Anda di halaman 1dari 21

Jenis-Jenis Wacana

Oleh:
Muhammad Hanif Amrulloh, S. Pd. (15715251006)
Miftahurrahman, S.Pd. (15715251015)
Satria Ariasena, S.Pd. (15715251049)

1. Pendahuluan
Manusia selalu berdialog dengan sesamanya. Tak hanya berdialog
manusia juga memperhatikan tiap bahasa yang muncul dalam kehidupannya
sehari-hari. Misalkan ketika terdapat informasi di papan jalan, mencoba
memahami isi bacaan, dan termasuk memahami obrolan lawan bicara. Dan semua
itu merupakan aktivitas analisis wacana. Aktivitas ini sejalan dengan pendapat
bahwa Analisis bahasa semestinya adalah analisis bahasa dalam penggunaannya
(Brown and Yule, 1983: I).
Terdapat berbagai bentuk wacana yang kemudian dianalisis untuk
dipahami oleh manusia. Proses pemahaman ini akan berhadapan dengan berbagai
jenis wacana yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Wacana itu dapat
berupa lisan, tulisan, maupun dalam bentuk-bentuk tertentu. Dalam wacana itu
sendiri terdapat hal-hal yang menyelimutinya. Van Dijk (2008) mengungkapkan
berbagai konteks yang muncul dalam wacana yaitu variasi, style, genre, konteks,
register, dan maksud. Konteks memang melingkari sebuah wacana dan sebagai
kunci utama dapat dipahaminya suatu teks atau tidak. Suatu wacana dapat
dipahami dan tidak dipahami bergantung dari penguasaan masing-masing mitra
tutur terhadap konteks yang ada.
Mempelajari analisis wacana sudah tentu harus mempelajari jenis-jenis
wacana itu sendiri. wacana terbagi atas beberapa jenis dan memiliki struktur serta
ciri tertentu. Renkema (2004) dalam bukunya Introduction of Discourse Studies
membagi klasifikasi wacana ke dalam 6 aspek sebagai berikut yaitu:
1. Variasi fungsi dan bentuk;
2. Bahasa tulis dan interaksi verbal;
3. Bahasa sehari-hari dan bahasa sastra;

1
4. Wacana elektronik;
5. Bentuk-bentuk yang dilazimkan dalam penggunaan resmi;
6. Mutimodalitas.
Keenam klasifikasi atau jenis wacana ini akan dikaji pada makalah ini.
Harapannya jenis-jenis wacana ini dapat dipahami oleh pembaca melalui kajian-
kajian yang akan dipaparkan ini. Keenam jenis pembagian wacana ini adalah
fokus dalam makalah ini. Dengan mempelajari jenis wacana, maka akan mudah
bagi pembaca untuk memahami analisis wacana pada tahap selanjutnya.

2. Jenis-Jenis Wacana
Secara garis besar, Renkema menilai studi wacana merupakan disiplin
ilmu yang ditekuni untuk mencari hubungan antara bentuk dan fungsi di dalam
komunikasi verbal. Studi wacana merupakan disiplin ilmu bahasa yang bertujuan
menyelidiki bukan saja hubungan antara bentuk dan makna, melainkan juga
keterkaitan antara bentuk dan fungsi bahasa di dalam komunikasi yang
menggunakan bahasa sebagai sarananya.

A. Ragam Fungsi dan Bentuk

Tiga jenis wacana utama berdasarkan model Organon

Jakobson (dalam Renkema: 2004: 59) memberikan penjelasan,


1. Divisi ini terlalu sederhana.
2. Fungsi jarang terjadi dalam bentuk murni mereka.

2
3. Banyak fungsi lebih dimungkinkan, misalnya: bahasa dapat digunakan
untuk menyembunyikan informasi, untuk memberikan instruksi, atau
menanamkan perasaan persahabatan.

Sebagai bentuk komunikasi, Wacana memiliki beberapa fungsi


sehingga muncul beberapa bentuk wacana (Renkema, 2004: 59).
Berdasarkan model Organon, ada tiga bentuk wacana, yaitu wacana
informatif, wacana naratif, dan wacana argumentatif. Wacana informatif
merupakan bentuk wacana yang mementingkan aspek simbol bahasa.
Oleh karena itu, fungsi wacana tersebut untuk menyampaikan informasi.
Di sisi lain, kalau aspek yang ditekankan dalam wacana adalah aspek
gejala (symptom), bentuk wacana adalah naratif yang berfungsi untuk
menunjukkan ekspresi. Selain itu, kalau aspek yang ditonjolkan dalam
suatu wacana adalah aspek tanda, wacana tersebut berbentuk argumentatif
yang berfungsi untuk mempengaruhi orang lain karena berisi pendapat
dan alasan yang kuat.

