Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH MATA KULIAH TES INTELIGENSI

BINET DAN THORNDIKE


(Pendekatan, Teori, Kelebihan, dan Kekurangan)

Dosen Pengampu :
Lediana Afriyanti, M.Psi. Psikolog. MH

Disusun Oleh :
Rantika Fitri 2130901145
Novera Intan Nadiyah 2130901147
Saputra Agung Suroji 2130901148
Dessy Meteorina 2130901178
Rahni Rismawati 2130901179
Mustika Marlina 2130901181

PI 5
PRODI PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah Tes Inteligensi dengan judul “Binet dan
Thorndike: Pendekatan, Teori, Kekurangan, dan Kelebihan”. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup para-Nabi sekaligus satu-
satunya Uswatun khasanah kita, Nabi Muhammad SAW, tidak lupa pula penulis
ucapkan terima kasih kepada Ibu Lediana Afriyanti, M.Psi. Psikolog. MH selaku
dosen pengampu mata kuliah Tes Inteligensi.
Sebagai penyusun, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan baik dari penyusunan hingga tata bahasa penyampaian dalam makalah
ini. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari
pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak, bagi penulis khususnya dan bagi
teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang pada umumnya.

Palembang, 24 Agustus 2023

Pemakalah

2
DAFTAR ISI
COVER ......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR .................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 4
A. Latar Belakang ............................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 6
C. Tujuan .......................................................................................... 6
BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................... 7
A. Pendekatan dan Teori Binet ......................................................... 7
B. Pendekatan dan Teori Thorndike ................................................. 9
C. Kelebihan Pendekatan Teori Binet............................................. 11
D. Kekurangan Pendekatan Teori Binet ......................................... 13
E. Kelebihan Pendekatan Teori Thorndike..................................... 14
F. Kekurangan Pendekatan Teori Thorndike ................................. 15
BAB 3 PENUTUP....................................................................................... 17
A. Kesimpulan ................................................................................ 18
B. Kritik dan Saran ......................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 20

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengukuran kecerdasan adalah aspek penting dalam psikologi
kognitif yang telah memunculkan berbagai teori dan pendekatan. Dua tokoh
utama dalam pengembangan tes kecerdasan adalah Alfred Binet dan
Edward Thorndike. Binet dikenal sebagai pengembang skala pertama untuk
mengukur kecerdasan, sementara Thorndike merupakan salah satu tokoh
dalam psikologi pendidikan yang memberikan kontribusi penting terhadap
pengukuran kecerdasan dan pemahaman mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi kecerdasan.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, masyarakat mulai
mengakui pentingnya mengukur kecerdasan manusia untuk keperluan
seleksi pendidikan dan penempatan pekerjaan. Di tengah perkembangan
tersebut, Alfred Binet dan Theodore Simon pada tahun 1905 merancang tes
pertama untuk mengukur kecerdasan anak-anak, dengan tujuan
mengidentifikasi anak-anak yang memerlukan bantuan akademis tambahan.
Hasil karya mereka menghasilkan skala Binet-Simon, yang menjadi cikal
bakal tes kecerdasan modern.
Alfred Binet, bersama dengan rekan kerjanya Theodore Simon,
merancang skala pertama untuk mengukur kecerdasan anak-anak pada awal
abad ke-20. Tujuan utama mereka adalah untuk mengidentifikasi anak-anak
yang memerlukan bantuan tambahan dalam pendidikan mereka. Binet
berpendapat bahwa kecerdasan adalah kualitas kompleks yang tidak dapat
diukur dengan satu angka tunggal. Dalam salah satu tulisannya dia
menekankan bahwa: "Intellectual qualities are not superposable, and
therefore cannot be measured as linear surfaces are measured" (Binet,
1916).
Sementara itu, Edward Thorndike, seorang psikolog pendidikan,
memainkan peran penting dalam pemahaman tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan. Dia mengembangkan teori "connectionism"

