Anda di halaman 1dari 8

TUGAS FONEMIK DAN FONETIK

Disusun Oleh : Faiz Naufal Falah (22101050016)

(4.2.2)
1. Alofon adalah variasi bunyi atau pengucapan yang berbeda dari satu fonem yang
sama dalam bahasa tertentu. Dalam bahasa yang memiliki alofon, satu fonem dapat
memiliki beberapa cara pengucapan yang berbeda, tetapi tidak mengubah makna
kata atau frasa.

Contohnya dalam bahasa Inggris, fonem /t/ memiliki beberapa alofon seperti [t]
dalam kata "top", [tʰ] dalam kata "top hat", dan [ɾ] dalam kata "butter". Semua
alofon ini berasal dari satu fonem yang sama, tetapi diucapkan dengan cara yang
berbeda tergantung pada konteks dan posisi dalam kata.

Tidak semua fonem memiliki alofon, tergantung pada bahasa dan sistem fonetik yang
digunakan. Beberapa bahasa memiliki sistem fonetik yang relatif sederhana dan
memiliki sedikit alofon, sedangkan bahasa lain memiliki sistem yang lebih kompleks
dan memiliki banyak alofon untuk setiap fonem.

2. Distribusi kontemporer merujuk pada kemungkinan kemunculan suatu fonem atau


alofon tertentu dalam konteks atau lingkungan fonetik yang spesifik dalam bahasa
tertentu. Dalam distribusi kontemporer, fonem atau alofon tersebut hanya muncul
dalam konteks tertentu dan tidak diizinkan muncul dalam konteks yang lain.

Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, alofon [pʰ] dari fonem /p/ hanya muncul di
awal kata, seperti pada kata "pen" dan "pot", namun tidak muncul di tengah atau
akhir kata seperti pada kata "happy" atau "stop".

Sementara itu, distribusi bebas merujuk pada kemungkinan kemunculan suatu fonem
atau alofon tertentu tanpa mempertimbangkan konteks atau lingkungan fonetik
tertentu dalam bahasa tertentu. Dalam distribusi bebas, fonem atau alofon tersebut
dapat muncul di mana saja dalam bahasa, tidak tergantung pada konteks atau
lingkungan fonetik tertentu.

Sebagai contoh, alofon [t] dan [ɾ] dari fonem /t/ dalam bahasa Inggris dapat muncul
di mana saja dalam kata tanpa memperhatikan konteks tertentu. Misalnya, alofon [t]
muncul di kata "top" dan alofon [ɾ] muncul di kata "water", tanpa memperhatikan
posisi fonetik dalam kata tersebut.

3. Fonem dikatakan abstrak karena merupakan unit bunyi terkecil dalam bahasa yang
tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri. Fonem hanya memiliki peran sebagai
penghasil perbedaan makna dalam bahasa, yang berarti bahwa fonem hanya
memiliki makna tergantung pada posisinya dalam kata atau frasa.

Sebagai contoh, fonem /p/ dalam bahasa Inggris tidak memiliki makna dalam dirinya
sendiri, tetapi dapat membuat perbedaan makna ketika diubah menjadi alofon [pʰ]
di awal kata, seperti pada kata "pen", atau alofon [p] di tengah kata, seperti pada
kata "happy". Oleh karena itu, fonem dapat dianggap sebagai unit abstrak dalam
bahasa.
Sementara itu, alofon dikatakan konkret karena merupakan varian konkretnya fonem
yang dapat dikenali oleh pendengaran atau pembicara bahasa. Alofon memiliki ciri-
ciri fonetik yang spesifik dan dapat diidentifikasi secara akustik atau auditoris. Karena
alofon dapat diidentifikasi secara konkret, maka alofon dianggap sebagai unit konkret
dalam bahasa. Sebagai contoh, alofon [pʰ] dan [p] dari fonem /p/ dalam bahasa
Inggris adalah alofon konkret yang dapat diidentifikasi oleh pembicara bahasa Inggris
dengan cara mengucapkannya. Keduanya memiliki perbedaan dalam aspirasi
(hembusan napas) pada saat diucapkan, yang dapat diidentifikasi secara konkret oleh
pendengaran.

Perbedaan antara konsep abstrak dan konkret ini penting dalam linguistik karena
membantu kita memahami struktur dan sistem bunyi dalam bahasa, serta cara
bunyi-bunyi ini dihasilkan dan diinterpretasikan oleh pembicara dan pendengar
bahasa.
(4.2.3)

1. Karena fonem adalah unit bunyi terkecil dalam bahasa yang dapat membedakan
makna, sedangkan bunyi adalah realisasi akustik atau fungsional dari fonem. Oleh
karena itu, ketika kita mengidentifikasi dan mengklasifikasikan fonem dalam bahasa,
kita juga harus mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang terkait
dengan fonem tersebut.

