Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sriwijaya
Abstrak
Dalam pelaksanaan pemilu yang melalui proses yang panjang dan ketat, masih belum dapat
menjamin bahwa pemilu ini dilakukan dengan jujur dan bersih., berbagai metode yang dilakukan
oleh para kandidat merupakan faktor dalam terjadinya kecurangan dalam pemilu. Jadi inilah
yang menyebabkan proses penghitungan suara yang dilakukan oleh masing-masing KPU/KPUD
di berbagai daerah membutuhkan jangka waktu yang sangat lama. Penghitungan suara yang ada
di Indonesia tidak hanya penghitungan cepat, salah satu cara untuk melakukan rekapitulasi
selama pemilihan, tetapi ada penghitungan riil dan exit poll juga cara untuk menghitung hasil
pemungutan suara. Namun, dari ketiga jenis rekapitulasi tersebut, ada beberapa perbedaan,
termasuk metode yang digunakan dan sumber data yang diperoleh. Sebagai akibat dari
perbedaan ini, dalam informasi persentase tersebut yang akan menyiratkan informasi tidak pasti
bagi publik yang ingin tahu tentang perhitungan suara sehingga dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat dalam proses pemilu kedepan. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah
metode analisis kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data studi dokumentasi. Analisis
ini diharapkan dapat menghasilkan analisis konkret dari tiga metode untuk menghitung suara
pada pemilhan umum yang dilakukan di Indonesia.
Kata kunci: penghitungan suara, pemilu, KPU
Abstract
In holding elections that go through a long and rigorous process, it is still not possible to
guarantee that these elections will be held in an honest and clean manner. The variety of
methods used by candidates is one of the factors in the occurrence of fraud in elections. This is
what causes the vote counting process carried out by each KPU/KPUD in various regions to
take a very long time. Vote counting in Indonesia does not only count quickly, one way to
recapitulate votes during elections, but there are real counts and exit polls as well as ways to
calculate the voting results. However, of the three types of recapitulation, there are several
differences, including the methods used and the sources of data obtained. As a result of the
difference in the proportion of this information, it will have implications for information
uncertainty for people who want to know the vote count so that it can reduce public confidence
in the election process going forward. The method used in this study is a qualitative descriptive
research method with documentation study data collection techniques. This research is expected
to produce a concrete analysis of the three vote counting methods in general elections held in
Indonesia.
Keywords: vote counting, elections, KPU
PENDAHULUAN
Pemilihan umum merupakan sarana dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Pemilu juga
merupakan salah satu metode yang digunakan secara universal. Salah satunya yang digunakan di
Indonesia yang setiap tahun muncul berbagai polemik. Pada tahun 2014 Puskaptis dan JSI
(Jaringan Suara Indonesia) menyebutkan bahwa perolehan hasil suara antara pasangan calon
presiden nomor urut 2 yaitu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa mengungguli pasangan calon
presiden nomor urut 1, Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan perolehan selisih 1 sampai 5% Hal ini
diperoleh dari hasil tayang TV One yang menayangkan hasil perolehan suara yang mana
memenangkan pihak Prabowo. Terdapat tujuh anggota presepsi yang berdeda dengan lembaga
Puskaptis dan JSI, terdapat anggota persepsi lain yang menyatakan pasangan Joko Widodo –
Jusuf Kalla unggul dengan selisih 4 - 5%. Dimana tujuh anggota persepsi tersebut antara lain
Litbang Kompas, CSIS, Populi Center, Lungkaran Survei, Populi Center, Indikator Politik
Indonesia, Radio Republik Indonesia, dan Reseach Center Saiful Mujani.5 Sedangkan pada
tahun 2019 media elektronik tempo memperoleh laporan mengenai perbedaan data hasil pemilu
2019 di TPS dengan Situng KPU. Adapun perbedaan dari data tersebut diantaranya terjadi di
TPS 193 Kelurahan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, DKI Jakarta. Dimana perolehan dari
masing-masing capres berbeda dengan data tertulis di Situ KPU. Jika di TPS 193 pasangan
capres 01 memperoleh 47 suara, sedangkan pasangan 02 memperoleh 162 suara. Sedangkan data
yang tertulis di Situng KPU, pasangan capres 01 memperoleh 180 suata dan pasangan 02
memperoleh 56 suara. Meskipun setelah ditelusuri ternyata fakta-fakta di atas terjadi karena
kesalahan pada saat entry data oleh Situng KPU.
Menurut M Qodari selaku Direktur Eksekutif Indo Barometer, perbedaan hasil Quick
Count disebabkan oleh beberapa lembaga survei yang menjalankan Quick Count dengan keliru.
Qodari juga menjelaskan bahwa terdapat empat kriteria yang menyebabkan kekeliruan pada saat
Quick Count, diantaranya para pelaku Quick Count tidak memahami dengan baik metode
sampling yang diberikan sehingga sampel tidak representatif terhadap populasi. Kedua,
pelaksanaan teknis yang berantakan dan menyebabkan data tidak akurat. Ketiga, pelaku Quick
Count tidak memahami metodologi. Hal ini yang sering menghasilkan data fiktif karena pelaku
tidak mempunyai kerangka sampel TPS, data pusat serta relawan. Keempat, manipulasi data.
