Anda di halaman 1dari 10

Analisis SWOT atas Potensi Pengembangan Industri Solar Panel di Provinsi

Kepulauan Riau Sebagai Solusi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi


Regional dan Permasalahan Elektrifikasi

Nama : Muhamad Ameer Noor


Email : m.ameer.noor92@gmail.com
Program Studi : Ekonomi Pembangunan

ABSTRAK

Kepulauan Riau saat ini mengalami permasalahan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan rasio
elektrifikasi yang rendah. Pengembangan industri solar panel dapat menjadi solusi atas dua permasalahan
tersebut. Dari sisi ekonomi, industri solar panel memiliki potensi pasar yang besar, baik di tingkat regional,
nasional, maupun internasional, seiring dengan penetapan target rasio elektrifikasi, bauran energi
terbarukan, dan sustainable development goals (SDGs), serta peningkatan kesadaran masyarakat di dunia
mengenai isu perubahan iklim. Dari sisi elektrifikasi, berkembangnya industri solar panel di Provinsi
Kepulauan Riau dapat dimanfaatkan untuk menjadi penyedia pengadaan pembangkit listrik tenaga surya
(PLTS). PLTS dengan sistem off-grid di masing-masing pulau dapat lebih efisien di wilayah kepulauan
dibandingkan pembangkit listrik konvensional dengan sistem on-grid dengan jalur transmisi lintas lautan,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyediakan listrik di pulau-pulau berpenduduk sedikit yang masih
belum mendapatkan akses listrik. Analisis SWOT menjadi dasar untuk melihat lebih dalam kondisi-kondisi
internal dan eksternal yang dapat menjadi pendorong atau penghambat pengembangan industri solar
panel dan peningkatan rasio elektrifikasi Provinsi Kepulauan Riau. Secara umum, Provinsi Kepulauan
Riau memiliki banyak kekuatan dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk rencana tersebut, namun
terdapat beberapa kelemahan dan ancaman yang perlu diantisipasi untuk memastikan keberhasilannya.
Kata kunci: Provinsi Kepulauan Riau, SWOT, ekonomi, solar panel, elektrifikasi

1
I. PENDAHULUAN

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi paling sejahtera
nomor empat di Indonesia menurut ukuran Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB)
per Kapita, yang mencapai 110 juta Rupiah di tahun 2017. Hal tersebut tidak terlepas dari lokasi yang strategis dan
implementasi Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun (FTZ BBK) yang mendorong sektor industri sebagai
pendorong ekonomi provinsi tersebut. Tingginya kontribusi sektor industri terhadap perekonomian Provinsi
Kepulauan Riau tercermin dalam porsinya yang mencapai 36,75% terhadap PDRB ADHB tahun 2017, serta koefisien
korelasi pertumbuhan antara sektor industri dan PDRB agregat Provinsi yang mencapai 95,15%. Seiring dengan
perlambatan pertumbuhan sektor industri di Provinsi Kepulauan Riau dari 8,07% di tahun 2012, menjadi 1,56% di
tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau juga terus melambat dari 7,63% di tahun 2012 menjadi
hanya 2,02% di tahun 2017. Salah satu penyebab utama perlambatan tersebut adalah penurunan iklim investasi
akibat adanya dualisme otoritas antara BP Batam dan Pemerintah Daerah serta peningkatan UMR yang tinggi
(sebesar 45,51% di tahun 2013 untuk Kota Batam), sehingga beberapa investor mengalihkan produksinya ke
Vietnam dan Thailand.

Selain pertumbuhan ekonomi, Provinsi Kepulauan Riau juga memiliki permasalahan dalam rasio elektrifikasi yang
per tahun 2015 hanya sebesar 73,53%, berada di bawah rasio nasional sebesar 88,30%, dan menduduki peringkat
ketujuh terbawah secara nasional. Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi geografis Provinsi Kepulauan Riau yang
terdiri dari 2.408 pulau besar dan kecil, serta 95% wilayahnya merupakan perairan. Hal tersebut menyebabkan
biaya untuk meningkatkan rasio elektrifikasi menjadi lebih mahal, khususnya ketika menggunakan sistem on-grid
karena desentralisasi pembangkit listrik di masing-masing pulau kurang memiliki skala ekonomi, sedangkan
sentralisasi pembangkit listrik membutuhkan jaringan transimisi yang mahal untuk menghubungkan antar pulau.

