Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan merupakan komoditi pangan yang sangat cepat mengalami perubahan mutu
jika tidak ditangani segera setelah mati. Penerapan suhu rendah dengan cara
pendinginan menggunakan es dan didukung oleh ketersediaan fasilitas dan cara
penerapan yang baik dan benar merupakan cara yang paling efektif untuk
menghambat penurunan mutu ikan. Dengan demikian, penting dipahami bahwa
rantai dingin harus dipertahankan sejak ikan mati, selama distribusi hingga
pemasaran (Junianto, 2003).
Masyarakat Sulawesi Utara konsumsi daging ikan sangat tinggi. Tingginya
tingkat konsumsi ikan di Sulawesi Utara karena memiliki garis pantai yang cukup
panjang dan memiliki sarana dan prasarana untuk memasarkan ikan.
Menurut Metusalach, dkk (2012) salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan
mutu ikan yang dipasarkan adalah waktu, semakin lama waktu maka semakin
cepat ikan mengalami proses penurunan mutu. Idealnya perbandingan antara es
dan ikan yang dipasarkan selama proses penjualan, yaitu 1:1 artinya 1 kg es untuk
1 kg ikan agar suhu ikan dapat dipertahankan pada suhu 0˚C hingga akhir
penjualan.
Menurut Ilyas (1983), untuk memperoleh ikan yang bermutu dan berdaya awet
panjang, hal penting yang harus diperhatikan dalam menangani ikan adalah
bekerja cepat, cermat, bersih, dan pada suhu rendah. Hal-hal yang berpengaruh
buruk pada mutu ikan adalah kenaikan suhu, penanganan yang kurang baik, dan
penundaan waktu penanganan.
Irawan (1997) menyatakan bahwa penanganan ikan segar sangat memegang
peranan penting sebab tujuan utamanya adalah mengusahakan agar kesegaran
ikan setelah tertangkap dapat dipertahankan selama mungkin. Kondisi penjualan
ikan di pasar-pasar ikan saat ini masih kurang menerapkan prinsip hati-hati, cepat,

1
cermat, dan bersih. Sehingga kualitas ikan sangat cepat mengalami penurunan
mutu.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini adalah
1. Mengetahui proses pembekuan ikan
2. Mengetahui kandungan protein pada ikan
3. Mengetahui cara penanganan ikan

Manfaat dari makalah ini adalah dapat memberikan informasi bagi pembaca.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Ikan Tuna (Thunnus sp.)

Gambar 1. Ikan Tuna

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-Filum : Vertebrata
Class : Teleostei
Sub-Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub-Ordo : Scombridei
Famili : Scombridae
Genus : Thunnus
Spesies : Thunnus sp
2.2. Morfologi Ikan Tuna (Thunnus sp.)
1. Tubuh ikan tuna lonjong memanjang seperti terpedo.
2. Memiliki 2 sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah
dari sirip belakang yang agak tegak menjulang keatas.
3. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung
dan sirip dubur.

3
4. Sirip dada agak panjang dan terlihat seperti sabit, sirip perut kecil, sirip
ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh
ujung hipural dan berbentuk seperti hutup V.
5. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak
gelap pada bagian atas tubuhnya dan berwarna putih keperakan pada
bagian bawah tubuhnya.
2.3. Kandungan Gizi Ikan Tuna (Thunnus sp).
Kadar protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang
selama ini dikenal sebagai sumber protein utama. Ikan tuna adalah jenis ikan
dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna
mengandung protein antara 22,6 – 26,2 g/100 g daging. Kadar protein per
100 gram ikan tuna dan telur masing-masing 22 g dan 13 g. Konsumsi ikan
30 gram sehari dapat mereduksi risiko kematian akibat penyakit jantung
hingga 50 persen.
Untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara
50 – 60 % (Stanby, 1963). Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi
dari pada daging merahnya. Daging merah ikan adalah lapisan daging ikan
yang berpigmen kemerahan sepanjang tubuh ikan di bawah kulit
tubuh.Daging merah mempunyai kandungan mioglobin tinggi, yang
diimbangi dengan banyaknya jaringan pengikat dan pembuluh darah,
sementara daging putih mempunyai jenis-jenis protein yang berkualitas
tinggi.
Ikan Tuna sangat bergizi dan merupakan sumber protein, niacin, selenium,
triptofan yang banyak. Ikan Tuna juga kaya akan fosfor, kalium, lemak asam
omega-3, magnesium, tiamin, vitamin B6.
Untuk lebih jelas nilai kandungan gizi dari ikan tuna bisa di lihat pada tabel
di bawah ini.

