Anda di halaman 1dari 180

0

Wiyatmi

METODE PENELITIAN SASTRA DAN


APLIKASINYA DALAM SASTRA
INDONESIA

2017
ISBN 978-602-6338-60-0
1
KATA PENGANTAR

Metode Penelitian Sastra merupakan salah satu mata kuliah wajib


yang harus ditempuh oleh para mahasiswa yang mengambil keahlian
ilmu sastra. Mahasiwa harus menempuh mata kuliah ini sebelum
melangkah ke tahap penulisan skripsi yang akan mengantarkannya
menuju ujian akhir sebelum dinyatakan lulus dari studinya dan berhak
menyandang gelar kesarjanaan. Buku ini disusun untuk membantu
mahasiswa yang menempuh mata kuliah (Metode) Penelitian Sastra.
Buku ini menguraikan konsep-kosep dasar dan prosedur penelian
sastra dan contoh penyusunan proposal, hasil penelitian, dan artikel
yang disusun berdasarkan hasil penelitian sastra, khususnya dalam
konteks sastra Indonesia. Dengan membaca uraian tersebut diharapkan
para pembaca, khususnya mahasiswa, mendapatkan gambaran
mengenai proses penyusunan proposal, laporan penelitian, dan
menulisan artikel ilmiah hasil penelitian.
Buku ini tidak akan terwujud tampa campur tangan akademik dan
nonakademik dari berbagai pihak. Kepada pihak-pihak tersebutlah, saya
berhutang dan wajib mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Mereka antara lain adalah Wakil Rektor I Universitas Negeri Yogyakarta
dan stafnya yang telah meberikan hibah penulisan buku ajar ini. Dekan
Fakultas Bahasa dan Seni yang telah meberikan rekomendasi sehingga
saya dapat mengikuti seleksi hibah penulisan buku ini. Reviuwer dan
teman sejawat yang memberikan saran dan masukan untuk
penyempurnaan buku ini. Para mahasiswa Sastra Indonesia, yang telah
menempuh mata kuliah (Metode) Penelitian Sastra yang secara
langsung maupun tidak langsung telah

2
menginspirasi saya untuk mengembangkan buku ini. Guru-guru saya, Ibu
Prof. Dr. Chamamah Soeratno, Bapak Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo,
Bapak Prof. Dr. Suminto A. Sayuti yang telah mengalirkan ilmunya
sehingga saya terus berusaha mengikuti jejaknya menjadi ilmuwan
sastra dan mencoba untuk selalu berkarya. Terima kasih juga
disampaikan kepada keluarga saya, Dr. Pujiharto, M.Hum. (suami),
Annisa Nur Harwiningtyas dan Bintang Arya Sena (anak-anak) yang
selalu mendukung saya untuk terus berkarya.
Yogyakarta, 30 Oktober 2015

3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab I Ilmu Sastra dan Penelitian Sastra 1
Bab II Penelitian Sastra 6
2.1 Pengertian Penelitian 6
2.2 Penelitian Sastra, Studi Sastra, dan Kritik Sastra 8
2.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sastra 11
Bab III Pendekatan, Teori, dan Metode dalam Penelitian Sastra 12
3.1 Pendekatan dalam Penelitian Sastra 15
3.1.1 Pendekatan Objektif 15
3.1.2 Pendekatan Ekspresif 16
3.1.3 Pendekatan Mimetik 17
3.1.4 Pendekatan Pragmatik 18
3.2 Teori dalam Pebelitian Sastra 20
3.2.1 Strukturalisme 20
3.2.2 Semiotik 25
3.2.3 Sosiologi Sastra 27
3.2.4 Resepsi Sastra 29
3.2.5 Postrukturalisme 32
3.2.6 Ekokritisisme 35
3.2.7 Posmodernisme 36
3.2.8 Feminisme 38
3.2.9 New Historicism 43
3.3 Metode dalam Penelitian Sastra 45
3.3.1 Memilih dan Merumuskan Masalah 48
3.3.2 Menentukan Tujuan dan Manfaat Penelitian 49
3.3.3 Mengadakan Studi Kepustakaan 50

4
3.3.4 Memformulasikan Hipotesis 55
3,3,5 Menentukan Metode Penelitian 46
3.3.5.1 Metode Sejarah 46
3.3.6.2 Metode Deskriptif 56
3.3.5.3 Metode Eksperimental 59
3.3.5.4 Metode Grounded Research 59
Bab IV Penyusunan Proposal Penelitian Sastra 61
4.1 Penyusunan Proposal Pnelitian 61
4.1.1 Menyusun Latar Belakang Masalah 62
4.1.2 Menentukan Sumber Data dan Data 65
4.1.3 Mengidentifikasi dan Merumuskan Masalah 66
4.1.4 Menentukan Tujuan Penelitian 67
4.1.5 Menentukan Manfaat Penelitian 68
4.1.6 Studi Kepustakaan dan Kajian Teori 68
4.1.7 Metode Penelitian 71
4.1.8 Jadwal Penelitian 72
Bab V Menyusun Laporan Penilitian 74
5.1 Halaman Sampul 74
5.2 Halaman Pengesahan 75
5.3 Abstrak 78
5.4 Isi Laporan 78
5.4.1 Bab I Pendahuluan 78
5.4.2 Bab II Kajian Pustaka 80
5.4.3 Bab III Metode Penelitian 83
5.4.4 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan 85
5.4.5 Bab V Kesimpulan 100
5.4.6 Daftar Pustaka 101
Bab VI Naskah Publikasi Hasil Penelitian 102
6.1 Melacak Jejak Kesadaran Feminisme dan Maninisme dalam
Novel Indonesia 102

5
6.2 Representasi Sejarah Sosial Politik Indonesia dalam Novel
Novel Karya Ayu Utami 132
Daftar Pustaka 166

6
1

BAB I
ILMU SASTRA DAN PENELITIAN SASTRA

Ilmu sastra merupakan salah satu ilmu dalam rumpun ilmu-ilmu


humaniora. Ilmu sastra mengkaji berbagai fenomena yang berkaitan
dengan keberadaan karya sastra, yang meliputi karya sastra, pengarang,
pembaca, kenyataan, dan masyarakat yang secara langsung maupun
tidak langsung berkaitan dengan karya sastra. Karya sastra ada karena
diciptakan (ditulis untuk sastra tulis) pengarang. Dalam menciptakan
karya sastra pengarang sebagai bagian dari masyarakat tertentu tidak
dapat melapaskan dirinya dari situasi dan fenomena yang ada dalam
masyarakatnya. Di pihak lain, pembaca adalah subjek yang membaca
dan menikmati karya sastra, bahkan memanfaatkan karya sastra untuk
kepentingan tertentu, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
karier akademiknya.
Sebagai salah satu jenis ilmu pengetahuan, maka ilmu sastra pun
harus memenuhi sejumlah kriteria ilmu pengetahuan pada umumnya.
Ilmu adalah suatu himpunan pengetahuan yang sistematis yang
menemukan materi-materi alamiah serta memberikan suatu rasionalisasi
sebagai hukum alam (Nazir, 2003:10). Sistematis berarti bahwa dalam
menemukan materi-materi alamiah ilmu pengetahuan terikat oleh
sejumlah aturan dan prosedur tertentu. Selanjutnya, ilmu pengetahuan
akan membuat generasisasi dan simpulan terhadap materi-materi
alamiah dengan mendasarkan pada proses berfikir (rasionalisasi).
Para ilmuwan sastra pada umumnya membagi ilmu sastra dalam
tiga cabang, sesuai dengan fokus kajian dan tujuan pengembangan yang
hendak dicapai, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra
(Wellek dan Warren, 1990:37-39). Teori sastra memfokuskan perhatian
kepada konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan hakikat atau

1
2

pengertian sastra, hubungan karya sastra dengan berbagai hal


menyebabkan penciptaanya sampai pada bagaimana pembaca dan
masyarakat membaca dan memanfaatkannya, jenis-jenis sastra, unsur-
unsur pembangun sastra, dan bagaimana cara membaca dan mengkaji
karya sastra. Kritik sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang
memfokuskan perhatian pada kegiatan klasifikasi, analisis, dan penilaian
teerhadap karya-karya sastra. Sejarah sastra memfokuskan perhatian
pada kelahiran dan perkembangan karya dan fenomena- fenomena
sastra yang ada dalam masyarakat secara sinkronik maupun diakronik.
Melalui penelitian sastra, maka para ilmuwan akan
mengembangkan cabang-cabang ilmu sastra tersebut. Teori sastra,
yang antara lain berkutat dengan konsep-knsep dasar karya sastra,
hubungan antara karya sastra dengan pencipta dan pembacanya, dan
hubungan antara karya sastra dengan kondisi masyarakat yang
melahirkannya akan selalu dipertajam dan diperbarui sesuai dengan
perkembangan karya-karya sastra yang ada. Penajaman dan
pembaruan tersebut mendasarkan pada hasil kajian (penelitian) sastra
yang dilakukan para ilmuwan. Demikian juga kritik sastra dan sejarah
sastra akan berkembang seiring dengan hasil temuan para peneliti
sastra. Dalam konteks kritik sastra, penilaian terhadap suatu karya sastra
akan mendasarkan pada teori sastra tertentu, yang juga terus
berkembang. Ketika karya novel makin berkembang, misalnya dalam
penggunaan point of vieuw yang semula hanya dikenal teknik orang
pertama (akuan) dan orang ketiga (diaan), kemudian beberapa
pengarang mulai menggunakan teknik orang kedua (kamuan), maka teori
fiksi pun harus mencatat adanya fenomena tersebut. Selanjutnya, dalam
menganalisis dan menilai sebuah fiksi (novel atau cerita pendek), kritikus
tidak dapat mengabaikan adanya point of vieuw dan fungsi estetisnya
dalam sebuah fiksi. Sejarah sastra pun harus

2
3

mencatat perkembangan tersebut. Apalagi kalau di lapangan ditemukan


sejumlah fiksi yang ternyata menggunakan teknik orang kedua dalam
menyampaikan cerita, seperti tampak pada beberapa novel Indonesia
periode 2000-an, misalnya Larung (Ayu Utami), Cala Ibi (Nukila Amal),
dan Dadaisme (Dewi Sartika).
Agar ilmu sastra berkembang, maka masyarakat ilmu sastra yang
meliputi para peneliti di lembaga penelitian bahasa dan sastra seperti
Badan Bahasa dan Balai Bahasa dan perguruan tinggi harus melalukan
aktivitas penelitian. Dalam hal ini penelitian merupakan salah satu
aktivitas akademik yang harus dilakukan oleh para dosen dan
mahasiswa di peruruan tinggi, juga para peneliti di lembaga penelitian
nonperguruan tinggi. Bagi dosen kegiatan penelitian merupa- kan salah
satu wujud dari Tri Darma Perguruan Tinggi, sementara bagi mahasiswa
penelitian merupakan langkah awal yang harus ditempuh untuk dapat
menulis karya ilmiah yang menjadi tugas beberapa mata kuliah maupun
penulisan karya ilmiah akhir studi (skripsi, tesis, maupun disertasi).
Penelitian Sastra selain merupakan salah satu mata kuliah yang
dirancang untuk membantu para mahasiwa mempersiapkan diri dalam
penulisan karya ilmiah untuk tugas-tugas kuliah dan penulisan skripsi
(S1), tesis (S2), atau desertasi (S3). Dalam mata kuliah ini mahasiswa
akan mendapatkan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan hal
ihwal sebuah penelitian, mulai tahap persiapan, pelaksanaan, sampai
penulisan laporan penelitian, dan publikasinya. Selain itu, yang tidak
kalah pentingnya dari sekedar pengetahuan, mahasiswa juga akan
mendapatkan pengalaman praktik melakukan aktivitas yang berkaitan
dengan berbagai tahap penelitian secara konkret.
Karya sastra dan fenomena kesusastraan, termasuk dalam
konteks sastra Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup

3
4

pesat. Dari tahun ke tahun, dari periode ke periode sejarah sastra,


kehidupan sastra Indonesia ditandai dengan muncul dan terbitnya karya-
karya sastra dengan jenis yang bermacam-macam. Berbagai persoalan
yang diangkat dalam karya-karya sastra yang ditulis oleh para sastrawan
pun makin beragam sesuai dengan ragam persoalan yang terjadi dalam
masyarakat Indonesia yang menjadi konteksnya, seperti masalah
nasionalisme, konflik antargenerasi, krisis lingkungan hidup, keadilan
dan kesetaraam gender, Hak Azasi Manusia, kemerdekaan, dan lain-
lain. Demikian juga interaksi para sasrawan dengan berbagai khasanah
sastra lokal dan dunia pun telah ikut serta mewarnai perkembangan
karya sastra yang ada di Indonesia. Selain itu, berbagai fenomena sastra
juga ikut mewarnai perkembangan sastra Indonesia, seperti perdebatan
fungsi sastra bagi masyarakat, hubungan antara karya sastra dengan
ideologi, hubungan antara karya sastra dengan kekuasaan, bahkan juga
hubungan antara larya sastra dengan agama dan kepercayaan yang
hidup dalam masyarakat.
Pesatnya perkembangan sastra Indonesia tersebut tentu saja
akan memberikan warna tersendiri dalam aktivitas penelitian sastra di
Indonesia, khususnya dalam konteks akademik di perguruan tinggi dan
lembaga penelitian, yang ada di bawah naungan Badan Bahasa dan
Balai Bahasa di berbagai provinsi di Indonesia. Perkembangan sastra
tersebut merupakan ladang penelitian yang sangat luas, yang menunggu
para pahasiswa, dosen, dan peneliti sastra untuk menjamahnya, untuk
menyusun proposal dan melaksanakan penelitian dari berbagai
fenomena sastra tersebut. berbagai fenomena sastra tersebut tentunya
juga menantang para calon peneliti untuk mengkajinya dari berbagai
sudut pandang dengan memanfaatkan berbagai kerangka teori dan
pendekatan yang sesuai dengan fenomena yang ada.

4
5

Buku ini disusun untuk membantu para mahasiswa, dosen, dan


paneliti mempersiapkan pelaksanakan proyek penelitian sastra, mulai
dari persiapan melakukan penelitian, penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian, dan publikasi hasil penelitiannya. Dalam tahap
persiapan calon peneliti akan diperkenalkan dengan berbagai cara
menemukan dan menangkap persoalan (masalah) dari berbagai
fenomena sastra yang ada di lapangan yang dapat dipilih menjadi
masalah penelitian. Pada tahap penyusunan proposal, calon peneliti
akan diperkenalkan dengan berbagai cara dan langkah dalam
penyusunan proposal, dengan memilih berbagai masalah dan contoh
proposal penelitian. Dalam tahap pelaksanaan penelitian, calon peneliti
akan diperkenalkan dengan berbagai langkah dan proses analisis dan
interpretasi data penelitian dari berbagai perspektif kerangka teori dan
pendekatan. Selanjutnya, pada tahap publikasi, calon peneliti akan
ditunjukkan cara menyusun naskah publikasi sesuai dengan media
publikasi yang dipilih, termasuk memilih media publikasi yang sesuai
dengan laporan penelitian atau karya tulis (ilmiah) yang ditulis.
Buku ini dilengkapi dengan contoh proposal penelitian, laporan
penelitian, dan beberapa karya ilmiah yang ditulis berdasarkan aktivitas
penelitian sastra yang telah penulis tulis dan publikasikan. Dengan
membaca dan memahami contoh-contoh tersebut, diharapkan pembaca
mendapatkan gambaran bagaimana sebuah karya ilmiah yang berhasil
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah maupun forum ilmiah, seperti seminar
dan konferensi, didusun berdasarkan sebuah penelitian yang melalui
berbagai proses dan langkah.

5
6

BAB II
PENELITIAN SASTRA

2.1 Pengertian Penelitian


Penelitian adalah aktivitas akademik yang dilakukan dengan
tujuan untuk menemukan fakta dan prinsip-prinsip dari suatu fenomena
secara sistematis. Kata penelitian secara etimologis berasal dari kata
research (bahasa Inggris), yang dalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan sebagai riset yang bermakna mencari kembali (Nazir,
2003:12). Aktivitas penelitian menjadi salah satu kegiatan dalam konteks
ilmu pengetahuan. Kegiatan ini dilakukan oleh para ilmuwan, yaitu orang-
orang yang berkecimpung dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
baik di lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Melalui kegiatan
penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan, maka ilmu pengetahuan
terus menerus eksis dan dikembangkan.
Sebagai aktivitas yang berkaitan dengan pengembangan ilmu
pengetahuan, maka penelitian memiliki beberapa ciri. W. Gee (via Nazir,
2003:13) mengemukakan beberapa ciri tersebut, yaitu (1) adanya suatu
pencarian, penyelidikan, atau investigasi terhadap pengetahuan baru
atau sekurang-kurangnya sebuah pengaturan baru atau interpretasi baru
dari pengetahuan yang timbul; (2) metode yang digunakan bersifat kritis
(ilmiah) dengan prosedur yang sempurna; aktivitas lebih banyak tertuju
kepada pencarian (search) daripada suatu pencarian kembali (re-
search). Beberapa ciri tersebut tampak bahwa penelitian adalah aktivitas
yang bertujuan untuk menyelidiki suatu pengetahuan baru dari suatu
fenomena secara ilmiah dengan mengikuti prosedur yang bersifat
sistematis.
Melalui aktivitas penelitian, sebuah ilmu pengetahuan dapat
dikembangkan. Oleh karena itu, penelitian dan ilmu pengetahuan
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Penelitian adalah

6
7

proses, sementara ilmu pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas


penelitian (Nazir, 2003:14). Untuk mengetahui adanya hubungan antara
minat menulis dengan kebiasaan membaca, latar belakang pendidikan
dan stastus sosial ekonomi keluarga, seorang peneliti harus
mengumpulkan berbagai data yang berhubungan dengan sejumlah
fenomena tersebut dari seorang atau sekelompok orang. Data tersebut
selanjutnya dipahami, dalam arti dianalisis dan diinterpretasikan dalam
konteks linguistik (ilmu bahasa). Tahap pengumpulan data yang
dijalankan melalui observasi, wawancara, dan pengisian daftar
pertanyaan, disusul analisis dan interpretasi data dalam kaitannya
dengan berbagai variabel disebut sebagai proses. Selanjutnya, hasil dari
penelitian tersebut akan memperkaya ilmu bahasa, terutama yang
berkaitan dengan kecerdasan linguistik seseorang yang yang memliki
korelasi dengan sejumlah faktor, seperti kebiasaan membaca, latar
belakang pendidikan, dan stastus sosial ekonomi keluarga.
Sebagai aktivitas ilmu pengetahuan, sebuah penelitian memiliki
beberapa ciri. Dalam bukunya The Technique of Research in Education¸
Crawford (via Nazir, 2003:29) mengemukakan delapan buah ciri penting
penelitian, yaitu penelitian harus (1) berkisar di sekitar masalah yang
ingin dipecahkan, (2) mengandung unsur orisinalitas, (3) didasarkan
pada pandangan “ingin tahu”, (4) berdasarkan asumsi bahwa suatu
fenomena mempunyai hukum dan pengaturan, (5) untuk menemukan
generalisasi atau dalil, (6) merupakan studi tentang sebab akibat, (7)
menggunakan pengukuran yang akurat, (8) menggunakan teknik yang
secara sadar diketahui. Dari ciri-ciri tersebut, maka aktivitas penelitian
pada dasarnya dilaksanakan untuk memahami dan memecahkan suatu
masalah, terutama masalah yang belum pernah dipecahkan
sebelumnya. Dengan asumsi bahwa masalah tersebut memiliki hukum
dan keteraturan, hubungan sebab akibat, sehingga dapat dipahami
dengan menggunakan pengukuran yang akurat dan

7
8

teknik yang diketahui secara sadar. Untuk selanjutnya dari proses


tersebut dapat dirumuskan generalisasi atau dalil dari fenomena yang
diteliti tersebut.

2.2 Penelitian Sastra, Studi Sastra, dan Kritik Sastra


Dalam konteks ilmu sastra, selain dikenal istilah penelitian sastra
juga dikenal istilah studi sastra, dan kritik sastra. Istilah penelitian sastra
jarang digunakan dalam sejumlah pustaka Barat. Istilah yang digunakan
adalah literary studies (studi sastra) dan literay criticism (kritik sastra)
(Klarer, 2004, Abrams, 1981, Easthope, 1991, Ruthven,1986,
Showalter,1985). Namun, setelah dicermati meskipun yang digunakan
adalah istilah studi sastra dan kritik sastra penjelasan yang diuraikan dan
aktivitas yang dilakukan pada dasarnya dalag penelitian sastra. Oleh
karena itu, dalam buku ini penelitian ssatra dianggap sama dengan studi
sastra dan kritik sastra. Dengan demikian, sejumlah istilah dan konsep
yang terdapat dalam pustaka studi sastra dan kritik sastra akan
digunakan dalam penelitian sastra, misalnya pendekatan yang
berorientasi pada pembaca yang oleh Klarer diuraikan sebagai salah
satu fokus dalam studi sastra dalam buku ini dipahami sebagai salah satu
pendekatan dalam penelitian sastra. Demikian juga kritik feminis yang
diuraikan oleh Showalter merupakan salah satu jenis penelitian sastra
yang memfokuskan perhatian pada ideologi feminisme yang merupakan
konteks karya sastra maupun ideologi yang akan diperjuangkan oleh
pengarang melalui karya yang ditulisnya.
Ilmu sastra merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang
memiliki usia yang cukup tua. Dalam sejumlah literatur ilmu sastra Plato
dan Aristoteles, yang hidup dan berkarya abad 4 SM telah disebut- sebut
namanya sebagi tokoh-tokoh yang melakukan pembahasan (kajian)
terhadap karya sastra dalam hubungannya dengan

8
9

masyarakatnya. Plato dikenal dengan teori mimesis yang menjelaskan


hubungan antara karya seni, termasuk sastra dengan realitas yang teradi
dalam masyarakat. Plato menyatakan bahwa keberadaan karya seni
(sastra) pada dasarnya hanyalah mimesis (tiruan) dari kenyataan.
Pendapat tersebut disangkal oleh Aristoteles yang dikenal dengan teori
kreasi. Menurut Aristoteles, dalam menciptakan karya seni, seniman
tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi melakukan kreasi,
penciptaan kembali melalui kreativitasnya. Meskipun teori sastra
sekarang telah mengalami perkembangan yang pesat, namun teori Plato
dan Aristoteles masih digunakan sampai sekarang, terutama dalam
kajian sosiologi sastra.
Sampai saat ini ilmu sastra masih tetap eksis karena para
sastrawan masih terus menulis karya sastra dan para kritikus (peneliti)
sastra masih melakukan penilaian dan peneletian terhadap karya-karya
sastra yang ada. Lembaga-lembaga penelitian, seperti Badan Bahasa
dan Balai Bahasa yang ada di hampir semua provinsi di Indonesia,
Badan Bahasa yang ada di Jakarta maupun perguruan tinggi, khususnya
di program studi Bahasa dan Sastra di sejumlah universitas di Indonesia
masih melalukan aktivitas kritik sastra dan penelitian sastra. Sama
halnya dengan aktivitas penelitian ilmu pengetahuan pada umumnya,
maka penelitian sastra pun harus dilakukan sesuai dengan ciri-ciri dan
kriteria penelitian yang ada. Penelitian sastra harus dilakukan dengan
mendasarkan pada masalah kesastraan yang ingin dipecahkan,
mengandung unsur orisinalitas, didasarkan pada pandangan “ingin tahu”,
berdasarkan asumsi bahwa suatu fenomena mempunyai hukum dan
pengaturan, untuk menemukan generalisasi atau dalil, merupakan studi
tentang sebab akibat, menggunakan pengukuran yang akurat, dan
menggunakan teknik yang secara sadar diketahui.

9
10

Sebuah penelitian sastra yang dapat mengelitik seorang peneliti


untuk melaksanakan penelitian dapat ditemukan dari keberadaan karya
sastra dalam hubungannya dengan pengarang selaku pencipta yang
menyebabkan karya sastra ada, penerbit yang menerbitkan dan
mempublikasikan karya sehingga sampai pada pembaca, pembaca yang
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk berbagai tujuan,
struktur dan isi karya sastra, serta konteks sosial, historis, dan politik
yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Seorang peneliti dapat
memilih salah satu fenomena yang menurutnya perlu dipahami dan
dipecahkan. Pemilihan tersebut juga dilatarbelakangi oleh berbagai
kepentingan dan tujuan peneliti yang bersifat individual maupun
institusional, bahkan mungkin juga sesuai dengan pesanan penyandang
dana yang menginginkan tema penelitian tertentu.
Seorang peneliti sastra misalnya dapat meneliti diangkatnya tema
perjuangan kaum perempuan dalam mendapatkan kesempatan
menempuh pendidikan di daerah terpencil dalam sejumlah novel
Indonesia. Penelitian dilatarbelakangi oleh keingintahuan peneliti untuk
mengetahui bagaimana kaum perempuan di daerah terpencil, seperti
desa-desa di pulau Jawa maupun daerah pedalaman di Kalimantan atau
Papua yang digambarkan dalam novel-novel Indonesia berjuang untuk
mendapatkan pendidikan, faktor-faktor apa sajakah kira-kira yang
mendukung dan menjadi kendala perjuangan tersebut? Peneliti harus
menyakinkan bahwa penelitian seperti itu belum pernah dilakukan
sebelumnya. Untuk membuktikan hal ini peneliti harus melakukan studi
pendahuluan terhadap hasil penelitian terdahulu. Agar data, analisis dan
interpretasi hasil penelitian akurat, maka peneliti harus menyandarkan
analisis dan interpretasinya pada kerangka konseptual yang dibangun
berdasarkan kajian pustaka yang relevan, baik yang berkaitan dengan
masalah kesastraan maupun konteks data yang relevan.

10
11

2.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sastra


Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa kegiatan
penelitian sastra memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan ilmu
sastra. Tujuan akhir dari sebuah penelitian sastra pada hakikatnya
adalah mengembangkan ilmu sastra, menjaga tetap hidup dan
berkembangnya ilmu sastra. Agar ilmu sastra tetap hidup dan
berkembang, maka aktivitas penelitian sastra tetap harus terus menerus
dilakukan oleh para peneliti yang berada di wilayah akademik (Perguruan
Tinggi) maupun lembaga-lembaga penelitian, seperti Badan Bahasa dan
Balai Bahasa.
Agar tujuan akhir tersebut terwujud, maka para peneliti harus
senantiasa melaksanakan aktivitas penelitian dengan meneliti berbagai
fenomena sastra yang ada dalam masysrakat. Sesuai dengan tujuan
penelitian pada umumnya yang bertujuan untuk menyelidiki suatu
pengetahuan baru dari suatu fenomena secara ilmiah dengan mengikuti
prosedur yang bersifat sistematis, maka penelitian sastra pada dasarnya
bertujuan untuk menyelidiki dan menemukan pengetahuan baru dari
suatu fenomena sastra secara ilmiah dengan mengikuti prosedur yang
sistematis. Pengetahuan baru dari fenomena sastra, dapat diselidiki dan
ditemukan dari pengarang selaku pencipta karya sastra, masyarakat
yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra, pembaca, bahkan juga
berbagai hal yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya sastra,
misalnya penerbit, latar belakang sosial politik, bahkan juga distribusi dan
publikasinya.

11
12

BAB III
PENDEKATAN, TEORI, DAN METODE
DALAM PENELITIAN SASTRA

Sebuah penelitian sastra dapat dimulai dari masalah (fenomena)


sastra terrentu. Abrams (1981:6) menyatakan bawa keberadaan karya
sastra berada dalam hubungan antara pengarang, karya, kenyataan
(dunia), dan pembaca. Keempat elemen tersebut masing-masing saling
berhubungan. Namun demikian, seorang peneliti dapat melalukan
penelitian dengan hanya memfokuskan pada satu elemen, misalnya teks
saja, dua elemen yang saling berhubungan, atau empat elemen yang
saing berhubungan.
Setelah seorang peneliti menentukan fokus masalah yang
berkaitan dengan elemen tertentu dari keberadaan karya sastra,
selanjutnya dia akan menentukan pendekatan tertentu yang akan
digunakan untuk menghampiri masalah yang diteliti. Selanjutnya, teori
dan metode yang digunakan untuk memahami masalah sangat
tergantung pada pendekatan yang dipilih peneliti. Ketika peneliti memilih
masalah penelitian dari karya sastra tanpa menghubungkannya dengan
konteksnya, misalnya meneliti penyusunan alur dalam sebuah karya
sastra, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tekstual
atau pendekatan objektif. Teori yang sesuai dengan pendekatan tekstual
atau objektif adalah teori naratif atau teori strukturalisme. Selanjutnya,
metode yang sesuai dengan penelitian tersebut adalah analisis isi atau
metode deskriptif kualitatif. Untuk memahami susunan alur sebuah karya
sastra (novel atau cerpen), peneliti tidak perlu memilih pendekatan
mimetik yang menghubungkan alur dengan konteks sosial budaya di luar
karya sastra karena tidak ada relevansinya.

12
13

Berikut ini akan dijelaskan hubungan antara pendekatan, teori,


dan metode dalam penelitian sastra. Ketiga hal tersebut sering kali
dipahami secara tumpang tindih. Padahal ketiganya memiliki fokus dan
aktivitas yang berbeda, meskipun saling berkaitan.
Pendekatan dalam konteks penelitian dimaknai sebagai cara-
cara melakukan aktivitas penelitian untuk mencapai tujuan penelitian.
Pendekatan berbeda dengan teori dan metode penelitian. Dengan
merujuk pada pendapat Ratna (2004:53) pendekatan didefinisikan
sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-
cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Pendekatan
mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu.
Dalam pendekatan juga terkandung manfaat penelitian yang akan
diharapkan, baik secara teoretis maupun praktis, baik terhadap penelitian
secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, dalam
pendekatan juga dengan kemungkinan apakah penelitian dapat
dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya
(Ratna, 2004:54).
Dari uraian di atas tampak bahwa pendekatan berbeda dengan
metode. Metode mengacu pada cara-cara atau strategi untuk memahami
realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan masalah
(Ratna, 2003:34). Kalau dibandingkan dengan pendekatan, maka
metode dalam penelitian sifatnya lebih operasional. Metode
membicarakan bagaimana suatu masalah (feomena atau realitas)
dipahami secara sistematis. Sejumlah istilah yang berkaitan dengan
metode antara lain adalah identifikasi dan klasifikasi data, deskripsi data,
dan interpretasi. Pendekatan masih berkutat pada dari sudut pandang
atau titik fokus mana suatu masalah (fenomena atau realitas) akan
dipahami. Dalam konteks penelitian sastra, pendekatan berkaitan
dengan dari sudut pandang atau titik fokus mana fenomena sastra akan
diteliti. Dari karya sastra itu sendiri, dari hubungan antara karya sastra

13
14

dengan pengarangnya, dari hubungan antara karya sastra dengan


konteks sosial dan politik, atau dari hubungan antara karya sastra
dengan pembacanya, atau mungkin juga hubungan antara karya sastra
tertentu dengan karya-karya sastra sebelumnya?
Tentang hubungan antara teori dan metode dengan pendekatan,
selanjutnya Ratna (2003:54) menjelaskan bahwa pendekatan
mendahului teori dan metode. Untuk menjelaskan hal ini, Ratna
mencontohkan bahwa untuk mengkaji novel Belenggu peneliti berasumsi
bahwa novel tersebut adalah hasil imajinasi. Dengan asumsi tersebut,
maka penelitian dilakukan melalui pemahaman, bukan pembuktian. Oleh
karena itu, langkah berikutnya adalah menentukan model pendekatan,
yang diikuti dengan pemilihan teori, metode, dan teknik. Dengan asumsi
bahwa novel Belenggu adalah karya imajinatif, maka pendekatan yang
dipilih untuk melaksanakan penelitian tersebut adalah pendekatan
objektif. Pendekatan objektif, seperti yang dikemukakan oleh Abrams
(1981:51) memahami karya sastra dari karya sastra itu sendiri, karya
sastra dilihat sebagai dunia yang bersifat otonom, tidak mengacu pada
realitas di luar dirinya. Teori yang menjelaskan pandangan pendekatan
objektif yang menyatakan bahwa karya sastra bersifat otonom, tidak
mengacu pada realitas di luar dunia adalah teori strukturalisme.
Selanjutnya, untuk dalam proses penelitiannya, pendekatan objektif dan
teori strukturalisme sesuai dengan prosedur metide penelitian deskriptif
kualitatif.
Berdasarkan titik fokus atau orientasinya dalam memahami
fenomena sastra, Abrams (1981:51-52) mengemukakan bahwa untuk
mengkaji (mengritik) karya sastra seorang peneliti (kritikus) dapat
mendekatinya dari karya itu sendiri, hubungan antara karya sastra
dengan pengarang, hubungan karya sastra dengan kenyataan, dan
hubungan antara karya sastra dengan pembaca (audience).
Berdasarkan fokus atau orientasinya dalam mendekati karya sastra

14
15

itulah, Abrams selanjutnya membedakan kritik sastra menjadi (1) kritik


objektif, (2) kritik ekspresif, (3) kritik mimetik, dan (4) kritik pragmatik.
Agak mirip dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams,
Mario Klarer (2004:77-78) membagi pendekatan untuk meneliti sastra
menjadi empat macam, yaitu (1) pendekatan yang berorientasi pada teks
(text oriented approches), (2) pendekatan yang berorientasi pada
pengarang (author oriented approaches), (3) pendekatan yang
berorientasi pada pembaca (reader oriented approaches), dan (4)
pendekatan yang berorientasi pada konteks (context oriented
approaches). Macam-macam pendekatan yang dikemukakan oleh Klarer
ini, pada dasarnya tidak berbeda dengan pendekatan yang dikemukakan
oleh Abrams. Klarer menyebut pendekatan yang berorientasi pada
konteks, sementara Abrams menyebutnya pendekatan yang berorientasi
pada hubungan antara larya sastra dengan realitas/kenyataan yang
menjadi latar belakang maupun yang diacu oleh karya sastra.
Berikut ini diuraikan macam-macam pendekatan yang lazim
diterapkan dalam penelitian sastra.

3.1 Pendekatan dalam Penelitian Sastra


Sesuai dengan fokus dan orientasinya ketika peneliti atau kritikus
sastra akan mendekati atau menghampiri fenomena sastra yang akan
diteliti, maka dengan mengacu pada pendapat Abrams (1981:51-52)
dalam peneitian sastra dikenal adanya pendekatan objektif, ekspresif,
mimetik, dan pragmatik, dengan penjelasan sebagai berikut.

3.1.1 Pendekatan Objektif


Pendekatan objektif adalah salah satu aktivitas penelitian yang
menghampiri objek penelitian dengan berorientasi pada karya sastra

15
16

atau teks, tanpa menghubungkannya dengan pengarang, pembaca


maupun kenyataan yang menjadi konteksnya. Seorang peneliti dapat
memilih pendekatan objektif Pendekatan ini mengkaji fenomena sastra
dengan memfokuskan perhatian pada persoalan wujud teks, termasuk
editing manuskrip (naskah), analisis gaya bahasa yang digunakan dalam
teks, dan struktur formal suatu teks.
Sebagai contoh pendekatan objektif misalnya meneliti teks sastra
dari aspek unsur-unusr yang membangun karya tersebut, misalnya alur,
latar (setting), tokoh dan perwatakannya, sudut pandang (point of vieuw),
gaya bahasa, judul, dan tema sebuah novel atau cerita pendek. Karena
hanya beriorienatsi pada teks, maka siapa penulisnya, bagaimana
pembaca membaca dan memberikan makna, serta bagaimana konteks
sosial historis dan politis yang melatarbelakangi teks tersebut tidak peru
diperhatikan. Dalam pelaksanaan penelitiannya, pendekatan objektif ini
membutuhkan dukungan teori sastra, khususnya teori struktur naratif,
atau teori strukturalisme.
Pendekatan objektif juga dapat membatasi dengan meneliti salah
satu unusr pembangun teks, misalnya unsur tokoh dan perwakatannya
dari sebuah cerpen, novel, ataupun drama, tnpa mengaitkannya dengan
unsur lainnya. Penelitian diarahkan untuk memahami siapa tokoh utama
dan tokoh tambahan dalam sebuah teks, bagaimana perwatakannya
digambarkan. Peneliti, misalnya meneliti tokoh ibu dalam novel Canting
karya Arswendo Atmowolito. Keberadaan dan peran tokoh ibu dalam
novel tersebut cukup dipahami dalam hubungannya dengan tokoh-tokoh
lain yang ada di dalam novel tersebut secara tekstual. Namun,
penedekatan objektif semacam ini kadang akan memiliki kelemahan.
Sosok dan karakter ibu dalam sebuah keluarga, sering kali tidak hanya
dibentuk oleh interaksinya dengan tokoh lain dalam keluarga itu, tetapi
sering kali dibentuk oleh kultur masyarakat yang melahirkannya. Sosok
dan karakter ibu dalam

16
17

keluarga Jawa, bisa jadi berbeda dengan ibu dalam budaya kota
metropolis. Dengan demikian, ketika seorang peneliti menggunakan
pendekatan objektif secara ketat, sangat mungkin interpretasii terhadap
fenomena yang diteliti menjadi kurang konprehensif.

3.1.2 Pendekatan Ekspresif


Pendekatan ekspresif mendekati (menghampiri) fenomena sastra
yang diteliti dari sudut pengarang selaku pencipta (penulis) teks (karya)
sastra. Teks sastra dianggap sebagai hasil ekspresi (curahan) gagasan,
perasaan, emosi seorang pengarang. pendekatan ekspresif berusaha
mengkaji hubungan natara teks sastra dengan biografi dan pengalaman
hidup pengarang (Klarer, 2004:78). Bahkan sering kali penanda waktu
tertentu, fakta-fakta dan perstiwa-peristiwa ternetu dalam kehidupan
pengarang memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur karya sastra yang
ditulis pengarang, yang dapat dilacak dari biografi pengarang. Arief
Budiman pernah melalukan kajian ekspresif terhadap puisi-puisi Chairil
Anwar dalam bukunya Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Puisi Chairil
Anwar diahami dalam hubungannya dengan pengalaman dan biografi
penulisnya. Puisi “Nisan” yang ditulis pertama kali oleh Chairil dipahami
sebagai ekspresi Chairil atas kehilangan neneknya tercinta akibat
meninggal dunia. Demikian juga puisi “Yang Terempas dan Yang Putus”
dipahami dalam hubungannya dengan kegelisahan dan kepasrahan
Chairil menunggu datangnya kematian, karena pada saat itu dia berada
dalam kondisi sakit. Untuk menjelaskan hubungan antara isi puisi-puisi
Chairil Anwar dengan biografi pengarang, Budiman menggunakan teori
psikologi Gestal yang memahami suatu fenomena secara keseluruhan,
tidak secara terpisah- pisah. Dalam konteks kajian sastra, teori yang
digunakan oleh Budiman masuk dalam kategori psikologi pengarang,
seperti yang diutaikan oleh Wellek & warren (1990), yang menjelaskan
bahwa psikologi pengarang

17
18

merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas


aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang
pribadi. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah aspek kejiwaan
pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya
sastra.

3.1.3 Pendekatan Mimetik


Pendekatan mimetik menghampiri fenomena kesastraan yang
diteliti dengan berorientasi pada konteks yang melahirkan karya (teks)
sastra, yang meliputi konteks sosial, sejarah, politik, nasionalitas, gender,
bahkan juga genre sastra sebelumnya (Klarer, 2004:94). Pendekatan
mimetik memungkinkan karya sastra diteliti dalam hubungannya dengan
berbagai hal yang melatarbelakangi kelahiran (penciptaannya).
Penelitian karya sastra dalam hubungannya dengan berbagai konteks
inilah yang memungkinkan pemahaman dan pengkajian karya sastra
dilakukan secara interdisipliner. Penelitian yang menghubungkan karya
sastra dengan konteks sosial masyarakat menghubungkannya dengan
sosiologi, yang akhirnya melahirkan kajian sosiologi sastra. Penelitian
yang menghubungkan karya sastra dengan konteks sejarah melahirkan
kajian new historisisme. Penelitian yang menghubungkan karya sastra
dengan konteks gender, melahirkan kajian feminisme, dan seterusnya.
Contoh penelitian sastra yang menghubungkan karya sastra
dengan konteks sosial politik misalnya mengkaji novel Senja di Jakarta
karya Mochtar Lubis dalam hubungannya dengan kondisi sosial politik
Indonesia akhir Orde Baru. Untuk memahami fenomena tersebut,
selanjutnya dibutuhkan teori sosiologi sastra yang menjelaskan bahwa
karya sastra mereflesikan kondisi sosial politik ketika karya itu ditulis.

