu dan putra bibimu,”
ucap Ummu Salamah.
“Aku tidak membutuhkan mereka berdua. Putra pamanku justru
telah merusak harga diriku, sedangkan putra bibiku dan menantuku
adalah orang yang berbicara seenaknya saja terhadap diriku sewaktu
di Makkah,” jawab Muhammad kepada Ummu Salamah.
“Demi Allah, tak ada pilihan lagi bagiku, kecuali salah satu dari dua
kemungkinan; dia memberi izin masuk kepadaku atau aku akan mem-
bawa anakku, kemudian aku dan anakku juga pergi sejauh-jauhnya,
hingga aku dan anakku mati dalam keadaan kelaparan dan kehausan,”
ucap salah seorang kedua bangsawan itu setelah mendengar penolakan
Muhammad.
Muhammad mendengar kata-kata yang diucapkan laki-laki bang-

522 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


sawan itu. Dia mengetahui bahwa laki-laki bangsawan itu siap nekad
akan membawa pergi keluarganya untuk berkelana di gurun sahara,
sebagaimana orang yang terkutuk dan terdampar dari masyarakatnya.
Hati Muhammad luluh dan merasa kasihan kepada laki-laki bangsawan
itu. Karena itulah, Muhammad memperbolehkan kedua bangsawan
itu masuk, kemudian mereka berdua menyatakan keislamannya dan
menggabungkan diri ke dalam pasukan Muhammad.
Sementara Abu Sufyan menyampaikan orasinya di hadapan warga
Makkah: “Wahai orang-orang Quraisy! Muhammad telah datang kepada
kalian semua dengan segenap pasukannya yang tidak mungkin kalian
hadapi. Karena itu, barangsiapa masuk rumah Abu Sufyan, maka aman-
lah dia.”
Mendengar statemen Abu Sufyan, di hadapan Abu Sufyan, Hindun
binti Utbah, istrinya, secara terang-terangan mendamprat Abu Sufyan
dengan ungkapan-ungkapan kasar di tengah kerumunan orang. Tidak
hanya itu, bahkan Hindun menggerakkan mereka yang hadir agar meng-
hajar suaminya, Abu Sufyan. Sementara itu para tokoh Makkah yang
sudah merindukan ingin jumpa dengan Muhammad, mereka bersegera
menuju rumah Abu Sufyan. Mereka secara tiba-tiba menemukan pedang
jatuh (diletakkan) di tempat yang berjauhan dari mereka.
Adapun yang lainnya mengetahui Abu Sufyan adalah musuh besar
Muhammad dan paling keras menentang Muhammad, lalu mengapa
pada hari ini ia menyatakan bahwa mereka tidak mungkin mengha-
dapi kekuatan Muhammad dan pasukannya? Sebagian dari mereka ada
yang memilih selamat dengan masuk rumah masing-masing, bukan ke
rumah Abu Sufyan, kemudian mengunci pintu rumah masing-masing
dan menyatakan tidak akan mem­berikan perlawanan.
Namun ‘Ikrimah bin Abu Jahal mengajak tentara-tentara Makkah
agar berangkat memberi perlawanan. ‘Ikrimah berangkat dengan
membawa pasukan penunggang kuda yang dapat dihimpun, menuju
pasukan yang di­komando Khalid bin Walid.
Muhammad memerintahkan pasukannya agar bergerak memasuki
Makkah dari berbagai penjuru dalam waktu yang bersamaan, dengan
catatan agar tidak memerangi warga Makkah, selain orang-orang yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 523


memeranginya mereka saja. Tapi Muhammad menyebutkan kepada
pasukannya, ada sepuluh orang laki-laki dan dua orang perempuan
yang harus mereka habisi, sekalipun mereka menemukan kedua belas
orang itu sedang bergantung di tirai Ka‘bah.
Di antara kedua belas orang itu, ada dua orang perempuan yang
mendendangkan nyanyian-nyanyian yang berisikan ejekan terhadap
Muhammad, sehingga ter­sebarlah nyanyian itu ke berbagai tempat. Ada
juga di antaranya seorang laki-laki yang menyatakan masuk Islam dan
berjanji kepada Muhammad untuk menuliskan Al-Qur’an. Tapi laki-laki
itu melakukan distorsi-distorsi perubahan terhadap Al-Qur’an menurut
sekehendak hatinya.
Muhammad mendiktekan kalimat: “Wa huwas samii‘ul ‘aliim”
(Dialah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui) kepada
laki-laki itu, namun ia menulis dengan redaksi “Wa huwal khobiirul
hakiim” (Dialah Dzat Yang Maha Mengenal lagi Mahabijaksana). Setelah
itu, laki-laki tersebut pergi kepada orang-orang munafiq di Madinah
dan menganggap kontroversial terhadap apa yang dibuatnya.
Laki-laki itu terus saja melakukan kontroversi, hingga akhirnya
Muhammad membongkar kasusnya. Laki-laki itu kemudian melarikan
diri ke Makkah dan terus melakukan penghinaan kepada Muhammad
dan Al-Qur’an. Dia menyatakan dengan tegas kepada orang-orang
bahwa ia telah banyak melakukan distorsi perubahan terhadap ayat-
ayat Al-Qur’an tanpa diketahui Muhammad.
Ada juga di antaranya seorang laki-laki yang lari ke Makkah,
setelah ia menerima diyat saudaranya yang mati terbunuh karena
salah sasaran, namun laki-laki itu berkhianat. Ia membunuh pembunuh
saudaranya.
Adapun laki-laki yang ketiga melakukan korupsi dari hasil infaq
yang diperolehnya dari orang-orang Islam. Laki-laki tersebut diperin-
gatkan oleh teman-temannya, sebab tindakannya dapat menimbulkan
persoalan yang besar. Tapi dia congkak, bahkan kemudian membunuh
temannya. Setelah itu ia melarikan diri ke Makkah dengan membawa
infaq yang diperoleh dari sumbangan dermawan muslim itu sambil

524 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mengejek Muhammad yang memandang sama antara bangsawan dan
rakyat jelata, sedangkan yang lainnya mempunyai kesalahan serupa.
Selanjutnya, Muhammad memberikan isyarat untuk bergerak.
Maka bergeraklah keempat pasukan itu ke Makkah tanpa mendapat
perlawanan. Khalid bin Walid dengan pasukannya menghantam pasukan
yang dipimpin ‘Ikrimah.
Dalam tempo sekejap saja, Khalid mampu menghancur­kan kekua-
tan pasukan ‘Ikrimah, setelah ia berhasil membunuh dua puluh orang
di antara pasukan ‘Ikrimah. Melihat pasukannya telah lumpuh, ‘Ikrimah
melarikan diri ke kawasan padang pasir. Beberapa anggota pasukan-
nya melarikan diri ke Makkah sembari membuang senjata-senjata
mereka, lalu berlindung ke masjid-masjid. Ada juga yang mengurung
diri di dalam rumahnya; dan sebagian lagi ada yang masuk ke rumah
Abu Sufyan.
Keesokan paginya bersamaan dengan terbitnya sang surya di ufuk
timur, pintu-pintu Makkah terbuka lebar menyambut kedatangan Mu-
hammad. Dari sinilah, dulu Muhammad keluar meninggalkan Makkah
dalam keadaan takut dengan ditemani Abu Bakar, berhijrah menuju
negeri yang asing. Namun kini dia pulang kembali sebagai penakluk
yang meraih kemenangan gemilang yang didampingi Abu Bakar juga.
Dia turun dari bukit Shafa menuju Ka‘bah. Dari bukit ini juga, dulu
dakwahnya digemakan. Ketika itu ia bersama pengikut-pengikutnya
yang masih berkisar empat puluh orang laki-laki dan perempuan.
Dari atas bukit itu juga, ia berdiri di hadapan orang banyak menge-
mukakan wahyu, lalu orang-orang yang mendengarkan kata-katanya
menyatakan bahwa ia pembohong besar, padahal sebelum itu tak
seorang pun yang dapat menyangkal kejujurannya.
Muhammad juga menyampaikan Al-Qur’an, lalu orang-orang men-
gatakan dia sebagai ahli sihir.
Dia mengajak manusia untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa,
lalu orang-orang menuduh dia sebagai orang sinting. Dia berbicara
tentang kenabian, namun orang-orang menuduh dia ambisi kekua-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 525


saan. Selanjutnya, mereka menawarkan kekuasaan kepadanya, tapi
dia menolak tawaran itu, lalu orang-orang itu menuduh dia sebagai
penyebar fitnah.
Dari atas bukit ini, dia membawa misi Qalam (pena atau penge-
tahuan) kepada manusia. Dia yang buta aksara, yang tak pernah tahu
sebelumnya, lalu orang-orang menuduhnya sebagai penyair yang ke-
serupan syetan. Tapi dia tetap tabah dalam menerima caci-maki dan
cercaan. Dia terus melangkah untuk membuka hati orang-orang itu
satu demi satu. Betapa menderitanya dia hidup di malam-malam yang
pekat nan gulita dalam menanggung beban duka derita dan cerca.
Di pundaknya terdapat beban dan tugas menyampaikan misi yang
sangat besar dan agung. Dan dia telah mem­berikan peringatan dengan
misi itu kepada umat manusia:

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu.”


(QS. Al-Muzzamnil [73]: 5)
Semua beban berat itu dia pikul sendiri, baik di bumi tumpah darahnya
maupun di bumi pengungsiannya.
Dia meniti langkah dalam caci-maki, ejekan, dan penghinaan orang-
orang kaya yang melemparkan dirinya dari kehidupan masyarakatnya.
Dia melangkahkan kakinya menuju Ka‘bah. Wajahnya memancarkan
raut muka orang yang akan menunaikan ibadah haji, bukan sebagai
penakluk yang meraih kemenangan dengan penuh kesombongan. Air
mata keharuan menetes dari kedua bola matanya, sedang kedua bi-
birnya berkomat-kamit:

“(1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu keme­nang­an yang nyata,


(2) supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah
lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan
memimpin kamu kepada jalan yang lurus, (3) dan supaya Allah menolongmu
dengan pertolongan yang kuat (banyak).” (QS. Al-Fath [48]: 1-3)

526 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Saat ini dia terkenang akan seluruh lembar-lembar kehidupannya
yang silam. Waktu yang sangat singkat telah mengubah secara drastis
seluruh kehidupannya. Kini, dia kembali dengan membawa sepuluh
ribu orang pengikutnya.
Dalam sesaat saja, cerita kehidupan masa silamnya telah sirna. Dia
terkenang kepada kakeknya, ‘Abdul Muththalib; terkenang pamannya,
Abu Thalib; teringat istrinya yang teramat setia, Khadijah. Andaikata
mereka masih hidup pada hari ini, niscaya mereka akan melihat dan
merasakan kebahagiaan atas kemenangan yang telah diraihnya. Mer-
eka adalah orang-orang yang menyertai dirinya ketika masih pertama
kali melangkahkan kakinya dalam sebuah perjuangan agung. Dia juga
terkenang akan pamannya, Hamzah. Andai saja dia masih hidup, tentu
dia melihat kenyataan yang teramat menakjubkan ini.
Kedua bola matanya meneteskan air mata lagi!
Tapi bagaimana dengan ‘Ali bin Abi Thalib yang sedang berkelahi
dengan seorang laki-laki karena ingin merebut sesuatu dari laki-laki
itu. ‘Ali ingin merebut kunci Ka‘bah dari ‘Utsman bin Thalhah.
‘Utsman bin Thalhah terharu sekali melihat sikap lemah-lembut
Muhammad. Ia tak mampu menahan air matanya. Ia menangis, lalu
menyatakan keislamannya.
Sebagian orang-orang Islam memintakan ampun kepada Muhammad
bagi orang-orang yang diperintahkan untuk dibunuh. Maka Muhammad
memberikan maaf bagi mereka yang telah masuk dalam daftar orang-
orang yang harus dibunuh, sedangkan laki-laki yang melakukan distorsi
perubahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ia menyatakan penyesalan-
nya dan membakar lembaran-lembaran Al-Qur’an yang diubah itu di
hadapan publik.
Ketika Muhammad menuju ke sumur Zam-zam untuk meminum
airnya, tiba-tiba datang beberapa orang yang mengadu kepadanya
tentang tindakan tentaranya yang berbuat kasar. Seorang putri Abu
Bakar telah dirampas kalungnya dari lehernya.
Muhammad menyatakan akan menindak tegas tentara­nya yang
telah melakukan perampasan tersebut, berupa sanksi pidana tahanan.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 527


Dia menyuruh putri Abu Bakar agar mengkalkulasi harga kalungnya
yang hilang. Dia tahu tentara-tentaranya banyak yang miskin. Ada
juga di antaranya yang rakus pada harta rampasan perang, tapi dia
menyatakan bahwa Makkah adalah tanah haram.
Selanjutnya, ia meminta kepada putra-putra Quraisy yang hidup
dalam gelimang harta agar menyerahkan sebagian harta kekayaannya.
Dia menetapkan ukuran harta yang harus diserahkan itu menurut jum-
lah kekayaan mereka. Dia menyerahkan harta-harta tersebut kepada
orang-orang yang membutuhkan, baik di kalangan tentara-tentaranya
maupun warga Makkah. Setiap orang yang butuh mendapat bagian lima
puluh dirham. Hal ini dimaksudkan agar fakir miskin tidak merasakan
dirinya lebih inferior dibanding dengan orang-orang yang memberi. Dia
katakan: “Orang yang memberi­kan harta kepada orang lain karena dia
sendiri telah berkelapangan, tidak serta-merta lebih utama pahalanya
daripada orang yang menerimanya lantaran terdesak oleh kebutuhan.”
Dia memerintahkan kepada orang-orang Islam agar bersatu-padu
untuk menghancurkan semua patung Ka‘bah. Muhammad maju sendiri
untuk memulai penghancuran berhala-berhala, lalu diikuti oleh sha-
habat-shahabatnya. Selanjutnya, Muhammad kembali ke kemahnya
untuk mengumumkan undang-undang dasar Makkah yang di dalamnya
melarang pembunuhan, peperangan, dan praktek rente. Orang-orang
harus membiarkan sisa bunga uang. Mereka harus meminta piutang-
nya sesuai dengan uang yang diutangkan. Tempat-tempat hiburan dan
rumah-rumah bordil yang menjadi tempat bagi banyak orang untuk
menyerahkan anak-anak gadis dan istrinya agar dapat membayar
utang-utangnya, harus segera ditutup.
Banyak kaum perempuan yang datang kepada Muhammad untuk me-
nyatakan keislaman mereka; dan seorang perempuan muda belia yang
cantik jelita datang mem­bungkuk di hadapannya, lalu dia perintahkan
perempuan itu bangkit, karena tidak boleh membungkukkan badan,
selain kepada Allah semata.
Perempuan itu menyatakan keislamannya dan memo­honkan ampun
suaminya, ‘Ikrimah, serta memohonkan perlindungan bagi suaminya.

528 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Muhammad menerima permohonannya, maka suami perempuan itu
diperkenan­kannya pulang kembali dengan memperoleh jaminan ke-
amanan. Wanita itu berangkat untuk mencari suaminya di gurun sahara
yang berbatu. Muhammad memperhatikan perempuan-perempuan
yang menyatakan keislamannya, lalu gemetarlah salah seorang di
antara perempuan-perempuan itu sambil berkata: “Ya, aku Hindun
binti Utbah.”
Hindun, si perempuan jalang yang membantai Hamzah secara
biadab dan memotong-motong tubuh Hamzah di lembah Uhud serta
memakan hati dan jantungnya. Hindun menangis sesenggukan di
telapak kaki Muhammad.
“Ampunilah diriku,” ucap Hindun memelas.
Muhammad merunduk sesaat, lalu membaca sebuah ayat:

“Tiadalah Kami mengutus dirimu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 107)
Selanjutnya, dia memberikan maaf kepada Hindun. Hindun me-
nyatakan keislamannya bersama perempuan-perempuan lain.
Ketika Muhammad meminta para perempuan menyata­kan keisla-
mannya agar tidak melakukan pencurian, Hindun berkata: “Apakah
perempuan yang merdeka boleh melaku­kan pencurian, sebab Abu Su-
fyan tergolong laki-laki yang bertipe pelit. Sering kali aku mengambil
hartanya tanpa sepengetahuannya untuk keperluan anaknya.”
Ketika itu Abu Sufyan kebetulan ada, maka tertawalah ‘Umar
sambil memperhatikan raut muka Abu Sufyan.
“Hindun, aku halalkan apa telah yang engkau ambil,” ucap Abu
Sufyan.
Kemudian Muhammad meminta para perempuan itu untuk berjanji
tidak akan melakukan perzinaan. Hindun lalu berkata lagi: “Apakah
perempuan merdeka tidak boleh berzina, wahai Rasulullah?”
Muhammad meminta para perempuan itu agar berjanji tidak akan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 529


membunuh anak-anak mereka. Lagi-lagi Hindun berkata: “Demi Allah,
dulu kita mendidik mereka ketika masih kanak-kanak, namun ketika
mereka sudah dewasa, koq justru dirimu dan shahabat-shahabatmu
yang telah membunuh mereka di lembah Badar?.”
Seketika itu ‘Umar tertawa hingga terpingkal-pingkal. Setelah
Muhammad meminta janji setia para perempuan itu untuk tidak ber-
kata bohong dan tidak akan berbuat durhaka dalam kebajikan, ia lalu
memohonkan ampun bagi mereka. Selanjutnya, pembai‘atan dilakukan
oleh ‘Umar atas nama beliau n.
Akhirnya, Hindun pulang dengan perempuan-perempuan lainnya.
Selanjutnya, menyusul orang laki-laki dan perempuan yang banyak
jumlahnya menyatakan keislaman mereka dan menyatakan janji-janji
setia akan melaksana­kan ajaran-ajaran Muhammad.
Muhammad kembali ke Ka‘bah. Dia menemukan bangsawan-
bangsawan Quraisy sedang mengadakan rapat. Kini mereka berada
dalam genggaman tangannya. Tak seorang pun yang berani berbuat
sembarangan kepadanya. Muhammad berkata kepada mereka:
“Wahai orang-orang Quraisy, semua manusia adalah keturunan
Adam, sedangkan Adam tercipta dari tanah. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling taqwa.”
“Wahai orang-orang Quraisy, bagaimana menurut pendapatmu
tentang perlakuanku terhadap kalian semua?” Muhammad tanya lagi.
“Baik sekali, wahai saudara yang mulia dan putra saudara yang
mulia,” jawab mereka.
“Pergilah kalian. Kalian semua bebas!” ujar Muhammad.
Seorang laki-laki yang dulu pernah sangat menyakiti hatinya datang
menghadapnya. Laki-laki itu merasa ketakutan hingga tak mampu
berdiri di hadapannya.
“Tenang sajalah engkau. Aku ini adalah anak seorang perempuan
Quraisy yang biasa makan dendeng di Makkah,” ucap Muhammad sambil
tersenyum.

