Anda di halaman 1dari 6

1.

Latar Belakang

Perubahan iklim secara langsung dipengaruhi oleh limbah yang diproduksi dari aktivitas manusia.
Sehingga dapat mengevolusi komposisi atmosfer diantaranya kadar zar Karbon Dioksida, Metana, Nitrogen dan
sebagainya (KLHK, 2013). Salah satu sebabnya ialah waste construction (limbah konstruksi). Waste construction
didefinisikan sebagai sesuatu bahan proses konstruksi yang tidak digunakan dalam jumlah besar sehingga
menimbulkan dampak negatif pada lingkungan sekitar (Christianto, 2011). Bahan tersebut bisa berupa batu, beton,
batu bara, atap, instalasi listrik dan lain sebagainya. Waste construction menghasilkan sekitar sepertiga dari
keseluruhan limbah dunia, dan setidaknya 40% dari emisi karbon dioksida wilayah di dunia (Nugrahardani, 2017).

Secara mikro, kota Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan Provinsi Aceh, terus berbenah menuju kota
hijau (green city) yaitu kota dengan konsep pembangunan sustainable city (kota berkelanjutan) yang ramah
lingkungan (Fitri, 2022). Salah satu indikator proyek konstruksi yang ramah lingkungan ialah hasil pembangunan
haruslah dapat mengurangi waste construction. Di kota banda aceh, pembangunan perumahan subsidi merupakan
pekerjaan konstruksi yang terus meningkat dengan pertumbuhan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Terdapat 61%
peningkatan lahan yang dibangun rumah subsidi dalam tahun 2022 hingga tahun 2023 (Perkim, 2022). Beberapa
kendala ditemukan oleh pengembang yang bertolak belakang dengan sustainable city diantaranya tingginya harga
bahan baku jauhnya proses distribusi bahan baku lokal seperti pasir yang didatangkan dari daerah lain dengan harga
tinggi. Selain itu, waste construction di banda aceh meningkat 18% setiap bulannya (DLHK, 2022). Sebagai bentuk
penanggulangan limbah terhadap perubahan iklim, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh membentuk
sebuah mitigasi yaitu penggunaan energi baru terbarukan dan konservasi energi. Mitigasi ini menghimbau agar
penggunaan bahan baku sandang pangan dan papan mengusung prinsip 3R (Reuse, Reduce & Recycle) (DLHK,
2019). Penggunaan Green Materials merupakan implementasi 3R pada ranah material konstruksi.

Pembangunan perumahan subsidi di beberapa wilayah indonesia telah menggunakan material prefabrikasi
hijau (green prefab material) seperti Nias, Malang, Lombok dan Palu (Rijal, 2022). Green prefab material
merupakan suatu rangkaian pekerjaan dari beberapa komponen material baik berupa plat, pipa ataupun baja profil
dirangkai dan dibentuk secara tahap demi tahap berdasarkan item-item tertentu hingga menjadi suatu bentuk yang
dapat dipasang menjadi sebuah rangkaian alat produksi maupun konstruksi dengan beberapa keuntungan seperti
tahan gempa, pembangunan yang cepat, biaya yang terjangkau (Widodo, 2017). Meskipun green prefab material
ini sudah diterapkan di beberapa daerah di indonesia, namun tidak semua masyarakat cocok untuk menciptakan
rumah instan. Rendahnya sosialisasi dan paham masyarakat terhadap impelentasi green prefab material justru
menjadi hambatan dalam pemasaran (Sukawati, 2019).

Belum hadirnya perumahan subsidi dengan penerapan green prefab material di Banda Aceh sendiri
menjadikan sebuah urgensi terhadap penelitian ini. Dibutuhkan impelmentasi dan pengetahuan dari pembangun,
aturan pemerintah, dan antusiasme masyarakat yang menjadi faktor penentu agar daya guna perumahan subsidi
yang berwawasan lingkungan ini berhasil di terapkan di Banda Aceh. Tujuan penelitian ini diantaranya :

1. Mengukur antusiasme masyarakat kota Banda Aceh terhadap kehadiran rumah subsidi dengan green
prefab material.
2. Mengidentifikasi jenis green prefab material yang sesuai dengan daya guna mayarakat kota Banda
Aceh.
2. Studi Literatur

Rumah Subsidi

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 bahkan mendefinisikan rumah sebagai tempat tinggal yang layak
huni, sarana pembinaankeluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta aset bagi pemiliknya. Dalam
konteks real estate, rumah dapat diklasifikasikan sebagai produk yang mana menjadi ditawarkan ke pasar untuk
memenuhi permintaan atau kebutuhan konsumen (Kotler, 2000). Jika berbicara dalam konteks arsitektur,maka
rumah dapat dikatakan sebagai produk arsitektur dalam bentuk fisik dan dibeli konsumen untuk dihuni (Zavey &
Jusan, 2012). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 terkait aspek ketersediaan, rumah yang
disediakan memiliki beberapa kategori yaitu rumah sederhana, rumah menengah, rumah mewah dan rumah subsidi.
Rumah subsidi umumnya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga jual yang ditetapkan
dan mendapat bantuan dari pemerintah (Yanti, 2013).