18
19

3.1.4 Pendekatan Pragmatik


Pendekatan pragmatik memahami dan mengkaji karya sastra
dalam hubungannya dengan pembaca. Pendekatan ini memandang
kebearaan karya sastra dalam kaitannya dengan tujuan atau dampak
tertentu yang diperoleh (dimanfaatkan) pembaca, seperti kesenangan
estetis, memberikan instruksi, dan bermacam-macam emosi.
Pendekatan pragmatik bahkan menyakini bahwa nilai karya sastra
dikaitkan dengan keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi
pembacanya) (Abrams, 1981:51).
Contoh pendekatan pragmatik adalah meneliti nilai pendidikan
karakter dlam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Melalui
pendekatan pragmatik novel tersebut dipandang sbagai sarana untuk
menanamkan nilai pendidikan karakter kepada pembbacanya. Karakter
postitif tokohtokoh di dalam novel tersebut dipandang sebagai model
karakter ideal yang dapat diteladani oleh para pembacanya.
Dalam pelaksanaan penelitian, berbagai pendekatan tersebut
berkaitan dengan teori tertentu. Pendekatan ekspresif, yang mengkaji
hubungan antara karya sastra dengan pengalaman dan biografi
pengarang, misalnya membutuhkan teori sosiologi pengarang. Sosiologi
pengarang merupakan salah satu varian sosiologi sastra yang
menjelaskan berbagai femomena yang berkaitan dengan latar belakang
penulisan karya sastra oleh pengarang, hubungan antara isi karya sastra
dengan pengalaman hidup dan ideologi pengarang, latar belakang sosial
budaya pengarang yang berpengaruh terhadap isi karya yang ditulis
pengarang. Contoh penerapan pendekatan ekspresif misalnya mengkaji
novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer dalam hubungannya
dengan pengalaman hidup dan ideologi pengarang. Keberadaan dan isi
novel tersebut dipahami dalam hubungannya dengan latar belakang
kehidupan dan ideologi Pramudya

19
20

Ananta Toer. Bahkan juga, hal-hal yang melatarbelakangi penciptaan


novel tersebut.
Namun, apabila penelitian yang akan dilaksanakan memilih
pendekatan mimetik, yang mencoba memahami isi karya sastra dengan
konteks sosial budaya ataupun politik yang melatarbelakangi penulisan
atau pun yang diacu oleh suatu karya sastra, maka teori yang relevan
digunakan antara lain adalah teori sosiologi karya sastra atau sosiologi
sastra marxisme. Sosiologi karya sastra menjelaskan hubungan antara
isi karya sastra dengan realitas sosial, historis, atau pun politik yang
melatarbelakangi kelahiran karya sastra atau pun yang diacu oleh karya
sastra. Secara lebih khusus, sosiologi sastra marxisme menjelaskan
bahwa isi karya sastra tertentu tidak terlepas dari kondisi material historis
masyarakatnya. Dalam pandangan sosiologi sastra marxisme, karya
sastra dianggap mencerminkan adanya pertentangan antara kelas
proletar dengan kelas borjuis. Sebagai contoh novel Gadis Pantai karya
Pramudya Ananta Toer, apabila dipahai dengan teori sosiologi
marxisme, maka akan dilihat adanya pertentangan antara kaum proletar
yang diwakili oleh Gadis Pantai melawan kaum borjuis yang diwakili oleh
Bendara.
Setelah menentukan pendekatan yang akan digunakan untuk
menhampiri fenomena sastra yang akan diteliti, maka langkah
selanjutnya adalah menentukan teori sastra yang sesuai dengan
pendekatan yang dipilih. Berikiut ini diuraikan posisi dan peran teori
dalam sebuah penelitian dan sejumlah teori yang lazim dipakai dalam
penelitian sastra.

3.2 Teori dalam Penelitian Sastra


Dalam semua bidang ilmu, tak terkecuali ilmu sastra, teori memiliki
posisi dan peran yang sangat penting. Bahkan dapat dikatakan bahwa
teori menjadi salah satu perangkat yang menandai ciri

20
21

keilmiahan suatu ilmu pengetahuan. Teori pada dasarnya merupakan


abstraksi dari pengertian atau hubungan dari proporsi atau dalil yang
menjadi sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematis dalam
gejala sosial maupun natural yang ingin diteliti (Nazir, 2003:19). Teori
merupakan set (seperangkat) konsep atau construct yang berhubungan
satu dengan lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu
pandangan sistematis dari suatu fenomena (Kelinger, via Nazir,
2003:19).
Mengingat begitu pentingnya posisi dan peran teori bagi sebuah
ilmu pengetahuan, maka teori dijadikan sebagai alat dari ilmu dengan
sejumlah peran, yaitu (1) mendefinisikan orientasi utama dari ilmu
dengan cara memberikan definisi terhadap jenis-jenis data yang akan
dibuat abstraksinya, (2) memberikan rencana konseptual yang
membantu mensistematisasikan, mengklasifikasikan, dan meng-
hubung-hubungkan fenomena-fenomena yang relevan, (3) memberikan
ringkasan terhadap fakta dalam bentuk generalisasi empiris dan sistem
generalisasi, (4) memberikan prediksi terhadap fakta, dan (5)
memperjelas celah-celah di dalam pengetahuan kita (Nazir, 2003:19-
20). Dalam sebuah aktivitas penelitian, teori juga mendukung dan
meningkatkan keberhasilan penelitian, serta memberikan penjelasan
terhadap hubungan-hubungan antarfenomena yang diamati (Nazir,
2003:22).
Dari sejumlah peran teori tersebut, maka jelaslah bahwa kita tidak
dapat mengabaikan teori dalam berbagai aktivitas yang berkaitan
dengan kegiatan ilmiah, termasuk penelitian. Untuk dapat melaksanakan
kegiatan penelitian kita harus memahami teori yang berkaitan dengan
fenomena yang akan kita teliti.
Ketika menjalankan aktivitas penelitian seorang peneliti akan
bertemu dengan sejumlah fakta dari berbagai fenomena yang ada di
lapangan yang diamati. Dalam hubungannya dengan penelitian sastra,

21
22

fakta tersebut mungkin berkaitan dengan pengarang atau pencipta


sastra, kenyataan yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra,
peristiwa (“kenyataan”) yang disampaikan dalam karya sastra Untuk
memahami dan menjelaskan sejumlah fakta tersebut, kita membutuhkan
bantuan teori. Untuk memahami dan menjelaskan fakta yang berkaitan
dengan pengarang, selaku pencipta karya sastra, kita membutuhkan
psikologi pengarang maupun teori sosiologi pengarang. Teori tersebut
akan menjelaskan bahwa karya sastra pada hakikatnya merupakan
ekspresi atau hasil curahan gagasan, perasaan, dan emosi pengarang,
yang tidak terlepas dari kondisi kejiwaan pengarang dan latar belakang
sosial, budaya, bahkan politik tempat pengarang hidup dan berkarya
(Teeuw 1984). Demikian juga ketika kita akan memahami fenomena
yang terdapat dalam karya sastra (isi atau makna karya sastra), kita tidak
dapat melepaskan diri dari teori sosiologi sastra. Teori sosiologi sastra
anatra lain menjelaskan bahwa karya sastra diciptakan pengarang untuk
mendokumentasikan realitas yang pernah terjadi dalam masyarakat
tertentu (Junus, 1984). Dengan demikian, ketika akan mengkaji isi karya
sastra, sebagai seorang peneliti kita juga harus mempertimbangkan teori
sosiologi sastra tersebut.
Di depan telah disebutkan bahwa penilihan teori tidak dapat
dilepasksn dari pendekatan yang dipilih ketika akan menghampiri
fenomena sastra yang diteliti. Teori sastra telah mengalami
perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan sastra dan
aktivitas penelitian sastra yang cenderung bersifat interdisipliner.
Dengan mengacu pada sejumlah pustakan yang ada berikut ini diuraikan
sejumlah teori sastra yang banyak digunakan dan berkembang sampai
saat ini.
3.2.1 Strukturalisme
Sebelum dikenal sebagai salah satu teori sastra, yang
dipopulerkan oleh A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Imu Sastra:

22
23

Pengantar Teori Sastra (1984), strukturalisme adalah pergerakan


intelektual yang bermula di Perancis pada tahun 1950-an yang
digunakan oleh antropolog Claude Levi-Strauss (1908-2009) dan kritikus
Roland Barthes (Barry, 2010:45). Strukturalisme memahami segala hal
sebagai sebuah struktur yang terbangun dari hubungan antarunsur yang
saling berhubungan satu dengan lainnya.
Mahasiswa dan dosen di Indonesia pada umumnya mengenal
teori strukturalisme pertama kali melalui buku A. Teeuw, Sastra dan Ilmu
Sastra: Pengantar Teori Sastra (1984). Dari karya Teeuw tersebut
mereka berbagai teori sastra yang berkembang dalam ilmu sastra,
termasuk strukturalisme. Teeuw (1984:135) menguraian bahwa dengan
menggunakan teri strukturalisme analisis struktur terhadap karya sastra
bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, semendetil,
dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan
aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh.
Secara historis, strukturalisme tidak dapat dilepaskan dari
Ferdinan de Saussure, yang dikenal sebagai tokoh linguistik modern.
Pemikiran struktralisme berasal dari konsepnya tentang sruktur bahasa.
Dalam menjelaskan struktur bahasa Saussure menyatakan bahwa (1)
makna yang kita berikan pada kata-kata murni bersifat mana suka, dan
makna tesrsebut dipertahankan semata-mata karena konvensi, (2)
makna kata-kata bersifat relasional, artinya tidak ada kata yang dapat
didefinsikan secara terpisah dari ata-kata lain, (3) bahasa menyusun
dunia kita, tidak sekadar merekam atau memberinya label (Barry, 2010:
49-50). Sebagai contoh, istilah-istilah yang kita berikan pada musim
dalam setahun. Di Eropa ada empat nama yang berlainan (musim semi,
panas, gugur, dingin), sementara di Indonesia sebagai negara tropis
hanya mengenal musim kemarau dan musim hujan. Menurut Barry

23
24

(2010:51) nama musim-musim tersebut merupakan cara kita


memandang musim dalam satu tahun, bukan fakta objektif dalam alam.
Seperti diringkaskan oleh Barry (2010:57) berdasarkan pendapat
David Lodge dalam bukunya Working with Structuralism, karakteristik
strukturalisme adalah sebagai berikut.
(1) Mereka menganalisis (terutama) narasi prosa, menghubungkan
teks dengan struktur pewadah yang lebih besar, seperti: (a)
konvensi-konvensi suatu genre sastra tertentu, atau (b) jejaring
koneksi intertekstualistas, atau (c) proyeksi model sebuah struktur
narasi universal yang mendasar, atau (d) gagasan akan narasi
sebagai sebuah kompleks berisi pola atau motif berulang.
(2) Mereka menafsirkan sastra menurut kisaran paralel-paralel
mendasar dengan struktur bahasa, seperti yang dideskripsikan
oleh linguistik modern. Misalnya gagasan mengenai “miteme”
yang diajukan peh Levi-Strauss dan mengacu pada unit-unit
minimal dalam “pemahaman” naratif, dibentuk melalui analogi
dengan morfem, yang dalam linguistik adalah unit terkecil dalam
pemahaman tata bahasa. Satu contoh morfema adalah ‘ed’ yang
dalam bahasa Inggris ditambahkan pada kata kerja untuk
menunjukkan bentuk lampau.
(3) Mereka menerapkan konsep pemolaan dan penstrukturan
sistematis pada keseluruhan bidang ilmu budaya Barat dan
budaya-budaya lain, memperlakukan segala sesuatu dari mitos
Yunani Kuna sampai merk deterjen sebagai “sistem tanda”.

Sesuai dengan kerangka kerjanya dalam memahami fenomena


sastra, maka teori strukturalisme lebih sesuai dengunakan untuk
penelitian yang orientasinya lebih banyak pada karya sastra dengan
pendekatan objektif. Contoh penelitian yang menggunakan teori
strukturalisme misalnya meneliti struktur naratif sebuah cerpen atau
novel (“Penembak Misterius” karya Sena Gumira Ajidarma atau Salah
Asuhan karya Abdul Muis).
Walaupun teori strukturalisme banyak digunakan dalam penelitian
dan kritik sastra, namun Teeuw (1984:139) juga mengingatkan adanya
empat kelemahan strukturalisme (khsusnya model New Criticism).
Keempat kelemahan tersebut adalah bahwa (1) analisis struktur karya
sastra secara umum belum merupakan teori

24
25

sastra atau tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap karena
(2) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami
dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah,
(3) adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan
karena peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi
karya sastra makin ditonjolkan dengan segaa konsekuensi untuk analisis
struktural, (4) analisia yang menekankan pada otonomi karya sastra juga
menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu
dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.

3.2.2 Semiotik
Semiotik (semiologi) adalah ilmu tanda. Semiotik berasal dari kata
Yunani semeion yang berarti tanda (Sudjiman & Zoest, 1992;vii). Banyak
tanda ada di sekitar kita. Kata, tulisan penunjuk arah, denah, bendera,
warna, lampu lalu lintas, dan sebagainya merupakan contoh tanda dalam
kehidupan sehari-hari. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan,
bahkan nyanyian burung dalam perspektif semiotik juha dianggap
sebagai tanda (Sudjiman & Zoest, 1992;vii).
Semiotik mempelajari tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan
tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
menggunakannya (Sudjiman & Zoest, 1992:5). Dalam ilmu bahasa dan
sastra, semiotik dianggap merupakan perkembangan dari strukturalisme.
Ferdinan de Sausurre, yang dikenal sebagai bapak linguistik modern,
menyebut ilmu tentang tanda sebagai semiologi, sementara Charles
Sander Peirce menyebutnya semiotik (Sudjiman & Zoest, 1992:1).
Saussure mengemukakan enam prinsip yang menjadi dasar teori
semiotik, yaitu (1) prinsip struktural, (2) prinsip kesatuan, (3) prinsip
konvensional, (4) prinsip sinkronik, (5) prinsip representasi, dan (6)

25
26

prinsip kontinuitas (Piliang, 2012:47-48). Saussure memandang relasi


tanda sebagai relasi struktural. Tanda dilihat sebagai suatu kesatuan
antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Makna tidak dapat
ditemukan sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur, melainkan
sebagai akibat dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara
total (Pilian, 2012:47). Tanda berprinsip kesatuan karena tanda
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang
penanda yang bersifat konkret atau material (suara, tulisan, gambar,
objek) dan bidang penanda (konsep, ide, gagasan, makna). Tanda
berprinsip konvesional karena relasi struktural antara sebuah penanda
dan petanda sangat tergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu
kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara
komunitas bahasa. Tanpa berprinsip sinkronik karena tanda merupakan
sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil,
dan tidak berubah. Tanda berprinsip representasi karena sebuah tanda
merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau
referensinya. Tanda berprinsip kontinuitas karena berada dalam sebuah
relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa (Piliang, 2012:48-49).
Karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan
bahasa sebagai mediumnya. Bahasa dalam perspektif semiotik
merupakan sistem tanda tingkat pertama, sastra merupakan sistem
tanda tingkat kedua. Hal ini karena sastra selain menggunakan bahasa
sebagai mediumnya, juga mempunyai sistem dan konvensi sendiri
seperti konvensi bahasa kiasan, sarana retorika, ambiguitas, dan
sebagainya yang ikut menentukan makna karya sastra (Pradopo, 1995).
Teori semiotik dapat digunakan untuk membantu menginterpretasikan
karya sastra. Dalam pandangan semiotik karya sastra merupakan
bangunan yang terdiri dari tanda-tanda. Semua unsur pembangun karua
sastra dimaknai sebagai tanda. Diksi (pilihan

26
27

kata) yang ada dalam puisi, ulangan bunyi, irama, bahasa kiasan,
bahkan bait dan baris yang ada dalam puisi semuanya dilihat sebagi
tanda yang mengandung makna.
Michael Riffaterre (1978:5-6) yang mengembangkan teori
semiotik untuk mengkaji puisi melalui bukunya Semiotics of Poetry
mengemukakan cara memahami puisi secara semiotik dalam dua tahap.
Tahap pertama sisebut pembacaan heuristik, disusul tahap kedua, tahap
hermeneutik. Pada tahap pembacaan heuristik peneliti membaca dan
memahami struktur kebahasaan secara semiotik berdasarkan konvensi
sistem semiotik tingkat pertama. Untuk memahami makna karya secara
keseluruhan, selanjutnya peneliti melakukan pembacaan hermeneutik,
dengan menginterpretasikan konvensi tambahan yang terdapat dalam
puisi, seperti bahasa kiasan, citraan, tipografi, dan hubungan
intertekstualnya dengan puisi-puiisi lain sebelumnya (Pradopo, 1994:94-
95).

3.2.3 Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra teori sastra yang bersifat interdisipliner yang
memahami fenomena sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial.
Sesuai dengan namanya, sosiologi sastra mempertemukan ilmu sastra
dengan sosiologi. Seperti diuraikan Swingewood dalam The Sociology of
Literature (1972) sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif
mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-
lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara
kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Baik sosiologi
maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam
masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan proses
yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Bedanya, kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang

27
28

manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial,


mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia ber-
langsung, dan bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, me-
nembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara
manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan
telaah secara subjektif dan personal (Damono,1979).
Swingewood (1972) memandang adanya dua corak penyelidikan
sosiologi yang mengunakan data sastra. Yang pertama, penyelidikan
yang bermula dari lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan
sastra dengan faktor di luar sastra yang terbayang dalam karya sastra.
Oleh Swingewood, cara seperti ini disebut sociology of literature
(sosiologi sastra). Penyelidikan ini melihat faktor-faktor sosial yang
menghasilkan karya sastra pada masa dan masyarakat tertentu. Kedua,
penyelidikan yang menghubungkan struktur karya sastra kepada genre
dan masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of sociology
(sosiologi sastra).
Sosiologi sastra telah mengalami perkembangan yang pesat.
Dalam bukunya Theory of Litetarure, Rene Wellek dan Austin Warren
(1994), mengemukakan adanya tiga jenis sosiologi sastra, yaitu
sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca dan
pengaruh sosial karya sastra. Pembagian jenis sosiologi sastra
tersebut, hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh Ian Watt dalam
esainya “Litetarure an Society” (via Damono, 1979:3). Ian Watt,
membedakan antara sosiologi sastra yang mengkaji konteks sosial
pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Menurut Wellek dan Warren, sosiologi pengarang memasalahkan
status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang
sebagai penghasil sastra. Sosiologi karya sastra memasalahkan karya
sastra itu sendiri. Memfokuskan perhatian pada apa yang tersirat dalam

28
29

karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Sosiologi pembaca


memahami pembaca yang pengaruh sosial karya sastra.
Menurut Ian Watt, konteks sosial pengarang, antara lain memahami
posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan
pembaca. Sosiologi sastra yang memahami sastra sebagai cermin
masyarakat dan sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai
mencerminkan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra memahami
sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Dalam hal
ini Ian Watt (via Damono, 1979) membedakan adanya tiga pandangan
yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1) pandangan
kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi, sehingga sastra harus berfungsi sebagai pembaharu
dan perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang melihat sastra
sebagai penghibur belaka; (3) pandangan yang bersifat kompromis, di
satu sisi sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

3.2.4 Resepsi Sastra


Resepsi sastra (asthetic of reception) adalah teori sastra yang
menjelaskan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya
sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau
tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1). Tanggapan tersebut dapat
bersifat pasif atau aktif. Tanggapan pasif tejadi ketika seorang pembaca
dapat memahami karya yang dibacanya atau dapat melihat hakikat
estetika yang ada dalam karya tersebut. Tanggapan aktif terjadi ketika
seorang pembaca merealisasikan tanggapannya terhadap karya sastra
tertentu dan merealisasikan tanggapannya dalam aktivitas tententu,
misalnya menulis resensi atau karya s astra lainnya (Junus, 1985: 34).
Menurut teori resepsi sastra, makna suatu karya sastra
dikonkretkan dalam diri pembacanya (Junus, 1985:28). Suatu karya

29
30

sastra baru memiliki makna apabila ia hidup dalam diri pembacanya.


Dengan memfokuskan pada bagaimana pembaca memberikan
tanggapan (makna) terhadap suatu karya sastra tertentu, maka teori
resepsi sastra biasanya digunakan dalam kajian sastra dengan
pendekatan pragmatik. Secara garis besar (Junus,1985:51)
mengemukakan garis besar resepsi sastra dalam memahami karya
sastra dengan cara, (1) bertolak dari suatu karya yang dilihat dalam
hubungannya dengan pembaca, bagaimana karya bereaksi dengan
pembacanya. Reaksi ini mungkin ditentukan oleh fenomena yang ada
dalam karya sastra itu sendiri. Hal ini mungkin terjadi karena karya itu
akan memberikan suatu skema atau rangka yang memberikan arah
kepada pembaca.(2) Sebuah karya menjadi konkret melalui suatu
penerimaan pembacanya sehingga meninggalkan kesan pada pembaca.
Pembaca akan mengkonkretkan dan merekonstruksinya melalui
imajinasinya. (3) Imajinasi pembaca dimungkinkan oleh (a) keakraban
dengan tradisi (sastra), (b)kesanggupan memahami keadaan pada
masanya, juga masa sebelumnya, (4) Melalui kesan, pembaca dapat
menyatakan penerimaannya terhadap suatu karya, misalnya dalam
bentuk komentar atau karya sastra yang lain yang berhubungan dengan
karya yang dibacanya, yang mungkin bertentangam, parodi,
demitefikasi, dan sebagaimnya, yang menyebabkan adanya
perkembangan sastra.
Resepsi sastra memiliki banyak varian, sesuai dengan fokus yang
menjadi perhatiannya, sumber data resepsi, dan cara mengkajinya.
Setelah menguraikan perkembangan teori dan penerapan resepsi
sastra, Teeuw (1984:208-217) mengemukakan bahwa ada beberapa
model penelitian resepsi sastra, yaitu (1) resepsi sastra eksperimental ,
(2) resepsi sastra melalui kritik sastra, (3) resepsi sastra historis. Resepsi
sastra eksperimental dilakukan dengan cara menyajikan teks tertentu
kepada pembaca, baik secara individual

30
31

maupun kelompok agar mereka memberikan tanggapan, yang kemudian


dianalisis daris egi tertentu. Penelitian ini dapat dilakukan dengan
menggunakan daftar pertanyaan, kemudian jawaban para responden
dianalisis secara sistematik dan kuantitatif. Tanggapan pembaca dapat
dipancing dengan pertanyaan terarah dan bebas, kemudian dianalisis
secara kualitatif. Resepsi sastra eksperimental dikembangkan oleh Rien
T. Segers (1978) dalam bukunya The Evaluation of Literary Texts: An
Experimental Investigation into the Rationalization of Value Judgments
with Referense to Semiotics and Estetics of Reseption, yang dan disadur
oleh Umar Junus (1985) dalam bukunya Resepsi Sastra.
Resepsi sastra melalui kritik sastra dikembangkan oleh Felix
Vodicka. Menurut Vodicka (via Teeuw, 1984:210) pengritik sastra
merupakan penanggap sastra yang utama dan khas, karena kritikuslah
yang menetapkan konkretisasi karya sastra dan yang mewujudkan
penempatan dan penilaian karya itu dalam masanya. Kritikus pula yang
mengeksplisitkan konkretisasi yang merupakan syarat mutlak untuk
pemuatannya dalam keseluruhan sejarah sastra (Teeuw, 1984:211).
Menurut Vodicka (via Teeuw, 1984:211) kritikus mewakili yang baik
mewakili norma sastra yang terikat pada masa tertentu dan atau pada
golongan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, resepsi sastra suatu
karya pada masa tertentu, sudah diwakili oleh kritik sastra yang ditulis
oleh kritikus masa itu.
Resepsi historis meneliti resepsi sastra melalui hubungan
intertekstualitas, penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan (Teeuw,
1984:213). Resepsi historis sesai dengan teori yang dikembangkan oleh
Hans Robert Jauss dalam esainya yang berjudul “Literary History as a
Challenge to Literary Theory,” (11974). Intertekstualitas adalah
hubungan antarkarya sastra satu dengan karya sastra sebelumnya.
Dalam karya suatu karya sastra sering kali terungkap semacam kreasi

31
32

sekaligus merupakan resepsi dari karya sebelumnya (Teeuw, 1984:213).


Dalam hubungannya dengan penyalinan naskah, Teeuw
*1984:214) mengemukakan bahwa seringkali penyalin tidak hanya
melakukan keteledoran, tetapi penyimpangan terjadi karena resepsi
pembaca. Dalam arti pengalin memberikan tanggapan dalam salinannya,
misalnya dengan menyesuaikan salinan aslinya dengan norma bahasa
atau sastra, budaya, dan seterusnya yang berlaku pada zaman penyalin
melakukan penyalinan. Hal ini menjadi perhatian dalam kajian resepsi
sastra. Agak mirip dengan penyalinan, dalam proses penyaduran sering
kali penyadur menyesuaikan sadurannya dengan norma-norma baru,
dengan perubahan yang membuktikan pergeseran horison harapan
pembaca disesuaikan dengan jenis sastra baru, dan sebagainya (Teeuw,
1984:215). Contoh yang menarik adalah penyaduran cerita Mahabharata
dari India ke dalam sastra Jawa. Di India Dewi Drupadi yang didapatkan
oleh para pandawa melalui sebuah sayembara, menjadi istri kelima
pandawa, tetapi di Jawa dia hanya menjadi istri Yudhistira, pandawa
yang tertua. Hal ini disesuaikan dengan norma dan budaya Jawa yang
tidak mengenal poliandri.
Penerjemahan menurut pada dasarnya juga merupakan bentuk
resepsi. Hal ini karena dalam penerjemahan terjadi resepsi sekaligus
kreasi (Teeuw, 1984:217). Orang menerjemahkan suatu karya karena
dia telah membaca karya, kemudia memberikan resepsinya dalam
bentuk terkemahan. Dengan menerjemahkan karya secara tidak
langsung dia juga menerima norma-norma baru yang digambarkab
dalam karya yang dibaca dan diterjemahkan (Teeuw, 1984:217).

3.2.5 Poskolonialisme
Poskolonialisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis
sejarah, budaya, sastra, dan mode-mode wacana khusus

32
33

dari bekas koloni Inggris, Spanyol, Perancis, dan kekuatan kekuasaan


penjajah Eropa lainnya. Teori poskolonial pada umumnya digunaan
untuk membantu memahami kajian sastra yang berfokus terutama pada
negara-negara Dunia Ketiga di Afrika, Asia, kepulauan Karibia, dan
Amerika Selatan (Abrams, 1981:236). Penggunaan teori poskolonial
dalam penelitian sastra telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat.
Bill Ashcroft dkk menunjukkan adanya dua model penting dalam
sastra poskolonial, yaitu model nasional dan model black writing (Gandhi,
2007:vi). Model nasional memusatkan perhatian pada hubungan antara
negara dan bekas-bekas penjajahnya. Model ini dapat digunakan untuk
memahami karya sastra Indonesia dalam hubungannya dengan Belanda
sebagai salah satu negara bekas penjajahnya. Model ini telah banyak
diterapkan dalam penelitian terhadap sastra Indonesia, misalnya dalam
penelitian terhadap sejumlah novel Indonesia yang dilakukan oleh
sejumlah peneliti seperti Doris Jedamski (“Sastra Populrt dan
Subjektivitas Poskolonial”), Paul Tickell (“Cinta di Masa Kolonial, Ras dan
Percintaan dalam Sebuah Novel Indonesia Awal”), Thomas Hunter,
(“Identitas, kecemasan, ambiguitas dalam Salah Asoehan”), Barbara
Hatley (“Pascakolonialitas da Si Feminin dalam Sastra Indonesia
Modern”) dan sejumlah penelitian lainnya yang dikumpulkan dan diedit
oleh Tony Day dan Foulcher dalam buku mereka yang berjudul Clearing
a Space, Postcolonial Reading of Modern Indonesian Literature yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sastra
Indonesia mOdern, Kritik Poskolonial (2004).
Model black writing memusatkan perhatian pada karya-karya dari
African Diaspora of Black Atlantic. Model ini dapat diperluas dengan
memasukkan bentuk-bentuk tulisan lain, misalnya tulisan Australian
Aboriginal atau tulisan-tulisan dari India karena model ini

33
34

lebih mendasarkan dirinya pada entitas ketimbang nasionalitas (Gandhi,


2007:vi-vii). Beberapa hasil penelitian dalam Poscolonial a Critical
Introducyion Theory (Leela Gandhi, 2007) merupakan contoh model
kedua ini.
Menurut Barry (2010: 224) nenek moyang pelopor kajian
poskolonial dapat dilacak dari The Wretched of the Earth karya Frantz
Fanon, yang terbit di Perancis 1961 dan menyuarakan yang disebut
“perlawanan kultural” terhadap imperium Afika-nya Perancis. Selain itu
juga Orientalism karya Edward Said (1978) yang secara spresifik
membahas universalisme Erosentris yang membenarkan superioritas
Eropa (Barat) dan inferioritas non-Eropa dan non-Barat. Said
mengidentifiasi Timur sebagai Liyan dan inferior terhadap barat.
Poskolonial menjadi terkenal dengan terbitnya sejumlah buku seperti In
Other World (Gayatri Spivak, 1987), The Impire Writes Black (Bill
Ashcroft, 1989), Nation and Narration (Homi Bhabha, 1990), dan Culture
and Inperialism (Edward Said, 1993) (Barry, 2010:223). Buku- buku
tersebut menjadi buku-buku wajib dalam studi sastra di sejumlah
perguruan tinggi di Indonsia, khususnya untuk mahasiswa pacsasarjana.
Karakteristik poskolonial dalam memahami karya sastra menurut
Barry (2010:231) adalah sebagai berikut.
(1) Mereka menolak klaim universalisme yang dibuat atas nama
sastra Barat kanon dan mencoba menjunjukkan keterbatasan
pandangan mereka terutama ketidakmampuan umumnya
untuk berempati melampaui batas perbedaan kebudayaan dan
etnis.
(2) Mereka menelaah representasi budaya-budaya lain dalam
sastra sebagai cara meraih ujungnya.
(3) Mereka menunjukkan betapa sastra semacam ini sering
mengelak dan secara krudial dian terhadap persoaan yang
berkaitan dengan kolonialisme dan imperialisme.
(4) Mereka mengedepankan pertanyaan-pertanyaan tentang
perbedaan dan keberanekaan budaya dan meneaah sikapnya
dalam karya-karya sastra yang relevan.

34
35

(5) Mereka merayakan hibriditas dan “polivalensi budaya” yaitu


situasi tempat individu dan kelompok secara simultan termasuk
pada lebih dari satu budaya (misalnya budaya penjajah, melalui
sistem sekolah kolonial, dan budaya terjajah, melalui tradisi
lokal dan oral).
(6) Mereka mengembangkan perspektif, yang tidak hanya dapat
diterapkan pada sastra-sastra poskolonial, tempat kondisi
keterpingiran, pluralisme, “Keliyanan”, yang tampak dipandang
sebagai sumber-sumber energi dan perubahan potensial.

Teori poskolonialisme akan kita gunakan ketika kita meneliti


karya-karya sastra Indonesia yang ditulis pascakolonialisme Barat
(Belanda) di Indonesia dan mengangkat kisah (cerita) yang berkaitan
dengan dampak kolonialisme di Indonesia. Salah satu contoh karya
sastra Indonesia yang mengangkat dampak kolonialisme Belanda
terhadap kehidupan bangsa Indonesia adalah novel Salah Asuhan.
Novel tersebut menggambarkan sejumlah masalah yang timbul dalam
hubungan antara pribumi (Hanafi) dengan orang-orang Barat (Corrie dan
ayahnya, juga teman-temannya).

3.2.6 Ekokritisisme
Ekokritisisme adalah teori sastra yang memberikan perhatian
terhadap hubungan timbal balik antara karya sastra dengan lingkungan
hidup, termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang
biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003:1). Ekokritik akan
menjelaskan bagaimana alam, lingkungan hidup, dengan berbagai
persoalannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya sastra.
Dalam hal ini alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami sebagai
latar tempat dan suasana, tetapi juga merupakan aspek yang ikut
membangun estetika sebuah karya sastra.
Alam dan lingkungan hidup yang dijadikan sebagai unsur
pembangun cerita atau pun unsur puitik dalam karya sastra merupakan
wilayah kajian dalam ilmu sastra, khususnya dengan menggunakan

35
36

perspektif ekokritik. Dalam paradigma ilmu sastra, ekokritik merupakan


jenis kritik sastra yang relatif baru karena mulai dikenal tahun 1990-an.
Terbitnya buku-buku The Ecocriticism Reader (1996) yang diedit oleh
Cheryll Glotfelty & Harold Fromm dan The Enviromental Imagination
(1996) oleh Lawrence Buell menandai munculnya ekokritik dalam kritik
sastra (Aziz, 2010). Demikian juga dengan terbitnya buku Ecocriticism
karya Donelle N. Dreese (2002) menunjukkan perkembangan perspektif
ekokritik dalam kritik (kajian) sastra. Alam dan lingkungan hidup manusia
telah lama dieksplorasi para sastrawan dalam karya sastra yang
ditulisnya. Alam dan lingkungan hidup tidak hanya digunakan sebagai
latar cerita dalam novel, cerpen, atau pun drama, tetapi juga menjadi
masalah yang penting dalam sebuah cerita.
Ekokritik dapat digunakan ketika kita akan meneliti persoalan alam
dan lingkungan hidup yang secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan unsur-unsur sastra, misalnya tokoh, latar, atau pun
tema. Salah satu contoh karya sastra yang dapat dikaji dengan perspektif
ekokritik misalnya novel Bilangan Fu karya Ayu Utami yang mengritisi
aktivitas para pecinta alam pendaki gunung dan pemanjat tebing yang
sering kali melukai alam.

3.2.7 Posmodernisme
Posmodernisme berasal dari kata pos dan modernisme. Sarup
(2003:231) mendefinisikan posmodernisme sebagai gerakan di
kebudayaan kapitalis lanjut, khususnya dalam seni. Istilah
posmodernisme muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di
New York pada tahun 19960 dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa
pada 1970-an, seperti Jean-Francois Lyotard dalam bukunya The
Postmodern Condition yang menyerang mitos yang legetimasi zaman
modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu,
dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan

36
37

untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang


secara universal valid untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, teori
posmodern menjadi identik dengan kritik terhadap pengetahuan
universal dan fondasionalisme (Sarup, 2003:231-232).
Konsep posmodernisme menurut Sarup (2003:253) muncul
sebagai reaksi spesifik pada bentuk-bentuk modernisme lanjut yang
mapan. Posmodernisme juga dianggap sebagai konsep periodisasi yang
berfungsi mengkorelasikan kemunculan aspek-aspek baru dalam
kebudayaan, yang diduga muncul antara 1950 sampai 1960-an.
Para pemikir posmodern seperti Lyotard, seperti dikemukakan
Sarup (2003:255) tidak percaya pada metanarasi. Mereka sangat
mencurigai pemikiran Hegel, Marx, dan bentuk-bentuk filsafat universal.
Menurut Lyotard kondisi posmodern adalah kondisi ketika narasi besar
modernitas --dialektika Roh, emansipasi buruh, akumulasi kekayaan,
masyarakat tanpa kelas yang digagas pemikir marism—kehilangan
kredibilitasnya. Selanjutnya, Lyotard mendefiniskan narasi yang merujuk
pada narasi besar sebagai legitimasi narasi modern, narasi penguasaan,
narasi tentang umat manusia yang mencaei tujuan hidupnya dengan
menaklukkan alam. Kebangkitan posmodernitas menandakan krisis
dalam fungsi legitimasi narasi, yaitu kemampuannya untuk mendesak
konsensus. Selanjutnya, Lyotard dan para pemikir posmodernis lainnya
menyatakan bahwa narasi besar itu buruk, sebaliknya narasi kecil itu
baik. Narasi besar oleh Lyotard diasosiasikan dengan program politik
atau partai, sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal
(Sarup, 2003:256).
Dalam memahami seni, posmodernisme memiliki cara pandang
yang khas, yaitu (1) menghapuskan batas antara seni dengan kehidupan
sehari-hari, (2) menghilangkan pembedaan hierarkhis antara
kebudayaan populer dengan kebudayaan elite, (3) eklitisisme stilistik dan
pencampuran kode, (4) mengandung parodi, pastiche, ironi, dan

37
38

semangat main-main, ada pergeseran penekanan dari isi ke bentuk atau


gaya, (5) transformasi realitas menjadi citra, (6) fragmentasi waktu
menjadi rangkaian masa kini abadi, (7) terjadi perujukan yang terus
menerus pada eklitisisme, reflektivitas, perujukan pada diri, kutipan, trik,
keacakan, anarki, fragmentasi, pastiche, dan alegori. (Sarup, 2003L
232). Selain sejumlah karakteristik tersebut, dalam perkembangannya
yang terakhir juga muncul gerakan untuk “meretekstualisasikan” semua
hal, seperti sejarah, filsafat, ilmu hukum, sosiologi, dan disiplin-disiplin
lain yang dipandang sebagai bentuk-bentuk “tulisan” dan wacana yang
optional (Sarup, 2003:233).
Selain dikenal sebagai teori seni (termasuk sastra)
posmodernisme juga digunakan sebagai wawasan estetik para
sastrawan dalam menulis karya-karyanya. Pembaca dan peneliti dapat
mengenai karya sastra yang berwawasan estetik posmodernisme
apabila mendapatkan ciri-ciri (karakteristik) posmodernisme seperti
diuraian di atas, yaitu karya seni yang mengandung fragmentasi,
pastiche, alegori, mementingkan gaya dari pada isi, dan mengangkat
narasi lokalitas (kecil). Dalam sastra Indonesia contoh karya sastra
tersebut antara lain Kitab Omong Konong karya Sena Gumira Ajidarma.
Novel yang menceritakan kembali epos Ramayana dengan hero Raja
Ramawijaya, didekosntruksi dengan menghadirkan hero Hanuman dan
rakyat Ayodya, Satya dan Maneka yang menjadi korban upacara
persembahan kuda yang dilakukan oleh Raja Ramawijaya. Selain itu,
judul Kitab Omong Kosong juga dapat diinterpretasikan sebagai parodi
terhadap narasi besar yang mengacu pada karya agung seperti Epos
Ramayana yang sangat terkenal di India dan Jawa.

3.2.8 Feminisme

Feminisme adalah teori atau aliran pemikiran dan gerakan sosial


yang menginginkan adanya kesetaraan gender atau yang memperju-

38
39

angkan agar kaum perempuan mendapatkan posisi dan peran yang


setara dengan laki-laki, baik di ramah dosmestik maupun di ranah publik.
Secara historis feminisme berawal dari kelahiran era Pencerahan di
Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de
Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama
kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun
1785. Menjelang abad ke-19 feminisme lahir menjadi gerakan yang
cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.
Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa
yang mereka sebut sebagai universal sisterhood (Abrams, 1981:88;
Arivia, 2006:18—19).
Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan
Perancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran
yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan dan
penyebaran feminisme tersebut telah memunculkan istilah feminisme
gelombang pertama, feminisme gelombang kedua, feminisme
gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga feminisme Islam dan
feminisme dunia ketiga. Berikut ini diuraikan adanya berbagai ragam
feminisme yang telah berkembang dalam wacana pemikiran dan gerakan
sosial dan politik.
Dengan rinci Humm (1992:1—6) dan Madsen (2000:1—14)
menguraikan kelahiran dan perkembangan feminisme di Amerika dan
Perancis. Dari uraian tersebut pemikiran dan gerakan feminisme dapat
dibedakan menjadi tiga gelombang, yaitu gelombang pertama,
gelombang kedua, dan gelombang ketiga. Gelombang pertama
feminisme di Amerika berkisar dalam kurun 1840–1920. Gelombang
pertama ini ditandai dengan adanya Konvensi Hak-hak Perempuan yang
diadakan di Seneca Falls, New York pada tahun 1848. Pertemuan
tersebut diprakarsai oleh Elizabeth Cady Stanton dan dihadiri oleh 300
perempuan dan laki-laki (Madsen, 2000:3—7; Tong, 2006:31).

