Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH PERADABAN EKONOMI ISLAM DI MALAYSIA

Oleh: Arie

Abstrak
Malaysia merupakan salah satu negara yang merdeka setelah berakhirnya perang dunia kedua,
negara ini berhasil mendapatkan kemerdekaannya pada tanggal 31 Agustus 1957. Menurut
penelitian Thomson Reuters yang bekerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) pada
tahun 2013 menyatakan bahwa apabila diukur dari jumlah total aset keuangan syari’ah, Malaysia
adalah negara dengan sektor keuangan syari’ah yang cukup mau di dunia dengan besaran market
share dari perbankan syari’ah sebesar 23 persen. Apabila dianalisa, keberhasilan Malaysia ini
tidak lepas dari sejarah bagaimana para pendiri bangsa negeri Jiran ini membangun pondasi
perekonomian negaranya dengan berbagai faktor ekonomi Islam dengan kuat dan paten.
Kata kunci: Malaysia, sejarah, ekonomi islam.

A. PENDAHULUAN
Ekonomi Islam menurut Umar Chapra merupakan induk keuangan Islam, dengan sebutan
lain yakni Ekonomi Tauhid atau divine economics. Hal ini berlandaskan dengan keyakinan
bahwa seluruh faktor ataupun asbab ekonomi pada hakikatnya adalah milik Allah, dan kepada
aturan-Nya dikembalikan. Setiap tindakan ekonomi manusia harus selalu bersinggungan dengan
nilai yang secara vertikal mencerminkan moral yang baik dan secara horizontal memberikan
manfaat untuk manusia maupun makhluk lainnya. Dalam konteks inilah, sistem keuangan dan
ekonomi Islam berdasar pada nilai-nilai normatif imperatif tersebut.1
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya ekonomi kapitalis mempunyai dampak yang cukup
banyak dan cukup positif bagi peradaban umat manusia. Diantaranya adalah kemajuan dan
kemudahan fasilitas hidup serta perkembangan teknologi.2 Namun, sisi negatif dari ekonomi
kapitalis ini yakni mencuatnya jeratan hutang yang hampir dirasakan oleh seluruh negara
berkembang di dunia, maraknya kemiskinan dan krisis ekonomi yang terus menerus menyerang
dunia. Dalam hal ini, bangkitnya ekonomi Islam bak angin segar dan jawaban atas kebutuhan
ekonomi dunia yang lebih humanis3, yakni dengan berasaskan pada nilai-nilai yang sesuai
dengan al-Qur’an dan hadits, ekonomi Islam diharapkan bahkan diyakini bisa memberikan
kesejahteraan umat manusia jauh lebih baik dari sistem ekonomi kapitalis.4

1
Nur Kholis, Potret Perkembangan dan Praktik Keuangan Islam di Dunia, Millah : Jurnal Studi Agama, XVII (I), 2017,
h.1-30.
2
Fauzan, Mewujudkan Ekonomi Islan Dengan Ruh Al-‘Adl, Studi Pada YaPEIM Malaysia, Vol.02, No. 01, An-Nisbah,
Oktober 2015, h. 407.
3
Adiwarman Azwar Akrim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h.45.
4
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin.Lc dan Dra. Dahlia Husein, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), h.67.
Perekonomian berbasis syari’ah Islam ini pada dasarnya telah diaplikasikan sejak zaman
Rasullah SAW beserta para sahabatnya. Bukti kongkrit dari hal ini adalah diharamkannya
praktek riba, gharar, maisir, kedzoliman atau kecurangan dalam jual beli dalam praktek kegiatan
aktivitas ekonomi.
Bersamaan dengan pesatnya perkembangan globalisasi, praktek ekonomi Islam semakin
mengglobal dan mendunia serta mendapatkan sambutan yang positif dan amat baik dari berbagai
wilayah maupun benua di dunia, tidak hanya di kawasan Asia maupun Afrika, tetapi juga dari
wilayah Australia, Eropa, Amerika dan Kanada.5 Salah satu sistem yang paling populer dari
ekonomi Islam di mata dunia adalah sistem perbankan syari’ah yang mencapai 882 billion USD,
yang setara dengan rupiah kurang levih 11.466 triliun. Di dalam Global Islamic Finance Report
2015, dengan menetapkan 5 kriteria yakni Advocacy, Infrastructure, Human Resource, Linkages,
dan Regulation, ada 10 negara yang ditetapkan sebagai The Top 10 Centres of Excellence in
Islamic Banking and Finance, kesepuluh negara tersebut adalah :
1. Kuala Lumpur – Malaysia
2. Manama – Bahrain
3. Dubai – UAE
4. London – United Kingdom
5. Doha – Qatar
6. Kuwait – Kuwait
7. Karachi – Pakistan
8. Riyadh – Saudi Arabia
9. Jakarta – Indonesia
10. Istanbul - Turki6
Kesuksesan dan keberhasilan negara Malaysia sebagai negara nomor satu yang
mengaplikasikan sistem syari’ah atau sistem Islam disemua lini kegiatan ekonominya menjadi
acuan untuk negara-negara lainnya. Hal ini tentunya berhubungan dengan komiten Malaysia
untuk sungguh-sungguh memprektekkan, mengimplementasikan, mengaplikasikan dan
mengawasi aktivitas sektor keuangannya.
