Anda di halaman 1dari 6

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan buku
Pendidikan Agama Islam yang berjudul “MASJID ” yang dapat selesai pada
waktunya. Buku ini diperlukan untuk memenuhi tugas “Pendidikan Agama Islam”
serta diharapkan buku ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi bagi kami
maupun bagi para pembaca.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr.Hj. Siti
Munawati, S.Pd.I, M.Pd.I.selaku dosen Pendidikan Agama Islam yang telah
membimbing kami dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam, kepada
keluarga kami yang selalu mendukung kami, serta kepada teman-teman yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari
sempurna, Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun.Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan dengan sebaik mungkin
sehingga akan memberikan hasil yang memuaskan dan sesuai keinginan pembaca.

Tangerang,12 November 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap agama mempunyai tempat sucinya masing-masing, secaraumum
tempat suci adalah tempat yang dibangun secara khusus menurut peraturan-
peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula. Agama Hindu merupakan
salah satu agama yang diakui di Indonesia yang memiliki rumahibadah yang
disebut dengan Pura. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk
dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok.
Rumah ibadah merupakan sarana keagamaan yang penting bagi semua
pemeluk agama, baik agama budaya maupun agama Samawi (wahyu). Selain
berfungsi sebagai simbol “keberadaban” pemeluk, rumah ibadah juga
berfungsi sebagai tempat penyiaran agama dan tempat melakukan ibadah.
Rumah ibadah, selain tentunya untuk ibadah berjama'ah, juga adalah sebagai
pusat aktifitas sosial bermasyarakat. Merencanakan gotong royong,
memecahkan masalah umat, memajukan kesejahteraan umat, membantu
anggota jama'ah, semua bisa dilaksanakan di rumah ibadah.
Keberadaan rumah ibadah di Indonesia di atur dalam undang-
undang dan di dalam surat keputusan bersama (SKB) menteri
Agama dan menteri dalam Negeri nomor 9 dan 8 tahun 2006
tentang: Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah / Wakil Kepala
Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Ummat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Ummat Beragama dan Pendirian
Rumah ibadah.1
Rumah ibadah merupakan sarana keagamaan yang penting bagi pemeluk
agama di suatu tempat. Selain sebagai simbol “keberadaan” pemeluk agama,
rumah ibadah juga sebagai tempat penyiaran agama dan tempat melakukaN
ibadah. Artinya fungsi rumah ibadah di samping sebagai tempat peribadahan
1
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Ummat Beragama, PemberdayaanForum Kerukunan Ummat Beragama
dan Pendirian Rumah Ibadah, (Pekanbarau: FKKUB, 2006), hlm.4 dan 9
diharapkan dapat memberikan dorongan yang kuat dan terarah bagi
jamaahnya, agar kehidupan spiritual keberagamaan bagi pemeluk agama
tersebut menjadi lebih baik dan salah satu tempat ibadah yang dimaksud
adalah masjid.
Masjid adalah Baitullah tempat umat Islam beribadah dan kembali kepada-
Nya. Masjid merupakan simbol tempat pengabdian kepada Allah SWT,
berjama’ah dalam shaf-shaf yang teratur. Sikap dan perilaku egaliter dapat
dirasakan, kebersamaan dan ukhuwah nampak dengan jelas, serta perasaan
saling mengasihi sesama muslim terbentuk dengan baik. Di sini pula
semangat Islam dan kesatuan jama’ah menjadi nyata.
Bagi umat Islam, masjid sebenarnya merupakan segala pusat kegiatan.
Masjid bukan hanya sebagai pusat ibadah khusus seperti shalat dan i’tikaf
tetapi merupakan pusat kebudayaan dan interaksi antar umat Islam dan
masyarakat. Masjid merupakan salah satu instrumen perjuangan dalam
menggerakkan risalah yang dibawa Rasulullah SAW dan merupakan amanah
kepada umatnya. Masjid, sekali lagi, tidak bisa hanya sekedar tempat sujud
dan i’tikaf. Kalau hanya sekedar sujud untuk menghadap dan shalat kepada
Allah SWT. sebenarnya semua tempat di muka bumi ini dapat digunakan
untuk bersujud. Walaupun sebenarnya ada pengecualian tempat yang tidak
boleh digunakan untuk bersujud, yaitu kuburan, tempat perhentian binatang
ternak, jalan umum, toilet dan di atas Ka’bah. Selain 5 (lima) hal tersebut.
Ciri dari masjid dibuat untuk bisa menampung orang banyak, disesuikan
dengan keadaan penduduknya dengan minimal dapat menampung 40 orang.
Masjid biasanya memiliki mimbar yang digunakan untuk khatib
menyampaikan khutbah kepada jamaah. “Masjid adalah tempat peribadatan
yang dapat dipergunakan untuk shalat Jum’at, sedangkan tajug atau langgar
umumnya dipergunakan untuk shalat berjamaah sehari-hari” 2
Masjid juga biasanya dilengkapi dengan tempat berwudu, yakni
tempat untuk bersuci sebelum memasuki masjid. Dengan

