Anda di halaman 1dari 7

Pemberdayaan Masyarakat

1. Masyarakat Mitra Polhut (MPP)

MMP adalah kelompok masyarakat sekitar hutan yang membantu Polhut


dalam pelaksanaan perlindungan hutan dibawah koordinasi, pembinaan dan
pengawasan intansi Pembina. Beberapa bentuk Partisipasi MMP, yaitu:

1) Pemberitahuan (Informing). Hasil yang diputuskan oleh orang luar diberitahukan


kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat
setempat;
2) Pengumpulan Informasi (Information Gathering). Masyarakat menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke
luar;
3) Perundingan (Consultation). Pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan
masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi
dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil
keputusan;
4) Plakasi/Konsiliasi (Placation/Consiliation). Masyarakat ikut dalam proses
pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak
luar, terutama menyangkut hal- hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh
insentif berupa uang, barang, dll;
5) Kemitraan (Partnership). Masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan
keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan,
implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan
kewajiban untuk mencapai sesuatu. Ini disebut “partisipasi interaktif.”;
6) Mobilisasi dengan Kemauan Sendiri (Self Mobilization). Masyarakat mengambil
inisiatip sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka
memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumber daya; pihak luar
memfasilitasi mereka.(Sudirman Sultan, 2019).

B. Kelompok Wisata Lembanna Tappanjeng (Kalenta)

Kelompok Wisata Lembanna Tappanjeng (Kalenta), merupakan salah satu


mitra Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan yang bergerak di bidang pengelolaan
kawasan wisata camping ground Hutan Pinus Lembanna. Salah satu pihak yang kami
temui adalah Pak Eko Saputra (30 tahun). Beliau bekerja sebagai wirausaha di dalam
kawasan Hutan Pinus Lembanna dan sekaligus sebagai calon ketua Kalenta. Menurut
penuturan beliau, bahwa dirinya sendiri telah tinggal di Lembanna sejak tahun 2010,
dan pada tahun 2018 masyarakat sekitar mulai mendirikan usaha berupa kios – kios di
dalam kawasan Hutan Pinus Lembanna
Kelompok Wisata Kalenta telah terbentuk dengan jumlah anggotanya yaitu 30
orang. Pembentukan kelompok ini, hanya tinggal menunggu Surat Keputusan dari
kelurahan setempat, dan setelah SK terbit baru kelompok Kalenta bisa melaksanakan
kegiatan mitranya. Adapun tujuan dibentuknya Kelompok Kalenta, adalah :
 Menghindari adanya pungutan liar (Pungli)
 Melegalkan kegiatan di dalam kawasan
 Menggali potensi dan membina masyarakat sekitar
Untuk saat ini, pihak pengelola dari Hutan Pinus Lembanna hanya
memungut biaya sukarela dari pengunjung yang datang sebagai biaya uang
kebersihan. Berdasarkan penuturan dari Pak Eko, bahwa jumlah penunjung jika
diperkirakan dalam seminggu yaitu ± 1000 orang/minggu, dan ini kisara angka
sebelum masa pandemi. Bahkan, jika ada event, jumlah pengunjung bisa
membludak. Menurut beliau, saat 17 Agustus kemarin jumlah pengunjung
diperkirakan ± 17.000 orang. ini merupakan suatu potensi yang besar jika
dikembangkan bisa menghasilkan suatu keuntungan yang dapat bermanfaat bagi
masyarakat pengelola dan menjadi salah satu sumber Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Namun, masih ada kendala yang didapatkan pihak pengelola dalam
mengelola kawasan tersebut, yaitu :
 Sumber Daya Manusia (SDM) setempat masih kurang.
 Kesadaran pengunjung akan kebersihan masih kurang sekali.
 Surat Keputusan (SK) pembentukan kelompok belum terbit dari kelurahan