39
40

Pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan sikap (Declaration of


Sentiments) dan dua belas resolusi. Deklarasi pernyataan sikap tersebut
menekankan isu yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Mill dan
Taylor di Inggris, yang terutama berhubungan dengan kebutuhan untuk
mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan
anak (Madsen, 2000:6; Tong, 2006:31). Kedua belas resolusi
menekankan pada hak-hak perempuan untuk meng- utarakan
pendapatnya di depan umum (Tong, 2006:32).
Feminisme mengalami perkembangan yang pesat dalam
berbagai aliran. Tong (2006) membagi feminisme yang berkembang di
Amerika dalam tiga gelombang. Gerakan feminisme Amerika ge-
lombang pertama pada dasarnya adalah ragam feminisme liberal abad
ke-19. Setelah mendapatkan hak suara bagi perempuan, mereka tidak
menunjukkan aktivitas yang berarti di Amerika selama hampir empat
puluh tahun. Baru pada tahun 1960 muncul generasi baru feminis yang
dikenal dengan feminisme gelombang kedua. Feminisme Amerika
gelombang kedua ditandai dengan berdirinya beberapa kelompok hak-
hak perempuan, yaitu National Organization for Women [NOW], the
National Women’s Political Caucus [NWPC], dan the Women’s Equity
Action League [WEAL]. Tujuan utama dari organisasi tersebut adalah
untuk meningkatkan status perempuan dengan menerapkan tekanan
legal, sosial, dan lain-lain terhadap berbagai lembaga mulai dari Bell
Telephone Company hingga jaringan televisi dan partai-partai politik
utama (Tong, 2006:34). Kelompok-kelompok tersebut lebih dikenal de-
ngan sebutan Kelompok Pembebasan Perempuan (Tong, 2006:34) atau
Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s Liberation Move- ment
(WLM) (Humm,1992:3) dengan tujuan meningkatkan kesadaran
perempuan mengenai opresi terhadap perempuan. Menurut Tong
(2006:34), semangat yang mereka miliki adalah semangat revolusioner
kiri yang tujuannya bukanlah untuk mereformasi apa yang dianggap

40
41

sebagai sistem elitis, kapitalis, kompetitif, dan individual, melainkan untuk


menggantikannya dengan sistem yang egaliter, sosialistis, kooperatif,
komuniter, dan berdasarkan pada gagasan sisterhood-is- powerfull
(persaudaraan perempuan yang kuat).
Di antara para feminis Amerika gelombang kedua ada beberapa
nama yang dianggap cukup penting dalam merumuskan gagasan
feminisme, yaitu Betty Freidan, melalui The Feminine Mistique (1977),
Shulamith Firestone melalui The Dialectic of Sex, Kate Millett melalui
Sexual Politics, dan Gloria Steinem melalui Outrageous Acts and
Everyday Rebellions (Madsen, 2000:2; Humm, 1992:4). Perkembangan
feminisme Amerika gelombang kedua selanjutnya ditandai oleh kritik
terhadap arus ‘white’ feminisme (feminisme kulit pulih) yang dilakukan
oleh Angela Davis melalui Woman, Race, and Class (1981) dan Ain’t I a
Woman? (1981), serta feminis lesbian seperti Adrienne Rich dan Audre
Lorde (Madsen, 2000:2).
Setelah feminisme bergerak dalam dua gelombang tersebut
muncullah feminisme gelombang ketiga yang lebih dikenal dengan
feminisme posmodern atau feminisme Perancis yang dipengaruhi oleh
pemikiran postmodernisme yang dikembangkan oleh para feminis
berkebangsaan Perancis (Tong, 2000:284; Arivia, 2003: 127). Di
samping itu juga dikenal feminisme poskolonial (Lewis and Mills, 1991)
atau sering kali juga dikenal sebagai feminisme dunia ketiga (third world
feminism) (Sandoval dalam Lewis and Mills, 1991). Feminis postmodern,
seperti semua posmodernis, berusaha untuk menghindari setiap
tindakan yang akan mengembalikan pemikiran falogosentrisme atau
setiap gagasan yang mengacu kepada kata (logos) yang bergaya “laki-
laki”. Oleh karena itu, feminisme postmodern memandang dengan curiga
setiap pemikiran feminis yang berusaha memberikan suatu penjelasan
tertentu mengenai penyebab opresi terhadap perempuan, atau sepuluh
langkah tertentu yang harus diambil perempuan untuk

41
42

mencapai kebebasan (Tong, 2006:283). Beberapa feminis postmodern,


seperti Cixous misalnya, menolak menggunakan istilah “feminis” dan
“lesbian” karena menurutnya kata-kata tersebut bersifat parasit dan
menempel pada pemikiran falogosentrisme. Menurutnya, kedua kata
tersebut berkonotasi “penyimpangan dari suatu norma dan bukannya
merupakan pilihan seksual yang bebas atau sebuah ruang untuk
solidaritas perempuan (Tong, 2006:284). Beberapa tokoh penting
feminisme gelombang ketiga ini adalah Helena Cixous, Luce Irigaray,
dan Julia Kristeva (Tong, 2006:284).
Di samping ketiga gelombang feminisme tersebut muncul pula
pemikiran posfeminisme seperti yang dikemukakan oleh Brooks (2003).
Untuk menjelaskan makna posfeminisme, Brooks (2003:2—3) menggu-
nakan konsep yang analog dengan “pos” pada kasus poskolonialisme
dan posmodernisme. “Pos” di sini merujuk pada proses transformasi dan
perubahan yang sedang berlangsung. Poskolonialisme dapat dipandang
sebagai tanda pertemuan kritis dengan kolonialisme, sementara
posmodernisme dipandang sebagai pertemuan kritis dengan prinsip-
prinsip modernisme. Dengan analog tersebut, posfeminis dipahami
sebagai perjumpaan kritis dengan patriarkat atau menempati posisi yang
kritis dalam memandang kerangka feminis sebelumnya, yang pada saat
yang bersamaan melawan secara kritis terhadap wacana patriarkat dan
imperialis (Brooks, 2003:3). Posfeminis dalam praktiknya menantang
asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh feminis gelombang
kedua yang mengatakan bahwa penindasan patriarkat dan imperialisme
adalah pengalaman penindasan yang universal (Brooks, 2003:3).
Teori feminisme dapat digunakan untuk membantu menjelaskan
kajian terhadap fenomena sastra yang berkaitan dengan masalah seperti
eksistensi sastrawan perempuan dalam sejarah sastra Indonesia,
konstruksi peran dan relasi gender dalam sastra Indonesia

42
43

(misalnya novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Untuk memahami


siapa sajakah sastrawan perempuan yang berkarya dalam konteks
sejarah sastra Indonesia dan apa karyanya karya-karya yang
dihasilkannya, bahkan juga bagaimana isi dan kualitas estetik karya-
karyanya, peneliti membutuhkan kerangka teori feminisme. Demikian
juga untuk memahami konstruksi peran dan relasi gender dalam novel
Canting karya Arswendo Atmowiloto, peneliti membutuhkan perspektif
terori feminisme.

3.2.7 New Historicism


New historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Green- blatt
tahun 1982 untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian
Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan
berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya
(Budianta, 2006:2). Karya sastra, dalam perspektif new historicism tidak
dapat dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena
ikut mengambil bagian di dalamnya (Budianta, 2006:3). Dalam The
Greenblatt Reader, yang merupakan antologi karya-karya Greenblatt
dengan editor dan pengantar dari Michael Payre (2005:3) dinyatakan
bahwa new histotiricism memiliki sejumlah karakteristik yaitu (1) new
historicism berpikir bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem semiotik,
sebagai sebuah jaringan tanda-tanda,
(2) menentang hegemoni disiplin tertentu, dan mencoba menemukan
pemahaman secara interdisipliner untuk menemukan pengetahuan baru,
(3) mereka terus menenus menyadari bahwa sejarah adalah apa yang
terjadi di masa lalu (suatu rangkain peristiwa), dan sejumlah peristiwa
(cerita); kebenaran sejarah muncul dari refleksis kritis terhadap
banyaknya kisah yang diceritakan, (4) sejarah, dengan demikian,
awalnya dalah semscsm buah wacana, yang tidak menolak peristiwa-
peristiwa yang terjadi secara nyata, (5) prosedur khas new historicism
adalah mulai dengan memprhatikan peristiwa atau anekdot,

43
44

yang memiliki efek untuk membangkitkan skeptisisme terhadap grand


naransi sejarah atau deskrpsi peristiwa-peristiwa penting pada masa
tertentu, seperii Renaisanse, (6) new historicism selalu menaruh curiga
terhadap adanya kesatuan (unified), penggambaran yang monolitik dari
budaya atau periode sejarah, (7) karena tidak mungkin melampaui
momen sejarahnya sendiri, semua sejarah tergantung pada saat
kehadirannya ketika momen yang ada dibangun, (8) new historicism
secara tidak langsung mengritik aliran formalis, sepeti new criticism, yang
memperlalukan sastra sebagai ikon ahistoris, dengan melakukan
pengkajian ulang terhadap hubungan antara sastra dengan sejarah, (9)
karya sastra bukanlah objek tidak memiliki hubungan dengan penulis dan
pembaca, karya sastra harus dipahami sebagai objek yang berhukungan
dengan konstrtuksi tekstualnya, (10) sejarah bukan hanya sebagai latar
belakang karya sastra, tetapi sejarah dan sastra dalam pandangan new
historicism merupakan hal yang saling berkaitan satu dengan lainnya,
tidak dapati secara tersepisah.
Dalam pelaksanaannya new historicism melakukan pembacaan
paralel terhadap teks sastra dan nonsastra yang berasal dari periode
sejarah yang sama (Barry, 2010:201). Dalam hal ini peristiwa sejarah
yang tergambar dalam teks sastra harus dibaca sejarah paralel dengan
peristiwa sejarah yang dicatat dalam teks-teks sejarah. Kedua teks
tersebut diberikan porsi yang sama dan secara konstan saling
menginformasikan dan mempertanyakan satu sama lain (Barry,
2010:201).
Dalam praktik kajiannya, new historicism menempatkan teks
sastra dalam kerangka teks nonsastra. Dokumen-dokumen sejarah tidak
disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks
tersendiri dan disebut sebagai ko-teks, bukan konteks. Teks dan ko-teks
yang digunakan akan dilihat sebagai ekspresi momen sejarah yang
sama dan ditafsirkan sesuai itu (Barry, 2010:2002). Hal ini

44
45

berbeda dengan kajian sosiologi sastra yang cenderung menempatkan


dokumen sejarah sebagai konteks yang melatarbelakangi karya sastra.
Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam
penelitian ini diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut.
(1) Memahami femomena sejarah dalam teks sastra dan teks sejarah.
(2) Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan teks sejarah pada
isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki
dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan “mind-set”
yang mengikutinya. (3) Menggunakan cara berfikir postrukturalisis,
dengan memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks (dalam
konsep Derrida) dan struktur sosial yang ditentukan oleh “praktik
diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry, 2010:209).

3.3 Metode dalam Penelitian Sastra


Metode dalam konteks penelitian dimaknai sebagai cara-cara,
strategi untuk memahami realitas, atau langkah-langkah sistematis untuk
memecahkan masalah penelitian (Ratna, 2004:34). Metode dalam
penelitian sering disebut sebagai metode ilmiah (Nazir, 2003:36). Metode
ilmiah harus memenuhi sejumlah kriteria yaitu: (1) berdasarkan fakta. (2)
bebas dari prasangka, (3) menggunakan prinsip-prinsip analisis, (4)
menggunakan hipotesis, (5) menggunakan ukuran objektif,
(6) menggunakan teknik kuantifikasi (bila datanya menggunakan ukuran
kuantitatif, seperti cm, km, gram, ton, dan sebagainya).
Metode ilmiah harus memenuhi kriteria berdasarkan fakta. Artinya
semua keterangan yang ingin diperoleh, baik yang akan dikumpulkan
dan yang akan dianalisis harus berdasarkan fakta-fakta yang nyata,
bukan berdasarkan daya khayal, kira-kira, kegenda, atau kegiatan
sejenis (Nazir, 2003:37). Fakta diperoleh dari lapangan atau objek
penelitian, dari peristiwa atau kejadian yang ada di lapangan,

45
46

apabila penelitian bersifat studi lapangan, misalnya mengkaji tanggapan


atau apresiasi pembaca terhadap karya sastra (puisi, novel, drama, atau
cerpen) tertentu. Apabila penelitian bersifat studi pustaka atau analisis
wacana, maka fakta berupa ide, gagasan, atau pilihan kata, susunan
kalimat yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Misalnya ide
nasionalisme dalam novel-novel Indonesia yang disampaikan dalam
pilihan kata dan susunan kalimat yang terdapat dalam sebuah novel.
Metode ilmiah harus bebas dari prasangka, bersih, dan jauh dari
pertimbangan negatif (Nazir, 2003:37). Dalam mengumpulkan data dan
menganalisisnya, seorang peneliti tidak boleh dipengaruhi oleh
prasangka dan perimbangan-pertimbangan negatif yang akan
mempengaruhi objektifitasnya. Data yang diambil haruslah sesuai
dengan fakta yang ada. Demikian juga analisis dan simpulan yang
kemudian dikemukakan oleh peneliti haruslah mendasarkan pada alasan
dan bukti-bukti yang lengkap dan objektif.
Dalam memahami dan menganalisis data seorang peneliti
haruslah menggunakan prinsip-prinsip analisis. Semua masalah harus
dicari sebab musabab, serta pemecahannnya dengan menggunakan
analisis yang logis (Nazir, 2003:47). Ketika mencari hubungan sebab
akibat inilah, maka dukungan teori tidak dapat dihindarkan. Dalam
memahami hubungan sebab akibat pilihan kata (diksi) dengan karakter
tokoh dalam sebuah novel, misalnya, seorang peneliti membutuhkan
dukungan teori semiotik. Ketika nama tokoh Lantip digunakan dalam
novel Para Priyayi karya Umar Kayam, maka peneliti akan menganalisis
bahwa nama tersebut mengacu pada nama orang dalam masyarakat
Jawa kerena dalam kosa kata bahasa Jawa yang dipakai masyrakarat
Jawa kata tersebut bermakna cerdas, sehingga secara semiotik peneliti
menginterpretasikan bahwa tokoh Lantip dalam novel tersebut
menggambarkan karakter tokoh dari masyrakat Jawa dengan

46
47

watak yang cerdas. Watak tersebut didukung oleh sejumlah data dari
novel tersebut yang menggambarkan kecerdasan tokoh Lantip.
Dalam memahami dan menganalisis masalah yang diteliti,
seorang peneliti akan diarahkan dengan hipotesis. Hal ini karena
hipotesis yang berkaitan dengan masalah yang dikaji dalam sebuah
penelitian, memiliki peran sebagai pegangan dalam menuntun jalan
pikiran peneliti untuk mencapai tujuan penelitian (Nazir, 2003:37).
Penelitian tentang karakter tokoh Lantip dalam novel Para Priyayi,
misalnya dipandu oleh hipotesis yang berkaitan dengan teori semiotik
bahwa pemilihan nama orang (tokoh) tidak terlepas dari konteks sosial
historis dan harapan si pemberi nama. Hipotesis tersebut menuntun
peneliti untuk menganalisis hubungan nama tersebut dengan konteks
sosial historis dan harapan si pemberi nama. Setelah penelitian
dilakukan, hipotesis dapat dibuktikan sesuai dengan data-data yang
mendukung, tetapi sebaliknya mungkin juga tidak terbukti.
Kerja penelitian dan analisis harus dinyatakan dengan ukuran
yang objektif. Pertimbangan-pertimbangan harus dibuat secara objektif
dengan menggunakan pikiran yang waras (Nazir, 2003: 37). Hal tersebut
tampak dari data-data yang dikemukakan, proses analaisis yang
sistematis, dan hasil interpreatsi yang masuk akal. Apabila penelitian
menggunakan data kuantitatif, maka ukurannya harus jelas. Namun,
apabila data tidak dapat diukur secara kuantitatif, seperti struktur sebuah
alur dalam novel, yang dikemukakan adalah adanya bagian-bagian dari
suatu hal yang diteliti (bagian-bagian akur, seperti awal peristiwa,
timbulnya masalah, masalah mencapai klimaks, masalah mulai
terpecahkan, dan akhir permasalahan).
Selanjutnya, metode ilmiah memiliki sejumlah langkah yaitu (1)
memilih dan merumuskan masalah, (2) menentukan tujuan dan manfaat
penelitian, (3) mengadakan studi kepustakaan, (4) memformulasikan
hipotesis, (5) menentukan metode penelitian, (5)

47
48

mengumpulkan data penelitian, (6) mengolah, menganalisis, serta


membuat interpretasi, (7) membuat generalisasi dan kesimpulan, dan
(8) membuat laporan (Nazir, 2003:34). Langkah-langkah tersebut secara
sistematis harus dilalui oleh seorang peneliti. Langkah ke (1) sampai (5)
harus dituangkan dalam proposal penelitian yang harus disusun sebelum
penelitian dilaksanakan. Langkah (6) sampai (8) yang merupakan
kelanjutan dari langkah sebelumnya dilakukan setelah penelitian
dilaksanakan.

3.3.1 Memilih dan Merumuskan Masalah


Langkah pertama yang harus ditempuh oleh calon peneliti adalah
memilih dan merumuskan masalah. Dalam penelitian sastra masalah
dapat dipilih dari karya sastra, hubungan antara pengarang dengan karya
sastra, hubungan karya sastra dengan kenyataan, hubungan antara
karya sastra dengan pembaca, dan hubungan antara karya sastra
dengan karya sastra lainnya atau karya seni lainnya. Pemilihan masalah
haruslah dilatarbelakangi oleh alasan yang bersifat akademis, bukan
berdasarkan interes pribadi atau subjektif. Dalam proposal atau pun
laporan penelitian alasan tersebut akan dikemukakan dalam subbab
Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan namanya latar belakang
masalah menguraikan asal usul dan alasan mengapa seorang peneliti
memilih mengkaji masalah tertentu.
Sejumlah alasan yang melatarbelakangi pilihan masalah dalam
sebuah penelitian sastra, misalnya dapat dikaitkan dengan penelitian
sebelumnya, apabila penelitian yang akan dilakukan bersifat melanjutkan
penelitian sebelumnya atau ingin mengoreksi atau melengkapi
kekurangan penelitian sebelumnya. Selain itu, alasan sebuah penelitian
dilakukan juga bisa karena suatu masalah memang mengedepan
(menjadi fokus yang dominan) atau sedang trand dalam fenomena sastra
saat itu atau merupakan masalah yang mendasari

48
49

karya sastra tertentu. Alasan pemilihan masalah juga dilatarbelakangi


oleh tujuan yang mau dicapai dari sebuah penelitian. Misalnya sebuah
penelitian bertujuan untuk memahami tema-tema sosial yang dominan
dalam novel-novel Indonesia dalam masa tertentu atau meneliti
bagaimana kecenderungan pemilihan kata (diksi) pada novel atau puisi
Indonesia yang ditulis pada masa tertentu.
Setelah memilih masalah, selanjutnya adalah merumuskan
masalah. Rumusan masalah tidak dapat dibuat semena-mena, tetapi
harus dikaitkan dengan pendekatan dan tujuan penelitian. Apabila
masalah yang dipilih misalnya adalah pilihan kata dalam puisi W.S.
Rendra, maka definisi maslahnya sebaiknya adalah yang berkaitan
dengan diksi dan konteksnya, dengan mempertimbangkan pendekatan
dan tujuan penelitian. Dengan masalah penelitian tersebut, maka tujuan
penelitian adalah untuk memahami macam-macam diksi khas yang
dipakai dalam puisi Rendra, apa makna estetisnya, dan konteks sosial
historis apa yang berpengaruh terhadap pilihan diksi tersebut. dengan
tujuan penelitian seperti itu, maka pendekatan yang sesuai adalah
pendekatan objektif yang dipadukan dengan pendekatan ekspresif.

3.3.2 Menentukan Tujuan dan Manfaat Penelitian


Sebelum penelitian yang sesungguhnya dilakukan, maka setelah
masalah dipilih dan dirumuskan seorang peneliti perlu menentukan
tujuan dan manfaat penelitian. Tujuan penelitian tidak dapat dilepaskan
dari rumusan masalah. Sebuah penelitian pada umumnya dilakukan
untuk menemukan informasi yang terdapat dalam fenomena tertentu.
Setelah ditemukan, informasi tersebut selanjutnya perlu dimaknai
(memahami) dalam hubungannya dengan aspek yang lebih luas,
sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam dan utuh terhadap
suatu fenomena. Oleh karena itu, tujuan penelitian pada umumnya
adalah mendeskripsikan adanya aspek X dan memahami mengapa

49
50

aspek tersebut ada, dan bagaimana hubungannya dengan aspek lain


yang menjadi konteksnya.
Sebuah penelitian hendaknya bermanfaat bagi perkembangan
keilmuan dan masyarakat. Oleh karena itu, manfaat penelitian dibedakan
antara manfaat teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian
bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam konteks
ilmu sastra, manfaat teoretis penelitian sastra, misalnya mendukung
perkembangan sejarah sastra, kritik sastra, atau pun teori sastra, yang
merupakan cabang-cabang ilmu sastra. Secara praktis penelitian sastra
hendaknya juga bermanfaat bagai masyarakat luas, misalnya
mendukung peningkatan apresiasi pembaca, memberikan informasi
yang berkaitan dengan temuan penelitian, misalnya adanya gambaran
gaya hidup masyarakat pribumi dalam pergaulannya dengan kaum
kolonial pada novel-novel era kolonialisme.

3.3.3 Mengadakan Studi Kepustakaan


Sebelum penelitian dilakukan, calon peneliti perlu melakukan
studi kepustakaan yang berkaitan dengan kerangka teori dan konseptual
dan masalah penelitian. Dengan melalukan studi kepustakaan kita akan
memperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik
secara konseptual maupun penelitian atau kajian terhadap masalah yang
akan kita teliti, yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya. Penelusuran
kepustakaan dapat dilakukan secara langsung ke perpustakaan maupun
melalui media online.
Agar mendapatkan informasi pustaka yang bernilai akademik, kita
harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, pilihlah referensi yang
dipandang memiliki informasi akademik yang handal. Upayakan untuk
menemukan buku yang memuat teori yang ditulis oleh para penemunya.
Kalau kita akan mencari informasi tentang teori semiotik Roland Brathes
misalnya, maka upayakan menemukan buku karya

50
51

Roland Barthes, seperti Elemens of Semiology (1977). Kalau kita akan


mencari rujukan tentang teori poskolonialisme upayakan menemukan
buku-buku karya Edward W. Said, Orientalism (1978), Benedict
Anderson, Imagened Communities (2006), atau Leela Gandhi,
Postcolonial a Critical Introduction Theory (1996). Untuk sejumlah
rujukan dalam konteks sastra Indonesia yang layak direkomendasikan
antara lain Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw,
2984), Pokok dan Tokoh dalam Sastra Indonesia (A. Teeuw, 1955), Kritik
Sastra Indonesia Modern (Rachmat Djoko Pradopo, 2002),
Perkembangan Novel Indonesia Modern (Umar Junus, 1974), dan
sejumlah buku yang ditulis oleh para ilmuwan sastradi Indonesia yang
telah memiliki reputasi akademik yang pantas diperhitungkan. Rujukan
tersebut dinilai memiliki kualitas akademik tiinggi karena ditulis oleh
ilmuwan yang memang mengembangkan masalah tersebut dalam
sejumlah penelitian dan buku yang ditulisnya.
Kalau hal tersebut tidak memungkinkan, karena buku sudah tidak
terbit lagi pada edisi berikutnya, pilihan buku yang membahas teori yang
tersebut, misalnya Theories of Literarute in the Twentieth Century
(Douwe Fokkema & Elrud Ibsch, 1978), yang membahas teori
strukturalisme, marxisme, esttika resepsi, dan semiotik, Beginning
Theory: an Introduction to Literary and Cultural Theory (Pater Barry,
2002), yang membahas teori strukturslieme, postrukturalisme,
poskolonialisme, new historisisme, dan feminisme, An Introductory
Guide to Post-Structuralism and Posmodernism (Madan Sarup, 1993)
yang membahas teori poststukturalisme, dekonstruksi, psikoanalisis
Lacan, kekuasaan dan seksualitas Foucault, feminisme Yulia Kristeva,
dan posmodernisme. Sejumlah buku tersebut mengoleksi beberapa teori
yang dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya.
Buku ajar atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar di
kelas, pada umumnya ditulis berdasarkan buku yang masuk referensi

51
52

tingkat pertama dan kedua di atas. Kalau referensi di atasnya masih


dapat dilacak, buku ajar hendaknya tidak digunakan sebagai rujukan.
Penulis buku ajar pada umumnya para dosen pengampu mata kuliah.
Buku yang ditulis bertujuan sebagai sumber belajar, kalau pun terpaksa
akan dijadikan rujukan sifatnya hanyalah tambahan.
Rujukan juga dapat diperoleh dari karya ilmiah yang
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Karya ilmiah yang dipublikasikan
dalam jurnal ditulis berdasarkan penelitian yang diakukan oleh peneliti.
Di dalam tulisan tersebut terdapat temuan yang bersifat teoretis dan
praktis yang didukung oleh data dan hasil analisis ilmiah. dalam konteks
akademik, terdapat konvensi mengenai kualitas akademik karya ilmiah
yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Secara berjenjang karya ilmiah
tertinggi dipubikasikan dalam jurnal internasional bereputasi, disusul
jurnal nasional terakreditasi, dan jurnal lokal yang diterbitkan lembaga
penelitian atau pun perguruan tinggi.
Bagaimana dengan rujukan yang diemukan di media online?
Tidak semua informasi yang dipublikasikan di media online (internet)
dapat dijadian rujukan. Media online (internet) pada dasarnya hanyalah
sarana untuk mencari informasi, baik yang bersifat akademik maupun
nonakademik. Sejumlah jurnal terakreditasi dan bereputasi internasional,
bahkan yang terindeks scopus yang oleh dikti dianggap sebagai salah
satu kriteria jurnal bereputasi, dipublikasikan secara online, selain
publikasi fisik. Peneliti dapat membaca dan mengunduh artikel dari
berbagai jurnal tersebut untuk dijadikan rujukan. Rujukan ini dianggap
memiliki nilai akademik tinggi karena pada umumnya artikel yang
dipublikasikan dalam jurnal berasal dari hasil penelitian, sehingga data
dan informasinya cenderung aktual.
Selain mengambil rujukan dari artikel di jurnal akreditasi dan
internasional bereputasi yang publikasikan secara online, peneliti juga
dapat mengambil rujukan dari website organisasi atau lembaga yang

52
53

dapat dipercaya, yang alamatnya berakhiran org., atau ac,id. Sejumlah


karya ilmiah dan laporan penelitian para dosen dan peneliti biasanya
disharing melalui website universitasnya, seperti staffsite uny.ac.id.
sejumlah artikel dalam website academia,edu dapat dijadikan rujukan
karena website ini merupakan situs tempat para peneliti dari seluruh
dunia melakukan sharing artikel dari hasil penelitiannya. Ketika seorang
peneliti akan bergabung dengan academia.edu, harus mengisi formulir
dengan mencantumkan afiliasi perguruan tinggi atau instansinya.
Rujukan online yang tidak layak dijadikan rujukan adalah yang
dipublikasikan melalui website yang berlabel blogspot.com, juga
wordpress.com Blogspot merupakan salah satu penyedia akun website
gratis yang memungkinkan siapa pun dapat posting dan sharing berbagai
tulisan yang belum teruji kualitas dan akutrasi informasi dan datanya.
Sama halnya dengan blogspot.com, WordPress juga merupakan aplikasi
sumber terbuka (open source), siapun dapat mempublikasikan tulisan ke
dalam website ini, sehingga kualitas dan akurasi informasinya kurang
dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Selain itu, kita juga
tidak boleh merujuk artikel yang dipublikasikan di wikipedia.com karena
wikipedia adalah merupakan “ensiklopedia” (laman yang memuat
beragam informasi) yang dimulai pada tahun 2001 (versi bahasa
Indonesia dimulai pada tahun 2003). Dalam Wikipedia termuat informasi
(artikel) yang merupakan hasil kolaborasi oleh para penyunting dari
seluruh dunia. Situs ini merupakan situs wiki, yang berarti siapa pun
dapat menyunting artikel, memperbaiki dan menambahkan informasi,
hanya dengan mengklik pranala sunting yang berada di atas setiap
halaman. Sebenarnya, Wikipedia merupakan merek dagang dari
Wikimedia Foundation, Inc. yang juga telah membuat keseluruhan
keluarga Wikipedia, antara lain Wikiquote, Wiktionary, Wikisource,
Wikibooks dan Wikinews. Karena siapapun yang berminat dapat
menyunting dan menambahkan

53
54

informasi, tentu akurasi dari informasi yang disampaikan di dalamnya


tidak dapat dijamin akurasinya, sehingga diragukan sebagai sumber
rujukan. Informasi dalam Wikipedia hanya layak dijadikan pengetahuan
umum.
Selain digunakan untuk membangun kerangka teori, studi
kepustakaan juga digunakan untuk survei awal terhadap data yang
tersedia. Survei awal ini penting untuk menjajagi apakah data yang
dibutuhkan tersedia atau tidak, kalau tersedia perlu dipikirkan bagaimana
cara mendapatkannya, di mana data tersebut ada, termasuk berapa
lama waktu dan biaya yang diperlukan? Pada tahap ini peneliti harus
memutuskan apakah penelitian dapat dilanjutkan atau tidak. Apabila
datanya tidak memadai atau cukup sulit untuk didapatkan, misalnya data
dari masa lampau yang sumbernya susah dilacak, seperti novel-novel
Indonesia terbitan Balai Pustaka awal 1920- an yang sudah tidak dicetak
ulang, maka pelaksanaan penelitian perlu ditinjau ulang.
Ketika calon peneliti melakukan survei awal terhadap data atau
masalah yang akan diteliti mungkin juga akan menemukan bahwa
ternyata masalah yang akan diteliti sudah pernah diteliti oleh peneliti
sebelumnya. Apabila ini terjadi, maka peneliti sebaiknya tidak lagi
meneliti masalah yang sama. Penelitian dapat dianjutkan tetapi memilih
fokus masalah yang berbeda. Pada tahap memilih masalah, misalnya
peneliti memilih mengkaji wacana nasionalisme dalam novel Salah
Asuhan karya Abdul Muis. Dari survei awal, peneliti menemukan bahwa
masalah tersebut sudah pernah dikaji oleh peneliti sebelumnya. Oleh
karena itu, penelitian tidak perlu dilakukan dengan masalah yang sama.
Penelitian dapat dilakukan dengan memilih fokus masalah yang berbeda,
misalnya inferioritas pribumi pada era kolonial dalam novel Salah
Asuhan. Dalam hal ini, peneliti juga harus menyebutkan bahwa

54
55

penelitian terhadap novel Salah Asuhan pernah dilakukan oleh peneliti


sebelumnya, dengan fokus masalah yang berbeda.

3.3.3 Memformulasikan Hipotesis


Hipotesis adalah anggapan dasar yang berkaitan dengan
masalah tertentu, hubungan sebab akibat dari suatu masalah yang akan
dipahami. Hipotesis berfungsi untuk memandu jalan pikiran peneliti ke
arah tujuan yang dingin dicapai. Hipotesis merupakan pegangan yang
khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti (Nazir, 2003:36). Dengan
fokus masalah inferioritas pribumi pada era kolonial dalam novel Salah
Asuhan, peneliti dapat mengajukan hipotesis bahwa inferioritas tokoh
pribumi terjadi karena beberapa sebab misalnya karena pergaulannya
dan relasinya dengan tokoh Barat yang pada era kolonial memiliki
beberapa keunggulan. Apakah hipotesis tersebut terbukti atau tidak?
Penelitianlah yang akan membuktikannya.
Dalam penelitian sastra, hipotesis ada yang dieksplisitkan ada
pula yang tidak. Hal ini karena penelitian sastra lebih banyak bersifat
intertretatif dalam proses memaknai data yang tidak terlepas dari
kerangka teori yang digunakan.

3.3.4 Menentukan Metode Penelitian


Sebelum melaksanakan penelitian, maka seorang peneliti harus
menentukan metode penelitian. Bersadarkan pada sifat masalahnya, alat
dan teknik yang digunakan dalam penelitian, tempat di mana penelitian
dilaksanakan, waktu jangkauan penelitian, serta area ilmu penetahuan
yang mendukung penelitian, Nazir (2003:46-47) mengelompokkan
metode penelitian menjadi lima kelompok, yaitu metode sejarah, metode
deskriptif/survei (yang di dalamnya meliputi metode survei, deskritif
berkesinambungan, studi kasus, analisis pekerjaan dan aktivitas, studi
komparatif, studi waktu dan gerakan),

55
56

metode eksperimental, metode grounded research, dan metode


penelotian tindakan.

3.3.4.1 Metode Sejarah


Sesuai dengan namanya, metode sejarah mempunyai perspektif
historis. Metode sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan
interpretasi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status keadaan
di masa yang lampau untuk memperoleh generalisasi yang berguna
untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan
sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang (Nazir,
2003:48). Dalam penelitian sastra, metode sejarah sering kali digunakan
dalam penelitian yang bertujuan untuk memahami sejarah
perkembangan jenis sastra pada kurun waktu tertentu. Misalnya sejarah
puisi sejak awalperkembangannya sampai periode tertentu (contoh Puisi
Indonesia dari Awal Pertumbuhannya sampai 1940-an, Puisi Indonesia
1970-2000, dan sebagainya).

3.3.4.2 Metode Deskriptif


Metode deskriptif adalah metode dalam penelitian yang meneliti
status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran, atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir,
2003:54). Penelitian deskrisi bertujuan untuk membuat deskripsi,
gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan aktual mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Ketika metode deskriptif digunakan dalam penelitian survei, maka
penelitian dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala- gejala
yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual dari
fenomena yang ada di masyarakat. Dalam penelitian sastra, metode
survei dalam dipilih dalam penelitian yang, mislanya bertujuan untuk
memperoleh informasi mengenai minat membaca sastra di

56
57

kalangan siswa SMP dan SMA di lokasi tertentu (misalnya DKI atau DIY).
Untuk menjaring informasi yang dibutuhkan peneliti dapat menggunakan
kuisioner dan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan,
serta melakukan wawancara kepasa sejumlah siswa di sekolah. Peneliti
juga dapat menngunakan metode survei untuk meneliti tanggapan
kelompok pembaca tertentu terhadap suatu karya sastra, misalnya
tanggapan pembaca perempuan dan laki-laki terhadap cerpen-cerpen
karya Jenar Maesa Ayu.
Metode deskriptif berkesinambungan adalah penelitian deskriptif
yang dilakukan secara terus menerus atas suatu objek penelitian dengan
memperhatikan secara detail perubahan-perubahan yang dinamis dalam
suatu interval perkembangan dalam suatu periode yang lama (Nazir,
2003L56). Menurut Nazir metide ini biasanya digunakan untuk meneliti
masalah-masalah sosial. Namun, penelitian ini juga dapat digunakan
dalam penelitian sastra, isalnya untuk meneliti kecenderungan gaya
bahasa dalam puisi yang ditulis pada beberapa periode lampau sampai
periode saat ini. Melalui penelitian diskripsi berkesinambungan mungkin
dapat ditemukan perubahan sumber dan referensi bahasa kiasan dalam
puisi lampau dibandingkan periode berikutnya. Penelitian ini juga dapat
digunakan untuk meneliti perbedaan struktur karya dan pemikiran yang
terdapat pada karya- karya yang ditulis oleh pengarang tertentu
(misalnya Goenawan Mohamad atau Sena Gumira Ajidarma) dalam
kurun waktu kreativitasnya yang relatif lama.
Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian
yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruahan
personalitas (Maxfield, via Nazir, 2003:57). Dalam penelitian studi kasus
subjek penelitian dapat individu, kelompok, lembaga, maupun
masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah ingin memahami secara intensif
latar belakang serta interaksi lingkungan dari

57
58

unit-unit sosial yang menjadi subjek (Nazir, 2003:57). Dalam penelitian


sastra studi kasus misalnya dapat digunakan untuk meneliti perjalanan
proses kreatif seorang sastrawan. Melalui penelitian tersebut diharapkan
dapat dipahami latar belakang serta perjalanan proses kreatifnya.
Penelitian komparatif adalah salah satu penelitian deskriptif yang
bertujuan membandingkan faktor-faktor penyebab terjadinya atau
munculnya suatu fenomena dari dua atau lebih objek penelitian.
penelitian ini banyak dilakukan pad penelitian pembelajaran, misalnya
untuk mencari pola tertentu, misalnya pola tingkah laku dan prestasi
belajar dengam membedakan unsur waktu masuk sekolah dan lain-lain
(Nazir, 2003:59). Penelitian komparatif juga banyak dilakukan dalam
penelitian sastra, yang dikenal dengan penelitian sastra perbandinga.
Dalam kajian sastra perbandingan, sering kali dibandingkan struktur atau
unsur-unsur karya sastra dari sastra nasional tertentu dengan sastra
asing, misalnya novel Indonesia dengan novel Belanda. Penelitian
komparatif juga dapat diterapkan untuk memahami motif yang mirip pada
karya sastra satu negara dengan negara lain, misalnya citra ibu dalam
novel Indonesia (misalnya novel Burung-burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya) dengan novel Mesir (misalnya Perempuan di Titik Nol
Karya Nawal El Sadawi).
Penelitian analisis kerja dan aktivitas adalah penelitian yang
menyelidiki aktivitas dan pekerjaan manusia. Hasil penelitiannya
diharapkan memberikan rekomendasi untuk keperluan masa yang akan
datang (Nazir, 2003:63). Penelitian ini biasa digunakan dalam penelitian
industri, jasa, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Dalam
penelitian sastra enelitian ini dapat ditgunakan untuk mengkaji produksi
dan publikasi karya sastra, yang termasuk dalam kajian sosiologi
penerbitan karya sastra.

58
59

Studi gerakan dan waktu (time and motion studi) adalah penelitian
yang menyelidiki efisiensi produksi dengan mengadakan studi yang
mendetail tantang penggunaan waktu serta perilaku pekerjaan dalam
proses produksi (Nazir, 2003:6!0). Metode ini biasa digunakan dalam
ilmu sosial, dan tidak tepat digunakan dalam penelitian sastra, yang lebih
bersifat interpretatif.

3.3.4.3 Metode Eksperimental


Metode eksperimentall adalah metode daam penelitian yang
dilakukan dengan mengadakan maniputasi terhadap objek penelitian
serta adanya kontrol (Nazir, 2003:63). Tujuan penelitian eksperimental
adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat serta
berapa besar hubungan sebab akibat tersebut dengan cara memberikan
perlakuan tertentu pada beberapa kelompok eksperimental dan
menyediakan kontrol untuk perbandingan (Nazir, 2003:64). Metode ini
sering kali dapat penelitian pembelajaran, tetapi jarang dipakai dalam
penelitian sastra.

3.3.4.4 Grounded Research


Grounded research adalah metode penelitian yang mendasar-
kan diri pada fakta dan menggunakan analisis perbandingan, bertujuan
untuk mengadakan generalisasi empiris, menetapkan konsep-konsep,
membuktiakn teori, dan mengembangkan teori. (Nazir, 2003:75).
Grounded research memiliki karakteristik tersendiri. Karakterstik terse-
but adalah (1) data dalam penelitian ini digunakan sebagai sumber teori,
sehingga teori yang dibangun berdasarkan logika tida ada tempatnya
dalam penganut grounded research, (2) menonjolkan peranan data
dalam penelitian karena data merupakan sumber dari teori dan hipotesis,
(3) dasar analisisnya adalah sifat-sifat penting yag ditemukan dan
berbeda satu dengan yang lainnya dalam kategori

59
60

tertentu, (4) pengumpulan data dan analisis berjalan pada waktu yang
bersamaan agar dapat dipastikan bahwa analisis selalu berdasarkan
data, (5) pengumpulan data tidak dilakukan secara random ataupun
mekanik, tetapi pengumulan data dikuasai oleh pengembangan analisis,
(6) rumusan hipotesis didasarkan atas kategori-kategori karena
hipotesis merupakan hubungan antara kategori-kategori dan sifat-
sifatnya, (7) hubungan antara hipotesis-hipotesis yang menghu- bungkan
kategori-kategori merupakan serangkaian keterangan dan fenomena
masyrakat yang dipelajari, dan pengertian secara analisis dari hipotesis-
hiotesis tersebut merupakan sebuah teori (Nazir, 2003:75-76).

