Anda di halaman 1dari 13

Khulafaur Rasyidin

Khulafaur Rasyidin

bahasa Arab: ‫الخلفاء الراشدون‬

representasi Kaligrafi untuk para Khalifah Rasyidin

Gelar Khalīfat ar-Rasūl (masa Abu Bakar)

Amirul Mukminin (sejak masa Umar)

Kediaman Madinah

Kufah

Ditunjuk oleh Syurā

Pejabat perdana Abu Bakar

Dibentuk 8 Juni 632

Pejabat terakhir Ali bin Abi Thalib

Jabatan dihapus 28 Juli 661

Para Khalifah Rasyidin (bahasa Arab: ‫دون‬33‫اء الراش‬33‫الخلف‬, translit. al-Khulafāʾ al-Rāsyidūn, terj.


har. ''Khalifah yang Dibimbing dengan Benar''), sering disebut Khulafaur
Rasyidin atau Rasyidin, adalah sebutan Muslim Sunni untuk empat khalifah pertama yang
memimpin negara Islam pertama Kekhalifahan Rasyidin setelah kematian nabi
Islam Muhammad. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin 'Affan, dan Ali bin
Abi Thalib.
Pemerintahan para khalifah ini, yang disebut Kekhalifahan Rasyidin (632–661), dianggap dalam
Islam Sunni telah "dibimbing dengan benar" (bahasa Arab: ‫راشد‬, translit. rāsyd), artinya
merupakan model (sunnah) yang harus diikuti dan diteladani dari sudut pandang agama.[1]
Abu Bakar (m. 632–634) terpilih sebagai Khalifah pertama dalam peristiwa Saqifah Bani
Sa'idah segera setelah kematian Muhammad. Aksesinya ditolak oleh beberapa orang sahabat
Muhammad, yang paling menonjol diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, yang kemudian
menyerah dan menawarkan kesetiaannya.[2] Abu Bakar memerangi kelompok murtad, dan
memperluas wilayah kekhalifahan. Pemerintahannya yang singkat berakhir dengan kematiannya
di tahun 634 M.
Penerus Abu Bakar adalah Umar bin Khattab (m. 634–644), yang juga seorang sahabat
terkemuka Muhammad. Bersamaan dengan penaklukan Persia Sasaniyah dan dua pertiga
dari Bizantium Romawi, Umar membangun struktur politik dan administrasi negara. Ia
menciptakan diwan, sebuah badan ekonomi negara, ia juga menetapkan kebijakan yang
memperbolehkan pembangunan kembali pemukiman Yahudi di Yerusalem. Kekhalifahannya
berakhir ketika dia dibunuh oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak dari persia.
Sebelum kematiannya, Umar membentuk sebuah panitia yang beranggotakan enam orang untuk
memilih khalifah baru setelah kematiannya, dan Utsman bin Affan (m. 644–656) adalah yang
terpilih di antara mereka. Utsman mungkin adalah khalifah paling dikenang karena berjasa dalam
pengumpulan al-Qur'an dan membentuknya menjadi sebuah mushaf seperti yang dibaca saat ini.
Kebijakan Utsman untuk menetapkan anggota keluarganya sebagai pejabat dan gubernur telah
menimbulkan pemberontakan yang mengakibatkan dirinya terbunuh pada 656 M.
Ali bin Abi Thalib (m. 656–661), mewarisi kekacauan yang terjadi pada akhir masa kekhalifahan
Utsman. Ia termasuk dari enam orang dari anggota panita yang ditunjuk Umar dalam Pemilihan
Utsman. Pada masa pemerintahannya, Ali menghadapi konflik internal yang dikenal
sebagai Fitnah Pertama. Pihak ketiga, Khawarij, memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan
membunuh tiga orang yang dianggap penyebab peperangan, yaitu Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin
Ash. Dari ketiga orang tersebut, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Putranya, Hasan, mengakhiri
konflik dengan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah.

Etimologi[sunting | sunting sumber]
Muhammad (atas), dan para Khalifah Rasyidin. Abu Bakar (kiri), Umar, Ali, dan Utsman
(kanan). Dari Subhat al-Akhbar, Perpustakaan Nasional Austria
Secara etimologis, al-Khulafāʾ al-Rāshidūn terdiri dari dua kata, yaitu al-Khulafāʾ yang
memiliki arti "pengganti" atau "pemimpin" dan al-Rāshidūn yang memiliki arti "dibimbing
dengan benar" (atau menurut sebagian Muslim, "mendapatkan petunjuk").[3] Dengan demikian,
al-Khulafāʾ al-Rāshidūn dapat diterjemahkan sebagai "para pemimpin yang dibimbing dengan
benar".[4]
Menurut Muslim Sunni, istilah Khulafaur Rasyidin berasal dari sebuah Hadis yang meramalkan
bahwa kekhalifahan setelah kematian Muhammad akan berlangsung selama 30 tahun dan
kemudian akan diikuti oleh kerajaan.[5][6] Menurut hadis lain dalam Sunan Abu
Dawud dan Musnad Ahmad, menjelang akhir zaman, Khilafah Terpimpin akan dipulihkan sekali
lagi oleh Tuhan.[7] Namun, istilah ini tidak digunakan dalam Islam Syiah, karena sebagian besar
Muslim Syiah tidak menganggap aturan tiga khalifah pertama sah.[8] Di sisi lain,
Syiah Zaidiyah percaya tiga khalifah pertama sebagai pemimpin yang sah.[9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Suksesi Muhammad adalah isu sentral yang memecah komunitas Muslim.
[10]
 Islam Sunni menerima status politik mereka sepenuhnya, sedangkan Muslim Syiah sebagian
besar menolak legitimasi tiga khalifah pertama, dan mempertahankan bahwa Muhammad telah
menunjuk Ali sebagai penggantinya.[10][11]
Abu Bakar[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Abu Bakar ash-Shiddiq
Lihat pula: Kekhalifahan Rasyidin §  Abu Bakar Ash-Shiddiq (632–634)