C. Kelompok Tani Hutan Malino Indah

Kelompok Tani Hutan Malino Indah, merupakah salah satu mitra dari Balai
Besar KSDA Sulawesi Selatan yang bergerak di bidang usaha tanaman hias.
Kelompok ini, diketuai oleh Bpk. Jufri (60 tahun). Beliau awalnya bekerja sebagai
petani. kemudian mulai merintis usaha bunga potong/risan sejak 2010. Namun,
ditengah usahanya, mulai kalah bersaing dengan perusahaan yang lebih besar,
sehingga Bpk Jufri dan kawan-kawan mitra lainnya mulai beralih ke bidang usaha
tanaman hias. Dengan bantuan kemitraan dana dari pihak Balai Besar KSDA
Sulawesi Selatan, kelompok Malino Indah mulai terbentuk tahun 2020 dengan
jumlah anggota sekitar 25 orang. Dengan terbentuknya Kelompok Malino Indah,
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, terlebih bagi mereka
yang dulu pernah berkecimpung di usaha bunga risan/potong.
Sistem yang dijalankan oleh kelompok Malino Indah adalah jual-beli
tanaman hias. Kelompok Malino Indah membeli bibit tanaman hias dari daerah sinjai
dan Kota Malino. Selanjutnya, penjualan tanaman hias ini yaitu dijual di pinggir
jalan, dan bahkan menjual hingga sampai ke daerah Soppeng, Mangkutana, dan
Sidrap. Adapun harga jual dari tanaman hias Malino Indah berkisar Rp 25.000 – Rp
5.000.000. Dengan harga jual di kisaran itu, maka pendapatan dari Kelompok Malino
Indah berkisar Rp 2.000.000/bulan, dan bahkan saat pandemi pendapatannya
meningkat drastis menjadi Rp 6.000.000/bulan. Pak Jufri sendiri, memiliki lahan di
belakang rumahnya seluas 10 m x 20 m yang digunakan sebagai tempat tanaman
hias. Di satu sisi, ada kendala yang masih dihadapi oleh para petani tanaman hias,
yaitu penjualan yang kadang naik dan kadang turun.

D. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Hutan Pinus Malino

Pokdarwis, merupakan suatu kelompok yang bergerak di bidang


pengelolaan kawasan wisata. Menurut hasil pembicaraan dengan narasumber Ibu
Sahriah Dg. Sompa, (52 tahun) dan Bpk Aryanto Parubaba (49 tahun) bahwa Hutan
Pinus Malino ini sudah dibuka untuk pengunjung sejak tahun 2000. Menurut dari
pengelola setempat, bahwa lokasi Hutan Pinus Malino memiliki luas ± 4 ha dan
berada di dalam kawasan TWA Malino. Seiring berjalannya waktu, mulai dilakukan
perbenahan dengan menambah spot-spot foto di setiap titik di dalam hutan pinus
agar dapat menarik jumlah pengunjung lebih banyak. Pada tahun 2018 melalui Dinas
Pariwisata Kab. Gowa, Hutan Pinus Malino mendapat bantuan pengembangan lokasi
wisata berupa pembangunan gazebo, panggung acara, dan bilik galeri menjual.
Menurut dari pihak pengelola setempat, bahwa harga tiket masuk Hutan
Pinus Malino adalah Rp 3.000/orang dengan asumsi pendapatan bulanan
± Rp 10.000.000 . Untuk jumlah pengunjung di Hutan Pinus Malino, yaitu ± 1000
orang/minggu. Ini adalah hitungan kasar sebelum masa pandemi. Pokdarwis sendiri,
memiliki jumlah anggota 23 orang dengan penanggung jawab utama adalah Lurah
Malino. Menurut penuturan dari pihak Resort Malino, bahwa lokasi Hutan Pinus
Malino akan dijadikan mitra dengan Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan. Adapun
bentuk kemitraan nantinya, akan seperti TWA Lejja, yang dimana berupa pembagian
hasil penerimaan tiket masuk kepada pihak pengelola dan pihak Balai Besar KSDA
sebagai sumber PNPB. Namun, tetap saja ada kendala yang masih dihadapi oleh
pihak pengelola, yaitu :
 Jumlah pemasukan yang masih dirasa kurang
 Parkir liar yang masih berkeliaran disekitar kawasan wisata
 Jumlah pengunjung yang menurun sebagai dampak dari pandemi