60
61

BAB IV
PENYUSUNAN PROPOSAL PENELITIAN SASTRA

Sebelum sebuah laporan penelitian atau artikel ilmiah hasil


penelitian dapat dibaca oleh para pembaca, terutama para ilmuwan,
kalangan akademik, peneliti, mahasiswa, dan siapa pun yang
membutuhkan informasi yang berkaitan dengan masalah tertentu (dalam
konteks ilmu sastra, masalah kesastraan), mungkin kita sering tidak
menyadari bahwa sebelum ada laporan penelitian atau artikel tersebut,
penulis (peneliti)-nya telah melakukan sejumlah langkah. Langkah
tersebut sering kali tidak selalu mudah, sebaliknya bisa juga langkah
tersebut melalui berbagai kendala dan tantangan. Dalam konteks
penelitian, langkah-langkah tersebut dikenal sebagai prosedur, yaitu
langkah-langkah yang secara sistematis harus dilalui oleh seorang
peneliti. Kalau prosedur penelitian yang harus dilalui seorang peneliti
dirinci satu persatu, (1) menyususun proposal penelitian, (2) melak-
sanakan penelitian, (3) menyusun laporan penelitian, (4) menyusun
artikel ilmiah berdasarkan hasil penelitian, (5) mempublikasikan artikel
ilmiah di jurnal penelitian dan seminar atau konferensi yang dihadiri
ilmuwan yang terkait.
Sebelum melangkah pada pelaksanaan penelitian, seorang
peneliti harus menyusun proposal penelitian. Proposal penelitian harus
menggambarkan (1) latar belakang dilakukannya penelitian, (2) pe-
nentuan sumber data dan data, (3) mengidentifikasi dan merumuskan
masalah, (4) menentukan tujuan penelitian, (5) manfaat penelitian, dan
(6) studi kepustakaan dan kajian teori, dan (7) metode penelitian yang
akan digunaan. Apabila disusun dengan menggunakan pembagian Bab,
maka proposal penelitian terdiri dari tiga bab, Bab I Pendahuluan, Ban II
Kajian Pustaka, Bab III Metode Penelitian, (7) menyusun jadwal
penelitian (dan anggaran –untuk penelitian yang mendapat biaya dari

61
62

lembaga atau sponsor). Berikut ini disajikan contoh proposal penelitian


sastra.

4.1 Pendahuluan
4.1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah menguraikan sejumlah alasan yang
melatarbelakangi dilakukannya sebuah penelitian. Latar belakang
masalah yang baik, menguraikan proses pemilihan atau penentuan
masalah penelitian. Masalah penelitian dipilih karena seorang peneliti
terdorong untuk memahami adanya fenomena tertentu yang perlu
mendapatkan perhatian dan pengamatan lebih lanjut. Masalah penelitian
sastra dapat diperolah dari karya sastra, pengarang dan hubungannya
dengan karya sastra, hubungan karya sastra dengan realitas, juga
hubungan karya sastra dengan pembaca. Kita dapat memilih masalah
dari salah satu aspek saja (misalnya karya sastra) atau lebih dari satu
aspek (karya sastra, realitas, pengarang, pembaca). Batasan masalah
ditentukan oleh aspek apa yang menjadi fokus perhatian atau
mengedepan (dominan). Alasan pemilihan atau penentuan masalah
penelitian hendaknya bersifat ilmiah, bukan karena alasan subjektif,
misalnya karena peneliti secara pribadi tertarik atau bahkan memiliki
hubungan khusus dengan fenomena atau objek penelitian.
Setelah membaca novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, misalnya
calon peneliti dapat memilih sejumlah masalah dari novel tersebut untuk
diteliti. Dari aspek karya, peneliti dapat mengamatai dan menemukan
masalah apa yang kiranya dapat diteliti. Kalau peneliti akan
memfokuskan kajian pada struktur pembangan karya tersebut, maka
masalah yang dapat dikaji antara lain, tokoh dan karakternya, alur yang
digunakan untuk menyampaikan cerita, latar (tempat, waktu, sosial
historis politis), persoalan yang diangkat dalam cerita (pencarian

62
63

jejak tahanan politik di Pulau Buru), hubungan intertekstual antara novel


Amba dengan episode “Bhisma Gugur” dalam Mahabharata karena
adanya persamaan nama tokoh dari kedua karya tersebut: Bhisma,
Amba, dan Salwa. Peneliti juga dapat memilih kajian stilistika untuk
meneliti penggunaan gaya bahasa yang cukup menarik yang digunakan
dalam novel tersebut.
Apabila peneliti akan memfokuskan kajiannya pada hubungan
antara karya sastra dengan konteks sosial politik atau pun georafis yang
berkaitan dengan cerita, maka peneliti dapat memilih sejumlah masalah
misalnya kehidupan tapol di Pulau Buru dalam novel tersebut, alam dan
lingkungan hidup Pulau Buru dalam novel tersebut, atau kuasa politik
Orde Baru terhadap tapol dalam novel tersebut. Menurut sejumlah
pembaca dan mengamat sastra, salah satu keunggulan novel Amba
adalah karena mengangkat cerita kehidupan tahanan politik di Pulau
Buru yang tidak dapat dilepaskan dari tragedi nasional 1965. Mereka
yang dipenjara dan diasingkan di Pulau Buru adalah orang- orang,
termasuk para sastrawan dan inteletual (Pramudya Ananta Toer dan
Hesri Setiawan) yang merupakan anggota Partai Komunis Indonesia dan
dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan
para perwira Angkatan Darat.
Peneliti juga dapat memfokuskan kajiannya pada hubungan
antara novel tersebt dengan pembaca, misalnya dengan memilih
masalah penelitian tanggapan pembaca terhadap novel tersebut, baik
pembaca biasa maupun pembaca yang juga para kritikus sastra dan
peneliti yang mengkaji novel tersebut. Sejak penerbitan pertama
September 2012, sampai 2015 telah mengalami cetak ulang dan
diterjemahkan dalam bahasa Jerman dan Inggris. Hal ini menjadi salah
satu indikator banyaknya pembaca terhadap novel tersebut.

63
64

Untuk mendapatkan gambaran bagaimana sebuah latar belakang


masalah disampaikan dalam proposal penelitian, dapat dibaca contoh
berikut.

Bencana alam terjadi di mana-mana. Salah satu


penyebabnya adalah akibat tingkah laku manusia yang sering kali
tidak mempertimbangkan dampak negatifnya bagi keseimbangan
alam dan lingkungan hidup. Padahal untuk menunjang
kelangsungan hidupnya manusia tidak dapat terlepas dari alam
dan lingkungan sekitarnya. Alamlah yang menyediakan sumber
makanan dan energi bagi manusia, juga menyediakan bahan-
bahan untuk membangun rumah, istana, dan berbagai sarana
hidup manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia harus merawat
dan melestarikan alam dan lingkungan sekitarnya.
Perhatian terhadap alam dan lingkungan telah merambah
berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu sastra. Timbulnya gerakan
sastra hijau, yang di Indonesia antara lain digagas oleh komunitas
Raya Kultura menunjukkan adanya perhatian yang serius
sejumlah sastrawan dan pecinta sastra terhadap alam dan
lingkungan. Demikian juga, munculnya kajian ekokritik
(ecocriticism) dalam ilmu sastra.
Novel Amba (2012) karya Laksmi Pamuntjak merupakan
salah satu novel yang mencoba menggambarkan hubungan
antara manusia dengan alam dan lingkungan hidupnya dengan
secara intens. Alam dan lingkungan dalam novel tersebut
digambarkan sebagai hal yang sangat penting untuk mendukung
kehidupan tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Terutama karena
tokoh-tokoh tersebut hidup dalam pengasingan, sebagai tahanan
politik di Pulau Buru pada era Orde Baru. Mereka harus
menaklukkan dan mengolah alam dan lingkungan yang keras dan
liar agar dapat bertahap hidup di pengasingan selama bertahun-
tahun.
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka penelitian
ini mencoba mengkaji relasi antara alam dan lingkungan dalam
novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dengan menggunakan
ekokritik (ecocriticism). Dari penelitian tersebut diharapkan dapat
terungkap bagaimana tokoh-tokoh dalam novel tersebut, yang
merupakan representasi para tahanan politik pada masa Orde
Baru harus bertahan hidup selama bertahun-tahun menjalani
pengasingan di Pulau Buru. Selain itu, juga dapat dipahami
bagaimana alam dan lingkungan hidup telah memberikan inspirasi
dalam penulisan sastra, khususnya novel di Indonesia.

64
65

(“Alam dan Lingkungan Hidup dalam


Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak,
Kajian Ekokritik,” Wiyatmi, 2014)

Kutipan tersebut diambil dari proposal penelitian berjudul “Alam


dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak,
Kajian Ecocriticism,” Wiyatmi, 2014). Latar belakang penelitian tersebut
diawali dengan menguraikan pentingnya kepedulian terhadap keadaan
alam dan lingkungan hidup. Kepedulian terhadap alam dan lingkungan
hidup tersebut telah menginspirasi para sastrawan untuk menulis karya-
karya sastra yang ikut serta dalam gerakan mencintai alam dan
lingkungan, sehingga melahirkan gerakan Sastra Hijau dau kritik sastra
ekologi, yang dikenal sebagai ecocriticism. Setelah itu, secara khusus
peneliti masuk pada karya sastra yang dipilih untuk dikaji, sebagai salah
satu karya sastra yang secara intens menggambarkan fenomena alam
dan lingkungan hidup dan melakukan kritik terhadap eksploitasi alam dan
lingkungan yang berlebih-lebihan.

4.1.2 Menentukan Sumber Data dan Data


Pada latar belakang masalah telah diuraikan alasan dilakukan
penelitian, maka sebelum sampai pada penentuan masalah alam dan
lingkungan hidup dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak yang akan
dikaji dengan ekokritiksisme peneliti perlu menguraikan konteks
pemilihan masalah tersebut yang berkaitan dengan keterkaitan
persoalan ekologi dengan penulisan karya sastra, termasuk novel Amba.
Selanjutnya, peneliti perlu menentukan sumber data dan data yang dikaji
oleh suatu ilmu (misalnya ilmu sastra). Dalam konteks ilmu sastra,
penelitian berjudul “Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel Amba
Karya Laksmi Pamuntjak, Kajian Ekokritik,” maka sumber datanya
adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Dari novel tersebut
selanjutnya peneliti menentukan data yang akan dijadikan

65
66

objek penelitian, Ketika peneliti menentukan masalah alam dan


lingkungan hidup yang digambarkan dalam novel Amba, maka datanya
adalah kata, kalimat, paragraf dalam novel yang mengandung informasi
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Objek material dengan demikian merupakan sumber data,
sementara objek formalnya merupakan data yang akan diteliti, yang
diambil dari objek material. Dalam kaitannya dengan sumber data, ada
yang dikenal sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer
berasal dari objek material dan formal, sementara sumber data sekunder
berasal dari objek formal yang keberadaannya sering kali tidak dapat
dilepaskan dari konteks yang ada di luar dirinya. Informasi yang berkaitan
dengan masalah alam dan lingkungan yang terdapat dalam novel Amba
karya Laksmi Pamuntjak tidak hanya dapat ditemukan dalam novel
tersebut, tetapi juga berkaitan dengan konteks di luar karya tersebut,
yaitu masalah ekologi dan sosial yang menjadi konteks penulisan karya
tersebut yang diperoleh dari sejumlah pustaka yang memuat informasi
terkait.

4.1.3 Mengidenfikasi dan Merumuskan Masalah


Dari objek material dan formal selanjutnya peneliti akan
mengidentifikasi dan merumuskan masalah penelitian. Masalah
penelitian diidentifikasi dari objek formal. Identifikasi masalah
sebenarnya telah dimulai ketika peneliti menguraikan latar belakang
pemilihan masalah penelitian. Apakah masalah yang dikaji akan terfokus
pada satu aspek atau lebih. Dari objek formal alam dan lingkungan hidup
dalam novel Amba, maka sejumlah masalah yang teridentifiasi antara
lain sebagai berikut:
(1) Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba.
(2) Hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan karakter
tokoh-tokoh dalam novel Amba.

66
67

(3) Pemanfaatan gaya bahasa untuk menggambarkan alam dan


lingkungan hidup dalam novel Amba.
(4) Fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel
Amba.
(5) Pandangan ideologi pengarang yang melatarbelakangi
penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba.
Tidak semua masalah yang teridentifikasi tersebut dapat diteliti sekaligus
karena alasan luasnya lingkup dan fokus penelitian. Oleh karena itu,
peneliti dapat membatasi masalah penelitiannya. Dari lima masalah
tersebut, peneliti dapat memilih tiga masalah untuk diteliti, misalnya:
(1) Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba.
(2) Hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan karakter
tokoh-tokoh dalam novel Amba.
(3) Fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel
Amba.

4.1.4 Menentukan Tujuan Penelitian


Setelah merumuskan masalah, maka selanjutnya adalah menen-
tukan tujuan penelitian. Tujuan penelitian menguraian apa yang akan
dicapai melalui penelitian yang akan dilaksanakan. Tujuan penelitian
harus sesuai dengan masalah yang akan diteliti. Sesuai dengan rumusan
masalah di atas, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
memahami (1) hubungan antara alam dan lingkungan hidup
dengan tokoh-tokoh dalam novel Amba; (2) penggambaran alam
dan lingkungan hidup dalam novel Amba; (3) fungsi estetik
penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba.

67
68

4.1.5 Menentukan Manfaat Penelitian


Sebuah penelitian dilakukan harus memiliki manfaat, baik manfaat
teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, sementara manfaat praktis adalah
manfaat penelitian bagi masyarakat maupun yang dapat
direkomendasikan bagi pengambil kebijakan.
Dari penelitian berjudul “Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel
Iamba Karya Laksmi Pamuntjak:: Kajian Ekokritik” (Wiyatmi, 2014), maka
manfaat penelitiannya adalah sebagai berikut.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu sastra, khususnya kritik sastra dengan kajian
ekokritik. Selain itu, secara praktis hasil penelitian diharapkan
berguna bagi peningkatan apresiasi sastra, khususnya dalam
memahami hubungan antara karya satra dengan alam dan
lingkungan hidup.

Dari kutipan tersebut tampak bahwa manfaar sebuah penelitian


ada yang bersifat teoretis, ada yang praktis. Manfaat teoretis adalah
manfaat penelitian untuk mendukungn perkembangan ilmu penge-
tahuan. Sumbangan teoretis penelitian sastra dapat mendukung cabang
ilmu sastra, seperti sejarah sastra, kritik sastra atau teori sastra. Hasil
penelitian level S1 dan S2 pada umumnya belum mampu memberikan
sumbangan bagi perkembangan teori sastra, tetapi memberikan
sumbangan bagi perkembangan kritik sastra dan sejarah sastra,
tergantung pada hasil penelitiannya. Manfaat praktis adalah manfaat
penelitian bagi masyarakat secara luas, bahkan kalau dimungkinkan
dapat memberikan rekomendasi bagi kebijakan program tertentu di
masyarakat atau institusi.

4.2 Studi Kepustakaan dan Kajian Teori


Studi kepustakaan dan kajian teori dilakukan untuk memahami
kerangka teoretik yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dan

68
69

penelitian sebelumnya yang telah mengkaji masalah atau karya yang


akan kita teliti. Dalam proposal penelitian bagian ini ada di Bab II dengan
subjudul Kajian (Tinjauan) Pustaka. Dari proposal penelitian “Alam dan
Lingkungan Hidup dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak:: Kajian
Ekokritik” (Wiyatmi, 2014) studi kepustakaan dan kajian teorinya sebagai
berikut.
A. Kajian Teoretik
1. Ekokritik

Ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra


dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan
belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta
peningkatan kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love,
2003:2). Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan
timbalbalik antara karya sastra dengan lingkungan hidup,
termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang
biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003:1).
Berdasarkan batasan ekokritik tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa kajian terhadap karya sastra (dalam hal ini
novel) menggunakan ekokritik akan menjelaskan bagaimana
alam, lingkungan hidup, dengan berbagai persoalannya menjadi
bagian yang tak terpisahkan dalam karya sastra. Dalam hal ini
alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami sebagai latar
tempat dan suasana, tetapi juga merupakan aspek yang ikut
membangun estetika sebuah karya sastra.
Dalam karya sastra, misalnya novel, masalah alam dan
lingkungan hidup tampak pada latar (tempat dan suasana) yang
merupakan unsur yang tak terpisah dari karakter tokoh, bahasa
yang digunakan untuk menyampaikan cerita, dan konteks cerita
yang mendukung makna novel secara keseluruhan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sayuti (2000) bahwa latar, yang mengacu pada
tempat dan suasana tertentu berfungsi sebagai atmosfir yang
mendukung karakter tokoh novel.

2. Alam dan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Ekokritik


Alam dan lingkungan hidup merupakan wilayah kajian dalam
ilmu sastra, khususnya dengan menggunakan perspektif ekokritik.
Dalam paradigma ilmu sastra, ekokritik merupakan jenis kritik
sastra yang relatif baru karena mulai dikenal tahun 1990-an.
Terbitnya buku-buku The Ecocriticism Reader (1996) yang diedit
oleh Cheryll Glotfelty & Harold Fromm dan The Enviromental
Imagination (1996) oleh Lawrence Buell menandai

69
70

munculnya ekokritik dalam kritik sastra (Aziz, 2010). Demikian


juga dengan terbitnya buku Ecocriticism karya Donelle N. Dreese
(2002) menunjukkan perkembangan kajian ekokritik dalam kritik
sastra.
Alam dan lingkungan hidup manusia telah lama dieksplorasi
para sastrawan dalam karya sastra yang ditulisnya. Alam dan
lingkungan hidup tidak hanya digunakan sebagai latar cerita
dalam novel, cerpen, atau pun drama, tetapi juga menjadi masalah
yang penting dalam sebuah cerita. Dalam cerpen “Senyum
Karyamin” karya Ahmat Tohari, misalnya dapat ditemukan
gambaran mengenai alam desa yang diekspoitasi oleh manusia,
terutama penambangan pasir liar yang berlebih- lebihan.
Persoalan pengrusakan alam dan lingkungan hidup telah menjadi
bahan renungan tersendiri bagi pembaca cerpen tersebut.
Eksplorasi alam dan lingkungan hidup dalam karya sastra
memungkinkan lahirnya kajian sastra dengan pendekatan
ekokritik. Melalui ekokritik peneliti dapat mencermati bagaimana
alam dan lingkungan hidup selain menjadi unsur penting
pembangun karya sastra (novel) juga menjadi persoalan yang
dibahas di dalamnya.

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Sebagai karya yang relatif baru, terbit pertama kali
September 2012, novel Amba belum banyak dikaji para peneliti.
Akan tetapi, novel ini sudah didiskusikan dan dikomentari oleh
sejumlah kritikus, antara lain Bambang Sugiharto dan Goenawan
Mohamad, Dewi Lestari, dan Ariel Heryanto yang ditampilkan
dalam sampul novel tersebut. Sugiharto (2012) menyatakan
bahwa sudah banyak memang novel yang bercerita tentang
tragedi tahun ’65 dengan bermacam konsekuensi psiko-
sosialnya. Namun tak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa
dari sisi kematangan penguasaan bahan, erudisi dan kedalaman
visi kemanusiaan, serta kepiawaian oleh bentuknya, Amba adalah
novel bertaraf world class. Di Indonesia sendiri kiranya ini adalah
salah satu puncak baru dalam pencapaian sastra kita. Goenawan
Mohamad (2012) menilai bahwa novel ini akan merupakan salah
satu dari deretan karya terkemuka kesusastraan Indonesia. Dewi
Lestari (2012) menyatakan bahwa dengan menggunakan diksi
yang memukau Laksmi Pamuntjak menghadirkan kisah cinta
kolosal sekaligus menyentuh. Tak hanya rimansa, banyak jendela
sejarah dan pembelajaran hidup yang terkuak dalam buku ini. Ariel
Heryanto (2012), menyatakan bahwa kisah cinta yang dituturkan
secara anggun dan penuh gairah oleh seorang penulis paling
cerdas dari generasinya,

70
71

berlatar sejarah yang paling ditabukan di tanah airnya sendiri. Dari


berbagai komentar dan penilaian terhadap novel tersebut tampak
bahwa masalah alam dan lingkungan yang terdapat dalam novel
tersebut belum dibicarakan (disinggung). Padahal, penggambaran
tentang alam dan lingkungan hidup merupakan hal yang cukup
dominan dalam novel tersebut, seperti pada kutipan berikut: Di
Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu./
Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi
ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang
hilang oleh silau...(Pamuntjak, 2012:15).
Dari penelusuran terhadap hasil penelitian sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa novel Amba belum pernah dikaji secara
khusus, termasuk dengan menggunakan perspektif ekokritik. Oleh
karena itu, penelitian terhadap novel tersebut dengan perspektif
ekokritik perlu dilakukan.

4.3 Metode Penelitian

Dalam metode penelitian diuraikan jenis penelitian apa yang


digunakan sebagai kerangka penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data. Jenis penelitian berkaitan
dengan metode penelitian yang dipilih, yang selanjutnya berkon-
sekuensi pada penentuan sumber data, teknik pengumpulan dan analisis
data. Dalam proposal penelitian bagian ini ada di Subbab III.
Dari proposal penelitian “Alam dan Lingkungan Hidup dalam
Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak:: Kajian Ekokritik” (Wiyatmi, 2014)
diuraikan metide penelitian sebagai berikut.

A. Jenis Penelitian

Untuk memahami hubungan antara alam dan lingkungan


hidup dengan tokoh-tokoh, penggambaran alam dan lingkungan
hidup, dan fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan
dalam novel Amba penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif interpretif dengan pendekatan ekokritik. Penelitian
deskriptif kualitatif interpretif mempelajari benda-benda di dalam
konteks alamiahnya dan berupaya untuk memahaminya atau
menafsirkan maknanya yang dilekatkan pada manusia (peneliti)
kepadanya (Denzin & Lincoln, 1994:2).

71
72

B. Sumber Data
Sumber data adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak,
yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2012, cetakan
kedua, November. Cetakan pertama novel tersebut, September
2012. Novel terdiri dari 494 halaman. Selain itu, juga digunakan
sumber data yang berkaitkan dengan alam dan lingkungan hidup
yang digambarkan dalam novel Amba, yang akan dilacak dari
literatur yang berkaitan dengan ekologi.

C. Teknik Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dengan teknik baca dan catat. Data
diperoleh dengan cara membaca dan memcatat informasi yang
berkaitan dengan masalah penelitian dari novel Amba dan sumber
data sekunder yang relevan dengan masalah penelitian.

D. Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan analisis wacana kualitatif
interpretif dengan pendekatan ekokritik melalui kegiatan
kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk
mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah
ditetapkan, yaitu adanya keterkaitan antara persoalan alam dan
lingkungan hidup yang terdapat dalam pilihan kata, kalimat,
wacana yang digunakan dalam teks novel yang diteliti. Tabulasi
digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk
tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan
menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan
penelitian..

4.4 Jadwal Penelitian


Agar penlitian yang kita lakukan terarah dan dapat dilaksanakan
tetap waktu, maka ketika menyusun proposal hendaknya dilengkapi
dengan jadwal penelitian. Pada umumnya penelitian dapat dilakukan
selama satu semester sampai satu tahun.

72
73

Jadwal Penelitian
No Kegiatan Bulan Capaian
(%)
1. Penyusunan proposal Januari-Maret 100
dan revisi
(penelitian untuk
menyusun skripsi, tesis,
atau disertasi melibatkan
dosen pembimbing
dalam proses
pembimbingan)
2. Pengumpulan data April – Juli 100
3. Penyusunan draft Hasil Agustus- 100
Penelitian (penelitian Oktober
untuk menyusun skripsi,
tesis, atau disertasi
melibatkan dosen
pembimbing dalam
proses pembimbingan)
Penyususnan draft
laporan dan bahan ajar
4. Seminar Hasil Penelitian Oktober 100
(penelitian untuk
menyusun skripsi, tesis,
atau disertasi menempuh
ujian )
5. Finalisasi Laporan dan November- 100
Publikasi Desember

73
74

BAB V
MENYUSUN LAPORAN PENELITIAN

Setelah penelitian diaksankan, maka tahap selanjutnya adalah


menyusun laporan penelitian. Laporan penelitian memuat empat Bab
(Bab I Pendahaluan, Bab II Kajian *atau Tinjauan Pustaka), Bab III
Metode Penelitian, Bab IV Hasil Penelitian dan pembahasan, Bab V
Simpulan, dilengkapi halaman sampul depan, lembar pengesahan, kata
pengantar, daftar isi, abstrak di awal Bab I, dan daftar pustaka, dan
lampiran di belakang Bab V.
Berikut ini adalah contoh Laporan Hasil Penelitian terhadap
novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.

5.1 Halaman Sampul


Halaman sampul laporan penelitian berisi judul penelitian,
identitas peneliti, logo dan nama institusi tempat peneliti bernaung. Untuk
jenis penelitian yang dilakukan dan disusun sebagai skripsi, tesis,
maupun disertasi, pada label Laporan Penelitian diganti dengan label
skripsi, tesis, atau disertasi.

5.2 Halaman Pengesahan


Halaman pengesahan memuat informasi judul penelitian, identitas
pneliti, tanda tangan peneliti, disertai tanda tangan para pembimbing dan
penguji (untuk skrpsi, tesis, dan disertasi), serta para pejabat yang
berwenang (Dekan dan atau Kepala Kembaga Penelitian).

74
75

LAPORAN PENELITIAN (Skripsi/tesis/disetasi)

ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM NOVEL AMBA


KARYA LAKSMI PAMUNTJAK: KAJIAN EKOKRITIK

Dr. Wiyatmi, M.Hum.


NIP 196505101990012001

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


UNVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014

75
76

LEMBAR PENGESAHAN

1. JUDUL PENELITIAN
ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM NOVEL AMBA
KARYA LAKSMI PAMUNTJAK: KAJIAN EKOKRITIK

Identitas Peneliti
Nama : Dr. Wiyatmi, M.Hum
NIP : 196505101990012001
Jabatan Fungsional/Golongan : Lektor Kepala/IVb
Bidang Ilmu : Sastra Indonesia
Program Studi/Jurusan : Sastra Indonesia/ Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
(6) Alamat email : wiyatmi_fbs@yahoo.co.id
Anggaran yang disusulkan : 7.000.000 (Tujuh Juta Rupiah)
Waktu Penelitian : 8 Bulan
Anggota Peneliti :-
Mahasiswa yang terlibat : Mawaidi (11210141015)

Yogyakarta, 20 Februari
2014

Dr. Wiyatmi, M.Hum.


NIP

Mengetahui
Badan Pertimbangan Penelitian FBS

Dr. Tadkiroatun Musfiroh, M.Hum.


NIP 196908291994032001

5.3 Abstrak
Abstrak atau intisari adalah ringkasan hasil penelitian, yang
mumuat tujuan penelitian, metode penelitian, dan hasil penelitian.
Abstrak ditulis dalam satu spasi. Untuk tesis atau disertasi selain

76
77

abstrak dalam bahasa Indonesia, biasanya juga harus menyertakan


abstrak dalam bahasa Inggris.

77
78

ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM NOVEL AMBA


KARYA LAKSMI PAMUNTJAK: KAJIAN EKOKRITIK

Wiyatmi
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami
hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-tokoh dalam
novel, penggambaran alam dan lingkungan hidup, dan fungsi estetik
penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba dengan
menggunakan perspektif ekokritik. Hasil penelitian menunjukkan adanya
temuan sebagai berikut. Pertama, alam dan lingkungan hidup memiliki
hubungan yang erat dengan karakter dan perjalanan hidup tokoh-tokoh
dalam novel Amba. Secara spesifik hubungan tersebut dapat dibedakan
dalam empat kategori, yaitu (a) pemanfaatan alam untuk
menggambarkan karakter tokoh (Amba, Bhisma, Perempuan Kedua), (b)
penyelenggaraan upacara peringatan kematian tokoh (Bhisma) dari
peristiwa alam (bulan purnama), (c) penggambaran fase kehidupan
tokoh sesuai dengan perkembangan alam (Samuel), (d) alam sebagai
arena yang harus ditaklukkan dan dijadikan sahabat (Bhisma dan
Perempuan Kedua). Kedua, penggambaran alam dan lingkungan hidup
dalam Amba juga berkaitan dengan penciptaan latar cerita, yaitu latar
tempat dan waktu, Pulau Buru pada era penahanan tapol orang-orang
komunis pada era Orde Baru, antara 1969-2006. Ketiga, pemanfaatan
alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba yang melekat pada
karakter dan perjalanan hidup tokoh, serta latar tempat dan waktu yang
bersifat estetis mempekuat kualitas novel yang terkategori novel sejarah.

Kata kunci: alam, lingkungan hidup, Pulau Buru, ekokritik, tapol.

5.4 Isi Laporan Penelitian


5.4.1 Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Bencana alam terjadi di mana-mana. Salah satu penyebabnya
adalah akibat tingkah laku manusia yang sering kali tidak mem-
pertimbangkan dampak negatifnya bagi keseimbangan alam dan
lingkungan hidup. Padahal untuk menunjang kelangsungan hidupnya
manusia tidak dapat terlepas dari alam dan lingkungan sekitarnya.

78
79

Alamlah yang menyediakan sumber makanan dan energi bagi manusia,


juga menyediakan bahan-bahan untuk membangun rumah, istana, dan
berbagai sarana hidup manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia harus
merawat dan melestarikan alam dan lingkungan sekitarnya.
Perhatian terhadap alam dan lingkungan telah merambah
berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu sastra. Timbulnya gerakan sastra
hijau, yang di Indonesia antara lain digagas oleh komunitas Raya Kultura
menunjukkan adanya perhatian yang serius sejumlah sastrawan dan
pecinta sastra terhadap alam dan lingkungan. Demikian juga, munculnya
kajian ekokritik (ecocriticism) dalam ilmu sastra.
Novel Amba (2012) karya Laksmi Pamuntjak merupakan salah
satu novel yang mencoba menggambarkan hubungan antara manusia
dengan alam dan lingkungan hidupnya dengan secara intens. Alam dan
lingkungan dalam novel tersebut digambarkan sebagai hal yang sangat
penting untuk mendukung kehidupan tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
Terutama karena tokoh-tokoh tersebut hidup dalam pengasingan,
sebagai tahanan politik di Pulau Buru pada era Orde Baru. Mereka harus
menaklukkan dan mengolah alam dan lingkungan yang keras dan liar
agar dapat bertahap hidup di pengasingan selama bertahun- tahun.
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka penelitian ini
mencoba mengkaji relasi antara alam dan lingkungan dalam novel Amba
karya Laksmi Pamuntjak dengan menggunakan ekokritik (ecocriticism).
Dari penelitian tersebut diharapkan dapat terungkap bagaimana tokoh-
tokoh dalam novel tersebut, yang merupakan representasi para tahanan
politik pada masa Orde Baru harus bertahan hidup selama bertahun-
tahun menjalani pengasingan di Pulau Buru. Selain itu, juga dapat
dipahami bagaimana alam dan lingkungan hidup telah memberikan
inspirasi dalam penulisan sastra, khususnya novel di Indonesia.

79
80

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut.
1. Hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-
tokoh dalam novel Amba.
2. Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam novel
Amba.
3. Fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam
novel Amba.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami
(1) hubungan antara alam dan lingkungan hidup dengan tokoh-tokoh
dalam novel Amba; (2) penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam
novel Amba; (3) fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan
dalam novel Amba.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu sastra, khususnya kritik sastra dengan kajian
ekokritik. Selain itu, secara praktis hasil penelitian diharapkan berguna
bagi peningkatan apresiasi sastra, khususnya dalam memahami
hubungan antara karya satra dengan alam dan lingkungan hidup.

5.4.2 Bab II Kajian Pustaka


A. Kajian Teoretik
1. Ekokritik
Ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra
dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan
belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan

80
81

kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love, 2003:2). Ekokritik


memberikan perhatian terhadap hubungan timbalbalik antara karya
sastra dengan lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas
sosial dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love,
2003:1).
Berdasarkan batasan ekokritik tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kajian terhadap karya sastra (dalam hal ini novel) menggunakan
ekokritik akan menjelaskan bagaimana alam, lingkungan hidup, dengan
berbagai persoalannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya
sastra. Dalam hal ini alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami
sebagai latar tempat dan suasana, tetapi juga merupakan aspek yang
ikut membangun estetika sebuah karya sastra.
Dalam karya sastra, misalnya novel, masalah alam dan
lingkungan hidup tampak pada latar (tempat dan suasana) yang
merupakan unsur yang tak terpisah dari karakter tokoh, bahasa yang
digunakan untuk menyampaikan cerita, dan konteks cerita yang
mendukung makna novel secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sayuti (2000) bahwa latar, yang mengacu pada tempat dan
suasana tertentu berfungsi sebagai atmosfir yang mendukung karakter
tokoh novel.

2. Alam dan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Ekokritik


Alam dan lingkungan hidup merupakan wilayah kajian dalam ilmu
sastra, khususnya dengan menggunakan perspektif ekokritik. Dalam
paradigma ilmu sastra, ekokritik merupakan jenis kritik sastra yang
relatif baru karena mulai dikenal tahun 1990-an. Terbitnya buku- buku
The Ecocriticism Reader (1996) yang diedit oleh Cheryll Glotfelty &
Harold Fromm dan The Enviromental Imagination (1996) oleh Lawrence
Buell menandai munculnya ekokritik dalam kritik sastra (Aziz, 2010).
Demikian juga dengan terbitnya buku Ecocriticism karya

81
82

Donelle N. Dreese (2002) menunjukkan perkembangan kajian ekokritik


dalam kritik sastra.
Alam dan lingkungan hidup manusia telah lama dieksplorasi para
sastrawan dalam karya sastra yang ditulisnya. Alam dan lingkungan
hidup tidak hanya digunakan sebagai latar cerita dalam novel, cerpen,
atau pun drama, tetapi juga menjadi masalah yang penting dalam
sebuah cerita. Dalam cerpen “Senyum Karyamin” karya Ahmat Tohari,
misalnya dapat ditemukan gambaran mengenai alam desa yang
diekspoitasi oleh manusia, terutama penambangan pasir liar yang
berlebih-lebihan. Persoalan pengrusakan alam dan lingkungan hidup
telah menjadi bahan renungan tersendiri bagi pembaca cerpen
tersebut.
Eksplorasi alam dan lingkungan hidup dalam karya sastra
memungkinkan lahirnya kajian sastra dengan pendekatan ekokritik.
Melalui ekokritik peneliti dapat mencermati bagaimana alam dan
lingkungan hidup selain menjadi unsur penting pembangun karya sastra
(novel) juga menjadi persoalan yang dibahas di dalamnya.

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Sebagai karya yang relatif baru, terbit pertama kali September
2012, novel Amba belum banyak dikaji para peneliti. Akan tetapi, novel
ini sudah didiskusikan dan dikomentari oleh sejumlah kritikus, antara
lain Bambang Sugiharto dan Goenawan Mohamad, Dewi Lestari, dan
Ariel Heryanto yang ditampilkan dalam sampul novel tersebut.
Sugiharto (2012) menyatakan bahwa sudah banyak memang novel
yang bercerita tentang tragedi tahun ’65 dengan bermacam
konsekuensi psiko-sosialnya. Namun tak berlebihan rasanya bila
dikatakan bahwa dari sisi kematangan penguasaan bahan, erudisi dan
kedalaman visi kemanusiaan, serta kepiawaian oleh bentuknya, Amba
adalah novel bertaraf world class. Di Indonesia sendiri kiranya ini

82
83

adalah salah satu puncak baru dalam pencapaian sastra kita.


Goenawan Mohamad (2012) menilai bahwa novel ini akan merupakan
salah satu dari deretan karya terkemuka kesusastraan Indonesia. Dewi
Lestari (2012) menyatakan bahwa dengan menggunakan diksi yang
memukau Laksmi Pamuntjak menghadirkan kisah cinta kolosal
sekaligus menyentuh. Tak hanya rimansa, banyak jendela sejarah dan
pembelajaran hidup yang terkuak dalam buku ini. Ariel Heryanto (2012),
menyatakan bahwa kisah cinta yang dituturkan secara anggun dan
penuh gairah oleh seorang penulis paling cerdas dari generasinya,
berlatar sejarah yang paling ditabukan di tanah airnya sendiri. Dari
berbagai komentar dan penilaian terhadap novel tersebut tampak
bahwa masalah alam dan lingkungan yang terdapat dalam novel
tersebut belum dibicarakan (disinggung). Padahal, penggambaran
tentang alam dan lingkungan hidup merupakan hal yang cukup dominan
dalam novel tersebut, seperti pada kutipan berikut: Di Pulau Buru, laut
seperti seorang ibu: dalam dan menunggu./ Embun menyebar seperti
kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian
malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau...(Pamuntjak,
2012:15).
Dari penelusuran terhadap hasil penelitian sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa novel Amba belum pernah dikaji secara khusus,
termasuk dengan menggunakan perspektif ekokritik. Oleh karena itu,
penelitian terhadap novel tersebut dengan perspektif ekokritik perlu
dilakukan.
5.4.3 Bab III Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian

Untuk memahami hubungan antara alam dan lingkungan hidup


dengan tokoh-tokoh, penggambaran alam dan lingkungan hidup, dan
fungsi estetik penggambaran alam dan lingkungan dalam novel Amba
penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif interpretif dengan

83
84

pendekatan ekokritik. Penelitian deskriptif kualitatif interpretif mempe-


lajari benda-benda di dalam konteks alamiahnya dan berupaya untuk
memahaminya atau menafsirkan maknanya yang dilekatkan pada
manusia (peneliti) kepadanya (Denzin & Lincoln, 1994:2).

B. Sumber Data
Sumber data adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, yang
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2012, cetakan kedua,
November. Cetakan pertama novel tersebut, September 2012. Novel
terdiri dari 494 halaman. Selain itu, juga digunakan sumber data yang
berkaitkan dengan alam dan lingkungan hidup yang digambarkan dalam
novel Amba, yang akan dilacak dari literatur yang berkaitan dengan
ekologi.

C. Teknik Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dengan teknik baca dan catat. Data diperoleh
dengan cara membaca dan memcatat informasi yang berkaitan dengan
masalah penelitian dari novel Amba dan sumber data sekunder yang
relevan dengan masalah penelitian.

D. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis wacana kualitatif inter-
pretif dengan pendekatan ekokritik melalui kegiatan kategorisasi,
tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelom-
pokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, yaitu adanya
keterkaitan antara persoalan alam dan lingkungan hidup yang terdapat
dalam pilihan kata, kalimat, wacana yang digunakan dalam teks novel
yang diteliti. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data
dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan
menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian.

84
85

5.4.4 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan


Sesuai dengan masalah penelitian yang telah ditentukan, berikut
ini dipaparkan hasil penelitian dan pembahasannya berdasarkan
kerangka teori ekokritik.

A. Hasil Penelitian
1. Hubungan antara Alam dan Lingkungan Hidup dengan
Tokoh-tokoh dalam Novel Amba
Sebelum menjelaskan hubungan antara alam dan lingkungan
dengan okoh-tokoh dalam novel, perlu diuraikan terlebih dahulu garis
besar cerita novel Amba. Novel Amba didominasi oleh cerita tentang
tokoh Amba yang mencari jejak kekasihnya, Bhisma di Pulau Buru.
Bhisma yang berprofesi sebagai seorang dokter, dianggap sebagai salah
seorang anggota Patai Komunis Indonesia (PKI) yang pada masa Orde
Baru dibubarkan oleh pemerintah dan anggota PKI dijadikan tahanan
politi setelah dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
Seperti halnya tahanan politik lainnya, Bhisma akhirnya dikirim ke Pulau
Buru, setelah sebelumnya ditahan di Jakarta dan Pulau Nusa
Kambangan.
Sebelum dipisahkan oleh peristiwa politik yang dikenal dengan
sebutan Gerakan 30 Sepember 1965, Amba —yang pada saat itu
seorang mahasiswi Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada— telah
melalukan hubungan seks dengan Bhisma dan mengandung. Bhisma
ditangkap aparat keamanan ketika bersama Amba menghadiri
pertemuan di Universitas Respublika, Yogyakarta yang dicurigai
berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia. Karena tidak memukan
kekasihnya, Amba akhirnya memutuskan menikah dengan Adalhard
Eilers, dosen tamu (native speaker) di Universitas Gadjah Mada dan
tinggal di Jakarta dan melahirkan anak yang diberi nama Srikandi.

85
86

Setelah para tahanan politik dipulangkan ke daerahnya masing-


masing pada tahun 2006, ternyata Bhisma tidak pernah pulang. Hal inilah
yang mendorong Amba untuk mencarinya ke Pulau Buru. Amba ingin
tahu apakah Bhisma masih hidup ataukah sudah meninggal. Namun,
sesampainya di Pulau Buru Amba tidak pernah menemukan Bhisma,
karena Bhisma sudah meninggal. Dia hanya menemukan surat-surat
yang sangat banyak dan cerita para sahabat Bhisma tentang kehidupan
Bhisma selama di Pulau Buru. Dalam surat dan kisah-kisah itulah,
hubungan antara alam dan lingkungan hidup tergambar dengan intens
dan menjadi sumber data penelitian ini.
Beberapa tokoh dalam novel Amba memiliki hubungan yang erat
dengan alam dan lingkungan adalah Amba, Bhisma, Samuel, dan
Perempuan Kedua. Hubungan tersebut dapat dikelompokkan dalam
beberapa kategori
berikut ini.
(1) Pemanfaatan alam untuk menggambarkan karakter tokoh
(Amba, Bhisma, Perempuan Kedua).
(2) Penyelenggaraan upacara peringatan kematian tokoh (Bhisma)
dari peristiwa alam (bulan purnama).
(3) Penggambaran fase kehidupan tokoh sesuai dengan
perkembangan alam (Samuel).
(4) Alam sebagai arena yang harus ditaklukkan dan dijadikan
sahabat (Bhisma dan Perempuan Kedua).
Dengan menggunakan perspektif ekokritik, keempat hal tersebut
dapat diinterpretasikan sebagai berikut.
Alam dimanfaatkan untuk menggambarkan karakter tokoh Amba,
Bhisma, dan Perempuan kedua. Karakter Amba yang cantik dan cerdas,
digambarkan oleh pengarang dengan menggunakan ungkapan berikut.
Amba tahu ia bukan tidak menarik --matanya kucing dan
kenari, bahunya kokoh, lehernya panjang, tulang-tulang pipinya

86
87

tirus dan tajam dan membuatnya tampak kuat, sementara,


sementara mulutnya --guratan yang tegas, tapi lentur, cerdas—
begitu feminin (Pamuntjak, 2012:79).

