Anda di halaman 1dari 10

Penelitian Terdahulu

1. Nama: Essam El-Hinnawi


Judul: Environmental Refugees (BUKU)
Serial Buku: United Nations Environment Programme (UNEP)
Tahun: 1985

Hasil Penelitian:
Hasil penelitian melalui buku yang ditulis Essam El-Hinnawi ini menunjukkan
bahwasanya isu migrasi iklim bukanlah suatu isu yang baru. Terhitung semenjak
terbitnya buku pada 1985 lalu, sebenarnya sudah banyak orang-orang yang berpindah
tempat karena perubahan iklim maupun bencana. Buku ini sendiri pun menjelaskan apa
makna definitif “Climate Migration” secara umum dan definisi seorang pengungsi
‘refugee’ menurut UN convention 1951. Menurut buku ini, ada 3 kategori yang
mendefinisikan seorang Migran Perubahan iklim, yakni pindah karena kerusakan
lingkungan (bencana alam), mereka yang bermigrasi secara permanen karena kerusakan
lingkungan yang disebabkan manusia (pembangunan waduk atau infrastruktur lainnya),
dan terakhir adalah mereka yang bermigrasi secara transnasional baik permanen atau
sementara untuk meningkatkan taraf hidup. Buku ini cukup konkrit sebagai landasan
dasar bagi mereka yang ingin mempelajari isu migrasi perubahan iklim. Selain
itu,dijelaskan pula bagaimana hubungan kompleks antara manusia, SDA, serta
lingkungan dan tak jauh dari sana, ketiga aspek tersebut memiliki hubungan siklikal yang
tak dapat diputus.

Perbandingan:
Penelitian di buku ini tidak sepenuhnya mewakili keinginan penulis karena pada masa
itu, isu yang dibahas di buku ini merupakan hal yang sangat baru. Hal ini pun membuat
dua pandangan bagi penulis, yakni buku tersebut dapat menjadi referensi awal sebagai
landasan isu dan cakupan penelitiannya yang cenderung masih dangkal dan luas.
Penelitian di buku ini pun merilis banyak penyebab terjadinya migrasi iklim dan
penanggulangan awal bagi para korban.

2. Nama: Tayyar ARI, Fatih Bilal GÖKPINAR


Judul: Climate-Migration: A Security Analysis within the Context of Green Theory
(Artikel Jurnal)
Nama Jurnal: Uluslararası İlişkiler / International Relations
Tahun: 2020

Hasil penelitian:
Penemuan dalam jurnal ini mengatakan bahwasanya perubahan iklim memiliki efek yang
sama dengan perang, tetapi pergerakan ancaman tersebut bergerak secara lambat dan
bertahap. Secara definitif, pengungsi iklim ini haruslah mengikuti definisi "pengungsi"
UN 1951, yakni sekelompok orang yang berpindah tempat karena adanya ancaman
persekusi oleh manusia lain untuk mendapat hak legalitas. Akan tetapi, dalam konteks
perubahan iklim persekutor di sini ialah perubahan iklim yang merupakan aspek
nonmanusia, sehingga menyulitkan mereka. Dalam mendefinisikan para pengungsi iklim,
banyak organisasi internasional mengoinkan kata "migran" daripada pengungsi 'refugee'
sebagai cara untuk mengelabui aturan negara yang tidak menerima pengungsi lagi.
Masalah tak hanya berhenti di sana, adanya masalah definitif ini juga terhenti karena
dengan adanya kata "migran" mengharuskan mereka pindah dalam negara bukanlah
pindah secara transnasional. Alhasil, pengelompokan definisi migran dan pengungsi pun
tak selamanya dapat meringankan beban para korban. EU dan US mulai mengkategorikan
migran perubahan iklim sebagai isu keamanan dengan alasan gelombang migrasi dapat
menyebabkan instabilitas keamanan. Sebagaimana tujuan penulisan penelitian ini adalah
permasalahan keamanan yang paling besar ialah perubahan iklim yang lambat laun akan
merubah stabilitas pergerakan populasi manusia di dunia.

