Anda di halaman 1dari 16

MENGEMBANGKAN PENTINGNYA MODERASI BERAGAMA DALAM

ISLAM (DERADIKALISASI) SECARA DIGITALISASI OLEH MAHASISWA


PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA

Arum Setyowati, Penulis Kedua2, Penulis Ketiga3 (11pt, Single)


1
Affiliasi/Instutusi/Universitas, Alamat, Telp/Fax Institusi/Affiliasi  Center, Cambria 9pt, Spasi Single
2
Affiliasi/Instutusi/Universitas, Alamat, Telp/Fax Institusi/Affiliasi  Center, Cambria 9pt, Spasi Single
3
Affiliasi/Instutusi/Universitas, Alamat, Telp/Fax Institusi/Affiliasi  Center, Cambria 9pt, Spasi Single
Pos-el : emailpenulispertama@univ.ac.id1), Cambria 9pt, Spasi Single
emailpenuliskedua@gmail.com2) ), Cambria 9pt, Spasi Single
emailpenulisketiga@yahoo.com3) ), Cambria 9pt, Spasi Single

Abstrak 11pt, cambria, bold, center, italic, Spasi Single


Abstrak bagian ini ditulis dalam bahasa indonesia, tidak lebih dari 250 kata. Bagian Abstrak harus
memuat inti permasalahan yang akan dikemukakan yang berisi tujuan penelitian, metode penelitian,
dan hasil penelitian. Abstrak ditulis 1 spasi dengan ukuran font 10pt. Abstrak ditulis dalam satu
paragraf saja dengan format satu kolom. Abstrak sebaiknya ditulis singkat, padat, dan jelas, namun
menggambarkan isi artikel

Kata kunci: Kata kunci 1; kata kunci2; urutkan berdasarkan abjad

Abstract 11pt, cambria, bold, center, italic, Spacing Single


Abstract are wrtitten in English, Abstrak dibagian ini ditulis dalam bahasa inggris, tidak lebih dari
250 kata. Bagian Abstrak harus memuat inti permasalahan yang akan dikemukakan yang berisi
tujuan penelitian, metode penelitian, dan hasil penelitian. Abstrak ditulis 1 spasi dengan ukuran
font 10pt. Abstrak ditulis dalam satu paragraf saja dengan format satu kolom. Abstrak sebaiknya
ditulis singkat, padat, dan jelas, namun menggambarkan isi artikel.

Keywords: Keyword1; keyword1; sort a-z.

PENDAHULUAN  Cambria,12pt, bold, UPPERCASE, Spasi 1,15


Negara Indonesia telah diberi anugerah berupa kekayaan alam dan keragaman.
Kekayaan alam yang di bumi Indonesia, mulai dari melimpahnya barang tambang,
keanekaragaman hayati, tanah yang subur, serta hasil laut yang melimpah. Sedangkan
keragaman yang ada di Indonesia meliputi keragaman dalam aspek suku bangsa,
keagamaan, bahasa, dan juga budaya. Hal ini sesuai salah satu ayat dalam al-Qur’an,
“Nikmat Tuhan mana lagi yang hendak kau dustakan?” (Q.S. Ar-Rohman: 13). Menurut
data Badan Pusat Statistik (BPS) diperoleh bahwa populasi indonesia tahun 2010
sebanyak 237,64 juta jiwa, dan di tahun 2018 mencapai 270,05 juta jiwa yang tersebar
dari 2 Sabang sampai Merauke serta dari dari Miangas sampai Pulau Rote. Sehingga
negara ini masuk dalam negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara
yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Negeri yang kaya dan besar ini merupakan
aset bangsa yang terus dijaga sebagai wujud nilai makna Islam dengan melakukan
berbagai upaya menjaga kerukunan SARA. Para pendiri bangsa Indonesia, meyakini
bahwa sebagai negara yang besar merupakan anugerah Allah SWT kepada negeri ini
agar selalu memperoleh keberkahan-Nya menjadi negara yang sejalan dengan cita-cita
nasional yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kehidupan umat beragama di Indonesia sekarang ini mulai masa-masa yang
cukup berat dimana makin masihnya gerakan dan kasus-kasus kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Kekerasan yang berbasis agama atau radikalisme telah
banyak menimbulkan korban nyawa sia-sia dan rusaknya bangunan fisik. Akan tetapi
yang lebih memilukan lagi adalah makin renggangya serta pecahnya hubungan sosial
antar anak bangsa dan tergerusnya modal sosial berupa kepercayaan antara satu
dengan yang lain akibat tindakan kekerasan tersebut. Meskipun pemerintah sudah
menerbitkan berbagai macam peraturan dan undang-undang yang mengatur tata
kehidupan beragama agar terjadi harmonisasi kemanusiaan sejati, namun sepertinya
radikalisme atas nama agama tidak berhenti, justru sebaliknya kian hari kian
bertambah dengan berbagai bentuk, baik itu penganiyaan, pembakaran, perobohan
tempat ibadah, penodaan ajaran dan keyakinan agama, serta penghinaan terhadap
keyakinan agama atau pemahaman ajaran orang lain (Tedi Khaliluddin, 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas, ada dua permasalahan utama yang dikaji dan
dicari jawabannya dalam penelitian ini. Pertama, apa saja tantangan yang dihadapi
moderasi beragama dalam islam? Kedua, bagaimana masyarakat khusunya mahasiswa
menanamkan dan melaksanakan konsep moderasi beragama khusunya islam dalam
kehidupan? Ketiga, apakah konsep moderasi islam ini dapat dilakukan dengan media
digitalisasi yang ada dan berkembang di Indonesia?