Industri tenaga surya merupakan industri yang berkembang pesat sebagai alternatif energi ramah lingkungan di
dunia. Menurut laporan dari World Energy Council, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya di dunia telah
bertumbuh 229,72% dari 68.850 MW di tahun 2011 menjadi 227.010 MW di tahun 2015. Dilihat dari pertumbuhan
kapasitas, Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam periode yang sama, yakni 12 kali
lipat dari 1 MW menjadi 12 MW. Namun demikian, kapasitas 12 MW tersebut hanya berkontribusi 0,005% terhadap
total kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dunia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa adopsi tenaga surya di
Indonesia berjalan lambat. Dalam periode yang sama, negara berkembang lain yang kebijakan pemerintahnya
cukup serius mengenai pemanfaatan energi tenaga surya seperti China dan India, masing-masing telah memiliki
pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 43.062 MW dan 5.167 MW di tahun 2015. Sejalan dengan tren
tersebut, perusahaan-perusahaan manufaktur solar panel di dunia juga meningkatkan kapasitas produksinya.
Praveen Duddu (2016) mencatatkan bahwa di tahun 2015, total penjualan solar panel setara dengan kapasitas
listrik 50,8 GW, dimana perusahaan-perusahaan manufaktur solar panel terbesar dunia seperti Trina Solar (RRT),
Canadian Solar (Kanada), JInko Solar (RRT), JA Solar (RRT), Hanhwa Q Cells (Korea Selatan), dan First Solar (AS),
secara berturut-turut menjual sebesar 5,74, 4,7, 4,51, 3,93, 3,3, dan 2,8 GW. Sementara itu, menurut Asosiasi

2
Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), per tahun 2017, kapasitas produksi solar panel agregat perusahaan-
perusahaan di Indonesia yang tergabung dalam APAMSI baru sebesar 500 MW per tahun.

Pengembangan industri solar panel dengan potensi pasarnya yang besar dapat menjadi solusi bagi penurunan
kinerja sektor industri maupun rasio elektrifikasi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Potensi pasar regional Provinsi
Kepulauan Riau tercipta dari kebutuhan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi melalui sistem off-grid. Potensi
pasar nasional didorong oleh adanya target bauran energi terbarukan. Potensi pasar internasional tercermin dalam
peningkatan kesadaran masyarakat dunia mengenai isu perubahan iklim (climate change). Untuk menganalisis lebih
dalam potensi industri solar panel tersebut, karya ilmiah ini menggunakan analisis Strengths, Weaknesses,
Opportunities, dan Threats (SWOT).

II.ISI

II.I ANALISIS SWOT


Analisis SWOT merupakan metode untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu kondisi untuk kemudian dijadikan bahan perencanaan. Empat
faktor yang dievaluasi tersebut seringkali disingkat sebagai SWOT (strengths, weaknesses opportunities, dan
threats). Dalam karya ilmiah ini, strengths adalah kekuatan internal, weaknesses adalah kelemahan internal,
opportunities adalah peluang eksternal, dan threats adalah ancaman eksternal yang dapat menjadi faktor
pendorong atau penghambat pengembangan industri solar panel di Provinsi Kepulauan Riau. Secara singkat, empat
faktor tersebut dapat dijabarkan dalam tabel berikut:

Tabel I. Ringkasan SWOT Pengembangan Industri Solar Panel di Provinsi Kepulauan Riau

KEKUATAN (Strenghts) KELEMAHAN (Weaknesses)


 Insentif Fiskal dari Free Trade Zone Batam, Bintan,  Upah Minimum Regional (UMR) yang sudah
Karimun (FTZ BBK) cukup tinggi di wilayah industri Kota Batam
 Memiliki kawasan industri berbasis elektronik  Kesadaran pentingnya sumber energi ramah
yang cukup besar lingkungan masyarakat Indonesia yang masih
rendah

PELUANG (Opportunities) ANCAMAN (Threats)


