Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

KASUS PELANGGARAN HAM TENTANG PEMBANTAIAN DUKUN SANTET


1998-1999 DI BANYUWANGI

Laporan ini Disusun untuk memenuhi tugas Mata pelajaran Pendidikan


Kewarganegaraan

Disusun oleh:

KELOMPOK 5

1. SUSI ANGGRAINI
2. TIARA RAMADANI
3. VIONA RACELL PUTRI MAHESA
4. ZAHRA NABILA

SMK NEGERI 7 BANDAR LAMPUNG


TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sertakarunia-
Nya sehingga makalah ini yang berjudul “KASUS PEMBUNUHAN DUKUN SANTET DI
BANYUWANGI “ dapat kami selesaikan.

Adapun penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan beberapa tugasHukum dan
HAM. Pada makalah ini membahas mengenai kronologi, penyelesaian
kasuspembunuhan dukun santet di Banyuwangi.

Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap pembaca. Dan harapan kami
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak


kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada Bu LAIDIYAWATI, S.Pd. yang telah
memberikan tugas ini. SemogaTuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhai segala usaha
kita.

Terima kasih.

Bandar Lampung,3 September 2023

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................................................... ii

BAB I-PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah ............................................................................................................................ 1

2. Rumusan Masalah ....................................................................................................................................... 1

3. Tujuan Masalah ............................................................................................................................................. 1

Bagian Pertama- BANYUWANGI

i) Pembantaian banyuwangi 1998............................................................................................................ 2

Bagian Kedua- SIHIR

i) Santet di Banyuwangi: Ilmu Hitam Atau Ilmu Pengasih ............................................................ 3

Bagian Ketiga- PEMBANTAIAN

i) Kronologi Kasus Pembunuhan dukun Santet di Banyuwangi ................................................ 6

ii) Pulihkan nama baik bapak saya: dia bukan dukun santet ...................................................... 10

iii)Yang diadili Cuma orang-orang suruhan Pentolannya Tidak di Tangkap....................... 14

iv) Konspirasi Nasional Yang Pertama- Elite Politik ...................................................................... 18

v) Konspirasi Nasional Yang Kedua- Bupati Banyuwangi dalam Peristiwa Politik ......... 21

vi) Data Korban .................................................................................................................................................. 25

vii) Investigasi ................................................................................................................................................... 26

Kesimpulan .......................................................................................................................................................... 27

Daftar Pustaka .................................................................................................................................................... 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia dibawah pemerintahan Orde Baru berakhir pada tanggal 21 Mei 1998.
Peristiwa tersebut ditandai dengan Presiden Soeharto yang mengundurkan dirisebagai
Presiden RI di Istana Merdeka dan di gantikan oleh Wapres B.J Habibie.Pergantian
kekuasaan dari era Orde Baru menuju era Reformasi tersebut disertaidengan berbagai
persoalan-persoalan besar, seperti masalah KKN (korupsi, kolusi,nepotisme), krisis
ekonomi, dan kasus-kasus kekerasan. Salah satu kekerasan yang terjadi menjelang
runtuhnya Orde Baru adalah kasus kekerasan isu dukun santet diBanyuwangi pada
tahun 1998.
Masyarakat Banyuwangi sudah akrab dengan istilah dukun santet. Suku yang
merupakan penduduk asli Banyuwangi sering menggunakan ilmu santet untuk
menaklukan lawan jenis. Namun dalam perkembangannya, ilmu santet mengalami
pergeseran makna dengan dijadikan salah satu cara untuk menyakiti orang lain, atas
nama balas dendam, sakit hati, warisan, dan lain-lain. Praktek santet yang
kerapmemakan korban membuat masyarakat dan para penegak hukum kesulitan dalam
menyeret dukun santet ke pengadilan. Hal ini terjadi karena sulitnya hal tersebut
dibuktikan, malah sebaliknya orang yang melaporkan telah di santet justru diadili
karena dituduh melakukan tindak pidana fitnah atau menyebarkan berita bohong.
Peristiwa Pembunuhan dukun santet yang terjadi di sebagian wilayah JawaTimur
tahun 1998, menambah daftar panjang serangkaian peristiwa berdarah yangterjadi
selama masa kepemipinan soeharto. Pembantaian Banyuwangi 1998 adalah peristiwa
yang diduga melakukan praktik ilmu hitam atau santet yang terjadi diKabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur dalam kurun waktu Februari hingga September 1998.

1.2 Rumusan Masalah

1.Bagaimana kronologi kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi?


2.Bagaimana penyelesaian kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi?
3.Bagaimana kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi dikaitkan
dengan rekonsialisasi?

1.3 Tujuan Masalah

1.Untuk mengetahui kronologi kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi.


2.Untuk mengetahui penyelesaian kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi.

1
-BAGIAN PERTAMA

PEMBANTAIAN BANYUWANGI 1998

Pembantaian Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang


diduga melakukan praktik ilmu hitam (santet atau tenung) yang terjadi di Banyuwangi,
Jawa Timur pada kurun waktu Februari hingga September 1998. Namun hingga saat ini
motif dari peristiwa ini masih belum jelas.

Adegan dalam film Misteri Banyuwangi (Dukun Santet) yang jalan ceritanya tentang
Pembunuhan dukun santet di Banyuwangi dirilis pada tahun 1998

Peta Kabupaten Banyuwangi lalu menyebar ke pelosok Jawa.

Lokasi Kabupaten Banyuwangi

Tanggal Februari 1998- September 1998

Sasaran Orang yang diduga dukun santet

Jenis Serangan Serangan Hendap

Senjata Senjata Tajam

Korban tewas 309

2
BAGIAN KEDUA- SIHIR
Bab II
SANTET DI BANYUWANGI: ILMU HITAM ATAU ILMU PENGASIH?

Istilah 'santet' adalah istilah Bahasa Indonesia dengan pengertian ilmu hitam. Akan
tetapi, dalam budaya masyarakat Banyuwangi istilah 'santet' mempunyai pengertian
yang amat jauh daripada ilmu hitam. 'Santet' dalam khazanah budayamasyarakat Osing
(penduduk asli Banyuwangi) sebenarnya berarti ilmu pengasih. Sebetulnya 'santet'
sebagai ilmu pengasihitu sering digunakan oleh remaja di Banyuwangi untuk membuat
atau menambah kasih- sayang dari wanita/pria yang mereka inginkan. Memang,
menurut budayawan Banyuwangi Bapak Hasnan Singodimayan, santet dalam budaya
Banyuwangi sebenarnya dipakai untuk mencari cinta. Pada dasarnya, santet itu
merupakan dua guna-guna, yaitu jaran goyongdan sabuk mangir. Guna-guna jaran
goyong digunakan oleh laki-laki.

