Anda di halaman 1dari 7

1.

Pengertian Wacana

Istilah “wacana” berasal dari bahasa sansekerta wac, wak, vak. Yang


berarti berkata ataupun  berucap. Jika dilihat dari jenisnya, kata “wac” dalam bahasa sansekerta
(morfologi) termasuk kata kerja golongan III parasmae pada (m) bersifat aktif, yakni ‘melakukan
tindakan ujar‘. Kata tersebut lalu mengalami perubahan menjadi wacana Bentuk ‘ana’ yang
muncul di belakang adalah sufiks (akhiran) yang berkata membendakan.

Menurut Alwi, dkk (2003:42), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga
membentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Menurut Tarigan (dalam
Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di
atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang
mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata.

Lebih lanjut, menurut Kinneavy (dalam Supardo 1988:54) wacana pada umumnya adalah
teks yang lengkap yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan yang tersusun oleh kalimat
yang berkaitan, tidak harus selalu menampilkan isi yang koheren secara rasional. Wacana dapat
diarahkan ke satu tujuan bahasa atau mengacu sejenis kenyataan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa
yang terstruktur secara lengkap yang disajikan secara teratur dan membentuk suatu makna yang
disampaikan secara tertulis maupun lisan. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat
bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam
komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penulis.

2. Ciri-Ciri Wacana

Ciri-ciri Wacana adalah sebagai berikut :

1. Terdapat tema
2. Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
3. Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
4. Memiliki hubungan koherensi
5. Memiliki hubungan kohesi
6. Medium bisa lisan maupun tulis
7. Sesuai dengan konteks

Wacana dapat dibeda-bedakan atas beberapa macam penggolongan. Dapat dibedakan atas
wacana ilmiah dan nonilmiah. Dapat dibedakan atas wacana fiksi dan nonfiksi. Dan masih dapat
dibedakan atas penggolongan lain lagi, sesuai dengan kebutuhan penulisnya. Adanya berbagai
macam penggolongan itu disebabkan oleh perbedaan dasar penggolongan masing-masing.
Penulis dapat membedakan wacana menurut dasar penggolongan tertentu, sesuai dengan
kebutuhan pembahasannya. Wacana bedasarkan cara pemaparannya di golongkan dalam lima
bentuk, yakni narasi (kisahan), deskripsi (perian), eksposisi (paparan), argumentasi (bahasan),
persuasi.

3. Fungsi Wacana

Pada dasarnya pengenalan terhadap berbagai fungsi bahasa akan sangat membantu dalam
penelaahan wacana. Sebaliknya tanpa pengenalan terhadap berbagai fungsi bahasa akan dapat
menjadi halangan di dalam menginterpretasikan sebuah wacana. Seorang penganalisis wacana di
dalam menganalisis sebuah wacana harus selalu mengaitkan bentuk-bentuk bahasa yang
digunakan dengan tujuan dan fungsi di mana dan untuk apa bahasa itu digunakan dalam wacana
tersebut.

Analisis wacana pada prinsipnya adalah analisis satuan-satuan bahasa di atas kalimat
yang digunakan dalamproses komunikasi. Untuk itu analisis tidak dapat dibatasi pada
pembentukan bahasa yang bebas dari tujuan dan fungsinya. Karena itu, wacana berkaitan erat
dengan fungsi bahasa.

4. Jenis – Jenis Wacana

Berdasarkan bentuk atau jenisnya, wacana dibedakan menjadi empat yaitu:

4.1 Wacana Narasi

Narasi adalah cerita yang didasarkan pada urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa.
Narasi dapat berbentuk narasi ekspositoris dan narasi imajinatif.Unsur-unsur penting dalam
sebuah narasi adalah kejadian, tokoh, konfik, alur/plot, serta latar yang terdiri atas latar waktu,
tempat, dan suasana.

4.2 Wacana Deskripsi

Deskripsi adalah karangan yang menggambarkan/suatu objek berdasarkan hasil


pengamatan, perasaan, dan pengalaman penulisnya.Untuk mencapai kesan yang sempurna bagi
pembaca, penulis merinci objek dengan kesan, fakta, dan citraan. Dilihat dari sifat objeknya,
deskripsi dibedakan atas 2 macam, yaitu deskripsi Imajinatif/Impresionis dan deskripsi
faktual/ekspositoris.

4.3 Wacana Eksposisi

Karangan eksposisi adalah karangan yang memaparkan atau menjelaskan secara


terperinci (memaparkan) sesuatu dengan tujuan memberikan informasi dan memperluas
pengetahuan kepada pembacanya. Karangan eksposisi biasanya digunakan pada karya-karya
ilmiah seperti artikel ilmiah, makalah-makalah untuk seminar, simposium, atau
penataran.Tahapan menulis karangan eksposisi, yaitu menentukan objek pengamatan,
menentukan tujuan dan pola penyajian eksposisi, mengumpulkan data atau bahan, menyusun
kerangka karangan, dan mengembangkan kerangka menjadi karangan.Pengembangan kerangka
karangan berbentuk eksposisi dapat berpola penyajian urutan topik yang ada dan urutan klimaks
dan antiklimaks.

