Anda di halaman 1dari 20

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

INTELEGENSI, KOGNISI & METAKOGNISI

Dosen Pembimbing :

Bella Cintya Puspitaningrum

Disusun Oleh :

Aprilia Saesari.N (17518635)


Ardian Majid (11518015)
Cantika Putri Gardinia (11518498)
Lisnanda Nur Parlina (13518808)
Wahyu Indah Jatifah (17518288)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa hingga saat ini masih memberikan kita
nikmat iman dan kesehatan, sehingga kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas
penulisan makalah “Intelegensi, Kognisi, dan Metakognisi”. Tidak lupa pula kami ucapkan
terima kasih kepada Ibu Bella Cintya Puspaningrum yang telah membimbing dan memberikan
tugas ini.
Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan edukasi seputar
permasalahan mengenai intelegensi, kognisi dan metakognisi. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian makalah kami ini dapat kami
perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Kami
juga yakin bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna dan masih membutuhkan kritik serta
saran dari pembaca , untuk menjadikan makalah ini lebih baik ke depannya

Depok,20 Maret 2019


Daftar Isi
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
I.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
I.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 2
2.1 Pengertian-Pengertian ................................................................................................................ 2
2.2 Perkembangan Teori Inteligensi................................................................................................ 3
2.3 Hubungan Inteligensi dengan Bakat, Kreativitas, dan Prestasi ............................................. 5
2.4 Metakognisi ................................................................................................................................. 5
2.5 Pendekatan Pemrosesan Informasi ........................................................................................... 8
BAB III................................................................................................................................................. 13
PENUTUP............................................................................................................................................ 13
3.1 Simpulan .................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 14

i
BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Manusia hidup dengan senantiasa menghadapi permasalahan, setiap permasalahan
harus dipecahkan agar manusia memperoleh keseimbangan dalam hidup. Untuk itu diperlukan
kemampuan-kemampuan pemecahannya dengan menggunakan pengertian serta simbol-
simbol. Definisi ini dikemukakan oleh (Garrett,1946). Kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungan atau belajar dari pengalaman itulah yang kita sebut sebagai inteligensi. Inteligensi
itu setidaknya mencakup kemajuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang
memerlukan pengertian dan simbol-simbol. Pengaturan kegiatan kognitif merupakan suatu
kemahiran tersendiri. Orang yang memiliki kemampuan kognitif tinggi akan mampu
mengontrol dan menyalurkan aktivitas kognitif yang berlangsung dalam dirinya sendiri. Uraian
sebelumnya bahwa metakognisi pada dasarnya adalah kemampuan belajar individu mengenai
bagaimana cara belajar itu dilakukan. Sehingga ketiga aspek tersebut harus diketahui karena
sangat penting dalam kehidupan.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Inteligensi, Kognisi, dan Metakognisi ?
2. Bagaimana pendekatan pemrosesan informasi ?
3. Bagaimana peran Metakognisi dalam proses belajar ?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Mendefinisikan apa itu Inteligensi, Kognisi, dan Metakognisi.
2. Mengetahui bagaimana pendekatan pemrosesan informasi.
3. Mengetahui peranan Metakognisi dalam proses belajar.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian-Pengertian

1. Kognisi
Beberapa ahli psikologi kognitif mendeskripsikan kognisi sebagai suatu kegiatan
untuk mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan yang
dilakukan oleh organisme (khususnya manusia). Psikologi kognitif adalah studi tentang
proses mental atau studi yang membahas mengenai mekanisme-mekanisme dasar yang
melandasi pikiran manusia. Kognisi adalah aktivitas-aktivitas mental yang meliputi
pemerolehan, penyimpanan, pengambilan, dan penggunaan pengetahuan. Psikologi kognitif
berkaitan dengan bagaimana seseorang mempersepsi, mempelajari, mengingat, dan
mengingat sebuah informasi (Sternberg, 1999).
Dari beberapa pengertian kognisi di atas dapatlah kita simpulkan bahwa kognisi
adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan dengan proses mental manusia yang
meliputi pemerolehan, penyimpanan, pengambilan, dan juga penggunaan pengetahuan.

