Abstrak :
Kebenaran secara luas terkandung dalam berbagai ilmu pengetahuan. Untuk memastikan
kebenaran-kebenaran tersebut maka dibutuhkan ukuran atau standar ilmiah yang dapat
digunakan secara aplikatif dalam proses pengujian. Ukuran-ukuran ilmiah ini pada intinya
dapat membantu seseorang untuk memastikan kebenaran yang terkandung dalam setiap ilmu
pengetahuan. Tujuannya ialah agar menghindari munculnya kesesatan berpikir yang
merugikan. Dengan demikian, seseorang akan memiliki horizon berpikir yang kritis dan
selektif untuk menguji setiap kebenaran yang diperolehnya dari berbagai ilmu pengetahuan.
1. Pendahuluan
1.1. Tema Pilihan : “Mengapa kebenaran selalu menjadi tolok ukur kepastian
sebuah pengetahuan?”
1.2. Tesis : “Ukuran-Ukuran Ilmiah Sebagai Landasan Uji Dalam Memastikan
Kebenaran Ilmu Pengetahuan.”
1.3. Problematika : “Mengapa ukuran-ukuran ilmiah dipandang sebagai
landasan uji untuk memastikan kebenaran ilmu pengetahuan?”
1.4. Tujuan :
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara garis besar ukuran-ukuran yang
digunakan dalam memastikan kebenaran ilmiah yang ada pada ilmu-ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan praktis dari tulisan ini ialah memberikan tolok ukur berupa kriterium yang
dapat diaplikasikan ketika hendak menyusun sebuah tulisan atau pemikiran yang filsafati.
Pada akhirnya, tulisan ini membawa kita pada keluasan pemahaman tentang ukuran ilmiah
yang dapat diterapkan dalam menguji dan memastikan setiap kebenaran yang diperoleh.
Pada bagian ini penulis akan memaparkan ukuran-ukuran ilmiah yang secara praktis
dapat digunakan untuk menganalisa kebenaran-kebenaran yang terdapat pada ilmu-ilmu
pengetahuan yang ada. Ukuran-ukuran ilmiah ini pada hakikatnya merupakan paham-paham
yang sangat berperan dalam pengujian ilmu-ilmu pengetahuan. Paham-paham itu antara lain
Paham Koherensi, Paham Korespondensi, Empirisme dan Pragmatisme. Berikut ini adalah
uraian dari masing-masing konsep atau paham sebagai ukuran-ukuran ilmiah dalam
memastikan kebenaran ilmu pengetahuan.
Paham Koherensi berusaha mengindari munculnya kontradiksi antara konsep yang satu
dengan konsep-konsep yang lain. Dengan demikian, paham koherensi menuntut agar sebuah
ilmu pengetahuan berada dalam keadaan-saling-berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang
lain.
Paham ini terlihat sangat menekankan aspek intersbujektif dari sebuah ilmu pengetahuan.
Aspek intersubjektif ini menampilkan fragmen obyektivitas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang
ada. Lalu obyektivitas-lah yang kemudian menunjukkan keabsahan atau kebenaran dari setiap
1
Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 180
ilmu pengetahuan. Istilah “intersubjektif” dalam paham koherensi menunjukkan bahwa
pengetahuan yang telah diperoleh subjek harus melalui proses verifikasi oleh subjek-subjek
lain agar terjamin keabsahan atau kebenarannya.2
Paham ini menaruh fokus pertama-tama pada fakta yang terjadi di lapangan. Kebenaran
dalam paham ini dianggap serupa dengan kesesuaian (Correspond) antara makna yang
dimaksudkan oleh suatu pernyataan dan apa yang sungguh-sungguh merupakan fakta. 3 Salah
satu filsuf yang menganut paham ini adalah Bertrand Russel. Ia menambahkan fungsi kata
sebagai bagian penting dalam mengaplikasikan paham ini. Baginya, kebenaran merupakan
kesesuaian yang terdapat dalam kata-kata dengan kata-kata lain yang dihasilkan oleh subyek.
Dalam proses pengujian ilmu pengetahuan, paham ini menegaskan bahwa proposisi-proposisi
yang dihasilkan oleh akal budi harus memiliki kesesuaian dengan realita yang dialami.
Paham ini berperan untuk menghindari adanya konsep palsu yang disusun tanpa verifikasi
dengan kenyataan-kenyataan faktual.
Berkaitan dengan paham ini tampaknya terdapat keserupaan antara paham korespondesi
dengan pendapat Thomas Aquinas mengenai persoalan kebenaran dan pengetahuan. Aquinas
mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia terletak dalam prosedur logis yang harus
ditempuh agar dapat memahami realitas dengan baik.4 Pada intinya, pendapat Thomas
Aquinas masih menempatkan realitas konkret sebagai standar untuk mengukur kebenaran.
Poin yang sama juga berlaku dalam paham korespondensi di mana proposisi-proposisi yang
ada harus memiliki keterkaitan secara langsung dengan kenyataan riil yang sementara atau
telah terjadi.