4.4 Wacana Argumentasi

Karangan argumentasi ialah karangan yang berisi pendapat, sikap, atau penilaian
terhadap suatu hal yang disertai dengan alasan, bukti-bukti, dan pernyataan-pernyataan yang
logis. Tujuan karangan argumentasi adalah berusaha meyakinkan pembaca akan kebenaran
pendapat pengarang.Tahapan menulis karangan argumentasi, yaitu menentukan tema atau topik
permasalahan, merumuskan tujuan penulisan, mengumpulkan data atau bahan berupa: bukti-
bukti, fakta, atau pernyataan yang mendukung, menyusun kerangka karangan, dan
mengembangkan kerangka menjadi karangan.Pengembangan kerangka karangan argumentasi
dapat berpola sebab-akibat, akibat-sebab, atau pola pemecahan masalah.
5. Syarat-Syarat Pembangunan Wacana yang Baik

Agar wacana menjadi baik, kita harus memperhatikan persyaratan dalam pembangunan
wacana. Syarat tersebut adalah wacana tersebut harus kohesif dan koheren. Bila wacana tersebut
kohesif dan koheren, akan terciptalah wacana yang memiliki kepaduan, kesatuan, kelengkapan.

5.1 Kepaduan Wacana

Untuk mencapai kepaduan, langkah-langkah yang harus kita lakukan adalah kemampuan
merangkai kalimat dan paragraf sehingga bertalian secara logis dan padu. Untuk
mempertahankan kalimat dan paragraf agar tetap logis kita harus menggunakan kata hubung.
Terdapat dua jenis kata hubung yaitu kata penghubung intrakalimat dan kata penghubung
antarkalimat. Kata penghubung intrakalimat adalah kata yang menghubungkan antara anak
kalimat dengan induk kalimat, sedangkan kata penghubung antarkalimat adalah kata yang
menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Contoh kata penghubung
intrakalimat yaitu karena, sehingga, tetapi, sedangkan, apabila, jika, maka dan lain-lain. Contoh
kata penghubung antarkalimat yakni oleh karena itu, jadi, kemudian, namun, selanjutnya, bahkan
dan lain-lain.

5.2 Kesatuan Wacana

Terdapat dua jenis kata hubung yaitu kata penghubung intrakalimat dan kata penghubung
antarkalimat. Kata penghubung intrakalimat adalah kata yang menghubungkan antara anak
kalimat dengan induk kalimat, sedangkan kata penghubung antarkalimat adalah kata yang
menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Contoh kata penghubung
intrakalimat yaitu karena, sehingga, tetapi, sedangkan, apabila, jika, maka dan lain-lain. Contoh
kata penghubung antarkalimat yakni oleh karena itu, jadi, kemudian, namun, selanjutnya, bahkan
dan lain-lain.

5.3 Kelengkapan Wacana

Sebuah wacana dikatakan lengkap apabila di dalamnya terdapat paragraf-paragraf yang


menjadi inti dari suatu pembahasan yang diangkat dalam wacana tersebut secara lengkap untuk
menunjuk pokok pikiran. Ciri-ciri paragraf penjelas yaitu berisi penjelasan-penjelasan berupa
rincian, keterangan, contoh dan lain-lain. Paragraf penjelas juga memerlukan kata penghubung,
baik kata penghhubung antarkalimat maupun intrakalimat.

6. Pola Pengembangan Wacana

6.1 Pola Umum- Khusus (General-Partikular)

Pola susunan umum-khusus adalah wacana yang diungkapkan dengan pola pengembangan dari
hal-hal atau kalimat yang bersifat umum diikuti kalimat-kalimat yang bersifat khusus. Dengan
kata lain, pikiran utama bersifat umum diletakkan di awal wacana kemudian pikiran penjelas
yang b ersifat khusus diletakkan di akhir wacana.

Pola pengembangan ini juga bersifat sebaliknya, yaitu khusus-umum. Pola ini meletakkan
pernyataan-pernyataan khusus di awal wacana dan ditutup dengan pernyataan yang bersifat
umum.

6.2 Pola Seluruh-Bagian (Whole-Part/Componen)

Pola susunan wacana ini mengedepankan sesuatu secara menyeluruh terlebih dahulu kemudian
diikuti bagian-bagian dari keseluruhan tersebut. Dengan kata lain suatu objek disampaikan secara
keseluruhannya terlebih dahulu kemudian diikuti penjelasan secara lebih mendalam terhadap
bagian-bagian yang telah disampaikan.