Dari ungkapan tersebut tampak adanya kesadaran ekologis


pengarang dengan membandingkan kecantikan dan kecerdasan
seorang gadis dari matanya yang indah dan tajam. Tentang
kemampuan mata kucing, pernah dibahas dalam rubrik sains di Tempo
(http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/095522522/Bagaimana-
Mata-Kucing-Melihat-Dunia). Kucing dipercaya memiliki mata yang
tidak biasa. Kucing memiliki mata buat yang jernih. Selain itu, mata
kucing memiliki kemampuan lihat yang hebat membuat, sehingga
mampu mengincar mangsanya dalam kegelapan, lalu melesat dan
menangkapnya tanpa luput. Dibandingkan manusia, mata kucing
mempunyai lebih banyak sel peka cahaya (rod cell) yang membantu
mereka melihat dalam kondisi dengan cahaya minim. Kemampuan ini
sesuai dengan pola hidup hewan karnivora itu yang lebih banyak aktif
saat menjelang malam atau dinihari. Tentang kehebatan mata kucing
dalam melihat ini, Kerry Ketring, seorang dokter hewan di All Animal
Eye Clinic di Whitehall, Michigan, Amerika Serikat, mengatakan bahwa
ada faktor lain yang membuat kucing bisa melihat lebih baik dalam
gelap. Mata kucing mampu mengumpulkan cahaya lebih banyak karena
bentuknya lonjong, korneanya besar, serta memiliki tapetum, lapisan
yang memantulkan cahaya kembali ke retina. Tapetum bisa
menyesuaikan gelombang cahaya yang dilihat kucing sehingga mangsa
atau objek yang sebelumnya berbentuk siluet bisa terlihat lebih jelas
(http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/095522522/Bagaimana-
Mata-Kucing-Melihat-Dunia).Dengan membandingkan mata kucing
dengan mata tokoh Amba, gambaran tentang kecerdasan dan
kecantikannya menjadi lebih konkret.

87
88

Selain digunakan untuk menggambarkan karakter Amba, kucing


juga digunakan untuk menggambarkan karakter Bhisma. Karakter
kucing, khususnya kucing hutan, yang tenang dan mandiri dalam
beraktivitas (bekerja) digunakan sebagai metafora karakter Bhisma.

“Saudara saya itu, dokter yang hidup di Tefaat itu, hampir


setinggi saya,” kata Manalisa. “Tapi persamaan berhenti sampai
di situ. Kulit saudara saya lebih cemerlang. Matanya cokelat
keemasan. Ia memiliki sikap tenang seekor kucing hutan, makhluk
yang tak merasa perlu berkelompok, hewan yang mandiri. Setiap
kali ia baru selesai menyembuhkan seseorang, ia diam-diam
menghilang. Biasanya ia mencari sebuah tempat yang jauh dari
orang banyak...
(Pamuntjak, 2012: 60)

Dengan memanfaatkan metafor kucing hutan pengarang


menggambarkan karakter Bhisma yang cerdas, mandiri, dan tekun
bekerja sebagai dokter yang mengobati para pasien tanpa pamrih,
terutama lingkungan tahanan politik di Pulau Buru menjadi lebih konkret.
Selain kucing, unggas, khususnya burung digunakan untuk
menyebut nama orang, yaitu Muka Burung. Nama itu diberikan karena
karena ciri fisik seseorang yang seperti burung.
Muka Burung? Muka Burung –nama yang sedikit luar
biasa bukan? Muka seekor burung. Paruh sebagai mulut,
sepasang mata yang kecil dan awas. Nama itu hampir dapat
dipastikan pemberian seorang warga, seorang lelaki yang punya
rasa humor, yang mungkin bertemu dengan perempuan di lembah
Waeapo bertahun-tahun lalu,,,.
(Pamuntjak, 2012:52)

Sebutan Muka Burung ditujukan untuk tokoh yang disebut sebagai


Perempuan Kedua, seorang pribumi yang oleh Kepala Suku Kepala Air
dinikahkan dengan Bhisma. Dengan sebutan Muka Burung tampak

88
89

citraan raut muka tokoh yang cenderung bermulut maju, hidung


mancung, pipi menonjol, dan bermata tajam.
Fenomena alam yang dikaitkan dengan karakter tokoh adalah
matahari. Oleh tokoh Manalisa, Bhisma diceritakan sebagai orang yang
menyukai matahari, karena matahari merupakan tanda kebesaran hidup.
Di siang hari ini tampak menyukai matahari yang
menyentuh pelupuknya ketika terkatup, dan matahari, seperti
pernah dikatakannya, adalah tanda kebesaran hidup....
(Pamuntjak, 2012:60).

Dari kutipan tersebut tampak keyakinan Bhisma bahwa matahari adalah


tanda kebesaran hidup, matahari menyentuh pelupuk matanya yang
terkatup dan membuat matanya kembali kembali terbuka. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa dengan menemukan kembali matahari setiap
hari, artinya manusia masih diberi kesempatan untuk hidup. Keyakinan
seperti itu sangat bermakna bagi orang seperti Bhisma, seorang tahanan
politik di Pulau Buru yang terbuang dan terpisahkan dari kemewahan,
keluarga, dan orang-orang yang dicintainya. Matahari itu pulalah
tampaknya yang menginspirasi Bhisma, untuk menjalankan profesi
dokternya tanpa pamrih di desa-desa yang membutuhkan bantuan
medis. Ia menyembuhkan siapa saja, berkeliling dari rumah ke rumah,
pergi ke kilang minyak kayu putih di pedalaman (h. 32). Oleh karena itu,
dia pun disebut sebagai Resi dari Waeapo (h. 32). Metafor karakter
Bhisma sebagai matahari yang telah menyinari hidup masyarakat
pedalaman Waeapo menunjukkan bahwa sebagai seorang dokter di
pedalaman Maeapo, Bhisma telah “menghidupkan” orang- orang yang
mungkin akan mati karena terserang penyakit, kalau tidak ditolong dan
diobati Bhisma.
Sebagai masyarakat tradisional yang masih dekat dengan alam,
maka penduduk asli Pulau Buru, menyelenggarakan upacara peringatan
kematian seseorang pada malam bulan purnama, Upacara

89
90

Bulan Purnana, termasuk upacara peringatan kematian tokoh Bhisma


yang dilakukan oleh Kepala Suku Kepala Air di Waeapo. Walaupun
Bhisma bukalah penduduk asli Waeapo, sebagai seorang dokter yang
menyebuhkan sakit penduduk setempat, dia dianggap sebagai seorang
resi yang sakti dan sangat dihormati. Salah satu wujud penghormatannya
adalah menikahkan Bhisma dengan seorang perempuan anak angkat
kepala suku, yang dalam novel tersebut dinamakan Perempuan Kedua
(sebutan setelah tokoh bertemu dengan Amba, yang dianggap sebagai
perempuan pertama dalam kaitannya dengan tokoh Bhisma) atau Si
Muka Burung.
Ia memberi tahu mereka bahwa Perempuan Kedua telah
dibawa ke Polres Namlea pada malam sebelumnya, malam yang
sama Soa Kepala Air di Waeapo menyelenggarakan upacara bulan
purnama untuk memperingati kematian sang Resi (Pamuntjak,
2012: 42).

Beberapa minggu sebelum pelaksanaan upacara Bulan Purnama


itu, dalam novel tersebut diceritakan bahwa Amba bertemu dengan
Perempuan Kedua di makam Bhisma. Karena kedua perempuan itu
merasa sebagai istri Bhisma, maka Perempuan Kedua menyerang Amba
dengan pisau, sampai akhirnya keduanya dilerai oleh para pekerja
tammbang minyak dan dibawa ke rumah sakit.
Upacara peringatan kematian Bhisma yang diselenggarakan oleh
penduduk asli Waeapo, menunjukkan tingginya penghargaan mereka
terhadap Bhisma, sebagai seorang dokter yang telah bekerja keras
mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menyembuhkan penduduk
yang sakit. Sebutan Resi untuk Bhisma juga menunjukkan tinggginya
penghargaan tersebut.
Samuel adalah salah satu tokoh yang berasal dari Pulau Buru.
Samuel pertama kali bertemu dengan Amba di atas kapal menuju
Namlea, Pulau Buru. Samuel digambarkan telah menyatu dengan

90
91

Pulau Buru. Kehidupannya digambarkan seiring dengan perkem-


bangan Pulau Buru, seperti tampak pada data berikut.

Samuel besar di Buru. Apakah ia dibesarkan di sana


adalah soal lain. Yang jelas, selama bertahun-tahun di sana ia
menjadi besar oleh segala hal yang telah ia alami di pulau itu: ia
turut besar bersama Buru...
(Pamuntjak, 2012:25)

Sebagai tokoh yang besar di Pulau Buru, Samuel digambarkan


sebagai orang yang telah mendapatkan pengtahuan hidup yang cukup
kaya dari Pulau Buru, seperti tapak pada data berukut ini.
Setelah ia meninggalkan Buru untuk pertama kalinya,
sebagai anak muda, Samuel tak akan mengenal lagi sebuah
tempat lain di muka bumi yang akan mengajarinya hal-hal yang
penting dalam kehidupan. Semua yang ia ketahui tentang dunia
ini telah ia pelajari di Buru. Buru ada dalam dirinya dan ia bisa
mendengar setiap derit dan desahnya, setiap gerit dan geraknya,
juga ketika ia jauh dari pulau itu. Buru telah mengajari Samuel
sesuatu tentang hujan dan kemarau, ihwal-ihwal yang besar dan
menggetarkan. Buru telah mengenalkan Samuel dengan apa
yang dibawa oleh angin....
(Pamuntjak, 2012:28)

Peran tokoh Samuel sebagai warga asli Buru yang memiliki


hubungan dengan tokoh-tokoh di Buru dan luar Buru menjadi sangat
jelas dengan penggambaran fase kehidupan Samuel yang sejajar
dengan perkembangan Pulau Buru. Bahkan Samuellah yang mengambil
alih peran Zulfikar, mantan tapol yang menemani Amba dari Jakarta ke
Buru untuk mencari Bhisma. Samuel pulalah yang mempertemukan
Amba dengan dengan Kepala Suku Waeapo dan Manalisa yang
membuka kunci untuk menemukan makam Bhisma dan surat-suratnya
yang tidak pernah dikirimkan kepada Amba.
Alam Pulau Buru yang masih alamiah harus ditaklukkan oleh para
tahanan politik. Oleh pemerintah Orde Baru Pulau Buru digunakan untuk
mengirim para tahanan politik yang dianggap Partai

91
92

Komunis Indonesia dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Dalam


Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, Alkatiri (2006:6) menge-
mukakan bahwa pemilihan Pulau Buru sebagai tempat tapol
dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu (1) Pulau Buru teletak jauh dari suhu
politik ibu kota yang sangat peka, (2) untuk meringankan beban
keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita, (3) meneruskan
pembangunan pemerintah sejak tahun 1945 yang mengusahakan
bendungan irigasi dan pertanian. Hal ini karena di Pulau Buru para tapol
akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung
kepada anggaran keuangan negara. oleh karena itu, agar dapat tetap
hidup, maka para tapol, seperti halnya Bhisma dalam novel Amba harus
mengubah hutan untuk menjadi sawah dan ladang, seperti tampak pada
kutipan berikut.

Ini yang dikatakannya kepada saya: “yang membuang kami


memanfaatkan kami untuk mengubah pulau ini bagi mereka.
Dengan membuat sawah, dengan menanam tetum- buhan untuk
makan dan diperjualbelikan, dengan membuka jalan. Tetapi pulau
ini sebenarnya telah disiapkan untuk mengurung kami. Lembah ini
sebuah penjara. Alam cekung yang tiga arahnya dikitari tembok
hutan belukar dan perbukitan yang sambung-menyambung.
Arahnya yang keempat dikepung laut. Kurungan. Tefaat.
(Pamuntjak, 2012:59)

Kutipan tersebut merupakan dialog antara Bhisma dengan


sahabatnya, penduduk asli Buru, Manalisa. Dari kutipan tersebut juga
tampak bahwa kondisi Pulau Buru yang dikitari tembok hutan belukar dan
perbukitan sambung-menyambung yang keempat arahnya dikepung laut
merupakan penjara yang terisolasi. Setelah masa tahanan habis Bhisma
tidak mau kembali ke Jakarta. Dia memilih tetap tinggal di Buru karena
merasa tidak memiliki siapa pun dan hanya ingin berkebun (Pamuntjak,
2012:64). Di Pulau Buru, Bhisma melanjutkan

92
93

hidupnya dengan berkebun dan melayani orang-orang yang mem-


butuhkan bantuannya sebagai seorang dokter.
Perkembangan Pulau Buru dari hutan belantara yang ganas
menjadi alam yang subur dengan sawah, ladang, dan perkebunan
menurut Hersri Setiawan (2004:127) salah seorang tahanan politik
merupakan hal yang tidak direncanakan oleh pihak pemerintah.

Pulau Buru ternyata berkembang tidak sesuai dengan


rancangan mereka (baca: pemerintah). Yang mereka rancang
menjadi lubang kubur komunis, tapi yang tumbuh padi dan
palawija, meranti dan kayu putih, sagu dan gula. Buru tidak
menjadi pesetran ganda mayit... Sebaliknya, Buru menjadi tulang
punggung “hidup mati” Provinsi Maluku....
(Setiawan, 2004:528)
Dari pendapat Hersi Setiawan tersebut tampak bahwa para tapol
yang dikirim ke Pulau Buru sebagian besar merupakan sosok yang kuat
dan pantang menyerah terhadap keadaan dan alam. Mereka berusaha
untuk bertahan hidup dengan membuka lahan persawahan dan hutan.
Hutan juga dianggap sebagai sahabat bagi tokoh Perempuan
Kedua (Muka Burung). Tokoh ini merasa menemukan kedaiaman di
tengah hutan. Bahkan dia sering berdialog dengan pohon-pohon di hutan
dan mengritik penebangan pohon yang tak terkendali, seperti tampak
pada kutipan berikut.
Perempuan Kedua tengah mencari kedamaian di tengah
hutan. (Ia memutuskan “menatap bulan”). Diceritakan bahwa
akhir-akhir ini ia merasa butuh melakukan itu, tak hanya untuk
“menatap bulan”, tapi juga untuk sesekali keluar dari pekat
belantara, ke arah terang, ke sebuah lapangan kecil di tengah
hutan itu. Ia merasa butuh tampil di sana, justru ketika ia tahu tak
ada seorang pun yang bisa melihat dirinya di dalam petak-petak
cerlang yang dibagikan bulan kepada gelap. Ia juga ingin leluasa
menyapa pohon-pohon yang kian terancam. Sebab para
penebang datang semakin kerap.
(Pamuntjak, 2012:17)

93
94

Diceritakan pula bahwa Perempuan Kedua mendekap


pohon-pohon itu satu per satu sambil berbisik, rasakanlah
kehangatan tubuhku, rasakanlah debar jantungku, aku begitu
cinta padamu. Dan ia mendekap pohon-pohon itu dengan lama,
dengan air mata. Ia mendekap mereka sebagaimana Perempuan
Pertama mendekap gunduka tanah dengan isal yang
menderaskan hujan. Lagi-lagi, ini tidak aneh bagai warga Kelapa
Air. Mereka umumnya tahu bahwa pohon-pohon yang ditandai
Perempuan Kedua tak hanya tercerabut dari tanah, tapi juga
diangkut dalam truk-truk acap tak berpelat ke tempat- tempat tak
bernama oleh orang-orang ta dikena. Mereka juga tahu, ini
membuat Perempun Kedua marah, dan merasa tak berdaya.
(Pamuntjak, 2012:17-18)

Dari dua kutipan tersebut tampak adanya interaksi yang mesra


antara hutan (alam) dengan tokoh (Perempuan Kedua). Tokoh merasa
menemukan kedamaian di hutan, dengan menikmati keindahan sinar
bulan. Selain itu, di hutan tersebut tokoh juga memberikan simpati
kepada pohon-pohon karena semakin banyak pohon yang ditebang para
penebang liar dan legal. Dari kutipan tersebut juga terungkap kritik
terhadap praktik penebangan hutan yang tidak diimbangi dengan
penanaman pohon kembali.

2. Penggambaran Alam dan Lingkungan Hidup dalam Novel


Amba
Selain berkaitan dengan karakter tokoh, penggambaran alam dan
lingkungan hidup dalam Amba juga berkaitan dengan penggambaran
latar cerita. Untuk menggambarkan latar tempat dan waktu, alam dan
lingkungan hidup dimanfaatkan sebagai sumber citraan, seperti tampak
pada kutipan berikut.
Memang ada suatu masa ketika Pulau Buru kerap
didatangi para pelaut, yang lalu menetap di sana. Mereka
umumnya datang dari Pulau Buton dan Bugis: kokoh, tegas,

94
95

anak-anak samudra.... Buru telah menjelma magnet. Pulau ini


dengan kisah-kisahnya yang tak lazim, bukan satu warna...
(Pamuntjak, 2012:19)

Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan


menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan
siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan
mengungkap apa yang hilang oleh silau...
(Pamuntjak, 2012:15)

Dari kutipan tersebut tampak bahwa Pulau Buru diumpamakan


seorang ibu yang dalam dan menunggu yang dapat diinterpretasikan
bahwa Pulau Buru merupakan wilayah yang masih dipenuhi oleh
kekayaan alam, baik yang ada di lautan maupun yang ada di hutan, yang
masih setia menunggu anak-anak, generasi mendatang dan para
pendatang untuk mengeksplorasi alam dan membangunnya dan
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Ini sesuai dengan
citraan bahwa Pulau Buru dikelilingi oleh lautan yang dalam dan hutan-
hutan lebat, yang menyimpan kekayaan alam.
Pemanfaatan alam dan lingkungan juga tampak pada deskripsi
tentang pergantian waktu, pagi, siang, dan malam di Pulau Buru pun
digambarkan dengan tenang dengan diskripsi: Embun menyebar seperti
kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian
malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau. Hal itu memberikan
citraan bahwa alam Buru sebenarnya masih alami jauh dari kebisingan
dan polusi.
Selain menggambarkan Pulau Buru yang tenang dan alami, juga
digambarkan kearifan lokal masyarakat Pulau Buru, khususnya dalam
mengkonsumsi Rusa sebagai hasil buruan.

Mereka bicara tentang cara terbaik menggantung rusa,


yaitu pada kaki belakangnya, agar semua cairan tubuhnya dapat
mengalir dengan lancar meliwati pipa pernapasan hidung dan
mulut tanpa mencemari organ-organ tubuh lainnya, terutama
daging –seakan-akan menunjukkan bagaimana manusia

95
96

memperbaiki desain alam. Simaklah, wahai sesama pemakan


daging: Rusa yang boleh dimakan hanyalah yang telah dibunuh
dengan sekali tebas. Janganlah sekali-kali makan otak, tulang
punggung, limpa, apalagi mata. Jangan pernah menyantap mata
mereka.
Dengan lembut Samuel menyentuh lengan Amba.
“Kau tahu kan, “ ujarnya ringan, “bagian-bagian rusa yang
boleh kita makan kadar lemaknya jauh lebih rendah ketimbang
daging sapi.”
(Pamuntjak, 2012:40)

Dari kutipan tersebut tampak adanya kearifan lokal masyarakat


Pulau Buru dalam mengkonsumsi daging Rusa. Dalam kutipan tersebut
tampak adanya penghargaan terhadap hewan Rusa. Menyembelih Rusa
harus sekali tebas, agar hewan tersebut tidak merasakan penderitaan.
Selain itu ada bagian-bagian yang tidak dianjuran untuk dimakan: otak,
tulang punggung, limpa, dan mata. Selain tidak baik bagi untuk
kesehatan manusia karena mengandung lemak, ketika hewan tersebut
masih hidup, bagian tersebut merupakan organ-organ vital.
Kedekatan masyarakat Pulau Buru dengan alam juga tampak
pada nama kampung tempat mereka tinggal, Kepala Air (h.17) dan Air
Buaya (h. 21).
Kau dan aku mungkin akan kaget mendengar
deskripsi ini. Tapi bagi penduduk asli Waeapo, terutama
yang bermukim di “Kepala Air” -istilah penduduk buat hulu
sungai- sama sekali tak ada yang aneh. Bagi mereka,
merangkul yang mati sama saja dengan merangkul yang
hidup. Lagi pula Waeapo telah melihat banyak peristiwa --
terlalu banyak peristiwa—yang berlangsung di atas tanah,
di tengah hutan, di tengah hujan. Peristiwa yang melibatkan
kematian, seks, atau kematian dan seks.
(Pamuntjak, 2012:17)

....Si laki-laki sempat menceletuk bahwa ia merasa


pernah melihat Perempuan Pertama di Air Buaya.
Tepatnya, perempuan itu sedang meninggalkan rumah

96
97

kepala soaI setempat (yang kalau dipikir-pikir, tambah Dr.


Wasis, bukannya tidak masuk akal). Semua orang
mengunjungi Air Buaya biasanya diharuskan melapor ke
rumah kepala soa setempat....

(Pamuntjak, 2012:21-
22)

Waeapo dan Air Buaya adalah nama kecamatan di Pulau Buru,


selain Namlea, Waplau, dan Batabual (http://burukab.go.id/web3).
Kepala Air (hulu sungai) digunakan untuk menyebut tempat tinggal
penduduk asli di Waeapo, Pulau Buru karena mereka memang tinggal di
dekat sungai, mata air sebagai sumber kehidupan.

3. Fungsi Estetik Penggambaran Alam dan Lingkungan dalam


Novel Amba
Dari hasil penelitian yang berkaitan dengan rumusan masalah
pertama dan kedua tampak bahwa penggambaran alam dan lingkungan
hidup dalam novel Amba memiliki fungsi estetis karena mendukung
penggambaran watak tokoh dan latar, khususnya latar tempat. Dengan
memanfaatkan metafor alam untuk menggambarkan karakter tokoh,
misalnya Amba, Bhisma, dan Muka Burung tampak bahwa tokoh-tokoh
yang menjadi pelaku dalam novel ini selain hidup menyatu dengan alam,
juga memiliki watak istimewa seperti makhluk hidup (hewan) lainnya
yang dapat dijadikan teladan bagi manusia, khususnya kucing.
Dalam masyarakat agraris, dari mana tokoh Amba berasal, alam
hadir tak terpisahkan dari manusia. Alam, misalnya hewan kesayangan
seperti kucing dan burung, sering kali dijadikan metafor untuk melukiskan
watak atau karakter seseorang. Ungkapan: Amba tahu ia bukan tidak
menarik --matanya kucing dan kenari, bahunya kokoh, lehernya panjang,
tulang-tulang pipinya tirus dan tajam dan membuatnya tampak kuat,
sementara, mulutnya --guratan yang tegas,

97
98

tapi lentur, cerdas—begitu feminin....(h. 79), secara estetis menunjukkan


adanya hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan alam.
Penggambaran alam dan lingkungan hidup Pulau Buru secara
estetis digunakan untuk bagaimana tokoh (Bhisma, Muka Burung, dan
Samuel) harus menjalani kehidupannya di Pulau Buru. Alam telah
mengajari mereka untuk dapat menjalani hidup yang keras dan terasing
di pulau terpencil. Bhisma harus dapat menaklukkan ganasnya alam
Pulau Buru, agar dapat selamat menjalani hidupnya sebagai tahanan
politik. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain menjadikan alam
sebagai sahabat, dengan mengolah tanah yang tadinya gersang dan
mati menjadi sawah dan ladang. Namun, setelah Buru berkembang
menjadi lahan persawahan dan perkebunan, terjadilah penebangan
hutan yang tak terkendali. Itulah yang menimbulkan keprihatinan tokoh
Muka Burung, yang diekspresikan dengan menyentuh dan berdialog
dengan pohon-pohon di hutan yang makin lama makin terancam untuk
mendekati kepunahan.
Latar cerita Pulau Buru dalam novel tersebut secara estetis
tampak pada penyebutan nama tempat yang secara referensial
menunjuk pada sejumlah lokasi di Pulau Buru dan sekitarnya, yaitu
Namlea, Waeapo, Kepala Air, Air Buaya, Maluku, dan Ambon. Nama-
nama tempat tersebut secara estetis berkaitan dengan latar tempat
tahanan politik orang-orang yang dianggap terlibat Partai Komunis pada
masa Orde Baru. Dalam sejarah politik Indonesia Pulau Buru memiliki
makna khusus karena berkaitan dengan pengasingan para tahanan
politik. Dalam buku Pramudya Ananta Toer (1995:2) diceritakan bahwa
gelombang pertama tapol berangkat ke Pulau Buru pada 17 Agustus
1969. Dalam hal ini Pramudya termasuk yag diberangkatkan ke Buru
gelombang pertama, yang berjumlah 500 orang. Bhisma menurut
penuturan tokoh Manalisa dalam Amba datang ke Pulau Buru sebagai

98
99

tapol gelombang ketiga (Pamuntjak, 2012:59). Di samping dikenal


sebagai tempat tapol, Pulau Buru juga dikenal debagai Tefaat, seperti
beberapa kali disebut dalam novel Amba (misalnya halaman 59). Tefaat
adalah singkatan dari Tempat Pemanfaatan (Aklakiri, 2006:3). Menurut
Setiawan, secara keseluruhan tapol yang dikirim ke Pulu Buru berjumlah
12.000 orang, mereka terdiri dari tapol Partai Komunis golongan B, yaitu
orang-orang yang dianggap secara tidak langsung terlibat dalam
Gerakan 30 September 1965, dan dianggap sebagai kader (Alkatiri,
2006:7). Dalam hal ini tokoh Bhisma, tergolong sebagai tapol golongan
B karena dalam novel Amba pun tampak bahwa dia tidak berkaitan
secara langsung dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 di
Jakarta. Bahkan, dia ditangkap di Yogyakarta pada 19 Oktober 1965
setelah menghadiri diskusi di Universitas Respublika (Pamuntjak,
2012:289).
Pemanfaatan alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba yang
melekat pada karakter dan perjalanan hidup tokoh, serta latar tempat dan
waktu yang bersifat estetis mempekuat kualitas novel yang terkategori
novel sejarah. Dalam hal ini Amba yang mencoba menceritakan kembali
kehidupan tokoh tapol di Pulau Buru di era Orde Baru dapat dikatakan
sebagai novel yang bercerita mengenai salah satu peristiwa sejarah di
Indonesia, yaitu tragedi tahun 1965.
Meskipun sebagian besar tokoh-tokoh tersebut hanyalah ciptaan
pengarang (fiktif), tetapi dengan melekatkannya dengan tokoh-tokoh
yang dikenal secara nyata dan peristiwa historis yang pernah ada di
Indonesia, terutama dalam konteks tahanan politik di Pulau Buru pada
era Orde Baru, maka yang semula fiktif menjadi tampak nyata dan hidup
atau mengalami tahap lifelikeness (kesepertihidupan) (Sayuti, 2000). Hal
ini sesuai dengan pendapat Amarzan Loebis (2013), salah satu bekas
tapol di Pulau Buru, yang sekarang menjadi editor senior majalah
Tempo, yang mengatakan bahwa novel ini membaurkan yang

99
100

khayali dan yang nyata dengan cara yang sangat indah dan cerdas, dan
Amba juga merupakan bagian dari “perjuangan melawan lupa” akan luka
sejarah bangsa ini yang tak kunjung pulih (endorsmen dalam sampul
belakang novel Amba).

5.4.5 Bab V Kesimpulan


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
(1) Alam dan lingkungan hidup memiliki hubungan yang erat
dengan karakter dan perjalanan hidup tokoh-tokoh dalam
novel Amba. Secara spesifik hubungan tersebut dapat
dibedakan dalam empat kategori, yaitu (a) pemanfaatan alam
untuk menggambarkan karakter tokoh (Amba, Bhisma,
Perempuan Kedua), (b) penyelenggaraan upacara peringatan
kematian tokoh (Bhisma) dari peristiwa alam (bulan purnama),
(c) penggambaran fase kehidupan tokoh sesuai dengan
perkembangan alam (Samuel), (d) alam sebagai arena yang
harus ditaklukkan dan dijadikan sahabat (Bhisma dan
Perempuan Kedua).
(2) Penggambaran alam dan lingkungan hidup dalam Amba juga
berkaitan dengan penciptaan latar cerita, yaitu latar tempat
dan waktu, Pulau Buru pada era penahanan tapol orang- orang
komunis pada era Orde Baru, antara 1969-2006.
(3) Pemanfaatan alam dan lingkungan hidup dalam novel Amba
yang melekat pada karakter dan perjalanan hidup tokoh, serta
latar tempat dan waktu yang bersifat estetis mempekuat
kualitas novel yang terkategori novel sejarah.

100
101

Daftar Pustaka
Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan
dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13- 16
November 2006.

Aziz, Sohaini Abdul. 2010. “Alam dalam Karya Shahnon Ahmad: dari
pada Latar kepada Isu Alam Sekitar Pengarang Kreatif kepada
Pencinta Alam Sekitar,” dalam Sastra dan Budaya Urban dalam
kajian Lintas Media. Prosiding Konferensi Internasional
Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia
(HISKI). Surabaya: Pusat Penerbitan dan percetakan Universitas
Airlangga dan HISKI, hlm. 65-77.

Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbook of Qualitaitive


Research. Thousand Oaks, London, New Dehli: Sage
Publications International Educational and Professional
Publishers.

Dreese, Donelle N. 2002. Ecocriticism: Creating Self and Place in


Enviromental and American Indian Literature. New York: Peter
Lang Publishing.

http://burukab.go.id/web3. Diunduh melalui google.com, 17 September


2014.

http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/Bagaimana-Mata-Kucing-
Melihat-Dunia. Diunduh melalui google.com, 17 Oktober 2013.

Love, Glen A. 2003. Practical Ecocriticism, Literature, Biology, and the


Environment. USA: University of Virginia Press.

Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta: Gramedia.

Tohari, Ahmat. 2005. Senyum Karyamin. Jakarta: Gramedia.

Toer, Pramudya Ananta. 2004. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta:


Lentera.

Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta:


Gama Media.

Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera.

101
102

BAB VI
NASKAH PUBLIKASI HASIL PENELITIAN SASTRA

Sebuah penelitian baru dapat dianggap selesai apabila peneliti


telah mempublikasikan hasil penelitian pada pertemuan ilmiah (seminar
atau konferensi nasional/Internasional) dan jurnal ilmiah terakreditasi
nasional maupun internasional. Naskah publikasi disusun berdasarkan
laporan penelitian, dengan format menyeseuaikan gaya selingkung yang
berlaku pada jurnall tertentu. Pada umumnya, jurnal ilmiah, seperti Litera
(yang diterbitkan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta) atau Humaniora (yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada) memberikan format artikel ilmiahnya
sebagai berikut: judul, nama penulis, alamat email penulis, abstrak
(bahasa Indonesia dan Inggris), pengantar, metode penelitian, hasil
penelitian dan pembahasan, simpulan, ucapan terima kasih, dan daftar
pustaka.
Berikut disajikan contoh naskah publikasi hasil penelitian.

6.1 MELACAK JEJAK KESADARAN FEMINISME DAN


MANINISME DALAM NOVEL INDONESIA
Artikel pada bab ini disusun berdasarkan penelitian yang
dilakukan tahun 2013 dengan tim peneliti Wiyatmi dan Maman
Suryaman, yang dilaksanakan dengan dana hibah penelitian dikti. Selain
laporan penelitian, luaran hasil penelitian berupa artikel ilmiah yang
selanjutnya dipublikasikan dalam forum seminar/konferensi ilmiah dan
atau jurnal ilmiah. Artikel ini telah dipaparkan dalam forum Konferensi
Internasional Himpunan Sarjan Kesusastraan Indonesia (HISKI), 6-8
November 2013 di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

102
103

Pendahuluan

Karya sastra merupakan salah satu hasil aktivitas kebudayaan


yang diciptakan untuk mencatat dan mengkomunikasikan femonema
yang terjadi dalam masyarakat. Dari sebuah karya sastra, pembaca
(masyarakat) akan menemukan kembali sejumlah peristiwa, gejala
sosial, budaya, politik yang pernah terjadi di masyarakat pada masa
tertentu. Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan
gender, atau yang lebih dikenal dengan feminisme merupakan salah satu
fenomena yang mengemuka dalam sejumlah karya sastra di Indonesia.
Walaupun tidak digambarkan secara eksplisit, sejumlah novel Indonesia
sejak awal perkembangannya, ternyata telah mempersoalankan
pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, sehingga tercapai
masyarakat yang berkeadilan sosial.
Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan gender
(feminisme) timbul dalam masyarakat yang memiliki anggapan bahwa
salah satu jenis kelamin, khususnya laki-laki, dianggap lebih unggul dan
utama dari pada jenis kelamin perempuan. Masyarakat tersebut
menganut ideologi patriarkat, termasuk masyarakat Indonesia.
Akibatnya, terjadi ketidakadilan gender. Keadaan tersebut meresahkan
bagi sejumlah orang, termasuk para sastrawan, yang kemudian
menuangkan keresahan dan kritikannya dalam karya-karya yang
ditulisnya.
Kesadaran feminis ternyata tidak hanya ditemukan dalam karya-
karya sastra (novel) yang ditulis oleh sastrawan perempuan, sebagai
pihak yang dirugikan dalam kultur patriarkat. Karya-karya berkesadaran
feminisme ternyata juga ditemukan dalam novel yang ditulis oleh
sastrawan laki-laki, meskipun mereka sebenarnya berada dalam pihak
yang diuntungkan. Oleh karena itu, tampaknya menarik untuk mengkaji
perbedaan kesadaran feminisme dalam novel yang ditulis oleh
sastrawan perempuan dengan laki-laki. Perbedaan jenis kelamin, yang

103
104

menyebabkan adanya perbedaan posisi, kedudukan, maupun


pandangan masyarakat antara perempuan dengan laki-laki, diduga
memberikan perbedaan kesadaran feminisme antarkeduanya.
Hipotesisnya, kesadaran feminisme yang terungkap dalam novel yang
ditulis oleh sastrawan laki-laki, misalnya Marah Rusli (Sitti Nurbaya) atau
Pramudya Ananta Toer (Bumi Manusia), mungki akan berbeda dengan
yang terungkap dalam novel yang ditulis oleh sastrawan perempuan,
seperti Nh. Dini (Pada Sebuah Kapal) dan Ayu Utami (Saman).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan
mengkaji perbandingan kesadaran feminis dalam novel-novel Indonesia
karya sastrawan perempuan dengan karya sastrawan laki-laki dengan
menggunakan perspektif kritik sastra feminis dan ekspresif. Perspektif
kitik sastra feminis dipilih untuk memahami bagaimana kesadaran
feminisme digambarkan dalam novel-novel yang dikaji, sementara
perspektif ekspresif digunakan untuk memahami hubungan antara novel
yang dikaji dengan pengarangnya.

Masalah Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah, maka masalah yang
diteleliti dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana wujud kesadaran feminis yang terdapat dalam


novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dan
sastrawan laki-laki?
2. Aliran feminis apakah yang terdapat dalam novel-novel
Indonesia karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-
laki?

Tujuan Penelitian

104
105

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan dan menginter-


pretasikan kemungkinan adanya perbedaan kesadaran feminis dalam
novel-novel Indonesia karya sastrawan perempuan dengan karya
sastrawan laki-laki, yang dirinci sebagai berikut.

1. Mendiskripsikan dan menginterpretasikan wujud kesadaran


feminis yang terdapat dalam novel-novel Indonesia karya
sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki.
2. Aliran feminis yang terdapat dalam novel-novel Indonesia
karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoretis maupun


praktis. Secara teoretis hasil penelitian diharapkan memberikan sum-
bangan terhadap perkembangan ilmu sastra, khususnya kritik sastra
feminis dalam memahami fenomena bentuk-bentuk kesadaran feminis
dan aliran pemikiran feminisme yang terdapat dalam novel-novel
Indonesia. Dalam hal ini kritik sastra feminis merupakan salah satu
materi yang akan disampaikan dan dibahas dalam mata kuliah Kritik
Sastra dan Fiksi di program studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
kepada masyarakat pembaca khususnya dalam memberikan
penyadaran terhadap wacana kesetaraan dan keadilan gender yang
terdapat dalam sejumlah novel Indonesia. Di samping itu, juga
memberikan penyadaran pentingnya kampanye kesadaran dan
kesetaraan gender dalam masyarakat yang masih patriarkis. Agar hasil
penelitian diketahui oleh masyarakat luas, maka laporan penelitian akan
ditulis dan dipublikasikan ke jurnal ilmiah terakreditasi dan

105
106

menjadi dasar penulisan bahan ajar, serta dipresentasikan dalam


seminar atau konferensi.

Tinjauan Pustaka

Berikut ini diuraikan tunjauan pustaka yang berkaitan dengan


sejumlah konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

Kesadaran Feminis
Kata feminisme memiliki sejumlah pengertian. Menurut Humm
(2007:157—158) feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak
bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk
mencapai hak asasi perempuan dengan sebuah ideologi transformasi
sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan. Humm
menyatakan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan
perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami
ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Feminisme menawarkan
berbagai analisis mengenai penyebab, pelaku dari penindasan
perempuan (Humm, 2007:1578). Dinyatakan oleh Ruthven (1985:6)
bahwa proyek feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki.
Melalui proyek feminisme harus dihancurkan struktur budaya, seni,
gereja, hukum, keluarga inti yang berdasarkan pada kekuasaan ayah
dan negara, juga semua citra, institusi, adat istiadat, dan kebiasaan yang
menjadikan perempuan sebagai korban yang tidak dihargai dan tidak
tampak.
Feminisme sebagai aliran pemikiran dan gerakan berawal dari
kelahiran era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary
Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat
ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg,sebuah kota
di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad ke-19 feminisme
lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian

106
107

dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara


penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai
universal sisterhood (Abrams, 1999:88; Arivia, 2006:18—19).
Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan
Perancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran
yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan dan
penyebaran feminisme tersebut telah memunculkan istilah feminisme
gelombang pertama, feminisme gelombang kedua, feminisme
gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga feminisme Islam dan
feminisme dunia ketiga. Berikut ini diuraikan adanya berbagai ragam
feminisme yang telah berkembang dalam wacana pemikiran dan gerakan
sosial dan politik.
Dengan rinci Humm (1992:1—6) dan Madsen (2000:1—14)
menguraikan kelahiran dan perkembangan feminisme di Amerika dan
Perancis. Dari uraian tersebut pemikiran dan gerakan feminisme dapat
dibedakan menjadi tiga gelombang, yaitu gelombang pertama,
gelombang kedua, dan gelombang ketiga. Gelombang pertama
feminisme di Amerika berkisar dalam kurun 1840–1920. Gelombang
pertama ini ditandai dengan adanya Konvensi Hak-hak Perempuan yang
diadakan di Seneca Falls, New York pada tahun 1848. Pertemuan
tersebut diprakarsai oleh Elizabeth Cady Stanton dan dihadiri oleh 300
perempuan dan laki-laki (Madsen, 2000:3—7; Tong, 2006:31).
Pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan sikap (Declaration of
Sentiments) dan dua belas resolusi. Deklarasi pernyataan sikap tersebut
menekankan isu yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Mill dan
Taylor di Inggris, yang terutama berhubungan dengan kebutuhan untuk
mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan
anak (Madsen, 2000:6; Tong, 2006:31). Kedua belas resolusi
menekankan pada hak-hak perempuan untuk meng- utarakan
pendapatnya di depan umum (Tong, 2006:32).

107
108

Setelah pertemuan di Seneca Falls pada tahun 1869 Susan B.


