Anda di halaman 1dari 6

Thursday, 17 August 2023, 11:06 WIB U Search3 HOME Informasi Iklan Kontak Kami   

HOME NASIONAL3 INTERNASIONAL3 EKONOMI3 VIDEO HALAL LIFESTYLE OPINI IQRO’

LAINNYA3

Hukum & Kriminal Pendidikan Sosial Peristiwa Klipik Bisnis Asean Timur Tengah Kesehatan Tentang Kami

Urgen, Ayo Infaq Media

PRISTAC: MODEL IDEAL


PENDIDIKAN TINGKAT SMA
Sunday, 8 December 2019, 04:59 WIB



(Wawancara dengan Dr. Adian Husaini)

Tiga tahun lalu, di bulan Desember 2016, bersama Dr. Alwi Alatas, Dr.
Muhammad Ardiansyah, dan lain-lain, Dr. Adian Husaini meluncurkan
program pendidikan tingkat SMA bernama PRISTAC (Pesantren for the Study
of Islamic Thought and Civilization). © WartaPilihan.com

PRISTAC berada di bawah naungan Pesantren at-Taqwa Depok, dimana


Dr. Adian menjadi pembinanya. Setelah tiga tahun berjalan, bagaimana
perkembangan PRISTAC saat ini?

Berikut ini wawancara wartapilihan.com dengan Dr. Adian Husaini, yang


juga Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun
Bogor.

Warpil: Setelah tiga tahun, bagaimana perkembangan PRISTAC saat


ini?

Adian:  Alhamdulillah, kami makin yakin, bahwa program ini merupakan


program pendidikan yang tepat untuk santri tingkat SMA,  dari jalur non-
formal. Ujian kelulusan menggunakan paket C. Standar Kompetensi
Lulusan secara prinsip mengacu kepada konsep pendidikan Islam, yang
kebetulan juga sejalan dengan Permendikbud No 20 tahun 2016 tentang
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Warpil: Bisa dijelaskan, seperti apa tepatnya?

Adian: Prinsip dasarnya, usia SMA (15-18 tahun) adalah usia dewasa.
Mereka bukan anak-anak lagi. Sehingga konsep pendidikannya adalah
konsep pendidikan untuk orang dewasa. Di PRISTAC para santri kita latih
untuk menjadi manusia yang mandiri; mandiri dalam pemikiran, mandiri
dalam sikap, dan mandiri dalam kehidupan. Jadi, PRISTAC bukan sekedar
pendidikan semacam pra-universitas. Para santri sudah dididik seperti
mahasiswa: belajar mandiri, membaca buku, membuat  resensi, menulis
makalah, memberikan presentasi, mengajar, menghadiri diskusi dan
seminar-seminar ilmiah, membuat produk-produk tertentu untuk dijual,
dan sebagainya.

Warpil: Apa itu tidak terlalu cepat?

Adian: Tidak! Saya sudah menelaah proses pendidikan di masa lalu, sejak
masa Nabi Muhammad saw, sampai di Indonesia sekitar tahun 1960-an.
Bahkan, SMA di masa Belanda (AMS), sudah melakukan pendidikan
seperti itu. Di pesantren-pesantren dikenal pendidikan Mu’allimin,
biasanya setingkat SMP-SMA.  Para santri tingkat Mu’allimin dulu dididik
sebagai orang dewasa yang disiapkan untuk mandiri, menjadi guru
(mu’allim).  Ki Hajar Dewantara membuat jenjang pendidikan ‘Taman
Dewasa’, yang berkisar pada umur 14-16 tahun. Riset empiris juga
menunjukkan, otak wanita rata-rata dewasa pada umur 12-14 tahun.
Sedangkan otak laki-laki dewasa pada umur 14-16 tahun. Di masa Nabi
saw, batas orang boleh ikut perang adalah 15 tahun. Itu batas umur
antara anak dan dewasa. Jadi, jangan sampai lulus pendidikan tingkat
SMA, santri atau siswa masih bersifat kekanak-kanakan, meskipun diberi
istilah baru yang bernama “remaja”.

Warpil: Sekarang banyak anak-anak lulus S-1 pun tampak belum


dewasa? Bagaimana cara ‘mendewasakan’ para peserta didik?