Fungsi menurut Jakobson (1960) (Versi perluasan dari model komunikasi)

Berdasarkan model Organon, tiga fungsi wacana tersebut masih


terlalu sederhana untuk menjadi skema dasar yang mencakup semua jenis
wacana (Renkema, 2004: 59--60). Selain itu, dalam aplikasi kehidupan,
satu wacana tidak hanya memiliki satu fungsi. Oleh karena itu, pemikiran

3
Bühler berkaitan dengan tiga fungsi wacana tersebut dikembangkan oleh
Roman Jakobson sehingga mendapat terobosan baru ada enam fungsi
wacana. Enam fungsi wacana dapat dijabarkan seperti berikut.
1. Fungsi referensial.
Pada model Organon, fungsi referensial terkait dengan aspek simbol.
2. Fungsi emotif
Fungsi ini menunjukkan sikap pengirim pesan.
3. Fungsi konatif
Fungsi ini menunjukan sebuah wacana berorientasi pada penerima
pesan.
Pada model Organon, fungsi emotif dan konatif merupakan fungsi
wacana yang terkait dengan aspek gejala dan aspek tanda.
4. Fungsi poetic,
Fungsi ini menunjukan fokus dari sebuah wacana adalah pesan yang
akan disampaikan.
5. Fungsi fatis
Fungsi ini menunjukan sebuah wacana berfungsi untuk membuka jalan
atau membuat kontak. Oleh karena itu fokus wacana dalah channel dan
kontak.
6. Fungsi metabahasa
Fungsi ini menunjujan suatu wacana berfokus pada kode.

4
1. Klasifikasi Steger (1974)

Klasifikasi Steger (dalam Renkema, 2004: 62) memberikan penjelasan,


a. Presentasi
Bentuk ini menjelaskan tuturan satu arah dalam situasi yang formal.
Selain itu, harus menetapkan atau mempersiapkan sebelumnya dan
berisi pendapat atau komentar.
b. Pesan
Bentuk ini menjelaskan tuturan satu arah dan harus menetapkan atau
mempersiapkan sebelumnya serta berisi gambaran-gambaran sebagai
inti pesan.
c. Laporan
Bentuk ini hampir mirip dengan pesan karena menjelaskan tuturan satu
arah dan harus menetapkan atau mempersiapkan sebelumnya serta
berisi gambaran-gambaran sebagai inti pesan.
d. Debat Publik
Bentuk ini menjelaskan tuturan dua arah. Selain itu, harus menetapkan
atau mempersiapkan sebelumnya dan berisi pendapat atau komentar
yang dikomunikasikan dengan tingkat predikat sederajat.
e. Percakapan

5
Bentuk ini menjelaskan tuturan dua arah. Selain itu, tanpa menetapkan
atau mempersiapkan sebelumnya dan bersifat nonformal cenderung ke
gaya persahabatan yang dikomunikasikan dengan tingkat predikat
sederajat
f. Wawancara
Bentuk ini menjelaskan tuturan dua arah. Selain itu, harus menetapkan
atau mempersiapkan sebelumnya dan berisi pendapat untuk
memperoleh informasi yang akurat.

2. Tipologi Wacana Werlich (1982)

Basic (ideal) Forms Subjective Objective


( the writer‟s perception) (what can be verified by
readers)

(1) Descriptive impressionistic technical description


description
(2) Narrative Report news story

(3) Explanatory Essay explication

(4)Argumentative Comment argumentation

(5) Instructive Instructions directions, rules,


regulations and statutes

Werlich (dalam Renkema, 2004: 63) memberikan penjelasan,


a. Descriptive (Deskriptif)
Bentuk ini menonjolkan gambaran-gambaran nyata yang dapat diterima
dan dibayangkan dengan indra dengan tujuan seoalah-olah penerima pesan
dapat merasakan dan membayangkan.
b. Narrative (Naratif)
Bentuk ini menonjolkan uraian-uraian untuk menceritakan suatu kisah atau
juga berita sehingga terdapat tokoh, alur, latar, dan sudut pandang.

6
c. Explanatory (Ekspositori)
Bentuk ini menonjolkan penjelasan-penjelasan secara informatif sehingga
bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan rasional.
d. Argumentative (Argumentatif)
Bentuk ini menonjolkan pendapat-pendapat atau komentar dengan alasan
yang kuat agar penerima pesan percaya dengan pendapat pembuat pesan.
e. Instructive (Instruktif)
Bentuk ini menonjolkan pemberian petunjuk atau keterangan untuk
sesuatu yang harus dilakukan. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan
mengandung perintah atau aturan dengan tujuan pelaksanaan dilakukan
dengan baik.

