Anda di halaman 1dari 9

POSITIVISME :

LOGIKA SAINTISME UNTUK ILMU SOSIAL DAN ILMU HUKUM


Sebuah risalah ringkas,
dimaksudkan sebagai rujukan ceramah dan diskusi
tentang
“Logika Filsafat Positivisme Dalam Pembangunan Epistemologi Hukum”
dalam rangka ‘Kongres Ilmu Hukum’
diselenggarakan di Universitas Diponegoro
9-20 Oktober 2012

Soetandyo Wignjosoebroto

Saintisme adalah suatu paham (isme) falsafati yang meyakini kebenaran pernyataan
bahwa pengetahuan manusia yang benar itu hanya dapat diperoleh melalui suatu metode – satu-
satunya metode! – yang disebut metode sains. Inilah metode yang harus digunakan tatkala orang
melakukan pencarian (searching and researching) guna menemukan pengetahuan baru
bersaranakan rasio dan sekaligus indra manusia. Menurut paham ini, pengetahuan manusia itu
baru boleh disebut benar (‘benar’ dalam arti true, dan bukan right) apabila memenuhi dua syarat
pembuktian ; ialah masuk akal dan terdeteksi serta teridentifikasi secara indrawi. Yang masuk
akal harus dibuktikan sebagai true knowledge berdasarkan hasil pengamatan dan
pengukuranyang indrawi, sedangkan yang teramati secara indrawi harus bisa disimpulkan
sebagai sesuatu yang ‘benar’ berdasarkan prosedur logika.

Hasil amatan setelah diidentifikasi menghasilkan pengetahuan tentang fenomena, ialah


the true knowledge on what. Sesungguhnya kerja melakukan identifikasi ini bukan hanya hasil
kerja indra manusia semata. Disini kerja akal berikut proses penalarannya telah diikutsertakan.
Ada dua asas logika yang terpakai di sini, ialah prinsip identitas dan prinsip kontradiksi. Prinsip
identitas menyatakan bahwa sesuatu fenomen itu hanya berlaku sama-sebangun dengan diri
fenomen itu sendiri ; bahwa A itu = A, bahwa bahwa kucing itu ya kucing, atau ajaran etika ya
tak lain daripada ajaran etika itu sendiri. Adapun prinsip kontradiksi menyatakan bahwa sesuatu
fenomen itu selalu berbeda dengan yang bukan dirinya ; misalnya, A itu bukan B, Y itu bukan X,
kucing itu jelas bukan anjing, tetumbuhan bukan binatang, atau bahwa etika itu bukan logika,
pasal 360 KUHP itupun tidak sama isi dengan pasal 362 KUHP, dan last but not least jual-beli
itu sewa-beli,

Identifikasi menjadi pangkalan kerja orang membuat diskripsi-diskripsi, mengembangkan


konsep dan membuat klasifikasi pada tataran abstraksi yang berjenjang. Sementara itu, lebih
jauh dari sebatas kerja-kerja ini, saintisme juga itu, juga meyakini kebenaran pernyataan bahwa
di tengah kehidupan ini tidaklah apa yang disebut ‘kebetulan’. Artinya, semua gejala yang
muncul di tengah kehidupan itu pastilah punya sebab. Berangkat dari keyakinan seperti itu, lebih
lanjut dari sebatas melakukan identifikasi-identifikasi dan menyusun diskripsi, sains juga akan
bekerja lebih lanjut untuk menemukan apa yang menjadi sebab terjadinya akibat. Semua gejala
yang hadir di tengah kehidupan ini diyakini merupakan akibat dari suatu gejala lain yang harus
dibilangkan sebagai penyebab. Dari sinilah saintisme mengajarkan cara kerja keilmuan yang tak
hanya akan berhenti pada permasalahan diskripsi tentang ‘the what’ tapi juga berlanjut ke per-
soalan eksplanatif tentang ‘the why’ suatu ‘what yang definitif’ bisa terjadi sebagai konsekuensi
logis dari ‘what definitif lain’, yang masih harus dicari (being searched and researched’) dan
dipastikan/.