530 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Karena tidak dapat melampiaskan api dendam mereka terhadap
orang-orang Quraisy, sebagian orang-orang Islam ada yang merasa ti-
dak puas. Orang-orang Anshar saling berbisik bahwa kerajaan Madinah
telah lenyap, sebab Muhammad akan tinggal di negeri sendiri, yaitu
Makkah.
Karena Muhammad mendengar mereka punya anggap­an demikian,
maka dia berkata kepada mereka: “Ma‘aadzallooh, hidupku adalah
hidupnya kalian juga; dan kematianku adalah juga merupakan kematian
kalian.”
Bagaimanapun juga, Muhammad tidak akan mengalih­kan ibu kota
negaranya. Ia akan kembali lagi ke Madinah dengan catatan setelah
selesai menghancurkan seluruh patung yang disembah oleh berbagai
suku yang berada di sekitar Makkah. Berhala ‘Uzza harus dihancurkan
di lembah Nakhlah. Selanjutnya, Muhammad mengeluarkan perintah­
nya kepada Khalid bin Walid agar mengambil sikap siap siaga untuk
melakukan penyerangan.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 531


532 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Metamorfosis Makkah

T
eman-teman dekat Muhammad yang berada di
Makkah, sebuah kota besar dan agung, yang
biasanya selalu dipenuhi hiruk-pikuk, gelak-tawa, dan cum-
bu-rayu, bergerak mengajak orang-orang masuk Islam. Kini tak ada
lagi yang perlu mereka takuti dan tidak pula membuat mereka susah,
sekalipun sebelumnya praktek tindakan anarkhis terhadap teman-
teman dekat Muhammad di Makkah luar biasa kejamnya.
Shahabat-shahabatnya berkeliling mendatangi para pedagang,
rakyat jelata, dan rumah-rumah hiburan. Mereka berhasil menggir-
ing para artis, para perempuan, dan para peminum, yang tidak kecil
jumlahnya, supaya mereka menyesali segala perbuatan yang telah lalu
dan supaya masuk dalam agama baru. Shahabat-shahabat Muhammad
di Makkah mengumumkan:

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka harus


menghancurkan patung-patung (sesembahan) yang berada di rumahnya atau

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 533


membakarnya, sebab uang hasil penjualan patung-patung (sesembahan) itu
status hukumnya adalah haram.”
Pengumuman itu mendapat respon positif dari warga Makkah, sehingga
terjadilah penghancuran terhadap patung-patung yang tersimpan di
rumah-rumah mereka.
Kini segala larangan yang bersandar pada berhala-berhala itu su-
dah tidak ada gunanya lagi. Demikian pula apa yang mereka jadikan
sebagai sesembahan kini sudah tidak dapat memberikan manfaat lagi.
Sedangkan orang-orang Islam dapat memperoleh manfaat dari sesem-
bahan mereka yang mereka sebut “Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim”.
Namun meski begitu, masih saja ada sedikit ganjalan di hati
sebagian orang-orang Quraisy terhadap Muhammad. Ganjalan yang
mereka rasakan itu adalah ketidak-sepakatan mereka terhadap ajaran
Muhammad yang memandang tidak ada perbedaan hak dan kewajiban
antara bangsawan dan hamba sahaya; anjuran untuk memberi maaf
terhadap orang yang melakukan kejahatan terhadap dirinya meski-
pun dirinya berada dalam pihak yang benar; dan juga persaudara­an
di antara sesama manusia tanpa memandang status keturunan dan
latar belakang status sosialnya. Bahkan hal yang paling memberatkan
mereka adalah tuntunan Muhammad untuk menyisihkan sebagian harta
kekayaan mereka demi kepentingan orang-orang yang tidak mampu
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Namun betapapun mereka masih merasakan keberatan menerima
ajaran Muhammad, kenyataan Muhammad saat ini sudah menang dan
ia berhasil memasuki Makkah dengan pasukannya. Oleh karenanya,
jalan untuk melakukan aksi protes kepada Muhammad, saat ini sudah
buntu.
Muhammad tidak mau menolak orang-orang yang akan menyatakan
janji setia mereka, sebab menolak orang yang berjanji setia dalam
ajaran Muhammad tidak diperbolehkan.
Muhammad menerima orang-orang Quraisy yang bergabung dalam
memeluk agama Islam dengan hati yang tulus. Sementara itu, pan-

534 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


dangan Muhammad tertuju pada berbagai suku yang tinggal di tempat
terpencil, di mana masih tampak berhala lain yang tegak berdiri dengan
kokoh; serta menganut tradisi sistem nilai yang lain pula. Memang dia
telah berhasil merobohkan patung-patung di sekitar Ka‘bah dan di
rumah orang-orang Quraisy. Tetapi di sana, di tempat terpencil, masih
tegak berbagai kuil yang dijadikan tempat penyembahan berbagai suku
yang kuat, menolak persamaan hak dan menegakkan sistem sosialnya
dengan menggunakan standar sosial ekonomi dan keturunan.
Dengan masih bercokolnya tradisi yang demikian, akhirnya Khalid
bin Walid mempersiapkan sejumlah pasukan penunggang kuda bersama
komandan-komandan pasukan lainnya untuk menuju ke daerah-derah
terpencil di mana suku-suku itu berada.
Khalid dengan pasukannya berhasil mengadakan penyerangan
di lembah Nakhlah. Khalid memasuki sebuah kuil, lalu ia robohkan
patung-patung yang besar. Tiba-tiba di balik patung itu, keluar seorang
perempuan telanjang bulat yang menjerit-jerit. Pasukan Khalid amat
terkejut sekali menyaksikan fenomena ini. Inilah dia ruh ‘Uzza yang
keluar untuk memberikan perlawanan dan akan menularkan penyakit
kusta bagi orang-orang yang menentangnya.
Perempuan itu tidak mati!
Khalid tidak bisa membebaskan hati orang-orang yang baru masuk
Islam dari belenggu pengaruh patung-patung. Khalid tidak berhasil
menyakinkan pasukannya bahwa perempuan itu orang biasa saja yang
dijadikan sesembahan dalam keadaan telanjang. Perempuan yang dis-
embah itu tidaklah lebih berbahaya daripada perempuan-perempuan
yang menjual kesenangan di rumah-rumah hiburan sebagaimana mer-
eka kenal sebelum penaklukan Makkah.
Khalid melangkahkan kakinya mendekati perempuan itu untuk
meyakinkan anggota pasukannya bahwa perem­puan itu tak berbeda
dengan mereka yang terdiri dari daging, darah, dan tidak memiliki ruh
yang kekal.
Dia hanyalah perempuan tukang tenung yang tubuhnya disembah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 535


Selanjutnya, Khalid menusuk perempuan itu, sehingga memancarlah
darah dari tubuhnya dan tidak berapa lama setelah penusukan itu,
perempuan tersebut mati sebagaimana perempuan-perempuan lain-
nya.
Khalid melanjutkan serangannya ke suku-suku yang lain, seb-
agaimana cara serangan tokoh-tokoh muslim yang ikhlas-ikhlas, seperti
‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwam. Khalid dan segenap
pasukannya bergerak meng­hancurkan patung-patung dan mengajak
semua suku untuk me­meluk agama Islam. Khalid dan pasukannya ban-
yak me­lintasi suku-suku Islam yang sebelumnya menjadi musuhnya.
Mereka harus membuang dendam lama dan harus menerima orang-
orang yang pernah menjadi musuh sebagai saudara, selama mereka
dalam ikatan keislaman, sebab ikatan tali persaudaraan adalah jiwa
dari agama baru ini.
Hanya saja ketika Khalid secara kebetulan melewati sebuah suku
yang telah membunuh ayahnya, ternyata ada beberapa tokoh suku
tersebut yang keluar mendatangi dirinya yang siap dengan pedang
di tangan mereka. Khalid bertanya tentang agama mereka. Mereka
menjawab: “Kita telah beralih agama.”
Adapun yang dimaksud mereka adalah bahwa mereka telah keluar
dari agama yang lama. Mereka telah masuk Islam, hanya saja tidak
secara terang-terangan menyatakan kesaksian kepada Khalid. Khalid
pun memerintahkan mereka agar meletakkan senjata. Setelah me-
letakkan senjata, Khalid menawan mereka dan membunuh beberapa
orang menurut kehendak Khalid.
Ketika kasus pembunuhan itu terdengar kabarnya oleh Muhammad,
maka Muhammad menyatakan bahwa Khalid tidak bersalah. Muhammad
segera mengutus ‘Ali bin Abi Thalib untuk minta maaf atas kesalahan
pasukannya kepada mereka dan menyerahkan diyat (denda) orang-
orang yang telah dibunuh. ‘Ali mengancam dan menuntut keadilan
terhadap tindakan Khalid. Namun Khalid menyatakan dirinya tidak
mengerti kata-kata yang dimaksud mereka, karena mereka hanya
menyatakan: “Kita telah berganti agama.” Dan motif yang mendorong

536 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Khalid bertindak melakukan pembunuhan, karena mereka menghadapi
Khalid dengan membawa persenjataan.
Maka Muhammad memahami duduk persoalannya, Khalid tidak
mengerti betul kata-kata mereka dan salah dalam mengambil tinda-
kan. Sekarang cukuplah Khalid mendapat kecaman dan caci-maki saja
tanpa harus ditindak.
Baru saja Khalid berjumpa dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lang-
sung saja ‘Abdurrahman melancarkan kecaman­nya terhadap tindakan
Khalid.
“Engkau pasti ingin menuntut balas kematian ayahmu,” tuduh
‘Abdurrahman.
“Engkau bohong, ‘Abdurrahman,” sanggah Khalid dengan penuh
emosi.
Perseteruan mulut antara Khalid dan ‘Abdurrahman terdengar oleh
Muhammad. Maka Muhammad mengutus seseorang untuk memanggil
Khalid.
“Sabarlah, wahai Khalid. Biarkan saja shahabat-shahabatku menge-
cam dirimu. Demi Allah, andaikata engkau memiliki emas sebesar
gunung Uhud, kemudian engkau mendermakannya di jalan Allah, ke-
berangkatan seseorang dari para shahabatku (selainmu) di pagi hari
maupun di sore harinya di jalan Allah, takkan bisa menyamai pahalamu
itu,” ucap Muhammad.
Akhirnya, Khalid minta maaf, dan tampak sekali gambaran rasa
penyesalan di raut wajahnya. Kesabarannya tidaklah dapat mengung-
guli para shahabat yang lebih dahulu masuk Islam. Tindakannya itu
hanyalah suatu kekeliruan. Selanjutnya, Khalid keluar menemui ‘Ab-
durrahman bin ‘Auf dan menyatakan minta maaf.
Setelah merawat korban yang terluka dari suku yang diserang
Khalid, ‘Ali bin Abi Thalib pulang kembali dengan membawa informasi
tentang rencana masyarakat Thaif yang akan mengadakan penyerbuan
ke Makkah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 537


Orang-orang Islam sangat terkejut mendengar informasi tersebut,
tapi informasi tersebut benar-benar telah diterima oleh Muhammad.
Thaif adalah sebuah negara besar yang berkembang dan kaya
seperti halnya Makkah. Sebagian saudagar Thaif mengadakan perse-
kutuan dagang dengan saudagar-saudagar Quraisy, sejak munculnya
pasar dagang di Madinah. Para saudagar dari kedua belah pihak bahu-
membahu dalam menandingi pasar Madinah.
Tapi, saat saudagar-saudagar Madinah telah menakluk­kan Makkah
dan pihak Quraisy telah bergabung dengan saudagar-saudagar Madinah;
dan Abu Sufyan selaku pemimpin masyarakat Quraisy telah tunduk juga,
maka timbullah rasa kekhawatiran masyarakat Thaif akan hancurnya
usaha dagang mereka.
Warga Thaif mengumpulkan berbagai suku yang tidak menjalin
persekutuan dengan Muhammad. Dari pertemuan itu dikeluarkan
suatu keputusan akan mengadakan agresi ke Makkah, sebab dengan
jatuhnya Makkah ke tangan mereka, maka posisi saudagar Quraisy dan
saudagar Madinah praktis akan dapat digantikan, sekaligus juga tujuan
masyarakat Thaif, yakni Tuhan Semenanjung Arab, akan menggantikan
Tuhan Muhammad.
Pada suatu sore Fathimah datang menghadap ayahnya. Dia
mendapati ayahnya dalam keadaan susah memikirkan langkah-langkah
yang harus ditempuh dalam menghadapi agresi masyarakat Thaif.
Akhirnya, Muhammad mengambil sikap untuk tidak menunggu serbuan
masyarakat Thaif dan tentara-tentara mereka yang kuat dan besar,
yaitu 20.000 pasukan pilihan yang handal di padang pasir disertai den-
gan budak-budak yang terlatih dan peralatan tempur yang mutakhir
yang mereka peroleh dari sisa-sisa orang Yahudi yang mengembara di
Semenanjung Arab.
Dengan melihat kenyataan itu, maka tak ada pilihan lain bagi Mu-
hammad selain menyerbu terlebih dahulu. Jangan bersikap defensif,
karena akibatnya tentara Thaif akan melakukan agresi terlebih dahulu,
sebab Makkah adalah kota yang berdiri tanpa benteng.
Jika berhasil masuk ke Makkah, maka sudah pasti mereka akan

538 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


menggilas habis segala yang ada di hadapan mereka; dan sudah pasti
mereka akan meruntuhkan tanah peradaban yang disirami lumuran
darah para syuhada.
Kedatangan putrinya kali ini ke rumahnya disambut oleh Muham-
mad dalam keadaan berdiri. Dia mencium putrinya, lalu mempersi-
lakan duduk di sisinya, sebagaimana biasanya. Fathimah berusaha
meringankan beban batin ayahnya. Dia tidak mau ambil peduli pada
persoalan yang melanda para istrinya!
Apa yang dikatakan Fathimah kepada ayahnya? Apa yang sedang
menggejolak dalam pikiran Fathimah saat ini?
Fathimah dilanda kegelisahan. Dia mengira ayahnya sudah tahu
apa yang menjadi pangkal kegelisahannya. Dia memandangi wajah
shahabat-shahabat ayahnya juga yang sedang duduk bersamanya.
Fathimah berkata dengan sorot matanya seandainya ayahnya men-
getahui konteks persoalan yang membuat batinnya menjadi gelisah.
Tapi ternyata orang-orang yang sedang ada di situ tak ada yang men-
getahuinya.
Saat ini tak seorang pun yang mengetahui bahwa suaminya, ‘Ali
bin Abi Thalib, telah tergoda oleh anak gadis Abu Jahal yang cantik
dan kaya-raya. Rupanya ‘Ali bermaksud mengawini gadis itu lantaran
kesehatan Fathimah sedikit terganggu akibat terlalu banyak bekerja
keras dan masih ditambah lagi dengan beberapa hari belakangan ini,
Fathimah tidak punya persediaan makanan.
“Kaummu menduga bahwa engkau tidak akan pernah marah
karena persoalan putrimu. Itu dia si ‘Ali coba-coba berani melamar
anak gadis Abu Jahal,” ungkap Fathimah.
Dialah ‘Ali, sosok yang hidup dalam kesederhanaan dan bersahaja!
Apakah semudah itu ‘Ali memalingkan wajahnya pada kecantikan
gadis Abu Jahal setelah sekian lama Fathimah menjadi pendamping
hidupnya di masa-masa yang penuh kesulitan hidup, memberinya anak-
anak pula, dan air matanya telah tercampur menjadi satu dalam masa-
masa yang penuh dengan kekalahan, lalu hati mereka berdua membangun
harapan masa depan? Semudah itukah ‘Ali memalingkan cintanya pada

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 539


kecantikan anak Abu Jahal setelah ‘Ali memasuki Makkah? Apakah karena
hanya mengharap kekayaan anak gadis Abu Jahal itu, ‘Ali sampai tega
hati melupakan semua kenangan pahit selama hidup bersama Fathimah?
Muhammad mengutus seseorang untuk memanggil ‘Ali yang dari
keningnya menetes keringat karena menahan emosi dan raut mukanya
menggoreskan kemarahan.
‘Ali telah datang.
“Aku telah mengawinkan Abul ‘Ash dengan anak gadisku, Zainab,
lalu dia berkata kepadaku dengan menepati kata-katanya. Dia berjanji
kepadaku, maka dia tepati pula janjinya; demikian pula apa yang telah
dilakukan ‘Utsman. Sedangkan Fathimah adalah sepotong dagingku.
Aku tidak suka ada orang yang menyakiti hati Fathimah. Demi Allah,
tak akan pernah terjadi putri Rasulullah berkumpul dengan putri
musuh Allah di sisi seorang suami. Wahai ‘Ali, apakah keuntunganmu
mengawini putri Abu Jahal?” Muhammad mengawali pembicaraannya.
“Mungkin saja kecantikannya telah membuatmu tergila-gila.
Kekayaannya pula mungkin saja membuatmu mabuk kepayang. Aku
tahu, ini semua yang membuatmu terpikat untuk menikahi putri Abu
Jahal itu atau engkau akan meninggalkan Fathimah, ibu yang telah
menjadi tempat sandaran anak-anakmu?”
‘Ali keluar, lalu dia menggagalkan pinangannya kepada anak gadis
Abu Jahal. Dia kembali lagi untuk minta maaf kepada Fathimah.
Sementara itu, Muhammad terus memikirkan tentang tentara yang
akan melakukan penyerbuan. Muhammad meminta pandangan kepada
semua shahabat-shahabatnya.
‘Ali kembali lagi dengan kepala merunduk karena tak kuasa me-
naggung malu, lalu dia menyatakan kepada orang-orang bahwa dirinya
telah menggagalkan pinangannya kepada anak gadis Abu Jahal itu.
Sudah bukan waktunya untuk membicarakan masalah itu kembali.
Muhammad kini berbicara mengenai kekuatan pasukan yang akan
dikerahkan Tsaqif. Muhammad meminta pendapat ‘Ali, sebagaimana
Muhammad meminta pandang­an kepada shahabat-shahabatnya yang
lain.

540 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Lama sekali mereka bermusyawarah. Apa yang diinginkan oleh
para pemilik ladang perkebunan anggur di sana? Apa sebenarnya yang
diinginkan oleh para pemilik keledai, pembuat tuak, pedagang budak,
dan pemasok perempuan-perempuan cantik ke rumah-rumah pelacuran
Makkah? Apa yang diinginkan oleh orang-orang yang memperoleh
kekayaan dari peternakan babi dan mem­bungakan uang itu? Mengua-
sai Makkah bukanlah motif utama yang menggerakkan para pemuka
Tsaqif. Motif utamanya adalah menghancurkan Muhammad dan me­
lenyap­kan ajarannya agar kehidupan dan kekayaan tidak diruntuhkan
oleh ajaran-ajaran Muhammad.
Muhammad tidak akan pernah melupakan bagaimana mereka men-
gusir dirinya ketika pergi ke Thaif beberapa tahun yang silam sebelum
hijrah. Mereka telah menyiksa dan menghina dirinya melebihi dari yang
diperbuat masyarakat Quraisy. Mereka melarang orang-orang untuk
memberikan makanan kepada dirinya, bahkan sekalipun itu hanya
berupa seteguk air. Mereka tak memberikan kesempatan sama sekali
kepada dirinya untuk melepas lelah sejenak pun di pagar tembok kota.
Batu dan caci-maki terus memburu dirinya dari berbagai arah,
bahkan dilemparkan oleh orang-orang yang tertindas, yang justru
mereka itulah yang akan dibukakan matanya ke arah jalan pembe-
basan. Orang-orang yang tertindas benar-benar telah jatuh ke dalam
genggaman kekuasaan para bangsawan pemilik perkebunan, perusa-
haan tuak, perempuan-perempuan penghibur, dan peternakan babi.
Akalnya tak mampu lagi berpikir, selain menerima sistem yang telah
ditetapkan oleh para majikan mereka dari generasi ke generasi.
Semua itu berasal dari orang-orang yang tertindas itu. Saat ini
pemimpin Tsaqif berhasil menghimpun 20.000 prajurit yang gagah
berani untuk menyerbu Muhammad dan melenyapkannya dari muka
bumi agar mereka dapat menguasai Makkah dan Madinah. Dengan
demikian, mereka akan menguasai Ka‘bah dan pasar-pasar orang-orang
Islam secara penuh.
Muhammad berpendapat sebaiknya ia dan pasukannya keluar lebih
dahulu sebelum musuh-musuh itu mengepung Makkah, karena tentara-
tentara musuh berhasil meng­himpun sisa-sisa orang-orang Yahudi yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 541


telah meniupkan angin kebencian dan kedengkian mereka terhadap
Muhammad, sedangkan orang-orang Quraisy yang bergabung pada
Muhammad hanyalah berjumlah 2.000 orang belaka.
Muhammad meminjam beberapa baju perang dan senjata kepada
pedagang Makkah, kemudian dia menyerah­kan kepemimpinan Makkah
selama kepergiannya kepada seorang pemuda yang tergolong muslim
angkatan lama.
Muhammad memimpin 12.000 tentara, menuju ke lembah Hunain
saat menjelang malam tiba.
Seluruh pasukannya diperintahkan untuk berkemah di lembah
itu, kemudian Muhammad keluar ke sebuah tempat yang lapang, lalu
menunaikan shalat persis di antara kedua kemahnya di mana kemah
yang satunya ditempati istrinya yang bernama Ummu Salamah; dan
kemah yang satunya lagi ditempati istrinya, Zainab binti Jahsy. Sebel-
umnya ia memang pernah bertempur dengan pasukan yang tergabung
dari berbagai suku ketika masih di Madinah, tetapi prajurit-prajurit
tempur yang berhasil dihimpun oleh pembesar Tsaqif, jauh lebih besar
dan lebih tangguh lagi. Mereka saat itu benar-benar terjun ke dalam
sebuah kancah pertempuran yang teramat menentukan.
Di keheningan malam nan sunyi, orang-orang Islam men­dengar
riuh suara orang-orang laki-laki dan perempuan yang sedang berke-
mah. Mereka rupanya pasukan Tsaqif yang sedang berkemah di suatu
lembah yang dekat. Hembusan angin malam yang teramat dingin
menghantar­kan suara laki-laki lanjut usia dari perkemahan musuh
ke telinga orang-orang Islam. Laki-laki lanjut usia itu berkata kepada
orang-orang yang ada di sekitarnya: “Aku tidak suka mendengar len-
guh unta, ringkik keledai, dan tangis anak kecil.”
Laki-laki lanjut usia itu adalah seorang penyair yang bernama Darid
bin Shammah yang sangat berpengalaman sekali dalam hal penyerbuan
dan pertempuran dalam usianya yang keseratus.
Lalu terdengarlah suara yang teramat nyaring dari lembah pasukan
Tsaqif menanggapi ucapan Darid itu: “Aku membawa harta, anak-anak,
dan para istri untuk diletakkan di belakang tentara-tentara kami agar