 Lokasi strategis di jalur perdagangan Selat Malaka  Perang dagang dan risiko pengenaan tarif
 Lokasi wilayah tropis yang optimal untuk terhadap negara-negara berkembang
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)  Persaingan dalam menarik investasi sektor
 Memiliki wilayah kepulauan yang membutuhkan industri dari negara-negara tetangga seperti
pembangkit listrik off-grid Vietnam, Kamboja, dan Myanmar.
 Target bauran energi terbarukan nasional 23% di
tahun 2025
 Pengaturan penjualan listrik rumah tangga pada
PLN
 Tren peningkatan adopsi tenaga surya di dunia

3
II.II KEKUATAN (STRENGTHS)
Dalam karya ilmiah ini, faktor kekuatan adalah kondisi internal yang dapat mendukung pengembangan industri
solar panel di Provinsi Kepulauan Riau. Terdapat dua faktor kekuatan yang dapat diidentifikasi, yakni keberadaan
Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun (FTZ BBK) dan konsentrasi sub sektor industri Barang dari Logam,
Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik yang cukup tinggi di Provinsi Kepulauan Riau.

Penetapan sebagian wilayah Provinsi Kepulauan Riau sebagai Free Trade Zone memberikan insentif fiskal dalam
bentuk pembebasan berbagai jenis pajak sehingga mendorong penanaman investasi di sektor industri. Keberhasilan
menarik investasi sektor industri tersebut tercermin dalam kontribusi sektor industri pengolahan yang sempat
mencapai 38,98% terhadap Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB) Provinsi
Kepulauan Riau di tahun 2013. Meskipun kontribusi tersebut menurun menjadi 36,75% di tahun 2017 karena
penurunan iklim investasi setempat, namun kontribusi tersebut masih jauh lebih besar dibandingkan kontribusi
tingkat nasional yang hanya sebesar 20,16% dari Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDB ADHB)
nasional. Apabila diukur dengan Location Quotient (LQ), hal tersebut menunjukkan bahwa sektor industri
merupakan sektor unggulan dari Provinsi Kepulauan Riau.

Keberhasilan pemberian insentif fiskal dalam mendorong ekonomi Provinsi Kepulauan Riau juga tercermin dalam
tingkat urbanisasi yang tinggi. Hasil penelitian pertumbuhan penduduk kota-kota di dunia (Demographia, 2015),
menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi Kota Batam merupakan yang tertinggi di dunia. Tingginya investasi
yang masuk, mendorong pembentukan pusat perekonomian sehingga menjadi magnet urbanisasi dari wilayah-
wilayah Indonesia lainnya.

Sejalan dengan keberadaan FTZ BBK di Provinsi Kepulauan Riau, komponen sektor Industri Pengolahan yang
memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB ADHB adalah Industri Barang dari Logam, Komputer, Barang Elektronik,
Optik dan Peralatan Listrik. Sub sektor tersebut menyumbang hingga 19,60% terhadap PDRB ADHB Provinsi
Kepulauan Riau tahun 2017.

Dikaitkan dengan strategi pengembangan industri solar panel, FTZ BBK memberikan kekuatan internal dari segi
biaya yang lebih murah untuk memproduksi solar panel di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Dilihat dari segi tenaga
kerja, tingginya konsentrasi sub sektor Industri Barang dari Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik dan
Peralatan Listrik juga menjadi kekuatan karena mengindikasikan bahwa tenaga kerja di Provinsi Kepulauan Riau
hanya membutuhkan sedikit penyesuaian apabila dialihkan untuk memproduksi solar panel yang memiliki teknologi
serupa dengan barang-barang elektronik.

II.III KELEMAHAN (WEAKNESSES)


Dalam karya ilmiah ini, faktor kelemahan adalah kondisi internal yang dapat menghambat pengembangan industri
solar panel di Provinsi Kepulauan Riau. Faktor kelemahan yang dapat diidentifikasi adalah Upah Minimum Regional
(UMR) yang tinggi, khususnya di Kota Batam, serta kesadaran masyarakat yang masih rendah mengenai pentingnya
sumber energi ramah lingkungan.