3. Tipologi Barber (1989)


Barber (dalam Renkema, 2004: 63—64) berpendapat bahwa asapek yang
berkaitan terjadinya fitur linguistik untuk fungsi komunikatif, antara lain:
a. Terlibat dibandingkan produksi informasi
b. Narasi dibandingkan dengan kekhawatiran non-normatif
c. Diuraikan dibandingkan dengan referensi situasi terikat
d. Ekspresi yang jelas persuasi
e. Abstrak dibandingkan gaya nonabstrak

Dimensi di atas mengatur sebagai berikut:


a. Interaktif dan efektif jenis wacana, seperti percakapan dan surat-surat
pribadi, serta di sisi lain teks yang sangat informatif, seperti editorial
dan prosa akademik.
b. Teks naratif dibandingkan dengan teks nonnaratif.
c. Teks yang konteksnya independen dan yang eksplisit, seperti dokumen
resmi, selain dari semua jenis wacana lainnya.
d. Iklan dan pidato politisi.
e. Abstrak dan gaya formal.

7
B. Bahasa Tulis dan Interaksi Verbal
Perbedaan antara wacana tertulis dan interaksi verbal menurut Chafe
(dalam Renkema, 2004: 65--66),
1. Menulis membutuhkan waktu lebih lama daripada berbicara.
2. Penulis tidak memiliki kontak dengan pembaca.

Faktor pertama adalah bertanggung jawab untuk integrasi melalui


penggunaan konjungsi bawahan sebagai lawan fragmentasi yang terjadi
dalam interaksi verbal. Faktor kedua adalah bertanggung jawab untuk
lepas dari masyarakat membaca dalam bahasa tertulis yang bertentangan
dengan keterlibatan yang hadir dengan interaksi-interaksi. Verbal lisan
merupakan bagian dari situasi bersama yang meliputi penutur dan
pendengar. Bahasa nonverbal dapat digunakan dalam interaksi verbal.

Menurut Bakhtin (dalam Renkema, 2004: 66—67) membeikan penjelasan,

1. Wacana dipandang sebagai interaksi dialogis


2. Bahasa yang digunakan tidak dapat dianggap satu set kata-kata dengan
arti yang abstrak seperti yang dijelaskan dalam kamus, tetapi arti dari
kata-kata yang diaktualisasikan dalam wacana.
3. Ini adalah situasi tertentu yang menentukan makna diaktualisasikan.
4. Aspek suara atau bunyi dari wacana merupakan faktor penting dalam
berbagai jenis wacana. Misalnya, berita mencerminkan sudut pandang
dari berbagai pelaku.

C. Bahasa Sehari-hari dan Bahasa Sastra


Manusia tentu akan berbicara dengan sesamanya. Saat berbicara terdapat
berbagai aktivitas untuk memahami maksud ataupun tujuan lawan bicara.
Aktivitas ini merupakan bagian dari analisis wacana. Semakin sering seseorang
berbicara dengan orang lain, maka ia akan memahami maksud ataupun
mengungkapkan hal dengan akurat (sopan dan efektif). Bahasa sehari-hari dapat
digunakan untuk memahami suatu maksud yang bersifat sehari-hari (Renkema,
2004:67). Sebagai contoh ketika kita menyebutkan bujang tua, pada kata itu
melalui pemahaman kita selama ini maka dengan cepat kita dapat paham bahwa

8
kata bujang mewakili lelaki yang belum menikah, sementara kata tua mewakili
kata orang yang sudah berumur sekitar 40 tahun ke atas. Dengan demikian kita
dapat mengetahui bahwa bujang tua mewakili seorang lelaki yang sudah tua dan
belum menikah.
Karya sastra sering kita jumpai di beberapa tempat. Misal pada sekolah,
toko-toko buku terdekat, dan perpustakaan atau tempat-tempat baca di lingkungan
kita. Terdapat beberapa karya sastra misal novel, cerpen, kumpulan puisi maupun
naskah drama. Ketika kita membacanya akan timbul perasaan yang membuat kita
kagum akan keindahan maupun kemampuan pengarang mengolah diksi dalam
mengungkapkan sesuatu. Proses kita berusaha memahami apa maksud, tujuan dan
menikmati keindahan juga bagian dari analisis wacana. Dan karena yang
dianalisis adalah bahasa sastra, maka dapat dengan spesifik kita menyebutkan
bahwa itu adalah analisis wacana sastra. Genete (1983) dalam bukunya Narrative
Discourse menjelaskan bahwa dalam sebuah karya naratif terdapat lima faktor
yang memengaruhi isinya yaitu tujuan, durasi, frekuensi, suasana, dan suara.
Kelima hal ini akan menjadi sasaran atau objek dalam analisis wacana sastra.
Perbedaan antara bahasa sehari-hari dan bahasa sastra dapat dilihat dari
fungsi komunikasi (Renkema, 2004:67). Ia mengutip pendapat Jakobson tentang
fungsi puisi sebagai alat komunikasi. Renkema mencoba menganalisis teori
Jakobson tersebut dengan memahami penjelasan mengenai axis atau garis yang
terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal yaitu sintagmatik dan
vertikal secara paradigmatik. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara
penciptaan bahasa sastra melalui bahasa sehari-hari dan bagaimana seseorang
mengungkapkan bahasa sehari-hari (berbicara langsung) melalui bahasa sastra.