2. Inteligensi.
Dalam hal definisi, banyak para ahli yang menyatakan definisi tentang inteligensi
dengan beberapa variasi perbedaan, salah satunya yang dikemukakan oleh Thornburg,
Freeman dan Robinson. Menurut Thornburg inteligensi adalah ukuran bagaimana individu
berperilaku, diukur dengan interaksi interpersonal, perilaku dan prestasi individu. Dapat
juga didefinisikan dalam beberapa cara : (1) kemampuan berpikir abstrak, (2) kemampuan
mempertimbangkan, memahami dan menalar, (3) kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan, (4) kemampuan total individu dalam bertindak dengan sengaja, rasional dalam
lingkungan. Menurut Freeman inteligensi adalah : (1) adaptasi atau penyesuaian individu
dengan keseluruhan lingkungan, (2) kemampuan untuk belajar, (3) kemampuan untuk
berpikir abstrak. Dari bermacam-macam pendapat ahli tersebut, dapat dilihat gambaran
tentang bagaimana ragamnya pengertian atau definisi mengenai inteligensi itu. Menurut
Morgan ada dua pendekatan yang pokok dalam mendefinisikan inteligensi yaitu

2
(1) faktor-faktor yang membentuk inteligensi (teori faktor) dan (2) pendekatan yang melihat
sifat proses intelektual itu sendiri (teori orientasi - proses). Inteligensi merupakan
kemampuan manusia yang bersifat potensial dan kecakapan umum, dan kecakapan ini dapat
terwujud dengan bantuan lingkungan yang mendukung.
Berdasarkan pengertian di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwasanya inteligensi adalah
ukuran individu bagaimana berprilaku, kemampuan berpikir individu untuk
mempertimbangkan, memahami, dan berfikir secara abstrak untuk pembelajaran terhadap
lingkungan sekitar dalam upaya beradaptasi.

2.2 Perkembangan Teori Inteligensi.


Beberapa ahli mencoba memberikan penjelasan teoretis mengenai inteligensi.
Beberapa di antara mereka adalah Lewis Terman, Charles Spearman, Sternberg, Louis L
Thurstone, JP Guilford dan Raymond Bernard Cattel. Teori-teori mereka dapat dijelaskan
sebagai berikut.

Lewis Terman (1900) Terman melanjutkan kerja yang dilakukan oleh Binet dalam
melakukan pengukuran inteligensi dengan mempertahankan konsep Binet mengenai
usia mental . Menurut Terman, inteligensi merupakan satu kemampuan tunggal yang
disebut usia mental (mental age). Usia mental adalah kemampuan yang seharusnya
dimiliki rata-rata anak pada usia tertentu. Dia mendefinisikan inteligensi sebagai
kemampuan untuk berpikir abstrak (Winkel, 1996). Dia yakin bahwa inteligensi
merupakan faktor tunggal yang merupakan kemampuan individu dalam verbalisasi
dan berpikir abstrak. Menurut Thornburg (1984), inteligensi merupakan
monogenetik karena didasarkan pada faktor umum tunggal (general, disingkat g)
yang diwarisi. Selain usia mental, dikenal pula konsep usia kronologis
(chronological age). Usia kronologis adalah usia anak menurut perhitungan
kalender. Ukuran inteligensi (intelligence quotient) merupakan rasio perbandingan
antara usia mental dengan usia kronologis. Jika inteligensi diberikan notasi dengan
IQ, usia mental dengan MA dan usia kronologis dengan CA, maka dapat disajikan

rumus perhitungannya berikut :
IQ = Dari rumus di atas
diketahui bahwa pada anak yang mempunyai inteligensi

normal maka MA = CA atau MA sama dengan MA rata- rata anak seusianya. Anak
yang mempunyai MA > CA mempunyai inteligensi di atas rata-rata, dan anak yang
mempunyai MA < CA mempunyai inteligensi di bawah rata- rata.
 