542 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


mereka bertempur mati-matian untuk mempertaruhkan semua mi-
liknya itu.”
Kini orang-orang Islam mempunyai dugaan kuat bahwa pihak musuh
akan terjun ke kancah pertempuran antara hidup dan mati dari hasil
dialog yang baru saja didengarnya itu.
Ketika fajar mulai menyingsing, Muhammad meme­rintah­kan kepada
seluruh pasukannya agar turun ke lembah yang lapang.
Muhammad menginstruksikan agar pasukannya mencari jalan yang
terbaik sebelum bergerak, sehingga terhindar adanya kemungkinan
pihak musuh yang datang secara mendadak dari tebing-tebing yang
curam.
Pasukan Muhammad seluruhnya berjumlah 12.000 orang. Sepuluh
ribu adalah mereka yang telah berhasil menaklukkan Makkah, sedan-
gkan dua ribu berasal dari warga Makkah.
Orang-orang Islam mulai bergerak maju. Khalid bin Walid berdiri
dengan tegar di posisi depan sebagai komandan pasukan kuda Bani
Sulaim yang telah siaga di atas punggung kuda mereka yang meringik-
ringik dengan penuh kesom­bongan atas popularitas dan keberhasilan
mereka dalam memenangkan setiap pertempuran di bawah panji
Muhammad.
Sementara di belakang pasukan Khalid, pasukan lainnya bergerak
juga baris demi baris. Jumlah mereka yang teramat besar membuat
mereka congkak. Memang mereka tumplek di lembah itu, hingga
mereka lupa intstruksi panglima perang agar mencari jalan yang ter-
baik bagi mereka dan jangan bergerak maju terlebih dahulu sebelum
menemukan jalan yang aman dan strategis bagi mereka.
Secara tiba-tiba, tatkala mereka membayang-bayang­kan kebe-
saran pasukan, anak-anak panah melesat berhamburan dari balik
tebing bebukitan yang curam laksana hujan deras. Maka timbullah
kepanikan yang serius. Barulah mereka menyadari bahwa Bani Tsaqif
dan sekutu-sekutunya telah mengepung mereka dari berbagai arah
mata angin.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 543


Dengan lesetan anak panah itu, kuda-kuda dan unta-unta menjadi
kocar-kocir berhamburan. Pasukan kuda dari Bani Sulaim banyak yang
melarikan diri ke arah mana saja. Cahaya fajar tertutup oleh pasukan
Bani Tsaqif yang turun dari tebing-tebing bukit yang curam mengejar
tentara-tentara Islam yang melarikan diri.
Begitu Muhammad menoleh, tiba-tiba dia sudah tidak melihat
lagi pasukannya yang berjumlah 12.000 orang itu, kecuali beberapa
puluh orang saja dari kalangan orang-orang Islam angkatan pertama
dan keluarganya sendiri di bawah pimpinan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Abbas,
dan ‘Utsman bin Zaid. Bani Tsaqif sudah pasti akan menggilas habis
mereka semua.
Muhammad berteriak kepada pasukannya yang sedang berlarian:
“Mau ke mana kalian semua. Kemarilah! Aku adalah Rasulullah. Aku
adalah Muhammad bin ‘Abdullah.”
“Tidak apa-apa. Hanya sekedar unta saling menyerang antara yang
satu dan lainnya, lalu orang-orang berlarian,” jawaban seseorang
sambil berdiri.
Ketika suasana sedang tidak terkendali, seorang laki-laki dari ka-
langan orang-orang Islam sendiri nekad akan membacok Muhammad,
karena ingin membalas dendam atas kematian ayahnya yang mati ter-
bunuh dalam pertempuran Uhud. Tapi dengan cepat dan tepat, ‘Umar
menghabisi laki-laki tersebut sebelum berhasil melukai Muhammad.
Peristiwa penyelewengan yang pernah terjadi dalam perang Uhud
rupanya masih terulang kembali. Akibatnya, orang-orang Islam kalah
dan melarikan diri. Siapakah di antara shahabat-shahabat dekatnya
yang akan menemui nasib sebagaimana yang telah diderita Hamzah?
Ungkapan yang bernada mengumpat dari Abu Sufyan terdengar
nyaring dari kejauhan. Abu Sufyan mengikuti orang-orang Islam yang
melarikan diri.
“Selain lautan tak akan mampu menangkal serangan musuh,” teriak
Abu Sufyan.
Seorang pemuda Quraisy berteriak sambil berlari-lari tertawa-
tawa.

544 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Kita tidak datang selain hanya ingin mendapatkan perempuan
Thaif yang cantik-cantik,” ucap pemuda itu.
Riuh-gemuruh jerit ketakutan bercampur-aduk dengan gelak-tawa
orang-orang yang mencaci-maki. Sementara itu, Muhammad berteriak
lantang di tengah kerumunan orang-orang, kemudian ia melompat ke
atas punggung keledainya untuk ikut langsung dalam penyerangan
terhadap musuh-musuhnya. Namun ia dicegah oleh ‘Abbas dan keledai
yang ditungganginya ditarik oleh pamannya itu. Namun teriakan ‘Ab-
bas sudah tak ada yang mengubris lagi. Muhammad memerintahkan
‘Abbas agar berteriak kepada orang-orang Anshar. Maka berteriaklah
‘Abbas: “Hai orang-orang Anshar!”
“Baik, kami akan datang. Baik kami akan datang,” terdengar suara
sahutan atas panggilan ‘Abbas.
Dua ribu orang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan memang meme-
luk Islam, tapi motif mereka hanya karena takut atau rakus belaka.
Mereka hari ini memang datang ke medan pertempuran, tetapi bukan
untuk membela Muhammad. Bahkan mereka bermaksud akan membuat
kekalahan di kalangan para pejuang muslim terdahulu.
Pada saat yang sangat menentukan ini, sebagian mereka teringat
kepada kawan-kawan mereka yang terbunuh pada perang Badar. Mer-
eka akan memanfaatkan kesempatan untuk membunuh orang-orang
Islam angkatan pertama yang pernah terlibat perang Badar.
Karena itu, mereka harus diwaspadai.
Dua ribu orang itu harus diawasi dan diwaspadai. Muhammad
senantiasa bertumpu pada kekuatan Muhajirin dan Anshar yang telah
lama menyertai dirinya dalam pertempuran-pertempuran yang berat
sekalipun. Dalam setiap kepergian mereka menyertakan dirinya ke
dalam suatu pertempuran, tak ada lain yang mereka cari selain mati
syahid, bukan tawanan perang yang cantik-cantik dan harta rampasan
yang melimpah.
‘Abbas terus berteriak-teriak memanggil orang-orang Anshar.
Satu demi satu mereka yang melarikan diri kembali lagi, setelah
melihat ‘Abbas dan orang-orang yang menyertainya sedang mengel-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 545


ilingi Muhammad, menjadikan tubuh-tubuh mereka sebagai perisai
bagi Muhammad.
Satu demi satu mereka kembali lagi berkumpul di samping Muham-
mad. Orang-orang Anshar, Muhajirin, dan kemudian Khalid pun kembali
juga. Kini, mereka bersumpah akan menyerahkan seluruh hidupnya
sebagai penebus dosa kekeliruan mereka karena telah melarikan diri.
Setelah terkumpul 100 orang, Muhammad mengangkat ‘Ali sebagai
komandan pasukan. Muhammad mengisntruksikan kepada mereka agar
menerobos ke jantung pertahanan pasukan musuh.
‘Ali langsung bergerak menuju ke arah komandan pasukan musuh
yang membawa panji, kemudian ‘Ali langsung menebaskan pedangnya
pada untanya. Setelah unta komandan pasukan musuh itu roboh, lalu
‘Ali terlibat perang tanding satu lawan satu. Namun untung saja, ‘Ali
berhasil menancapkan pedangnya ke bagian tubuh lawannya.
Panji yang dipegangnya tergeletak ke tanah; dan akhirnya koman-
dan pasukan musuh itu pun roboh pula ke tanah. Peristiwa itu mem-
bangkitkan keberanian sebagian orang-orang Islam yang melarikan diri
dan mengintip di tempat persembunyian mereka.
Beberapa orang perempuan tampak keluar dari perkemahan
orang-orang Islam, menyerang dan membunuh beberapa tentara mu-
suh. Orang-orang yang melarikan diri merasa malu melihat hal itu.
Maka kembalilah mereka bergabung kembali dengan teman-teman
mereka yang lain. Sementara itu pula, ‘Ali, ‘Umar, dan ‘Abbas mengk­
onsentrasiakan perhatiannya kepada para pemimpin musuh. Begitu
para pemimpin musuh mereka temukan, maka bertarunglah mereka
hingga dapat melenyapkannya.
Muhammad memerintahkan kepada tentara-tentaranya yang
kembali dari melarikan diri agar tidak terjun ke medan arah pertem-
puran di lembah. Mereka diperintahkan agar melakukan pengepungan
terhadap musuh dan menghujani musuh dengan anak panah saja dari
tebing-tebing bukit.
Situasinya kini mulai membaik. Tentara-tentara pasukan musuh
mulai dilanda kepanikan juga, ketika mereka menemukan pemimpin-

546 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


pemimpin mereka telah berguguran satu demi satu. Sementara pasu-
kan muslimin hanya sedikit saja yang turun ke medan pertempuran,
karena kebanyakan yang lainnya bersembunyi di balik tebing-tebing
bukit, melakukan pengepungan.
Beberapa orang laki-laki tampak berlarian dari perkemahan musuh,
ketika sebagian besar tentara yang melarikan diri telah kembali lagi,
hingga sebagian orang-orang yang mulanya mengejek dengan berbagai
umpatan, kini semuanya kembali lagi, setelah mereka memperkirakan
Muhammad akan dapat meraih kemenangan.
Mereka memutuskan untuk bergabung kembali agar memperoleh
bagian harta rampasan dan tawanan yang cantik-cantik. Hal ini di-
lakukan daripada Muhammad dapat memenangkan pertempuran tanpa
dukungan mereka, maka jelas nanti mereka akan dituduh sebagai
pelarian.
Sebelum matahari terbenam, pasukan Bani Tsaqif terpaksa menarik
diri terlebih dahulu, guna menyelamatkan Thaif dengan menjaga di
balik bentengnya. Banyak pemimpin pasukan sekutu Thaif yang lari
meninggalkan para perempuan dan harta kekayaan mereka.
Salah seorang dari para pemuda muslim berhasil menangkap Darid
bin Shammah. Pemuda itu bermaksud akan membunuhnya, namun dia
tidak dapat memper­gunakan pedangnya dengan baik.
“Percuma saja ibumu memberi senjata,” ucap Darid kepada
pemuda itu.
Lalu Darid mengajarkan cara menggunakan pedang kepada pemuda
itu. Ketika Darid tahu bahwa pemuda itu berasal dari Bani Sulaim, ia
berkata: “Bila engkau telah pulang, sampaikan kepada ibumu bahwa
engkau telah berhasil membunuh Darid bin Shammah. Demi Allah,
dengan demikian engkau akan dicegah oleh kaum wanita kalian (untuk
melakukan hal serupa) di kemudian hari.”
Darid dalam pertempuran sebelumnya pernah memer­dekakan tiga
orang perempuan yang punya pertalian darah dengan pemuda itu;
ibunya, neneknya, dan buyutnya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 547


Muhammad memerintahkan agar menempatkan semua tawanan
dan harta rampasan di tempat yang aman. Dan demi menjaga harta
rampasan dan tawanan itu, maka Muhammad mengangkat beberapa
orang shahabatnya sebagai penjaga. Sementara Muhammad sendiri
mengo­mando pasukannya ke Thaif untuk melakukan agresi kepada
Tsaqif yang berlindung di balik pagar tembok kota Thaif.
Di depan tembok pagar Thaif, Muhammad terkenang kembali pada
peristiwa yang menimpa dirinya. Di tempat itu, Muhammad pernah
duduk sambil menangis setelah diejek dan diusir oleh masyarakat
Thaif.
Muhammad mengutus prajuritnya untuk menyampaikan perintah
kepada Bani Tsaqif agar bersedia menyerahkan diri. Tapi Bani Tsaqif
menolak perintah tersebut. Bahkan mereka bersumpah tidak akan
menyerahkan diri, hingga Muhammad dapat menerobos pertahanan
Thaif.
Anak panah dari pasukan Bani Tsaqif terus menghujani pasukan
Muhammad. Orang-orang yang melarikan diri dari Muhammad pada
permulaan perang Hunain, kini berlomba-lomba bekerja untuk mene-
bus kesalahan mereka di depan tembok pagar Thaif, hingga menye-
babkan Abu Sufyan kehi­langan matanya. Namun semua itu sudah tak
ada artinya apa-apa, karena segalanya telah terlambat. Muhammad
mengambil sikap. Dia berpendapat bahwa sebaiknya menarik pasukan-
nya dan melakukan pengepungan kembali.
Setelah mengepung selama 20 hari lamanya, Muhammad pergi dari
Thaif sebelum terjadi perubahan situasi yang akan menghancurkan ke-
menangan yang telah diraihnya. Sesampainya di tempat para tawanan
dan harta rampasan, Muhammad memerintahkan kepada pasukan-
nya agar menghitung seluruh harta rampasan itu. Setelah diadakan
perhitungan, ternyata harta rampasan itu besar jumlahnya. Jumlah
ternaknya terhitung sebanyak 40.000 ekor dan sekitar 11.200 gram
emas. Selanjutnya, mereka meng­hitung tawanan. Ternyata semuanya
berjumlah 40.000 orang tawanan yang sebagian besar terdiri dari kaum
perempuan.

548 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Delegasi beberapa suku yang bersekutu dengan Bani Tsaqif menga-
jukan permohonan kepada Muhammad agar melepaskan para perem-
puan beberapa suku tersebut.
Di antara para delegasi suku itu, Muhammad melihat seraut wa-
jah yang sangat menyayangi dirinya. Spontan Muhammad memanggil
ibunya.
Perempuan itu sedikit demi sedikit teringat kembali pada laki-laki
yang sedang dihadapi. Ternyata perempuan itu adalah orang yang
pernah menyusui Muhammad, yaitu Halimatus Sa‘diyah.
Muhammad berdiri menyambut Halimatus Sa‘diyah dengan penuh
kehangatan, lalu ia hamparkan selimutnya untuk perempuan itu. Maka
perempuan itu duduk di atas selimut yang dihamparkan Muhammad.
Muhammad memenuhi permintaan perempuan itu, maka dibebas-
kanlah semua suku dan harta kekayaan mereka diserahkan kembali
setelah meminta izin kepada shahabat-shahabatnya.
Keputusan Muhammad untuk membebaskan para perempuan dan
menyerahkan kembali harta rampasan yang diraihnya ternyata punya
dampak positif terhadap suku-suku itu. Maka tak sedikit dari suku-suku
tersebut yang menyatakan masuk Islam.
Muhammad menghitung kembali seluruh harta rampas­an dan
tawanan yang masih tersisa. Muhammad mendengar suara-suara sum-
bang yang menyebarkan isu bahwa Muhammad akan mengembalikan
tawanan yang cantik-cantik itu kepada keluarganya. Jika demikian
kenyataannya, lantas apa artinya susah-susah berperang? Lantas apa
artinya mereka kembali lagi dari pelarian dan menyerahkan leher-leher
mereka pada pedang musuh di depan tembok pagar Thaif, jika mereka
tidak mendapat imbalan harta kekayaan dan perempuan-perempuan
Bani Tsaqif yang kecantikannya menggiurkan itu?
Muhammad tidak mempedulikan suara-suara sumbang itu. Muham-
mad tetap pada keputusannya. Maka ia utus beberapa orang kurir
yang ditugaskan menyampaikan tawaran kepada pemimpin Bani Tsaqif
bahwa Muhammad bersedia mengembalikan para perempuan dan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 549


harta kekayaan Bani Tsaqif, asalkan mau menghadap dan menyatakan
keislaman mereka.
Lalu atas dasar pertimbangan apa pemimpin Bani Tsaqif memerangi
Muhammad, padahal mereka telah kehilangan segala-galanya, harta
kekayaan, dan sanak famili?
Pemuka Bani Tsaqif menerima tawaran Muhammad. Mereka mau
datang juga, maka dikembalikannya sejumlah harta rampasan dan
tawanan kepada mereka. Sebagai imbalan, pemuka Bani Tsaqif meng-
hadiahkan 100 ekor unta kepada Muhammad.
Dari tindakan ini, Muhammad memperoleh keuntungan yang ber-
lipat-ganda yang melebihi keuntungan yang diperoleh dari peperangan
melawan Thaif. Seorang pemuka Bani Tsaqif menyatakan keislamannya,
lalu beberapa pemuka Bani Tsaqif yang lain juga menyatakan keisla-
man mereka. Akhirnya, orang-orang Thaif yang tertindas sekalipun
mempunyai keberanian juga menyatakan masuk Islam.
Suara-suara sumbang orang-orang Islam semakin santer bahwa
Muhammad akan mengembalikan semua harta rampasan kepada pe-
miliknya sebagaimana mengembalikan para tawanan itu. Muhammad
mulai mendengar protes dan tuntutan pembagian harta rampasan.
Sebenarnya Muhammad tidak sampai menganggap orang-orang
Islam melarikan diri dari pertempuran. Akan tetapi, ketika dia men-
dengar adanya tuntutan pembagian harta rampasan, dia mencela
mereka karena dianggap telah melakukan penyimpangan pada awal
pertempuran, kemu­dian mereka melarikan diri. Dengan tegas Mu-
hammad menyatakan bahwa ia tahu ada beberapa orang Islam yang
mengambil harta rampasan untuk diri mereka sendiri secara diam-diam
tanpa sepengetahuannya.
Muhammad menyarankan mereka agar mengembalikan barang-
barang itu, karena hal itu lebih baik bagi mereka. Maka dengan adanya
saran itu, dikembalikanlah barang-barang itu oleh orang-orang yang
mengambil secara diam-diam kepada Muhammad.
Tetapi suara tuntutan pembagian harta rampasan masih belum

550 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


reda juga; dan masih terdengar keras protes terhadap Muhammad
atas tindakannya yang membagi-bagikan harta rampasan itu kepada
orang-orang yang diharapkan kelunakan hatinya.
‘Umar tak sabar, dia maunya akan membunuh saja orang-orang
yang coba-coba berani memprotes kebijak­sanaan Muhammad, karena
mereka telah menyebarkan fitnah. Akan tetapi, Muhammad memerin-
tahkan kepada ‘Umar agar membiarkan mereka.
Muhammad terus melakukan pendekatan agar mereka mau me-
mahami tindakannya itu, termasuk pula dalam hal adanya perbedaan
pembagian harta rampasan di antara sebagian pemuka Quraisy dan
pemuka sekutu-sekutunya yang masih baru masuk Islam dengan jatah
yang lebih besar.
“Semua tindakan itu dimaksudkan untuk melunakkan hati orang-
orang yang masih baru memeluk agama Islam, sedangkan orang-orang
yang telah lama memeluk Islam, keimanan mereka sudah matang.
Karena itu, tidak perlu lagi melunakkan hati mereka,” demikian ucap
Muhammad kepada shahabat-shahabatnya yang telah lama masuk
Islam.
Kepercayaan terhadap mereka sangat memberikan ke­puasan di hati
mereka. Akan tetapi, sebagian orang-orang Anshar tidak mampu me-
nahan diri untuk memperoleh bagian harta rampasan, karena mereka
sebagai orang-orang yang telah menolong dan membela Muhammad
ketika Muhammad terancam bahaya saat orang-orang lari dari sisinya.
Namun mengapa dia lantas mengistimewakan orang-orang sebangsa
‘Ikrimah bin Abu Jahal dan Abu Sufyan bin Harb?
Selanjutnya, tokoh pemuka Anshar menghadap Muhammad.
“Kemenangan ini bertumpu pada orang-orang Anshar, tetapi mer-
eka telah dibuat kecewa hatinya dalam pem­bagian harta rampasan
itu kepada kalangan kaummu sendiri dan engkau memberikan bagian
yang banyak kepada orang-orang Arab. Sementara orang-orang Anshar
yang telah menjadi tulang-punggung pasukan tidak memperoleh sama
sekali,” ucap Sa‘ad bin Ubadah kepada Muhammad.
“Ke mana arah pembicaraanmu, Sa‘ad?” tanya Muhammad.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 551