Berikut ini penyusun paparkan masing-masing mengenai bahasa sehari-hari dan


bahasa sastra sebagai bagian dari jenis wacana dan hubungan keduanya yang
saling memenaruhi.
1) Bahasa Sehari-hari
Wacana dalam kehidupan kita amatlah beragam. Apakah ia berbentuk
dialog, monolog, teks tertulis, lisan, hingga tujuannya baik itu pernyataan,
perintah, maupun pertanyaan. Dalam kehidupan sehari-hari saat manusia
berhadapan dengan sebuah wacana baik teks maupun lisan ia akan berusaha

9
memahaminya dan menyimpulkan bahwa ini adalah wacana jenis a atau b serta
bertujuan tertentu. Bahasa sehari-hari sebagai bagian dari wacana juga tidak lepas
dari konteks yang menyelimutinya. Van Dijk (2008) menggambarkan bahwa
konteks ada di berbagai situasi. Misalkan pada bidang sosiologi, konteks
selanjutnya akan menghasilkan rekontekstualisasi ketika berhadapan dengan
permasalah sosial (Van Dijk, 2008:9). Bahasa sehari-hari sebagai bagian dari
masyarakat menjadi fokus bahwa konteks terdapat di dalamnya. Sebagai contoh
ketika seseorang berdialog dan saling tertawa hal itu terjadi karena keduanya
memahami konteks yang sama dan terdapat penyimpangan yang mungkin terjadi
dalam kehidupan manusia namun akan memberikan efek lucu saat dilakukan.
Seperti itulah gambaran bahwa bahasa sehari-hari muncul dalam kehidupan
manusia dan mengandung konteks untuk saling dipahami sesama partisipan.
Dalam bahasa sehari-hari bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa
yang sering manusia pahami. Misalkan bahasa yang bersifat pernyataan. Sebagai
contoh peryataan berikut.

Pemerintah akan menurunkan harga BBM.

Pernyataan di atas adalah pernyataan yang biasa didengar ataupun


didengar oleh manusia sehari-hari dalam televisi maupun surat kabar. Berikutnya
misalkan tuturan yang bersifat penolakan atau negatif.

Sudahlah! Acara itu tidak usah kita ikuti!

Tuturan di atas menunjukan suasana penolakan pada suatu acara. Manusia


biasa berinteraksi dengan cepat agar maksud yang tersampaikan juga mudah
dipahami. Manusia tentu tidak selalu bicara dalam situasi formal atau baku,
dengan begitu bahasa yang digunakan pun bisa ragam baku dan tidak baku, sesuai
dengan kebutuhan.
Masih banyak lagi bentuk bahasa sehari-hari yang dapat kita temukan
dalam kehidupan. Secara umum ciri-ciri bahasa sehari-hari adalah bahasa yang
biasa dipakai manusia dalam berkomunikasi. Ragam tersebut dapat berupa
kaidah-kaidah baku ataupun tidak baku. Manusia mengungkapkan itu untuk
mencapai tujuan komunikasi.

10
2) Bahasa Sastra
Bahasa sastra dapat ditemukan dalam karya-karya sastra seperti puisi,
cerpen, novel, dan naskah drama. Renkema (2004) mengutip pendapat Jakobson
tentang bahasa puitis mengenai teori axis terhadap seleksi dan kombinasi pada
garis horizontal yaitu aspek sintagmatis dan garis vertikal yaitu paradigmatis.
Secara mudah, pada garis vertikal yaitu paradigmatis, bahasa sastra dapat berupa
paradigma yang menggambarkan sesuatu secara tersirat dan memiliki maksud
tertentu. Penjelasan itu dapat dicontohkan pada kalimat berikut.
a. Budi melewati jalan.
b. Budi menerjang jalan.
Kedua kalimat di atas memiliki nilai rasa yang berbeda. Pada kalimat Budi
melewati jalan, merupakan kalimat yang biasa diucapkan sehari-hari dan berarti
bahwa tokoh Budi memang melewati jalan (dalam konteks bahasa sehari-hari).
Selanjutnya pada kalimat kedua yaitu Budi menerjang jalan secara maknawi
kalimat ini sama dengan kalimat pertama. Hanya saja, diksi menerjang terasa
lebih ekstrim dan memiliki nilai puitis yang berbeda. Misalkan pada bahasa sastra
itu digambarkan bahwa Budi melewati jalan yang penuh dengan tantangan seperti
serangan musuh, ideologi yang bertentangan dan bencana-bencana alam. Oleh
karena itu kata yang dipilih adalah menerjang. Dan hal ini sesuai dengan
penjelasan Jakobson tentang unsur paradigmatik dalam bahasa sastra.
Secara sintagmatik bahasa sastra dapat digambarkan dengan sebagai unsur
yang ada dalam sebuah karya sastra. Jakobson dalam Renkema (2004:68)
menjelaskan bahwa unsur sintagmatik sendiri sebenarnya terpengaruh dari unsur
paradigmatik suatu karya sastra. Unsur sintagmatik itu antara lain unsur-unsur
yang ada dalam karya sastra misalnya plot, tokoh, amanat, latar, waktu, dan lain-
lain. Penjelasan ini menjelaskan bahwa dalam paradigmatik sebuah bahasa sastra
adalah tersirat dengan arti-arti pada tiap kosakata, sedangkan pada sintagmatik
maka bahasa sastra lebih dalam dari itu berupaya untuk menelusuri makna yang
muncul dari berbagai unsur instrinsik yang ada.
Konteks dalam sastra merupakan jalan untuk menuju pemahaman manusia
terhadap teks (Van Dijk, 2008:5). Hal ini didapatkan dari bagaimana cara manusia

