Anda di halaman 1dari 13

SISTEM PENGENDALIAN PROSES

Dasar -dasar Sistem Pengendalian Proses


Pada industry kimia terdapat beberapa unit peralatan proses, diantaranya
reactor, penukar panas, pompa, kolom distilasi, absorber, evaporator, tangka, dan
sebagainya yang bekerja secara sistematik dan terpadu. Dalam pengoperasiannya,
industry proses harus memenuhi beberapa persyaratan seperti masalah kemanan
(safety), spesifikasi produk, pengaruh terhadap lingkungan, Batasan operasi
(operational constrains), serta masalah ekonomi (profitability).
Untuk memenuhi persyaratan tersebut, industry proses perlu memiliki suatu
system yang dapat memonitor dan mengendalikan semua proses yang ada. Hal ini
dapat dilakukan melalui seperrangkat instrument dengan campur tangan manusia
sebagai operator untuk mengendalikan dan mengatur parameter dari berbagai macam
proses dalam suatu system, system inilah yang dinamakan system pengendalian proses
atau system control.
Di industry umumnya pengendalian proses diterapkan pada reaktor, penukar
panas (heat exchanger), kolom pemisahan (misalnya distilasi, absorpsi, ekstraksi),
tangki penampung cairan, aliran fluida, dan masih banyak lagi.
Agar proses industry selalu stabil dibutuhkan instalasi alat-alat pengendalian
sebagai upaya untuk melakukan pengendalian proses. Adapun tujuan dilakukannya
pengendalian proses di industry adalah :
1. Menjaga keamanan dan keselamatan kerja (safety)
Untuk menjaga terjaminnya keamanan, berbagai kondisi operasi pabrik, seperti
tekanan operasi, temperature, konsentrasi bahan kimia, dan sebagainya perlu
dijaga agar tetap pada batas-batas tertentu yang diizinkan.
2. Menjaga produktifitas dan kualitas agar spesifikasi produk yang diinginkan
terpenuhi
3. Menjaga peralatan proses agar dapat berfungsi sesuai yang diinginkan dalam
desain.
4. Menjaga agar operasi pabrik tetap ekonomis
Operasi pabrik bertujuan menghasilkan produk dari bahan baku agar
menghasilkan keuntungan yang maksimum, maka dari itu pabrik harus
dijalankan pada kondisi biaya operasi minimum adar dapat memperoleh
keuntungan maksimum.
Operator melakukan empat langkah kerja pengendalian, yaitu mengukur,
membandingkan, menghitung, dan mengoreksi. Sensor bertugas mengukur variable
proses (PV), selanjutnya dioalh oleh transmitter, kemudian membandingkan apakah
hasil pengukuran dari sensor sudah sesuai dengan nilai yang dikehendaki (set
point/SP). Jika tidak sesuai akan dilakukan penghitungan untuk menentukan aksi yang
dilakukakan agar sdesuai set point, selanjutnya membandingkan dan menghitung yg
dilakukan oleh controller (pengendali) kemudian melakukan pengoreksian oleh actuator.

HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), CCP (Critical Control Point),
dan GMP (Good Manufacturing Practice)
Hazard Analysis and Critical (HACCP) adalah sebuah metode sistematis berbasis
sains yang mengidentifikasi risiko bahaya tertentu dan tindakan pengendaliannya untuk
memastikan keamanan dari produk pangan yang diproduksi. Berfokus pada pencegahan,
HACCP dapat membantu perubahan termasuk merancang peralatan dan prosedur
pengolahan.
HACCP adalah landasan dari rencana manajemen keamanan pangan.
https://saiassurance.id/haccp
Globalisasi ekonomi negara, industri, penguasaan teknologi canggih, persaingan
terbuka dan proteksi ekonomi dalam blok-blok perdagangan internasional
mengharuskan reorientasi dalam strategi pembinaan dan pengembangan industri
pangan nasional. Oleh karena itu, wajar juga apabila industri pangan nasional berusaha
mencari Upaya-upaya terobosan dan inovasi-inovasi baru dengan tujuan agar industri
pangan nasional tersebut sanggup bertahan dan mandiri sehingga mampu bersaing
untuk menghadapi kemungkinan perubahan serta mampu memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh konsumen internasional. Seperti kita ketahui bersama bahwa dewasa ini
masalah jaminan mutu dan keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan
tuntutan dan persyaratan konsumen serta dengan tingkat kehidupan dan kesejahteraan
manusia. Oleh karena itu, berkembanglah berbagai sistem yang dapat memberikan
jaminan mutu dan keamanan pangan sejak proses produksi hingga ke tangan
konsumen serta ISO-9000 dan HACCP.
Salah satu konsep dan strategi untuk menjamin keamanan dan mutu pangan
yang dianggap lebih efektif dan ”safe” serta telah diakui keandalannya secara
internasional adalah sistem manajemen keamanan pangan HACCP. Filosofi sistem
HACCP ini adalah pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan
berdasarkan pencegahan preventif (preventive measure) yang dipercayai lebih unggul
dibanding dengan caracara tradisional (conventional) yang terlalu menekankan pada
sampling dan pengujian produk akhir di laboratorium. Sistem HACCP lebih menekankan
pada upaya pencegahan preventif untuk memberi jaminan keamanan produk pangan.
Konsep sistem HACCP sebagai penjamin keamanan pangan pertama kali
dikembangkan oleh tiga institusi, yaitu perusahaan pengolah pangan Pillsbury Company
bekerjasama dengan NASA (The National Aeronaties and Space Administration) dan US
Arm’s Research, Development and Engineering Center pada dekade tahun 1960-an
dalam rangka menjamin suplai persediaan makanan untuk para astronotnya (ADAMS,
1994 ; MOTARJEMI et al, 1996 ; VAIL, 1994).
HACCP merupakan suatu sistem manajemen pengawasan dan pengendalian
keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional dan sistematis dengan
tujuan untuk mengidentifikasi, memonitor dan mengendalikan bahaya (hazard) mulai
dari bahan baku, selama proses produksi/pengolahan, manufakturing, penanganan dan
penggunaan bahan pangan untuk menjamin bahwa bahan pangan tersebut aman bila
dikonsumsi (MOTARKEMI et al, 1996 ; STEVENSON, 1990). Konsep HACCP ini disebut
rasional karena pendekatannya didasarkan pada data historis tentang penyebab suatu
penyakit yang timbul (illness) dan kerusakan pangannya (spoilage). HACCP bersifat
sistematis karena konsep HACCP merupakan rencana yang teliti dan cermat serta
meliputi kegiatan operasi tahap demi tahap, tata cara (prosedur) dan ukuran kriteria
pengendaliannya. Sistem HACCP dapat dikatakan pula sebagai alat pengukur atau
pengendali yang memfokuskan perhatiannya pada jaminan keamanan pangan,
terutama sekali untuk mengeliminasi adanya bahaya (hazard) yang berasal dari bahaya
mikrobiologi (biologi), kimia dan fisika ; dengan cara mencegah dan mengantisipasi
terlebih dahulu daripada memeriksa/menginspeksi saja. Tujuan dan sasaran HACCP
adalah memperkecil kemungkinan adanya kontaminasi mikroba pathogen dan
memperkecil potensi mereka untuk tumbuh dan berkembang.
HACCP didasarkan pada tujuh prinsip yang membentuk sebuah landasan bagi seluruh