Seorang pengguna bahasa kadang-kadang tidak menyampaikan seluruh informasi dengan


menggunakan satu kalimat. Hal ini disebabkan keterbatasan bahasa si penutur dan
pertimbangannya atas kemampuan penerima informasi. Dalam hal ini penutur menyampaikan
secara bertahap.

6.3 Pola Latar-Subjek-Unsur (Set-Subject-Element)

Pola latar-subjek-unsur adalah pola wacana yang di dalamnya terdapat latar (waktu dan tempat
peristiwa itu terjadi) dengan jelas, disertai dengan subjek atau pelaku, serta diikuti dengan unsur-
unsur yang mendukung wacana tersebut.

6.4 Pola yang Mencakup-yang Tercakup (Including-Included)


Pola wacana ini mengedepankan bagian yang mencakupi suatu objek sebagai pikiran pokoknya.
Pada bagian ini disampaikan hal-hal yang mencakupi atau yang menjadi inti dari suatu objek.
Pada bagian selanjutnya diikuti pikiran penjelas yang berupa bagian yang dicakupi atau yang
tercakup di dalam sesuatu yang telah dijelaskan pada bagian awal. Pola ini senada dengan pola
umum khushs hanya saja lebih menonjolkan sesuatu objek.

6.5 Pola Besar-Kecil (Large-Small)

Selanggam dengan pola sebelumnya, pola besar-keci diawali diawali dengan pikiran utama yang
bersifat lebih besar cakupannya/bidangnya/ukurannya. Setelah menyampaikan bagian tersebut
diikuti dengan pikiran penjelas yang berupa hal-hal yang bersifat lebih kecil. Namun demikian,
antar bagian tersebut bukan sesuatu yang saling bergantung/berkaitan sebagaimana dalam pola
yang mencakup dan tercakup.

6.6 Pola Luas-Dalam (Outside-Inside)

Pola ini hampir mirip dengan pola mencakup-tercakup, hanya saja yang ditekankan bukan pada
aspek keberkaitan/hubungan antarbagian melainkan lebih pada aspek keluasan topik. Pola ini
diawali dengan pikiran utama yang bersifat luas dan menyeluruh. Setelah itu, barulah diikuti
dengan pikiran-pikiran penjelas yang bersifat lebih dalam atau mengkhusus.

6.7 Pola yang Memiliki-yang dimiliki (Possessor-Possessed)

Pola ini berfokus pada sesuatu yang bersifat yang memiliki dan yang dimiliki. Dengan bahasa
lain pikiran utamanya berupa hal-hal yang memiliki. Selanjutnya, diikuti dengan pikiran penjelas
yang berupa hal-hal yang dimiliki oleh sesuatu yang telah disampaikan dalam pikiran utama.

6.8 Pola Sekuensi Temporal

Pola wacana ini dibuat berdasarkan urutan waktu atau kronologis. Wacana ini umumnya
menggambarkan urutan terjadinya peristiwa, perbuatan atau tinakan.

6.9 Pola Sekuensi Spasial

Pola ini menekankan pada aspek spasial/ruang. Wacana dibuat berdasarkan urutan ruang/tempat.
Pembaca atau pendengar diharapkan dapat membayangkan urutan dari satu titik ke titik yang lain
atau dari suatu tempat ke tempat yang lain.
6.10 Pola Ekuivalensi-Kontras

Pola ini sering disebut dengan pola perbandingan dan pertentangan. Untuk memperjelas suatu
paparan biasanya pengguna bahasa berusaha memperbandingan dengan melihat aspek-aspek
kesamaan suatu objek dan mengontraskannya atau mempertentangkannya dengan sesuatuhal
yang lain. Suatu objek dipaparkan kesamaanya kemudian diikuti perbedaan-perbedaan. Hal ini
dimaksudkan untuk menandaskan sesuatu. Hal-hal yang diperbandingkan dan dipertentangkan
ini lazimnya hal-hal yang bersifat sepadan dan mencolok.

6.11 Pola Sebab-Akibat

Senada dengan pola yang lain, pola ini didahului dengan pikiran utama yang berupa hal-hal yang
menjadi penyebab kemudian diikuti dengan pikiran penjelas yang berupa hal-hal yang menjadi
akibat dari pikiran utama. Pola ini berlaku pula sebalinya. Artinya terdapat pula pola akibat-
sebab. Secara umum kesebelas pola ini tidak bersifat saling mengecualikan. Hal ini berarti
bahwa sebuah pola wacana tidak serta-merta tidak dapat dipandang sebagai pola yang lain.
Dalam arti mudahnya, sebuah wacana dikatakan memiliki pola A bukan berarti tidak dapat
dikatakan memiliki pola pengembangan B atau yang lain

Anda mungkin juga menyukai