Menurut Bapak Hasnan, kalau seorang laki-laki berpikir bahwa ada gadis yang
sombong dan tidak mau peduli kepadanya, dia akan memakai pesona jaran goyang
sehingga gadis itu akan jatuh cinta padanya. Selama 40 hari gadis yang menjadi sasaran
guna-guna itu tidak bisa berpikir tentang apa saja kecuali laki-laki yang mengirim guna-
guna itu. Bahkan, selama 40 hari gadis itu akan menangis karena perasaannya terhadap
laki-laki itu amat kuat. Hati gadis itu sakit sekali. Sesungguhnya, dia jatuh cinta, tetapi
dia merasa murung karena menyadan bahwa dia tidak akan memiliki laki-laki itu.
Menurut Bapak Hasnan, sesudah 40 hari perasaan cinta tersebut akan menghilang.
Namun, biasanya gadis yang dikutuk itu belum tentu bebas dari akibat guna-guna itu
dan ada kemungkinan bahwa gadis itu akan menjadi pacar bersama dengan laki-laki
yang memakai pesona jaran goyong tersebut, juga ada kemungkinan bahwa kemudian
mereka akan menikah.
Guna-guna sabuk mangir mempunyai peran yang sama dengan guna-guna jaran
goyong, tetapi digunakan oleh gadis supaya laki-laki yang sombong akan jatuh cinta.
Pesona sabuk mangir itu juga jalan selama 40 hari.
Bapak Hasnan, umurnya 69, adalah novelis yang sudah menulis satu novel yang
diterbitkan dengan judul "Kerundung Baju Selubung". Novel itu mengenai santet dan
alurnya tentang perempuan yang menggunakan ilmu hitam (sihir) untuk menyakitkan
isteri baru mantan suaminya. Akibatnya, Bapak Hasnan sudah belajar banyak tentang
ilmu hitam dan ilmu putih untuk melatarbelakangi novelnya.
"Sebelumnya, budaya Osing tak mengenai tafsir santet sebagai ilmu hitam atau sihir,"
ujarnya.
Memang, sihir atau tenung merupakan dua istilah yang digunakan dalam budaya
Banyuwangi untuk menjelaskan ilmu hitam. Menurut pendapat Bapak Hasnan dahulu
sihir tidak begitu populer di Banyuwangi dan hanya baru-baru ini bahwa frekuensinya
bertambah terus. Kini, sihir sudah memasuki kesadaran atau membayangi kehidupan
masyarakat Banyuwangi.

3
Apakah Bapak Hasnan benar? Ada orang lain yang berkata tidak. Orang tersebut
berpikir bahwa sejak semula sihir ada di Banyuwangi karena daerah itu merupakan
tempat pertemuan budaya besar, seperti Jawa dan Bali. Lagi pula, Banyuwangi sebagai
wilayah paling timur di Propinsi Jawa Timur merupakan ladang subur bertemunya
beragam etnik, mulai etnik Jawa, Bali, Bugis, Cina, hingga etnik lokal Osing.
Sesungguhnya, ilmu hitam ada di mana-mana di Indonesia. Di Sumatera,
Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi ada sejenis itu -tentu
dengan nama berbeda-beda. Ada teluh, tenung, leak, begu ganyang, tuntilanak,
suwanggi, burong, dan sebagainya. Di Banyuwangi orang lazim menyebutnya "sihir".
yang sangat kuat. Menurut Laporan Sementara Kasus Santet Banyuwangi yang ditulis
oleh Tim Pencari Fakta yang dibentuk Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jatim, dari 167
desa yang ada di Banyuwangi, terdapat sekitar 160 pondok pesantren.

Berarti, hampir semua desa ada pondok pesantren. Karena itu, suasana
kehidupan kemasyarakatannya terasa begitu agamis dan spiritualis. Sedangkan
tokoh masyarakat (ulama/kyai) tampil sebagai pemimpin informal yang
mengayomi dan melindungi masyarakat dalam segala hal.'

Walaupun demikian, Banyuwangi juga merupakan salah satu daerah yang terkenal
terhadap spiritualis gaib. Berarti, ilmu gaib yang termasuk ilmu putih dan ilmu hitam.
Walaupun kebanyakan penduduk Banyuwangi pasti memeluk agama Islam, atau kalau
nenek moyang mereka dari Pulau Baii lalu agama Hindu Dharma, rupanya orang
Banyuwangi juga mempercayai ilmu putih, atau dengan kata lain ilmu gaib produktifdan
ilmugaib penolak.
Menurut Antropolog Bapak Koentjaraningrat ilmu gaib produktif meliputi segala
ilmu gaib yang bersangkut paut dengan aktivitas-aktivitas produksi bercocok tanam
dalam masyarakat perikanan, dengan produksi teraak dalam masyarakat beternak,
dengan berburu dalam masyarakat berburu, kemudian juga ilmu gaib yang
berhubungan dengan pertukangan, kerajinan, dan perdagangan.
Biasanya, orang Banyuwangi disebut sebagai suku Osing, sebuah budaya yang
merupakan unsur-unsur budaya Jawa, Bali, dan Madura. Suku Osing itu mempunyai
bahasa sendiri yang juga menunjukkan campuran budaya tersebut. Memang, menurut
pendapat budayawan Bapak Hasan Ali, masyarakat Osing dimaksudkan sebagai
kelompok masyarakat yang menggunakan Bahasa Osing sebagai alat komunikasinya.
Kabupaten Banyuwangi didiami oleh beberapa suku bangsa. Suku Madura menempati
bagian Kabupaten Banyuwangi sebelah utara dan sebelah barat serta daerah pantai -
Kecamatan Wongsorejo, Kecamatan Kalibaru, Kecamatan Glenmore, Kecamataan
Muncar. Suku Jawa menempati bagian selatan -Kecamatan Pesanggaran, Kecamatan
Bangorejo, Kecamatan Tegaldlimo, Kecamatan Genteng, Kecamatan Gambiran, dan
Kecamatan Purwoharjo.

Suku Osing mendiami (sebagian besar) wilayah Kecamatan Giri, Kecamatan Glagah,
Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Kabat, Kecamatan Songgon Kecamatan Singonjuruh,

4
dan Kecamatan Srono. kesuburan budaya ilmu gaib juga. Bapak Kusnadi menjelaskan
bahwa budaya petani seperti yang ada di Banyuwangi memang dekat dengan hal-hal
magis. Bukti ilmu magis itu ada dalam kesenian Banyuwangi, seperti tarian suci yang
bernama Seblang. Tarian itu terdiri dari berbagai-bagai tatacara agama Hindu Dharma,
namun tarian keagamaan itu mulai dengan doa-doa agama Islam. Kita juga bisa melihat
campuran budaya tersebut melalui kesenian Iain seperti seni Gandrung. Alat musik seni
Gandrung itu memiliki ciri khas Bali (Majapahit). Tarian-tarian lain yang sering
dimainkan termasuk Janger, Jaranan,
Angklung, Lontar (mocopat), Kebo-keboan dan Barong. Janger, misalnya, sering
diselenggarakan di desa-desa Banyuwangi dalam acara pesta perkawinan dan sunatan.
Menurut Bapak Hasnan Singodimayan, seorang penulis dan novelis, Banyuwangi
sebenarnya merupakan suatu daerah Pulau Bali, bukan Jawa. Dia mengatakan bahwa
bukti-bukti itu ada dalam kesenian di Banyuwangi. Bapak Hasnan menyetujui analisis
terhadap kensenian di Banyuwangi.