standar keamanan pangan global, dan dapat diterapkan dengan baik di seluruh sektor
dalam jaringan rantai pasokan mulai dari produksi yang paling dasar hingga menjadi produk
akhir untuk konsumsi. Ketujuh prinsip dasar penting HACCP yang merupakan dasar
filosofi HACCP tersebut adalah:
1. Analisis bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko beserta cara pendekatan
pertama pada konsep HACCP adalah analisis bahaya yang berkaitan dengan semua
aspek produk yang sedang diproduksi.
Jenis bahaya yang mungkin terdapat di dalam makanan dibedakan atas tiga
kelompok bahaya, yaitu :
(1) Bahaya Biologis/Mikrobiologis, disebabkan oleh bakteri pathogen, virus atau
parasit yang dapat menyebabkan keracunan, penyakit infeksi atau infestasi,
misalnya : E. coli pathogenik, Listeria monocytogenes, Bacillus sp., Clostridium
sp., Virus hepatitis A, dan lain;
(2) Bahaya Kimia, karena tertelannya toksin alami atau bahan kimia yang beracun,
misalnya : aflatoksin, histamin, toksin jamur, toksin kerang, alkoloid pirolizidin,
pestisida, antibiotika, hormon pertumbuhan, logam-logam berat (Pb, Zn, Ag,
Hg, sianida), bahan pengawet (nitrit, sulfit), pewarna (amaranth, rhodamin B,
methanyl jellow), lubrikan, sanitizer, dan sebagainya ;
(3) Bahaya Fisik, karena tertelannya benda-benda asing yang seharusnya tidak
boleh terdapat di dalam makanan, misalnya : pecahan gelas, potongan kayu,
kerikil, logam, serangga, potongan tulang, plastik, bagian tubuh (rambut), sisik,
duri, kulit dan lain-lain.
Ada tiga elemen dalam analisis bahaya, yaitu :
a. Menyusun Tim HACCP.
b. Mendefinisikan produk : cara produk dikonsumsi dan sifat-sifat negatif produk
yang harus dikontrol dan dikendalikan.
c. Identifikasi bahaya pada titik kendali kritis dengan mempersiapkan diagram alir
proses yang teliti sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, untuk menghasilkan
suatu produk.
2. Identifikasi dan penentuan titik kendali kritis (CCP) di dalam proses produksi.
Titik kendali kritis (CCP) didefinisikan sebagai suatu titik lokasi, setiap langkah/tahap
dalam proses, atau prosedur, apabila tidak terkendali (terawasi) dengan baik,
kemungkinan dapat menimbulkan tidak amannya makanan, kerusakan (spoilage),
dan resiko kerugian ekonomi. Secara sistematis untuk mengidentifikasi dan
mengenali setiap titik kendali kritis (CCP) dapat dilakukan dengan metode alur
keputusan atau CCP Decission Tree seperti terlihat pada Gambar 1.
3. Penetapan batas kritis (Critical Limits) terhadap setiap CCP yang telah teridentifikasi
Batas kritis didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima untuk
mengamankan bahaya, sehingga titik kendali dapat mengendalikan bahaya
kesehatan secara cermat dan efektif. Beberapa contoh batas kritis yang perlu
ditetapkan sebagai alat pencegah timbulnya bahaya, misalnya adalah ; suhu dan
waktu maksimal untuk proses thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi
pendinginan, suhu dan waktu tertentu untuk proses sterilisasi komersial, jumlah
residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan., pH maksimal yang
diperkenankan, bobot pengisian maksimal,dan sebagainya.
4. Penyusunan prosedur pemantauan dan persyaratan untuk memonitor CCP.
Kegiatan monitoring ini mencakup :
(1) Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat
dikendalikan dengan baik ;
(2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap efektifitas sustu proses untuk
mengendalikan CCP dan batas kritisnya ;
(3) Pengamatan atau pengukuran batas kritis untuk memperoleh data yang teliti,
dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin
keamanan produk (CORLETT, 1991).
Metode prosedur dan frekuensi monitoring serta kemampuan hitungnya harus
dibuat daftarnya pada lembaran kerja HACCP.
5. Menetapkan/menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi
penyimpangan (diviasi) pada batas kritisnya.
Tindakan koreksi adalah prosedur proses yang harus dilaksanakan ketika kesalahan
serius atau kritis diketemukan dan batas kritisnya terlampaui.

6. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan datanya


(Record keeping).
Sistem dokumentasi dalam sistem HACCP bertujuan untuk :
(1) Mengarsipkan rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan yang
teliti dan rapih mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP ;
(2) Memudahkan pemeriksaan oleh manager atau instansi berwenang jika produk
yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab kasus keracunan
makanan.
Berbagai keterangan yang harus dicatat untuk dokumentasi sistem dan penerapan
HACCP mencakup : Judul dan tanggal pencatatan, Keterangan produk (kode,
tanggal dan waktu produksi), Karakteristik produk (penggolongan resiko bahaya),
Bahan serta peralatan yang digunakan, termasuk : bahan mentah, bahan
tambahan, bahan pengemas dan peralatan penting lainnya.Tahap/bagan alir
proses, termasuk : penanganan dan penyimpanan bahan, pengolahan,
pengemasan, penyimpanan produk dan distribusinya., Jenis bahaya pada setiap
tahap, CCP dan batas kritis yang telah ditetapkan, Penyimpangan dari batas kritis ,
Tindakan koreksi/perbaikan yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan, dan
karyawan/petugas yang bertanggung jawab untuk melakukan koreksi/ perbaikan.
7. Menetapkan prosedur untuk menguji kebenaran.
Tujuan :
(1) Untuk memeriksa apakah program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan
rancangan HACCP yang ditetapkan dan
(2) Untuk menjamin bahwa rancangan HACCP yang ditetapkan masih efektif dan
benar.
Hasil verifikasi ini dapat pula digunakan sebagai informasi tambahan dalam
memberikan jaminan bahwa program HACCP telah terlaksana dengan baik.
Kemudian untuk memperoleh program yang efektif dan menyeluruh dalam
penerapan/implementasi HACCP perlu dilakukan kegiatan sebagai berikut :
1. Komitmen Manajemen.
2. Pembentukan Tim HACCP.
3. Pelatihan Tim HACCP.
4. Diskripsi Produk.
5. Identifikasi Penggunaan/Konsumennya.
6. Penyusunan Bagan/Diagram Alir Proses.
7. Menguji dan Memeriksa Kembali Diagram Alir Proses.
8. Menerapkan Tujuh Prinsip HACCP.
Ir. Sere Saghranie Daulay,M.Si . HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT
(HACCP) DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI PANGAN . Widyaiswara Madya
Pusdiklat Industri
Dengan mengetahui CCP dapat sedini mungkin mengatasi masalah yang akan merugikan
industri dan pada akhirnya juga mengatasi kerugian pada konsumen.
Contoh Penentuan CCP dengan bahan baku Vitamin A
Nama Bahan Baku : Vitamin A
Jenis Bahaya : Serpihan Kaleng
Dengan menggunakan diagram keutusan untuk bahan baku akan
membantu dalam menentukan CCP
P1 : Apakah terdapat bahaya dalam bahan baku ini ?
P1 : Ya
Bila P1 = “Ya”, lanjut ke P2.
Bila P1 = “Tidak”, berarti bahan baku bukan CCP
P2 : Apakah tahap proses pengolahan atau cara konsumsi dapat
menghilangkan bahaya/ mengurangi bahaya ?
P2 :Ya
Bila P2= “Ya”, maka bahan baku bukan CCP.
Bila P2 = “Tidak”, maka bahan baku adalah CCP
P2 “Ya” berarti bahan baku Vitamin A bukan CCP.

Contoh penentuan CCP dan motoring di PT. X, Perusahaan yang bergerak di bidang industri
makanan (margarine).
Bahan baku utamanya yaitu Crude Palm Oil (CPO).
Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh 4 (empat) Critical Control Point (CCP)
yaitu :
1).Proses menyaring minyak dengan menggunakan filter bag berukuran 5 micron,
2). penimbangan air, ingredients dan garam,
3). Proses menyaring minyak dengan menggunakan wiremes 100 mesh,
4). Tub/kaleng filling atau pengisian kaleng/bak plastik.
CCP tersebut ditindaklanjuti dengan menetapkan batas kritis pada tahapan proses
yang termasuk CCP.
Setiap CCP ini memiliki prosedur pemantuan (monitoring) yang berbeda.
Identifikasi bahaya dan Tindakan pencegahan produksi saus cabai
SeminarNasionalSainsdanTeknologi2016Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah
Jakarta , 8 November 201

Good Manufacturing Practice (GMP)


