Anda di halaman 1dari 9

Sengketa Budaya – Indonesia vs Malaysia’.

Mengapa kita mengangkat kasus ini? Karena kita pasti sudah tidak asing lagi
dengan sengketa budaya yang berhubungan dengan negara tetangga yaitu
Malaysia. Sengketa ini sudah berlangsung sejak lama (tahun 1960) dan masih
diperdebatkan hingga sekarang.

Kedutaan besar Malaysia di Jakarta kerap kali menjadi sasaran pengunjukrasa yang
marah dan para pengunjukrasa mengatakan ‘Malaysia mencuri budaya Indonesia’.
Salah seorang pelajar Indonesia di Monash University Malaysia mengatakan “Di
Malaysia ketika saya membawa teman – teman saya ke museum, ini adalah batik
Jogja, batik Solo. Ini bukanlah berasal dari Negara Anda (Malaysia). Ia menjelaskan
kepada teman – temannya bahwa semua itu berasal dari negaranya sendiri yaitu
Indonesia bukan milik Negara Malaysia.

Masalah kepemilikan budaya sudah mendera hubungan kedua negara tersebut.


Pada 2007 iklan dewan pariwisata Malaysia yang menampilkan Tari Bali memicu
ancaman dari Indonesia,bahkan Indonesia mau membawa ke pengadilan atas
pelanggaran hak cipta. Malaysia pun meminta maaf dan masalah hak cipta pun
tidak berlanjut. Menurut Sejarawan Budaya, EddinKhoo “ide kepemilikan budaya di
kawasan Asia Tenggara adalah sesuatu yang konyol. Ketegangan ini muncul, akibat
kurangnya pemahaman bersama soal masa lalu kita secara regional dan gografis”.
Ikatakan budaya Malaysia dan Indonesia sudah lama sebelum keduanya terbentuk.
Meski praktik dan bentuk budaya hampir mirip, namun ada yang sedikit
perbedaan, perbedaan inilah yang menjadi celah untuk permasalahan muncul.

Pada akhir 2012 muncul permasalahan soal Tari Tor – Tor dan Musik
Gordansabilan. Sementara 2008 ada kontroversi klaim Malaysia yang menyatakan
batik adalah milik mereka. Dr. Faris Noor, Analis Politic Universitas Nangyang Tech,
Malaysia, “Memang Batik berasal dari Jawa, tapi menurut sejarahnya batik
kemudian menyebar di seluruh Asia Tenggara. Seluruh Asia Tenggara mengambil
batik Indonesia karena kami menghargai batik Indonesia. Ini sumbangan Jawa
kepada dunia. Jadi ini bukan kasus pencurian. Jika ada, itu adalah pengakuan
cerdas budaya orang Jawa.”

Perselisihan menyangkut siapa pemilik budaya telah memperlebar kesenjangan


antara kedua negara yang dipandang sebagai pilar ASEAN. Pertentangan ini
mempengaruhi ASEAN yang ingin maju sebagai kawasan yang progresif. Masalah
kepemilikan budaya merupakan bukti dari identitas kuat yang dibangun negara –
negara ASEAN terhadap warga negaranya.

Banyak tantangan bagi ASEAN untuk mewujudkan visinya bagi warganya untuk
merangkul komunitas ini. Salah satu tantangan utamanya adalah kesenjangan
ekonomi yang dialami oleh masyarakat di negara yang tergabung dalam ASEAN.
Agar bisa bergerak maju ASEAN harus memerankan peran yang lebih besar dalam
membagun kerja sama antar negara yang tergabung dalam ASEAN agar tidak
timbul adanya suatu perpecahan antar negara dalam membangun wilayah Asia
Tenggara.

Implementasi wawasan nusantara dalam memecahkan masalah sengketa budaya


sebagai berikut:

1)   Kehidupan Politik

1. Pelaksanaan kehidupan politik yang diatur dalam undang – undang, seperti UU


Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Pelaksanaan
Undang – Undang tersebut harus sesuai hukum dan mementingkan persatuan
bangsa. Contohnya seperti dalam pemilihan Presiden, anggota DPR, dan Kepala
Daerah harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sehingga tidak
menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia harus sesuai
dengan hukum yang berlaku. Seluruh bangsa Indonesia harus mempunyai dasar
hukum yang sama bagi setiap warga negara, tanpa pengecualian. Di Indonesia
terdapat banyak produk hukum yang dapat diterbitkan oleh provinsi dan
kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku secara nasional.
3. Mengembangkan sikap hak asasi manusia dan sikap pluralisme untuk
mempersatukan berbagai suku, agama, dan bahasa yang berbeda, sehingga
menumbuhkan sikap toleransi.
 Memperkuat komitmen politik terhadap partai politik dan lembaga
pemerintahan untuk meningkatkan semangat kebangsaan, persatuan dan
kesatuan.
 Meningkatkan peran Indonesia dalam kancah internasional dan memperkuat
korps diplomatik sebagai upaya penjagaan wilayah Indonesia terutama pulau-
pulau terluar dan pulau kosong.
2)   Kehidupan ekonomi
1. Wilayah nusantara mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, seperti posisi
khatulistiwa, wilayah laut yang luas, hutan tropis yang besar, hasil tambang dan
minyak yang besar, serta memiliki penduduk dalam jumlah cukup besar. Oleh
karena itu, implementasi dalam kehidupan ekonomi harus berorientasi pada
sektor pemerintahan, pertanian, dan perindustrian.
2. Pembangunan ekonomi harus memperhatikan keadilan dan keseimbangan antar
daerah. Oleh sebab itu, dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan
upaya dalam keadilan ekonomi.
3. Pembangunan ekonomi harus melibatkan partisipasi rakyat, seperti dengan
memberikan fasilitas kredit mikro dalam pengembangan usaha kecil.
3)   Kehidupan sosial

