Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS INTERVENSI PEMBERIAN TERAPI INHALASI NEBULIZER

TERHADAP PENURUNAN FREKUENSI NAPAS PADA PASIEN ASMA


DI RUMAH SAKIT PELNI JAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

FAJAR AL HAYU

NIRM. 19011

AKADEMI KEPERAWATAN PELNI JAKARTA


JAKARTA
2022
ANALISIS INTERVENSI PEMBERIAN TERAPI INHALASI NEBULIZER
TERHADAP PENURUNAN FREKUENSI NAPAS PADA PASIEN ASMA
DI RUMAH SAKIT PELNI JAKARTA

Fajar Al Hayu1 , Isnayati2 ,

Mahasiswa Program Diploma Tiga Keperawatan1


Akademi Keperawatan Pelni Jakarta2
Email : fajaragm@gmail.com

Abstrak
Sesak napas merupakan kesulitan atau ketidaknyamanan saat bernapas. Penyebabnya karena
berkurangnya udara diparu paru ditandai dengan frekuensi napas menjadi cepat, dan terasa
sesak di dada. Asma merupakan gangguan saluran pernapasan pada bronkus yang ditandai
adanya bronkospasme periodik yang reversibel (kontraksi berkepanjangan saluran napas
bronkus), yang menyebabkan penyepitan jalan napas karena edema, sehingga membuat
pernapasan menjadi sulit. Penatalaksanaan Asma yang bisa dilakukan yaitu terapi inhalasi
Nebulizer. Metode penelitian ini menggunakan Studi kasus untuk menganalisis intervensi
pada pasien asma yang mengalami peningkatan frekuensi napas di Rumah Sakit Pelni Jakarta
Barat dengan intstrumen lembar observasi frekuensi napas dan stopwatch. Bertujuan untuk
menganalisa pemberian terapi inhalasi nebulizer terhadap penurunan frekuensi napas pada
pasien asma. Hasil penelitian yang di lakukan adanya penurunan yang signifikan, pada saat
pre-test kedua responden mengalami peningkatan frekuensi napas. hasil analisis menunjukan
2 responden sebelum Penerapan nebulizer di lakukan Pengukuran frekuensi napas
menggunakan lembar observasi dan stopwatch di dapatkan Responden 1 Asma dengan pre
frekuensi napas 29x/menit dan post 18x/menit, sedangkan Responden 2 Asma dengan pre
frekuensi napas 28x/menit dan post 17x/menit. Setelah di lakukan intervensi terapi inhalasi di
hari pertama hingga ke tiga frekuensi napas menurun. Kesimpulan Pemberian intervensi
terapi inhalasi nebulizer selama 3 hari berpengaruh secara signifikan menurunkan frekuensi
napas pada pasien asma

Kata Kunci : Asma; Frekuensi napas; Terapi Inhalasi Nebulizer


Abstract
Shortness of breath is difficulty or discomfort when breathing. The cause is due to reduced
air in the lungs characterized by the frequency of breathing becomes fast, and feels tight in
the chest. Asthma is a disorder of the respiratory tract in the bronchi characterized by
periodic reversible bronchospasm (prolonged contraction of the bronchial airways), which
causes narrowing of the airway due to edema, making breathing difficult. Asthma
management that can be done is Nebulizer inhalation therapy. This research method uses a
case study to analyze interventions in asthma patients who experience an increase in
respiratory rate at Pelni Hospital, West Jakarta. Objective : To determine the effect of
nebulizer inhalation therapy on decreasing respiratory rate in asthmatic patients. Results:
The results of the research conducted were a significant decrease, during the pre-test both
respondents experienced an increase in breathing frequency. The results of the analysis
showed that 2 respondents before the application of the nebulizer were carried out.
Respiratory frequency measurements were obtained. Respondent 1 had asthma with a
respiratory rate of 29x/minute, while Respondent 2 had asthma with a respiratory rate of
28x/minute. After the application of inhalation therapy on the first to the third day the
respiratory rate decreased. Conclusion: The administration of nebulizer inhalation therapy
for 3 days has a significant effect on reducing the respiratory rate in asthma patients

