DISUSUN OLEH :
Zulfatul Khoiriyah 2104104010034
Rayyan Jura Afani 2104104010035
Santia Varissa 2204104010089
DOSEN KELAS :
Dr. Laina Hilma Sari, S.T, M.Sc
198007122006042003
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis pa
njatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penuli
s dapat menyelesaikan makalah tentang pengaruh pemanasan, pendinginan dan pencahayaan pad
a desain arsitektur dalam mata kuliah Arsitektur Islam.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu
Dr. Laina Hilma Sari, S.T, M.Sc selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Sains Arsitektur
yang telah memberikan kepercayaan yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini, baik dari susuna
n kalimat, materi maupun teknik penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penuli
s harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI
Cover…………………………………………………………………………...i
Kata Pengantar…………………………………………………………………ii
Daftar Isi……………………………………………………………………….iii
1. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
1.2. Rumusan masalah
1.3. Manfaat penulisan
1.4. Tujuan penulisan
2. Pembahasan
2.1. Kontribusi Arsitektur vernakular dan Arsitektur Regional terhadap sistem
pemanasan,pendinginan, dan pencahayaan
2.2. Dinamika aspek dari Bangunan dinamis dan bangunan statis
2.3. kaitan antara Arsitektur dan energi
3. Penutup
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak satu abad yang lalu, pemanasan, pendinginan, serta pencahayaan suatu bangunan merupak
an elemen penting yang menjadi perhatian para arsitek. Kenyamanan termal dan pencahayaan dipenga
ruhi oleh perangkat lain yang mendukungnya. Pemanasan dihasilkan dengan merancang bangunan ya
ng tersusun padat dan diisi dengan tungku atau perapian. Sedangkan pendinginan dicapai dari hasil pr
oses pengaliran udara luar ke dalam bangunan melalui bukaan- bukaan seperti jendela serta bentuk-be
ntuk arsitektural yang ternaungi dari sinar matahari. Bukaan-bukaan ini juga menjadi sumber pencaha
yaan, selain berasal dari lampu minyak ataupun lilin. (Lechner: 2001)
Seiring berjalan waktu, perubahan kondisi mulai terjadi secara dramatis. Pada tahun 1960-an par
a ahli teknik mulai menggunakan perangkat mesin atau mekanik hasil rancangannya dalam konsep pe
manasan, pendinginan, dan pencahayaan. Kondisi ini telah menyebar dan diterima oleh masyarakat lu
as.
Namun pada tahun 1973, kondisi dihadapkan dengan permasalahan krisis listrik. Hal ini menyad
arkan para arsitek dan masyarakat bahwa konsep pemanasan, pendinginan, dan pencahayaan diwujud
kan dari penggabungan dua aspek, yaitu perangkat mekanik dan rancangan bangunan itu sendiri. Arsit
ektur vernakular dan regional dapat menjadi contoh desain arsitektural yang memberi kontribusi terha
dap pemanasan, pendinginan, dan pencahayaan dalam suatu bangunan.
Pada daerah beriklim panas dan kering, seperti Saudi Arabia. Kita akan sering melihat bangunan-
bangunan dengan dinding tebal dan konstruksi padat, jendela kecil, beratap datar dengan letak bangun
an yang berdekatan. Bentuk- bentuk tersebut berfungsi untuk mengurangi dan menghindari intesitas p
anas matahari berlebih yang masuk ke dalam bangunan. Jendela kecil digunakan cukup untuk memen
uhi kebutuhan pencahayaan dalam ruang. Letak bangunan yang berdekatan di selingi ruang publik me
mbentuk sistem naungan tersendiri. Curah hujan yang sedikit menghasilkan bentuk atap yang datar, se
ring difungsikan sebagai ruang tambahan seperti ruang tidur atau ruang keluarga terbuka pada malam
hari di musim panas.
Warna dinding luar di daerah ini juga khas. Warna muda menjadi pilihan untuk menimalisasi day
a serap panas sinar matahari ke dalam bangunan. Sedangkan di dalam ruangan, warna muda membant
u proses penyebaran sinar matahari yang masuk melalui jendela kecil sehingga ruangan menjadi teran
g.
Sumber: Pinterest
Pada daerah beriklim panas lembab kita akan menemukan bentuk bangunan yang berbeda pula.