Orang-orang berjanji setia kepada Abu Bakar di Saqifah,


dengan Umar di sebelah kanan. Miniatur Persia dibuat sekitar tahun 1595.
Abu Bakar, (bahasa Arab: ‫َأبُو بَ ْك ٍر‬, ca. 573–634 M/13 H) adalah sahabat dekat Muhammad dan
ayah mertuanya. Dia memerintah Kekhalifahan Rasyidin dari 632 hingga 634 M
sebagai Khalifah Muslim pertama setelah kematian Muhammad.[12] Abu Bakar melanjutkan
fungsi politik dan administrasi yang sebelumnya dijalankan oleh Muhammad. Abu Bakar disebut
As-Siddiq (‫اَلـصِّ ـ ِّديْـق‬ terj. har. 'yang membenarkan')[13] karena menjadi orang pertama yang
membenarkan peristiwa Isra Mikraj Muhammad,[14] dan dikenal dengan gelar itu di antara
generasi Muslim Sunni selanjutnya.[15]
Setelah kematian Muhammad, sejumlah sahabat dari golongan Anshar berniat untuk mengangkat
sendiri pemimpin diantara mereka dengan mengesampingkan para imigran (Muhajirin).[16] Abu
Bakar dan Umar bin Khattab, bergegas pergi ke Saqifah dan meyakinkan orang-orang disana
bahwa pemimpin setelah Muhammad harus berasal dari Muhajirin pula, sedangkan Anshar
sebagai pembantu.[17] Abu Bakar menawarkan Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pilihan.
[18]
 Namun, Umar segera menjabat tangan dan berjanji setia kepada Abu Bakar; sebuah contoh
yang diikuti oleh orang-orang yang hadir.[19] Peristiwa ini dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.
[20]
 Pada awalnya, aksesi Abu Bakar sempat ditolak oleh beberapa orang sahabat Muhammad,
[21]
 diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib. Ali mungkin diharapkan untuk menggantikan
Muhammad setelah kematiannya,[22] karena kedekatan mereka dan pidato Muhammad di Ghadir
Khum.[23]
Sejak menjelang kematian Muhammad, beberapa kepala suku, seperti Aswad al-
Ansi, Musailamah al-Kazzab, dan Sajjah mengaku sebagai nabi baru yang diberi wahyu oleh
Tuhan. Abu Bakar menentang pengakuan mereka dan memerintahkan untuk memerangi mereka.
[24]
 Strategi Abu Bakar dengan mengirim pasukan secara berkala tampaknya berhasil. Kampanye
kemurtadan yang dimulai oleh kelompok pendukung nabi palsu selama tahun ke-11 Hijriyah
dapat diakhiri oleh pasukan yang dikirim oleh Abu Bakar pada tahun yang sama.[25]
Setelah kampanye kemurtadan selesai, Abu Bakar menguasai seluruh Jazirah Arab dan
mengendalikan suku-suku yang bertikai. Ia melarang suku-suku ini untuk melakukan penjarahan
dan peperangan.[26] Dia memutuskan untuk memperluas kekhalifahan. Tidak jelas apakah niatnya
adalah untuk melakukan ekspansi skala penuh, atau serangan pendahuluan untuk mengamankan
zona penyangga antara negara Islam dengan kekaisaran Sasaniyah dan Bizantium yang kuat.
Kebijakan ini memulai ekspansi militer secara besar-besaran atas Bizantium dan Persia.
[27]
 Khalid dikirim ke Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan, dan
menaklukkan provinsi terkaya di Persia, Irak. Setelah itu, Abu Bakar mengirim pasukannya
untuk menginvasi Suriah Romawi, provinsi penting Kekaisaran Bizantium.[28]
Pada Agustus 634, Abu Bakar jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh. Dia mengalami demam
tinggi dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. [29] Penyakitnya berkepanjangan, dan ketika
kondisinya memburuk, dia akhirnya meninggal dunia Pada 23 Agustus 634. [30] Sebelum
kematiannya, ia mendiktekan wasiat terakhirnya kepada Utsman yang isinya
mengangkat Umar sebagai penggantinya. [30]