Kebijakan sistem ekonomi Islam di Malaysia sangat meminimalisir penggunaan istilah
perbankan syari’ah atau istilah ekonomi Islam yang terlalu terkesan Arab. Melainkan, perbankan
syari’ah di Malaysia tetap menggunakan istilah umum dalam ekonomi, dengan menambahkan
huruf I pada akhiran istilah tersebut, contohnya Insurance-I, sehingga dengan pendekatan seperti
ini, dapat diterima oleh masyarakat Malaysia non-Muslim.7
Menurut Thomson Reuters, Dasar Ekonomi Baru atau yang biasa disingkat dengan DEB
sejalan dengan lima komponen kunci utama dalam kemajuan perekonomian syari’ah, lima
komponen tersebut adalah program pemerintah, kepedulian sosial, perkembangan kuantitatif,
pengetahuan, dan juga kesadaran masyarakat. Dasar Ekonomi Baru (DEB) adalah buah
5
Aisyah Ayu Musyafah, Perkembangan Perekonomian Islam di Beberapa Negara di Dunia, Vol. 4 No.1, Diponegoro
Private Law Review, Februari 2019, h. 420.
6
Nur Kholis, op.cit, h. 30
7
Fauzan, op.cit, h. 411.
pemikiran Malaysia yang memadukan anatara keanekaragaman bangsanya untuk menuju
keselarasan, keseimbangan dan pemerataan ekonomi tanpa memandang unsur perbedaan
ekonomi, sosial maupun budaya. Dukungan besar yang diberikan oleh pemerintah Malaysia
terhadap ekonomi makro masyarakatnya melalui program 20 tahun DEB merupakan asal muasal
dan cikal bakal perkembangan ekonomi Islam di Malaysia yang mana dana perbankannya
disokong penuh oleh pemerintah.

B. PEMBAHASAN
A. Sejarah Peradaban Ekonomi Islam di Malaysia
Menurut sejarah yang tercatat, aktivitas dan kegiatan transaksi ekonomi yang
berlandaskan syari’ah atau berlandaskan Islam telah di praktikkan di negeri Jiran dari awal abad
ke-16 Masehi. Hal ini termaktub dalam dalam prinsip undang-undang Melaka. Tidak sedikit
negara-negara yang pada masa sebelum kemerdekaannya dipengaruhi oleh undang-undang
Melaka yang termasuk dan terlibat didalamnya aspek transaksi Islam baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Pelaksanaan undang-undang Islam di negara-negara tersebut terus
berajlan sampai akhirnya bangsa Inggris datang.
Meskipun demikian, undang-undang Melaka tidak banyak membahas perkara yang
berhubungan dengan muamalat. Pembahasan tentang muamalat hanya tertuang dalam beberapa
pasal saja, yakni dimulai dari pasal 29 sampai pasal 34. Namun, yang bekesan dan menarik dari
pasal 30 Undang-Undang Melaka ialah dibahasnya tentang haramnya riba dalam proses aktivitas
jual beli atau tukar menukar barang dalam masalah perniagaan. 8 Bukti lainnya tentang
pengaplikasian transaksi Islam di tanah Melayu adalah adanya kegiatan jual janji atau yang
dikenal dengan sebutan conditional sale. Kegiatan jual janji ini dikenal sebagai al-ba’i al-wafa
dalam prinsip kegiatan transaksi Islam. Al-ba’i berarti jual beli, sedangkan al-wafa berarti
pelunasan hutang. Jadi, secara terminologi, ba’i al-wafa’ bermakna jual beli bersyarat, yang
mana barang yang dijual dapat ditebus kembali saat tenggang waktu atau batas waktunya tiba.