4
yang menekankan bahwa belajar melibatkan pembentukan hubungan antara
stimulus dan respons. Pendekatan Thorndike ini memberikan dasar bagi
pengembangan tes kecerdasan yang lebih canggih. Thorndike (1920)
menggambarkan konsep ini dengan mengatakan: "...learning is the
formation of neural connections or bonds between stimuli and responses."
Meskipun Binet dan Thorndike memiliki pendekatan yang berbeda,
keduanya berusaha memahami esensi kecerdasan dan cara mengukurnya.
Binet lebih fokus pada pengembangan skala yang mengidentifikasi
kemampuan kognitif, sedangkan Thorndike menggambarkan proses
pembentukan koneksi dalam belajar sebagai dasar pengukuran kecerdasan.
Pemahaman tentang pendekatan Binet dan Thorndike memiliki implikasi
yang kuat pada pengembangan tes kecerdasan modern. Keduanya
memberikan dasar-dasar penting yang masih relevan dalam memahami
berbagai dimensi kecerdasan manusia. Pengukuran kecerdasan saat ini telah
berkembang lebih luas dan holistik, mencakup aspek-aspek seperti
kecerdasan emosional, sosial, dan praktikal.
Kesimpulannya, metode dan teori Alfred Binet dan Edward
Thorndike sangat membantu pemahaman kita tentang pengukuran
kecerdasan. Binet menciptakan metode yang lebih kualitatif dan
membangun skala pertama untuk mengukur kecerdasan anak-anak, dan
Thorndike menawarkan pendekatan yang lebih mekanistik dengan teorinya
tentang pembentukan. Kedua metode ini membentuk dasar pemahaman kita
tentang kompleksitas kecerdasan manusia dan proses pembelajaran
sepanjang hayat. Mereka juga berkontribusi pada pengembangan tes
kecerdasan kontemporer yang lebih inklusif.
Pemahaman tentang mekanisme belajar dan pengukuran kecerdasan
mengalami kemajuan besar berkat kontribusi Binet dan Thorndike.
Pemahaman tentang manfaat dan kekurangan masing-masing metode
membantu kita melakukan pengukuran yang relevan dan menyeluruh
dengan menggabungkan berbagai elemen kecerdasan. Dengan mengakui
konsep-konsep yang mereka tawarkan, kita dapat melanjutkan penelitian

5
dan pengembangan untuk lebih memahami potensi kognitif manusia. Kita
juga dapat menerapkan pemahaman ini dalam konteks pengembangan
pribadi, pendidikan, dan pemecahan masalah di dunia nyata.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan dan teori yang dikembangkan oleh Alfred Binet
dalam mengukur kecerdasan anak-anak berkontribusi terhadap
perkembangan pengukuran kecerdasan modern?
2. Apa konsep utama dari teori "connectionism" yang dikembangkan oleh
Edward Thorndike dan bagaimana pendekatan ini mempengaruhi cara kita
memahami proses belajar dan pengembangan kecerdasan?
3. Apa kelebihan dan kekurangan dari pendekatan Binet dan Thorndike
dalam mengukur kecerdasan, terutama terkait dengan fokus pada aspek
kognitif?

C. Tujuan
1. Untuk mengidentifikasi peran penting pendekatan dan teori yang
diperkenalkan oleh Alfred Binet dalam perkembangan pengukuran
kecerdasan modern.
2. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang konsep utama
dari teori "connectionism" yang dikemukakan oleh Edward Thorndike.
3. Untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan dari pendekatan Binet dan
Thorndike dalam mengukur kecerdasan, terutama dalam kaitannya dengan
fokus pada aspek kognitif.