11
memahami, dalam kehidupan secara umum, dan dalam sastra, teks, atau
pembicaraan itu sendiri. Penyusun berasumsi bahwa sesungguhnya bahasa sastra
itu sendiri memiliki konteks-konteks tertentu untuk membawa pembaca agar
memahami teks sastra itu sendiri. Sebagai contoh misal pada puisi berikut.

Ya Rasul

Oleh: Taufik Ismail

Dari sela rimbun daun


Sejarah
Kuintip baying-bayang gamismu
Ya Rasul --------------
Rasulku!

Lewat abad-abad belantara


Penuh gelisah
Bergema gemuruh langkahmu
Ya Rasul -------------
Rasulku!

Setelah gurun
Merah
Mengitar Ka‟bah
Sehabis tahun-tahun

Resah
Mengalir cair

Daun-daun
Zaitun
Ombak putih
Benua

Langit panas
Yang salju

Jawaban kurnia
Ummat manusia

Dari sela-sela daunan


Sejarah
Melintas bayang sosokmu
Di antara tahiyat
Gerisik gamismu lewat

Lamat
Lamat

Ya Rasul, Rasulku!

12
Jika kita amati secara isi, puisi berjudul Ya Rasulku menyampaikan tentang
kerinduan umat Islam akan Rasulnya. Konteks yang menyelimuti puisi ini adalah
tentang keagamaan dan kerinduan manusia akan Rasulnya. Puisi ini memiliki
bentuk yang mencolok dengan tipografi berbentuk zig-zag. Melalui membaca
puisi ini maka akan timbul analisis wacana untuk memahami maksud dan tujuan
dari puisi ini. Kurang lebih inilah gambaran mengenai bahasa sastra sebagai
bagian dari jenis wacana.

D. Wacana Elektronik
Sejak tahun 1970an sebuah mode baru dalam komunikasi muncul.
Peristiwa ini disebut wacana elektronik, Netspeak, komunikasi web, komunikasi
mediasi computer atau e-language. Dampak dari mode komunikasi ini ini adalah
menganggap sebuah dampak besar dari televise dan telepon. Oleh karena itu ,
banyak peneliti dan para ahli mengharapkan pada tampilan baru komunikasi ini,
dan secara khusus internet, akan menungubah tatanan komunikasi (Renkema,
2004:69)
Sebagai bahasa lisan dan tertulis menyelimuti bentuk dari perubahan jenis
wacana, wacana komputer termediasi juga menggantikan perbedaan jenis wacana.
Sebuah perbedaan saat ini digunakan pada perbedaan sinkronus komunikasi dan
asinkronus komunikasi yang merupakan perbedaan utama jenis wacana umum
disajikan dalam tabel berikut.
No Jenis Contoh

1. Sinkronus Chat grup, sms, MUDs (multi-user dimension,


e.g gor recreation and education

2. Asinkronus e-mail, daftar diskusi, website

Pada kondisi di lapangan tentang pembelajaran wacana komputer


termediasi menghasilkan sedikitnya tiga pertanyaan 1. Apakah tempat komunikasi
ini antara wacana lisan dan tertulis? 2. Apa yang benar-benar baru dalam mode
baru komunikasi? 3. Apa pengaruh dari tampilan wacana komunikasi? Pada
bagian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