Hubungan sebab-akibat dicari dan ditemukan melalui metode logika juga, ialah logika
bersilogisma induksi sebagai lawan balik dari logika deduksi. Apabila logika deduksi berawal
dari asas atau tesis yang berlaku umum untuk menemukan simpulaan yang khusus, dan berfunsgi
sebagai pembenar atau pemberi yustifikasi, logika induksi bekerja untuk menemukan hubungan
kausal atau yang korelatif antara satu fakta dengan fakta yang lain di tengah kenyataannya yang
empirik alias yang positif. Tentang cara kerja yang induktif ini, John Stuart Mill (1806-1873)
mengetengahkan 5 prinsip yang ia sebut The Logics of Causation, ialah the methods of positive
agreement, negative agreement, difference, concommittant variation, dan yang residues. Kelima
metode ini menjadi dasar kerja eksperimentasi, mula-mula di bidang ilmu-ilmu alam anorganik
(seperti fisika dan kimia), kemudian juga juga di bidang ilmu-ilmu alam organik (seperti ilmu
tetumbuhan dan ilmu hewan). Ketertarikan untuk juga menggunakan metode sains, khususnya
yang induktif ini, telah melahirkan juga kajian di bidang ilmu-ilmu supraorganisame, utamanya
psikologi dan sosiologi, baik yang beraliran struktural maupun yang behavioral.

Demikianlah, sains itu pada hakikatnya adalah metode penemuan pengetahuan yang
secara otoritatif harus dipandang ‘tidak keliru dan tidak palsu’, atau dengan kata lain memiliki
kebenaran faktual yang relatif eksak tentang alam empirik. Pengethuan yang betul (true) dan
tidak keliru (not false) akan dapat didayagunakan untuk mengontrol secara rasional alam empirik
itu. Sains membuktikan diri tak hanya dalam hal kemampuannya sebagai ilmu pengetahuan
yang berketerandalan (episteme), akan tetapi juga terapannya sebagai teknologi yang produktif
untuk mendatangkan kemakmuran materiil bagi bangsa-bangsa yang mengupayakannya
(techne). Berkat sains dan teknologi ini lahirlah industrialisasi yang mendatangkan kekayaan
materiil pada negara-negara bangsa yang tengah berkembang dengan amat maraknya pada abad-
abad 17-18.

Keberhasilan sains dan teknologi dalam hal membangun kehidupan baru yang lebih
rasional, sekular dengan segala kekayaan materinya ini telah mendorong terjadinya gerakan
saintisme. Inilah gerakan intelektual untuk mendayagunakan sains dan metodenya sebagai satu-
satunya cara guna memperoleh pengetahuan yang eksak dan berketerandalan di berbagai bidang,
yang pada gilirannya pengetahuan itu dipercaya akan dapat didayagunakan mengontrol jalannya
proses kehidupan menuju ke kemakmuran dan kesejahteraan manusia penghuni bumi. Tatkala
kekaguman pada prestasi sains sebagai ilmu pengetahuan alam berikut hasil terapannya -- yang
melahirkan industri-industri penghasil kemakmuran -- kian meninggi, sudah pada belahan akhir
abad 18 di kalangan intelegensia Perancis tertengarai mulai adanya pemikiran-pemikiran ke arah
gerakan saintisme untuk mengkaji dan menemukan solusi permasalahan sosial . Saintisme di
bidang pengkajian permasalahan sosial-kultural di ranah yang supraorganik linilah yang kelak,
bemula di Perancis, dikenali dengan sebutan ‘positivisme’.