Di Banda Aceh, umumnya pembangunan perumahan kecenderungannya dilakukan oleh pengembang


(developer) dan pengembangan perumahan baru mengarah pada lokasi di pinggiran kota (sub urban) dikarenakan
keterbatasan lahan dan pembiayaannya. Selain itu, pengembang lebih cenderung mengembangkan perumahan
untuk mereka yang berpendapatan rendah melalui program pemerintah dengan rumah bersubsidi. Pemerintah telah
memperkenalkan skema perumahan terjangkau bersubsidi guna meningkatkan pasokan perumahan untuk
masyarakat. Pada tahun 2022 luas lahan rumah subsidi di Banda Aceh seluas 16.3 Ha dan bertambah seluas 6.8 Ha
pada tahun 2023. Selain itu, waste construction yang dilaporkan oleh DLHK Kota Banda Aceh meningkat sebesar
18% setiap triwulannya. Pembangunan perumahan subsidi di Banda Aceh masih menggunakan material
konvensional seperti batu bata, pasir, batako, semen serta tidak menggunakan fabrikasi. Selain biaya material yang
tidak stabil, jauhnya distribusi dan kelangkaan produk di waktu-waktu tertentu menjadi hambatan bagi
pengembang. Tercatat sebesar 87,85% rumah di Banda Aceh menggunakan dinding dengan material bata
konvensional, sementara 9,8% menggunakan bambu (perkim.id, 2023).

Waste Construction Management

Material merupakan salah satu unsur utama dalam mendirikan suatu bangunan yaitu memiliki pengaruh
terhadap kualitas bangunan yang dihasilkan, terletak pada kekuatan dan daya tahan konstruksi tersebut (Ervianto,
2004). Kegagalan dalam pengelolaan material dapat menimbulkan volume waste material yang besar yang dapat
mempengaruhi kinerja dari sebuah proyek konstruksi. Ada beberapa jenis material konstruksi yang sering
menimbulkan waste atau sisa yaitu batu bata, pasir, kayu, besi, keramik, besi beton, semen, pasir, batu pecah, kayu
bekisting, besi tulangan, batu bata, keramik dan gypsum/kalsiboard (Hastuti, 2015).

Waste Construction Management adalah suatu upaya pengelolaan limbah konstruksi yang bertujuan untuk
mengurangi pemanfaatan berbagai sumber material bangunan, memakai kembali dan mendaur ulang (Ervianto,
2010). Construction waste dapat digolongkan ke dalam dua kategori berdasarkan penyebabnya yaitu indirect waste
dan direct waste :

1. Indirect waste adalah sisa material yang terjadi dalam bentuk pemborosan (moneter loss) akibat
kelebihan pemakaian volume material dari yang direncanakan dan tidak terlihat sebagai sampah di
lapangan.
2. Direct waste adalah sisa material yang timbul di proyek karena rusak dan tidak dapat diperbaiki dan
digunakan kembali selama proses konstruksi (Skoyles, 1976) Pengelolaan limbah konstruksi dapat
dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah Reduce, Reuse, Recycle.
Langkah-langkah Reduce yang dapat diambil dalam mengembangkan program Construction Waste Minimization
adalah sebagai berikut ;

1. Merencanakan metode konstruksi yang tepat dan mengoptimalkan penggunaan material.


2. Merencanakan tindakan pencegahan material dengan membuat tempat penyimpanan material yang tahan
terhadap cuaca dan melakukan perbaikan-perbaikan jika diperlukan, serta menentukan letak material di
dalam tempat penyimpanan untuk mencegah kerusakan material.

Reuse adalah suatu tindakan menggunakan material konstruksi dalam bentuk yang sama di lokasi proyek.
Contohnya menggunakan kembali sisa material konstruksi yaitu ;

1. Mengidentifikasi sisa material yang masih baru dan material konstruksi yang dapat dipindahkan atau
dipisahkan tanpa terjadi kerusakan, untuk digunakan kembali.
2. Merencanakan untuk perlindungan, penanganan, penyimpanan, atau memindahkan material-material yang
reusable.