Quick Count pertama kali digunakan oleh sebuah lembaga di Philipina bernama
NAMFREL (National Citizen Movement for Free Election) cara ini digunakan oleh pemerintah
Philiphina pada penyelenggaraan pemilu pada tahun 1986. Cara ini mereka gunakan untuk
mengetahui hasil dari pemilihan presiden pada kala itu. Di Indonesia sendiri Quick Count
pertama kali digunakan tahun 1977 oleh Lembaga LP3ES (Lembaga Analisis Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial). Meski penerapannya sudah cukup lama, tetapi pada nyatanya
Quick Count masih sering menuai masalah. Kesalahan yang sering dijumpai pada hasil
perhitungan Quick Count adalah ketidakakuratan hasil sehingga menyebabkan banyaknya kabar
mengenai pemenang pemilu yang berbeda. Sehingga hal ini menyebabkan para kubu pendukung
dari setiap paslon saling adu pendapat terkait kemenangan paslon yang didukungnnya.
Contoh kasus yang paling kontroversi yaitu pada saat IMW (Indonesia Media Watch)
mangajukan protes ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mengenai penanyang hasil Quick
Count pada putaran dua pemilukada yang tidak sesuai dengan fakta lapangan. Gugatan yang
diajukan oleh IMW (Indonesia Media Watch) berkaitan dengan hasil penayangan oleh Metro TV
dan TVOne. Penayangan yang dilakukan oleh TVOne pada pukul 11.00 WIB yang mana pada
waktu itu perhitungan belum selesai dilakukan dan data dari hasil rekapitulasi belum masuk ke
data pusat.
Tidak hanya Quick Count yang sering menuai kontroversi, real count dan exit poll juga
seringkali menunjukkan hasil perhitungan suara yang berbeda. Seperti yang dilansir dalam laman
BBC Indonesia, Prabowo mengklaim kemenangan 54% atas Jokowi. Tentu saja kemenangan ini
menimbulkan pertanyaan akan keakuratannya, sebab perhitungan real count menunjukkan bahwa
pasangan presiden nomor urut 02 meraih 43%. Hal ini jelas menjadi sorotan karena bagaimana
bisa pasangan presiden nomor urut 02 mengklaim kemenangannya hanya berdasarkan basis
perhitungan real count di 300.000 TPS. Sedangkan data yang diperoleh belum 100% dari data
keseluruhan. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai kredibilitas dari lembaga
perhitungan suara. Dan polemik yang terjadi dapat menimbulkan turunnya trust masyarakat
tentang perhitungan suara yang benar. Bahkan dampak terbesarnya adalah penggiringan opini
oleh masyarakat yang seolah-olah dalam pemilihan baik presiden maupun lembaga lainnya
merupakan permainan antara kubu satu dengan kubu yang lainya. Dalam analisis ini
menawarkan sebuah kebaruan yaitu efisiensi dalam perhitungan suara.
Perbandingan analisis pertama menghasilkan jawaban bahwa pengembangan aplikasi
Real Count pilkada dengan menggunakan konsep Paralel Vote Tabulation (PVT) pada tiap KPU
dalam membantu kinerja KPU pusat dalam menentukan pemenang dalam pemilu maupun
pemilukada di setiap daerah tanpa harus menunggu hasil perhitungan manual yang
membutuhkan tenggat waktu dan proses yang sangat lama. Dalam analisis pertama ini, konsep
Paralel Vote Tabulation (PVT) diperkirakan sangat akurat terhadap tingkat ketelitian. Hal ini
dinyatakan dapat meminimalisir terjadinya klaim atau pengakuan baik paslon dan kubu paslon
sebagai pemenang dan masyarakat juga memperoleh informasi yang akurat. Analisis kedua lebih
kepada prinsip HAM. Dimana pengumuman mengenai hasil hitung cepat (Quick Count) dinilai
apakah sejalan dengan prinsip HAM yang mendukung atas jaminan kebebasan hak sipil dan
politik. Karena rekapitulasi hitung cepat (Quick Count) bila ditinjau dari hak asasi manusia maka
termasuk kedalam derogable rights, yang mana harus dibatasi atas hak asasi manusia orang lain
dalam tertib berkehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Selain itu hasil
dalam hitung cepat (Quick Count) sejalan dengan prisip partisipasi politik warga Negara dalam
bentuk keterlibatan sipil (civil engagement). Karena keterlibatan warga yang ikut dalam
pelasanaan pemilu melalui hitung cepat dalam pemilu mampu mempersempit kemungkinan
terjadinya kecurangan yang dilakukan pada saat tahap rekapitulasi di berbagai tingkatan. Dari
beberapa kasus perbedaan dalam perhitungan suara diatas masih diperoleh hasil dimana sering
terjadinya kesalahan entry data pada saat proses perhitungan. Dalam analisis kali ini peneliti
ingin mengetahui apakah dari ketiga cara dalam rekapitulasi pemilu masih dapat dikategorikan
efisien sedangkan masih banyak dijumpai mengenai kecurangan dalam proses perhitungan suara.