4
2.4. Habitat dan Penyebaran
Cakalang dikenal sebagai perenang cepat di laut zona pelagik. Ikan ini umum
dijumpai di laut tropis dan subtropis di Samudra Hindia, Samudra Pasifik,
dan Samudra Atlantik. Cakalang tidak ditemukan di utara Laut Tengah.
Hidup bergerombol dalam kawanan berjumlah besar (hingga 50 ribu ekor
ikan). Makanan mereka berupa ikan, krustasea, cephalopoda, dan moluska.
Cakalang merupakan mangsa penting bagi ikan-ikan besar di zona pelagik,
termasuk hiu.
2.5. Tingkat Kesegaran Ikan
Mutu ikan selalu identik dengan kesegaran. Dalam istilah “segar” tercakup
dua pengertian yaitu yang pertama “baru saja ditangkap, tidak disimpan atau
tidak diawetkan”, dan yang kedua “mutunya masih original, belum mengalami
kemunduran” (Ilyas, 1983). Kesegaran adalah parameter untuk membedakan
ikan yang jelek dan ikan yang baik kualitasnya. Ikan dikatakan masih segar
jika perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi yang terjadi
belummenyebabkan kerusakan pada ikan (Ilyas, 1983). Syarat mutu dan
keamanan pangan ikan segar. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan
Segar Jenis Uji Satuan Persyaratan 1. Organoleptik Angka 1-9 Minimal 7 2
Cemaran Mikrobia 2a. ALT koloni/g Maksimal 5,0 × 105 2b. Escherichia coli
APM/g Maksimal < 2 2c. Salmonella APM/25 g Negatif 2d. Vibrio cholerae
APM/25 g negatif 3. Cemaran Kimia 3a. Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,5 3b.
Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 0,4 3c. Histamin mg/kg Maksimal 100 3d.
Cadmium (Cd) mg/kg Maksimal 0,1 4. Parasit Ekor Maksimal 0.

5
Kesegaran ikan berdasarkan nilai Total Volatil Basa (TVB) menurut Farber
(1965) dalam Ermaria (1999) dibagi dalam empat tingkatan, yaitu : 1. Ikan
sangat segar mempunyai nilai TVB lebih kecil dari 10 mg N/100 g sampel. 2.
Ikan segar mempunyai nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g sampel. 3. Ikan
masih dapat dikonsumsi pada batas kesegaran bila mempunyai nilai-nilai TVB
antara 20-30 mg N/100 g sampel. 4. Ikan tidak dapat dikonsumsi atau sudah
busuk apabila nilai TVB lebih besar dari 30 mg N/100 g sampel.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh FDA, 86% dari sampel
makanan laut yang diperiksa memberikan hasil positif untuk Vibrio
parahaemolyticus. Hitungan telah dilaporkan setinggi 1300 CFU/g untuk
tiram dan 1000 CFU/g untuk daging kepiting, meskipun tingkat maksimum
keberadaan Vibrio parahaemolyticus hanya 10 CFU/g untuk produk makanan
laut (Oliver dan Kaper, 1997). Dalam survei selama 3 tahun (Hackney dkk.,
1980), 46% dari sampel makanan laut yang diperiksa ditemukan positif untuk
Vibrio parahaemolyticus dengan tingkat positif dari 79% pada tiram, 83%
pada kerang, 60% pada udang kupas, dan 100% pada kepiting hidup. Oliver
dan Kaper (1997) melaporkan studi lain dengan sampel positif antara 69-
100% yang diperoleh dari tiram hasil budidaya, kerang, dan udang, serta 42%
dari kepiting. Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-
faktor fisikawi, organoleptik, kimiawi maupun faktor mikrobiologi. Menurut
Hadiwiyoto (1993), faktor parameter fisikawi terdiri dari : 1. Penampakan luar
a. Ikan yang masih segar mempunyai penampakan cerah. Keadaan ini terjadi
karena belum banyak perubahan biokimiawi yang terjadi pada ikan dan
metabolisme dalam tubuh ikan masih berjalan dengan baik. b. Ikan yang
masih segar tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna. 15 2. Kelenturan
daging a. Ikan segar mempunyai daging yang cukup lentur. Apabila daging
ditekan atau dibengkokkan, ikan akan kembali ke bentuk semula setelah
dilepaskan. b. Kelenturan yang terjadi disebabkan oleh belum terputusnya
benang-benang daging. Pada ikan yang busuk benang-benang daging ini
sudah banyak yang putus dan dinding-dinding selnya banyak yang rusak