Barang yang diperjualbelikan dalam sistem jual beli ini biasanya barang yang menetap atau tidak
bergerak, contohnya rumah atau tanah. Sistem jual-beli ini terjadi pada awal abad ke-5 Hijriyah
di Bukhara dan Balkh.9
Masyarakat Malaysia yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani telah
banyak mengaplikasikan prinsip jual beli secara ba’i al-wafa’. Hal ini mereka lakukan karena
mereka tidak menyukai dan tidak ingin terlibat masuk dalam pendanaan pinjaman yang
berbunga, yang mana tentunya pasti ada indikasi riba. Budaya jual-beli yang seperti inilah yang
pada akhirnya mendapatkan perhatian dalam perundangan oleh hakim-hakim yang berasal dari
Inggris. Mereka (hakim-hakim Inggris) berpendapat bahwa tujuan utama daripada adanya
transaksi jual beli adalah kemudahan untung berhutang atau yang biasa dikenal dengan kredit,
namun hal ini tidak disetujui oleh masyarakat Melayu tersebut, karena dianggap sangat
merugikan dan terlarang dalam ajaran Islam seperti yang mereka ketahui. Aplikasi jual-beli yang
8
Undang-Undang Melaka
9
A. Bakir Ihsan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), h. 278.
seperti ini masih tercantum, bahkan masih dipakai dan disahkan oleh undang-undang Malaysia
hingga saat ini, hal ini disebutkan dalam Seksyen 4 (2) Kanun Tanah Negara.10
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa saat zaman sebelum datangnya para penjajah,
sistem perbankan Islam maupun sistem perbankan umum belum resmi terbentuk secara
komprehensif. Saat itu, masyarakat Melayu hanya mengaplikasikan praktek atau transaksi mudah
dan umum dalam aktivitas ekonomi harian mereka, seperti jual-beli, barter (sistem tukar barang),
jual janji dan lain-lain sampai akhirnya datang para penjajah dari Barat yang memperkenalkan
sistem perbankan di sekitar abad ke-19.
Institusi keuangan Islam yang pertama kali dikenalkan pada sistem keuangan dan
ekonomi di Malaysia adalah dibentuknya Lembaga Urusan dan Tabung Haji atau yang biasa
disingkat dengan LUTH,11 yang saat ini dikenal dengan nama Lembaga Tabung Haji (LTH)
sejak tahun 1969.12 Asal muasal didirikannya LTH adalah sebagai salah satu lembaga tabungan
dalam sistem ekonomi Malaysia yang dibentuk guna mempermudah orang Islam untuk
menabung atau menyimpan uangnya dalam waktu atau tempo secara berangsur-angsur untuk
memenuhi hajat atau kepentingan naik haji13 dan sebagai hajat pribadi dalam bidang penanaman
modal dalam sektor perusahaan, perdagangan, investasi rumah maupun tanah dengan cara-cara
yang halal sesuai syari’at Islam.
Setelahnya, mengikuti perkembangan bank-bank Islam di berbagai negara seperti Qatar,
Mesir, Iran dan Pakistan, umat Islam di negeri Jiran ikut serta mengemukakan pendapatnya atas
keinginan didirikannya bank Islam di Malaysia. Hal ini pun berlanjut pada bulan Maret tahun
1981, ada salah satu seminar yang berjudul “Seminar Kebangsaan Konsep Pembangunan Dalam
Islam” yang diadakan di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), para perwakilan tokoh
ekonomi Muslim meminta kerajaan untuk segera mengambil tindakan dan mengubah undang-
undang pembentukan bank dan lembaga keuangan yang beroperasi dengan berlandaskan prinsip-
prinsip Islam.14
Menurut pendapat penulis, perkembangan perbankan Islam di akkhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 di Malaysia merupakan salah satu efek dari proses Islamisasi yang dilakukan
oleh beberapa tokoh reformasi Islam yang sangat berpengaruh pada masyarakat Islam guna
mengamalkan ajaran Islam secara kaffah atau menyeluruh di dalam kehidupan mereka, baik itu
dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial.

10
Fauzan, op.cit, h.412.
11
Beberapa peniliti mengemukakan bahwa LTH merupakan institusi keuangan Islam yang pertama di dunia dan
menjadi contoh terbaik dari salah satu institusi atau lembaga keuangan yang beroperasi dengan baik sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Lihat : Ausaf Ahmad. “The Evolution of Islamic Banking” dalam Encyclopedia of
Islamic Banking and Insurance, London, 1995, h.23l Ab. Mumin Ab. Ghani, Sistem Kewangan Islam dan
Pelaksaannya di Malaysia, Kuala Lumpur, 1999, h.327.
12
Ungku Abdul Aziz, Pilgrims Economy Improvement Plan, 1959; LUTH, Lembaga Urusan dan Tabung Haji Sebagai
Salah Satu Institusi Peleburan Islam, Kuala Lumpur, 1980, h.7-8.
13
Muhammad Saleh bin Haji Awang, Haji di Malaysia: Sejarah dan Perkembangannya Sejak Tahun 1300-1400H,
(Terengganu, 1986), h.255.
14
Joni Tamkin Borhan, Sistem Perbankan Islam Di Malaysia: Sejarah Perkembangan, Prinsip dan Amalannya, Bil 14,
Jurnal Ushuluddin, 2001, h.141.