13
Pidato Tertulis atau Tulisan pembicaraan?
Komunikasi komputer termediasi telah mempercepat bahasa lisan dan
proses permanen komunikasi tertulis. Sebuah obrolan dalam chat grup adalah
sebuah obrolan tatap muka, tetapi mengetik lebih lambat daripada berbicara.
Sebuah kontak e-mail terlihat seperti surat saat seseorang menulisnya, tapi pada
bagian itu nampak lebih tidak formal dalam kontak e-mail hanya terlihat seperti
pesan yang dijawab oleh mesin. Apakah sebuah mode baru komunikasi dalam
campuran sempurna dapat diberi label “obrolan tekstual,” “berbicara dalam
menulis”,”Pidato tertulis‟ atau „ Tulisan pembicaraan”?
Manusia memiliki aturan tersendiri dalam berkomunikasi dengan
menggunakan peralatan ini. Misalkan kata Halo merupakan kata awal yang
diucapkan seseorang saat menggunakan telepon. Lalu penyiar berita di televisi
dengan tatanan tersendiri seperti mengucapkan salam (greeting) menyampaikan
berita dengan cepat dan akurat dan menyajikan peristiwa yang terekam di kamera
sembari menjelaskan peristiwa itu. Inilah keunikan peralatan telekomunikasi yang
menghasilkan struktur wacana baru.
Menggunakan alat telekomunikasi canggih juga memiliki faktor tertentu.
Karena peralatan yang digunakan adalah peralatan elektronik, sudah tentu akan
banyak pembayaran misal listrik, pulsa, keterbatasan alat itu sendiri, maupun
faktor lain seperti sinyal dan lain-lain. Oleh karena itu, bahasa yang efektif sangat
diperlukan dalam penyampaian wacana elektronik. Misal pada dialog
menggunakan telepon berikut.
Ani : “Halo Assalamualaikum!”
Ida : “Waalaikumsalam!”
Ani : “Halo Ida, ini Ani.”
Ida : “ Oh iya ada apa?”
Ani : “Besok kita segera mengerjakan tugas kelompok ya! Soalnya waktunya
tinggal dua hari lagi!”
Ida : “Oh iya-iya, di rumahku atau rumahmu?”
Ani : “Di rumahku saja jam 2 siang. Sepulang sekolah oke?”
Ida : “Ok…ok siap!”
Ani : “Gitu aja ya, Assalamualaikum!”

14
Ida : “Waalaikumsalam.”
Seiring dengan bertambahnya pengetahuan manusia, dengan mendengarkan atau
melihat struktur dan aturannya saja maka kita dapat mengetahui bahwa ini adalah
pembicaraan lewat telepon. Stile yang khas sangat terlihat pada kata halo dan
ditutup dengan salam, juga didukung dengan pembicaraan yang efektif.
Pembicaraan yang efektif ini juga akan mempengaruhi pulsa yang dikeluarkan.
Jika pembicaraan dapat efektif maka pulsa yang dikeluarkan tidak terlalu banyak.
Brown dan Yule (1988: 9) menyebutkan bahwa pembicaraan yang
direkam menggunakan tape recorder merupakan contoh teks lisan. Tape recorder
merupakan contoh media elektronik yang dapat menghasilkan wacana. Oleh
karena itu pembicaraan menggunakan alat komunikasi cenderung berbentuk teks
lisan. Misalkan saat seseorang berbicara lewat telepon maupun siaran televisi.
Meskipun begitu, wacana yang ditulis dalam internet tidak bisa semena-mena
dianggap teks lisan. Sebab informasi yang disajikan dalam bentuk teks tertulis dan
menggunakan struktur wacana tulis tertentu. Pernyataan ini juga sesuai dengan
pendapat Renkema (2004) mengenai munculnya berbagai aspek terkait wacana
elektronik. Bahwa wacana elektronik cenderung ke bahasa lisan, wacana
elektronik juga memunculkan bahasa tulis yang efektif, wacana elektronik
mempertimbangkan berbagai maksim dalam penyajiannya, wacana elektronik
cenderung menciptakan kreatifitas, dan wacana elektronik dapat berkombinasi
baik lisan maupun tulisan yang menghasilkan multimodal teks. Dengan demikian
wacana elektronik dapat dikatakan memiliki struktur tersendiri yang tidak dapat
disepadankan strukturnya dengan wacana yang lain.

15
E. Bentuk-Bentuk yang Dilazimkan dalam Penggunaan Resmi

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa wacana (discourse)


memiliki cukup banyak bentuk maupun fungsi dalam penggunaannya sebagai
media komunikasi ditinjau dari model organon yang dijadikan siklus komunikasi
(fungsi) model Jacobson. Lebih jelasnya perhatikan tabel berikut.

Tabel.1

Model organon Fungsi Tipe

Simbol (symbol) Informasi Wacana informasi

Gejala (symptom) Ekspresi Wacana naratif

Tanda (signal) Persuasi Wacana argumentatif

Dalam tabel tersebut menjelaskan pada dasarnya wacana menggunakan tiga


model pengorganisasian konsep yaitu simbol (symbol) tidak terlepas dari
penggunaan bahasa (language) kemudian gejala (symptom) yang mengarah pada
ekspresi (expression) dan tanda (signal) yang bertujuan untuk persuasif mengajak
maupun mempengaruhi. Fungsinya sebagai informasi (wacana informasi)
disampaikan dengan gaya formal (formal style) dengan maksud bahwa simbol
sebagai tipe wacana informasi digunakan dalam tataran bahasa ilmiah. jadi jenis
atau model wacana sebenarnya ditentukan dari bagaimana penulis/pembicara
mengungkapkan tujuannya pada lawan bicara. Kemudian fungsinya sebagai
ekspresi (expression), di dalam buku pengenalan wacana (introduction of
discourse study) Renkema 2004 partisipan diberi istilah addresser dan addressee.
Penutur (addresser) dan mitra tutur (addressee) merupakan konsep yang
dikemukakan oleh Roman Jacobson. Dia mengemukakan bahwa dalam proses
komunikasi wacana naratif terjadi keterlibatan emosi (involved emotive) penutur
mengekspresikan sikapnya akan sesuatu hal yang menjadi topik pembicaraan
sementara itu pada sisi penerima terjadi proses respon (conative) berupa

16
tanggapan dari apa yang disampaikan oleh si penutur tadi contohnya bisa berupa
memberikan perintah atau arahan melakukan sesuatu. Ini berlaku juga pada
wacana argumentatif (persuasion) pada partisipan dengan jumlah bervarasi.