 Adian: Di sinilah pentingnya model pembelajaran, disamping


memperhatikan tingkatan umur. Para santri atau siswa tingkat SD-SMP,
harus diarahkan menjadi orang dewasa. Sedangkan pada usia SMA
diarahkan menjadi orang yang mandiri. Mereka harus diajar untuk
mengenal dirinya, Tuhannya, mengenal hakikat kehidupan dunia, dan
mengenal hakikat kehidupan akhirat.

Kalau di PRISTAC, ini masuk  pelajaran Islamic worldview. Para santri harus
mempelajari kitab-kitab adab, seperti Ta’limul Muta’allim, Adabul Alim wal-
Muta’allim, Gurindam 12, karya Raja Ali Haji. Model pembelajaran para
santri bukan hanya melatih mereka terampil menjawab soal-soal ujian,
tetapi mereka dilatih menjawab soal-soal kehidupan dan peduli dengan
problematika masyarakat, bangsa, dan dunia internasional.

Warpil: Apa keistimewaan lain dari PRISTAC?

Adian: Awalnya, pimpinan PRISTAC ini adalah Dr. Alwi Alatas, seorang
doktor sejarah lulusan International Islamic University Malaysia. Beliau
dulu tinggal bersama para santri PRISTAC di pesantren, sehingga kami
punya kesempatan luas untuk berinteraksi. Sekarang beliau bertugas
menjadi dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM).

Sekarang, ditektur PRISTAC adalah Dr. Muhammad Ardiansyah, yang juga


mudir Pesantren at-Taqwa. Beliau tinggal di pesantren juga.  Sekarang
ada juga Dr. Suidat, sekjen pesantren at-Taqwa.

Saya juga tinggal di pesantren dan mengajar ‘Islamic Worldview’ untuk


para santri PRISTAC.  Sejumlah ilmuwan muslim pernah mengajar para
santri PRISTAC, seperti Dr. Henri Shalahuddin, dan sebagainya. Prof. Wan
Mohammad Nor dari Malaysia sudah dua kali datang dan berdialog
dengan santri PRISTAC.

Warpil: Apa santri-santri PRISTAC juga belajar mata pelajaran SMA,


seperti matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dan sebagainya?
 Adian: Mereka akan belajar juga. Namun, pada tahap awal – sesuai
dengan konsep pendidikan berbasis adab – yang kita tanamkan adalah
adab. Artinya, mereka harus memahami pemikiran mendasar sebagai
manusia dan pelajar yang sedang menuntut ilmu. Sikap dan perilaku
yang betul itu yang pertama kali harus tertanam. Mereka harus tahu
bagaimana hormat pada guru, cinta ilmu, cinta kebersihan, cinta ibadah,
cinta dakwah, tidak malas, dan sebagainya. Jika sikap dan perilaku yang
betul itu sudah terbentuk, insyaAllah, mereka akan mengejar ilmu-ilmu
yang diperlukan, baik untuk bekal kemandirian mereka hidup di tengah
masyarakat, atau untuk bekal mereka melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Warpil: Apa model pendidikan seperti PRISTAC itu sesuai dengan


sistem pendidikan di Indonesia?

Adian: Sangat sesuai. Ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (c), UU
Sisdiknas No 20/2003, dan juga Permendikbud No 20 tahun 2016 tentang
Standar Kompetensi Lulusan. Bahwa, intinya, pendidikan kita harus
membentuk lulusan yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Kita mengambil sistem non-formal, yang diakui oleh Undang-undang
Sisdiknas.

Dalam Permendikbud No 20 tahun 2016 memberikan kriteria kelulusan


pada tiga aspek, yaitu sikap, pemikiran, dan ketrampilan. Menurut saya,
model pendidikan pesantren sangat tepat untuk mewujudkan target-
target kompetensi lulusan. Yang terpenting dalam hal ini adalah kualitas
dan keteladanan guru. Sebab, di pesantren, ada interaksi guru dan santri
selama 24 jam. Santri bisa melihat langsung kehidupan guru mereka.
Belajar ilmu dan adab.

Warpil: Lalu, apa bedanya PRISTAC dengan pesantren-pesantren


tingkat SMA atau dengan sekolah Islam berasrama (Islamic Boarding
School) lainnya?