Negeri ini memiliki tantangan yang besar yaitu pertama ketika perbedaan SARA
itu membutuhkan upaya solutif agar warga negara dapat hidup aman dan damai. Hal ini
sudah menjadi komitmen seluruh komponen bangsa, khususnya tokoh agama islam
dimana memiliki perhatian dalam mengimplementasikan hukum Islam di masyarakat,
sebab hukum Islam itu dilandasi oleh semangat membangun kemaslahatan umat
manusia. Sebagaimana para Walisongo membangun peradaban Islam yang memperoleh
simpati dari masyarakat Nusantara. Kedua yaitu pelembagaan diskriminasi
sebagaimana yang telah terjadi pada beberapa sektor seperti pekerjaan, pendidikan,
jabatan-jabatan publik, dan lain-lain. Hal ini bertentangan dengan semangat para
pendiri bangsa Indonesia yang ada dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Para
pendiri negeri ini tahu benar, bahwa tanpa kesadaran akan keragaman dan beragama
tak mungkin kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia bisa terwujud. Dan yang
terakhir yaitu pluralitas agama bangsa Indonesia merupakan fenomena sosial yang unik
menyebut ada masa orde baru, diakui secara de jurebahwa terdapat lima agama dan
lebih dari seratus aliran kepercayaan. Realitasnya, penduduk Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari dihadapi kenyataan pluralitas agama. Dengan demikian, kondisi
ini tidak dapat disangkal sebagai salah satu bangsa yang hidup dalam pluralitas
(Hardaniwarya dalam Ismardi & Arisman, 2014).

Atas penjelasan tersebut, moderasi Islam di Indonesia pada era ini akan dikaji.
Kenapa hal ini penting? Sebab, persoalan yang muncul akibat isu-isu keagamaan pada
masyarakat Indonesia yang majemuk, hanya bisa ditangani melalui metode
penyelesaian yang komprehensif, bukan dengan cara-cara pemaksaan dan kekerasan
yang dampaknya akan merusak tatanan sosial yang lebih luas. Rangkaian kasus-kasus
kebebasan beragama yang berdampak pada konflik sosial di Indonesia menunjukkan
bahwa negara belum mampu memiliki pola pemahaman yang utuh dalam menciptakan
keharmonisan di level komunitas antar pemeluk agama yang saling berkonflik. Kasus
penyerangan terhadap jama’ah Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat, Banten, Jawa Timur
dan Jawa Barat merupakan realitas sosial yang dihadapi oleh bangsa. Nampaknya
kebebasan dan toleransi beragama di Indonesia mengalami dewasa ini menjadi isu yang
sensitif yang menimbulkan gejolak perpecahan di masyarakat.

Dengan demikian, dalam artikel ini, penulis akan menjawab konsep moderasi
Islam secara jelas dan dapat mewujudkan moderasi Islam perlu dirumuskan oleh
berbagai kalangan di negeri ini sebagai tantangan yang harus dihadapi dan diupayakan
untuk menemukan solusinya dengan baik dan benar melalui berbagai literatur sosial
keagamaan dan keislaman yang berhubungan. Sebab, Indonesia di era ini secara
ekonomi politik menjadi salah satu perhatian dunia internasional sebagai pusat rujukan
bernegara dalam masyarakat yang majemuk (plural).

METODE PENELITIAN  Cambria,12pt, bold, UPPERCASE, Spasi 1,15


Pada pembahasan dalam “Moderasi Beragama dalam Islam” yang kami
paparkan, metode penelitian yang kami gunakan yaitu penelitian kuantitatif dan
kualitatif. kajian dalam tulisan ini diperoleh dari sejumlah buku panduan, artikel ilmiah,
jurnal, dan hasil survey. Acuan utama yang digunakan merupakan buku “Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi” yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Pada metode penelitian kuantitatif, kami menggunakan data atau referensi yang sudah
ada sebelumnya dan menjadikannya sebuah teori terperinci dan sistematis serta tidak
dapat diubah lagi. Untuk metode penelitian kualitatif, kami memahami objek penelitian
dengan cara mengedepankan fakta atau kebenaran yang ada pada saat ini dan
penelitian kualitatitf ini bersifat fleksibel. Dan dalam metode kualitatif, kita
menyebarkan kuisioner kepada masyarakat khusunya mahasiswa di Indonesia untuk
mensurvei dan mewawancarai secara tidak langsung dikarenakan pada masa pandemi
seperti ini, agar kami mengetahui seberapa jauh mereka mengetahui apa itu moderasi
beragama dan sikap mereka untuk menghindari radikalisme dalam beragama. Survey
dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas online yaitu Google Form. Formulir berisi 10
pertanyaan yang mencakup 3 pertanyaan mengenai identitas mahasiswa, 3 pertanyaan
mengenai pendapat responden tentang pengetahuan dan wawasan pentingnya moderasi
beragama dalam islam, 2 pertanyaan mengenai pengembangan moderasi islam yang dapat
disangkutpautkan dengan era digitalisasi saat ini, dan 2 pertanyaan terakhir mengenai
pembagian sedikit rezeki untuk dua orang yang memiliki jawaban terbaik. Formulir mulai
dibagikan pada tanggal 20 Maret 2021 pukul 21.00 WIB sampai 21 Maret 2021 pukul
15.30 WIB secara daring dan mengumpulkan 26 mahasiswa responden sukarela. Para
responden merupakan mahasiswa remaja muslim yang tersebar dari berbagai perguruan
tinggi di Indonesia. Hasil survey ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana pengetahuan
dan wawasan para mahasiswa remaja muslim tentang moderasi beragama dalam islam serta
pendapat mereka mengenai penerapan moderasi dalam era digitalisasi. Dengan melihat
jawaban dari responden sukarela tersebut maka diperoleh berbagai jawaban yang beragam
dan terangkum dalam bentuk diagram.

HASIL DAN PEMBAHASAN Cambria,12pt, bold, UPPERCASE, Spasi 1,15


Berisi tentang hasil penelitian, dan pembahasan. Format hasil penelitian dan
pembahasan tidak dipisahkan. Hasil penelitian dapat disajikan dengan dukungan tabel, grafik
atau gambar sesuai kebutuhan, untuk memperjelas penyajian hasil secara verbal. Keterangan
gambar/grafik diletakkan di bawah gambar/grafik tersebut, sedangkan judul tabel diletakkan
di atasnya. Jika tabel berukuran lebar maka layout dibuat 1 kolom (Tabel 2), jika ukuran tabel
kecil layout boleh dibuat dalam 2 kolom (Tabel 1). Lihat contoh pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Keterangan tabel ditulis rata kiri dan untuk baris kedua seperti ini.
N A
Nama
o Nilai
1 Aa bb cc 1,2
2 Aa bb cc 1,3
3 Aa bb cc 1,4

Ukuran font di dalam tabel 11pt spasi single, namun boleh kurang dari 11pt jika ukuran
tabel tidak mencukupi. Setiap tabel dan gambar harus ada kalimat yang merujuk pada tabel
atau gambar tersebut. Misalnya, hasil penelitian disajikan pada Tabel 1. Diagram rata-rata
disajikan pada Gambar 1.