Tatkala pada belahan pertama abad 19, terjadi dekonstruksi struktur kehidupan Eropa
pasca-perang napoleonik secara besar-besaran, yang mengundang datangnya berbagai masalah
sosial-politik, positivisme dalam kajian sosial segera saja dipromosikan untuk menggantikan
wacana-wacana sosial yang setakat itu masih kuat menggunakan cara pendekatan normativisme
kaum moralis. Berbeda sekali dengan metode kerja sains yang didayagunakan untuk menemu-
kan apa yang betul (true) dan apa yang keliru (untrue, false), wacana moral sosial sebagai cara
menemukan solusi pada banyak permasalahan sosial menggerakkan pemikiran untuk menemu-
kan apa yang benar (right) dan dan apa pula yang salah (wrong). Adalah Auguste Comte ((1798-
1857) -- seorang lulusan sekolah politeknik yang kemudian lebih dikenal di banyak kalangan
sebagai seorang filosof -- yang lewat bukunya berjudul Course De La Philosophie Positive
mengetengahkan gagasan bahwa masyarakat manusia bisa dikaji, baik dalam keadaan statik
maupun dinamik, dengan metode yang selama ini dikenal dalam ilmu pengetahuan alam dan
hayat.

Positivisme: Suatu Gerakan Scientism Di Perancis Untuk Mengkaji dan


Menjelaskan Liku-Liku Kehidupan Manusia dalam Masyarakat

Sebenarnya, satu generasi sebelum lahirnya August Comte -- yang mengintroduksi


metode pemikiran saintifik ke dalam peristiwa kemasyarakatan itu -- seorang novelis perempuan
bernama Madame Anne Louise Germaine de Staël (1766-1817) pernah mengemukakan
gagasannya tentang prospek pendayagunaan cara berpikir dan bekerja ilmu fisika untuk
mempelajari permasalahan sosial. Manakala dengan metode fisika itu Perancis berhasil
memperoleh banyak pengetahuan yang memungkinkan pengembangan industri dan kemudian
daripada itu beroleh kemakmuran yang mendatangkan rasa damai, de de Staël memprakirakan
bahwa pendayagunaan metode keilmuan fisika untuk permasalahan sosial akan dapat pula
mendatangkan manfaat yang besar bagi bangsa Perancis yang pada masa itu berada pada situasi
yang dikacau oleh pergolakan revolusi.

Sejaman dengan de Staël, adalah seorang bangsawan sosialis bernama Claude Henri de
Rouvroy et de Saint-Simon (1760-1825) yang juga berpikiran bahwa suatu negara teknokratik
dengan sebarisan industrialis yang beisa memimpin masyarakat national untuk mewujudkan
kemajuan teknologik sajalh yang akan bisa memberantas kemiskinan bangsa Perancis. Manusia
saintis, dan bukan manusia gereja, itulah yang paling tepat mengendalikan organisasi kehidupan
untuk memungkinkan terwujudnya masyarakat yang produktif. Seperti de Staël, de Saint-Simon
nyata pula kalau percaya bahwa terapan logika dan metode sains lebih bisa diharapkan jasanya
untuk membangun masyarakat masa depan yang lebih baik.

Syahdan, melanjutkan gagasan Madame de Stael dan Henry Saint-Simon ke tahap


pemikiran yang lebih bermakna, Auguste Comte itu ;ah orangnya yang menuliskan bagaimana
metode sains dapat juga didayagunakan untuk mengkaji fenomen sosial. Comte, yang lebih
mengenal matematika dan fisika, menyatakan keyakinannya bahwa konsep dan metode ilmu
pengetahuan alam (yang dipakai untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar-benda
anorganik yang mati) dapat juga dipakai untuk menjelaskan alam kehidupan kolektif manusia
(yang, seabad kemudian, oleh Kroeber dikatakan berada pada tataran supraorganik).
Kepercayaan yang diberikan kepada sains berikut logika dan metode yang dipakainya itulah
yang di tangan Comte memperoleh wujudnya yang tak lagi hanya berupa angan-angan atau
harapan melainkan sudah merupakan arahan metodologik yang kian jelas untuk
mendayagunakan sains guna mengkaji anatomi dan faal kehidupan masyarakat. Dari sinilah
datangnya dua istilah yang dicipta oleh Comte, ialah ‘positivisme’ dan ‘sosiologi’.