Charles Spearman (1927) Menurut Spearman, inteligensi bukanlah kemampuan

3
tunggal, melainkan terdiri dari dua faktor, sehingga teorinya dikenal sebagai teori
inteligensi dwifaktor atau bifaktor. Kecerdasan dapat dibagi menjadi dua yaitu

4
kecerdasan umum (general ability) dan kecerdasan khusus (specific ability), sehingga inteligensi
mempunyai dua faktor. Dua faktor itu adalah faktor yang bersifat umum (general factor, disingkat
g) dan yang bersifat khusus (specific factor, disingkat s). Faktor umum mendasari semua tingkah
laku, sedang faktor khusus hanya mendasari tingkah laku tertentu. Menurut Suryabrata (2002) ,
faktor umum bergantung kepada keturunan dan faktor khusus bergantung kepada pengalaman
(lingkungan, pendidikan). Setiap masalah dipecahkan menggunakan kombinasi antara inteligensi
umum dan spesifik. Menurut Winkel (1996), inteligensi adalah hasil perpaduan antara faktor
umum dan sejumlah faktor khusus. Perpaduan faktor g dan s bersifat unik untuk setiap orang,
sehingga ada perbedaan individu satu sama lain. Menurut Spearman (Atkinson, Atkinson, Smith
dan Bem), semua individu memiliki faktor inteligensi umum (g) dalam jumlah yang bervariasi.
Seseorang dapat dikatakan secara umum cerdas atau normal tergantung pada jumlah (g) yang ia
miliki. Faktor (g) Sternberg (1931) Menurut Sternberg inteligensi mempunyai tiga bagian
sehingga teorinya dikenal dengan teori inteligensi triarkhis. Tiga bagian inteligensi itu adalah
konseptual, kreatif dan kontekstual (Good dan Brophy, 1990). Pertama, konseptual adalah
komponen pemrosesan informasi yang digunakan dalam inteligensi. Menurut Winkel (1996),
bagian konseptual mempunyai tiga fungsi yaitu komponen pengatur dan pengontrol
(metacomponent atau metacognition), komponen pelaksanaan (performance) dan komponen
untuk memperoleh informasi baru (knowledge acquisition). Kedua, kreatif merupakan
kemampuan seseorang untuk menghadapi tantangan baru secara efektif dan mencapai taraf
kemahiran dalam berpikir sehingga mudah berhasil mengatasi segala permasalahan yang muncul
. Ketiga, kontekstual adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam lingkungan yang
memungkinkan akan berhasil, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengadakan perubahan
terhadap lingkungan bila perlu, misalnya memilih kasus, menyesuaikan dengan lingkungan kerja
baru dan kelincahan pergaulan social.


Thurstone (1938) Thurstone beranggapan bahwa tidak ada faktor g seperti dalam teori
spearman. Kemampuan umum bukannlah faktor g melainkan kombinasi faktor-faktor c.
Faktor c adalah kemampuan mental utama (primary mental abilities) yang merupakan
kombinasi dari tujuh faktor umum. oleh karenanya teori Thurstone dikenal sebagai teori
kemampuan mental utama. Thurstone juga memandang bahwa inteligensi bersifat
multifaktor , faktor -faktor yang membentuknya adalah faktor umum dan faktor khusus.

Faktor umum terdiri dari tujuh faktor yang membentuk prilaku tertentu yang

5
bersifat umum . Faktor khusus adalah faktor-faktor yang mendasari prilaku yang bersifat
khusus . 7 primary mental abilities: (1) kemampuan dalam pemahaman Bahasa
(2) kemampuan berfikir logis (3) kemampuan dalam mendeteksi persamaan/perbedaan
dalam gambar (4) kemampuan berhitung (5) kemampuan berfikir tentang kosakata
secara cepat (6) ingatan asosiatif (7) kemampuan dalam menentukan bentuk benda
dalam posisi yang berbeda.