Perbandingan:
Penulis menemukan bahwa jurnal ini sangatlah berfokus kepada green theory yang mana,
teori tersebut dapat dijadikan sebagai pendekatan. Akan tetapi pendekatan tersebut
berbeda dengan teori keamanan manusia yang dipakai oleh penulis. Karena fokus jurnal
ini mendekatkan isu migran perubahan iklim dengan green theory, salah satu aspek yang
dapat di-applaud dari kasus ini merupakan bagaimana paper ini dapat menyelaraskan
teori yang dipakai penulis dengan teori di jurnal yakni, cara menyelamatkan manusia
secara luas dari perubahan iklim adalah penyelematan ekosistem terlebih dahulu karena
di sini konteks yang diutamakan merupakan ekosistem yang terancam dan manusia pun
terikut juga.

3. Nama: The White House


Judul: Report on the Impact of Climate Change on Migration (Laporan)
Serial Buku: The White House Washington DC
Tahun: 2021

Hasil Penelitian:
Laporan yang ditulis oleh The White House ini akan banyak berfokus terhadap "Program
Pembangunan dan Peningkatan Penempatan Pengungsi yang terdampak Perubahan
Iklim". Laporan ini merupakan kali pertama Amerika Serikat melakukan pelaporan
hubungan migrasi dan perubahan iklim. Laporan ini juga membenarkan adanya banyak
mobilitas manusia yang terjadi karena perubahan iklim yang dapat mengancam
kehidupan manusia, seperti di tahun 2016 sudah tercatat sebanyak 21,5 juta orang harus
berpindah tempat karena dampak cuaca tak menentu menurut UNHCR. Terlihat dengan
adanya kepentingan nasional AS untuk membuat jalan untuk perlindungan humaniter di
AS dari ancaman perubahan iklim. Perubahan iklim di laporan ini pun dianggap bersifat
ancaman multiplier, seperti pemicu konflik budget publik dan dapat mengundang aktor-
aktor jahat yang dapat memperparah tensi sosial dan politik. Oleh karena itu, pemerintah
AS juga mengangkat beberapa lembaga penting seperti IOM, UNHCR, dan UN
Environment Program untuk fokus pada peningkatan analitik, investasi, dan strategi
legislatif. Pengembangan strategi dalam laporan ini mengutamakan skala geopolitis dan
peran multilateral dalam kontekstualisasi risiko dan peluang migrasi perubahan iklim
untuk mencegah ancaman gelombang migrasi, yang kemudian dipakai sebagai acuan
untuk kebijakan di masa mendatang. Hal ini terlihat dengan adanya urgensi AS dalam
memberi dana ke daerah yang terkena dampak perubahan iklim di berbagai benua di
dunia.

Perbandingan:
Penelitian ini tak hanya membantu, tetapi juga terbit di waktu yang tepat sebagaimana isu
ini memang perlu diangkat. Pengangkatan isu ini cukup membantu baik dari segi bantuan
negara asing serta membuat migrasi menjadi salah satu strategi adaptasi. Akan tetapi,
penulis menemukan bahwasanya laporan ini sangatlah deskriptif dan sukar memberi
solusi yang mendekati penyelesaian isu.

.
4. Nama: The White House
Judul: Rebuilding and Enhancing Programs To Resettle Refugees and Planning for
the Impact of Climate Change on Migration (Laporan)
Serial Buku: Dokumen Presidensial
Tahun: 2021
Hasil Penelitian:
Penulis menemukan adanya urgensi kepentingan nasional AS di mana negara tersebut
memiliki tanggung jawab moral sebagai "pemimpin" penyedia tempat tinggal bagi
pengungsi yang terkena konflik. Presiden Biden juga mengutamakan sebuah lembaga
bernama USRAP (US Refugee Admission Program) untuk mengadministrasikan nilai
humaniter dan mulai memperluas menyesuaikan dengan keperluan global yang efisien,
adil, dan mendukung integritas serta keamanan negara. Dalam laporan ini, Presiden
Biden juga mengundang lembaga-lembaga administratif pengungsian dan iklim untuk
memberikan rekomendasi relevan kepada The White House. Penambahan kapasitas
pengungsi juga disebutkan di laporan ini dengan menggunakan otoritas langsung.

Perbandingan:
Laporan ini menunjukkan bahwa AS ingin/berusaha untuk memimpin garis terdepan
sebagai yang "diandalkan" di permasalahan migrasi iklim yang sedang besar ini. Akan
tetapi, menurut penulis dengan adidayanya AS di sini tentu mereka sukar untuk bisa
bergerak secara sendiri. Mengutip dari dokumen langsung, seorang pejabat mengatakan
bahwasanya banyak yang berpikir AS memiliki garis terdepan untuk berbagai hal,
sayangnya hal tersebut tak selamanya benar dan kerapkali, negara lain sudah melampaui
mereka duluan. Hal tersebut dibuktikan dengan AS membutuhkan banyak biaya untuk
mendanai ini semua bisa mencapai $4 miliar menurut laporan dari Direktur Proyek
Refugees International, Kayly Ober.