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan dan Teori Binet
1. Pendekatan dalam Tes Kecerdasan
Alfred Binet adalah tokoh penting dalam pengembangan
pengukuran kecerdasan, dan kontribusinya membentuk landasan penting
untuk pendekatan dalam mengukur kapasitas kognitif manusia. Bersama
dengan rekan kerjanya, Theodore Simon, Binet merancang skala pertama
yang bertujuan untuk mengukur kecerdasan anak-anak. Tujuan utama
mereka adalah untuk mengidentifikasi anak-anak yang memerlukan
bantuan tambahan dalam pendidikan mereka. Skala ini, yang dikenal
sebagai Skala Binet-Simon, mencatat perkembangan kognitif anak-anak
berdasarkan kemampuan mereka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang semakin kompleks.
Dalam upayanya mengukur kecerdasan, Binet menghindari konsep
kecerdasan yang statis dan tunggal. Ia memandang kecerdasan sebagai
kualitas yang kompleks dan sulit diukur dengan angka tunggal. Dalam
tulisannya Binet (1916), “The scale, properly speaking, does not permit the
measure of the intelligence, because intellectual qualities are not
superposable, and therefore cannot be measured as linear surfaces are
measured." Artinya bahwa bahwa dimensi kecerdasan manusia tidak dapat
diukur dengan cara yang sama seperti dimensi benda fisik. Pernyataan ini
mencerminkan pendapat Binet bahwa kecerdasan adalah konsep yang
kompleks yang terdiri dari banyak aspek dan kualitas intelektual yang tidak
dapat direduksi menjadi skala linier yang sederhana.
Dalam ungkapan tersebut, istilah "not superposable" merujuk pada
sifat intelektual yang tidak dapat disusun atau ditumpuk secara langsung
satu di atas yang lain. Ini mengindikasikan bahwa berbagai aspek dari
kecerdasan tidak dapat diurutkan atau dibandingkan dengan cara yang sama
seperti objek-objek fisik yang dapat diukur, seperti panjang atau berat. Binet
ingin menunjukkan bahwa kecerdasan melibatkan aspek-aspek yang

7
kompleks dan beragam, sehingga pengukurannya tidak dapat direduksi
menjadi angka tunggal atau dimensi linear. Dalam konteks ini, pernyataan
ini mencerminkan pemahaman bahwa mengukur kecerdasan melibatkan
lebih dari sekadar menghitung atau mengukur parameter tertentu.
Kecerdasan melibatkan berbagai kemampuan kognitif, seperti pemecahan
masalah, pemahaman, daya analisis, dan kreativitas. Oleh karena itu, Binet
mengakui bahwa kecerdasan tidak dapat diukur dengan skala yang
sederhana atau linear seperti yang dapat digunakan untuk mengukur objek-
objek fisik.

2. Teori Usia Mental


Salah satu konsep kunci yang diperkenalkan oleh Binet adalah
konsep “usia mental,” yang menggambarkan perkembangan kognitif anak
dalam hubungannya dengan kelompok usia sebaya mereka. Skala ini
merangsang pandangan baru tentang bagaimana kemampuan kognitif
berkembang seiring bertambahnya usia, membantu mengidentifikasi anak-
anak yang memerlukan perhatian khusus dalam pendidikan. Ia
membandingkan kinerja anak dengan kinerja rata-rata anak-anak pada usia
tertentu. Dengan cara ini, Binet memahami tingkat perkembangan kognitif
anak berdasarkan kemampuan mereka dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang setara dengan usia anak-anak lain pada kelompok usia
tersebut. Jika seorang anak berkinerja setara dengan anak-anak yang lebih
tua, maka "usia mental" anak tersebut lebih tinggi dari usia fisiknya.

3. Tujuan Pendidikan dan Intervensi


Dalam konteks pendidikan, Skala Binet-Simon memiliki dampak
yang signifikan. Tes ini membantu mengidentifikasi anak-anak yang
memerlukan perhatian khusus dan bantuan tambahan dalam pendidikan
mereka. Hasil pengukuran "usia mental" juga memberikan panduan bagi
guru dan pendidik untuk menyesuaikan metode pengajaran dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Pengembangan metode pendidikan yang

8
adaptif dan responsif menjadi lebih mungkin berkat kontribusi Binet dalam
pengukuran kecerdasan.
Dalam psikologi, pengembangan Skala Binet-Simon memberikan
landasan untuk pengukuran kecerdasan yang lebih ilmiah dan objektif.
Meskipun skala ini telah mengalami revisi dan perubahan seiring
berjalannya waktu, konsep "usia mental" dan pendekatan kualitatif Binet
tetap berpengaruh dalam pengembangan tes kecerdasan modern. Skala
Binet-Simon juga membuka pintu bagi perkembangan berbagai tes
kecerdasan, termasuk tes berbasis komputer dan adaptif yang digunakan
dalam evaluasi pendidikan dan penelitian psikologi.
Dalam kesimpulannya, perkembangan Skala Binet-Simon oleh
Alfred Binet dan Theodore Simon telah mengubah cara kita mengukur dan
memahami kecerdasan dalam pendidikan dan psikologi. Pendekatan
kualitatif dan konsep "usia mental" yang diperkenalkan dalam skala ini
memberikan dasar yang kuat bagi pengembangan tes kecerdasan yang lebih
inklusif dan adaptif, serta membantu memahami perkembangan kognitif
anak secara lebih mendalam dan holistik.