JP Guilford (1967) Menurut Guil ford , faktor yang membentuk inteligensi bukan hanya
satu faktor (Terman), dua faktor (Spearman), tiga faktor (Sternberg) atau tujuh faktor
(Thurstone), melainkan 120 faktor. Berdasarkan analisis faktor, Guilford mengusulkan
model berbentuk kubus yang disebut model struktur intelektual dengan 120 faktor.
Sejumlah 120 faktor itu merupakan kombinasi dari tiga dimensi. Ketiga dimensi
inteligensi itu adalah dimensi operasi/proses, dimensi isi/materi/ konten, dan dimensi
hasil/produk (Guilford, 1971). Operasi mempunyai lima faktor yaitu kognisi, memori,
berpikir konvergen, berpikir divergen dan evaluasi. Konten mempunyai empat faktor
yaitu figural, simbolik, semantik dan perilaku. Sedang produk mempunyai enam faktor
yaitu unit, kelas, hubungan, sistem, transformasi dan implikasi. Secara keseluruhan

 inteligensi mempunyai 5 x 4 x 6 = 120 faktor.


Raymond Bernard Cattel (1965) Lebih lanjut, Raymond Bernard Cattel
mengklasifikasikan kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu inteligensi fluid (gf)
dan inteligensi crystallized (gc). Inteligensi fluid merupakan kemampuan yang berasal
dari faktor bawaan biologis yang diperoleh sejak kelahirannya dan lepas dari pengaruh
pendidikan dan pengalaman. Sedangkan inteligensi crystallized merupakan
kemampuan yang merefleksikan adanya pengaruh pengalaman, pendidikan dan
kebudayaan dalam diri seseorang, inteligensi ini akan meningkat kadarnya dalam diri
seseorang seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman dan keterampilan-
keterampilan yang dimiliki oleh individu. Karakteristik dari inteligensi fluid cenderung
tidak berubah setelah usia 14 atau 15 tahun, sedangkan inteligensi crystallized masih

dapat terus berkembang sampai usia 30 - 40 tahun bahkan lebih.

Berdasarkan pemaparan diatas dapatlah kita simpulkan bahwa inteligensi adalah


kemampuan tunggal yang disebut dengan usia mental, dimana indidvidu dapat berpikir secara
absrak yang di pengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga pengalamnnya untuk bisa
memecahkan subuah masalah yang sedang dihadapinya.

6
2.3 Hubungan Inteligensi dengan Bakat, Kreativitas, dan Prestasi.
Pada diri manusia terdapat 3 kemampuan yang saling berhubungan yaitu inteligensi,
bakat, dan kreativitas. Inteligensi merupakan potensial umum (general potential ability). Bakat
merupakan kemampuan potensial khusus (specific potential ability). Kreativitas berhubungan
dengan kemampuan dan pola mendekati masalah dengan cara yang berbeda. Walaupun
inteligensi berhubungan dengan prestasi, inteligensi hanya salah satu faktor yang menentukan
prestasi. Faktor inteligensi akan lebih baik meramalkan prestasi jika dibantu dengan faktor lain.
Kemungkinan tersebut dapat direalisasikan tergantung pula kepada pribadi dan kesempatan
yang ada.

2.4 Metakognisi.
Metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada awal tahun 1970an, kata
metakognisi berasal dari kata metamemory. Flavell mempersepsikan metakognisi sebagai interaksi
dari beberapa faktor (1) metacognitive knowledge, (2) metacognitive experiences, (3) tujuan dari
aktifitas, (4) strategi yang dilakukan. Metakognitif adalah kemampuan untuk mengontrol ranah atau
aspek kognitif. Metakognitif mengendalikan enam tingkatan aspek kognitif yang didefinisikan oleh
Benjamin Bloom dalam taksonomi Bloom yang terdiri dari tahap ingatan, pemahaman, terapan,
analisis dan sintetis dan evaluasi. Pada tahun 1991 taksonomi ini direvisi oleh David Krathwohl
menjadi mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (creating)
sesuatu sesuai dengan kemampuan siswa.
Beberapa ahli mendefinisikan metakognisi sebagai ‘berpikir mengenai berpikir’,
sementara beberapa ahli lain mendefinisikan sebagai mengetahui tentang mengetahui.Desmita
(2010) mengemukakan bahwa metakognitif atau metakognisi adalah sebuah konstruksi
psikologi yang kompleks yang meliputi pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi atau
pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya.
Berdasarkan definisi ini, metakognitif terbagi menjadi dua, yaitu kesadaran
metakognitif dan pengetahuan metakognitif. Kesadaran metakognitif berkembang dari hanya
sekedar pengetahuan (knowledge) dan pengaturan pengetahuan (regulation of cognition)
menjadi strategi dan keterampilan yang mendorong peserta didik memecahkan permasalahan
dan berpikir tingkat tinggi (Schraw & Dennison, 1994). Berdasarkan perkembangan