4
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan industri adalah upah yang kompetitif. Adapun upah
merupakan salah satu kelemahan internal yang dimiliki oleh Provinsi Kepulauan Riau. Mengacu pada data Badan
Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Provinsi Kepulauan Riau sendiri pada tahun 2016 sebesar Rp.2.178.710, hanya
9,05% lebih tinggi dibandingkan rata-rata upah nasional yang sebesar Rp.1.997.819. Namun demikian, sebagian
besar industri di Provinsi Kepulauan Riau terkonsentrasi di Kota Batam, dimana upah minimum tahun 2016 sudah
mencapai Rp.2.994.111 atau 49,87% lebih tinggi dari rata-rata upah nasional.

Tingginya upah minimum di Kota Batam tidak terlepas dari kenaikan upah minimum tahunan yang besar di kota
tersebut. Kenaikan upah bahkan sempat mencapai 45,51% di tahun 2013. Upah minimum Kota Batam yang terus
melonjak juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan iklim investasi dan melambatnya
pertumbuhan sektor industri di Provinsi Kepulauan Riau. Untuk itu, pengembangan industri solar panel perlu
didukung adanya pemahaman dari Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Serikat
Buruh mengenai pentingnya stabilitas upah dalam keputusan investor untuk berinvestasi. Oleh karena itu,
kelemahan ini perlu ditanggulangi dengan sosialisasi atau dialog bersama antara seluruh pemangku kepentingan
ekonomi industri di Provinsi Kepulauan Riau.

Faktor lain yang berpotensi menghambat pengembangan industri solar panel adalah kesadaran masyarakat di
negara berkembang seperti Indonesia akan pentingnya sumber energi yang berkelanjutan untuk mencegah
perubahan iklim (climate change) masih relatif rendah. Rendahnya kesadaran tersebut juga berlaku di Provinsi
Kepulauan Riau, sebagai salah satu Provinsi di Indonesia. Hal ini menyebabkan permintaan pembangunan
pembangkit listrik energi terbarukan seperti PLTS juga rendah, baik dari masyarakat secara umum, maupun dari
pemerintah yang merupakan wakil terpilih dari rakyat. Oleh karena itu, untuk mengembangkan industri solar panel,
pemerintah terlebih dahulu perlu melakukan intervensi dengan menciptakan permintaan solar panel. Permintaan
tersebut dapat diciptakan dengan memasukkan energi terbarukan dalam agenda prioritas pembangunan
pemerintah seperti dengan pembangunan PLTS, penerangan lampu jalan dengan solar panel, elektrifikasi gedung
dan bangunan pemerintahan dengan tenaga surya, subsidi listrik rumah tangga bertenaga surya, dan lain
sebagainya.

II.IV PELUANG (OPPORTUNITIES)


Dalam karya ilmiah ini, faktor peluang adalah kondisi eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong
pengembangan industri solar panel di Provinsi Kepulauan Riau. Faktor peluang yang dapat diidentifikasi adalah
lokasi strategis di jalur perdagangan Selat Malaka, lokasi wilayah tropis yang optimal untuk PLTS, kondisi geografis
kepulauan yang membutuhkan pembangkit listrik off-grid, target bauran energi terbarukan nasional, regulasi
penjualan listrik dari rumah tangga kepada PLN, serta tren peningkatan pemanfaatan energi tenaga surya di dunia.

Provinsi Kepulauan Riau terletak di lokasi perdagangan yang strategis yakni Selat Malaka, dimana hal tersebut
merupakan peluang untuk mengembangkan wilayah industri, karena transportasi untuk ekspor ke negara-negara
lain di berbagai belahan dunia relatif lebih mudah. Menurut The World Economic Forum (2014), Selat Malaka
merupakan jalur perdagangan paling sibuk nomor dua di dunia. Sejalan dengan hal tersebut, pelabuhan-pelabuhan

5
di Selat Malaka seperti Port of Singapore di Singapura, serta Port of Tanjung Pelepas dan Port of Klang di Malaysia
secara berturut-turut merupakan pelabuhan transshipment tersibuk nomor satu, enam, dan tiga belas dunia
(Deutsche Bank Research, 2006).

Negara tropis seperti Indonesia, pada umumnya memiliki jam eksposur yang lebih panjang terhadap matahari. Hal
tersebut menciptakan potensi pemanfaatan energi tenaga surya yang lebih besar di wilayah tropis. Sejalan dengan
itu, penelitian Salman Ahmad (2014) menemukan potensi tenaga surya berada pada titik optimal pada daerah di
sekitar 0 sampai dengan 30 derajat khatulistiwa. Adapun seluruh wilayah Provinsi Kepulauan Riau berada di area
optimal tersebut.