B. Pendekatan dan Teori Thorndike


Edward Thorndike merupakan tokoh utama dalam pengembangan
pendekatan pengukuran kecerdasan yang berfokus pada pembentukan koneksi atau
ikatan antara stimulus dan respons. Teorinya, yang dikenal sebagai
"connectionism," memberikan kontribusi penting dalam pemahaman kita tentang
bagaimana belajar dan kecerdasan berkembang. Dalam pendekatan ini, Thorndike
memandang kecerdasan sebagai hasil dari pembentukan ikatan-ikatan antara
rangsangan-rangsangan (stimulus) dan tanggapan-tanggapan (respons) yang timbul
dari pengalaman dan pembelajaran. Pandangan Thorndike tercermin dalam
pernyataan berikut: "Learning is the formation of neural connections or bonds
between stimuli and responses" (Thorndike, 1920).
Makna dari pernyataan ini adalah bahwa ketika individu berinteraksi dengan
lingkungannya, terjadi pembentukan ikatan atau koneksi antara situasi atau

9
rangsangan tertentu dengan tanggapan yang sesuai. Ketika individu merespons
rangsangan tertentu dengan tanggapan yang memberikan hasil positif atau
memuaskan, koneksi antara rangsangan dan tanggapan tersebut akan menjadi lebih
kuat. Sebaliknya, jika tanggapan yang dihasilkan tidak memberikan hasil yang
diinginkan, koneksi antara rangsangan dan tanggapan tersebut mungkin menjadi
lebih lemah.
Pendekatan ini mencerminkan gagasan dasar teori "connectionism" yang
dikembangkan oleh Thorndike. Dalam teori ini, pembelajaran dilihat sebagai hasil
dari pembentukan asosiasi atau koneksi antara rangsangan dari lingkungan dengan
tanggapan atau respons yang dihasilkan oleh individu. Hal ini menunjukkan bahwa
interaksi berulang antara stimulus dan respons dalam berbagai situasi membentuk
dasar pembelajaran dan pengembangan kecerdasan. Pernyataan tersebut juga
mengakui peran penting yang dimainkan oleh pengalaman dan pembelajaran dalam
membentuk hubungan-hubungan saraf dalam otak, yang menciptakan dasar fisik
untuk pembentukan ikatan-ikatan kognitif. Pandangan ini terkait erat dengan
pemahaman modern tentang neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk
beradaptasi dan membentuk koneksi-koneksi baru sepanjang waktu sebagai respons
terhadap pembelajaran dan pengalaman.
Pada dasarnya, teori connectionism Thorndike dapat dijelaskan melalui
konsep-konsep berikut:
1. Hukum Efek (Law of Effect): Salah satu konsep kunci dalam teori ini adalah
hukum efek, yang menyatakan bahwa respons yang diikuti oleh konsekuensi positif
cenderung ditingkatkan, sementara respons yang diikuti oleh konsekuensi negatif
cenderung ditekan. Dalam konteks pembelajaran, jika suatu tindakan menghasilkan
hasil yang menyenangkan, individu cenderung mengulangi tindakan tersebut.
“When a connection between a situation and response is accompanied or closely
followed by a satisfying state of affairs, the strength of the bond between situation
and response is increased. When a connection between a situation and response is
accompanied or closely followed by a discomforting state of affairs, the strength of
the bond is decreased" (Thorndike, 1911).