7
kesadaran metakognitif didefinisikan kemampuan dalam melakukan refleksi, memahami, dan
mengontrol pembelajaran. Adapun pengetahuan metakognitif terdiri atas pengetahuan untuk
mencari informasi/sumber informasi yang dibutuhkan sebagai usaha dari tugas yang diberikan
(pengetahuan deklaratif), pengetahuan mengenai pendapat pribadi terhadap tugas yang
diberikan (pengetahuan prosedural), dan pengetahuan mengenai kapan serta mengapa
menggunakan strategi tersebut untuk memecahkan suatu masalah (pengetahuan kondisional).

1. Peranan Metakognisi dalam Proses Belajar


Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada dasarnya
adalah kemampuan belajar individu bagaimana cara belajar itu dilakukan, atau bisa juga suatu
kegiatan mengontrol secara sadar tentang proses kognitifnya sendiri. Maka dari itu metakognisi
dapat memberikan peran dalam proses belajar tiap individu baik itu secara optimal ataupun
tidak.
Peran-peran yang mungkin diberikan metakognisi dalam proses belajar :
 
 Mengembangkan rencana kegiatan belajar.
 
 Mengidentifikasi dan menggunakan pengalamannya sebagai sumber pelajaran.
 
 Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya dalam kegiatan belajar.
 
 Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya.


Belajar dan mengambil manfaat dari pengalaman orang-orang tertentu yang
telah berhasil dalam bidang tertentu.
Peran metakognisi memberikan andil yang besar dalam proses dan juga perkembangan
belajar tiap individu, akan tetapi pada prakteknya tidak bisa menjamin prestasi akademik, karena
kemampuan kognitif tiap individu berbeda begitu juga dengan penerapannya.
Seiring dengan perkembangan teori pembelajaran dan evaluasi, maka berkembang pula
cara guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama yang berkaitan dengan
domain kognitif. Saat ini, guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar cenderung hanya
memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa memperhatikan proses kognitif, khususnya
pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Akibatnya upaya-upaya untuk
memperkenalkan metakognitif dalam menyelesaikan masalah kepada siswa sangat kurang atau
bahkan cenderung diabaikan.

8
Pendekatan Penerimaan Informasi
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-
kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan
untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan
kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran.
Ketika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau pemantau
bekerjanya sistem yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan informasi ke
dalam long-term memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah
(materi kreativitas).
Berbeda dengan Piaget, para pakar psikologi pemrosesan informasi tidak menggambarkan
perkembangan kognitif dalam tahap-tahap atau serangkaian subtahap tertentu. Sebaliknya, teori
pemrosesan informasi lebih menekankan pentingnya proses-proses kognitif atau menganalisis
perkembangan keterampilan kognitif, seperti perhatian, memori, metakognisi dan strategi kognitif.
Teori pemrosesan informasi ini setidaknya didasarkan atas tiga asumsi umum, pertama, pikiran
dipandang sebagai suatu sistem penyimpanan dan pengembalian informasi. Kedua, individu-
individu memproses informasi dari lingkungan, dan ketiga, terdapat keterbatasan pada kapasitas
untuk memproses informasi dari seorang individu.
Berdasarkan pada asumsi-asumsi di atas, dapat dipahami bahwa teori pemrosesan
informasi lebih menekankan pada bagaimana individu memproses informasi tentang dunia
mereka, bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, bagaimana informasi disimpan dan
disebarkan, dan bagaimana informasi diambil kembali untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas
yang kompleks, seperti memecahkan masalah dan berpikir. Jadi inti dari pendekatan
pemrosesan infomasi ini adalah proses memori dan proses berpikir.