Selain model maupun tipe yang dikemukakan oleh Jacobson mengenai tiga
peranan wacana tersebut ada bentuk dasar (basic form) yang dikemukakan oleh
Werlich dalam Werlich’s discourse typology (1982) dalam Renkema 2004. Yaitu
pada tabel berikut.

Tabel.2

Bentuk Dasar Subjektif Objektif

Deskriptif Deskripsi mengesankan Teknik mendeskripsikan

Naratif Laporan Berita dan cerita

Eksplanatori/eksposisi Esai Menjelaskan

Argumentatif Komentar Argumentasi

Instruktif/prosedural Petunjuk Arahan,aturan, maupun


keadaan

Lebih penting yang perlu diketahui adalah jenis yang menjadi batasan
konsep dari setiap model maupun tipe wacana sebagaimana yang dikemukakan
oleh Swales (1990). Karakteristik dari jenis yang dimaksud dapat dijelaskan
berikut ini. Jenis (genre), Sebagaimana definisi oleh Swales dalam Rankema
2004.

Genre merupakan peristiwa komunikasi dengan konsentrasi pada bentuk dan


isi untuk mencapai pemahaman. Mendeskripsikan tipe wacana mengarah pada
jenis (genre) yang akan ditonjolkan ketika pada situasi tertentu. Sebuah wacana di
dalam situasi-situasi tertentu akan memiliki lebih kurangnya kesamaan
karakteristik dan itu menentukan tipe dari wacana itu sendiri. Pemahaman tentang
jenis (genre) tidaklah ditentukan oleh bentuk dasar leksikal yang sama maupun

17
gramatikal atau tidaklah dibatasi oleh pendengar atau pembaca melainkan tujuan
utamanya sebagai sarana komunikasi untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut
tercipta dalam kontak bahasa yang terjadi dalam peristiwa komunikasi.

Berbicara tentang tujuan, dalam pembahasan ini terdapat batasan bentuk dan
isi. Swales dalam Renkema (2004) memaparkan dua batasan jenis dari isi yaitu
Struktur (structure) dan gaya (style) wacana yang sangat menentukan tipe wacana
berdasarkan penyampaian isi; positive letter dan negative letter. Positive letter
biasanya bahasa yang digunakan lebih komunikatif mengundang rasa senang
(antusias) ketika membaca atau mendengar dan menggunakan gaya mengajak
(inviting style) sedangkan negative letter lebih menitikberatkan dalam bentuk
formal (formal style) dan fokus pada akhir kontak komunikasi berupa kesimpulan.

F. Multimodalitas

Renkema (2004) mengungkapkan bahwa pemahaman awal tentang multi


modalitas (multi model) merupakan perpaduan model (mix of model) yang
digunakan secara bersamaan. Saat ini penyajian wacana tidak sebatas pada
penggunaan teks saja tetapi melibatkan berbagai model berupa gambar, suara,
maupun grafik yang tentu saja mendukung agar informasi yang disajikan melalui
teks lebih jelas. Jenis wacana yang menyajikan penggunaan berbagai model
perpaduan tersebut dianalisis berdasarkan lima level struktur yang menetapkan
apakah jenis teks tersebut digolongkan ke dalam wacana elektronik atau wacana
teks. Adapun lima level tersebut sebagai berikut.

Lima level analisis multimodalitas dalam wacana (the GeM model) dalam
Renkema 2004.

1. Struktur Isi (content structure)


Data mentah dari dokumen yang dibentuk
2. Struktur Retoris (rhetorical structure)
Fokus pada respon audiens dan hubungannya dengan unsur-unsur
komunikasi
3. Struktur Tampilan (layout structure)
Tampilan dan posisi unsur-unsur komunikasi pada teks

18
4. Struktur navigasi (navigation structure)
Bagaimana teks wacana sebagai dokumen yang dikonsumsi oleh
audiens
5. Struktur Bahasa (linguistic structure)
Struktur bahasa yang digunakan sebagai tampilan

Penyajian dari multimodal ini dalam wacana memiliki pola khusus yang bisa
dianalisis sebagai kajian wacana. Hierarki representasi (hierarchical
representation) sebagaimana yang diungkapkan Gannet dalam Renkema (2004)
menunjukkan hubungan diantara bagian-bagian isi tanpa membedakan
kebahasaan dan grafik yang menyajikan informasi.