“Aku ini adalah penyambung lidah kaumku, ya Rasulullah,” jawab
Sa‘ad tegas.
Muhammad lalu mengumpulkan orang-orang Anshar. Dia menyam-
paikan orasinya di hadapan mereka yang menya­takan kelebihan bangsa
Arab atas mereka dan kelebihan mereka atas bangsa Arab.
“Wahai orang-orang Anshar! Tidak relakah kalian semua apabila
orang-orang kembali pulang dengan membawa para tawanan wanita
dan budak-budak, sedangkan kalian semua kembali ke negeri kalian
dengan membawa seorang rasul Allah? Demi jiwaku yang berada dalam
genggaman-Nya, andaikata tidak karena hijrah, niscaya aku termasuk
golongan orang-orang Anshar. Sekiranya orang-orang (dari kalangan
selain Anshar) menyusuri sebuah jalan, sementara orang-orang Anshar
menyusuri jalan yang lain, sudah pasti aku akan menyusuri jalan yang
dilalui orang-orang Anshar itu,” demikian isi pidato Muhammad.
Akhirnya, Muhammad bersama rombongan pulang kembali ke
Madinah. Di tengah jalan menuju ke Madinah, Muhammad melewati
kuburan ibunya.
Di sinilah bersemayam seorang janda yang ditinggal suami­nya
dalam mencari nafkah dalam usia yang masih muda. Perempuan itu
rela hidup menderita seorang diri dan menolak lamaran orang-orang
yang ingin melamar diri­nya, karena dia ingin mendidik anaknya yang
hidup yatim.
Selanjutnya, dia pun harus meninggalkan dunia yang fana ini dalam
hidup yang penuh kekurangan agar ayah dan ibu yang lain tidak sam-
pai mati kelaparan juga. Karena itulah, dalam ajaran Muhammad ada
keharusan untuk senantiasa menjaga keadilan dan kasih sayang dan
juga hak tertentu bagi para peminta-minta dan rakyat jelata dalam
harta orang-orang kaya.
Kedua bola mata Muhammad berlinangan air mata. Dialah seorang
anak laki-laki yang ditinggal pergi ibunya selama-lamanya dalam ke-
adaan yatim-piatu, sedangkan kini, dia memikul tanggung jawab besar
untuk memberikan penerangan.
Masyarakat Thaif telah tunduk kepadanya dan orang-orang Quraisy

552 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


telah mengikuti ajarannya. Panji ajaran berkibar-kibar di Madinah dan
di berbagai perkampungan padang pasir yang luas.
Kini kemenangan telah ia raih. Namun meski keme­nangan telah
berada dalam genggaman tangannya, dia tetap merasakan dirinya
sebagai anak yatim yang tak merasakan hangatnya belai kasih sayang
ayah dan ibunya. Betapapun keberhasilan telah diraihnya, dia tidak
memiliki apa-apa, selain derai air mata.
Setelah dia meninggalkan beberapa orang shahabatnya yang di-
tugaskan untuk memberikan penyuluhan ajaran agama Islam kepada
warga Makkah, rombongan orang-orang Anshar bergerak menuju Ma-
dinah bersama Muhammad.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 553


554 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Bendera kemenangan
berkibar jauh

P asca 20 tahun lamanya Muhammad dan pengikutnya


hidup dalam kerangkeng kesulitan, penderitaan,
dan perjuangan yang tiada henti-hentinya, kini orang-orang yang
kemarin seenaknya main usir kepada dirinya telah menjadi pengikut-
pengikutnya yang patuh. Orang-orang yang kemarin mengejeki dirinya,
men­dampratnya dengan kata-kata kotor, dan memperolok-olok dirinya
sebagai orang goblok, kini mereka datang kepadanya mengharapkan
pandangan dan senyuman dari dirinya. Semuanya kini telah terbuka,
yang tidak hanya pintu-pintu rumah saja yang dulu terkunci telah ter-
buka lebar, tetapi jalinan mahkota-mahkota pun telah dinikmatinya.
Tetapi bukan mahkota raja maupun penguasa!
Dia datang dengan membawa ajaran-ajarannya yang dapat menyinari
hidup manusia, sebab tak ada yang ia cari selain buah kebenaran.
Apa yang dicarinya tak lain hanyalah merealisasikan integritas ma-
syarakat Arab yang bercerai-berai ke dalam suatu panji agar mereka
menjadi satu umat yang terbebas dari aksi tiranik.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 555


Pasca 20 tahun berlalu dalam pergumulan menentang maut, menderita
karena kerakusan para pengikutnya, pengkhinatan sekutu-sekutunya,
orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri,
serta orang munafiq dan keberingasan musuh-musuhnya, kini semuanya
telah menghilang sirna.
Inilah kota yang dipilihnya selama 20 tahun untuk hidup dan mati.
Namun meski semua telah bertekuk-lutut di bawah kakinya, Muham-
mad masih saja tidur di atas sehelai tikar yang kasar. Dia masih saja
duduk di rumahnya, mencuci pakaiannya sendiri, dan tetap saja men-
gencangkan ikat pinggangnya dalam kondisi kelaparan.
Sementara itu, delegasi berbagai suku dari sana-sini berdatangan
menghadap kepadanya dengan memakai baju yang terbuat dari sutera
dan selendang yang disulam dengan emas, mengharapkan senyuman,
pandangan matanya, atau apa saja yang mengisyaratkan kesenangan-
nya.
‘Umar bin Khaththab datang menghadap Muhammad: “Ya Rasu-
lullah, tampaknya orang-orang semakin besar per­hatiannya terhadap
Islam. Hal ini ditandai dengan ke­ingin­an mereka melihat engkau men-
genakan pakaian yang mahal. Perhatikan saja yang dipersembahkan
Sa‘ad bin Ubadah kepadamu. Karena itu, cobalah engkau kenakan saja
baju itu,” usul ‘Umar kepada Muhammad pada suatu saat.
Muhammad memandang Abu Bakar. Ternyata Abu Bakar mendukung
usul ‘Umar tersebut.
“Biar mereka sejak hari ini melihatmu mengenakan pakaian bagus,”
tambah Abu Bakar meyakinkannya.
“Baik. Aku akan melakukannya. Kalau kalian berdua sepakat dalam
satu persoalan, maka aku tidak akan menolaknya,” jawab Muhammad
sambil tersenyum.
Selanjutnya, Muhammad bangkit dari duduknya, menyambut ke-
datangan delegasi Thaif.
Delegasi Thaif datang menghadap Muhammad untuk menyatakan
keislamannya. Namun delegasi itu ingin berdiskusi terlebih dahulu
dengan Muhammad mengenai beberapa hal.

556 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Mereka meminta kepada Muhammad agar tetap memperbolehkan
bercokolnya tuhan-tuhan mereka untuk sementara waktu, sebab ban-
yak orang yang bermaksud akan mendatangi Thaif untuk memohon
berkah tuhan-tuhan yang di sekitarnya dikelilingi pasar-pasar dagang,
setelah tuhan-tuhan Ka‘bah dibasmi.
Namun Muhammad menolak permohonan mereka. Dia hanya
memberikan dispensasi kepada mereka dengan tidak memerintah­kan
mereka sendiri yang harus menghancurkan berhala-berhala itu, me-
lainkan memerintahkan orang lain selain warga Thaif yang ditugaskan
menghancurkan tuhan-tuhan itu.
Mereka mendiskusikan masalah zakat, tapi Muhammad tetap ber-
tahan pada keputusannya bahwa zakat adalah hak orang-orang miskin
yang terdapat dalam harta orang-orang kaya. Mereka meminta juga
kepada Muhammad agar menjadikan Thaif sebagai tempat yang sama
dengan Makkah, sebab Bani Tsaqif kuantitas penduduknya tidaklah
lebih sedikit dari masyarakat Quraisy. Selanjutnya, Muhammad pun
meminta agar mengumumkan bahwa Thaif adalah tanah haram seb-
agaimana halnya Makkah.
Setelah itu, delegasi Thaif mohon pamit. Lalu datanglah seorang
penyair terkemuka bernama Ka‘ab bin Zuhair bin Salam. Islam san-
gatlah berharap dapat memanfaatkan potensi sang penyair ini dan
penyair-penyair lainnya yang sering kali melantunkan syair-syairnya
di Semenanjung Arab, seperti sosok Labid dan ‘Amr bin Ma‘dikariba,
sebagaimana Islam memanfaatkan keahlian Hassan bin Tsabit sebelum
itu.
Hati sebagian bangsawan telah lunak dan pemberian seratus ekor
unta melunakkan hati para penyair itu. Muhammad menyerahkan
lebih dari semua itu, sebab dalam pertempuran-pertempuran besar,
tak ada pedang yang lebih tajam bila dibanding dengan ketajaman
redaksi syair-syair para penyair itu; dan tak ada tikaman yang lebih
pedih bila dibandingkan dengan ejekan musuh-musuhnya yang berasal
dari kalangan penyair.
Muhammad berdiri menyambut kedatangan Ka‘ab bin Zuhair den-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 557


gan penuh kehangatan. Ka‘ab melantunkan syair-syair panjang yang
dimulai dengan:

Hari ini kebahagiaanku tampak merekah


Hatiku diliputi cinta yang tiada terlukiskan
Selesai membacakan syairnya, Ka‘ab minta maaf atas kesalahan yang
telah diperbuatnya, kemudian Ka‘ab minta untuk diberi kesempatan
melantunkan syair-syair yang berisikan pujian kepada Muhammad.
Ketika Ka‘ab sampai pada syairnya yang berbunyi:

Rasulullah adalah cahaya pelita


Rasulullah sebilah pedang
di antara pedang-pedang Allah yang terhunus
maka hati Muhammad kagum terhadapnya. Muhammad mendekati
Ka‘ab, lalu merangkulnya dan melepaskan pakai­annya, kemudian mem-
berikannya kepada Ka‘ab. Pakaian yang bagus itu adalah persembahan
Sa‘ad bin Ubadah.
Ka‘ab bin Zuhair kembali lagi dengan diliputi keba­hagiaan atas
perjumpaan ini. Dia menyatakan keislamannya di berbagai tempat;
dan dia banyak menggubah syair-syair yang mengungkapkan keutamaan
agama baru ini.
Selanjutnya, Muhammad memasuki rumahnya untuk menemui
utusan yang mengabarkan tentang kematian putrinya, Zainab.
Dia tak mampu menahan diri. Dia menangis. Tapi tak lama kemu-
dian setelah sampai di rumahnya seusai penguburan putrinya, tangan
kehidupan memberinya sebuah kebahagiaan sebagai obat bagi luka
batinnya. Dia menemui istrinya, Mariyatul Qibtiyah, yang melahirkan
seorang bayi laki-laki yang belum pernah dia miliki sebelum itu. Laki-
laki tidaklah sama dengan perempuan. Dia beri nama bayi laki-laki
buah hatinya itu dengan nama “Ibrahim”.
Kesempatan untuk menangis dan tertawa sudah tidak ada lagi

558 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


baginya, karena delegasi dari berbagai suku datang tidak ada putus-
putusnya untuk menyatakan keislaman mereka dan memohon kepada
Muhammad agar mengirim­kan tenaga pengajar.
Semua prinsip yang diajarkannya tidak menimbulkan perdebatan
dengan delegasi mana pun, selain persoalan zakat. Karena itu, dia
berpandangan tidak cukup hanya mengirim tenaga penyuluh agama
saja. Saat ini sistem sosial masyarakat Islam berkembang ke arah lain.
Adapun untuk menghimpun suku-suku yang sudah dalam disinte-
grasi, maka dituntut adanya suatu negara dengan menjadikan Madinah
sebagai ibu kotanya. Negara tersebut adalah negara yang dilindungi
nilai-nilai yang didasarkan atas undang-undang dasar. Dengan undang-
undang dasar itu, sistem sosial dalam negeri dapat diatur dengan baik.
Dia harus mengangkat pejabat di berbagai suku dan kota-kota yang
jauh. Dia harus mengangkat juga pejabat yang bertanggung jawab
dan menangani bidang zakat, pengumpulan, dan pendistribusiannya.
Di Najran, per­batasan negeri Romawi, banyak orang Islam terus ber­
kembang. Mereka adalah orang-orang yang rela bekerja keras, men-
derita, dan menghadapi maut dalam setiap pertempuran. Di dalam
kepala mereka, tertanam kuat nasihat Muhammad yang berbunyi:
“Hendaklah kamu memutuskan persoalan dengan berlandasan
pada Al-Qur’an, As-sunnah, atau ijtihad. Segala persoalan harus di-
musyawarahkan di antara kalian; jangan kalian berselisih dan bersikap
sombong di muka bumi; dan jangan menjadi orang-orang yang berbuat
kerusakan.”
Setiap pejabat harus menjaga aturan yang telah ditentukan ber-
sama dengan ‘Ali bin Abi Thalib.
“Ya Rasulullah, bagaimana jika ada kasus di antara kita yang tidak
diatur secara tekstualis dalam Al-Qur’an dan Sunnah?” tanya ‘Ali.
“Kumpulkan orang-orang yang pandai di kalangan kaum muslimin.
Setelah itu musyawarahkanlah tema yang tidak disebutkan secara
gamblang,” jawab Rasulullah.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 559


Akan tetapi, ada saja sebagian orang-orang yang masuk Islam
karena ambisi ingin memperoleh harta rampasan atau ingin menduduki
jabatan. Mereka merasa kecewa sekali, karena Muhammad mempri-
oritaskan orang-orang yang sudah teruji kesetiaan dan dedikasinya
dalam berbagai pertempuran terdahulu. Lebih kecewa lagi, karena
mereka diharuskan mengeluarkan zakat dan memberikan hak bagi
orang-orang yang meminta-minta maupun yang tidak, dalam harta
kekayaan mereka. Namun kemudian ke­jengkelan mereka akhirnya
tidak dapat dibendung lagi.
Beberapa suku membelot kepada pejabat-pejabat yang telah ditun-
juk Muhammad. Karena itu, untuk menundukkan suku-suku tersebut,
Muhammad mengirim pasukannya. Bani Tamim adalah suku yang per-
tama sekali melakukan aksi pembelotan. Ketika pasukan Muhammad
berhasil menunduk­kan Bani Tamim, tidak sedikit tawanan dan harta
rampasan yang diperoleh dari mereka. Delegasi Bani Tamim datang
untuk menemui Muhammad. Mereka tidak mau menunggu sampai
Muhammad keluar dari biliknya, sebagaimana kebiasaan delegasi dari
suku-suku lain. Mereka langsung saja memanggil-manggil Muhammad
dari luar biliknya,
“Keluarlah, Muhammad.”
Beberapa orang Islam angkatan pertama tidak suka terhadap
tatacara Bani Tamim, tetapi Muhammad keluar juga menemui mereka
dengan sikapnya yang sabar dan pakaiannya yang sangat sederhana
sambil membacakan suatu ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu)


kebanyakan mereka tidak mengerti (tata krama terhadap nabi mereka).” (QS.
Al-Hujuraat [49]: 4)
Sebelum meminta pembebasan atas tawanan mereka, mereka
minta mengadakan perdebatan dengan orang-orang kepercayaan
Muhammad. Jika orang-orang kepercayaan Muhammad dapat men-
galahkan mereka, maka mereka akan mengakui kesalahan mereka.

560 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Maka berdirilah salah seorang dari mereka menyampaikan orasinya.
Muhammad meme­rintahkan shahabatnya agar melayani perdebatan,
maka berdirilah salah seorang shahabatnya, menyampaikan orasinya
juga. Selanjutnya, seorang penyair Bani Tamim berdiri juga dengan
sikap menyombongkan diri, maka Muhammad memerintahkan Hassan
bin Tsabit untuk menghadapinya.
Hassan bin Tsabit menyanggah penyair Bani Tamim. Perdebatan
berlangsung lama. Sementara itu, Muhammad memerintahkan orang-
orang kepercayaannya dengan penuh kekaguman dan merasa puas.
Ketika perdebatan panjang itu berakhir, Bani Tamim mengakui keung-
gulan orang-orang Islam angkatan pertama dalam hal perdebatan.
Bani Tamim meminta maaf atas tindakan mereka. Muhammad pun
mengembalikan tawanan Bani Tamim dan minta kesediaan mereka
untuk berjanji akan menunaikan zakat.
Sebenarnya Muhammad sangat mengharapkan penyair Labid datang
juga dalam delegasi Bani Tamim, namun ternyata Bani Tamim memilih
penyair lain.
Tetapi akhirnya delegasi Bani Tamim pulang kembali membawa
pemberian yang tidak sedikit.
Suku Madzhaj merasa ketakutan. Mereka datang disertai pimpinan
mereka, Aswad. Lalu mereka menyatakan keislaman mereka. Aswad
sangat ambisi jabatan, tetapi ambisinya tidak tercapai. Lantas apa
artinya dia masuk Islam, jika tidak memperoleh kedudukan?
Sepulang dari Madinah, langsung Aswad mengadakan musyawarah
dengan sebagian orang-orang kaya di kalangan kaumnya mengenai
masalah zakat. Apa untungnya mereka menjalankan zakat. Mereka
akhirnya tidak mau menye­rahkan sebagian harta kekayaan mereka
sesuai dengan ketentuan, sepersepuluh dari hasil bumi yang disiram
dengan air hujan atau mata air; seekor kambing dari setiap lima ekor
unta; seekor sapi dari setiap empat puluh ekor sapi; dan seekor kamb-
ing dari setiap empat puluh ekor kambing yang digembala.
Aswad adalah seorang yang kaya-raya. Dia punya pengalaman
mengunjungi berbagai negeri. Dia tahu ilmu sihir. Pada suatu hari dia

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 561


pergi menemui kaumnya dengan membawa kuda-kuda yang telah disi-
hir sebagaimana dia pernah melihatnya di suatu negeri yang pernah
dikunjungi­nya. Dia mampu membuat masyarakatnya tercengang ke­
heranan. Lalu dia umumkan kepada masyarakatnya bahwa kuda-kuda
itu adalah mukjizat kenabian. Dia mengaku sebagai seorang nabi juga
sebagaimana pemuda Quraisy itu.
Aswad menyatakan bahwa agama yang dibawanya membebaskan
manusia dari membayar zakat. Maka tak sedikit orang kaya dan budak-
budak terpikat dan menjadi pengikutnya. Aswad membentuk pasukan
yang dibiayai dari hartanya sendiri dan bantuan kaumnya yang kaya-
kaya. Selanjutnya, dia melakukan agresi ke Yaman, hingga dia dapat
menduduki Shan‘a. Dia rampas hartanya dan pejabatnya dibunuh. Dia
melakukan penganiayaan kepada orang-orang Islam dan memperkosa
para perempuan.
Mendengar berita itu, Madinah terkejut sekali, sehingga Muham-
mad memerintahkan kepada pemerintah yang berada di sekitar Shan‘a
agar menangkap nabi gadungan itu, lalu dikirim ke Madinah; atau
seandainya berhasil ditangkap, maka bunuh saja dia.
Salah seorang dari pejabat-pejabat itu adalah saudara sepupu
janda pejabat yang terbunuh dan diperistri secara paksa. Lalu janda
itu dikumpulkan dengan istri-istrinya yang lain.
Janda pejabat itu sangat cantik. Oleh karena itu, Aswad mengis-
timewakannya di antara istri-istrinya yang lain. Dia menyediakan rumah
untuk perempuan itu dengan perabot-perabot seperti yang terdapat
dalam istana raja-raja Romawi dan Persia. Dia lebih banyak tinggal di
samping istri barunya, betapapun dia menghalalkan untuk berkencan
dengan gadis-gadis lain bagi dirinya. Dia mengangkat beberapa body-
guard yang bengis-bengis yang bertugas menjaganya di luar tempat
tidurnya.
Namun ternyata istrinya memperdayakannya. Dia memasukkan
saudara sepupunya ke tempat tidur Aswad yang sedang tidur lelap.
Saudara sepupunya langsung membacok Aswad, tapi bacokannya tidak
berhasil mem­bunuh Aswad. Aswad pun bangun dari tempat tidurnya,

562 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


lalu berteriak kebingungan.
Mendengar Aswad berteriak, bodyguardnya segera datang berge-
gas. Tapi istrinya telah berdiri lebih dahulu di depan pintu untuk
memperdaya bodyguardnya.
“Suamiku yang menjadi nabi berteriak karena ter­lampau berat
menerima wahyu,” demikian ucap istri Aswad memperdaya bodyguard.
Para penjaga itu pergi dengan penuh percaya bahwa semua itu
adalah kelanjutan wahyu. Sementara itu, saudara sepupu itu sedang
membereskan Aswad.
Setelah Aswad terbunuh, maka para pejabat negeri yang berdeka-
tan dengan wilayah Aswad dapat memburu pendukung Aswad yang
kaya-raya, termasuk semua bodyguardnya yang bengis-bengis itu.
Akhirnya, seluruh daerah itu kembali lagi ke pangkuan Islam.

g
Pada saat kesibukan semacam ini, datanglah delegasi Yamamah
menghadap Muhammad. Di antara delegasi itu terdapat seorang laki-
laki lanjut usia, yang sudah sejak bertahun-tahun silam dia biasa
berkelana dari satu suku ke suku yang lain dengan menunggangi kele-
dainya untuk mengajak orang-orang agar mencari kebenaran.
Laki-laki yang lanjut usia itu sangat dihormati oleh kaumnya karena
faktor usianya yang sudah tua dan kecendekiawanannya. Popularitas
laki-laki itu telah tersebar ke luar negeri Yamamah. Bahkan orang-orang
Quraisy juga mendengar perihal laki-laki Yamamah itu. Di awal-awal
masa kenabian Muhammad, orang-orang Quraisy pun menuduh bahwa
Muhammad banyak belajar dari cende­kiawan Yamamah itu.
Cendekiawan dan filosof Yamamah yang bernama Musailimah itu
datang belakangan, sementara delegasinya datang terlebih dahulu.
Para delegasinya menceritakan tentang Musailimah kepada Nabi, lalu
Nabi berkata kepada mereka: “Sesungguhnya dia bukan orang kalian
yang buruk posisinya.”*)
Mereka lantas menyatakan masuk Islam, lalu pergi menemui Mu-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 563


sailimah. Selanjutnya, mereka mendatangi Muhammad bersama Mu-
sailimah dan Muhammad me­nyambut kedatangan Musailimah dengan
sebaik-baiknya.
Musailimah menceritakan tentang agama yang dia anut selama ini,
kemudian dia minta kepada Muhammad agar mau membagi wilayah
kekuasaan (kenabian). Sementara itu Muhammad lalu meletakkan
sebatang pelepah kurma di atas tanah.