Tabel 2. Keterangan tabel ditulis rata kiri lurus dengan tabel apabila nama tabel lebih dari 1 baris
maka ditulis seperti ini.
Nama kolom atas
No Nama
Nilai 1 (m) Nilai 2 (%) Rata-rata Total
1 Aa bb cc 1,2 80,5 123,45 987,65
2 Aa bb cc 1,3 90,5 123,45 987,65
3 Aa bb cc 1,4 95,9 123,45 987,65

Gambar 1. Nama gambar ditulis rata tengah apabila nama gambar lebih dari 1 baris maka ditulis
seperti ini.
Materi pembahasan terutama mengupas apakah hasil yang didapat sesuai dengan
hipotesis atau tidak, dan kemukakan argumentasinya.
Jelaskan implikasi hasil penelitian baik teoretis maupun penerapan. Bandingkan
dengan penelitian yang sejenis, apakah ada kesesuaian atau pertentangan dengan hasil
penelitian orang lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil data yang didapatkan melalui hasil survey maka dapat diolah dan
disaikan dalam bentuk grafik. Masing-masing grafik menggambarkan beberapa hal
yaitu asal perguruan tinggi, pengetahuan tentang moderasi islam, pentingnya moderasi
islam, penerapan moderasi beragama dalam islam melalui media digital.

Asal Perguruan Tinggi ITS


PENS
PPNS
UNM
UNS IAIN Tulungagung
UN PGRI Kediri 4%
Universitas Brawijaya
4% 4% Poltekkes Malang
8% Jember ITS UIN Sunan Ampel Surabaya
Universitas UNESA
4% 38%
IPB IPB
4% Universitas Jember
Universitas Brawijaya
UNESA UN PGRI Kediri
UIN Sunan 8%Ampel UNS
Poltekkes Malang
Surabaya
IAIN Tulungagung
4% PPNS PENS UNM
4% 4% 8% 8%

Grafik 1. Asal Perguruan Tinggi

Sasaran survey kami adalah mahasiswa islam dari berbagai perguruan tinggi di
Indonesia. Hal ini dikarenakan mahasiswa perguruan tinggi memiliki rentang usia 18-
22 tahun yang cukup berpengaruh dalam perkembangan moderasi islam di setiap
perguruan tinggi jelaslah berbeda. Usia ini juga merupakan usia dimana seseorang
mudah dipengaruhi dan memiliki emosional yang tinggi khusunya mengenai agama.
Diagram lingkaran tersebut menyatakan persebaran data responden mahasiswa
perguruan tinggi. Sebarannya meliputi responden yang berasal dari Institut Teknologi
Sepuluh Nopember sebanyak 10 orang atau 38%, PENS sebanyak 2 orang atau 7%,
PPNS sebanyak 2 orang atau 7%, IAIN Tulungagung sebanyak 1 orang atau 4%,
Poltekkes Malang sebanyak 1 orang atau 4%, UIN Sunan Ampel Surabaya sebanyak 1
orang atau 4%, UNESA sebanyak 2 orang atau 7%, IPB sebanyak 1 orang atau 4%,
Universitas Jember sebanyak 1 orang atau 4%, Universitas Brawijaya sebanyak 2 orang
atau 7%, UN PGRI Kediri sebanyak 1 orang atau 4%, UNS sebanyak 1 orang atau 4%,
dan UNM sebanyak 1 orang atau 4%.
Grafik 2. Pengetahuan Mahasiswa di Indonesia tentang Moderasi dalam Islam

Pada grafik 2 disajikan tentang pengetahuan mahasiswa tentang moderasi beragama


dalam islam di berbagai perguruan tinggi. Berdasarkan grafik tersebut dapat
disimpulkan bahwa hampir sebagian besar yaitu 18 orang atau 69,2% mengetahui
tentang apa itu apa itu moderasi beragama dalam islam. Sedangkan 8 orang atau 34,6%
lainnya tidak atau bahkan belum mengetahui apa itu moderasi beragama dalam islam.
Dari 18 orang yang mengetahui apa itu moderasi islam, dapat dituliskan bahwa
moderasi islam adalah dikenal dengan istilah wasathiyah yang berarti tengah-tengah.
Hal ini merujuk pada pemahaman konsep beragama yang menunjukkan sikap dan
perilaku yang adil, memilih jalan tengah. Dalam artian mengamalkan ibadah dalam
Islam tetapi menghormati praktik ibadah agama lain ; Cara menyikapi sesuatu, dengan
tidak berlebihan, ekstrem atau radikal. Berada di tengah-tengah, seperti memberi
kebebasan beragama ; Moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap
dan perilaku selalu mengambil poros di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak
ekstrem dalam beragama dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa banyak yang tahu
apa itu moderasi islam. Tetapi, yang tidak tahu mengenai moderasi beragama dalam
islam sangat memiliki dampak yang cukup besar. Alasannya yaitu jika mahasiswa
tersebut tidak mengetahui, otomatis mahasiswa tersebut bisa saja terpengaruh dengan
adanya sikap radikalisme dan sebagainya.

Grafik 3. Pentingnya Moderasi Islam Menurut Mahasiswa Perguruan Tinggi di


Indonesia

Pada grafik 3 disajikan data pentingnya moderasi islam menurut beberapa mahasiswa
perguruan tinggi di Indonesia. Pemilihan 1-5 poin tersebut didasarkan pada poin 1 yang
menyatakan tidak penting, poin 2 yang menyatakan tidak cukup penting , poin 3 yang
menyatakan cukup penting, poin 4 yang menyatakan penting, dan poin 5 yang
menyatakan sangat penting. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar
sekitar 18 orang atau 72% beranggapan bahwa itu sangat penting, 6 orang atau 24%
beranggapan bahwa itu penting, dan 1 orang atau 4% beranggapan bahwa itu tidak
penting. Hal ini sangat berpengaruh dalam pentingnya moderasi beragama dalam islam
karena meskipun beberpa mahasiswa tidak tahu atau tidak dapat mendefinisikan apa
itu moderasi islam, tetapi mereka masih memiliki anggapan atau kepercayaan bahwa
moderasi islam itu sangat penting dan berdampak positif.