2
Tjanadrasasmita, Uka. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di
Indonesia.(kudus: menara kudus, 2000), h.31
demikian, dapat dipahami bahwa inti terpenting dari masjid
adalah dapat berfungsi sebagai tempat sujud secara berjamaah
dengan minimal 40 orang dalam keadaan suci dari hadas (baik
kecil maupun besar).3
Di masa Rasulullah SAW, selain digunakan sebagai tempat shalat
berjama'ah, Masjid juga memiliki fungsi sosial-budaya. Bagi umat Islam
mengaktualkan kembali fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan pusat
kebudayaan adalah merupakan sikap kembali kepada sunnah Rasul; yang
semakin terasa diperlukan di era globalisasi dengan segenap kemajuannya.
Masjid memiliki tolak ukur kemakmuran. Tolak ukur tersebut baik
secara kualitas maupun kuantitas. Dalam hal kuantitas, masjid dikatakan
makmur jika jumlah jama’ah sholat lima waktu serta ragam kegiatan-
kegiatan yang diselenggarakan oleh masjid banyak. Semakin banyak maka
semakin makmur. Sedangkan, kualitas kemakmuran masjid lebih sulit
dalam pengukurannya, hal ini dikarenakan tolak ukur yang digunakan
adalah perubahan sosial yang ada di masyarakat ke arah tatanan rahmatan
lil’alamin, yang meliputi keimanan, peribadatan (mahdlah), mu’amalah,
mu’asyarat dan akhlak.
Dengan menjalankan fungsi dan layanan secara profesional berarti
masjid telah ditempatkan pada posisinya dalam masyarakat Islam. Masjid
menjadi pusat kehidupan umat. Artinya umat Islam menjadikan masjid
sebagai pusat aktivitas jama’ah dan sosialisasi kebudayaan dan nilai-nilai
Islam. Pada akhirnya, masjid diharapkan mampu membawa umat pada
keadaan yang lebih baik. Kebutuhan akan organisasi pengelolaan masjid
yang profesional. semakin tidak bisa ditawar lagi mengingat kompleksitas
kehidupan umat manusia yang semakin canggih akibat proses globalisasi,
dan kemudahan transportasi, kecepatan informasi, kemajuan teknologi dan
masyarakat yang semakin modern. Masjid harus dikelola sedemikian
baiknya sehingga aset dan potensi ini dapat berdampak luas dan
3
Schimmel, Annemarie. Mengurai Ayat-ayat Allah (Deciphering the Sign of God A
Phenomenological Approach to Islam) , (diterj. oleh M. Khoirul Anam. Depok: Inisiasi Press,
2005)
bermanfaat kepada umatnya yang terus dilanda kelemahan, kemiskinan
dan kebodohan.
Dalam upaya menjalankan fungsi dan pelayanan masjid agar berjalan
sesuai rencana tujuan yang sudah direncanakan, harus diperlukannya
manajemen pengelolaan yang baik dalam pelaksanaannya. Maka dengan
adanya manajemen akan membentuk usaha untuk memenuhi kebutuhan
dan terbatasnya kemampuan dalam melaksanakan perkerjaan serta
mendorong manusia untuk membagi pekerjaan, tugas dan tanggung
jawabnya kemudian terbentuklah organisasi yang dapat menyelesaikan
dengan baik dan meringankan pekerjaan tersebut. keperluan taklim sosial,
penataran jemaah maupun peringatan hari besar keagamaan. Pelayanan
demikian dimaksudkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membina manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki
pengetahuan yang mantap, kemandirian, serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.4
Di samping itu manusia menghadapi tantangan baik internal maupun
eksternal.Tantangan interna; tersebut meliputi berbagai keinginan, harapan
atau cita- cita yang diperjuangkan dalam hidupnya. Tantangan dapat
merupakan motivasi menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih
berdaya guna atau sebaliknya dapat menjerumuskan manusia kedalam
jurang penderitaan.5 Dalam menyikapi masjid untuk peradaban baru, maka
masjid sekarang inihendaknya tidak hanya diposisikan sebagai tempat
beribadah saja. Masjid adalah bagian penting dari kehidupan umat Islam
dalam membentuk ikatan persaudaraan, kerukunan, dan kebersatuan.
Nilai-nilai semacam ini harus ditumbuhkan lagi sebagai bentuk kesadaran
pada setiap individu. Bila bercermin pada status masjid di negara-negara
4
A. Hakim, Moh. Saleh Isre, Fungsi Sosial Rumah Ibadah dari Berbagai Agama Dalam
Perspektif Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan
Ummat Beragama, Puslitbang Kehidupan Ummat Beragama, Badan Litabang Agama dan Diklat
Keagamaan, Departeman Agama RI, 2004), hlm. 205
5
Muhaimin AG, Damai di Dunia, Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama,
(Jakarta: Proyek peningkatan pengkajian kerukunan umat beragama, Puslitbang kehidupan umat
beragama, badan Litbang Agama dan diklat Keagamaan, Departeman agama RI, 2004), hlm. 29
yang mayoritas non-Muslim, maka keberadaan masjid seolah menjadi
kebersatuan umat islam dengan adanya perasaan yang sejalan. Boleh
dikatakan, dari pertemuan di masjid itulah ikatan tali silaturahmi
terbentuk.
Kegiatan sosial budaya di masjid harus dibentuk dengan mengacu
pada lingkungan sekitarnya, bukan penerapan ajaran agama yang
sepenuhnya meniru Nabi Muhammad SAW. Memang, Nabi Muhammad
SAW adalah teladan hidup yang tidak ada duanya, tetapi umat Islam juga
hendaknya mampu menginterpretasikan agama secara lentur berdasarkan
keadaan sosial budaya di suatu tempat. Sebagai contoh, tradisi bersalaman
dimasjid yang kelihatannya sangat spele dan sederhana, namun secara
psikis mampu memberikan ikatan tersendiri sebagai sesame umat islam.
Rasa keakraban menjadi terbentuk dan terjalin melalui shalat berjamaah di
masjid. Modernisasi yang individual telah menganggap bahwa bersalaman
hanya untuk yang saling mengenal, padalah sebagai sesama manusia
adalah saudara sehingga untuk bersalaman dimasjid tidak perlu untuk
membeda-bedakan asal usul Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran
dalam rekonstuksi pemikiran agama dalam Islam agar seorang Muslim
menyesuaikan pandangan agamanya pada unsur-unsur kebudayaan yang
diselaraskan dari rakyat yang ada di sekitarnya.6

6
Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (The
Reconstruction of Religious Thought ini Islam)( Yogyakarta: Jalasutra., 2002) h.53

Anda mungkin juga menyukai