Umar bin Khattab[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Umar bin Khattab
Lihat pula: Kekhalifahan Rasyidin §  Umar bin Khattab (634–644)
Umar bin Khattab (bahasa Arab: ‫اب‬33‫ر ابن الخط‬33‫عم‬, translit. ʿUmar ibn al-Khattāb, ca.586/590–
644[31]) adalah pendamping terkemuka dan penasihat Muhammad. Putri Umar, Hafshah menikah
dengan Muhammad; dengan demikian dia menjadi ayah mertua Muhammad. Ia menggantikan
Abu Bakar setelah kematiannya 23 Agustus 634 sebagi khalifah kedua, dan memainkan peran
penting dalam Islam.[32] Ia mmerintah Kekhalifahan Rasyidin selama sepuluh tahun.[33]
Di bawah pemerintahan Umar, kekhalifahan Islam berkembang dengan kecepatan yang belum
pernah terjadi sebelumnya, menguasai seluruh Kekaisaran Persia Sassaniyah dan lebih dari dua
pertiga Kekaisaran Romawi Timur.[34] Kemampuan legislatifnya, kontrol politik dan administrasi
yang kuat atas kekaisaran yang berkembang pesat, dan serangan multi-cabang yang terkoordinasi
dengan cemerlang terhadap Persia Sassaniyah menghasilkan penaklukan kekaisaran Persia dalam
waktu kurang dari dua tahun. Ini menandai reputasinya sebagai pemimpin politik dan militer
yang hebat. Di antara penaklukannya adalah Yerusalem, Damaskus, dan Mesir.[35]
Kunjungan khalifah Umar memasuki Yerusalem, dengan pasukan meletakkan senjata dan
menunduk.
Umar memerintahkan pemindahan komunitas Kristen dan Yahudi dari
wilayah Najran dan Khaibar menuju Suriah dan Irak.[36] Dia juga mengizinkan orang-orang
Yahudi untuk bermukim kembali di Yerusalem, yang sebelumnya dilarang dari semua orang
Yahudi.[37] Dia mengeluarkan perintah agar orang Kristen dan Yahudi ini diperlakukan dengan
baik dan memberi mereka tanah yang setara di pemukiman baru mereka. [38][39] Umar juga
melarang non-Muslim berada di Hijaz lebih dari tiga hari.[40] Ia adalah orang pertama yang
mendirikan angkatan darat sebagai departemen negara.[41]
Di bawah kepemimpinan Umar, kekhalifahan berkembang; karenanya, dia mulai membangun
struktur politik yang akan menyatukan wilayah yang luas. [42][43][44] Dia melakukan banyak
reformasi administrasi dan mengawasi kebijakan publik dengan cermat, mendirikan administrasi
lanjutan untuk tanah yang baru ditaklukkan, termasuk beberapa kementerian dan birokrasi baru,
dan memerintahkan sensus semua wilayah Muslim.[45][44][46] Selama pemerintahannya, kota
garnisun (amsar) Basrah dan Kufah didirikan atau diperluas. Pada 638, ia memperluas dan
merenovasi Masjidil Haram (Masjid Suci) di Makkah dan Masjid Nabawi (Masjid Nabi) di
Madinah.[47][46]
Umar adalah khalifah pertama yang mengadopsi gelar Amirul Mukminin (terj. har. 'pemimpin
orang-orang beriman').[48] Ibnu Sa'ad mencatat dalam bukunya, at-Thabaqat al-Kubra, bahwa
setelah kematian Abu Bakar, umat Islam saat itu berkata: "Kami adalah Mu'minin (orang-orang
beriman/setia) dan Umar adalah Amir (pemimpin) kami."[48] Setelah itu, gelar Amirul Mukminin
dipegang oleh Umar yang kemudian menjadi gelar standar khalifah.[48][49] Pada masa-masa
setelahnya, para khalifah dan sultan dari berbagai dinasti Muslim, seperti Umayyah, Abbasiyah,
dan Fatimiyah juga turut mengadopsi Amirul Mukminin sebagai gelar spiritual dan politik
mereka.[50] Umar mungkin juga dikenang karena membentuk sistem kalender Islam Hijriyah.[51]
Pada November 644, Umar diserang oleh seorang budak Persia bernama Abu Lu'lu'ah ketika ia
sedang memimpin salat subuh di Masjid Nabawi.[52] Sebelum kematiannya, ia sempat menunjuk
sebuah komite beranggotakan enam orang: Ali,Utsman, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin
Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa'ad bin Abi Waqqash untuk memilih salah seorang di
antara mereka sebagai penggantinya.[53]
Utsman bin Affan[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Utsman bin Affan
Lihat pula: Kekhalifahan Rasyidin §  Utsman bin Affan (644–656)