Good Manufacturing Practice (GMP) dikenal dengan Cara Produksi yang Baik
(CPB) adalah sistem produksi dan kontrol kualitas pada suatu fasilitas produksi (pabrik)
dalam rangka menjamin bahwa proses produksi suatu produk pangan, farmasi, atau
obat-obatan tertentu telah memenuhi kaidah atau standar higienitas, sanitasi, dan
keamanan konsumsi tertentu.
Good Manufacturing Practice (GMP) juga dapat dikatakan sebagai serangkaian
pedoman dalam pengelolaan atau manajemen guna memastikan suatu produk memiliki
kualitas yang baik untuk dipasarkan dan dikonsumsi oleh konsumen.
GMP adalah salah satu cara untuk menjaga mutu sebuah produk dan berdampak nyata
pada eksistensi dan profitabilitas sebuah bisnis.
Tak hanya pada produsen produk akhir, GMP juga perlu diterapkan pada
produsen bahan baku, perusahaan distribusi, perusahaan pengemasan, dan
pergudangan. Dengan kata lain GMP meliputi rantai produksi sejak bahan mentah
sampai siap konsumsi.
Aturan GMP tertuang pada Surat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
No.23/MEN.KES/SK/1978 yang memuat hal-hal terkait cara memproduksi makanan dan
minuman yang baik, standar lain mengacu pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 2004.
Jenis GMP atau CPB di Indinesia meliputi:
1. CPOB, adalah Cara Pembuatan Obat yang Baik. Ini adalah standar yang mengontrol
produksi obat dengan cara yang benar.
2. CPMB, cara Produksi Pangan yang Baik adalah kepanjangan dari CPMB. Ini
merupakan standar GMP yang mengawasi metode produksi makanan atau kuliner.
3. CPKB, adalah cara untuk menghasilkan kosmetik yang berkualitas. CPKB adalah
standar GMP yang mengendalikan operasi produksi kosmetik.
4. CPOTB, merupakan salah satu cara pembuatan obat tradisional yang efektif. CPOTB
yaitu standar GMP yang mengendalikan operasi produksi obat tradisional (jamu).
Strategi yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha atau perusahaan dalam penerapan
GMP adalah:
 Menciptakan kerja sama yang efektif melalui penanaman komitmen pada semua
pekerja yang berpartisipasi dalam suatu perusahaan.
 Memilih standar referensi untuk penerapan strategi GMP yang tepat.
 Menetapkan rencana yang memfasilitasi penerapan strategi GMP secara efektif.
 Menciptakan kohesi tim dengan menugaskan tanggung jawab utama pada
masing-masing tim.
 Melakukan evaluasi kinerja penerapan GMP.
 Melakukan pelatihan penyadaran  (awareness) baik untuk manajer maupun staf.
 Mengembangkan tim yang berfokus dengan satu tujuan.
Indicator GMP :
1. Komitemen tiap individu dan seluruh lingkungan stakeholder.
Perlu keterlibatan seluruh unit dan individu dalam perusahaan/ stakeholder (yaitu,
pemilik bisnis, pucuk pimpinan, hingga seluruh karyawan yang berhubungan
dengan proses maupun tidak)
2. Tim yang saling mendukung
Perlu adanya pembentukan tim dengan leader yang benar-benar kompeten dalam
mempimpin sumberdaya manusia di dalamnya .
3. Standar mutu yang disepakati
Berupa standar referensi yang efektif dan cocok dengan kondisi perusahaan yang
berkaitan dengan produk, jaminan, kemasan, dan fasilitas.
Manfaat GMP untuk konsumen :
1. Menjaga keselamatan dan kesehatan konsumsi saat dan setelah mengkonsumsi
sebuah produk
2. Mengetahui detail terkait produk untuk memenuhi kebutuhan dan
keselamatannya, seperti tanggal kadaluwarsa, komposisi bahan, dan lainnya
Manfaat GMP untuk perusahaan dan bisnis :
1. Produk yang jelas akan sangat meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap
sebuah produk, terlebih dengan semakin kritisnya masyarakat saat ini dalam
melakukan cross check sebelum memilih dan megkonsumsi sebuah produk
2. Makin tinggi loyalitas konsumen makin besar peluang siraman revenue yang
akan dihasilkan dan berdampak pada keberlangsungan bisnis jangka Panjang.
Manfaat GMP untuk pemerintah :
1. Membantu pemerintah dalam memberi edukasi pada masyarakat mengenai
produk yang sebaiknya dikonsumsi atau ditinggalkan
2. Membantu memberi jaminan pada masyarakatuntuk melakukan pembelian produk
dan berdampak pada pemasukan negara.
https://mutuinstitute.com/post/good-manufacturing-practice/
Badan POM sebagai regulator GMP sektor obat dan makanan di Indonesia telah
menyusun pedoman penerapan GMP dalam bentuk standar yang disebut dengan Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bagi produsen obat, Cara Pembuatan Kosmetik
yang Baik (CPKB) bagi produsen kosmetik, Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB) bagi produsen obat tradisional, dan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik
(CPPOB) bagi produsen pangan olahan.
  Paradigma terhadap pemenuhan GMP seyogyanya tidak hanya menyasar pada
produsen besar namun harus menyasar kelompok usaha mikro dan kecil (UMK) yang
memproduksi obat dan makanan. Sebagai bentuk tindak lanjut tersebut Badan POM
melalui Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan
Kosmetik dan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan menginisiasi program
pendampingan penerapan GMP di tingkat UMK (pangan olahan, obat tradisional, dan
kosmetik).

Anda mungkin juga menyukai