10
2. Pembentukan Asosiasi: Teori connectionism mendasarkan bahwa pembelajaran
terjadi melalui pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons. Ketika individu
berinteraksi dengan lingkungannya, koneksi atau asosiasi antara stimulus tertentu
dan respons yang dihasilkan terbentuk. Ini menciptakan hubungan yang semakin
kuat antara stimulus dan respons yang relevan. "Learning is that process which
results in a relatively permanent change in behavior potentiality as a result of
practice or experience" (Thorndike, 1932).
3. Transfer Pembelajaran: Konsep transfer juga penting dalam teori ini. Jika
koneksi atau asosiasi yang telah terbentuk dalam satu situasi dapat ditransfer atau
diterapkan dalam situasi yang berbeda, maka pembelajaran lebih efektif. Ini
mencerminkan ide bahwa pembentukan ikatan antara stimulus dan respons
berkontribusi pada fleksibilitas respons individu terhadap berbagai situasi. "If a
situation S has occurred together with the response R, and then another situation
S1 has occurred with the same response R, then the bond of connection between the
situation and response is stronger in the second case than in the first" (Thorndike,
1924).
Dalam pengembangan pemahaman kita tentang mekanisme belajar dan
pengembangan kecerdasan, teori connectionism Thorndike telah memberikan
kontribusi besar. Teori ini mengarah pada pemahaman bahwa pembelajaran adalah
proses interaksi yang kontinu antara individu dan lingkungan, di mana
pembentukan ikatan-ikatan antara stimulus dan respons memungkinkan adaptasi
dan perkembangan kognitif. Dalam konteks modern, teori connectionism masih
relevan. Konsep-konsep seperti hukum efek, pembentukan asosiasi, dan transfer
pembelajaran masih berperan penting dalam pemahaman kita tentang bagaimana
individu belajar dan mengembangkan kecerdasan. Teori ini juga memiliki
keterkaitan yang kuat dengan pemahaman tentang plasticitas otak, pembelajaran
sepanjang hayat, serta penerapan dalam pendidikan dan pelatihan.

C. Kelebihan Pendekatan Teori Binet


Pendekatan dan teori yang dikemukakan oleh Alfred Binet dalam
pengukuran kecerdasan memiliki sejumlah kelebihan yang telah memberikan

11
dampak signifikan dalam bidang pendidikan dan psikologi. Melalui fokus pada
aspek kualitatif, adaptif, dan individual dalam pengukuran kecerdasan, Binet telah
membawa kontribusi penting yang masih relevan hingga saat ini.
1. Pendekatan Kualitatif yang Inklusif
Pendekatan Binet dalam mengembangkan Skala Binet-Simon
memiliki kelebihan dalam memberikan pandangan kualitatif tentang
kecerdasan. Skala ini tidak hanya mengukur kecerdasan berdasarkan angka
atau skor, tetapi juga menggambarkan kemampuan kognitif secara lebih
mendalam. Hal ini membuatnya lebih inklusif karena mengakui variasi
dalam jenis kecerdasan dan memberi perhatian pada potensi perkembangan
individu.
2. Fokus pada Pembelajaran dan Perkembangan
Kelebihan lain dari pendekatan Binet adalah penekanannya pada
konsep usia mental, yang menggambarkan kemampuan kognitif anak sesuai
dengan usia anak-anak lain pada kelompok usia tersebut. Ini mengarah pada
pemahaman yang lebih baik tentang tahapan perkembangan anak dan
membantu merancang pendidikan yang sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif mereka.
3. Berbasis pada Keperluan Pendidikan
Pendekatan Binet-Simon awalnya dirancang dengan tujuan
mendukung pendidikan. Skala ini memberikan informasi yang bermanfaat
bagi pendidik dan guru untuk mengidentifikasi anak-anak yang memerlukan
bantuan tambahan dalam pendidikan mereka. Hal ini mencerminkan fokus
Binet pada aplikabilitas teorinya dalam meningkatkan metode pengajaran.
4. Pengembangan Tes Standar Pertama
Binet-Simon Scale dianggap sebagai skala tes kecerdasan pertama
yang bersifat standar dan terstandarisasi. Keberhasilan skala ini menjadi
fondasi untuk pengembangan berbagai tes kecerdasan selanjutnya, termasuk
tes-tes modern seperti tes IQ. Binet telah membuka jalan untuk
pengembangan alat pengukuran yang lebih ilmiah dan terukur.

12
5. Relevansi dalam Konteks Modern
Pendekatan dan teori Binet tetap relevan dalam konteks modern.
Pemahaman yang lebih holistik tentang kecerdasan dan fokus pada
kemampuan individual menjadi dasar bagi perkembangan pendekatan
pendidikan inklusif yang menghargai keberagaman kognitif. Meskipun ada
perkembangan teknologi dan metode pengukuran yang lebih canggih,
konsep-konsep yang diperkenalkan oleh Binet tetap mempengaruhi
pendekatan pengajaran dan penilaian.