Pada tahun 1983, dirumuskan Akta Bank Islam. Dengan ini maka Bank Islam Malaysia
Berhad (BIMB) resmi dibentuk pada bukan Juli tahun 1983 sebagai bank Islam pertama di tanah
Melayu ini yang selanjutnya dimasukkan ke dalam Akta Syarikat 1965. Tujuan dibentuknya
adalah untuk menjalankan operasi sebagai bank perdagangan yang berlandaskan hukum syar’i
dan memberikan kemudahan kepada semua lapisan masyarakat. Seperti bank-bank lainnya, Bank
Negara Malaysia (BNM) diberikan kuasa oleh pemerintah Malaysia untuk mengatur bank Islam
tersebut.15
BNM memiliki prinsip dan tujuan untuk merealisasikan sistem perbankan Islam di
seluruh tanah Malaysia, maka dari itu pada Maert tahun 1993 diperkenalkan dengan Skim
Perbankan Tanpa Faedah (SPTF). Melalui skema ini, lembaga perbankan konvensional
diperbolehkan untuk menawarkan layanan maupun produknya kepada perbankan Islam dengan
menggunawan sarana dan prasarana yang sudah ada sebelumnya. Namun pada tahun 1998, BNM
menyatakan bahwa penggunaan istilah “SPTF” tidak mencerminkan operasi perbankan Islam
yang dilaksanakan oleh lembaga perbankan. Oleh karenanya, BNM akhirnya mengganti istilah
“SPTF” dengan istilah baru, yaitu “Skim Perbankan Islam (SPI)” yang mulai berlaku sejak 1
Desember 1998. Yang seterusnya sistem ekonomi dan perbankan Islam di Malaysia semakin
berkembang dan maju. Pada 1 Oktober 1999, Malaysia membentuk sebuah bank Islam lainnya
yang bernama Bank Muamalat Malaysia Berhad (BMMB). Bank ini dianggap sebagai bank
Islam kedua di Malaysia sebagai salah satu usaha pemerintah kerajaan Malaysia dalam
memperkuat sektor ekonomi dan perbankan Islam di Malaysia untuk memenuhi banyaknya
permintaan masyarakatnya terhadap perbankan syari’ah.16
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan sistem ekonomi Islam di
Malaysia berawal dari kebiasaan masyarakat Melayu yang melakukan aktivitas ekonomi dengan
berasaskan syari’ah, sehingga seiring berjalannya waktu mereka mendesak dan meminta kepada
pemerintah Malaysia untuk mendukung sistem aktivitas ekonomi Islam dengan mendirikan
lembaga atau institusi keuangan Islam seperti bank Islam. Sistem ekonomi dan perbankan Islam
di Malaysia semakin berkembang dari masa ke masa karena didukung oleh aspirasi kerajaan
untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat aktivitas ekonomi, keuangan dan perbankan Islam
yang terbaik di dunia.
B. Ekonomi Malaysia Dalam Tatanan Ekonomi Islam
Masyarakat Melayu mempunyai potensi yang cukup tinggi dalam sumber dayanya,
khususnya di wilayah Malaysia itu sendiri. Kekuatan bangsa tersebut ialah sebagai bangsa yang
serumpun dan tidak terikat dengan batas-batas budaya maupun geografis dalam administratif
tertentu.17 Budaya Melayu yang berhubungan dengan ektivitas ekonomi tersebut dapat ditelaah
dari beragam kegiatan ekonomi yang telah diimplementasikan sejak dahulu hingga kini.
Aktivitas tersebut merupakan salah satu bentuk dan wujud kehidupan masyarakat Melayu yang
dapat dilihat dari beragam kegiatan ekonominya. Kegiatan ekonomi islam dalam budaya Melayu

15
Joni Tamkin Borhan, op.cit, h.144
16
Fauzan, op.cit, h.415,
17
Khadijah Ishak dkk, Pengembangan Ekonomi Islam Di Wilayah Rumpun Melayu: Peluang Dan Cabaran, Vol. 3(1),
Journal of Islamic Philantrophy&Social Finance (JIPSF), 2021, h.43
ini seringkali dijadikan sebagai objek dan produk keuangan Islam oleh lembaga-lembaga
perbankan yang ada. Beberapa kegiatan ekonomi Malaysia yang saat ini telah menjadi budaya
dalam susunan ekonomi Islam diantaranya adalah :
1. Permainan Kutu (Arisan)
Permainan kutu diartikan sebagai kegiatan atau aktivitas sebuah perkumpulan
yang mengumpulkan uang pada tenggang waktu tertentu, misal mingguan, bulanan
ataupun tahunan, yang setelahnya menentukan giliran untuk memperoleh uang tersebut
dengan cara undian.18 Meskipun belum ada pembahasan yang detail tentang jenis akad
yang dipakai dalam permainan ini, namun penulis menyimpulkan bahwa akad yang
digunakan adalah jenis akad wadi’ahi (titipan).