Sebagaimana tradisi pemikiran yang disebut sebagai tradisi pemikiran scientism,


positivisme di tangan Comte juga bertolak dari anggapan aksionatik bahwa alam kehidupan ini
pada hakikatnya adalah suatu himpunan fenomen yang hadir bukan cuma karena faktor
kebetulan di alamnya yang empirik. Semua fenomen, juga yang ada di tengah kehidupan
masyakarakat, adalah sebuah himpunan fakta yang berhubung-hubungan secara interaktif dalam
suatu jaringan kausalitas yang sekalipun dinamik namun juga deterministik dan mekanistik. Di
sini fenomen yang satu akan selalu dapat dijelaskan sebagai penyebab atau akibat dari fenomen
yang lain.

Hubungan sebab-akibat seperti ini dikatakan berlangsung tanpa henti dan tanpa mengenal
titik henti di tengah suatu alam objektif yang indrawi, tersimak sebagai kejadian-kejadian yang
faktual dan aktual, lepas dari kehendak subjektif sesiapapun. Dikatakanlah bahwa hubungan
kausalitas antar-fenomen itu dikuasai oleh suatu imperativa alami yang berlaku universal, dan
yang oleh sebab itu dapat saja berulang atau diulang, di manapun dan kapanpun asal saja syarat
atau kondisinya tak berbeda atau tak berubah (ceteris paribus!). Asal saja fenomen penyebabnya
diketahui, dan kondisi tak berubah, maka terulangnya kasus akan selalu dapat saja diprakirakan
atau bahkan diramalkan. Dikatakan bahwa tak ada hebomen yang hadir secara kebetulan di
tengah semesta ini. Apapun yang tertampak hadir di tengah semesta ini selalu saja dapat
dijelaskan sebab ,musababnya

Ditaruh sebagai objek kajian sains, kehidupan manusia dalam masyarakat itu --
sebagaimana peristiwa-peristiwa yang berlangsung “seperti apa adanya” di kancah alam benda-
benda anorganik atau makhluk-makhluk hayati – pun terjadi di bawah imperativa hukum sebab-
akibat yang berlaku umum atau bahkan universal. Dikatakan bahwa kehidupan manusia itu –
yang individual maupun (lebih-lebih lagi!) yang kolektif – adalah selalu terlepas dari kehendak
dan/atau rencana sesiapapun yang subjektif. Imperativa hukum sebab-akibat yang berlaku umum
– juga berkenaan dengan objek manusia berikut perilaku sosial mereka – ini telah menggeser
paradigma ilmu sosial dari yang semula teologik dan/atau normatif ke yang saintifik menurut
epistimologi positivisme Perancis yang Comtian itu.

Berpikir positivistik adalah berpikir saintifik, dan berpikir saintifik adalah berpikir
nonteleologis (<teleos=berarah ke suatu tujuan yang final). Maka, di sini terjadinya segala
peristiwa sosial akan dipahamkan sebagai suatu fenomen akibat, yang secara logis mestilah
dimengerti secra lugas sebagai konsekuensi adanya suatu sebab. Dari paradigmanya yang
nonteleologik seperti itu, kaum positivis tak mengenal istilah rule of man atau rule of human
being atau rule of “other beings” (yang supranatural sekalipun). Dalam kehidupan alam yang
dikaji oleh sains alam (yang di Indonesia disebut Ilmu Pengatehauan Alam, disingkat IPA)
ataupun dalam kehidupan manusia yang dikaji oleh Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), paradigma
seperti itulah yang berlaku. Sebagaimana halnya dengan kejadian-kejadian di alam semesta yang
tunduk pada suatu hukum yang sifatnya universal dan objektif, kehidupan manusiapun selalu
saja dapat dijelaskan dalam wujudnya sebagai proses-proses aktualisasi hukum sebab-akibat
yang berlaku universal itu pula. Maka ….