D. Kekurangan Pendekatan Teori Binet


Meskipun memiliki sejumlah kelebihan, pendekatan dan teori yang
dikemukakan oleh Alfred Binet dalam pengukuran kecerdasan juga memiliki
beberapa kekurangan dan kritik. Kekurangan-kekurangan ini muncul dari batasan
metode dan pandangan yang ada pada zamannya, dan beberapa di antaranya masih
relevan dalam evaluasi kita pada masa sekarang.
1. Kurangnya Representasi Kecerdasan yang Komprehensif:
Pendekatan Binet-Simon fokus pada aspek-aspek kognitif tertentu
seperti kemampuan verbal dan numerik. Hal ini dapat mengabaikan dimensi
kecerdasan lain seperti kecerdasan emosional, sosial, atau kreatif, yang juga
memiliki peran penting dalam penilaian potensi individu.
2. Pengukuran yang Terbatas oleh Aspek Kognitif Tertentu:
Skala Binet-Simon awalnya lebih berfokus pada aspek-aspek
kognitif akademis. Hal ini dapat mengabaikan kemampuan atau bakat di
luar lingkup tersebut, seperti kemampuan seni atau olahraga. Kekurangan
ini mendorong pengembangan tes kecerdasan lain yang lebih holistik.
3. Terbatas oleh Kultur dan Bahasa:
Metode dan pertanyaan yang digunakan dalam skala Binet-Simon
diadaptasi berdasarkan norma budaya dan bahasa Prancis pada zamannya.
Ini dapat mengakibatkan bias kultural dan kesulitan dalam mengaplikasikan
tes pada populasi yang memiliki latar belakang budaya atau bahasa yang
berbeda.

13
4. Kesulitan dalam Mengukur Kecerdasan Orang Dewasa:
Meskipun skala ini dirancang untuk anak-anak, Binet-Simon kurang
cocok untuk mengukur kecerdasan orang dewasa. Kriteria-kriteria yang
digunakan mungkin kurang relevan atau tidak mampu menggambarkan
kapasitas intelektual yang lebih kompleks pada orang dewasa.
5. Penggunaan dalam Tujuan yang Tidak Dimaksudkan:
Tes kecerdasan seperti Binet-Simon terkadang digunakan untuk
tujuan seleksi, klasifikasi, atau diskriminasi sosial yang tidak sesuai dengan
tujuan awal pengembangannya. Ini dapat mengarah pada stigmatisasi atau
label yang merugikan individu.

E. Kelebihan Pendekatan Teori Thorndike


Pendekatan dan teori yang dikemukakan oleh Edward Thorndike, terutama
dalam teori "connectionism," memiliki sejumlah kelebihan yang memberikan
kontribusi besar dalam pemahaman tentang belajar, perkembangan kecerdasan, dan
proses kognitif manusia. Berikut adalah beberapa kelebihan dari pendekatan dan
teori Thorndike:
1. Pendekatan Ilmiah dan Terukur:
Teori "connectionism" yang diperkenalkan oleh Thorndike
memberikan pendekatan yang ilmiah dan terukur terhadap belajar dan
pengembangan kecerdasan. Pendekatan ini mengajukan bahwa proses
pembelajaran dapat dijelaskan melalui pembentukan koneksi atau ikatan
antara stimulus dan respons, yang dapat diobservasi dan diukur.
2. Fokus pada Asosiasi dan Transfer Pembelajaran:
Kelebihan lain dari pendekatan Thorndike adalah penekanannya
pada pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons, serta transfer
pembelajaran. Konsep transfer memungkinkan pemahaman dan
keterampilan yang diperoleh dalam satu konteks dapat diterapkan dalam
situasi yang berbeda, menghasilkan pembelajaran yang lebih fleksibel.