Pemilihan Utsman, folio dari Tarikhnama (Buku


sejarah) oleh al-Balami.
Utsman bin Affan (bahasa Arab: ‫ثمان ابن عفان‬, translit. ʿUthmān ibn ʿAffān) (ca. 579–17 Juli 656)
adalah salah satu sahabat awal dan menantu Muhammad. Dua putri Muhammad dan
Khadijah, Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengannya satu demi satu. Utsman lahir dari
klan Bani Umayyah, keluarga kuat dari suku Quraisy.[54]
Sebelum kematiannya, Umar membentuk sebuah panitia yang beranggotakan enam orang: Ali,
Utsman, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin
Auf dipercaya sebagai ketua komite. Beberapa sumber menambahkan Sa'id bin Zaid, seorang
sahabat Muhammad,[55] sementara laporan oleh ath-Thabari mengatakan Sa'id dikeluarkan karena
kekerabatannya dengan Umar, yang konon tidak menginginkan suksesi turun-temurun. [56] Di sisi
lain, beberapa sumber tidak memasukkan Sa'id dalam panitia. [55] Sebagian besar sumber juga
mengatakan bahwa Thalhah tiba di Madinah setelah panitia mencapai keputusan akhir dan tidak
hadir dalam persidangan.[55] Sa'id secara formal bertindak sebagai wakilnya oleh beberapa
catatan.[57] Sejarawan Sunni Ibnu Sa'ad dan beberapa sumber Sunni lain juga mencantumkan
putra Umar, Abdullah dalam kapasitas sebagai penasehat komite.[58][59]
Sa'ad memberikan suara kepada sepupunya, Abdurrahman, yang cenderung mendukung saudara
iparnya, Utsman.[60][61] Blok suara yang terdiri dari tiga orang ini akan menjadi mayoritas dalam
komite jika Thalhah tidak hadir dan Sa'ad memberikan dua suara. Menurut Ayoub, susunan
panitia ini menghalangi peluang Ali, yang menambahkan bahwa Umar mungkin melakukannya
tanpa disadari.[62] Meski sependapat, namun Jafri tidak setuju, dia mengatakan bahwa Umar
bermaksud menghalangi Ali tetapi tidak bisa begitu saja mengecualikannya dari persidangan.
[63]
 Jafri menyatakan bahwa Umar dengan sengaja menghalangi peluang Ali dengan memberikan
jabatan ketua komite kepada Abdurrahman, kemungkinan karena takut akan perselisihan dan
kerusuhan sipil.[64] Dalam pandangan Jafri, masuknya Ali ke dalam komite sekaligus mengakui
klaimnya,[65] menghalangi peluangnya,[65] dan menghilangkan kebebasannya untuk mencari cara
menjadi khalifah secara mandiri.[64] Pada akhirnya, Utsman memenangkan pemilihan dan
diangkat menjadi khalifah pada usia tujuh puluh tahun.[66][67][68]
Di bawah kepemimpinannya, kekhalifahan meluas ke Fars (sekarang Iran) pada tahun 650 dan
beberapa wilayah Khorasan Raya (sekarang Afghanistan) pada tahun 651, dan
penaklukan Armenia dimulai pada tahun 640-an.[69]
Utsman mungkin paling dikenal karena membentuk panitia yang bertugas memproduksi
salinan al-Qur'an berdasarkan teks yang telah dikumpulkan secara terpisah pada perkamen,
tulang dan batu selama masa hidup Muhammad dan juga pada salinan al-Qur'an yang telah
disusun oleh Abu Bakar dan dimiliki oleh Hafshah, salah satu janda Muhammad setelah
kematian Abu Bakar.[70] Para anggota panitia juga adalah qari al-Qur'an dan telah menghafal
seluruh teks selama masa hidup Muhammad, mereka dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.[71] Pekerjaan
ini dilakukan karena ekspansi besar-besaran Islam di bawah pemerintahan Utsman, yang
menemui banyak dialek dan bahasa yang berbeda. Hal ini menyebabkan variasi bacaan al-Qur'an
bagi para mualaf yang tidak terbiasa dengan bahasa tersebut. Setelah mengklarifikasi
kemungkinan kesalahan dalam pengucapan atau dialek, Utsman mengirim salinan teks suci ke
setiap kota Muslim dan kota garnisun, dan menghancurkan berbagai versi mushaf yang dianggap
menyimpang.[72][73]
Menurut sumber-sumber Sunni, tidak seperti Umar yang disiplin dan memerintah dengan tegas,
Utsman kurang ketat dan cenderung lebih fokus pada kemakmuran ekonomi. [74] Di bawah
Utsman, rakyat menjadi lebih makmur dan di bidang politik mereka menikmati tingkat
kebebasan yang lebih besar. Tidak ada lembaga yang dirancang untuk menyalurkan aktivitas
politik dan karena tidak ada lembaga tersebut, kecemburuan dan persaingan suku Arab pra-
Islam yang telah ditekan di bawah khalifah sebelumnya, muncul kembali.[75]
Perlawanan terhadap Utsman kemudian muncul karena dia lebih menyukai anggota keluarga
ketika memilih gubernur, dengan alasan bahwa dengan melakukan ini, dia akan dapat
memberikan pengaruh yang lebih besar pada bagaimana kekhalifahan dijalankan. Utsman
menjadikan sistem kapitalis sebagai sistem kekhalifahan. Sebaliknya, orang yang ditunjuknya
memiliki kendali lebih besar atas bisnis negara daripada yang Utsman rencanakan. [76] Mereka
melangkah lebih jauh dengan memaksakan otoritarianisme atas provinsi mereka. Selain itu,
campur tangan Utsman dalam urusan provinsi, yang terdiri dari pernyataannya atas tanah
mahkota Irak sebagai aset negara, dan tuntutannya agar surplus provinsi diteruskan ke khalifah di
Madinah, menimbulkan penentangan yang meluas terhadap pemerintahannya, terutama dari
kalangan Irak dan Mesir, tempat sebagian besar tentara penaklukan menetap. [77] Sementara itu,
banyak surat dari rakyat yang telah ditulis kepada para sahabat terkemuka Muhammad,
mengeluh tentang dugaan tirani gubernur yang ditunjuk Utsman. Surat-surat dikirim ke para
pemimpin opini publik di berbagai provinsi tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh keluarga Utsman. Hal ini menimbulkan keresahan di seluruh wilayah kekhalifahan dan
menyebabkan Utsman sendirilah yang harus menyelidiki masalah tersebut dalam upaya untuk
memastikan kebenaran rumor tersebut.[78] Wilferd Madelung menentang dugaan peran Abdullah
bin Saba dalam pemberontakan melawan Utsman dan mengamati bahwa hanya sedikit
sejarawan modern yang mau menerima legenda tentang Ibnu Saba.[79]
Menurut Bernard Lewis, "kelemahan dan nepotisme Utsman memuncakkan kebencian yang
selama beberapa waktu dipendam secara samar-samar di antara para prajurit Arab. Tradisi
Muslim menghubungkan kehancuran yang terjadi selama pemerintahannya dengan cacat pribadi
Utsman. Namun, penyebabnya terletak jauh lebih dalam dan kesalahan Utsman terletak pada
kegagalannya untuk mengenali, mengendalikan, atau memperbaikinya". [80] Madelung juga
mencatat bahwa Utsman telah menyebabkan sebagian besar kekhalifahan tunduk kepada Bani
Umayyah.[81][82]
Pada akhirnya, penentangan terhadap kebijakan Utsman dimulai di Madinah. Para penentang
Utsman mengumpulkan orang-orang dan mengadakan aksi demonstrasi untuk memprotes
Utsman. Namun, aksi demonstrasi berubah menjadi pengepungan setelah salah satu demonstran
terbunuh.[83] Masyarakat mengepung rumah Utsman selama empat puluh hari dan kemudian
membunuhnya saat sedang membaca al-Qur'an pada 17 Juni 656. Mereka menusuk perutnya dan
memukul kepalanya.[84]
Ali bin Abi Thalib[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Ali bin Abi Thalib
Lihat pula: Kekhalifahan Rasyidin §  Ali bin Abi Thalib (656–661)