Antony dan Elizabeth Cady Stanton mendirikan National Woman’s
Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Nasional),
disusul dengan Lucy Stone yang mendirikan American Woman’s
Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika)
untuk mengembangkan amandemen hak pilih untuk konstitusi (Madsen,
2000:6; Tong, 2006:33). Dua asosiasi tersebut memiliki perbedaan
filosofis. Lucy Stone lebih menekankan pada peran agama yang
terorganisasi dalam opresi terhadap perempuan yang tidak diperhatikan
oleh Antony dan Stanton. Dengan berdirinya kedua asosiasi tersebut,
gerakan hak-hak perempuan Amerika terpecah menjadi dua (Tong,
2006:33). Perbedaan lain dari kedua asosiasi tersebut menurut Tong
(2006:33—34) adalah bahwa National Woman’s Suffrage Association
menyampaikan agenda feminis yang revolusioner dan radikal,
sementara American Woman’s Suffrage Association mendorong agenda
feminis yang reformis dan liberal. Kedua asosiasi tersebut kemudian
bersatu pada tahun 1890 dan membentuk National American Woman’s
Suffrage Association menjadi gerakan perempuan untuk memperoleh
hak pilih. Mereka percaya bahwa hanya dengan mendapatkan hak pilih
perempuan telah sungguh-sungguh setara dengan laki-laki (Tong,
2006:33—34).
Dengan mengikuti peta beragam pemikiran feminisme yang
dibuat Tong (2006), dapatlah diketahui bahwa gagasan dan gerakan
feminisme Amerika gelombang pertama pada dasarnya adalah ragam
feminisme liberal abad ke-19. Setelah mendapatkan hak suara bagi
perempuan, mereka tidak menunjukkan aktivitas yang berarti di Amerika
selama hampir empat puluh tahun. Baru pada tahun 1960 muncul
generasi baru feminis yang dikenal dengan feminisme gelombang kedua.

108
109

Feminisme Amerika gelombang kedua ditandai dengan ber-


dirinya beberapa kelompok hak-hak perempuan, yaitu National
Organization for Women [NOW], the National Women’s Political Caucus
[NWPC], dan the Women’s Equity Action League [WEAL]. Tujuan utama
dari organisasi tersebut adalah untuk meningkatkan status perempuan
dengan menerapkan tekanan legal, sosial, dan lain-lain terhadap
berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone Company hingga jaringan
televisi dan partai-partai politik utama (Tong, 2006:34). Kelompok-
kelompok tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kelompok Pembebasan
Perempuan (Tong, 2006:34) atau Gerakan Pembebasan Perempuan
(Women’s Liberation Movement (WLM) (Humm,1992:3) dengan tujuan
meningkatkan kesadaran perempuan mengenai opresi terhadap
perempuan. Menurut Tong (2006:34), semangat yang mereka miliki
adalah semangat revolusioner kiri yang tujuannya bukanlah untuk
mereformasi apa yang dianggap sebagai sistem elitis, kapitalis,
kompetitif, dan individual, melainkan untuk menggantikannya dengan
sistem yang egaliter, sosialistis, kooperatif, komuniter, dan berdasarkan
pada gagasan sisterhood-is-powerfull (persaudaraan perempuan yang
kuat).
Di antara para feminis Amerika gelombang kedua ada beberapa
nama yang dianggap cukup penting dalam merumuskan gagasan
feminisme, yaitu Betty Freidan, melalui The Feminine Mistique (1977),
Shulamith Firestone melalui The Dialectic of Sex, Kate Millett melalui
Sexual Politics, dan Gloria Steinem melalui Outrageous Acts and
Everyday Rebellions (Madsen, 2000:2; Humm, 1992:4). Perkembangan
feminisme Amerika gelombang kedua selanjutnya ditandai oleh kritik
terhadap arus ‘white’ feminisme (feminisme kulit pulih) yang dilakukan
oleh Angela Davis melalui Woman, Race, and Class (1981) dan Ain’t I a
Woman? (1981), serta feminis lesbian seperti Adrienne Rich dan Audre
Lorde (Madsen, 2000:2).

109
110

Setelah feminisme bergerak dalam dua gelombang tersebut


muncullah feminisme gelombang ketiga yang lebih dikenal dengan
feminisme posmodern atau feminisme Perancis yang dipengaruhi oleh
pemikiran postmodernisme yang dikembangkan oleh para feminis
berkebangsaan Perancis (Tong, 2000:284; Arivia, 2003: 127). Di
samping itu juga dikenal feminisme poskolonial (Lewis and Mills, 1991)
atau sering kali juga dikenal sebagai feminisme dunia ketiga (third world
feminism) (Sandoval dalam Lewis and Mills, 1991).
Feminis postmodern, seperti semua posmodernis, berusaha
untuk menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan pemikiran
falogosentrisme atau setiap gagasan yang mengacu kepada kata (logos)
yang bergaya “laki-laki”. Oleh karena itu, feminisme postmodern
memandang dengan curiga setiap pemikiran feminis yang berusaha
memberikan suatu penjelasan tertentu mengenai penyebab opresi
terhadap perempuan, atau sepuluh langkah tertentu yang harus diambil
perempuan untuk mencapai kebebasan (Tong, 2006:283). Beberapa
feminis postmodern, seperti Cixous misalnya, menolak menggunakan
istilah “feminis” dan “lesbian” karena menurutnya kata- kata tersebut
bersifat parasit dan menempel pada pemikiran falogosentrisme.
Menurutnya, kedua kata tersebut berkonotasi “penyimpangan dari suatu
norma dan bukannya merupakan pilihan seksual yang bebas atau
sebuah ruang untuk solidaritas perempuan (Tong, 2006:284). Beberapa
tokoh penting feminisme gelombang ketiga ini adalah Helena Cixous,
Luce Irigaray, dan Julia Kristeva (Tong, 2006:284).
Di samping ketiga gelombang feminisme tersebut muncul pula
pemikiran posfeminisme seperti yang dikemukakan oleh Brooks (2003).
Untuk menjelaskan makna posfeminisme, Brooks (2003:2—3)
menggunakan konsep yang analog dengan “pos” pada kasus posko-
lonialisme dan posmodernisme. “Pos” di sini merujuk pada proses

110
111

transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung. Posko-


lonialisme dapat dipandang sebagai tanda pertemuan kritis dengan
kolonialisme, sementara posmodernisme dipandang sebagai pertemuan
kritis dengan prinsip-prinsip modernisme. Dengan analog tersebut,
posfeminis dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarkat atau
menempati posisi yang kritis dalam memandang kerangka feminis
sebelumnya, yang pada saat yang bersamaan melawan secara kritis
terhadap wacana patriarkat dan imperialis (Brooks, 2003:3). Posfeminis
dalam praktiknya menantang asumsi- asumsi hegemonik yang dipegang
oleh feminis gelombang kedua yang mengatakan bahwa penindasan
patriarkat dan imperialisme adalah pengalaman penindasan yang
universal (Brooks, 2003:3).
Pemikiran dan gerakan feminisme tersebut juga mempengaruhi
para intektual, termasuk di kalangan Islam. Dengan menggunakan
perspektif feminis, para intelektual Islam berupaya membongkar sumber-
sumber permasalahan dalam ajaran Islam dan memper- tanyakan
penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan Al-
Qur’an (Fatma, 2007:37). Melalui perspektif feminis berbagai macam
pengetahuan normatif yang bias gender tetapi dijadikan orientasi
kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi gender
dibongkar atau didekonstruksi dan dikembalikan kepada semangat Islam
yang lebih menempatkan ideologi pembebasan perem- puan dalam
kerangka ideologi pembebasan harkat manusia (Dzuhayatin, 2002:22).
Dengan semangat tersebut muncullah berbagai gagasan dan kajian
terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan para
intelektual muslim yang dikenal dengan sebutan feminis muslim
(Rachman, 2002:34; Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002:5). Beberapa karya
mereka antara lain adalah Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis
Misoginis (Ilyas, dkk., 2003), Rekonstruksi Metodo- logis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam (Dzuhayatin, dkk. Ed,

111
112

2002), Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran


(Nurjanah-Ismail, 2003). Munculnya gagasan dan kajian tersebut sesuai
dengan semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan
Islam terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang
terdistorsi oleh narasi-narasi besar wacana keislam- an klasik yang saat
ini masih mendominasi proses sosialisasi dan pembelajaran keislaman
kontemporer (Dzuhayatin, 2002:22). Beberapa intelektual yang
melakukan kajian Islam dengan perspektif feminis antara lain adalah
Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal Sadawi (Mesir),
Amina Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar
(Malaysia), serta beberapa orang Indonesia antara lain Siti Chamamah
Soeratno, Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir, Siti Nuraini Dzuhayatin,
Zakiah Darajat, Ratna Megawangi, Siti Musda Mulia, Masdar F. Mas’udi,
Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin Umar (Mojab, 2001:128—129;
Rachman, 2002:34; Nadjib, 2009;
Dzuhayatin, 2002:5).

Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra


(kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi
perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya
sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari
gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada
tahun 1700-an (Madsen, 2000:1).
Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis
dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang ingin
menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk oleh suara
tradisional yang bersifat patriarki (Ruthven, 1985:6). Tujuan utama kritik
sastra feminis adalah menganalisis relasi gender, situasi ketika

112
113

perempuan berada dalam dominasi laki-laki (Flax, dalam Nicholson,


1990: 40). Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan opresi
perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986:22). Humm
(1986:14-15) juga menyatakan bahwa penulisan sejarah sastra sebelum
munculnya kritik sastra feminis dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh
karena itu, kritik sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca
kembali karya-karya tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat
sosiolinguistiknya, mendeskripsikan tulisan perempuan dengan
perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya. Kritik
sastra feminis dipelopori oleh Simone de Beauvoir melalui bukunya,
Second Sex, yang disusul oleh Kate Millet (Sexual Politics), Betty Freidan
(The Feminin Mistique), dan Germaine Greer (The Female Eunuch)
(Humm, 1986:21).
Dalam perkembangannya, sesuai dengan aliran feminisme yang
mendasarinya ada beberapa ragam kritik sastra feminis. Humm (1986)
membedakan adanya tiga jenis kritik sastra feminis, yaitu (1) kritik feminis
psikoanalisis, dengan tokoh antara lain Julia Kristeva, Monique Wittig,
Helene Cixous, Luce Irigaray, Mary Daly, (2) kritik feminis marxis, dengan
tokoh antara lain Michele Barret dan Patricia Stubbs, dan (3) kritik feminis
hitam dan lesbian, dengan tokoh antara lain Barbara Smith, Elly Bulkin,
dan Barbara Greir.
Kritik sastra feminis psikoanalisis memfokuskan kajian pada
tulisan-tulisan perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca
perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau
menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan, sedangkan tokoh
perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.
Munculnya kritik sastra feminis psikoanalisis berawal dari penolakan para
feminis terhadap teori kompleks kastarsi Sigmund Freud (Tong,
2006:196-197). Menurut Freud (via Tong, 2006:196), inferioritas
perempuan terjadi karena kekurangan atau kecemburuan anak

113
114

perempuan akan penis (penis envy). Para feminis, seperti Betty Freidan
menolak teori Freud tersebut dan berargumen bahwa posisi serta
ketidakberdayaan sosial perempuan terhadap laki-laki kecil hubung-
annya dengan biologi perempuan, tetapi sangat berhubungan dengan
konstruksi sosial atas feminisme (Tong, 2006:196). Menurut Freidan (via
Tong, 2006:196), gagasan Freud dibentuk oleh kebudayaannya yang
digambarkan sebagai “Victorian”. Kritik Freidan terhadap teori Freud juga
didukung oleh Firestone dan Millet (Tong, 2006:198). Menurut Firestone,
pasivitas seksual perempuan bukanlah suatu hal yang alamiah,
melainkan semata-mata karena hasil sosial dari kebergantungan fisik,
ekonomi, emosional perempuan pada laki-laki. Oleh karena itu, untuk
mengakhiri opresi terhadap perempuan dan anak-anak, Firestone (via
Tong, 2006:198) menganjurkan agar manusia seharusnya
menghapuskan keluarga inti dan bersamaan dengan itu juga
menghapuskan tabu inses yang merupakan akar penyebab kompleks
Oedipus. Sementara itu, Millet (via Tong, 2006:198) menganggap bahwa
konsep kecemburuan terhadap penis merupakan contoh transparan dari
egoisme laki-laki.
Kritik Freidan, Firestone, dan Millet terhadap teori Freud tersebut
juga didukung oleh para feminis psikoanalisis berikutnya, seperti Alfred
Adler, Karen Horney, dan Clara Thompson, yang menyakini bahwa
identitas gender, perilaku gender, serta orientasi seksual perempuan
(dan laki-laki) bukanlah hasil dari fakta biologis, tetapi merupakan hasil
dari nilai-nilai sosial dalam struktur patriarki. Oleh karena itu, perempuan
seharusnya melawan hal tersebut (Tong, 2006:197-200). Melalui kritik
sastra feminis psikoanalisis diselidiki hasrat, identitas gender, dan
konstruksi linguistik feminis untuk mendekonstruksi hirarki gender dalam
sastra dan masyarakat (Humm, 1986:71). Kritik sastra feminis marxis
meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-
kelas masyarakat. Pengritik mencoba mengung-

114
115

kapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang


tertindas (Humm,1986:72).
Selain berdasarkan dasar pemikiran/aliran feminisme yang
mendasarinya, kritik sastra feminis juga dibedakan berdasarkan fokus
kajian dan cara kerjanya, serta hubungan antara karya sastra dengan
penulis dan pembacanya. Dalam hal ini Showalter (1986) membedakan
adanya dua jenis kritik sastra feminis, yaitu (1) kritik sastra feminis yang
melihat perempuan sebagai pembaca (the woman as reader/feminist
critique) dan (2) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai
penulis (the woman as writer/gynocritics).
Menurut Showalter (1985: 128-129) kritik sastra feminis aliran
woman as reader que menempatkan kritikus dalam posisi sebagai
perempuan, yang menikmati (mengkonsumsi) sastra sebagai produk
laki-laki dan mengajukan hipotesis dari perspektif pembaca perempuan
untuk membangkitkan keprihatinan dan kesadaran terhadap makna
kode-kode seksual yang diberikan oleh teks yang dibaca. Lebih lanjut
Showalter (1985:128) mengemukakan bahwa cara kerja penelitian yang
dilakukan mendasarkan pada aspek historis dengan menyelidiki asumsi-
asumsi ideologis yang terdapat dalam fenomena kesusastraan.
Kritik woman as reader memfokuskan kajian pada citra dan
stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman
tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah dalam
sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki (Showalter, 1985:128). Dalam
mengkaji citra dan stereotype perempuan dalam karya sastra peneliti
memposisikan dirinya sebagai perempuan pembaca, maka ketika
membaca dan manganalisis karya sastra peneliti menggunakan
kesadaran kritis sebagai perempuan dengan mencoba mengenali sebab-
sebab pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik
sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh
laki-laki (Showalter, 1985:128).

115
116

Berbeda dengan kritik sastra feminis mowan as reader yang tidak


membatasi kajiannya pada karya-karya sastra yang ditulis olah
perempuan, kritik sastra feminis woman as writer/gynocritics (perem-
puan sebagai penulis/ginokritik) membatasi kajian kepada karya-karya
sastra yang ditulis perempuan. Kritik ini memfokuskan perhatian kepada
perempuan sebagai pencipta makna tekstual melalui sejarah, gaya
penulisan, tema, genre, struktur tulisan perempuan (Showalter,
1985:128129). Kritik ini juga meneliti kreativitas penulis perempuan,
profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta
perkembangan dan konvensi (aturan) tradisi penulis perempuan
(Showalter, 1985:130).
Berdasarkan pendapat Showalter di atas tampak bahwa kritik
sastra feminis pada dasarnya timbul ketika pada kritikus dan peneliti
merasa perlu untuk memahami fenomena kesastraan dengan memper-
timbangkan aspek keadilan gender dan memberikan perhatian kepada
posisi tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra maupun perempuan
sebagai penulis karya sastra yang selama ini cenderung diabaikan.
Penelitian ini memilih jenis kritik sastra feminis reading as woman,
karena akan memahami bagaimana novel-novel Indonesia yang
mengangkat masalah keterdidikan perempuan dalam novel-novel
Indonesia dalam rentang waktu penerbitan 1920 sampai 2000-an, yang
ditulis oleh pengarang perempuan maupun laki-laki. Fokus kajian akan
memperhatikan pada bagaimana tokoh-tokoh perempuan yang terdapat
dalam novel-novel Indonesia mendapatkan kesempatan maupun
mendapatkan hambatan untuk dapat mencapai keterdidikannya.

Studi Pendahuluan yang Telah Dilakukan

Penelitian berjudul perbandingan kesadaran feminis dalam novel-


novel Indonesia karya sastrawan perempuan dengan sastrawan laki-laki,
dilatarbelakangi oleh sejumlah penelitian sebelumnya.

116
117

Penelitian tersebut antara lain adalah “Feminisme dan Dekonstruksi


terhadap Ideologi Familialisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami,”
(Wiyatmi, Diksi, 2003) dan In the Shadow of Change: Citra Perempuan
dalam Sastra Indonesia (Tinike Hellwig (2003).
Dengan memfokuskan pada gambaran tokoh perempuan yang
mendekonstruksi ideologi patriarkat, penelitian berjudul “Feminisme dan
Dekonstruksi terhadap Ideologi Familialisme dalam Novel Saman Karya
Ayu Utami,” (Wiyatmi, Diksi, 2003) menunjukkan bahwa tokoh-tokoh
perempuan dalam Saman merupakan representasi dari sosok
perempuan yang menunjukkan adanya gejala pengingkaran terhadap
ideologi familialisme dalam masyarakat berkultur patriarkat dalam ma-
syarakat Indonesia. Tokoh-tokoh perempuan dalam Saman berbeda
dengan gambaran perempuan pada novel Indonesia sebelumnya,
seperti Sitti Nurbaya, Mariamin, Sri Sumarah, Lasi, dan Srintil yang
merupakan beberapa contoh figur perempuan yang hidup dalam
lingkungan ideologi familialisme tanpa berusaha melawan ataupun
mengingkarinya. Dengan ketakberdayaannya, mereka menerima
nasibnya begitu saja karena tidak memiliki keberanian dan kekuasaan
untuk melawan ideologi tersebut. Beberapa dari mereka, seperti
Mariamin dan Lasi, bahkan mengalami penderitaan yang tragis sebagai
akibat kuatnya ideologi tersebut. Dalam Saman digambarkan karier dan
aktivitas Laila dan teman-temannya yang menunjukkan bahwa mereka
merupakan sosok perempuan yang mencoba keluar dari dan meng-
ingkari ideologi familialisme, yang menyakini bahwa peran utama
perempuan adalah di rumah sebagai ibu dan istri, sementara peran
utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang
memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga
sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk istri harus tunduk
kepadanya. Mereka adalah contoh figur yang melakukan pengingkaran
terhadap ideologi familialisme yang berusaha merekonstruksi sejarah

117
118

kehidupannya dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak lagi


hanya sebagai istri atau ibu, tetapi juga sebagai pekerja dan perempuan
karier. Dari keempat tokoh itu hanya Yasmin yang sudah menikah, tetapi
dia pun tidak lagi harus menjadi ibu rumah tangga semata. Penelitian ini
lebih terfokus pada sikap tokoh dalam mengkritisi ideologi patriarkat,
tanpa membahas masalah keterdidikan perempuan.
Penelitian Hellwig (2003) mengkaji 25 novel dan tiga cerita
panjang dalam kurun waktu lima dekade (dari 1937 sampai dengan
1986). Dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis penelitian
ini mencoba memahami bagaimana penggambaran tokoh perempuan
dalam sastra Indonesia dan sejauh mana gambaran tersebut mem- bantu
menciptakan citra umum perempuan dalam masyarakat Indone- sia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persoalan esensialisme identitas
telah lama menjadi persoalan penting bagi gagasan tentang emansipasi
perempuan di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan
pengarang laki-laki masih menganggap femininitas sebagai sesuatu
yang ideal bagi perempuan, dan tidak mengherankan jika tokoh-tokoh
yang keibuan, pandai mengatur rumah tangga, lembut, dan penyayang,
menjadi figur yang sering ditampilkan. Sementara itu, pada karakter yang
diciptakan penulis perempuan, femininitas sering kali dianggap tidak
sesuai dengan konsep kemajuan perempuan. Para penulis perempuan
umumnya menggambarkan dilema persoalan esen- sialisme ini,
mengolahnya sebagai inti cerita, dan kemudian membuat penyelesaian-
penyelesaian yang justru melanggengkan subordinasi perempuan.
Penelitian ini lebih terfokus pada bagaimana tokoh perempuan dicitrakan
dalam hubungannya dengan laki-laki sehingga tidak membahas masalah
keterdidikan perempuan.

118
119

Metode Penelitian

Untuk memahami adanya kesadaran feminisme yang terdapat


dalam teks-teks sastra Indonesia penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kualitatif interpretif dengan pendekatan kritik feminis.
Penelitian kualitatif interpretif mempelajari benda-benda di dalam kon-
teks alamiahnya dan berupaya untuk memahaminya atau menafsirkan
maknanya yang dilekatkan pada manusia (peneliti) kepadanya (Denzin
& Lincoln, 1994:2). Untuk memahami makna dari benda-benda atau
fenomena sosial, penelitian kualitatif menekankan sifat realita yang
terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek
yang diteliti, dan tanpa melupakan situasi yang membentuk penyelidikan
(Denzin & Lincoln, 1994:6). Dalam hal ini wujud kesadaran feminisme
dan aliran pemikiran feminisme yang terdapat dalam teks- teks sastra
Indonesia akan dipahami maknanya dengan menggunakan pendekatan
kritik feminis.
Pendekatan kritik feminis digunakan untuk memberikan kerangka
bagi pemahami berbagai aspek yang berkaitan dengan penggambaran
kesadaran feminis dalan teks-teks novel yang dikaji. Olesen (dalam
Denzin & Lincoln,ed., 1994:162-164) mengemukakan adanya tiga model
penelitian feminis, yaitu penelitian sudut pandang feminis, empirisme
feminis, dan postmodernisme. Perbedaan ketiga penelitian tersebut
menurut Olesen dalam Denzin & Lincoln,ed., 162-
164) adalah sebagai berikut. Penelitian sudut pandang feminis
dikemukakan oleh Sandra Harding, menekankan suatu pandangan
tertentu yang berpijak pada atau bersumber dari pengalaman nyata
kaum perempuan. Penelitian empirisme feminis melakukan penelitian
dengan kepatuhan yang tinggi dan sadar pada standar aturan penelitian
kualitatif yang berlaku, apa pun disiplin keilmuannya. Penelitian
bertumpu pada asumsi intersubjektivitas dan secara umum menciptakan
makna dan “realitas” antara peneliti dengan partisipan.

119
120

Dengan memfokuskan perhatian pada sulitnya menghasilkan lebih dari


sekedar kisah penggalan tentang kehidupan kaum perempuan dalam
konteks penindasan secara terus menerus, para peneliti feminis
posmodernis memandang “kebenaran” sebagai sebuah khayalan yang
merusak. Peneliti memandang dunia sebagai kisah-kisah atau teks-teks
tanpa akhir yang banyak darinya mendukung integrasi kekuasaan dan
penindasan serta pada akhirnya menjadikan kita sebagai subjek dalam
kekuasaan yang menentukan.
Penelitian ini menggunakan penelitian sudut pandang feminis
dengan asumsi bahwa gambaran tentang pendidikandan peran
perempuan dalam masyarakat yang terdapat dalam nove-novel yang
dikaji tidak dapat dilepaskan dari pengalaman nyata kaum perempuan
yang dipersepsi oleh pengarangnya. Selain berpijak pada atau
bersumber dari pengalaman nyata kaum perempuan, pendekatan kritik
feminis digunakan untuk memahami aturan-aturan masyarakat dan
pengalaman yang membatasi kesempatan, pengalaman dan otonomi
perempuan dalam hidup keseharian. Konsep-konsep yang dipakai dalam
kritik feminis menyangkut kelas seks dan perannya dalam penindasan
perempuan (Reinharz (2005:209).
Dengan mengikuti kerangka analisis wacana feminis, seperti yang
dikemukakan oleh Reinharz (2005:213), maka novel-novel Indonesia,
yang dalam hal ini dianggap sebagai artefak budaya digunakan sebagai
sumber data untuk meneliti perempuan secara individual atau kelompok,
hubungan antara perempuan dengan laki- laki, hubungan
antarperempuan, persinggungan antara indentitas ras, gender, kelas,
usia, lembaga, pribadi, dan pandangan yang membentuk hidup para
perempuan, yang dalam penelitian ini difokuskan pada pendidikandan
perannya dalam masyarakat. Dalam konteks kritik sastra, pendekatan
sejarah perempuan dan kritik feminis tersebut sejajar dengan kritik sastra
feminis yang dikembangkan oleh

120
121

Elaine Showalter (1985) yang memberikan perhatian kepada posisi


tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra maupun perempuan sebagai
penulis karya sastra yang selama ini cenderung diabaikan.
Sumber data penelitian ini adalah novel-novel Indonesia yang
secara dominan mengandung kesadaran feminism, sepuluh judul karya
sastrawan perempuan, sepuluh judul karya sastrawan laki-laki.

1. Kehilangan Mestika (Hamidah)


2. Manusia Bebas (Soewarsih Djojopuspito)
3. Widyawati (Arti Purbani)
4. Pada Sebuah Kapal (Nh. Dini)
5. Saman (Ayu Utami)
6. Geni Jora (Abidah El Khalieqy)
7. Tarian Bumi (Oka Rusmini)
8. Amba (Laksmi Pamuntjak)
9. Nayla (Djenar Maesa Ayu)
10. Doa Ibu (SekarAyu Asmara)
11. Sitti Nurbaya (Marah Roesli)
12. Layar Terkambang (Sutan Takdir Alisyahbana)
13. Belenggu (Armijn Pane)
14. Senja di Jakarta (Mochtar Lubis)
15. Bumi Manusia (Pramudya Ananta Toer)
16. Para Priyayi (Umar Kayam)
17. Putri (Putu Wijaya)
18. Kitab Omong Kosong (Sena Gumira Ajidarma)
19. Canting (Arswendo Atmowiloto)
20. Ny Talis (Budi Darma)
Data berupa kata, frase, kalimat, dari drama, puisi, novel yang
menjadi objek penelitian, yang mengandung informasi yang berkaitan
dengan masalah penelitian. Di samping itu juga dikumpulkan data yang
berhubungan dengan informasi yang berhubungan denganwujud

121
122

kesadaran feminisme dan aliran pemikiran feminisme yang terdapat


dalam teks-teks sastra Indonesia. Data tersebut dicatat dalam kartu data
dan diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang diteliti.

Analisis data dilakukan dengan analisis wacana kualitatif inter-


pretif dengan pendekatan sejarah dan kritik feminis melalui kegiatan
kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk
mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, yaitu
adanya kesadaran feminisme yang terdapat dalam pilihan kata, kalimat,
wacana yang digunakan dalam teks novel yang diteliti. Tabulasi
digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel.
Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil
penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini
inferensi didasarkan pada kerangka teori sejarah perempuan dan kritik
sastra feminis membaca sebagai perempuan (woman as reader).

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Sesuai dengan masalah penelitian, maka hasil penelitian ini
meliputi ha-hal sebagai berikut.

Tabel 1
Wujud Kesadaran Feminis dalam Novel-novel Indonesia
Karya Sastrawan Perempuan dan Sastrawan Laki-laki
No. Wujud Kesadaran Novel Karya Novel Karya
Feminis Sastrawan Sastrawan Laki-
Perempuan laki

01 Pentingnya Kehilangan Layar


pendidikan untuk Mestika, Manusia Terkembang,
kaum perempuan Bebas, Senja di Jakarta,
untuk mendukung Widyawati, Putri, Canting,
peran publik Bumi Manusia
02 Pentingnya Sitti Nurbaya,
pendidikan untuk Belenggu, Para
kaum perempuan

122
123

untuk mendukung -- Priyayi


peran domestik

03 Perlawanan terhadap Pada Sebuah Ny Talis, Kitab


dominasi patriarki dan Kapal, Tarian Omong Kosong,
kekerasan terhadap Bumi, Nayla Bumi Manusia *)
perempuan di ranah
domestik
04 Perlawanan terhadap Saman, Geni --
dominasi patriarki dan
Jora, Amba
kekerasan terhadap
perempuan di ranah
publik dan politik

*) Novel Bumi Manusia memperjuangkan pentingnya pendidikan


(termasuk pendidikan formal) untuk perempuan, peran perempuan di
ranah publik, dan kekerasan terhadap perempuan.
Aliran feminisme yang teridentifikasi pada novel-novel yang ditulis
oleh sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki adalah sebagai
berikut.

Tabel 2
Aliran Feminisme yang Terdapat dalam Novel-novel Karya
Sastrawan Perempuan dan Sastrawan Laki-laki

No. Aliran Feminisme Novel Karya Novel Karya


Sastrawan Sastrawan Laki-laki
Perempuan
01 Feminisme Liberal Kehilangan Mestika, Sitti Nurbaya, Layar
Manusia Bebas, Terkembang,
Widyawati, Belenggu, Bumi
Manusia, Senja di
Jakarta, Para
Priyayi,Canting,
Putri, Ny Talis
02 Feminisme Radikal Saman, Pada -
Sebuah Kapal,
Nayla

03 Feminisme Geni Jora, Amba, Kitab Omong

123
124

Eksistensialis Doa Ibu Kosong,

Wujud Kesadaran Feminis dalam Novel-novel Indonesia Karya


Sastrawan Perempuan dan Sastrawan Laki-laki
Dari hasil penelitian tampak bahwa kesadaran feminis ternyata
tidak hanya ditemukan dalam novel-novel yang ditulis oleh sastarawan
perempuan, tetapi juga ditulis oleh sastrawan laki-laki. Dari temuan ini
menunjukkan bahwa sastrawan laki-laki dalam sastra Indonesia juga
mendukung perkembangan sastra (novel) feminis, yaitu novel yang
dimanfaatkan sebagai sarana menyampaikan dan menyebarkan
gagasan kesetaraan dan keadilan gender.
Dari empat wujud kesadaran feminis yang ditemukan dalam novel
karya sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki, terdapat kesadaran
feminis yang dominan dan didukung oleh sastrawan perempuan dan laki-
laki, yaitu pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk
mendukung peran publik dan perlawanan terhadap dominasi patriarki
dan kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik. Sementara itu,
kesadaran fminis yang berhubungan dengan perlawanan terhadap
dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik
dan politik hanya terdapat dalam novel karya sastrawan perempuan.
Demikian juga pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk
mendukung peran domestik hanya terdapat pada novel yang ditulis
sastrawan laki-laki.
Dengan ditemukannya kesadaran feminis pada novel-novel yang
ditulis kaum perempuan dan laki-laki yang mendukung pendidikan dan
peran gender perempuan, serta perlawanan terhadap dominasi patriarki
dan kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik, menunjukkan
telah munculnya kaum laki-laki feminis, yang sering disebut sebagai male
feminist. Istilah male feminist mengemuka beberapa tahun lampau,
setelah Kris Budiman menerbitkan bukunya Feminis Laki-laki

124
125

dan Wacana Gender (2000), Nur Iman Subono menerbitkan Feminis


Laki-laki: Solusi atau Persoalan? (2001), disusul edisi khusus Jurnal
Perempuan Nomor 64, 2009, Saatnya Bicara Soal Laki-laki. Dalam
kedua buku dan jurnal tersebut, diuraikan tentang kaum laki-laki yang pro
gerakan feminisme. Dalam tulisannya di Jurnal Perempuan, Valentina
(2009:27) mengemukakan bahwa istilah laki-laki feminis mengacu
kepada laki-laki yang bersimpati pada gerakan perempuan dan terlibat
dalam perjuangan perempuan untuk meraih hak-hak dan tuntutannya.
Laki-laki yang memiliki kesadaran tentang kebenaran perjuangan yang
diusung oleh gerakan perempuan, seperti perlu adanya dekonstruksi dan
revolusi ideologi patriarki yang menimbulkan ketidakadilan terhadap
perempuan (Valentina, 2009:27).
Munculnya gerakan laki-laki profeminis merupakan respons atau
reaksi terhadap gerakan feminisme. Reaksi tersebut mengambil dua
wajah, Wajah negatif (oposisi) dan wajah positif (Hasyim, 2009:54).
Wajah (gerakan) yang pertama memiliki orientasi kepada pengembalian
supremasi laki-laki atas perempuan, sementara wajah yang kedua
berorientasi kepada dukungan terhadap gerakan perempuan untuk
menciptakan kesetaraan dan keadilan gender (Valentina, 2009L54).
Dalam makalah ini, digunakan kata maninisme untuk menyebut
kesadaran feminisme pada laki-laki feminis, sebagai penyederhanaan
dari man feminisme (man:laki-laki dan feminisme).
Kesadaran feminis pentingnya pendidikan untuk kaum
perempuan untuk mendukung peran domestik hanya ditemukan dalam
novel yang ditulis oleh sastrawan laki-laki, yaitu Marah Roesli (Sitti
Nurbaya), Umar Kayam (Para Priyayi) dan Armijn Pane (Belenggu).
Kedua novel tersebut mendukung pentingnya perempuan dalam
mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan dasar dan
menengah, tetapi setelah selesai menempuh pendidikan, kaum
perempuan harus kembali ke rumah dengan tugas-tugas domestiknya.

125
126

Novel Belenggu bahkan menggambarkan seorang tokoh perempu-


an,Tini, yang telah menempuh pendidikan tinggi dan menikah dengan
dokter Tono, kemudian aktif dalam organisasi sosial, tidak pernah
melakukan tugas-tugas domestiknya yang diserahkan kepada pembantu
rumah tangganya, akhirnya harus menanggung akibat keretakan rumah
tangganya.
Dalam perspektif kritik sastra feminis hal tersebut dapat dikatakan
sebagai kesadaran feminis semu (ragu-ragu). Di satu sisi, mereka sudah
pendukung kesetaraan gender dalam bidang pendidikan, tetapi di sisi
lain mereka belum dapat memberikan kesempatan kepada perempuan
terdidik untuk berperan di ranah publik, menyumbangkan ilmu dan
kemampuannya bagi masyarakat luas, juga menghargai eksistemsi
perempuan sebagai makhluk multidimensional. Pendidikan hanya
dianggap penting untuk mendukung peran domestiknya, sesuai dengan
kultur patriakat yang dipegang teguh para sastrawan tersebut. kesadaran
feminis semu inilah, yang kemudian memunculkan perlawanan dari kaum
feminis yang menginginkan kesetaraan dan keadilan gender di ranah
domestik dan publik, sehingga memunculkan pemikiran feminisme
radikal dan eksistensialisme.
Kesadaran feminis perlawanan terhadap dominasi patriarki dan
kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan politik hanya
terdapat dalam novel yang ditulis oleh sastrawan perempuan, Saman
(Ayu Utami), Geni Jora (Abidah El-Khalieqy), dan Amba (Laksmi
Pamuntjak). Kesadaran feminis ini muncul setelah kaum perempuan
mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan dan berperan di ranah
publik, namun mereka belum terbebas dari kekerasan dan ketidakadilan
gender, terutama yang bersifat politis. Kekuatan aturan- aturan
masyarakat bahkan hukum-hukum negara sering kali digunakan untuk
melegitimasikan kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan
gender. Misalnya dalam dokumen resimi seperti visa pad

126
127

paspor, yang harus mencantumkan nama ayah (dalam Saman),


perjalanan jauh ke tempat yang dianggap rawan, serti Pulau Buru, yang
pernah menjadi tempat tahanan politik pada masa Orde Baru (dalam
Amba), juga peremehan prestasi akademik perempuan oleh keluarga
dan masyarakat (dalam Geni Jora).
Dalam perspektif kritik sastra feminis, ditulisnya novel-novel
seperti Saman, Geni Jora, dan Amba oleh para sastrawan perempuan
yang mengritisi kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan
gender di ranah publik dan politik menunjukkan adanya keberanian para
feminis perempuan untuk menyuarakan suara kaumnya yang mengalami
kesakitan dan kerugian akibat dominasi patriarkat di ranah publik dan
negara. Dalam hal ini novel dijadikan sebagai sarana untuk mengritisi
ketertindasan kaum perempuan di masyarakat dan negara, juga
mengajak kaum perempuan untuk kritis dalam menyikapi ketidakadilan
gender yang dialaminya.

Aliran Feminis yang Terdapat dalam Novel-novel Karya Sastrawan


Perempuan dan Sastrawan laki-laki
Dari hasil penelitian di tabel 2 tampak adanya tiga jenis aliran
feminisme yang terdapat dalam novel-novel karya sastrawan perempuan
dan sastrawan laki-laki, dengan feminisme liberal yang mendominasi.
Feminisme radikal hanya terdapat pada karya sastrawan perempuan,
sementara feminisme eksistensialisme terdapat pada novel karya
sastrawan perempuan dan laki-laki.
Feminisme liberal adalah aliran pemikiran yang berorientasi
kepada keadilan dan kesetaraan gender di bidang pendidikan dan peran
perempuan di ranah publik. Hal ini sesuai dengan anggapan kaum
feminis liberal yang berkeyakinan bahwa masyarakat seharusnya
memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk menempuh
pendidikan di sekolah-sekolah, selain itu kaum perempuan yang

127
128

melamar atau pekerjaan harus dipilih atas pelamar laki-laki selama


pelamar perempuan itu dapat melaksanakan pekerjaan secara layak
(Tong, 2006: 50). Sesuai dengan pandangan feminisme liberal tersebut,
maka sebagian besar novel Indonesia, baik yang ditulis oleh sastrawan
perempuan maupun laki-laki mendukung gagasan feminisme liberal ini.
Selain itu, gagasan feminisme liberal ini juga sesuai dengan konteks
cerita novel-novel yang dikaji, yaitu masa penjajahan Belanda sampai
awal kemerdekaan. Pada masa kolonial Belanda, gagasan feminisme
liberal sesuai dengan cita-cita Kartini tentang pendidikan perempuan
yang mendapat dukungan dari van Deventer yang kemudian mendirikan
Yayasan van Deventer dan Yayasan Kartini yang menyelenggarakan
sekolah untuk kaum perempuan (Ricklefs, 1991:228). Feminisme liberal
tampak jelas pada Kehilangan Mestika, Manusia Bebas, Widyawati, Sitti
Nurbaya, Layar Terkembang, Belenggu, Bumi Manusia, Senja di Jakarta,
Para Priyayi,Canting, Putri, dan Ny Talis yang mendukung pendidikan
untuk perempuan. Sebagian besar novel tersebut bahkan sudah
mendukung peran perempuan di ranah publik.
Feminisme radikal adalah aliran pemikiran dan gerakan sosia
yang mendasarkan pada suatu tesis bahwa penindasan terhadap
perempuan berakar pada ideologi patriarki sebagai tata nilai dan otoritas
utama yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara umum.
Oleh karena itu, perhatian utama feminisme radikal adalah kampanye
anti kekerasan terhadap perempuan (Tong, 2006:68). Feminisme radikal
hanya terdapat pada novel-novel karya perempuan karena kaum
perempuanlah yang mengalami secara langsung dampak dari
penindasan terhadap perempuan. Aliran feminisme radikal tampak pada
novel Saman, Pada Sebuah Kapal, dan Nayla. Kampanye anti kekerasan
teradap perempuan dalam ketiga

128
129

novel tersebut, termasuk kekerasan simbolis yang dilegitimasi oleh


negara.
Aliran feminisme eksistensialis adalah aliran pemikiran dan
gerakan yang mendasarkan pada pandangan filsafat eksistensialisme,
dan dikembangkan oleh Simone de Beauvoir. Feminisme ini
mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang diri, sedangkan
“perempuan” sang liyan (the other). Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri,
maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Oleh karena itu,
menurut Beauvoir jika laki-laki ingin tetap bebas, maka ia harus men-
subordinasi perempuan (Beauvoir, 2003:89; Tong, 2006:262). Oleh
karena itu, feminisme eksistensialis selalu berusaha untuk melawan
subordinasi perempuan dan anggapan sebagai sang liyan. Aliran ini
tampak jelas pada novel Geni Jora, Amba, Doa Ibu dan Kitab Omong
Kosong. Dalam Geni Jora untuk menunjukkan eksistensinya tokoh
Kejora selalu berusaha mencapai prestasi yang lebih ungguh dari laki-
laki, terutama di wilayah akademik. Demikian juga tokoh Amba yang
dengan kemampuan intelektual dan keyakinan dirinya selalu berjuang
untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan menaklukkan hambatan-
hambatan yang ada. Tokoh Sita dalam Kitab Omong Kosong juga
digambarkan sebagai seorang perempuan yang pada akhirnya
memutuskan untuk mengakhiri penindasan yang dilakukan oleh
suaminyam Rama dengan cara meninggalkannya dan memilih hidup di
pertapa Valmiki di tengah hutan, bahkan kemudian berani menunjukkan
kesucian dirinya dengan bersumpah agar diterima di pangkuan Pertiwi
dan muksa di telan bumi.

