A. Pengertian Resiko
Resiko adalah kewajiban untuk menanggung atau memikul kerugian sebagai akibat dari suatu
peristiwa atau kejadian di luar kesalahan para pihak yang menimpa objek perjanjian. Resiko
berpangkal pada suatu kejadian, yang dalam hukum perjanjian disebut overmacht atau
keadaan memaksa.
Ketentuan tentang resiko perjanjian diantaranya adalah pasal 1237 KUH Perdata berbunyi:
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”
Persetujuan sepihak adalah persetujuan dimana kewajibannya hanya ada pada sepihak
saja, misalnya, hibah, penitipan dengan cuma-cuma dan pinjam pakai.
Menurut pasal 1245 KUH Perdata resiko dalam perjanjian itu ditanggung oleh
kreditur atau dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasinya, sedangkan
menurut pasal 1444 KUH Perdata masih memberikan perlunakan1.
Menurut Pasal 1445 KUH Perdata menentukan, bahwa apa yang diperoleh debitur
sebagai penggantian daripada barang yang musnah harus diserahkan kepada kreditur
(asuransi).
1
D. Resiko Jual Beli
Resiko objek jual beli tidak sama, terdapat perbedaan sesuai dengan sifat keadaan barang
yang jadi objek jual beli
“Jika objek jual beli terdiri dari barang tertentu, resiko atas barang berada pada “pihak
pembeli”, terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian, sekalipun penyerahan barang
belum terjadi, penjual berhak menuntut pembayaran harga seandainya barang musnah (pasal
1460 KUH Perdata”)
Dari ketentuan pasal 1460 KUH Perdata, jual beli mengenai barang tertentu, sekejap
setelah penjualan berlangsung, resiko berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang
hendak dilevering lenyap, pembeli tetap wajib membayar harga.
Menurut pasal 1460 adalah “hukum yang mengatur” bukan hukum yang memaksa.
Karenanya ketentuan tersebut dapat dikesampingkan oleh persetujuan.
1. Kondisi resiko jual beli:
Apabila salah satu prestasi gugur, dengan sendirinya prestasi yang lainpun harus
gugur.
Jika barang yang dijual musnah sebelum diserahkan pada pembeli, gugurlah
kewajiban pembeli untuk membayar harga.Resiko dalam jual beli barang tertentu
tetap berada pada pihak penjual selama barang belum diserahkan pada pembeli.
Karena tidak sesuai jika pembeli dibebani membayar harga barang yang musnah .
Menurut pasal 1460 KUH Perdata dihubungkan dengan pasal 1237 KUH Perdata
yang menentukan “sejak terjadinya perjanjian barang yang hendak diserahkan menjadi
keuntungan bagi pihak kreditur, jika debitur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung
kealpaan tersebut, terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut.Oleh karena pasal
1460 merupakam lex spesialis , ketentuan pasal 1237 KUH Perdata sebagai lex generalis,
dengan sendirinya terhapus.
Menurut pasal 1460 KUH Perdata itu sendiri belum dapat memberi jawaban atas
semua keadaan. Terutama atas persoalaan jika barang menjadi objek jual-beli tadi benar-
benar tidak dapat diserahkan, bukan karena barangnya musnah.
Pada prinsipnya si peminjam barang tidak mempunyai resiko atas lenyapnya abarang yang
dipinjam kecuali resiko yang ditentukan dalam pasal 1744 ayat 3, yakni: si peminjam
bertanggung jawab mengganti kerugian atas musnahnya barang, walaupun kerugian dan
kemusnahan itu akibat overmacth apabila :
2. Apabila ia memakai brang secara berlebih-lebih atau lebih lama dari semestinya.
Masa pemakaian sudah berakhir, tapi dia tidak segera mengembalikan barang,
amak dalam hal ini bila barang musnah sekalipun karena overmacht dia harus
menanggung resiko untuk mengganti kerugian.
G. Resiko Tukar-Menukar
Dalam pasal 1545 Yang berbunyi:
“Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untu ditukar musnah diluar kesalahan
pemiliknya, maka persetujuaan dianggap gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi
persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang telah ia berikan dalam tukar menukar ”.
Peraturan resiko dalam perjanjian tukar menukar2 ini sudah tepat sekali untuk suatu
perjanjian yang bertimbal balik, karena dalam perjanjian yang demikian itu seorang
menjanjikan prestasi demi untuk mendapatkan kontraprestasi. Maka peraturan tentang resiko
dalam perjanjian tukar menukar ini sebaiknya dipakai sebagai pedoman dalam perjanjian
timbal balik lainnya, yang timbul dalam praktek (kebiasaan) dan karenanya tidak ada
peraturan yang tertulis.
Referensi
Subekti, R. 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. BALAI PUSTAKA