Mengapa kita mengangkat kasus ini? Karena kita pasti sudah tidak asing lagi
dengan sengketa budaya yang berhubungan dengan negara tetangga yaitu
Malaysia. Sengketa ini sudah berlangsung sejak lama (tahun 1960) dan masih
diperdebatkan hingga sekarang.
Kedutaan besar Malaysia di Jakarta kerap kali menjadi sasaran pengunjukrasa yang
marah dan para pengunjukrasa mengatakan ‘Malaysia mencuri budaya Indonesia’.
Salah seorang pelajar Indonesia di Monash University Malaysia mengatakan “Di
Malaysia ketika saya membawa teman – teman saya ke museum, ini adalah batik
Jogja, batik Solo. Ini bukanlah berasal dari Negara Anda (Malaysia). Ia menjelaskan
kepada teman – temannya bahwa semua itu berasal dari negaranya sendiri yaitu
Indonesia bukan milik Negara Malaysia.
Pada akhir 2012 muncul permasalahan soal Tari Tor – Tor dan Musik
Gordansabilan. Sementara 2008 ada kontroversi klaim Malaysia yang menyatakan
batik adalah milik mereka. Dr. Faris Noor, Analis Politic Universitas Nangyang Tech,
Malaysia, “Memang Batik berasal dari Jawa, tapi menurut sejarahnya batik
kemudian menyebar di seluruh Asia Tenggara. Seluruh Asia Tenggara mengambil
batik Indonesia karena kami menghargai batik Indonesia. Ini sumbangan Jawa
kepada dunia. Jadi ini bukan kasus pencurian. Jika ada, itu adalah pengakuan
cerdas budaya orang Jawa.”
Banyak tantangan bagi ASEAN untuk mewujudkan visinya bagi warganya untuk
merangkul komunitas ini. Salah satu tantangan utamanya adalah kesenjangan
ekonomi yang dialami oleh masyarakat di negara yang tergabung dalam ASEAN.
Agar bisa bergerak maju ASEAN harus memerankan peran yang lebih besar dalam
membagun kerja sama antar negara yang tergabung dalam ASEAN agar tidak
timbul adanya suatu perpecahan antar negara dalam membangun wilayah Asia
Tenggara.
Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste memang lebih
disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya alam) antara kedua warga
negara yakni warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten
Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dan warga Pasabbe, Distrik Oecussi,
Timor Leste. Permasalahan mengenai penetepan sengketa batas wilayah antar
kedua negara juga menjadi pemicu, namun pendekatan pembangunan ekonomi
berupa kesejahteraan dan tingkat pendidikan juga berpengaruh dalam konflik
tersebut.
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan
tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia
dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia
dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara
satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak
1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak
menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Kemudian krisis ekonomi tersebut ditandai kesulitan memperoleh bahan pokok dan kesempatan
kerja (sebagai akibat banyaknya perusahaan yang harus gulung tikar dikarenakan krisis hutang
akibat depresiasi rupiah yang amat tajam dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu
timbulnya gerakan mahasiswa yang muncul bagaikan ribuan semut.. Gerakan mahasiswa itu,
kemudian menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk menyadari bahwa
upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan reformasi di dalam bidang politik.
Ternyata, pergantian pimpinan nasional tersebut melahirkan suasana politik yang hiruk pikuk.
Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan didengar suaranya. Termasuk dari mereka yang selama
ini dikenal sebagai pendukung setia rejim masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang
ikut bermain dalam kancah politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk
dihembuskan pada masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan desentralisasi
kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan
berbagai cara tuntutan itu dimunculkan. Dalam kasus terakhir di Aceh, bahkan sampai menggelar
“SU MPR” (Sidang Umum Masyarakat Pejuang
Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan masyarakat Aceh. Khusus untuk hal
itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai solusi pun muncul, dari sekadar menuntut pembagian
keuangan yang lebih adil, tuntutan otonomi yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke
tuntutan kemerdekaan.