Maka, ini berarti bahwa setiap kejadian dan/atau perbuatan dalam kehidupan manusia –
pada tatarannya yang individual sekalipun -- selalu saja dapat – dan secara ontologik dan
epistimologik mestilah dijelaskan dari sisi sebab-sebabnya yang rasional dan alami, dan yang
karena itu bersifat ilmiah/scientific. Setiap kejadian alam dan perbuatan manusia adalah sama-
sama tidak dapat dijelas-jelaskan dari substansinya yang berupa niat dan tujuannya itu sendiri
(yang moral-altruistik dan bahkan sering metafisikal atau metayuridis!) melainkan dari apa yang
tertampakkan dalam wujud-wujudnya yang tersimak itu saja. Mencoba menjelas-jelaskan
kehadiran suatu peristiwa dari esensinya, dan tidak dari fenomen penyebabnya, adalah suatu
usaha yang harus dianggap tidak ilmiah/unscientific.

Berpenjelasan seperti itu, kaum positivis ini sesungguhnya menganut paham monisme
dalam ihwal metodologi keilmuan. Artinya, bahwa dalam kajian sains itu hanya ada satu metode
saja yang dapat dipakai untuk menghasilkan simpulan yang berkepastian dan lugas. Itulah
scientific method yang secara objektif benar untuk didayagunakan dalam kajian ilmu
pengetahuan, baik yang alam dan hayat (natural and life sciences) maupun yang social-cultural
(social sciences). Menurut kaum positivis ini, mempelajari perilaku benda-benda mati dalam
fisika dan mempelajari perilaku manusia (yang konon mempunyai jiwa dan ruh) tidaklah perlu
dibedakan. Dua macam perilaku dalam ranah yang berbeda ini dikatakan sama-sama dikontrol
oleh hukum sebab-akibat yang hanya dapat dijelaskan sebagai imperativa-imperativa yang
berlaku secara universal. Syahdan, memasuki abad 20, sebagaimana dibuktikan dengan
diselenggarakannya pertemuan ilmuwan dari berbagai kalangan disiplin sedunia di Wina pada
tahun 1928, positivisme kian tampil untuk meneguhkan keyakinannya akan kebenaran monisme
dalam metodologi ilmu pengetahuan.

Ditegaskan dalam pertemuan itu bahwa hanya ada satu metode untuk menemukan
pengetahuan yang akan dapat diakui berkebenaran menurut tolok ilmu pengetahuan (scientific
truth). Semua upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan yang terakui kesahihan (validity)
dan keterandalannya (reliabililty) – baik itu pengetahuan tentang fenomen anorganik dan organik
maupun yang tentang fenomen supraorganik (=social-kultural) mestilah mengikuti metodologi
yang sama. Ialah mengikuti aturan-aturan prosedural untuk memperoleh pengetahuan tentang
suatu fenomen yang “bersih” dari sembarang unsur yang bersifat evaluatif dan yang – karena tak
berada di ranah indrawi yang kasatmata – lalu menjadi sulit diukur-ukur sebagai variabel.
Fenomen adalah fenomen, dan sebagai objek sains, fenomen secara nominal adalah realitas
indrawi yang objektif.

Maka dalam sains yang lugas dan buta-nilai itu tidak perlulah orang mencoba-coba
mempersoalkan isi kandungannya yang substantif, ialah yang normatif, etis ataupun estetis (yang
mungkin saja ada pada fenomen-fenomen itu). Dari situlah pula awal bermulanya kerisauan
puak pemikir dan pengkaji sosial yang tak habis pikir bagaimana mungkin fenomen manusia bisa
direduksi secara konseptual cuma merupakan perilaku-perilaku jasmaniah yang kasatmata
semata? Memang mungkin saja betul apa yang dikatakan kaum positivis, bahwa metodologi
yang memungkinkan eksperimentasi -- berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran yang
akurat, berketerandalan dan sahih – dapat menjelaskan banyak hal mengenai objek-objek alam
mati dan alam hidup yang nonmanusia. Akan tetapi, metodologi semacam ini boleh diragukan
apakah dapat menjelaskan (explaining, erklaerung), apalagi untuk lebih lanjut memahami
(understanding, verstehen) secara total dan utuh perilaku manusia yang kompleks ini?
Bukankah apa yang menampak dalam perilaku dan tindakan manusia itu sebenarnya tak cuma
bergatra fisikal-behavioral saja, melainkan juga berhakikat sebagai manifestasi-manifestasi itikat
dan semangat, niat dan tekad?