14
3. Relevansi dalam Pendidikan dan Praktek:
Teori Thorndike memiliki aplikasi yang kuat dalam pendidikan dan
pelatihan. Prinsip-prinsip "connectionism" dapat diaplikasikan untuk
merancang metode pengajaran yang lebih efektif dan bermakna. Pendekatan
ini juga merangsang pengembangan teknik-teknik pengajaran yang
berfokus pada penguatan positif dan respons yang tepat.
4. Dasar bagi Perkembangan Tes Kecerdasan:
Pendekatan Thorndike menjadi dasar bagi pengembangan tes
kecerdasan yang lebih canggih. Pengertian bahwa belajar melibatkan
pembentukan ikatan-ikatan antara stimulus dan respons mendorong
perkembangan tes yang mengukur tidak hanya aspek kognitif, tetapi juga
fleksibilitas dan adaptasi respons individu.
5. Teori yang Relevan dalam Neurokognisi dan Neuroplastisitas:
Teori "connectionism" Thorndike memiliki implikasi dalam bidang
neurokognisi dan neuroplastisitas. Pandangan ini terkait dengan
pemahaman modern tentang bagaimana otak merespons pembelajaran dan
bagaimana pembentukan koneksi saraf mempengaruhi perkembangan
kognitif.
6. Relevansi dalam Konteks Modern:
Teori "connectionism" Thorndike tetap relevan dalam konteks
modern, terutama dalam pemahaman kita tentang mekanisme belajar dan
pengembangan kognitif. Konsep-konsep seperti asosiasi, transfer
pembelajaran, dan pengaruh lingkungan pada pembentukan koneksi saraf
masih memengaruhi pendekatan pendidikan, pelatihan, dan pengembangan
keterampilan.

F. Kekurangan Pendekatan Teori Thorndike


Meskipun memiliki kontribusi yang signifikan dalam pemahaman tentang
belajar dan pengembangan kecerdasan, pendekatan dan teori "connectionism" yang
dikemukakan oleh Edward Thorndike juga memiliki beberapa kekurangan yang

15
perlu diperhatikan. Berikut adalah beberapa kekurangan dari pendekatan dan teori
Thorndike:
1. Reduksionisme dalam Pengukuran Kecerdasan:
Pendekatan Thorndike terkadang dianggap memiliki tendensi untuk
mereduksi kecerdasan menjadi sekumpulan koneksi sederhana antara
stimulus dan respons. Hal ini dapat mengabaikan dimensi kompleks dan
multifaset dari kecerdasan manusia, seperti kemampuan berpikir abstrak,
kreativitas, dan penalaran kompleks.
2. Fokus pada Respons Sederhana:
Kekurangan lain dari pendekatan Thorndike adalah fokus pada
respons yang relatif sederhana. Teori ini lebih cocok untuk menjelaskan
pembelajaran tingkat rendah atau respons yang lebih mekanis, sementara
kemampuan belajar yang lebih tinggi seperti pemecahan masalah kompleks
dan penalaran abstrak mungkin tidak sepenuhnya tercakup dalam kerangka
teorinya.
3. Pengabaian Faktor Kognitif yang Dalam:
Pendekatan "connectionism" mungkin tidak sepenuhnya mengakui
peran penting faktor kognitif dalam belajar dan perkembangan kecerdasan.
Aspek-aspek seperti pemahaman, representasi mental, dan pemrosesan
informasi dalam proses belajar mungkin tidak terwakili secara memadai
dalam teori ini.
4. Keberlakuan dalam Konteks Modern:
Beberapa konsep dalam teori Thorndike, terutama yang berkaitan
dengan pembentukan ikatan sederhana antara stimulus dan respons,
mungkin kurang relevan dalam pemahaman modern tentang pembelajaran
yang lebih kompleks, seperti pembelajaran berbasis kognitif dan
konstruktivis.
5. Kurangnya Pemahaman tentang Proses Internal:
Pendekatan Thorndike cenderung lebih berfokus pada aspek
eksternal, seperti stimulus dan respons yang dapat diamati, tanpa
memberikan pemahaman yang dalam tentang proses internal yang terjadi