5
BAGIAN KETIGA- PEMBANTAIAN
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Kronologi Kasus Pembunuhan Dukun Santet di Banyuwangi


Tragedi itu terjadi antara Februari 1998 hingga Oktober 1999, ketika Indonesia mulai
dihantam krisis ekonomi dan politik yang ditandai merebaknya kerusuhan sosial dan
jatuhnya Suharto dari kursi presiden.

Awalnya yang menjadi sasaran pembunuhan adalah orang-orang yang dituduh memiliki
ilmu hitam untuk tujuan tidak baik — disederhanakan sebagai 'dukun santet' oleh
warga setempat dan sebagian masyarakat.

Dan ketika jumlah orang-orang tidak bersalah yang dihabisi terus bertambah, sasaran
pun meluas. Tak hanya orang-orang yang dituding dukun santet saja.Orang-orang yang
disebut sebagai guru agama, pengidap gangguan mental, serta orang-orang sipil biasa,
ikut dibunuh dengan kejam.

Tentara menangkap dan menggiring orang-orang yang dituduh menjarah pertokoan saat
Jakarta dilanda kerusuhan, 15 Mei 1998. Peristiwa serupa juga terjadi di sejumlah daerah,
termasuk di Banyuwangi tidak lama sebelum terjadi teror dukun santet.

6
Teror pembantaian yang diawali di Banyuwangi lalu menyebar ke Jember, Bondowoso,
Situbondo, Pasuruan, Malang, hingga Pulau Madura. Ketakutan, ketegangan, kepanikan,
dan saling curiga yang makin meluas di masyarakat, melahirkan berbagai isu
menyeramkan, demikian berbagai laporan media kala itu. Pemberitaan media massa
saat itu menyebut kehadiran para terduga pelaku yang digambarkan 'terlatih', 'bergerak
cepat', 'dapat menghilang', serta mirip 'ninja'.

Orang-orang yang dituduh sebagai pelaku lapangan pembantaian dukun santet di


Banyuwangi ditangkap dan dikumpulkan. (Tanpa keterangan waktu dan tempat).

Dan, ketika gonjang-ganjing politik di tingkat nasional belum sepenuhnya normal,


sebagian tersangka pelaku pembunuhan di lapangan, terutama di wilayah Banyuwangi,
diadili dan dijatuhi hukuman pidana. Namun upaya hukum ini disebut tidak menyentuh
teka-teki yang menjadi pertanyaan di masyarakat, yaitu siapa aktor utama di baliknya.
Suara-suara yang menuntut agar motif besar di balik teror rentetan pembunuhan ini
diselidiki terus disuarakan, tapi agaknya terhambat kendala politik dan teknis hukum.
Dihadapkan teka-teki tak terjawab itulah, barulah pada 2015, Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) — sesuai amanat UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM — memulai melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan

7
Surat kabar 'Jawa Pos' memberitakan apa yang disebut sebagai 'Pembantaian
Banyuwangi' pada edisi 7 Oktober 1998.

Komnas HAM, dalam kesimpulan penyelidikannya, menyatakan ada terduga aktor


yang melakukan propaganda, penggalangan untuk menggerakkan massa untuk
membunuh. Mereka juga menemukan adanya pola. Diawali pra kondisi, terungkap
adanya 'pendataan' yang menghasilkan 'daftar nama', sehingga membuat eskalasi dan
keresahan masyarakat.
Pada 2019, hasil penyelidikan Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung
agar ditindak lanjuti, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan berbagai alasan —
misalnya, kelemahan bukti-bukti dan saksi.
Sebelumnya, tidak lama setelah kejadian, Tim investigasi Nahdlatul Ulama (NU)
cabang Banyuwangi juga mengumumkan hasil penyelidikannya yang menyimpulkan
adanya dugaan keterlibatan aparat keamanan. Walaupun ada gelombang desakan dari
berbagai kalangan agar peristiwa itu diungkap, barulah pada awal 2023, pemerintah
menawarkan penyelesaian secara non-yudisial — walau tidak menutup proses
penyelesaian secara yudisial.
Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo — atas nama negara — mengakui dan
menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kejadian kekerasan
di Banyuwangi dan sekitarnya itu.

8
Presiden Joko Widodo — atas nama negara — mengakui dan menyesalkan 12 kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus pembunuhan dukun santet di
Banyuwangi dan sekitarnya pada 1998-1999.

Sikap pemerintah ini menindaklanjuti laporan Tim Penyelesaian Non yudisial


Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu —yang sebelumnya dibentuk Presiden
Jokowi melalui Keppres No.17 Tahun 2022.
Pemerintah kemudian berjanji menyelesaikan secara non-yudisial kasus-kasus itu,
antara lain, dengan merehabilitasi dan memulihkan korban dan keluarganya.
Sampai awal Mei 2023, janji pemerintah itu belum menemukan bentuk kongkritnya,
kecuali menyatakan bahwa kebijakan itu akan resmi diluncurkan pada Juni 2023.
Bagaimana reaksi dan tanggapan keluarga korban yang anggota keluarganya dulu
dibunuh karena dituduh sebagai dukun santet atas kebijakan pemerintah itu?
Apa yang mereka saksikan, dan bagaimana mereka melalui tragedi itu selama lebih dari
20 tahun?
Wartawan di Banyuwangi, Ahmad Shulhan Hadi, yang melaporkan untuk BBC News
Indonesia, menemui dan mewawancarai dua orang dari keluarga korban pembunuhan
dukun santet 1998-1999.
Shulhan juga mewawancarai seseorang yang dulu terlibat tim investigasi Nahdlatul
Ulama (NU) Banyuwangi dalam menyelidiki tragedi ini.

Dia kemudian menuliskannya berikut ini:

'Pulihkan nama baik ayah saya, dia bukan dukun santet'


(Ayah Sari — bukan nama sebenarnya — dibunuh secara sadis pada 1998, karena
dituduh 'tukang santet')
9
Di teras rumah adiknya yang bersebelahan dengan rumah orang tuanya, Sari — bukan
nama sebenarnya — untuk pertama kalinya membuka kepada publik tentang peristiwa
kelam yang menimpa ayahnya.

Kondisi rumah orang tuanya tak banyak berubah dalam 20 tahun terakhir, termasuk
hamparan kebun di depan bangunan rumah, tempat ayahnya dulu dibunuh secara keji.

Di depan rumah keluarga korban, ada 'tanda' berupa huruf X yang goreskan di batang
sebuah pohon. Temuan penyelidikan Komnas HAM dan tim NU Banyuwangi itu adalah
tanda penunjuk target sasaran yang harus dibunuh.

Satu-satunya yang berbeda, di lokasi itu kini tumbuh lebat semak-semak. Pohon
kelapa yang menjulang tinggi juga semakin banyak. "Di situ, kepala ayah saya
[ditemukan] hancur," Sari menggambarkan kondisi ayahnya ketika ditemukan dalam
kondisi sudah tidak bernyawa. Suaranya terdengar lirih.
Semula tidak gampang untuk meyakinkan keluarga Sari untuk mengisahkan ulang
peristiwa kematian ayahnya. Sari dan saudara-saudaranya sempat berbeda pendapat.
Mereka khawatir pengungkapan peristiwa pahit itu hanya membuka luka lama yang
sudah mereka pendam dalam-dalam. Alasan lainnya, jika itu dibuka lagi, akan mengusik
apa yang mereka sebut sebagai kedamaian yang sudah mereka rajut.