koin Dirham Islam pada masa khalifah Ali, 656–661 M.


Ali bin Abi Thalib (bahasa Arab: ‫علي ابن أبي طالب‬, translit. ʿAlī ibn Abī Ṭālib) adalah sepupu dan
menantu Muhammad.[85] Di Makkah, Ali muda adalah orang pertama yang memeluk Islam dari
anak-anak dan orang yang menawarkan dukungannya ketika Muhammad pertama kali
memperkenalkan Islam kepada kerabatnya.[86][87][88][89][90] Kemudian, dia memfasilitasi pelarian
Muhammad yang aman ke Madinah dengan mempertaruhkan nyawanya sebagai umpan. [91][92][93]
[94][95]
 Saat tiba di Madinah, Ali bersumpah persaudaraan dengan Muhammad dan kemudian
melamar putri Muhammad, Fatimah, dan menikahinya.[96][97][98]
Ali biasa bertindak sebagai sekretaris Muhammad di Madinah, dan menjabat sebagai wakilnya
selama ekspedisi Tabuk.[99] Ali sering dianggap sebagai pejuang paling cakap dalam pasukan
Muhammad dan keduanya adalah satu-satunya pria Muslim yang mewakili Islam melawan
delegasi Kristen dari Najran.[100][101][102][103] Peran Ali dalam pengumpulan al-Qur'an, teks utama
Islam, dianggap sebagai salah satu kontribusi utamanya. [104] Dalam Islam Syi'ah, Ali dianggap
sebagai penerus sah Muhammad yang pengangkatannya diumumkan pada acara Ghadir
Khum dan sebelumnya dalam misi kenabiannya.[105]
Tak lama setelah pembunuhan Utsman di Madinah, massa meminta kepemimpinan Ali dan pada
awalnya ditolak.[106][107][108] Penjelasan Will Durant untuk keengganan awal Ali adalah
bahwa, "Genial dan dermawan, meditatif dan pendiam; dia (Ali) berusaha menghindar dari
drama yang mana agama telah digantikan oleh politik, dan pengabdian oleh intrik".[109] Dengan
tidak adanya oposisi yang serius dan didesak terutama oleh Ansar dan delegasi Irak, Ali akhirnya
disumpah (bai'at) pada tanggal 25 Dzulhijjah 35 H (656 M), dan Muslim memenuhi Masjid
Nabawi hingga ke halamannya untuk berjanji setia kepadanya.[110][111][112]
Dikatakan bahwa Ali mewarisi masalah-masalah internal yang berat pada masa
pemerintahan Utsman.[113][114] Setelah pengangkatannya sebagai khalifah, Ali memindahkan
ibukotanya dari Madinah ke Kufah, kota garnisun Muslim di Irak saat ini.[115] Ali juga
memberhentikan sebagian besar gubernur Utsman yang dianggapnya korup, termasuk Muawiyah
bin Abu Sufyan, sepupu Utsman.[116][117] Di bawah Utsman yang lunak, Muawiyah telah
membangun struktur kekuasaan paralel di Damaskus yang menurut Madelung, mencerminkan
despotisme kekaisaran Bizantium Romawi.[116][118][119] Setelah negosiasi antara mereka gagal,
kedua belah pihak terlibat dalam perang saudara berdarah dan panjang, yang dikenal
sebagai Fitnah Pertama.[120][121]
Pihak ketiga, Khawarij, memberontak dan akhirnya dibubarkan oleh Ali pada Pertempuran
Nahrawan.[122] Setelah pertempuran, Khawarij yang tersisa memutuskan untuk mengakhiri
konflik dengan membunuh Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash yang mereka anggap sebagai
penyebab munculnya konflik.[123] Namun, dari ketiga target, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Ia
dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam saat memimpin salat subuh di Masjid Kufah pada 28
Januari 661 M.[124][125]
Setelah pembunuhan Ali, putranya, Hasan, terpilih sebagai khalifah dan mengadopsi pendekatan
serupa terhadap Muawiyah.[126][127][128] Namun, ketika Muawiyah mulai menyuap para komandan
militer dan kepala suku, kampanye militer Hasan mengalami pembelotan dalam jumlah besar.[129]
[130][131]
 Setelah kehilangan seluruh harapannya, Hasan memilih untuk menyerahkan
kekhalifahan kepada Muawiyah.[131][132]

