Anda di halaman 1dari 15

Materi :

Mata Kuliah : Gizi dan Diet


Materi Ajar : Penilaian Status Gizi

N Hari/Tanggal dan Bahan Kajian Metode Waktu


o Jam (Materi Ajar)

1 Senin/30-1-2023/ A. Status Gizi Ceramah 100 Menit


08.00-09.40 1. Pengertian Tanya jawab
2. Metode Penilaian Status Gizi
09.40-11.40 Diskusi 170 Menit
 Penilaian Status Gizi secara
Langsung
 Penilaian Status Gizi secara
tidak Langsung
B. Malnutrisi
1. Malnutrisi dan Dampaknya
2. Faktor-faktor yang menjadi
Prediktor bagi terjadinya Malnutrisi
3. Keterkaitan Mikronutrien dengan

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 1


status gizi (Malnutrisi)
4. Kaitan Antara Mikronutrien dengan
Fungsi Psikomotor dan Kognitif
5.

Status Gizi
1. Pengertian
Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dalam
tubuh (Almatsier, 2005). Pendapat lain menyatakan bahwa status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variable tertentu, atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel
tertentu (Supariasa et al., 2016).

2. Metode Penilaian Status Gizi


Secara umum penilaian status gizi dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu :
2.1. Penilaian status gizi langsung dan status gizi tidak langsung.
2.2. Penilaian status gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu:
2.2.1. Antropometri
2.2.2. Klinis
2.2.3. Biokimia
2.2.4. Biofisik.

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 2


a) Penilaian status gizi secara antropometri
Antropometri berasal dari kata anthopros (tubuh) dan metros (ukuran). Secara umum
antropometri diartikan sebagai ukuran tubuh manusia. Dalam bidang gizi, antropometri
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Dalam bidang ilmu gizi, antropometri digunakan
untuk menilai status gizi. Ukuran yang sering digunakan adalah berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, tinggi duduk, lingkar perut, ingkar pinggul, dan lapisan lemak bawah
kulit.
Parameter indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak
adalah indikator berat badan menurut umur (BB/U). Tinggi badan menurut umur (TB/U),
Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) (Kemenkes, 2010).

Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) ialah menentukan atau melihat status gizi
seseorang dengan cara mengukur berat badan dan tinggi badan seseorang. Ukuran fisik
seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar itu,ukuran-ukuran yang
baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi dengan melakukan pengukuran
antropometri (Kemenkes, 2010).

Pengukuran IMT dapat dilakukan pada anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Pada
remaja pengukuran IMT sangat terkait dengan umurnya, karena dengan perubahan umur
terjadi perubahan komposisi tubuh dan densitas tubuh, pada remaja digunakan indikator
IMT/U.

Rumus Perhitungan IMT adalah sebagai berikut: (Supariasa et al, 2016).

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 3


BB (Kg)
IMT =-----------------------------
TB (cm)

Berat badan dalam satuan kg, sedangkan tingi badan dalam satuan meter. Remaja usia 5-
19 tahun nilai IMT-nya harus dibandingkan dengan referensi WHO/NCHS 2007 (WHO,
2007).
Antropometri telah menjadi alat praktis untuk mengevaluasi status gizi suatu populasi.
Antropometri banyak digunakan khususnya pada anak-anak di Negara berkembang. Status
gizi merupakan indikator terbaik dari kesejahteraan global anak.

Pengukuran antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, berat badan,
lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh (triceps, biceps, subscapula dan suprailiac).
Pengukuran antropometri bertujuan untuk mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran
menurut ukuran lainnya, misalnya berat badan dan tinggi badan menurut umur, berat
badan menurut tinggi badan, lingkar lengan atas menurut umur, dan lingkar lengan atas
menurut tinggi badan, pengukuran status gizi secara antropometri merupakan cara yang
paling sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu : alat mudah diperoleh,
pengukuran mudah dilakukan, biaya murah, hasil pengukuran mudah disimpulkan, dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu
(Irianto, 2007).

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 4


Tujuan yang hendak didapatkan dalam pemeriksaan antropometris adalah besaran
komposisi tubuh yang dapat dijadikan isyarat dini perubahan status gizi. Tujuan ini dapat
dikelompokkan menjadi 3 yaitu untuk penapisan status gizi, survey status gizi dan
pemantauan status gizi. Penapisan diarahkan pada per orang untuk keperluan khusus.
Survei ditujukan untuk memperoleh gambaran status gizi pada masyarakat pada saat
tertentu, serta faktor-faktor yang berkaitan dengan status gizi masyarakat. Pemantauan
bermanfaat sebagai pemberi gambaran perubahan status gizi dari waktu ke waktu
(Arisman, 2010).