5. Nama: Kayly Ober


Judul: At a Climate Change Crossroads: How a Biden-Harris Administration Can
Support and Protect Communities Displaced by Climate Change
Serial Buku: Laporan
Tahun: 2021

Hasil Penelitian:
Rekomendasi yang dibuat oleh Refugees Internasional ini berfokus terhadap Executive
Order yang dibuat oleh Presiden Biden tentang Migran Perubahan Iklim. Refugee
International sendiri tertarik untuk mengadvokasi kebijakan AS terhadap isu iklim,
migrasi, dan perpindahan. Pemerintahan Biden-Harris sendiri menganggap isu migrasi
iklim tersebut merupakan isu penting yang berhubungan dengan hubungan luar negeri
serta keamanan nasional. Rekomendasi ini sendiri berisikan 4 elemen yakni penguatan
administrasi, komitmen finansial bagi negara terdampak, penguatan perlindungan legal
bagi pengungsi, dan memimpin AS dalam pencarian solusi kebijakan migrasi iklim. AS
sendiri memiliki tanggung jawab moral sebagai suaka pengungsian humaniter. Fakta
tersebut diperkuat dengan laporan Global Carbon Project (2019) yang melaporkan AS
telah memproduksi 397 gigaton karbon dioksida sejak 1750. Fakta tersebut cukup
menguatkan secara historis bahwa AS harus patuh untuk mendanai lembaga humaniter
internasional di dunia. Selain itu, Refugee Internasional juga merekomendasikan Biden-
Harris untuk melakukan beberapa pertemuan kelingkungan, seperti UN Economic
Commission for Latin America dan melakukan kerangka kerja dokumen legal dari
UNHCR serta meningkatkan dana terhadap lembaga USAID perihal Green Climate Fund
yang berfokus dalam projek adaptasi iklim. Konsultasi tersebut pun menjurus terhadap
kegiatan rekomendasi seperti pemberdayaan masyarakat yang terancam untuk beradaptasi
terhadap perubahan iklim melalui 8 prinsip adaptasi lokal International Institute for
Environmet and Development yang berisikan akses langsung terhadap finansial dan
pembuatan keputusan tentang bagaimana cara beradaptasi.

Perbandingan:
Rekomendasi penelitian yang dilakukan oleh Refugee International memiliki jawaban
yang diinginkan penulis. Namun, penelitian tersebut terlalu deskriptif dan masih bersifat
rekomendasi, sehingga akan datang asumsi bahwasanya penelitian tersebut masih bersifat
utopis (menghayal) dan masih berdasarkan asumsi yang belum dapat diverifikasi
kebenarannya. Biarpun begitu, perlu catatan bahwasanya dari banyaknya rekomendasi
yang diberikan lembaga intranegara kepada pemerintahan AS, rekomendasi inilah yang
paling mendekati dengan situasi dan kondisi migrasi perubahan iklim yang telah diriset
oleh penulis. Selain itu, penulis berniatt mencari jawaban bagaimana AS dapat
mengkontekstualisasi isu ini (migrasi perubahan iklim), tetapi laporan ini justru terlalu
melompat jauh tentang praktik di lapangan dan skenario bagaimana seharusnya
pemerintah AS melakukan pendanaan terhadap dunia bagian yang terdampak isu migrasi
perubahan iklim tersebut.
1. Nama: Etienne Piguet & Antoine Pecoud
Judul: Migration and Climate Change: An Overview
Serial Buku: Jurnal
Tahun: 2011