16
dalam pikiran individu selama proses belajar. Ini mengabaikan pentingnya
pemahaman tentang pemrosesan kognitif yang terjadi dalam otak.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan dan teori yang dikembangkan oleh Alfred Binet dalam
mengukur kecerdasan anak-anak memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap perkembangan pengukuran kecerdasan modern. Melalui
pengembangan Skala Binet-Simon, Binet memperkenalkan konsep usia
mental, di mana kecerdasan seorang anak dinilai berdasarkan tingkat
perkembangannya sesuai dengan kelompok usia. Konsep utama teori
"connectionism" yang dikembangkan oleh Edward Thorndike adalah bahwa
pembelajaran adalah pembentukan koneksi atau ikatan antara stimulus dan
respons. Pendekatan ini menekankan asosiasi antara situasi dan tanggapan
sebagai dasar pembelajaran.
Secara keseluruhan, pendekatan Binet dan Thorndike telah
memberikan fondasi penting bagi pemahaman kita tentang pengukuran
kecerdasan, proses belajar, dan perkembangan kognitif. Meskipun
keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, konsep-konsep yang
diperkenalkan oleh keduanya tetap berpengaruh dalam pengembangan
teori-teori modern tentang kecerdasan dan pembelajaran.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran yang dapat
diusulkan untuk mengembangkan dan menerapkan pendekatan dan teori
yang dikemukakan oleh Alfred Binet dan Edward Thorndike dalam konteks
pendidikan dan psikologi modern:
1. Pengembangan Tes Kecerdasan yang Inklusif: Dalam pengukuran
kecerdasan, dianjurkan untuk mengembangkan tes yang lebih inklusif dan
holistik, mengintegrasikan aspek-aspek kognitif, emosional, dan sosial. Hal
ini akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang potensi individu
dan membantu menghindari reduksionisme dalam mengukur kecerdasan.

18
2. Integrasi Konsep "Connectionism" dalam Metode Pengajaran:
Pendidik dapat mengintegrasikan konsep "connectionism" dalam metode
pengajaran dengan memberikan respons positif dan penguatan atas prestasi
belajar siswa. Pendekatan ini dapat memberikan stimulus yang mendukung
pembentukan asosiasi positif antara situasi belajar dan respon belajar.
3. Pemanfaatan Teknologi dalam Pengukuran Kecerdasan: Dalam era
teknologi modern, pendekatan Binet dan Thorndike dapat diintegrasikan
dengan teknologi yang ada untuk mengembangkan alat pengukuran dan
metode pengajaran yang lebih interaktif dan adaptif. Ini dapat
memaksimalkan potensi belajar individu.
4. Peningkatan Kesadaran akan Konteks Kultural dan Bahasa: Dalam
pengembangan tes dan metode pengajaran, penting untuk memperhatikan
konteks budaya dan bahasa. Pengukuran dan pembelajaran yang lebih
responsif terhadap budaya akan menghindari bias dan memastikan validitas
dalam evaluasi.

19
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A. (1986). Historical development of modern mental testing. The
Psychological Record, 36(4), 449-460.
Binet, A., & Simon, T. (1916). The development of intelligence in children.
Vineland: Publications of the Training School at Vineland New Jersey.
Catania, A. C. (2013). Learning (5th ed.). Sloan Publishing.
Coon, D., & Mitterer, J. O. (2015). Introduction to psychology: Gateways to mind
and behavior (14th ed.). Cengage Learning.
Domjan, M. (2003). The Principles of Learning and Behavior (5th ed.).
Wadsworth/Thomson Learning.
Hilgard, E. R., & Bower, G. H. (1975). Theories of learning (4th ed.). Prentice-Hall.
Hunt, E. (2011). Human intelligence. Cambridge University Press.
Kimble, G. A., & Perlmuter, L. C. (1970). Readings in learning and human abilities.
Crowell.
Lohman, D. F. (2005). Cognitive Abilities Testing. Annual Review of Psychology,
56, 623-649.
Miller, N. E., & Dollard, J. (1941). Social learning and imitation. Yale University
Press.
Sternberg, R. J., & Grigorenko, E. L. (2002). The general factor of intelligence:
How general is it?. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Thorndike, E. L. (1911). Animal intelligence: An experimental study of the
associative processes in animals. Macmillan.
Thorndike, E. L. (1913). Educational psychology: The psychology of learning.
Teachers College, Columbia University.
Thorndike, E. L. (1920). Intelligence and its uses. Harper's Magazine, 140, 227-
235.
Thorndike, E. L. (1924). Transfer of Learning.
Thorndike, E. L. (1932). The fundamentals of learning. New York, NY: Teachers
College, Columbia University.
Yerkes, R. M. (1915). A point scale for measuring mental ability. Journal of
Educational Psychology, 6(4), 185-197.

20

Anda mungkin juga menyukai