Pada saat ini yang paling sering dilakukan untuk menyatakan indeks tersebut dengan nilai
Z-score. Z-score dihitungan dengan rumus sebagai berikut : (Supariasa,et al., 2016).

Nilai Individu Subyek – Nilai Median Baku Rujukan


Z-score =--------------------------------------------------------------------------
Nilai Simpang Baku Rujukan

Nilai individu subyek (NIS) merupakan hasil dari IMT kemudian nilai median baku rujukan
(NMBR) dan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR) dapat dlihat pada buku standar
antropometri tahun 2010.

Indeks IMT/U anak umur 5-18 tahun:

Obesitas : > 2SD

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 5


Gemuk : > 1SD sampai dengan 2 SD
Normal : -2SD sampai dengan 1 SD
Kurus : -3SD sampai dengan < -2SD
Sangat kurus : < -3SD (Kemenkes, 2010).

b) Penilaian Status Gizi Secara Biokimia


Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji secara
laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot.

Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan
kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.

c) Penilaian Status Gizi Secara Klinis


Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan- perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidak cukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

Metode ini digunakan untuk survey klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini
dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah
satu atau lebih zat gizi. Disamping itu pula digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi
GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 6
seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom)
atau riwayat penyakit.

d) Penilaian Status Gizi Secara Biofisik


Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan strukturdari jaringan.
Metode ini digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik
(epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
2.3. Penilaian Status Gizi Secara tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu survey konsumsi makanan, statistik
vital dan faktor ekologi. Pengertian dan penggunaan metode ini akan diuraikan sebagai berikut:
2.3.1. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisa dari beberapa statistik
kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, dan kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya
dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi secara
tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
2.3.2. Faktor Ekologi
Penggunaan fakor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di
suatu masyarakat sebagai dasar untuk program intervensi gizi (Supariasa et al., 2016).
2.3.3. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan
dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga
dan individu. Surve dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.
GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 7
3. Malnutrisi
3.1. Malnutrisi dan Dampaknya
Malnutrisi secara bahasa berarti “gizi salah”. Gizi salah dapat berarti kekurangan gizi dapat pula
berarti kelebihan gizi. Namun pengertian umum yang digunakan oleh WHO adalah malnutrisi yang
berarti kekurangan gizi. Gizi kurang adalah bentuk dari malnutrisi sebagai akibat kekurangan
ketersediaan zat gizi yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh. Salah satu tanda-tanda kurang gizi adalah
lambatnya pertumbuhan yang dicirikan dengan kehilangan lemak tubuh dalam jumlah berlebihan,
baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Malnutrisi pada anak dicirikan oleh 3 bentuk yaitu
stunting yang berarti tinggi badan kurang menurut umur (TB/U), wasting yang berarti berat badan
kurang menurut umur (BB/U), dan undernutrition berat badan kurang menurut tinggi badan (BB/TB)
(Gibson, 2005).

Menurut UNICEF (2004) malnutrisi berarti lebih dari sekedar perasaan lapar atau tidak mempunyai
cukup makanan untuk dimakan. Ketidakcukupan makanan ini meliputi asupan protein (penting untuk
mempertahankan kesehatan tubuh dan membentuk otot), kalori (ukuran kebutuhan energi tubuh),
besi (untuk fungsi sel darah), dan nutrien lain yang menyebabkan berbagai tipe malnutrisi. Jika tubuh
tidak menerima energi yang dibutuhkan dalam makanan, maka kehilangan berat badan akan terjadi.

Anak-anak yang malnutrisi tidak mempunyai cadangan lemak dan sangat sedikit otot. Perkembangan
otak menjadi lambat oleh karena anak-anak mengalami insiden penyakit yang tinggi karena tubuh
tidak mampu melawan infeksi. Malnutrisi memberikan kontribusi pada tingginya rata-rata angka
kematian di negara sedang berkembang. Tubuh membutuhkan mikronutrien dari makanan karena
GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 8
tubuh tidak dapat membuat seluruh mikronutrien ini untuk kenormalan fungsi tubuh. Mikronutrien
ini termasuk vitamin A, vitamin B, vitamin C, folat, seng, kalsium, iodium dan besi. Defisiensi vitamin
A
merupakan masalah kesehatan yang sangat serius di dunia, karena defisiensi ini penyebab utama
terjadinya kebutaan pada anak-anak. Makanan yang difortifikasi dan meningkatkan konsumsi buah
dan sayur dalam makanan juga penting sebagai salah satu cara untuk mengurangi terjadinya
defisiensi vitamin A (Torpy, et al., 2004).