Recycle adalah suatu proses daur ulang sisa material/sampah dari lokasi proyek ke pabrik, sehingga menjadi suatu
produk baru yang berguna dan bernilai jual. Tindakan untuk mendaur ulang sisa material konstruksi yaitu ;

1. Menentukan target minimal yang dicapai dalam mendaur ulang sisa material bangunan. Target tersebut
didasarkan dari berat atau volume material sisa.
2. Mengidentifikasi dan mendaftar material konstruksi yang dapat didaur ulang/recycleable.
3. Merencanakan tata cara atau teknik untuk perlindungan, penanganan, penyimpanan, atau pemindahan
material-material yang recycleable.

Green Prefab Material

Material Prefabrikasi tercatat sebagai salah satu kriteria sumber dan siklus material yang ramah lingkungan
menurut GBCI (Green Building Council Indonesia) peran tersebut menjadi aspek utama dalam mencapai arsitektur
hijau yang ramah terhadap lingkungan (Karuniastuti, 2019). Green Prefab Material ialah material prefabrikas
menerapkan sistem jejak karbon yang lebih rendah. Mengingat bahwa prefabrikasi berasal dari produksi di pabrik
yang kualitasnya dapat dikontrol, selain itu menerapkan sistem pengelolaan limbah akan bahan daur ulang untuk
proses kustomasi (Abduh, 2017). Hal ini sesuai dengan langkah-langkah waste construction management 3R.
Teknik prefabrikasi adalah pembuatan bagian – bagian konstruksi yang dilakukan oleh pabrik untuk langsung
dipasang dan menggabungkan bagian – bagian intinya (Smith, 2010). Prefabrikasi itu sendiri tercipta dengan
bekembangnya pemikiran serta teknologi. Perkembangan tersebut terjadi sejak Le Corbusier mengutarakan
mengenai arsitektur modular. Jika dikaitkan dengan dunia arsitektur, proses konstruksi pada arsiktektur prefabrikasi
ini bisa di bilang lebih praktis serta cukup mudah pada saat proses merakit pada site (Hanif, 2010). Prefabrikasi
dapat diwujudkan dalam segala jenis material, baik itu kayu, baja, atau concrete. Penggunaan berbagai macam
material mengikuti perkembangan jaman karena menyesuaikan dengan kehidupan yang berlangsung. Namun, kini
telah diciptakan beberapa rangkaian setting green prefab material yang dapat diterapkan pada rumah khususnya
rumah subsidi, diantaranya :

a. Modular House

Modular House adalah sebuah unit rumah knockdown prefabrikasi. Unit ini dibuat di pabrik dan baru
dikirim ke lokasi tujuan. Ukuran modular bisa memiliki luas 36,4 meter persegi. Namun, ukurannya dapat diatur
sesuai keinginan dan kebutuhan. Biasanya, modular house memiliki ruangan yang cukup untuk dua kamar tidur
dan satu kamar mandi (Kunarsih, 2018). Di antaranya adalah dapat dengan mudah disiapkan. Selain itu, unit ini
memiliki harga yang relatif lebih murah dibanding rumah konvensional. Modular house juga mampu menghadapi
gempa. Modular house terbuat dari bahan baja galvanis yang membuatnya tahan lama meski berada di luar ruangan
(Laurence, 2016). Material dinding dari sandwich panel membuatnya memiliki kemampuan insulasi yang mumpuni
(Prayoga, 2013). Sandwich Panel diklaim memiliki sifat yang ramah lingkungan dan termasuk dalam green prefab
material karena menggunakan material yang bisa mengurangi pembalakan liar (illegal logging) dan berkode
ekolabel atau ramah lingkungan, label yang menjelaskan produk yang dijual adalah ramah terhadap lingkungan.

Gambar 2.1 : (a) Mh perspektif depan (b) mh perspektif kanan

Pembangunan modular house memerlukan sebuah modul berukuran 3 x 3 m. Setiap modul ukuran tersebut terdiri
dari 24 buah komponen P1, 8 buah komponen panel P2, dan 8 buah komponen panel P3. Artinya, setiap modul
hanya memerlukan dana sekitar 4 jutaan rupiah. Adapun rincian kebutuhan panel untuk sebuah modular house tipe
33 adalah sebagai berikut (Saffarudin & Mirna, 2022) :

1. Panel struktur (gabungan komponen P1, P2, dan P3) dengan luas 142 m2
2. Panel dinding dengan luas 44m2
3. Panel kusen dengan luas 44m2