Dari sinilah pulalah awal cabaran terhadap pemikiran kaum positivis yang selama ini
yang berparadigma saintifik-deterministik itu. Datanglah pemikiran antitetik bahwa unsur
intensi atau kehendak manusia – kalaupun bukan “kehendak” suatu dzat kekuatan supranatural
yang metafisikal – haruslah ikut diperhitungkan dalam kajian-kajian yang bersangkutan dengan
kehidupan manusia yang riil. Hukum sebab-akibat yang dicoba diungkap untuk memperoleh
kejelasan lewat kajian-kajian sains, dalam alam kehidupan manusia tidaklah akan berlangsung
sepenuhnya di alam yang objektif yang terlepas dari kontrol manusia itu sendiri. Pada kasus-
kasusnya yang kongkrit unsur kehendak subjektif manusia akan selalu tersimak mengintervensi
dan mencabar kebenaran hukum sebab-akibat (yang semula diklaim bersifat universal itu). Pada
kajian-kajian yang lebih membumi, kehidupan manusia akan menjadi lebih tertampak secara riil
dalam diskripsi-diskripsi yang lebih khas, serta pula mengesankan hadir dan bekerjanya suatu
kekuatan yang bersifat manusiawi, rasional dan indeterministik, dan bahkan mungkin juga yang
emosional dan irrasional.
Bagaimana Perkembangan Pemikiran Positivisik Dalam Ilmu Hukum?

Kalaupun kata istilah ‘positivisme’ itu hampr selalu lekat pada nama Auguste Comte,
namun, dalam bentuknya yang embrional, apa yang kemudian juga disebut the French positivism
ii sebenarnya juga sudah dikenal pada masa-masa sebelumnya, seperti misalnya yang tersimak
dalam ucapan dan ungkapan orang seperti Madame de Staël dan de Saint Simon. Apa yang
kemudian di Perancis selewat tulisan Comte dibikin tenar dengan sebutan ‘positivisme’, pada
masa sebelumnya paham inilebih dikenal sebagai paham tunuk kemudian tentang kedayagunaan
paradigma sains sebagai terobosan untuk menyelamatkan masa depan kehidupan manusia.
Sains, sebagai ilmu yang “positif”, tidak hanya bekerja dengan cara membuka pikiran untuk
mengimajinasikan teori tetapi juga dengan membuka mata untuk menyimak apa yang hadir di
alam indrawi, untuk kemudian mendeskripsikan sebagai data.

Kalaupun Auguste Comte masih tergolek sebagai orok pada tahun 1800, pada tahun itu
Jean Jacques Régis de Cambacérès sudah ditunjuk Napoleon untuk memimpin empat orang juris
senior guna mereformasi sistem hukum modern untuk bangsa Perancis agar hukum modern
untuk bangsa Perancis lebih berkarakter “positif” , dan tak lagi berkarakter “sok moralis” dan
serba metafisik. De Cambacérès berhasil menyelesaikan tugasnya pada tahun 1804 dan
menamakan naskah yang dikitabkan olehnya ini dengan sebutan Code Civil des Français (Kitab
Undang-Undang Warganegara Perancis). Pada tahun 1807 sebutannya diubah dengan sebutan
Code Napoléon, demi kepuasan ego Sang Kaisar.

Sekalipun telaah yang dilakukan terhadap Code Civil/ Napoléon ini menyimpulkan
bahwa tak ada substansi baru yang dimuat di kita undang-uindang ini, namun penulisan ulang
materi hukum kebiasaan Perancis yang sebelumnya dihimpun dalam apa yang dinamakan
coutume de Paris itu amatlah nyata kalau lebih berkarakter “saintifik” alias positivistik.
Pertama-tama, rumusan-rumusan dalam pasal-pasalnya tak lagi bersifat normatif untuk
menggambarkan adanya judgment tentang buruk-baik atau benar-salahnya suatu perbuatan
melainkan tentang betul-tidaknya ada hubungan antara suatu perbuatan dengan akibat perbuatan
itu. Di sini, alih-alih bicara soal right or wrong, pasal-pasal yang telah bersifat preskriptif -- dan
tak lagi bersifat normatif itu – nyata kalau hendak bicara soal betul-tidaknya (positively true or
false) adanya hubungan antara suatu fakta (fakta hukum, iudex facti) dengan akibatnya (akibat
hukum, iudex iuris).