Hasil Penelitian:
Penelitian di jurnal ini berfokus dalam menguak isu migrasi perubahan iklim. Dua focus
utama penelitian ini memberatkan bahwa ada factor lingkungan dan iklim yang membuat
sebuah populasi bergerak—semuanya yang berhubungan dengan factor pendorong dan
penarik—baik itu sosial, politik, bahkan ekonomi. Penekanan lainnya yakni adanya
dinamika yang menyebabkan mengapa sebuah iklim dapat menggerakkan populasi dan
rentan terhadapnya. Selebihnya adalah bagaimana kebijakan politik dapat memengaruhi
alur migrasi, khususnya kebijakan yang mengatur populasi yang rentan terhadap factor
lingkungan tadi. Penulis juga menemukan bahwasanya isu migrasi perubahan iklim
bukanlah hal yang baru sebagaimana klaim Ravenstein (1899) mengatakan cuaca yang
buruk akan selalu mendorong orang-orang bermigrasi untuk mencari cuaca yang lebih
baik pula, sehingga isu tersebut apabila disambungkan ke masa kini merupakan hal yang
lumrah. Alhasil, argumen-argumen tadi memecah menjadi banyak debat, seperti
banyaknya ilmuwan alam yang lebih berhati-hati dan ahli migrasi percaya jika
lingkungan alam memiliki peran terhadap dinamika migrasi. Adanya faksi yang
menyebut diri mereka “Alarmist” mengatakan konsekuensi pemanasan global akan
menyebabkan kekurangan sumber daya, risiko kekeringan/banjir, dan kenaikan
permukaan air laut. Perdebatan antar ilmuwan eksakta dan sosial ini memiliki sejarah
intelektual—meletakkan faktor lingkungan sebagai titik berat. Singkatnya, perdebatan
tadi menumbuhkan tubrukan, yakni (1) fakta linguistic antar ilmuwan sosial dan alam, (2)
Isu migrasi iklim bisa dipolitisasi karena pernyataan dan riset yang ada takkan lepas dari
kebijakan politik, (3) Sifat historical ilmu ini seringkali diperdebatkan karena minimnya
bukti empiris yang dapat dibuktikan. Biarpun begitu, penelitian ini mengakui bahwasanya
isu perubahan iklim memang akan menyebabkan penyakit, bahkan kekurangan pangan.
Apalagi jika sudah dicampur dengan politik—akan menyebabkan efek domino yang
menyusahkan banyak pihak dan menyebabkan kerentanan di mana-mana.

Perbandingan
Isu migrasi iklim takkan lepas dari konteks antropologi—sebagaimana penelitian ini
sebenarnya memiliki sentuhan antropologi yang kerap focus dalam sistematika dan
dinamika pergerakan sebuah populasi. Hanya saja, penulis berekspektasi untuk
setidaknya menyinggung sedikit konteks hubungan internasional yang diinginkan agar
mendapatkan pengertian mendalam apabila pergerakan tersebut bergerak secara
transnasional. Biarpun begitu, sentuhan antropologi yang disajikan di naskah ini cukup
memberi penjelasan dan menjawab ketertarikan penulis tentang isu migrasi iklim. Hal
tersebut tentu ditekan dengan adanya debat-debat antar faksi ahli “alarmist” dan
“skeptics” yang mendalami isu ini, sehingga dapat menarik saripati dua pandangan yang
berbeda secara esensial dan spesifik. Hal inilah yang cukup dapat dijadikan sebagai basis
bagi siapapun yang ingin mendalami isu tersebut. Selain itu, karena penelitian ini
sangatlah antropologi-sentris, setidaknya penulis dapat membayangkan sebuah scenario
tentang bagaimana sebuah migrasi besar-besaran transnasional pun dapat terjadi.