Grafik 4. Perwujudan Moderasi Islam melalui Media Digitalisasi

Pada grafik 4 disajikan data mengenai perwujudan moderasi islam melalui media
digitalisasi sangatlah diperlukan. Dari data tersebut menyatakan bahwa hampir
keseluruhan yaitu 25 orang atau 96,2% menjawab iya dan 1 orang atau 3,8% menjawab
tidak. Hal ini merupakan suatu inovasi baru yang dapat menunjang keberhasilan dalam
menyusun makalah ini karena antusias para mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia
yang ingin mengetahui apa itu moderasi islam dan manfaat adanya moderasi islam ini
melalui media digitalisasi. Dari hasil survey kami didapatkan bahwa media digitalisasi
atau sosial yang dapat diterapkan yaitu melalui Instagram, Facebook, YouTube, Tiktok,
WhatsApp, Line dan berbagai aplikasi lainnya. Selain itu juga, dapat diterapkan melalui
membantu mensosialisasikan tentang moderasi beragama dalam islam, tidak membeda
bedakan teman, tidak berlebihan dalam beragama, dalam menjalankan agama juga
perlu diseimbangkan dengan urusan dunia, menempatkan sesuatu pada tempatnya,
tidak diskriminatif, mengambil jalan musyawarah untuk setiap persoalan, melestarikan
tradisi lama yang masih relevan dan menerapkan hal hal baru yang lebih relevan, dan
terbuka terhadap hal baru yang mengarah ke kebaikan.

Setelah melihat dari beragai indikator survey pertanyaan melalui google form,
dalam moderasi beragama dalam islam (deradikalisasi), dapat diketahui bahwa banyak
mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia mengetahui konsep dan pentingnya moderasi
islam ini dapat dilihat melalui grafik 1 yang menyatakan berbagai mahasiswa perguruan
tinggi dalam berpendapat dan. Selanjutnya dalam grafik 2 menjelaskan bahwa
pengetahuan dan wawasan mengenai moderasi beragama dalam islam ini sebagian
besar banyak yang tahu dan dapat menjelaskan secara singkat definisi dari moderasi
dalam beragama islam. Kemudian pada grafik 3 dapat dilihat bahwa banyak orang yang
setuju dan beranggapan bahwa moderasi dalam islam itu sangatlah penting dan dapat
diwujudkan salah satunya dengan menggunakan media digitalisasi (grafik 4) berupa
media sosial seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan lain-lain.

Berikut ini Hasil dan pembahasan istilah dan moderari dalam islam (deradikalisasi).