Meskipun suhunya lebih rendah, ketidaknyamanan akibat kelembaban yang tinggi membutuhkan perh
atian khusus. Salah satu solusinya adalah menaikkan tingkat pendinginan melalui penguapan. Karakte
r bangunan pada daerah ini berupa jendela dengan ukuran besar untuk memaksimalkan pertukaran uda
ra, kantilever dan daun penutup jendela yang lebar untuk melindungi bangunan dari hujan dan panas s
inar matahari, serta memiliki plafon yang tinggi. Daerah ini juga identik dengan warna muda pada din
ding luar bangunan. Berbeda dengan daerah beriklim panas kering, bangunan-bangunan didaerah beri
klim lembab diletakkan berjauhan, berfungsi untuk mengalirkan udara dingin secara maksimal.
Di Indonesia, salah satu contoh daerah dengan iklim panas lembab, bangunan tradisional biasany
a diangkat dengan tiang-tiang membentuk rumah panggung. Rumah memiliki bentuk atap yang tinggi
dan pucuk atap yang terbuka sehingga ventilasi udara mengalir optimal secara alami.
Bangunan tradisional Indonesia sangat kaya akan variasi bentuk sebagai akibat dari karakter tang
gap iklim. Aceh sebagai salah satu contoh daerah di Indonesia memiliki topografi berupa dataran rend
ah, tinggi dan area pantai. Daerah dataran rendah sebagai contoh Banda Aceh berada diketinggan 8 m
eterdi atas permukaan laut. Iklim lokal dipengaruhi ole iklim lembab basah dengan temperatur rata-rat
a 270C, kelembaban relatif rata-kecepatan angin 2 m/s. Curah hujan berkisar 100.6 mm dengan period
e hujan adalah di bulan Desember dan Januari. (BMKG, 2008). Sedangkan dataran tinggi sebagai cont
oh daerah Aceh Tengah terletak pada ketinggian 100-2600 m di atas permukaan laut memiliki iklim lo
kal berupa temperatur udara 200C dan curah hujan 1082-2400 mm pertahun (BMKG, 2008).
Sumber: Pinterest
Sekilas rumah-rumah tradisional Aceh memiliki bentuk yang hampir serupa, namun tidak demiki
an. Fasad bangunan memiliki karakter sepertii seekor burung yang terbang ke arah barat, dengan dua s
ayap dan enam belas kakinya. Menggambarkan bentuk yang memanjang ke arah timur dan barat dan
memudahkan untuk menentukan arah kiblat, yang berkaitan dengan tata cara beribadah dalam agama
Islam.
Rumah Aceh yang dikenal dengan Rumoh Aceh yang didirikan diatas sejumlah tiang-tiang sehin
gga membentuk kolong pada bagian bawah rumah. Bangunan ini sangat cocok untuk iklim setempat.
Orientasi bangunan yang memanjang kearah Timar-Barat, memiliki sisi yang lebih pendek sangat me
mungkinkan bangunan dapat menahan tiupan angin dari arah Barat yang ekstrim.
Bahan bangunan yang dipergunakan untuk mendirikan rumoh Aceh sangat bervariasi. Bahan-bah
an tersebut terpilih dari jenis-jenis kayu tertentu, dimana untuk kerangka dasar dipilih kayu yang kuat
dan lurus. Kayu yang dugunakan untuk tiang dipilih dari jenis kayu yang keras dan berwarna gelap ke
coklatan seperti merbau darat. Pohonnya khusus ditanam untuk keperluan membuat tiang (Leigh, 198
2). Jenis kayu lainnya yang sering digunakan adalah kayu dari pohon nangka, pohon halaban, dan poh
on kakasan (Abdullah, 1988).
Sumber: Pinterest
Terakhir, tipe arsitektur pada daerah beriklim dingin. Bangunan di rancang sedemikian rupa untu
k menyimpan panas. Diantaranya meminimalisasi perbandingan luas area terhadap volume dengan me
rapatkan susunan bangunan. Menghindari jumlah jendela yang terlalu banyak agar penyimpanan pana
s lebih efektif. Untuk menahan panas, penggunaan material kayu sebagi dinding lebih efisien daripada
batu. Plafond dibuat serendah mungkin, biasanya hanya berjarak kurang dari 7 kaki atau 2.1.meter dar
i lantai. Dari luar, pepohonan dimanfaatkan sebagai buffer alami untuk menghalangi angin musim din
gin.
BMKG. (2008), Weather data of Banda Aceh, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika,
Blang Bintang, Indonesia
Lechner, N ( 2001), Heating, Cooling and Lighting (Metode desain Untuk Arsitektur), PT. Raj
aGrafindo Persada, Jakarta
Abdullah, Konsepsi Masyarakat Aceh tentang Tata Ruang, dalam artikel PKA 3, Banda Aceh,
1988, 275