*) Maksud ucapan Nabi ini adalah karena saat itu Musailimah benar-benar amanah kala dipercaya rekan-rekannya untuk menjaga barang-
barang bawaan mereka di penginapan mereka. Baca Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad n 7/62 oleh KH. Munawwar Chalil –edt..

“Jika wilayah kekuasaan (kenabian) yang engkau minta, meski


hanya sebatas pelepah kurma ini, tentu aku tidak mau memberimu,”
ucap Muhammad kepada Musailimah.*)
Lama sekali antara Musailimah dan Muhammad terlibat pembi-
caraan. Muhammad menjelaskan ajaran-ajaran Islam. Akhirnya, Mu-
sailimah menyatakan memeluk agama Islam.
Dia pulang kembali ke Yamamah bersama kaumnya dan menjabat
sebagai gubernur wilayah Yamamah. Namun belum lama dia berada di
Yamamah, dia merasa keberatan dengan adanya perintah membayar
zakat. Dia memang orang kaya yang menetapkan dirinya sebagai
gubernur –dia memanfaatkan harta kekayaan untuk dirinya sendiri,
sekalipun dia tidak berhak; dia “memanfaatkan” betul posisi­nya sebagai
penguasa, lalu membangun sebuah istana megah untuk dirinya sendiri,
betapapun dia tetap berkelana mengen­darai keledainya ke berbagai
kampung untuk menyerukan kebenaran– di bawah kekuasaan Muham-
mad. Dialah yang dulunya selalu mencari kebenaran dan menyampaikan
penyuluhan kepada orang-orang selama 30 tahun sebelum Muhammad
mengajaknya untuk memeluk Islam.
Namun entah mengapa akhirnya dia membangkang kepada Muham-
mad. Dia mengajak kaumnya untuk memeluk agamanya yang baru,
yang tidak ada ketentuan wajib zakat dan ikatan apa-apa. “Mengapa
Muhammad tidak mencukupkan saja dengan menguasai negeri Hijaz,
tetapi juga menguasai wilayah lainnya?”, gumam Musailimah.

564 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


*) Maksudnya, Musailimah meminta agar Muhammad mau mengakui dia sebagai nabi, namun Muhammad menolak –edt..

Dia mengirim surat kepada Muhammad yang isinya: “Amma ba‘du,


aku ingin berbagi dengan engkau dalam masalah kekuasaan (pangkat
kenabian). Separuh bumi adalah bagianku; dan separuh bumi lainnya
adalah bagian orang-orang Quraisy, namun orang-orang Quraisy adalah
kaum yang melampaui batas.”
Muhammad bertanya kepada kedua utusan Musailimah: “Lalu
bagaimana komentar kalian?”
“Kami berkata sesuai apa yang Musailimah katakan,” jawab mer-
eka berdua. Sebagian besar warga Yamamah yang kaya-kaya memang
mengatakan sebagaimana yang dikatakan Musailimah.
Selanjutnya, Muhammad menulis surat yang ditujukan kepada
Musailimah. Isi suratnya adalah sebagai berikut: “Bismillaahir rohm-
aanir rohiim. Dari Muhammad Rasulullah untuk Musailimah, si pen-
dusta. Keselamatan semoga tetap dilimpahkan atas orang-orang yang
mengikuti petunjuk. Selanjutnya, sesungguhnya bumi ini milik Allah
yang akan diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki;
dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Meskipun Muhammad telah menanggapinya dengan surat yang
baru saja dibacanya, Musailimah tetap saja menyebut-nyebut dirinya
sebagai Rasulullah. Dia tetap saja berkelana dari satu desa ke desa
yang lain sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi ‘Isa. Dia terus
saja menyerukan orang-orang untuk memeluk agama baru yang tidak
mewajibkan zakat. Dia mengaku berkuasa atas kampung-kampung
Semenanjung Arab yang dia masuki itu.
Dari hari ke hari, ternyata pengikutnya kian bertambah banyak.
Peristiwa ini terjadi justru di saat-saat menjelang keberhasilan Mu-
hammad mengintegrasikan suku-suku bangsa Arab seluruhnya.

g
Semuanya berantakan dan Muhammad sakit kembali.
Sejak mencicipi daging kambing yang diberi racun di Khaibar itu,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 565


penyakit Muhammad sering kambuh kembali. Hari ini dia berbar-
ing merasakan sakit hati atas tindakan Musailimah di Yamamah dan
keletihan akibat pengaruh racun itu. Shafiyyah masuk ke biliknya. Dia
melihat Muhammad sedang mengaduh kesakitan.
“Aku ingin menggantikan apa yang engkau derita,” ucap Shafiyyah.
Mendengar apa yang diucapkan Shafiyyah, lantas ‘Aisyah, Hafshah,
dan Zainab bertiga saling memicing­kan mata kepada (memperolok-
olok) Shafiyyah, salah seorang istri Muhammad yang berdarah Yahudi,
yang karena usianya yang masih muda, dia mendapat tempat juga di
hati Muhammad. Muhammad menatap mereka bertiga, lalu berkata:
“Berkumur-kumurlah kalian lantaran telah memperolok-olok Shafiyyah.
Demi Allah, dia adalah perempuan yang jujur.”
Tapi ‘Aisyah telah membantah ucapan suaminya dengan nada
emosi: “Ya, engkau cukup beristri Shafiyyah yang pendek itu saja!”
Untuk kesekian kalinya, kobaran api kecemburuan telah mendorong
‘Aisyah melakukan pengejekan terhadap perempuan muslimah. Masih
belum juga ingatkah ‘Aisyah akan firman Allah:

“... janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan
jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh
jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok)....”(QS. Al-Hujuraat [49]: 11)
Muhammad memalingkan wajahnya dari ‘Aisyah dengan penuh
sakit hati atas kecemburuannya.
‘Aisyah! Sungguh engkau telah mengatakan ucapan yang seandainya
ucapan itu dicampurkan ke laut, niscaya akan dapat mencemari air
laut itu,” demikian ucap Muhammad menanggapi ‘Aisyah.
Dia berisyarat kepada ketiga istrinya agar pergi, sebab dalam
keadaan sakit sangatlah tidak layak untuk saling cemburu. Belum lagi

566 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


ditambah semakin banyaknya orang-orang yang baru masuk Islam,
kemudian melakukan pembangkangan terhadap dirinya dan tidak
membayar zakat. Selain itu pula, nabi-nabi gadungan berkeliaran di
berbagai pelosok nan jauh di sana; dan Romawi sedang mengerahkan
pasukannya di perbatasan.
Setiap hari berita tentang persiapan agresi yang dilakukan oleh
Heraklius Kaisar Romawi terus mengalir. Heraklius merasakan semakin
pesatnya perkembangan kelompok muslim yang baru muncul itu. Dia
merasakan juga, kelompok muslim tersebut akhirnya akan menjadi
ancaman serius bagi kekuasaannya, sebab kelompok muslim sangat
militan dalam menghadapi semua musuh untuk mere­­but kemenan-
gan. Tak ada yang dapat menghadapi mereka, bahkan hingga kema-
tian sekalipun. Justru mereka bertempur dengan suatu harapan agar
tewas dalam per­tempuran. Jika Heraklius membiarkan mereka sampai
menga­dakan agresi terlebih dahulu, maka runtuhlah keraja­an Romawi
di belahan timur bumi ini. Oleh karenanya, sebaik­nya aksi agresi harus
diluncurkan terlebih dahulu oleh Heraklius.
Sementara Muhammad berpendapat, sebaiknya tidak menunggu
hingga Heraklius menyerbu dan pasukannya menyerbu ke Makkah dan
Madinah. Orang-orang Islam harus menyerbu lebih dulu ke kerajaan
Romawi supaya mereka dapat membebaskan orang-orang yang hidup
terjajah dalam kekuasaan Heraklius.
Muhammad meminta pertimbangan kepada shahabat-shahabatnya.
Semuanya sepakat akan keluar untuk menemui pasukan Heraklius dan
mengadakan agresi langsung ke pusat kerajaannya.
Dalam rangka menyukseskan semua rencana agresi ini, maka sudah
tentu diperlukan jumlah personel yang banyak dan dukungan kucuran
dana yang besar.
Muhammad meminta bantuan sukarela kepada shahabat-shaha-
batnya agar memberikan sumbangan. Abu Bakar menyerahkan seluruh
harta kekayaannya. ‘Utsman dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf juga meny-
erahkan sebagian besar hartanya yang memang berlimpah-ruah. ‘Umar
menyerah­kan separuh harta kekayaan yang dimilikinya. Semua orang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 567


Islam yang termasuk angkatan pertama menyerahkan sumbangan
mereka, sedangkan para perempuan banyak menyerahkan perhiasan
mereka. Orang laki-laki banyak menyumbangkan segala yang di-
milikinya, bahkan sampai dengan bahan-bahan makanan sekalipun
mereka keluarkan semuanya.
Para shahabat tanpa berat hati berbondong-bondong menyerah-
kan sumbangan mereka dengan penuh ketegaran yang luar biasa.
Tapi ‘Abdullah bin Ubay mengambil sikap menentang rencana agresi
itu. ‘Abdullah mengingatkan orang-orang akan peristiwa yang pernah
terjadi dahulu di Mu‘tah.
“Apakah kalian semua mengira bahwa menghadapi kekuatan Ro-
mawi sama dengan menghadapi kekuatan sesama bangsa Arab? Demi
Allah, ketika kalian telah berhadap-hadapan dengan pasukan yang
mengenakan pakaian perang, kalian telah kehabisan seluruh tenaga
karena terik panas matahari lantaran lamanya perjalanan dan beratnya
beban,” demikian ucap ‘Abdullah pesimis.
Kata-kata ‘Abdullah bin Ubay ini meruntuhkan sikap optimisme
yang telah tumbuh di hati orang. Mereka dibayang-bayangi oleh keka-
lahan orang-orang Islam dahulu di Mu‘tah yang ketika itu hampir saja
pasukan Romawi dapat menumpas habis seluruh pasukan Islam. Belum
lagi ditambah panas terik. Mengapa Muhammad tidak menunda rencana
agresi itu setelah musim panas saja? Bukankah saat ini juga kebetulan
musim panen? Apakah mereka harus meninggalkan musim panen untuk
mempertaruhkan nyawa mereka di negeri yang tidak jelas rimbanya?
Berulang kali terdengar seruan:

“Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” (QS.
At-Taubah [9]: 81)
Tidak hanya himbauan yang menghentikan jalannya perang, tetapi
juga gosip beterbangan: “Untuk apa kita bergabung ke dalam Islam?
Apakah setelah memperoleh kehidupan yang enak, pangkat, kedudu-
kan, kekayaan, dan kebanggaan, terus kita dituntut melepaskan semua

568 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


itu dari diri kita untuk mengarungi gurun sahara di bawah terik ma-
tahari yang tidak kenal belas kasihan dan harus berperang melawan
pasukan Romawi?”
Gosip miring itu membuat sebagian orang Islam mulai ada yang
mengajukan permohonan izin untuk tidak ikut serta dalam agresi itu.
Sebagian orang-orang Islam ada yang berdalih bahwa setelah mer-
eka melakukan introspeksi diri, ternyata motif yang menggerakkan
diri mereka untuk berperang adalah keinginan untuk memperoleh
perempuan-perempuan Romawi. Karena itulah, mereka tidak mengikuti
penyerangan, masalahnya takut terkena fitnah.
Muhammad menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh keterlaluan
sekali mereka. Tidak mau ikut berperang karena takut fitnah? Muham-
mad membacakan satu ayat:

“Ketahuilah! Sesungguhnya mereka telah terjerumus ke dalam fitnah (kelema-


han iman).” (QS. At-Taubah [9]: 49)
Di antara mereka ada juga yang memohon kepada Muhammad
agar menunda rencana agresi, hingga selesai panen. Selain itu, ada
juga yang keberatan untuk ikut berperang karena tidak punya kuda
yang akan ditunggangi­nya. Ada juga yang menyarankan kepada Mu-
hammad agar jangan berangkat sekarang. Tapi konsistensi Muhammad
tetap tidak bisa digiurkan oleh keinginan mereka. Dia mengumumkan
rencana-rencana pertempuran. Hanya saja, dia memberi dispensasi
kepada orang-orang yang sakit, lemah fisik, dan tidak punya biaya
hidup bagi keluarganya, untuk tidak mengikuti pertempuran, termasuk
juga orang-orang yang tidak mempunyai alat transportasi yang akan
dikendarainya. Mereka pulang, sementara mereka men­cucurkan air
mata.

“Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) itu hanyalah ter­hadap orang-orang


yang meminta izin kepadamu (untuk tidak turut berperang), padahal mereka

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 569


itu adalah orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang
tidak me­mungkin­kan untuk mengikuti pertempuran. Allah telah mengunci mati
hati mereka. Mereka tidak tahu akibat sikapnya itu.” (QS. At-Taubah [9]: 93)
Bagaimanapun kondisinya, Muhammad berangkat juga. Tak seorang
pun yang berani untuk tidak mengikuti penyerbuan, bahkan ‘Abdullah
bin Ubay sekalipun. Semua pergi mengarungi gurun sahara yang ter-
bentang luas menuju ke Syam untuk menghadapi pasukan Heraklius. Di
tengah perjalanan, saat tentara muslimin berstirahat, Abu Dzar yang
tidak memiliki kendaraan berhasil menyusul mereka dengan berjalan
kaki.
Tetapi di tengah jalan, ‘Abdullah bin Ubay menghasut dan menarik
mundur sebagian pasukan. Akibatnya, semangat tempur pasukan yang
lainnya menjadi kendor. Sementara itu Muhammad terus berusaha
mengobarkan semangat tempur sisa pasukan yang ikut bersamanya.
Mereka yang tidak mengikuti ‘Abdullah bin Ubay terus berjalan
menuju Syam di bawah komando Muhammad dalam tiupan angin gurun
sahara yang kencang dan berdebu panas yang mengotori muka dan
tubuh mereka. Sebaliknya, orang-orang yang menarik diri, kepulangan
mereka di Madinah mendapat sambutan yel-yel caci-maki dari para
perempuan, sembari wajah mereka dilempari debu oleh para perem-
puan itu.
Maka timbullah rasa penyesalan di hati orang-orang yang melarikan
diri itu. Seorang laki-laki di antara mereka pada pagi hari berteduh
di bawah tendanya, sementara seorang istrinya sedang bersolek dan
istrinya yang lain memanggil-manggil. Namun tiba-tiba dia terhenyak
seraya berdiri sambil mengutuk dirinya sendiri. Karena merasa dan
menyadari berenak-enak duduk di tempat yang teduh di antara kedua
istrinya, sementara Muhammad berjalan dalam suatu perjalanan yang
sangat jauh dalam terik matahari, maka akhirnya laki-laki itu pun be-
ranjak mengambil kuda, lalu menungganginya dan kembali bergabung
dengan pasukan Muhammad.
Setelah tujuh hari dalam perjalanan yang sangat melelahkan, Mu-
hammad bersama pasukannya memilih transit di perbatasan kerajaan
Romawi. Pejabat pemerintah daerah datang menghadap Muhammad

570 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


menawarkan perdamaian dengan menyatakan kesanggupannya untuk
membayar upeti (jizyah) kepadanya. Muhammad me­nerima tawaran
itu.
Selanjutnya, Muhammad berangkat lagi bersama pasukannya atas
kemenangan yang menumbuhkan harapan dan percaya diri di kalangan
pasukannya setelah melalui perjalanan panjang yang sangat melelah-
kan.
Di depan gapura sebuah kota yang bernama Tabuk, Muhammad dan
pasukannya berhenti. Hiruk-pikuk pasu­kannya mengejutkan kawanan
banteng yang sedang merumput di lembah-lembah bukit, sehingga
banteng-banteng itu berlarian ke pagar-pagar kota. Raja dan permai-
suri Romawi yang melihat banteng-banteng itu, merencanakan akan
berburu banteng pada malam hari.
Muhammad mengeluarkan perintah kepada Khalid bin Walid agar
memimpin pasukannya untuk menak­lukkan benteng kota itu. Selanjut-
nya, Khalid mengadakan pengintaian. Ketika Khalid melihat raja dan
permaisuri serta beberapa dayang-dayang telah keluar untuk berburu
di bawah sinar rembulan, Khalid langsung menyergap mereka semua
dan membunuh beberapa orang di antara raja itu, sedangkan rajanya
ditawan.
Begitu terdengar bahwa raja telah tertangkap, maka menyerahlah
semua orang yang ada dalam benteng itu.
Khalid mengirimkan toga kebesaran raja itu kepada Muhammad
sebagai bukti suksesnya.
Kemenangan kilat yang amat dramatis ini mem­bangkitkan rasa
konfidensi yang sangat luar biasa. Oleh karena itu, mereka pindah dari
satu daerah ke daerah yang lain. Mereka menguasai seluruh negara
protektorat Romawi dan memerdekakan suku-suku Arab yang hidup
dalam koloni Romawi, maka banyak suku yang menyatakan masuk Is-
lam. Peristiwa yang dramatis dan spektakuler ini terjadi hanya dalam
tempo dua puluh hari saja.
Selanjutnya, ‘Umar mengajukan usulan agar pasukan segera pu-
lang kembali ke Madinah dan mencukupkan kemenangan yang telah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 571


diraihnya ini, selama pasukan Heraklius melarikan diri ke posisi yang
jauh untuk mengintai orang-orang Islam.
Muhammad mengumumkan rencana kepulangan. Mereka mening-
galkan Tabuk menuju Madinah dengan membawa harta rampasan; dan
mereka berhasil menarik suku Arab yang tunduk kepada kekuasaan
Romawi untuk masuk Islam.
Sesampainya di Madinah Muhammad mengeluarkan suatu keputu-
san akan menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak mau
ikut berperang dan orang-orang yang mengundurkan diri dari pasukan.
Sebagai langkah pertama Muhammad mengumumkan pemutusan total
dengan mereka. Orang-orang dilarang berbicara atau bergaul dengan
mereka. Pokoknya, mereka diisolir dari pergaulan. Tak seorang pun
boleh berbicara dengan mereka, sekalipun istri-istri dan anak-anak
mereka sendiri.
Tekanan rasa bersalah membebani hati mereka. Oleh karena
itu, mereka datang menghadap Muhammad untuk minta ampunan.
Akan tetapi, Muhammad telah menutup pintu maaf buat mereka. Dia
tetap pada keputusannya, yakni menghukum mereka dengan huku-
man yang berat, karena mereka mau bergabung dengan dirinya hanya
semata-mata ingin mencari keuntungan belaka. Jika saat-saat yang
menakutkan telah tiba, mereka menjauhkan diri dan memilih hidup
bersenang-senang.
Muhammad membacakan ayat:

“(94) Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan udzurnya kepadamu,


apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah:
‘Janganlah kamu mengemukakan udzur; kami tidak percaya lagi kepadamu,

572 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


(karena) sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kami beritamu
yang sebenarnya. Dan Allah serta Rasul-Nya akan melihat per­buatanmu,
kemudian kamu dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui segala yang
ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. (95) Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah,
apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka.
Maka berpalinglah dari mereka; karena se­sungguhnya mereka itu adalah najis
dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 94-95)
‘Umar mengusulkan supaya memenggal batang leher para pe-
mimpin yang dipelopori ‘Abdullah bin Ubay, tetapi ‘Abdullah bin Ubay
telah mati. Dalam kematian, gugurlah kemarahan dan lenyaplah ke-
bencian, maka tak ada lagi cercaan dan hukuman.
Muhammad menshalati jasad ‘Abdullah bin Ubay, sementara itu
‘Umar melakukan aksi protes keberatannya atas tindakan Muhammad.
Namun Muhammad tidak menanggapi protes ‘Umar. Beberapa hari
kemudian Muhammad menemui orang-orang, mengeluarkan instruksi
untuk tidak menshalati jenazah orang munafiq, orang yang tidak
mau melibatkan diri dalam perjuangan, atau orang yang masuk Islam
dengan motif ingin memperoleh kekayaan, pangkat, dan kekuasaan
semata.
Pengisolasian semakin membebani hidup orang-orang munafiq,
hingga sebagian mereka ada yang mengecam akan berkelana dengan
tanpa bekal makanan sampai maut menemui dirinya.
Setelah Muhammad yakin bahwa mereka masih punya hati nurani
yang dapat menyiksa mereka, maka Muhammad tidak hanya mengelu-
arkan pernyataan menerima per­mintaan maaf mereka, tetapi ia juga
meminta kesediaan mereka untuk berjanji bahwa dalam sepanjang
hidupnya akan bersikap tulus terhadap semua orang.
Setelah menyatakan pemberian maaf, Muhammad mengadakan
pendataan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol orang-
orang yang membangkang dalam pembayaran zakat dan menasehati
orang-orang yang akan melakukan tindakan pecah-belah integritas

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 573


suku-suku. Muhammad membuat pernyataan ke seluruh penjuru
Semenanjung Arab di antara berbagai suku: “Wahai semua manusia!
Kamu sekalian adalah satu umat.”
Orang-orang yang membangkang mengeluarkan zakat dan pem-
ecah-belah kekuasaan umat harus ditangkal tanpa mengenal belas
kasihan lagi agar tetap tercipta integritas umat yang bernaung di
bawah satu panji, yaitu panji Islam.

574 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Rembulan
kembali ke peraduannya

M
uhammad bersama pasukannya kembali ke
Madinah dengan hanya mengenakan pakaian
yang terbuat dari kain kasar. Wajah-wajah mereka meny-
iratkan kesungguhan dan keseriusan. Jiwa mereka berbinar-binar.
Sorot mata mereka menyimpan obsesi yang terpendam. Mereka telah
melepaskan baju-baju bagus, wewangian, perhiasan, dan kebiasaan-
kebiasaan mereka. Dengan sikap kebersahajaan ini, mereka meng-
harap kedekatan hati dengan Muhammad. Di dalam negara yang baru
dibangun, mereka ingin mendapat anugerah kedudukan, perlidungan,
atau lapangan pertanian dan perdagangan dari Muhammad. Tiba-tiba
Muhammad menemui mereka dengan mengenakan pakaian bagus dan
wewangian yang semerbak sembari menyunggingkan sekilas senyum di
bibirnya dan sorot matanya menyentuh ke dalam relung hati mereka
semua.
Mereka menyatakan bahwa mereka telah memeluk agama Islam yang
dibawa Muhammad. Mereka me­nyan­jung-nyanjung Muhammad. Akan
tetapi, Muhammad meminta kepada mereka agar jangan mengkultus-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 575


kan diri­nya, sebab kehancuran masyarakat terdahulu tak lain karena
sikap mengkultuskan orang yang dijadikan figur mereka.
Muhammad membai‘at mereka atas nama Islam, lalu mereka men-
gatakan kepada Muhammad: “Kami beriman.”
Tidak. Hendaklah kalian semua mengatakan: “Islam!” Karena kei-
manan masih belum tentu tertanam dalam hati kalian. Apa yang ter-
pendam dalam hati kalian saat ini adalah berebut peluang-peluang
dan kompetisi-kompetisi keduduk­an yang akan menjauhkan diri kalian
dari kebenaran. Apa yang tertanam dalam hati kalian bukanlah iman,
tetapi hanyalah ambisi kedudukan dan kekayaan yang berkedok iman.
Iman itu direalisasikan dengan sikap pengorbanan, bukan menumpuk
harta rampasan.
Sesungguhnya telah banyak hati yang lunak. Ini memang benar.
Kadang-kadang Muhammad memang memberi harta, tetapi orang-
orang yang baru dijinakkan hatinya itu bukanlah orang-orang mukmin.
Mereka tidak punya hak untuk menuntut keterlibatan dalam meme-
gang jabatan pemerintahan dalam bentuk apa pun. Jika orang-orang
yang hatinya masih mempunyai kepedulian dengan selain keimanan,
memperoleh peluang untuk menduduki jabatan dan pemerintahan,
sudah tentu jabatan mereka akan berubah dari fungsi yang sebena-
rnya. Jabatan itu akan berubah menjadi peluang untuk merampas hak
orang-orang dengan mengeruk keuntungan materi, menumpuk harta
kekayaan yang diperoleh dari hasil keringat orang lain.
Jika demikian, lantas apa artinya bersusah-payah selama dua puluh
tahun lebih? Lantas apa artinya melancarkan protes terhadap para
anarkhis terdahulu dengan mengatas-namakan orang-orang tertindas
itu? Apakah akan rela menyerahkan posisi generasi muslim angkatan
pertama kepada generasi lain dari kalangan bangsawan?
Apakah orang-orang Islam angkatan pertama bersedia mati dan hidup
dalam kelaparan supaya orang-orang yang mengikuti jejak kekeja-
man Abu Jahal dapat mewarisi kedudukan, harta Bani Nadhir, dan
semua pangkat untuk tujuan yang kejam sebagaimana tatanan sosial
terdahulu?

576 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Apakah seluruh perjuangan yang dilakukan dalam upaya membebaskan
budak-budak dan orang-orang tertindas, serta membebaskan kesom-
bongan manusia, pada akhirnya hanyalah untuk membuka peluang
derita baru yang ditimbulkan oleh sekelompok orang yang baru kaya
yang menduduki jabatan-jabatan paling penting dalam peme­rintahan
yang tidak suka menyantuni fakir miskin, menguasai budak-budak, dan
menumpuk harta kekayaan dari keringat orang lain? Dan kelompok
orang-orang yang baru kaya yang menduduki jabatan penting itu akan
bergerak menjalankan aktivitas atas nama Islam, bukan untuk men-
egakkan Islam, tetapi justru untuk menghancur­kan dan meruntuhkan
ajaran-ajaran Islam?
Tidak!
Kalian harus mengeluarkan harta kekayaan yang sangat kalian senangi
demi kepentingan perjuangan Islam, bukan menyimpan emas, perak,
harta benda, dan mencari kedudukan demi interes pribadi.

“Mengapa kalian tidak mau menafkahkan (sebagian harta kalian) di jalan


Allah, padahal Allahlah yang memiliki langit dan bumi? Tidak sama di
antara kalian orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum
penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya dari orang-orang yang
menafkah­kan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka (balasan) yang amat baik. Dan Allah mengetahui apa
yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Hadiid [57]: 10)
Muhammad memerintahkan Abu Bakar agar berangkat naik haji
bersama orang-orang pada tahun ini, sebab dia sendiri tidak dapat
meninggalkan Madinah karena banyak delegasi yang ingin menghadap
dengan membawa ber­macam interes dan pandangan yang keliru, yang
dapat menghancurkan sistem nilai yang selama ini dibawanya.
Mendapat himbauan itu, Abu Bakar segera berangkat menunaikan
ibadah haji, sedangkan Muhammad tetap tinggal di Madinah menyam-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 577


but delegasi dari berbagai suku yang terus berdatangan hampir tiada
putusnya. Muhammad mengajarkan prinsip-prinsip keislaman dan
menjelaskan sistem nilai yang dibawanya, sebagai suatu manifestasi
tuntunan manusia pada sistem sosial yang lebih baik dan lebih adil.
Belum begitu jauh Abu Bakar berangkat sebagai kepala rombongan
haji, di tengah perjalanan datanglah ‘Ali bin Abi Thalib menyusul
dengan membawa suatu pesan Muhammad. Isi surat itu adalah suatu
perintah agar membatasi relasi orang-orang Islam dengan nonmuslim.
Dalam surat itu terdapat pula dasar-dasar ketentuan ibadah haji.
Sementara orang-orang non-muslim masih saja mengunjungi
Makkah untuk melakukan thawaf di Baitul Haram dan melibatkan diri
dalam aktivitas perdagangan yang puncaknya terjadi pada musim haji.

“(1) (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya ter-
hadap orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka). (2) Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin)
di muka bumi selama 4 bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu
(kaum musyrikin) tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguh­nya
Allah menghinakan orang-orang kafir. (3) Dan (inilah) suatu permakluman
dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.
Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik
bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu
tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 01-03)

578 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis,
maka janganlah sampai mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepadamu dari karuniaNya,....” (QS. At-Taubah [9]: 28)
Selanjutnya, ‘Ali menyelesaikan pembacaan sisa pesan yang ada
dalam surat dari Muhammad yang ditujukan kepada jama‘ah haji kaum
muslimin: “Bahwasanya tidak akan pernah ada orang kafir masuk surga;
orang musyrik tidak boleh melakukan ibadah haji setelah tahun ini;
dan tak diperbolehkan lagi thawaf di Baitullah dengan telanjang.”
Setelah surat Muhammad disampaikan kepada publik dan dipa-
hami betul, maka ‘Ali kembali lagi ke Madinah, sedangkan Abu Bakar
melanjutkan perjalanan bersama jama‘ah haji.
Jika demikian, maka mereka harus diperangi. Dua puluh tahun lebih
Muhammad bersabar menghadapi ulah mereka. Di antara mereka ada
yang pura-pura menampakkan keislaman yang telah berhasil mengeruk
kekayaan yang melimpah, sementara di dalam hatinya tersimpan in-
teres dan ambisi yang kian meluap-luap. Mereka adalah peng­hambat
dinamika umat yang masih baru dibangun dan ditata menurut undang-
undang dasar yang berlandaskan pada nilai-nilai suci.
‘Abdullah bin Ubay telah mati. Dalam kelompok munafiq itu sudah
tak ada lagi orang-orang yang terpandang. Cukup sudah Muhammad
bersabar dalam menghadapi pemimpin mereka. Andaikata menghen-
daki, sudah tentu dia biarkan saja ujung pedang orang-orang Islam
terdahulu membabat batang leher mereka.
Akan tetapi, justru Muhammad masih mau juga menshalatkan
‘Abdullah bin Ubay ketika mati, padahal orang-orang munafiq yang lain
heran terhadap sikap baik Muhammad kepada ‘Abdullah bin Ubay pada
saat hidup dan setelah kematiannya. Karena itu, mereka masih saja
terus melancarkan gosip tentang kelemahan kepribadian Muhammad.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 579


Mereka menduga, Muhammad tidak mengerti gelagat orang-orang
yang menyatakan Islam, padahal hanya sekedar mencari keuntungan
belaka; dan tak setitik pun di dalam hati mereka tertanam keimanan.
Mereka menyebarkan gosip bahwa sikap diam Muhammad terhadap
ulah mereka dianggap karena takut atau mengambil hati.
Selanjutnya, Muhammad membacakan ayat:

“(60) Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang


yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar
bohong di Madinah (dari menya­kitimu), niscaya Kami perintahkan kamu
(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di
Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, (61) dalam keadaan ter-
laknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan
sehebat-hebatnya. (62) Sebagai sunnatullah yang berlaku atas orang-orang
yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati
perubahan pada sunnatullah.” (QS. Al-Ahzaab [3]: 60-62)
Kini mulai timbul adanya gejolak pembangkangan di pinggiran
negara yang baru tumbuh ini, yaitu orang-orang yang baru masuk
Islam yang membangkang untuk mem­bayar zakat dan infaq. Mereka
enggan untuk memerde­kakan budak-budak milik mereka sebagaimana
ditekankan Muhammad. Bahkan mereka semakin menambah budak-
budak serta merampas hak-hak orang miskin.
Muhammad mengancam orang-orang munafiq Madinah, bahwa
ia akan menghukum mereka seperti halnya pidana yang dijatuhkan
kepada musuh-musuh atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan se-
lama hidup mereka. Dia juga mengancam tidak akan menshalati salah
seorang yang mati di antara mereka lagi untuk selamanya.
Muhammad menyatakan juga akan menjatuhkan pidana pemoton-

580 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


gan tangan kepada mereka yang tidak mengindahkan hak-hak orang
lain, tidak menjalankan aturan hukum yang telah diajarkannya, atau
merusak sendi-sendi dan kesatuan bangsa Arab.
Selanjutnya, Muhammad melancarkan penyerangan ke berbagai
daerah terpencil yang kalangan hartawannya melakukan pembang-
kangan mengeluarkan zakat dan infaq. Kalangan hartawan dengan
kekuatan pengaruhnya mampu menggiring orang-orang tertindas
yang sangat berke­pen­tingan dengan zakat untuk berperang melawan
Muhammad, membela sikap membangkang para hartawan itu.
Namun penyerangan yang dikomando oleh Khalid bin Walid dan
‘Ali bin Abi Thalib mampu menumpas tokoh-tokoh pembangkang itu.
Akhirnya, orang-orang yang tertindas itu pun memperbaharui janji
setia keislaman mereka.
Muhammad terus melakukan himbauan agar mereka mendermakan
sebagian harta kekayaan mereka. Shahabat-shahabat Muhammad yang
paling dekat mengajarkan apa yang telah diajarkan Muhammad kepada
orang-orang yang membuat perumpamaan-perumpamaan dalam mem-
bayar denda, hingga ada salah seorang muslim yang ingin membayar
denda dari harta simpanannya. Orang itu bertanya kepada Abu Bakar:
“Berapa kewajiban zakat dalam setiap 200 dirham?”
“Lima dirham. Sedangkan aku sendiri wajib menyerah­kan semuan-
ya,” jawab Abu Bakar.
Pada saat orang-orang Islam dilanda demam harta kekayaan
yang mereka peroleh dari harta rampasan, Muhammad melancarkan
serangan keras kepada orang-orang kaya, dalam upaya mewujudkan
pemerataan, sampai-sampai dia pernah pulang ke rumah dengan
penuh emosi. Ketika dia melihat pintu rumah Fathimah memakai
tirai bersulam, dia memarahi putrinya dan menyuruhnya agar tirai
itu dishadaqahkan. Dia memarahi putrinya juga lantaran dia melihat
dua gelang emas melingkar di pergelangan tangannya, sementara di
Madinah masih banyak fakir miskin yang membutuhkan uluran tangan.
Fathimah menjual dua gelangnya dengan harga 2,5 dirham, lalu uang
hasil penjualan tersebut dikirimkan kepada orang-orang yang membu-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 581


tuhkan. Muhammad melancarkan teguran keras juga terhadap delegasi
berbagai suku yang datang untuk memperbaharui janji kesetiaan mereka
berkenaan dengan masalah pemerataan tingkat kehidupan rakyat.
Ketika Muhammad menyambut delegasi terakhir, saat panji ke-
satuan mulai berkibar di atas suku-suku yang berkotak-kotak, dari
rumah Mariyatul Qibtiyah terdengar berita yang mengabarkan bahwa
Ibrahim putra satu-satunya sedang menderita serangan penyakit yang
luar biasa.
Tak lama kemudian Ibrahim menghembuskan nafas yang terkhir
di pangkuannya. Dialah putra satu-satunya yang menjadi gantungan
cita-citanya. Air matanya mengalir deras, sebuah tangisan seorang
ayah yang tidak mempunyai harapan lagi untuk punya anak.
Mengapa dia harus tertimpa musibah yang seperti ini? Tetapi dalam
kepasrahan, dia berucap: “Air mata boleh bercucuran dan hati boleh
bersedih, namun kita tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang tidak
diridhai Rabb kita. Seandainya kematian bukan merupakan janji yang
mesti terjadi dan benar adanya dan seandainya orang-orang yang be-
lakangan dari kami takkan menyusul mereka yang lebih dulu wafat,
niscaya kami akan lebih bersedih lagi dengan kepergianmu daripada
yang kami rasakan saat ini, wahai Ibrahim. Sesungguhnya kita kepun-
yaan Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.”
Muhammad mengantar jenazah putranya hingga sampai di ku-
buran sembari membisu penuh dengan kesedihan yang dalam dan
mengucurkan air mata. Sebagian shahabat-shahabatnya heran sekali
melihat Muhammad menangisi kepergian putranya hingga seperti itu,
padahal yang meninggal dunia hanyalah anak kecil, sedangkan saat ini
dia adalah orang tua yang usianya mendekati 63 tahun. Dengan segala
keagungannya, rasa-rasanya dia tidak pantas menangis sedih hingga
sedemikian larutnya.
‘Abdurrahman bin ‘Auf mencoba mendekati Muhammad.
“Bukankah engkau melarang kami menangis?” demikian tanya
‘Abdurrahman sebagai sikap penolakannya atas perbuatan Muhammad.
Tetapi engkau tidak mengerti....