Metodologi Penafsiran al-Quran dan Hadis 


Al-Quran dan hadis Nabi merupakan dua sumber rujukan utama ajaran Islam. Karena
itu tidak heran jika selama 15 abad, para ulama berupaya memahami kedua sumber
utama itu. Bahkan, upaya tersebut telah diperkaya dengan beragam perspektif dan
pendekatan. Walaupun demikian, menurut Nasaruddin, terdapat kecenderungan umum
untuk memahami nash (teks) al-Quran dan hadis tersebut secara leksikal, kata per kata
dengan pendekatan filologis gramatikal. Akibat kecenderungan umum ini, pesan nash
tidak membumi dan spiritnya dirasakan jauh di alam utopia. Petunjuk nash terkesan
tidak mampu menyentuh problematika kontemporer yang setiap saat menghampiri
aktivitas keseharian umat Islam, baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat
dan bernegara. Hal seperti itu terjadi, karena ketidaktepatan dalam memilih metode
penafsiran nash.
Metode Tafsir  
Harus diapresiasi, para mufasir (ahli tafsir) telah berhasil merumuskan metode tafsir
dalam upaya membumikan pesan Tuhan yang terkandung di dalam nash. Di sisi lain,
para ulama hadis juga telah merumuskan metode kritik hadis dan pendekatan
pemahaman matn hadis yang terekam dalam berbagai karya ulum al-hadis dan syarh al-
hadis sebagai upaya menjaga autentisitas dan memahami hadis Rasulullah SAW. 
Secara metodologis corak tafsir terbagi menjadi dua kelompok, tafsir bi al-ma’tsur
dan tafsir bi al-ra’yi. Dari dua metode ini berkembang beberapa induk model metode
tafsir, yakni altahlili, al-maudhu’i, al-ijma’i, dan al-muqaran.
Tafsir bi al-ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi al-manqul atau bi al-riwayat, yakni
metode penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara mengutip hadis-hadis Nabi,
pendapat-pendapat sahabat, dan tabiin dalam penafsiran al-Quran. Dalam tafsir ini akan
ditemukan penafsiran alQuran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadis, al-Quran
dengan pendapat-pendapat sahabat dan tabiin. Seorang mufasir yang menggunakan
metode ini menitikberatkan pada ayat al-Quran dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan
metode ini penuh dengan riwayat hadis dan jarang sekali penafsir menggunakan
pemikirannya sendiri. Sebaliknya tafsir bi al-ra’yi yang menitikberatkan penafsiran al-
Quran pada pemahaman akal (ra’y) dalam memahami kandungan nash.
Metode tafsir tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Quran melalui analisis
makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Quran. Penafsir memulai penafsirannya
dari ayat dalam surat alfatihah hingga ayat dalam surat An-Nas. 
Metode tafsir ijmali adalah penafsiran alQuran yang dilakukan dengan cara
mengemukakan isi dan kandungan al-Quran melalui pembahasan yang tidak terperinci.
Pembahasan ayat al-Quran dalam tafsir ijmali hanya meliputi beberapa aspek dan dalam
bahasa yang sangat ringkas. 
Metode tafsir muqaran adalah metode tafsir yang menggunakan pendekatan
perbandingan antara ayat-ayat al-Quran yang redaksinya berbeda padahal isi
kandungannya sama, atau antara ayatayat yang redaksinya memiliki kemiripan tetapi
kandungan isinya berbeda.
Dalam perkembangannya, metode tahlili dibedakan menjadi beberapa corak tafsir
sesuai dengan kecenderungan seorang mufasir, yakni al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi
al-ra’yi, tafsir al-shufi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-falsafi, tafsir al- ‘ilmi, tafsir adab ijtima’i,
tafsir munasabah dan sejenisnya. 
Secara umum metode tafsir tahlili, memiliki bentuk-bentuk yang permanen dari sisi
linguistik, sastra, fikih, filsafat, budaya, ekonomi, sains, dan lain sebagainya. Tafsir tahlili
pada umumnya sesuai dengan kecenderungan dan latar belakang keilmuan seorang
mufasir. Kecenderungan seorang mufasir tersebut adakalanya memicu perdebatan di
kalangan mufasir sendiri. Tafsir Thanthawi Jauhari dan Tafsir al-Manar misalnya ditolak
oleh Amin al-Khulli, Rasyid Ridha, al-Maraghih, Mahmud Syaltut dan Mahmud Abbas al-
Aqqad. Metode tafsir lain yang masih menjadi polemis di kalangan mufasir adalah
metode tafsir al-Munasabah. Sebagai bentuk elaborasi kreatif dari tafsir alra’yi, sebagian
mufasir menilainya sebagai prestasi gemilang metode tafsir al-Quran. Tetapi sebagian
mufasir lain menolaknya karena menganggap metode ini memaksakan diri untuk
mencari korelasi setiap ayat. Menurut para penolaknya al-Quran diturunkan dalam
rentang waktu 22 tahun dengan latar historis, sosial, dan komunikasi yang berbeda.
Karenanya adalah sulit kemudian untuk mencari korelasi satu ayat dengan ayat lainya. 
Tafsir tahlili dengan beragam kecenderungan keilmuan mufasir dinilai oleh mufasir yang
datang kemudian sebagai tafsir yang kurang utuh dan holistik. Karena terjebak pada
kajian kesusastraan dan kecenderungan keilmuan sang mufasir. Para mufasir yang
datang kemudian itu merusmuskan metode tafsir lain yang disebut dengan tafsir
maudhu’i (tafsir tematik) yang berupaya memotret tema besar al-Quran dan
memahaminya secara holistik. Dengan metode maudhu’i seorang mufasir mencoba
mengkaji al-Quran dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema
doktrinal, sosial, dan kosmologis dalam al-Quran. Metode tafsir ini disebut maudhui
karena berupaya mengelompokkan ayat-ayat dalam satu topik tertentu. 
Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Istanthiq al-Qur’an,” yang berarti ajaklah al-
Qur’an berbicara. Ujaran Ali itu menunjukkan, keharusan para mufasir untuk merujuk al-
Quran dalam memahami kandungannya. Atas ujaran Ali itu, menurut Quraish Shihab,
lahirlah metode tafsir maudhui. Seorang mufasir yang menggunakan metode ini,
terlebih dahulu harus menetapkan topik tertentu yang dipilih kemudian menghimpun
ayat-ayat al-Quran dari berbagai surat, kemudian membahas dan menganalisinya
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Metode Pemahaman Hadist
Selain metode pemahaman al-Quran di atas, para ulama juga berupaya merumuskan
metode pemahaman hadis. Ada perbedaan antara memahami nash al-Quran dengan
memahami matn hadis. Dalam memahami nash al-Quran para mufasir, tidak perlu
melakukan kegiatan kritik nash al-Quran karena nash-nash al-Quran diyakini oleh umat
Islam sebagai nash yang autentik dan tidak perlu diragukan keasliannya. Nash al-Quran
telah dihafal kemudian dibukukan dalam satu mushhaf, yang disebut dengan Mushhaf
Utsmani. Mushhaf ini diwariskan dari generasi ke generasi tanpa perubahan huruf
maupun ayat. Dalam alQuran ditegaskan, Allah sendiri yang mewahyukan al-Quran dan
Dia juga yang menjaga keaslian dan autentisitasnya. Karena itu, ketika seorang mufasir
hendak memahami al-Quran dia tidak perlu lagi melakukan kritik nash al-Quran karena
memang keasliannya terjaga. 
Kondisi teks al-Quran yang demikian berbeda dengan teks hadis. Hadis memiliki
ribuan matn atau redaksi, sementara itu, para pewarta hadis tidak semuanya hidup
bersama nabi. Karena itu, teks hadis ada kemungkinan mengalami pemalsuan. Apalagi
kodifikasi teks hadis baru dilakukan setelah tiga abad wafatnya Nabi SAW. 
Kondisi teks-teks hadis yang demikian mendorong para ulama untuk melakukan
kodifikasi hadis. Dalam proses kodifikasi tersebut, para ulama hadis menetapkan hadis
yang berasal dari Nabi dan hadis yang bukan berasal dari Nabi. Untuk menetapkan
sebuah hadis berasal dari Nabi atau bukan, para ulama hadis juga mensyaratkan tiga hal,
yakni memiliki ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), periwayat hadis bersifat ‘adil,
dan periwayat harus dhabith atau tamm al-dhabith.
Dalam kaitan syarat-syarat hadis yang dapat dipandang berasal dari Nabi itulah para
ulama kemudian merumuskan ilmu yang disebut dengan ilmu jarh wa ta’dil, yakni
sebuah ilmu yang secara khusus mengkritik para pewarta (periwayat) hadis, baik dari sisi
kemampuan intelektual maupun dari sisi integritas moral periwayat hadis. 
Dari sisi kemampuan intelektual, para kritikus hadis akan melihat dan menilai apakah
seseorang yang meriwayatkan hadis itu memiliki kemampuan hafalan yang baik
sehingga ia mampu untuk menghafal hadis yang disampaikannya, dan mampu dengan
baik menyampaikan hadis yang dihafalnya kepada orang lain, hadis yang dihafalnya itu
tidak aneh (syaz) dan tidak pula mengandung cacat (‘illah). Selanjutnya, dari sisi
integritas individu, seorang periwayat hadis harus adil, yakni beragama Islam, mukallaf,
melaksanakan ketentuan agama, memelihara kepribadian (Ismail, 1988:10). 
Struktur hadis Nabi terdiri dari dua unsur, yakni unsur sanad, berupa susunan nama-
nama periwayat hadis, dan unsur matn merupakan teks hadis, baik terkait pernyataan
verbal (qaul), aktivitas (fi’l), dan persetujuan (taqrir) Nabi SAW. Para ulama hadis telah
melakukan kritik terhadap dua unsur itu sebelum mengodifikasi hadis tersebut dalam
kitab-kitab hadis mereka. Terhadap sanad hadis, para ulama secara cermat dan hati-hati
menelaah ketersambungan sanad, kemampuan intelektual, dan integritas individu
periwayat hadis. Selanjutnya terhadap matn, para ulama menelaah secara cermat
keterhindaran teks hadis tersebut dari syadz (menyendiri) dan illah (cacat). 
Untuk keterhindaran teks hadis dari syadz, tolok ukur yang dijadikan patokan adalah,
apakah teks hadis itu tidak didukung oleh teks hadis lain, apakah teks hadis itu
bertentangan dengan teks hadis lain yang lebih kuat, apakah teks hadis itu bertentangan
dengan al-Quran, apakah hadis itu bertentangan dengan akal, indra dan sejarah (Ismail,
1998: 25). 
Untuk keterhindaran teks hadis dari illah, tolok ukurnya adalah teks hadis tidak
mengandung sisipan (idraj), tidak mengandung tambahan (ziyadah), tidak mengadung
pergantian lafal (lafdh) atau kata (kalimah), tidak terjadi pertentangan yang tidak dapat
dikompromikan (idhthirab), dan tidak terjadi kerancuan lafal dan penyimpangan makna
yang jauh dari teks hadis itu (Ismail, 1998:126). 
Seorang yang hendak memahami teks hadis, harus melakukan tiga langkah sekaligus,
pertama, ia harus memperhatikan kualitas sanad; kedua, harus mencermati susunan
redaksional matn; ketiga, meneliti dan memahami substani matn. 
Seperti halnya para mufasir dalam memahami al-Quran, ulama hadis juga
menggunakan empat metode dalam memahami hadis, yakni tahlili, ijmali, muqaran, dan
maudhu’i. Sementara pendekatan yang digunakan antara lain, pendekatan bahasa,
sejarah, sosiologi, dan antropologi (Suryadilaga, 2012).
Kebebasan beragama itu adalah beribadat menurut agama masing-masing. Dalam
kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama mereka
dan Islam menunjukkan toleransi terhadap agama lain. Kebebasan beragama yang
ditetapkan dalam Piagam Madinah itu, tampaknya lebih dulu dari turunnya firman Allah:

ْ‫ٓاَل اِ ْك َراهَ فِى ال ِّدي ۗ ِْن قَ ْد تَّبَيَّنَ الرُّ ْش ُد ِمنَ ْال َغ ِّي ۚ فَ َم ْن يَّ ْكفُر‬

‫صا َم لَهَا َۗوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬ َ ‫ت َويُْؤ ِم ۢ ْن بِاهّٰلل ِ فَقَ ِد ا ْستَ ْم َس‬
َ ِ‫ك بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْث ٰقى اَل ا ْنف‬ ِ ْ‫بِالطَّا ُغو‬

Laaa ikraaha fid diini qat tabiyanar rushdu minal ghayy; famai yakfur bit Taaghuuti
wa yu'mim billaahi faqadis tamsaka bil'urwatil wusqoo lan fisaama lahaa; wallaahu Samii'un
'Aliim.

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingat pada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali
agama yang kuat yang tidak pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah:256).

Kebebasan beragama itu tampak pula pada pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu
agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. Dalam suasana kebebasan beragama diadakan dialog dan
debat teologis antarpemuka agama dari ketiga agama itu. Pihak Yahudi menolak sama sakali
ajaran Isa dan Muhammad Saw, mereka menonjolkan bahwa Uzayr adalah anak Allah. Pihak
Nasrani mengemukakan paham trinitas dan mengakui Isa-lah adalah anak Tuhan.
Muhammad Saw mengajak manusia mengesakan Tuhan. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani,
Muhammad Saw., mengajak: “Marilah kita menerima kalimat yang sama di antara kami dan
kalian. Bahwa tidak ada yang kita sembah selain Allah. Kita tidak mempersekutukan-Nya
dengan apa pun. Tidak pula di antara kita mempertuhan satu sama lain, selain Allah.
Pertemuan tiga agama tersebut tidak membawa kepada kesatuan agama. Yahudi dan
Nasrani tetap pada pendirian mereka. Muhammad Saw juga tidak memaksa untuk
mengubah agama mereka. Muhammad Saw., hanya mengajak mereka meng-Esa-kan Allah.
Gambar 1.1 moderasi beragama dalam islam (deradikalisasi).

Moderasi beragama sendiri telah menjadi seruan global pada abad ke-21, Moderasi
beragama adalah aktivitas manusia beragama yang memerankan tindakan kedamaian dan
keamanan dalam persentuhannya dengan yang lain, Diketahui pengaruh agama makin
menunjukan efeknya dalam segala aktivitas hidup seperti sosial, budaya, ekonomi, politik,
dan sebagainya. Maka dari itu, manusia beragama terpanggil untuk menjalankan praktik
keteladanan guna kebaikan dunia yang didasarkan dengan agama.

Manusia beragama tidak boleh mengedepankan klaim kebenaranya sendiri karena


ekspresi tersebut dipastikan berbenturan dengan pandangan manusia yang beragama
lainya, Apabila terjadi benturan antar-keyakinan manusia beragama, maka akan tercipta
kehancuran yang parah, Karena pengaruh agama yang begitu kuat dalam segala aspek
kehidupan, maka dari itu khalayak global sangat menaruh harapan atas ekspresi
keberagamaan yang memerankan tindakan kedamaian dan keamanan ketika berinteraksi
dengan agama yang lain.

Negara Indonesia sendiri dikenal sebagai Negara yang religius, Sebagai Negara
religius, Indonesia mengakui identitas agama bagi warganya, Tercatat ada enam identitas
agama yang diakui oleh Negara Indonesia yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu, Budha dan Konghucu.

Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun


pemerintah adalah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah
lainnya, Mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman, kedamaian, keamanan, dan
ketertiban, termasuk dalam memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama,
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling
percaya di antara umat beragama bahkan menertibkan rumah ibadah.

Dalam hal ini untuk mendukung terciptanya kedamaian dan keamanan umat
beragama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Mengajarkan kepada setiap umat beragama untuk selalu berpikir positif terhadap
orang lain, bertutur kata yang tidak profokatif dan tidak membuat pendengarnya sakit hati,
berusaha untuk berperilaku baik, seperti : tidak melanggar norma-norma umum, norma
kesusilaan, norma adat istiadat, maupun norma hukum negara atau tidak melanggar hukum
Negara.