Permainan ini telah menjadi salah satu budaya dalam tatanan ekonomi Malaysia,
yang mana awal pembentukannya bertujuan untuk saling kerjasama dan tolong-menolong
antar sesama anggota dalam mengatasi masalah ekonomi maupun keuangan. Contoh
permainan ini adalah, misal anggota permainan kutu atau arisan berjumlah 12 orang dan
akan menggunakan sistem bulanan. Dan masing-masing membayar 100.000 setiap
minggunya, maka masing-masing anggota akan membayar 400.000 dalam kurun waktu
satu bulan. Sedangkan dengan jumlah anggota 12 orang, maka yang dihasilkan dalam
satu bulan adalah 400.000 X 12 orang = Rp4.800.000, undian ini akan berlangsung
sejumlah dengan anggota tersebut, yakni selama 12 bulan. Masing-masing anggota akan
mendapatkan haknya namun bergilir sesuai undian yang didapatkan.
2. Gadai Kebun/Pajak (Ar-Rahn)19
Gadai berarti jika terdapat suatu barang yang berharga dan menjadi jaminan
hutang, lalu barang tersebut diperbolehkan untuk diperjualbelikan guna menebus jumlah
hutang yang tidak dapat dibayar lalu hasil sisa penjualan tersebut dikembalikan kepada
pemilik asli barang.20 Biasanya kegaiatan ekonomi ini dilakukan oleh masyarakat yang
membutuhkan dana dengan cepat, mereka akan mendatangi suatu lembaga atau institusi
untuk menggadaikan barang berharga kepunyaannya yang kemudian ditukar dengan
sejumlah uang sesuai yang mereka butuhkan.
Contohnya si Fulan memiliki sebidang tanah sawah yang sudah menghasilkan, dia
mengatakan bahwa kebun tersebut sudah bisa dipanen dalam masa enam bulan lagi dan
diperkirakan akan menghasilkan sejumlah Rp10.000.000, namun si Fulan saat ini sangat
membutuhkan uang untuk keperluan sekolah anaknya, maka dari itu Fulan pergi ke
sebuah lembaga untuk menggadaikan sawahnya. Maka pihak lembaga tersebut
menyetujuinya setelah melihat kondisi sawah si Fulan tersebut dan memberikan sejumlah
uang pinjaman kepada si Fulan sejumlah yang dia butuhkan dengan waktu tempo yang
telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Selama waktu tempo

18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.48.
19
Kedua istilah ini disamakan oleh masyarakat yang melaksanakan pegadaian/pajak kebun, walaupun istilah ini
pada dasarnya berbeda secara pengertian yang mendalam, namun penulis ingin menggunakan kedua istilah
tersebut dalam satu makna dikarenakan kedua istilah ini dianggap sama oleh masyarakat yang melaksanakan
aktivitas ekonomi tersebut.
20
Joni Tamkin Borhan, “Falsafah Ekonomi dan Instrumen Ekonomi dalam Amalan Perbankan Islam di Malaysia”,
Jurnal Syariah, (Universiti Malaya: Jabatan Syariah dan Ekonomi(, h.137.
tersebut, lembaga akan mengambil hasil panen dari sawah si Fulan, kemudian jika waktu
temponya telah berakhir, maka diantara kedua belah pihak menghitung kembali berapa
jumlah yang dihasilkan dari sawah tersebut selama masa tempo dan berapa
kekurangannya atas pinjaman yang diberikan. Apabila terjadi kekurangan dari sejumlah
pinjaman, maka dianggap sebagai hutang dan sebaliknya apabila ada kelebihan maka
akan dibayar oleh lembaga tersebut kepada si Fulan.21 Dalam tatanan ekonomi Islam
aktivitas ekonomi seperti ini disebut dengan istilah Ar-Rahn.22
3. Sistem Perdua (Perdua Haiwan/Hewan atau Tanah)
Di dalam kamus kata perdua23 didefiniskan sebagai membagi dua dari hasil yang
akan didapatkan dari usaha tanah perkebunan maupun binatang ternak yang telah
disepakati oleh pengusaha dan pemiliknya. Di Malaysia, istilah perdua lebih dikenal
dengan nama pawah.24 Pawah ataupun perdua dalam istilah yang lebih umum dan luas
lebih dikenal dengan sebutan pinjaman (loan).
Tujuan dilaksanakannya sistem ini ialah untuk menambah jumlah hewan
peliharaan dan juga untuk memperbaiki strata kehidupan ekonomi masyarakat yang
berada di pedesaan ataupun perkampungan.25 Salah satu kegiatan ekonomi Malaysia ini
bertujuan untuk menolong masyarakatnya yang tidak memiliki modal untuk
mengembangkan usaha mereka, baik itu yang berhubungan dengan perkebunan, sawah
ladang maupun binatang ternak dan juga untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Pelaksanaannya yaitu dimana pada waktu yang bersamaan, pihak pemodal atau pemilik
binatang ternak akan memiliki binatang yang diperdua tersebut setelah waktu tempo
tertentu, yaitu sampai binatang ternak tersebut melahitkan anak dan dengan umur yang
sama.