Ekspansi Militer[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Kekhalifahan Rasyidin §  Ekspansi Militer, dan Penaklukan Muslim Awal
Penaklukan pada masa Abu Bakar[sunting | sunting sumber]
Dengan Arab yang telah bersatu di bawah satu negara terpusat dengan militer yang tangguh,
wilayah tersebut sekarang dapat dilihat sebagai ancaman potensial bagi
kekaisaran Bizantium dan Sasaniyah yang bertetangga. Mungkin Abu Bakar, dengan alasan
bahwa tidak dapat dihindari bahwa salah satu dari kekuatan ini akan melancarkan serangan
pendahuluan terhadap kekhalifahan muda, memutuskan bahwa lebih baik melakukan serangan
pertama sendiri. Terlepas dari motivasi khalifah, pada tahun 633 pasukan kecil dikirim ke Irak
dan Palestina, merebut beberapa kota. Meskipun Bizantium dan Sassaniyah pasti akan
membalas, Abu Bakar punya alasan untuk percaya diri; kedua kekaisaran itu secara militer
kelelahan setelah berabad-abad berperang satu sama lain, sehingga kemungkinan setiap pasukan
yang dikirim ke Arab akan berkurang dan melemah.[133]
Keuntungan yang lebih mendesak adalah keefektifan para pejuang Muslim serta semangat
mereka, yang terakhir sebagian didasarkan pada kepastian kebenaran tujuan mereka. Selain itu,
keyakinan umum di kalangan umat Islam adalah bahwa masyarakat harus dipertahankan dengan
segala cara.[133] Sejarawan Theodor Nöldeke memberikan pendapat yang agak kontroversial
bahwa semangat keagamaan ini sengaja digunakan untuk menjaga semangat dan momentum
umat:[134]
Tentu saja, itu merupakan kebijakan yang baik untuk mengubah suku-suku yang baru saja
ditaklukkan di wilayah terpencil menuju tujuan eksternal di mana mereka dapat segera
memuaskan nafsu mereka akan harta rampasan dalam skala besar, mempertahankan perasaan
suka berperang mereka, dan memperkuat diri mereka dalam keterikatan mereka pada keyakinan
baru… Muhammad sendiri telah mengirimkan ekspedisi melintasi perbatasan Bizantium, dan
dengan demikian telah menunjukkan jalan kepada penerusnya. Mengikuti jejaknya adalah sesuai
dengan jiwa muda Islam yang terdalam, yang sudah tumbuh besar di tengah hiruk pikuk senjata.
Meskipun Abu Bakar telah memulai konflik-konflik awal ini yang akhirnya
menghasilkan penaklukan Persia dan Suriah, dia tidak hidup untuk melihat daerah-daerah itu
ditaklukkan oleh Islam, dan malah menyerahkan tugas itu kepada penerusnya, Umar.[133]
Penaklukan pada masa Umar[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Penaklukan militer pada masa Umar

Wilayah kekuasaan Khalifah Umar pada puncak


pemerintahannya di tahun 644.
Kekhalifahan Umar terkenal karena penaklukan yang luas. Dengan dibantu oleh komandan
lapangan yang brilian, Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Jarrah, ia mampu
menggabungkan Irak, Iran, Azerbaijan, Kaukasus, Suriah, Tepi Barat, Mesir, dan
sebagian Afghanistan, Turkmenistan, dan Pakistan barat ke dalam Khilafah. Selama masa
pemerintahannya, Romawi Bizantium kehilangan lebih dari tiga perempat wilayah mereka dan di
Persia, dan Umar adalah raja (penguasa) Kekaisaran Persia Sasaniyah sebelum akhirnya
dibubarkan.[135] Sejarawan telah memperkirakan bahwa lebih dari 4.050 kota ditaklukkan pada
masa pemerintahan Umar.[136]
Penaklukan pada masa Utsman[sunting | sunting sumber]
Selama pemerintahannya, gaya militer Utsman lebih bersifat otonom karena dia mendelegasikan
banyak otoritas militer kepada kerabatnya yang tepercaya, seperti Abdullah bin
Amir, Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Abdullah bin Sa'ad, tidak seperti kebijakan Umar yang
lebih terpusat. Konsekuensinya, kebijakan yang lebih mandiri ini memungkinkan lebih banyak
ekspansi hingga Sindh (sekarang Pakistan) yang belum tersentuh selama masa jabatan Umar.[137]

Kekhalifahan Rasyidin mencapai puncak


kejayaannya pada masa Khalifah Utsman, 655–656
Muawiyah bin Abu Sufyan telah ditunjuk sebagai gubernur Suriah oleh Umar pada tahun 639
untuk menghentikan gangguan Bizantium dari laut selama Peperangan Arab-Bizantium. Dia
menggantikan kakak laki-lakinya Yazid bin Abi Sufyan, yang meninggal karena wabah, bersama
dengan Abu Ubaidah bin Jarrah, gubernur sebelumnya, dan 25.000 orang lainnya. Sekarang di
bawah pemerintahan Utsman pada tahun 649, Mu'awiyah diizinkan untuk membentuk angkatan
laut Muslim yang nantinya akan bersaing dan mengalahkan angkatan laut Bizantium
pada Pertempuran Tiang Kapal pada tahun 655 dan menaklukan Laut Mediterania.[138][139][140][141]
[142]