2.1.3. Empirisme
Conny Setiawan, Th. I. Setiawan, and Yufiarti. Panorama Filsafat Ilmu: Landasan
2
Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 180
3
Aquinas dalam bunga rampai, Mengabdi Kebenaran, Maumere : Ledalero, 2005 hlm. 35
Empirisme dalam filsafat dikenal sebagai salah satu metode untuk memperoleh
pengetahuan. Bentuk kritik atas paham ini ialah aliran rasionalisme. Dalam konteks ini,
empirisme dianggap sebagai ukuran ilmiah dengan alasan bahwa paham ini menempatkan
pengalaman sebagai titik tolak sebuah kebenaran. Paham ini tidak menghilangkan peranan
akal budi melainkan meletakannya sebagai pelengkap bagi manusia untuk memahami setiap
pengalaman yang ada. Dengan demikian kebenaran yang dihasilkan melalui paham ini
mengandung pula kepastian ilmiah di dalamnya. Kepastian itu dibentuk atas validasi faktual
dari pengalaman manusia terhadap pandangan-pandangan rasional yang diproduksi oleh akal
budi. Dalam arti tertentu kebenaran juga disebut “Truthfullnes” karena berkaitan dengan
situasi empirik tanpa muatan moral maupun emosional belaka.5
Dalam paham empirisme, pancaindera mendapatkan tempat yang pertama dan terutama
dalam memastikan kebenaran dari ilmu pengetahuan. Pernyataan ini memperolej pengakuan
logis dari filsafat Aristoteles. Baginya, persepsi dan pengalaman inderawi adalah dasar
pengetahuan ilmiah.6 Menurut Aristoteles pancaindera sangat berperan dalam proses
penyelidikan terhadap obyek-obyek yang berubah. Sehingga, seseorang yang berhadapan
dengan perubahan dapat memahami dengan baik keberadaan serta kehidupannya dalam
realita dunia ini. Teori ini turut berkontribusi pada usaha mendalami paham empirisme
sebagai ukuran ilmiah yang penting dalam memastikan kebenaran ilmu pengetahuan.
2.1.4. Pragmatisme
Paham ini merupakan salah satu aliran yang cukup menarik dalam filsafat. Pragmatisme
secara tidak langsung merombak paradigma dari segelintir orang yang menganggap filsafat
sebagai ilmu yang terlalu abstrak. Anggapan ini melahirkan kesimpulan bahwa filsafat sama
sekali tidak relevan untuk dipelajari. Pragmatisme sesungguhnya menaruh perhatian pada
praktek. Paham ini menegaskan bahwa konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis
memiliki hubungan yang erat dengan makna dan kebenaran. 7 Paham pragmatisme dalam
konteks ini dijadikan sebagai ukuran ilmiah karena dianggap bernilai praktis untuk
memecahkan masalah dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Conny Setiawan, Th. I. Setiawan, and Yufiarti. Panorama Filsafat Ilmu: Landasan
5
Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 130
7
Gaston Bachelard, seorang filsuf dari Prancis menyampaikan komentarnya yang terkait
dengan paham ini. Ia berpandangan bahwa salah satu ciri yang paling menonjol dalam
dimensi keilmiahan dewasa ini adalah pemisahan radikal antara praktek ilmiah dan
pengalaman sehari-hari. Kondisi ini dinamakan oleh Bachelard sebagai “keretakan
epistemologis”.8 Apa yang disampaikan oleh Bachelard merupakan kenyataan yang
membangkitkan keprihatinan. Pemisahan antara praktek ilmiah dan pengalaman hidup sehari-
hari merupakan kebijakan yang ditolak oleh para penganut pragmatisme. Bagi mereka
kebenaran ilmu pengetahuan sudah semestinya diverifikasi dalam kenyataan hidup seorang
individu. Tujuannya agar pengetahuan yang diperoleh sungguh menjadi relevan dan tidak
menimbulkan ambiguitas yang merugikan atau menyesatkan.
Ilmu pengetahuan dan filsafat dalam arti tertentu dibedakan atas aspek-aspek mendasar di
antara keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dan filsafat dapat saling melengkapi
satu sama lain. Filsafat memberikan standar-standar yang kokoh secara fundamental bagi
ilmu pengetahuan.9 Dalam konteks ini, kajian epistemologis memberikan corak filosofis pada
ilmu pengetahuan. Ukuran-ukuran ilmiah yang ditampilkan dalam tulisan ini, secara khas
merupakan bagian integral dalam filsafat. Corak kefilsafatan ini tidak melulu dimiliki oleh
aliran-aliran dari bidang filsafat. Melainkan dapat pula dijadikan pegangan dalam Ilmu
pengetahuan. Pengertian ini memperlihatkan bahwa kajian filsafati dapat berkontribusi secara
implikatif dalam menguji kebenaran dari ilmu-ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah
diterangkan dalam uraian-uraian sebelumnya, di mana ukuran-ukuran ilmiah secara aplikatif
dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Maka, implikasi dari ukuran-ukuran tersebut
secara konkret dapat membantu setiap orang untuk menilai kebenaran dalam berbagai ilmu
pengetahuan. Penilaian yang tepat menjadi peluang bagi seseorang untuk memastikan
kebenaran dalam kapasitas yang tepat pula demi menghindari kekeliruan dan kesesatan dalam
berpikir.
4. Kesimpulan
Penjelasan yang dimuat dalam tulisan ini merupakan ulasan filosofis tentang
ukuranukuran ilmiah dalam memastikan kebenaran ilmu pengetahuan. Ukuran-ukuran ilmiah
8
Kees Bertens. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006,
hlm. 186-187
Kepustakaan
Setiawan, Conny dkk. Panorama Filsafat Ilmu : Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang
Zaman. Jakarta : TERAJU, 2005.
Smith, Linda dan William Reaper. IDE-IDE : Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang.
Yogyakarta : Kanisius, 2000.
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2006.