Keywords: : Asthma, Nebulizer Inhalation Therapy, Respiratory rate


Pendahuluan

Asma merupakan gangguan saluran pernapasan pada bronkus yang ditandai adanya
bronkospasme periodik yang reversibel (kontraksiberkepanjangan saluran napas bronkus),
yang menyebabkan penyepitan jalan napas karena edema, sehingga membuat pernapasan
menjadi sulit. Meliputi faktor alergi, faktor non alergi, faktor psikologi, faktor genetik atau
keturunan dan faktor lingkungan (Retna, 2018).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017, sekitar empat puluh juta
kematian atau sebanyak 70% dari semua kematian di seluruh dunia, disebabkan oleh penyakit
tidak menular dengan 80% kematian terjadi di negara berkembang. Sedangkan menurut The
Global Asma Report tahun 2018, Penyakit pernapasan kronis, termasuk asma menyebabkan
15% kematian didunia. Angka kejadian asma sebanyak 339 juta orang di seluruh dunia yang
mengalami asma dari berbagai negara yaitu berkisar 1-18%. Prevelensi asma terus meningkat
di negara Afrika, Amerika latin, Eropa.

Prevalensi asma menurut Global Initiative For Asthma (GINA) tahun 2016 di Asia
Tenggara sebesar 3.3% di mana 17,5 juta penderita asma dari 529,3 juta total populasi.
Sementara itu berdasarkan laporan RISKESDAS Nasional pada tahun 2018. Jumlah pasien
asma Indonesia sebesar 2,4 %.Prevalansi asma di Indonesia menunjukkan bahwa perempuan
memiliki resiko lebih tinggi 2,5% di bandingkan dengan laki-laki yaitu 2,3% sedangkan DKI
Jakarta prevalensi Asma berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk semua umur menurut
provinsi tercatat sebesar 40.210 orang atau (2,6%). Namun proporsi kekambuhan asma dalam
12 bulan terakhir pada penduduk semua umur di provinsi DKI Jakarta tercatat sebesar 1.001
orang atau (52,7%) (Kemenkes RI, 2018). Kekambuhan terjadi karena perubahan suhu
dingin, alergen paparan debu, hewan peliharaan, makanan, dan asap rokok.

Asma penyebab beban penyakit yang substansial, termasuk kematian dini dan
penurunan kualitas hidup, pada semua kelompok umur diseluruh dunia. Asma berada di
peringkat ke-16 dunia diantara penyebab utama tahun hidup dengan disabilitas dan peringkat
ke-28 di antara penyebab utama beban penyakit.(Global Asthma Network, 2016).

Penyakit asma tidak dapat disembuhkan, akan tetapi dengan penanganan yang tepat
asma dapat terkontrol sehingga kualitas hidup penderita dapat terjaga. Gejala yang sering
dialami pasien yaitu batuk di siang atau malam hari, terdengarnya suara mengi (Wheezing)
seperti siulan saat bernapas dan biasanya lebih banyak terdengar saat menghembuskan napas,
dan mengalami masalah pernapasan seperti kehabisan napas, terengah-engah, dan terjadinya
sesak napas (Creek, 2020).

Sesak napas merupakan kesulitan atau ketidaknyamanan saat bernapas (Ambarwati,


2017). Penyebabnya karena berkurangnya udara diparu paru ditandai dengan frekuensi napas
menjadi cepat, dan terasa sesak di dada. Namun jika terjadi dalam waktu yang cukup lama
akan mengakibatkan apnea (henti napas) dan kematian. Pada penderita asma penanganan
yang dapat lakukan untuk melancarkan jalan napas dengan melonggarkan pakaian, memberi
minum hangat, memberikan posisi semi fowler atau fowler, fisioterapi dada, pemberian
oksigen melalui masker maupun kanul nasal serta pemberian obat melalui inhalasi nebulizer
(Ridwan, 2017).