Kriteria untuk klasifikasi dan penamaan fonem dan bunyi mencakup ciri-ciri fonetik
seperti tempat, cara, dan letak artikulasi dalam sistem fonetik, serta kemampuan
fonem atau bunyi tersebut untuk membedakan makna dalam bahasa. Selain itu,
kriteria tersebut juga mencakup pengaruh konteks atau lingkungan fonetik terhadap
pengucapan fonem atau bunyi.

Dalam praktiknya, identifikasi dan klasifikasi fonem dan bunyi dilakukan melalui
analisis fonetik dan fonologis yang melibatkan pengamatan dan pengukuran sifat-
sifat akustik dan artikulasi suara, serta pemetaan korespondensi antara fonem dan
bunyi dalam sistem fonologi bahasa.
Alofon yang ada pada suatu bahasa lebih banyak dari jumlah fonemnya karena
fonem hanya memiliki perbedaan makna dan digunakan dalam konteks yang
berbeda, sedangkan alofon adalah varian konkret dari fonem yang dihasilkan dalam
kondisi tertentu.

2. Penyebab adanya alofon yang lebih banyak dari fonem pada suatu bahasa dapat
bervariasi, tergantung pada banyak faktor seperti konteks fonetik, aksen, atau
perbedaan regional dalam pengucapan. Dalam beberapa kasus, alofon yang berbeda
dapat dianggap sebagai varian yang tidak signifikan secara fonologis dan hanya
mempengaruhi artikulasi, seperti dalam kasus alofon aspirasi dalam bahasa Inggris.
Namun, dalam kasus lain, alofon yang berbeda dapat memiliki perbedaan artikulasi
atau akustik yang signifikan yang mempengaruhi arti kata, sehingga dianggap sebagai
fonem yang berbeda.

3. Salah satu contoh bahasa yang memiliki unsur suprasegmental yang dianggap
sebagai fonem adalah bahasa Mandarin. Bahasa Mandarin menggunakan nada atau
ton dalam setiap kata sebagai bagian dari sistem fonologisnya. Terdapat empat nada
atau ton dalam bahasa Mandarin, yaitu nada 1 (tinggi datar), nada 2 (naik), nada 3
(turun naik), dan nada 4 (turun). Nada-nada ini membedakan makna antara satu kata
dengan kata lainnya dalam bahasa Mandarin. Sebagai contoh, kata "mā" dengan
nada 1 berarti "ibu", sedangkan kata "má" dengan nada 2 berarti "kuda".
Bahasa-bahasa lainnya yang memiliki unsur suprasegmental yang dianggap sebagai
fonem termasuk bahasa Jepang dan Korea. Bahasa Jepang menggunakan pitch
accent (akut atau tirus) untuk membedakan antara kata-kata serupa, seperti "hashi"
yang bisa berarti "jembatan" atau "sendok" tergantung pada intonasinya. Bahasa
Korea juga menggunakan pitch accent untuk membedakan makna antara kata-kata,
seperti "gyeonghwa" dengan pitch accent naik yang berarti "dunia" dan
"gyeonghwa" dengan pitch accent datar yang berarti "persahabatan".

Dalam semua kasus ini, unsur suprasegmental tidak hanya memengaruhi artikulasi
kata-kata, tetapi juga membedakan makna antara kata-kata dalam bahasa tersebut,
sehingga dianggap sebagai fonem dalam sistem fonologis bahasa tersebut.
(4.2.4)

1. Kemungkinan jumlah fonem suatu bahasa dapat bervariasi antara satu pakar dan
pakar lainnya karena tidak ada kriteria yang baku atau universal dalam menentukan
apa yang dapat dianggap sebagai fonem. Konsep fonem sendiri merupakan konsep
abstrak yang digunakan untuk menjelaskan sistem bunyi dalam suatu bahasa, dan
penentuan fonem dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti metode analisis yang
digunakan, data bahasa yang tersedia, dan teori linguistik yang diterapkan.