2. Nama: IDMC
Judul: Internal displacement in a changing climate
Serial Laporan: Grid 2020
Tahun: 2021

Hasil Penelitian
Temuan dalam laporan ini menuliskan perubahan iklim merupakan faktor pendorong
orang-orang untuk bermigrasi. Terbukti dengan adanya data kasar yang menunjukkan
sebanyak 98% orang terpaksa berpindah tempat pada 2020. Faktor bencana alam seperti
taifun, curah hujan, dan kebanjiran merupakan contoh faktor pendorong yang sering
terjadi di daerah tropis. Laporan ini juga mengakui adanya miskonsepsi tentang migrasi
perubahan iklim yang terjadi secara transnasional—faktanya mengatakan mereka hanya
bergerak secara local dan sukar sekali berpindah negara kecuali memang sudah darurat.
Walaupun pada dasarnya orang akan cenderung menetap atau relokasi ke tempat yang
aman hingga keadaan membaik. Miskonsepsi lain terletak pada asumsi bahwa orang yang
berpindah akan memiliki kesempatan lebih baik daripada yang menetap. Padahal, dua
kelompok ini sama rata merasakan konflik. Orang yang berpindah cenderung merasakan
perbedaan budaya dan aspek sosial/norma/kebiasaan yang berbeda dari tempat asalnya
dan orang yang menetap akan lebih terekspos ke bahaya yang disebabkan bencana tadi.
Berbicara angka, hingga 2020 sudah sebanyak 7 juta orang harus terpaksa berpindah
karena bencana di seluruh 104 negara di dunia. IDMC mencatat sebanyak 67.000
perpindahan terjadi setiap harinya yang disebabkan oleh buruknya respons pemerintah
serta kebijakan setempat. Hal tersebut juga tentu dapat berdampak secara personal,
layaknya bagi sebuah kelompok yang berpindah harus menyesuaikan dengan tempat
baru, yang berarti adanya perbedaan SARA juga adanya orang yang memiliki disabilitas
akan lebih mudah terdampak bahaya daripada mereka yang sehat. Oleh karena itu,
perpindahan ini akan memunculkan isu sosial yang tak hanya sekadar "migrasi", tetapi
juga hal-hal seperti demografis, historis, politis, sosial, bahkan ekonomi—bagi mereka
yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya. Penelitian ini juga menelik usaha negara
dan kedaulatannya untuk menyelamatkan warganya baik upaya maupun kebijakan.
Contohnya seperti, Meksiko, Rwanda dan AS yang mengembangkan asesmen national
disaster risk yang berguna untuk membuat skenario kerentanan bencana. Filipina adalah
salah satu negara yang secara sistematis mengumpulkan data pengungsian akibat
bencana, dan merupakan contoh bagus kepemilikan pemerintah yang kuat. Salah satu
programnya yang bernama “The Disaster Response Operations Monitoring and
Information Centre (DROMIC)” merupakan program pendata yang mengurus tentang
jumlah orang yang dievakuasi dan jumlah yang tinggal di tempat penampungan atau
dengan kerabat dari waktu ke waktu. Terakhir, laporan ini juga mendukung para negara
untuk memulai membuat instrumen mitigasi bencana seperti negara yang telah disebut
sebagai cara untuk meningkatkan tak hanya investasi, tetapi juga kesiapsiagaan para
negara untuk menghadapi dinamika perubahan iklim.

Perbandingan:
Sebagai perbandingan, laporan ini mumpuni dalam memberi data yang baik tentang
migrasi yang terjadi di dunia, khususnya perpindahan yang disebabkan oleh perubahan
iklim. Selain itu, data yang disajikan juga cukup spesifik—mulai dari data angka
perdaerah beserta “mengapa” dan “apa” penyebab perpindahan tersebut dapat terjadi.
Akan tetapi, karena terbatasnya pendataan resmi yang disediakan oleh pemerintah
setempat menyebabkan laporan ini kurang akan satu hal, yakni aspek meramal yang
memprediksi perihal “siapa yang berisiko harus pindah” dan “berapa lama mereka harus
menetap di situasi seperti itu”. Hal yang dapat diserap dari laporan ini akhirnya memiliki
sebuah endgame yakni, banyak negara di dunia—khususnya terkena perubahan iklim
hanya mengambil data ketika bencana sudah terjadi, yakni data pascabencana. Penelitian
ini juga menyinggung Rencana Sendai yang digunakan laporan untuk mengukur orang
berpindah dalam laporan ini merupakan alternatif yang mencukupi, sifat rencana ini
memberi otonomi bebas kepada negara-negara untuk mengurus pascabencana yang
terjadi malah menyebabkan kurangnya rencana bersama yang dapat “menyatukan”
rencana di seluruh dunia, serta menjunjung Rencana Tujuan Berkelanjutan atau
Sustainable Development Goals (SDG) yang seharusnya dijadikan ideal overthinking dan
patokan pengamanan migrasi perubahan iklim.
3. Nama: Jane McAdam
Judul: Climate Change, Forced Migration, and International Law
Serial Buku: International Law on Climate Change Migration
Tahun: 2012