A. Simpulan

Beradasarkan penelitian yang telah dilakukan ditemukan


kesimpulan berikut. (1) Terdapat empat wujud kesadaran feminis pada
novel yang ditulis sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki, yaitu

129
130

(a) Pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk mendukung


peran publik, yang terdapat pada novel Kehilangan Mestika, Manusia
Bebas, Widyawati, Layar Terkembang, Senja di Jakarta, Putri, Canting,
Bumi Manusia; (b) Pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan untuk
mendukung peran domestik pada novel Sitti Nurbaya, Belenggu, Para
Priyayi; (c) Perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan
terhadap perempuan di ranah domestik pada novel Pada Sebuah Kapal,
Tarian Bumi, Nayla, Ny Talis, Kitab Omong Kosong, Bumi Manusia, (d)
Perlawanan terhadap dominasi patriarki dan kekerasan terhadap
perempuan di ranah publik dan politik pada novel Saman, Geni Jora,
Amba. (2) Aliran feminisme yang terdapat dalam novel-novel tersebut
adalah, (a) feminisme liberal, pada novel Kehilangan Mestika, Manusia
Bebas, Widyawati, Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Belenggu, Bumi
Manusia, Senja di Jakarta, Para Priyayi,Canting, Putri, Ny Talis; (b)
feminisme radikal, pada novel Saman, Pada Sebuah Kapal, Nayla; (c)
feminisme eksistensialis pada novel Geni Jora, Amba, Doa Ibu, dan Kitab
Omong Kosong.

Daftar Pustaka
Ajidarma, Sena Gumira. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogjakarta:
Bentang.

Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-laki dan Wacana Gender. Magelang:


Indonesiatera.

Hasyim, Nur. 2009. “Gerakan laki-laki Properempuan: Transformasi Dua


Sisi,” dalam Jurnal Perempuan: untuk Pencerahan dan
Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 53-76.

Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. Edisi Bahasa Indonesia


diterjemahkan oleh Mundi Rahayu. Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru.

Jurnal Perempuan Nomor 64, 2009, Saatnya Bicara Soal Laki-laki.


Jakarta: Yayasan Yurnal Perempuan.

130
131

Purbani, Arti. 1979. Widyawati. Jakarta: Pustaka Jaya.

Subono, Nur Iman. 2001. Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?.


Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Toer, Pramudya Ananta. 2009. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

Tong, Rosemary Putnam. 2006. Feminist Thought: A More


Comprehentive Introduction. Diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia oleh Aquarini Prabasmara. Bandung: Jalasutra.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Valentina, R. 2009. “Pengalaman-pengalaman Aku yang Perempuan:


Laki-laki Feminis?” dalam Jurnal Perempuan: untuk
Pencerahan dan Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 25-35.

www.puskurbuk.net. Pendidikan Karakter. Diunduh melalui google.com


20 Mei 2012.

131
132

6.2 REPRESENTASI SEJARAH SOSIAL POLITIK INDONESIA


DALAM NOVEL-NOVEL KARYA AYU UTAMI

Naskah publikasi “Representasi Sejarah Sosial Politik dalam


Novel-novel Karya Ayu Utami” telah dimuat di jurnal Litera (Volume 12,
Nomor 2, Oktober 2013). Naskah tersebut disusun berdasarkan penelian
berjudul “Representasi Sejarah Sosial Politik dalam Novel- novel Karya
Ayu Utami” dilakukan dalam tahun 2012. Format artikel ini telah
disesuaikan denga gaya selingkung jurnal Litera. Secara lengkap artikel
tersebut adalah sebagai berikut.

REPRESENTASI SEJARAH SOSIAL POLITIK INDONESIA


DALAM NOVEL-NOVEL KARYA AYU UTAMI
Wiyatmi
FBS UniversitasNegeri Yogyakarta
email: wiyatmi_fbs@yahoo.com
Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wujud dan representasi


peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-novel karya Ayu Utami. Untuk
mencapai tujuan tersebut diteliti empat buah novel karya Ayu Utami, yaitu
Saman, Larung, Manjali dan Cakrabirawa, dan Cerita Cinta Enrico
dengan menggunakan perspektif New Historicism. Hasil penelitian
sebagai berikut. Pertama, peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat
dalam novel-novel karya Ayu Utami adalah: (a) peristiwa di Medan 1
Maret sampai dengan 16 April 1994, (b) Gerakan 30 September 1965,
(c) tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta, (d) pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15 Februari 1958 di Padang,
(e) demonstrasi Mahasiswa ITB dan penerbitan Buku Putih Perjuangan
Mahasiswa 1978.Kedua, peristiwa-peristiwa tersebut direpresentansikan
dalam bagian yang integral dengan peristiwa yang dialami oleh tokoh-
tokoh dalam novel. Peristiwa sejarah yang berasal dari peristiwa nyata
dikontekstualkan dalam novel. Dalam perspektif New Historicism,
peristiwa sejarah sosial politik dihadirkan untuk mempertanyakan
kembali kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya.

Kata kunci: representasi, sejarah, sosial politik, New Historicism

132
133

THE REPRESENTATION OF THE INDONESIAN HISTORY


IN AYU UTAMI’S NOVELS

Wiyatmi

Abstract
This study aims to describe the form and representation of socio-
political historical events in Ayu Utami’s novels. The data sources were
four novels written by Ayu Utami,namely Saman, Larung, Manjali dan
Cakrabirawa, and Cerita Cinta Enrico. They were analyzed using the
New Historicism perspective. The findings are as follows. First, socio-
political historical events in the novels are: (a) an event in Medan from 1
March to 16 April 1994, (b) 30 September Movement in 1965, (c) the
tragedy of 27 July 1996 in Jakarta, (d)the rebellion by the Republic of
Indonesia’s Revolutionary Government, 15 February 1958 in Padang,
(e)the demonstration by students of Technology Institute of Bandung and
the publication of the Student Struggle White Book in 1978. Second, the
events are represented in parts integrated into the events that the
characters experience. Historical events from factual events are
contextualized in the novels. In the New Historicism perspective, socio-
political historical events are presented to question historical truths
previously recorded.

Keywords: representation, history, socio-political, New Historicis.

Pendahuluan
Penciptaan karya sastra tidak pernah terlepas dari kondisi sosial
historis masyarakat yang melahirkannya. Karya sastra ditulis oleh
pengarang, yang merupakan anggota masyarakat, berdasarkan keada-
an realitas yang terjadi di masyarakat. Karya sastra lahir sebagai
pencatat, dokumen, bahkan juga melakukan evaluasi terhadap realitas
yang terjadi dalam masyarakat. Sejumlah karya sastra Indonesia telah
menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara isi (muatan)
karya dengan realitas yang terjadi dalam masyarakatnya. Novel Sitti
Nurbaya (Marah Rusli, 1920), misalnya menggambarkan kembali
keadaan masyarakat Minangkabau pada masa kolonial Belanda. Novel
Para Priyayi (Umar Kayam, 1999), menggambarkan keadaan
masyarakat Jawa pada masa kolonial Belanda sampai awal

133
134

Orde Baru. Novel Saman (Ayu Utami, 1998), menggambarkan keadaan


masyarakat Indonesia pada akhir pemerintahan Orde Baru.
Adanya hubungan antara karya sastra dengan realitas yang
terjadi dalam masyarakat, seperti dicontohkan dalam ketiga novel
tersebut, menunjukkan bahwa untuk memahami karya sastra diperlukan
kajian yang melibatkan hubungan antara karya sastra dengan segi-segi
kemasyarakatan. Dengan memahami karya sastra dalam hubungannya
dengan realitas sosial, budaya, dan politik yang terjadi dalam
masyarakat, maka tidak mustahil seorang pembaca sastra akan
menemukan kembali realitas sejarah yang digambarkan dalam karya
sastra. Dalam hal ini, realitas sejarah, khususnya yang berhubungan
dengan peristiwa masa lampau, tidak hanya ditemukan dalam teks-teks
sejarah, tetapi juga dalam karya sastra, misalnya novel. Berdasarkan
pembacaan awal terhadap sejumlah novel Indonesia, dapat ditemukan
sejumlah novel yang menggambarkan kembali peristiwa sejarah yang
pernah terjadi di Indonesia.
Peristiwa sejarah merupakan salah satu sumber inspirasi yang
cukup menarik bagi sejumlah sastrawan sehingga mereka kemudian
menuliskannya kembali ke dalam karya-karya yang ditulisnya. Salah satu
sastrawan yang banyak memanfaatkan peristiwa sejarah Indonesia
dalam penulisan novel-novelnya adalah Ayu Utami. Empat buah
novelnya, Saman (1998), Larung (2001), Manjali dan Cakrabirawa
(2010), serta Cerita Cinta Enrico (2012) kesemuanya mengambil
peristiwa sejarah sebagai bagian dari cerita yang ditulisnya. Beberapa
peristiwa sejarah yang dapat dikenali kembali dalam novel-novel tersebut
antara lain adalah peristiwa pemberontakan 30 September 1965,
kerusuhan Juli 1998 di Jakarta, dan peristiwa PRRI di Padang. Peristiwa
sejarah dalam novel-novel tersebut terjalin dalam cerita karena menjadi
bagian dari para tokoh novel. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novel-
novel tersebut ditulis untuk memahami dan merein-

134
135

terpretasikan sejumlah peristiwa sejarah Indonesia. Peristiwa sejarah


dalam novel-novel tersebut terjalin dalam cerita karena menjadi bagian
dari para tokoh novel. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novel-novel
tersebut ditulis untuk memahami dan mereinterpretasikan sejumlah
peristiwa sejarah Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini memfokuskan
kajian pada representasi sejarah Indonesia dalam novel-novel Karya Ayu
Utami. Masalah tersebut akan dipahami dengan pendekatan new
historicism. Pilihan terhadap pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh
adanya karakteristik novel-novel karya Ayu Utami yang cenderung
merepresentasikan peristiwa-peristiwa sejarah Indonesia dalam warna
yang berbeda dengan teks-teks sejarah pada umumnya. Berbagai
peristiwa sejarah, seperti pemberontakan/gerakan 30 September 1965
dan kerusuhan Mei 1998 di Jakarta direpresentasikan secara berbeda
dengan yang digambarkan dalam buku-buku sejarah. Dengan demikian,
novel-novel tersebut diduga mempertanyakan pandangan secara
konvensional terhadap peristiwa-peristiwa sejarah sosial politik yang
ada.
Fakta sejarah merupakan salah satu sumber inspirasi bagi para
sastrawan untuk menuliskan karya-karya sastranya. Seperti pernah
dikatakan oleh Damono (1989: 1-2) bahwa karya sastra tidak pernah
jatuh begitu saja dari langit, tetapi sastra berhubungan dengan sastrawan
dan masyarakat yang melahirkannya. Di tangan seorang sastrawan
peristiwa sejarah dapat menjadi sumber inspirasi untuk untuk penulisan
karya-karya sastranya. Oleh karena itu, dikenal adanya istilah sastra
sejarah, novel sejarah atau pun puisi epik.
Peristiwa sejarah dalam hal ini mengacu pada peristiwa, tokoh,
perbuatan, pikiran, dan perkataan yang pernah terjadi di masa lampau
yang dipahami sebagai gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi
dalam ruang yang terbatas (Kuntowijoyo, 2008:5). Sejarah, sebagai

135
136

ilmu yang bersifat diakronik, menurut Kuntowijoyo (2008:10) harus


didukung oleh data yang otentik, terpercaya, dan tuntas. Dengan ruang
yang terbatas, maka sejarah dapat membahas berbagai pertumbuhan
dan perkembangan sejumlah masalah, antara lain sejarah politik, sejarah
keluarga, sejarah intelektual, sejarah moralitas, sejarah keseni- an, dan
sebagainya.
Dalam konteks ilmu sastra, hubungan antara karya sastra dengan
peristiwa sejarah telah lama menjadi perhatian para ilmuwan sastra.
Munculnya berbagai pendekatan dalam kajian sastra, seperti sosiologi
sastra, sastra perbandingan, dan sejarah baru (new historicism), yang
mencoba memahami hubungan tersebut merupakan bukti adanya upaya
memahami hubungan antara karya sastra dengan peristiwa sejarah.
Dalam penelitian ini peristiwa sejarah yang terepresentasi dalam
novel-novel karya Ayu Utami akan dipahami dengan pendekatan new
historicisme. Peristiwa sejarah yang dipahami dalam penelitian ini
dibatasi pada sejarah sosial dan politik di Indonesia, yang berdasarkan
pembacaan awal terhadap novel-novel karya Ayu Utami menjadi hal
yang mengemuka. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa
peristiwa sejarah sosial dan politik di Indonesia telah direpresentasikan
(digambarkan kembali berdasarkan interpretasi penulis) dalam novel-
novel yang ditulisnya.
New historicism adalah salah satu pendekatan dalam ilmu sastra
yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. New historicism
pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt tahun 1982 untuk
menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan
menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial,
ekonomi, dan politik yang melingkunginya (Budianta, 2006:2). Karya
sastra, dalam perspektif new historicism tidak dapat

136
137

dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena ikut


mengambil bagian di dalamnya (Budianta, 2006:3).
New historicism menawarkan pembaharuan dalam melihat
hubungan sastra dengan sejarah. Sastra dalam hal ini tidak hanya dilihat
sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya
masyarakatnya, tetapi sastra juga ikut membangun, mengartikulasikan
dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak
verbal dan imajinasi kreatifnya (Greenblatt via Budianta, 2006:4). New
historicism memandang sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra
bukan sekedar latar belakang yang koheren dan menyatu yang dengan
transparan dapat diakses. Kenyataan sejarah tidak lagi tunggal dan
absolut, tetapi terdiri dari berbagai macam versi yang penuh kontradiksi,
keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Jadi kaitan sesarah dan sastra
adalah kaitan intertekstual antara berbagai teks (fiksi maupun faktual)
yang direproduksi pada kurun waktu yang sama atau berbeda (Budianta,
2006:4).

Metode

Masalah representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-


novel karya Ayu Utami dipahami dengan menggunakan penelitian
kualitatif interpretif dengan pendekatan pembacaan paralel antara teks
sastra yang merepresentasikan peristiwa sejarah dengan teks sejarah
yang menggambarkan peristiwa yang sama. Dalam penelitian ini metode
tersebut digunakan menginterpretasikan representasi peristiwa sejarah
dalam novel-novel karya Ayu Utami.
Sumber data penelitian ini adalah Empat buah novelnya, Saman
(1998), Larung (2001), Manjali dan Cakrabirawa (2010), serta Cerita
Cinta Enrico (2012) dan buku-buku sejarah Indonesia yang

137
138

membicarakan peristiwa sejarah yang digambarkan dalam keempat


novel tersebut. Data berupa kata, frase, kalimat, dan satuan cerita
diambil dari novel yang menjadi objek penelitian, yang mengandung
informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Di samping itu juga
dikumpulkan data yang berhubungan dengan informasi yang
berhubungan dengan representasi peristiwa sejarah dalam novel-novel
karya Ayu Utami. Data tersebut dicatat dalam kartu data dan
diklasifikasikan sesuai dengan informasi yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui
kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan
untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah
ditetapkan. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data
dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan
menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian.
Dalam penelitian ini inferensi didasarkan pada kerangka teori dan
pendekatan new historicism.
Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam
penelitian ini diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut.
(1) Memahami femomena sejarah dalam teks sastra dan teks sejarah.
(2) Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan teks sejarah
pada isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur
patriarki dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan
“mind-set” yang mengikutinya. (3) Menggunakan cara berfikir
postrukturalisis, dengan memahami setiap segi realitas tertuang dalam
teks (dalam konsep Derrida) dan struktur sosial yang ditentukan oleh
“praktik diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry,
2010:209).
Dalam penelitian ini validitas data yang digunakan adalah validitas
semantik yang mengukur makna sesuai dengan konteksnya,

138
139

semantara reliabilitas yang digunakan pembacaan berulang-ulang


(intraratter) sehingga ditemukan konsistensi data dan interpretasi data.
New historicism melakukan pembacaan paralel terhadap teks sastra dan
nonsastra yang berasal dari periode sejarah yang sama (Barry,
2010:201). Dalam hal ini peristiwa sejarah yang tergambar dalam teks
sastra harus dibaca sejarah paralel dengan peristiwa sejarah yang
dicatat dalam teks-teks sejarah. Kedua teks tersebut diberikan porsi yang
sama dan secara konstan saling menginformasikan dan
mempertanyakan satu sama lain (Barry, 2010:201).
Dalam praktik kajiannya, new historicism menempatkan teks
sastra dalam kerangka teks nonsastra. Dokumen-dokumen sejarah tidak
disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks
tersendiri dan disebut sebagai ko-teks, bukan konteks. Teks dan ko-teks
yang digunakan akan dilihat sebagai ekspresi momen sejarah yang sama
dan ditafsirkan sesuai itu (Barry, 2010:2002). Hal ini berbeda dengan
kajian sosiologi sastra yang cenderung menempatkan dokumen sejarah
sebagai konteks yang melatarbelakangi karya sastra.

A. Representasi Sejarah Sosial Politik dalam Novel-novel Karya


Ayu Utami

Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam


penelitian ini diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut.
(1) Memahami femomena sejarah dalam teks sastra dan teks sejarah.
(2) Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan teks sejarah pada
isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki
dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan “mind-set”
yang mengikutinya. (3) Menggunakan cara berfikir postrukturalisis,
dengan memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks (dalam
konsep Derrida) dan struktur sosial yang ditentukan oleh

139
140

“praktik diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry,


2010:209).
Peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel
Ayu Utami adalah (1) demontrasi dan pemogokan buruh di Medan 1
Maret 1994 sampai dengan 16 April 1994, (2) Peristiwa Gerakan 30
September 1965 di Jakarta, (3) tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta, (4)
Pemberontakan PRRI di Padang 15 Februari 1958, dan (5) demonstrasi
mahasiswa ITB pengangkatan kembali Soeharto sebagai Presiden RI.
Peristiwa-peristiwa tersebut direpresntasikan oleh Ayu Utami dalam
empat buah novelnya, yaitu Saman, Larung, Manjali dan Cakrabirawa,
dan Cerita Cinta Enrico. Melalui keempat novelnya tersebut tampak
adanya representasi yang mencoba mempertanyakan kebenaran
pencatatan peristiwa-peristiwa tersebut dalam teks-teks sejarah yang
ada selama ini (sejarah konvensional), terutama yang diakui kebe-
narannya oleh pemerintah (penguasa) Orde Baru.

1. Demonstrasi dan Pemogokan Buruh di Medan 1 Maret sampai


dengan 16 April 1994

Demonstrasi pemogokan buruh yang terjadi di Medan dari tanggal


1 Maret sampai 16 April 1994 direpresentasikan dalam novel Saman,
terutama dalam hubungannya dengan tokoh Wisanggeni (Saman).
Dalam novel tersebut Saman dituduh terlibat sebagai aktor intelektual
demontrasi buruh besar-besaran di Medan pada bulan April 1994. Dia
menjadi salah seorang yang masuk dalam daftar orang yang paling
banyak dicari oleh aparat pemerintah. Namun, atas pertolongan Yasmin,
dia berhasil diselamatkan dengan melarikan diri ke Amerika.
Peristiwa demonstrasi dan pemogokan buruh besar-besaran yang
terjadi di Medan 1994 dalam novel Saman digunakan untuk memberi
konteks cerita yang menyebabkan Saman menjadi salah satu

140
141

tokoh yang dikejar-kejar oleh aparat keamanan. Melalui peristiwa yang


dialami oleh Saman novel ini mencoba memaknai dan memberikan
tanggapannya terhadap peristiwa sejarah tersebut.
Dari arsip data di hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/05/05-
/0002 dapat diperoleh informasi bahwa antara tanggal 1 Maret 1994
sampai dengan 16 April 1994, terjadi demontrasi dan pemogokan buruh
besar-besaran di Medan, melibatkan 26.000 buruh. Demontrasi yang
semula bertujuan menuntut kenaikan gaji dan THR tersebut
berkembang menjadi demonstrasi antiketurunan Cina dan
menyebabkan terbunuhnya seorang pengusaha Kwok Joe Lip alias Yuli
Kristanto. Setelah peristiwa tersebut pada 2 Mei ketua SBSI (Serikat
Buruh Seluruh Indonesia) cabang Medan Amosi Telaumbanua bersama
wakil ketua dan sekretaris DPC Soniman Lafao dan Fatiwanalo Zega
diperiksa di Mapoltabes Medan sebagai tersangka dalam kasus unjuk
rasa buruh dan perusahaan di kota itu (Suara Pembaruan, Senin 2 Mei
1994).
Dalam Saman peristiwa tersebut digambarkan melalui surat
Saman yang dikirimkan kepada Yasmin sebagai berikut.
Sekarang bagaimana keadaan di tanah air, terutama
Medan? Aku baru mulai memeriksa laporan dan file tentang unjuk
rasa yang rusuh dua pekan lalu itu, yang akhirnya membikin aku
terdampar di sini. Nampaknya banyak orang tidak begitu faham
apa yang terjadi dan menjadi canggung untuk bersikap.
Demonstrasi buruh yang diikuti enam ribu orang sebetulnya
adalah hal yang simpatik dan luar biasa untuk ukuran Indonesia
di mana aparat selalu terserang okhlosofobia - cemas setiap kali
melihat kerumunan manusia. Namun, simpati orang segera
berbalik setelah unjuk rasa itu menampilkan wajah rasis dan
memakan korban. Aku amat sedih dan menyesali kematian
pengusaha Cina itu…
(Utami,
1998:168)

Dalam novel tersebut diceritakan bahwa sebagai aktivis yang


memiliki hubungan dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI),

141
142

Saman dianggap sebagai salah satu aktor intelektual dan masuk dalam
daftar pencarian orang. Seperti dikemukakan dalam http://www.kon-
tras.org, dalam bukunya Menerobos Jalan Buntu: Kajian terhadap Sistem
Peradilan Militer di Indonesia (2009), para aktivis yang ditangkap dalam
aksi-aksi sosial di Indonesia pada masa Orde Baru diadili di pengadilan
militer, prosesnya tertutup, tidak transparan, dan tidak mengakomodasi
kepentingan korban. Akibatnya, pelaku yang diadili hanyalah pelaku
lapangan, hukuman rendah sementara kebenaran tidak terungkap. Di
samping itu, hak-hak korban juga tak kunjung dipenuhi. Oleh karena itu,
untuk menghindarkan Saman—yang dituduh sebagai aktor intelektual
demonstrasi buruh di Medan 1994— dari sistem peradilan militer yang
melanggar hak azasi manusia tersebut, Yasmin yang memiliki hubungan
dengan Human Rights Watch menolong Saman untuk melarikan diri ke
luar dari Indonesia. Perjuangan Yasmin dalam menyelamatkan Saman
tampak dari catatan harian yang ditulis oleh Saman yang dikirimkan
kepada Yasmin, misal- nya pada kutipan berikut.
18 April - Segelintir penduduk mulai merasa aman karena
patroli rutin. Warung-warung mulai buka. Tiba-tiba Yasmin
datang dari Palembang, baru dari sidang Rosano. Ia muncul
dengan dandanan seperti amoy Singapura yang paling menor—
celana panjang ketat motif kulit macan, jaket hitam plastik, kaca
mata matahari besar. Aku tidak mengenali. Rupanya ia
menyamar sebagai rekan bisnis pemilik butik yang kutempati.
Menurut lobi ayahnya di kepolisian Jakarta, aku termasuk lima
orang yang paling diburu. Ia membujukku untuk melarikan diri ke
luar negeri. Katanya, itu bukan pendapatnya sendiri, melainkan
kesepakatan kawan-kawan yang lain. Kebetulan Human Rights
Watch butuh seseorang untuk membuat jaringan informasi di
Asia Tenggara. Ia seperti memaksaku menerima pekerjaan itu.
Teman-teman sudah setuju, katanya. Aku merasa tak punya
waktu untuk menimbang-nimbang. Dalam kondisi begini, apa
ada waktu berpikir terlalu panjang? Semakin lama menunda
keputusan, semakin sulit keluar dari negeri ini. (Utami,
1989:174—175)

142
143

Dari kutipan tersebut tampak bahwa Wisanggeni (Saman) yang


namanya masuk dalam daftar pencarian orang yang harus “diamankan”
pada masa Orde Baru ditolong oleh Yasmin dan kawan-kawannya untuk
keluar dari Indonesia. Dengan kecerdasan dan koneksinya, Yasmin
memiliki peran yang cukup besar untuk menyelamatkan Saman dari
target operasi keamanan pemerintah Orde Baru. Yasmin, bahkan telah
mempersiapkan dengan rapi strategi dan penyamaran Saman agar
berhasil berangkat ke Amerika.
Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari
Indonesia. dan Cok dipilihnya sebagai orang yang akan
membawaku dari Medan. Semua aku ragu karena aku tak begitu
kenal anak ini. tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman
karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius,
menempel kumis palsu, mencukur rambutku, dan mencabuti
alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka men- cocok-
cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah KTP, kartu identitas
salah seorang pesuruh Cok di sebuah hotelnya di Pekanbaru.
Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih
seperti ia biasa bekerja.
(Utami, 1989:175)

Dari pembahasan tersebut tampak digambarkan peristiwa sejarah


masa Orde Baru, khususnya demonstrasi dan pemogokan buruh di
Medan 1 Maret 1994 sampai dengan 16 April 1994, yang diintegrasikan
dalam cerita novel Saman. Dengan menggambarkan peristiwa tersebut
dapat dikatakan bahwa Saman merepresentasikan represi kekuasaan
Orde Baru terhadap para buruh yang berdemonstrasi dan menuntut
kenaikan gaji dan tunjangan hari raya (THR).

Peristiwa Gerakan 30 September 1965

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 digambarkan dalam novel


Larung dan Manjali dan Cakrabirawa. Dalam Larung peristiwa Gerakan
30 September 1965 digambarkan dalam kenangan nenek

143
144

Adnjani (nenek Larung) ketika mengenang anak laki-lakinya yang


dituduh terelibat PKI pada suatu hari ditangkap dan disiksa oleh aparat
(TNI).
Setahun kemudian, 1965, kau melihat seperti barisan
yang sama, kali ini lebih besar jumlahnya menuju rumah kita.
Kau tidak menyadari waktu tetapi aku mencatat tanggal itu: 21
November. Kau tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku
menggores semua itu dalam urat-urat jantungku. Mereka datang
mengam-bil anakku, tanpa mengetuk pintu. Sebab sebelum
mereka menyentuh daunnya, aku telah berdiri di sana. Telah
kudengar sebelumnya, bisik-bisik orang menuduhku menyimpan
ular di lipatan stagen. Nenek itu leak, rangda dengan sad tatayi...
Mereka membawa anakku ke banjar bersama yang lain,
lalu memisahkan yang tentara dari yang sipil, dan menganiaya
yang militer lebih kejam. Kulihat mereka menanggalkan
seragamnya dan menggantung anakku di tangannya pada pohon
asam, sehari semalam, setelah mencambuknya dengan rotan dan
popor, menindih tungkainya dengan kaki-kaki meja. Mereka
mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya. Apa
kesalahannya, tak ada lagi orang yang bertanya. Sebab ia dikenal
semua tentara di kompleks kita, sebab ia datang dari rumah ke
rumah mengurusi perdagangan beras subsidi. Maka ketika para
perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat
dalam kudeta 30 September, semua menyebut namanya...(Utami,
2001:68-69).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ayah Larung, seorang


anggota TNI yang tinggal di Bali pada bulan November ditangkap oleh
aparat Orde Baru karena dianggap sebagai anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan terlibat dalam kudeta 30 September di Jakarta.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Sorharto
menganggap bahwa peristiwa pembunuhan para jenderal di Jakarta 30
September 1965 didalangi oleh PKI. Oleh karena itu, partai tersebut
dibekukan dan orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI harus
dihukum.
Penangkapan dan pembunuhan ayah Larung pada bulan
November 1965 merupakan rangkaian dari upaya menumpas PKI karena
dianggap sebagai dalam peristiwa G30S, yang mengarah

144
145

kepada kudeta terhadap pemerintahan saat itu. Keterlibatan PKI dan


pasukan Cakrabirawa dalam G30S dikaitkan dengan isi Tajuk Rencana
di Harian Rakyat, 2 Oktober 1965.
Gerakan 30 September
Bahwa tanggal 30 September tindakan-tindakan telah
diambil untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dan Republik
Indonesia dari sebuah Coup oleh apa yang disebut dengan
Dewan Jendral. Sesuai pengumuman Gerakan 30 September
yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung dari Batalyon
Cakrabiwara, tindakan diambil untuk menyelamatkan Presiden
Soekarno dan Republik Indonesia dari kup Dewan Jendral
patriotik dan revolusioner.
Apapun alasannya yang digunakan Dewan Jendral dalam
upayanya pelaksanaan kudeta merupakan tindakan yang terkutuk
dan tindakan kontra revolusi.
Kami, rakyat dapat memahami sepenuhnya apa yang
ditegaskan oleh Letnan Kolonel Untung dalam melaksanakan
gerakan patriotiknya...
(Luhulima, 2007:122).

Dengan isi tajuk rencana tersebut, yang secara terang-


terangan mendukung G30S yang jelas-jelas sudah gagal, maka
PKI dianggap mendalangi G30S. Isi tajuk rencana tersebutlah
yang dijadikan bukti awal keterlibatan PKI dalam G30S (Luhulima,
2007:33). Selain itu, karena Letnan Kolonel Untung, sebagai
Komandan Batalyon Cakrabirawa, memimpin gerakan tersebut.
Oleh karena itu, keterlibatan Cakrabirawa tidak dapat dipungkiri.
Hal ini sesuai dengan warta berita Radio Republik Indonesia (RRI)
pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 07.15.
Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibu Kota
Republik Indonesia, Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam
Angkatan Darat yang dibantu oleh pasukan-pasukan dari
angkatan bersenjata lainnya.
Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel
Untung Komandan Batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal
pribadi Presiden Soekarno ini ditujukan kepada jendral-jendral
anggota apa yang dinamakan dirinya Dewan Jendral. Sejumlah
jendral telah ditangkap dan alat lomunikasi yang penting-penting
serta objek-objek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan
Gerakan 30 September, sedangkan Presiden Soekarno selamat
dalam lindungan Gerakan 30 September...(Luhulima, 2007:90).

145
146

Karena berita tersebut merupakan versi resmi pemerintah, yang


kemudian kemudian dipertegas dengan Surat Keputusan Presiden
Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 tentang pembubaran PKI di
seluruh Indonesia, maka anggapan bahwa PKI merupakan dalang dalam
peristiwa G30S diyakini secabai kebenarannya secara umum (Luhulima,
2007:16; 23).
Selain versi resmi pemerintah telah banyak versi lain mengenai
peristiwa G30S. Dalam sejarah Indonesia peristiwa gerakan 30
September 1965 yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah tokoh yaitu
(1) Jenderal TNI Ahmad yani, (2) Letjend TNI R. Suprapto, (3) Letjend
TNI M.T. Haryono, (4) Letjend TNI S. Parman, (5) Mayjend TNI
D.I.Panjaitan, (6) Mayjend TNI Sutoyo Siswomiharjo, (7) Ajun Inspektor
Polisi Dua K.S. Tubun, (8) Brigjend Katamso D., (9) Kol. R. Sugiyono,
(10) Ade Irma Suryani Nasition. Mengenai peristiwa tersebut terdapat
sejumlah kontroversi tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya peristiwa tersebut. Buku-buku sejarah versi resmi
pemerintah Orde Baru menyebutkan bahwa peristiwa tersebut didalangi
oleh PKI, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), bahkan pangkalan
udara Halim Perdana Kusuma dianggap sebagai markas G30S
(Luhulima, 2007:5).
Versi semacam itu juga dapat dibaca dalam Sejarah Indonesia
Modern, Ricklefs (1991:427-428). Menurut Ricklefs (1991:426-427)
tampaknya mustahil untuk mempercayai bahwa hanya ada satu dalang
yang mengendalikan semua peristiwa itu, dan tafsiran-tafsiran yang
berusaha mejelaskan kejadian-kejadian tersebut harus dipertim-
bangkan secara hati-hati. Menurutnya, situasinya pada saat itu adalah
sebagai berikut.
Pada tanggal 30 September malam itu satu batalyon
pengawal istana yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung
(sebelumnya dari Divisi Diponegoro), satu batalyon lagi dari Divisi
Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya, dan orang-orang
sipil dari Pemuda Rakyat PKI meninggalkan

146
147

pangkalan udara Halim. Mereka pergi untuk menculik Nasution,


Yani, Parman, dan empat orang jenderal senior angkatan darat
lainnya dari rumah-rumah mereka di Jakarta. Pemimpin-
pemimpin usaha kudeta tersebut termasuk Brigadir jenderal
Supardjo dari Divisi Siliwangi dan kepala intelijen Divisi
Diponegoro. Untung tampaknya hanya menjadi sebuah pion.
Mereka mendapat dukungan dari Omar Dhani, yang telah
memberikan pangkalan udara Halim sebagai markas besar
mereka dan dia sendiri hadir di sana. Mereka juga menjalin
hubungan dengan Biro Khusus PKI Sjam dan beberapa orang
Politbiro PKI, setidak-tidaknya secara samar-samar mengetahui
rencana-rencana mereka. Akan tetapi, hanya Aiditlah satu-
satunya pimpinan senior PKI yang hadir di Halim. Njoto dan
Lukman sedang tidak berada di Jakarta, seperti halnya
Subandriyo, Chaerul Saleh, dan Ali Sastroamidjojo...
Anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat ikut ambil
bagian dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut. Ketujuh mayat
itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang sudah
tidak dipakai lagi (Ricklefs, 1991:427).

Peristiwa tersebut tetap menjadi misteri hingga saat ini. Berbagai


interpretasi pun bermunculan mengenainya. Menurut Luhulima (2007:1),
yang mencoba melihat peristiwa G30S dari perspektif yang berbeda
dengan versi resmi pemerintah Orde Baru, ada tujuh versi tentang siapa
dalang di balik peristiwa G30S tersebut, yaitu (1) Partai Komunis
Indonesia (PKI), (2) sebuah klik di dalam Angkatan Darat sendiri, (3)
Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA/Pemerintah Amerika Serikat),
(4) rencana Inggris yang bertemu dengan rencana CIA, (5) Presiden
Sorkarno, (6) Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto, (7) tidak ada dalang tunggal karena
semua pihak yang terkait dalam peristiwa itu hanya beraksi sesuai
dengan prekembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Gambaran mengenai apa sebenarnya yang terjadi menjelang
peristiwa G30S dan bagaimana posisi PKI, Cakrabirawa, dan AURI
dalam persitiwa tersebut mulai terungkap setelah berakhirnya peme-
rintahan Orde Baru dan kekuasaan Soeharto. Karena Angkatan Udara

147
148

Republik Indonesia (AURI), bahkan pangkalan udara Halim Perdana


Kusuma dianggap sebagai markas G30S), maka pada tanggal 13
Oktober 1998 sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Laksda
Udara (Purn) Sri Mulyono Herlambang mengadakan jumpa pers guna
mengungkapkan niat mereka untuk meluruskan sejarah (Luhulima,
2007:33), yang disusul dengan penerbitan buku Menyingkap Kabut
Halim 1965 (Katoppo, dkk., 1999). Pada intinya buku tersebut berisi
penjelasan bahwa AURI secara institusi tidak terlibat dalam Gerakan
G30S, meskipun tidak mengingkari adanya anggota AURI yang terlibat
(Luhulima, 2007:35). Dari buku Menyingkap Kabut Halim 1965 itu
diketahui bahwa Desa Lubang Buaya yang dijadikan markas pusat G30S
itu terletak di luar wilayah PAU Halim Perdanakusuma. Desa tersebut
berjarak sekitar satu limometer dari Lubang Buaya dropping zone,
tempat latihan terjun payung yang terletak di dalam wilayah Halim
Perdanakusuma. Oleh karena itu, penyebutan bahwa Pangkalan
Angkatan Udara Halim Perdanakusuma merupakan markas pusat G30S
adalah keliru (Luhulima, 2007:34).
Selanjutnya, mengenai tuduhan ketelibatan PKI (yang diketuai
oleh DN. Aidit), Omar Dani (Men/Pangau), dan Soekarno karena
ketiganya pada malam 30 September 1965 berada di Halim Perda-
nakusuma dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 dijelaskan sebagai
berikut.
Kehadiran Ketua PKI DN Aidit, Men/Pangau Laksdya
Udara Omar, dan Presiden Soekarno di PAU Halim
Perdanakusuma hanyalah suatu kebetulan belaka. Ketiganya
berada di PAU Halim Perdanakusuma dengan alasan yang
berbeda-beda.
DN Aidit berada di kawasan PAU Halim Perdanakusuma
karena dijemput di rumahnya dan disembunyikan oleh Mayor
Udara Sujono. Sementara Omar Dani menginap di Markas
Komando Operasi Angkatan Udata atas saran Panglima Koops
AU Komodor Udara Leo Wattimena. Tanggal 30 September 1965
malam, setelah mendengar informasi dari Asisten Direktur Intelijen
Angkatan Udata Letkol (Pnb) Heru Atmodjo bahwa

148
149

perwira-perwira muda, terutama dari Angkatan Darat akan


dijemput paksa para jenderal Angkatan Darat yang akan
mengadakan kudeta terhadap Presiden Soekarno, Panglima
Koops AU Komodor Udara Leo Wattimena menyarankan agar
Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dani sebaiknya berada dan
beristirahat di Markas Koops AU. Menurut Leo Wattimena, yang
merasa paling bertanggung jawab atas keamanan dan
keselamatan Men/Pangau, di Markas Koops AU keamanan
Laksdya Udara Omar lebih terjamin, sedangkan Presiden
Sorkarno atas keinginannya sendiri memutuskan untuk pergi ke
PAU Halim Perdanakusuma karena menilai keadaan pada tanggal
1 Oktober 1965 pagi sangat tidak menentu, Presiden Soekarno
mengganggap yang terbaik bagi keamanan dirinya adalah berada
di PAU Halim Perdanakusuma. Mengingat PAU Halim
Perdanakusuma ada pesawat udara yang dapat membawanya
setiap saat ke tempat lain, kalau terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan.
Penyebutan PAU Halim Perdanakusuma sebagai markas
pusat G30S membuat Ketua PKI DN Aidit, Men/Pangau Laksdya
Udara Omar Dani, dan Presiden Soekarno di sana pada waktu
yang bersamaan menjadi serba salah.
DN Aidit diyakini terlibat dalam G30S, sayangnya ia tidak
diberikan kesempatan untuk membela diri . di pengadilan. Ia
ditangkap oleh tim yang dipimpin oleh Komandan Brigade Infanteri
4 Kostrad Kolonel Yasir Hadibroto di tempat persembunyiannya di
Desa Sambeng, Solo Jawa Tengah, 22 . di pengadilan November
1965. Dari Desa sambeng ia dibawa ke Loji Gandrung. Di sana ia
diminta membuat pernyataan, dan kemudian ia dibawa ke sebuah
sumur kering di wilayah Boyolali dan ditembak mati di tempat itu.
(Luhulima, 2007:36-37).

Penangkapan dan pembunuhan Aidit tersebut terungkap dari


wawancara Yasir Hadibroto yang dimuat di Kompas Minggu 5 Oktober
1980 yang mengemukakan bahwa setelah dibawa ke Loji Gandrung,
Aidit diminta untuk menuliskan pengalamannya sebelum dan langkah
yang akan dilakukannya seandainya ia tidak tertangkap. Namun, karena
setelah ditunggu sekitar satu jam, Aidit diam saja, sambil merenung dan
merokok, maka Kolonel Yasir berinisiatif lain. Mayor Sugeng
diperintahkan untuk menuliskan apa yang diucapkan Aidit. Hal yang
dituliskan oleh Mayor Sugeng adalah pengakuan bawa Aidit

149
150

adalah satu-satunya yang memikul tanggung jawab paling besar dalam


peristiwa G30S/PKI yang didukung oleh para anggota PKI lain dan
organisasi-organisasi massa di bawah PKI. Dia merencanakan untuk
menghimpun kekuatan komunis di Jawa Tengah. Namun, pengakuan
yang ditandatangani oleh Aidit tersebut diberikan di bawah todongan
senjata. Selanjutnya di tengah perjalanan, Aidit ditembak mati oleh Yasir
(Luhulima, 2007:38). Keputusan membunuh tersebut diambil oleh Yasir
karena dia sebelumnya mendapatkan informasi dari Mayjen Soeharto
bahwa orang-orang yang memberontak saat ini adalah anak- anak PKI
Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua. DN Aidit ada di
JawaTengah, bawa pasukanmu ke sana (Luhulima, 2007:39).
Melalui suara nenek Larung (Adnjani), novel Larung meragukan
keterlibatan orang-orang yang ditangkap, dibunuh, dan dihukum karena
dianggap sebagai anggota PKI. Di samping itu, juga dipertanyakan
keterlibatan PKI dalam peristiwa 30 September 1965. Keraguan tersebut
tampak pada data berikut ini.
Mereka memfitnahnya, kata ibumu. Tidak, kataku. Sebab
hidup adalah pilihan semena. Suamimu, anakku itu, barangkali
bukan komunis, partai komunis barangkali tidak kudeta, tetapi apa
arti semua itu? Orang-orang harus menunjuk orang lain untuk
menyelamatkan diri...(Utami, 2001:68-69).