Perhatikan misalnya salah satu pasal dalam Code Civil, sebagai contoh, yang menyatakan
bahwa “la contrainte, l'erreur et la tromperie fait nulle une engagement juridique” yang
turunannya juga ditemukan dalam De Nederlands Burgerlijk Wetboek yang menyatakan bahwa
“dwang, dwaling en bedrog maakt een verbintenis nietig van rechtswege”. Pasal macam ini
merupakan preskripsi yang tak sekali-kali berperangai normatif. Alih-alih, ini adalah suatu
preskripsi yang menyatakan hubungan sebab akibat antara fakta hukum (pemaksaan, kesesatan
dan penyesatan) dan akibat hukumnya (batalnya suatu hubungan demi hukum).

Sementara itu, seperti halnya yang ditemukan dalam kerja logika sains, setiap unsur
dalams setiap baris preskripsi – yang disebut ‘terma’ dalam logika Aristotelian – mestilah
dihadirkan dalam wacana dengan identitasnya yang khusus, sesuai dengan prinsip identifikasi
dan kontradiksi yang telah dikemukakan di awal pembicaraan ini. Dwang adalah dwang,
dwaling adalah dwaling, bedrog adalah bedrog, verbinteni adalah verbintenis. Dwaling bukanlah
bedrog dan verbintenis bukanlah overeenkomst, dan overspel tidaklah bisa disamakan begitu saja
dengan perzinahan atau perselingkuhan. Masing-masing harus jelas identitasnya yang
membedakan identitas unsure yang lain. Karena diskripsi identitas unsur itu dilakukan dengan
bahasa, maka mengalihbahasakan diskripsi identitas suatu unsur dari bahasa yang satu ke yang
lain bisa saja menimbulkan masalah, seperti contoh di muka, apakah overspel boleh
dialihbahasakan menjadi perzinahan; atau pula apakah strafbaarfeit boleh dialihbahasakan
menjadi ‘perbuatan pidana’ atau ‘tindak pidana’.

Lepas dari persoalan semantik dalam soalalih bahasa, masih ada satu masalah lagi yang
bisa terjadi. Ialah tatkala terjadi perbedaan pemaknaan antara pembentuk undang undang-
undang (yang punya intensi tatkala menyusun hukum inabstracto) dan para hakim (yang punya
kewenangan membuat interpretasi ketika membuat putusan hukum in concreto). Di sini kaum
positicvis harus mulai mengakui bahwa logika saja tidak cukup. Subjektivitas yang terbawa
dalam proses interpretasi untuk mendapatkan kesamaan makna tatkala harus mengenali identitas
setiap unsur dalam preskripsi akan merupakan masalah tersendiri, terlebih apabila ada jarak
waktu yang panjang dan/atau celah selisih kultural antara yang punya intensi dan yang punya
kewenaangan membuat interpretasi. Ini merupakan persoalan komunikasi berikut simbol-simbol
kebahasaannya, yang sebenarnya juga tidak bisa diabaikan, oleh kaum positivis yang berobsesi
menomorsatukan logika dan metode sekalipun.