Dalam konteks kebijakan nasional, administrasi pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki target 100-0-100
dimana salah satu targetnya adalah rasio elektrifikasi Indonesia sebesar 100%. Namun demikian, per tahun 2015,
Provinsi Kepulauan Riau memiliki rasio elektrifikasi terendah ketujuh secara nasional dengan rasio elektrifikasi
sebesar 73,53%, jauh di bawah rasio nasional sebesar 88,30%. Salah satu penyebabnya adalah kondisi geografis
Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 2.408 pulau besar dan kecil, serta 95% wilayahnya merupakan perairan.

Sistem pembangkit listrik di Indonesia selama ini masih mengandalkan pembangkit listrik konvensional bertenaga
minyak, gas, dan batu bara. Pembangkit listrik tersebut membutuhkan skala ekonomi yang besar sehingga biasanya
menggunakan sistem sentralisasi on-grid, dimana pembangkit listrik besar dibangun di titik-titik tertentu, lalu
disambungkan ke wilayah luas dengan jalur transimisi skala besar (on-grid). Dalam konteks kondisi geografis yang
memiliki banyak pulau berjauhan dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit di banyak pulau, sistem sentralisasi
on-grid tersebut akan menciptakan biaya yang sangat besar karena membutuhkan jalur transmisi lintas laut yang
panjang. Oleh karena itu, sistem pembangkit listrik desentralisasi off-grid yang dapat dibangun dalam skala ekonomi
kecil-kecilan di masing-masing pulau berpotensi untuk menurunkan biaya elektrifikasi. Dengan dukungan yang
tepat dari pemerintah, hal ini penggunaan sistem off-grid terdesentralisasi berbasis tenaga surya dapat mendorong
pencapaian rasio elektrifikasi 100% serta mendukung pengembangan industri solar panel di Provinsi Kepulauan
Riau.

Dalam konteks kebijakan nasional, Indonesia juga memiliki target bauran energi terbarukan hingga 23% dari total
energi nasional. Selain itu, terdapat wacana untuk menerbitkan aturan mengenai penjualan listrik dari rumah
tangga ke PLN sebagaimana dilansir oleh media Kompas (10/08/2018). Kedua regulasi tersebut berpotensi
mendorong peningkatan permintaan solar panel di Indonesia.

Peluang lain yang dimanfaatkan adalah adanya tren peningkatan pemanfaatan energi tenaga surya di dunia.
Menurut World Energy Council (WEC), kapasitas pembangkit listrik tenaga surya di dunia bertumbuh pesat
(229,72%) dari 68.850 MW di tahun 2011 menjadi 227.010 MW di tahun 2015. WEC (2016) juga mencatatkan bahwa
kontribusi tenaga surya terhadap total produksi energi netto dunia di tahun 2015 baru mencapai 1% dan akan terus
meningkat di masa depan. Hal tersebut didukung oleh perkembangan teknologi solar panel yang mendorong
penurunan harga hingga 80% dari US$4/W di tahun 2007 menjadi US$1,8/W di tahun 2015. Sejalan dengan tren
penurunan biaya tersebut, Shoshanna Delventhal dalam Investopedia (2017) membahas mengenai survey

6
Bloomberg New Energy Finance yang memperkirakan bahwa biaya pembangkit listrik tenaga surya akan lebih
murah dari batu bara dan gas. Di negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, biaya listrik tenaga surya sudah dapat
bersaing dengan biaya pembangkit listrik tenaga batu bara baru, sedangkan di China dan India hal yang sama
diperkirakan akan terjadi di tahun 2021. Data-data tersebut menunjukkan bahwa potensi pasar solar panel dunia
akan terus berkembang, dan Indonesia, khususnya Provinsi Kepulauan Riau, sebaiknya sedini mungkin bersiap
untuk memanfaatkan potensi tersebut.