Hasil Penelitian:
Penulis menganggap jurnal ini banyak menguak beberapa kebijakan, respons,
mekanisme, dan skema yang berfokus dalam perlindungan humaniter tentang migrasi
perubahan iklim dunia, baik secara domestik maupun regional. Temuan penulis pertama
tertuju ke negara AS dengan skema "Temporary Protected Status (TPS)" yang dibuat
untuk menyediakan suaka bagi para migran yang belum bisa kembali ke negara asal.
Ketentuan tersebut bisa dalam bentuk konflik senjata atau bencana alam (gempa, banjir,
kekeringan, epidemik) sekalipun. Oleh karena itu, TPS sendiri merupakan "penyejuk"
yang dapat memberikan rasa aman bagi para migran dengan S&K yang berlaku. WN
Haiti merupakan contoh negara yang mendapat hak tersebut, AS di sini menyediakan
suaka dengan syarat pembuatan visa. Tak hanya itu, pada tahun 2001-an di mana banyak
bencana alam yang terjadi, TPS pun ditawarkan oleh AS ke negara seperti Peru, Pakistan,
Sri Lanka, India, Indonesia, Thailand, Somalia, Malaysia, Bangladesh, dll. Temuan
dalam penelitian ini menandai Finlandia sebagai salah satu negara yang kukuh dalam
mengakui migran perubahan iklim sebagai salah satu contoh migran yang legal ketika
banyak anggota UE yang beropini sebaliknya. Pemerintah Finlandia di sini akan
memberikan perlindungan humaniter apabila bagi siapapun yang terpaksa pindah karena
kerusakan alam ataupun situasi mengancam karena konflik internal yang mengancam hak
asasi manusia. Diikuti oleh Swedia yang juga memiliki aturan suaka bagi para migran
perubahan iklim yang tak bisa kembali ke negara asalnya, termasuk bagi para WN yang
bertempat tinggal di negara kepulauan yang hampir tenggelam, walaupun pada dasarnya
tidak seeksplisit Finlandia, tetapi dapat mengakomodasi skenario migrasi yang
berhubungan dengan alam. UU Swedia akan memberi perlindungan bagi mereka yang tak
dapat kembali ke negara asal karena alasan bencana alam selama orang tersebut
mengikuti S&K berlaku, yakni keadaan pemohon, kondisi kesehatan, kondisi internal
Swedia dan situasi dari negara asalnya. Terakhir adalah visa PAC yang disediakan oleh
pemerintah Selandia Baru pada 2002 yang ditujukan kepada orang Samoa. Banyak yang
menganggap visa tersebut dapat menjadi "tiket" untuk berlindung ke Selandia Baru bagi
penduduk yang terancam keamanannya oleh perubahan iklim di kawasan Pasifik.
Program tersebut cukup terkenal di Tuvalu dan Kiribati karena setiap orang yang
diwawancarai turut menyambutnya dengan sikap positif. Kalangan tua di sini cukup
mendukung kalangan muda dengan cara perencanaan masa depan, kalangan muda di sisi
lain cukup beranggapan positif dengan skema ini karena banyak peluang yang akan
didapatkan nantinya.
Perbandingan:
Temuan penulis dalam membandingkan jurnal ini adalah peraturan yang diterapkan
negara-negara dalam membuat kebijakan cenderung campuraduk dan tidak terprediksi
karena karena kebijakan yang dibuat seperti di AS dan Uni Eropa misalnya bersifat
sementara terhadap perlindungan orang-orang yang terpaksa bermigrasi. AS di sini
bukanlah saran negara destinasi yang baik. Akan tetapi, ada sedikit harapan yang terlihat
dari negara Swedia dan Finlandia, khususnya perihal migrasi perubahan iklim. 2 negara
tersebut tak hanya memiliki aspirasi untuk melindungi, tetapi juga memiliki UU yang
secara eksplisit menulis bahwasanya mereka siap untuk menerima siapapun yang terkena
dan terpaksa berpindah karena alasan kerusakan alam. Dalam jurnal ini juga ditekankan
bahwa UNHCR sendiri telah banyak mengadvokasi negara-negara dunia untuk membuat
perlindungan sementara bagi orang-orang yang terpaksa pindah. Namun, kritik besar
yang tertulis dalam penelitian ini ialah walaupun banyak negara yang memiliki rencana
ad hoc ataupun skema penanggulangan baik alasan migrasi yang disebabkan oleh
peperangan maupun alam, regulasi tersebut cenderung inkonsisten, bahkan tidak bisa
terprediksi sifatnnya secara dampak yang akan terjadi serta status yang akan disetujui
nantinya.

Anda mungkin juga menyukai