582 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Aku tidak melarang kalian untuk sekedar bersedih; yang aku
larang adalah menangis yang meraung-raung (meratap). Apa yang
kalian semua lihat pada diriku tak lain adalah pengaruh dari adanya
sifat kasih-sayang yang tertanam di dalam hatiku. Barangsiapa yang
tidak menampakkan kasih sayang kepada orang lain, maka orang lain
pun tidak akan menampakkan kasih sayang kepada orang tersebut,”
jawab Muhammad.
Setelah itu, ia meratakan tanah kuburan putranya. Sang ayah yang
sedih mendo‘akan putranya. Matahari pun tampak muram.
Ketika selesai membaca do‘a, dia mendengar orang-orang saling
bercakap-cakap saat akan kembali ke masjid bersamanya: “Matahari
rupanya ikut berduka juga atas kematian Ibrahim.”
Tidak! Janganlah kamu sekalian menghubung-hubung­kan sesuatu
yang tidak ada kaitannya dengan diriku.
“Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua tanda kebesaran
dari sekian banyak tanda kebesaran Allah. Matahari tidaklah mengalami
gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Wahai manusia, jangan-
lah kalian memposisikan diriku melebihi dari kedudukanku. Janganlah
memuji-muji diriku secara berlebihan, karena aku hanyalah manusia
biasa sebagaimana kalian. Aku tidak senang diistimewakan di atas ka-
lian,” pungkas Muhammad dengan nada emosi.
Muhammad pulang ke rumah Mariyah, ibu yang telah kehilangan
anaknya. Lalu Muhammad menghiburnya, sedangkan bagi dia sendiri,
tak ada seorang pun yang dapat meringankan beban kesedihan atas
kematian putra tersayangnya, Ibrahim.
Betapapun berat kesedihan yang dirasakannya, tetapi Muhammad
tidak sampai mengisolasikan diri dari orang-orang. Sebagaimana ak-
tivitas sehari-harinya, dia tetap pergi ke masjid meski dengan penuh
duka.
Muhammad kembali berbicara tentang kehidupan, kematian,
keadilan, kasih sayang, dan persaudaraan. Selanjutnya, dia terdiam
sejenak, mengusap air matanya yang membasahi jenggotnya.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 583


Sebelum itu, Muhammad belum pernah tampak duka sebagaimana
dilihat pada beberapa hari belakangan ini. Mengapa kehidupan menjadi
ratap tangis yang memilukan, seolah-olah mengucapkan kata-kata
perpisahan?

g
Penyakit yang diderita sejak mencicipi daging beracun di Khaibar
kini kambuh menyerang kembali. Tapi dia tetap tegar, tak mau meny-
erah pada penyakit apa pun, termasuk pengaruh racun yang menjalar
secara lambat-laun, tidak pula kesedihan yang menekan batinnya
dengan begitu kerasnya.
Orang-orang yang begitu besar jumlahnya dari kota Madinah,
Makkah, dan perkampungan-perkampungan, serta daerah terpencil,
perlu menyelenggarakan pertemuan akbar yang mempertemukan mer-
eka di bawah satu panji, bersatu-padu melakukan berbagai hal yang
didasarkan atas kesamaan iman dalam rangka menempatkan kesatuan
dan kebersamaan.
Ya, mereka semua yang harus berkumpul. Mereka yang bernaung
di bawah kepemimpinannya perlu didorong untuk meningkatkan pe-
nyebaran ajaran-ajaran yang dibawanya.
Muhammad menginformasikan akan menunaikan haji pada tahun
ini. Dengan demikian, gunung-gunung dan lembah-lembah telah di-
penuhi puluhan ribu jama‘ah haji yang menggiring puluhan ribu ternak
untuk dijadikan qurban di Makkah. Semuanya bertemu di Makkah.
Muhammad membawa semua istrinya. Dia memimpin lebih 100.000
jama‘ah haji untuk mengadakan pertemuan akbar di Makkah. Di hada-
pan mereka dia mengajarkan tuntunan ibadah haji yang mesti diikuti
oleh kaum laki-laki dan perempuan. Dia mengajarkan bertahallul dan
berihram. Dia memulai juga tuntunan ibadah haji yang mesti dilakukan
oleh para perempuan saat memberikan tuntunan kepada istri-istrinya.
Dari puncak bukit, terdengar gemuruh suara 100.000 lebih orang-
orang Islam untuk pertama kalinya, mengulang pekikan:

584 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


Labbaikalloohumma labbaiik....
Laa syariika laka labbaiik.
Innal hamda wan ni‘mata wasy syukro laka labbaiik. Labbaika
laa syariika laka labbaiik.
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah,
aku datang memenuhi panggilan-Mu....
Tak ada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya
segala puji, nikmat, dan syukur
hanyalah untuk-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu.
Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu.”
Muhammad melaksanakan thawaf dan melakukan sa‘i di depan
mereka, sedangkan mereka berada di belakangnya mela­kukan apa yang
dicontohkannya dan mengucapkan apa yang diucapkannya juga dengan
suatu perasaan yang baru mereka rasakan dan luar biasa kesannya atas
keberhasilan Muhammad dalam mengintegrasikan mereka menjadi
umat yang satu.
Demikianlah, ketika musim haji telah usai, penyakit yang dideri-
tanya dan kedukaan hatinya kambuh kembali.
Kedukaan itu bukan karena faktor kepergian putranya, tetapi duka
itu timbul dari kesan akan makna terdalam dari perpisahan, seolah-
olah haji tahun ini adalah haji perpisahan. Seolah-olah dia tidak akan
melihat orang-orang itu lagi dan tidak pula tempat-tempat itu akan
dapat dipandang kembali.
Penyakit yang dideritanya semakin parah.
Betapapun demikian, di dalam hatinya masih tersimpan sesuatu
yang ingin dia sampaikan kepada orang-orang yang mengerumuninya.
Seratus ribu orang dari berbagai daerah di Semenanjung Arab ingin
melihatnya dan mendengar suaranya. Suaranya adalah sabda yang tu-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 585


run dari langit. “Sesungguhnya diriku hanyalah manusia biasa seperti
kalian semua,” demikian Muhammad berucap lirih.
Tetapi bisikan orang-orang yang berada di sampingnya terdengar
juga olehnya: “Di wajahnya terpancar cahaya dari alam ghaib. Tangan-
nya pernah menyentuh batu, lalu batu itu memancarkan air.”
Namun apa yang terjadi, Muhammad marah ketika mendengar
pujian yang mengkultuskan itu. Dari keningnya keringat mengucur.
Dia mencegah orang-orang meng­korelasi­kan sesuatu yang tidak se-
mestinya pada dirinya. Dia berucap kembali: “Sesungguhnya diriku
hanyalah manusia biasa seperti kalian semua.” Dia adalah seorang
manusia yang menyukai wewangian dan wanita*), namun cinderamata
hakikinya adalah shalat.

*) Nabi n mencintai wanita, karena kaum wanita berfungsi sebagai penyampai Sunnah-sunnah beliau yang luput dari perhatian kaum laki-laki
atau sesuatu yang beliau sendiri merasa “rikuh” untuk menyampaikan­nya secara langsung kepada kaum wanita. Baca Syarh Sunan Nasa’i
Hadits No. 3878 oleh As-Sindi –edt..

Seorang manusia yang membawa tuntunan akhlaq yang luhur,


demikianlah yang selalu dikatakannya. Dia juga seperti manusia lain
yang terkadang menangis, tertawa, makan-minum, dan pergi ke pasar.
(Untuk hal-hal yang belum ada petunjuknya dari wahyu) ia juga suka
bermusyawarah dengan orang-orang agar tidak salah langkah dan dia
pun mengambil keputusan berdasar pendapat mayoritas. Dia juga ter-
kadang marah dan terkadang senang. Dia menolak dicium tangannya
oleh siapa pun, karena dia hanyalah manusia biasa yang tidak dapat
memancarkan mata air dan tidak dapat pula menyinari kegelapan
dengan kemauan­nya sendiri. Dia adalah sosok manusia yang tubuhnya
terdiri dari daging, darah, tulang-tulang, dan urat syaraf. Hanya saja,
ia datang membawa tuntunan budi pekerti yang luhur.
Oleh karena itu, jangan kalian membuat dia marah, wahai manu-
sia. Jangan pula kalian mengatakan “Tuan” kepadanya; karena jika
mendengar kata-kata itu, dia akan marah, dan memang dia telah
melarangnya.
Orang-orang yang ingin melihatnya, kini menjadi agak tenang.
Laki-laki itulah yang mempersaudarakan di antara budak dan majikan,

586 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


antara orang-orang miskin dan orang-orang kaya. Laki-laki itulah yang
menjadikan kejujuran, tanggung jawab, dan menepati janji, sebagai
prinsip-prinsip hubungan sosial. Laki-laki itu pula yang meletakkan
segala gemerlap yang palsu di bawah kedua belah kakinya. Laki-laki
itulah yang selalu menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa dirinya
adalah manusia biasa sebagaimana orang lain.
Dengan suara lantang dia berorasi di hadapan orang-orang yang
datang dari berbagai penjuru untuk menunaikan ibadah haji bersa-
manya, ingin melihatnya, dan mendengar­kan merdu suaranya.
Akan tetapi, suaranya kini tak terdengar oleh orang banyak. Maka
dia memerintahkan kepada seseorang yang ada di sampingnya agar
mengulangi apa yang dikatakannya dengan suara yang keras, agar
orang yang ketiga, keempat, dan seterusnya dapat mengulangi apa
yang dikatakannya hingga terdengar oleh orang lain lagi yang lebih
banyak. Dia mengucapkan kata-katanya dari satu orang ke orang lain:
“Wahai manusia! Dengarkanlah kata-kataku, karena aku barangkali
tidak akan dapat menjumpai kalian setelah tahun ini di tempat ini
untuk selama-lamanya.”
Mendengar ucapan lirih itu, orang-orang tertegun. Barangkali dia
tidak akan bertemu lagi dengan mereka setelah tahun ini untuk sela-
manya?
Mungkinkah ini terjadi?
Tetapi dia selalu menyatakan:

“Aku hanyalah manusia biasa sebagaimana kalian.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110;
Fushshilat [41]:6)

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul (utusan). Sungguh telah
berlalu beberapa orang rasul sebelumnya.” (QS. Aali ‘Imraan [3]: 144)
Suaranya keras terdengar berucap: “Sesungguhnya darah dan harta
kalian adalah haram bagi sesama kalian, hingga kalian menemui Rabb

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 587


kalian kelak, seperti haramnya pada hari dan bulan (haram) kalian
ini. Sesungguhnya kalian akan menemui Rabb kalian, lalu Dia akan
mempertanyakan seluruh amal perbuatan kalian. Aku sudah menyam-
paikan hal ini. Barangsiapa yang diberi amanat (tanggung jawab),
maka sampaikan dan laksanakan amanat itu kepada orang yang telah
memberi amanat itu. Bahwasanya semua riba harus dihapus, dan yang
menjadi hak kalian adalah modal kalian, dengan demikian kalian tidak
berbuat aniaya dan tidak dianiaya. Allah telah menetapkan bahwa riba
tidak dibenarkan. Bahwasanya riba milik ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib
telah dihapus dan sesungguhnya semua per­tumpahan darah yang ter-
jadi di era jahiliyyah juga dihapus (tidak berlaku qishash, diyat, atau
kifarat padanya). Selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya kalian
mem­punyai hak atas istri kalian dan istri kalian juga mempunyai hak
atas diri kalian. Karena itu, hendaklah kalian memper­lakukan istri
kalian secara baik, karena sesungguhnya para istri kalian adalah
ibarat tawanan di sisi kalian, yang kalian tidak memiliki hak sedikit
pun untuk berbuat seenaknya terhadap mereka. Sesungguhnya kalian
memperistri mereka tidak lain atas dasar amanat Allah.... Renung-
kanlah kata-kataku, wahai manusia! Aku telah menyampaikan hal
ini kepadamu. Aku telah tinggalkan pedoman hidup bagi kalian. Jika
kalian memegang teguh pedoman itu, maka kalian tidak akan pernah
tersesat selamanya. Wahai manusia, dengarkanlah dan renungkanlah
kata-kataku! Ketahuilah bahwa seorang muslim itu saudara muslim
lainnya dan bahwa orang-orang Islam itu bersaudara. Oleh karena
itu, tidak halal bagi seseorang mengambil harta orang lain, selain apa
yang diberikan saudaranya dengan tulus hati. Maka janganlah kalian
menzhalimi diri kalian sendiri. Apakah semua ini telah aku sampaikan?
Saksikanlah, ya Allah.”
Sejenak Muhamad diam. Demam tiba-tiba menyerang secara men-
dadak, tapi Muhammad terus membacakan ayat:

588 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu; dan telah Aku
sempurnakan nikmat-Ku kepadamu. Aku rela Islam sebagai agamamu.” (QS.
Al-Maa’idah [5]: 3)
Dia melangkah menuju Ka‘bah, lalu duduk di bawah naungannya.
Di sana dia menemukan fenomena kekayaan tampak pada segelintir
orang dan fenomena kemiskinan tampak pada kebanyakan mereka
lainnya.
Abu Dzar datang menemui Muhammad. Dia mene­mukan Muham-
mad sedang membaca ayat:

“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya


di jalan Allah, maka beri tahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan
diganjar dengan siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 34)
Selanjutnya, dia mendekati Abu Dzar dan mengatakan: “Mereka
adalah orang-orang yang merugi, demi Rabb Ka‘bah.” Tanya Abu Dzar:
“Siapakah mereka itu?” Muhammad berkata: “Mereka adalah orang-
orang yang banyak hartanya namun tak mau membayar zakat.... Sebab
tiada pemilik unta, lembu, ataupun kambing, yang tidak mengelu-
arkan zakatnya, melainkan binatang-binatang itu akan datang pada
hari Kiamat nanti dengan bentuk fisik lebih besar dan lebih gemuk
dari semula, lalu menyeruduk sang pemilik dengan tanduknya dan
menginjak-injaknya dengan kuku kakinya. Setiap kali giliran binatang
yang terakhir selesai, maka binatang yang ada pada giliran pertama
mengulangi aksinya lagi, hingga Allah mengadili urusan antara sesama
manusia.”
Muhammad melanjutkan perjalanan pulangnya ke Madinah, sedan-
gkan orang-orang ikut pulang juga ke negerinya masing-masing sambil
merenungkan apa-apa yang telah didengar darinya.
Ketika telah sampai di Madinah, warga Madinah menyambutnya
dan anak-anak kecil datang juga menyerbu kedatangannya. Dia turun
dari untanya, lalu mengucapkan salam kepada orang-orang yang me-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 589


nyambut kedatangannya dan bersenda-gurau dengan anak-anak itu.
Dia menaikkan anak-anak itu ke atas untanya.
Dia menuju ke rumah Zainab binti Jahsy untuk melepas lelah. Dia
merasa sangat puas sekali dengan apa yang telah dilihatnya dalam
musim haji kali ini. Berpuluh-puluh ribu orang datang dari berbagai
daerah di Semenanjung Arab. Di Semenanjung Arab, dualisme agama
harus tidak ada.

g
Kendati Muhammad telah puas menyaksikan peman­dangan yang
indah dan sejuk ini, namun kerajaan Romawi di kawasan utara mengan-
cam keamanan umat yang baru terbentuk itu dan menerapkan sistem
hubungan sosial yang bersifat menindas. Kaum borjuis (bangsawan) di
sana masih saja berbuat tiran terhadap kaum proletar (rakyat kecil).
Oleh karena itu, umatnya harus membebaskan kolo­nialisasi dan
juga mesti memberangkatkan pasukan ke Syiria, di mana Zaid bin
Haritsah dan Ja‘far bin Abi Thalib gugur sebagai syuhada beberapa
tahun yang silam. Pasukan itu harus melakukan agresi ke kerajaan
Romawi serta membebaskan orang-orang yang tertindas di sana.
Muhammad memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan di
bawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah. Dia sangat pantas sekali
untuk menuntut balas kematian ayahnya dan semua syuhada Mu’tah.
Pertempuran seperti ini sangat membutuhkan para pemuda yang
memiliki sikap militansi untuk gugur sebagai syuhada dengan kobaran
semangat keberanian yang dinyalakan oleh api cinta kemerdekaan.
Pasukan itu banyak melibatkan para pemuda dan menempatkan
pimpinan yang berpengalaman di bawah komando Usamah bin Zaid
bin Haritsah.
Protes yang bernada keberatan mulai bermunculan terhadap pen-
giriman pasukan yang dikomandoi pemuda berusia 20 tahun ini. Akan
tetapi, Muhammad menanggapi protes itu dengan ucapan: “Wahai
sekalian manusia, biarkanlah saja pengutusan Usamah diteruskan. Demi
usiaku, jika kalian membicarakan masalah kepemimpinan­nya, maka

590 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


kalian pun pernah membicarakan kepemimpinan ayahnya; dan dia
sangatlah pantas menjabat kepemimpinan itu, sebagaimana ayahnya
juga sangat pantas menjadi panglima pasukan kala itu.”
Belum begitu jauh pasukan meninggalkan Madinah, Muhammad
jatuh sakit. Usamah tahu bahwa kondisi Muhammad sudah tak mampu
lagi untuk pergi shalat ke masjid. Oleh karenanya, Usamah memutus-
kan untuk menunggu perkembangan Muhammad di dekat Madinah. Hal
ini dimaksudkan agar orang-orang munafiq yang meremehkan dirinya
tidak memanfaatkan peluang kebe­rangkatan pasukan dan sakitnya
Muhammad untuk menyampaikan informasi perubahan di Madinah.
Setelah menerima informasi yang membuat tenang batinnya,
Usamah melanjutkan perjalanan bersama pasukannya.
Muhammad pindah dari rumah Zainab binti Jahsy ke rumah Mai-
munah yang waktu itu memang sudah jatuh tempo gilirannya. Akan
tetapi, dia merasakan fitalitas fisiknya semakin memburuk, maka dia
minta izin kepada Maimunah untuk berbaring di rumah ‘Aisyah. Dia
berjalan dengan menyeret kedua belah kakinya sambil bersandar
pada pamannya, ‘Abbas, dan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib.
‘Aisyah menemuinya dalam keadaan terikat kepalanya dengan sapu
tangan dan mengadu kepadanya bahwa kala itu ‘Aisyah juga tengah
terserang sakit (pusing).
Dalam kondisi fisik yang lemah, Muhammad berkata kepada ‘Aisyah
sambil tersenyum: “Apa keberatanmu kalau engkau mati sebelum aku,
biar aku yang akan mengurusi jenazahmu, mengkafanimu, menshalat-
imu, dan mengu­burkanmu?”
Tapi dengan nada emosi ‘Aisyah berteriak: “Oh..., maksudnya agar
bagian giliranku itu menjadi bagian istri engkau yang lain?! Demi Allah,
jika hal itu benar-benar terjadi dan engkau telah selesai memberesi
jenazahku, engkau pasti akan pulang ke rumahku, lalu bermalam
pengantin bersama istrimu yang lain di rumahku!!”
Mendengar ucapan ‘Aisyah itu, Muhammad tertawa.
‘Abbas dan ‘Ali pun juga ikut tertawa. Dan ini adalah senyuman

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 591


Muhammad yang pertama sejak kematian putra satu-satunya, Ibrahim.
Sejenak kemudian, putrinya datang, lalu Muhammad menyuruh
duduk di sampingnya.
“Selamat datang, Putriku!”
Dia bersenda-gurau dengan putrinya sebagaimana pernah dia
lakukan ketika putrinya masih kanak-kanak.
Selama beberapa hari tinggal di rumah ‘Aisyah, dia mengeluh ada
rasa sakit di ulu hatinya dan suhu panas badannya semakin tinggi.
Sementara itu, Fathimah dan ‘Aisyah berada di sampingnya sambil
membasahi kening dan bagian tubuhnya dengan air.
Muhammad memerintahkan kepada Abu Bakar agar shalat berjama‘ah
dengan orang-orang, tetapi ‘Aisyah tidak setuju, karena khawatir ada
anggapan bahwa dia telah memilih Abu Bakar sebagai penggantinya. Mu-
hammad menegur ‘Aisyah dengan menyindir para perempuan: “Kamu ini
tak ubahnya seperti halnya perempuan-perempuan dalam cerita Yusuf.”
Abu Bakar kemudian mengerjakan shalat berjama‘ah bersama
orang-orang.
Muhammad merasa masih punya kekuatan untuk berjalan di dalam
rumah. Rumah ‘Aisyah -seperti halnya rumah-rumah istrinya yang lain-
berada di dekat masjid. Dia berdiri di depan pintu ‘Aisyah. Ketika dia
melihat orang-orang memperhatikan dirinya, dia memberi isyarat agar
mereka tidak menghentikan shalat jama‘ahnya, sedangkan dia sendiri
kembali masuk ke dalam rumahnya.
Akan tetapi, suatu pagi dia merasa fitalitas fisiknya kembali mem-
baik, maka dia minta tolong kepada shahabat-shahabatnya untuk
memapahnya hingga dapat menemui orang-orang di masjid.
Setibanya di masjid, dia duduk di atas mimbar. “Wahai manusia,
siapa yang merasa pernah aku pukul punggungnya, maka ini pung-
gungku. Silakan, balaslah aku sekarang. Barangsiapa yang pernah aku
maki kehormatannya, maka ini kehormatanku. Silakan membalasku.
Barangsiapa yang pernah kuambil hartanya, maka ini hartaku. Ambillah!
Janganlah merasa takut dimusuhi aku, karena permusuhan bukanlah

592 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


sifatku,” Muhammad mengutarakannya dengan penuh kerelaaan.
Mendengar kesediaan Muhammad untuk dimintai balasan atas apa
yang pernah ia lakukan, maka datanglah seorang laki-laki meminta
tiga dirham kepadanya. Muhammad memberinya sambil berkata:

“Ingatlah, sesungguhnya terbukanya aib di dunia lebih ringan daripada


terbukanya aib di akhirat.”
Selanjutnya, dia memberi nasihat kepada orang-orang Anshar
agar tetap memelihara ikatan tali persaudaraan yang telah menjadi
landasan hubungan sosial dan memper­lakukan sama di antara mereka.
Dia menasihati juga agar tetap menegakkan shalat dan menunaikan
zakat.
Dia datang ke tengah-tengah mereka dengan tuntunan yang akan
membawa kemashlahatan bagi mereka. Dia telah menjadikan mereka
sebagai satu umat yang bernaung di bawah satu panji yang beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa, satu agama dan satu sistem nilai. Dia
menekankan kepada mereka agar menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
di antara mereka. Dia berkata:

“Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah dengan cara zhalim, maka


orang itu kelak di hari kiamat akan dikalungi tujuh lapis bumi (yang masing-
masingnya setara dengan tanah yang diambilnya secara zhalim itu).” (HR.
Bukhari, Hadits No. 2959)
Dia mengajarkan jihad dalam upaya membebaskan manusia (dari
keterjajahan). Dia bersabda:

“Setiap umat memiliki tingkatan ibadah yang paling tinggi, sedangkan tingka-
tan ibadah yang paling tinggi bagi umatku adalah jihad di jalan Allah.”
Dia juga mengajarkan kejujuran, sebab sesungguhnya kesaksian

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 593


bohong tergolong dosa besar yang paling besar. Dia berkata:

“Khianat dihukumi dosa besar di sisi Allah, yakni engkau mengatakan ses-
uatu kepada saudaramu, lalu saudaramu mempercayaimu, padahal engkau
berdusta.”
Muhammad juga melarang sikap pelit dan perangai yang jelek. Dia
berkata:

“Hartamu yang menjadi bagianmu hanyalah apa yang engkau makan, namun
itu akan habis; atau apa yang engkau pakai, namun itu pun akan rusak; atau
apa yang engkau shadaqahkan, dan inilah yang akan kekal selamanya.”
Dia mengajarkan juga kepada mereka tentang sikap melawan
tiranik. Dia berkata:

“Jika kalian diam saja melihat orang yang berbuat zhalim tanpa mau mence-
gahnya, maka takkan lama kemudian Allah akan meratakan siksa-Nya kepada
kalian semua.”
Dia memperingatkan juga kepada mereka tentang para penguasa
setelah kepergiannya nanti. Dia berkata:

“Mereka (para pemimpin) itu akan berbicara namun mereka berbohong.