Ekonomi Islam memandang jenis akad yang seperti ini sama dengan akad
mudharabah yaitu pemilik binatang adalah sebagai pemodal (Sleeping partner/shahih al-
mal) sedangkan penerima perdua atau pawah adalah pengusaha (enterpreneur/mudharib).
4. Jual Janji (Bay al-Wafa’)
Jual janji (conditional sale) yang dalam bahawa fiqh jual janji ini lebih dikenal
dengan nama bay al-wafa’. Sesuai pembahasan diawal bahwa al-bay bermakna jual-beli
sedangkan al-wafa’ berarti pelunasan atau penyelesaian hutang. Para ulama fiqih
mendefinisikan sebagai salah satu jual-beli yang dilaksanakan oleh dua pigak dengan
menjamin bahwa barang yang telah diakadkan dapat dibeli kembali oleh penjual apabila
waktu temponya berakhir dengan persetujuan kedua belah pihak.26

21
Syahpawi, Ekonomi Melayu Dalam Tatanan Ekonomi Islam,
https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/view/3827, h.182-183. Diakses pada tanggal 15
Desember 2022
22
Ibn Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, Vol. V. (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.339; al-Sarakhsi, Al-Mabsuti, Vol. XXI. (Beirut:
Dar al-Fikr, 1982), h.63.
23
Kamus Bahasa Indonesia
24
Kamus Dewan, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1989), h.922.
25
Justin K. Camoens, The Pawah Sistem in East Pahang, (Ministry of Agriculture and Lands, 1971), h.2
26
Al-Zarqa, Sharh al-Qanun al-Suri: al’Uqud al-Musammahl, (Damsyiq: Dar al-Kitab, 1968), h.23; al-Mausu’ah al-
Fiqhiyyah, J.9, (Kuwait: tp, 1987), h.48-49.
Akad ini telah banyak diimplementasikan oleh penduduk di wilayah Asia Tengah
(Bukhara) pada peretengahan abad ke 5 Hijriyah guna menghindari dari perbuatan
ekonomi yang mengandung unsur riba, lalu akad ini menyebar luas hingga di aplikasikan
juga oleh masyarakat Timur Tengah kemudian.27
Masyarakat Malaysia menjadikan akad ini menjadi salah satu budaya ekonomi
mereka dengan tujuan untuk memperoleh kemudahan kredit tanpa adanya unsur riba.
Mereka biasanya melakukan akad ini dalam bentuk penjualan tanah atau harta tetaap
milik penjual kepada pembeli dengan ikatan janji untuk membeli kembali tanah atau
harta tersebut dalam tempo yang telah dijanjikan. Dalam kurun waktu tersebut, sang
pembeli diperbolehkan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut, dan
apabila waktu tempo yang dijanjikan tersebut penjual tidak dapat memenuhi atau
membeli kembali hartanya, maka harta tersebut akan berpindah tangan menjadi milik si
pembeli.28
5. Jual Beli Berdeposit/Uang Pangkal (Bay’ al-‘Arbun)29
Dalam tatanan ekonomi Islam, akad ini berarti pembeli membayar uang
pendahuluan. Atau secara istilah dapat didefinisikan sebagai suatu jual beli yang
dilaksanakan dengan pembayaran dimuka atau pembayaran pendahuluan pada suatu
harga benda, dimana pembayaran deposit atau uang pangkal tersebut merupakan bagian
dari jumlah uang yang harus dibayar secara keseluruhan oleh pembeli apabila jual beli
tersebut berkelanjutan. Maupun sebaliknya, apabila pembeli membatalkan akadnya, maka
uang deposit atau uang pangkal tersebut menjadi milik penjual dan tidak bisa
dikembalikan lagi kepada pembeli.30
Para ahli fiqih mengaryikan jual beli dengan akad seperti ini meupakan pembelian
yang dilakukan tanpa membayar seluruh total harganya, namun pembeli hanya membayar
sejumlah uang pangkal saja sebagai awal akad dan sisanya dibayar selanjurnya jika akad
tersebut dilanjutkan. Dengan kata lain, apabila pembeli setuju, maka uang deposit ini
akan dianggap sebagai bagian dari jumlah terhadap harga barang yang dijual, namun
apabila akadnya batal maka uang tersebut dianggap hangus dan menjadi milik si penjual.