3.2. Faktor-faktor yang menjadi prediktor bagi terjadinya malnutrisi


Malnutrisi merupakan akibat dari multifaktor. Menurut Pongou, et al. (2006), kebijakan ekonomi
makro tentang pangan merupakan faktor mendasar penyebab malnutrisi pada anak. Hal yang sama
terjadi di negara Indonesia, krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun yang lalu sangat berdampak
pada status ekonomi keluarga dan kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, demikian
pula dengan akses untuk memperolah pangan yang baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

Hasil kajian Muller and Crawinkel (2005) menyebutkan bahwa pengenalan awal terhadap makanan
pertama yang rendah kulaitas dan kuantitasnya, rendahnya pemberian ASI eksklusif dan tingginya
frekuensi penyakit pada masa awal bayi merupakan alasan-alasan sebab terjadinya lambatnya
pertumbuhan. Infestasi cacing merupakan faktor lain yang dapat memicu terjadinya malnutrisi.
Menurut Windle, et al. (2007) infeksi Helicobacter pylori pada anak-anak di negara sedang
berkembang merupakan inisiator dalam siklus yang tak berujung pangkal yang pada akhirnya
menghasilkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan. Infeksi ini mempengaruhi kondisi asam
lambungyang berakibat pada terjadinya diare dan anemia defisiensi besi.

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 9


Hal yang sama diungkapkan oleh Friedman, et al. (2005) yang membuktikan hubungan antara infeksi
Schistosoma japonicum dengan kejadian malnutrisi dan anemia. Infestasi cacing ini menyebabkan
kehilangan darah dalam tubuh. Bloss, et al., (2004) menyatakan bahwa di Kenya, prevalensi anak
yang malnutrisi: stunting 47%, undernutrition 30% dan wasting 7%, dan faktor-faktor yang menjadi
prediktor bagi terjadinya malnutrisi di Kenya adalah pemberian makanan yang lebih awal pada saat
bayi, vaksinasi memproteksi stunting, tinggal bersama orang tua angkat, faktor-faktor ini secara
signifikan dapat meningkatkan risiko stunting. Hasil penelitian Deolalikar (2005) menemukan bahwa
ada perbedaan yang cukup besar tentang kejadian malnutrisi pada anak berdasarkan gender, wilayah
geografis dan status ekonomi, sedangkan hasil kajian Gur, et al (2006) beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian malnutrisi di Istanbul adalah yaitu faktor umur, jumlah anggota
keluarga, pendapatan keluarga.

3.3. Keterkaitan Mikronutrien dengan Status Gizi (Malnutrisi)


Malnutrisi akibat defisiensi mikronutrien biasanya terjadi secara menunjukkan bahwa intervensi
multimikronutrien dapat menurunkan kejadian anemia lebih besar dibandingkan dengan kelompok
kontrol, demikian pula dengan perubahan status vitamin A dan status Zn yang menunjukkan efek
yang
lebih baik dibanding dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian lain yang dilakukan pada remaja
wanita menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A, besi dan seng lebih efektif meningkatkan
hemoglobin dibanding yang mendapatkan suplementasi vitamin A dan besi (Cusick, et al., 2005).

Defisiensi seng biasanya juga diikuti oleh defisiensi vitamin A. Defisiensi seng atau malnutrisi protein
akan mengganggu fungsi vitamin A dengan jalan mencegah tingkat pembebasan normal dari
penyimpanannya dalam hati, sehingga apabila seseorang anemia karena kekurangan vitamin A perlu
diberikan suplemen kombinasi vitamin A dan seng untuk lebih mengefektifkan peningkatan kadar
GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 10
hemoglobin. Pada penelitian lain yang bertujuan untuk mengetahui hubungan vitamin A dengan
peningkatan hemoglobin menunjukkan bahwa pemberian vitamin dan besi lebih meningkatkan kadar
hemoglobin dibandingkan yang hanya mendapatkan vitamin A saja.

Penelitian ini dilakukan pada anak sekolah di Tanzania yang diberi suplemen setiap hari selama tiga
bulan. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anemia bias disebabkan oleh karena
kekurangan vitamin A dimana vitamin A berperan pada modulasi eritropoiesis. Vitamin A berperan
menstimulasi transkripsi eritropoietin yaitu hormon yang berperan merangsang eritropoiesis dengan
meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis (Neumann, et al., 2003;
Ramakrishnan, et al.,2004, Thurlow, et al., 2005). Menurut Menon, et al. (2007), hasil suplementasi
berbentuk springkles yang mengandung 12.5 mg besi, 5 mg seng, 400 mg vitamin A, 160 mg asam
folat, dan 30 mg vitamin C selama 2 minggu pemberian terbukti dapat menurunkan anemia di Haiti.
Berger, et al (2007) menyatakan bahwa distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi secara periodik adalah
sebuah
intervensi yang efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup anak-anak di negara sedang
berkembang.