10
'Tajuk Rencana' Harian 'Kompas' pada 9 Oktober 1998 yang mengulas tentang
pembunuhan 'dukun santet' di Banyuwangi, Jatim. Namun Sari, salah satu anak korban,
akhirnya mau membuka diri. Asal saja, identitasnya tidak diungkap.

Dia lalu membuka cerita kelam itu. Saat kejadian dia tinggal di rumah salah satu
kerabatnya di luar Jawa. Sang Ibu yang kemudian mengisahkan ulang apa yang terjadi
pada malam itu kepadanya. Di malam jahanam itu, hanya ada ayah dan ibu serta
adiknya di rumah. Mereka tinggal di salah-satu desa di Banyuwangi, Jawa Timur. Tidak
berusaha mengingat lagi kapan tanggal kejadiannya, menurut cerita ibunya, ayahnya
dibunuh sekitar pukul 10 malam.

Aksi demo dukun santet di Banyuwangi di tahun 1998. (Tanpa keterangan tempat,
waktu dan subyeknya).

"Saat itu ayah habis salat isya berjamaah di rumah," ungkapnya. Usai salat, sang ibu
menyiapkan sayur mayur yang akan dijual keesokan harinya di pasar.

Namun malam itu listrik di rumah tiba-tiba padam. Ayahnya pun keluar rumah
untuk mengecek meteran listrik yang dititipkan di rumah tetangga. Kejadian mati lampu

11
ini berlangsung tiga kali. Dan malam itu, ibunya melihat ada keanehan. Ada seorang pria
berdiri di kebun di dekat rumahnya saat ayahnya menghidupkan meteran.

"Ibu sempat curiga, orang itu lalu ditanya dan dia bilang sedang mencari ayam, ternyata
ngasih tanda silang," ungkap Sari.

Ketika menjelaskan hal itu, Sari menunjuk satu pohon kelapa yang terdapat bekas
goresan tanda silang yang mulai memudar.

Belakangan hasil penyelidikan Komnas HAM menyebut tanda silang itu merupakan
lokasi kediaman orang yang harus dihabisi.
Kecurigaan itu terjawab ketika lampu padam ketiga kalinya. Ketika ayahnya hendak
menghidupkan lampu, dia dikeroyok oleh sejumlah orang. Lalu terdengar jeritan dan
teriakan.

Dari dalam rumah, ibu Sari mendengar ayahnya menanyakan identitas pelaku. Tapi
lantaran dicekam ketakutan luar biasa, ibu dan adiknya memilih tidak keluar dari
rumah. Keesokan harinya, jasad sang ayah ditemukan meninggal dunia dan tergeletak
dalam kondisi mengenaskan di kebun.

"Ibu kami tidak berani keluar rumah sampai pagi hari, panik, kakinya lemas," ungkap
Sari.

Peristiwa keji ini membuat sang ibu dan anak-anaknya syok, marah dan larut dalam
kesedihan mendalam. Mereka tidak tahu alasan kenapa ayahnya dibunuh, sampai
akhirnya ada informasi yang menyebut bahwa ayahnya adalah sosok dukun santet yang
harus dihabisi.

Keesokan harinya, jasad sang ayah ditemukan tergeletak meninggal dunia dalam
kondisi mengenaskan di kebun.

Tuduhan itu sangat menyakitkan bagi Sari dan keluarga. Meski bukan istilah baru, cap
seperti itu sangat asing bagi keluarga maupun lingkungannya.

"Sebelum ayah meninggal, tidak ada sebutan itu [dukun] santet," jelasnya. Sari
menyebut almarhum "rajin beribadah" dan "baik hati".

Tapi fitnah terhadap ayahnya itu terus dihidup-hidupkan, seolah-olah dia layak dibunuh
karena cap sebagai tukang santet. Inilah yang membuat Sari geram — sampai sekarang.

Dari cerita ibunya, hanya ada satu perseteruan mendiang ayahnya dengan temannya
yang terjadi di masjid. Namun itu sama sekali tak terkait santet.

Dia menyebut ayahnya "cukup agamis" untuk ukuran orang-orang desa kebanyakan.
"Bapakku ini pengurus Nahdlatul Ulama (NU)," kata Sari.

12
Sepengetahuannya, sehari-hari ayahnya tidak menunjukkan kebiasaan aneh yang
mengarah sebagai apa yang disebut sebagai 'tukang santet'. Rumahnya, yang berjarak
tak jauh dari masjid, juga bebas dimasuki teman-teman sebayanya, katanya. Apabila
orang tuanya memiliki ilmu hitam, tentu ada bagian di dalam rumah yang dirahasiakan,
dan tidak semua orang boleh masuk, ia mengemukakan logika.

Setelah dua dekade berlalu, apa yang melatari peristiwa pembunuhan ayahnya masih
menyisakan trauma, karena tuduhan yang diarahkan kepada mendiang ayahnya itu.

Harian 'Kedaulatan Rakyat' edisi 15 Oktober 1998 memberitakan tentang isu kehadiran
orang-orang yang mirip 'ninja'.

Sari dan keluarganya mengaku stigma cap dukun santet itu tak kunjung hilang.
Inilah yang memupuk rasa sakit yang tak kunjung sembuh, walau dia dan saudara-
saudaranya berusaha untuk mengenyahkannya.
Dari cerita ibunya, sejak pembunuhan sadis ayahnya, kondisi keluarga berubah
drastis. Rasa sedih, marah, rendah diri dan kecewa pun berkecamuk menjadi satu
selama bertahun-tahun.
Terlebih, demikian penilaian Sari, pemerintah dianggapnya seperti abai dengan apa
yang mereka alami. Bahkan, dia memiliki kesan, otoritas hukum saat itu membiarkan
apa yang disebutnya sebagai pelaku, "bebas berkeliaran".
Aparat keamanan yang seharusnya menyelidiki kematian ayahnya dianggapnya tidak
pernah terjadi. "Kalau menyalahkan, ya, menyalahkan pemerintah kenapa tidak diusut
sampai tuntas," kata Sari.

13
Di tengah kenyataan seperti itulah, Sari, ibunya, serta saudara-saudaranya selama
lebih dari 20 tahun berjibaku untuk berdamai dengan kenyataan — tanpa kehadiran
pemerintah.
Ketika Presiden Joko Widodo akhirnya berinisiatif mengakui, menyesalkan dan berjanji
memberikan rehabilitasi kepada korban kasus dukun santet dan 11 kasus pelanggaran
HAM berat lainnya di masa lalu, Sari mengaku "ketidakpuasan itu belum sepenuhnya
tergantikan". Namun di sisi lain, Sari masih menaruh harapan, keputusan pemerintah
itu dapat mengembalikan nama baik sang ayah — yang selama ini ternodai stigma
dukun santet — bisa dibersihkan, seperti sedia kala.