(Kardiyudiani & susanti, 2019) Inhalasi adalah tindakan pemberian obat berbentuk
uap yang dihirup pasien dengan tujuan tertentu. Pada pasien asma, inhalasi tepat untuk
mengatasi gejala sesak napas, terapi inhalasi dapat diberikan menggunakan alat nebulizer
untuk mengurangi sesak napas dapat diberikan terapi inhalasi menggunakan nebulizer
(Lestari, 2018).

Pemberian inhalasi menggunakan nebulizer adalah terapi pemberian obat dengan


cara menghirup larutan obat yang sudah diubah menjadi gas yang berbentuk seperti kabut
dengan bantuan alat yang disebut nebulizer. Pada saat terapi ini diberikan, klien dapat
bernafas seperti biasa. Umumnya prosedur ini tidak lama, hanya berkisar sekitar 5-10 menit
tetapi hasilnya sangat efektif terutama untuk mengencerkan sputum yang kental (Anggraini,
2019).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Amanati, Najizah & Istifada,
2020), dengan judul pengaruh terapi nebulizer pada pasien asma, hasil yang di dapatkan
setelah terapi inhalasi nebulizer selama 4 kali intervensi, terjadi penurunan frekwensi napas
dari 30x/menit menjadi 25x/menit, sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Tafdila, 2019),
sebelum diberian terapi nebulizer frekwensi 27x/menit dan sesudah diberikan frekwensi
21x/menit, hasil yang sama penelitian yang dilakukan yang dilakukan (Syutrika, 2020),
pemberian nebulizer pada pasien gangguan saluran pernafasan menunjukan frekuensi
pernafasan sebelum intervensi 25x/menit menjadi 19x/menit.

Setelah penulis mengamati, membaca beberapa jurnal terkait pemberian terapi


inhalasi dengan menggunakan nebulizer maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Intervensi Pemberian Terapi Inhalasi Nebulizer Terhadap Penurunan
Frekuensi Napas Pada Pasien Penderita Asma di Rumah Sakit Pelni Jakarta”

Metode Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 2 responden dengan kriteria inklusi yaitu:
pasien di Rumah Sakit Pelni Jakarta Barat, pasien asma yang mendapatkan nebulizer, pasien
dengan keadaan umum baik, pasien yang bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria
ekslusinya adalah sebagai berikut: pasien asma dengan infeksi sekunder seperti Pnemonia
dan TBC, pasien asma dengan penurunan kesadaran, pasien yang tidak kooperatif, pasien
yang menolak menjadi responden.
Adapun instrumen yang digunakan oleh penulis yaitu, Lembar persetujuan (Informed
Consent), lembar kuisioner karakteristik responden, lembar hasil observasi frekuensi napas
sesudah dan sebelum, stopwatch, dan standar operasional prosedur Terapi Nebulizer.
Analisa data ini dilakukan dengan cara mengemukakan fakta- fakta melalui
wawancara kepada subjek, selanjutnya membandingkan dengan teori yang tertera, kemudian
dijabarkan didalam opini pembahasan. Serta melakukan intervensi hipnotik lima jari yang
nantinya akan didokumentasikan.
Adapun prinsip etika penelitian ini, teridi dari: Informed consent (setuju menjadi
responden), Privacy, Anonimity, Confidentiality (kerahasiaan), Self Determination
(Penentuan Diri), Protection From Discomfort (Perlindungan dari Ketidaknyamanan).