Pendapat ini berlandaskan oleh hadits Rasullah yang diriwayatkan oleh Zayd bin Aslam
yang bertanya kepada Rasul terkait Bay al-‘arbun31. Hadits ini terdalam dalam Shah Al-
Bukhari yang berarti :
“Diriwayatkan dari Ibn ‘Aun dari Ibn Sirin katanya: Seorang penyewa berkata kepada
tuan punya binatang tunggangan yang bakal disewanya: “siapakah binatang
tunggangan kamu, sekiranya saya tidak jadi menyewa binatang itu pada hari sekian

27
‘Abd al-Rahman al-Sabuni, al-Madkhal li Dirasah al-Tasyri’ al-Islami, J.1, (Damsyiq: Matba’ah al-Riyad, 1980),
h.64.
28
Saleh Buang, “Ke Arah Pengislaman Kanun Tanah Negara” dalam Fakulti Undang-Undang Universiti Malaya,
Makalah Undang-Undang Menghormati Ahmad Ibrahim, (Kuala Lumpur: DBP, 1988), h.175-176.
29
Ahmad al-Sharbasi, Al-Mu’jam al-Iqtisadi al-Islami, (Istanbul: Dar al-Jayl, 1981), h.59.
30
Ibn Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, J.2, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.122; Ibn Qudamah, Al-
Mughni, (Beirut: tp. 1984), h.313; Md. Nurdin Hj. Ngadimon, “Jual Beli Berdeposit Satu Penilaian Fiqh”, Jurnal
Syariah, J.2, Juli 1994, h.72.
31
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Talkhis al-Hibr, j.3, (Madinah, tp, 1964), h.17; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, j.4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.449-450.
(tertentu), maka bagimu bayaran ganti rugi 100 dirham”, ternyata kemudiannya
penyewa tadi tidak jadi bertolak, maka menurut shurayh: “Barangsiapa yang membuat
syarat ke atas dirinya secara sukarela tanpa paksaan, maka syarat tersebut adalah
terpakai”.32
Di dalam aktivitas dan kegiatan ekonomi masa kini, jenis akad seperti ini amat
penting dilaksanakan guna menjaga kepentingan beberapa pihak yang melakukan akad
ini, khususnya pihak penjual, yang mana penjual memiliki peluang kerugian jika pembeli
membatalkan akad tersebut. Namun dengan adanya uang pangkal atau uang deposit
tersebut menjadi jaminan untuk penjual terhadap akad yang dilakukan. Akad ini tidak
hanya dapat diaplikasikan dalam jual-beli, namun dapat juga diimplementasikan dalam
sistem sewa-menyewa atau sejenisnya.
6. Jual Beli Angsuran (Al-Bay’ Bithaman Ajil)
Jual beli angsuran merupakan jual belil yang dilaksanakan secara angsuran atau
dikenal dengan istilah kredit oleh masyarakat modern. Jual beli ini dilaksanakan dengan
sistem pembayarn secara berangsur-angsur atau dicicil. Dalam Islam, jual beli yang
dilakukan secara berangsur-angsur dan dalam tempo yang cukup lama (5 tahun keatas)
dikenal dengan istilah Al-Bay’ Bithaman Ajil.33
Aktivitas ekonomi yang seeperti ini dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat
Malaysia, mereka melakukannya tanpa menentukan jumlah angsuran yang harus dibayar
oleh pembeli pada penjual. Pembayaran yang dilakukan oleh pembeli sesuai dengan
kesanggupannya, hal inilah yang menjadi perbedaan dasar apabila dibandingkan dengan
aplikasi jual beli kredit, yang mana jumlah pembayaranna ditetapkan secara berkala di
setiap kali waktu pembayaran.

C. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, aktivitas dan kegiatan transaksi ekonomi yang berlandaskan
syari’ah atau berlandaskan Islam telah di praktikkan di negeri Jiran dari awal abad ke-16 Masehi.
Masyarakat Malaysia yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani telah banyak
mengaplikasikan prinsip jual beli secara ba’i al-wafa’. Hal ini mereka lakukan karena mereka
tidak menyukai dan tidak ingin terlibat masuk dalam pendanaan pinjaman yang berbunga, yang
mana tentunya pasti ada indikasi riba.
Perkembangan sistem ekonomi Islam di Malaysia berawal dari kebiasaan masyarakat
Melayu yang melakukan aktivitas ekonomi dengan berasaskan syari’ah, sehingga seiring
berjalannya waktu mereka mendesak dan meminta kepada pemerintah Malaysia untuk
mendukung sistem aktivitas ekonomi Islam dengan mendirikan lembaga atau institusi keuangan
Islam seperti bank Islam. Sistem ekonomi dan perbankan Islam di Malaysia semakin
berkembang dari masa ke masa karena didukung oleh aspirasi kerajaan untuk menjadikan
Malaysia sebagai pusat aktivitas ekonomi, keuangan dan perbankan Islam yang terbaik di dunia.

32
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, j.3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h.234.
33
Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1992), h.26.