"Enggak puas saya," ujarnya, namun dia berharap, keputusan pemerintah itu, "minimal
nama baik [ayahnya] dipulihkan."

'Yang diadili cuma orang-orang suruhan, pentolannya tidak ditangkap'


(Ayah Dedy Sumardi mati dibantai pada 1998 di Banyuwangi, karena dituding tukang
santet)

Dedy Sumardi (52 tahun), warga Banyuwangi, kehilangan ayahnya yang dibunuh
sekelompok orang karena dituduh 'dukun santet' pada 1998.

Ditemui di rumahnya di Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, Dedy


Sumardi (52), tidak dapat melupakan peristiwa pembunuhan ayahnya.

"Kejadiannya itu hari Minggu sekitar pukul 09.00," ungkap Dedy. Dia mengaku tidak
mau mengingat lagi kapan persisnya tragedi itu.

14
Dedy Sumardi di depan rumahnya di Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng,
Banyuwangi: "Kalau bapak saya tukang santet, kenapa banyak yang datang untuk
mengaji.

"Irsyad, nama ayahnya, tewas mengenaskan setelah dibantai sekelompok orang yang
disebutnya dari "luar daerah".

Ayahnya dihabisi di jalanan sawah yang menghubungkan dua desa, tidak jauh dari
rumahnya, karena dituduh dukun santet. Kejadian ini disebutnya sangat ironis, karena
setiap malam ayahnya ikut melakukan upaya pengamanan bersama warga lainnya.

Saat itu beredar isu santer di masyarakat tentang kehadiran orang-orang mirip 'ninja'
yang menargetkan membunuh warga setempat. Tapi, tanpa pernah dia duga
sebelumnya, ayahnya sendiri yang justru menjadi sasaran pembunuhan sekelompok
orang. Dedy tidak berada di rumah saat kejadian. Dia tidur di rumah kawannya setelah
semalaman ikut ronda.

Irsyad, nama ayahnya, tewas mengenaskan setelah dibantai sekelompok orang yang
disebutnya dari "luar daerah". (Foto keluarga Dedy Sumardi, mendiang ayahnya di
sebelah kanan).
15
Informasi kematian ayahnya dia dapatkan dari seorang anggota polisi. Di lokasi
kejadian, ayahnya tergeletak mati dengan bersimbah darah.

Luka sabetan senjata tajam nyaris memisahkan kepala dengan badannya. Kejadian itu,
tentu saja, membuat keluarga syok. Dia meyakini pembunuhan ayahnya telah
direncanakan jauh-jauh hari oleh sekelompok orang.

Beberapa hari sebelum kejadian, ada sejumlah orang yang memberi tahu dirinya agar
ayahnya diungsikan sementara ke lokasi yang lebih aman. Namun Dedy dan ayahnya
menolak. Jika mereka mengikuti informasi tersebut, ungkapnya, itu seperti
membenarkan tuduhan itu. Pada tahap ini, Dedy menyayangkan aparat kepolisian tidak
mengendus ancaman itu dan tidak melakukan upaya pencegahan.

Dia tidak menampik saat itu beredar tuduhan mengada-ada bahwa ayahnya adalah
dukun santet. Sebuah tudingan yang sama sekali tidak benar. Terlebih isu tersebut
selama ini sama sekali tidak terdengar di lingkungannya."Kalau bapak saya tukang
santet, kenapa banyak yang datang untuk mengaji," katanya.

Dalam keseharian, aktivitas orang tuanya juga normal-normal saja. Ayahnya bekerja
menarik becak dan menyewakannya. Mendiang ayahnya juga aktif di masjid yang
berada di dekat rumahnya. "Ayah saya itu orang baik, kabar [dukun santet] itu fitnah,"
tegasnya berulang-ulang.

Alasan di balik pembunuhan ayahnya telah melukai istri dan anak-anaknya. Kesedihan
yang berlarut-larut memicu salah seorang saudaranya sempat jatuh sakit.

Dedy mengaku sudah mengetahui bahwa sejumlah pelaku dalam peristiwa


pembunuhan dukun santet telah ditangkap dan diadili. Namun dirinya mengatakan
tidak pernah dimintai keterangan polisi tentang kematian ayahnya.

Belakangan dia mengetahui ada beberapa kali panggilan persidangan kepadanya,


namun tidak pernah sampai kepada dirinya.

Di sinilah, Dedy menduga, upaya hukum untuk mengungkap rentetan pembunuhan


dukun santet di Banyuwangi "seperti diatur sedemikian rupa". Menurutnya, pelaku
yang menghabisi ayahnya hanya "orang suruhan".

"Yang dipenjara anak buah, bukan pentolan," katanya, lantang. Dia menilai ini bukti
bahwa pemerintah tidak serius menuntaskan kasus ini

Puluhan tahun kemudian, Dedy mengaku tidak menyisakan dendam kepada pelaku
lapangan yang menghabisi ayahnya.

Tanpa menunggu permintaan maaf dari para pelaku, dia dan keluarga sudah mencoba
memaafkannya. "Ini sesuai ajaran Islam yang saya anut."

16
Dia lantas bercerita, orang-orang yang disebutnya sebagai pelaku di lapangan sudah
menerima balasan dari Tuhan, tidak lama setelah peristiwa itu.

"Gusti Allah kasih keadilan, [para terduga pelaku kemudian mengalami] sakit-sakit,"
ujar Dedy.

Dimintai tanggapan atas langkah pemerintah yang sudah mengakui dan menyesalkan
peristiwa pembunuhan dukun santet (1998-1999 di Banyuwangi dan sekitarnya), serta
berjanji merehabilitasi dan memulihkan korban dan keluarganya, dia mengaku tidak
banyak meminta atau mengajukan tuntutan.

Alasannya, keluarganya sekarang "sudah tenang", walaupun mereka masih mengalami


trauma dan terstigma akibat cap dukun santet kepada ayahnya. Jika ada upaya hukum,
Dedy juga mengaku tak terlalu bersemangat. Dia mengaku sudah berdamai dengan
keadaan. Lagipula, orang-orang yang disebutnya sebagai pelaku pembunuhan ayahnya,
sudah meninggal dunia.

"Coba jika pentolan [di balik pembunuhan ayahnya] masih hidup, saya ada niat untuk
lapor," tandas Dedy.

17
BAB VI

KONSPIRASI NASIONAL YANG PERTAMA- ELITE POLITIK

Korbannya warga NU, pelaku lapangan juga orang NU'


(Ali Maki Syamwiel, eks anggota tim investigasi NU Banyuwangi kasus pembunuhan
dukun santet)

Pada awalnya pembantaian dukun sihir yang terjadi di Banyuwangi pada tahun yang
lalu(1998) dianggap sebagaai kejadian biasa saja. Akan tetapi, baru pada bulan
September masyarakat Banyuwangi tidak lagi mempercayai bahwa keadaan
pembunuhan tersebut merupakan peristiwa biasa sama sekali. Betul-betul apa yang
semula disebutkan sebagai aksi sihir berubah menjadi aksi teror.
Jumlah korban melonjak tajam menjadi ratusan nyawa , sedangkan teror maut itu
melebar ke daerah-daerah lain termasuk Jember, Probolinggo, Pemekasan, Sumenep,
Bangkalan dan lain lain.
Desas-desus adanya 'pengkondisian' serta dugaan keterlibatan 'pihak ketiga' dalam
peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999 dikuatkan oleh hasil kesimpulan
penyelidikan Tim Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Banyuwangi.Tim ini dibentuk dan
bekerja tidak lama setelah rentetan pembunuhan dukun santet, guru agama dan warga
sipil di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1998-1999.
Salah satu anggota tim investigasi NU, Ali Maki Syamwiel, mengatakan rentetan
pembunuhan itu mengarah pada dugaan "campur tangan kelompok" dari rezim yang
berkuasa saat itu.