Hasil & Pembahasan


Penelitian dilakukan selama 3 hari pada tanggal 29 Agustus - 1 September 2022 di
Rumah Sakit Pelni Jakarta Barat. Intervensi yang dilakukan oleh peneliti merupakan
penatalaksanaan asma secara farmakologis yaitu Nebulizer.
Saat dilakukan observasi dua responden yang menjadi sampel penelitian bahwa
mereka merasakan sesak napas,peningkatan frekuensi napas, terdengar bunyi napas
wheezing, ronchi, susah untuk mengeluarkan batuk dan keduanya mengatakan bahwa mereka
terpapar oleh debu. Hal tersebut sejalan dengan penelitian (Syutrika, 2020).

Tabel 1 Hasil Observasi Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Intervensi


Hasil Observasi Hasil Observasi Frekuensi Napas
Responden Frekuensi Napas Sesudah
Sebelum

1. Sesak sudah tidak ada


1. Mengeluh sesak nafas
2. Batuk sudah mulai kering
2. Mengeluh batuk berdahak
3. Sputum sudah dapat di keluarkan
3. Mengeluh sputum susah di
4. Suara mengi dan ronchi pada
kluarkan
pernafasan sudah tidak terdengar
4. Suara mengi dan ronchi pada
Responden 5. TTV:
pernafasan masih terdengar
1 TD: 120/77 mmHg,
5. TTV:
N: 82x,mnt
TD: 126/83 mmHg,
RR: 18x/menit,
N: 76x,mnt
S: 36,0°C, SpO2: 98%
RR: 29x/menit,
S: 36,7°C, SpO2: 95%

1. Sesak sudah tidak ada


1. Mengeluh sesak nafas
2. Batuk sudah mulai kering
2. Mengeluh batuk berdahak
3. Sputum sudah dapat di
3. Mengeluh sputum susah di
keluarkan
kluarkan
4. Suara mengi dan ronchi pada
4. Suara mengi dan ronchi pada
Responden pernafasan sudah tidak
pernafasan masih terdengar
terdengar
2 5. TTV:
5. TTV:
TD: 122/80 mmHg
TD: 124/80 mmHg
N: 76x,mnt
N: 85x,mnt
RR: 28x/menit,
RR: 17x/menit,
S: 36,5°C
S: 36,4°C,
SpO2: 96%
SpO2: 98%

Setelah dilakukan intervensi selama tiga hari responden menunjukkan hasil evaluasi
yang cukup baik. Dari kedua responden hasil observasi menurun ditandai dengan gejala–
gejala yang berkurang gejala yang dialami berkurang frekuensi napas yang menurun secera
signifikan setiap harinya setelah melakukan intervensi Nebulizer.
Karakteristik responden
a. Usia
Usia pasien dalam penerapan ini yaitu (Responden 1) berusia 30 dan (Responden 2)
berusia 25 tahun. Menurut (Awan Dramawan, 2015). Hal ini di karenakan asma dapat
terjadi pada umur berapa saja, baik dari anak – anak, remaja maupun dewasa. Pada usia
anak – anak penyakit asma lebih banyak di derita oleh laki laki namun seiring
perkembangan usia penyakit asma lebih banyak di derita oleh anak laki-laki karena
semakin dewasa seorang pria, saluran pernafasannya juga semakin melebar. Sedangkan
pada wanita ketika memasuki usia 17 tahun pertumbuhan volume saluran pernafasannya
hanya berkembang lebih sedikit.
b. Jenis kelamin
Menurut (Awan Dramawan, 2015) berasumsi bahwa jenis kelamin berpengaruh
terhadap kejadian asma karena perempuan lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki.
Berdasarkan teori yang ada, dapat kita simpulkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor
dari kejadian asma bronkial. kejadian asma. Hal tersebut dikarenakan volume dan
kapasitas seluruh paru pada wanita 20-25% lebih kecil dari pada pria. Selain itu, adanya
perbedaan pada paru ukuran jalan nafas (airway) antara laki-laki dan perempuan juga
mempengaruhi oksigenasi. Pada saat anak-anak lebih kecil dibandingkan pada saat
dewasa (usia >40 tahun) ukuran paru dan jalan nafas pada perempuan lebih kecil
dibandingkan laki-laki, sehingga perempuan lebih beresiko terkena asma pada saat
dewasa.
c. Pekerjaan
Pekerjaan adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia dengan berbagai
tujuan. Subyek dalam penerapan ini memilik pekerjaan sehari-hari sebagai wiraswasta
dan karyawan swasta cenderung hal ini berkaitan dengan kurangnya pengetahuan terkait
dengan asma.