Adian: Di PRISTAC kurikulum kami rancang sangat dinamis, mengikuti


konsep keilmuan dalam Islam, yaitu mengajarkan ilmu-ilmu fardhu ain
dan fardhu kifayah secara proporsional.  Kurikulum inti adalah adab dan
ilmu-ilmu fardhu ain. Penguasaan ilmu-ilmu fardhu kifayah dilakukan
secara proporsional berdasarkan potensi intelektual santri dan keperluan
masyarakat. Proses pembelajaran bisa berubah, jika target-target
kompetensi tertentu belum tercapai.

Warpil: Apa di PRISTAC juga ada proram Tahfidz al-Quran?

Adian: Ada, tetapi tidak kami jadikan yang utama. Sebab, yang utama
adalah adab, yakni sikap dan pola pikir mereka yang benar sebagai
seorang muslim. Ini sangat berat.  Kami dorong santri menghafal, sesuai
kemampuan. Ada yang hafal 10 juz, ada yang 3 juz.  Bahkan, untuk santri
tertentu, kami dorong lulus PRISTAC, mereka bisa hafal 30 juz. Yang kami
tekankan, adalah adab mereka kepada al-Quran. Kalau mereka sudah
paham dan cinta al-Quran, insyaAllah, dalam waktu satu tahun, mereka
bisa secara khusus mengambil program Tahfidz, sampai hafal 30 juz.
Kami sudah teliti masalah ini.  Jadi, jangan sampai Tahfidz al-Quran
menjadi beban mereka, atau mereka banyak hafal ayat-ayat al-Quran
tetapi sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan al-Quran.

Warpil: Kalau begitu, PRISTAC ini hanya untuk anak-anak pintar?

Adian: Konsep pendidikan yang ideal adalah yang berupaya


mengembangkan manusia sesuai dengan potensinya. Di PRISTAC, para
santri diberikan beban kurikulum sesuai dengan potensi intelektual dan
minat mereka. Tetapi, intinya, yang fardhu ain,  materinya sama:
misalnya, shalatnya harus baik, akhlaknya mulia, bacaan al-Quran-nya
benar, komunikasi lisan dan tulisan, dan sebagainya. Setiap anak
diberikan potensi yang berbeda oleh Allah SWT. Maka, yang pintar
diarahkan menjadi ilmuwan bidang tertentu, sesuai dengan tuntutan
kebutuhan masyarakat. Bukan berdasarkan pada angan-angan meraih
keuntungan kekayaan. Ini sesuai dengan prinsip fardhu kifayah dalam
Islam.

Maksudnya ‘prinsip fardhu kifayah’ itu bagaimana?

Adian: Misalnya, saat ini anak-anak pintar di SMA, biasanya akan memilih
program studi kuliah yang dianggap ‘keren’, seperti Kedokteran,
Akuntansi, dan sebagainya. Jarang sekali anak-anak pintar memilih
bidang bahasa, budaya, perbandingan agama, pendidikan sejarah,
pendidikan agama, pendidikan Kewargaan Negara, dan sebagainya.
Semua itu biasanya dianggap bukan jurusan favorit, karena dianggap
kurang menjanjikan masa depan. Padahal, secara kifayah (kecukupan),
jumlah yang mau jadi dokter sudah sangat berjubel. Sementara kita
masih sangat kekurangan ilmuwan setingkat Doktor dalam bidang
sejarah, bahasa, Islam dan budaya, perbandingan agama, dan
sebagainya. Jadi, sementara ini, kami mengarahkan, agar para santri yang
pintar-pintar di PRISTAC, mereka mendalami ilmu tertentu yang
diperlukan oleh masyarakat. Pada taraf ini, kami berusaha menanamkan
rasa cinta ilmu. InsyaAllah, mereka nanti akan siap mandalami ilmu apa
saja, karena ‘adab ilmu’ sudah tertanam.

Warpil: Kira-kira, lulusan PRISTAC itu nantinya akan diarahkan


kuliah dimana?

Adian: Alhamdulillah, sejak 17 Agustus 2019, di Pesantren Attaqwa sudah


kami dirikan Attaqwa College (ATCO), sehingga penguasaan ilmu dan
adab di PRISTAC akan lebih dimatangkan lagi di ATCO. Program ATCO ini
ada delapan semester, tetapi berbasis kepada lima standar kompetensi
lulusan: Adab/akhlak mulia, pemikiran Islam, bahasa Arab dan Inggris,
Teknologi Informasi, dan komunikasi lisan dan tulisan.