METODE
Analisis ini menggunakan metode analisis kualitatif dengan meneliti data di berdasarkan
studi dokumentasi artikel, skripsi, jurnal dan analisis lainnya, dengan cara mengkajian ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku dan fenomena apa yang sedang terjadi di pemilihan umum yang
dilaksanakan di Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Menarik dengan kesimpulan dari ulasan dan pembahasan terkait jenis ketiga perhitungan
suara yang sampai sekarang masih digunakan. Pendapat dari beberapa hasil survei ada yang
berpendapat bahwa masih bersifat efisiensi. Tetapi jika dianalisis lebih mendalam terkait
efisiensi atau tidak maka dilihat dair fakta dalam pemilu serentak tahun ini masih muncul banyak
persoalan terkait menimbulkan efek ke masyarakat termasuk lelahnya dalam perhitungan atau
sistem pemilu sehingga membuat lelah dan banyak pengawas TPS yang meninggal. Sedangkan
ditelisik dari tahun ke tahun, pada informasi televisi banyak sekali terjadi kerancuan dalam
informasi persentasi hasil pasangan calon oleh sehingga itu menimbulkan persepsi terkait siapa
yang lebih unggul. Hal ini dapat menyebabkan informasi yang bersifat hoaks bagi masyarakat
dan pastinya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terkait pemilu berikutnya. Maka dari hal
tersebut perlu adanya perubahan dalam perhitungan suara yang lebih sistematis, praktik dan
hemat waktu.
Saran
Semua pihak tidak hanhya stakeholders harus mendorong dan mengajak masyarakat agar
tidak mudah percaya terhadap berita yang tidak resmi, terutama di media sosial. KPU harus
mengajak masyarakat mengenali situs yang memberi berita, isi beritanya dan mengetahui siapa
yang menyampaikan. Masyarakat juga perlu berhati-hati dengan judul yang memprovokasi.
Usahakan tidak hanya membaca judul saja karena terkadang masyarakat hanya membaca judul
tanpa membaca secara keseluruhan isi berita. Jika terlihat bahwa isi berita adalah hoaks,
masyarakat dihimbau agar tidak asal mengirim dan menyebarkan berita tersebut kepada semua
orang, sangat penting dilakukan sosialisasi kepada para calon tentang kesadaran masing-masing.
Tim sukses dari capres dan cawapres, partai politik dan calon dewan harus berupaya dan
menjadikan isi berita yang mempunyai referensi. Menunjukkan tujuan, visi dan misi merupakan
contoh isi berita yang dapat menjawab persoalan dari rakyat. Cara kampanye harus berinovasi
dan menjadikan media sosial untuk bisa mendapatkan perhatian dari masyarakat. Masyarakat
juga perlu berhati-hati dengan berita yang memunculkan provokasi dan ujaran kebencian.
Kemudian, aparat penegak hukum sangat diperlukan perannya dan menjadi hal yang sangat
penting dalam melawan berita bohong. Aparat hukum wajib memberikan penegakan dan
perlindungan hukum dengan adil. Penegak hukum harus menyelesaikan masalah dengan tuntas
dengan memberikan hukuman yang berat kepada pelaku penyebar hoaks dan harus sesuai dengan
UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Supriyadi, and Husnul Hotimah, 2019. Hoaks Dalam Kajian Pemikiran. SALAM; Jurnal
Sosial & Budaya Syar-I. Vol. 2, No, 3.
Alam, Andi Syahruddin, and Muh. Iqbal Sultan, 2019. Keterbukaan Informasi Publik Melalui
Sistem Penghitungan Suara (Situng) Online Hasil Pilkada Terhadap Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Masyarakat Kota Palu. Jurnal Komunikasi KAREBA, Vol, 5. No. 1, hal. 93.
Arrsa, Ria Casmi. 2019. Pemilu Serentak Dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi. Jurnal
Konstitusi, Vol. 11 No. 3, hal. 529.
Fahmi, Khairul. 2017. Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum
Anggota Legislatif., Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 3.
Efriza, E. 2019. Penguatan Sistem Presidensial dalam Pemilu Serentak 2019. Jurnal Analisis
Politik, Vo.16, No. 1, Hal. 1-15.
Junaidi, V. 2009. Menata Sistem Penegakan Hukum Pemilu Demokratis Tinjauan Kewenangan
MK atas Penyelesaian Perselisihan Penghitungan Hasil Pemilu. Jurnal Konstitusi, Vol. 6,
No. 3, Hal. 103-143.
Mashabi, S. (2020, 22 January). Refleksi Penghitungan Pemilu 2019, Sebanyak 894 Petugas
KPPS Meninggal Dunia. Kompas.com. Retrieved
from https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/15460191/refleksi-pemilu-2019-
sebanyak-894-petugas-kpps-meninggal-dunia, at the date of April 2023.
Pahlevi, I. 2015. Pemilu Serentak dalam Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: P3DI Setjen
DPR RI Kerja Sama Azza Grafika.