Pengaruh terapi Inhalasi Nebulizer terhadap frekuensi nafas


Berdasarkan hasil data pada diatas menunjukan responden di rumah sakit PELNI
Jakarta fekunsi nafas sebelum diberikan terapi Inhalasi Nebulizer dalam frekuensi napas
29x/menit-28x/menit sebanyak 2 responden. Sedangkan setelah dilakukan intervensi
menunjukkan responden berada dalam frekuensi nafas normal 26x/menit sebanyak 2
responden.
Menurut (Wahyuni, 2014). Terapi inhalasi memliki pengaruh terhadap frekuensi nafas
pada pasien asma, pasien mengatakan terjadi penurunan frekuensi nafas, sesak nafas yang di
alami setelah dilakukan tindakan nebulizer selama 15 menit. Hal ini dikarenakan Aerosol
yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup, untuk menyalurkan obat
langsung ke target organ yaitu paru-paru, tanpa harus melalui jalur sistemik terlebih dahulu.
Terapi nebulizer juga memberikan onset lebih cepat jika dibandingkan dengan terapi lain
serta memberikan efek yang cepat untuk mengembalikan kondisi spasme bronkus.

Hal ini sejalan menurut penelitin terdahulu yang dilakukan (Siti Lestari, Siti
Handayani & Herman Bakri, 2018), terkait terapi inhalasi nebulizer terhadap patensi jalan
nafas diketahui bahwa sebelum di berikan intervensi terapi inhalasi Nebulizer pasien
mengalami frekuensi nafas 28x/menit dan setelah di berikan terapi inhalasi Nebulizer di
dapatkan frekuensi nafas menurun menjadi 23x/menit.

(Alvi Ratna Yuliana & Agustin, 2017) juga melakukan penelitian tentang pengaruh
terapi inhalasi Nebulizer untuk menurunkan sesak nafas pada pasien asma menggunakan 30
sample dengan rata rata frekuensi nafas 27x/menit setelah dilakukan intervensi terapi inhalasi
Nebulizer frekuensi responden di dapatkan mengalami penurunan menjadi 22x/menit.

Dengan demikian pada penelitian ini dapat di tarik kesimpulan bahwa terapi inhalasi
Nebulizer terbukti dapat menurunkan frekuensi nafas pada pasien asma dengan pemberian
nebulizer yang dilakukan selama 15-20 menit mampu membantu pengeluarkan sekret pada
jalan nafas sehingga jalan nafas kembali paten dan sesak nafas berkurang.

Kesimpulan
Analisis intervensi terapi inhalasi untuk menurunkan frekuensi napas pada pasien asma
pada 2 responden di rumah sakit PELNI Jakarta. Telah menunjukan hasil penurunan
frekuensi napas secara signifikan, hal ini terlihat dari penjelasan secara rinci seperti berikut :
1. Terverivikasinya karakteristik responden sebanayak 2 responden dengan pasien asma,
dengan usia responden 1 usia 36 tahun dan responden 2 dengan usia 25 tahun. Para
responden berpendidikan sekolah menengah dan pekerjaan sebagai karyawan swasta.
2. Telah di ketahui Frekuensi napas pasien Asma sebelum dan sesudah intervensi
pemberian terapi inhalasi nebulizer dengan frekuensi napas sebelum dilakukan intervensi
responden 1 29x/menit, responden 2 28x/menit dan sesudah intervensi sebanyak 9x
dalam waktu 3 hari di dapatkan hasil responden 1 dengan frekuensi napas 18x/menit,
responden 2 frekuensi napas 17x/menit.
3. Setelah di evaluasi terdapat adanya perubahan frekuensi napas sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi selama 3 hari berturut-turut frekuensi napas menurun menjadi
normal, auskultasi bunyi napas normal, tidak ada batuk, tanda-tanda vital dalam batas
normal dan tidak ada sesak.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada ke-2 responden yang sudah membantu