II.V ANCAMAN (THREATS)


Dalam karya ilmiah ini, faktor ancaman adalah kondisi eksternal yang beresiko menghambat pengembangan
industri solar panel di Provinsi Kepulauan Riau. Faktor ancaman yang dapat diidentifikasi adalah meningkatnya
ancaman perang dagang dan risiko pengenaan tarif terhadap negara-negara berkembang, serta peningkatan
persaingan dalam menarik investasi sektor industri dari negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand,
Malaysia, dan Kamboja.

Ancaman perang dagang berasal dari kebijakan administrasi pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat.
Tiongkok sebagai mitra dagang yang memberikan defisit terbesar bagi AS menjadi sasaran utama pengenaan tarif.
Produk solar panel dari Tiongkok merupakan salah satu produk yang terkena kebijakan tarif AS. Selanjutnya,
tindakan saling membalas pengenaan tarif baik dari jenis produk maupun tingkat tarif terus tereskalasi di antara
kedua negara tersebut. Dengan berbasiskan data neraca perdagangan, negara-negara lain yang menghasilkan
defisit neraca perdagangan bagi AS juga berisiko menjadi sasaran selanjutnya dari pengenaan tarif. Resiko
pengenaan tarif tersebut lebih besar di negara-negara berkembang karena negara-negara tersebut dengan
kelebihan upahnya yang lebih murah cenderung menjadi basis produksi bagi perusahaan-perusahaan besar yang
mengekspor produknya ke AS. Sekretaris Jenderal United Nations on Trade and Development (UNCTAD), Mukhisa
Kituyi (2018), bahkan menyatakan bahwa negara berkembang akan merasakan dampak negatif terbesar dari
perang dagang. Untuk menjamin keberhasilan pengembangan industri solar panel di Indonesia, langkah yang dapat
diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman perang dagang adalah dengan negosiasi
perdagangan dengan AS berjalan lancar baik secara langsung, maupun melalui ASEAN atau dengan memanfaatkan
fasilitas WTO.

Ancaman lainnya adalah adanya tren negara-negara berkembang di dunia untuk berlomba-lomba menarik investasi
sektor industri ke negerinya, seperti di Afrika, Asia Tenggara, Asia Selatan, Eropa Timur, Eropa Tengah, dan belahan
bumi lainnya. Secara spesifik, saingan bagi Provinsi Kepulauan Riau untuk menjadi basis manufaktur (manufacturing
hub) adalah negara-negara tetangga yang dalam pertimbangan investor memiliki biaya logistik yang mendekati.
Negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar telah meningkatkan stabilitas sosial-politik, aktif
dalam kesepakatan dagang seperti Free Trade Agreement (FTA) dan Comprehensive Economic Partnership
Agreement (EPA), serta menawarkan berbagai insentif menarik bagi investor seperti pembebasan pajak dan
pengalokasian lahan gratis. Di samping itu, Provinsi Kepulauan Riau yang relatif telah berkembang lebih dulu
dibandingkan negara-negara tersebut juga sudah mengalami kenaikan standar hidup yang diikuti oleh kenaikan
upah buruh. Hal tersebut menyebabkan tingkat upah buruh di Provinsi Kepulauan Riau kurang kompetitif apabila
7
dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih serius dalam meningkatkan
iklim investasi di Provinsi Kepulauan Riau apabila ingin memenangkan kompetisi tersebut. Kebijakan-kebijakan
pendukung investasi yang telah digulirkan seperti pembangunan infrastruktur, debirokratisasi, pemberian insentif
pajak, serta pengendalian kestabilan peningkatan upah minimum regional perlu dipastikan bahwa penerapannya
berjalan sesuai dengan rencana.

III. KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN

III.I KESIMPULAN
Industri solar panel dapat menjadi solusi permasalahan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan rasio elektrifikasi
di Provinsi Kepulauan Riau. Dari segi pertumbuhan ekonomi, industri solar panel memiliki potensi pasar yang besar
baik di tingkat nasional, maupun internasional. Dari segi rasio elektrifikasi, pembangkit listrik tenaga surya dengan
sistem off-grid dapat menjadi solusi pengadaan listrik yang lebih terjangkau untuk wilayah kepulauan.