E. Kelompok Tani Hutan (KTH) Parangmaha

Kelompok Tani Hutan Parangmaha, merupakan salah satu mitra dari


KPH Jeneberang I yang bergerak di bidang pertanian kopi. Alasan kami mengambil
mitra ini, karena Sebagian besar kebun kopi KTH Parangmaha, berada di dalam hutan
konservasi kawasan TWA Malino. Salah satu narasumber yang kami temui, adalah
Pak Halim (46 tahun). Beliau merupakan ketua dari KTH Parangmaha, yang dimana
kelompok ini mulai didirikan tahun 2016 dengan jumlah anggota 26 orang dan luas
kebun ± 200 Ha . Adapun hal yang melatar belakangi terbentuknya kelompok KTH
Parangmaha adalah :

 Karena Sebagian wilayahnya masuk dalam HPT wilayah KPH Jeneberang I


 Saran dari masyarakat karena pengelohan kopi yang masih terbilang
menggunakan sistem lama
 Agar tetap terlibat dalam penjagaan kawasan hutan
Sehingga melalui pembentukan KTH Parangmaha, diharapkan agar
produksi kopi khas Topidi bisa lebih meningkat lagi dan pendapatan masyarakat
sekitar ikut naik. Dalam menjadi mitra dengan KPH Jeneberang I, kelompok ini telah
mendapat beberapa bantuan dari pihak KPH guna meningkatkan produksi kopi
berupa alat pengolahan kopi sebagai berikut :
 Penggorengan
 Mesin bubut
 Lantai jemur
 pulper
 Alat Press

Bentuk kesuksesan KTH Parangmaha dapat kita lihat pada gambar di atas.
Hasil produksi kopi Topidi laku di pasaran. menurut Pak Halim, kopi khas Topidi
telha di ekspor didalam negeri seperti warkop-warkop di Makassar, Jakarta, Medan,
dan bahkan sampai ke luar negeri seperti Amerika dan Australia. Dalam setahun,
jumlah panen kopi mencapai 100 ton/tahun dan setelah di olah menjadi grinding
(bersih/siap goreng) menjadi 24 ton. Untuk harga jualnya, untuk grinding yaitu Rp
50.000/ kg, dan untuk spesial atau kualitas bagus adalah Rp 90.000 – Rp 120.000/kg.
Dan untuk harga jualnya di luar negeri, sebungkus biji kopi khas Topidi dijual $16
atau sekitar Rp230.000. Sehingga, pendapatan tahunan KTH Parangmaha
bersih adalah Rp 800.000.000 sampai Rp 1.700.000.000 dalam setahun.
Dalam melaksanakan kegiatan ekspor kopi, KTH Parangmaha bekerja
sama dengan PT. Sukapina. Menurut Bpk. Halim, bahwa untuk warkop-warkop dari
Makassar datang langsung ke Topidi untuk membeli biji kopinya. Sedangkan untuk
eskpornya, pihak PT. Sukapina akan datang ke Topidi membeli biji kopi dalam
jumlah besar, dan setelah itu pihak PT. Sukapina yang akan melaksanakan ekspornya
keluar negeri. Namun, di balik kesuksesan KTH Parangmaha tetap masih ada kendala
yang dihadapi kelompok ini dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan kopi.
Kendala-kendala yang dihadapi KTH Parangmaha adalah :
 Akses jalan ± 3 km yang masih memerlukan perbaikan
 Masih membutuhkan Gudang untuk tempat penyimpanan biji kopi

Anda mungkin juga menyukai