peneliti dalam melaksanakan penelitian ini, kepada pembimbing yang senantiasa
membimbing kami, kedua orang tua yang selalu mendukung dan mendoakan, kepada teman-
teman angkatan XXIV yang selalu membantu dalam menyusun penelitian ini.

Referensi

Ambarwati, R. (2017). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta: Dua Satria Offset

Anggraini, Y., Metrajaya, IM., Batu, AM., & Leniwita, H. (2019). Petunjuk Praktikum
Keperawatan Dasar. Universitas Kristen Indone Syutrika, A., M. (2020).
Pengaruh Pemberian Nebulisasi Terhadap Frekuensi Pernapasan Pada Pasien
Gangguan Saluran Pernapasan.

Astuti, W. T., Marhamah, E., & Diniyah, N. (2019). Penerapan terapi inhalasi nebulizer
untuk mengatasi bersihan jalan napas pada pasien brokopneumonia. Jurnal
Keperawatan, 5, 7–13.

Awan Dramawan (2015). Latihan Pernafasan teknik butekyo terhadap saturasi oksigen pada
pasien asma bronkial

Bintari Retna, (2018). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : EGC

GAN (Global Astma Network) (2016). The Global Astma Report New Zeland.
http://ganastma.com. (diakses 19 juni 2018)

GINA. (2017). Global strategy for asthma management and prevention. Diperoleh dari
https://ginaasthma.or

Global Initiative for Asthma(2019) Global initiative for asthma : Asthma management and
prevention.Practice Nurse 49(5),1–201

John’s Creek (2020) Signs Of An Asthma Attack. Publication info: Smart Engage. United
States, John’s Creek
Kementrian Kesehatan RI (2018). Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, Indonesia:
Kementrian Kesehatan RI

Kementrian Kesehatan RI. (2017). Permenkes RI nomor 27 tahun 2017 tentang pedoman
pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta,
Indonesia: Kementrian Kesehatan RI

Purnomo, D., Abidin, Z., & Ardianto, R. (2017). Pengaruh Nebulizer, Infrared Dan Terapi
Latihan Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Et Causa Asma Bronkial.
Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(2), 60–69.
https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i2.61

Ridwan M. (2017). Mengenal dan menjaga kesehatan pernapasan. Jakarta: Lontar Mediatama

Tafdhila., & Kurniawati, A. (2019). Pengaruh Latihan Batuk Efektif Pada Intervensi
Nebulizer Terhadap Penurunan Frekuensi Pernafasan Pada Asma Di Instalasi
Gawat Darurat. Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan Vol. 11: 117-12, Jakarta.

Wahyuni L. (2014). Pengaruh Pemberian Nebulizer Dan Batuk Efektif terhadap Status
Pernapasan Pasien COPD. Diakses pada 24 April 2018. Available from:
URL:http://ejournal.stikes-ppni.ac.id/index. php/keperawatan-bina-
sehat/article/view/133

Widiastutik, DU., Ningsih, TW., & Najib, M. (2017) Eksaserbasi asma pada pasien asma di
wilayah kerja puskesmas pacar keelig Surabaya.,jurnal keperawatan, Vol x,
No.3,pp.140-146

World Health Organization WHO. (2017). Chronic respiratory diseases. Diperoleh dari
http://www.who.int/respiratory/asthma/en/

Anda mungkin juga menyukai