3. Penutup
Simpulan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Studi wacana merupakan disiplin ilmu bahasa yang bertujuan menyelidiki
bukan saja hubungan antara bentuk dan makna, melainkan juga
keterkaitan antara bentuk dan fungsi bahasa di dalam komunikasi yang
menggunakan bahasa sebagai sarananya.
b. Dalam memahami, menguraikan, dan menganalisis secara tepat
diperlukan klasifikasi atau pembagian. Kita perlu mengetahui terlebih
dahulu jenis wacana ketika melakukan analisis. Pemahaman tersebut
sangat penting supaya proses pengkajian, pendekatan, dan teknik analisis
wacana yang digunakan tepat dan sesuai yang diharapkan.
c. Renkema (2004) mengungkapkan bahwa bahasa sehari-hari dan bahasa
sastra dapat saling berimplikasi. Ia mengutip pendapat Jakobson tentang
fungsi puisi sebagai alat komunikasi. Renkema mencoba menganalisis
teori Jakobson tersebut dengan memahami penjelasan mengenai axis atau
garis yang terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal yaitu
sintagmatik dan vertikal secara paradigmatik. Hal ini menjelaskan bahwa
terdapat hubungan antara penciptaan bahasa sastra melalui bahasa sehari-
hari dan bagaimana seseorang mengungkapkan bahasa sehari-hari
(berbicara langsung) melalui bahasa sastra.

19
d. Peralatan telekomunikasi canggih seperti internet, telepon, televisi dan
lain-lain telah mengubah tata cara manusia berkomunikasi (Renkema,
2004). Manusia memiliki aturan tersendiri dalam berkomunikasi dengan
menggunakan peralatan ini. Misalkan kata Halo merupakan kata awal
yang diucapkan seseorang saat menggunakan telepon. Lalu penyiar berita
di televisi dengan tatanan tersendiri seperti mengucapkan salam (greeting)
menyampaikan berita dengan cepat dan akurat dan menyajikan peristiwa
yang terekam di kamera sembari menjelaskan peristiwa itu. Inilah
keunikan peralatan telekomunikasi yang menghasilkan struktur wacana
baru.
e. Tiga model pengorganisasian konsep yaitu simbol (symbol) tidak terlepas
dari penggunaan bahasa (language) kemudian gejala (symptom) yang
mengarah pada ekspresi (expression) dan tanda (signal) yang bertujuan
untuk persuasif mengajak maupun mempengaruhi. Fungsinya sebagai
informasi (wacana informasi) disampaikan dengan gaya formal (formal
style) dengan maksud bahwa simbol sebagai tipe wacana informasi
digunakan dalam tataran bahasa ilmiah. jadi jenis atau model wacana
sebenarnya ditentukan dari bagaimana penulis/pembicara mengungkapkan
tujuannya pada lawan bicara. Kemudian fungsinya sebagai ekspresi
(expression), di dalam buku pengenalan wacana (introduction of
discourse study) Renkema 2004 partisipan diberi istilah addresser dan
addressee. Penutur (addresser) dan penerima (addressee) merupakan
konsep yang dikemukakan oleh Roman Jacobson.
f. Sebuah wacana di dalam situasi-situasi tertentu akan memiliki lebih
kurangnya kesamaan karakteristik dan itu menentukan tipe dari wacana
itu sendiri. Pemahaman tentang jenis (genre) tidaklah ditentukan oleh
bentuk dasar leksikal yang sama maupun gramatikal atau tidaklah dibatasi
oleh pendengar atau pembaca melainkan tujuan utamanya sebagai sarana
komunikasi untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut tercipta dalam kontak
bahasa yang terjadi dalam peristiwa komunikasi.
g. Swales dalam Renkema (2004) memaparkan dua batasan jenis dari isi
yaitu Struktur (structure) dan gaya (style) wacana yang sangat

20
menentukan tipe wacana berdasarkan penyampaian isi; positive letter dan
negative letter. Positive letter biasanya bahasa yang digunakan lebih
komunikatif mengundang rasa senang (antusias) ketika membaca atau
mendengar dan menggunakan gaya mengajak (inviting style) sedangkan
negative letter lebih menitikberatkan dalam bentuk formal (formal style)
dan fokus pada akhir kontak komunikasi berupa kesimpulan.
h. Saat ini penyajian wacana tidak sebatas pada penggunaan teks saja tetapi
melibatkan berbagai model berupa gambar, suara, maupun grafik yang
tentu saja mendukung agar informasi yang disajikan melalui teks lebih
jelas

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian and George Yule. 1985. Discourse Analysis. Cambridge:


Cambridge University Press.
Genette, Gerrard. 1983. Narrative Discourse. New York: Cornell University.
Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John
Benjamin.

Van Dijk, Teun A. 2008. Discourse and Context A Sociocognitive Approach. New
York: Cambridge University Press.

21

Anda mungkin juga menyukai