Pelengkap lainnya seperti atap, kaca, sanitair, dan lain-lain.

b. Rumah Rakitan

Rumah dengan green prefab material atau yang juga kerap disebut rumah prefab merupakan rumah yang
terbuat dari penyangga panel, bahan logam dan antirayap seperti beton pracetak, baja, gypsum, fiber semen, dan
kayu partikel sebagai komponen rakitan pabrik namun masih dimodifikasi dengan bahan-bahan lokal seperti
semen, pasir atau bata (Redy, 2019). Hunian model ini sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1960-an
untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi karyawan perusahaan pertambangan dari asing khususnya.
Masyarakat kala itu lebih familier dengan sebutan rumah portacamp (Surajana & Ardriansyah, 2013). Namun,
perkembangan rumah prefab mulai kembali marak dalam tiga tahun terakhir meski hingga kini implementasinya
masih belum terlalu luas.

(a) (b)
Gambar 2.2 : (a) Rumah rakitan perspektif kiri (b) rumah rakitan perspektif kanan

Proses prefabrikasi disini terdapat pada pencetakan balok kayu untuk kemudian di rakit menjadi satu kesatuan
komponen. Namun sebelum dicetak, balok kayu ini melalui proses pemotongan yang dimana balok kayu tersebut di
potong sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Setelah material di olah menjadi bagian – bagian yang lebih kecil,
proses pembentukan sambungan adalah langkah berikutnya (Timberlake, 2010). Hasil dari proses ini juga bertujuan
untuk memperkuat struktur dari bangunan tersebut. Setelah sudah mendapatkan hasil dari cetakan tersebut, kayu –
kayu tersebut disambung dengan di tambahkan lem untuk memperkuatnya. Proses pembuatan sambungan ini
berada site konstruksi, karena pada pabrik pemotongan kayu sudah tidak cukup tempat untuk meletakkan mesin
tersebut. Hasil dari pemotongannya juga berbeda – beda tergantung dengan kebutuhan dari konstruksi (Sarana &
Muttaqin, 2013).

3. Metode Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini diantaranya mengukur antusiasme masyarakat kota Banda Aceh terhadap
kehadiran rumah subsidi dengan green prefab material dan mengidentifikasi jenis green prefab material yang
sesuai dengan daya guna mayarakat kota Banda Aceh. Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan di Kota
Banda Aceh dengan peruntukan lahan perumahan dan permukiman yang paling dominan, yaitu 5 (lima) dari 9
(sembilan) kecamatan yang ada di Banda Aceh, diantaranya : Ulee Kareng, Syiah Kuala, Baiturrahman, Banda
Raya & Jaya Baru.

Gambar 3.1 : RTRW Kota Banda Aceh

Pada 5 (lima) kecamatan dalam penelitian ini, merangkum populasi hingga 155.100 jiwa, untuk itu sampel yang
digunakan ialah 15% dari populasi tersebut sebagai penelitian kuantitatif yang berjumlah 100 orang. Metode yang
digunakan dalam kajian ini adalah Analitical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan suatu model pendukung
keputusan dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi
factor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat
diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga
permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.

Didalam proses pengolahan data AHP, terdapat pertanyaan penelitian untuk memilih tujuan terbaik dari gpm,
diantaranya rumah rakitan dan mh. Responden tidak langsung memilih antara rumah rakitan dengan mh, melainkan
melingkari nilai kategori diantaranya :

a. Fleksibilitas Denah
b. Kenyamanan Pengguna
c. Ramah Lingkungan
d. Estetika
Kategori ini di isi dengan nilai actual judgment value yang diberikan, seperti : (1) biasa (3) suka (5) sangat suka (7)
sangat suka sekali, Seperti contoh :

Gambar 3.2 : contoh pemberian actual judgment value pada metodologi AHP

Nilai diatas hanya boleh dilingkari 1 (satu) preferensi / kesukaan responden. Selanjutnya, nilai yang diberikan oleh
responden, akan dihitung bedasarkan Concistency Ratio Index dengan rumus : CR = CI/R, dimana : CR =
Concistency Ratio, CI = Concistency Index, IR = Index Random Concistency. Sehingga didapatkan matriks
perbandingan kategori. Antara kriteria Fleksibilitas Denah, Kenyamanan Pengguna, Ramah Lingkungan, Estetika
ditetapkan nilai Eigen yang tertinggi untuk diurutkan sebuah perankingan. Dengan demikian, didapatkan rumah
dengan daya guna terbaik menurut masyarakat kota Banda Aceh.

Anda mungkin juga menyukai