6
sehingga ikan kehilangan kelenturannya. 3. Keadaan mata a. Perubahan
kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan
mata. b. Mata tampak kotor dan tidak jernih. 4. Keadaan daging ikan a. Ikan
yang masih segar, jika ditekan dengan jari telunjuk bekasnya akan segera
kembali karena dagingnya kenyal. b. Daging ikan belum kehilangan cairan
sehingga daging ikan masih terlihat basah. c. Belum terdapat lendir pada
permukaan tubuh ikan. 5. Keadaan insang a. Ikan yang segar mempunyai
insang yang berwarna merah cerah. b. Sebaliknya pada ikan yang sudah tidak
segar, warna insang berubah menjadi coklat gelap. 16 Faktor parameter
kimiawi yaitu pH daging ikan dan hasil-hasil akhir penguraian komponen-
komponen daging ikan, seperti kadar hipoksantin, kadar amonia, dan kadar
trimetilamin atau kadar dimetilamin. Faktor parameter sensorik umumnya
dikaitkan dengan cita rasa (flavour), warna, dan kenampakan sedangkan
faktor parameter mikrobiologi yang paling umum digunakan adalah jumlah
bakteri (Hadiwiyoto, 1993).
2.6. Perubahan Mutu Ikan
Ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak karena sangat cocok untuk
pertumbuhan mikroba baik patogen maupun non-patogen. Kerusakan ikan
terjadi segera setelah ikan keluar dari air. Kerusakan dapat disebabkan oleh
faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan) maupun cara penanganan
di atas kapal, di tempat pendaratan atau di tempat pengolahan (Djaafar, 2007).
Kerusakan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar
(tidak merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas
(Djaafar, 2007). Segera setelah ikan mati, akan mengalami perubahan-
perubahan yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas
bakteri, perubahan kimiawi yang ditimbulkan oleh enzim-enzim serta proses
oksidasi lemak ikan olah udara (Ilyas, 1983). Kesegaran ikan dapat dicapai
bila dilakukan penanganan yang baik terhadap ikan tersebut. Ikan dapat
dikatakan masih segar apabila perubahan-perubahan biokimiawi, maupun

7
fisika dan semua yang terjadi belum menyebabkan kerusakan 17 berat pada
ikan.
Perbedaan Fisik Ikan Segar dan Ikan Busuk Ikan Segar Ikan busuk Daging
kenyal Daging keras Tidak empuk Empuk Badan kaku Badan tidak kaku Sisik
rapi dan rapat Sisik mudah lepas Bau : segar, pada bagian luar insang Bau :
busuk atau asam terutama pada bagian insang Sedikit lendir pada kulit Kulit
berlendir Insang berwarna merah Insang tidak lagi berwarna merah Ikan
tenggelam bila dimasukkan dalam air Ikan terapung jika sudah sangat busuk
Sumber : (Winarno,1993).