Beberapa aktivitas ekonomi Islam yang merupakan budaya Malaysia diantaranya
wadi’ah, gadaian, sewaan, Al- Bay’Bithaman Ajil, Bay’ al-‘Arbun, Bay’ al-Wafa’ dan lain
sebagainya merupakan bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan berbanding lurus dengan
prinsip-prinsip Islam guna memebantu sesama dengan meningkatkan taraf ekonomi dan
kesejahteraan dikalangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Ibn. (1982). Hasyiyah Ibn Abidin, Vol. V. Beirut: Dar al-Fikr.
Ahmad, Ausaf . (1995). Encyclopedia of Islamic Banking and Insurance. London: tp.
Akrim, Adiwarman Azwa . (2004). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Press.
al-‘Asqalani, Ibn Hajar. (1964). Talkhis al-Hibr, j.3. Madinah: tp.
Al-Bukhari. (1991). Shahih al-Bukhari, j.3. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Sabuni, ‘Abd al-Rahman.(1980). al-Madkhal li Dirasah al-Tasyri’ al-Islami, J.1. Damsyiq:
Matba’ah al-Riyad.
al-Sharbasi, Ahmad. (1981). Al-Mu’jam al-Iqtisadi al-Islami. Istanbul: Dar al-Jayl.
Al-Zarqa. (1968). Sharh al-Qanun al-Suri: al’Uqud al-Musammahl. Damsyiq: Dar al-Kitab.
Al-Zarqa. (1987). al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, J.9. Kuwait: tp.
al-Zuhaili, Wahbah. (1989). al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, j.4. Beirut: Dar al-Fikr.
Antonio, Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i. (1992). Apa dan Bagaimana Bank
Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Awang, Muhammad Saleh bin Haji. (1986). Haji di Malaysia: Sejarah dan Perkembangannya
Sejak Tahun 1300-1400H. Terengganu: tp.
Aziz, Ungku Abdul. (1980). Pilgrims Economy Improvement Plan, 1959; LUTH, Lembaga
Urusan dan Tabung Haji Sebagai Salah Satu Institusi Peleburan Islam. Kuala
Lumpur: tp.
Borhan, Joni Tamkin. (2001). Sistem Perbankan Islam Di Malaysia: Sejarah Perkembangan,
Prinsip dan Amalannya, Bil 14, Jurnal Ushuluddin.141.
Borhan, Joni Tamkin. (tt). “Falsafah Ekonomi dan Instrumen Ekonomi dalam Amalan Perbankan
Islam di Malaysia”, Jurnal Syariah.137.
Buang, Saleh. (1988). “Ke Arah Pengislaman Kanun Tanah Negara” dalam Fakulti Undang-
Undang Universiti Malaya, Makalah Undang-Undang Menghormati Ahmad
Ibrahim. Kuala Lumpur: DBPh.175-176.
Camoens, Justin K. (1971). The Pawah Sistem in East Pahang. Ministry of Agriculture and Lands.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,( 1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Fauzan, (2015). Mewujudkan Ekonomi Islan Dengan Ruh Al-‘Adl, Studi Pada YaPEIM
Malaysia, Vol.02, No. 01, An-Nisbah. 407.
Ghani, Mumin Ab. (1999). Sistem Kewangan Islam dan Pelaksaannya di Malaysia. Kuala
Lumpur: tp.
Ihsan, A. Bakir. (2005). Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Intermasa.
Ishak, Khadijah dkk. (2021). Pengembangan Ekonomi Islam Di Wilayah Rumpun Melayu:
Peluang Dan Cabaran, Vol. 3(1), Journal of Islamic Philantrophy&Social Finance
(JIPSF). 43.
Kamus Bahasa Indonesia
Kamus Dewan. (1989). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kholis, Nur. (2017). Potret Perkembangan dan Praktik Keuangan Islam di Dunia, Millah :
Jurnal Studi Agama, XVII (I). 1-30.
Musyafah, Aisyah Ayu. (2019). Perkembangan Perekonomian Islam di Beberapa Negara di
Dunia, Vol. 4 No.1, Diponegoro Private Law Review. 420.
Ngadimon, Md. Nurdin Hj. (1994). “Jual Beli Berdeposit Satu Penilaian Fiqh”, Jurnal Syariah,
J.2. 72.
Qardhawi, Yusuf. (2001) Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin.Lc dan
Dra. Dahlia Husein. Jakarta: Gema Insani Press.
Qudamah, Ibn. (1984). Al-Mughni. Beirut: tp.
Rusyd, Ibn. (tt). Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, J.2. Beirut: Dar al-Fikr.
Syahpawi. Ekonomi Melayu Dalam Tatanan Ekonomi Islam. https://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/view/3827, h.182-183. Diakses pada tanggal
15 Desember 2022
Undang-Undang Melaka

Anda mungkin juga menyukai