Itu kerjaannya pemerintah pusat. Itu kan zaman Pak Harto," kata Ali Maki, eks anggota
tim investigasi NU Banyuwangi kasus pembunuhan dukun santet 1998-1999 di
Banyuwangi.

Tim investigasi NU menyimpulkan, dari hasil pengumpulan informasi di lapangan,


mereka meyakini kejadian ini melibatkan institusi TNI, secara langsung maupun tidak
langsung. Para aktor ini memunculkan isu macam-macam dengan memanfaatkan
kondisi kultural masyarakat Banyuwangi.

"Itu ada rapatnya, algojo, ada latihannya juga," ungkapnya, tanpa merinci lebih lanjut .

Maki mengungkapkan pihaknya memiliki bukti yang disebutnya "cukup kuat" tentang
dugaan keterlibatan aparat. Di lapangan, sebelum aksi pembantaian, terjadi apa yang
disebut Ali Maki sebagai "rapat koordinasi dengan pembagian peran masing-masing".
Ironisnya, oknum yang mengatur perencanaan tindakan keji ini menghilang saat
peristiwa berlangsung, sehingga menyisakan warga setempat atau warga sipil dari
daerah lain. "Ada itu briefing-nya," jelasnya.

18
Selain itu, pernyataan sejumlah orang yang memiliki kewenangan baik di tingkat daerah
maupun pusat terkesan meremehkan kejadian di lapangan.
Akibatnya, dampak teror yang dirasakan saat itu benar-benar sangat merugikan
masyarakat di bawah, katanya. Masyarakat yang "semula santai, tiba-tiba saling curiga".
Korban tewas pun berjatuhan, tidak hanya akibat dibunuh, tapi juga ada orang-orang
yang diisukan menjadi target pembunuhan, memilih untuk bunuh diri

.
Ali Maki meyakini teror pembunuhan dukun santet di Banyuwangi (1998-1999)
menargetkan warga nahdliyin, dengan cara membenturkan sesama warga sipil di akar
rumput. (Foto ilustrasi: Anggota Banser dalam acara HUT NU di Jakarta, 17 Juli 2011).

Tim investigasi NU Banyuwangi mencatat:

 Selama Februari 1998 hingga November 1998, setidaknya 128 nyawa melayang di
Banyuwangi.
 Rinciannya, 117 orang mati dibunuh dan, sisanya, 11 orang memilih gantung diri.
 Selain itu, tercatat 42 orang lolos dari serangan dan tiga orang mengalami luka
berat serta enam lainnya luka ringan.

"Sebanyak 93 orang yang tewas dan 11 gantung diri, semuanya warga NU," ungkapnya.

Kejadian teror ini, demikian kesimpulan tim NU, menciptakan suasana "ketidakpastian
di tengah masyarakat".

Ali Maki juga meyakini teror itu menargetkan warga nahdliyin, dengan cara
membenturkan sesama warga sipil di akar rumput. Indikasinya, teror pembunuhan ini
diawali adanya semacam pembenaran dari masyarakat dengan target awal orang-orang
yang dituding sebagai dukun santet. Dan dalam perkembangannya justru mengarah
kepada kalangan guru agama.

19
Ali menganalisa, rentetan pembunuhan dukun santet ini tidak terlepas pula dari
kemunculan NU sebagai kekuatan politik yang baru, dengan lahirnya Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).

'Pembantaian dukun santet tidak dapat dilepaskan dari kejatuhan Suharto'


Sekitar 16 tahun setelah teror dukun santet, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) akhirnya menurunkan tim untuk menyelidikinya.

Dirintis sejak 2015, Komnas HAM — dipimpin komisionernya, Beka Ulung Hapsara —
secara resmi mulai melakukan penyelidikan kasus ini sejak 2017.

Walaupun kesimpulan penyelidikan Komnas HAM tidak menyentuh aspek konteks


sosial politik saat itu, namun menurut Beka Ulung Hapsara, kasus ini "tidak terlepas
dari kejatuhan Suharto dari kursi presiden". (Foto: Suharto setelah mengumumkan
pengunduran dirinya sebagai Presiden, 21 Mei 1998).

Hasil penyelidikan Beka dkk menyimpulkan diduga "ada aktor yang melakukan
propaganda dan penggalangan massa" yang berujung pembantaian.
Para aktor intelektual ini mengetahui bahwa dukun santet itu memiliki 'posisi khusus'
di masyarakat Banyuwangi. Mereka juga dikenal memiliki 'banyak musuh' di kalangan
warga kebanyakan, kata Beka.
Dari dua faktor yang melekat pada dukun santet itulah, demikian temuan Komnas
HAM, menjadi bahan bagi "pelaku di lapangan" untuk menghabisi targetnya.
Jumlah korban meninggal dunia di Banyuwangi, Jember, Surabaya, Gresik, Lamongan,
dan Malang tercatat 253 orang. Korban terbanyak di Banyuwangi, yaitu sedikitnya 169
orang, menurut polisi.