1. Mengembangkan kehidupan bangsa yang serasi antara masyarakat yang


berbeda, dari segi budaya, status sosial, maupun daerah. Contohnya dengan
pemerataan pendidikan di semua daerah dan program wajib belajar harus
diprioritaskan bagi daerah tertinggal.
2. Pengembangan budaya Indonesia, untuk melestarikan kekayaan Indonesia, serta
dapat dijadikan kegiatan pariwisata yang memberikan sumber pendapatan
nasional maupun daerah. Contohnya dengan pelestarian budaya, pengembangan
museum, dan cagar budaya.
4)   Kehidupan pertahanan dan keamanan

1. Kegiatan pembangunan pertahanan dan keamanan harus memberikan


kesempatan kepada setiap warga negara untuk berperan aktif, karena kegiatan
tersebut merupakan kewajiban setiap warga negara, seperti memelihara
lingkungan tempat tinggal, meningkatkan kemampuan disiplin, melaporkan hal-
hal yang mengganggu keamanan kepada aparat dan belajar kemiliteran.
2. Membangun rasa persatuan, sehingga ancaman suatu daerah atau pulau juga
menjadi ancaman bagi daerah lain. Rasa persatuan ini dapat diciptakan dengan
membangun solidaritas dan hubungan erat antara warga negara yang berbeda
daerah dengan kekuatan keamanan.
3. Membangun TNI yang profesional serta menyediakan sarana dan prasarana
yang memadai bagi kegiatan pengamanan wilayah Indonesia, terutama pulau
dan wilayah terluar Indonesia.

Sengketa Terpecahnya Negara Timur Leste


Sengketa Terpecahnya Negara Timur Leste yang terlepas dari Negara Kesatuan
Indonesia. Ketika membahas timur leste atau yang sekarang disebut negara timur-
timur, sama halnya kita mengenang luka lama yang sudah sejak lama hilang.
Wilayah itu dulunya merupakan bagian dari wilayah indonesia. Namun setelah jajak
pendapat, Timor Leste membelah menjadi bagian negara sendiri yang terlepas dari
Negara Kesatuan Repbulik Indonesia dilihat dari jejak asal usulnya timur leste
merupakan wilayah jajahan portugis pada masa silam.

Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste memang lebih
disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya alam) antara kedua warga
negara yakni warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten
Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dan warga Pasabbe, Distrik Oecussi,
Timor Leste. Permasalahan mengenai penetepan sengketa batas wilayah antar
kedua negara juga menjadi pemicu, namun pendekatan pembangunan ekonomi
berupa kesejahteraan dan tingkat pendidikan juga berpengaruh dalam konflik
tersebut.

Pemerintah Indonesia ataupun Timor Leste harusnya bekerja sama menciptakan


perdamaian di perbatasan, jangan sampai ketika konflik tersebut mengalami
eskalasi baru dua negara mulai bertindak. Lebih baik mencegah daripada
menanggulangi, seharusnya pemerintah cepat tanggap saat terjadi masalah ini
agar masalah ini tidak menjadi masalah yang besar seperti yang sudah terjadi
akhirnya Timor Leste memisahkan diri dari wilayah Indonesia.

engketa Sipadan dan Ligitan


Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau
Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan
koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²)
dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah
ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun


1967 dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-
masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke
dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat
agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan
tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor
parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia
memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa
dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki
sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan
Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba
menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak
di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya
hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah
menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya,
fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes
ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih
dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum
diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia
Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia)
dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa
akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan
yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia
menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk
klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta
sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun
1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan
pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia
untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan
Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian
melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober
1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut
yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar
Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei
1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia
meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49
Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan
tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia
dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia
dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara
satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak
1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak
menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat)


adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda
(penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa
menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola
kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis
Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah
yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan,
Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk
wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah
Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada
tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu; tetapi karena
Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif
atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu,
operasi mercu suar, dan aturan perlindngan satwa.
Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah
berusaha untuk mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara
mereka kerahkan,mulai dari Diplomasi dan perundingan setiap tahun-
nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat mencari titik temu dan
kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam ASEAN,di
mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu
permasalahan harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN
24 februari 1976 di BALI). Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap
anggota ASEAN wajib membawa kasus mereka ke PBB dan putusan
Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di ganggu gugat.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui
kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak
pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya
Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau
itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen
Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur
batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu
Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil)
dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan).
Intinya masyarakat yang tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada
transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia bertahun-tahun. Sarana
hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga berasal dari
Malaysia selama bertahu-tahun).
Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta
ambisi strategis/ekonomis Belanda adalah sulit dibayangkan kalau Belanda
tidak melakukan kegiatan pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau
tersebut pada waktu itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang agak
mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sebelum 1969 barangkali karena
Indonesia tidak menyadari keberadaan posisi kedua pulau itu, atau mungkin
juga karena terlalu banyak persoalan yang dihadapi. Tetapi sesudah tahun
1969 pada saat mulai muncul sengketa klaim, meskipun disepakati status quo
atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya
berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus
meningkat.
Kasus Sipadan dan Ligitan yang kini telah menjadi milik Malaysia,
menjadi bukti lemahnya bangsa Indonesia memahami konsep Wawasan
Nusantara. Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin hari
semakin berat, maka penerapan dan pemahaman konsep wawasan
nusantara sebagai landasan visional mutlak perlu ditanamkan kembali dalan
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Euforia reformasi telah
menghilangkan arah dalam pembangunan yang merata dan adil, karena
hilangnya arah visional pembangunan bangsa. Era desentralisasi dan
globalisasi saat ini, menjadi tantangan dan peluang bagi bangsa Indonesia,
untuk terus bertahan dan menjaga keutuhannya.Tantangan globalisai yang
semakin besar akan merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Apabila tidak memiliki arah pandangan hidup yang kuat. Pemahaman yang
kuat tentang konsep wawasan nusantara dapat menjadi banteng dalam
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan adannya wawasan nusantara kita dapat mempererat rasa


persatuan di antara penduduk Indonesia yang saling berbhineka tunggal ika.
Dalam era Reformasi ini, Wawasan Nusantara semakin kabur dalam
pemahaman bangsa Indonesia. Peranan wawasan nusantara sebagai
landasan visional semakin berkurang penerapannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konflik-konflik internal dan eksternal yang terjadi
saat ini yang tidak mampu diselesaikan dengan baik disebabkan rapuhnya
landasan visional bangsa indonesia.

Krisis Multidimensional Indonesia


Krisis nilai tukar yang dialami oleh bangsa  Indonesia pada periode Juni 1998, telah
membawa akibat yang sungguh  diluar perkiraan siapapun, bahkan tak pula prediksi para ahli.
Krisis tersebut, pada kisah lanjutannya berkembang dan meluas mencapai krisis
multidimensional; ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemudian : identitas bangsa.

Kemudian krisis ekonomi tersebut ditandai kesulitan memperoleh bahan pokok dan kesempatan
kerja (sebagai akibat banyaknya perusahaan yang harus gulung tikar dikarenakan krisis hutang
akibat depresiasi rupiah yang amat tajam dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu
timbulnya gerakan mahasiswa yang muncul bagaikan ribuan semut.. Gerakan mahasiswa itu,
kemudian menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk menyadari bahwa
upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan reformasi di dalam bidang politik.

Reformasi politik, yang semula diarahkan pada pembersihan pemerintahan dari


korupsi, kolusi dan nepotisme yang kemudian diakronimkan menjadi “KKN”,
ternyata tidak mendapat sambutan yang positif dari pemerintahan Presiden Soeharto
yang ketika itu berkuasa. Akibatnya, kekecewaan timbul sebab ketidak-responsif-an
pemerintah, malah membawa tuntutan yang sifatnya lebih mendesak; yakni perlunya pergantian 
pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto. Gerakan mahasiswa, yang menggulirkan
tuntutan pergantian pimpinan nasional itu, akhirnya mampu untuk memaksa Soeharto untuk
mengundurkan diri, pada tanggal 21 Mei 1998. Ketika itu, ratusan ribu mahasiswa menduduki
Gedung MPR/DPR untuk menyatakan tuntutannya.

Ternyata, pergantian pimpinan nasional tersebut melahirkan suasana politik yang hiruk pikuk.
Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan didengar suaranya. Termasuk dari mereka yang selama
ini dikenal sebagai pendukung setia rejim masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang
ikut bermain dalam kancah politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk
dihembuskan pada masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan desentralisasi
kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan
berbagai cara tuntutan itu dimunculkan. Dalam kasus terakhir di Aceh, bahkan sampai menggelar
“SU MPR” (Sidang Umum Masyarakat Pejuang
Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan masyarakat Aceh. Khusus untuk hal
itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai solusi pun muncul, dari sekadar menuntut pembagian
keuangan yang lebih adil, tuntutan otonomi yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke
tuntutan kemerdekaan.

Anda mungkin juga menyukai