Menumbuhkan penghargaan, rasa saling pengertian, toleransi, tengang rasa, serta


belajar untuk saling memahami diantara umat beragama, Dan tidak berbuat hal-hal yang
dapat menyinggung sentimen keagamaan.

setiap umat bergama, hendaknya mengerti secara baik dan benar tentang agamanya
sendiri dan dilengkapi pula dengan pengetahuan yang cukup dan benar juga tentang agama
lainnya, sehingga mengetahui hal-hal baik di agama sendiri maupun diagama yang lain dan
mengetahui pula hal-hal yang sangat dilarang atau ditabukan atau diharamkan di agamanya
sendiri maupun diagama yang lain.

Tidak memaksakan seseorang untuk masuk atau mengikuti agama tertentu dan
melaksanakan ibadah sesuai agamanya.

KESIMPULAN DAN SARAN Cambria,12pt, bold, UPPERCASE, Spasi 1,15


Dari hasil data yang didapatkan melalui hasil survey maka dapat diolah dan disaikan
dalam bentuk grafik. Grafik 1. Hal ini dikarenakan mahasiswa perguruan tinggi memiliki
rentang usia 18-22 tahun yang cukup berpengaruh dalam perkembangan moderasi islam di
setiap perguruan tinggi jelaslah berbeda. Usia ini juga merupakan usia dimana seseorang
mudah dipengaruhi dan memiliki emosional yang tinggi khusunya mengenai agama. Grafik 2.
Hal ini merujuk pada pemahaman konsep beragama yang menunjukkan sikap dan perilaku yang
adil, memilih jalan tengah. Hal ini membuktikan bahwa banyak yang tahu apa itu moderasi
islam. Grafik 3. Pada grafik 3 disajikan data pentingnya moderasi islam menurut beberapa
mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia. Pemilihan 1-5 poin tersebut didasarkan pada poin 1
yang menyatakan tidak penting, poin 2 yang menyatakan tidak cukup penting , poin 3 yang
menyatakan cukup penting, poin 4 yang menyatakan penting, dan poin 5 yang menyatakan
sangat penting. Grafik 4. Hal ini merupakan suatu inovasi baru yang dapat menunjang
keberhasilan dalam menyusun makalah ini karena antusias para mahasiswa perguruan tinggi di
Indonesia yang ingin mengetahui apa itu moderasi islam dan manfaat adanya moderasi islam ini
melalui media digitalisasi. Dari hasil survey kami didapatkan bahwa media digitalisasi atau
sosial yang dapat diterapkan yaitu melalui Instagram, Facebook, YouTube, Tiktok, WhatsApp,
Line dan berbagai aplikasi lainnya. Setelah melihat dari beragai indikator survey pertanyaan
melalui google form, dalam moderasi beragama dalam islam (deradikalisasi), dapat diketahui
bahwa banyak mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia mengetahui konsep dan pentingnya
moderasi islam ini dapat dilihat melalui grafik 1 yang menyatakan berbagai mahasiswa
perguruan tinggi dalam berpendapat dan. Selanjutnya dalam grafik 2 menjelaskan bahwa
pengetahuan dan wawasan mengenai moderasi beragama dalam islam ini sebagian besar
banyak yang tahu dan dapat menjelaskan secara singkat definisi dari moderasi dalam beragama
islam. Karena itu tidak heran jika selama 15 abad, para ulama berupaya memahami kedua
sumber utama itu. Petunjuk nash terkesan tidak mampu menyentuh problematika kontemporer
yang setiap saat menghampiri aktivitas keseharian umat Islam, baik sebagai individu maupun
bagian dari masyarakat dan bernegara. Harus diapresiasi, para mufasir (ahli tafsir) telah
berhasil merumuskan metode tafsir dalam upaya membumikan pesan Tuhan yang terkandung
di dalam nash. Secara metodologis corak tafsir terbagi menjadi dua kelompok, tafsir bi al-
ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi al-manqul atau bi
al-riwayat, yakni metode penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara mengutip hadis-hadis
Nabi, pendapat-pendapat sahabat, dan tabiin dalam penafsiran al-Quran. Seorang mufasir yang
menggunakan metode ini menitikberatkan pada ayat al-Quran dan riwayat hadis. Metode tafsir
tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Quran melalui analisis makna yang terkandung di
dalam ayat-ayat al-Quran. Metode tafsir ijmali adalah penafsiran alQuran yang dilakukan
dengan cara mengemukakan isi dan kandungan al-Quran melalui pembahasan yang tidak
terperinci. Dalam perkembangannya, metode tahlili dibedakan menjadi beberapa corak tafsir
sesuai dengan kecenderungan seorang mufasir, yakni al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi,
tafsir al-shufi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-falsafi, tafsir al- ‘ilmi, tafsir adab ijtima’i, tafsir munasabah
dan sejenisnya. Secara umum metode tafsir tahlili, memiliki bentuk-bentuk yang permanen dari
sisi linguistik, sastra, fikih, filsafat, budaya, ekonomi, sains, dan lain sebagainya. Metode tafsir
lain yang masih menjadi polemis di kalangan mufasir adalah metode tafsir al-Munasabah. Tafsir
tahlili dengan beragam kecenderungan keilmuan mufasir dinilai oleh mufasir yang datang
kemudian sebagai tafsir yang kurang utuh dan holistik. Ujaran Ali itu menunjukkan, keharusan
para mufasir untuk merujuk al-Quran dalam memahami kandungannya. Seorang mufasir yang
menggunakan metode ini, terlebih dahulu harus menetapkan topik tertentu yang dipilih
kemudian menghimpun ayat-ayat al-Quran dari berbagai surat, kemudian membahas dan
menganalisinya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Selain metode pemahaman al-Quran
di atas, para ulama juga berupaya merumuskan metode pemahaman hadis. Dalam memahami
nash al-Quran para mufasir, tidak perlu melakukan kegiatan kritik nash al-Quran karena nash-
nash al-Quran diyakini oleh umat Islam sebagai nash yang autentik dan tidak perlu diragukan
keasliannya. Kondisi teks al-Quran yang demikian berbeda dengan teks hadis. Kondisi teks-teks
hadis yang demikian mendorong para ulama untuk melakukan kodifikasi hadis. Dalam proses
kodifikasi tersebut, para ulama hadis menetapkan hadis yang berasal dari Nabi dan hadis yang
bukan berasal dari Nabi. Dalam kaitan syarat-syarat hadis yang dapat dipandang berasal dari
Nabi itulah para ulama kemudian merumuskan ilmu yang disebut dengan ilmu jarh wa ta’dil,
yakni sebuah ilmu yang secara khusus mengkritik para pewarta (periwayat) hadis, baik dari sisi
kemampuan intelektual maupun dari sisi integritas moral periwayat hadis. Dari sisi
kemampuan intelektual, para kritikus hadis akan melihat dan menilai apakah seseorang yang
meriwayatkan hadis itu memiliki kemampuan hafalan yang baik sehingga ia mampu untuk
menghafal hadis yang disampaikannya, dan mampu dengan baik menyampaikan hadis yang
dihafalnya kepada orang lain, hadis yang dihafalnya itu tidak aneh (syaz) dan tidak pula
mengandung cacat (‘illah). Struktur hadis Nabi terdiri dari dua unsur, yakni unsur sanad,
berupa susunan nama-nama periwayat hadis, dan unsur matn merupakan teks hadis, baik
terkait pernyataan verbal (qaul), aktivitas (fi’l), dan persetujuan (taqrir) Nabi SAW. Para ulama
hadis telah melakukan kritik terhadap dua unsur itu sebelum mengodifikasi hadis tersebut
dalam kitab-kitab hadis mereka. Untuk keterhindaran teks hadis dari syadz, tolok ukur yang
dijadikan patokan adalah, apakah teks hadis itu tidak didukung oleh teks hadis lain, apakah teks
hadis itu bertentangan dengan teks hadis lain yang lebih kuat, apakah teks hadis itu
bertentangan dengan al-Quran, apakah hadis itu bertentangan dengan akal, indra dan sejarah
(Ismail, 1998: 25). Untuk keterhindaran teks hadis dari illah, tolok ukurnya adalah teks hadis
tidak mengandung sisipan (idraj), tidak mengandung tambahan (ziyadah), tidak mengadung
pergantian lafal (lafdh) atau kata (kalimah), tidak terjadi pertentangan yang tidak dapat
dikompromikan (idhthirab), dan tidak terjadi kerancuan lafal dan penyimpangan makna yang
jauh dari teks hadis itu (Ismail, 1998:126). Seorang yang hendak memahami teks hadis, harus
melakukan tiga langkah sekaligus, pertama, ia harus memperhatikan kualitas sanad; kedua,
harus mencermati susunan redaksional matn; ketiga, meneliti dan memahami substani matn.
Seperti halnya para mufasir dalam memahami al-Quran, ulama hadis juga menggunakan empat
metode dalam memahami hadis, yakni tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Sementara
pendekatan yang digunakan antara lain, pendekatan bahasa, sejarah, sosiologi, dan antropologi
(Suryadilaga, 2012). Kebebasan beragama itu adalah beribadat menurut agama masing-masing.
Kebebasan beragama yang ditetapkan dalam Piagam Madinah itu, tampaknya lebih dulu dari
turunnya firman Allah:. Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Kebebasan beragama itu
tampak pula pada pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu agama Islam, Yahudi, dan Nasrani.
Bahwa tidak ada yang kita sembah selain Allah. Moderasi beragama sendiri telah menjadi
seruan global pada abad ke-21, Moderasi beragama adalah aktivitas manusia beragama yang
memerankan tindakan kedamaian dan keamanan dalam persentuhannya dengan yang lain,
Diketahui pengaruh agama makin menunjukan efeknya dalam segala aktivitas hidup seperti
sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Maka dari itu, manusia beragama terpanggil
untuk menjalankan praktik keteladanan guna kebaikan dunia yang didasarkan dengan agama.