20
BAB V

BUPATI BANYUWANGI DALAM PERISTIWA ELITE POLITIK


Peran mantan Bupati Banyuwangi drs Purnoma Sidak dalam peristiwa pembantaian
dukun sihir sangan dicurigai. Mengapa pada bulan Februari 1998 Bupati itu mengirim
radiogram kepada para Camat di seluruh Banyuwangi yang mengintruksikan mereka
mendaftar semua orang di kecamatannya yang di anggap tukang sihir? Apa lagi,
mengapa Bupati Purnomo Sidak mengeluarkan instruksi lagi pada tanggal 17
September 1998? Instruksi kedua ini bernada mengecah pembunuhan dukun sihir, dan
langsung ditindak-lanjuti Camat Glangah dalam bentuk perintah kepada Kades se-
kecamatan Glagah untuk mengadakan koordinasi, dan mengirimkan data tukang sihir
selambat-lambatnya pada tanggal 21 September 1998. Sesudah instruksi kedua ini,
pembantaian dukun sihir justru terjadi hampir setiap malam dan menelan banyak
korban.
Rupanya, tindakan Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik aneh sekali, khususnya kalau
kita menganggap sejarah masalah dukun sihir di daerah banyuwangi yaitu suatu
kejadian yang biasanya dapat di selesaikan di tingkat desa melalui kode etik khas dan
sumpah pocong. Menurut Bupati sendiri, radiogramnya agar menyelamatkan orang-
orang yang dituduh sebagai tukang sihir. Namun, sebaliknya orang-orang yang di daftar
memang harus menghadapi keadaan yang lebih berbahaya. Mengapa? Karena daftar itu
dengan cepat dibocorkan menjadi daftar gelap atau kartu merah. Sebetulnya, orang-
orang yang diduga sebagai dukun sihir tidak terselamatkan, malahan mereka menjadi
sasaran yang dengan ,mudah bisa diburu, dicari, dibunuh. Kehidupan di desa bersifat
komunal sekali. Berita berjalan dari mulut ke mulut secara cepat. Sungguhpun, orang di
sesuatu desa yang tidak mempunyai daftar gelap tersebut pasti tidak peduli. Dengan
desas-desus mereka sudah tahu siapa di desa mereka di daftarkan oleh Kades atau
Lurah. Walaupun demikian, Bupati Banyuwangi tetap menegaskan bahwa tindakannya
untuk menyelamatkan orang itu, bukan membahayakan
Yang saya lakukan selama ini sebenarnya demi kemanusiaan. Radiogram
yang saya kirim ke Camat-camat tanggal 17 September, 1998, terjadi
setelah banyak korban pembunuhan dengan isu santet (sihir). Mereka kita
data untuk kita selamatkan. Mereka kita minta untuk transmigrasi atau
mengungsi ke keluar Banyuwangi.

21
Cuplikan surat kabar tentang pernyataan Bupati

Cuplikan Radiogram yang dikeluarkan Bupati Purnomo Sidik pada peristiwa 1998

Akan tetapi, bagaimana radiogram Bupati Banyuwangi nomor 45/1125.023/1998


yang dikirim kepada Camat-camat pada mula Februari 1998?
Pada saat itu adanya hanya beberapa kasus pembunuhan dukun sihir yang terjadi
secara spontan, yakni dengan secara yang biasa pada masyarakat Banyuwangi. Apa lagi,
bagaiamana porang-orang seperti kyai, ulama, dan aktivis lain yang didaftar walaupun
mereka pasti tidak mempunyai ilmu hitam?
Pertanyaan saya adalah apakah Bupati Banyuwangi dahulu khawatir bahwa proses
pendaftaran itu akan digunakan oleh orang yang jujur dan adil untuk tujuannya yang
didasarkan politik? Ataupun, apakah Bupati Banyuwangi sudah mempunyai kesadaran
terhadap rencana politik itu?
Hampir semua orang yang saya temui atau wawancarai di Banyuwangi curiga
terhadap kedua radiogram Bupati itu, kecuali budayawan Hasan Ali. Bapak Hasan Ali,
yang mengakui bahwa dia mempunyai hubungan kuat bersama mantan Bupati
Purnomo Sidik, mengatakan bahwa Bupati Banyuwangi benar-benar ingin
menyelamatkan orang yang diduga tukang sihir. Akan tetapi, tindakannya dengan cepat
menjadi dipolitisir sehingga Bupati Purnomo Sidik menjadi korban politik dalam kasus
22
pembantaian dukun sihir itu. Apa lagi, Hasan Ali mengatakan bahwa pembocoran daftar
tersebut tidak begitu penting karena dalam kehidupan desa yang amat komunal itu
semua orang sudah tahu siapa yang diduga sebagai tukang sihir di desanya. Namun
demikian tidak semua orang sudah tahu siapa yang diduga sebagai tukang sihir di
desanya. Namun demikian tidak semua desa memenuhi permintaan pendataan dari
Bupati. Bahkan di Desa Gintangan. Kepala Desa tidak mengirim daftar itu ke Kecamatan
Rogojampi, tetapi mengapa terjadi pembunuhan tukang sihir juga?
Walaupun demikian, menurut Prof Soetandiyo Wingjosoebroto dari Komnas HAM,
rencana pendaftaran dukun sihir sebenarnya terjadi sebelum korban pertama jatuh di
Banyuwangi.
Menurut informasi yang didapatkan oleh Tim Pencari Fakta NU, pada tanggal 10
Februari 1998. Kapolsek Rogojampi mengundang beberapa orang yang diduga dukun
sihir untuk diberi pengarahan dan pembinaan mengenai Siskambling. Akan tetapi,
ternyata bukan sekedar pengarahan. Mereka yang dating memenuhi undangan disuruh
cap jempol kemudian di foto.
Ternyata, aparat keamanan di Banyuwangi tidak hanya membantu pendataan
tukang sihir tetapi juga aparat keamanan dikritik oleh masyarakat atas kelambanan dan
kelambatan terhadap kasus pembantaian tukang sihir yang mengikuti pendataan itu.
Kalau Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik benar-benar ingin menyelamatkan orang-
orang yang dituduh sebagai dukun sihir, lalu gagasannya gagal. Bahkan, rencana
sebetulnya menolong menciptakan suatu kedaan keadaan kekacauan yang paling parah
dalam sejarah modern Kabupaten Banyuwangi. Akibat tindakan, Bupati Banyuwangi
terpaksa mengundurkan diri. Di sini, kita bisa melihat peristiwa politik dari pihak lain,
yaitu aktivis NU. Sebenarnya Bupati Banyuwangi telah menghadapi masalah politik
pribadi sebelum kasus pembantaian tukang sihir muncul. Memang penduduk
Banyuwangi ingin mempermasalahkan kasus penyeludupan ribuan ton beras ke
Malaysia melalui Pelabuhan Tanjungwangi, pada bulan Agustus, 1997, yang diduga
melibatkan Bupati Purnomo Sidik
Radiogram Bupati Banyuwangi terhadap pendataan dukun sihir merupakan bukti
lagi bahwa Bapak Purnomo Sidik sebenarnya korup khususnya menurut kelompok anti-
Purnomo Sidik yang dipimpin ulama NU di Banyuwangi. Bapak Kyai Dasuli, memang
merupakan salah satu kelompok 101 kyai yang menuntut Bupati Banyuwangi
mengundurkan diri. Kelompok itu melakukan proses ke Jakarta sehingga Bupati itu
bahkan harus turun dari posisinya. Sekarang ada sekitar 25 orang, termasuk banyak
kyai dan anggota NU, yang berkampanye untuk posisi Bupati Banyuwangi baru.
Walaupun Bupati Purnomo Sidik sudah mengundurkan diri, sampai, pada saat ini dia
belum diungkapkan tentang perannya dalam peristiwa pembantaian dukun sihir.
Benar-benar dia sekarang pindah dari Banyuwangi dan tinggal di rumahnya di Malang.
Menurut pendapat Gus Dur, kasus Banyuwangi tidak ada hubungannya dengan ABRI
akan tetapi ada kemungkinan bahwa sinyal elemen itu sudah mengherankan banyak
orang. Padahal anggota tim Pencari Fakta NU yang menulis dalam laporannya bahwa
ada beberapa pihak dalam pembantaian missal tukang sihir yang terlibat, termasuk

23
oknum-oknum ABRI. Menurut laporan Tim Pencari Fakta NU pihak-pihak yang terlibat,
antara lain:
1) Bupati Banyuwangi dengan radiogramnya
2) Kapolres, Kodim Polsek, Koramil yang ikut mendaftar dan membiarkan
pembantaian terjadi susul-menyusul, dan beberapa oknumnya secara tidak
langsung ikut beroperasi
3) Sejumlah preman, penganggura, tukang becak, dan sejumlah penduduk yang
terpengaruh, ikut ramai-ramai melakukan pembantaian.
4) Sejumlah tenaga terlatih menggunakan pakaian ala ninja(diduga dari oknum
ABRI)
5) Ada juga tokoh politik dan sejumlah aktivis organisasi keagamaan yang ikut
andil dalam pembantaian tersebut.