9
2.5 Pendekatan Pemrosesan Informasi

Pendekatan pemrosesan informasi adalah pendekatan kognitif di mana anak mengolah


informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut. Inti
dari pendekatan ini adalah proses memori dan proses berpikir . Menurut pendekatan ini, anak
secara bertahap mengembangkan kapasitas untuk memproses informasi, dan karenanya secara
bertahap pula mereka bisa mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang kompleks.
Secara sederhana analogi sistem pemrosesan informasi aktif yang dikemukakan oleh
psikologi kognitif untuk menggambarkan hubungan antara kognisi dengan otak adalah dengan
melihat sistem kerja komputer yang seakan-akan menjelaskan bagaimana kognisi manusia bekerja
dengan menganalogikan hardware sebagai otak fisik dan software sebagai kognisi.
Menurut Robert S. Siegler ada tiga karakteristik utama pendekatan pemrosesan
informasi, yaitu :
1. Proses Berpikir (Thinking)
Menurut pendapat Siegler (2002), berpikir (thinking) adalah pemrosesan informasi.
Dalam hal ini Siegler memberikan perspektif luas tentang apa itu penyandian (encoding),
merepre-sentasikan, dan menyimpan informasi dari dunia sekelilingnya, mereka sedang
melakukan proses berpikir. Siegler percaya bahwa pikiran adalah sesuatu yang sangat fleksibel,
yang menyebabkan individu bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
lingkungan, tugas, dan tujuan. Tetapi, ada batas kemampuan berpikir manusia ini. Individu
hanya dapat memerhatikan sejumlah informasi yang terbatas pada satu waktu, dan kecepatan
untuk memproses informasi juga terbatas.

10
2. Mekanisme Pengubah (Change Mechanism)
Siegler (2002) berpendapat bahwa dalam pemrosesan informasi fokus utamanya adalah
pada peran mekanisme pengubah dan perkembangan. Dia percaya bahwa ada empat
mekanisme yang bekerja sama menciptakan perubahan dalam keterampilan kognitif anak:
encoding (penyandian), otomatisasi, konstruksi strategi, dan generalisasi.

11
a. Encoding (penyandian)
Encoding adalah proses memasukkan informasi ke dalam memori . Seperti halnya teori
Gagne yang menyatakan informasi dipilih secara selektif, maka dalam encoding menyandikan
informasi yang relevan dengan mengabaikan informasi yang tidak relevan adalah aspek utama
dalam problem solving. Namun, anak membutuhkan waktu dan usaha untuk melatih encoding
ini, agar dapat menyandi secara otomatis.
Ada enam konsep yang dikenal dalam encoding, yaitu :
1) Atensi
Atensi adalah mengonsentrasikan dan memfokuskan sumber daya mental. Salah satu
keahlian penting dalam memerhatikan adalah seleksi. Atensi bersifat selektif karena sumber
daya otak terbatas.
2). Pengulangan (rehearsal)
Pengulangan (rehearsal) adalah repitisi informasi dari waktu ke waktu agar informasi lebih
lama berada di dalam memori. Pengulangan akan bekerja dengan baik apabila murid perlu
menyandikan dan mengingat daftar item untuk periode waktu yang singkat.
3). Pemrosesan mendalam
Setelah diketahui bahwa pengulangan (rehearsal) bukan cara yang efisien untuk menye-
diakan informasi untuk memori jangka panjang (Fergus Craik dan Robert Lockhart 1972)
menyatakan bahwa kita dapat memproses informasi pada berbagai level.
4) Elaborasi
Elaborasi adalah ekstensivitas pemrosesan memori dalam penyandian. Jadi saat anda
menyajikan konsep demokrasi kepada murid, mereka kemungkinan mengingatnya dengan
lebih baik jika mereka diberi contoh lebih bagus dari demokrasi. Mencari contoh adalah cara
yang bagus utuk mengelaborasi informasi. Misalnya, referensi diri (self- reference) adalah
cara yang efektif untuk mngelaborasi informasi.
5). Mengkonstruksi citra (imaji)
Ketika kita mengkonstruksi citra dari sesuatu, kita sedang mengelaborasi informasi. Allan
Paivio (1971, 1986) percaya bahwa memori disimpan melalui satu atau dua cara: sebagai
kode verbal atau sebagi kode citra/imaji. Paivio mengatakan bahwa semakin detail dan unik
dari suatu kode citra, maka semakin baik memori anda dalam mengigat informasi itu. Para
peneliti telah menemukan bahwa mengajak anak untuk menggunakan imaji guna mengingat
informasi verbal adalah cara yang baik bagi anak yang lebih tua ketimbang anak yang lebih
muda.