Yang tak pula boleh diabaikan oleh kaum legal positivist, yang boleh juga dinamai ‘kaum
legis’, adalah hal berikut ini, ialah bahwa dalam logika sains itu, kecuali dikenali silogisma
deduksi dikenali juga silogisma induksi. Dalam sains, setiap tesis yang dijadikan premis mayor
dalam proses deduksi hanya bisa diterima sebagai premis manakala sudah dibuktikan
kebenarannya melalui proses uji yang induktif. Dalam ilmu hukum yang dikembangkan kaum
positivis, preskripsi-preskripsi yang digunakan sebagai premis mayor (atau yang di dalam
praktek peradilan lebih dikenali dengan sebutan ‘dasar hukum’) akan lebih nyata kalau dibentuk
berdasarkan a normative judgment daripada berdasarkan hasil simpulan yang diperoleh lewat
silogisma induksi. Hubungan sebab-akibat dalam setiap preskripsi hukum undang-undang yang
difungsikan sebagai ‘dasar hukum’ boleh dibilang sebagai hubungan yang berbasis keyakinan
daripada berbasis pengujian dan pembuktian di/dari alamnya yang indrawi (yang dikatakan
‘alam empirik’ oleh Hume yang orang Scot atau ‘alam positif’ menurut Comte yang orang
Perancis).
Adalah suatu konstruksi dalam alam pemikiran kaum legal positivist, bahwa keyakinan
pribadi manusia orang per orang yang subjektif itu, apabila telah bisa dipertemukan dalam suatu
titik kesepakatan, lewat suatu perjanjian, akan mengalami proses objektivisasi dan positivisasi.
Maka hasil kesepakatan itu akan menjadi berstatus sebagai hukum yang ruling. Untuk mengatur
kehidupan bersama, kehendak-kehendak individual yang subjektif harus ditrasnsformasi menjadi
kehendak bersama, Perjanjian dan kesepakatan adalah proses objektivisasi yang menjadikan
sesuatu yang metafisik dalam sistem moral manusia orang per orang menjadi positif di alamnya
yang nyata. Teori kontrak sosial -- sebagaimana yang telah diajarkan oleh Thomas Hobbes
(1588-1677, John Locke (1632-1704) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) – adalah doktrin
yang membenarkan kemungkinan terwujudnya rasa keadilan yang moral-subjektif (ius) menjadi
norma keadilan yang lebih bersifat objektif dan memperoleh bentuknya yang positif (ius
constitutum). Adalah seorang positivis Inggris benama Jeremy Bentham (1748 – 1832) yang
dengan ajaran utilitarianisme-nya telah melakukan langkah lebih lanjut lagi: dari yang sebatas
objektivisasi dan positivisasi ke tahap pendefinisian keadilan yang semula bersifat kualitatif
menjadi kuantitatif. The greatest number of the greatest benefit.

Namun, apapun yang diupayakan kaum legal positivist – sampaipun ada juga upaya
sebagian dari mereka untuk ikut menykong manifestoVienna Circle (der Wiener Kreis) dari
tahun 1929 – tidaklah memberikan hasil yang memuaskan. Inilah manifesto tentang satunya
ilmu pengetahuan berdasarkan metode saintifik yang dipakainya. Bertolak dari paham monisme,
kelompok ini mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa ditemukan lewat suatu metode yang dapat
dipertanggungjawabkan atas dasar kebenaran yang empirik. Tak pelak lagi, [ositivisme kaum
legal positivist adalah positivisme setengah hati, yang mereka samarkan dengan pernyataan
bahwa metode mereka adalah metode yang lekat pada karakter dan status ilmu hukum sebagai
ilmu yang sui generis (sic!).

Pada peralihan millennium menuju ke millinnieum ketiga Masehi, ini legal positivism
yang mencoba tegak di atas tumpuan paradigma rasionalisme yang beranakkan saintisme , telah
nyata mengalami krisisnya. Positivisme dalam kajian hukum, sebagimana juga yang terjadi di
bidang ilmu-ilmusosial, telah gagal menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Kelangsungan
hidup legal positivism itu kini tengah terancam dari dua sisi. Yang pertama ialah sisi kaum
moralis yang mencoba menghidupkan kembali aliran hukum kodrat “untuk mengubur sang
pengubur” , yang di Undip ini diwakili oleh figur Prof Satjipto Rahardjo dengan paradigma
hukum progressif-nya. Yang kedua ialah sisi kaum post-positivism yang dikenali juga sebagai
kaum post-structuralism, yang di Undip ini diwakili oleh diskusan-diskusan muda era posmo
yang menamakan dirinya The Tjip(t)an [***]

Anda mungkin juga menyukai