24
BAB VI
DATA KORBAN
Kecamatan Versi Versi TPF Kecamatan Versi Versi TPF
Pemkab NU Pemkab NU
(Orang) (Orang) (Orang) (Orang)

Kota 2 2 Cluring 10 11

Giri 9 12 Tegaldlimo 2 2

Glagah 10 8 Purwoharjo 4 3

Kalipuro 4 2 Gambiran 3 7

Kabat 19 16 Genteng 2 5

Rogojampi 16 19 Sempu 5 16

Wongsorejo 3 3 Bangorejo 0 3

Singojuruh 9 9 Glenmore 0 3

Songgon 10 20 Kalibaru 2 2

Srono 2 3 Muncar 0 1

Jumlah 115 147

25
BAB VII
INVESTIGASI

Beberapa penyelidikan pernah dilakukan untuk mengungkap kronologi, dalang, dan motif
dibalik peristiwa ini. Seperti beberapa mahasiswa datang untuk melakukan penelitian dan
Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata saat itu, Jenderal Wiranto datang ke
Banyuwangi untuk memantau penyelidikan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) waktu itu juga telah membentuk tim untuk menyelidiki dan telah mengumumkan
pernyataan bahwa terdapat indikasi pelanggaran HAM berat pada kasus ini. Namun karena
kurangnya keseriusan, akhirnya penyelidikan dihentikan. Selain itu, dalam kasus ini telah
ditangkap puluhan orang dan ditetapkan sebagai tersangka dan menerima sanksi kurungan
dengan kurun waktu yang bervariasi. Meskipun begitu, dalang utama atau orang yang
mencetuskan pertama kali tidak pernah tertangkap ataupun terungkap
Kejahatan kemanusiaan itu adalah kejahatan yang dilakukan oleh warga-warga sipil
dalam keadaan tidak perang. Dalam kasus Banyuwangi ini memenuhi sebagai
pelanggaran HAM berat karena terdapat dua unsur yaitu unsur sistematis dan unsur
meluas — Ahmad Baso, komisioner Komnas HAM. Wawancara TvOne

Sistem hukum di negara kita ini kan menuduh, mendakwa dan memidanakan orang
perorang. Kalo itu dikerjakan secara massal, orang bisa sembunyi di balik massa itu.

— Soetandyo Wignjosoebroto, sosiolog. Wawancara TvOne

Pada Desember 2007, tim dari Nahdlatul Ulama membuka kembali investigasi kasus ini
dengan memberikan pengaduan kepada Komnas HAM dengan maksud agar peristiwa
tersebut bisa diurai, dalang-dalangnya bisa diseret ke pengadilan dan keluarga korban yang
tertuduh sebagai dukun santet bisa dibersihkan nama baiknya. Namun hal ini terkendala
dari keluarga korban yang sudah tidak ingin jika kasus ini dibuka lagi. Keluarga korban hanya
meminta rehabilitasi atas kejadian tersebut dan tidak menginginkan aktor-aktor dari
peristiwa ini diadili.

26
KESIMPULAN
Peristiwa pembantaian dukun sihir yang terjadi Kabupaten Banyuwangi pada tahun
yang lalu (1998). Menurut satu sumber, lebih dari 250 orang tewas di Banyuwangi dan
sekitarnya, kebanyakan waktu peristiwa itu mencapai puncaknya pada bulan
September dan Oktober.
Banyak korban lain menghadapi teror, perusakan rumahnya, atau terpaksa
melarikan diri ke tempat lain karena ketakutan atas kehilangan nyawanya.
Sebenarnya pembunuhan di Banyuwangi mulai pada bulan Februari, 1998. Akan tetapi
pada saat itu masyarakat menganggap pembunuhan tukang sihir itu masyarakat
menganggap pembunuhan tukang sihir itu sebagai kejadian yang biasa saja. Namun
delapan bulan kemudian masyarakat Kabupaten Banyuwangi tergenggam rasa takut.
Betul-betul jalan di Banyuwangi seperti daerah perang.
Desas-desus menyebar dari mulut ke mulut. Tidak lagi dukun sihir aja yang menjadi
sasaran dalam peristiwa pembunuhan itui, tetapi juga warga Nadhlatul Ulama
menghadapi kampanye teror. Media masa baik lokal maupun nasional dipenuhi artikel
mengenai Ninja para algojo gaib yang bertopeng hitam. Apa lagi, tidak hanya
banyuwangi tercekam rasa takut, tetapi juga hampir semua daerah di Propinsi Jawa
Timur mengalami teror.
Isu pembantaian dukun sihir sudah berubah menjadi isu ninja. Misteri social
terhadap tukang sihir itu berubah menjadi misteri politik.
Anehnya pada bulan November waktu ada Sidang Umum MPR rupanya semua
pembantaian sudah selesai. Fenomena teror maut yang tiba-tiba muncul, berhenti
secepatnya. Akan tetapi, meskipun teror maut itu selesai alasan dan jawaban atas
kekerasan itu masih belum jelas. Ternyata, semua tetap misteri.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasan dan Totok Hariyanto, Hubungan Sosiologis Budaya


Masyarakat Osing Dalam tindak kekerasan, makalah pada forum Dialog Budaya
Nasional- Pendekatan Budaya dalam Tindak Kekerasan, diselenggarakan oleh
Dewan Kesenian Blambangan, Banyuwangi, 8 November 1999.

BBC News Online, David Wilis, ‘Macarbe Murders Sweep Java’. 13 Oktober 1998 David
Wililis,’indonesia’s Ninja War’. 24 Oktober 1998

Fokus- Misteri Ninja dan Cara Mengantisipasinya, ‘ Untuk apa mendata dukun santet?
Dibantai atau di selamatkan?’
‘ Jenderal TNI Wiranto tentang aksi pembunuhan dan teror’.
‘Pasukan Anti Ninja’

Gastra’ Gerakan Politik- Membantai Dukun Santet’. Laporan Khusus, 17 Oktober 1998
‘ Teror Santet : ABRI Sampai Menteri Kabinet Kena Tuduh’.
Laporan Utama 31 Oktober 1998
‘ Aparatur Kurang Cepat’. Laporan Utama, 31 Oktober 1998.
‘ Operasi Ninja. Operasi Intelijen’. Laporan Utama, 31 Oktober 1998.

Koentjaraningkat, Prof. Dr, Beberapa Pokok, Antropologi Sosial, Pt Dian Rakyat, Jakarta,
1980.

28

Anda mungkin juga menyukai