BAB III

8
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Pembekuan
Menurut (Murniyati,2005). Pembekuan dimaksudkan untuk mengawetkan sifat –
sifat alamiah ikan. Pembekuan menggunakan suhu yang lebih rendah, yaitu jauh
dibawah titik beku ikan. Tujuan pembekuan ikan adalah menerapkan metode
unggul guna mempertahankan sifat – sifat mutu pada ikan dengan teknik
penarikan panas secara efefktif dari ikan agar suhu ikan turun sampai pada suatu
tingkat suhu rendah yang stabil, dalam arti ikan itu hanya mengalami proses
perubahan yang minimum selama proses penbekuan, penyimpanan beku dan
distribusi, sehingga dapat dinikmati oleh konsumen akan nilai dan faktor mutunya
dalam keadaan segar atau keadaan seperti yang dimiliki produk itu sebelum
dibekukan.(Nuryadin,2001)
3.2. Penyimpanan
Penyimpanan produk pada gudang beku (Cold Storage) dengan suhu -
25ºC.Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa, sehingga
memungkinkan sirkualasi udara dingin dapat merata keseluruh permukaan
produk, (SNI-01-2733-1992).
3.3. Proses Pengolahan
3.3.1. Bahan Baku
Bahan baku tentunya mempunyai persyaratan masing-masing untuk
diterimanya pada suatu industry. Adapun persyaratan bahan baku yang
diterima oleh  adalah :
1. Bahan baku yang diterima adalah Ikan Marlin beku.
2. Ikan yang akan diolah harus bersih, segar, bebas dari setiap bau yang
menandakan pembusukan.
3. Ikan yang memngalami kontaminasi atau dianggap barasal dari sisa
penolahan, tidak boleh diolah untuk tujuan makanan manusia (PT.
MPI,2008).
Bahan baku yang diterima oleh  adalah ikan Marlin beku yang berbentuk GG
(Gilled and Gutted). Bahan baku tersebut didatangkan dari Jakarta yang

9
kemudian diangkut dengan menggunakan containers. Setelah ikan tiba di
perusahaan langsung dilakukan pembongkaran dan pengecekan suhu ikan
dengan menggunakan thermometer digital oleh Quality Control, tujuannya
untuk mengetahui kenaikan suhu ikan selama pengangkutan. Adapun standar
suhu ikan yang diterima untuk bahan baku dalam bentuk beku adalah
-18ºC/0ºF atau dibawahnya.
Setelah pembongkaran, ikan selanjutnya dicuci dengan cara menyikat seluruh
bagian tubuh ikan dengan hati-hati, kemudian disiram dengan menggunakan
air mengalir yang mengandung Chlorin 50 ppm. Tujuan pencucian disini
adalah menghilangkan kotoran pada saat pembongkaran dan mencegah
peluang berkembangnya bakteri phatogen. Air yang digunakan untuk kegiatan
pengolahan harus memenuhi persyaratan air minum dan secara kontinyu di
periksa ke laboratorium yang telah diakreditasi oleh pemerintah (Awan,2008).
3.3.2. Pemfilletan (Cutting 1)
Sebelum pemotongan, alat pemotong (band saw) terlebih dahulu disiram
dengan air mengalir yang mengandung Chlorin 50 ppm, untuk mencegah
kontaminasi antara alat dan ikan. Selanjutnya alat pemotong (band saw)
dikeringkan dengan menggunakan alat pengering. Pemotongan dilakukan
dengan cara ikan diletakkan diatas meja pemotongan, kemudian dilakukan
pemotongan dengan cara membujur dimulai dari kepala hingga ke ekor
sehingga menghasilkan dua belahan yang sama. Pemotongan dilakukan
dengan hati-hati karena selain mengandung resiko yang tinggi, juga hasilnya
tidak begitu baik. Oleh karena itu pengerjaanya dilakukan oleh orang yang
berpengalaman (Awan,2008).
3.3.3. Penimbangan I (Weighing 1)
Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital ukuran 60
kg yang dikalibrasi secara berkala untuk mendapatkan hasil timbangan yang
akurat. Adapun tujuan penimbangan disini adalah untuk mengetahui sizenya
agar mudah dikelompokkan (Awan,2008).
3.3.4. Pembentukan Steak