12
6). Penataan
Apabila murid menata (mengorganisasikan) informasi ketika mereka menyediakanya, maka
memori mereka akan banyak terbantu. Semakin tertata imformasi yang disampaikan,
semakin mudah untuk mengingatnya. Ini terutama berlaku jika menata imformasi secara
hirarkis atau menjelaskannya. Chunking (“pengemasan”) adalah strategi penataan memori
yang baik, yakni dapat mengelompokkan atau “mengepak” informasi menjadi unit-unit
“higher order” yang dapat diingat sebagai satu tunggal. Chunking dilakukan dengan
membuat sejumlah besar informasi menjadi lebih mudah dikelola dan lebih bermakna.

b. Otomatisasi
Otomatisasi adalah kemampuan untuk memproses informasi dengan sedikit atau tanpa
usaha. Peristiwa ini terjadi karena pertambahan usia dan pengalaman individu sehingga
otomatis dalam memproses informasi, yaitu cepat dalam mendeteksi kaitan atau hubungan dari
peristiwa-peristiwa yang baru dengan peristiwa yang sudah tersimpan pada memori dan
akhirnya akan menemukan ide atau pengetahuan baru dari setiap kejadian.

c. Konstruksi Strategi
Konstruksi strategi adalah penemuan prosedur baru untuk memproses informasi. Dalam
hal ini Siegler menyatakan bahwa anak perlu menyandikan informasi kunci untuk suatu
problem dan mengkoordinasikan informasi tersebut dengan pengetahuan sebelumnya yang
relevan untuk memecahkan masalah.

d. Generalisasi
Untuk melengkapi mekanisme pengubah, maka manfaat dari langkah ketiga yaitu konstruksi
strategi akan terlihat pada proses generalisasi, yaitu kemampuan anak dalam mengaplikasikan
konstruksi strategi pada permasalahan lain. Pengaplikasian itu melalui proses transfer, yaitu suatu
proses pada saat anak mengaplikasikan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya untuk
mempelajari atau memecahkan problem dalam situasi yang baru.

13
3. Modifikasi Diri

Modifikasi diri dalam pemrosesan informasi secara mendalam tertuang dalam


metakognisi, yang berarti kognisi atau kognisi atau mengetahui tentang mengetahui, yang di
dalamnya terdapat dua hal yaitu pengetahuan kognitif dengan aktivitas kognitif.
Pengetahuan kognitif melibatkan usaha monitoring dan refleksi pada pemikiran
seseorang pada saat sekarang, sedangkan aktivitas kognitif terjadi saat murid secara sadar
menyesuaikan dan mengelola strategi pemikiran mereka pada saat memecahkan masalah dan
memikirkan suatu tujuan.
Berkaitan dengan modifikasi diri, Deanna Kuhn mengatakan metakognisi harus lebih
difokuskan pada usaha untuk membantu anak menjadi pemikir yang lebih kritis, terutama di
sekolah menengah. Baginya ketrampilan kognitif terbagi dua, yaitu mengutamakan
kemampuan murid untuk mengenali dunia, dan ketrampilan untuk mengetahui pengetahuannya
sendiri.
Michael Pressly dan rekan - rekannya seperti yang telah dikutip Santrock, mereka telah
mengembangkan model metakognitif yang disebut model pemrosesan informasi yang baik.
Model ini menyatakan bahwa kognisi yang kompeten adalah hasil dari sejumlah faktor yang
saling berinteraksi.

Aplikasi Teori Pembelajaran Pemrosesan Informasi Dalam Pembelajaran.