Setelah ayah Larung dianggap sebagai anggota PKI yang


terlibat dalam peristiwa 30 September 1965, ibu Larung pun
dituduh sebagai anggota Gerwani. Lalu aku mendengar, orang-
orang menyebut ibumu gerwani. Ibumu memakai beha hitam
dengan lambang bintang merah di satu pucuknya, palu arit di
pucuk yang lain, kata mereka. Ia mengumpulkan perempuan-
perempuan dan mengajar tari telanjang, dan mengirim wanita-
wanita untuk merayu para prajurit dengan pinggul mereka agar
percaya pada komunisme, bukan pada segala Tuhan. Sembari
bernyanyi genjer-genjer. Tetapi aku tahu ibumu dan istri Nyoman
Pintar kerap berada di bangsal dan mengajari sesama istri tentara
membikin ketupat dan janur dari daun nyiur. Mereka semua
pendatang. Dan daun genjer hanyalah sayuran yang membuat
tinjamu lengket panjang (Utami, 2001:70).

150
151

Dari kutipan tersebut tampak bahwa Ibu Larung memang sering


berkumpul bersama-sama para perempuan pendatang (istri para prajurit)
untuk mengajari membuat ketupat dan janur dari daun nyiur yang
digunakan untuk perlengkapan upacara di Pura. Namun orang- orang
mengatakan (memfitnah) bahwa kegiatan ibu Larung bersama ibu-ibu
adalah mengajar tari telanjang dan mengirim wanita-wanita untuk
merayu para prajurit dengan pinggul mereka agar percaya pada
komunisme.
Peristiwa Gerakan 30 September dalam novel Manjali dan
Cakrabirawa digambarkan dalam cerita yang berhubungan dengan tokoh
Musa Wanara, seorang prajurit TNI-ABRI yang bertemu dengan Yuda
dalam latihan bersama panjat tebing (Utami, 2010:71-77). Musa Wanara
adalah anak seorang anggota pasukan Cakrabirawa, pengawal Presiden
Soekarno, yang dalam peristiwa gerakan 30 September 1965 dianggap
ikut bertangung jawab terhadap pembunuhan para jenderal.

“Musa,” panggilnya dengan nada bersahabat. “Kamu


menyimpan lambang Cakrabirawa di dompet. Kamu tidak takut
dianggap simpatisan PKI?”
Seorang prajurit TNI-ABRI tidak mungkin seorang pemuja
PKI sekaligus.
Pemerintahan Jendral Soeharto bermula dari penumpasan
partai komunis pada tahun 1965. Dalam bahasa Parang Jati:
rezim militer itu berdiri di genangan darah lebih dari sejuta orang
yang dituduh komunis. Bersama dengan itu segala unsur
komunisme dilarang di negeri ini. Sampai hari ini istilah “bersih
lingkungan” diperkenalkan...
“Kamu tidak khawatir dompetmu ditemukan orang lain?
Komandan, misalnya?” Ia memberi nada simpati.
“Tidak,” jawab Musa lebih yakin. “Sebab saya anti komunis
seratus empat puluh persen.” Ia tertawa. “Haha. Seratus itu angka
penuh, empat puluh itu angka keramat. Jika saya bertemu dengan
pengikut komunis, saya gebug dia! Saya tumpas! Kesetiaan saya
pada NKRI!” Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Lalu kenapa kamu menyimpan lambang itu di dompet?”

151
152

Dengan kilat mata polos hewaninya Musa memberi jawab


yang tak Yuda duga.
“Karena Cakrabirawa adalah mantra sakti! Karena tak ada
hubungan antara Cakrabirawa dengan komunisme! Tak ada
urusannya Cakrabirawa dengan PKI!”
Bagaimana mungkin? Yuda mengernyitkan dahi tanpa
bersuara.
Bagi Musa, “Cakrabirawa” adalah mantra. Nama yang sakti
pada dirinya sendiri. Cakrabirawa bukan milik Untung atau siapa
pun komandan dan anggota pengawal Presiden Soekarno,
sekalipun nama resimen itu adalah Cakrabirawa (Utami,
2010:75).

Dalam novel Manjali dan Cakrabirawa diceritakan bahwa Musa


Wanara adalah anak dari pasangan Sarwengi, anggota pasukan
Cakrabirawa dengan Murni, aktivis Gerwani (Utami, 2010:149). Pasca
peristiwa G30S, ketika PKI, Gerwani, Cakrabirawa dianggap terlibat
dalam peristiwa tersebut, maka Sarwegi pun dibunuh, sementara Murni
dipenjara di Plantungan dan melahirnya bayi laki-laki di penjara. Bayi
tersebut dipelihara oleh Haji Samadiman, sahabat suaminya, dan diberi
nama Musa Wanara (Utami, 2010:150).
Cerita tentang asal-usul tokoh Musa terungkap setelah
perkenalan antara tokoh Parang Jati dan Marja dengan Murni, seorang
ibu tua yang tinggal sendirian di hutan. Parang Jati dan Marja, bersama
seorang arkeolog, Jacques terlibat dalam sebuah penelitian mengenai
situs Candi Calwanarang di Jawa Timur. Di tengah jalan tokoh Marja dan
Parang Jati berkenalan dengan Murni, yang menggungkapkan cerita
tentang Gerwani. Dengan menggambarkan tokoh Musa Wanara, ayah
dan ibunya sebagai anggota pasukan Cakrabirawa dan Gerwani yang
dibunuh dan mendapatkan penyiksaan karena dianggap terlibat G30S,
novel tersebut jelas mencoba membertanyakan keterlibatan mereka
dalam peristiwa tersebut.

152
153

Tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta: Penyerangan Kantor DPP Partai


Demokrasi Pro Megawati oleh Massa Pendukung Suryadi

Dalam novel Larung ditemukan peristiwa sejarah yang


menggambarkan penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Pro
Megawati oleh massa pendukung Suryadi yang terjadi tanggal 27 Juli
1996. Peristiwa tersebut disusul dengan kerusuhan yang mengakibatkan
sejumlah bangunan instansi dan fasilitas umum di Jakarta dirusak dan
dibakar massa.
Selain dipaparkan oleh narator dalam novel Larung, peristiwa
tersebut juga disampaikan oleh Yasmin kepada Saman melalui email.
Sudah dua minggu aku meninggalkan kamu. Situasi politik
di Jakarta semakin tegang. Telah satu bulan para pendukung
Megawati bertahan di kantor PDI di jalan Diponegoro. Setiap hari
ada orasi anti Orde Baru. Kini semua mendengar bahwa
pemerintah akan memberi batas waktu. Mereka sedang
menentukan tanggal untuk menyerbu. Dan aku berada di sekitar
ketegangan ini. Aku merindukan kamu.
(Email Yasmin untuk Saman, Utami,2001:154).

Melalui emailnya kepada Saman, Yasmin mengabarkan situasi yang


terjadi di Jakarta menjelang dan setelah peristiwa 27 Juli 1996. Di
samping itu, narator juga menggambarkan bagaimana Larung yang
tinggal di New York terus mengikuti berita politik di Jakarta melalui email
dan kantor berita gelap karena pada saat itu banyak media massa yang
dilarang terbit oleh pemerintah Orde Baru.
.... pagi ini delapan puluh enam pesan masuk dalam kotak
suratnya. Sebagian polemik di Apakabar, Berita dari Pijar, Siar
dan beberapa berkala dari kantor berita gelap lain yang
bertambah aktif semenjak pemerintah membredel majalah
Tempo, Editor, dan Detik dua tahun lalu. Gila begitu banyak
yang terjadi selama dua tahun! -ia mengeluh, merasa tertinggal,
tapi juga mengeluh karena suasana Indonesia yang makin
represif. Ia mulai memeriksa surat-surat.... (Utami,
2001:167).

153
154

Paparan tentang peristiwa 27 Juli 1996, yang bersumber dari


Siaran Pers (disusun oleh Institut Informasi Independen, pukul 21.30,
dalam Larung adalah sebagai berikut.
Jakarta, 27 Juli 1996
PERISTIWA 27 JULI
Siaran Pers (disusun oleh Institut Informasi Independen,
pukul 21.30)
Setelah lebih dari satu bulan para banteng pro Megawati
bertahan di kantor DPP PDI jalan Diponegoro 58 dan menggelar
mimbar bebas, pasukan rezim Orde Baru akhirnya menyerbu.
Kromologi.
27 Juli, Sabtu pagi, sekitar pukul 6.00, sembilan truk serupa
kendaraan sampah berwarna kuning berhenti di muka markas PDI
dan menurunkan ratusan pemuda. Mereka mengenakan kaos
merah bertuliskan Pendukung Kongres IV Medan --kongres yang
menolak Megawati dan mengangkat Soerjadi sebagai ketua
umum partai -dengan membawa batu serta pentung kayu
sepanjang satu meter. Sebagian dari mereka berambut cepak dan
berbadan tegap. Mereka langsung melempari kantor dan
menyerang, sambil mencaci maki Megawati dan pendukungnya.
Beberapa saksi mata mengatakan, Komandan Kodim
Jakarta Pusat Letkol. Zul Effendi terlihat berada di sana dan ikut
mengatur menit-menit awal penyerbuan.
Sepuluh menit kemudian sekitar 500 personil pasukan anti
huru hara berseragam lengkap telah tiba. Kapolres jakarta Pusat
Letkol. Abu Bakar bersama mereka. Pasukan membagi diri
menjadi dua kelumpok, dan menutup lokasi kejadian di ruas
Megaria dan jalan Surabaya. Akibatnya pendukung Mega dari luar
lokasi tak bisa memmberi bantuan. Di lokasi, penyerangan
terhadap markas PDI terus berlangsung. Setelah lebih kurang
sepuluh menit dua panser AD ditempatkan di bawah jembatan
layang kereta api.
Sekitar pukul 7.30 Letkol Abu Bakar berunding dengan
Megawati melalui telepon agar pendukungnya mengosongkan
kantor. Perundingan macet karena Kapolres tidak setuju jika
Megawati datang ke lokasi. Sementara itu, pendukung Mega yang
masih berada di dalam gedung menyanyikan lagu-lagu
perjuangan.
Sekitar pukul 8.30 Dandim Jakpus Letkol. Zul Efendi
kembali memerintahkan pasukan untuk menyerang. Saksi mata
mengatakan, ia terlihat memberi semangat pada orang-orang
berkaos merah untuk melempar, sementara polisi anti huru hara
mamasok batu. Akhirnya mereka berhasil mendobrak pagar dan

154
155

mengobrak-abrik kantor PDI. Satgas pro Mega digiring ke truk


aparat dan yang luka ditandu ke ambulan polisi. Dari sana tidak
ada laporan ke mana mereka dibawa. Hingga siaran ini diturunkan
belum ada konfirmasi bahwa RSCM maupunRS St. Carolus
menerima korban. Kedua rumah sakit berada dalam radius satu
kilometer dari tempat kejadian.
Pukul 11.00-14.00
Berita tentang penyerbuan telah beredar ke perkampungan
sekitar sejak pagi. Masa yang marah dan ingin menonton
membangkak di sekitar Megaria. Para pendukung Mega
mengadakan mimbar bebas dan mencoba berunding dengar
aparat untuk diperbolehkan melihat apa yang terjadi di kantor
mereka. Suasana memanas.
Sekitar pukul 14.30 aparat membubarkan massa dengan
pentung rotan. Massa melawan dengan lemparan batu. Terjadi
perang antara massa dan petugas. Orang banyak yang marah
membakar tiga bus di Salemba.
Pukul 15.00-20.30
Terjadi bola salju massa ke arah timur. Di jalan salemba,
Kramat, dan Proklamasi beberapa gedung milik pemerintahserta
swasta dibakar. Masing-masing adalah Gedung Persit Chandra
Kirana, Ditjen Perikanan, Bank Swansarindo, Wisma Honda,
Show Room Toyota..(Utami, 2001:175).

Data tersebut memberikan gambaran mengenai situasi yang


terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 di Jakarta dan hari-hari setelahnya.
Dengan mencantumkan sumber siaran pers dari Institut Informasi
Independen novel tersebut ingin menunjukkan bahwa informasi yang
disampaikan bersifat objektif dan tidak berada dalam tekanan pihak yang
berkepentingan.

Peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15


Februari 1958 di Padang

Peristiwa sejarah yang berhubungan dengan pemberontakan


Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/Permesta) dalam
novel Cerita Cinta Enrico digunakan untuk menggambarkan sejarah
kelahiran tokoh utama (Enrico) yang diceritakan sebagai anak seorang

155
156

prajurit (Letda Irsad) yang dilahirkan bersamaan dengan waktu


pemberontakan tersebut terjadi, 15 Februari 1958 di Padang.
Peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
berawal dari pembentukan Dewan Banteng di Sumatra Barat oleh
Achmad Husein yang pada tanggal 10 Februari 1958 mengeluarkan
ultimatum pada Pemerintah Pusat yang menyatakan bahwa Kabinet
Djuanda harus mengundurkan diri dalam waktu 5 X 24 jam. Kabinet
Djuanda dibentuk pada tanggal 9 April 1957 sebagai zaken kabinet dan
bertugas selain harus menghadapi pergolakan di daerah, perjuangan
untuk mengembalikan Irian Jaya ke dalam wilayah Indonesia, juga harus
menghadapi keadaan ekonomi keuangan yang buruk, merosotnya
jumlah devisa dan rendahnya angka-angka eksport, dengan lima
program (panca karya) yang meliputi: (1) membentuk Dewan Nasional,
(2) normalisasi keadaan republik, (3) memperlancar pelaksanaan
pembatalan KMB, (4) perjuangan Irian Barat, dan (5) mempergiat
pembangunan (Kartodirdjo dkk., 1975:98). Menerima ultimatum tersebut
pemerintah bertindak tegas dengan memecat tidak hormat Achmad
Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang dianggap
sebagai pimpinan gerakan separatis. Selanjutnya, pada tanggal 15
Februari 1958, Achmad Hussein memproklamirkan Pemerintah
Revolusiner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syafruddin
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, yang disusul dengan berdirinya
gerakan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Palu (Sulawesi
Tengah) sampai Menado (Sulawesi Utara). Namun, kedua gerakan
tersebut dihancurkan oleh pemerintah pusat melalui Operasi 17 Agustus
1958 (Kartodirdjo dkk., 1975: 99-100).
Dalam novel Cerita Cinta Enrico diceritakan kelahiran tokoh
Enrico tepat pada hari pemberontakan PRRI terjadi, seperti tampak pada
kutipan berikut.
Bentukku meramalkan bentuk revolusi bagi ayahku.
Sebuah revolusi dengan kaki-kaki kurus. Ya, sebuah

156
157

pemberontakan yang lahir pada tanggal 15 Februari 1958 di


Padang adalah pemberontakan berkaki kurus. Saat dokter dan
perawat telah meninggalkan mereka berdua, Irsad mengajak
istrinya bicara mengenai hal itu.
“Kamu sudah dengar? Revolusi sudah diumumkan.”
Istrinya mengangguk lemah.....Esoknya aku dibawa masuk ke
belantara Sumatra. Aku menjadi bayi gerilya.
(Utami, 2012: 21-22)

Seperti yang terjadi dalam sejarah Indonesia, pemberontakan PRRI


akhirnya dapat digagalkan oleh pasukan Kolonel Ahmad Yani, yang
merupakan gabungan operasi militer antara AD, AL, AU, yang
dinamakan Operasi 17 Agustus (Kartadirdja dkk, 1975:99).
Sekarang marilah kita bayangkan apa yang terjadi di pulau
Jawa. Ketika Kolonel Ahmad Yani (yang kelak menjadi “Pahlawan
Revolusi”) memimpin pasukan untuk menghancurkan
pemberontakan PRRI dalam operasi yang dinamakan Operasi 17
Agustus, seluruh keluarga ayah dan ibuku geger (Utami,
2012:22)

Ayah Enrico, Letda Irsad digambarkan sebagai anggota pasukan


Achmad Hussein. Karena gerakan PRRI dianggap sebagai
pemberontak, maka Enrico yang baru saja dilahirkan harus mengikuti
orang tuanya bergerilya di hutan dan dikejar-kejar oleh tim Operasi 17
Agustus.
Letda Irsad berbaris bersama seluruh gerilyawan, yang
pada hari itu tidak bisa lagi menyebut diri mereka pasukan revolusi.
Mereka adalah pasukan pemberontak, seperti nama yang diberikan
Jawa kepada mereka. Revolusi berkaki kurus itu telah sepenuhnya
menjadi pemberontakan setengah hati. Irsad tetap mencoba berdiri
dengan sikap tegap seutuhnya, dengan kehormatan penuh,
meskipun hatinya hancur ketika perwira pasukan Yani melucuti
tanda pangkatnya (Utami, 2012:27).

Dalam novel Cerita Cinta Enrico peristiwa pemberontakan PRRI


digunakan untuk menceritakan asal usul kelahiran tokoh Enrico. Yamin
(2009:1) mengemukakan bahwa munculnya Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) adalah sebagai akumulasi dari kekecewaan

157
158

rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Kekecewaan


yang diakibatkan oleh sentralisasi kekuasaan dan memunculkan
kesenjangan pembangunan di segala bidang antara pusat dan daerah,
pembangunan di daerah terutama di Sumatera Tengah. PRRI dipro-
klamirkan oleh Ahmad Husein di Padang pada tanggal 15 Februari 1958
dan mendapat sambutan dan dukungan penuh dari Perjuangan Semesta
(PERMESTA) di Sulawesi. Sejumlah tokoh nasional baik sipil maupun
militer juga memberikan dukungan dan ikut bergabung dengan PRRI di
Sumatera Barat, antara lain M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara,
Burhanuddin Harahap, M. Syafe’i, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel
Mauludin Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein (Zen, 2001:274).
Walaupun kemudian oleh pemerintah RI perjuangan PRRI
dianggap sebagai pemberontakan yang berhasil ditumpas oleh
pemerintah, namun kalau dipahami latar belakang timbulnya PRRI
adalah karena kekecewaan terhadap sentralisasi kekuasaan dan
pembangunan yang tidak merata. Oleh karena itu, dengan mengangkat
kembali perstiwa tersebut dalam novel Cerita Cinta Enrico dapat
dimaknai bahwa rakyat yang ada di daerah, dengan dipimpin oleh para
pejuang yang ada di daerah pada dasarnya tidak akan tinggal diam
dengan adanya ketidakadilan dalam melaksanakan pembangunan
daerah.

Demonstrasi Mahasiswa ITB dan Penerbitan Buku Putih Perju-


angan Mahasiswa 1978 Menolak Pengangkatan Kembali Soeharto
sebagai Presiden RI

Selain peristiwa PRRI yang dihubungankan dengan asal usul


kelahiran tokoh Enrico, dalam novel Cerita Cinta Enrico juga
digambarkan peristiwa sejarah yang berhubungan dengan gerakan

158
159

mahasiswa Indonesia yang mengritisi pemerintah pada masa Orde Baru.


Setelah lulus SMA di Padang, Enrico melanjutkan sekolahnya (kuliah) di
Institut Teknologi bandung (ITB) pada tahun 1977. Pada 16 Januari
1978, Enrico bersama-sama dengan mahasiswa lainnya mengadakan
demonstrasi untuk menolak pengangkatan kembali Soeharto sebagai
presiden.

Pada pagi harinya, mahasiswa telah memasang kain


merah besar bertuliskan “Dewan Mahasiswa ITB tak
menginginkan Saudara Soeharto terpilih kembali sebagai
Presiden RI”. Spanduk menyala itu dibentangkan untuk
menyambut Sidang Umum MRP 1978, yang sudah pasti akan
memilih Jenderal Soeharto lagi.
Kami tahu bendera itu akan segera diturunkan beberapa
menit saja setelah dipasang. Tapi tidak apa, toh pernyataan itu
akan menjadi berita. Media akan memuatnya dan seluruh
Indonesia akan menjadi tahu bahwa tidak semua orang ingin dia
menjadi pemimpin lagi. Seluruh Indonesia akan jadi tahu bahwa
ada yang berani bersuara. Tapi kami tidak terlalu menduga bahwa
pembalasannya akan seperti ini.
Aku tiba di kampus ketika spanduk itu sudah direnggut.
Mahasiswa mengadakan rapat dan dalam rapat itu ada yang
nyampaikan berita bahwa kampus akan diduduki tentara. Bukan
polisi, melainkan Angkatan Darat – yang paling berkuasa di antara
angkatan lain....
Apapun kami memutuskan untuk mempertahankan
kampus. Dengan cara berbaring di jalan di pintu masuk. Lewati
dulu mayat kami sebelum kau kuasai ITB. Jika panser itu
memaksa, mereka akan masuk dengan melindas mati
mahasiswa. Kami akan jadi tameng hidup, bukan hanya bagi
kampus ITB. Kampus itu kini adalah simbol akal sehat, lambang
ketidaktundukan pada kekuasaan yang telah korup. Aku tak
berpikir ulang. Tak ada satu pun di antara kami yang berpikir
ulang. Sebab kami memperjuangkan cita-cita luhur.
Aku terbaring di lapisan kedua. Di lapisan terluar barangkali
adalah aktivis mahasiswa yang lebih senior. Yang lebih ke dalam
adalah mahasiswa yang selama ini tidak menjadi aktivis kampus
dan para mahasiswi.
(Utami, 2012: 134)

159
160

Peristiwa yang diceritakan dalam novel tersebut dapat dilacak


dalam catatan perjalanan aktivitas mahasiswa ITB (http://km.itb.-
ac.id/site/?p=102) sebagai berikut.
16 Januari 1978 Apel bersama 2000 mahasiswa ITB
dipimpin Ketua Umum Heri Akhmadi menyatakan Tidak
Mempercayai dan Tidak Menginginkan Soeharto Kembali
Sebagai Presiden Republik Indonesia. Penerbitan Buku Putih
Perjuangan Mahasiswa 1978. Pembuatan buku putih ini dimotori
oleh Rizal Ramli, Ketua Dewan Mahasiswa. Penerbitan buku putih
ini juga didukung beberapa intelektual kampus seperti Prof.
Iskandar Alisjahbana (Rektor ITB) dan Prof. Slamet Iman Santoso
(mantan Dekan Fakultas Psikologi UI).
21 Januari dan 9 Februari 1978 Kampus diserbu dua kali
dan diduduki militer 6 bulan lamanya. Mahasiswa lama
dikumpulkan di lapangan basket dan diusir, hanya mahasiswa
angkatan ’78 yang boleh berkuliah. Terjadi penembakan
gelap di rumah Rektor ITB Prof. Iskandar. Laksusda Jawa Barat
memanggil Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Indro Tjahjono, Al Hilal
Hamdi, dan Ramles Manampang Silalahi untuk kemudian diadili
dan dipenjara. Normalisasi Kehidupan Kampus diberlakukan, DM
se-Indonesia dibubarkan, pemerintah mengajukan konsep SMPT
(Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) sebagai pengganti Dewan
Mahasiswa, namun ditolak karena terlalu kuatnya inter- vensi
pemerintah dan birokrasi kampus pada organisasi tersebut.
1979. Pembentukan Badan Koordinasi Kemahasiswaan
(BKK) sebagai organ operasional kebijakan NKK disikapi dengan
penolakan mahasiswa ITB. Akibatnya lembaga ini tidak pernah
jelas eksistensinya.
1979-1982.Tekanan kuat dari Rektorat untuk mem-
bubarkan DM dengan surat ancaman DO untuk setiap Ketua
Umum terpilih. Buku Biru diterbitkan sebagai lanjutan penerbitan
Buku Putih.
(http://km.itb.ac.id/site/?p=102).

Dengan menggunakan perspektif new historicism, maka sejumlah


peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami
tersebut pada dasarnya hadir untuk mempertanyakan kembali
kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya. New Historicism
memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks dan struktur sosial

160
161

yang ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan, sehingga harus


dipertanyakan kembali kebenarannya.
Dari lima buah peristiwa sejarah yang digambarkan dalam
keempat novel karya Ayu Utami tampak bahwa peristiwa-peristiwa
tersebut dilakukan oleh kelompok (kaum) marginal. Mereka adalah kaum
buruh yang melakukan demonstraksi dan pemogokan buruh di Medan,
prajurit dan rakyat yang dituduh terlibat dalam gerakan 30 September,
rakyat yang prodemokrasi yang menolak otoritarian pemerintah Orde
Baru, angkatan bersenjata yang ada di daerah yang kecewa dengan
sentralisasi pemerintah pusat dan ketidakmerataan pembangunan, dan
mahasiswa (ITB) yang menolak pemimpin (presiden) yang otoriter dan
korup).
Dalam sejarah resmi versi pemerintah selama ini kelompok-
kelompok tersebut diberi label sebagai kaum pemberontak yang
mengacaukan keteraturan dan keamanan negara. Oleh karena itu,
keberadaannya harus dibasmi, dilarang eksistensinya. Para pelakunya
harus ditangkap dan dihukum. Melalui novel-novel tersebut, peristiwa-
peristiwa tersebut diberi ruang dan suara untuk mengakui kebe-
radaannya, bukan sebagai pihak yang melakukan pemberontakan untuk
mengacau keteraturan dan kedamaian, tetapi sebagai pihak yang
berjuang untuk mengakhiri otoritarian dan ketidakadilan.
Dalam perspektif new historicism, maka sejumlah peristiwa
sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami
tersebut pada dasarnya hadir untuk mempertanyakan kembali
kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya. Pemerintah Orde
Baru dianggap telah melakukan tindakan represi yang berlebihan dan
melanggar HAM dalam mengatasi demonstrasi dan pemogokan buruh di
Medan, kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, dan demonstrasi mahasiswa
ITB, 1978 yang menolak pengangkatan kembali Soeharto sebagai
presiden. Keterlibatan PKI dan Pasukan Cakrabirawa juga

161
162

dipertanyakan dalam peristiwa G30S, karena banyak pihak yang


sebenarnya ikut berperan dalam peristiwa tersebut, terutama dari
kalangan TNI. Dalam kasus pemberontakan PRRI, peristiwa tersebut
dilihat sebagai bentuk protes menentang terhadap pemerintah pusat
(Jakarta).

Simpulan
Peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel
karya Ayu Utami adalah (a) di Medan 1 Maret sampai dengan 16 April
1994, (b) Gerakan 30 September 1965, (c) tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta
atau penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Pro Megawati oleh
massa pendukung Suryadi, (d) pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15 Februari 1958 di Padang,
(e) demonstrasi Mahasiswa ITB dan penerbitan Buku Putih Perjuangan
Mahasiswa 1978 untuk menolak pengangkatan kembali Soeharto
sebagai presiden RI. Peristiwa tersebut direpresentasikan dalam bagian
yang integral dalam peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel.
Artinya peristiwa sejarah yang berasal dari peristiwa (fact) nyata
dikontekstualkan dalam fiksi yang ditulis pengarang.
Dalam perspektif new historicism, maka sejumlah peristiwa
sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami
tersebut pada dasarnya hadir untuk mempertanyakan kembali
kebenaran sejarah yang telah dicatat sebelumnya. Pemerintah Orde
Baru dianggap telah melakukan tindakan represi yang berlebihan dan
melanggar HAM dalam mengatasi demonstrasi dan pemogokan buruh di
Medan, kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, dan demonstrasi mahasiswa
ITB, 1978 yang menolak pengangkatan kembali Soeharto sebagai
presiden. Keterlibatan PKI dan Pasukan Cakrabirawa juga dipertanyakan
dalam peristiwa G30S, karena banyak pihak yang sebenarnya ikut
berperan dalam peristiwa tersebut, terutama dari

162
163

kalangan TNI. Dalam kasus pemberontakan PRRI, peristiwa tersebut


dilihat sebagai bentuk protes menentang terhadap pemerintah pusat
(Jakarta). Sikap mempertanyakan kebenaran sejarah tersebut sesuai
dengan perspektif new historicism memahami setiap segi realitas
tertuang dalam teks dan struktur sosial yang ditentukan oleh “praktik
diskursif” yang dominan, sehingga harus dipertanyakan kembali
kebenarannya.

Daftar Pustaka

Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan
dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13- 16
November 2006.

Barry, Peter. 2010. Begening Theory, an Introductioan to Literary and


Cultural Theory. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
Harviyah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra.

Banita, Baban, 2008. “Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami dalam
Perspektif Feminis Radikal.” Bandung: Universitas Padjajaran.
Beauvoir, Simone de. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos. Edisi Ba-
hasa Indonesia diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono.
Surabaya: Pustaka Promothea.

Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar, New historicism


dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dalam Susastra, Jurnal Ilmu
Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia.

Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbook of Qualitaitive


Research. Thousand Oaks, London, New Dehli: Sage
Publications International Educational and Professional
Publishers.

hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/05/05/0002, diunduh melalui


google.com 20 Juni 2012.

http://www.kontras.org, diunduh melalui google.com 20 Juni 2012.

163
164

http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny16.html), diunduh melalui google.com


20 Juni 2012.

http://km.itb.ac.id/site/?p=102, diunduh melalui google.com 20 Juni


2012.

Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat


dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Kartodirdjo, Sarton, Marwati Djoned Poesponegoro, Nugroho


Notosusant. 1995. Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara wacana.

Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965.


Melihat Peristiwa G30S dengan Perspektif Lain. Jakarta:
Kompas.

M. Yamin, M. 2009. Dewan Banteng Contra Neo Ningrat. Jakarta:


LPPM Tan Malaka.

Poesponegoro, Marwati Djoenet & Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah


Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka (edisi
pemutakhiran).

Ricklefs. H.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern, Diterjemahkan dalam


bahasa Indonesia oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera.

Suara Pembaruan, Senin 2 Mei 1994. “Demonstrasi dan Pemogokan


Buruh di Medan.”

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

. 2003. Larung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

. 2010. Manjali dan Cakrabirawa. Jakarta: Kepustakaan


Populer Gramedia.

. 2012. Cerita Cinta Enrico. Jakarta: Kepustakaan Populer


Gramedia.

164
165

Zed, Mestika dan Hasril Chaniago, 2001. Perlawanan Seorang Pejuang


Biografi Kolonel Ahmad Husein.Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

165
166

Daftar Pustaka

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Term. New York: Harcourt,


Brace World. Inc.
Ananta Toer, Pramudya. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra.
Edisi Reformasi.

Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan
dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13- 16
November 2006.

Ajidarma, Sena Gumira. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogjakarta:


Bentang.
Anderson, Benedict, 2006. Imagined Communities. Bandung: Mizan.

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan


Jurnal Perempuan.

Ayu, Djenar Maesa. 2006. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Aziz, Sohaini Abdul. 2010. “Alam dalam Karya Shahnon Ahmad: dari
pada Latar kepada Isu Alam Sekitar Pengarang Kreatif kepada
Pencinta Alam Sekitar,” dalam Sastra dan Budaya Urban dalam
kajian Lintas Media. Prosiding Konferensi Internasional
Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia
(HISKI). Surabaya: Pusat Penerbitan dan percetakan Universitas
Airlangga dan HISKI, hlm. 65-77.

Banita, Baban, 2008. “Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami dalam
Perspektif Feminis Radikal.” Bandung: Universitas Padjajaran.

Barthes, Roland, 1977. Elemens of Semiology. New York: Hill & Wang.

Beauvoir, Simone de. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos. Edisi Ba-
hasa Indonesia diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono.
Surabaya: Pustaka Promothea.

Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar, New historicism


dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dalam Susastra, Jurnal Ilmu
Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia.

166
167

Bainar, Ed. 1998. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan


Kemodernan. Yogyakarta: Pustaka Cidesindo.

Barry, Pater.2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori


Sastra dan Budaya. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra.
Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-laki dan Wacana Gender. Magelang:
Indonesiatera.
Brooks, Ann. 2003. Posfeminisme: Feminism, Cultural Theory, and
Cultural Forms. London & New York: Taylor & Francis e-
Library.

Damono, Sapardi Djoko.1979. Sosioogi Sastra Sebuah Pengantar.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Darma, Budi. 1996. Ny. Talis. Jakarta: Grasindo.

Dini, Nh. 2003. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Gramedia Pustala Utama.
Cet. Ke-8.

Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbook of Qualitaitive


Research. Thousand Oaks, London, New Dehli: Sage
Publications International Educational and Professional
Publishers.
Departemen Agama RI. 2002. Al Quran dan Terjemahannya.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar.


Jakarta: Gramedia.

Dzuhayatin, S. R. 1998. “Ideologi Pembebasan Perempuan: Perspektif


Feminisme dan Islam,” dalam Hj. Bainar, ed. Wacana
Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan.
Yogyakarta: Pustaka Cidesindo.

Dreese, Donelle N. 2002. Ecocriticism: Creating Self and Place in


Enviromental and American Indian Literature. New York: Peter
Lang Publishing.
Eagleton, Terry. 2000. Marxisme dan Kritik Sastra. Diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia oleh Roza Muliati dkk. Yogyakarta: Sumbu.

167
168

Easthope, Anthony.1991. Literary Into Cultural Studies. London:


Routledge.
El-Khalieqy, Abidah. 2000. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta:
Yayasan Kesejahteraan Fatayat.

El-Khalieqy, Abidah.2004. Geni Jora. Yogyakarta: Mahatari.

Fokkema, D.W. & Elrud Ibsch, 1978. Theories of Literarute in the


Twentieth Century. London:C. Hurst & Company.

Gandhi, Leela. 2007. Teori Pskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemono


Barat. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Yuwan
Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta: Kalam.
Goldmann, Lucien. 1977. Towards A Sociology of Literature. England:
Basil Blackwell Publisher.

Greenblatt, Stephen. 2005. The Greenblatt Rader (Blackwell Reader).


London: Willwy-Blackwell.

http://situs.mitrainti.org/gendervaw/referensi2.htm. “Gender &


Kekerasan terhadap Perempuan” (Referensi). Diakses 13 Maret
2007.

http:www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/08/0035.html.
“Kekerasan dalam Rumah Tangga,” Indonesia-News.

http://burukab.go.id/web3. Diunduh melalui google.com, 17 September


2014.

http://www.tempo.co/read/news/2013/10/17/Bagaimana-Mata-Kucing-
Melihat-Dunia. Diunduh melalui google.com, 17 Oktober 2013.

hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/05/05/0002, diunduh melalui


google.com 20 Juni 2012.

http://www.kontras.org, diunduh melalui google.com 20 Juni 2012.

http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny16.html), diunduh melalui google.com


20 Juni 2012.

http://km.itb.ac.id/site/?p=102, diunduh melalui google.com 20 Juni


2012.

168
169

Hasyim, Nur. 2009. “Gerakan laki-laki Properempuan: Transformasi Dua


Sisi,” dalam Jurnal Perempuan: untuk Pencerahan dan
Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 53-76.

Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. Edisi Bahasa Indonesia


diterjemahkan oleh Mundi Rahayu. Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru.

Jurnal Perempuan Nomor 64, 2009, Saatnya Bicara Soal Laki-laki.


Jakarta: Yayasan Yurnal Perempuan.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode.
Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.

Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat


dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Kartodirdjo, Sarton, Marwati Djoned Poesponegoro, Nugroho


Notosusant. 1995. Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Klarer, 2004. An Introduction to Literary Studies London: Routledge


Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara
wacana.Kurniawan, Eka. 2006. Cantik Itu Luka. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Kusujiarti, S. 1997. Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi:


Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa,” dalam
Irwan Abdullah, ed. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Puslit
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.

LBH-APIK, Jakarta. 17 Juli 2006. “Sekilas tentang Undang-undang


Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No.23
tahun 2004 atau UU PKDRT).
Lewis, Reina and Sara Mills. 2003. Feminist Postcolonial Theory a
Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Love, Glen A. 2003. Practical Ecocriticism, Literature, Biology, and the


Environment. USA: University of Virginia Press.

169
170

Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965.


Melihat Peristiwa G30S dengan Perspektif Lain. Jakarta:
Kompas.

Luxemburg, Jan van, et.al. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan


dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Madsen, Deborah L. 2000. Feminist Theory and Literary Practice.


London, Sterling, Virginia:Pluto Press.

Madya, Suwarsih. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Alfabeta.

Masdiana, Erlangga. “Kekerasan dalam Rumah Tangga Dipengaruhi


Faktor Ideologi.” Kompas 12 Juli 2004

M. Yamin, M. 2009. Dewan Banteng Contra Neo Ningrat. Jakarta:


LPPM Tan Malaka.

Moeis, Abdul. 1999. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. Ke-25.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Ghalia Indonesia

Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta: Gramedia.

Pilian, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Jakarta:


Matahari.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori dan Metode Kritik
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poesponegoro, Marwati Djoenet & Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka (edisi
pemutakhiran).

Purbani, Arti. 1979. Widyawati. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian


Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricklefs. H.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern, Diterjemahkan dalam


bahasa Indonesia oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Ruthven, K.K. 1986. Feminist Leterary Studies an Introduction. Cam-


bridge, New York, Port Chester, Melbourne, Sydney: Cam-
bridge University Press.

170
171

.
Said, Edward W. 1978. Orientalisme. Bandung: Mizan.

Sarup, Madan. 2003. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Bandung:


Jalasutra.

Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta:


Gama Media.

Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera.


Siara Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KTP),
melalui Situs Resmi Departemen Komonikasi dan Informasi RI,
“Angka Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat.” 13 Januari
2007.

Segers, Rien T. 1978 Evaluasi Teks Sastra Diterjemahkan oleh Sumint


A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita.

Showalter, Elaine, editor. 1985. The New Feminist Criticism: Essays on


Women, Literature, and Theory. New York: Pantheon.

Sudjiman, Panuti dan Aart an Zoest. 1992. Serba Serbi Semiotika.


Gramedia.

Suara Pembaruan, Senin 2 Mei 1994. “Demonstrasi dan Pemogokan


Buruh di Medan.”
Subono, Nur Iman. 2001. “Laki-laki, Kekerasan Gender dan Filsafat,”
dalam Feminisme Laki-laki: Solusi atau Persoalan. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Swingewood , Alan & Diana T.Laurenson 1972. The Sociology of
Literature. New York: Schoken Books.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra.


Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Penyusun. 2002. kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Tohari, Ahmat. 2005. Senyum Karyamin. Jakarta: Gramedia.

Toer, Pramudya Ananta. 2004. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta:


Lentera.

171
172

Toer, Pramudya Ananta. 2009. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

Tong, Rosemary Putnam. 2006. Feminist Thought: A More


Comprehentive Introduction. Diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia oleh Aquarini Prabasmara. Bandung: Jalasutra.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Utami, Ayu. 2003. Larung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Utami, Ayu. 2010. Manjali dan Cakrabirawa. Jakarta: Kepustakaan


Populer Gramedia.

Utami, Ayu. 2012. Cerita Cinta Enrico. Jakarta: Kepustakaan Populer


Gramedia.
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU
No.23 tahun 2004 atau UU PKDRT). Jakarta: LBH-Apik.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan.


Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.
Valentina, R. 2009. “Pengalaman-pengalaman Aku yang Perempuan:
Laki-laki Feminis?” dalam Jurnal Perempuan: untuk Pencerahan
dan Kesetaraan, Nomor 64. Hlm. 25-35.

www.puskurbuk.net. Pendidikan Karakter. Diunduh melalui google.com


20 Mei 2012.

Zed, Mestika dan Hasril Chaniago, 2001. Perlawanan Seorang Pejuang


Biografi Kolonel Ahmad Husein.Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

172
173

Biodata Penulis

Wiyatmi. Lahir di Purworejo 10 Mei 1965. Menempuh pendidikan dasar


dan menengah di Purworejo. Sejak 1983 sampai sekarang menetap di
Yogyakarta. Menyelesaikan studi S1, S2, dan S3 di program studi Sastra
Indonesia (Ilmu Sastra) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadja Mada.
Disertasinya telah diterbitkan menjadi buku dengan judul Menjadi
Manusia Terdidik, Novel Indonesia, dan Feminisme (UNY Press, 2014).
Selain itu juga telah menulis buku Kritik Sastra Feminis: Teori dan
Aplikasinya dalam Sastra Indonesia (2013), Pengantar Kajian Sastra
(2006), Sosiologi Sastra (2013), Psikologi Sastra (2012)¸ Kritik Sastra
Indonesia: Feminisme, Ekokrisisme, dan New Historisisme (2015),
Pertanyaan Srikandi (Kumpulan Puisi, 2012), dan Suara dari Balik kabut
(Kumpulan Puisi, 2013).

173

Anda mungkin juga menyukai