10
Sebelum dilakukan pemotongan, alat pemotong harus dalam keadaan bersih.
Setelah itu hasil pemotongan pertama dipotong kembali dengan cara
melintang. Kemudian hasil pemotongan tersebut kembali di potong menjadi
dua bagian yang sama besar. Proses pemotongan dilakukan dengan hati-hati
dan dikerjakan oleh operator yang berpengalaman agar steak yang
dihasilkan ukurannya sama (Awan,2008).
3.3.5. Perapian I
Sebelum dirapikan, steak hasil pemotongan diusap dengan menggunakan
spon basah terlebih dahulu, kemudian dirapihkan dengan cara membuka
tulang dan daging hitamnya (dark Meat), dengan menggunakan pisau
stainless yang tajam. Perapihan dilakukan dengan cepat dan tepat dangan
tetap mempertahankan rantai dingin agar suhu pusat ikan tidak naik
(Awan,2008).
3.3.6. Penimbangan II
Untuk mengetahui berat masing-masing steak maka perlu dilakukan
penimbangan, alat panimbangan yang digunakan yaitu timbangan digital
ukukran 60 kg yang telah dikalibrasi secara rutin. Penimbangan dilakukan
dengan hati-hati, cepat,tepat serta mempertahankan rantai dingin dan
hasilnya dicatat oleh petugas yang ahli dan berpengalaman.
Setelah ditimbang, steak lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik jenis
Union dan bebas dari kotoran dan debu untuk mencegah kontaminasi antara
ikan dengan plastik. Pengisian steak kedalam plastik dengan sangat hati-hati
dan dilapisi dengan spon, agar memudahkan penetrasi gas CO, serta
mencegah melengkungnya steak pada saat dikeluarkan dari ruangan
pendingin(chilling room).
Steak yang telah dimasukkan kedalam plastik, kemudian disemprotkan gas
CO selanjutnya plastik diikat dan disimpan dalam chilling room. Tujuan
pamberian gas CO adalah untuk memberi kenampakan pada steak sehingga
warna steak tampak cerah dan cemerlang. Penyemprotan gas CO harus
dilakukan oleh orang yang betul-betul berpengalaman karena selain

11
resikonya tinggi juga volume semprotannya tidak sama yang menyebabkan
hasil penyemprotan tidak sempurna (Awan,2008).
3.4. Penyimpanan dalam ruang Chilling
Setelah penyemprotan gas CO, steak dimasukkan kedalam ruang chilling dan
disusun rapi diatas rak dan diurut berdasarkan tanggal masuknya. Penyimpanan
dalam ruang chilling dilakukan selama 24 jam, dengan suhu -2ºC sampai 0ºC.
Ruangan chilling yang digunakan harus bersih dan suhunya harus di cek setiap
satu jam oleh Qualty Control untuk mencegah terjadinya fluktuasi suhu.
Adapun tujuan penyimpanan steak dalam ruang chilling yakni, agar gas CO
menyerap secara sempurna (Awan,2008).
3.5. Perapihan Ulang
Perapihan ulang (Retaucing)adalah perapihan kembali daging ikan yang
meliputi pengeluaran dari kantong plastik, perapihan, penimbangan dan terakhir
adalah vakum Adapun tahapan Retuching  adalah :
a. Pengeluaran dari Plastik
Steak yang disimpan dalam ruangan chilling, kemudian dikeluarkan
untuk diganti plastik vakum yang baru dan bebas dari kotoran.
b. Perapiahan Ulang
Perapihan ini dilakukan dengan tujuan untuk merapihkan bentuk,
manghilangkan sisa daging gelap yang masih tersisa dan untuk
mendapatkan steak yang bersih dan bentuknya lebih bagus serta sesuai
dengan standar.
c. Penimbangan
Penimbangan disini bertujuan untuk mengetahui berat masing-masing
steak yang sudah dirapihkan dengan menggunakan timbangan digital
ukuran 60 kg, dengan cara hati-hati dan tetap mempertahankan rantai
dingin.