Dalam aplikasi teori pemrosesan informasi dalam pembelajaran, kita dapat mengambil
teori yang disampaikan oleh Gagne tentang tahapan belajar dari fakta sampai pemecahan
masalah, serta tahapan tujuan dari yang rendah sampai ke tinggi, dapat kita lihat pada
keterangan yang dituliskan Harjanto tentang pelajaran melukis, seperti berikut ini :

  alat yang dipergunakan untuk
Siswa dapat menyebutkan beberapa
mengambar berwarna (fakta).
 
 Siswa dapat mengidentifikasi warna panas dan warna dingin (konsep).


Siswa dapat menyatakan bahwa penempatan atau pemakaian kedua jenis
 warna tersebut akan saling berpengaruh (prinsip)

 komposisi warna yang harmonis
Siswa dapat melukis dengan
(pemecahan masalah)

14
Manfaat Teori Pemrosesan Informasi

Manfaat teori pemrosesan informasi antara lain:


 sehingga individu mampu beradaptasi
Membantu terjadinya proses pembelajaran
 pada lingkungan yang selalu berubah

 Menjadikan strategi pembelajaran dengan menggunakan cara berpikir yang
berorientasi pada proses lebih menonjol
 
 Kapabilitas belajar dapat disajikan secara lengkap
 
 Prinsip perbedaan individual terlayani

Hambatan- Hambatan Terhadap Implementasi Teori Pemrosesan Informasi

Hambatan-hambatan terhadap implementasi teori pemrosesan informasi antara lain:

 
 Tidak semua individu mampu melatih memori secara maksimal
 
Proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung



Tingkat kesulitan mengungkap kembali informasi-informasi yang telah
 disimpan dalam ingatan

 Tidak menyediakan deskripsi
yang memadai mengenai perubahan
perkembangan dalam kognisi
 
 Kemampuan otak tiap individu tidak sama


Kemampuan berpikir/ daya otak manusia terbatas. Individu hanya dapat memerhatikan
sejumlah informasi yang terbatas pada satu waktu, dan kecepatan untuk memproses
 informasi juga terbatas.

Anak membutuhkan waktu dan usaha untuk melatih encoding (penyandian),
agar dapat menyandi secara otomatis.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Intelegensi merupakan kemampuan berpikir individu untuk mempertimbangkan,


memahami, dan menalar secara abstrak untuk pembelajaran terhadap lingkungan sekitar dalam
upaya beradaptasi dan kognisi adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan dengan
proses mental manusia yang meliputi pemerolehan, penyimpanan, pengambilan, dan juga
penggunaan pengetahuan. Sedangkan metakognisi adalah sebuah proses berpikir untuk berpikir
atau bisa disebut dengan sederhana sebuah proses berpikir tingkat tinggi individu dalam
memahami cara kerja kognitifnya. Pada penerapannya inteligensi, kognisi, dan metakognisi
menjadi faktor utama dalam perkembangan individu baik secara psikis, akademis, dan
sosialnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Murti, H. (2011). Metakognisi dan Theory of Mind (ToM). Jurnal Psikologi Pitutur, 1(2), 53-64.
Diambil dari http://eprints.umk.ac.id/270/1/53_-_64.PDF

Metcalfe, J., & Shimamura, A. P. (1994). Metacognition: knowing about knowing. Cambridge, MA:
MIT Press.

Herlanti, Yani. (2015). Kesadaran Metakognitif dan Pengetahuan Metakognitif Peserta Didik Sekolah
Menengah Atas Dalam Mempersiapkan Ketercapaian Standar Kelulusan pada Kurikulum 2013.
Cakrawala Pendidikan, 34(3), 357-367. Di ambil dari
https://media.neliti.com/media/publications/86732- ID-kesadaran-metakognitif-dan-pengetahuan-
m.pdf

Iskandar, Srini. (2014). Pendekatan Keterampilan Metakognitif dalam Pembelajaran Sains di Kelas.
Erudio,2(2),13-20. Diambil dari
http://www.erudio.ub.ac.id/index.php/erudio/article/download/151/144

Purwanto. (2010). Intelegensi: Konsep dan Pengukurannya


JurnalPendidikandanKebudayaan, 16(4), 477-480. Di ambil dari
https://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/download/479/322

Hastjarjo, Dicky. (2004, September). Jurnal intelektual, 2(2).

17

Anda mungkin juga menyukai