Kekuatan yang dimiliki oleh Provinsi Kepulauan Riau adalah insentif fiskal dari FTZ dan basis industri elektronik yang
besar sehingga peralihan tenaga kerja bisa lebih mudah. Kelemahan Provinsi Kepulauan Riau adalah UMR di Kota
Batam yang relatif tinggi dan kesadaran mengenai energi ramah lingkungan masih rendah sehingga permintaan
solar panel lokal belum mencapai skala ekonomi. Peluang yang dapat dimanfaatkan meliputi potensi ekspor dari
lokasi yang strategis, potensi tenaga surya yang optimal di wilayah tropis, terdapat banyak pulau yang cocok untuk
sistem listrik off-grid, potensi pasar nasional dari target bauran energi terbarukan dan peluang rumah tangga
menjual listrik ke PLN, serta potensi pasar internasional dari tren peningkatan permintaan energi tenaga surya.
Secara umum memiliki potensi yang sangat baik namun memerlukan dukungan, beberapa dukungan yang dapat
diimplementasikan: Sedangkan ancaman yang perlu diantisipasi adalah risiko perang dagang serta risiko persaingan
menarik investasi sektor industri.

III.II SARAN
Berdasarkan analisis SWOT tersebut, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengembangkan industri solar
panel di Provinsi Kepulauan Riau adalah:

1. Pemerintah bersama dengan pengembang kawasan industri dapat mengembangkan kawasan industri
khusus solar panel untuk menciptakan skala ekonomi, seperti konsep Sillicon Valley.
2. BKPM dan/atau BPMPD bersikap proaktif dalam menarik perusahaan-perusahaan besar industri solar panel
di dunia seperti contoh keberhasilan Investment Promotion Agency (IPA) di Kosta Rika dalam menarik Intel
(Theodore Moran, 2016).
3. Pemerintah tingkat nasional maupun lokal perlu mendorong permintaan solar panel di pasar dengan
mengintegrasikan konsep ramah lingkungan dalam pengadaan pemerintah dan memberikan subsidi atau
insentif penjualan listrik yang menarik bagi rumah tangga yang membangun pembangkit listrik tenaga surya
sendiri di rumahnya.

8
4. Pemerintah pusat perlu mensosialisasikan mengenai pentingnya energi terbarukan dalam pencegahan
perubahan iklim (climate change) dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) kepada
masyarakat dan pemerintah daerah agar political will untuk memprioritaskan energi terbarukan terbentuk.
5. Pemerintah pusat perlu mensosialisasikan kepada pemerintah daerah, DPRD, dan asosiasi buruh di Provinsi
Kepulauan Riau mengenai pentingnya stabilitas UMR terhadap iklim investasi, keputusan investasi, serta
pertumbuhan ekonomi sektor industri.
6. Pemerintah pusat perlu memastikan program-program pendukung iklim investasi seperti pembangunan
infrastruktur dan debirokratisasi berjalan dengan baik untuk memenangkan persaingan menarik investasi.
7. Pemerintah pusat perlu bersikap proaktif dalam membuka perjanjian-perjanjian dagang dengan negara
konsumen solar panel potensial untuk mencegah eskalasi dampak perang dagang.

III.III KETERBATASAN
Adapun karya ilmiah ini belum didukung oleh kuantifikasi potensi yang konkrit untuk menjadi dasar pengambilan
kebijakan yang matang berdasarkan pertimbangan manfaat dan biaya dari pengembangan industri solar panel di
Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, pengembangan selanjutnya dapat difokuskan pada analisis kuantifikasi
seperti potensi besaran kapasitas industri solar panel di Provinsi Kepulauan Riau, dampak pengembangan industri
solar panel terhadap pertumbuhan ekonomi, estimasi anggaran yang dibutuhkan, dan estimasi penghematan
sistem off-grid.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. (2014). Selection of renewable energy sources for sutainable development of electricity generation system using
analytic hierarchy process: A case of Malaysia. Pahang: Universiti Malaysia Pahang.

Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia. (2017). Produksi Panel Surya PLTS di Dalam Negeri Terus Menurun. Diakses 25
September 2018 pada https://www.apamsi.org/index.php?option=com_content&view=article &id=207:produksi-
panel-surya-plts-di-dalam-negeri-terus-menurun&catid=82:domestik&Itemid=199

Badan Pusat Statistik. (2017). Upah Minimum Regional 1997-2016. Diambil 20 September 2018 dari
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/917

Bryan, B. (2018). Trump’s Trade War with China Shows No Sign of Slowing Down, and It Might be About to get Even Worse.
Business Insider. Diakses 25 September 2018 pada https://www.businessinsider.sg/trump-china-trade-war-tariffs-
imposed-talks-2018-9/?r=US&IR=T

Council for the Development of Cambodia (CDC) Cambodian Investment Board (CIB) & Cambodian Special Economic Zone
Board (CSEZB). (2017). Investment Incentives. Diakses 2 Maret 2017 pada
http://www.cambodiainvestment.gov.kh/investment-scheme/investment-incentives.html

Delventhal, S. (2017). Solar Energy to Cost Less Than Coal by 2021. Investopedia. Diakses 25 September 2018 pada
https://www.investopedia.com/news/solar-energy-cost-less-coal-2021/

Demographia. (2015). Demographia World Urban Areas 11th Annual Edition: 2015:01. Belleville: Demographia

Deutsche Bank Research. (2006). Container Shipping. Deutsche Bank. Diambil 2 Maret 2017 dari
http://www.dbresearch.com/PROD/DBR_INTERNET_DE-%20PROD/PROD0000000000198081.PDF

9
Duddu, P. (2016). The World’s Biggest Solar Photovoltaic Cell Manufacturers. Power Technology. Diambil 25 September 2015
dari https://www.power-technology.com/features/featurethe-worlds-biggest-solar-photovoltaic-cell-manufacturers-
4863800/

Dung, N. T. (2014). Why Foreign Investment in Vietnam is Booming. World Economic Forum. Diakses 2 Maret 2017
padahttps://www.weforum.org/agenda/2014/05/foreign-investmentbooming-vietnam/

Hirst, T. (2014). The World’s Most Important Trade Route. World Economic Forum. Diambil 2 Maret 2017 dari
https://www.weforum.org/agenda/2014/05/world-most-important-traderoute/

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2016). Statistik Ketenagalistrikan 2015. Jakarta: Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral.

Kituyi, M. (2018). A Trade War will hit Developing Countries the Hardest. Japan Times. Diakses 25 September 2018 pada
https://www.japantimes.co.jp/opinion/2018/06/19/commentary/world-commentary/trade-war-will-hit-developing-
countries-hardest/

Koshpasharin, S., dan K. Yasue. (2014). Study on the Development Potential of the Content Industry in East Asia and the ASEAN
Region: SWOT Analysis, ERIA Research Project Report 2012-13, pp.95-117. Jakarta: ERIA.

Marinevesseltraffic. (2013). Malacca Strait Marine Traffic. Diakses 21 Februari 2016 pada http://www.marinevesseltraffic.com/

Moran, T. H. (2016). Attracting Foreign Direct Investment: The Case of Costa Rica. Washington: GeorgetownX. 6 menit.

Noor, M. A. dan Setyopurwanto D. (2017). Kajian Fiskal Regional Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016. Tanjungpinang: Kanwil
Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Keuangan. Diambil 25 September 2018 dari
http://www.djpbn.kemenkeu.go.id/kanwil/kepri/id/data-publikasi/publikasi-cetak/kajian-fiskal-regional-kfr.html

Pratama A.M. (10 Agustus 2018). Ini Hitungan Jual Listrik ke PLN dari Rooftop. Kompas. Diakses tanggal 19 September 2018
pada https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/10/091400226/ini-hitungan-jual-listrik-ke-pln-dari-rooftop-panel-
surya

Shane, D. (2018). Did Trump Just Start a Trade War with China?. CNN. Diakses 25 September 2018 pada
https://money.cnn.com/2018/01/23/news/economy/trump-solar-china-trade-war/index.html

World Energy Council. (2016). World Energy Resources 2016. Diambil 25 September 2018
darihttps://www.worldenergy.org/publications/2016/world-energy-resources-2016/

World Energy Council. (2013). World Energy Resources: 2013 Survey. Diambil 25 September 2018
darihttps://www.worldenergy.org/publications/2013/world-energy-resources-2013-survey/

10

Anda mungkin juga menyukai