Di sebelah timur, Ahnaf bin Qais, kepala Bani Tamim dan seorang komandan veteran,


meluncurkan serangkaian ekspansi militer lebih lanjut dengan terus mendesak
pasukan Yazdegerd III di dekat Sungai Oxus di Turkmenistan[143][144] dan kemudian
menghancurkan koalisi militer loyalis Kekaisaran Sassaniyah dan Kekaisaran Hephthalite di
Pengepungan Herat.[143] Belakangan, gubernur Basrah, Abdullah bin Aamir juga memimpin
sejumlah kampanye sukses, mulai dari menumpas pemberontakan di Fars, Kerman, Sistan, dan
Khorasan, hingga pembukaan front baru untuk penaklukan di Transoksiana dan Afghanistan.[145]
Sejarawan Islam al-Baladzuri menulis dalam Fatuhul Buldan bahwa pada
652, Balochistan ditaklukkan kembali selama kampanye melawan pemberontakan di Kermān, di
bawah komando Mujasyi' bin Mas'ud. Ini adalah pertama kalinya Balochistan barat berada
langsung di bawah hukum Kekhalifahan dan membayar upeti pertanian.[146][147]
Era Ali dan akhir penaklukan[sunting | sunting sumber]
Pada akhir masa kekhalifahan Utsman, muncul perselisihan mengenai versi mushaf al-Qur'an
mana yang benar. Pada tahun 644, berbagai jenis mushaf diterima di Damaskus, Basra, Hims,
dan Kufah.[148] Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, Khalifah 'Uthman memproklamirkan
mushaf al-Qur'an yang dimiliki oleh salah satu janda Muhammad, Hafshah binti Umar sebagai
versi yang pasti dan benar. Hal ini menyinggung beberapa Muslim yang berpegang pada versi
saingannya.[148] Bersama dengan favoritisme yang ditunjukkan oleh 'Utsman kepada klannya
sendiri, Bani Umayyah, dalam penunjukan pejabat pemerintah, menyebabkan pemberontakan di
Madinah pada tahun 656 dan pembunuhan 'Utsman.[148]
Penerus 'Utsman sebagai Khalifah, menantu Muhammad, Ali, menghadapi perang saudara yang
dikenal oleh umat Islam sebagai fitnah ketika gubernur Suriah, Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan
janda Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar memberontak melawannya.[149] Selama waktu ini,
periode pertama penaklukan Muslim berhenti, karena tentara Islam berbalik melawan satu sama
lain.[149] Sebuah kelompok fundamentalis yang dikenal sebagai Khawarij memutuskan untuk
mengakhiri perang saudara dengan membunuh para pemimpin kedua belah pihak.[149] Namun,
fitnah berakhir pada Januari 661 ketika Khalifah Ali dibunuh oleh seorang Khawarij,
memungkinkan Mu'awiyah menjadi Khalifah dan mendirikan dinasti Umayyah.[150]

Kebijakan sosial[sunting | sunting sumber]


Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar (atau Umar, menurut beberapa catatan)
mendirikan Baitul Mal (perbendaharaan negara).[151] Umar memperluas perbendaharaan dan
mendirikan gedung pemerintahan untuk mengelola keuangan negara.[151] Setelah penaklukan,
dalam hampir semua kasus, para khalifah dibebani dengan pemeliharaan dan pembangunan jalan
dan jembatan sebagai imbalan atas kesetiaan politik bangsa yang ditaklukkan.[152]
Kegiatan sipil[sunting | sunting sumber]
Kesejahteraan sipil dalam Islam dimulai dalam bentuk pembangunan dan pembelian sumur.
Selama kekhalifahan, umat Islam memperbaiki banyak sumur tua di tanah yang mereka
taklukkan.[153] Selain sumur, kaum Muslim juga membangun banyak kanal baru. Sementara
beberapa kanal dikecualikan untuk digunakan oleh pendeta (seperti mata air yang dibeli
oleh Thalhah), dan orang-orang yang membutuhkan. Sebagian besar kanal juga dibuka untuk
penggunaan umum. Beberapa kanal dibangun di antara pemukiman, seperti kanal Saad yang
menyediakan air ke Anbar, dan Kanal Abi Musa untuk menyediakan air ke Basra.[154]
Selama kelaparan 638 M,[155] Umar bin Khattab memerintahkan pembangunan kanal di Mesir
yang menghubungkan sungai Nil dengan laut. Tujuan terusan ini adalah untuk memfasilitasi
pengangkutan biji-bijian ke Arab melalui jalur laut. Kanal itu dibangun dalam waktu satu tahun
oleh Amr bin Ash, dan Abdus Salam Nadvi menulis bahwa "Arabia terbebas dari kelaparan
sepanjang masa."[156] Setelah empat banjir melanda Makkah setelah kematian Muhammad, Umar
memerintahkan pembangunan dua bendungan untuk melindungi Ka'bah. Dia juga membangun
bendungan di dekat Madinah untuk melindungi air mancurnya dari banjir.[152]
Pemukiman[sunting | sunting sumber]

Koin Utsman, salah satu koin Islam pertama,


imitasi dari koin Sasaniyah bergambar bulan dan kaisar Khosrau II. Utsman
menambahkan Basmalah untuk membedakannya dari koin terdahulu.
Pada masa pemerintahan Umar, tentara Muslim menemukan tempat yang cocok untuk
membangun pangkalan militer di daerah Basrah. Daerah ini merupakan taklukkan umat Islam
yang masih sangat jarang penduduknya sehingga dapat dibangun permukiman dan masjid. [157][158]
[159]