Berdasarkan data sistem surveilen gizi, terdapat perbedaan status gizi, proporsi anak yang anemia,
morbiditas (diare dan demam) yang signifikan antara anak yang mendapatkan kapsul dan anak yang
tidak mendapatkan kapsul. Walaupun kehilangan akses terhadap intervensi program kesehatan yang
lain seperti imunisasi dan faktor-faktor demografi juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya
malnutrisi pada anak-anak, namun terbukti bahwa suplementasi vitamin A dapat memaksimalkan
kelangsungan hidup anak. Hasil evalusi program Gizi Pangan Nasional di Ekuador menunjukkan anak-
anak yang mengkonsumsi energi, protein, lemak, besi, vitamin A dan kalsium angka anemia turun

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 11


dari semula 76% menjadi hanya 27%, sedangkan pada kelompok kontrol tutun dari 76% menjadi
44%.

Berarti terjadi penurunan yang signifikan pada kelompok yang mendapat asupan gizi yang cukup.
Perbedaan yang berarti juga pada berat badan anak (Lutter, et al., 2008). Adu-Afarwuah, et al. (2007,
2008) mengungkapkan bahwa fortifikasi berbagai vitamin dan mineral dalam bentuk makanan
pelengkap bayi terbukti dapat menurunkan prevalensi defisiensi besi pada bayi dan terbukti dapat
meningkatkan perkembangan motorik anak dibandingkan dengan yang tidak mendapat intervensi ini
atau yang hanya mendapat makanan yang difortifikasi minerel tunggal. Öhlund, et al. (2008)
membuktikan pada anak-anak yang bergizi baik (tidak malnutrisi), prevalensi anak-anak yang
mengalami defiseinsi besi lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang bergizi baik. Menurut
Payne, et al. ( 2007) mekanisme dampak suplementsi vitamin A terhadap infestasi cacing belum
dapat dijelaskan sepenuhnya.

Namun hasil evaluasi program suplementasi vitamin A 200 000 IU (60 mg retinol) di Panama
terhadap terjadinya infestasi cacing berulang menunjukkan dampak yang berbeda untuk kondisi anak
yang berbeda. Untuk anak yang tingginya badannya normal intensitas dan prevalensi terjadinya
infeksi berulang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang stunting (tinggi badannya tidak
normal). Kaitan antara status vitamin A dengan malnutrisi juga diungkapkan oleh Oso, et al. (2003) di
Nigeria yang menunjukkan bahwa anak yang mengalami malnutrsi kronik mempunyai kadar serum
retinol lebih rendah dibandingkan dengan anak yang gizi baik. Ada sekitar 26,8% anak yang defisien
serum retinol <10μg/dl dan 47,9% mempunyai kadar serum retinol kategori rendah (10–19 μg/dl).

Malnutrisi tetap merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak-anak di
seluruh dunia. Penelitian di rumah sakit pada anak yang mengalami malnutrisi menunjukkan bahwa
GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 12
suplementasi seng menghasilkan penurunan diare, infeksi pernafasan dan demam serta muntah
pada anak yang malnutrisi. Kematian pada anak yang mendapat suplementasi seng juga lebih rendah
secara signifikan dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan seng. Prevalensi anak-anak
yang memiliki berat badan menurut umur di atas persentil 80 juga secara signifikan lebih tinggi pada
anak-anak yang mendapat suplementasi seng (Makonnen, et al., 2003).

Arsenault, et al. (2008) menungkapkan hasil penelitian pada anak-anak di Peru membuktikan bahwa
anak-anak yang menerima suplementasi seng memiiliki berat tubuh lebih besar 0,41 kg dibandingkan
dengan anak yang tidak mendapat seng dan terbukti bahwa defiseinsi seng dapat menghamba
pertumbuhan. Shrimpton, et al. (2005) dan Penny, et al., (2004) melaporkan tentang manfaat
suplementasi besi dalam proses pertumbuhan. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh hasil penelitian
Walker, et al (2007) yang menyatakan tidak ada pengaruh suplementasi besi dengan atau tanpa seng
terhadap pertumbuhan anak, namun penelitian ini menggunakan dosis yang
rendah dan diberikan tidak setiap hari melainkan sekali dalam seminggu.