Alhamdulillah, dari 10 santri lulusan PRISTAC angkatan I, ada 7 orang


yang melanjutkan kuliah di ATCO. Dari ATCO mereka bisa mendalami
keilmuan lagi di kampus lain, atau terjun ke tengah masyarakat.
InsyaAllah mereka sudah lebih siap lagi. Atau, bisa juga melanjutkan
kuliah di Perguruan Tinggi formal. Selemah-lemahnya intelektual santri
PRISTAC, kita berusaha mendidik mereka agar menjadi orang yang
bermanfaat. InsyaAllah, mereka sudah bisa memimpin shalat, mengajar
mengaji, mengajar silat, berwirausaha, dan sebagainya.

Warpil: Mengapa santri-santri PRISTAC tidak ditekankan sejak awal


untuk mendalami turats Islam dan menghafal al-Quran 30, seperti di
berbagai pesantren?

Adian: Kami memandang, tantangan atau ujian iman terberat saat ini
adalah menghadapi hegemoni pemikiran-pemikiran yang destruktif
terhadap aqidah dan akhlak. Maka disamping memahami dan memeluk
aqidah Islam dengan baik, para santri juga harus memahami paham-
paham kontemporer yang bisa merusak iman, seperti paham liberalisme,
sekulerisme, pluralism agama, dan sebagainya. Jangan dianggap remeh
usaha untuk menyelamatkan iman di zaman seperti sekarang. Itulah yang
harus menjadi prioritas. Jangan sampai terjebak dalam paham yang
merusak iman. Sebab, jika iman rusak, maka amal menjadi sia-sia, tiada
berniai.

Warpil: Apa anda optimis akan masa depan PRISTAC?

Adian: Kami optimis. Sebab, secara konseptual, PRISTAC menerapkan


konsep yang digagas oleh ilmuwan besar, Prof. Syed Muhammad Naquib
al-Attas, tokoh pelopor Islamisasi ilmu dan ta’dib. Beliaulah yang pertama
kali menyampaikan bahwa akar masalah umat Islam adalah “loss of
adab”.

Dan memang, sepanjang sejarah Islam, sudah ada konsep baku


pendidikan Islam, seperti yang dirumuskan oleh Umar bin Khathab r.a.:
Taaddabuu tsumma ta’allamuu! (Beradablah kalian, kemudian berilmulah).
Konsep ini telah melahirkan sejumlah generasi gemilang dalam sejarah.

Warpil: Apa buktinya, PRISTAC ini merupakan model ideal


pendidikan tingkat SMA?

Adian: Sebagai muslim, kita diperintahkan menjadi yang terbaik.


Alhamdulillah, pada Juli 2019, PRISTAC sudah meluluskan angkatan
pertama sebanyak 10 orang. Dari 10 orang itu, ada empat orang yang
pernah mempresnetasikan makalah mereka di kampus IIUM Malaysia
dan International Islamic High School Jakarta. Satu orang (Fatih Madini)
menulis buku berjudul: Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia.

Dari PRISTAC Angkatan II juga ada 8 orang yang presentasi makalah


mereka di Malaysia. Yang lain masing-masing memiliki keunggulan,
sesuai dengan potensi mereka.

Jadi, PRISTAC ini secara konsep, insyaAllah sangat sesuai dengan konsep
ideal pendidikan Islam untuk orang yang sudah dewasa (akil-baligh), dan
secara empiris sudah terbukti hasilnya.

Tentu ada sejumlah kekurangan yang terus kami evaluasi dan kami
perbaiki. Misalnya, kemampuan bahasa Inggris. Mulai angkatan III, kami
semakin intensifkan, atas saran dari Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, saat
beliau berkunjung ke PRISTAC bulan Agustus 2019. (***7-12-2019).

by redaksi

Follow Us On  
Previous post Next post
Majelis Taklim Ordonnantie Ulama Jaman ‘Now’, antara StanUp
Komedi atau StandUp ‘Ilmu’

Comment
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment

Name* Email*

Website

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.
Post Comment

Theme Majalahpro Design by Gian MR

Anda mungkin juga menyukai