Pakar linguistik yang berbeda dapat memiliki pandangan yang berbeda mengenai
kriteria yang digunakan untuk menentukan fonem, sehingga jumlah fonem yang
diidentifikasi dalam sebuah bahasa dapat berbeda-beda. Beberapa faktor yang
mempengaruhi penentuan fonem antara lain: (1) perbedaan dalam penentuan
apakah suatu bunyi yang terdengar serupa harus dianggap sebagai satu fonem atau
beberapa alofon dari satu fonem; (2) perbedaan dalam penentuan apakah variasi
dalam pengucapan suatu bunyi merupakan perbedaan fonem atau hanya perbedaan
varian alofon dari satu fonem; (3) perbedaan dalam pengenalan adanya perbedaan
fonetik dalam pengucapan bunyi-bunyi yang berdekatan dalam konteks yang
berbeda.

Oleh karena itu, jumlah fonem yang diidentifikasi dalam sebuah bahasa dapat
berbeda-beda tergantung pada sudut pandang dan teori linguistik yang digunakan
oleh pakar yang menganalisis bahasa tersebut. Namun, meskipun ada perbedaan
dalam jumlah fonem yang diidentifikasi, para pakar linguistik cenderung sepakat
bahwa fonem penting dalam menjelaskan sistem bunyi dalam sebuah bahasa.
2. Bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan di wilayah Jawa Barat, Indonesia.
Fonem-fonem dalam bahasa Sunda terdiri dari konsonan dan vokal. Berikut adalah
fonem-fonem dalam bahasa Sunda:

Konsonan:

 /p/
 /b/
 /t/
 /d/
 /k/
 /g/
 /c/
 /j/
 /s/
 /w/
 /y/
 /h/
 /ny/
 /ng/

Vokal:

 /a/
 /i/
 /u/
 /e/
 /o/

Sehingga jumlah fonem dalam bahasa Sunda adalah 19 fonem (14 konsonan dan 5
vokal). Namun, perlu diingat bahwa jumlah fonem yang diidentifikasi dapat berbeda-
beda tergantung pada sudut pandang dan teori linguistik yang digunakan oleh pakar
yang menganalisis bahasa tersebut.
(4.2.4)

1. Asimilasi terjadi ketika sebuah bunyi disesuaikan dengan bunyi yang


berdekatan secara fonetis. Dalam hal ini, bunyi tersebut akan lebih mirip
dengan bunyi yang berdekatan dan terpengaruh oleh bunyi yang ada di
sekitarnya. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia, kata "amboi" sering
kali diucapkan sebagai "amboy" karena pengaruh bunyi /b/ yang berada
di depannya.

Sementara itu, disimilasi terjadi ketika sebuah bunyi disesuaikan dengan


bunyi yang berbeda dari yang berdekatan secara fonetis. Dalam
disimilasi, bunyi tersebut akan lebih berbeda dengan bunyi yang
berdekatan dengannya karena dipengaruhi oleh bunyi yang jauh dari
posisinya. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia, kata "sempurna"
sering kali diucapkan sebagai "semprona" karena pengaruh bunyi /n/
yang berada jauh di depannya.

2. Asimilasi fonetik terjadi ketika suatu bunyi disesuaikan dengan bunyi


yang berdekatan secara fonetis. Hal ini menyebabkan bunyi tersebut
menjadi lebih mirip dengan bunyi tersebut, baik dalam pengucapan
maupun arti. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, kata "incomplete"
sering diucapkan sebagai "inkomplete" karena adanya asimilasi fonetik
antara bunyi /n/ dan /k/ yang berdekatan.

Sementara itu, asimilasi fonemis terjadi ketika sebuah bunyi dipengaruhi


oleh bunyi lain sehingga bunyi tersebut berubah menjadi alofon yang
lebih mirip dengan alofon bunyi lain tersebut. Asimilasi fonemis hanya
terjadi pada tingkat alofon dan tidak mengubah fonem yang ada. Sebagai
contoh, dalam bahasa Jawa, bunyi /t/ dalam kata "katut" menjadi alofon
[k] karena dipengaruhi oleh alofon /k/ dari bunyi /k/ dalam kata "sakit".
3. Terdapat beberapa contoh arkifonem dalam bahasa Indonesia, salah
satunya adalah alofon dari fonem /k/ dan /g/, yang dapat saling
menggantikan pada posisi awal kata diikuti oleh vokal. Alofon dari fonem
/k/ pada posisi ini adalah konsonan velar keras (voiceless velar plosive),
sementara alofon dari fonem /g/ adalah konsonan velar lunak (voiced
velar plosive). Perbedaan antara keduanya cukup kecil, sehingga sulit
untuk membedakan antara keduanya dalam konteks ini. Oleh karena itu,
konsep arkifonem digunakan untuk merepresentasikan alofon-alofon
dari fonem /k/ dan /g/ pada posisi ini dengan simbol /K/.

Anda mungkin juga menyukai