Rumusan Masalah 1 Dan Tujun 1 Pembhsan 22
Rumusan Masalah 1 Dan Tujun 1 Pembhsan 22
1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
2. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
Aaaaa
1.14
27. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
28. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.15 Tujuan
1. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
2. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.16
29. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
30. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.17 Tujuan
3. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
4. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.18
31. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
32. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.19 Tujuan
5. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
6. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.20
33. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
34. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.21 Tujuan
7. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
8. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.22
35. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
36. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.23 Tujuan
9. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
10. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.24
37. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
38. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.25 Tujuan
11. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
12. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.26
39. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
40. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.27 Tujuan
13. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
14. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.28
41. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
42. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.29 Tujuan
15. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
16. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.30
43. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
44. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.31 Tujuan
17. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
18. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.32
45. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
46. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.33 Tujuan
19. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
20. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
1.34
47. Bagaimana anatomi palpebra pada mata?
48. Bagaimana gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya?
1.35 Tujuan
21. Mengetahui anatomi palpebra pada mata.
22. Mengetahui gejala klinis dan prosedur penegakan diagnosa untuk menegakkan
diagnosis hordeolum beserta penatalaksanaannya.
23. 2.1 Kasus
24. 2.3 Pembahasan
25. Gejala klasik pada
apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang diperburuk dengan
batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa jam. Nafsu
makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50%
pasien dewasa.
26. Pada kasus ini, keluhan
dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke klinik tidak
menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada
kecenderungan terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan
risiko missed appendicitis.
27. Pada kasus ini, pasien dilakukan
28. 2.1 Kasus
29. 2.3 Pembahasan
30. Gejala klasik pada
apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang diperburuk dengan
batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa jam. Nafsu
makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50%
pasien dewasa.
31. Pada kasus ini, keluhan
dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke klinik tidak
menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada
kecenderungan terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan
risiko missed appendicitis.
32. Pada kasus ini, pasien dilakukan
33. 2.1 Kasus
34. 2.3 Pembahasan
35. Gejala klasik pada
apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang diperburuk dengan
batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa jam. Nafsu
makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50%
pasien dewasa.
36. Pada kasus ini, keluhan
dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke klinik tidak
menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada
kecenderungan terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan
risiko missed appendicitis.
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
2.3 Pembahasan
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
2.3 Pembahasan
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
2.3 Pembahasan
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
2.3 Pembahasan
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
2.3 Pembahasan
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.
1. Pada kasus ini, pasien dilakukan
2.3 Pembahasan
Gejala klasik pada apendisitis adalah nyeri pada RLQ (right lower quadrant), yang
diperburuk dengan batuk, bersin, dan peregangan. Nyeri bertambah parah dalam beberapa
jam. Nafsu makan berkurang, sumer, tegang pada perut, dengan tanda-tanda inflamasi pada
pemeriksaan darah. Akan tetapi, gejala klasik tipikal ini hanya terdapat pada <50% pasien
dewasa.
Pada kasus ini, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien di awal kunjungan ke
klinik tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah apendisitis. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat dengan CT yang memiliki
sensitivitas terhadap apendisitis sebesar 80-96%. Walaupun demikian, ada kecenderungan
terjadi false negatif dengan pemeriksaan CT yang memunculkan risiko missed appendicitis.