Anda di halaman 1dari 2

KODE ETIK DALAM PROSES KONSELING

Konselor sebagai suatu profesi yang dalam pelaksanaannya berhadapan langsung dengan klien
dalam pemberian bantuan kepada klien sebagai upaya penyelesaian suatu problem, memerlukan
kemampuan maksimal dalam bidangnya agar tujuan dari konseling dapat tercapai secara optimal.
Selain kemampuan konselor yang sangat diperlukan, ada pula kode etik yang perlu diperhatikan agar
konseling dapat berjalan dengan baik dan hubungan antara konselor dan konseli senantiasa terjaga
dengan baik. Berikut ini kode etik Bimbingan dan Konseling yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia(IPBI):[1]

Konselor menghormati harkat martabat pribadi, integritas dan keyakinan klien.

Konselor menempatkan kepentingan klien di atas kepentingan pribadi.

Konselor tidak membedakan klien atas dasar suku bangsa, warna kulit, kepercayaan atau status
sosial ekonominya.

Konselor dapat menguasai dirinya dalam arti mengerti kekurangan-kekurangannya dan prasangka-
prasangka yang ada pada dirinya yang dapat mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan yang akan
diberikan serta merugikan klien.

Konselor mempunyai serta memperhatikan sifat-sifat rendah hati, sederhana, sabar, tertib, dan
percaya pada paham hidup sehat.

Konselor terbuka terhadap saran atau pandangan yang diberikan padanya, dalam hubungannya
dengan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional.

Konselor memiliki sifat tanggung jawab baik terhadap lembaga dan orang-orang yang dilayani
maupun terhadap profesinya.

Konselor mengusahakan mutu kerja setinggi mungkin. Dalam hal ini konselor perlu menguasai
keterampilan dan menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan
atas dasar ilmiah.

Konselor menguasai pengetahuan dasar yang memadai tentang hakekat dan tingkah laku orang,
serta tentang teknik dan prosedur layanan bimbingan guna dapat memberikan pelayanan dengan
sebaik-baiknya.

Seluruh catatan tentang diri klien merupakan informasi yang bersifat rahasia, dan konselor menjaga
kerahasiaan itu. Data hanya dapat disampaikan kepada orang yang berwenang menafsirkannya dan
menggunakannya, dan hanya dapat diberikan atas dasar persetujuan klien.

Sesuatu tes hanya boleh diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan
hasilnya.
Testing psikologi baru boleh diberikan dalam penanganan kasus dan keperluan lain yang
membutuhkan data tentang sifat atau diri kepribadian seperti taraf intelegensi, minat, bakat, dan
kecenderungan-kecenderungan dalam diri pribadi seseorang.

Data hasil tes psikologi harus diintegrasikan dengan informasi lainnya yang diperoleh dari sumber
lain, serta harus memperlakukannya setaraf dengan informasi lainnya.

Konselor memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes psikologi
dan apa hubungannya dengan masalahnya.

Hasil tes psikologi harus diberitahukan kepada klien yang disertai dengan alasan-alasan tentang
kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan pada pihak lain, sejauh pihak yang diberitahu itu
ada hubungannya dengan usaha bantuan pada klien dan tidak merugikan klien sendiri.

[1] Syahril dan Rizka Ahmad, Pengantar Bimbingan dan Konseling (Padang: Angkasa Raya, 1987),
hlm. 56-57.

Anda mungkin juga menyukai