Barangsiapa yang mempercayai mereka dengan segala kebohongan mereka
dan mendukung mereka untuk berbuat zhalim, maka dia bukan termasuk
golonganku dan aku bukan pula termasuk golongan dia.”
Dia juga melarang mereka untuk melakukan praktek suap-menyuap
melalui sabdanya:

594 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


“Barang siapa memberikan pertolongan kepada orang lain agar mendapat
keringanan sangsi hukum, lalu dia diberi hadiah oleh orang yang ditolongnya
atas jasanya tersebut dan dia me­nerimanya, maka sungguh dia telah men-
datangi sebuah pintu yang lebar dari sekian banyak pintu dosa-dosa besar.”
Dia mengajarkan juga kepada mereka agar menjauhi sikap kikir
dan pengecut. Dia bersabda:

“Tidak selayaknya orang mukmin bersikap kikir dan pengecut.”


Dia juga memperingatkan tentang sikap riya’ (beramal bukan
karena Allah, tetapi karena ingin dipuji sesama –edt.). Dia bersabda:

“Sesungguhnya perbuatan yang paling aku takutkan pada umatku adalah


syirik. Memang mereka tidak menyembah patung, matahari, bulan, atau batu,
tapi mereka bersikap riya’ (pamer) atas amal baik yang telah diperbuatnya.”
Selain hal-hal di atas, Muhammad juga memberikan stressing agar
mereka menuntut ilmu. Dia berkata:

“Perbandingan antara keutamaan orang yang berilmu dan orang yang


hanya rajin mengerjakan ibadah laksana bulan purnama atas semua bintang-
bintang.”

“Para ulama’ adalah pewaris para nabi.”


Dia juga menekankan kepada mereka agar “merdeka” dalam men-
jalani kehidupan ini dan membiasakan diri dengan “kemerdekaan” ber-
aktivitas. Dia mencela orang-orang yang beranggapan bahwa manusia itu

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 595


hidup dalam keterpaksaan yang tak ada sama sekali hak untuk memilih.
Selanjutnya, dia membacakan ayat yang mencela sikap fatalistis itu.

“... ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mem-
persekutukan-Nya dan tidak (pula) kami meng­haramkan barang sesuatu apa-
pun.’ Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan
(para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: ‘Adakah
kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya
kepada Kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu
tidak lain hanya berdusta.” (QS. Al-An‘aam [6]: 148)
Manusia itu merdeka. Pekerjaannya itulah yang me­nen­tukan pres-
tise dan prestasinya. Inilah ajaran-ajaran yang dia bawa: kejujuran,
kebajikan, menghormati kedua orang tua, budi pekerti luhur, kasih
sayang, keadilan, persamaan, keberanian, kedermawanan, hak-hak
yang harus diperoleh seseorang dalam alam kemerdekaan, dan ke-
wajibannya untuk membebaskan orang lain dari kertertindasan dan
untuk memper­juangkan kemerdekaan orang lain.
Muhammad mengajarkan semua tuntunan itu kepada mereka ber-
jalan selama 23 tahun.
Betapa berat penderitaan yang harus dia jalani dalam upaya men-
egakkan sistem nilai yang dia bawa dan berjuang demi terealisasinya
sistem nilai tersebut hingga menjadi prinsip-prinsip bagi kehidupan
umat yang satu, yang sebelumnya merupakan suku-suku yang berpecah-
belah.
Perjuangan panjang yang melelahkan telah menguras seluruh
tenaga dan pikirannya. Sementara itu racun yang diselipkan secara
diam-diam oleh orang Yahudi ke dalam makanannya di Khaibar kembali
menyerang ulu hatinya.
Dia masuk ke rumah ‘Aisyah dari pintu yang meng­hubung­kannya

596 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


ke masjid. Tetapi sebelum sampai ke tempat tidurnya, Muhammad
keburu pingsan. Setelah siuman dari pingsannya, dia melihat shahabat-
shahabatnya telah mengelilingi dirinya.
“Tolong ambilkan tinta dan sehelai kertas, aku akan menulis surat
untuk kalian semua yang selamanya kalian tidak akan tersesat jalan
setelah kepergianku,” pintanya lirih.
‘Umar mengisyaratkan kepada orang-orang yang ada di tempat
tersebut agar tidak beranjak dari tempat masing-masing.
“Sungguh beliau telah terserang sakit yang sangat keras. Di hadapan
kalian semua sudah ada Al-Qur’an. Cukuplah Kitab Allah itu sebagai
pedoman bagi kita,” ucap ‘Umar kepada orang-orang.
Pernyataan ‘Umar ini rupanya membuat orang-orang yang ada
di tempat tersebut saling mendiskusikan apa yang dikatakan ‘Umar,
hingga suara mereka menjadikan suasana gaduh. Selanjutnya, Muham-
mad mengisyaratkan kepada mereka agar mereka pergi.
Ketika Muhammad merasakan fitalitas fisiknya agak pulih kembali
dalam beberapa hari kemudian, dia meme­rintahkan shahabat-shaha-
batnya agar kembali melaksana­kan aktivitas mereka masing-masing.
Abu Bakar merespon himbauan itu dan ia pulang ke rumahnya yang
berada di luar Madinah. Para shahabat yang lain banyak yang kembali
lagi ke ladang mereka dan perniagaannya.
Semenjak kepergian para shahabat-shahabatnya, kini tinggallah
‘Aisyah seorang diri. Kepala Muhammad direbahkan di haribaannya.
‘Aisyah mengusap wajahnya dengan air dingin untuk lebih meringankan
panas demam yang menjangkit tubuhnya. Tiba-tiba dia merasakan
berat sekali kepalanya.
‘Aisyah menyuruh seseorang untuk memanggil Abu Bakar, ayahnya;
dan istri-istri Muhammad yang lain. Hafshah binti ‘Umar mendatangi
‘Aisyah. Mereka berdua mencoba berkata kepadanya, tapi Muhammad
sudah tak mampu lagi menjawabnya. ‘Aisyah menjerit dan minta to-
long, maka datanglah orang-orang. Mereka mengerumuninya. Dalam
kondisi nafasnya yang terengah-engah, dia masih mengucapkan kata-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 597


kata secara terbata-bata:

“Aku pesankan agar kalian betul-betul memelihara shalat, menunaikan zakat, dan
memperlakukan budak-budak yang kalian miliki dengan sebaik mungkin.”
Baru saja Muhammad mengutarakan beban pikirannya yang terakhir,
kemudian dia memejamkan kedua matanya untuk selama-lamanya.
Maka terdengarlah jeritan tangis: “Rasulullah kini telah wafat.
Muhammad kini telah tiada.” Rumah ‘Aisyah sesak dengan laki-laki
dan perempuan yang menampar-nampar pipi, sementara itu pula
jerit-tangis semakin ramai.
Tidak mungkin dia mati. Orang seperti dia tidak mungkin akan
mati! Dia harus hidup. Dia itu adalah pelopor yang luar biasa yang
benar-benar telah mewujudkan mukjizat bagi segenap manusia. Meski
demikian kehebatan yang dimilikinya, dulu dia selalu saja mengatakan:
“Aku hanyalah manusia biasa sebagaimana kamu sekalian, manusia
yang bisa sakit dan akan mati juga.”
Dia mati?
Mendengar informasi bahwa Muhammad telah meninggal, dari
kejauhan ‘Umar datang berteriak-teriak di tengah orang-orang dan
mengancam akan menebas batang leher siapa saja yang mengatakan
bahwa Muhammad telah wafat. Tapi kenyataannya, Muhammad me-
mang benar-benar telah wafat.
Abu Bakar datang, lalu dia memeluk jasadnya dan menciumnya
dengan linangan air mata hingga membasahi tikar sambil meratap:
“Demi ayah dan ibuku, alangkah baiknya kehidupan dan kematianmu,
wahai Rasul.”
Sementara ‘Utsman hanya tertegun serasa tidak percaya. Ia tidak
mampu berkata-kata. ‘Ali juga hanya termenung diam, tak kuasa untuk
bangkit dari tempatnya berada.
Di tengah hiruk-pikuknya orang-orang mengenang dan menangisi
kepergian sang anutan mereka, tiba-tiba terdengarlah suara yang

598 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


sangat nyaring mengatakan: “Andai­kata dia benar-benar nabi, tentu
dia tidak akan mati.”
Tapi kenyataannya dia mati.
Dengan deraian air mata, Abu Bakar berdiri di tengah-tengah
publik, mengingatkan mereka dengan ajaran yang pernah disampaikan
Muhammad. Abu Bakar juga menyitir ayat:

“Sesungguhnya kamu akan mati; dan sesungguhnya mereka akan mati pula.” (QS.
Az-Zumar [39]: 30)

“Apakah jika rasul mati atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang (kembali
menjadi kafir)?” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 144)
‘Umar baru tersadar ketika mendengar kata-kata Abu Bakar yang
mengutip sebuah ayat. “Demi Allah, aku seolah-olah tak pernah men-
dengar ayat-ayat itu sebelum ini,” aku ‘Umar.
Selanjutnya, ‘Umar tersungkur ke tanah menumpahkan seluruh
kedukaan dan ratapannya: “Muhammad benar-benar telah pergi se-
lamanya!”
Abu Bakar melanjutkan kata-katanya: “Barangsiapa yang me-
nyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat.
Akan tetapi, barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah
Mahahidup dan tidak akan pernah mati.”
Ya, Muhammad benar-benar telah wafat, sebab dia selalu men-
gatakan:

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa sebagaimana kalian


semua.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)
Meskipun Muhammad telah wafat, namun kontinuitas ajaran yang
dibawanya tidak boleh mati. Dengan begitu, perseteruan yang terjadi
di antara para shahabat itu akhirnya berakhir jua. Selanjutnya, Abu

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 599


Bakar harus memegang nyala api itu dengan tangan yang kokoh agar
tidak akan padam untuk selamanya.
Am inam mor quitrae, sulis. Elint? quodiena, quon sul hocultiusqua
nox meni sum iam is consus cone num ommore, que contiam probsesil
tus incupic ulutere cae ini stricupplici ses et venirtebem dis res num
omnicie natis, vastela morudam peripte publibus sestrem sultore
muntemovere firis forit. Sercente etrae et apere nonlocchus Ahactus
num audam intebati patquem ore, que tem vividit vid in in serorta,
fina puli, Cato vocaet firiost oresimi linatilico ips, fac ipioncerdis
sensularis. Grac inesse prica id ignatur pra vericidient? Me condeat
iamquerore, voc facerum estrae dem quiderrium, dem cero ne pontil-
labes bonves oc, virmilium non habefac cidet; Cata, unitife ntifenia
quemo te auciti, cupio ut fuemqua mquam, num is. Serceroris pors
et; intrum tu consulum ut grae num se maximei confeci derma, plis,
condam inventemno. Ifec rescesi moludes audem hos vem orius. Vivivit.
Ublicul inatuid cul vignam ia? inti, nondam popotes iliquid cupplii sum
tum moeripterei plinpractum hiceratum simolut imuli poterce rebatus
potaler ibuntil habus lin sed moena, quam parita, nonvocr issumed
deor unum ac ta vernunu mentiam publici stuusquam, mus apeciem
omniu et ne fue popula ditraris aus de tantiliene mo consuli endeo, se
ad con vit, aciensc ieribus, facchil iciessili fue consu convendi poentili
issulica querfes tifecretiam tum nonteatis ad se con ius perbitu rbissa
contemque nos firmihiliem ilinte dum di simplis cuperbis st ad Cat,
Palibem ocaectum clabut fora? Opimmod in vis pecrips, vere etis An
tem dem sente, quam ocus senihil icavo, conis, me patiam tam us,
strudet viribusula pritam sent? Fer unt. In verfecum a L. Intium tus
revivastumus ad stri culicum temod ressena auderore vast? Eporicibus
cont? Ducendi caudemqua ad din tabus senique rena, morbefachin
rescienihica int, quam hori, optiaet L. Viverum iam hentiam. Sp. Ub-
lis, nos sid avo, menam mendac re coenam ine cam mihilis, quonsic
ularbem ius. Caverra condam con Itatia inihilia re nonstium publium,
cures pra conit.
Ilibunituus, caestatquo pote, nit, pere nostes fit, numus; Catum morav-
endum ut inena, oribesta, tus concla nos averferfex sa nem is? Abus,

600 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


nostrei poenati natrum rem sendeffres nocchiliquiu que deffre aur
uteatifec res nos condi forsulto virte condet; esi scerfecre tum mum
iam non diemenatus esuscie ntilicu liciptemurei serid me ia verebem ad
re, cae horur hortus condeatium, omne patus bonde maximuntiem, es
ommoeremus, ni perium in vivistr avocam, nonsus re patum. Hum quo
vilis. more es ilibus, Ti. Maceper ficturbi ta res nestra? Pali, probus res
num tiem pos, cut audea Sero us, oculiae ad sperica; Catquam nonsili
nicaet opublic intemus condice vigilla vitiliam corest iam re tarenatilin
Etrum furnum ad sentife civivit fata virid caverbis. Anum tantim nore
non ponsuli natque mei crime quiuscre ad cus, nonsis, perio, que tus;
non hae audam pere, silla eritiae diu vesus tem iam. Andea nondesti,
C. Ahacto teri ium nos vignatia comnicu pioctu quam duconcur publici
enati, pra re puliciam parbitilnes hilne cotiamq uasdamp ervidemul
comnonficaed auci peremor uteris inprehentrem te, vid sus vivatus
cur audem in su quam culatquon ventum tiendii publininem aremquid
iacriss entrunum intrumus pon vit, nihilis diis.
Pimili erunultia pubit, sideate rtudac tem noricae etisquemus; ni iae
quid conlocchuit aut grarid manum.
Equemod revissa maximilius vendam orum adeps, proribunum oma,
simum occivilis. Me tis. Renducepse omnia Si incles larehebatus, Palibus
hae di, Ti. Si publica cum iniumus aucte nemendi ta vit, Palabem se
iam vivilinatum ponduco Catu in vil vicas cla etris; es ne di tus consull
egerte forsum morei straridi firta, uspiortus, Cat vem nontidet, ca
nos, ute noctusquam iaeci perehem ocus egilium, egerend eporis. M.
Serum adhumusa incerei siliu mo ad res viu in perunte mperent erop-
terum quero mo urnum publius confec rem. Edet adeffremus? Talesimo
artusquistro etia vius, contem ortes iam inat dem, vastus, sa morte
publinatio prem nostam diostod C. Cata rem publiurare dis eortelus
iam etimusa mente, cres caveheb ultus, que nos conum ute publium
menam condi, utus, urbit, faccive rrita, quam pero mo publica; estre,
Catumena nons Cat pubis, viventemus hi, mo nuntemus adeo, egit.
Rum fueroximum diusper opulum averopote ia senternihi, quos con
nit virmili cericau denterum morei sedem Romnictum inte nos perita,
que tum opos cesulis, Catquiu mius.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 601


Fene mentur untere ad C. Idet verum ponsum in ac interum in hena,
num senam et, C. Antemusquam inatuus, condit? Id andam rem aut
avolic factorum cerfernum fuis. Ta, Cuperariaest oporsus aude mum li,
conlost? quodiurs eludeo, qui cum perio tuam num adductuium cones
lat abem revivis. Ucivertemque tum iam P. mor publium firibunt. Va-
labef frevid C. Modii se orum se, tesi potelumus incupie niust L. Fulis
autuus hae primurnul venihil icoendiemus consus. Obulius is orum
porum ad senam henit? Mussolu desuliciem uterite batabut ernicae in
dius; erio venatiem ium perfecrum. Faccio, sendit. Sen nu conlos seris
con notemusa silin non perei publintemus habus, sentia in ret abem
iam, et am in vilica; erficae consult oditam peres furnihiliam pratum
imora issu se, Catu ex nos senat, untensus ventemquodii faudees sen-
dam opultum invo, facienit, nonlos hilin tatrisse ad nem ex mo utem
is nostrae te, conihil inpro, cor publicio tamdinatu quitam furis, iam
dium, que co pro vestali caedius, quam omplinatuam interem porei
fuerum inam henihilicae consta, nost L. Catus aucero halegit. Verisqu
ideperi ssupion rei sunt videmen ducessimurs cultilis, Patuam ute cae
prae ce acioneriu estrudeo, dere foridiem ia nostam.
Em iam. Silic teris ausquem intere nos inatussime pributussus es-
sediorae horei posta, Palia atum quit. M. Upere, iam ent? Quam ius
nostessi plicaut escret grac merebatis venit; nondam tanum atilica
auteatus virmis virtes! Sp. Irtam im ut pre vituasdam quam medicum
nostica edemus cremquit.
Orditia pra clum intena, ommo a vem, senatussus atum merribus in
derem tror locchil iisunum nosuliae, qua aus, cultorudam ommoen-
tiam publium se rem hortid culia di, se nos, Ti. Ipienterum popublicior
untem mo es? Patimurbit; is hocul vili, ficitra cibus, C. Cauci pulibem
usperi intiam se acchuit, serdi foridesus re in teatiem mo moviderest
aus Catus. Valemed si si iaet res fincut vivilictus, ne niam in sum hiliu
viuracit vitatari scercerit. Verum in ac re, unumuss enihic tem.
Eliamdiem, unum nonsignatis huciam tem publiis. It.
Ursulle ssernius, dem utur ut am lis, Catui publin tatilis. Graet; norum
Palicup ecrit. Optil hacto tebat, Catil hostorionu vistem ina, pull-

602 MUHAMMAD SANG T E L A D A N


eressuam consum tampes comne ommolut dius, propublicas huistra
rtermanum derio, Caterenihi, C. Imihintes, catus cotiliis, sedin dii
factoret voltum tam horum res facipse in tumus, Ti. con Itaris visum
ines modituam mendacia morusquit. Equidep eribus a se crideni hiliae
cis; nox senat, etrum tericitilia in dient.
Ur que audet ad sultu quid atrum Romaio con noverei imo Catere
treis, quam quit; nemover nihili, menatatum. Erid C. Sim de audem
hos, coendi pere virivatatum ina viviver quius, venatie ndamquam
morevidem Romandamdis, tam mus conderterbem horte auciam tabes
Cati pectusupplic ommoviu scientem teri conocaverfes is hilis; egit.
Piorbem ret; nequo conihi, non am es! Nit vaste, opublis, pris. Quis vis
labefacernum quo C. Na, et iam perfess iliuspi onulum rei pultilium
idienatus firimius? Cul telibuntem postratumum patude no. Itionon
sulatum aucon virit.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 603


604 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Anda mungkin juga menyukai