d. Pengemasan

12
Setelah penimbangan steak tersebut selanjutnya dimasukkan dalam
plastik jenis polyethylene yang sudah diberi label.
e. Pemvakuman
Steak yang sudah dikemas selanjutnya di susun dalam mesin vacum
sealing yang baroperasi secara otomatis dengan tekanan 1atm Selama 5
detik. Tujuan dari pemvakuman adalah untuk menghampakan udara agar
bakteri yang sifatnya aerobic pertumbuhannya dapat dicegah, maka dari
itu hasilnya harus dipastikan tidak terdapat gelembung udara, selain itu
juga dapat mencegah terjadinya dehidrasi pada produk yang akan di
bekukan
3.6. Pembekuan
Sebelum dilakukan pembekuan, ABF (Air Blazt Freezer) yang akan digunakan
dibersihkan terlebih dahulu dan tidak boleh terdapat air pada saat ABF
dioperasikan. Steak yang selesai divakum kemudian ditata rapi di atas pan dan
selanjutnya pan di susun dalam rak pembekuan dengan suhu awal ABF -20ºC.
Setelah penyusunan pan dalam rak pembekuan, maka ABF diopersikan hingga
mencapai suhu -40ºC selama ± 6 jam (Awan,2008).
3.7. Pengepakan dan pelabelan
Setelah produk berada dalam ABF selama ± 6 jam, kemudian pan dilepaskan
dari rak pembekuan dan produk di pisahkan berdasarkan sizenya dan sebelum di
susun di dalam MC (Master Carton) produk satu per satu dilewatkan dibawah
Metal Detector untuk mamastikan ada tidaknya kandungan logam di dalam
produk Marlin steak beku. Setelah itu produk disusun di dalam master karton
yang dilapisi dengan palstik gelembung dan diberi label tentang produk yang di
kemas. Pada MC (Master Carton) label sesuai spesifikasi produk seperti : berat
bersih, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, dan lain-lain. Setiap MC (Master
Carton) beratnya 10 lbs (4.54 kg), pelabelan dilakukan dengan sangat hati-hati
agar tidak terjadi salah label (Awan,2008).
3.8. Penyimpanan dingin

13
Steak yang telah diberi label, dikemas dan dimasukkan kedalam ruang
penyimpanan dingin (Cold Storage) dengan suhu -25ºC atau dibawahnya. Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan produk dalam ruangan
pendingin yaitu, hindari melempar karton pada saat penyusunan karena hal
tersebut dapat menyababkan kerusakan fisik pada karton dan sebelum karton
disusun, lantai ruangan pendingin(Cold Storage) harus dilapisi pallet. Ruang
pendingin harus dalam keadaan bersih dan di lakukan pengontrolan suhu setiap
satu jam oleh Quality Control atau teknisi mesin (Awan,2008).
3.9. Pemuatan
Setelah ada permintaaan Buyer maka produk dimuat dalam Container, dan
sebelum digunakan, Container dibersihkan terlebih dahulu dan selanjutnya
diturunkan suhunya hingga mencapai -18ºC atau dibawahnya. Penaganan yang
buruk akan manimbulkan kerusakan fisik pada karton. Untuk itu pemuatan
dikerjakan secara hati-hati. Perhatikan garis batas pada Container pemuatan
tidak boleh melampaui garis tersebut (Awan,2008).

DAFTAR PUSTAKA

Ermaria. 1999. Pengaruh penggunaan ekstrak Chlorella sp. Terhadapa kemunduran


mutu fillet ikan nila merah (Oreochromis sp.) selama penyimpanan pada suhu

14
ruang. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Fakultas


Pertanian, UGM.

Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid II. Teknik Pendinginan
ikan. CV Paripurna. Jakarta.

Irawan, A. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo: Penerbit Aneka.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Metusalach, Kasmiati, Fahrul, dan Ilham Jaya. 2012. Analisis Hubungan antara Cara
Penangkapan dan Cara penanganan dengan kualitas ikan yang dihasilkan
(Laporan Hasil Penelitian) LP2M. Unhas.

15

Anda mungkin juga menyukai