DAFTAR PUSTAKA  Cambria,12pt, bold, UPPERCASE, Spasi single


Rujukan yang dicantumkan dalam daftar pustaka hanyalah rujukan yang dikutip
dalam isi artikel. Semua rujukan-rujukan yang diacu di dalam teks artikel harus didaftarkan di
bagian Daftar Pustaka. Daftar Pustaka harus berisi pustaka-pustaka acuan yang berasal dari
sumber primer (jurnal ilmiah dan berjumlah minimum 80% dari keseluruhan daftar pustaka)
diterbitkan 10 (sepuluh) tahun terakhir. Setiap artikel paling tidak berisi 10 (sepuluh) daftar
pustaka acuan.
Penulisan Daftar Pustaka menggunakan American Psychological Association (APA)
style dan disarankan menggunakan aplikasi manajemen referensi seperti Mendeley, Zotero,
dsb.
Contoh:
Sumber Jurnal:
Aqda, M. F., Hamidi, F., & Rahimi, M. (2011). The comparative effect of computer-aided
instruction and traditional teaching on student’s creativity in math classes. The
Journal of Procedia Computer Science 3(1), 266-270.
Dost, S. & Saglam, Y. (2012). Effect of preservice teachers’ learning styles and field of study
on computer-assisted instruction. The Journal of Procedia Social and Behavioral
Sciences 46 (3), 3812-3816
Khoiriyah, U. & Rizki, S. (2017). Pengembangan Bahan Ajar Himpunan Matematika
Dikaitkan Dengan Nilai-Nilai Islam. AKSIOMA: Jurnal Pendidikan Matematika 6(3),
315-322.

Sumber Buku:
Thiagarajan, S., Semmel, D. S dan Semmel, M. I. (1974). Instructional Development for
Training Teachers of Exceptional Children: A Sourcebook. Minneapolis, Minnesota:
Leadership Training Institute/Special Education, University of Minnesota.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Sumber

Jurnal:

http://repository.uinbanten.ac.id/5232/1/Makalah%20pa%20Rektor-Moderasi.pdf

file:///C:/Users/Windows%2010/Downloads/3090-6276-1-SM%20(1).pdf

http://eprints.walisongo.ac.id/1931/1/Abu_Rokhmad-Radikalisme_Islam.pdf

buku :

file:///C:/Users/Windows%2010/Downloads/22-Book%20Manuscript-87-1-10-
20190325.pdf

Anda mungkin juga menyukai