Mekanisme yang pasti bagaimana seng dapat mempengaruhi pertumbuhan sampai ssat ini belum
jelas akan tetapi efek secara langsung yang telah diketahui adalah seng dapat menstimulasi rasa dan
asupan energi serta meningkatkan massa bebas lemak pada tubuh (Arsenault, et al., 2008). Hyder, et
al. (2007) menunjukkan bahwa fortifikasi mikronutrien pada anak remaja dapat menurunkan anemia,
meningkatkan status mikronutrien dan status gizi remaja wanita di Bangladesh. Efek yang sama
diungkapkan dari hasil penelitian Ramakrishnan,et al (2009), pemberian suplemen multimikronutrien
pada masa awal dapat meningkatkan ukuran antropometri anak pada saat usia 2 tahun.

3.4. Kaitan Antara Mikronutrien dengan Fungsi Psikomotor dan Kognitif

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 13


Performan yang kurang pada masa anak-anak merupakan faktor risiko rendahnya performan anak
pada saat di sekolah tingkat atas dan di tingkat universitas, sebagaimana terjadinya kemiskinan pada
akhir hidup mereka. Prestasi di sekolah sangat ditentukan oleh banyak faktor. Kebijakan untuk
meningkatkan pendidikan, memonitor pertumbuhan, makanan jumlah dan gizinya, lingkungan yang
sehat tidak hanya akan menunjang kesehatan fisik akan tetapi juga menunjang perkembangan
kognitif generasi muda.

McCann dan Ames (2007) menyatakan tentang hubungan sebab akibat antara defisiensi
mikronutrien
dan fungsi optimal otak yang akan mempunyai implikasi pada masalah kesehatan masyarakat yang
utama. Sebagian populasi di dunia khususnya yang miskin diketahui mengalami kurang gizi sejumlah
mikronutrien. Usaha utama untuk menyelesaikan kurang gizi akibat mikronutrien ini adalah
menambah program yang bervariasi untuk meningkatkan kebiasaan makan. Atamna et al. cit
McCann dan Ames (2007) menunjukkan bahwa kekurangan besi heme menyebabkan mitokondria
mengeluarkan oksidan yang dapat membahayakan berbagai fungsi sel dalam otak. Lambatnya proses
mielinasi dan menurunnya aktivitas beberapa enzim, menurunnya densitas dan afinitas reseptor
dopamin D2 mempengaruhi system kemungkinan yang bertanggung jawab terhadap performan
motor, kognitif dan perilaku. Perubahan morfologi dan biokimia pada otak tikus juga terjadi setelah
dilakukan pembatasan besi pada tingkatan yang parah, termasuk penurunan aktivitas atau
konsentrasi protein meliputi metabolisme energy (cytochrome C oxidase dan cytochrome c)
lambatnya pertumbuhan dendrit, dan penurunan metabolit syaraf dalam hippokampus.

Liu, et al. (2003) mengindikasikan bahwa malnutrisi merupakan faktor predisposisi bagi penurunan
neurokognitif, sehingga mencegah malnutrisi seawal mungkin akan membantu menurunkan perilaku
antisosial dan agresif. Perilaku negatif ini merupakan eksternalisasi dari keadaan IQ anak yang
rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa malnutrisi merupakan factor predisiposisi terjadinya IQ

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 14


yang rendah. Clark, (2008) mengungkapkan yaitu malnutrisi dalam wujud anemia defisensi besi
memberikan dampak yang luas imunitas, gangguan saluran cerna, menurunkan kemampuan kognitif.
Liu, et al., (2003) membandingkan perkembangan kognitif dan performan di sekolah 1559 anak-anak
berumur 3-11 tahun. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak yang malnutrisi pada umur 3 tahun
akan berakibat pada rendahnya kemampuan kognitif dan performan anak di sekolah pada saat umur
3 dan 11 tahun. IQ anak yang malnutrisi lebih rendah 15 point dibandingkan dengan anak yang tidak
malnutrisi.

Tarleton, et al. (2006) mengukur fungsi kognitif diukur pada 191 anak Bangladesh umur 6-9 tahun
melalui tes verbal dan tes non verbal. Hasilnya menunjukkan anak yang stunting berhubungan
negatif dengan skor kognitif, artinya anak yang semakin stunting semakin rendah skor kognitifnya.
Mengurangi kasus malnutrisi berarti membantu mengurangi kasus defisiensi kognitif. Olney, et al
(2007) mengungkapkan bahwa anak yang kurang gizi mengalami hambatan dalam perkembangan
motorik, demikian pula dengan anak yang anemia defisiensi besi.

GIZI DAN DIET : PENILAIAN STATUS GIZI 15

Anda mungkin juga menyukai