Selama penaklukan Mesir, wilayah Fustat digunakan oleh tentara Muslim sebagai pangkalan


militer. Setelah penaklukan Aleksandria, umat Islam kembali dan menetap di daerah yang sama.
Awalnya tanah itu digunakan untuk padang rumput, tetapi kemudian dibangun pemukiman.
[160]
 Daerah lain yang sudah berpenduduk diperluas secara besar-besaran. Atas perintah
Umar, Arfajah al-Bariqi membangun sebuah benteng, beberapa gereja, masjid, dan pemukiman
bagi penduduk Yahudi di Mosul.[161] Pada masa kepemimpinan Utsman, ia merenovasi Masjid
Nabawi dan membangun beberapa bendungan.[162]

Pandangan Muslim[sunting | sunting sumber]


Pandangan Sunni[sunting | sunting sumber]
Dalam Islam Sunni, penerapan label 'petunjuk yang benar' bagi para khalifah Rasyidin
menandakan status mereka sebagai model yang tindakan dan pendapatnya (sunnah) harus diikuti
dan diteladani dari sudut pandang agama.[163] Dalam pengertian ini, mereka 'dibimbing dengan
benar' atau 'mendapatkan petunjuk'.[164] Narasi tentang agama dan kehidupan mereka berfungsi
sebagai pedoman keimanan yang benar.[163]
Kaum Sunni telah lama memandang periode Rasyidin sebagai sistem pemerintahan yang patut
dicontoh yang ingin mereka tiru. Kaum Sunni juga menyamakan sistem ini dengan kesuksesan
duniawi yang dijanjikan oleh Tuhan, dalam al-Qur'an dan hadis. Bagi orang-orang Muslim yang
mengejar keridhaan-Nya, kesuksesan spektakuler ini semakin menambah daya tarik emulator
dari era Rasyidin.[165][166][167]
Pada saat yang sama, telah dicatat bahwa dominasi orang Arab atas non-Arab berdasarkan etnis
selama pemerintahan Umar dan meluasnya nepotisme kekhalifahan Utsman bertentangan dengan
seruan Islam.[168][169]
Khalifah kelima[sunting | sunting sumber]
Beberapa penulis dan ulama Sunni menambahkan putra Ali, Hasan bin Ali sebagai Khulafaur
Rasyidin kelima. Mereka yang berpegang pada versi ini beralasan bahwa Muhammad
menetapkan rentang khilafah Rasyidin selama tiga puluh tahun dan Hasan telah menggenapi
enam bulan sisa masa jabatan ayahnya,[170] ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, Ibnul Arabi, dan
Qadi Iyadh.[171] Sementara itu, ulama Sunni lain menambahkan Umar bin Abdul Aziz, khalifah
Umayyah ke-8 sebagai Khulafaur Rasyidin kelima. [172] Mereka mempertimbangkan bahwa
kesalehan Umar serupa dengan kesalehan keempat Khulafaur Rasyidin. Umar bin Abdul Aziz
juga sering disamakan dengan khalifah kedua Umar bin Khattab dalam hal kesederhanaan dan
ketegasan.[173]
Pandangan Syi'ah[sunting | sunting sumber]
Islam Syi'ah menyatakan bahwa suksesi Muhammad diselesaikan oleh janji ilahi, bukan oleh
konsensus.[174][175] Allah memilih penerus Muhammad dari keluarganya. Kondisi ini mirip dengan
para nabi terdahulu di masa lalu yang disebutkan dalam al-Qur'an.[176] Dalam pandangan Syi'ah,
seperti para nabi terdahulu dalam al-Qur'an,[176] Allah memilih penerus Muhammad dari
keluarganya.[174][175] Secara khusus, Muhammad mengumumkan sepupu dan menantunya, Ali,
sebagai penggantinya yang sah tidak lama sebelum kematiannya pada peristiwa Ghadir
Khum dan pada kesempatan lain, misalnya pada peristiwa Dzul Asyir.[105] Tentu saja, seperti
iman itu sendiri, umat beriman diberkahi dengan kehendak bebas untuk tidak mengikuti Ali,
yang merugikan mereka sendiri. Dalam pandangan Syi'ah, sementara wahyu langsung berakhir
dengan kematian Muhammad, Ali tetap menjadi penuntun yang benar atau Imam menuju Tuhan,
mirip dengan penerus nabi masa lalu dalam al-Qur'an.[175] Setelah kematian Muhammad, Ali
mewarisi pengetahuan ketuhanan Muhammad dan otoritasnya untuk menafsirkan al-Qur'an
dengan benar, terutama ayat-ayat alegoris
dan metaforisnya ("mutasyabihat").[177][178]

Lini masa[sunting | sunting sumber]

Pergantian khalifah tidak selalu terjadi pada hari pertama tahun baru (Hijriyah maupun Masehi).
Khalifah akan digantikan apabila ia meninggal dunia.[179] Khilafah dicapai dengan kesetiaan;
orang-orang berba'iat (berjanji setia) kepada Khalifah dengan syarat mereka mengikuti tradisi
(sunnah) Allah dan Rasul (Muhammad) dalam setiap keputusannya.[180] Jika Khalifah taat, maka
kekuasaannya akan berlangsung seumur hidup.[181] Di era Kekhalifahan Rasyidin, tidak ada
kepemimpinan kolektif negara dan Khalifah tidak memiliki wakil, wali, atau agen kecuali ketika
dia terpaksa absen. Penggantinya akan mengurus urusan negara sampai dia kembali.[182]

Anda mungkin juga menyukai